naskah akademik · sistem penataan ruang (terutama undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang penataan...
TRANSCRIPT
1
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA JAYAPURA
TAHUN 2013-2033
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Wilayah kota pada hakekatnya merupakan pusat kegiatan ekonomi
yang dapat melayani wilayah kota itu sendiri maupun wilayah sekitarnya.
Untuk dapat mewujudkan efektifitas dan efisiensi pemanfaatan ruang
sebagai tempat berlangsungnya kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial
budaya, kota perlu dikelola secara optimal melalui suatu proses penataan
ruang. Sesuai Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang Pasal 11 ayat (2), pemerintah daerah kota memiliki wewenang dalam
pelaksanaan penataan ruang wilayah kota dan pengendalian pemanfaatan
ruang wilayah kota. Hal ini juga ditegaskan kembali dalam ketentuan Pasal
78 ayat (4) huruf c Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, yaitu semua peraturan daerah kabupaten/kota tentang
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota disusun atau disesuaikan
paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan.
Kegiatan RTRW Kota Jayapura merupakan kegiatan yang berupaya
memperbaiki dan melengkapi Rencana Tata Ruang, agar rencana dimaksud
dapat dijadikan pedoman/dasar dalam pemanfaatan ruang sekaligus
tujuan pemanfaatan ruang dapat diwujudkan. Oleh karena itu, perlu
segera disiapkan perangkat hukum baru dalam bentuk Peraturan Daerah
untuk mengatur upaya-upaya pencegahan dan pengendalian ruang di Kota
Jayapura.
Mengacu pada Pasal 7 ayat (1) huruf g Undang-undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan
Daerah (Perda) merupakan bagian integral dari keseluruhan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (8), Peraturan
2
Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan
persetujuan bersama Bupati/Walikota.
Sebagai produk hukum daerah, substansi Perda dilarang
bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi, dan peraturan daerah lain. Namun kenyataannya, masih
terdapat Perda yang belum mampu memfasilitasi proses pembangunan
demi kemajuan daerah. Perda tidak disusun atas dasar pemikiran yang
logis dan berdasarkan fakta yang ada dalam masyarakat, melainkan
cenderung hanya menyadur peraturan perundang-undangan
negara/daerah lain, atau sekedar mengkriminalisasi perilaku yang tidak
diinginkan, atau melakukan kompromi atas keinginan suatu kelompok
kepentingan yang dominan di masyarakat. Untuk membuat Perda
didasarkan pada pemahaman teori, metodologi, serta perencanaan adalah
melalui penyusunan Naskah Akademik.
Naskah Akademik merupakan naskah awal yang memuat gagasan-
gagasan pengaturan dan materi muatan perundang-undangan dan menjadi
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari penyusunan sebuah rancangan
produk Peraturan Daerah. Demikian halnya dengan rancangan Perda
tentang RTRW Kota Jayapura yang akan mengatur tentang
penyelenggaraan RTRW Kota Jayapura, juga membutuhkan penyusunan
Naskah Akademik, karena:
a. Naskah Akademik diperlukan agar peraturan perundang-undangan
yang dihasilkan akan sesuai dengan sistem hukum nasional dan
selaras dengan kebutuhan kehidupan masyarakat Kota Jayapura;
b. melalui Naskah Akademik dapat diketahui dengan pasti mengapa perlu
dibuat Perda RTRW Kota Jayapura;
c. melalui Naskah Akademis, para pengambil keputusan akan lebih
mudah melihat tingkat kebutuhan masyarakat akan sebuah peraturan;
dan
d. pembahasan Raperda RTRW menjadi lebih cepat dan mudah, karena di
dalamnya sudah dikaji mengenai gambaran umum materi dan ruang
lingkup Perda yang disusun.
3
Melalui penyusunan Naskah Akademik ini diharapkan Perda tentang
RTRW Kota Jayapura tidak hanya baik dari aspek normatifnya, melainkan
juga sejalan dengan situasi, kondisi, dan aspirasi masyarakat Kota
Jayapura.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Kota Jayapura sebagai Ibukota Provinsi Papua telah melakukan
penyusunan RTRW Kota Jayapura pada tahun 2007 dan telah diperdakan
pada tahun 2008. Selama jangka waktu perencanaan berjalan, terdapat
hal-hal yang menyebabkan perlunya sebuah RTRW memerlukan
peninjauan kembali diantaranya adalah:
1. perubahan kondisi-kondisi internal, seperti aspirasi dari fokus
pengembangan wilayah, perkembangan yang sangat pesat dari kawasan
atau sektor tertentu, serta perubahan wilayah administrasi;
2. perubahan faktor-faktor eksternal terhadap wilayah perencanaan,
seperti perubahan landasan hukum/peraturan dan/atau rujukan
sistem penataan ruang (terutama Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang yang disahkan setelah RTRW Kota Jayapura
Tahun 2007-2027 disusun), perubahan kebijaksanaan pemanfaatan
ruang, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta adanya
bencana alam yang cukup besar, sehingga mengubah struktur dan pola
ruang suatu wilayah;
3. kekurangtepatan pemanfaatan rencana dan lemahnya pengendalian
pemanfaatan rencana, sehingga terjadi penyimpangan, termasuk di
dalamnya adalah tidak diikutinya proses teknis dan prosedur
kelembangaan perencanaan tata ruang;
4. kebutuhan akan informasi aktual, substansial, dan menjadi arahan
pembangunan, baik sektoral maupun regional.
Adanya ketiga faktor di atas, dapat mempengaruhi RTRW Kota
Jayapura yang ada menjadi kurang relevan bagi acuan pemanfaatan ruang.
Perubahan dan pengaruhnya terhadap rencana tata ruang tidak selalu
sama. Oleh karena itu, diperlukan proses peninjauan kembali terhadap
RTRW yang ada (Perda No. 5 Tahun 2008 tentang RTRW Kota Jayapura).
4
Identifikasi masalah ini merupakan rumusan mengenai masalah
yang ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik, yaitu:
a. bagaimana penyelenggaraan RTRW Kota Jayapura, apa saja
permasalahan yang dihadapi dan upaya apa yang telah dilakukan
untuk mengatasinya, serta bagaimanakah perkembangan konsep, teori,
dan pemikiran mengenai pelaksanaan RTRW;
b. bagaimana pengaturan mengenai pengendalian ruang dan mengapa
diperlukan Rancangan Peraturan Daerah RTRW Kota Jayapura;
c. apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan
yuridis dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah mengenai
RTRW Kota Jayapura; dan
d. bagaimana ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah
pengaturan.
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
Tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
a. merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan
RTRW Kota Jayapura, serta cara-cara mengatasi permasalahan
tersebut;
b. merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum
penyelesaian atau solusi permasalahan dalam penyelenggaraan
pengendalian ruang;
c. merumuskan pertimbangan atau landasan fisologis, sosiologis, dan
yuridis dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang
RTRW Kota Jayapura; dan
d. merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan
Peraturan Daerah tentang RTRW Kota Jayapura.
Kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau
referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
tentang RTRW Kota Jayapura.
5
D. METODE PENELITIAN
Penyusunan Naskah Akademik untuk Rancangan Perda tentang
RTRW Kota Jayapura didasarkan pada hasil penelitian yang telah
dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis
normatif dan metode yuridis empiris.
1. Socio Legal Research atau Metode Yuridis Empiris
Melalui pendekatan ini, pengkajian hukum ditujukan terhadap dua
obyek, yaitu obyek legal yang berupa peraturan daerah dan/atau
kebijakan dan obyek realitas sosial yang berupa kebutuhan dan
aspirasi masyarakat akan peraturan daerah terkait dengan penetapan
RTRW Kota Jayapura. Data yang terkait dengan peraturan perundang-
undangan dan/atau kebijakan didapatkan melalui studi pustaka
terhadap:
a. peraturan perundang-undangan, baik ditingkat pusat maupun di
daerah di bidang kewenangan pemerintahan daerah, kelembagaan
perangkat daerah, penataan ruang, lingkungan hidup,
penyelenggaraan penataan ruang, serta peraturan perundang-
undangan relevan lainnya; dan
b. kebijakan yang berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang,
baik yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Provinsi Papua dan Pemerintah Kota Jayapura.
2. Metode Yuridis Normatif
Dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah, terutama data
sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan, dokumen
hukum lainnya, hasil penelitian, dan referensi lainnya. Metode ini
dilengkapi dengan wawancara, rapat dengar pendapat, dan diskusi
focus group discussion yang melibatkan berbagai stakeholder, baik yang
berasal dari pemerintah, dunia usaha, akademisi, LSM, pers, maupun
tokoh masyarakat dan masyarakat.
Dari metode tersebut dilakukan kajian dengan analisis dengan
menggunakan metode analisis kualitatif untuk ditarik simpulannya dan
dideskripsikan.
6
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sebagai
kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, merupakan
karunia Tuhan kepada bangsa Indonesia yang perlu disyukuri, dilindungi,
dan dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
makna yang terkandung dalam falsafah dan dasar negara Pancasila. Untuk
mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, Undang-Undang tentang
Penataan Ruang ini menyatakan bahwa negara menyelenggarakan
penataan ruang, yang pelaksanaan wewenangnya dilakukan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah dengan tetap menghormati hak yang
dimiliki oleh setiap orang.
Tata ruang mempunyai kaitan pengertian dengan kata spatial, artinya
segala sesuatu yang mempunyai kaitan dengan keruangan. Pandangan
para pakar wawasan pengertian tata ruang terkait dengan segala sesuatu
yang berada di dalam ruang sebagai wadah menyelenggarakan kehidupan.
a. Annos Raport menekankan tata ruang merupakan lingkungan fisik
dimana terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam obyek
dan manusia yang yang terpisah dalam ruang-ruang tertentu.
b. Pakar lain, Larry Witzling sudah lebih jauh memberikan arti tata ruang
sebagai sesuatu yang berupa hasil perencanaan fisik. Ia menekankan
bahwa di dalam tata ruang terdapat suatu distribusi dari tindakan
manusia dan kegiatan untuk mencapai tujuan sebagaimana yang
dirumuskan sebelumnya. Tata ruang dalam hal ini merupakan jabaran
dari suatu produk perencanaan fisik.
c. Dalam pandangan yang berbeda I Made Sandy mengatakan penataan
ruang baru bisa ada, setelah tanah peruntukan dan dikuasai oleh calon
yang akan menggunakan tanah itu untuk proyek. Jadi ruang sama
artinya dengan tanah. Dengan menganggap ruang sebagai genus dan
7
tanah sebagai species maka yang bisa ditata adalah “tanah” bukan
“ruang”.
d. Menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang,
tidak selalu berkonotasi sesuatu yang sudah berencana. Tata ruang
diartikan sebagai wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
yang direncanakan maupun tidak. Pengertian wujud struktural dan
pemanfaatan ruang ini menunjukan adanya hirarki dan keterkaitan
pemanfaatan ruang. Sedangkan rencana tata ruang itu sendiri
diartikan sebagai hasil perencanaan tata ruang, berupa strategi dan
arahan kebijaksanaan dan memperuntukan (alokasi) pemanfaatan
ruang yang secara struktural menggambarkan ikatan fungsi lokasi yang
terpadu bagi berbagai kegiatan.
Berdasarkan hal-hal di atas, menurut Prof. Djoko Sujarto ruang dalam
artian segala sesuatu yang berkaitan dengan wawasan ruang di bumi
(jagad raya) ini adalah semua bagian bumi yang dimulai dari pusat titik
bumi, yang mengandung berbagai potensi sumber daya alam, air, dan lain-
lain, permukaan bumi dengan berbagai cara pemanfaatan dan penggunaan
lahan, pemanfaatan kemampuan berproduksinya lahan, kemungkinan
pemanfaatan nilai strategis lahan dan air, serta pemanfaatannya serta
bagian di atas bumi, yaitu angkasa dengan berbagai potensi cara
pemanfaatannya dan masalahnya. Semua ini dalam upaya penataan ruang
(spatial planning) perlu diatur demi menjaga agar segala pemanfaatannya
dapat efisien dan efektif.
Selanjutnya Lichfield, Rapoport, dan Poteous mengemukakan bahwa
di dalam wujud tata ruang terdapat suatu tatanan sistemik yang terdiri
dari tiga unsur pokok, yaitu ruang atau lingkungan yang menjadi wadah,
dimana berbagai unsur kehidupan dengan kegiatannya berlangsung;
aktivitas fungsional yang menunjang kegiatan usaha dan kegiatan
manusia, serta kemudahan berinteraksi antara kegiatan yang satu dengan
yang lainnya secara internal maupun eksternal.
Pada masa lalu suatu produk perencanaan wilayah dan kota seakan-
akan hanya sekedar suatu peta dengan gambaran berbagai peruntukan
kegiatan fungsional wilayah atau kota yang direncanakan dikembangkan di
wilayah atau kota tersebut. Oleh karena itu, pada masa tersebut
perencanaan pada dasarnya lebih dilandaskan kepada pertimbangan
pertimbangan aspek fisik saja. Dengan demikian, maka peranan
8
kerekayasaan atau engineering sangat dipentingkan. Dapat dilihat
misalnya produk perencanaan, terutama perencanaan kota disusun hanya
mendasarkan kepada pertimbangan pengalokasian lahan (land allocation)
dengan prasarana penunjangnya (jalan dan utilitas umum, rancangan
kerekayasaan). Gagasan ini digambarkan di atas peta dengan berbagai
skala sesuai dengan kedalaman substansinya. Sedikit sekali didasarkan
kepada pertimbangan pertimbangan yang hakiki yang menyangkut aspek
perilaku kehidupan dan kegiatan usahanya. Jadi kegiatan kehidupan dan
kegiatan usaha justru harus merujuk kepada pengalokasian yang sudah
ditetapkan sebagai rencana induk kota yang telah disusun tersebut.
Pada kenyataannya apa yang direncanakan adalah untuk memenuhi
kegiatan kehidupan yang menyeluruh yang menyangkut kegiatan non fisik
saja serta yang tidak spasial. Perwujudan fisik dan spasial pada
hakekatnya merupakan manifestasi dari tuntutan kebutuhan kehidupan
yang menyeluruh tersebut. Perwujudan fisik seyogyanya merupakan
pernyataan dari kebutuhan masa yang akan datang yang seutuhnya.
Donald Foley mengembangkan suatu pola pikir yang mengkaitkan
antara tiga pertimbangan utama di dalam perencanaan fisik, yaitu adanya
pertimbangan normatif, pertimbangan fungsional, dan pertimbangan fisik.
Ketiga pertimbangan ini perwujudannya adalah berupa suatu wujud yang
bukan keruangan atau a-spasial dan yang bersifat keruangan atau spasial.
Secara diagramatik hubungan pertimbangan dan wujud fisik ini dapat
digambarkan sebagai berikut.
TABEL 1 HUBUNGAN PERTIMBANGAN DAN WUJUD FISIK
ASPEK
PERTIMBANGAN
PERWUJUDAN
A - SPASIAL SPASIAL
NORMATIF 1. Tata nilai
2. Pola Sosial Budaya 3. Adat Istiadat
4. Agama dan Kepercayaan
5. Peraturan Perundangan 6. Hubungan antara
kelompok atau individu
7. Tradisi
1. Persyaratan geografis
2. Persyaratan letak bangunan dan lingkungan
3. Pengelompokan etnik
4. Kebutuhan ruang sehubungan dengan tata
nilai dan budaya
5. Sifat ruang suatu kegiatan
FUNGSIONAL 1. Lingkup dan sifat
kegiatan fungsional
2. Esensi kegiatan fungsional bagi
kehidupan
3. Hubungan fungsional antar kelompok manusia
4. Kebutuhan dasar atas
suatu fungsi tertentu
1. Hubungan keruanga antar
fungsi (eksternal dan internal)
2. Pengelompokan fungsi fungsi kegiatan sesuai dengan
sifatnya
3. Karakteristik penempatan kegiatan fungsional
4. Fungsi fungsi ruang
9
ASPEK PERTIMBANGAN
PERWUJUDAN
A - SPASIAL SPASIAL
FISIK a. Kemampuan atau kualitas tanah dan ruangnberdasarkan sifat
fisik dasarnya
b. Hubungan antara kehidupan manusia
dengan sifat fisik dasar lingkungan
c. Karakteristik dasar alam (tanah, air, iklim)
d. Kebutuhan dasar atas lingkungan fisik biologis.
1. Penataan ruang makro 2. Jaringan sirkulasi (eksternal,
internal)
3. Modul ruang 4. Tata Lingkungan
5. Tata Letak
6. Tata Lansekap
Ketiga dasar pertimbangan ini merupakan suatu rangkaian yang
esensial di dalam perencanaan fisik. Suatu produk akhir dari suatu
perencanaan harus sesuai dengan norma-norma serta fungsi yang
diharapkan, sehingga dasar efisiensi dan keefektifan di dalam perencanaan
dapat dicapai. Di dalam proses pertimbangan perencanaan memang tidak
selalu bahwa secara ideal ketiga unsur pertimbangan dasar ini harus
dilakukan. Hal ini tergantung kepada kebutuhan perencanaan tersebut. Di
Indonesia pandangan tentang tata ruang ini juga telah menjadi dasar di
dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang. Pengertian dan wawasan tata
tata ruang ini telah mulai dikembangkan saat Indonesia menggagaskan
Undang-Undang Tata Ruang pada tahun 1981.
Di dalam gagasan ini dikemukakan bahwa penataan ruang
merupakan suatu proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, serta
pengendalian pemanfaatan ruang. Jadi penataan ruang merupakan
penataan bagian-bagian ruang yang disediakan untuk digunakan sebagai
tempat benda benda kegiatan dan perubahan. Dengan demikian, maka
dalam penataan ruang akan terkandung dua komponen yang membentuk
tata ruang, yaitu wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang.
Kalau yang ditata itu penggunaan ruang adalah permukaan bumi
berupa lahan, maka hasilnya dapat dikatakan sebagai tata guna lahan.
Kalau yang ditata itu penggunaan ruang yang menyangkut air, maka
hasilnya dapat dikatakan sebagai tata guna air. Kalau yang ditata itu
penggunaan ruang angkasa, maka hasilnya dapat disebut sebagai tata
guna udara atau angkasa. Kalau yang ditata itu penggunaan ruang yang
berisi daratan, air, dan sebagian angkasa, maka secara keseluruhan
disebut sebagai tata guna ruang atau tata ruang (spatial planning).
10
Seorang Geograf I Made Sandy dalam hubungan penataan ruang ini
mengemukakan bahwa penataan ruang baru bisa ada setelah tanah
diperuntukan untuk kegiatan atau kegiatan kegiatan kehidupan tertentu
dan dikuasai oleh calon yang akan menggunakan untuk kegiatan tersebut.
Jadi dalam hal ini ruang berarti tanah. Dengan anggapan bahwa ruang
sebagai genus dan tanah sebagai species, yang dapat ditata menurut I
Made Sandi bukanlah ruang, tetapi tanah di mana menata tanah berarti
menata ruang.
Pada Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang dikatakan tata ruang merupakan wujud struktural dan pola
pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak direncanakan.
Penataan ruang merupakan suatu proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana Tata
Ruang merupakan hasil perencanaan tata ruang. Batasan ini menyangkut
wilayah perkotaan maupun wilayah bukan perkotaan atau perdesaan.
Semakin luasnya pemaknaan, penerapan, dan ruang lingkup
persoalan yang berkaitan dengan perencanaan telah semakin memperluas
pengertian terhadap perencanaan atau planning. Di dalam
perkembangannya dari pandangan di negara yang telah sejak lama
memfungsikan perencanaan, bahkan keluasan arti ini menyangkut
berbagai hal yang berkaitan dengan perencanaan, seperti arti untuk plan;
planning; planner, yang masing-masing diartikan sebagai produk dari
proses perencanaan; proses kegiatan penyusunan rencana; dan subyek
perencana atau penyusun rencana (Prof. Djoko Sujarto). Tata Ruang
merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak (UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang). Penataan Ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan
penataan ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang sebagai suatu proses yang ketiganya tersebut merupakan satu
kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya
(UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Dalam penyusunan dan
penetapan rencana tata ruang, ditempuh langkah-langkah kegiatan:
1. menentukan arah pengembangan yang akan dicapai dilihat dari segi
ekonomi, sosial, budaya, daya dukung dan daya tampung lingkungan,
serta fungsi pertahanan keamanan;
11
2. mengidentifikasikan berbagai potensi dan masalah pembangunan
dalam suatu wilayah perencanaan;
3. perumusan perencanaan tata ruang; dan
4. penetapan rencana tata ruang.
Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program
pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, yang didasarkan atas rencana
tata ruang, diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu
yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Pengendalian pamanfaatan
ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban
terhadap ruang. Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang diselenggarakan
dalam bentuk pelaporan, pemantauan, dan evaluasi.
Penertiban pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang diselenggarakan dalam bentuk pengenaan sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian perencanaan
pada hakekatnya mengandung empat hal pokok sebagai ingre-dients, yaitu:
1. tujuan yang lebih baik dimasa yang akan datang;
2. adanya sumber daya (alam, manusia, modal, dan informasi);
3. adanya limitasi dan kendala (limitation and constraints); dan
4. efisiensi dan keefektifan.
Berdasarkan terminologi planologis, prinsip perencanaan tata ruang
menurut Prof. Djoko Sujarto antara lain:
1. suatu penentuan pilihan (setting up choices). Perencanaan terkait
dengan pengambilan keputusan untuk menetapkan pilihan. Dalam hal
ini maka proses pemilihan ini didasari oleh suatu pertimbangan untuk
memilih unsure-unsur yang akan dikembangkan dan tindakan mana
yang akan dipakai sebagai cara bertindak di dalam pembangunan;
2. suatu penetapan pengagihan sumber daya (resources allocation). Pada
dasarnya perencanaan merupakan suatu usaha untuk
mempertimbangkan secara rasional pengagihan sumber daya yang
potensial dan dimiliki termasuk sumber daya manusuia, sumber daya
alam, sumber daya modal untuk mencapai tujuan pembangunan
berdasarkan keterbatasan dan kendala sumber daya potensial tersebut
berdasarkan strategi yang akan menentuan urutan prioritas
pembangunan;
12
3. suatu penetapan dan usaha pencapaian sasaran dan tujuan
pembangunan (setting up goals and objectives), yaitu menetapkan
sasaran tujuan yang diperhitungkan sesuai dengan kuantitas usaha
pencapaian dan apa yang ingin dicapai dalam kurun waktu mendatang
tertentu. Seringkali terjadi bahwa sasaran dan tujuan pembangunan
yang ditetapkan akan berdeviasi di dalam kurun waktu pelaksanaan
pembangunan tersebut;
4. suatu mencapai keadaan yang baik masa mendatang yang di dalam
usaha merealisasikannya perlu mempertimbangkan dua hal pokok,
yaitu:
a. pertama, dapat membuat perkiraan yang baik dan menjabarkannya
dalam suatu penjadwalan yang berurutan (sequential) sesuai
dengan kebutuhan dan sumber daya yang mendukungnya; dan
b. kedua, pelaksanaan pentahapan untuk mencapai tujuan masa
mendatang disusun dalam urutan kegiatan yang logis, rasional, dan
tertata secara bertahap berurutan.
Dalam perkembangan selanjutnya planning atau perencanaan
kemudian dikaitkan dengan upaya merumuskan keinginan dan cita-cita
manusia dalam arti yang lebih luas. Perencanaan merupakan rumusan
keinginan dari kelompok manusia dalam mencapai keadaan yang lebih
baik. Dengan berbagai sifat yang ada pada manusia sebagai makhluk
dinamis, maka makna dan arti planning telah mengalami perkembangan.
Sekarang kalau berbicara planning atau perencanaan, maka selalu
terkandung pengertian adanya suatu rangkaian yang menerus secara
bersinambungan.
Ini tidak lain, karena planning merupakan suatu upaya merumuskan
keinginan dan cita-cita dimasa datang bagi manusia yang mempunyai ciri
dinamis tersebut yang akan menuntut sesuatu yang berkelanjutan.
Planning merupakan suatu hasil rangkaian kerja untuk merumuskan
sesuatu yang didasari oleh suatu pola tindakan yang definitif, yang
menurut pertimbangan yang sistematis akan dapat membawa keuntungan,
tetapi dengan anggapan bahwa akan ada tindakan-tindakan selanjutnya
yang akan merupakan rangkaian kegiatan sistematis lainnya. Jadi
tindakan yang dirumuskan semula masih bersifat terbuka bagi
kemungkinan adanya pilihan cara tindakan lain dan bahkan tindakan yang
13
telah dirumuskan semula itu masih mungkin disesuaikan apabila dianggap
kurang menguntungkan pada saat tertentu lainnya.
Perencanaan juga bagian dari pengambilan keputusan yang
bersangkut paut dengan masa depan (Tarigan, 2006:6). Pengambilan
keputusan di masa depan ini juga bertujuan untuk menyelesaikan
masalah, sehingga faktor-faktor yang harus diperhatikan menjadi lebih
banyak. Perencanaan tata ruang menurut Undang-undang No. 26 tahun
2007 dilakukan untuk menghasilkan:
a. rencana umum tata ruang, secara hirarki terdiri atas:
1. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
2. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi; dan
3. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, dan Kota.
b. rencana rinci tata ruang, secara hirarki terdiri atas:
1. Rencana Tata Ruang Pulau, atau kepulauan dan rencana tata ruang
kawasan strategis nasional;
2. Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi; dan
3. Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/kota dan rencana tata ruang
strategis kabupaten/kota dijadikan dasar bagi penyusunan
peraturan zonasi.
Rencana tata ruang harus dijabarkan secara jelas, sehingga mampu
mengarahkan pembangunan, menetapkan fungsi dan peran setiap
kawasan (bagian suatu ruang) dalam wilayah atau ruang secara
keseluruhan. Selain itu, rencana tata ruang harus dapat menjadi acuan
lokasi bagi program-program/proyek-proyek pembangunan. Oleh
karenanya, rencana tata ruang diharapkan dapat menjadi pedoman untuk
mengarahkan jenis lokasi investasi pada suatu kawasan.
Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan
harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang, sehingga
diharapkan:
a. dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya
guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan;
b. tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan
c. tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.
14
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik, daya dukung
dan daya tampung lingkungan, serta didukung oleh teknologi yang sesuai
akan meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
subsistem. Hal itu berarti akan dapat meningkatkan kualitas ruang yang
ada, karena pengelolaan subsistem yang satu berpengaruh pada subsistem
yang lain dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem wilayah ruang
nasional secara keseluruhan, pengaturan penataan ruang menuntut
dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utama. Hal itu
berarti perlu adanya suatu kebijakan nasional tentang penataan ruang
yang dapat memadukan berbagai kebijakan pemanfaatan ruang. Seiring
dengan maksud tersebut, pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan,
baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat, baik pada
tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, harus dilakukan sesuai
dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian,
pemanfaatan ruang oleh siapa pun tidak boleh bertentangan dengan
rencana tata ruang.
Penataan ruang juga erat kaitannya dengan pembangunan
berkelanjutan. Pemikiran ini muncul untuk menanggapi tantangan global
dibidang ekonomi, sosial, dan lingkungan, melalui pengembangan ketiga
komponen tersebut secara sinergi. Konsep ini memperhatikan kualitas
pertumbuhan, bukan hanya kuantitasnya saja. Dengan demikian, secara
singkat pembangunan berkelanjutan ini dapat diartikan sebagai upaya
menumbuhkan perekonomian dan pembangunan sosial tanpa mengganggu
kelangsungan lingkungan hidup yang sangat penting artinya bagi generasi
saat ini dan masa mendatang. Oleh karena itu, pembangunan
keberlanjutan menempatkan tiga pilar utama yang satu sama lainnya
saling terkait dan mendukung, yaitu 1) pertumbuhan ekonomi, 2)
pemerataan sosial, dan 3) pelestarian lingkungan hidup.
Dengan didasari oleh pendekatan eksternal, internal, dan
sustainability, maka diharapkan penataan ruang yang akan dilakukan
merupakan:
a. penataan ruang yang berdaya guna dan berhasil guna, artinya
penataan ruang yang mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan
potensi dan fungsi ruang;
b. penataan ruang yang terpadu, artinya penataan ruang yang dianalisis
dan dirumuskan menjadi satu kesatuan dari berbagai kegiatan
15
pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun
masyarakat; dan
c. penataan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang, artinya penataan
ruang yang dapat menjamin terwujudnya keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan struktur dan pola pemanfaatan ruang bagi persebaran
penduduk antarwilayah, pertumbuhan dan perkembangan antarsektor,
antardaerah, dan antara sektor dengan daerah.
Penataan ruang yang berkelanjutan, artinya penataan ruang yang
menjamin kelestarian kemampuan daya dukung sumber daya alam.
Pendekatan strategis ini didasari oleh pertimbangan kondisi dan lokasi
Kota Jayapura yang wilayahnya tidak hanya berada di pesisir pantai dan
perbukitan, serta terletak pada terletak pada suatu kerangka tektonik,
yaitu berupa pertemuan beberapa lempeng benua dan kerak samudera
yang bergerak satu terhadap yang lain, yaitu kerak Hindia-Australia, dan
Lempeng Eurasia/Asia Tenggara, serta kondisi budaya yang perlu
dikembangkan dan dilestarikan. Dari kondisi tersebut, maka aspek
lingkungan menjadi dasar pertimbangan penyusunan arahan pemanfaatan
ruang di wilayah Kota Jayapura guna mewujudkan lingkungan tempat
tinggal yang aman dan nyaman (Safer City Concept), serta dengan
memperhatikan keberlanjutan (sustainable development approach).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka sistem tata ruang selain
mengatur hak, terdapat juga kewajiban yang dibebankan kepada
masyarakat agar tercipta pembangunan yang berkelanjutan. Disinilah
peran hukum tertulis, yaitu Undang-undang Penataan Ruang dan
Peraturan Perundang-undangan lain yang berkaitan menjadi penting
untuk mengarahkan, baik aktivitas negara dan masyarakat dalam
pencapaian tujuan penataan ruang demi terciptanya kesejahteraan
masyarakat.
Peraturan daerah sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-
undangan tingkat lokal harus memperhatikan kebutuhan masyarakat
(social need), kondisi masyarakat (social condition), dan modal/kekayaan
masyarakat (social capital), agar tidak terjadi penolakan dari masyarakat,
karena substansi peraturan daerah telah sesuai dengan apa yang menjadi
kebutuhan, kondisi, dan modal yang dimiliki masyarakat.
16
B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG BERKAITAN DENGAN
PENYUSUNAN NORMA
Nilai-nilai yang terkandung dalam asas-asas menjadi penuntun
dalam penetapan norma. Asas-asas dapat ditelusur dari nilai-nilai hidup
dalam masyarakat yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
yang bersangkutan, teori, gagasan, maupun konsep keilmuan yang terkait
dengan materi peraturan. Asas-asas penyusunan rancangan peraturan
daerah dikaitkan dengan asas:
a. keterpaduan, yaitu penataan ruang diselenggarakan dengan
mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor,
lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan (Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan Masyarakat);
b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, yaitu penataan ruang
diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang
dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan
lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan
antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan;
c. keberlanjutan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya
tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi
mendatang;
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan
sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin
terwujudnya tata ruang yang berkualitas;
e. keterbukaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang;
f. kebersamaan dan kemitraan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan;
g. pelindungan kepentingan umum adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat;
h. kepastian hukum dan keadilan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan
perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak
17
dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian
hukum; dan
i. akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat
dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun
hasilnya.
C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN PENATAAN
RUANG
Berdasarkan kajian RTRW Kota Jayapura yang telah dilakukan,
didapatkan fakta bahwa RTRW menjadi acuan bagi proses rencana rinci,
rencana teknis, kegiatan pemanfaatan dan pemberian izin mendirikan
bangunan. Persoalan lain juga muncul, akibat keterbatasan peraturan,
sosialisasi peraturan yang kurang, pengawasan dan penegakan hukum
yang kurang efektif, serta kepatuhan masyarakat yang masih rendah.
RTRW disusun untuk jangka waktu 20 (duapuluh) tahun. Selama
jangka waktu perencanaan berjalan, terdapat hal-hal yang menyebabkan
perlunya sebuah RTRW memerlukan peninjauan kembali diantaranya
adalah:
a. perubahan kondisi-kondisi internal, seperti aspirasi dari fokus
pengembangan wilayah, perkembangan yang sangat pesat dari kawasan
atau sektor tertentu, serta perubahan wilayah administrasi;
b. perubahan faktor-faktor eksternal terhadap wilayah perencanaan,
seperti perubahan landasan hukum/peraturan dan/atau rujukan
sistem penataan ruang (terutama Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang yang disahkan setelah RTRW Kota Jayapura
Tahun 2007-2027 disusun), perubahan kebijaksanaan pemanfaatan
ruang, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta adanya
bencana alam yang cukup besar, sehingga mengubah struktur dan pola
ruang suatu wilayah;
c. kekurangtepatan pemanfaatan rencana dan lemahnya pengendalian
pemanfaatan rencana, sehingga terjadi penyimpangan, termasuk di
dalamnya adalah tidak diikutinya proses teknis dan prosedur
kelembangaan perencanaan tata ruang; dan
d. kebutuhan akan informasi aktual, substansial, dan menjadi arahan
pembangunan baik sektoral maupun regional.
18
Adanya faktor di atas, dapat mempengaruhi RTRW yang ada menjadi
kurang relevan bagi acuan pemanfaatan ruang. Perubahan dan
pengaruhnya terhadap rencana tata ruang tidak selalu sama. Oleh karena
itu, diperlukan proses peninjauan kembali terhadap RTRW yang ada bila
dianggap perlu setiap 5 (lima) tahun.
D. IMPLIKASI PENERAPAN PERDA TENTANG RTRW
Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur
dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan
dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.
1. Implikasi Penerapan Perda RTRW terhadap Aspek Kehidupan
Masyarakat
Ruang lingkup materi pengaturan Perda RTRW tidak jauh berbeda
dengan ruang lingkup pengaturan Undang-undang Penataan Ruang.
Hanya saja ruang lingkup tersebut diletakkan dalam konteks wilayah
administratif yang bernama Kota Jayapura. Mengacu pada Undang-
undang Penataan Ruang, maka Peraturan Daerah RTRW Kota Jayapura
di dalamnya mengatur:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang;
b. rencana struktur ruang wilayah kota meliputi sistem pusat kegiatan
dan sistem jaringan prasarana kawasan;
c. rencana pola ruang wilayah kota meliputi kawasan lindung dan
kawasan budi daya;
d. rencana kawasan strategis kota;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah kota meliputi indikasi program
utama, indikasi sumber pendanaan, indikasi pelaksana kegiatan,
dan waktu pelaksanaan;
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kota Jayapura
meliputi ketentuan umum peraturan zonasi kawasan, ketentuan
perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi;
dan
g. peran masyarakat.
Beberapa hal pokok yang dapat berdampak pada perubahan hubungan
Pemerintah Daerah dengan masyarakatnya secara cukup mendasar
sehubungan dengan berlakunya norma baru akan menunjukkan
semakin intensifnya keterlibatan Pemerintah Daerah dalam
19
penyelenggaraan penataan ruang yang dilakukan oleh masyarakat.
Hubungan yang semakin intensif ini menuntut perubahan peran dan
kualitas pelayanan aparat Pemerintah Daerah dan perubahan perilaku
dikalangan masyarakat perubahan. Pemerintah dituntut lebih responsif
mendorong dan memfasilitasi masyarakat agar mengikuti ketentuan
Perda RTRW. Selain itu, Pemerintah Daerah juga dituntut untuk tegas
dan konsisten menegakkan Perda yang telah dibuat untuk menjamin
kepastian hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang. Di lain
pihak, masyarakat dituntut untuk lebih peduli dan taat pada
ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Perda RTRW secara
konsisten.
2. Dampak Perda RTRW terhadap Beban Keuangan Daerah
Perda RTRW ini dapat memberi dampak terhadap beban keuangan
daerah, yang meliputi bertambahnya sumber pendapatan daerah dan
beban keuangan daerah.
a. Penambahan sumber pendapatan daerah disebabkan karena Perda
ini mengatur dan menegaskan rencana struktur dan rencana pola
ruang, sehingga dapat menjadi acuan untuk mewujudkan
keseimbangan pembangunan dalam wilayah kota, acuan lokasi
investasi dalam wilayah kota, acuan dalam administrasi
pertanahan, dan dasar pengendalian pemanfaatan ruang dalam
penataan/pengembangan wilayah kota yang meliputi penetapan
peraturan zonasi, perizinan, serta pemberian insentif dan
disinsentif. Misalnya, penetapan lokasi investasi yang tepat dapat
berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang stabil dan
cenderung untuk berkembang pesat. Hal ini berdampak terhadap
peningkatan pemasukan keuangan daerah.
b. Disamping berdampak terhadap pemasukan keuangan daerah,
maka Perda RTRW juga berdampak pada penambahan beban
keuangan daerah. Hal ini disebabkan karena dalam Perda diatur
berbagai aktivitas yang berkaitan dengan penyelenggaraan penataan
ruang, yang berkonsekuensi pembiayaan. Misalnya:
a) aktivitas penetapan kawasan lindung mengharuskan
Pemerintah Daerah untuk membuat batas patok agar kawasan
lindung ini tidak tergusur oleh kegiatan budi daya; dan
20
b) mengarahkan pertumbuhan kota ke lokasi yang baru
membutuhkan pengembangan infrastruktur. Hal tersebut
berdampak diperlukannya penganggaran bagi keberadaan
kegiatan ini.
21
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
Berbagai materi yang dimuat dalam pengaturan Perda tentang RTRW
Kota Jayapura berkaitan dengan berbagai peraturan lain yang mengatur
hal yang sama, sehingga perancangan norma dalam Perda harus
memperhatikan peraturan lain agar tidak terjadi tumpang tindih dan
kontradiksi peraturan.
1. Merencanakan dan menyusun suatu peraturan daerah tentu tidak bisa
dipisahkan dengan eksistensi dari Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang
merupakan landasan hukum tertinggi di Indonesia. Suatu peraturan
daerah tidak dapat dibentuk jika substansi hukum yang akan diatur
bertentangan dengan kaidah yang terdapat dalam UUD NRI Tahun
1945. Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
Desain otonomi yang disusun dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan otonomi
kepada daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab. Pasal 10
Undang-undang tersebut menegaskan bahwa Pemerintah Daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
Terhadap urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,
menurut Pasal 14 dibagi ke dalam urusan pemerintahan yang bersifat
wajib dan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan. Urusan wajib
yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
22
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota
meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
Sementara itu, urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat
pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan.
Menurut Pasal 11 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis
kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
dan
d. kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
23
Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
Dari berbagai ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Pemerintah Daerah Kota Jayapura memiliki kewenangan
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang,
dan berdasarkan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah berwenang
pula menetapkan Perda tentang RTRW yang akan mengatur aktivitas
penyelenggaraan penataan ruang yang menjadi kewenangannya.
2. Terkait dengan RTRW, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 merinci
perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum
tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang
secara berhierarki terdiri atas:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota.
Rencana rinci tata ruang disusun apabila:
a. rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam
pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang; dan/atau
b. rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan yang
luas dan skala peta dalam rencana umum tata ruang tersebut
memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan.
Rencana rinci tata ruang terdiri atas:
a. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang
kawasan strategis nasional;
b. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
c. rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang
kawasan strategis kabupaten/kota.
Rencana tata ruang dapat ditinjau kembali. Peninjauan kembali
rencana tata ruang dapat menghasilkan rekomendasi berupa:
a. rencana tata ruang yang ada dapat tetap berlaku sesuai dengan
masa berlakunya; atau
24
b. rencana tata ruang yang ada perlu direvisi.
Apabila peninjauan kembali rencana tata ruang menghasilkan
rekomendasi, revisi rencana tata ruang dilaksanakan dengan tetap
menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dari berbagai ketentuan tersebut, maka RTRW Kota Jayapura
merupakan bagian dari rencana umum tata ruang dengan
memperhatikan kebijakan yang berada di atasnya, yaitu Rencana Tata
Ruang Nasional dan Rencana Tata Ruang Provinsi. Rencana rinci
merupakan turunan dari RTRW.
3. Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang, mengamanatkan proses penyusunan
rencana tata ruang menghasilkan dokumen rancangan rencana tata
ruang dalam bentuk rancangan peraturan perundang-undangan
tentang rencana tata ruang beserta lampirannya.
4. Mengenai tata cara penyusunan Perda tentang RTRW yang diatur
dalam Paal 26 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2012
tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota, bahwa Kepala Daerah
memerintahkan kepada pimpinan SKPD untuk menyusun rancangan
perda tentang RTRW. Pimpinan SKPD dalam menyusun rancangan
perda tentang RTRW melibatkan BKPRD.
25
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
1. LANDASAN FILOSOFIS
Secara filosofis penataan ruang dipandang sebagai proses
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang baik darat, air
maupun udara yang menjadi tempat hidup dan wadah bagi kelangsungan
hidup manusia. Dengan demikian penataan ruang menjadi tanggung jawab
semua unsur, baik pemerintah dan masyarakat yang hidup dan
berkembang di Kota Jayapura khususnya dan bangsa Indonesia
umumnya.
Kebijakan-kebijakan dan program-program penataan ruang mengarah
pada:
a. perencanaan sebagai bagian dari penataan ruang, harus
mendukung perwujudan suatu kelompok masyarakat yang memiliki
nilai budaya dan nilai-nilai religi, serta mendukung perwujudan
masyarakat tersebut sebagai makhluk sosial yang memiliki hak
asasi dengan segala tanggung jawabnya;
b. proses perencanaan ruang haruslah melibatkan sebanyak mungkin
peran serta masyarakat;
c. penataan ruang kota harus bertumpu pada norma persatuan
bangsa, dari segi sosial, budaya, ekonomi, politik, untuk
memelihara keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d. penataan ruang hendaknya bertumpu pada norma-norma
kerakyatan dan demokrasi, yang memberdayakan lembaga dan
berbagai sumber daya, sehingga masyarakat mampu berkembang
menjadi manusia yang memahami dan menerapkan prinsip-prinsip
kerakyatan dan demokrasi serta prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan;
e. penataan ruang bertumpu pada nilai-nilai keadilan sosial untuk
setiap warga bangsa. Perencanaan dan pemanfaatan ruang
hendaknya menjamin penghapusan segala bentuk diskriminasi dan
menjamin terlaksananya penataan ruang yang mewujudkan
masyarakat berkeadilan sosial; dan
26
f. penataan ruang yang bertumpu pada prinsip-prinsip lingkungan
yang menjamin keberlanjutan pembangunan dan kesejahteraan
generasi yang akan datang.
2. LANDASAN SOSIOLOGIS
Penataan ruang merupakan persoalan yang menyangkut kepentingan
dan kebutuhan masyarakat banyak karena pada dasarnya setiap mahluk
dan benda membutuhkan dan menempati ruang. Pola-pola perkembangan
kota tidak lepas dari kebiasaan, adat istiadat dan pola pikir serta proses-
proses sosial yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, perencanaan
tata ruang akan menghasilkan suatu tatanan ruang yang baik apabila
didasarkan pada proses sosial dan kebudayaan masyarakat setempat.
Berbagai perkembangan dan permasalahan yang muncul di masyarakat
menjadi bahan pertimbangan penting untuk menyusun kebijakan dan
program-program pengembangan ruang kota.Sebaliknya, perencanaan
ruang kota juga memberikan peran sebagai alat untuk mencapai
kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat yang lebih baik dengan cara
memanfaatkan potensi-potensi yang ada di dalamnya. Kebijakan tata ruang
yang didukung oleh aspek legalitas mendorong terbentuknya kepribadian
masyarakat dan perikelakuan individu, baik dalam interaksinya dengan
sesama manusia dan lingkungan sekitarnya.
Penataan ruang sebagai bentuk dari lembaga kemasyarakatan, dari
segi sosial, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia
akan ruang, yang pada dasarnya memiliki beberapa fungsi sosial:
a. Memberikan pedoman kepada anggota-anggota masyarakat bagaimana
harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-
masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-
kebutuhan akan ruang;
b. Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan sehubungan
dengan adanya berbagai konflik kepentingan terhadap ruang;
c. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial (social control), yang berarti sistem pengendalian
dari masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya dalam
memanfaatkan ruang.
27
3. LANDASAN YURIDIS
Landasan yuridis atau juga disebut landasan hukum atau dasar
hukum adalah landasan dasar yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan
hukum yang lebih tinggi derajatnya. Landasan yuridis sangat penting agar
rencana pengembangan kota memperoleh legitimasi. Landasan yuridis
mencakup landasan yuridis formil dan landasan yuridis materiil.
1. Landasan Yuridis Formil
Landasan yuridis formil adalah ketentuan-ketentuan hukum yang
memberi kewenangan terhadap badan pembentuknya. Beberapa
peraturan perundangan yang menjadi landasan yuridis formil bagi
penyusunan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kota Jayapura, adalah:
1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua
Dalam pasal 4 ayat (1) UU No.21 Tahun 2001 dinyatakan:
“Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan
peradilan serta kewenangan tertentu dibidang lain yang ditetapkan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Salah satu kewenangan Provinsi Papua berdasarkan UU Otonomi
Khusus tersebut adalah dalam bidang penataan ruang. Dalam hal
ini Pemerintah Kota Jayapura sebagai bagian dari Provinsi Papua
memiliki kewenangan untuk mengatur daerahnya untuk tingkat
Kota.
2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Dalam Undang-undang Penataan Ruang disebutkan negara
menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Dalam melaksanakan tugas tersebut, negara
memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada
Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Wewenang Pemerintah dalam
penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang
kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
28
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis;
d. kerjasama penataan ruang.
Sedangkan wewenang pemerintah daerah provinsi dalam
penyelenggaraan penataan ruang (Pasal 10) meliputi:
a. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota serta
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan
kabupaten/kota;
b. Pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
c. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d. Kerjasama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan
kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
Lebih lanjut di tingkat kota dan kabupaten, wewenang pemerintah
daerah kota dan kabupaten dalam penyelenggaraan penataan ruang
(Pasal 11) meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis
kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
c. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
d. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota;
e. kerjasama penataan ruang antar kabupaten/kota.
Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b. Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota, pemerintah daerah kabupaten/kota
melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
29
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka untuk skala kota,
harus disusun dokumen rencana tata ruang kawasan strategis kota
yang merupakan dasar bagi pengendalian pemanfaatan ruang kota.
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 14 ayat (2)
juga disebutkan bahwa perencanaan tata ruang menghasilkan dua
jenis dokumen rencana tata ruang, yaitu rencana umum tata ruang
dan rencana detail tata ruang. Rencana umum tata ruang secara
berhierarki terdiri atas:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota.
Sedangkan rencana rinci tata ruang terdiri atas:
a. Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang
kawasan strategis nasional;
b. Rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
c. Rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata
ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
Selain hak-hak yang diatur dalam UUPR di atas, perlu juga
ditambah dengan hak-hak orang/masyarakat yang telah diberikan
oleh peraturan perundangan lainnya, antara lain:
a. hak atas tanah (berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum);
b. hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat
(berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup).
Dengan demikian, bila orang/masyarakat akan melakukan suatu
kegiatan dalam pemanfaatan ruang, maka harus mendapatkan izin
terlebih dahulu terhadap Pemerintah. Pengaturan mengenai "izin
pemanfaatan ruang" ini diatur dalam Pasal 35-37 UU Nomor
26/2007.
30
Menurut Peraturan Menteri PU Nomor 17/PRT/M/2009 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, Izin
pemanfaatan ruang ini dalam praktek penataan ruang di Daerah
(diatur dalam Peraturan Daerah) adalah sebagai berikut:
a. izin prinsip;
b. izin lokasi;
c. izin penggunaan pemanfaatan tanah;
d. izin mendirikan bangunan;
e. izin lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
3) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
Sesuai dengan Pasal 80, disebutkan bahwa ketentuan mengenai
penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi berlakuk secara
mutatis terhadap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 94 menyebutkan bahwa penyebarluasan Peraturan Daerah
Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah
diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh
DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) peraturan ini, penataan ruang
merupakan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan di luar urusan politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional, serta agama.
Lebih lanjut dalam Pasal 7 peraturan tersebut disebutkan bahwa
penataan ruang merupakan salah satu urusan pemerintahan yang
wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan
dasar.
5) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta
Rencana Tata Ruang
Pada Pasal 3 dijelaskan bahwa rencana umum tata ruang dan
rencana rinci tata ruang termasuk rencana tata ruang kawasan
31
perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan lainnya dituangkan
dalam Peta Rencana Tata Ruang.
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota diatur dalam
Pasal 17, yaitu:
(1) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kota digambarkan dengan
menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial;
b. Peta Dasar Skala Minimal 1:25.000;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata
Ruang Wilayah kota; dan
d. Ketelitian muatan ruang.
(2) Dalam hal wilayah kota memiliki pesisir dan laut, Peta Rencana
Tata Ruang Wilayah kota dapat dilengkapi dengan Data
Batimetri.
(3) Dalam hal wilayah kota berbatasan dengan kabupaten/kota lain,
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kota disusun setelah
berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota yang
berbatasan langsung.
(4) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) digambarkan dengan penggambaran wilayah kota
ditambah dengan wilayah kabupaten/kota yang berbatasan
langsung dalam Koridor 2,5 (dua koma lima) kilometer
sepanjang garis perbatasan.
Pasal 18
Sistem jaringan prasarana jalan pada Peta struktur ruang wilayah
kota harus digambarkan mengikuti terase jalan yang sebenarnya.
Pasal 19
Rencana pola ruang wilayah kota dapat digambarkan dalam
beberapa lembar Peta yang tersusun secara sistematis mengikuti
indeks Peta Dasar nasional.
6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang
Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah
Sesuai dengan Pasal 2 peraturan ini, perencanaan tata ruang
daerah dilakukan untuk menghasilkan:
a. Rencana Umum Tata Ruang; dan
b. Rencana Rinci Tata Ruang.
32
Pada pasal 4 ayat 1 dijelaskan bahwa RRTR (Rencana Rinci Tata
Ruang) adalah:
a. RTR kawasan strategis provinsi;
b. RTR kawasan strategis kabupaten/kota;
c. RDTR Kabupaten/kota.
Pasal 5 ayat 2 menyebutkan bahwa Bupati/walikota dibantu
BKPRD kabupaten/kota mengkoordinasikan penyusunan
rancangan perda RTRW/K, RTR kawasan strategis kabupaten/kota,
dan RDTR kabupaten/kota, dengan memperhatikan RTRWK/K yang
berbatasan, RTRWP, RTR Pulau/kepulauan, dan RTRWN.
7) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PRT/M/2009
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Pada Pasal 3 dijelaskan bahwa Pedoman Penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota bertujuan untuk mewujudkan rencana tata
ruang wilayah kota yang sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Dengan ditetapkannya Permen PU ini, maka berdasarkan Pasal 6
menyebutkan bahwa Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku,
Lampiran V tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana
Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002 tentang Penetapan Enam
Pedoman Bidang Penataan Ruang dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
2. Landasan yuridis materiil
Landasan yuridis materiil adalah ketentuan-ketentuan hukum
mengenai masalah atau persoalan apa yang harus diatur.
Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola
ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan
sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis
memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah rencana distribusi
peruntukan ruang wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan budi daya.
Perencanaan tata ruang, baik yang berdasarkan aspek administratif,
berdasarkan fungsi utama kawasan, ataupun berdasarkan fungsi
kawasan dan aspek kegiatan, dilakukan melalui proses dan prosedur
33
penyusunan serta penetapan rencana tata ruang berdasarkan
ketentuan perturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007, penataan ruang bertujuan:
1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung
dan kawasan budi daya;
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:
a. Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan
sejahtera;
b. Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya
alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber
daya manusia;
c. Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat
guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
d. Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan; dan
e. Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan
keamanan.
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 dinyatakan bahwa penataan ruang
dilakukan dengan berasaskan pemanfaatan ruang bagi semua
kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi,
selaras, seimbang dan berkelanjutan, serta berasaskan keterbukaan,
persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.
Dengan asas tersebut, dalam Undang-undang Penataan ruang diatur
ketentuan mengenai pola pemanfaatan ruang yang membagi wilayah
perencanaan ke dalam kawasan-kawasan, yaitu kawasan budi daya,
kawasan lindung, dan kawasan tertentu yang masing-masing memiliki
karakteristik dan memerlukan mekanisme pengelolaan yang berbeda.
Adapun tujuan Penataan Ruang masing-masing kawasan adalah:
1. Tujuan Penataan Ruang Kawasan Lindung:
a. tercapainya Tata Ruang Kawasan Lindung secara optimal; dan
b. meningkatkan fungsi Kawasan Lindung.
2. Tujuan Penataan Ruang Kawasan Budi daya:
a. tercapainya Tata Ruang Kawasan Budi daya secara optimal; dan
34
b. meningkatkan fungsi Kawasan Budi daya.
Untuk mencapai penataan ruang kawasan budi daya dan kawasan
lindung secara optimal, diperlukan langkah-langkah dan mekanisme
pengelolaan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, kondisi, potensi dan
permasalahan yang muncul. Dalam hal ini, UUPR hanya mengatur hal-
hal pokok yang bersifat global, sehingga perlu adanya rujukan
peraturan perundangan lainnya yang lebih operasional dan mendukung
pola-pola pengembangan ruang yang akan dilakukan.
Terdapat beberapa ketentuan yang dimuat dalam UUPR, antara lain:
a. penataan ruang dilakukan dengan memperhatikan lingkungan
alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, dan interaksi antar
lingkungan, serta memperhatikan tahapan, pembiayaan,
pengelolaan pembangunan, serta pembinaan kemampuan
kelembagaan;
b. penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta
masyarakat;
c. perencanaan tata ruang dilakukan melalui proses dan prosedur
penyusunan serta penetapan rencana tata ruang berdasarkan
ketentuan perundangan yang berlaku; dan
d. hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang adalah
perlunya keserasian, keselarasan dan keseimbangan fungsi budi
daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya
serta fungsi pertahanan keamanan.
Terdapat beberapa peraturan perundangan yang dapat dijadikan
sebagai rujukan dalam menentukan kebijakan pengelolaan kawasan
budi daya dan kawasan lindung, antara lain peraturan yang mengatur
perumahan dan permukiman, pengairan, pengelolaan lingkungan
hidup, pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan kawasan lindung,
dan beberapa peraturan perundangan lainnya. Selain itu, terdapat
peraturan yang berkaitan dengan mekanisme pengelolaan kelembagaan
dan partisipasi masyarkat dalam penataan ruang.
Salah satu ketentuan yang mengatur pengelolaan kawasan lindung
adalah Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung. Dalam keppres tersebut, ditetapkan bahwa kawasan
lindung merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam,
35
sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna
kepentingan pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan terhadap
kawasan lindung dilakukan melalui upaya penetapan, pelestarian, dan
pengendalian pemanfaatan kawasan lindung. Berbagai kategori
kawasan lindung yang ditetapkan di dalam Keppres tersebut adalah:
1. Kawasan lindung terdiri dari:
a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya;
b. Kawasan perlindungan setempat;
c. Kawasan suaka alam dan cagar budaya;
d. Kawasan rawan bencana alam.
2. Kawasan yang memberi perlindungan kawasan bawahannya terdiri
dari:
a. Kawasan hutan lindung;
b. Kawasan bergambut;
c. Kawasan resapan air.
3. Kawasan perlindungan setempat terdiri dari:
a. Sempadan pantai;
b. Sempadan sungai;
c. Kawasan sekitar danau/waduk;
d. Kawasan sekitar mata air.
4. Suaka alam dan cagar budaya terdiri dari:
a. Kawasan suaka alam;
b. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya;
c. Kawasan pantai berhutan bakau;
d. Taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam;
e. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga
menjamin hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan penataan ruang, termasuk masyarakat adat dalam
setiap proses penyelenggaraan penataan ruang. Beberapa peraturan
lain yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan antara lain, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4377)
Undang-Undang ini lebih memberikan perlindungan terhadap
kepentingan kelompok masyarakat ekonomi lemah dengan
36
menerapkan prinsip pengelolaan sumber daya air yang mampu
menyelaraskan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009, Nomor 140)
Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas
tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan
sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan
pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan
kerusakan lingkungan, sehingga dapat mengakibatkan daya
dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup
menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial.
Undang-Undang ini juga menguatkan tentang prinsip-prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan
pada tata kelola pemerintahan yang baik, karena dalam setiap
proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta
penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan
pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan
keadilan.
Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur:
a. keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
b. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
c. penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
d. penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian
lingkungan hidup strategis (KLHS), tata ruang, baku mutu
lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
Amdal, Upaya Pengelolaan Lingkungan hidup (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan hidup (UPL), perizinan, instrumen
ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan
berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan
hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain
yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
e. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
37
f. Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
g. Kepastian dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan
lingkungan global;
h. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak
masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
i. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara
jelas;
j. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan
k. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan
penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385)
Tanah adalah unsur ruang yang strategis dan pemanfaatannya
terkait dengan penataan ruang wilayah. Pada Pasal 6, dikemukakan
bahwa kebijakan penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap (a)
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya baik yang sudah atau
belum terdaftar; (b) tanah negara; (c) tanah ulayat masyarakat
hukum adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan;
Kawasan hutan merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan
dengan penataan ruang, sehingga perubahan penataan ruang
secara berkala sebagai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang dilakukan dalam rangka pemantapan
dan optimalisasi fungsi kawasan hutan. Pada Pasal 2 dikemukakan
bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan
nasional serta aspirtasi masyarakat dengan tetap berlandaskan
pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara
lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan dengan
luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional.
38
Pada Pasal 4 dikemukakan mengenai kawasan hutan memiliki
fungsi pokok sebagai hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan
produksi. Kawasan hutan konservasi meliputi (a) kawasan suaka
alam (cagar alam dan suaka margasatwa); (b) kawasan pelestarian
alam (taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya);
(c) taman buru. Kawasan hutan produksi terdiri atas (a) hutan
produksi terbatas; (b) hutan produksi tetap; (c) hutan produksi yang
dapat dikonversi.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan
Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang
Pasal 2 menyebutkan bahwa Masyarakat berperan dalam
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang sesuai dengan hak dan kewajiban yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Tujuan pengaturan bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam
penataan ruang sesuai dengan Pasal 4 adalah:
a. menjamin terlaksananya hak dan kewajiban masyarakat
dibidang penataan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. Mendorong peran masyarakat dalam penataan ruang;
c. Menciptakan masyarakat yang ikut bertanggung jawab dalam
penataan ruang;
d. Mewujudkan pelaksanaan penataan ruang yang transparan,
efektif, akuntabel, dan berkualitas; dan
e. Meningkatkan kualitas pelayanan dan pengambilan kebijakan
penataan ruang.
Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan pada tahap:
a. perencanaan tata ruang;
b. pemanfaatan ruang;
c. pengendalian pemanfaatan ruang.
39
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
1. JANGKAUAN DAN ARAH PENGATURAN
Peraturan daerah tentang RTRW diarahkan untuk mengatur
keseluruhan aktivitas yang terkait dengan penyelenggaraan penataan
ruang. Sejalan dengan UU Penataan Ruang, maka keseluruhan aktivitas
yang berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang meliputi proses
perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian ruang di Kota
Jayapura.
Arah pengaturan Perda tentang RTRW akan menjangkau seluruh
wilayah Kota Jayapura. Disamping itu, dalam konteks waktu, Perda
tentang RTRW akan menjangkau aktivitas yang akan dilakukan di masa
yang akan datang, dan juga aktivitas penyelenggaraan penataan ruang di
masa yang lampau.
2. RUANG LINGKUP MATERI
Pokok-pokok materi muatan yang diatur meliputi:
a. Ketentuan Umum;
b. Materi yang akan diatur;
c. Ketentuan Sanksi; dan
d. Ketentuan Penutup.
a) Ketentuan Umum
Bagian ini memuat rumusan akademik mengenai berbagai pengertian
istilah, atau frasa yang digunakan dalam pengaturan Raperda, yaitu:
1. Daerah adalah Kota Jayapura.
2. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Walikota adalah Walikota Jayapura.
40
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Jayapura yang selanjutnya
disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
6. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
7. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan,
dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia
dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta
memelihara kelangsungan hidupnya.
8. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
9. Struktur ruang adalah susunan pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki
hubungan fungsional.
10. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu
wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
11. Penataan ruang adalah suatu proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
12. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek
fungsional.
13. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan
ruang.
14. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan
hukum bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam penataan
ruang.
15. Pembinaan penataan ruang adalah upaya meningkatkan kinerja
penataan ruang yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan
masyarakat.
16. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan
penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
41
17. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan
penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan Ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
18. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan
struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan
penetapan rencana tata ruang.
19. Pemanfaatan tata ruang adalah upaya mewujudkan struktur ruang
dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui
penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
20. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan
tertib tata ruang.
21. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disebut RTRW
adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah.
22. Tujuan penataan ruang wilayah adalah tujuan yang ditetapkan
pemerintah daerah yang merupakan arahan perwujudan visi dan
misi pembangunan jangka panjang kota pada aspek keruangan,
yang pada dasarnya mendukung terwujudnya ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
23. Kearifan lokal adalah nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat tertentu untuk melindungi dan mengelola
lingkungan hidup secara lestari.
24. Kebijakan penataan ruang wilayah adalah arahan pengembangan
wilayah yang ditetapkan pemerintah daerah kota guna mencapai
tujuan penataan ruang wilayah daerah dalam kurun waktu 20 (dua
puluh) tahun.
25. Strategi penataan ruang wilayah adalah penjabaran kebijakan
penataan ruang ke dalam langkah-langkah pencapaian tindakan
yang lebih nyata yang menjadi dasar dalam penyusunan rencana
struktur dan pola ruang wilayah daerah.
26. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain.
42
27. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang
merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi
dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas
lingkungan hidup.
28. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup
lain, dan keseimbangan antarkeduanya.
29. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan
hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang
masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
30. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas
sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan
membentuk kesatuan ekosistem.
31. Rencana struktur ruang wilayah daerah adalah rencana yang
mencakup rencana sistem perkotaan wilayah daerah dalam wilayah
pelayanannya dan jaringan prasarana wilayah daerah yang
dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah daerah selain
untuk melayani kegiatan skala kota, meliputi sistem jaringan
transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan
telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, dan sistem
jaringan lainnya.
32. Sistem pusat pelayanan adalah kawasan yang diarahkan bagi
pemusatan berbagai kegiatan campuran maupun yang spesifik,
memiliki fungsi strategis dalam menarik berbagai kegiatan
pemerintahan, sosial, ekonomi, dan budaya serta kegiatan
pelayanan kota menurut hirarkhi yang terdiri dari sistem pusat
primer yang berskala kota, regional, nasional dan internasional,
sistem pusat sekunder kegiatan yang berskala wilayah, dan sistem
pusat tersier untuk kegiatan berskala lokal.
33. Pusat pelayanan kota adalah pusat pelayanan ekonomi, sosial,
dan/atau administrasi yang melayani seluruh wilayah daerah
dan/atau regional.
34. Subpusat pelayanan kota adalah pusat pelayanan ekonomi, sosial,
dan/atau administrasi yang melayani sub wilayah daerah.
35. Pusat lingkungan adalah pusat pelayanan ekonomi, sosial dan/atau
administrasi lingkungan kota.
43
36. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala
bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya
yang diperuntukan bagi lalu lintas, yang terletak pada permukaan
tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah
dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel.
37. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan
peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan
semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua
simpul jasa distribusi yang berwujud pusat kegiatan.
38. Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan
peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di
dalam kawasan perkotaan.
39. Terminal adalah pangkalan kendaraan bermotor umum yang
digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan,
menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta
perpindahan moda angkutan.
40. Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
memungkinkan lingkungan perumahan dan permukiman dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
41. Sarana adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk
penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial,
dan budaya.
42. Utilitas adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan.
43. Ruang evakuasi bencana merupakan area terbuka atau lahan
terbuka hijau atau bangunan yang dapat digunakan masyarakat
untuk menyelamatkan diri dari bencana alam maupun bencana
lainnya.
44. Pejalan kaki adalah pengguna jalur pejalan kaki, baik dengan
maupun tanpa alat bantu.
45. Jalur pejalan kaki adalah adalah lintasan yang diperuntukan untuk
berjalan kaki, dapat berupa trotoar, penyeberangan sebidang dan
penyeberangan tidak sebidang.
46. Rencana pola ruang wilayah daerah adalah rencana distribusi
peruntukan ruang wilayah daerah yang meliputi peruntukan ruang
untuk fungsi lindung dan budi daya yang dituju sampai dengan
44
akhir masa berlakunya RTRW kota yang memberikan gambaran
pemanfaatan ruang wilayah daerah hingga 20 (dua puluh) tahun
mendatang.
47. Kawasan adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek fungsional dan serta memiliki ciri
tertentu.
48. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam dan sumber daya buatan.
49. Kawasan resapan air adalah kawasan yang mempunyai
kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga
merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai
sumber air.
50. Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100
(seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
51. Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai,
termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian
fungsi sungai.
52. Kawasan sekitar mata air adalah kawasan sekeliling mata air yang
mempunyai manfaat penting untuk kelestarian fungsi mata air.
53. Kawasan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki
dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan
atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
54. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disebut RTH adalah area
memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya
lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
55. RTH publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah
daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara
umum.
56. RTH privat adalah RTH milik institusi tertentu atau orang pribadi
yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa
45
kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat yang
ditanami tumbuhan.
57. Kawasan rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis,
biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik,
ekonomi, dan teknologi pada satu wilayah untuk jangka waktu
tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, merendam,
mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk
menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
58. Kawasan budi daya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
59. Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual
lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar
tradisional, pertokoan, mal, plasa, pusat perdagangan maupun
sebutan lainnya.
60. Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik
Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama
dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan
tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah,
swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal
kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar
menawar.
61. Pusat perbelanjaan adalah suatu area tertentu yang terdiri dari satu
atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun
horisontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau
dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang.
62. Toko adalah bangunan gedung dengan fungsi usaha yang
digunakan untuk menjual barang dan terdiri dari hanya satu
penjual.
63. Toko modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri,
menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk
minimarket, supermarket, department store, hypermarket, atau
grosir yang berbentuk perkulakan.
64. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau
lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem
46
produksi pertanian dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan
hirarki keruangan suatu sistem permukiman dan agrobisnis.
65. Kawasan minapolitan adalah suatu bagian wilayah yang
mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi,
pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa,
dan/atau kegiatan pendukung lainnya.
66. Kawasan pertahanan negara adalah wilayah yang ditetapkan secara
nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
67. Ruang Terbuka Non Hijau yang selanjutnya disebut RTNH adalah
ruang terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk dalam
kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa
badan air.
68. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan.
69. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap.
70. Sektor informal adalah kegiatan usaha yang ditandai dengan
bersandar pada sumber daya lokal; usaha milik sendiri; operasinya
dalam skala kecil; padat karya dan teknologinya bersifat adaptif;
keterampilan dapat diperoleh di luar sistem sekolah formal; dan
tidak terkena secara langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat
kompetitif.
71. Kawasan strategis kota adalah kawasan yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh penting dalam lingkup
kota terhadap ekonomi, sosial-budaya dan/atau lingkungan, serta
pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi.
72. Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan
utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, sosial, dan ekonomi.
73. Kawasan strategis adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan, karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
47
lingkup Kabupaten/Kota terhadap ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau Lingkungan Hidup (LH), serta pendayagunaan sumber
daya alam dan teknologi.
74. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang
masih terpengaruh aktivitas daratan.
75. Arahan pemanfaatan ruang kota adalah arahan pengembangan
wilayah untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang wilayah
daerah sesuai dengan RTRW kota melalui penyusunan dan
pelaksanaan program penataan/pengembangan kota beserta
pembiayaannya, dalam suatu indikasi program utama jangka
menengah lima tahunan kota yang berisi rencana program utama,
sumber pendanaan, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan.
76. Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan adalah
petunjuk yang memuat usulan program utama
penataan/pengembangan kota, perkiraan pendanaan beserta
sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan, dalam
rangka mewujudkan ruang kota yang sesuai dengan rencana tata
ruang.
77. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah daerah adalah
ketentuan-ketentuan yang dibuat/disusun dalam upaya
mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah daerah agar sesuai
dengan RTRW kota yang berbentuk ketentuan umum peraturan
zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif,
serta arahan sanksi untuk wilayah daerah.
78. Ketentuan umum peraturan zonasi adalah ketentuan umum yang
mengatur pemanfaatan ruang/penataan kota dan unsur-unsur
pengendalian pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap
klasifikasi peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan RTRW Kota.
79. Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah daerah kota sesuai kewenangannya yang harus
dipenuhi oleh setiap pihak sebelum pemanfaatan ruang dan
48
digunakan sebagai alat dalam melaksanakan pembangunan
keruangan yang tertib sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
disusun dan ditetapkan.
80. Perizinan pemanfaatan ruang adalah perizinan yang diberikan
kepada seseorang atau badan usaha atau lembaga untuk
melaksanakan kegiatan pemanfaatan ruang sesuai Ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
81. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disebut
BKPRD adalah badan bersifat adhoc yang dibentuk untuk
mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang di Kota Jayapura dan mempunyai fungsi
membantu tugas Walikota dalam koordinasi penataan ruang di
kota.
82. Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya
untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang
sejalan dengan rencana tata ruang dan juga perangkat untuk
mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan
yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.
83. Insentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan
rangsangan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan
rencana tata ruang.
84. Disinsentif adalah perangkat untuk mencegah, membatasi
pertumbuhan, atau mengurangi pelaksanaan kegiatan yang tidak
sejalan dengan rencana tata ruang.
85. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut PPNS adalah
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah
Daerah yang diberi kewenangan khusus oleh Undang-undang
untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan
Daerah.
86. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk
masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku
kepentingan nonpemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan
ruang.
87. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
49
b) Materi yang akan diatur
Materi pokok yang akan diatur dalam Peraturan Daerah Kota Jayapura
tentang RTRW Kota Jayapura adalah aspek-aspek yang mencakup:
1. Bab I Ketentuan Umum;
2. Bab II Tujuan, Kebijakan dan Strategi;
3. Bab III Rencana Struktur Ruang;
4. Bab IV Rencana Pola Ruang;
5. Bab V Penetapan Kawasan Strategis;
6. Bab VI Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Daerah Jayapura;
7. Bab VII Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang;
8. Bab VIII Kelembagaan;
9. Bab IX Ketentuan Penyidikan;
10. Bab X Ketentuan Pidana;
11. Bab XI Ketentuan Peralihan;
12. Bab XII Ketentuan Penutup.
c) Ketentuan Sanksi
Arahan sanksi meliputi arahan dalam bentuk sanksi administrasi
terhadap pelanggaran penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan
tertib tata ruang dan tegaknya Peraturan Perundang-undangan bidang
penataan ruang. Setiap orang dan atau korporasi yang melakukan
pelanggaran terhadap rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan
dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
d) Ketentuan Penutup
Merupakan bagian akhir peraturan daerah yang memuat:
1. rumusan perintah pengundangan dan penempatan peraturan
daerah dalam lembaran daerah Kota Jayapura;
2. penandatanganan pengesahan atau penetapan peraturan daerah;
3. pengundangan atau penetapan peraturan daerah; dan
4. akhir bagian penutup.
50
BAB VI
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Keseluruhan materi muatan yang ada dalam Naskah Akademik ini
perlu diatur dalam Peraturan Daerah Kota Jayapura tentang RTRW Kota
Jayapura, karena:
a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (6) memberikan kewenangan
bagi pemerintah daerah untuk menetakan peraturan daerah dan
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan;
b. bahwa semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa
perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan
pemerintah daerah, termasuk di bidang penataan ruang, sehingga Kota
Jayapura perlu membuat suatu Peraturan Daerah yang sesuai dengan
karakteristik permasalahan dan kebutuhan di Kota Jayapura;
c. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa materi muatan
peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah Kabupaten/Kota berisi
materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan serta menampung kondisi daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi; dan
d. Perda tentang RTRW Kota Jayapura diarahkan untuk mengatur
keseluruhan aktivitas yang terkait dengan penyelenggaraan penataan
ruang.
2. SARAN
a. Merekomendasikan agar penyusunan dan pembahasan Naskah
Akademik beserta Rancangan Peraturan Daerah Kota Jayapura menjadi
skala prioritas dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) Kota
Jayapura.
b. Untuk materi muatan yang memerlukan peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Daerah Kota Jayapura tentang RTRW Kota Jayapura
51
disarankan perlu segera untuk mempersiapkan membuat Surat
Keputusan (SK) Walikota.
c. Sosialisasi Perda tentang RTRW Kota Jayapura perlu dilakukan kepada
masyarakat dan aparat Pemerintah Daerah.
3. DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, Robinson. 2006. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Idonesia
Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer.
4. LAMPIRAN
Rancangan Peraturan Daerah Kota Jayapura tentang Rencana Tata
Ruang Kota Jayapura.