negara kesatauan, gagasan founding fathers dan dinamika

31
NEGARA KESATAUAN, GAGASAN FOUNDING FATHERS DAN DINAMIKA KONTEMPORER Oleh: Sulardi Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang A. Diskursus Bentuk Negara oleh Founding Fathers Timbulnya diskursus mengenai pilihan bentuk Negara untuk Indonesia sebenarnya telah terjadi sejak sebelum bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pada saat itu terjadi perbedatan antara para founding fathers mengenai bentuk Negara sehubungan dengan apa yang akan dimuat dalam konstitusi. Perdebatan itu berlangsung cukup lama, mengingat konstitusi memang mempunyai arti penting. 1 Perdebatan ini kemudia menjadi sangat penting apalagi menyangkut mengenai bentuk negara, yang lazimnya dalam konstitusi suatu negara diletakkan pada pasal pertama (paling awal). 2 Hal ini mengingat pilihan bentuk negara tersebut akan terimplementasi ke dalam pasal-pasal yang lain. Dalam konteks demikian diskursus ini dimaksudkan tidak hanya sekedar wacana atau gagasan melainkan telah menjadi sebuah i’tikad politik (keputusan politik) bangsa Indonesia. 1 Dalam Pemerintahan Konstitusi negara-negara disebutkan arti penting konstitusi 2 Lihat UUD 1945, pasal 1 ayat (1) UUD sementara-pasal 1 ayat(1), Bagian I tentang "Bentuk Negara dan Kedaulatan"

Upload: phungmien

Post on 14-Jan-2017

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

NEGARA KESATAUAN, GAGASAN FOUNDING FATHERS DAN

DINAMIKA KONTEMPORER

Oleh: Sulardi

Dosen Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

A. Diskursus Bentuk Negara oleh Founding Fathers

Timbulnya diskursus mengenai pilihan bentuk Negara untuk Indonesia

sebenarnya telah terjadi sejak sebelum bangsa Indonesia memproklamasikan

kemerdekaannya. Pada saat itu terjadi perbedatan antara para founding fathers

mengenai bentuk Negara sehubungan dengan apa yang akan dimuat dalam

konstitusi.

Perdebatan itu berlangsung cukup lama, mengingat konstitusi memang

mempunyai arti penting.1 Perdebatan ini kemudia menjadi sangat penting apalagi

menyangkut mengenai bentuk negara, yang lazimnya dalam konstitusi suatu

negara diletakkan pada pasal pertama (paling awal).2 Hal ini mengingat pilihan

bentuk negara tersebut akan terimplementasi ke dalam pasal-pasal yang lain.

Dalam konteks demikian diskursus ini dimaksudkan tidak hanya sekedar wacana

atau gagasan melainkan telah menjadi sebuah i’tikad politik (keputusan politik)

bangsa Indonesia.

Di bawah ini akan ditulis juga beberapa hal mengenai perdebatan itu

beserta alasannya, sehingga memberikan gambaran yang jelas terhadap

rasionalisasi dari penjatuhan pilihan. Pada saat itu ada yang cenderung memilih

negara kesatuan (seperti Moh. Yamin, tetapi ada juga yang memilih selain

kesatuan (seperti Moh. Hatta dengan pilihan federal).

1. Moh. Yamin:3 tanggal 29 Mei 1945 dapat dipetik hal-hal sebagai

berikut:“Bahwa Negara Republik Indonesia menolak segala paham (a)

1 Dalam Pemerintahan Konstitusi negara-negara disebutkan arti penting konstitusi2 Lihat UUD 1945, pasal 1 ayat (1) UUD sementara-pasal 1 ayat(1), Bagian I tentang

"Bentuk Negara dan Kedaulatan"3 Moh Yamin Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, halaman 99).

Page 2: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

federalism (b) feodalisme (c) monarki (d) liberalism (e) autokrasi dan

birokrai (f) demokrasi barat”4

Demikian pendapat Moh. Yamin terhadap bentuk Negara yang diinginkan

untuk Indonesia dengan memberikan dasar penolakannya pada segala paham

federalisme, feodalisme, monarki, liberalisme, autokarsi dan birokrasi, dan

demokrasi barat. Ada beberapa hal yang rancu menurut penulis, yaitu keinginan

Moh. Yamin tentang bentuk Negara, namun disejajarkan dengan sebuah paham

(federalisme, feodalisme, liberalisme). Disamping itu dalam penolakannya Moh.

Yamin juga mensejajarkan antara bentuk negara dengan bentuk pemerintah yang

akan dijalankan (misalnya istilah demokrasi barat dan birokrasi).

Diatas juga telah dipertegas oleh Moh. Yamin bahwa istilah federalisme,

feodalisme, liberalism dimaksudkan sebagi sebuah paham yang harus ditolak oleh

Indonesia. Lalu relevansi nya dengan bentuk Negara bisa saja ditunjukan pada

sebuah bentuk Negara federal. Namun jika yang dimaksud adalah bentuk Negara

federal paham sehingga istilah yang dipakai adalah federal tentunya Moh. Yamin

tidak mengatakan sebagai paham sehingga istilah yang dipakai adalah federalism

dan individualism sebenarnya adalah sarupa hal yang sama ditinjau dari sudut

pandang yang berbeda. (Isjwara, 1980:3)

Penggunaan istilah yang dicampuradukkan demikian itu membawa

konsekuensi tersendiri terhadap sebuah rasionalisasi mengapa sebuah pilihan

tersebut dijatuhkan. Kemungkinan besar pandangan Moh. Yamin ini akibat

pengaruh kuat dari ajaran Sarjana Belanda Kruneburg terutama mengenai bentuk

negara dan bentuk pemerintah.

2. Soepomo: tentang bentuk Negara5 dan hubungannya dengan agama Soepomo

berpendapat:

“…..Cita-cita Negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita Negara persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya… menganjurkan dan mufakat dengan pendirian Negara yang yang

4 Dengan demikian oleh apa yang diusulkan Moh. Yamin sebenarnya telah rancu antra bentuk negara federal sebagai tata cara kenegaraan dengan bentuk negata sebagai sebuah paham (federalisme) dan disandingkan dengan paham-paham yang lain seperti feodalisme, demokrasi barat, liberalisme, dsb; yang kedua adalah kerancuam dalam memilah bentuk negara dan bentuk pemerintahan, karena dalam usulnya ia juga menyebutakn istilah monarki.

5 Dalam pendapat Soepomo ini terkandung maksud bahwa dengan memilih negara selain negara persatuan maka seolah-olah bertentangan dengan cita-cita agama (Islam). Soepomo dalam perdebatan bentuk negara ini juga menyinggung bentuk pemerintahan republik, bahkan menolak paham individualisme.

Page 3: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

bersatu… yang akan mengatasi segala golongan dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari segala golongan, baik golongan yang besar maupun golongan yang kecil akan diserahkan. Dalam Negara nasional yang bersatu itu urusan agama diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan.

Soepomo menolak dasar indivualisme, menolak juga sistem demokrasi

barat. Tentang Negara dan perekonomian, dalam Negara yang berdasarkan

integrilistik, yang dasarkan persatuan, akan dipakai sistem sosialisme Negara.

Perusahaan-perusahaan yang akan diurus oleh Negara sendiri. Tanah pertanian

menjadi lapangan hidup kaum tani dan Negara harus menjaga supaya tanah

pertanian itu dipegang oleh kaum tani. Koperasi hendaknya dipakai sebagai salah

satu dasar ekonomi Negara Indonesia.

Pendapat Soepomo memang senada dengan pendapat Moh. Yamin tentang

bentuk Negara yang berdasarkan integralistik, yang berdasarkan persatuan dengan

sistem sosialisme Negara. Maksud demikian itu dalam perjalanan sejarahnya

setelah konstitusi lahir yang sebagian besar integralistik yang dimaksud adalah

bentuk negara kesatuan.

Penolakan Soepomo tentang Negara federasi karena adanya negara dalam

negara, secara teori dapatlah dibenarkan. Sebab menurut Myron Weiner, secara

politik negara federal adalah tata cara kenegaraan yang mengasumsikan adanya

negara dalam negara federal, namun Soepomo tidak menjelaskan alasannya lebih

lanjut tentang dasar penolakan negera federal yang dimaksud paling tidak tentang

kelebihan dan kekurangan oleh Jellineck dan Duguit yaitu, yaitu lebih kepada cara

bagaimana kepada negaranya dipilih.

3. Wongsonegoro6 berpendapat: bahwa susunan Negara itu tergantung pada

votum rakyat. Oleh karena itu, tidak boleh menetapkan bentuk itu. Menurut

kesangsian Woengsonegoro perkataan Republik Indonesia barang kali dapat

bertentangan dengan perasaan rakyat. Kami tidak akan mendahului kehendak

rakyat. “ kita harus mengerti benar-benar nama bentuk negara yang kita

6 Pada rapat besar Badan Penyelidik tanggal 10 Juli dirumuskan bahwa usul-usul yang masuk memenuhi permintaan ketua ada 40 dari 40 usul mengenai 32 soal yang dibagi dalam 9 golongan usul. Diantara 9 golongan usul-usul itu ada golongan usul mengenai soal unifikasi atau federasi dan ada golongan usul mengenai bentuk negara dan kepala negara.

Page 4: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

kehendaki, jangan kita memakai begitu saja perkataan republik atau

monarki”.

Ada sebuah hal yang menarik tentang pendapat Wongsonegoro dalam

diskursus di atas yaitu tentang keinginannya menyerahkan keputusan itu kepada

rakyat. Pendapat Wongsonegoro tidak memperoleh banyak dukungan, namun

paling tidak telah memberikan gambaran bahwa rakyat dalam hal ini perlu

didengar aspirasinya. Bagaimanapun juga persoalana bentuk negara adalah

persoalan yang sangat fundamental (fundamental norm), karena menyangkut

keseluruhan organisasi daerah, bangsa dan Negara. Kesangsian Wongsonegoro

barangkali sangat beralasan jika keputusan itu telah diambil namun ternyata

bertentangan dengan kehendak rakyat, sehingga harus dilaksanakan dan

diputuskan sevara hati-hati.

Barangkali votum rakyat yang dimaksud oleh Wongsonegoro dengan

penetuan pendapat rakyat itu adalah referendum. Jika ditinjau dari hukum tata

negara, referendum tersebut dapat dilaksanakan karena memang pada saat itu kita

belum memiliki konstitusi sebagai dasar untuk mengambil keputusan bahkan

diskursus itu sendiri. Namun apakah memang pada saat itu situasi dan kondisi

tidak memungkinkan sehingga keputusan untuk membuat suatu fundamental norm

cukup ditentukan oleh para founding fathers saja, tanpa keterlibatan rakyat secara

langsung.

4. Ki Bagus Hadikusumo berpendapat: bahwa dalam perkataan republik atau

monarki sudah terselubung setan, artinya dapat menimbulakan perdebatan

yang dahsyat. ”Semua orang setuju dengan pimpinan yang tidak turun

temururn. Negara kita harus didasarkan rakyat. Hendaklah tujuan saja diambil

dan jangan ditambah dengan republik”

Republik itu, dapat juga disebutkan dalam bahasa Indonesia dengan

singkat adalah kedaulatan rakyat. Susanto berpendapat bahwa Negara mengenal

dua soal, yaitu pertama soal uni atau federasi; kedua soal republik atau kerajaan.”

… rakyat hanya mengenal bentuk Negara kerajaan. Karena sukar untuk menjamin

persatuan, maka kami merancangkan adanya kepala Negara yang dipilih untuk

waktu yang tertentu, tetapi tidak disebut Presiden, dan bentuk Negara yang

disebut republik”. Pendapat Ki Bagus Hadikusumo, dalam hal ini memang agak

Page 5: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

mebingungkan jika ditinjau dari hukum tata Negara. Bentuk Negara federal dan

uni (kesatuan) ditolaknya dengan alasan bahwa bentuk demikian ini tidak dikenal

dengan alasan bahwa bentuk pemerintah masih terjadi.

Pilihannya terhadap bentuk kerajaan didasari oleh pemikiran bahwa

bentuk Negara kerajaan telah dikenal baik di Indonesia bahkan sejak jaman

Majapahit, sehingga menurut substansi dari republik dengan kondisi di Indonesia

namun dengan substansi yang lebih baik meskipun hendak mengambil oper

substansi dari model yang ditolaknya. Sistem campuran seperti ini memang tidak

tegas dan terkesan setengah-setengah, dan yang yang demikian ini sering terjadi

dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia sampai sekarang.

5. Pendapat Dahler: bentuk Negara itu hendaknya kerajaan. Tetapi kalau bangsa

Indosenia sendiri dengan keyakinan akan meminta bentuk Republik Dahler

akan menyongkong nya dengan segala tenaga.

Dahler juga memilih bentuk Negara selain kesatuan, artinya pilihan itu

adalah kerajaan sedangkan bentuk republika akan didukung nya apabila keputusan

akhir demikian adanya. Masih saja di sini ada kerancuan pemakaian, istilah antara

bentuk Negara dengan bentuk pemerintah sedangkan tidak ada penjelasan lebih

lanjut tentang bentuk ngara kerajaan yang dipilih tersebut umtuk Indonesia.

6. Moh. Yamin mempunyai pandangan-pangdangan tertuju kepada tiga

alternatif:

a. Negara Indonesia tidak berbentuk.

b. Negara Indonesia yang berbentuk monarki.

c. Negara Indonesia yang berbentuk republik

Tentang Negara Indoensia yang tidak berbentuk Moh. Yamin

mengemukakan 4 buah keberatan: Pertama: keyakinan bahwa rakyat Indonesia

mengendaki republik dan hanya republik yang memberi jiwa bangsa Indonesia;

Kedua: pemerintah Negara atas dasar musyawarah dengan pembagian kekuasaan

dapat dilaksanakan dalam bentuk Negara republlik dengan kepala Negara yang

dipilih oleh rakyat; Ketiga: agar supaya diakui dan dihormati oleh dunia

internasional, Negara kita harus di bentuk dengan syarat kebangsaan dan kemauan

rakyat. Dan kemauan rakyat adalah republik. Keempat, Moh. Yamin tidak

menyetujui pernyataan bahwa republik dan monarki berasal dari iblis atau setan.

Page 6: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

Akhirnya, Moh. Yamin menekankan dasar unitarisme yaitu kesatuan

Indonesia, tidak terpecah-pecah, baik mengenai pemerintah maupum mengenai

bangsanya, maupun daerahnya. Akhirnya diusulkan supaya dilakukan

pemungutan suara tentang bentuk negara monarki atau republika. Sebelum

dilakukan pemungutan suara masih di berikan kesempatan bicara kepada: singgih,

Sukardjo Wirjopranoto, Sukiman dan Sanusi.

Dalam pendapatnya yang terakhir Moh. Yamin mencoba menjabarkan lagi

tentang usulan pertamanya mengenai dasar pilihannya terhadap bentuk republik

dan negara kesatuan. Alasan yang sangat sederhana itu adalah bahwa republik

adalah bentuk yang diinginkan rakyat, dengan republik aspirasi rakyat labih

terjamin, dan Indonesia di mata Internasional dapat di pandang sebuah negara

yang kuat karenanya diakui dan dihormati.

Pendapat Moh. Yamin yang pertama memang bukan didasarkan atas

penentuan pendapat rakyat secara langsung. Karena memang pada saat itu para

founding fathers tidak melakukan referendum, namun kiranya Moh. Yamin begitu

yakin bahwa memang benar republik adalah keinginan rakyat. Sedangkan

mengenai terjaminnya aspirasi rakyat dan pengakuan dunia internasional kiranya

bisa diterima.

7. Singgih: meskipun kita namakan monarki atau republik, tetapi kalau kita

lemah, negara kita akan lenyap lagi, pendapat bentuk yang sesungguhnya

supaya diserahkan kepada kedaulatan sesuai dengan pendirian

Wongsonegoro.

Pendapat singgih rupanya mendukung apa yang dikemukana oleh

Wongsonegoro, bahwa keputusan itu harus diserahkan kepada kedaulatan rakyat.

Model semacam ini bisa saja terjadi seperti halnya apa yang terjadi di Australia.

Bagaimanapun juga referendum merupakan jalan yang tepat dan mungkin untuk

ditempuh jika kesempatan yang ditentukan oleh perwakilan menemui jalan buntu.

8. Sukardjo Wirjopranoto, akan memilih bentuk republik dengan jalan pikiran

sebagai berikut :

o Semula pengusulan bentuk perang (war style).

o Indoensia merdeka hendaknya dilahirkan di dalam suasana persatuan,

jangan didalam bentuk pecah-belah.

Page 7: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

o Memperkuat gotong-royong dalam segala hal. Bentuk negara adalah

bentuk yang cocok dengan tabiat jiwa ketimuran yang asli.

o Karena bentuk gotong-royong itu yang tepat bagi kita, maka Sukardjo

akan memilih bentuk Republik oleh karena bentuk Republik dekat sekali

dengan bentuk gotong-royong.

Pilihan Sukardjo seiring dengan Moh. Yamin dan Soepomo, mengenai

bentuk republik. Bentuk ini dipilih karena dinilai lebih dekat dengan tabiat jiwa

ketimuran yang asli Indonesia yaitu gotong-roong. Mengenai bentuk perang (war

style) yang ditawarkan oleh Soekardjo tidak mendapatkan penjelasan,

kemungkinan berdasarkan pendapat Soekardjo ini Moh Yamin mengkategorikan

bentuk perang tersebut sebagai salah satu keinginan terhadap pilihan bahwa

negara Indoensia tidak berbentuk.

9. Sukiman;

Islam tidak memilih bentuk republik atau kerajaan.

Kekuasaan terpokok ada pada rakyat ialah kedaulan rakyat walaupum di

dalamnya suatu negara yang berbentuk kerajaan

Yakin akan prinsip bahwa pimpinan negara tidak turun-temurun ialah

prinsip Republik

Menerima bentuk Eeinheidsstaat yaitu “Negara persatuan karena

Eeinheidsstaat menjamin satu bentuk yang seefisiensn-efisiensinya.

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh Sukirman dapat

disimpulkan bahwa meskipun dalam Islam tidak mengenal bentuk republik

maupun kerajaan. Namun sekalian bentuk republik atas prisnsip-prinsip yang

terdapat saja di dalan Negara tersebut menerapkan prinsip bentuk negara republik

(seperti kepala Negara yang tidak ditentukan secara turun-temurun atau

meletakkan kedaulatan di tangan rakyat tidak di tangan raja).

Jika melihat tolak ukur yang dikemukakan oleh Sukirman untuk memilih

bentuk negara di atas Jellineck dan Duguit untuk melihat bentuk negara yang

dipakai dalam suatu negara republik mana kala kepala negaranya dipilih tidak

berdasrkan turun-temurun sehingga kedaulatan ada di tangan rakyat. Jika dalam

akhir pendapatnya kemudian Sukiman terhadap diskursus ini juga diliputi oleh

kerancuan antara perbincangan bentuk negara dengan bentuk pemerintah dalam

Page 8: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

konteks negara terpaksa disamaratakan. Sekalipun alasan terhadap alasan inipun

hendaknya perlu ditelusuri dan dikaji terhadap factor-faktor apa sajakah bentuk

Negara persatuan dapat diterapkan secara efisiensi di Negara Indonesia pada saat

itu.

10. Sanusi :

Menerima bentuk republik dengan jalan pikiran sebagai berikut:

Bentuk kerajaan memang dipuji oleh agama islam

Tetapi persyaratan bagi raja berat sekali

Oleh karena itu, setuju dikepalai oleh seorang imam.

Maksudnya Negara dikepalai seorang Imam itu ialah Republik.

Pokok pikiran yang dikemukakan oleh sanusi secara teori kenegaraan

memang terkesan agak aneh. Penerimaan nya terhadap bentuk Negara republik

disyaratkan oleh kepala Negara yang di sebut imam. Sedangkan bentuk kerajaan

ditolaknya karena syarat bagi raja sangat berat sekali. Dengan demikian sama

halnya dengan apa yang dikemukakan beberapa pendapat terdahulu seperti

Sukiman, Ki Bagus Hadikusumo, Sukarjo, bahwasannya bentuk Negara kerajaan

dipilih karena bentuk Negara ini yang dikenal oleh Indonesia sedangkan prinsip

yang dilaksanakan dalam bentuk Negara republick diterapkan.

Pilihan bentuk Negara kesatuan dapat diamati dari pandapat Moh. Yamin,

Soepomo, dan pendapat akhir dari Sukarjo dan Sukiman yang menyatakan bahwa

bentuk Negara kesatuan kiranya :

1. Akan dapat mengatasi segala golongan baik dari golongan islam, golongan

nasionalisme maupun golongan lain.

2. Akan lebih mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari segala

golongan, baik golongan yang besar maupun golongan yang kecil.

3. Bentuk Negara kesatuan dinilai paling dekat dengan jiwa gotog –royobg yang

telah dimiliki dan dijiwai oleh rakyat Indonesia.

Pilihan yang kedua tentang negara kesatuan bagi Indonesia dipelopori oleh

Moh. Yamin dan Soepomo. Meskipun dalam memberikan ulasan tentang bentuk

negara kesatuan ini masih diliputi oleh kesalahpahaman antara teori bentuk

Negara dengan teori bentuk pemerintah serta paham-paham yang lain namun

kiranya pendapat ini akhirnya diterima oleh banyak pihak termasuk Soekarno.

Page 9: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

Dukungan Soekarno yang begitu kuat terhadap ide Soepomo termasuk mengenai

konsep negara integralistik, maka akhirnya pada sidang PPKI , bentuk negara

kesatuan tersebut menjadi pilihan untuk negara Indonesia.

Dengan demikian sebenarnya diskursus mengeani bentuk negara

(federal/kesatuan) telah terjadi dikalangan para pendiri bangsa ini pada saat akan

merumuskan substansi atau materi yang akan dituangkan dalam konsistunsi kita

(UUD 1945) dan dari gagasan yang ada masih menampakkan adanya kesalah

pahaman dan kesimpangsiuran dalam memahami bentuk negara sehingga

menimbulkan perdebatan yang panjang.meskipun pada akhirnya pilihan jatuh

pada bentuk negara kesatuan, bukan berarti keinginan untuk membentuk negara

federal telah tiada. Bagaimanapun juga pilihan tersebut bukan didasarkan atas

referendum rakyat. Artinya rakyat secara keseluruhan tidak terlibat langsung.

Padahal negara Indonesia terdiri dari banyak suku, agama, kebudayaan bahkan

merupakan negara kepulauan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tetapi

kesimpulan itu hanya didasarkan atas voting para pemimpin bangsa. Dalam situasi

dan kondisi yang terjadi pada saat itu yaitu waktu yang sangat mendesak untuk

segera terbentuknya konstitusi negara maka atas dasar pidato Soekarno yang

menyatakan bahwa” kita akan membentuk negara kesatuan“, disambut oleh

rakyat secara sorak sorai. Sambutan rakyat yang demikian itu sudah merupakan

legitimasi dari rakyat mengenai bentuk negara kesatuan.

B. Setelah Kemerdekaan Indonesia

Sejak Orde Baru yang sentralistik mengalami kegagalan, maka timbul

kekecewaan di masyarakat Indonesia yang sampai pada keinginan untuk menganti

bentuk negara kesatuan menjadi negara federasi. Hal ini juga menunjukkan

beberapa pendapat ahli hukum tentang fereralisme yang diinginkan oleh

masyarakat dan beberapa golongan. Dari sejumlah tokoh yang berpendapat

dengan bentuk negara federalisme, ada beberapa tokoh yang masih menginginkan

bentuk negara kesatuan oleh karenanya memberikan tanggapan terhadap negara

federasi tersebut. Yaitu :

1. Munir: federal tidak bisa diterapkan secara sembarangan. Federal menuntut

kesiapan dari calon pemakai ini, baik dari segi SDM (sumber daya

Page 10: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

masyarakat) dan SDA (Sumber Daya Alam) dimana rakyat tidak boleh

setengah-setengah dalam menjalankan konsep ini. Dan resiko yang

ditanggung adalah terjadinya ketimpangan kembali (Indikator, Nomor 31/

Tahun XIII /1999.

2. Yuszril Iza Mahendra: ketua Umum partai Bulan Bintang mengundang

ungkapan federalisme di Indonesia hanyalah sebagai luapan dari emosi anak

muda yang trauma terhadap zaman dulu dan konsep yang diajukan sangatlah

tidak sesuai dengan “ glambyar, mengambang” iya juga mengkhawatirkan

dengan adanya negara suku. (Indikator, Nomor 31 / Tahun XIII /1999.

3. Andi Alfian Malarangeng: lebih mengharapkan agar gagasan federalisme itu

lebih merupakan ledakan ketidakpuasan belaka dari pada sebuah keinginan

yang serius. Sebab, demikian Andi, kalau kita akan terus bergerak ke arah

perwujudan negara dengan bentuk federalisme, maka hanya ada satu jalan

yang kita lalui yaitu, membubarkan Negara Kesatuan Republik kesatuan

(NKRI)

4. Adnan Buyung Nasution: mengemukakan sekalipun sekarang kuat pikiran

generasi mudah untuk memilih bentuk negara federal, secara konfensional

saya bisa memahami dan juga mendukung. Akan tetapi, begitu bang buyung,

terus terang saya harus akui, dalam hati saya (jadi lebih bersifat emasional),

saya masih komeddet kepada negara kesatuan.

Sedangkan beberapa kalangan yang mempunyai pandangan bahwa negara

federasi perlu dan pantas untuk diterapkan dinegara Indonesia antara lain:

1. Amien Rais: gagasan dirubahnya bentuk negara kesatuan menjadi negara

federasi ini didasari atas kekhawatiran akan adanya disintekgrasi setelah Orde

Baru yang sentralistik diungkapkan oleh Ketua PAN pada saat kampaye.

2. YB. Mangunwijaya (Romo Mangun) dalam7 tataran politik kebudayaan

menggambarkan bahwa Indonesia8 terdapat tipe manusia, ada yang sudah

mencapai manusia internasional, beberapa telah mencapai manusia Indonesia,

namun tersebut adalah manusia daerahnya masing-masing.

7 Wijaya, Mangun, dalam Burung-burung Rantau , penerbit PT Gramedia Jakarta 1990.8 Bahkan Nasution, A.B dalam bukunya "Menuju Indonesia Serikat, Ia begitu optmis

bahwa federalisme harus digarap secara serius, paling tidak sebelum usia Republik ini menginjak satu abjad. Cita-cita pembukaan UUD 1945 bisa terwujud dengan menggunakan konsep ini merupakan cita-cita founding father kita"

Page 11: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

3. Dr. Ivan H. Hadar. Secara singkat dan padat, federalisme diharapkan mampu

melaksanakan fungsi berikut. Di satu sisi, pemberian otonomi kepada daerah

hendaknya tidak mengarah pada federalisme, dan hendaknya tetap meminjam

tegaknya negara kesatuan. Demikian kesatuan yang disampaikan oleh fraksi-

fraksi di DPR dalam pemandangan umum terhadap rancangan Undang-

Undang (RUU) tentang Pemerinbtahan Daerah (Pemda) yang disampaikan

dalam Rapat Paripurna DPR baru-baru ini, (Kompas 22 Februari 1999).

4. Harum Al Rasyid: kalau negara kesatuan yang didesentrasisasikan tidak

memberikan kepuasan bagi daerah yang akan datang maka tuntutan agar

negara kesatuan diubah menjadi negara Serikat akan marak pada abad 21.

5. Ichlalsul: pada fereralisme (untuk menjadi negara federal) banyak didukung

mahasiswa, karena dengan itulah satu-satunya agar ABRI (baca: TNI) tidak

dapat masuk ke bawah, mereka hanya ada diatas senada dengan berbagai

keberatan tentang kemungkinan negera federal di Indonesia saaat ini.

6. Yuszrill Ihza Mahendra: juga tidak begitu meyakini bahwa konsep negara

federal akan menjadi obat mujarab dalam menghadapi masalah sekarang.

Diantara para pakar yang menginginkan bahwa Indonesia tetap terbentuk

kesatuan Munir (praktisi) dan Yuszill Ihsa Mahendra (Pakar Hukum Tata

Negara). Dilihat pendapat ketiga pakar tersebut, secara istilah dalam menyebutkan

bentuk negara federal lebih tepat, namun Andi Malaranggeng seperti dikutip oleh

Adnan Buyung Nasution istilah federalisme sebagai sebuah paham dicampur

adukkan dengan federalisme dengan bentuk negara sebagai dimaksud (federal).

Beberapa alasan tentang dipilihnya bentuk negara kesatuan oleh para pakar

dapat disimpulkan :

1. Bentuk negara federal menuntut kesiapan calon pemakai baik dari segi SDM

dan SDA. Jadi bentuk negara federal akan diterapkan di Indonesia tentunya

banyak kendala yang akan dihadapi karena SDM dan SDA di beberapa SDA

tidak sama.

2. Rakyat tidak boleh setengah-setengah memahami konsep ini serhingga tidak

terjadi lagi kesetimpangan.

3. Undang undang tentang Pemerintah Daerah UU No 22 merupakan jawaban

atas perdebatan antara keinginan menjadi negara federasi dan negara

Page 12: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

keasatuan, dimana dalam Pasal 7 (1) UU No 22 Tahun 1999: “Kewenangan

Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali

kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,

peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

4. Pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tetap menyebutkan

kewenangan Pemerintah, tetapi lebih halus untuk menunjukan sesungguhnya

yang mempunyai kewenangan itu adalah pemerintah pusat, kalau pun daerah

mempunyai kewenangan hal tersebut dikarenakan penyerahan dari

Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah. Sesuai dengan pemencaran

wewenang pada negara kesatuan, dari pemerintah pusat keapada daerah.

Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini

ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan

pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas

otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi

urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Politik

luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; moneter fiskal dan agama

5. Sedangkan dalam UU No 23 Tahun 2014, nuansa sebagai negara kesatuan

terasa lebih kental dengan rumusan kewenangan pemerintah dan pemerintah

daerah. Pengaturan mengenai kewenangan pemerintah, dan kewenangan

pemerintah daerah diatur di Pasal 9 (1) Urusan Pemerintahan terdiri atas

urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan

pemerintahan umum. (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya

menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. (3) Urusan pemerintahan konkuren

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang

dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah

kabupaten/kota. (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke

Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. (5) Urusan pemerintahan

umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan

Page 13: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Urusan

pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi:

a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan

fiskal nasional; dan f. agama. (2) Dalam menyelenggarakan urusan

pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah

Pusat: a. melaksanakan sendiri; atau b. melimpahkan wewenang kepada

Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah

Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.

C. Negara Kesatuan dengan Desentralisasi Asismetris

Pasca runtuhnya rezim absolutisme di negara negara kawasan Eropa Barat

pada akhir abad ke 18, mempunyai makna yang sangat berarti bagi Negara-negara

yang muncul kemudian. Negara negara membangun misi untuk melindungan,

memberikan rasa aman, mensejahterakan, dan mencerdaskan kehiduapan

warganya. Demikian halnya yang menjadi tujuan negara Indonesia: yaitu

melindungi warga negara, wilayah negara, serta memajukan kesejahteraan umum

(Alenia ke IV, Pembukaan UUD 1945).

Berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan Negara, ada beberapa

alternatif pilihan untuk diterapkan, yaitu federasi, konfederasi, sentralisasi,

desensentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan. Merujuk pada Pasal 18 UUD

1945 yang menyatakan bahwa : Pembagian daerah Indonesia atas dasar dan

daerah kecil dengan bentuk susunan pemerintahnnya ditetapkan dengan undang-

undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam

sisitem pemerintah negara , dan hak hak asal-usul dalam daerah yang bersifat

istimewa. Pasal tersebut menegaskan bahwa sejak awal para pendiri negara

Indonesia berpendirian bahwa negara ini akan dikelola dengan cara

didesentralisasikan. Pilihan pada politik desentralisasi, kemudian dapat dilacak

pada kebijakan otonomi daerah yang telah disusun dalam berbagai peraturan

perundang-undangan, diawali dengan Undang-Undang No 1 tahun 1945 sampai

dengan UU No 32 tahun 2004. 9

9 Selengkapnya ada sembilan Undang-Undang, yaitu : UU No 1 tahun 1945, UU No 22 tahun 1948, UU No 1 tahun 1957, PP No 6 tahun 1959, Penetapan Presiden No 5 tahun 1960, UU no 18 tahun 1965, UU no 5 tahun 1974, UU No 22 tahun 1999, dan UU No 32 tahun 2004.

Page 14: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

Desentralisasi mempunyai makna adanya penyerahan kekuasaan dari

pemerintah pusat kepada daerah. Dapat diartikan, bahwa desentralisasi merupakan

upaya penyelenggarakan pemerintah yang didelegasikan atau dilimpahkan kepada

pemerintah daerah. Di dunia ini dalam praktek desentralisasi, terdapat

desentralisasi yang dilakasanakan secara “khusus”. Misalnya di negara Spanyol

terhadap Catalonia, Valencia, Kanada kepada Qubec, China pada Hongkong,

Philipina pada Mindannau, dan lain lainnya. Demikian halnya dengan negara

Indoneasia. Desentralisasi khusus di Indonesia dapat dilihat pada desentralisasi

secara khusus pada empat provinsi yaitu; Daerah Khusus Ibukota Jakarta , Daerah

Istimewa Yogyakarta, Nangroe Aceh Darussalam dan Papua. Penyelenggaraan

desentralisasi khusus ini kemudian dikenal dengan istilah Otonomi Khusus

(Otsus). Dengan adanya Otsus ini menunjukan bahwa, pemerintahan Daerah di

Indonesia diselenggarakan dengan dua cara, yang pertama adalah desentralisasi

yang berlaku secara umum, dan desentralisasi secara khusus. Adanya pola

pengaturan desentralissai yang tidak sama ini dalam ilmu politik, atau ilmu

pemerintahan disebut asymetrical decentralization.

Otonomi Khusus yang Berbeda

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa di negara Indonesia telah

diselenggarakan otonomi khusus terhadap empat provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam, Daerah Khusus Ibukota, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Papua.

Namun otonomi khusus yang diberlakukan terhadap empat provinsi ini

merupakan otonomi khusus yang berbeda antara provinsi satu dan lainnya. Satu

satunya yang menunjukan kesamaan pemberian otonomi khusus pada empat

provinsi itu, adalah dalam kerangka pendekatan historis. Masing masing provinsi

mempunyai sejarah yang berbeda, masing provinsi mendapatkan dan atau

meminta sifat kekhususan yang tidak sama.

Mengapa Otonomi Khusus?. ini merupakan pertanyaan yang jawabannya

dapat dilihat dengan melacak pemberian otonomi khusus pada masing masing

provinsi di empat provinsi tersebut. Secara ringkas diuraikan di sini mengapa ada

otonomi khusus kepada provinsi NAD dan Papua.

Page 15: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

Latar belakang dan Regulasi Otonomi Khusus NAD

Ada beberapa regulasi yang saling kait mengkait yang menjadi latar

belakang adanya otonomi khusus di NAD, sekaligus sebagai jawaban atas

masalah yang terjadi di wilayah Aceh sehingga sampai pada akhirnya NAD

menjadi provinsi dengan otonomi khusus yang saat ini kita kenal. Dapat

ditelusuri, dari kebijakan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti UU

No. 5 tahun 1950 yang menetapkan Provinsi Aceh menjadi satu Karisidenan yang

merupakan bagian wilayah dari Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan ini menjadi

sebab terganggunya stabilitas keamanan, ketertiban dan keamanan rakyat. Agar

dapat memenuhi apa yang menjadi keingan msyarakat Aceh sekaligus meredakan

gangguan keamanan dan ketertiban , maka status Aceh dikembalikan menjadi

Provinsi berdasar pada UU No 24 tahun 1956. Kemudian Aceh mendapatkan

status Istimewa setelah ditetapkannya Keputusan Perdana Menteri Republik

Indonesia No 1 /1959 . Status Istimewa ini karena Aceh memperoleh otonomi

yang luas di bidang agama, adat dan pendidikan. Namun sayangnya, pemberian

otonomi khusus ini pada masa Orde Baru berkuasa tidak dapat dijalankan

sebagaimana mestinya. Pemerintah Orde Baru berdasar pada UU No 5 tahun 1974

tentang Pokok Pokok Pemerintahan justru menyelenggarakan pemerintahan yang

sentralistis, yang sekaligus mengambil sumber daya alam untuk kepentingan

pemerintah pusat. Inilah yang kemudian memunculkan bibit-bibit kemarahan dan

perlawanan masyarakat Aceh, yang dijawab oleh pemerintah pusat dengan cara-

cara militer.

Setelah Rezim Orde Baru Runtuh, ada upaya untuk “menentramkan”

masyarakat Aceh dengan berbagai Regulasi. Pada Masa BJ Habibie dimunculkan

UU No 44 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah

Istimewa Aceh. Kemudian Pada Masa Megawati berkuasa diterbitkan UU No 18

tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi NAD. Setelah melalui

berbagai perundingan dan ditandatanganinya MoU antara Pemerintah RI dan

GAM pada tanggal 15 Agustus 2005., yang pada intinya merupakan kesepahaman

mengenai kedudukan Aceh sebagai daerah istimewa, yang dilanjuti dengan

diterbitkannya UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dua undang-

undang tentang otonomi khusus Aceh , yaitu UU No 18 tahun 2001 dan UU No

Page 16: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

11 tahun 2006, pada prinsipnya tetap diselenggarakan dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasar UU No 11 tahun 2006

kekhususan NAD menjadi sangat menonjol di banding dengan Provisni lain,

meskipun sama sama berstatus sebagai Provinsi dengan otonomi khusus.

Kekhususan NAD, antara lain:

Istilah yang digunakan di NAD Istilah yang digunakan dalam

Provinsi lain

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Aceh

Dewan Perwakilan Daerah Provinsi

Komisi Independen Pemilihan Komisi Pemilihan Umum Daerah

Qanun Peraturan Daerah

Anggaran Pendapatan dan Belanja

Aceh

Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah

Latar Belakang dan Regulasi Papua

Papua, merupakan Provinsi yang menjadi bagian dari Indonesia tidak

bersamaan dengan Daerah yang lain. Daerah yang lain secara de facto telah

menjadi wilayah Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945 atau secara

Yuridis sejak tanggal 27 Desember 1949 melalui perundingan Konferensi Meja

Bundar ketika pemerintah Belanda secara Resmi melepaskan daerah jajahannya

kepada Pemerintah Republik Indoneasia, kecuali New Gunea Barat atau Irian

Jaya, yang kini bernama Papua. Papua menjadi bagian dari wilayah Indonesia

setelah melalui PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang hasilnya secara

aklamasi memutuskan untuk bergabung dengan Republik Indonesia pada tanggal

15 Agustus 1969, dan secara resmi sejak tanggal 19 November 1969 menjadi

provinsi ke 27, setelah hasil PEPERA diterima oleh Sidang UMUM PBB. Pepera

yang diselenggarakan pada tanggal 15 Agustus 1969 tersebut disinyalir menjadi

sumber yang mendukung terjadinya konflik di Papua, selain Kontrak Karya yang

dilakukan oleh Pemerintah dengan PT Freeport pada tahun 1967 yang hingga kini

konflik tersebut belum juga dapat dituntaskan.

Di Era orde Baru, pendekatan untuk menyelesaikan konflik di Papua

dilakukan dengan cara cara sentralistik dan represif dengan menjadikan Papua

Page 17: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

sebagai Daerah Operasi Militer, dikarenakan menguatnya OPM (Organisasi Papua

Merdeka).

Konflik di Papua belum juga usai, meski setelah runtuhnya Orde Baru

pemerintah Pusat menggunakan pendekatan yang lebih akomodatif. Misalnya

Presiden Abdurrahman Wahid, pada tanggal 1 Januari 2000 telah meminta maaf

kepada rakyat Papua atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Tentara pada

masa lampau. Adanya perubahan nama dari Irian Jaya menjadi Papua berdasar

pada Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya No 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus

2000 tentang pengembalian nama Irian Jaya Menjadi Papua. Hal ini menjadi alat

pendorong atas perlakuan khusus Papua sebagai daerah Otonom. Bahkan pada

masa Gus Dur Berkuasa Bendera Bintang Kejora boleh dikibarkan disamping

Bendera Merah Putih. Namun pada masa Megawati Berkuasa terdapat larangan

untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora. Di masa ini konflik kembali

meruncing, bahkan menjurus pada kekerasan.

Ada beberapa regulasi yang dapat diruntut untuk menunjukan arah bahwa

di Papua akan diberlakukan pemerintahan daerah dengan otonomi khusus. Di

antara regulasi itu, misalnya UU No 45 tahun 199910. Tentang pembentukan

Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat Kabupaten Pinai, Kabupaten Mimika,

kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Dan Keputusan Presiden No. 327 /M

tentang pengangkatan Gubernur Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Timur. Namun

UU ini mendapat penolakan yang besar. Kemudian pemerintah menunda

pelaksanaan UU dan Kepres tersebut. Setelah melalui proses yang cukup panjang

akhirnya pada tanggal 21 November 2011 disyahkan UU No 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU ini merupakan regulasi jalan

tengah, agar tuntutan rakyat Papua yang ingin merdeka dengan pemerintah RI

yang berkeinginan mempertahankan keutuhan NKRI. UU ini memuat agenda

yaitu membangun masyarakat Indonesia yang adil makmur, sejatera berdasar

Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945.

Keberadaan UU No 2 tahun 2001 ini, tetap menegaskan bahwa pemberian

otonomi khusus bagi Provinsi Papua tetap berada dalam koridor dalam rangka

negara kesatuan Republik Indonesia. Dimana Otonomi Khusus adalah

10 UU ini telah oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, pada tanggal 11 November 2004.

Page 18: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi dan hak–hak dasar masyarakat Papua. Hal ini

sesungguhnya dapat ditanyakan dimana letak kekhususannya dibanding dengan

otonomi “biasa” yang dimuat dalam pasal 2 ayat (3) UU No 32 tahun 2004 yang

menyebutkan: “Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas luasnya, kecuali

urusan yang menjadi urusan pemerintah pusat, dengan tujuan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, layanan umum, dan daya saing daerah.

Beberapa Kekhususan Papua

Istilah di Papua Istilah di daerah Otonomi lain

Dewan Perwakilan Rakyat Papua Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi

Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah

Distrik Kecamatan

Kampung Desa/ Kelurahan

Selain itu, terdapat kekhusus lembaga dan Pranata, serta keuangan yang sangat

berbeda dengan daerah otonomi lainnya.

Kesimpulan

Pemberian otonomi Khusus tidak berorientasi kepada kepentingan rakyat

setempat, tetapi justru melihat seberapa besar tuntutan perlawanan daerah

setempat untuk memerdekakan diri atau melepaskan diri dari Indonesia. Sehingga

Otonomi khusus diberikan hanya “sekedar” mempertahankan keutuhan wilayah

NKRI. Pantas dipertanyakan, apakah di dalam UU No 32 tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah, ada pasal, atau ayat yang dapat dijadikan payung hukum

terhadap eksistensi “otonomi khusus itu?” Apakah Otonomi khusus

meningkatkan kesejahteraan warganya?

Akhirnya mesti didesain ulang , bagaimana otonomi yang dapat dilakukan

di NKRI yang daerahnya beragam, wilayah yang sangat luas ini. Merupakan suatu

kemustahilan jika menerapankan otonomi yang seragam di berbagai wilayah dan

atau daerah NKRI ini. Oleh sebab itu perlu digagas disain otonomi yang

menyesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Sehingga kelak akan ada daerah

Page 19: Negara Kesatauan, Gagasan Founding Fathers dan Dinamika

dengan status otonomi yang berbeda, sebagai hasil kesepakatan antara pemerintah

pusat dan daerah. Secara demikian, maka Otonomi yang dijalankan tidak akan

menimbulkan kecemburuan bagi daerah lain, sekaligus tidak memunculkan

keinginan untuk melepaskan diri dari bagian NKR. Pada ujungnya keutuhan

NKRI akan terjaga.

D. PENUTUP

Dinamika tentang perdebatan bentuk negara kesatuan terjadi tidak hanya

pada saat menjelang penyusunan konstitusim tetapi di era menjelang jatuhnya

orde Baru pun masalah bentuk negara menjadi topik yang cukup hangat waktu

itu. Negara kesatuan yang pada masa Orde Baru diselenggarakan secara seragam,

kini penyelenggaraan negara kesatuan sangat beragam, dengan model

desentralisasi asimetris. Diskursus tentang bentuk negara akan terus terjadi secara

dinamis, mengingat negara itu sendiri terus berproses.

Daftar Rujukan

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Penerbit

Jajasan Prapantja, Jakarta, 1959.

Wijaya, Mangun. Dalam Burung-burung Rantau , penerbit PT Gramedia Jakarta

1990.