nasionalisme pers: studi kasus peran...
TRANSCRIPT
NASIONALISME PERS: STUDI KASUS PERAN MEDAN PRIJAJI
DALAM MENUMBUHKAN KESADARAN KEBANGSAAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
Oleh:
R. M. Joko Prawoto Mulyadi
NIM: 105033201150
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432H/ 2011 M
ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : R.M. Joko Prawoto Mulyadi
Tempat / Tanggal lahir : Jakarta, 12 Januari 1986
Alamat : Jalan Kebon Nanas Selatan 2, OTISTA III
Rt.007/05 no.30 Jakarta Timur
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan :
1. TK. Islam An-Nuriyyah, Otista, Jakarta
Timur.
2. SD. Muhammadiyah 55, Tebet, Jakarta
Selatan.
3. Madrasah Diniyyah An-Nafi’ah
4. SMPN 73, Tebet, Jakarta Selatan.
5. SMUN 26, Tebet, Jakarta Selatan.
6. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FISIP,
Ilmu Politik
iii
ABSTRAK
Judul : NASIONALISME PERS: STUDI KASUS PERAN
MEDAN PRIJAJI DALAM MENUMBUHKAN
KESADARAN KEBANGSAAN
Sebagai suatu tema kajian menarik, nasionalisme atau istilah lain yang
berkaitan dengannya juga memiliki keunikan dan kerumitannya sendiri. Hal yang
demikian itu terjadi akibat nasionalisme kerap ditulis dengan ‘N’ huruf awalan
kapital. Artinya, ia terlanjur diasosiasikan sebagai sebuah ideologi sebagaimana
juga ideologi lain semisal Marxisme, Sosialisme, dan sebagainya. Namun
demikian, apa yang akan saya bahas pada karya ini bukan Nasionalisme dengan
‘N’, melainkan nasionalisme dengan ‘n’. Sekilas lalu apalah artinya dari huruf
awalan kapital atau tidak, namun kelak dalam pembahasan itu akan berdampak
besar.
Apa yang dimaksud nasionalisme dengan ‘n’ bukanlah sebagai ideologi,
tapi suatu rasa kebangsaan. Atau dalam istilah lain juga disebut kesadaran
kebangsaan. Nasionalisme model ini yang akan menjadi pembahasan kita. Sebuah
kesadaran kebangsaan yang disemai di ladang kering tanah koloni bernama
Hindia Belanda. Bukan petani atau peladang, tapi jurnalis yang menyemai bibit
kesadaran kebangsaan itu melalui media berupa surat kabar.
Dalam hal ini, surat kabar yang dimaksud tentu adalah surat kabar yang
mengawali upaya pembenihan kesadaran kebangsaan tersebut. dan pilihan jatuh
pada sebuah surat kabar yang terbit pada 1907, Medan Prijaji, dengan seorang
jurnalis berwatak keras, R.M. Tirto Adhi Soerjo. Surat kabar ini menjadi pilihan
sebab selain ia selaku pionir dalam usaha pembibitan kesadaran ke ‘kita’an
sebagai sebuah bangsa, juga memiliki sikap politik yang tegas. Sejak dari jargon
sampai pada artikel, surat kabar yang sempat mencapai tiras 2000 ini benar-benar
menariik garis tegas antara ‘kami’ dan ‘kalian’, yakni antara penjajah Kolonial
dengan yang dijajahnya, yang dalam istilahnya digunakan identitas oposisi antara
’bangsa jang terprentah’ dengan ‘bangsa jang memerentah’.
iv
KATA PENGANTAR
Bismihi Ta’ala
Alhamdulillah, wash-sholatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa alihi al-
ath’har. Segala puji bagi Rabb semesta alam atas segala nikmatNya. Shalawat dan
salam terhatur kehadirat Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Semua itu adalah
ungkapan syukur karena berkat rahmat itulah skripsi “NASIONALISME PERS:
STUDI KASUS PERAN MEDAN PRIJAJI DALAM MENUMBUHKAN
KESADARAN KEBANGSAAN” terselesaikan.
Beragam kisah menarik saya jumpai di tengah perjalanan penulisan skripsi
yang berawal dari makalah saya dalam sebuah seminar tentang Pers dan
Kebangsaan di Universitas Negeri Yogyakarta beberapa tahun lalu. Biarlah
tersimpan dalam kenangan dan terbuka pada saatnya. Namun yang terpenting
adalah rampungnya penulisan skripsi ini sebagai syarat kelulusan dan beroleh
gelar sarjana. Tentu semua ini tak lepas dari jasa yang tak berbilang dari berbagai
pihak.
Untuk itu, saya haturkan rasa hormat dan terima kasih kepada:
1. Alm. R.M. Tirto Adhi Soerjo, kakek buyut yang secara ironis harus saya
kenal dari buku, baru kemudian diceritakan orang tua. Aku masih
menziarahimu, di makam dan pada ratusan lembar buah penamu dalam
Medan Prijaji.
2. Alm. S. Syahabuddin Shahab, kakek yang mengajariku bermain dengan
kertas, pena, dan mesin ketik sejak kecil. Seorang penyiar, pengajar tafsir,
dan Soekarnois yang membuatku akrab dengan dunia tulis menulis.
3. Alm. R.M. Dicky Permadi Tirtoadhisoerjo, ayah yang selalu mendidik
dengan caranya yang unik. Yang dengan santai namun pasti,
menjadikanku begitu akrab dengan buku. Amanat terakhirmu sebelum
wafat telah kujalankan, skripsi ini salah satunya. Pesanmu masih kuingat,
bahwa pilihan ‘menjadi seorang idealis harus tahan keadaan sulit’.
4. Syarifah Fathiyyah Shahab, ibu yang dengan segala keteguhan hati dan
kesabaran menjalani hari-hari menunggu kelulusanku. Pengertian yang
luar biasa atas jalan sunyi yang kupilih membuatku tetap tegar.
v
5. Pramoedya Ananta Toer. Bung, melalui bukumu, aku mengenal asal-
usulku, dan banyak hal luar biasa tentang nasion kita.
6. Prof. Dr. Bahtiar Efendi. Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Dr. Ali Munhanif, ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
8. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si, sekretaris Program Studi sekaligus dosen
pembimbing skripsi yang telah menyempatkan waktu di sela kesibukan
dan memberi bantuan referensi penting.
9. Seluruh dosen Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10. Indra B Aden, melalui pria yang kutemui semasa kuliah di IISIP ini aku
mengenal Pram, dan akhirnya, Tirto.
11. Muhidin M Dahlan, yang telah memberikan foto copy Medan Prijaji
melalui Iswara yang didapatnya dari Bung Pram. Terus menulis, kawan.
12. Teman-teman peneliti di Jogja, khususnya Iswara N Raditya, kerja
kerasmu menulis Tirto akan berbuah suatu hari.
13. Kawan-kawan Kelompok Studi Kedai Pemikiran: Rendi, Aga, Lendi,
Nurman, Andika, yang telah bersama-sama mengkaji masalah
keIndonesiaan, termasuk pers dan membantu melengkapi referensi. Tetap
jalan, kawan. Ilmu untuk kemanusiaan!!.
14. Teman berbincang yang memberi kesan dengan segala warnanya: Hasan
sang pegandrung Semar, Riski si Aneuk Nangroe, Achmad Zaki dosen
muda yang menjadi teman diskusi tentang sastra, media, dan banyak hal.
15. Nabila ‘habiba’ al-Aidrus, ‘alarm’ terindah yang selalu mengingatkan
bahwa skripsi ini harus cepat selesai. Semoga segalanya indah pada
waktunya.
Semoga segala kebaikan terbalaskan. Sebagai sebuah skripsi yang beradu
cepat dengan waktu di sela kesibukan lain yang menghimpit, tentu karya
ini jauh dari sempurna. Namun semoga dapat bermanfaat bagi yang
membacanya.
Jakarta 15 Juni 2011
R.M. Joko Prawoto Mulyadi
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN.......................................................................... i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP..................................................................... ii
ABSTRAK..................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iv
DAFTAR ISI.................................................................................................. vi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah............................................................. 6
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 7
D. Tinjauan Pustaka.................................................................................. 7
E. Metode Penelitian................................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan.......................................................................... 11
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Pengertian Nasion dan Nasionalisme..................................................... 13
B. Peran Pers sebagai Kontra Opini Kolonial............................................. 24
C. Nasionalisme dalam Pers....................................................................... 30
BAB III. NASIONALISME YANG LAHIR DARI PERS
A. Geliat Pers di Hindia Belanda............................................................... 41
B. Medan Prijaji, Pers yang Berpolitik..................................................... 49
C. R.M Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Kebangsaan................................. 58
vii
BAB IV. NASIONALISME CETAK, PERLAWANAN PERS TERHADAP
PENJAJAHAN KOLONIALISME
A. Linguafranca sebagai Identitas Bangsa.................................................... 65
B. Kritisisme Medan Prijaji Terhadap Penguasa......................................... 70
C. Sentimen Kebangsaan Medan Prijaji: “Bangsa Jang Terprentah” dan
“Bangsa Jang Memrentah”....................................................................... 74
D. Pengaruh Medan Prijaji Terhadap Kemunculan Kaum Nasionalis
Revolusioner............................................................................................. 83
BAB V. KESIMPULAN..................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesadaran kebangsaan atau yang lebih akrab di telinga dengan istilah
„nasionalisme‟, merupakan tema perbincangan yang nyaris tak lekang digerogoti
usia. Sepertinya, hal tersebut akan terus dan terus diperbincangkan selama negeri
ini masih memiliki penghuni. Tema ini menjadi penting dan oleh karenanya selalu
up to date dikarenakan sifatnya yang merupakan bagian dari pembahasan jatidiri
bangsa, di mana di dalamnya terdapat temali cerita mengenai proses terbentuknya
sebuah bangsa. Bahkan dalam gaya yang agak hiperbolis namun saya pikir benar,
Hobsbawm menggambarkan bahwa sejarah manusia di planet Bumi ini tidak akan
dapat dipahami tanpa terlebih dahulu memahami istilah „bangsa‟ dan kosakata
yang berasal darinya, tentu termasuk di dalamnya „nasional‟ dan „nasionalisme‟
dalam segala bentuk dan polemik pembahasannya.1
Di samping itu pula, apa yang kita sebut dengan „nasionalisme‟ ini seolah
merupakan bahan bakar bagi lajunya sebuah bahtera besar bernama bangsa
dengan sekumpulan manusia yang bermula dari komunitas etni sebagai
penumpangnya. Dan bahan bakar itu harus terus menyala kobar mengepul demi
lajunya bahtera mengarungi luas samudera menuju satu pulau bernama
kemerdekaan sebagaimana bahtera itu ditujukan sejak awal.
1 E. J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI (Yogyakarta: Tiara Wacana,1992)
h.1
2
Namun demikian, apakah semua awak mengenali apa kiranya bahan bakar
yang bernama „nasionalisme‟ itu? Rasa-rasanya tidak semua dari mereka
memahaminya, tidak semua dari para penumpang bahtera bernama bangsa itu tahu
dari mana gerangan asal muasal diperolehnya bahan bakar „nasionalisme‟ itu.
Atau bahkan, jangan-jangan tidak semua dari penumpang itu tahu bagaimana
rupa-rupanya wujud daripada bahan bakar bernama „nasionalisme‟ tersebut.
Darimana ia digali atau dari rahim mana ia dilahirkan. Ini juga berarti bahwa apa
yang kita sebut sebagai para awak „bangsa‟ itu tidak mengenal betul dirinya sebab
„nasionalisme‟ atau kesadaran kebangsaan sejatinya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari diri suatu bangsa, sebagaimana seseorang tak berjarak dengan
perasaannya.
Mengenai hal ini, saya teringat betapa dahulu di sekolah dasar hingga
sampai pada tingkat menengah atas, pelajaran sejarah memberi informasi
mengenai darimana datangnya kesadaran kebangsaan. Dan sepertinya, antara kita
tak jauh berbeda, sebab kita dibentuk di dalam suatu sistem pendidikan yang
sama, oleh rejim yang juga sama. Dari sana saya beroleh suatu pengetahuan
bahwa nasionalisme atau kesadaran kebangsaan itu dilahirkan oleh suatu
momentum besar. Sebuah momentum bernama Kebangkitan Nasional. Kita tahu,
bahwa konsekuensi dari menyebut dua kata „kebangkitan‟ dan „nasional‟ adalah
memunculkan dua kata yang tampaknya tak mau jauh-jauh dari momen itu,
„Boedi Oetomo‟. Mengapa demikian? Entah! Sebab kita terlanjur diajarkan
demikian. Kita terlanjur diajarkan bahwa rahim yang melahirkan momen
3
kebangkitan bangsa adalah organisasi modern yang lokomotifnya adalah Boedi
Oetomo.2
Tentang anggapan ini, pada mulanya sebagaimana pelajar lainnya, saya
hanya ikut saja. Sebab yang saya baca dan dengar pada umumnya memang
demikian. Pun dengan segala bacaan yang ada pada waktu itu. Sampai suatu
ketika saya bertemu dengan sebuah buku berjudul „Sang Pemula’ yang ditulis
oleh Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan beraliran realis yang banyak
menulis karya sastra historis. Meski dengan segala kerendahan hatinya Bung Pram
menyebut bahwa karyanya tersebut bukanlah karya ilmiah sejarah, namun para
sejarawan mengapresiasinya sebagai sebuah karya sejarah yang patut
diperhitungkan. Bahkan sejarawan besar sekelas Denys Lombard dalam
membahas sejarah masyarakat miskin Blora, merekomendasikan para pembaca
untuk juga merujuk karya Pramoedya „Cerita dari Blora’ untuk dapat menangkap
suasana Blora dengan kemiskinan yang meliputinya.3
Di dalam buku yang dilarang penguasa Orde Baru itu, saya mendapatkan
suatu informasi berharga yang membawa saya dalam perasaan senang sekaligus
terheran-heran sebab info semisal itu tak pernah saya dapati pada buku-buku
sejarah yang saya baca sebelumnya (tentunya versi Orde Baru). Satu dari sekian
banyak informasi berharga itu menyangkut kebangitan nasional atau cikal bakal
kebangkitan kesadaran kebangsaan. Uniknya, Bung Pram tidak hanya melihat sisi
kebangkitan tersebut dari faktor organisasi modern (yang juga berbeda dari versi
penguasa), tapi juga melihatnya dari aspek media, dalam hal ini pers. Alhasil,
2 Bambang E. Budhyono, Menggugat Boedi Oetomo dalam Indonesia Newsnet vol.1.
No.1, h. 17
3 Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Jogjakarta:Tiara Wacana, 2008) h. 29
4
dalam karya tersebut ia menggambarkan betapa pers, termasuk di dalamnya
Medan Prijaji, memainkan peran penting dalam membakar kesadaran kebangsaan
terutama bagi kalangan terpelajar.4
Namun demikian, kendati buku tersebut sudah dengan leluasa beredar dan
banyak dibaca kalangan akademisi, dan banyak pula menyusul karya senafas,
pembahasan seputar pers dan nasionalisme masih bernasib tak berbeda. Masih
menjadi topik yang kerap dilewatkan begitu saja, atau bahkan dilupakan. Mungkin
anggapan bahwa keberadaan pers kurang begitu mendapat perhatian akibat
ketidakpahaman akan betapa pentingnya instrumen yang satu ini menjadi sah
ketika ditujukan pada mereka yang awam. Tapi menjadi agak rancu dan amat
disayangkan ketika insan akademis pun masih belum membuka mata mengenai
hal ini. Berkenaan dengan masih belum ramainya jalan tersebut maka saya
memutuskan mengangkat tema penting ini untuk dituliskan.
Dalam skripsi ini, saya akan mencoba menuliskan betapa pers memainkan
peranan penting dalam proses penyemaian bibit kesadaran kebangsaan. Masalah
ini saya angkat dengan mengambil latar masa kolonial dengan Medan Prijaji
sebagai pers pada zaman tersebut. Ini saya lakukan bukan tanpa alasan. Pertama,
mengapa masa kolonial, sebab ini akan membantu kita untuk menemukan akar
genealogis proses lahirnya kesadaran kebangsaan. Kedua, mengapa pers, sebab
selama ini ketika berbicara masalah kebangkitan kesadaran kebangsaan, fokus
pembicaraan selalu ditujukan pada satu nama, Boedi Oetomo. Pandangan tersebut
seolah memberi kesan bahwa organisasi modern yang masih berwatak Jawa
4 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra,1985) h. 68 dan 146
5
Sentris tersebut adalah satu-satunya pemberi sumbangsih atas bangkitnya
kesadaran kebangsaan.
Meskipun belakangan banyak lahir pandangan berbeda perihal siapa bidan
yang membantu proses lahirnya kesadaran kebangsaan semisal tesis yang diajukan
M.C. Ricklefs bahwa tonggak kebangkitan nasional bukanlah Boedi Oetomo,
melainkan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan pada 4 Juli 1927 oleh
Bung Karno.5 Pendapat lain lagi datang dari Ahmad Syafii Maarif. Beliau seolah
berupaya mencarikan jalan tengah perihal momen kelahiran kebangkitan nasional
atau kesadaran kebangsaan. Jalan tengah itu adalah dengan mengusung hari
Sumpah Pemuda.6 Ini tentu bari sebagian pandangan, sebab ada berbagai pendapat
lain yang akan lahir berdasar pada latar cara pandang golongan atau orang yang
memberi pandangan. Kelompok Islam sentris misalnya pasti akan mengusung
Sarekat Islam sebagai tonggak kebangkitan nasional. Mengenai hal ini akan saya
bahas pada bab II dari karya tulis ini dalam bagian nasionalisme. Termasuk pada
bagian itu pula saya akan jelaskan mengapa pada bagian-bagian awal saya
memberi tanda kutip pada kata nasionalisme.
Namun demikian, bersamaan dengan beragamnya pandangan tersebut di
atas, agaknya peran pers tetap tak mendapat perhatian, atau bahkan tak begitu
dianggap keberadaannya. Padahal sejatinya daya tohok sebuah berita bisa
merogoh jantung penguasa. Sebagaimana digambarkan dalam terbitan Pertja
Selatan, sebuah suratkabar yang pada generasi setelah Medan Prijaji melakukan
5 M.C. Ricklefs, Kebangkitan Nasional dan Kebangkitan Nasionalisme dalam Jurnal
MAARIF vol.3. No. 2 edisi Mei 2008, h.4
6 Ahmad Syafii Maarif, Jelang 80 Tahun Kebangkitan Nasional dalam Jurnal MAARIF
vol.3. No. 2 edisi Mei 2008, h.11
6
perlawanan terhadap kolonialisme, bahwa ”journalist ada satoe toekang
gembreng, satoe censor, satoe adviseur, satoe regert dari keradjaan, satoe
pendjaga dari kebangsaan. Soerat kabar jang mardika ada lebih ditakoetin
daripada seriboe bajonet jang tadjem.”7 Pun demikian halnya dengan Medan
Prijaji, surat kabar pribumi pertama dengan kesadaran politik yang dibidani oleh
R.M. Tirtoadhisoerjo ini benar-benar seperti lambangnya, seorang ksatria
memanah. Medan Prijaji ibarat busur yang melejitkan anak panah pemikiran kritis
ke arah jantung „bangsa jang memrentah‟ dan kroni-kroninya hingga mereka
muntah darah.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Pembahasan seputar kesadaran kebangsaan atau nasionalisme merupakan
tema yang sangat luas dan dapat didekati dari berbagai sisi, demikian pula halnya
dengan tema seputar pers yang dapat diamati dari berbagai sudut. Terlebih ketika
keduanya disandingkan menjadi pasangan tema dalam sebuah karya tulis ilmiah,
tak terbayangkan betapa berlimpahnya aspek yang dapat disajikan.
Namun demikian, dengan segala keterbatasan yang menyelimuti saya
sebagai seorang mahasiswa program sarjana strata satu, dan untuk memudahkan
saya dalam menggembala sekawanan ide liar di tengah luasnya tema tersebut,
maka dalam skripisi ini, saya mencoba membatasi masalah pada kesadaran
kebangsaan atau nasionalisme Indonesia (pada masa itu istilah „Indonesia‟ sendiri
belum lahir) yang kesadaran awalnya dibangkitkan oleh pers bumiputera bernama
7 Basilus Triharyanto, Pers Perlawanan; Politik Anti Kolonialisme Pertja Selatan
(Yogyakarta: LKIS, 2009) h. xvi
7
Medan Prijaji. Dan untuk mempermudah, maka saya merumuskannya ke dalam
format pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah gagasan kesadaran kebangsaan terdapat dalam Medan
Prijaji?
2. Bagaimana kesadaran kebangsaan ditemukan dalam Medan Prijaji?
C. Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini ditujukan untuk memperkaya sudut pandang
mengenai proses kelahiran kesadaran kebangsaan atau momen
kebangkitan nasional yang selama ini didominasi oleh perspektif
gerakan organisasi moderen-sentris.
2. Penulis berharap hasil penelitian ini berguna bagi peminat studi
yang berkenaan dengan tema penelitian dan menambah referensi
mengingat terbatasnya referensi seputar tema penelitian ini.
D. Tinjauan Pustaka
Studi atau penelitian tentang bagaimana pers memainkan peran aktif dalam
upaya menyemai bibit kesadaran kebangsaan memang belum seramai tema
lainnya. Terlebih di Indonesia, penelitian yang memfokuskan diri pada
bagaimana peran pers dalam menanamkan dan sekaligus menyulut kesadaran
kebangsaan belum banyak dijumpai. Mengenai keterbatasan ini, saya alami
langsung dari betapa sulitnya mencari literatur berkenaan dengan tema
tersebut. Beruntung saya bertemu dengan karya Pramoedya Ananta Toer,
„Sang Pemula’ yang pada akhirnya membawa saya jauh masuk pada studi ini.
8
Karya ini terbilang kuat sebab ia menyandarkan analisisnya pada sumber
primer. Di dalamnya, sang penulis mencoba menuturkan sepak terjang Medan
Prijaji dengan merekam jejak langkah sang empunya, R.M. Tirtoadhosoerjo
yang pada saat kesadaran politiknya menjadi matang maka ia menjadikan
terbitannya sebagai pers yang berpolitik.
Karya lain yang juga komprehensif dan memiliki cakupan lebih luas
datang dari negeri Jiran. Sebuah buku yang sejatinya merupakan desertasi
doktoral Ahmat Adam berjudul „Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan
Kesadaran Keindonesiaan‟ juga memberikan gambaran jelas bagaimana
perjalanan panjang pers di Hindia Belanda, dari mulai berada di tangan bangsa
Eropa, Tionghoa, hingga berada total dalam genggaman bumiputera yang pada
gilirannya memainkan peran sebagai motor gerakan penyadaran kesadaran
kebangsaan. Bakan dalam karya ini, Adam juga memberi suatu gambaran
betapa kesadaran kebangsaan kita juga muncul, salah satunya akibat dari
memanasnya kesadaran kebangsaan warga Tionghoa di tanah Nusantara.8
Adapun karya terkini berkenaan dengan karya seputar Medan Prijaji dan
Tirtoadhisoerjo adalah beberapa karya yang merupakan buah kerja keras
kawan-kawan peneliti muda di Yogyakarta di bawah koordinasi Muhidin M
Dahlan. Karya semisal Tanah Air Bahasa, memang hanya menampilkan
sepintas lalau profil Medan Prijaji dan Tirtoadhisoerjo, namun format yang
selayang pandang itu bukan berarti bahwa buku yang merupakan kumpulan
artikel ini miskin data. Hanya saja memang karya yang memuat kumpulan esai
8 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan ( Jakarta:
Hasta Mitra, 2003) h. 209
9
singkat tersebut tak cukup memadai bagi kita yang ingin menyelam lebih
dalam. Karya lain yang menurut saya luarbiasa adalah sebuah buku berjudul
„Karya-Karya Lengkap Tirtoadhisoerjo; Pers Pergerakan dan Kebangsaan‟
yang merupakan hasil penyusunan ulang karya-karya Tirtoadhisoerjo baik
yang termuat dalam Medan Prijaji maupun terbitan lain. Kendati merupakan
kompilasi karya yang disusun dan ditulis ulang, namun apa yang dilakukan
penyusunnya, Iswara N Raditya, merupakan suatu yang meletihkan. Selain itu,
karya ini layak diapresiasi sebab membantu memudahkan kita yang ingin
meneliti seputar Medan Prijaji, Tirtoadhisoerjo, suratkabar lainnya atau yang
berkenaan dengan itu tanpa harus bergulat dengan sulitnya mencari naskah
asli yang sulit ditemukan.
Namun demikian, karya-karya tersebut umumnya merupakan karya
sejarah yang disajikan selayaknya karya historis. „Sang Pemula’ misalnya,
lebih menyoroti pada tokoh Tirtoadhisoerjo dalam berbagai aspek
kehidupannya, salah satunya di bidang pers. Meskipun dalam buku yang lebih
nampak sebagai sebuah biografi ini termuat pula karya fiksi dan non-fiksi dari
Tirtoadhisoerjo yang dimuat dalam terbitan-terbitan, namun Pramoedya
Ananta Toer tidak fokus pada pembahasan seputar Medan Prijaji saja.9 Karya
lain semisal „Karya-Karya Lengkap Tirtoadhisoerjo; Pers Pergerakan dan
Kebangsaan‟ yang ditulis Iswara N Raditya pun bernafas sama, sejarah.
Sejatinya, karya ini lebih merupakan sebuah upaya penyelamatan naskah
9 Dalam Sang Pemula, khususnya pada bagian yang menerangkan kiprah Tirtoadhisoerjo
di bidang pers, Pramoedya tidak terfokus hanya pada Medan Prijaji, namun lebih kepada
menyoroti jejak langkah Tirtoadhisoerjo sebagai seorang jurnalis di beberapa media semisal
Pemberita Betawi yang di kepalai oleh seorang hoofdredactuur atau pemimpin redaksi asing,
hingga akhirnya ia memiliki terbitannya sendiri. Lih. Pramoedya ananta Toer. Sang Pemula.
Bagian I. Bab II (Jakarta: Hasta Mitra, 1985)
10
bersejarah yang disusun ulang ke dalam format buku. Dan karenanya kita
tidak bisa menuntut banyak tentang analisis seputar peran politik Medan
Prijaji di dalamnya. Kemudian karya Ahmat Adam „Sejarah Awal Pers dan
Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan‟ pun lebih fokus pada sudut pandang
historis, meskipun sebagai sebuah karya desertasi doktoral tentunya
menyiratkan banyak analisis. Karya-karya lain yang bertebaran seputar sejarah
pers pergerakan pun hanya memuat sepintas lalu tentang Medan Prijaji dan
kiprahnya. Ini membuat saya tertantang untuk menuliskan sebuah karya utuh
yang membahas peran Medan Prijaji dalam melawan laku kesewenangan dari
penguasa. Dan sebuah motivasi datang dari karya Basilus Triharyanto „Pers
Perlawanan‟ yang membahas secara utuh sepak terjang koran Pertja Selatan
di Palembang dalam menghadapi kolonialisme. Hingga akhirnya saya semakin
yakin dan optimis bahwa penulisan tentang kiprah Medan Prijaji dalam
menumbuhkan rasa kebangsaan ini harus terwujud.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian untuk kepentingan penulisan karya tulis ilmiah atau
skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif berbasis pada
kepustakaan dengan pendekatan deskriptif analitik, yakni dengan memberi
pemaparan umum menyengkut nasionalisme serta analisis lebih fokus pada
Suratkabar Medan Prijaji. Dan sebagai faktor penting dari proses penelitian
tersebut, tentu diperlukan data yang saya peroleh dari dua tipe data, yakni primer
11
dan sekunder.10
Data primer merupakan data yang saya peroleh berupa terbitan
Medan Prijaji tahun ke III. 1909. Sedangkan data sekunder merupakan data
pendukung yang saya ambil dari berbagai sumber semisal buku, jurnal, majalah,
koran, video yang berisi wawancara ataupun sumber lain yang berkaitan dengan
topik penelitian.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari beberapa bagian. Bab I. Merupakan bab
awal yang membahas tentang latar belakang masalah yang diteliti, batasan dan
rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, serta
sistematika penulisan. Sedangkan pada bab berikutnya, bab II, memuat bahasan
seputar landasan teori yang menjelaskan mengenai apa itu pers, bagaimana peran
pers dalam membangun opini publik, apa itu nasionalisme, dan akhirnya
bagaimana gambaran nasionalisme dalam pers yang banyak merujuk pada
Benedict Anderson.
Pada bagian selanjutnya, yakni bab III, akan memuat mengenai latar
historis yang menjelaskan cikal bakal kelahiran nasionalisme yang dibidani oleh
pers dengan menggambarkan geliat pers di nusantara beserta coraknya masing-
masing, dari yang komersil sampai ideologis, dari yang agamis, kesukuan, hingga
berwatak nasional. Pada bab ini pula dimuat sosok Tirtoadhisoerjo, sang pelopor
pers kebangsaan yang tak bisa dilepaskan dari pembahasan. Dan pada bab IV akan
ditampilkan bagaimana Medan Prijaji memainkan peran dalam menumbuhkan
sentimen kebangsaan. Pada bab ini termuat betapa Medan Prijaji memuat artikel-
10 Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2008-2009 (Jakarta: Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN, 2009) h.466.
12
artikel tajam yang menyerang laku semena-mena penguasa, istilah “bangsa jang
memerentah” dan “bangsa jang terprentah” sebagai penegasan identitas nasional
sebuah bangsa, lingua franca sebagai bahasa operasional pers dan identitas
bangsa, serta akhirnya bagaimana Medan Prijaji memberi pengaruh terhadap
kemunculan kaum nasionalis revolusioner. Terakhir, bab V merupakan bagian
penutup yang memuat kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
Studi nasionalisme memiliki keunikan dan kerumitannya sendiri. Oleh
karenanya, banyak disiplin ilmu lain yang kerap „turun tangan‟ dalam membahas
tema ini. Sebut saja pendekatan pscakolonial yang di dalamnya juga didapati
beragam analisis seperti linguistik, semiotik dan pers. Pada bagian ini saya tidak
akan berkutat pada pendekatan pascakolonial yang menurut beberapa tokohnya
sendiri, problematis. Tetapi saya akan membahas nasionalisme melalui salah satu
aspek pembentuknya saja, pers. Namun demikian, sebelum masuk pada
pembahasan menyangkut pers dan kaitannya dengan nasionalisme, terlebih dahulu
saya akan paparkan sedikit mengenai bangsa dan kebangsaan.
A. Pengertian Nasion dan Nasionalisme
Sebelum masuk pada pembahasan Nasionalisme, maka terlebih dahulu
saya akan berikan sedikit gambaran tentang apa itu bangsa. Sebab ini akan sangat
berkaitan meskipun pada akhirnya tidak tertutup kemungkinan pembahasan
„bangsa‟ terselip di tengah pembahasan nasionalisme. Pembahasan mengenai
bangsa juga menjadi penting sebab mau atau tidak, cepat atau lambat, kita akan
bertemu dengan pembahasan tentang yang mana melahirkan yang mana, apakah
bangsa melahirkan nasionalisme atau sebaliknya, nasionalisme (dalam
kapasitasnya sebagai kesadaran kebangsaan, atau lebih tepatnya nationalitas)
melahirkan bangsa.
Dalam pandangan teoritikus seperti Anthony D Smith, „bangsa‟
merupakan istilah yang paling problematik dan kerap mengundang perdebatan.
14
Mengenai hal ini, Charles Tilly menyebutnya sebagai salah satu hal yang paling
menimbulkan teka-teki dan tendensius dalam kamus politik.1
Upaya
mendefinisikan istilah bangsa memang tak semudah melafalkannya. Berbagai
definisi coba ditawarkan oleh teoritisi mulai dari definisi objektif yang
menekankan aspek bahasa, wilayah, dan sebagainya hingga definisi subjektif yang
lebih menekankan aspek sikap, sentimen dan persepsi.
Definisi objektif dapat kita ambil dari contoh pengertian yang datang dari
Joseph Stalin yang mengatakan bahwa sebuah bangsa terbentuk secara historis
yang merupakan komunitas rakyat stabil yang terbentuk dengan dasar kesamaan
bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi, serta keadaan psikologis yang terwujud
dalam budaya bersama. Sedangkan definisi subjektif dapat kita ambil dari
Benedict Anderson yang berpandangan bahwa bangsa adalah suatu komunitas
politik yang dibayangkan.2
Dalam karya berjudul Nationalism a Very Short Introduction, Grosby
menuliskan:
“The nation is a territorial community of nativity...........It differs from
other territorial societies such as a tribe, city-state, or various „ethnic groups‟ not
merely by the greater extent of its territory, but also because of its relatively uniform
culture that provides stability, that is, continuation over time.”3
Meskipun Grosby menengarai definisi tersebut sebagai suatu pengertian yang
agak rumit meskipun pada gilirannya ia memberikan titik cerah bernama
kesadaran kolektif yang mendasari sebuah bangsa. Namun dari kutipan tersebut
1 Anthony D Smith, Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah (Jakarta: Erlangga,2002)h. 12
2 Benedict Anderson, Imagined Communities, (Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka
Pelajar, 2008) h. 8 3“Bangsa adalah sebuah komunitas teritorial... ini berbeda dari masyarakat teritorial
lainnya seperti suku, negara kota, atau berbagai kelompok etnik tidak hanya berdasar pada luas
teritori lebih besar, tapi juga karena kebudayaan yang relatif seragam yang memberikan stabilitas,
karenanya, berkelanjutan sepanjang waktu”. lihat Steven Grosby, Nationalism A Very Short
Introduction. (Oxford, 2005) h. 7
15
setidaknya kita memperoleh ilustrasi awal bahwa apa yang disebut bangsa
merupakan suatu yang berbeda dari sekadar suku atau etnik yang berkelompok
dalam sebuah komunitas. ini menjadi penting untuk digarisbawahi meski pada
gilirannya kita akan mendapati betapa sejarah nasionalisme Eropa menjadi
demikian rumit oleh sebab tumpang tindih antara bangsa dan ras.
Dalam sebuah bab mengenai nasionalisme, Lathrop Stoddard menuliskan
bahwa istilah bangsa dan ras kerap digunakan seenaknya dan oleh karenanya
menciptakan kebingungan.4
Ketumpangtindihan ini, dalam pandangan Smith,
merupakan akibat yang tak terhindarkan sebab bangsa dan komunitas lainnya
(seperti etnik atau ras) sama-sama merupakan bagian dari kelompok fenomena
yang sama. Hanya saja bangsa bukan merupakan komunitas etnik oleh karena apa
yang saya sebut terakhir tidak memiliki rujukan politik.5
Namun Smith menggarisbawahi bahwa dalam praktiknya, tidak ada garis
tegas yang membatasi antara bangsa dan komunitas etnik, terlebih jika melihat
pada definisi David Miler yang mengartikan bangsa secara sangat berdekatan
dengan komunitas etnik. Menurutnya, bangsa merupakan suatu komunitas yang
terbentuk dari keyakinan bersama dan komitmen saling menguntungkan, memiliki
latar sejarah, berkarakter aktif, berhubungan dengan wilayah tertentu, dan
dibedakan dari komunitas lain melalui budaya publiknya yang khas.6
Sementara menurut Stoddard, perbedaan antara bangsa dan ras sangatlah
jelas. Bangsa merupakan suatu pengertian yang berlandaskan pada keadaan
psikologis, sebuah gagasan. Sedangkan ras lebih bersifat jasmaniah yang dapat
4 Lathrop Stoddard, Dunia Baru Islam, (Jakarta: Panitia Penerbitan, 1966) h. 138
5 Anthony D Smith, Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah h. 14
6 Anthony, Nasionalisme...., h. 15
16
ditentukan oleh ciri fisik.7 Nah, berangkat dari pengertian bangsa tersebut, maka
kita akan sampai pada suatu pemahaman bahwa bangsa dilahirkan oleh sebuah
keadaan jiwa (sate of mind) yang menuntun seseorang atau sekelompok orang
untuk hidup bersama dalam semacam ikatan persaudaraan suci. Rasa kebangsaan
atau kesadaran kebangsaan inilah yang pada akhirnya kita kenal dengan gagasan
kebangsaan atau „nasionalisme‟.
Lantas bagaimana dengan pertanyaan mengapa sekelompok orang yang
sudah memiliki kemapanan identitas sebagai sebuah ras, etnik atau suku yang
merupakan realitas nyata harus membangun ulang identitas baru yang masih
berjarak dengan diri mereka. Identitas bernama bangsa itu saya katakan berjarak
sebab memang ia belum hadir bersama kelompok manusia yang berkumpul di
bawah naungan identitas suku atau etnis tertentu. Dalam bahasa yang juga kerap
dikutip orang, Bennedict Anderson bahkan menyebutnya masih dalam
pembayangan.
Namun tentu bukan sekadar lamunan, melainkan pembayangan yang
mampu melahirkan pentas drama ke “kita” an dengan segala keterikatan yang
menggugah, sekaligus kolosal.8 Tentu istilah bangsa yang lahir dari pembayangan
kembali mengundang perdebatan akibat ragam penafsiran atas istilah tersebut.
Namun pada bab empat kita akan coba membincang hal tersebut, bahwa masih
dalam upaya „pembayangan‟, Tirtoadhisoerjo tidak memetik gagasan kebangsaan
dari langit, namun memungutinya dari bumi.
7 Lathrop, Dunia Baru Islam. h. 138
8 Benedict Anderson, Imagined Communities, h. 11
17
Dan mengenai mengapa sekelompok orang memilih untuk beralih pada
indentitas baru bernama bangsa, tidak lain adalah karena mereka merasa bahwa
identitas lamanya tidak lagi menawarkan sesuatu di tengah dialektika sejarah dan
persentuhan mereka dengan realitas sosial politik yang terus bergulir sejurus
waktu. Dalam kasus Indonesia, kita bisa melihat bahwa pada mulanya bangsa ini
belum ada dan masih merupakan komunitas-komunitas etnik yang terpencar dan
tak terhubung dalam sebuah gulungan pola komunikasi sebagaimana saat ini kita
dapat beroleh informasi tentang apa yang menimpa saudara kita di Jogja dan
daerah lain dalam hitungan detik.
Mengenai hal ini, lebih lanjut akan kita bahas pada bagian berikut di mana
suratkabar memainkan peran melipat jarak dan oleh karenanya sebuah bangsa
memiliki peluang untuk dihadirkan dalam apa yang disebut Anderson dengan
„pembayangan‟. Pun demikian halnya dengan bab empat yang akan mempertajam
pembayangan tersebut melalui teks yang menghadirkan kontradiksi antara bangsa
„jang terprentah‟ dengan bangsa „jang memerentah‟.
Sekali lagi, jawaban atas pertanyaan mengapa sekelompok manusia mau
hidup bersama di bawah naungan baru bernama bangsa juga tak luput dari
pantauan seorang teoritikus Marxis, E. J. Hobsbawm. Dalam catatnnya,
Hobsbawm menggarisbawahi bahwa di antara alasan yang menjadikan sebab
mengapa sekelompok orang mau menjadi Bangsa adalah juga sama sebagaimana
pandangan umum, yakni pada adanya rasa kesamaan pada beberapa aspek semisal
bahasa, kebudayaan, teritori, atau kesukuan.9 Namun sebagaimana juga dirasa
9 E. J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI. (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1992) h. 5
18
Hobsbawm, saya melihat bahwa kriteria ini tak selamanya cocok dalam beberapa
hal. Utamanya dalam hal dasar kesukuan. Saya khawatir bahwa aspek ini
memiliki kecenderungan untuk mengantarkan kita pada apa yang disebut Stoddard
sebagai pseudo rasial pada pengalaman Eropa.10
Sedangkan pembahasan mengenai bahasa sebagai salah satu instrumen
bangsa akan kita temukan pada bab empat yang akan menjelaskan peran media
dalam memediasi linguafranca sebagai identitas budaya dan politik sebuah
bangsa sekaligus sarana mengkonstruk realitas baru bernama bangsa itu sendiri di
kepala para pembacanya. Sedangkan aspek lain yang juga perlu mendapat catatan
adalah mengenai wilayah.
Tentu kita sepakat bahwa apa yang kita sebut dengan nasional bukan
hanya melulu manusia sebagai entitas bangsa, melainkan juga wilayah. Namun
patut kiranya dicatat mengenai keberadaan di mana seorang atau kelompok
berdiam di “luar” teritori nasional. Masih mengutip Hobsbawm bahwa
„nasionalitas‟ juga berhak dilekatkan pada seseorang di mana pun ia tinggal.11
Ada sebuah contoh mengenai hal ini dalam sejarah kebangsaan kita. Pada
polemik kebangkitan nasional, kerap kali kita dihadapkan pada perdebatan pelik
yang salah satu nadanya adalah penolakan terhadap mereka yang berada di luar
wilayah Nusantara. Namun pada saat yang sama juga kita tak dapat memungkiri
bahwa apa yang dilakukan sekelompok pelajar atau mahasiswa bumiputera di
negeri Belanda dalam sebuah kelompok bernama Indische Vereeniging atau kelak
10 Lathrop, Dunia Baru Islam, h. 141
11 Hobsbawm, Nasionalisme... h. 7
19
berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1922, juga memberikan
sumbangan berarti bagi gerakan kesadaran kebangsaan.12
Boleh jadi cara pandang ini juga yang mendasari pemikiran Syafii Maarif
untuk mengatakan bahwa organisasi yang pada gilirannya melahirkan sosok seperi
Hatta, Sjahrir, dan sebagainya ini merupakan salah satu tonggak kebangkitan
nasional.13
Ini sekaligus merupakan suatu contoh betapa keberadaan seorang dari
kelompok bernama bangsa itu bukan menjadi masalah sebagaimana juga
pandangan ini dilontarkan para Marxis Austria.14
Sekarang kita masuk pada pembahasan nasionalisme. Sebagai sebuah
pokok bahasan, nasionalisme memang cukup rumit dan memiliki keunikannya
sendiri. Pembahasannya pun menjadi tidak sesederhana ideologi lain semisal
sosialisme, komunisme, liberalisme, dan sebagainya. Oleh karena
ketidakmudahan mengurai tema ini maka pada bagian awal saya kerap
menggunakan tanda kutip pada kata nasionalisme. Ini memang sengaja saya
lakukan dengan maksud menekankan bahwa hal tersebut masih multi makna dan
akan saya bahas pada bagian ini.
Perdebatan demi perdebatan pasti akan kita jumpai dalam tema ini dan
kalau toh ada kesepakatan mengenai istilah nasionalisme, sebagaimana ditulis
Anthony D Smith, itu mengenai kesamaan pandangan mengenai nasionalisme
sebagai sebuah istilah modern. Sejarah nasionalisme memang tak bisa dilepaskan
dari akar kelahirannya, Eropa. Masih dalam catatan Smith bahwa istilah
12 M.C. Ricklefs, Kebangkitan Nasional dan Kebangkitan Nasionalisme dalam Jurnal
MAARIF vol.3. No.2, edisi Mei 2008, h. 8
13 Ahmad Syafii Maarif, Jelang 80 Tahun Kebangkitan Nasional dalam Jurnal MAARIF
vol.3. No.2, edisi Mei 2008, h. 11
14 Hobsbawm, Nasionalisme... h. 7
20
nasionalisme dalam konteks sosial politik merujuk pada dua nama, yakni filsuf
Jerman Johann Gottfried Herder dan seorang biarawan kontra-revolusioner
Perancis, Uskup Augustin de Barruel. Menurut Smith pada mulanya, sekitar tahun
1836, istilah nasionalisme hadir dalam bahasa Inggris berkenaan dengan doktrin
teologis yang mengatakan bahwa ada bangsa tertentu yang merupakan bangsa
pilihan Tuhan.15
Namun dalam catatan Lathrop Stoddard, alih-alih mengusung rasa
kebangsaan sebagai satu kesatuan entitas bangsa, sejarah nasionalisme Eropa
justeru sarat dengan muatan rasial. Ini tampak dari pemahaman mereka mengenai
nasionalisme atau rasa kebangsaan yang pada umumnya merujuk pada apa yang
disebut Stoddard dengan persamaan dan kesatuan kebudayaan, bahasa, dan
sejarah.16
Namun landasan kesamaan tersebut masih merujuk pada dasar ras
apakah itu Slavia, Latin, Anglosakson, Teuton dan semacamnya. Masih menurut
Stoddard bahwa pada mulanya ide kebangsaan berpangkal pada cara pandang
yang picik dari abad pertengahan yang menyandarkan sebab perbedaan antara
bangsa dengan batasan geografis, feodal, serta perbedaan logat bahasa. Namun
pada paruh pertama dari abad 19 pandangan tersebut kian meluas.
Dengan berkembangnya paham atau gagasan kebangsaan ini, maka
gagasan awal mulai ditinggalkan. Stoddard mencatat bahwa pada masa inilah
nasionalisme hampir-hampir dimaknai meliputi semua yang sedarah seketurunan
oleh ikatan bahasa, budaya, dan sejarah, meskipun mereka sangat berjauhan.17
15 Anthony, Nasionalisme.... h. 6
16
Lathrop, Dunia Baru Islam h. 140
17 Lathrop, Dunia Baru..... h. 140
21
Namun demikian, ini menunjukkan kepada kita bahwa dalam sejarah
nasionalisme Eropa, terjadi tumpang tindih antara kesadaran kebangsaan dengan
semangat kejayaan ras. Ini akan tampak jelas ketika pada akhirnya sejarah
menunjukkan pada kita bahwa nasionalisme Eropa sebagaimana kita bahas tadi
mengalami metamorfosa dan segera menjadi paseudo rasial (meminjam istilah
Stoddard) dengan diusungnya panji-panji “Pan Jermania”, “Pan slavia”, “Pan
Britania”, “Pan Latinia”, dan sebagainya.18
Kendati demikian, sebagaimana telah saya tuliskan di atas, bahwa
permasalahan tumpang tindihnya pemahaman antara nasionalisme dengan
pandangan rasial dapat dihindari ketika kita tidak tumpang tindih dalam
memahami antara bangsa dengan ras. Bahwa yang saya sebut pertama lebih
merupakan suatu yang berdasar pada keadaan psikologis sedangkan yang kedua
adalah keadaan jasmaniah yang ditandai dengan ciri fisik.
Maka berdasar pada pemahaman ini kita akan mendapati bahwa
nasionalisme sejatinya merupakan suatu keadaan jiwa, suatu keyakinan sejumlah
besar manusia untuk bersatu dan hidup bersama sebagai satu kesatuan sebagai
sebuah entitas bangsa.19
Sebuah tawaran mengenai penggunaan istilah nasionalisme datang dari
Anthony D Smith. Melalui definisi yang disodorkan Smith, kita dapat memetik
pandangan yang melihat nasionalisme setidaknya dalam lima sudut. Pertama,
Smith mengajak kita untuk melihat nasionalisme sebagai sebuah proses
pertumbuhan atau pembentukan bangsa. Kedua, ia memandang nasionalisme
18 Lathrop, Dunia Baru ..... h. 141
19
Lathrop, Dunia Baru..... h. 137
22
sebagai sentimen atau kesadaran memiliki bangsa. Ketiga, Smith menyorotinya
sebagai anasir yang memuat peran penting bahasa dan simbolisme bangsa.
Keempat, ia memandangnya sebagai sebuah gerakan sosial politik yang ditujukan
demi bangsa. Dan terakhir, ia mengartikannya sebagai sebuah doktrin dan atau
ideologi bangsa dalam artian umum maupun khusus.
Ada sebuah poin yang mesti digarisbawahi menyangkut pengertian kedua,
yakni sentimen atau kesadaran. Hal ini penting sebab merupakan kata kunci
pembahasan kita sekaligus menjadi alasan mengapa pada bagian awal tuisan ini,
saya menghindar sejak dini dari penggunaan istilah nasionalisme dan kalau toh
terpaksa maka saya menulisnya dalam tanda kutip. Mengenai pengertian kedua
ini, Smith memberi catatan khusus sebab sentimen kebangsaan seseorang tidak
serta merta membuat ia terlibat dalam gerakan nasionalis.20
Agak aneh terdengar
memang, tapi itulah faktanya menurut Smith. Dan secara tidak langsung,
penjelasan ini juga membantu menerangkan mengapa saya memilih istilah
kesadaran kebangsaan atau kita bisa menyebutnya proto nasionalisme. Sebab
istilah nasionalisme lebih cenderung mengarah pada konotasi ideologis yang
mapan dan tersistematisasi dan terlanjur dimaknai sebagai ideologi politik sebuah
partai dan semacamnya.
Kendati demikian, kita tak perlu terlalu dipusingkan dengan istilah tersebut
ketika kita tahu bahwa ada fase di mana kesadaran kebangsaan atau nasionalisme
berjalan pada tahapan-tahapan yang selaras dengan laju sejarah terbentuknya
bangsa. Sebagai kesadaran kebangsaan, kita melihat nasionalisme mula-mula atau
proto nasionalisme tak ubahnya fase penyemaian benih-benih sebuah bangsa
20 Anthony, Nasionalisme.... h. 7
23
sebagaimana dilakukan Tirtoadhisoerjo dengan suratkabarnya, Medan Prijaji.
Berikutnya, nasionalisme berkembang menjadi sebuah semangat gerakan
pembebasan sampai pada upaya pembentukan sebuah negara, dan setelah itu kita
bertemu dengan nasionalisme yang telah bermetamorfosa menjadi ideologi politik
partai dan semacamnya dalam konstelasi politik yang sudah berbeda dengan tahap
awal penyemaian benih-benih tadi.
Melalui ilustrasi tersebut, saya rasa kita tak akan terlilit kepeningan yang
lahir dari istilah nasionalisme. Sebuah tawaran yang datang dari Ben anderson
agaknya akan makin memperjelas mengenai bagaimana semestinya kita
memandang nasionalisme. Dalam pandangan Anderson, kerumitan yang selama
ini terjadi ialah akibat dari pemahaman kita yang terlanjur mencatat Nasionalisme
dengan “N” kapital. Sehingga konsekuensi logisnya, ia akan cenderung dimaknai
sejajar dengan Marxisme atau Liberalisme. Masih menurut Anderson, jika saja
kita melihat nasionalisme dengan “n” kecil, maka hal itu tidak akan teradi dan
oleh karenanya tak akan ada kerumitan. Ini juga sekaligus mengantarkan kita
untuk meletakkan nasionalisme menjadi sesuatu yang berbagi ruang dengan
agama atau kekerabatan, bukan dengan Isme-isme lain.21
Pengertian yang
ditawarkan Anderson ini akan membantu kita dalam melihat nasionalisme dalam
kaitannya dengan proses awal, yakni penyemaian benih kesadaran kebangsaan
yang dimainkan salah satunya oleh media, dalam hal ini Medan Prijaji.
Setelah jernih dengan penjelasan di atas, saya akan kembali mengajak kita
semua untuk bersentuhan dengan Smith. ia mencatat bahwa ada yang disebut
dengan definisi kerja nasionalisme yang diartikan sebagai suatu gerakan ideologis
21 Benedict Anderson, Imagined Communities, h.8
24
guna mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas sebuah
kelompok dengan sejumlah anggota yang memiliki kebulatan tekad untuk
membentuk bangsa.22
Ia juga mencatat bahwa di negara-negara pascakolonial di
kawasan Afrika dan Asia, tentu negara kita termasuk di dalamnya, nasionalisme
tidak berhenti atau terbatas hanya pada sasaran politik, tapi juga menyangkut
identitas nasional terutama berkenaan dengan masalah budaya.
Ia menambahkan bahwa setiap nasionalisme mengejar sasaran identitas
nasional ini dalam tingkatan berbeda-beda, namun akan kembali pada ideal
bangsa tersebut.23
Dalam kasus Indonesia, pembahasan-pembahasan lanjut akan
mengantarkan pembaca untuk sampai pada apa sebenarnya ideal daripada Bangsa
yang juga sekaligus menjelaskan pada kita watak nasionalisme kita. Dan tentunya,
bagaimana kesadaran kebangsaan itu disemai melalui peran penting surat kabar
yang tak hanya menjadi kontra opini penguasa, tapi juga mengkonstruksi gagasan
bangsa.
B. Peran Pers sebagai Kontra Opini Kolonial
Dalam kajian sosiologi politik dan atau komunikasi politik, kita akan
bertemu dengan pembahasan seputar bagaimana pers memainkan peran dalam
mengkonstruk opini publik. Namun demikian, terlebih dahulu kita akan sepakati
bahwa apa yang kita sebut dengan pers adalah media yang dicetak. Istilah ini
dapat kita tarik dari dua akar bahasa, yakni Belanda dan Inggris. Dalam bahasa
Inggris kita kerap menemuinya dalam kata „Press‟ sedangkan dalam bahasa
Belanda pers ditulis apa adanya dengan „pers‟. Namun keduanya memiliki arti
22 Anthony, Nasionalisme..... h. 11
23
Anthony , Nasionalisme..... h. 12
25
yang sama, yakni media yang dicetak dengan cara dipres atau ditekan. Tentu
istilah dengan definisi ini akan mengantarkan kita pada betapa sempitnya ruang
makna pers mengingat kemajuan teknologi mutakhir.
Benar bahwa pada gilirannya, pemaknaan pers tidak dibatasi hanya pada
lingkup media cetak saja, namun termasuk di dalamnya media lain semisal radio,
televisi, dan media online. Mengenai pengertian yang mengalami perluasan
makna ini kita dapat mengambil perumpamaan dari kegiatan “Press Conference”
di mana yang hadir bukan hanya para jurnalis cetak melainkan juga radio, televisi,
atau dunia maya.24
Namun demikian berkenaan dengan pembahasan kita
mengenai suratkabar, maka apa yang saya maksudkan dengan pers di sini tak lain
adalah dalam pengertiannya yang semula, media cetak. Dalam keterbatasan ruang
ini, saya juga tidak akan mengajak kita semua untuk masuk pada perdebatan
istilah yang tak jauh dari pers, yakni publisistik dan jurnalistik, sebab pada
akhirnya kesemuanya itu bermuara pada suatu proses pengemasan dan
pendistribusian informasi kepada orang banyak.
Oleh karena perannya sebagai pengawal opini publik, maka pers memiliki
peran penting yang juga sekaligus merupakan tanggung jawab moral yang dipikul
di pundaknya. Dalam pandangan Magnis Suseno misalnya, dikatakan bahwa salah
satu peran pers adalah mengawal kehidupan publik. Yakni dengan cara
menyediakan terus menerus informasi kepada masyarakat banyak yang tidak
hanya berupa apa yang ada, rekaman atas realitas objektif, tapi juga yang
seharusnya, pengetahuan tentang bagaimana cara pemecahan masalah yang
24 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktik (Jakarta: Logos,
1999) h. 26
26
melingkupi realitas tersebut. Masih meminjam cara pandang Magnis, bahwa
dalam kaitannya dengan alam kehidupan kolonialisme dan feodalisme, pers tidak
hanya menjadi satu dari sekian penggali makam Kolonialisme, tapi juga
mengubur feodalisme atau dalam istilah Magnis „feodalisme tradisional‟. Sebab
feodalisme dapat tetap bertahan hidup dikarenakan tersumbatnya akal pikiran
rakyat dari realitas objektif dan gagasan-gagasan pembaharuan.25
Masih menurut Romo yang juga profesor filsafat ini, ia melihat bahwa
dalam menjalankan misinya yang mulia itu, maka pers harus dibekali dengan etika
pers yang di dalamnya termuat setidaknya tiga aspek seperti tanggung jawab
dalam menyajikan informasi, mengemukakan penilaian, dan sebagai pasar ide
bagi seluruh masyarakat. Singkatnya, pers wajib untuk selalu menyajikan
kebenaran seutuhnya sebagai sebuah kebenaran sebenar-benarnya.26
Meskipun
jika kita menyelam lebih dalam lagi, kita akan bertanya-tanya perihal
ketelanjangan kebenaran dalam pers terkait dengan “Man behind the gun” baik
dalam domain ideologis maupun ekonomi. Tentu kita tidak akan berpanjang lebar
dalam pembahasan cara pandang ekonomi politik dalam menganalisa proses
produksi sebuah berita. Namun patut digarisbawahi bahwa proses terbitnya
suratkabar tidak hanya selesai di ruang rapat redaksi sebagaimana diyakini analisa
organisasional, tapi ada beberapa hal yang patut diperhatikan semisal tangan-
tangan gaib yang mengatur suratkabar dari balik tirai modal.27
Faktor ini juga yang pada gilirannya menentukan cara berpikir suratkabar
yang bersangkutan atau dalam bahasa teknis kerap disebut dengan „framing‟ yang
25 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral (Jakarta: Gramedia, 1988) h. 120
26
Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, h.122
27Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogjakarta: LKIS, 2006) h.3-6
27
akan menggambarkan pijakan ideologis media tersebut. Hal ini menjadi penting
diingat meskipun pada gilirannya kita akan disuguhi dengan mitos bernama cover
both side yang mencitrakan seolah-olah suratkabar merupakan zona netral
kepentingan. Ini menjadi agak kontradiktif mengingat apa peran framing
sesungguhnya. Dan mengenai hal ini, ada pendapat menarik yang saya rasa masuk
akal, terlebih ketika kita membawanya pada konteks era kolonialisme. Pendapat
ini datang dari Njoto dalam bukunya Pers dan Massa, redaktur suratkabar Harian
Rakjat yang juga seniman ini mengatakan bahwa mustahil bagi suratkabar untuk
bersikap netral atau tidak berpihak pada suatu golongan terlebih di zaman di mana
pada saat itu penindasan dan penghisapan terjadi.28
Tentu ini juga menyangkut
pembentukan opini publik yang diarahkan untuk kepentingan apa dan siapa.
Menjadi penting untuk diperhatikan bahwa pers memainkan peran dalam
membentuk pendapat umum. Sebab hal ini bukan hanya berkenaan dengan sistem
komunikasi an sich, tapi lebih dari itu, berpengaruh pada tatanan politik. Di
negara-negara totaliter seperti Sovyet dan Jerman pada rezim Nazi misalnya, arus
media massa diawasi demikian ketatnya sebab informasi yang hilir mudik di
antara kepala rakyat harus „dikawal‟ demi menjaga stabilitas kekuasaan. Di
Jerman, di bawah rezim Nazi, ada suatu ketika di mana media massa mendapat
pengawasan yang luar biasa ketat, hingga suratkabar menerima arahan pada tiap
hari, mengenai apa yang harus mereka muat dan bagaimana mengemasnya.
Bahkan seorang editor harus dipastikan loyal pada kekuasaan, dan jika tidak,
maka suratkabar itu akan mendapat tekanan atau penggantian staf. Namun
demikian, kendati pola sistem komunikasi yang dikawal ketat ini mampu juga
28 Basilius Triharyanto, Pers Perlawanan; Politik Anti Kolonialisme.....hal. 8
28
mengawal opini publik, khususnya menyangkut penguasa, namun pengamat
seperti William Shirer menyebutnya sebagai suatu penyajian dalam bentuk
pemalsuan dan pemutarbalikan kenyataan selama bertahun-tahun yang melahirkan
kesan tertentu dalam pikiran orang tentang „kebenaran‟ versi penguasa yang pada
akhirnya, menyesatkan. 29
Menurut Rush dan Althoff, setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi
pendapat umum: pertama, jumlah perlawanan untuk mengubah. Kedua, evaluasi
sumber informasi. Mengenai kaitan hal ini dengan konteks yang penulis angkat
sebagai tema kita kali ini, akan terlihat betapa pendapat umum seolah menjadi
ruang tanding, arena perebutan pengaruh antara penguasa dengan elemen
perlawanan, yakni kolonial dengan rakyat terjajah.
Saya katakan demikian, sebab suratkabar yang beredar selalu dicengkeram
penguasa kolonial dengan aturan-aturan hukum seperti pengawasan oleh
plaatselijk Bestuur, Officier Van Justitie, Algemeene Secretarie, dan Komissi
Batjaan, hingga menggunakan tangan kuasa politik yang memata-matai
sebagaimana dilakukan oleh Adviseur Voor Indlandsche Zaken, yakni Penasihat
urusan pribumi yang hakikatnya adalah intelijen Kolonial.30
Dalam hal ini
penjajah kolonial, untuk mengedarkan „kebenaran‟ versi mereka yang pada
gilirannya harus dipercayai sebagai „kebenaran‟ tunggal bahwa tidak ada yang
salah mengenai bumi Nusantara yang sedang berada di bawah pendudukan
kolonial. Dan sebagai counter-opinion maka bertumbuhanlah suratkabar
29 Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: C.V. Rajawali,
1986) h. 270-271
30 Hilmar Farid, Kolonialisme dan Budaya dalam Jurnal Prisma 10 Oktober 1991
(Jakarta: LP3ES, 1991) h. 27, 32-33
29
berkesadaran yang di antaranya adalah Medan Prijaji, yang melek dengan
keadaan tersebut dan mencoba mengidentifikasi bahwa terdapat kesalahan pada
„kebenaran‟ itu. Ini terjadi sebab dalam pandangan kaum pergerakan, produksi
sumber bacaan semisal surat kabar adalah hal yang tidak terpisahkan dari
pergerakan itu sendiri. Surat kabar adalah corong bagi opini orang atau golongan
pergerakan yang dibagikan kepada khalayak luas agar tersiar kabar bahwa
keadaan telah berubah menjadi lebih buruk, yakni menyangkut penghisapan yang
kian menjadi-jadi.31
Namun demikian, tentu sebagaimana juga terjadi pada negara totaliter,
pemerintah kolonial tidak tinggal diam dan segera melakukan upaya
membungkam lisan pers yang melahirkan pendapat umum yang berbeda dari yang
mereka ciptakan. Ini dilakukan dengan berbagai cara mulai dari upaya hukum
persreglement dengan persdelict-nya, hingga stigma „Bacaan Liar‟ terhadap
media massa yang mencoba melahirkan opini tandingan. Ini menjadi lumrah
dalam perspektif logika kekuasaan sebab timbulnya suratkabar memungkinkan
akses lebih luas bagi rakyat terjajah untuk memperoleh dan menciptakan wacana
yang sebelumnya dikuasai segelintir orang saja.32
Mungkin kemampuan
suratkabar dalam memproduksi opini publik yang pada akhirnya bertendens pada
pendapat umum yang melahirkan kesadaran melawan ini yang membuat orang
segagah Napoleon harus mengatakan betapa ia lebih takut menghadapi tiga surat
kabar ketimbang seribu bayonet.33
31 Razif, Bacaan Liar; Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan (Geocities) h.1
32
Hilmar Farid, Kolonialisme dan Budaya.. h.30
33 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: Rajawali Press, 2010) h.129
30
Ketakutan penguasa menjadi kian beralasan sebab melalui suratkabar,
pada gilirannya rakyat terjajah mampu mengangkat dagu mereka untuk
memandang wajah kolonialisme. Dalam pandangan Ania Loomba, tidak ada
perkataan manusia yang polos. Sebab kata-kata dapat dianalisis guna menangkap
kesadaran sejarah. Maka kata-kata, gambaran, sebagaimana tentunya tercetak
dalam suratkabar, menjadi fundamental untuk menganalisis proses sejarah seperti
halnya kolonialisme.34
Jika sebelum periode cetak, rakyat terjajah selalu
mendengar dongeng pembangunan tanah koloni sembari menunduk takzim pada
sang Kolonial. Maka setelah periode pers kebangsaan, mereka bukan hanya
mampu mengangkat dagu dan memandang tuan kolonial, tapi juga berani bertutur
tentang diri mereka sebagai rakyat terjajah.
C. Nasionalisme dalam Pers
Dalam pembahasan sebelumnya, kita telah bertemu pada pembahasan
mengenai bangsa dan kesadaran kebangsaan di mana salah satu pilarnya adalah
bahasa. Hal ini tentu akan sangat berkaitan erat dengan pembahasan seputar pers
dengan salah satu bentuknya, surat kabar yang menjadi rumah bagi bahasa untuk
pada gilirannya memainkan perannya sebagaimana akan dibahas pada bab empat.
Mengenai pembahasan bagaimana media cetak memainkan peran dalam
perubahan, khususnya dalam hal ini menyangkut kesadaran kebangsaan, tentu kita
tak bisa melupakan begitu saja sejarah yang terjadi di Jerman. Meski memiliki
sandaran sebab mula atau katakanlah stimulus yang berbeda, namun hal ini tetap
kita bicarakan setidaknya sebagai sebuah ilustrasi tentang bagaimana media cetak
34 Ania Loomba, Kolonialisme/Pacakolonialisme (Jogjakarta: Bentang, 2003) h. 49
31
memainkan peran dalam menimbulkan kesadaran kebangsaan. Dalam kasus
Jerman, kita akan melihat bahwa latar belakang dari lahirnya kesadaran
kebangsaan adalah perlawanan terhadap Tahta Suci Vatikan. Namun tanpa harus
masuk lebih jauh dalam perdebatan teologis antara keduanya (Paus Leo X dan
Martin Luther) kita tetap bisa menyaksikan bagaimana media cetak mampu
menjadi rumah bagi usaha penyebaran kesadaran kebangsaan.
Dalam pengalaman Jerman, nasionalisme mula-mula tak bisa dilepaskan
dari upaya penerjemahan Alkitab. Semua ini bermula dari perselisihan teologis
yang ditabuh Luther pada 31 Oktober 1517 dengan “95 tesis Wittenberg” yang
merupakan genderang perang bagi kekuasaan mutlak Vatikan. Serangan-serangan
Luther terhadap Curia Romana terkait pelanggaran terhadap Codex iuris
cannonici yang berisi regula fidei dan termasuk juga di dalamnya mengenai
Indulgensia ternyata berbuah ketegangan serius.35
Vatikan mengancamnya dengan
teguran keras melalui maklumat Exurge Domine yang mengutuknya sebagai
seorang pembawa ajaran bidaah. Apa mau dikata, bahwa reaksi ini dapat
dipandang sebagai suatu yang wajar mengingat kekhawatiran Vatikan mengenai
kekuasaannya. Terlebih ketika aksi-aksi perlawanan Luther terhadap kuasa
Vatikan semakin bernada provokatif dengan aksi balasan membakar surat-surat
dari Vatikan menjelang Natal 1520,36
benar-benar Natal kelabu bagi satu sisi dan
Natal penuh semangat pembaharuan bagi sisi lain.
35 Daniel Dhakidae, Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai
Komunitas Komunitas Terbayang dalam Benedict Anderson, Imagined Communities (yogyakarta:
Insist Press dan Pustaka Pelajar,2008) h.xxii
36 Daniel Dhakidae, Memahami Rasa Kebangsaan.... h.xxiii
32
Blessing in disguise, orang Barat kerap menyebut keadaan dimana suatu
musibah membuahkan keberuntungan di lain sisi pada saat bersamaan. Agaknya
istilah ini juga berlaku dalam pengalaman Jerman, di mana konflik teologis yang
dari sisi keagamaan boleh jadi dinilai sebagai suatu musibah namun menjadi
berkah bagi aspek lain, lahirnya kesadaran kebangsaan. „Berkah‟ ini mulai
bertumbuhan di sepanjang jalan pelarian Luther dengan upayanya menerjemahkan
Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman. Karena teramat indahnya karya
terjemahan sang pembaharu itu, hingga menjadi awal dari geliat perkembangan
bahasa Jerman dan karya sastra Jerman yang utuh sebagaimana dikatakan
Nietzsche bahwa karya Luther adalah mahakarya prosa Jerman.37
Pertanyaan boleh jadi timbul sebab terasa agak janggal ketika berbicara
pers tiba-tiba contoh yang diangkat malah Injil. Namun sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya bahwa pengertian pers bukan hanya surat kabar, tapi
sesuatu yang dicetak, itu sebabnya saya kerap gunakan istilah media cetak dalam
contoh kasus Luther ini. Contoh lain adalah poster. Kita tahu bahwa reformasi
teologi Luther berdampak pada lahirnya semangat kebebasan dalam menafsirkan
Alkitab. Dalam catatan Daniel Dhakidae disebutkan bahwa kemerdekaan dalam
penafsiran memiliki dampak pada aspek lain yang pada gilirannya membuat
Jerman dilanda semangat “Frijheit”, kemerdekaan yang dicetak dan disebarkan
dalam bentuk pamflet yang mampu menggerakkan kaum tani. Mengenai hal ini,
Dhakidae mengutip pernyataan Frederick Engels dalam “The Peasant War in
Germany” yang mengatakan bahwa Luther telah memberikan senjata luar biasa
37Daniel Dhakidae, Memahami Rasa Kebangsaan, h. xxv
33
kepada kaum pergerakan yang mampu menggerakkan kaum petani menentang
para pangeran, bangsawan, dan rohaniwan.
Ini merupakan suatu gambaran betapa nasionalisme tahap awal muncul di
Jerman, Dakhidae menyebutnya sebagai suatu “titik awal ketika kebangsaan dan
rasa kebangsaan itu bersemi”, di mana semua itu menjadi mustahil tanpa peran
mesin cetak.38
Dalam pengalaman Jerman ini tentu setidaknya kita bisa melihat
bahwa bangsa dibangun di atas beberapa susun pondasi seperti bahasa dan
teknologi mesin cetak Gutenberg yang pada gilirannya memberi rumah pada
bahasa. „Rumah-rumah‟ bahasa pada pengalaman Jerman ini memiliki desainnya
yang khas, yakni Injil terjemahan Luther, di samping bentuk lain seperti pamflet-
pamflet.
Contoh lain juga dapat kita petik dari pengalaman sejarah Iran pada masa
Dinasti Qajar. Pada masa kekuasaan bebasis suku (Bani Qajar) ini, terjadi
kebangkitan kaum intelektual sebagaimana juga terjadi di Jerman dan tentunya
Bumi Nusantara. Hanya saja, ketika pada pengalaman Nusantara intelektual
tumbuh pasca era politik etis di bawah penjajahan langsung dari kolonialisme,
intelektual Iran lahir akibat persentuhan mereka dengan wacana Barat melalui
perjalanan pendidikan ke luar negeri. Kemunculan kaum intelektual ini
dimungkinkan oleh keadaan sosial ekonomi serta politik negara dan tentunya
pengaruh modernitas Barat serta iklim pemberontakan negara terjajah yang
sedang bangkit melawan penjajahan Eropa.39
38 Daniel Dhakidae, Memahami Rasa Kebangsaan, h. xxvi- xxvii
39
Hassan Bashir, Bagaimana Akar-Akar Revolusi Mulai Tumbuh? dalam Roger Garaudy,
dkk, Demi Kaum Tertindas; Akar Revolusi Islam di Iran (Jakarta: Citra, Tanpa Tahun) h. 21
34
Dalam catatan Hassan Bashir, perubahan sosial politik di Iran ini terjadi
dengan sokongan dua pengaruh, eksternal dan internal. Sebagaimana telah saya
tuliskan tadi, bahwa contoh dari faktor internal itu adalah kebangkitan kaum
intelektual. Adapun faktor eksternal yang dimaksud adalah aliran ide-ide baru
yang datang melalui interaksi langsung dengan orang-orang Barat ataupun melalui
media cetak.40
Dalam artikel yang sama, Bashir kembali menekankan peran
penting media cetak atau pers sebagai alat komunikasi modern yang menjadi
sarana sosialisasi ide-ide Barat modern kepada masyarakat Iran, pun demikian
halnya dengan buku-buku sebagai sarana transformasi gagasan-gagasan baru.41
Ia juga menambahkan betapa peran pers independen, semi independen,
atau pers yang dipublikasikan di pengasingan memiliki peranan penting dalam
upaya perubahan sosial politik.42
Termasuk di dalamnya perubahan cara pandang
yang menimbulkan pemikiran baru yang lahir dari bahasa baru, atau idiom politik
baru semisal nasionalisme yang membuahkan wacana seputar identitas, bahasa,
dan sejarah sebagai suatu formula wajib dalam meracik suatu pupuk bagi benih
kesadaran kebangsaan.43
Sekarang kita kembali berinteraksi dengan Anderson, dalam bab kedua
dari karya berjudul „Imagined Commuities‟, ia menjabarkan betapa media cetak,
termasuk dalam hal ini karya fiksi dalam bentuk novel, mampu membantu proses
persalinan sebuah bangsa. Tentu sebagaimana sudah sama-sama kita duga, ia
40 Hassan Bashir, Peranan Pers Iran Dalam Perkembangan Politik Iran Sebelum dan
Selama Revolusi Konstitusional Tahun 1906-1911 dalam Roger Garaudy, dkk. Demi Kaum
Tertindas, h.57
41 Hassan Bashir, Peranan Pers Iran....., h.59-60
42
Hassan Bashir, Peranan Pers Iran.... h.62
43 Hassan Bashir, Bagaimana Akar-Akar Revolusi.....h. 26
35
menuliskannya dalam kaitan dengan bagaimana karya sastra semisal Noli Me
Tangere karya Jose Rizal, dengan logika novel yang ditandai dengan plot dan
tokoh-tokoh anonimus44
mampu membantu Filipina untuk melakukan
„pembayangan‟ atas diri sendiri sebagai sebuah bangsa.45
Anderson juga memberikan contoh yang lebih dekat dengan kita, yakni
karya seorang nasionalis revolusioner yang juga seorang Marxis dan entah kita
harus menyebutnya sebagai suatu kebetulan atau tidak, juga seorang murid dari
Tirtoadhisoerjo yang terlibat langsung dalam suratkabar Medan Prijaji yang
sedang kita bahas. Ia adalah Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis yang juga
menulis cerita fiksi „Semarang Hitam‟ yang akan kita bahas dalam kaitannya
dengan proses pembayangan sebuah bangsa. Pada gilirannya, kita akan
menyaksikan betapa karya ini juga menunjukkan bahwa tepat apa yang
digambarkan Plekhanov bahwa fungsi Seni adalah membantu perkembangan
kesadaran manusia serta memajukan sistem sosial.46
Tentu juga termasuk di
dalamnnya kesadaran akan bangsa dan kebangsaan.
Dalam karya yang diterbitkan pada tahun 1924 dengan format cerita
bersambung ini, Marco membantu kita untuk menyaksikan bagaimana cara kerja
proses pembayangan sebuah bangsa berlangsung melalui bantuan suratkabar. Ini
juga sekaligus menjadi ilustrasi awal betapa cara kerja yang sama juga dapat
diterapkan untuk melihat bagaimana proses penyemaian kesadaran kebangsaan
dilakukan melalui media suratkabar yang lahir terlebih dulu, yang juga terdapat
44 Mengenai para tokoh tanpa nama ini akan kita lihat dalam pembahasan karya Mas
Marco „Semarang Hitam‟.
45 Benedict Anderson, Imagined Communities, h.39
46
G. Plekhanov, Seni dan Kehidupan Sosial (Bandung: Ultimus, 2006) h.1
36
sentuhan Marco, Medan Prijaji. Namun rasanya kita harus kembali segera pada
„Semarang Hitam‟ untuk mengembalikan fokus pada proses pembayangan tadi.
Berikut ini kita akan sama-sama membaca beberapa kutipan „Semarang
Hitam‟ yang dinukil Anderson. ”...anak-anak muda Semarang tak pernah diam di
rumah pada Sabtu malam. Tetapi malam ini tak seorangpun terlihat. Sebab hujan
lebat seharian telah membuat jalanan menjadi becek dan sangat licin, semua
orang diam di rumah..... ”, kutipan ini tidak saya tuliskan secara utuh
sebagaimana termaktub dalam karya Anderson, namun saya mengambil beberapa
bagian tertentu yang saya rasa sangat penting dan merupakan kunci dari upaya
kita membaca teks tersebut. Bagian yang saya kutip tadi memberikan ilustrasi
suasana tempo dulu di Semarang dengan gambaran umum bahwa rasanya menjadi
lumrah pada sebuah daerah yang biasanya ramai, suasana akan menjadi berbeda
ketika hari digagahi lebatnya hujan. Dan oleh karenanya, orang-orang yang
biasanya pergi keluar rumah, malam itu mereka lebih memilih untuk berteduh di
bawah atap rumah. Dan pada keadaan malam seperti ini kita akan mendapati
betapa “.... Semarang lengang. Cahaya dari deretan lampu gas langsung
menyinari jalan aspal berkilauan. Sesekali cahaya terang dari lampu-lampu gas
itu meredup ketika angin bertiup dari timur....”. Dan di tengah keheningan itu,
kita mendapati “....Seorang laki-laki muda duduk di atas kursi rotan panjang
membaca koran. Ia tenggelam dalam keasyikan. Kemarahannya sekali-sekali dan
pada saat-saat lain senyumannya menjadi tanda pasti ia sangat menaruh minat
pada cerita yang dibacanya... ”. Kisah ini mulai mengantarkan kita mendekati
proses pembayangan sebuah bangsa yang dijalin benang merah berupa rasa
senasib sepenanggungan sampai tiba saat di mana laki-laki muda tanpa nama itu
37
membalikkan halaman koran dan “....berpikir mungkin ia dapat menemukan
sesuatu yang akan menghentikan perasaannya yang sangat menderita....”. Lembar
demi lembar dibuka hingga pada akhirnya lelaki tanpa nama itu bertemu sebuah
artikel berjudul “Kemakmuran” yang memberitakan tentang “seorang
gelandangan jatuh sakit dan tewas di tepi jalan karena kedinginan”.
Kemudian Marco menuliskan betapa “orang muda itu sangat tersentuh
oleh laporan singkat ini. Ia serasa dapat membayangkan penderitaan orang
malang itu ketika terbaring menyongsong ajal di pinggir jalan....”. Tak selesai di
situ, penulis kita yang memetik buah pikiran jurnalisme dari sang guru,
Tirtoadhisoerjo, juga melukiskan betapa pemuda tanpa nama yang sedang
membaca dan merasakan nasib malang gelandangan itu merasa iba dan
“....kemarahannya terarah kepada sistem sosial yang melahirkan kemelaratan
semacam itu, sambil membuat suatu kelompok kecil menjadi kaya raya”.47
Melaui karya Marco ini kita akan berada pada sebuah situasi di mana kita
sedang membaca cerita tentang lelaki tanpa nama yang sedang membaca berita.
Ini terjadi sebab cerita bersambung “semarang Hitam” di muat dalam suratkabar,
dan pada saat yang bersamaan menceritakan kisah tentang sosok lelaki yang
membaca suratkabar. Seperti realitas bertumpuk, kisah ini mengisahkan orang
yang sedang membaca kisah. Kita bisa menggarisbawahi keberadaan suratkabar
sebagai sesuatu yang penting. Sebuah kata kunci, kalau boleh dikatakan demikian.
Pasalnya, melalui suratkabar yang memuat karya Marco, kita dapat memperoleh
informasi tentang proses pembayangan sebuah bangsa oleh seorang tokoh tanpa
47 Benedict Anderson, Imagined Communities, h. 46-47
38
nama dalam cerita yang sedang membaca suratkabar pula, di mana pada akhirnya
ia membayangkan nasib malang sosok gelandangan yang juga tanpa nama.
Dalam cerita tersebut jelas digambarkan betapa suratkabar memiliki daya
melipat jarak dan pada saat yang sama menjadi penghantar bagi rasa ke‟kita‟an
yang lahir dari empati atas ketertindasan yang diderita orang lain, tanpa harus tahu
siapa nama gelandangan yang malang itu. Pun demikian halnya dengan sang
lelaki yang melakukan proses pembayangan. Ia di ceritakan sebagai sosok lelaki
tanpa nama, artinya bahwa upaya merajut rasa kebangsaan dilakukan tanpa saling
mengenal.
Namun demikian, melalui kisah itu kita bisa memetik suatu kesimpulan
bahwa satu-satunya identitas yang dimiliki adalah kesamaan nasib, yakni korban
dari “..sistem sosial yang melahirkan kemelaratan...”. Sementara nun di sana, di
seberang jurang sosial ekonomi yang berjarak, ada komunitas lain yang memiliki
identitas yang lagi-lagi dibedakan berdasarkan nasib dengan sebuah gambaran
betapa sistem bernama kolonialisme melahirkan keadaan di mana pada satu sisi
sekumpulan orang yang disebut Tirto dengan „bangsa jang terprentah‟48
dimiskinkan, ”....sambil membuat suatu kelompok kecil menjadi kaya raya”, tentu
kelompok yang dimaksud Marco adalah “bangsa jang memerentah”, mereka yang
terdiri dari para kolonial beserta „sekrup-sekrup mesin penghisap buatan dalam
negeri‟ yang menjual dirinya dengan sebongkah pragmatisme. Adapun mengenai
sosok laki-laki tanpa nama, saya tidak sampai jauh pada pembahasan mengapa
48 Mengenai iastilah „bangsa jang memerintah‟ dan „bangsa jang terprentah‟ lihat.
„Ucapan Selamat Anggota Parlemen Belanda‟ dalam Iswara N Raditya, Karya-karya Lengkap
Tirto Adhi Soerjo; Pers Pergerakan dan Kebangsaan (Jakarta: I;BOEKOE,2008) h.98
dengan judul asli dalam Medan Prijaji 1909 „Pemberian Selamet Seorang Anggota Staten
Generaal Pada Kita‟. Serta h.146 „Komentar Tirto Atas Terbitnya Buku Almanak‟ dengan judul
asli dalam Medan Prijaji 1909 „Selamat Poetra Baginda‟.
39
harus laki-laki. Sebab pembahasan kita kali ini memang tidak menyediakan kursi
bagi duduknya perdebatan seputar dominasi paternalistik dalam gerak sejarah, dan
tentunya lagi-lagi ini berdasar pada pembatasan masalah yang berdampak
langsung pada sempitnya ruang bincang kita kali ini.
Mengenai sistem kolonialisme yang digambarkan Marco sebagai biang
keladi dari pemiskinan anak negeri ini, Anderson memberikan penekanan bahwa
Marco mengarahkan kemarahan tokoh pada sistem sosial “itu”, bukan pada sistem
sosial “kita”.49
Ini meniscayakan bahwa ada jarak yang memang sudah ada,
namun dipertegas, antara sistem sosial yang dibangun oleh “orang lain” dengan
sang korban yang merupakan bagian dari “kita”. Melalui cara pandang “Kami dan
Kalian”, hal tersebut makin dipertegas lagi bahwa yang dimaksud dengan sistem
“itu” adalah sistem yang melahirkan kemalaratan bagi “kita” dan kekayaan bagi
“orang lain”. Dan agaknya “orang lain” dalam hal ini benar-benar bisa dianggap
sebagaimana Sartre menyebut “orang lain adalah neraka”. Sebab “orang lain”
dalam hikayat tanah koloni sejatinya memang para pencipta neraka bagi pemilik
rumah yang sesungguhnya. Ini mengingatkan kita pada pendapat Fanon yang
menggambarkan betapa zona kolonialisme adalah suatu “dunia yang terbagi ke
dalam kompartemen-kompartemen”, yakni suatu “dunia yang terbelah menjadi
dua”, di mana para penghuninya merupakan “dua spesies berbeda”.50
Dan pada
akhirnya kita tahu bahwa dua spesies berbeda itu adalah bangsa yang memerintah
dan bangsa yang terperintah.
49 Benedict Anderson, Imagined Communities, h. 48
50
Frantz Fanon, Bumi Berantakan (Jakarta: Teplok, 2000) h. 9
40
Apa yang dilakukan Marco dengan karya fiksinya tersebut membuat saya
teringat pendapat Chernyshevsky bahwa sebuah karya seni memang seharusnyaa
tidak hanya mereproduksi kehidupan, tetapi lebih dari itu memeberikan penjelasan
dan tentunya penilaian atas gejala-gejala sosial.51
Betapa tidak, sebagaimana telah
kita bicarakan tadi, melalui karyanya, Marco tidak hanya mereproduksi realitas,
tapi menukik dalam pada permasalahan sosial dan karenanya meniscayakan
penilaiannya atas sistem buruk yang menciptakan kemiskinan dan pada akhirnya
memperjelas posisi sang penulis.
Di titik ini, kita jelas mendapati betapa watak berpikir yang sama juga
bersemayam dalam kepala Tirtoadhisoerjo yang menjadi bingkai berpikir Medan
Prijaji yang konfrontatif dan dengan tegas memposisikan bangsa yang
“terprentah” berhadap-hadapan dengan bangsa yang “memerentah” sebagaimana
akan kita bicarakan pada bagian lain betapa cara berpikir seorang Hoofdredactie
merupakan jurumudi bagi pelayaran suratkabar. Di titik ini pula kita menemukan
betapa watak kebangsaan kita tidak hanya berhenti pada kesadaran ke‟kita‟an, tapi
juga menjadi sebuah kesadaran tentang “kita” yang anti terhadap penghisapan
kolonial.
51 G. Plekhanov, Seni dan Kehidupan..... h.2
41
BAB III
NASIONALISME YANG LAHIR DARI PERS
Pada umumnya, pembahasan menyangkut nasionalisme segera dilekatkan
dengan peran organisasi moderen. Namun, ada yang terlupa bahwa peran penting
yang dimainkan suratkabar terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. pada
bagian ini, saya akan uraikan sedikit mengenai perkembangan suratkabar di bumi
Nusantara hingga pada akhirnya menggeliat sebagai alat perlawanan berupa pers
kebangsaan, pers yang memiliki kesadaran politik.
A. Geliat Pers di Hindia Belanda
Kedatangan mesin cetak ke bumi nusantara yang dibawa oleh VOC
memiliki pengaruh signifikan bagi perkembangan Pers di tanah air. Pasalnya,
melalui mesin cetak inilah pers memproduksi barang cetakan secara massif dan
pada gilirannya memainkan peran penting dalam upaya pembenihan rasa
kebangsaan. Pada awal kedatangannya, mesin cetak tidak langsung difungsikan
untuk memproduksi surat kabar, VOC menggunakan nya untuk mencetak
pemberitahuan resmi pemerintah berupa aturan-aturan hukum atau katakanlah
Lembaran Negara.1 Maka pada kalimat di atas saya tidak langsung menggunakan
istiah surat kabar, melainkan barang cetakan.
Disamping itu, mesin cetak juga digunakan oleh kalangan agama, dalam
hal ini gereja, untuk kepentingan misi penyebaran agama, yakni penerbitan kitab
suci dan kitab-kitab mengenai ajaran agama dan terbitan lain yang serupa dengan
itu. Namun semua rencana penerbitan tersebut sempat tertunda sebab tidak adanya
1 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan (Jakarta:
Hasta Mitra, 2003) h. 12
42
tenaga terampil yang mampu mengoperasikan mesin ceetak tersebut. Berpuluh
tahun kemudian, mesin yang pada gilirannya melahirkan wacana pembaharuan itu
kembali berfungsi pada 1659 ditandai dengan tercetaknya suatu buku kalender.
Lagi-lagi mesin cetak kembali berhenti beroperasi hingga delapan tahun
berikutnya pemerintah kolonial membeli mesin cetak dengan spesifikasi lebih
baik untuk menerbitkan surat-surat penting yang salah satu contohnya adalah
perjanjian Bongaya.2
Mulai dari sinilah kemudian mesin cetak difungsikan
pemerintah kolonial sebagai alat propaganda, terlebih dengan berdirinya lembaga
pencetak buku pemerintah.
Kendati begitu rupa berfungsinya mesin cetak pada masa itu sebagai alat
propaganda, namun belum ada inisiatif menerbitkan surat kabar. Sedangkan
penerbitan surat kabar baru dimulai lama setelah itu, yakni dengan kemunculan
terbitan bernama Bataviase Nouvelles yang bertanggal 8 Agustus 1744.3
Namun dua tahun kemudian, penerbitan Bataviase Nouvelles harus
dihentikan atas petunjuk pemerintah. Pasalnya, koran yang sejatinya lebih pada
koran bisnis atau advertentie Blad ini mengkhawatirkan VOC berkenaan dengan
info-info usaha yang ada di dalamnya, yang di antaranya memberi gambaran
peluang bagi pesaing bisnis VOC. Dalam dunia niaga, informasi bernilai demikian
penting sehingga sebagai perusahaan raksasa, VOC merasa kebakaran jenggot
ketika informasi berkenaan hal niaga dapat diakses pihak lain.
Pada fase berikutnya, pada masa Daendels tepatnya koran mulai benar-
benar berfungsi sebagai alat negara, demikian pula hanya pada masa pendudukan
Inggris. Nama-nama seperti Bataviasche Koloniale Courant dan Java
2 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan, h. 2
3 Abdurrachman Soerjomihardjo, dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di
Indonesia (Jakarta: Kompas, 2002) h. 25
43
Government, memperjelas bahwa koran mulai benar-benar berfungsi sebagai
media propaganda, dalam hal ini menggiring opini publik hingga membuat citra
tertentu, pastinya citra baik, mengenai pemerintahan penjajah Inggris. Awal
keberadaannya di tanah air, pers didominasi oleh surat kabar negara, sedangkan
surat kabar swasta baru terbit belakangan pada 1831.4
Fenomena geliat pers swasta ini ditandai dengan munculnya sejumlah
nama di tanah air semisal Bataviasch Advertentie blad (Batavia), Nederlandsch
Indisch Handelsblad (Batavia), Soerabajasche Courant, Semarangsch Advertentie
blad atau De Locomotief, Semarangsch Courant, dan lain sebagainya.5
Berkenaan dengan daerah dimana koran tersebut terbit, perlu kiranya
diingat bahwa Batavia, Semarang dan Surabaya merupakan daerah pelabuhan
dengan mobilitas perdagangan tinggi. Maka fungsi surat kabar tersebut masih
didominasi kepentingan dagang serta periklanan atau advertentie. Adapun
mengenai bahasa yang digunakan surat kabar pada masa itu, Ahmat Adam
memberi catatan bahwa sebelum 1855, baik surat kabar maupun berkala masih
menggunakan bahasa Belanda.
Masih merujuk pada Adam, bahwa pada masa sebelum tahun 1855 di
Hindia Belanda, pers hadir dalam format yang cenderung komersil dan
menggunakan bahasa Belanda. Kemudian pada awal tahun 1855, tepatnya Maret
tanggal 29 terbit sebuah koran bernama Bromartani (setelah sebelumnya, pada
Januari 1855 menerbitkan edisi percobaan) yang merupakan koran pertama yang
tampil dengan bahasa Jawa.6
4 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan, h.8
5 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers.., h. 11-12
6 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers.., h. 27
44
Sebagai pendatang baru, media yang menggunakan kromo inggil sebagai
pilihan bahasa ini tampil agak berbeda dengan koran-koran atau berkala
sebelumnya. Jika masa sebelumnya orientasi media lebih mengarah pada bidang
komersil, maka Bromartani lebih merupakan koran dengan genre idealis. Isi yang
ditampilkan Bromartani cenderung mengarah pada isu-isu pendidikan
sebagaimana halnya dengan berkala Poespita Mantjawarna yang terbit semasa
dengan Bromartani. Masih menurut Adam, keduanya tergolong kategori pers
idealis.7
Bentuk idealisme dari kedua terbitan tersebut dapat terlihat dari muatannya
yang cenderung menekankan pada aspek pendidikan dan budaya, yakni sastra atau
cerita-cerita. Disamping itu, Bromartani pun masih menyisakan ruang bagi
periklanan komersil dan semacamnya. Namun ada kalanya, Bromartani
bersinggungan dengan isu-isu berbau politik seperti pada saat memuat liputan
“Naik Tahta” Susuhunan Surakarta. Namun sayang, Bromartani tak berumur
panjang.
Dalam kehidupan, pasang surut selalu ada. Patah tumbuh hilang berganti,
orang bilang. Meski sempat collaps, namun Bromartani mampu bangkit lagi dan
pada saat yang sama, Surabaya diramaikan dengan terbitnya koran baru, Soerat
Kabar Bahasa Melaijoe. Koran yang di terbitkan E. Fuhri ini lebih merupakan
terbitan komersil yang muatannya ditujukan bagi dunia perniagaan. Pada masa ini,
sebuah dobrakan pun mewarnai dunia media dengan hadirnya jurnal yang terbit
bulanan, Bintang Oetara.
7 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers, h. 25
45
Untuk ukuran media pada zaman itu, Bintang Oetara tampil lebih
progresif. Melalui bahasa melayu, Bintang Oetara yang terbit pada 1856 ini
menjanjikan beragam muatan yang memberi inspirasi semisal pengetahuan umum,
liputan-liputan berkenaan dengan keadaan luar negeri, sastra melayu dan indo-
persia, rubrik moral keagamaan, dan yang membuatnya tambah menarik adalah
dimuatnya permainan catur dan kuis. Sebagai jurnal di pertengahan abad
sembilanbelas, Bintang Oetara tampil menawan. Namun lagi-lagi terbitan ini
harus pupus karena “Terlalu berkualitas” bagi pelanggan. Pembahasan sastra dan
penggunaan bahasa Melayu buku atau Melayu tinggi membuat pelanggan yang
mayoritas Jawa-Sunda agak sulit mencerna muatan jurnal pencerahan ini.
Jika harus menampilkan dalam bentuk kronologis atau berdasar indeks
nama-nama, agaknya tulisan ini tak mencukupi, sebab masih tercecer sekian nama
terbitan berkenaan dengan pembahasan ini. Namun setidaknya ada beberapa hal
yang dapat kita cermati. Bahwa penerbitan pers berhasa pribumi ini dilatari oleh
berbagai kepentingan. Sebagian kalangan mencium aroma peluang untuk
melakukan misi penyebaran ajaran agama (baca: Kristiani). Sebagian lagi
melakukannya atas dasar idealisme, demi mencerdaskan bangsa.
Dan tentunya, yang tak kalah merebut perhatian ialah motif dagang.
Berkenaan dengan kepentingan niaga tersebutlah orang-orang Tionghoa
mendukung penerbitan dengan bahasa pribumi, bahkan mereka berlangganan.
Mungkin mereka melihat keberadaan terbitan dengan bahasa lokal sebagai sarana
iklan yang tak hanya dimengerti orang-orang Eropa, tapi juga pribumi yang mulai
dibidik sebagai mitra usaha. Dilain sisi, isu-isu seputar liberalisasi pers pun sedikit
banyak memberi pengaruh bagi bertebaranya terbitan-terbitan ini.
46
Tak pelak bahwa pengetahuan orang banyak tentang bahasa, memiliki
pengaruh signifikan bagi pertumbuhan pers. Demikian pula halnya yang terjadi di
Hindia Belanda. Bahwa pengetahuan penduduk tentang bahasa melayu masihlah
minim sekali. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi pers untuk tetap bertahan
hidup dan terus menggeliat di bumi Nusantara. Mengenai hal ini, kita akan
menemukan bahwa ada peranan faktor lain dalam perkembangan pergerakan pers.
Adam dan hampir rata-rata peneliti sejarah kebangkitan nasional mencatat bahwa
kebijakan pemerintah untuk membuka sekian banyak sekolah untuk kalangan
pribumi ini merupakan titik balik yang menentukan bagi pengetahuan orang
banyak. Pasalnya, melalui sekolah-sekolah tersebutlah, penduduk dibekali dengan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa Melayu.8
Mengenai hal ini, tentu kita tak bisa tidak, harus membahas mengenai
politik etis. Sebab dari sistem inilah perubahan besar masyarakat bumi Nusantara
dimulai. Kita perlu kembali mengingat, bahwa masa kolonialisme Belanda
merupakan masa panjang dengan liku-liku di mana di dalamnya terdapat beragam
perubahan. Pasca zaman tanam paksa (1830-1870), pemerintahan kolonial
menerapkan sistem liberalisasi ekonomi yang menyerahkan sepenuhnya
pengelolaan aspek ekonomi pada modal swasta.
Dalam hal ini pemerintah tak ubahnya petugas ronda malam yang menjaga
kebun-kebun dan pabrik dari para pencuri. Perluasan wilayah kekuasaan kolonial
pada Era liberalisasi (1970-1900) ini juga dapat dimaknai sebagai perluasan
wilayah penghisapan oleh modal swasta.9
Pada 1901 pemerintah kolonial
menerapkan sebuah sistem baru, yang kita sebut politik etis, di mana negara mulai
8 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers....h. 36
9R.Z. Leirissa, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950,
(Akademika Pressindo, 1985) h.11
47
kembali mencampuri banyak hal. Meskipun demikian, tak ada perubahan
mendasar menyangkut kegiatan ekonomi yang tetap memeberi ruang gerak bagi
pemodal swasta untuk menghisap kekayaan alam bumi Nusantara. Hanya saja
perbedaan datang dari aspek lain, sosial budaya.10
Sebuah artikel yang ditulis Van Deventer dalam majalah De Gids (1899)
akan membantu menjelaskan apa sebenarnya politik etis dan dampak sosial
budayanya. Dalam artikel berjudul “Een Eereschuld” Deventer menjelaskan
bahwa pemerintahan kolonial harusnya membalas hutang kehormatan atas
penghisapan yang selama ini dilakukan oleh pemerintahan kolonial yang sejatinya
adalah pertumbuhan kapitalisme moderen yang telah sampai pada dehumanisasi
yang dinilainya mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam artikel yang sama, ia
mengatakan bahwa apa yang dilakukan Kolonial mulai dari tanam paksa sejatinya
adalah „politik drainase‟ atau pengeringan yang menggambarkan kerakusan
kolonialisme menghisap sekering-keringnya kekayaan Nusantara.11
Pada catatan Deventer, sejatinya Kerajaan Belanda telah mengeluarkan
Comptabiliteitswet pada 1878. Undang-undang ini mengatur bahwa sebagian dari
pendapatan harus digunakan untuk kepentingan daerah jajahan. Namun hal ini
tidak dilakukan dan oleh karenanya Deventer menilai Kerajaan Belanda berhutang
pada koloni jajahan. Dalam catatannya, Deventer mengatakan bahwa sampai pada
1899 hutang itu bernilai 187.000.000 gulden, dan ini harus dibayar.12
Memang
artikel ini bukan satu-satunya penyebab direstuinya sistem baru tersebut.
Diterapkannya politik etis juga tak bisa dilepaskan dari penerapan sistem baru itu.
10 R.Z. Leirissa, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah... h.23
11
R.Z. Leirissa, Terwujudnya...h.22
12 R.Z. Leirissa, Terwujudnya...h.23
48
Rasanya kita akan menyingkat pembahasan dengan langsung
mengerucutkan bahwa salah satu dari aspek sosial budaya hasil politik etis adalah
dibangunnya sarana pendidikan yang pada gilirannya melahirkan golongan baru
dalam masyarakat, yakni kalangan bumiputera terdidik. Gairah berburu
pengetahuan ini pada mulanya ditanggapi secara pragmatis oleh sementara
kalangan. Sebab pada masa itu, Pemerintah Hindia Belanda mulai membuka
peluang bagi priyayi atau „Indo‟ untuk menduduki posisi yang lebih tinggi dalam
dunia ambtenaar.13
Dibukanya peluang kerja yang lebih luas untuk pribumi dan Indo ini
membuat sebagian orang berlomba-lomba untuk mencicipi pendidikan model
barat. Alhasil pada tahap awal, geliat dunia pendidikan yang progresif ini
memiliki korelasi positif dengan dunia pers. Semakin maju pendidikan, semakin
banyak orang melek huruf. Artinya makin banyak ruang yang terbuka bagi arus
informasi dan edukasi dan semakin luas kesempatan bagi media untuk memainkan
peranannya. Di samping itu, penggunaan telegram dan jalur kereta api pun kian
membuat pers terus melaju melesat, terutama memudahkan diperoleh pada aspek
teknis semisal distribusi, korespondensi, pengiriman berita atau artikel. Semua ini
seolah menandakan bahwa babak baru pers berbahasa anak negeri telah dimulai
dengan interaksi yang semakin intens antara daerah satu dengan selainnya.14
Namun jika berbicara isi, maka tidak ada perubahan yang terlalu berarti.
Tidak ada perubahan fundamental sebab isi dari terbitan yang ada pada babak
baru ini tak ubahnya isi terbitan pada masa sebelumnya. Kebanyakan masih
bermuatan komersil dan berita seputar perdagangan. Sedangkan genre lain yang
13 R.Z. Leirissa, Terwujudnya..h.17
14
R.Z. Leirissa, Terwujudnya... h.18. Lihat juga Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers..h.38
49
turut mewarnai pun masih sama seperti masa sebelumnya, yakni genre misionaris.
Terbitan model ini sempat berkibar di bawah bendera terbitan Biang Lala yang
pada gilirannya berganti nama menjadi Bintang Djohar pada 1 Januari 1873.15
Nama-nama lain dari genre sejenis pun muncul semisal Tjahaja Sijang di
Minahasa. Sebagai koran misionaris, tak jarang Biang Lala memuat isu-isu
dengan gaya provokatif seputar Islam, Nabi Muhammad, perbandingan Qur‟an
dengan Injil, dan lain sebagainya.16
Kendati demikian, alhasil geliat pers babak
dua ini timbul dari sebuah kesadaran bahwa sebelumnya, berita-berita hanya
ditampilkan dalam bahasa Belanda dan tak dapat di akses pribumi. Maka
timbullah kesadaran untuk menerbitkan koran berbahasa anak negeri.
B. Medan Prijaji, Pers yang Berpolitik
Sebagaimana telah sedikit diurai pada bagian sebelumnya, selaku salah
satu sarana informasi, pers memainkan peranan penting. Peranan besar ini dapat
mencakup berbagai aspek baik itu bidang pendidikan, ekonomi, budaya, sosial,
keagamaan, politik, dan lain sebagainya. Kiprah pers sebagai corong informasi ini
bukan merupakan hal baru di Bumi Nusantara. Pada bagian sebelumnya telah
disinggung bahwa Jauh hari sebelum tercetus kata “Indonesia”, pers di Nusantara
sudah menggeliat memainkan perannya. Sejumlah nama tokoh dan Koran pun
turut mewarnai geliat awal pers di era Hindia Belanda.
Seiring perjalanan panjangnya, pers mengalami perubahan fungsi dari
sekadar alat advertentie blad yang berisi pengumuman perdagangan atau transaksi
niaga lainnya seperti pelelangan, kepada fungsi lain yakni mesin pembangun
15 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers....h. 61
16
Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers....h. 51
50
kesadaran kebangsaan. Meskipun pada fase awal pers sudah terbagi setidaknya
menjadi tiga genre utama yakni komersil, misionaris, dan idealis. Artinya sudah
terdapat jenis pers “pergerakan” dalam hal ini misionaris dan idealis yang
sejatinya dapat di “satu rumahkan”, namun genre tersebut belum dapat
dikategorikan sebagai pers kebangsaan (baca: pembangkit kesadaran kebangsaan).
Pasalnya, fokus pemberitaan pada terbitan berkala yang notabene idealis itu masih
difungsikan sebagai sarana edukasi yang bercorak lokal dan sektarian pada hal
tertentu.17
Kendati demikian, pada perkembangannya, kita bisa melihat bahwa
pers genre tersebut merupakan suatu pondasi bagi pijakan jejak langkah pers
kebangsaan yang menggeliat antara abad 19 hingga permulaan abad dua puluh.
Dari sejumlah nama tokoh maupun Koran yang ada pada kurun abad 19
hingga awal abad 20, ada satu nama yang akhir-akhir ini mendapat banyak
sorotan. Sosok itu bernama R.M. Tirto Adhi Soerjo. Sebagai seorang jurnalis
muda, Tirto yang juga tercatat sebagai siswa Sekolah Dokter Jawa (STOVIA) itu
merupakan sosok penting dalam sejarah pers nasional. Tanpa bermaksud
mengecilkan peran tokoh pers sebelum maupun setelahnya, sosok Tirto dan
Medan Prijaji seolah merupakan titik tolak pers kebangsaan yang „berdikari‟18
Sebab ditangannyalah pers berperan sebagai media yang berpolitik.
17 Terbitan semisal Biang Lala umpanyanya, kerap kali memuat artikel provokativ
tentang islam yang dikesankan “miring”, yang pada saat ini boleh dikategorikan sebagai penistaan
agama. Lih.pembahasan seputar Biang Lala, dalam Ahmat Adam, Sejarah awal pers dan
kebangkitan kesadaran keindonesiaan. (Jakarta: Hasta Mitra,2003).
18 Saya katakan demikian sebab banyak kritik menghujani kawan-kawan yang mengusung
Tirto dan Medan Prijaji sebagai titik tolak pers kebangsaan. Kritik ini datang dari berbagai pihak,
termasuk salah satunya Andreas Harsono, seorang kritikus media. Kritik tersebut, sebagaimana ia
tulis pada blog pribadinya, sejatinya diarahkan pada rekan-rekan Indexpress perihal metodologi
penulisan buku “Tanah Air Bahasa” yang menggambarkan bahwa penokohan Tirto seolah
berdasar pada rasisme. Menanggapi ini, saya akan berbagi sedikit yang saya paham. Namun
sebelumnya saya mohon maaf atas kelancangan intelektual ini sebab saya hanya seorang pemula
dalam kajian pers. Menanggapi penokohan Tirto dan dipilihnya Medan Prijaji sebagai tonggak
pers kebangsaan adalah hal yang bukan tanpa dasar. Pertama, boleh jadi pada masa sebelumnya
telah ada berkala yang terbit dan telah menggunakan bahasa Melayu pasar seperti pada Selompret
51
Berbagai nama koran baik harian maupun mingguan sempat berada di
bawah pimpinannya, baik itu sebagai redaktur atau pemilik langsung.
Sebagaimana ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam “Sang Pemula” sejumlah
nama semisal Soenda Berita, Pembrita Betawi, Soeara BOW, Soeara Spoor dan
traam, Medan Prijaji, dan Poetri Hindia pun digawangi Tirto sebagai sarana
penyeru kepada bangsa jang terprentah menyangkut hak dan kedudukan mereka
dari Bangsa jang memerentah.
Sebagai seorang yang sadar dan peduli pada keadaan bangsanya sebagai
Bangsa yang “terprentah”, ia menggunakan media pers sebagai alat
perjuangannya. Jika pada umumnya pahlawan dikenal sebagai orang yang
berjuang dengan senjata, maka yang menjadi senjata dalam perjuangan beliau
melawan kesewenangan Kolonial adalah pena tajamnya. Melalui berbagai Koran
yang dipimpinnya tersebut ia lakukan pembelaan pada bangsanya atas perlakuan
semena-mena para pejabat belanda ataupun pejabat pribumi yang menjadi kaki
tangan penjajah.
Dari sejumlah Koran yang dipimpinnya itu, ada satu nama yang patut
disoroti berkenaan dengan peranannya. Medan Prijaji (MP), adalah koran yang
berpolitik pada zamannya. Melalui koran inilah Tirto menyebarkan kesadaran
Melajoe. Namun redaksi, penerbitan, atau kepemilikannya belum secara utuh digawangi oleh
pribumi. Pada 1903, hadir Soenda Berita sebagai pers pribumi yang dikelola dan dimiliki oleh
pribumi (Tirto), namun mengenai perannya, SB belum secara signifikan membangkitkan
kesadaran kebangsaan. Sedangkan perihal Bintang Hindia yang juga digawangi Abdul Rivai,
medan perjuangan Bintang Hindia tidak seperti apa yang dihadapi Medan Prijaji. Proses
penerbitan Bitang Hindia berlangsung di negeri kincir angin yang tidak terlalu ketat perihal aturan
press. Sedangkan Medan Prijaji harus berulang kali terseok ke meja hijau akibat persdelict atau
persreglement yang membatasi sedemikian rupa. Jadi atas berbagai parameter tersebut maka
sekelompok orang sepakat Medan Prijaji sebagai pelopor pers kebangsaan yang murni pribumi
atau yang saya istilahkan dengan “kaffah” sebagai pers pribumi sekaligus pers kebangsaan.
Singkat kata, meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, sebelum Medan Prijaji, surat kabar
masih bernada „dari mereka untuk pribumi‟, lih. Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta:
Hasta Mitra, 1985) h.24
52
kebangsaan. Sebagai media, Medan Prijaji memainkan peran penting pada
masanya dengan menjadi media yang berpolitik, Medan Prijaji menggeliat
sebagai alat propaganda yang menyebarkan kesadaran tentang konsep “bangsa”,
sebuah konsep kebangsaan yang di paparkan Tirto menggunakan bahasa yang
sederhana dengan membedakan antara bangsa yang “terprentah” dengan bangsa
yang “memrentah”.
Dari namanya, maka akan tampak bahwa surat kabar ini ditujukan pada
kelas terpelajar dan mereka yang mengabdi pada penguasa, yakni para prijaji.19
Secara umum, khalayak tahu bahwa apa yang disebut priyayi adalah seorang
dengan darah bangsawan yang mengalir dalam tubuhnya. Namun lain halnya
ketika kata priyayi telah bergeser maknanya. Priyayi, menurut Tirto, telah
bermakna pegawai negeri.20
Mengenai makna priyayi yang diartikan sebagai gelar administratur dan
tidak melulu genetis ini juga tergambar dalam cerita bersambung Tirto dalam
Medan Prijaji „Busono‟. Dalam kisah itu, Busono, yang merupakan alter-ego dari
sang penulis berbincang dengan asisten Residen Bandung. Busono ditawari
pekerjaan sebagai pegawai pajak dengan gaji f 40,- tiap bulan. Namun tawaran itu
ditolaknya, “ia mengucapkan banyak terimakasih. Malah dijanjikan kepadanya
akan diangkat menjadi priyayi segala. Tapi ia menolak”. Dari secuplik kisah
tersebut, kita dapat melihat bahwa pada masa itu, priyayi tak lagi melulu berdasar
darah, tapi bisa diberikan oleh „yang berwenang‟ dengan cara menjadi hamba
penguasa.21
19Bandingkan Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah
Pers di Indonesia..., h. 77
20 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula... h.20, catatan kaki no.21
21
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.405
53
Pengertian senada juga datang dari Van Niel, menurutnya priyayi adalah
administratur, pegawai pemerintah, dan orang berpendidikan yang berada di
tempat lebih baik dan bisa pula disebut elit.22
Dalam pada itulah Tirto
memaksudkan Medan Prijaji sebagai penyeru anak negeri agar jangan mau
menjual diri pada bangsa yang memerintah, sebab sejatinya mereka adalah anak-
anak bangsa yang terperintah yang justeru harus membebaskan bangsanya dari
belenggu kolonial.
Upaya penyadaran ini menjadi penting mengingat predikat priyayi dan
semacamnya seolah senjata kolonial untuk memberikan kehormatan semu pada
pribumi, yang sebelum masuk kolonial, tergiur dengan kehormatan bangsawan
feodal. Maka ini diihat sebagai peluang, sehingga sebagaimana dikutip dari
Fromberg, seorang Bupati berulah selayaknya pengeran feodal meskipun tetap
harus tunduk pada Residen yang berkebangsaan Belanda.23
Mari kita tengok semmboyan dari surat kabar yang merepotkan kolonial
ini. Pada tahun 1909 selagi masih berupa mingguan yang “terbit tiap-tiap hari
Djemaat” Medan Prijaji mengidentifikasi diri selaku “Swara oentoeq sekalian
radja-radja bangsawan asali, bangsawan pikiran, prijaji-prijaji dan kaum moeda
dari bangsa priboemi serta bangsa jang dipersamahken dengannja di seloeroeh
Hindia Olanda”.24
Namun pada saat formatnya berganti menjadi harian, maka
berganti pula semboyannya. Dalam catatan Pramoedya, dan beberapa tulisan lain
juga senada, semboyan itu berbunyi “Soeara bagai sekalian radja-radja,
bangsawan asali dan fikiran, prijaji dan sudagar Boemipoetra dan officier-officier
22 Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009) h.31
23
Goerge M.T Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (Jakarta: Sinar
Harapan,1995) h. 14
24 Halaman muka Medan Prijaji 1909
54
serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laenja jang dipersamakan
dengan anak negri di seloeroeh Hindia Olanda”.
Kendati terjadi perubahan, namun semboyan tersebut menunjukkan sikap
tentang gagasan „bangsa‟. Bahwa suatu bangsa tidak didasarkan pada status sosial,
kasta, terlebih ras. Sebab semua itu “dipersamakan” sebagai bangsa yang
“terprentah”.25
Perubahan ini tak banyak diperhatikan sebab umumnya orang
merujuk pada semboyan versi harian.
Menyangkut peran penting Medan Prijaji dalam membangun kesadaran
kebangsaan, Pramoedya Ananta Toer yang juga seorang „Tirtois‟ mengajukan
sebuah pertanyaan bermakna mendalam. Pram mengandaikan jika kerja
membangun kesadaran kebangsaan “...tidak melalui tradisi menggunakan pers
sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti
Hindia, bagaimana kiranya nasion Indonesia akan terbentuk?”.26
Disamping itu, Medan Prijaji pun kerap tampil sebagai Koran dengan
semangat jurnalisme advokatif dengan melakukan fungsi advokasi atas
permasalahan yang dihadapi rakyat pribumi. Berbagai upaya dilakukan sebagai
aksi pendampingan pada warga yang terjerat masalah, utamanya dalam perkara
hukum. Ini dilakukan Tirto dengan begitu lihai sebab memang ia memiliki
pemahaman yang lumayan baik seputar hukum. Melalui pengetahuannya itulah ia
melakukan pembelaan atas bangsanya, bangsa yang “terprentah”.
Sikap Medan Prijaji ini tergambar pada delapan azas yang dijadikan garis
pijakan bagi misinya; 1. Memberi informasi, 2. Menjadi penyuluh keadilan, 3.
Memberikan bantuan hukum, 4. Tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, 5.
25 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.47
26
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.9
55
Mencari pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan di Betawi, 6.
Menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri, 7.
Membangunkan dan memajukan bangsanya, 8. Memperkuat bangsanya dengan
usaha perdagangan.27
Tak jarang akibat aksi pembelaan atas bangsanya itu, Tirto harus
berhadapan dengan aksi kekerasan berupa pencambukan, pemukulan, atau jerat
hukum kolonial. Berbagai tuduhan kerap diarahkan padanya. Persdelict, adalah
satu dari sekian batu sandungan yang kerap menghalang-halangi jejak
langkahnya. Buah akibat aksi kritisnya terhadap pejabat belanda bernama A.
Simon ini tergambar dalam karyanya „persdelict: Umpatan‟ yang dikutip
Pramoedya dari Medan Prijaji.28
Contoh lain adalah penggerebegan kantor Medan
Prijaji oleh sekelompok orang di bawah pimpinan seorang jurnalis muda yang
kelak mendirikan kantor berita Aneta, Dominique Willem Beretty perihal kasus
skandal Van Hulten yang diungkap Medan Prijaji.29
Di lain pihak, ia pun kerap kali harus berhadapan dengan aksi intrik busuk
beberapa orang licik yang bermaksud membunuh karakternya. Semua „karma‟ itu
tentu buah akibat dari tajamnya anak panah surat kabar yang berawal sebagai
mingguan berukuran 12,5 x 19,5 cm pada 1907 ini. Pada tahun 10 Desember
1908, tahun ke dua terbit, secara sah berdasarkan akta notaris, berdiri sebuah
perusahaan yang menaungi penerbitannya, NV Javasche Boekhandel en Drukerij
27 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.46
28
Perdelict. Oepatan dan Penistaan. Aspirant Controleur A. Simon Contra R.M. Tirto
Adhi Soerjo Hoofd Redacteur Medan Prijaji, dalam Medan Prijaji Th.III/1909, h. 224.
Bandingkan, Pramoedya Ananta Toer, „ Persdelict: Umpatan, A. Simon Kontra R.M. Tirto
Adhi Soerjo. dalam Sang Pemula ,h. 208. Artikel lain berjudul Persdelict dalam Medan Prijaji
tahun III, h.669 juga memuat hal serupa.
29 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.63-64
56
Schrijfbehoften Medan Prijaji.30
Pada tahun ke tiga, 1909, Medan Prijaji telah
memberi pertolongan pada sedikitnya 225 orang. Mulai dari tukang ikan di pasar
hingga sultan di luar pulau Jawa ditolongnya.31
Panah yang mengarah pada laku
semena penguasa kulit putih maupun kulit berwarna itu mengubah diri pada 1910
menjadi harian ditambah terbitan ekstra pada hari Minggu dengan oplah mencapai
dua ribu eksemplar.
Akhir hayat Medan Prijaji pada 22 Agustus 1912 bukan disebabkan oleh
rasa takut pada penguasa. Bukan pula oleh sebab kehabisan anak panah yang
terkenal tajam. Melainkan sebaliknya, mereka yang pernah dibuat „muntah darah‟
oleh panahan sang Jurnalis semakin banyak. Mulai dari pejabat kecil hingga sang
penguasatama, Gubernur Jenderal Idenburg tak luput dari pantauannya. Idenburg
diserang dengan sebuah artikel yang menyebutnya sebagai „kyaine‟ yang
menggunakan uang rakyat bukan untuk semestinya.32
Rupa-rupanya, serangan bertubi-tubi ini membuat para penguasa geram
dan memulai suatu upaya merontokkan Medan Prijaji. Dengan cara yang serba
misterius, Medan Prijaji dinyatakan pailit oleh sebuah operasi tersembunyi. Ini
akibat berita yang keras membuat pelanggan takut pada penguasa dan
menghentikan berlangganan. Sebagian dari mereka tidak membayar sehingga
Medan Prijaji digerogoti hutang. Ini membuat Tirto disandera dan kemudian
sekali lagi, dibuang.
Sedemikian beracun panah Medan Prijaji sehingga para penguasa
menghelat suatu permufakatan jahat untuk menyudahi teriakan protesnya yang
lantang. Betapa bahayanya surat kabar ini tampak dari pengakuan Rinkes dalam
30 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.49
31
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.64
32 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.65
57
surat rahasianya untuk Idenburg pada 1912 yang menyatakan bahwa “.. dalam
mingguan yang kemudian jadi harian itu, di bawah pimpinan redaktur-kepala,
direktur, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo..... diserang dengan keras pemerintahan
dan para pegawai pemerintah, peraturan-peraturan pemerintah dihaja”‟.
Ia juga menekankan betapa Medan Prijaji „meracuni‟ kepala kaum
setengah terpelajar untuk mengupayakan perbaikan nasib. Dan “semua ditulis
dengan berani, dan dengan tegas, sehingga mengesankan pada pembaca dan
membuat mereka pertama-tama menyadari, harian itu sebagai pejuang untuk
kepentingan mereka yang orang harus menunjang dan mengikuti”.33
Berbahayanya harian ini dikukuhkan Rinkes sekali lagi pada 1915 dengan
suatu pengakuan tentang pengamatannya mengenai dunia surat kabar bahwa “pers
pribumi di waktu-waktu belakangan sama sekali tidak menimbulkan alasan serius
tertentu untuk mengeluh, (di waktu-waktu semasa Tirto Adhi Soerjo hal itu lebih
gawat).”34
Kekhawatiran serupa juga tampak dari suatu dokumen Kementerian
Daerah Jajahan Belanda mengenai tinjauan ulang atas Drukpersreglement 1856
yang dilaksanakan pada 1906 dalam Staatsblad no. 770, di mana salah satu
pasalnya menyebutkan bahwa Medan Prijaji termasuk berbahaya dengan
“...bahasa yang menghasut.”35
Nampaknya Medan Prijaji telah benar-benar
membuktikan diri sebagai ruang perlawanan. Mengutip Saleh Abdullah bahwa
33 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.67
34
Beginilah Tirto Adhi Soerjo dalam Majalah Seabad Pers Kebangsaan (Jakarta:
Indexpress, 2007) h. 17
35 Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di
Indonesia, h. 303
58
perlawanan tidak sebatas ide. Melainkan ia memerlukan ruang aktualisasi diri
untuk menunjukkan bahwa resistensi itu ada.36
Dari secuplik sejarah pers di ranah bumi Nusantara, kita dapat melihat
suatu fenomena betapa pers memiliki kekuatan politik sebagai pembangun
identitas bangsa yang sedang ”menjadi”. Dan dalam gerak sejarah yang demikian
itu, meminjam istilah Taufik Rahzen, Medan Prijaji merupakan patok awal di
mana nasionalisme untuk pertama kali dibangkitkan dengan jalan revolusi cetak.37
C. R.M Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Kebangsaan
Dalam sebuah ungkapan indah yang dicatat pada kisaran 1904 di mana
wartawan hidup dalam semangat patriotisme, Joseph Pulitzer memberikan
gambaran mengenai siapa seorang jurnalis. Dalam pandangan Pulitzer, wartawan
adalah seorang yang berdiri di anjungan kapal, senantiasa melakukan pengamatan.
Ia mencatat laju pelayaran, menggambarkan keadaan cakrawala yang cerah.
Membuat laporan mengenai yang terdampar agar kapal selamat. Berteman dengan
badai dan kabut agar dapat segera kirimkan kabar bahaya. Seorang yang tidak
memikirkan gaji. Ia berada di sana demi kesejahteraan rakyat atau siapapun yang
mempercayainya.38
Sepak terjangnya dituangkan Pramoedya Ananta Toer dalam bentuk fiksi
berjudul Jejak Langkah.39
Jurnalis kita, Tirto Adhi soerjo, seorang yang disebut
36 Saleh Abdullah, Melawan Arus, Menguasai Ruang dalam Jurnal Wacana (Jogjakarta:
Insist Press, 2008) h. 7
37 Bataviase Nouvelles, no.04 Februari (Jakarta: Indexpress, 2007) h. 36
38
Pawito, Komunikasi Politik (Yogyakarta: Jalasutera, 2009) h. 127-128
39 Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah (Jakarta: Lentera Dipantara, 2006)
59
Dakhideae memiliki pandangan jauh menembus zaman.40
Ia digambarkan S. De
Vries sebagai seorang dengan daya kerja luarbiasa yang digambarkan dengan
“setiap saat ia bekerja untuk kemajuan bangsanya, namun semua hasilnya
dipersembahkannya pada umum, sehingga ia tidak mengenal kekayaan...” tirto
juga disebut sebagai jurnalis yang “memberikan bantuan paada semua orang yang
membutuhkan...”41
Seorang seperti beliau dan para pengikut jejak langkahnya bukan sekadar
pencari berita “mereka itu bukan news getter, tapi pahlawan perdjuangan nasional,
pelopor tjita-tjita persatuan dan kesatuan. Mulai daripada jang tertua seperti
Tirtohadisurjo dengan Medan Prijaji-nja...”42
dalam kalimat singkat, Max Lane
menyebutnya sebagai “seorang pribumi pertama yang menerbitkan koran harian
dan menggunakannya untuk mendorong perjuangan menentang kolonialisme...”43
Namun demikian, kerapkali ia kerjakan tugas jurnalistiknya itu dari
pembuangan. Tirto memang tidak dipenjara sebab kebangsawanannya
memberinya suatu forum previlegiatum. Tapi seebuah kalimat agaknya bisa
digunakan menggambarkan betapa ia bekerja dengan sebelah kaki di
pembuangan. Sebagaimana hampir rata-rata nasib para jurnalis dan redaktur di
daerah jajahan yang kritis akan menjadi seorang yang “...selalu bekerja dengan
satu kakinya di penjara”.44
40Daniel Dakhideae, Sang Perintis.
http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsprograms/2007/04/17/1298/ pena. tajam.
Tirto. Adhi. Soerjo. hari. pers. nasional.
41 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 6-7
42
Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di
Indonesia,h. 355
43 Max Lane, Bangsa yang Belum Selesai (Jakarta: Reform Institut,2007) h.xxv
44
Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi.... ,h. 31
60
Beberapa kali pembuangan dihadapinya tak lain sebagai buah yang harus
ia petik dari ketajaman penanya. Sebagai seorang bangsawan keturunan Pangeran
Sambernyowo, Tirto termasuk orang yang „menabrak garis‟. Sebab ia terbilang
anti terhadap watak feodal. Dalam pandangannya, boleh jadi satu-satunya sisi
positif dari kolonialisme adalah mendobrak feodalisme, tapi lebih dari itu ia
memusuhinya sebagai sistem yang menindas.45
Sebagai siswa STOVIA, tentu ia memiliki modal intelektual. Namun
ketajamannya menjadi kian terasah ketika ia bertemu dengan Karel Wijbrands di
dapur berita surat kabar Pembrita Betawi, seorang jurnalis senior yang
mengajarkannya cara mengelola usaha surat kabar serta ilmu hukum agar tepat
dalam melangkah.46
Dalam pengamatan Pramoedya, ketajaman kritik Tirto atas
kolonial dalam tulisan-tulisannya kian menjadi setelah ia kembali dari
pembuangan di Maluku. Sebab di sana ia mendengar pengakuan tentang
kekejaman kolonial.47
Sejak di awal-awal karirnya di Pembrita Betawi, ia sudah disoroti akibat
keberaniannya mengungkap skandal J.J Donner, residen Madiun, dalam perkara
upaya perebutan posisi. Donner menghadapkan Bupati ke hadapan hukum dan
mengalahkan Bupati Madiun, Brotodiningrat yang kemudian dibuang ke Padang.
Hal ini terus diungkap Tirto dalam Pembrita Betawi, dan karenanya ia harus
berhadapan dengan penguasa kolonial.48
45 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 14
46
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 25
47 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 45
48
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 29
61
Sebagai seorang penggerak perlawanan atas kolonialisme, Tirto memiliki
anomalinya sendiri. Jika umumnya orang menganggap agak janggal bagi seorang
aktivis perlawanan berdekat-dekat dengan penguasa. Lain halnya dengan Tirto, ia
terbilang dekat dengan Gubernur Jenderal Van Heustz. Agaknya kedekatannya ini
sebagai salah satu faktor begitu beraninya ia mengangkat suatu berita yang tak
berani dibicarakan orang. Namun setelah Van Heutsz digantikan oleh Idenburg,
malapetaka dimulai. Gubernur Jenderal yang baru itu segera mengendus jejak
perlawanan dan mengambil tindakan atasnya. Kesempatan ini dibaca dengan jeli
oleh lawan sang jurnalis, A.Simon. baginya ini adalah kesempatan baik untuk
balas dendam. Tirto didakwa atas tulisan-tulisannya yang memojokkan
pemerintahan kolonial sebagai aparat yang mementingkan bangsa yang
memerintah yang tidak menghargai hak bangsa yang diperintah. Ia juga didakwa
atas tulisan yang menyebutkan bahwa pemerintah kolonial tidak memberikan
kebebasan bersuara dalam pers serta pembiaran korupsi resmi.49
Akibat dakwaan itu, ia dikenakan hukuman. Bukan penjara atau gantung,
berkat previlese yang dimilikinya ia beroleh pembuangan ke Teluk Betung.50
Kendati mulai dibuntungi perlahan, jejak langkahnya masih mendapat simpati.
Seorang yang entah siapa, mengiriminya surat puitis dari Eropa. Dalam surat itu
dikatakan bahwa “penghukuman tuan menyedihkan saya, kesedihan yang
mendalam....” dan untunglah ada satu pepatah Perancis yang menghibur perihal
tuduhan yang ditimpakan atas Tirto, “C’est le crime, qui fait la honte et non pas
l’𝑐 hafaud.. ”, “kejahatanlah yang telah membikin aib, dan bukan tiang gantungan”
. Sang pengagum melihat sosok jurnalis kita sebagai seorang juru selamat,
49 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 62
50
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 56
62
seorang Mahdi bagi bangsanya. Ini terlukis puitis dalam surat yang sama seolah
ingin mengatakan bahwa ia dihukum bukan karena salah “orang telah menyalib
Mahdi-ku namun tetaplah dia Juruselamat-ku. Hari-hari pembuangan untunglah
bagi tuan bukan hari-hari penebus dosa..... tuan bukanlah penjahat. Di mata
mereka yang berpikiran waras, tuan tetap keturunan terhormat seorang Ario
Jipang dan seorang Pangeran Sambernyowo”.51
Dari pembuangan di Teluk Betung, alih-alih patah, pena Sang Pemula
malah kian runcing. Dalam pembuangan itu ia memberikan pada pembacanya
suatu “Oleh-oleh dari Tempat Pembuangan” yang mengatakan bahwa watak
“berbuat sesuka sendiri dan pilih kasih adalah penyakit kebanyakan orang yang
berkuasa di Hindia ini”. Setiap hari ia mendengar pengaduan betapa masyarakat
jauh dari kebebasan dan perlakuan adil. Ini membuatnya berang hingga “...darah
kita sedang mendidih, gigi kita menggigit bibir, dan hati berdebar-debar karena
murka sudah menggunakan pena...”.52
Begitu dendamnya ia pada kolonial terlukiskan dalam penuturan seorang
yang pernah berjumpa pada pembuangan di Ambon. Menurutnya, Tirto pernah
berkata “jika interniran saya dicabut, saya akan pergi ke Japan. Dan ajak Japan
pukul atau runtuhkan Hindia Belanda”.53
Sedemikian berbahayanya tokoh kita,
sehingga dibikin tak banyak orang mengenalnya. Tentu bukan suatu kebetulan,
melainkan suatu upaya yang terencana. Kita akan lihat bagaimana Tirto dilukiskan
51 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 56-57. Lihat juga Bataviase Nouvelles no.04
Februari 2007, h. 37
52 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 246
53
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 168
63
dalam syair yang ditulis Priatman berjudul „Siapa Pelopor Djurnalistik di
Indonesia- 1875-1917‟ sebagai berikut:
“Raden Mas Tirtoadisoerjo
Nama kecilnja Djokomono
Keturunan Tirtonoto
Bupati Bodjonegoro
Peladjar S.T.O.V.I.A. di Djakarta
Penulis pembela Bangsa
Membasmi sifat pendjajah Belanda
Dengan tulisan jang sangat tadjam penanja
Membuka sedjarah djurnalistiknja
„Medan Prijai‟ warta hariannja
Suluh keadilan dan Putri Hindia
Ada dalam pegangan Redaksinja
Tiap perbuatan dari pendjadjah
Jang akan membuat lemah
Terhadap Nusa dan Bangsa kita
Diserang dan dibasmi dengan sendjata penanja
Akibat dari sangat tadjam sendjata penanja
Pendjadjah dengan kekuasaannja
Mendjatuhkan hukumannja
Marhum Tirtoadisurjo diasingkan dari tempat kediamannja
Lampung adalah tempat tudjuannja
Setibanja di pengasingan terus berdjuang
Tak ada tempo jang terluang
„ntuk membela Nusa dan Bangsanja
Pelopor Djurnalistik Indonesia
Tahun 1875 adalah tahun lahirnja
Pada tahun 1917 wafatnja
Mangga Dua di Djakarta beliau dimakamkannja ”54
Dalam sang Pemula, Pramoedya memberi catatan mengenai syair ini.
Menurutnya terdapat ketidakakuratan mengenai tahun lahir dan wafat Tirto yang
seharusnya 1880-1918.55
Kini makamnya pun telah dipindah di sebidang tanah
berpagar yang dijadikan makam keluarga di tengah pemakaman umum di daerah
Blender, Bogor.
54 Priatman, Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah (Bogor: Badan Penerbiit
Patani,1950) h.89
55 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.3
64
Mengingat jejak langkahnya sebagai jurnalis yang „berbahaya‟, bukan
mustahil bahwa kiprahnya dihilangkan dari sejarah nasional. Bahkan upaya
menghapus kiprah Tirto ini sudah dimulai sejak ia masih hidup. Mengenai hal ini,
sedikitnya kita bisa menyebut tiga nama agen rahasia Belanda yang membuntuti
dan mencatat tindak-tanduknya, Dr. C. Snouck Hurgronje, Dr. G.A.J. Hazeu, dan
Dr. D.A. Rinkes yang melakukan upaya sistematis untuk mencitrakan Tirto
sebagai sosok yang bermasalah.56
Muhidin M Dahlan menyebutnya sebagai
operasi arsivaris yang bertujuan menghabisi jejak perjuangan Sang Pemula.57
Singkat kata, Tirto dikriminalisasi karena kerja jurnalistiknya dianggap berbahaya
bagi kolonial, sebagaimana diakui sendiri oleh Tirto bahwa “dengan bekerja
sebagai redaktur koran, saya bisa menggerakkan hati bangsa dan menggugah
mereka yang masih tidur nyenyak agar mulai menyadari kewajibannya ”.58
56 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 4
57
Muhidin M Dahlan, Revolusi yang Lahir dari Cetak dalam BASIS Januari-Februari
2009, h.6
58 Iswara N Raditya, Karya-karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo; Pers Pergerakan dan
Kebangsaan (Jakarta: I;BOEKOE, 2008) h.7
65
BAB IV
NASIONALISME CETAK, PERLAWANAN PERS TERHADAP
PENJAJAHAN KOLONIALISME
Bahasa menunjukkan bangsa, demikian bunyi sebuah adegium yang kerap
menyambangi daun telinga. Kalau memang benar demikian adanya, lantas sejauh
mana bahasa berpengaruh dalam upaya komunal mengidentifikasi dirinya sebagai
satu kesatuan bangsa dengan kriteria tertentu. Berikut akan saya paparkan
mengenai bahasa sebagai identitas sebuah bangsa yang memainkan peran melalui
suratkabar.
A. Linguafranca sebagai Identitas Bangsa
Setelah pada bab kedua kita telah membahas teori mengenai bagaimana
pers mengkonstruksi realitas bernama bangsa, maka Pada bagian ini kita akan
sedikit memberikan penekanan mengenai bagaimana bahasa bukan hanya sebagai
pelengkap identitas, namun lebih dari itu menjadi sarana pembentukan sebuah
bangsa. Tentu masih dalam rangka menjelaskan peran pers, dalam hal ini Medan
Prijaji, untuk memainkan sepak terjangnya di alam penghisapan kolonial untuk
pada akhirnya memberi tempat pada bahasa untuk menegaskan dirinya sebagai
sebuah bagian yang menjadi instrumen penting dari pembentukan sebuah bangsa.
Sebagaimana Loomba mengutip Ben Anderson bahwa di tengah proses
menjalin ikatan-ikatan antara komunitas yaang tak pernah saling tatap, suratkabar
memainkan peran menciptakan budaya, kepentingan, dan kosa kata bersama yang
66
menciptakan „bahasa cetak‟ tertentu.1 Dalam hal ini, apa yang dimaksud dengan
„bahasa cetak „ itu adalah linguafranca yang dirumahkan suratkabar.
Sebagaimana dikatakan Perry Anderson dalam “Modernity and
Revolution”, kebudayaan adalah kesadaran yang dirumuskan dengan aktivitas
bahasa. Bahasa adalah praktik kesadaran, sebagaimana kesadaran, hanya muncul
dari kebutuhan; kebutuhan terhadap pergaulan dengan manusia lain. Dengan kata
lain, kesadaran tertentu merupakan produk dari hubungan sosial tertentu.2 Kita
tentu masih ingat betapa bangsa juga diandaikan sebagai suatu „hubungan sosial
tertentu‟.
Sekarang bagaimana halnya dengan bahasa dan bangsa dalam kaitannya
dengan topik pembahasan kita. Dalam kasus Medan Prijaji, tentu kita bisa melihat
sekilas mata bahwa bahasa lingua franca yang digunakan sebagai bahasa
operasional media cetak tersebut. Namun, ternyata lingua franca yang semula
„berkeliaran‟ di pasar-pasar sebagai bahasa perdagangan itu bertransformasi
menjadi suatu yang tak sekadar transmisi antara penjual dan pembeli. Dalam
„asuhan‟ Medan Prijaji, bahasa yang pada akhirnya menjadi bahasa Nasional kita
ini, bermetamorfosa menjadi identitas budaya sekaligus politik, yang menarik
garis tegas antara “kami” dan “kalian”.
Dalam hal ini, “kami” dan “kalian” yang saya maksud tentu tidak lain
adalah “bangsa jang terprentah” dan “bangsa jang memerentah”. Dan ini
merupakan suatu instrumen penting bagi Bangsa yang berawal sebagai sebuah
1 Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (Jogjakarta: Bentang, 2003) h.241
2 Perry Anderson, Modernity and Revolution, Newleft Review. No. 144, Maret-April
1984. Dalam Razif, Bacaan Liar: Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan. (Geocities) h.8
catatan kaki no.10
67
kumpulan terpisah komunitas etni yang sedang mangalami demam kesadaran akan
suatu di luar dirinya. Realitas yang dipungut dan terkonstruk dalam pengandaian
akan sebuah entitas bangsa. Dan pada akhirnya, dalam suratkabar yang diasuh
Tirto ini, bahasa benar-benar menarik garis pembatas antara sebuah Bangsa yang
tertindas dan dicitrakan terbelakang dengan Barbarian yang dicitrakan „beradab‟,
atau meminjam istilah Lenin ”Civilized Barbarism”,3 dalam menggambarkan
betapa di balik gemerlap glamor kehidupan „beradab‟ dua kota, London dan Paris
ternyata tersimpan wajah menakutkan dari monster Kapitalisme. Dan dalam
konteks Nusantara, monster itu adalah sekelompok penghisap yang
mengeksploitasi habis harta benda milik bumi Nusantara di bawah panji
kolonialisme.
Mengenai bagaimana bahasa bekerja mengkonstuk bangsa. Ini merupakan
pembahasan menarik. Pertama, kita kembali mengingat bahwa bangsa kita
terbentuk dari sekumpulan komunitas etni. Ini berarti bahwa keduanya, yakni
bangsa dan suku bangsa, merupakan kelompok fenomena yang sama, dengan
kesadaran berbeda. Kesadaran yang pada awalnya hanya berupa ke „kita‟an dalam
batasan kesukuan bertransformasi dengan memperluas jangkauan ke „kita‟an
menjadi tidak hanya berdasar pada gen 4 dan etnisitas, tapi lebih terbuka dan
menjadi kesadaran kolektif. Ini dapat terjadi salah satunya berkat media massa
yang mampu „melipat jarak‟ sehingga proses pembagian kesadaran ke „kita‟an
menjadi lebih massif dan efektif.
3 V.I. Lenin, Civilized Barbarism dalam V.I. Lenin on Britain (Moscow: Foreign
Languages Publishing House) h. 187
4 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009) h.90
68
Dalam pandangan De Fleur dan Ball- Rokeach, ada berbagai cara media
massa mempengaruhi bahasa, di antaranya dengan menciptakan istilah baru. Pada
gugusan sejarah di masa pendudukan kolonial, kita bisa melihat betapa tradisi
pendidikan modern mengenalkan istilah baru yang berkaitan erat dan berpengaruh
dengan pergerakan semisal vergadering, voordracht (pidato), accoord (setuju),
vakbonden (serikat buruh), communisme,Islamisme, dan tentunya nasionalisme.
Takashi Shiraishi menyebutkan bahwa istilah baru ini merupakan penanda bentuk
baru politik pergerakan yang menancapkan akarnya pada bahasa melayu. Dan
menurut Shiraishi “ Untuk memahami persoalan ini kita cukup mengingat kembali
Tirtoadhisoerjo”.5
Dalam kaitannya dengan Medan Prijaji, istilah baru yang
diciptakan adalah terminologi „bangsa‟, yakni „bangsa jang terprentah‟ dan
„bangsa jang memerentah‟. Kita tahu bahwa pada masa itu, kata bangsa biasanya
identik dengan etnisitas, misalnya bangsa Jawa, bangsa batak, dan semacamnya.
Namun Medan Prijaji melahirkan istilah dengan pengertian yang juga
baru. Bangsa tidak lagi dipahami sebagai Jawa, Madura, Batak, Ambon dan lain-
lain. Tapi sebagai ke‟kita‟an yang merupakan hasil relasi sosial yang dibangun
diatas pondasi kesadaran kolektif. Sebagaimana dikatakan Saussure bahwa
pandangan kita tentang realitas dikonstruksi oleh kata-kata6, maka di titik inilah
bahasa, melalui suratkabar, tidak hanya memantulkan realitas dalam sebuah
cerminan apa adanya, tapi lebih dari itu, sebagai sarana konseptualisasi, ia
mengkonstruk realitas7 tentang bangsa dengan pengertian yang sama sekali baru.
5 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926 (Jakarta:
Grafiti,2005) h.470
6 Alex Sobur, Analisis Teks Media....h.87
7 Alex Sobur, Analisis Teks Media... h.91
69
Pandangan konstruktivisme seperti Peter Berger maupun yang datang dari
kaum Marxis juga berpandangan senada, bahwa penggunaan bahasa dalam suatu
proses sosial ditujukan bukan hanya mendefinisikan, tapi juga mengkonstruksi
realitas dalam relasi kuasa tertentu.8 Tentu kita tidak dalam porsi membahas
politik bahasa secara mendalam, namun demikian, penggunaan linguafranca
menjadi pilihan strategis dalam upaya penyebaran kesadaran kolektif mengingat
bahasa tersebut digunakan oleh lapisan penduduk yang lebih banyak. Tentu
pilihan ini menjadi efektif mengingat apa yang dilakukan Medan Prijaji sejatinya
adalah counter-hegemony terhadap wacana yang disebarkan penguasa kolonial
baik menyangkut kolonialisme sebagai praktik ekonomi politik maupun budaya
yang disusupkan di antaranya. Berikut akan kita lihat bagaimana Medan Prijaji
menentukan sikap perihal bahasa pilihannya itu:
“... dalam tempat tempat pesisir itoe dimana bahasa kita soeda bertempat moela
moela, dalam bahagian berbanjak dalam koempoelan Hindia pada raajat negrinja di
dapet penggoenannja lingua franca, jani Melajoe rendah jani Melajoe jang sederhana
ditjampoer dengan roepa-roepa tjampoeran dari itoe bahasa Melajoe rendah sahaja
tida maoe kata djahat. Itoe ada bahoea jang berfaedah dan kerna sederhana
rangkaianja gampang dipeladjari olih dan antara berdjenis djenis raajat itoe.....”9
Dalam tulisan yang cukup panjang ini, sikap Medan Prijaji menyangkut
bahasa pilihannya sebagai identitas sebuah bangsa sangat jelas bahkan gamblang
tanpa tedeng aling-aling. Meminjam kacamata Taufik Rahzen, Seorang pemerhati
sejarah media yang juga mengidolakan Tirtoadhisoerjo, bahwa perjuangan surat
kabar inilah yang disebut sebagai nasionalisme cetak atau print-nationalism, yakni
nasionalisme yang bukan hanya memfungsikan pers sebagai sarana propaganda
8Dedy N Hidayat, Politik Media, Politik Bahasa dalam Proses Legitimasi dan
Delegitimasi Rejim Orde Baru dalam Dari Keseragaman Menuju Keberagaman (Jakarta: LSPP,
1999) h.47
9 T.A.S, Behasa Olanda di Hindia Olanda dalam Medan Prijaji th.III ( NV. Medan
Prijaji, 1909). h. 446-447
70
tapi lebih dari itu, merumahkan bahasa sebagai identitas budaya dan politik
bangsa, sebab pada bahasa tersirat gugusan politik identitas yang dirajut dalam
surat kabar.10
B. Kritisisme Medan Prijaji Terhadap Penguasa
Sebagaimana telah saya tuliskan pada bab kedua, dalam karya berjudul
Pers dan Massa, Njoto mengatakan bahwa “suratkabar tidak mungkin mengambil
jalan tengah atau tidak berpihak”. Pandangan ini kembali saya kutipkan sebagai
sebuah penekanan bahwa pada keadaan sebagaimana Medan Prijaji tumbuh dan
berkembang, yakni dalam nuansa penghisapan kolonial atas bangsa tanah koloni,
atau meminjam istilah Medan Prijaji penjajahan „bangsa jang memerentah‟ atas
„bangsa jang terprentah‟, mustahil bagi sebuah surat kabar untuk tidak berpihak
atau bersikap netral mengingat watak dasar Medan Prijaji sebagai pers yang
berpolitik.
Ini sekaligus menjelaskan bahwa sejak dari jargon, koran berlambang
kesatria memanah yang sempat mencapai oplah dua ribu eksemplar ini sudah
menentukan ke arah mana keberpihakannya ditujukan. Keberpihakan pada rakyat
tertindas yang diidentifikasi dengan nama „bangsa jang terprentah‟ ini
diartikulasikan dalam tulisan-tulisan yang menggigit. Baik fiksi maupun non fiksi,
keduanya memiliki daya tonjok yang telak mendarat di pelipis kekuasaan. Oleh
sebab gaya penulisan yang menyerang sekaligus sinis, surat kabar yang ngeh
politik ini kerap mendapat serangan balik dari pihak-pihak yang merasa aibnya
dibongkar.
10 Taufik Rahzen, Seratus yang Membangun Rumah Bahasa dalam Tanah Air Bahasa:
Seratus Jejak Pers Indonesia (Jakarta: I:BOEKOE, 2007) h.420-424
71
Karena konsistensinya mengawal kaum tertindas, Medan Prijaji juga
diberi predikat sebagai koran pengusung jurnalisme advokasi. Keadaan Medan
Prijaji yang demikian itu adalah suatu tanda betapa surat kabar memiliki daya
advokasi dan oleh karenanya ia tidak hanya hadir, tapi dirindukan oleh rakyat
kecil. Suatu keadaan di mana „teekenend dat de kleine man in den journalist zijn
verdendiger ziet...‟, bahwa orang kecil memandang jurnalis sebagai pembela
mereka.11
Tema dari artikel kritis suratkabar yang kerap merongrong penguasa ini
beragam. Namun dua diantaranya yang mencolok dan senafas dengan tema kita
adalah tema seputar kritik terhadap penguasa di satu sisi dan „sentimen
kebangsaan‟ di lain sisi. Namun sebenarnya kedua sisi tersebut memiliki satu
sasaran yang sama dan kadang kedua tema tersebut termuat dalam satu artikel,
kritik terhadap „bangsa jang memerrentah‟ yang kelak melahirkan konsekuensi
berupa lahirnya rasa ke‟kita‟an. Bahwa „kita‟ yakni „bangsa jang terprentah‟
berbeda, dan harus mengatakan tidak terhadap „mereka‟ yang tak lain „bangsa
jang memerentah‟.
Berkenaan dengan itu, tidak satu dua permasalahan yang dicuatkan oleh
suratkabar pembangkit bumiputra dari tidurnya ini. Tidak sedikit pula kasus yang
disorotinya berkenaan dengan laku semena para penguasa, baik itu dari bangsa
Eropa maupun bangsa pribumi yang bersatu dengan bangsa jang memerentah.
Boleh jadi watak konfrontatif dalam mengawal kasus kaum lemah dan kritik atas
penguasa ini yang membuat Medan Prijaji kerap berurusan dengan hukum.
Berikut kita akan melihat sebuah berita yang dimuat Medan Prjiaji berkenaan
11 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985) h.211
72
dengan kritik-kritiknya terhadap penguasa, salah satunya adalah kritisisme Medan
Prijaji dalam upaya menolong orang-orang desa Bapangan atas laku kuasa
Aspirant Controleur Purworedjo, A. Simon yang berbuntut panjang.
Gambaran dari peristiwa saat itu kira-kira sebagai berikut; “.... kita
didakwa soeda mengoepat saakan akan kita ada toedoeh Asp. Controleur itu
terima smeer, tetapi toedoehan ini tida di terima olih en Raad van justitie en olih
Hof besar sehingga kita terlepas dari.... toedoehan itoe; akan hal ini soerat-soerat
kabar melaijoe jang ternama soeda menjatakan kegirangannja”.12
Dalam artikel yang sama, Tirto yang menulis dengan nama pena berupa
inisial T.A.S, mengutipkan suatu keadaan perkembangan kritisisme media yang
diberitakan ulang Medan Prijaji dari Java Bode No.226 bahwa pers bumiputera
sudah menggeliat luarbiasa maju. Dalam artikel itu, dikatakan bahwa “bagi
kebaekannja gerakan boemi poetra maka pers anak negeri ta‟akan moenkir lagi.
Maka boemi poetra soedah berdiam diri sekian lamanja, tetapi sekarang soedah
moelai hendak majoe, dan pers-pers disini soedah berterejak pandjang lebar”.13
Semangat yang berapi-api nampaknya juga akibat disulut rasa simpati dari
„orang-orang kecil‟ yang menuliskan surat berisi dukungan mereka untuk
berhadapan dengan sang Aspirant yang juga dimuat dalam Medan Prijaji sebagai
berikut:
“ Dipersembahkan pada toeankoe Raden Mas Tirtohadisoerjo jang berpangkat
hoofdredakteur Medan Prijaji di Bogor.
Hamba, 1.Soetodikromo, 2. Himan Djojo, 3. Mangoenkarso, 4. Matkarip, mendengar
kabar djikaloe padoeka didakwa olih toean Apirant Controleur Poerworedjo perkara
12 Tirtoadhisoerjo, Doenia Soerat-soerat Chabar Boemipoetra dalam Medan Prijaji
tahun III (NV. Medan Prijaji,1909) h.906
13 Tirtoadhisoerjo, Doenia Soerat-soerat Chabar Boemipoetra.., h. 902
73
padoeka soeda toeloeng pada hamba dan teman-teman semoea sedjoemblah 236
(orang). Hal itoe djangan koewatir djikaloe padoeka toean didenda, hamba orang 236
jang bersanggoep bajar, memang itoe poetoesannja toean tida adil.....”14
Seteru antara kedua pihak, Medan Prijaji kontra A. Simon ini dipertajam
dengan suatu kalimat sarkastik ketika Medan Prijaji menyebut A. Simon sebagai
Snot- aap alias monyet ingusan. Ini berawal dari kecurangan persekongkolan
politik dalam upaya memenangkan salah satu calon Lurah yang sudah kalah suara
pa pemilihan di distrik Cangkrep, Bapangan.15
Tak melulu mengenai sistem pemerintahan, Medan Prijaji juga menyoroti
ketidakberesan lain yang menurutnya harus diwartakan. Seolah tak rela
ketidakberesan itu terlanjur dianggap wajar, maka lekas-lekas ia menghantamnya.
Berikut adalah suatu kritik yang diwartakan menyangkut perilaku hidup mewah
seorang bupati yang “...soeda mendadak bisa bli automobiel bebrapa
sehinggaarganja betreak seperti treaknja boereoeng podang, ewoe, ewoe woe!!!
...”, usut punya usut ternyata kekayaan mendadak itu datang setelah “...ada fabriek
goela” yang dibuka di daerah sang Bupati. Alhasil dengan segala kepemilikan
bupati yang mewah itu “... orang ketjil soeda takoet dan srahkan sawahnja pada
paksa Bupati automobiel itoe akan disewa boeat kebon teboe...”.
Dan tentunya, akibat nafsu sang Bupati memperoleh untung dari upaya
penanaman tebu itu, ia perluas ladang tebu sehingga “orang ketjil betreak tida bisa
14 Soeratnja orang-orang desa Bapangan pada Hoofd Red M.P. dalam Medan Prijaji Th.
III/ 1909 h. 15
15 Perdelict. Oepatan dan Penistaan. Aspirant Controleur A. Simon Contra R.M. Tirto
Adhi Soerjo Hoofd Redacteur Medan Prijaji, dalam Medan Prijaji Th.III/1909 h. 224. Sebagai
catatan, Pramoedya Ananta Toer dalam Sang Pemula menuliskaannya dengan „Persdelict:
Umpatan, A. Simon Kontra R.M. Tirto Adhi Soerjo. Lih. Sang Pemula h. 208. Dalam Sang
Pemula, Pramoedya juga kerap mengubah tidak hanya ejaan tapi juga redaksional yang berbeda
dari teks asli Medan Prijaji. Dan itu diakuinya agar membuat nyaman para pembaca.
74
tanam padi atau polowidjo”. Dengan gaya bahasa yang sangat meledek, seperti
menyisipkan suara burung Kepodang tadi, Tirto menutup artikel itu “Eeee! Main
Ewoe Ewoe sadja! Apa lagi nanti kalau soeda giling, ewoe, ewoe orang dipaksa
djadi koeli, sebab, ewoe ewoe soeda masoek di kabopaten...”16
boleh jadi bunyi
kepodang yang dimaksudnya adalah bunyi mesin giling tebu. Kesulitan rakyat
kecil semacam ini digambarkan juga dalam Medan Prijaji dengan sebuah pantun
mengenai pemaksaan pemerintah pada rakyat untuk menanam sirih, dan jika
tidak, maka akan diancam hukuman, “melak seureuh di boeroehan, oi!. Prentah ti
kawedanaan, oi!. Abong menak pamarentahan, oi!. Henteu njaah kasamahan, oi!”,
menanam sirih di halaman, perintah dari kewedanaan, mentang-mentang pejabat
negeri (prijaji), tidak kasihan pada orang kecil.17
Kritisisme surat kabar yang menggunakan gaya bahasa menyerang ini tak
hanya berhenti pada upaya memanah penguasa baik lokal maupun penjajah asing
saja. lebih jauh lagi, bersamaan dengan itu ia menghembuskan sentimen
ke‟kita‟an dengan langsung menarik garis antara „bangsa jang memerentah‟ yakni
kolonial belanda beserta gigi roda penindasannya yang merupakan orang
bumiputera, dengan „bangsa jang terprentah‟ sebagaimana tertuang pada bagian
berikut.
C. Sentimen Kebangsaan Medan Prijaji: „Bangsa Jang Terprentah‟ dan
„Bangsa Jang Memrentah‟
Dalam pengertian yang paling sederhana, kolonialisme dapat diartikan
sebagai penghisapan kaum kolonialis atas tanah koloni atau jajahan. Sedangkan
16 TAS, Baoe Goela dalam Medan Prijaji tahun III (NV Medan Prijaji, 1909) h.787
17
Kamerdikaannja Peladang Kita dalam Medan Prijaji tahun III, h. 713
75
pengertian lebih jelas dapat kita lihat sebagaimana dikatakan oleh Ronald
Horvath:
“It seems generally, if not universally, agreed that colonialism is a form of
domination- the control by individuals or groups over the territory and/or behavior of
other individuals or groups. Colonialism has also been seen as a form of expolitation,
with emphasis on economic variables, as in the Marxist-Leninist literature, and as a
culture-change process, as in anthropology...”18
Dari kutipan di atas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa hakikat
dari kolonialisme adalah upaya eksploitasi yang dilakukan perorangan maupun
kelompok, yang dapat berpengaruh tidak hanya secara ekonomi, tapi juga
berdampak pada budaya. Pandangan senada namun agak berbeda dengan
penekanan pada penghisapan ekonomi juga tercermin dari pernyataan Marco
bahwa menurutnya, kolonialisme adalah “...kapitalist Europa...” yang dinilai
Marco ”soedah sama bersepakat dengan bangsanja kapitalis alias membikin
Maatschappij jang besar-besar, dan akalnya menggaroek oeang, jaitoe menghisap
darahnja kromo....”.19
Pendapat tersebut mengindikasikan bahwa dampak kolonialisme tidak
hanya melulu berkutat pada ranah perekonomian tapi juga bergerak dan
berpengaruh pada aspek lain semisal tatanan sosial. Mengenai hal ini, kita bisa
melihat melalui sejarah kolonialisme yang setelah secara membabibuta
memberlakukan tanam paksa, pada gilirannya menerapkan liberalisasi ekonomi di
bumi Nusantara. Akibat dari penerapan sistem tersebut, modal swasta asing
18 ”rupanya secara umum, jika tidak secara keseluruhan, disepakati bahwa
kolonialisme adalah bentuk dominasi. Kontrol perorangan atau kelompok keluar teritori dan atau
sikap dari perorangan atau kelompok lain. Kolonialisme juga telah dilihat sebagai bentuk
eksploitasi, dengan penekanan pada variabel ekonomi, sebagaimana terdapat pada karya Marxis-
Leninis, dan sebagai sebuah perubahan budaya, sebagaimana terdapat pada kajian antropologi”
lihat Ronald Horvath, A Definition of Colonialism dalam Current Anthropology vol.13. no.1
(Chicago, 1972) diambil dari http://www.jstor.org
19
Razif, Bacaan Liar; Budaya dan Politik.... (Geocities) h.3
76
mengalir deras dan akhirnya berdirilah kegiatan ekonomi berlandaskan
industrialisasi. Singkatnya, pabrik-pabrik didirikan dan sawah berubah wujud
menjadi perkebunan. Ini bermula dengan diterapkannya sistem sewa tanah yang
mengubah tatanan sosial masyarakat. Sisi positif dari perubahan ini adalah
terkikisnya feodalisme, namun sisi negatifnya melahirkan kemelaratan rakyat. 20
Ania Loomba menyebut kolonialisme sebagai suatu penaklukan dan
penguasaan tanah dan kepemilikan rakyat oleh „orang lain‟. Lebih spesifik, dalam
kasus kolonialisme Eropa atas tanah koloni disebut sebagai kolonialisme modern.
Ini dilakukan untuk membedakannya dari kolonialisme lama yang merupakan
penaklukan-penaklukan pada zaman Aztec, Inca, Roma, dan sebagainya. Dalam
pandangan marxis, kolonialisme modern sejalan dengan ditegakkannya
kapitalisme Eropa Barat, sementara kolonialisme lama berada pada tahapan
prakapitalis.21
Apa yang sedari tadi kita sebut dengan „kesadaran kebangsaan‟ yang pada
gilirannya melahirkan bangsa, sejatinya merupakan respon atas sistem eksploitasi
para penghisap ini. Ian Adams menyebutkan bahwa merupakan pola yang wajar
ketika kemunculan nasionalisme merupakan suatu reaksi atas kolonisasi Eropa.22
Dalam istilah lain, kita bisa mengatakaan bahwa kolonialisme pada akhirnya harus
menemui takdir menggali lubang kuburnya sendiri, dan lubang kubur itu bernama
nasionalisme. Sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya, bahwa cangkul yang
digunakan oleh kolonialisme itu bernama politik etis. Ada sebuah perkataan
menarik dari Adams di mana ia mengatakan bahwa orang-orang Eropa sendiri,
20 Zainul Munasichin, Berebut Kiri (Jogjakarta: LKIS, 2005) h. 1-4
21
Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme.. h.2-5
22 Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir (Jogjakarta:Qalam, 2004) h. 131
77
tentu dalam konteks ini ia memaksudkannya dalam kapasitas kolonial, yang
memberikan perkakas kepada kaum nasionalis yang akhirnya mampu
menumbangkan kekuasaan sang pemberi alat-alat berupa modernisme dan ide-ide
dari Eropa seperti nasionalisme, Hak asasi dan sebagainya.23
Pada pembahasan sebelumnya, kita telah bertemu dengan beragam
pengertian bangsa dari berbagai cara pandang yang di dominasi oleh pengalaman
sejarah kesadaran kebangsaan Eropa. Dalam bab ini saya akan memaparkan
sebuah cara pandang yang datang dari anak Negeri. Suatu gagasan tentang bangsa
yang lahir dari kepala anak negeri dengan keunikan dan pengalaman sejarah
bangsanya sendiri. Namun demikian, pada bagian ini kita tentu masih akan tetap
bersinggungan dengan pengertian bangsa berdasar pengalaman Eropa.
Melalui corong suara pergerakan bernama Medan Prijaji, Tirto
menawarkan kepada kita sebuah cara pandang khas mengenai bangsa. Dalam
gagasannya tentang bangsa, Tirto melakukan klasifikasi kelompok manusia ke
dalam dua kategori bangsa antara “jang terprentah” dan “jang memerentah”,
istilah ini ternyata tidak sesederhana pelafalannya. Cara pandang Tirto seolah
mengingatkan kita pada cara pandang Kelas a la Karl Marx. Istilah ini bukan
sekadar jargon yang kerap dirapal Tirto sepanjang khotbah politiknya atau dalam
rangka meyakinkan kawan seperjuangannya. Namun dalam cara berpikirnya yang
maju, ia benar-benar menuangkan cara pandang „pertentangan kelas‟ ini ke dalam
bingkai berpikir suratkabar yang menjadi duta pemikirannya. Ini yang kemudian
menjadikan frame Medan Prijaji menampilkan sosok berita yang frontal, tanpa
23 Ian Adams, Ideologi Politik.... h. 131.
78
tedeng aling-aling. Sebab dalam pandangan Medan Prijaji dan sang Mpu-nya,
musuh sangat jelas di depan mata.
Melalui cara pandang ini pula kita dapat memasuki alam pikiran Medan
Prijaji dan sang Hoofdredactueur yang juga tertuang dalam artikel-artikelnya
tentang pembayangan sebuah bangsa. Pada literatur yang membahas seputar masa
kolonial di bumi Nusantara, kita akan mendapati sederetan nama semisal Jong
Java, Jong Celebes, Jong Ambon, dan semacamnya. Ini mengindikasikan betapa
watak kedaerahan pada masa itu masih begitu kuat, masih terfokus pada
ke‟kita‟an dalam lingkup komunitas etni ,dan pada saat yang sama belum ada
pemikiran tentang suatu entitas bangsa.
Kalau toh ada, apa yang disebut dengan bangsa pada masa itu berbasis
pada dasar kesukuan atau etnisitas sebab pada masa itu komunitas dari daerah
tertentu disebut bangsa, misalnya Bangsa Ambon, Bangsa Celebes, Bangsa
Borneo, bangsa Sumatera, bangsa Jawa, dan sebagainya. Di tengah keriuhan
bangsa-bangsa itu Tirto menggunakan istilah yang sama sekali baru, „Bangsa Jang
Terprentah‟. Suatu gagasan tentang kumpulan manusia yang berada di luar realitas
maupun pikiran masyarakat saat itu.
Dari sini kita bisa melihat bahwa apa yang Tirto inginkan dengan
istilahnya itu setidaknya ada dua. Pertama, ia ingin menarik orang-orang untuk
keluar dari kesadaran kedaerahan menuju kesadaran kebangsaan.24
Kedua, ia ingin
menyibak selubung penghisapan bernama kolonialisme dengan menyadarkan
rakyat bahwa mereka, kaum kolonial, adalah bangsa „jang memerentah‟ yang
24 Bandingkan R.E. Elson, The Idea of Indonesia (Jakarta: Serambi, 2009) h.22
79
dengan semena-mena mengatur kehidupan anak negeri dan pada saat yang sama
melakukan penindasan dalam berbagai aspek kehidupan.
Padahal sejatinya sebuah bangsa, selayaknya seorang manusia, bukan
berangkat dari apa yang orang pikirkan, tapi dari realitas yang memang ada.
Meminjam istilah Marx dalam German Ideology bahwa kita tidak berangkat dari
khayalan atau bayangan untuk sampai pada yang namanya manusia dalam
wujudnya yang seperti sekarang ini, melainkan manusia itu telah ada. Sedangkan
bayangan yang terbentuk dalam pikiran manusia merupakan gambaran dari proses
kehidupan nyata.25
Ini sekaligus menjawab apa yang saya maksudkan pada bab sebelumnya
bahwa kendati kita menggunakan „pembayangan‟ Ben Anderson, namun pada
Medan Prijaji pembayangan itu bukan selayaknya seorang seniman mengarang
karya serupa lukisan abstrak yang tak berbasis pada objek riil dan hanya
meluapkan rasa. Justeru sebaliknya, „Bangsa Jang Terprentah‟ adalah realitas
obyektif dari kehidupan anak negeri pada masa pendudukan kolonial. Artinya,
Jurnalis kita ini bukan sedang mengarang cerita tentang penindasan yang ia
khayal-khayalkan terjadi pada alam pikirannya. Akan tetapi sebaliknya, Tirto
melalui Medan Prijaji mampu merekam fakta dan memunculkan realitas objektif
bahwa penindasan itu sungguh terjadi, di saat kolonialisme menculiknya jauh dari
kesadaran banyak orang.
Berikut ini saya coba kutipkan artikel dalam Medan Prijaji yang ditulis
atas nama Diana. Melalui artikel ini kita akan melihat suatu gambaran bagaimana
25 Haris Rusly Moti dalam Njoto, Marxisme Ilmu dan Amalnya (Jakarta: Teplok Press,
2003) h.xviii. Lihat juga Terry Eagelton, Kritik Sastra Marxis (Jakarta: Desantara, 2002) h.10-11
80
keadaan bangsa jang terprentah itu demikian diremehkan oleh bangsa yang
memerentah sebagai bangsa „sopan‟.
“...demikianlah bangsa Tionghoa bisa djadi madjoe. Sekarang betapakah halnja
tentang orang Boemi poetera? ... orang berkoeli, jaitoe mentjeri makan dengan dapet
opahan dari angkatken orang laen punja barang...”
“ tjoba lihat, itoe disana ada koetsier, dan dinaiki seorang bangsa sopan. Dogcart
dibawa poeter kota, dari sini kesana, dari sana kemari, barangkali soedah empat lima
djam lamanja.. „sekarang berhenti disini sir‟, „saja toean‟, „ini sewanja... een kwartje‟,
„minta tambah, toean!‟, „apa! Kaoe berani boeka moeloet!‟, „tida toean, ini terlaloe
sedikit sebab dogcart dipake 4 djam lamanja‟, „Peng!‟. Apa itu, soeara bedil! Boekan!
Itoe soeara tapak tangan jang jatoeh dipipinja koetsir jang brutaal. Kasihan! ”
“...lihat itoe disana!... seorang Opziender poekoel pada koeli. Apa sebab? Oleh
koeli tida maoe berhormat dan madoeka pada itoe kandjeng toean besar Opziender.” 26
Buah pemahaman apa yang dapat kita petik dari artikel di atas. Tentu
semua kita yang membaca tulisan atas nama Diana tersebut akan menangkap
suatu gambaran bahwa laku semena atau penindasan benar-benar telah terjadi.
Baik itu hinaan, kekerasan fisik, atau eksploitasi. Dari artikel tersebut kita bisa
memungut gambaran bahwa penindasan itu menghujani keseharian rakyat dengan
berbagai profesi mulai dari kusir, kuli, dan sebagainya yang tak dituliskan sebab
menurut penulisnya terlalu banyak jika harus dibeberkan semua, “djikaloe disini
haroes diseboetken roepa-roepa hinaan itoe, tentoelah terlaloe makan banjak
tempat.”27
Alhasil itulah potret dari bangsa bumiputera yang diperlakukan sedemikian
rupa selayaknya binatang oleh bangsa „sopan‟ sebagaimana kata „sopan‟ itu
dipilih oleh penulis artikel untuk dikontraskan dengan laku semena atas kusir
yang dianggap brutal hanya karena berani menuntut haknya. Sebuah satire yang
menguak kesadaran sekaligus sentimen ke‟kita‟an dalam upaya merajut jalin
26 Diana, Mendjoendjoeng bangsa, dalam Medan Prijaji no.33 tahun III (NV Medan
Prijaji, 1909) h. 764-769
27 Diana, Mendjoendjoeng Bangsa...h. 769
81
temali terwujudnya sebuah nasion. Oleh sebab artikel semacam ini dapat
memberikan kabar menggantikan lisan untuk bertutur dan berbagi keluh peluh
atas penindasan yang dialami saudara sebangsa di belahan nusa yang tak saling
tatap mata. Dan lagi-lagi harus kita katakan bahwa di sinilah suratkabar berperan
melipat jarak, sehingga meski mata tak saling tatap namun satu sama lain bisa
saling pandang melalui kata dan berita.
Namun demikian, penulis artikel tersebut memberikan sikap sekaligus
pandangannya atas fenomena tersebut, bahwa keadaan seperti itu tidak bisa
didiamkan. Sebab menurutnya, binatang saja tidak boleh disakiti apalagi orang,
dan kebusukan dalam bentuk apapun harus diusir dari dunia.
Masih dalam artikel yang sama, penulis kita menjelaskan bahwa ini semua
bukan hanya disebabkan oleh perkara uang dan pengetahuan yang dimiliki kaum
yang dipertuan saja. tapi juga oleh sebab mental minder atau rasa rendah diri dari
kaum pribumi yang merasa takut sejak awal. Dan oleh karenanya, menurut artikel
tersebut, maka “tiada lain, soepaja orang Boemi terlepas dari penganiajaan,
haroeslah orang Boemi Poetra djadi koeat dan koeasa djoega”.28
Dan jaln satu-
satunya tiada lain adalah dengan merebut kemerdekaan harkat sebagai sebuah
bangsa terhormat. Dan untuk itu dalam artikel yang membakar kesadaran ini,
penulis kita memberikan uraian mengenai apa saja langkah yang harus ditempuh
untuk melakukan upaya membebaskan bangsa dari penindasan.
Menurut penulis yang menggunakan nama Diana ini setidaknya ada tiga
poin yang digarisbawahi. Menurutnya, orang harus memperhatikan modal
28Diana, Mendjoendjoeng Bangsa, dalam Medan Prijaji no.33 tahun III, h. 770
82
intelektual, bekerja keras, dan menggaungkan persatuan bangsa agar mampu
berdiri di atas kaki sendiri, “berame-rame menoeloeng bangsanja, mengangkat
dari tempat jang rendah ketempat jang tinggi...”.29
Melalui artikel-artikel tajam yang dilansir Medan Prijaji itulah,
sebagaimana juga telah saya ilustrasikan melalui karya Mas Marco pada bab dua,
para pembaca diajak untuk menaruh rasa empati pada apa yang menimpa saudara
senasibnya yang diberi predikat „bangsa jang terprentah‟ sebagai identitas
pengikat guna meyakinkan bahwa sejatinya mereka adalah satu kesatuan.
Dalam keadaan inilah proses pembayangan berlangsung pada jarak yang
dilipat suratkabar sehingga dalam keadaan „tak berjarak‟ itu proses pembayangan
meniscayakan timbulnya rasa ke‟kita‟an. Dari titik inilah kesadaran bumiputera
dibangunkan dari tidur nyenyak yang sengaja diciptakan kolonialisme dengan
dongeng-dongeng yang diamini mereka yang pragmatis dan tak peduli dengan
nasib saudaranya yang teramat nyata di hadapan mata.
Melalui pembahasan artikel-artikel di atas, sebagaimana juga pada bab dua
yang mengutip cerita yang ditulis Marco, maka dapat kita katakan bahwa apa
yang dilakukan Medan Prijaji adalah upaya untuk memanggil anak-anak bangsa
yang tercecer. Dalam kajian media dan ideologi, ada suatu pejelasan mengenai
interpelasi. Yakni di mana gagasan menginterpelasi individu-individu30
. Dalam
contoh sederhana, tiba-tiba ada yang memanggil dengan suara hei! Kau yang di
sana!!, dan secara refleks kita yang tiba-tiba merasa sebagai „kau yang di sana‟
memberikan respon. Ini terjadi dalam kasus tulisan Marco “Semarang Hitam”
29 Diana, Mendjoendjoeng Bangsa, h. 771
30
Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural Studies; Sebuah Pendekatan Semiotik
(Jogjakarta: Jalasutra, 2009) h.242
83
dengan lelaki tanpa nama. Demikian pula dengan artikel-artikel kritis Medan
Prijaji yang seolah memanggil bangsa jang terprentah untuk sadar. Dan ketika
respon diberikan seperti halnya oleh orang desa Bapangan, maka yang terjadi
adalah terbentuknya rasa ke„kita‟an yang tergambarkan betapa “senar-senarku
telah ditarik dari tempat lain, oleh suara yang bahkan tidak kukenal namun
tampaknya kutaati”.31
D. Pengaruh Medan Prijaji Terhadap Kemunculan Kaum Nasionalis
Revolusioner
Dari dalam newsroom Medan Prijaji kita telah menyaksikan bagaimana
sekerumun aksara diatur sedemikian rupa sehingga berubah wujud menjadi
sekawanan berita yang memburu mengejar para penguasa baik itu kolonial
Belanda maupun penduduk bumiputera yang menjadi hamba kolonial. Sejumlah
artikel yang dilesatkan dari busur pemikiran kritis membuat mereka yang bersalah
tak nyenyak tidur. Selayaknya lambang dari suratkabar pengusung Jurnalisme
advokasi yang berupa pendekar pemanah, berita yang dikandung Medan Prijaji
seolah melesat seperti anak panah mencari sasaran. Dalam bahasa yang berbau
hiperbolis, dalam beberapa literatur mengenai Medan Prijaji, kita akan mendapati
ilustrasi betapa pena tajam dari sang empunya mampu membuat para pejabat
muntah darah karena buah pikiran sang jurnalis. Watak yang selalu berpihak pada
mereka yang lemah inilah yang membuat Medan Prijaji tampil sebagai surat
kabar pembela kaum tertindas.32
31 Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural Studies... h.241-243
32
Iswara N Raditya, Para Pemula Indonesia dalam Sang Guru (Jogjakarta: Ekspresi
Buku, 2006) h.228
84
Namun demikian, newsroom Medan Prijaji ternyata tak hanya melahirkan
berita-berita pedas, artikel-artikel yang merongrong laku semena para penguasa,
maupun cerita bernada satire. Dari ruang penggodokan berita itu, tergodok pula
pemikiran seorang anak muda yang merupakan hasil didikan Tirtoadhisoerjo.
Sebagaimana kerap kita bicarakan pada bagian sebelumnya, anak muda yang kita
maksud tidak lain adalah Mas Marco Kartodikromo. Bagi jurnalis nasionalis-
Marxis ini, Medan Prijaji selayaknya sekolah yang mendidiknya tidak hanya
mengenai cara menyusun huruf selaku seorang letterzetter (penyusun aksara),
namun juga tempat di mana pikiran, gagasan, dan kepiawaiannya di dunia
jurnalistik diasah setajam anak panah pada lambang Medan Prijaji.
Berbagai literatur berkenaan dengan sosok Tirto seolah tak membiarkan
kedua nama ini terpisah. Hal serupa juga datang dari tulisan penulis muda, Iswara
N Raditya, yang menaruh perhatian dan meneliti cukup lama seputar
Tirtoadhisoerjo dan tentunya Medan Prijaji. Dalam karya yang merupakan
himpunan tulisan beberapa penulis muda itu ia menggambarkan betapa Marco
mengakui bahwa “lantaran pimpinannya saya bisa menjadi redaktur...”.33
Dalam
paparan yang lebih panjang, Pramoedya Ananta Toer menuliskan pengakuan
Marco mengenai sang guru bahwa “ ....saya mesti mengaku juga bahwa lantaran
pimpinannya.... saya bisa menjadi redacteur, pada keetika saya ada di Bandung,
kumpul serumah dengan beliau... seorang journalist Jawa paling tua......mashur di
seluruh Hindia lantaran keberaniannya mengusik laku sewenang-wenang...”34
Tulisan Marco ini sejatinya merupakan suatu upaya melepas wafatnya sang guru.
33 Iswara N Raditya, Para Pemula Indonesia .....h.230
34
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985) h.7
85
Marco menulisnya di Sinar Hindia lima hari setelah sang Guru menghembus
nafas akhir.
Keterbatasan tema pada karya ini membuat ruang kita membahas Marco
harus dibatasi pula. Oleh karenanya saya tidak akan berpanjang kalam dalam
pembahasan Marco, hanya selintas sekadar memberi petanda betapa hubungan
guru murid itu ada dan berpengaruh dalam dunia jurnalistik pergerakan. Berikut
saya kutipkan syair Marco Kartodikromo dalam surat kabar Sinar Hindia 14
Agustus 1918 berjudul „Awas! Kaoem Journalist!‟ sebagai suatu gambaran
mengenai sikap Marco sebagai seorang jurnalis yang dipelajarinya dari sang guru:
“Jadi Journalist zaman sekarang Berani dihukum dan di buang Karena dia yang mesti menendang Semua barang yang melangmalang
Journalist harus berani mati
Bekerja berat membanting diri
Sebab dia hendak melindungi
Guna mencari anak sendiri
Journalist harus bisa berdiri
Sendiri juga yang keras hati
Dan tidak boleh main komedi
Guna mencari enak sendiri
Koran itu tooneel umpamanya
Tuan membaca yang menontonnya
Journalisnya jadi pemainnya
Hoofdredacteur jadi kepalanya”35
35 Muhidin M Dahlan, Revolusi yang Lahir dari Cetak dalam majalah BASIS no. 01-02
Januari- Februari 2009. h. 4
86
BAB V
KESIMPULAN
Setelah berkutat sedemikian panjang dengan liku-liku pembahasan
mengenai bangsa dan kesadaran kebangsaan yang tidak sesederhana pelafalannya,
akhirnya kita sampai pada bagian akhir dari pembahasan. Pada bagian awal kita
telah berpanjang lebar dalam pembahasan tentang gagasan bangsa dan kesadaran
kebangsaan yang kerap tumpang tindih. Berbagai aspek dan pendekatan serta
beragam cara pandang dalam memaknai gagasan tersebut pun sudah kita
sambangi. Demikian pula halnya dengan apa yang menjadi sarana dari bekerjanya
kesadaran kebangsaan yang pada gilirannya mengkonstruk bangsa, media cetak.
Namun demikian, berlikunya jalan pembahasan mengenai hal yang
memang sudah problematik sejak dari istilah ini perlu kembali mendapatkan
penekanan. Saya katakan demikian sebab saya merasa perlu untuk kembali
mengingatkan kita semua bahwa kesadaran kebangsaan kita memiliki sejarahnya
sendiri yang berbeda dengan pengalaman sejarah Eropa. Mengenai hal ini,
sejatinya kerap saya kemukakan pada beberapa bagian sebab menjadi penting
untuk tidak mengukur ukuran pakaian kita berdasar pada ukuran badan orang lain.
Sebagaimana telah kita bahas bahwa pengalaman sejarah terbentuknya
bangsa kita sama sekali berbeda dengan catatan harian bangsa Eropa. Meski tentu
ada faktor-faktor pembentuk yang sama seperti teknologi mesin cetak yang pada
akhirnya memainkan peran penyebaran bibit kesadaran kebangsaan. Namun
pondasi yang menjadi alas bagi bangunan bangsa itu berbeda. Kita mendasarkan
bangunan kebangsaan kita di atas suatu kesadaran anti kolonialisme.
87
Akhirnya, melaui pembahasan tentang Medan Prijaji dan perannya dalam
menabur benih kesadaran kebangsaan melalui sentimen yang dibangun dengan
identitas yang secara langsung menarik garis, kita akan bertemu dengan hakikat
dari nasionalisme kita, watak bangsa kita. Dari gaya bahasa Medan Prijaji yang
konfrontatif sebagai suatu media dengan semangat Jurnalisme advokasi yang
membela orang tertindas dari kalangan ‘Bangsa jang terprentah’, kita akan
mendapati suatu pertanda bahwa watak bangsa kita adalah anti terhadap segala
bentuk penjajahan.
Melalui jargon yang dipampang suratkabar tersebut, kita akan menemukan
hakikat dari kesadaran kebangsaan kita yang dibangun tepat di atas sikap anti
terhadap kolonialisme. Mengenai sikap anti terhadap kolonialisme ini ia
tunjukkan secara gamblang tanpa tedeng aling-aling bahwa para kolonialis atau
penjajah adalah bangsa yang memerintah, pun demikian dengan kroni-kroninya
yang sudi menjadi sekrup bagi mesin penjajahan yang menggiling nasib anak
bangsa yang ia sebut sebagai bangsa yang terperintah yang harus bangkit melawan
sebagai suatu kesatuan bangsa yang dalam ruang pembayangan dirajut melalui
media cetak.
Nampaknya kita harus kembali mengingat istilah kolonialisme yang
menggali lubang kuburnya sendiri dengan cangkul bermerek politik etis. Bahwa
sebagai akibat dari politik etis yang melahirkan banyak kaum intelektual itu, serta
didukung kemajuan teknologi cetak, maka lahirlah pergerakan kaum intelektual
melalui dunia persuratkabaran yang mampu menjalin rasa keterikatan antara
bangsa yang terperintah di bumi Nusantara yang membelokkan cita-cita awal
kolonial menyatukan Nusantara sebagai tanah jajahan menjadi ladang
88
pembebasan Nasional. Dan akhirnya berlaku suatu perumpamaan kolonialisme tak
ubahnya seekor ayam petelur yang harus terkena serangan jantung di tengah
kesibukannya memproduksi, karena tak kuasa menahan kekagetan yang begitu
dahsyat ketika ia harus menyaksikan seekor Garuda menetas dari salah sebutir
telurnya yang dibuahi semangat perlawanan.
Daftar Pustaka
Buku
Adam, Ahmat. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan.
Jakarta: Hasta Mitra dan KITLV, 2003.
Adams, Ian. Ideologi Politik Mutakhir. Yogyakarta: Qalam,2004.
Algadri, Hamid, Mr. C. Snouck Hurgronje; Politik Belanda Terhadap Islam dan
Keturunan Arab. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Anderson, Benedict. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist dan Pustaka
Pelajar, 2008.
Cangara, Hafied, Prof.Dr. M.Sc. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali
Press, 2010.
Dahlan, Muhidin. M. Ed, dkk. Sang Guru. Jogjakarta: Ekspresi Buku, 2006.
Eagleton, Terry. Marxisme & Kritik Sastra. Depok: Desantara, 2002.
Elson, R.E. The Idea of Indonesia. Jakarta: Serambi, 2009.
Fairclough, Norman. Language and Power, Relasi Bahasa, Kekuasaan, dan
Ideologi. Gresik: Boyan, 2003.
Fanon, Frantz. Bumi Bernatakan. Jakarta: Teplok Press, 2000.
Garaudy, Roger,dkk. Demi Kaum Tertindas. Jakarta: Citra,tt.
Grosby, Steven. Nationalism A Very Short Introduction. Oxford, 2005
Hidayat, Dedy. N, dkk. Pers Dalam “Revolusi Mei”, Runtuhnya Sebuah
Hegemoni. Jakarta: Gramedia, 2000.
Hobsbawm, E.J. Nasionalisme Menjelang Abad XXI. Yogyakarta: Tiara Wacana,
1992.
Horvath, Ronald. A Definition of Colonialism dalam Current Anthropology
vol.13 no.1. Chicago, 1972. diambil dari http://www.jstor.org
Kahin, George M.T. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Sinar
Harapan, 1995.
Kartika, sandra. Ed. dari Keseragaman Menuju Keberagaman. Jakarta: LSPP
1999.
Kuntowijoyo. Penjelasan Sejarah. Jogjakarta: Tiara Wacana, 2008.
Latif, Yudi, Ph.D. Intelegensia Muslim dan Kuasa. Bandung: Mizan, 2005.
Lane, Max. Bangsa yang Belum Selesai, Indonesia Sebelum dan Sesudah
Soeharto. Jakarta: Reform Institut, 2007.
Leirissa, R.Z. Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia1900-
1950. Akademika Pressindo, 1985.
Lenin,V.I. V.I. Lenin on Britain . Moscow: Foreign Languages Publishing House
Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Jogjakarta: Bentang, 2003.
Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: C.V.
Rajawali, 1986.
Muhtadi, Asep. Saeful. Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktik. Ciputat: Logos
wacana Ilmu, 1999.
Munasichin, Zainul. Berebut Kiri. Yogyakarta: LKIS, 2005.
Nasuhi, Hamid, dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: Ceqda, 2007.
Njoto. Marxisme, Ilmu & Amalnya. Jakarta: Teplok press, 2003.
Niel, Robert Van. Munculnya Elit Modern di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya,
2009.
Pawito, Ph.D. Komunikasi Politik, Media Massa dan Kampanye Pemilihan.
Yogyakarta: Jalasutera, 2009.
Plekhanov, G. Seni dan Kehidupan Sosial .Bandung: Ultimus, 2006.
Priatman. Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah. Bogor: Badan Penerbit Patani,
1950
Raditya, Iswara, N. Karya-karya Lengkap Tirtoadhisoerjo; Pers Pergerakan dan
Kebangsaan. Jakarta: I:BOEKOE, 2008.
Rahzen, Taufik, et al. Tanah Air Bahasa. Jakarta: I:BOEKOE, 2007.
Razif. Bacaan Liar; Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan (Geocities)
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005.
Said, Tribuana. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila.
Jakarta: Haji Masagung, 1988.
Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.
Jakarta: Grafiti, 2005.
Smith, Anthony D. Nasionalisme; Teori, Ideologi, Sejarah. Jakarta: Erlangga,
2003.
Sobur, Alex, Drs.M.Si. Analisis Teks Wacana. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2009.
Sukarno, Ir. di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Penerbit, 1965.
Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam. Jakarta: Panitia Penerbit (diprakarsai oleh
Presiden Soekarno), 1966.
Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKIS,
2006.
Surjomihardjo, Abdurrachman. Dkk. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers
di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2002.
Suseno, Franz. Magnis. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia, 1988.
Thwaites, Tony, dkk. Introducing Cultural Studies. Jogjakarta: Jalasutra, 2009.
Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009. Jakarta: Biro
Akademik dan Kemahasiswaan UIN. 2009.
Toer, Pramoedya, Ananta. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra, 1985.
-------------------------------. Jejak Langkah. Jakarta: Lentera Dipantara, 2006
Triharyanto, Basilius. Pers Perlawanan; Politik Anti Kolonialisme Pertja Selatan.
Yogyakarta: LKIS, 2009.
Sumber suratkabar, jurnal, dan majalah
Bataviase Nouvelles no.04 Februari. Jakarta: Indexpress, 2007
Jurnal Maarif edisi vol.3 no.2 Mei 2008
Jurnal Wacana edisi 24, 2008. Insist Press
Majalah BASIS no. 01-02, 2009.
Majalah Prisma, Oktober 1991. LP3ES.
Majalah Seabad Pers Kebangsaan, Desember 2007. I:BOEKOE.
Medan Prijaji Th.III. 1909. NV Medan Prijaji
Tabloid Indonesia Newsnet vol.1. no.1. juni 2005.
Video (wawancara)
Sang Perintis,
http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsprograms/2007/04/17/129
8/PENA.TAJAM.TIRTO..ADHI.SOERJO.hari.pers.nasional.