naskah proklamasi 17 agustus 1945

18
Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945: Pengkhianatan Pertama terhadap Piagam Jakarta? Kapankah Piagam Jakarta pertama kali dianulir? Hampir setiap orang, bahkan para pakar sejarah, menunjuk tanggal 18 Agustus 1945. Yakni saat Bung Hatta di pagi hari menjelang dibukanya rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), melobi Ki Bagus Hadikusumo, A Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr Teuku Hasan untuk bersedia mengganti kalimat ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam rancangan UUD dengan kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Alasannya, demi persatuan bangsa. Karena menurut pengakuan Hatta, sore hari sebelumnya ia kedatangan seorang perwira Angkatan Laut (AL) Jepang yang memberitahukan, wakil-wakil Kristen di daerah yang dikuasainya sangat keberatan dengan kalimat tersebut. Jika kalimat itu tetap dimasukkan, katanya, mereka lebih suka berada di luar Republik Indonesia. Atas desakan demikian, dengan sangat berat hati para tokoh Islam membolehkan penggantian itu. Peristiwa ini menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam di kalangan umat Islam, karena upaya kompromi yang dicapai dengan susah payah itu dipotong oleh kalangan nasionalis sekuler persis di `tikungan terakhir’ menjelang pengesahan UUD. Terlebih lagi prolognya masih menyimpan misteri besar. Yakni tentang kebenaran info dari perwira AL Jepang itu. Apakah benar ada keberatan itu, apakah itu bukan sekadar berita bohong yang disampaikan perwira tersebut? Kalau benar ada, siapa saja tokoh Protestan dan Katolik yang menyampaikan resolusi itu? Sewajarnya Hatta diberitahu tentang identitas tokoh-tokoh itu, sehingga Hatta bisa melakukan tabayun (check and recheck) kepada tokoh-tokoh

Upload: feriahmadi

Post on 23-Jun-2015

3.077 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

Page 1: Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945

Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945: Pengkhianatan Pertama terhadap Piagam Jakarta?

Kapankah Piagam Jakarta pertama kali dianulir? Hampir setiap orang, bahkan para pakar sejarah, menunjuk tanggal 18 Agustus 1945. Yakni saat Bung Hatta di pagi hari menjelang dibukanya rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), melobi Ki Bagus Hadikusumo, A Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr Teuku Hasan untuk bersedia mengganti kalimat ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam rancangan UUD dengan kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Alasannya, demi persatuan bangsa. Karena menurut pengakuan Hatta, sore hari sebelumnya ia kedatangan seorang perwira Angkatan Laut (AL) Jepang yang memberitahukan, wakil-wakil Kristen di daerah yang dikuasainya sangat keberatan dengan kalimat tersebut. Jika kalimat itu tetap dimasukkan, katanya, mereka lebih suka berada di luar Republik Indonesia. Atas desakan demikian, dengan sangat berat hati para tokoh Islam membolehkan penggantian itu.

Peristiwa ini menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam di kalangan umat Islam, karena upaya kompromi yang dicapai dengan susah payah itu dipotong oleh kalangan nasionalis sekuler persis di `tikungan terakhir’ menjelang pengesahan UUD.

Terlebih lagi prolognya masih menyimpan misteri besar. Yakni tentang kebenaran info dari perwira AL Jepang itu. Apakah benar ada keberatan itu, apakah itu bukan sekadar berita bohong yang disampaikan perwira tersebut?

Kalau benar ada, siapa saja tokoh Protestan dan Katolik yang menyampaikan resolusi itu? Sewajarnya Hatta diberitahu tentang identitas tokoh-tokoh itu, sehingga Hatta bisa melakukan tabayun (check and recheck) kepada tokoh-tokoh Kristen itu dan bisa mempertimbangkan representativitas mereka.

Tetapi itu tidak dilakukan. Sesuatu yang sangat aneh itu bisa terjadi pada Bung Hatta untuk suatu peristiwa yang sangat penting. Padahal tokoh nasional ini dikenal sangat teliti dan hati-hati.

Sayangnya lagi, kelima tokoh Islam itu, nampaknya juga lupa untuk melakukan tabayun terhadap info yang mereka terima dari Hatta. Padahal upaya itu bisa mereka lakukan, meski belakangan Hatta mengaku lupa nama perwira AL itu. Yakni dengan menelusuri proses bertemunya Hatta dengan perwira AL itu.

Seperti ditulis Hatta sendiri dalam otobiografinya Memoir Mohammad Hatta (terbitan Tintamas, Jakarta, 1979), sebelum menerima perwira AL itu, Hatta menerima telepon dari seorang asisten Laksamana Maeda, bernama Nishijama. Ia menanyakan kesediaan Hatta menerima seorang perwira AL.

Page 2: Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945

Setelah Hatta mempersilakan, perwira AL itu datang ditemani Nishijama yang menjadi penerjemah mereka berdua. Artinya, lewat Nishijama ini sebenarnya bisa ditelusuri kebenaran informasi itu sehingga tidak perlu terjadi langkah tergesa-gesa itu.

Pengkhianatan Pertama

Yang menarik, ternyata peristiwa 18 Agustus itu bukan saat pertama sabotase terhadap Piagam Jakarta (PJ). Di balik peristiwa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 pun tersimpan indikasi serupa, yang jarang disadari oleh banyak sejarawan. Sejauh penelusuran Sahid, di antara pengamat sejarah politik Islam Indonesia baru hanya Abdul Qadir Djaelani yang menyinggung indikasi ini dalam bukunya Peta Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia (1996).

Seperti diketahui, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dibacakan Soekarno itu hanya berupa naskah singkat yang terkenal itu. Padahal, seperti diakui oleh Mohammad Hatta dalam memoirnya, sesuai rencana yang disepakati dalam rapat PPKI, seharusnya pernyataan yang dibacakan pada saat proklamasi itu adalah naskah PJ. Tetapi pada malam 16 Agustus 1945, di rumah Laksama Maeda jalan Imam Bonjol No 1 (dahulu Myako Dori), Soekarno, Hatta, bersama-sama dengan Subardjo, Soekarni dan Sayuti Melik membuat aksi dadakan, membuat teks ringkas proklamasi kemerdekaan yang akan dibacakan keesokan paginya. Apa alasan pembuatan naskah ringkas itu?

Sederhana sekali dan terasa naif. Dalam memoir Hatta (halaman 454) tertulis, “Tidak seorang di antara kami yang membawa dalam sakunya teks proklamasi, yang dibuat pada 22 Juni 1945, yang sekarang disebut PJ.”

Masih menurut Hatta, pada malam itu seluruh anggota PPKI, pemimpin-pemimpin pemuda, beberapa orang pemimpin pergerakan, dan para anggota Cuo Sangi In sudah hadir di rumah Maeda. “Semuanya ada kira-kira 40 atau 50 orang-orang terkemuka. Di jalan banyak pemuda yang menonton atau menunggu hasil pembicaraan.”

Demikian banyak tokoh yang hadir untuk menanti proses proklamasi, dan para anggota PPKI tahu mereka diundang ke rumah Maeda untuk mempersiapkan tahap akhir persiapan kemerdekaan. Maka masuk akalkah tidak seorang pun di antara mereka yang membawa naskah PJ?

Atau andaikan benar begitu, bukankah proklamasi baru dilaksanakan esok harinya, 17 Agustus 1945 jam 10 pagi di rumah Soekarno di Jl Pegangsaan Timur 56. Berarti tinggal membaca naskah PJ yang ada di rumah Soekarno dan para anggota PPKI lainnya punya kesempatan membawa naskah PJ yang dimiliki masing-masing, andaikan di rumah Soekarno tak tersedia.

Dan andaikan proklamasi harus dilakukan pada malam itu juga di rumah Maeda, Hatta tinggal pulang sebentar ke rumahnya di Jl Syowa Dori (kini Jalan Diponegoro) untuk mengambil naskah PJ. Jarak antara rumah Maeda dengan rumah Hatta hanya sekitar 1 km. Dengan bermobil di malam hari hanya butuh waktu sekitar 10 menit. Kalau

Page 3: Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945

mereka beriktikad baik untuk taat asas pada PJ, kenapa hal itu tidak dilakukan? Tentu ada sesuatu yang tak beres.

Menurut AQ Djaelani, dalam peristiwa tersebut PJ sengaja disingkirkan oleh kalangan nasionalis sekuler agar tidak jadi dibacakan sebagai naskah proklamasi kemerdekaan. “Alasannya sangat strategis. Sebab jika Piagam Jakarta dijadikan teks proklamasi, sesuai keputusan pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, maka secara historis yuridis negara Indonesia merdeka terikat dengan Piagam Jakarta,” tulis anggota DPR dari F-PBB ini.

Jadi, dalam tempo 24 jam saja, telah terjadi dua kali pengkhianatan terhadap PJ. Ironisnya, itu dilakukan oleh para bapak dan guru bangsa. Padahal kata pepatah, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. (shw, amz)

Sumber Suarah Hidayatullah September 2000

Periode menjelang Kemerdekaan RI

Pada 6 Agustus 1945, 2 bom atom dijatuhkan ke dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat. Ini menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

7 Agustus - BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Sementara itu, di Indonesia, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio pada tanggal 10 Agustus 1945, bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air pada tanggal 14 Agustus 1945, Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap.

15 Agustus - Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda.

Page 4: Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945 mereka menculik Soekarno dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Jenderal Moichiro Yamamoto dan bermalam di kediaman Laksamana Muda Maeda Tadashi. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.

Mengetahui bahwa proklamasi tanpa pertumbahan darah telah tidak mungkin lagi, Soekarno, Hatta dan anggota PPKI lainnya malam itu juga rapat dan menyiapkan teks Proklamasi yang kemudian dibacakan pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.

Tentara Pembela Tanah Air, kelompok muda radikal, dan rakyat Jakarta mengorganisasi pertahanan di kediaman Soekarno. Selebaran kemudian dibagi-bagikan berisi tentang pengumuman proklamasi kemerdekaan. Adam Malik juga mengirim pesan singkat pengumuman Proklamasi ke luar negeri.

Page 5: Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945

Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Maeda Tadashi dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut.

Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu.

Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.

Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.

Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[2] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).

17 AGUSTUS 1945Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau

17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi

Page 6: Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945

oleh Drs. Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.

Latar Belakang

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 14 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan

Page 7: Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945

mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Peristiwa Rengasdengklok

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.

Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah

Page 8: Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945

masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen NasionalPerundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.

Page 9: Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945

Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

Isi Teks Poklamasi

Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakandengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05Atas nama bangsa Indonesia.Soekarno/Hatta

Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.

Naskah Otentik

Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.

Proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal² jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakandengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, 17-8-45Wakil2 bangsa Indonesia.

Peringatan 17 Agustus 1945

Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Mulai dari lomba panjat pinang, lomba makan kerupuk, sampai upacara militer di Istana Merdeka, seluruh bagian dari masyarakat ikut berpartisipasi dengan cara masing-masing.

Perlombaan yang seringkali menghiasi dan meramaikan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI diadakan di kampung-kampung/ pedesaan diikuti oleh warga setempat

Page 10: Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945

dan dikoordinir oleh pengurus kampung/ pemuda desa

* Panjat pinang* Balap bakiak* Tarik tambang* Sepeda lambat* Makan kerupuk* Balap karung* Perang bantal* Pemecahan balon* Pengambilan koin dalam terigu* Lari Kelereng

Peringatan Detik-detik Proklamasi

Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara. Peringatan ini biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih (Bendera Pusaka), pembacaan naskah Proklamasi, dll. Pada sore hari terdapat acara penurunan bendera Sang Saka Merah Putih. Diposkan oleh Cita Patsiana di 05.58 0 komentar

Page 11: Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945

Tafsir Teks Proklamasi 17 Agustus 1945

Sebagaimana diketahui teks proklamasi disusun di rumah Laksamana Maeda sekitar dini hari tanggal 17 Agustus 1945. Teks proklamasi ini disusun berdasarkan diskusi antara Sukarno, Hatta, Soebardjo, Maeda, Nishijima, Miyoshi dan Yoshizumi. Sebelumya Sukarno dan Hatta telah meyakinkan para pemuda bahwa tentara Jepang, khususnya Kaigun (Angkatan Laut Jepang), telah mendukung dan mengizinkan suatu deklarasi kemerdekaan yang “samar-samar”.

Sigetada Nishijima seorang yang periang, suaranya lantang, fasih berbahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda. Sebelum pendudukan Jepang, Nishijima tinggal di Jakarta, kemudian pindah ke Bandung sebagai pegawai di Toko Jepang, Chiyoda. Karena pergaulannya yang erat dengan para pemuda pejuang Indonesia menjelang pendudukan Jepang, pemerintah colonial Belanda menangkap Nishijima. Dia mendekam di kamp tahanan politik berpenghuni kira-kira 500 orang di Garut. Di antara tahanan itu ada Adam Malik, Asmara Hadi, S.K. Trimurti, dan lain-lain. Pada masa pendudukan Jepang, Nishijima adalah tangan kanan sekaligus penerjemah bagi Laksamana Tadashi Maeda.

Miyoshi adalah seorang yang mengenal Indonesia sejak lama. Ia menjadi pejabat konsulat di Den Haag tahun 1921-1925, kemudian di Surabaya tahun 1926-1932, lalu di Jakarta 1936-1939, menjadi anggota misi perdagangan Kobayashi tahun 1940 dan pada tahun 1941 ia pulang ke Tokyo dan kembali ke Indonesia dengan Angkatan Darat Jepang. Ia adalah kepercayaan Jenderal Nishimura dan karena kemahirannya berbahasa Indonesia, biasanya bertindak sebagai juru bahasa bagi pejabat tinggi Angkatan Darat.

Tomegoro Yoshizumi pernah menjadi wartawan dan pedagang sambilan di Indonesia sebelum perang. Pernah ditahan di Bangka pada akhir tahun 1941 karena kegiatan subversif, kemudian dibawa ke Australia oleh Belanda yang mundur dari Indonesia dan kemudian dipulangkan ke Jepang atas dasar pertukaran para tahanan. Ketika kembali ke Indonesia pada tahun 1944 ia bergabung dengan Hana, organisasi Intelejen Angkatan Laut Jepang dan bekerja sebagai intelejen politik dalam kantor Maeda. Yoshizumi adalah sahabat dari Nishijima

Kembali ke teks proklamasi yang susunannya sebagai berikut :

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

Atas nama bangsa Indonesia.

Page 12: Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945

Soekarno/Hatta

Ungkapan “pemindahan kekoeasaan” menurut Nishijima dirancang sebagai terjemahan kasar dari kata-kata “gyoseiken no iten” (pemindahan pengawasan administratif) ketimbang “shuken no joto” (penyerahan kedaulatan yang sah). Dengan demikian Miyoshi berhasil melaporkan bahwa tidak ada hal yang lain selain hanya pengawasan administratif yang dituntut oleh pemimpin Indonesia.

Padahal dalam ungkapan Indonesia yang lebih tersamar, “pemindahan kekoeasaan” dapat diartikan mencakup kekuasaan politik yang jauh lebih luas dan memang diartikan demikian.

Keinginan Jenderal Nishimura dan para nasionalis ’sepuh’ adalah tergambar dalam ungkapan “dengan tjara seksama”, atau dengan kata lain tanpa tindakan pemuda (yang pada waktu itu menginginkan pemberontakan)

Dan sudah jelas ungkapan “dalam tempo jang sesingkat-singkatnya” yaitu sebelum pendaratan-pendaratan panglima sekutu.

Setelah teks proklamasi disusun, kemudian teks itu dibawa ke para pemuda dan PPKI. Tanggapan PPKI terhadap teks proklamasi tersebut sangat memuaskan namun tidak demikian dengan pemuda. Chaerul Shaleh dan Sukarni memprotes ‘watak’ dari teks proklamasi, tetapi sekarang bukan mereka yang berhak menentukan apa-apa.

Permasalah berikutnya adalah ketika ada usulan untuk semua yang hadir (PPKI dan Pemuda) menandatangani teks tersebut, tetapi wakil-wakil pemuda menolak menandatangani teks tersebut bersama PPKI yang mereka anggap sebagai buatan Jepang dan Kenpeitai. Akhirnya Sukarni mengatakan, “Tidak baik (jika) kita semua yang menandatanganinya, cukuplah Sukarno-Hatta saja atas nama semua rakyat Indonesia”

Akhirnya rapat ditutup, Maeda kemudian turun dari kamarnya di tingkat atas dan memberi salam kepada semua yang hadir. Kemudian teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik.

Pustaka :

(1) Bung Hatta Menjawab. Mohammad Hatta. PT. Toko Gunung Agung. 2002(2) Revoloesi Pemoeda. Ben Anderson. Pustaka Sinar Harapan. 1988(3) http://id.wikipedia.org/wiki/Proklamasi_Kemerdekaan_Indonesia(4) http://www.forumbebas.net/thread-28778.html

Daftar Pustaka Lainnya: http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_%281942-1945%29http://www.hendria.com/2010/07/proklamasi-kemerdekaan-indonesia.htmlhttp://abahzacky.wordpress.com/2007/08/05/naskah-proklamasi-17-agustus-1945-pengkhianatan-pertama-terhadap-piagam-jakarta/

Page 13: Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia