narkolepsi bukan serangan tidur biasa: majalah suara mahasiswa ui edisi-23

100
NO.24/XV/2008 Rp7.000 MAJALAH UNIVERSITAS INDONESIA ISSN: 0854-1086 http://www.sumaui.or.id AMIN RAIS: “REFORMASI ITU KANDAS” TAHUN REFORMASI EDISI KHUSUS

Upload: suara-mahasiswa-universitas-indonesia

Post on 29-Jan-2016

298 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Laporan Utama: 07. Belenggu Kerja Itu Bernama: OutsourcIng. 08. Benang Kusut Dunia Ketenagakerjaan Indonesia 14. Alumni UI, Terjerat Kontrak dan Outsourcing 16. Pemerintah Tidak Cukup Cerdas dalam Mengambil Keputusan 18. Pengawasan Menjadi Problem Penting Dalam Sistem Ketenagakerjaa Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

NO.24/XV/2008 Rp7.000MAJALAH UNIVERSITAS INDONESIA

ISS

N:

0854

-108

6

• h

ttp

://w

ww

.sum

aui.o

r.id

amin rais: “reformasi itu kandas”

TAHUN

REFORMASI

EDISI KHUSUS

Page 2: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23
Page 3: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Perjuangan! Mungkin kata berim-buhan inilah yang paten untuk

menggambarkan majalah edisi ini. Perjuangan melawan ego masing-masing, sempitnya waktu, pergelakan narasumber yang men-jadi informan penting dalam pem-beritaan dan perjuangan melawan seret-nya keuangan organisasi yang menaungi kami. Cukup sudah kerin-gat dan air mata yang keluar.

Tapi, perjuangan itu terbayar! Kini, majalah edisi khusus ini bisa dinik-mati teman-teman pembaca Suma sekalian. Ya! teman-teman yang rindu akan informasi media jurnal-isme kampus yang sedang belajar apa itu jurnalistik sesungguhnya seperti kami.

Edisi kali ini memang berbeda. Khusus untuk edisi ini, pemberitaan tentang reformasi yang memasuki umur 10 tahun menjadi topik yang mendominasi. Ini bukan tanpa ala-san. Mengapa?

Mungkin beberapa orang akan berpikir skeptis. Edisi ini ada me-mang karena momennya pas. Toh, tidak ada salahnya ikut meramaikan suasana ulang tahun sang refor-masi yang menjadi sejarah bangsa ini. Tak hanya itu, Suma edisi ini hadir karena kami peduli atas nasib bangsa ini yang masih saja berjalan di saat negara lain berlari.

Dalam edisi kali ini pun rubrik opini kami beri porsi yang lumayan

besar dibanding dengan rubrik yang lain. Selain itu, rubrik kampus pun diisi oleh suara teman-teman maha-siwa dan beberapa alumni UI yang kini menjadi figur dalam masyarakat.

Tidak ada alasan khusus. Kami hanya menyadari, kami adalah wa-dah aspirasi yang tak boleh meng-gurui. Oleh karena itu, kami beri kesempatan untuk beragam orang dengan beragam pemikiran untuk mengutarakan aspirasi mereka.

Untuk apa? Agar pembaca kami bisa merekonstruksikan sendiri informasi yang dia dapat. Karena kami ingat, bahwa pada prinsipnya, media bukan sarana untuk meng-klaim suatu persoalan. Media adalah fasilitas yang membuat ma-syarakatnya paham atas persoalan yang ada.

Mengutip aksioma dalam ilmu komunikasi “we cannot not commu-nicate”, semoga Suma edisi kali ini bisa menjadi wadah komunikasi ma-hasiswa UI. Semoga informasi yang kami beri menjadi penambah ilmu teman-teman. Setidaknya menjadi sekedar pengetahuan untuk teman-teman sekalian.

Terakhir, terima kasih. Terima kasih atas kesediaannya membaca. Inilah produk kami, hasil kerja keras selama ini. Semoga berkenan. Hidup Mahasiswa!!!

REDAKSI

Pelindung Tuhan Yang Maha Esa

Penasihat Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. Gumilar R. Soemantri, der. Soz Direktur Kemahasiswaan Drs. Kamaruddin, M.Si

Pembina Drs. Ade Armando, M.Si

Pemimpin Umum Diponegoro

Pemimpin Redaksi Hafizhul Mizan Piliang

Sekretaris Redaksi Devi Raissa

Redaktur Pelaksana Sefti Oktarianisa

Wakil Redaksi Pelaksana Happy Indah Nurlita

Redaktur Foto Riomanadona

Redaktur Artistik Imam Fahmi Wibowo

Redaktur Bahasa Fanny Fajarianti

Redaktur Senior Muhammad Haripin, S. Sos, Pangeran Ahmad Nurdin, S. Sos

Redaktur Sururudin, Novie, Anaya Noora, Chrissendy T.L. Sitorus, Diah Setiawaty, Yuliniar Vida.

Reporter Asri Muninggar Sari, Resti Mirzalina, Dewi Andriani, Novie, Olgha Tabita, Nurul Farichah, Denissa Faraditha A., Erichson Sihotang, Rifka Rizkia, Dinar Rahmi, Ni Made Kumara Santi Dewi, Aisyah Ilyas, Laras Larasati, Yuliniar Diva.

Fotografer Ade Irawan, Titah Hari Prabowo, Lila Kesuma Hairani, Putri Rahayu Wulandari, Ali Budiharto, Salich.W

Desain, Tata Letak, dan Pracetak Buanawista Fajar Gafawijd, Rizki Amalia, Hanifah Ramadhani, Fidella Nindita, Taqwa Tanjung, Friska Titi Nova.

Riset Faishal Ismail, Rizky Sadali, Rizky Malinda, Roy, Sarah Albar.

Sirkulasi, Promosi, dan Marketing Dian Rousta Febrianti (Koordinator), Agnia Kartika, Karina, Rifki Hidayat, Christina Ken Maria, Aisa Ayu Dita Sabariah, Cindy Fortuna, Ghita Yoshanti,

Penerbit B.O. Pers Suara Mahasiswa UI

Percetakan Suma Design & Printing [email protected]

ISSN 0854-1086

Berdiri Sejak 27 Juni 1992

Alamat Redaksi, Sirkulasi, Iklan Dan Promosi Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Lantai 2, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 email: [email protected] website: http://www.sumaui.or.id contact person: Devi Raissa 0817400400 (Redaksi), Dian Rousta F. 081359254023 (Iklan dan Sirkulasi)

Redaksi menerima tanggapan, saran, kritik, maupun surat pembaca melalui email [email protected], atau sampaikan langsung ke sekretariat redaksi Suara Mahasiwa di Pusgiwa Lt. 2.

PerJuanGan..

ADE/SUMA

dari pusgiwa

Page 4: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

cover storyFoto: Dokumen SUMA UIDesain: Titah Hari PrabowoTata Letak: Diponegoro

laporan utama12 Gerakan Mahasiswa: Game Over! Reformasi Memakan Korban Rakyat Indonesia

16 Prof. Dr. Amien Rais: “Reformasi Itu Kandas”

20 Aksi Mahasiswa yang Berhubungan dengan Reformasi Sejak 1998

liputan khusus38 Aktivis Gerakan Mahasiswa ‘98 Di Manakah Engkau Sekarang?

41 Pers Mahasiswa, Bukan Cuma Sisi Lain Pergerakan Mahasiswa

44 Wien Muldian “Kompor” Aksi Mahasiswa ‘98

46 Rama Pratama: “Aktivis Mahasiswa Ada Masanya“

kampus55 Mereka Bicara Semangat Reformasi

60 Riset Kampus: Mahasiswa UI: “Reformasi Salah Arah”

� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

no. 24, tahun xv, 2008EDISI KHUSUS 10 TAHUN REFORMASI

11 10 taHun reformasi Gerakan Mahasiswa: Game Over! Reformasi Memakan Korban Rakyat Indonesia

16Prof. dr. amien rais: “reformasi itu kandas”

37aktivis Gerakan maHasiswa ‘98 di manakaH enGkau sekaranG?

daftar isi

Page 5: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

budaya74 Amuk Massa=Asyik Massa

kesehatan84 Desentralisasi Kesehatan : Askeskin Dicabut, Masyarakat Dirugikan

catatan perjalanan70 Perjalananan Panjang Atas Nama Cinta

cerita pendek87 Ivory

90 Sepuluh Tahun Yang Lalu

opini65 Quo Vadis Pendidikan Tinggi Negeri (BHMN) di Indonesia: Tarik-Menarik Kepentingan Antara Pelayanan Publik dan Privatisasi Perjalanan Reformasi

68 Merdeka dari Kemelaratan Menuju Demokrasi Paripurna

resensi92 Catatan Perjalanan Reformasi

93 Cinta May di Tragedi Mei

rubrik tetap01 Dari Pusgiwa

04 Pojokan Pusgiwa

04 Opini Foto

05 Pembuka Suara

06 Suara Pembaca

08 Goresan

09 Mantan Aktivis

10 Nuansa

24 Opini Sketsa

48 Sorot

94 Singkap

96 UI Mania

96 UI-ku, UI-mu, Ndut...!

evaluasi reformasi25 Reformasi Politik Soehartoisme Tanpa Soeharto

28 Reformasi Politik Kesalahan Besar Reformasi !!!

30 Reformasi Ekonomi Ekonomi Pasca 10 Tahun Reformasi “Growing Pain”

32 Reformasi Militer Metamorfose Hubungan Sipil-Militer

34 Reformasi Kesejahteraan Demokratisasi dan Agenda Kesejahteraan

50 Reformasi Pers Pers, Suara Tuhan

52 Reformasi Pers Pasang Surut Politik Hukum Kemerdekaan Pers

63 Reformasi Pendidikan “Cermati Lagi Tataran Pelaksanaan Pendidikan di Indonesia”

76 Reformasi Budaya 10 Tahun Reformasi Pruralisme Terancam

78 Reformasi Hukum Pendidikan Hukum dan Mata Rantai yang Hilang

80 Reformasi HAM Reformasi Tanpa Penegakan HAM

82 Reformasi Perempuan Perempuan Pasca 10 Tahun Reformasi

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 3

95afGan

sYaH reZa:

“ui Gitu LoH...”

93Cinta maY di traGedi mei

55mereka BiCara semanGat reformasi

70Catatan PerJaLanan Perjalanan Panjang atas nama Cinta

daftar isi

Page 6: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

pojokan pusgiwa

“Keep off the grass, ladies...!”

reformasi sudah berumur 10 tahunNggak ada perubahan! Mungkin harus bersabar sampai 100 tahun reformasi.

uang kuliah mulai angkatan �008 disesuaikanDisesuaikan? Maksudnya NAIK kalee, ah...!

rektor pilih sendiri dekan tiap fakultas...Pantas ada 7 nama Bambang... masalah selera ternyata!

ui mau pecahkan lagi paduan suara terbanyak!Cuma prestise, bukan prestasi.

Pintu jalan antara teknik dan asrama ditutupJadinya yang indehoy deket stadion makin banyak, Pak!!

aksi kepung istana oleh Bem seluruh indonesia direncakan tiga hariBaru satu malem aja udah pada pilek....

opini foto

TITAH/SUMA

Page 7: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Pemimpin umum Diponegoro sekretaris umum Rifka Rizkia Bendahara umum Dinar Rahmi manajer Penerbitan/Pemimpin redaksi majalah suma Hafizhul Mizan Piliang manajer Perusahaan Aghny Arisya Putra manajer riset Fanny Fajarianti kepala Biro sdm Putri Rizqi Arlita kepala Biro Humas Izza Soraya kepala Biro kesekretariatan Lila Kesuma Hairani Pemimpin redaksi Gerbatama Achdiyati Sumi Permatasari Penanggung jawab website Titah Hari Prabowo kepala unit operasional Dian Rousta Febrianti kepala unit event organizer Rifki Hidayat

Do the one thing you think you can’t do. Fall at it. Try again.

Do better the second time. The only people who never tumble are

those who never mount the highwire. This is your

moment own it.

(Oprah Winfrey)

pembuka suara

Page 8: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

TIGA JUTA RUPIAH BUAT MAHASISWA BIPA

Saya mahasiswa FISIP yang membantu seorang mahasiswa BIPA (Bahasa Indonesia un-tuk Penutur Asing) yang akan mengurus KITAS (semacam identitas bagi warga negara as-ing) di kantor imigrasi. Salah satu syarat untuk mendapatkan KITAS adalah melampirkan fotokopi KTP Sponsor yang menjadi penjamin dari maha-siswa ini. Dalam hal ini spon-sor adalah Manajer Program BIPA FIB UI yaitu Ibu Irsanti. Namun ketika teman saya ini meminta fotokopi KTP, Ibu Ir menolak memberikan. Ibu Ir hanya mau memberikan foto-kopi KTP nya kepada seorang agen bernama Nenden. Agen inilah yang nantinya akan mengurus KITAS sampai beres. Yang perlu dilakukan hanya menghubungi Nenden dan membayar sebesar tiga juta rupiah. Padahal teman saya mau mengurusnya sendiri. Te-man saya telah bolak-balik ke kantor imigrasi Bogor untuk mengurus KITAS tapi ter-bentur masalah fotokopi KTP Ibu Ir. Dan biaya mengurus

KITAS yang saya ketahui dari petugas imigrasi adalah sebesar 800 ribu sampai satu juta ru-piah. Ibu Ir mengatakan bahwa selama ini setiap mahasiswa BIPA selalu membayar agen dan agen yang akan memberes-kan semuanya. Jadi teman saya tidak perlu repot bolak-balik ke kantor imigrasi.Mengapa birokrasi UI khusus-nya di FIB menyulitkan? Men-gapa Ibu Ir hanya mau mem-berikan fotokopi KTP kepada agen yang bernama Nenden? Ada hubungan apa antara Ibu Ir dengan Nenden? Benarkah biaya untuk mengurus KITAS sebesar tiga juta rupiah?Lalu apa salahnya jika teman saya mau mengurus KITAS sendiri? Bukankah agen hanya membantu jika memang orang tidak memiliki waktu untuk mengurusnya sendiri? Saya bener-bener ga habis pikir. Semoga masalah ini dapat segera terjawab karena saya jadi gak bisa tidur memikirkannya.

Mahasiswa FISIP 2005 (Nama ada pada redaksi)

KELUHAN SIAK NG DI FISIP

Saya mahasiswa FISIP angka-tan 2005. Melalui SUMA, saya ingin mengeluhkan pengopera-sian SIAK NG di FISIP. Seb-agaimana diketahui, sekarang semua fakultas di UI sudah menggunakan sistem SIAK NG sebagai cara untuk registrasi akademik mahasiswanya. Jadi mahasiwa yang ada di UI diberi kemudahan untuk mendaftar ulang, berkonsultasi dengan PA, menentukan mata kuliah dan berapa SKS yang akan diambil hanya melalui internet. Akan tetapi, kemudahan ini tidak saya temui dalam pen-goperasian SIAK NG di FISIP. Memang, FISIP merupakan salah satu fakultas pertama, pionir ad-anya SIAK NG. Akan tetapi, kenapa ya, ketika SIAK NG sudah diberlakukan di semua fakultas di UI, FISIP seolah jadi fakultas yang tidak meman-faatkan kemudahan ini sebaik-baiknya. Mengapa saya katakan demiki-an? Hal ini karena, meskipun SIAK NG dan registrasi aka-

Badan otonom Pers suara maHasiswa ui (suma ui) merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Universitas Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik dan penerbitan, dijalankan sepenuhnya oleh mahasiswa, bernafaskan intelektual, dan bersifat independen terlepas dari intervensi pihak manapun, dalam rangka menjalankan fungsi kontrol sosial pers mahasiswa.

Sejak resmi didirikan pada 27 Juni 1992, SUMA UI telah menerbitkan 24 edisi majalah self titled, Suara Mahasiswa. Pada tahun 1998-2001, SUMA UI juga menerbitkan buletin pergerakan yang bernama

“bergerak!”. Selain itu, sejak tahun 2003, SUMA UI juga menerbitkan buletin bulanan, Gerbatama, yang telah terbit sebanyak 31 edisi.

SUMA UI, yang merupakan satu-satunya organisasi pers mahasiswa tingkat universitas, memiliki ciri khas tersendiri dalam cara penyampaian informasi/berita. Selain membahas isu global yang berkembang, ruang lingkup utama berita SUMA UI adalah membahas isu dan fenomena yang di berkembang lingkungan kampus UI.

6 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

suara pembaca

Page 9: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

demik via internet diberlakukan, FISIP masih menginginkan mahasiswanya datang ke kam-pus untuk registrasi ulang, baik konsultasi dengan PA, menen-tukan mata kuliah yang diambil, dan tanda tangan KRS kuliah apa saja yang akan diikuti. Hal ini terus terang saja member-atkan. Apalagi bagi saya yang mahasiswa rantau. Saya harus bolak-balik dari kampung ke UI hanya untuk registrasi aka-demik saja. Untungnya jarak antara kampung halaman saya dan UI hanya sebatas dua pu-lau. Coba kalau saya tinggal di Indonesia bagian timur. Berapa biaya yang harus saya keluarkan hanya untuk bolak- balik saja ke UI demi mengisi KRS saya? Lagipula, tak semua mahasiwa FISIP punya orang tua yang super mampu dalam bidang finansial.Harapan saya, melalui SUMA, semoga manejemen SIAK NG di FISIP berbenah diri. Kalau fakultas lain saja bisa memu-dahkan mahasiwanya regis-trasi akademik melalui internet saja, tanpa datang ke kampus, mengapa FISIP tidak bisa? Bukannya SIAK NG itu seuatu

bentuk kemajuan teknologi. Ko, dibuat seolah-olah teknologinya belum maju?Semoga para petinggi FISIP mendengarkan dan peduli akan hal ini. Terima kasih.

Mahasiswa FISIP 2005(Nama ada pada redaksi)

EFEK UI WOOD DI UI

Universitas Indonesia punya UI Wood. Namun bagaimanakah efek UI Wood pada kampus kita? Sebenarnya per-tanyaan ini muncul ketika saya mengalami “banjir” saat pulang kuliah. Ini adalah hal pertama yang membuat saya kaget, “kok bisa sih UI kebanjiran?” . Kenapa bisa terjadi? Apakah ini menunjukkan bahwa warga UI belum patuh dalam mem-buang sampah pada tempatnya? Atau berkurangnya lahan pe-nyerapan air di kampuslah yang menjadi penyebab? Yah, fenomena itu terjadi pada ta-hun 2007 akhir. Nah, ternyata fenomena ini lagi-lagi terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Hujan deras yang tidak terlalu lama membuat daerah di dekat Balairung bagaikan sungai dan jalanan tergenang. Ironis sekali, saya sebagai salah satu mahasiswa Fakultas Psikologi yang merupa-kan bagian dari civitas akademika UI, menyambut baik tinda-kan nyata yang berujung pada terwujudnya kampus hijau UI. Mungkin, perlu adanya keter-libatan yang involve dari selu-ruh civitas academica UI. Dalam memberikan suatu intervensi pada berbagai hal, para pembuat kebijakan har-

uslah melihat kelebihan dan kekurangan program yang dibuatnya. Diperlukan evaluasi pada program yang dilakukan, dan jangan lupa untuk mengi-kutsertakan seluruh warga UI dalam setiap kegiatan. Mari wujudkan UI yang hijau dan dekat dengan lingkungan.Wallahu’alam.

Dian Annuriah R Mahasiswa Psikologi 2005

TANYA GERBATAMA

Buletin Gerbatama yang dike-luarkan SUMA selama ini berukuran A4. Akan tetapi, beberapa minggu yang lalu, saya mendapatkan Gerbatama dengan ukuran yang lebih kecil. Terus terang saja saya sempat pang- ling melihatnya. Saya pikir ini buletin terbitan baru. Kalau boleh tahu, mengapa pihak Gerbatama melakukan hal ini? Padahal menurut saya ukuran yang lama itu sudah cukup baik?

A. M. AriyogaMahasiswa FIB 2005

Bung Ariyoga, pertama kami mengucapkan terima kasih telah menjadi pembaca setia Gerbatama. Perubahan Ger-batama memang telah kami canangkan sebelumnya dengan slogan “Metamorf ”. Tidak ada alasan khusus, hanya kami ingin memberikan suatu kesegaran dan suasana baru bagi pembaca. Kami tahu, pada awalnya sulit menerima perubahan. Namun, kami percaya kesegaran Gerbata-ma akan memberikan nuansa baru bagi kita bersama.

IndonesiaUniversitas

your gateway to the wor ld of excel lence. . .

Gait lummolu msandit ex eugiatie del inim etue commodolorem zzrit lore te volobortin veliscilit adignim volor siscili quipissed tat, commodo odolor in venim qui blamcon senis-cilit nonullutpat lummy non ut at. Elit eum nis augait la facing er iurem veliquipis num in henit alit num quat. Loboreet ullummo loborperos eugait velis niam nullam, verat ullaorem in utat. Magnis nim zzrilis alis del ipsum dolumsan exeriure facilisi eugue conulpute tate modo-lortio el ullan eliquis doloboreet dolore tin hent wis el iusciduis er se tisl ut ipissed dolortissi.Nismolessit wisi eriliquat. Venim zzriuscidunt la consenim do ectet, quis er sequi bla aliquations exerat irilit alit acincip sustrud tem irillan enissed del ipis nonsequis dolore faccum nos nim ero odip exer sisim iril dions nissi.Unt volorpero dolupta tueraestrud dionseq uipsustisi te ea feui exer-aesto odipit delendio dit, susciduisi.Olorper aestrud tate eu facidunt la ad dolor sequisi bla consendiam dit, sit, quam zzrit nulla facil ut dolup-tat, quat vel ea con vullan velesto odolutate velestie deliquat.Velis accummy nostio cortie tio dio odoloreet, quamcon senibh essim ipsummy nonsectet vullamc onse-quat. It, si tinim num vulla alit ulput-

pat lortio esenis esequat alis dipisi bla feugait, vero dit augait doless-enim eraesed te eu faci euis ad enisl doloreet utat. Duis nos niscipit atin henit, sequisim velenis nulla feu feuipit nonsenim quis doleniam ipismolor inis exerosto etumsan utat, sed tio consed del ullam irilit ut alis ea facidunt illaoreet, volenim in ullaore te feuguerci bla conulla acilit nos dolum nit dolortis exer sum nos num duipit lum zzrit ver irit wismod mincin heniam acin volummolor augueri liquat. Os dunt wis adip eummodo loreet acipis dit lumsan ute dolore et num dignis augait loreet, quis nulla amet wisi te facipit vel dolobortis atie magnibh etum zzrit alisi tin volore feugue tie dolo-bore tio delenim in el utat, quamcon esequis esequat adiOre ea feum ilit, sumsan essendrem quat. Ut lumsandiam, quisi blandit, venim veliquisi te consenibh er si.Nulla alis nonsend iamcon vel utat. UtAmentrobsen vistus bonste manunum perrachuit; non sende et is? Arios es cotiamdiist iam hin scre, octus, con andam audea in diempo-rei senterorae obsendena, teribus virte nost vit; hore ad ceratoreo, Cat.Posultod C. Fex me maximperis paterte te auconverum.Tumena, Castanu im in videt, numere ta, es! Sat, es bon Ita, prorari

ADA APA DENGAN PEMIRA?Pro Kontra Seputar Pemira

EDISI 02 | 21 April 2003 | Editorial

Diterbitkan oleh:

halaman 2halaman 3

halaman 4

ue commodolorem zzrit lore te volobortin

ue commodo-lorem zzrit lore

te volobortin

ue commodol

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 7

suara pembaca

Page 10: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Poetri Hindia, majalah perem-puan pribumi pertama di Indonesia, memuat sejumlah kisah tentang penderitaan

dan perjuangan perempuan- perempuan Hindia Belanda (se-butan untuk Indonesia sebelum kemerdekaan) dalam meraih haknya. Masalah kedudukan perempuan dan emansipasi benar-benar mendomi-nasi tema yang diangkat majalah yang terbit tepat 100 tahun lalu itu.Sungguh hebat perjuangan mereka sehingga membuat saya terinspirasi. Ketika tulisan ini dibuat, hari Karti-ni sudah lewat namun bukan berarti kajian tentang perempuan berhenti. Di tengah gejolak dan semangat 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 tahun reformasi, tak salah jika mencoba sedikit berpikir tentang perempuan. Siapa sebenarnya perempuan? Per-tanyaan itu tiba-tiba saja muncul ke-tika membaca artikel-artikel dalam majalah Poetri Hindia di atas. Bagi yang pernah membacanya pasti akan terkagum-kagum pada sosok pe-rempuan. Mengapa kita seolah tidak mengenal mereka? Padahal, mereka ada di sekitar kita, setiap saat, bah-kan sangat dekat.Perempuan adalah makhluk yang mampu melahirkan karena ia mem-punyai rahim. Ia yang melahirkan semua keturunan Adam di bumi ini. Suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah. Perempuan lebih mengedepankan emosi daripada rasio. Karenanya, banyak yang men-gatakan perempuan lebih emosional daripada lelaki. Perempuan memiliki payudara dan vagina, dua organ yang hanya dimiliki perempuan. Kedua organ itulah yang nantinya mem-buat lelaki ’tunduk’ pada mereka. Jadi, salah bila memandang perem-puan sama dengan lelaki. Mereka

berbeda. Karenanya, sepakat bila ada perbedaan perlakuan terhadap perempuan. Namun bukan berarti diskriminasi. Perbedaan perlakuan tentu akan berbeda dalam hal, mis-alnya transportasi, perang, pakaian, cuti, dan hal lainnya. Jika kita melihat secara jernih, di era reformasi saat ini, perempuan-perempuan yang telah dibangkitkan Poetri Hindia (selain juga Kartini), justru mengalami kembali kegela-pan sejarah, di mana kedudukan perempuan selalu dibandingkan dengan lelaki, dan dikatakan lebih rendah. Padahal katanya, perempuan itu adalah makhluk yang mampu menundukkan lelaki. Sungguh ab-surd, dan pada bagian inilah saya merasakan kebingungan yang luar biasa. Sama halnya, ketika kenyataan bahwa Poetri Hindia tak banyak disinggung dan disepelekan dalam sejarah. Mengapa?Setidaknya, kita telah mencoba mengenal mereka lebih dekat. Perempuan telah melakukan banyak hal bagi manusia dan dunia. Sangat naif jika menyepelekan mereka. Sejarah pun harus lebih adil melihat perempuan. Sejarah saat ini penuh dengan maskulinitas. Istilah sejarah pun begitu maskulin, yaitu history (cerita-nya, laki-laki) bukan herstory (cerita-nya, perempuan). Pelaku sejarah pun terpusat pada laki-laki. Seolah tidak ada perempuan dalam sejarah. Terakhir, perempuan adalah makhluk luar biasa. Ia mampu menciptakan perbedaan pada dunia. Ia menciptakan cinta yang tak ada bandingannya. Walaupun banyak juga hal-hal yang tidak bisa dila-kukan oleh perempuan dan karena itulah laki-laki ada. Lalu, masih per-lukah feminisme? Masih perlukah maskulinisme?

8 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

Diponegoro

Pemimpin Umum Badan Otonom Pers Suara Mahasiswa UIMahasiswa Ilmu Sejarah Angkatan 2005

BERPIKIR TENTANG PEREMPUAN

goresan

DOK.PRIBADI

Page 11: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

M. Fauzie Syuaib

Sekum Senat MahasiwaFISIP UI 1984-1985

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 9

RIO/SUMA

mantan aktivis

Page 12: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Baru-baru ini sebuah program unggulan dari stasiun televisi nasional, Kick Andy!, melakukan

show off air-nya di UI. Tenar betul acara ini, sampai ada pe-nonton yang tidak dapat kursi rela untuk duduk di lantai. Rek-tor UI-pun hadir dan ikut mem-beri bantuan ketika itu. Kenapa ia begitu fenomenal? Andy F. Noya, sang presenter terang-terangan menjawab dalam show itu, “Karena acara ini ditonton dengan hati”. Yang pada akh-irnya bisa mengins-pirasi dan motivasi. Namun, hati beberapa kali hati tak terlihat. Kalaulah pakai hati, para tentara tidak akan me-muntahkan timah panas kepada calon-calon pemimpin bangsa sepuluh tahun yang lalu. Ini semata adalah perintah. Ketika perintah dikeluarkan maka hati dilupakan. Mungkin begitulah caranya berpikir . Kalau me-mang begitu, kita harus merunut ke atas, kita perintah tertinggi di negara ini yang jatuhnya ke presiden, meski kedaulatan bu-kan di tangan beliau. Untuk za-man sekarang, saya rasa mung-kin kita sudah punya presiden yang memakai hati, buktinya beliau bisa menggubah lagu dan menangis menonton film sedih.Namun di sisi lain, banyak juga yang berteriak. Kalau jadi BBM naik lagi, ini adalah yang ketiga dalam 5 tahun terakhir. Angka bunuh diri di masyarakat sudah semakin tinggi. Pun tidak mau bunuh diri, kematian akibat kelaparan berbiak secara merata. Kenaikan ini Insya Allah akan menambah tanggungan rakyat. Kalaulah begitu, benarkah ada

hati dalam kebijakan itu? Susah dimengerti. Baru-baru ini, rektor UI menge-luarkan Surat Keputusan baru tentang biaya pendidikan yang baru di UI. Kalau melihat jum-lah maksimal, niscaya kita akan terhenyak. 7.5 juta untuk IPA dan 5 juta untuk IPS. Namun, ternyata kebijakan ini memakai hati. Untuk jumlah minimal, cukup hanya 100 ribu rupiah saja. Tak lebih sepuluh hari kerja bagi tukang sapu yang di-pekerjakan secara outsourcing di kampus ini. Jumlah absolutnya kemudian diatur oleh sebuah mekanisme yang melibatkan lembaga eksekutif mahasiswa. Tampaknya menyenangkan. Mekanisme itu dibuat dalam bentuk pembuktian adminis-trasi. Slip gaji, rekening dan sebagainya harus disertakan., diakhiri dengan wawancara un-tuk melihat kebenaran dokumen. Dalam penentuannya, “hati” ternyata tidak dihitung. “hati” bisa menipu dan dokumen ti-dak. Saya kurang setuju dengan ini. Kalau teman tidak percaya, cobalah tengok penerimaan mahasiswa baru dalam penen-tuan Admission Fee berlangsung, terutama di fakultas tertentu. Di situ jantung bapak-bapak ber-detak kencang, dan air mata ibu-ibu mengalir. Saya rasa air mata tak akan bohong meski sebagian orang bisa melakukannya. Ini mungkin akan berulang untuk penentuan BOP. Kalaulah itu terjadi, lalu di manakah hati. Cukup di lagu dan janji-kah? Atau hanya ada dalam tontonan? Ini semakin membingungkan.

Hafiz Mizan Piliang

Pemimpin Redaksi Majalah Suara MahasiswaMahasiswa Ilmu Goegrafi Angkatan 2004

10 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

Hati

DOK.PRIBADI

nuansa

Page 13: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

REfoRmasi mENiNggalKaN bEbERapa waRisaN yaNg TERlupaKaN. dEmoKRasi, KEsEjahTERaaN,

daN KoNdisi masyaRaKaT masih mEmpRihaTiNKaN. mahasiswa haRus

dapaT mENjawab asa REfoRmasi yaNg TElah hilaNg

Gerakan maHasiswa: Game over!reformasi, memakan korBan rakYat indonesia

SALICH/SUMA

Page 14: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Gejolak reformasi tahun 1998 tak bisa lepas dari sebuah kelompok aksi gerakan mahasiswa. Kelompok aksi menurut Jeff Haynes merupakan aktifitas untuk men-capai tujuan mereka sendiri dan meman-dang diri mereka sebagai kelompok kare-na terkait dengan keadaan serupa seperti kemiskinan, gender, keyakinan agama, etnis dan apa saja. Kelompok ini se-cara sadar mengaitkan perjuangan prib-adi mereka pada penciptaan masyarakat yang lebih demokratis dan adil.

Reformasi ’98 merupakan respon ketida-kpuasan mahasiswa dan sebagian kecil masyarakat pada kondisi yang ada. Hal ini bisa disebabkan antara lain harga-

harga yang melambung tinggi, pembatasan dalam berekspresi, dan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia oleh penguasa. “Format ekonomi tak se- suai dengan keinginan rakyat, yang tidak sejahtera dan menderita” ujar Sri Bintang Pamungkas. Akhirnya, tindakan ofensif dilakukan dengan menumbangkan rezim Soeharto, yang ketika itu dianggap sebagai common enemy (musuh bersama) bagi mahasiswa.

1� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

GERAKAN MAHASISWA: Game over!

10 tahun reformasi

Page 15: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Sekarang, sudah sepuluh tahun dari kejadian ini. Akan tetapi, apa yang diharapkan justru tak terjadi. Menurut Bony Hargens, ini bisa diketa-hui dari karakter mahasiswa Indonesia yang cenderung tidak bergerak secara total. To-talitas perjua- ngan hanya ada dalam lagu dan tidak meresap pada suatu sikap nyata dalam aksi dan pemiki-ran yang berkesinambungan. Ia berpendapat, sebuah reformasi ternyata dapat dianggap se-bagai blunder kesalahan ma-hasiswa yang merugikan ma-syarakat sendiri. “Ini bisa dike-tahui dari tidak adanya ideologi kebangsaan yang dibangun mahasiswa. Pancasila sebagai

landasan negara semakin tidak jelas. Indonesia setelah Refor-masi ’98 tidak mempunyai arah pembangunan”

Di satu sisi, mahasiswa berhasil menurunkan ujung tombak rezim Orde Baru. Akan tetapi, di lain pihak ini mendapat tanggapan skeptis masyarakat kecil. “Coba kalo ga ada reformasi, pasti harga masih bisa murah, jaman Soe-harto itu apa-apa bisa murah, ga kaya sekarang”, tutur Warti, pedagang Warung Tegal (Warteg) di Depok.

Menurut Sri Bintang, lengser keprabonnya Soeharto ternyata tidak berpengaruh besar terhadap permasalahan bangsa. Kegiatan korupsi yang semakin marak, tertangkapnya oknum-oknum pejabat negara karena korpusi adalah bahwa kegiatan korupsi tetap lestari walapun ada reformasi sudah sepuluh tahun ada.

Dany, aktivis ’98 yang menjadi pedagang aksesoris motor mengatakan ia menyesal dulu ikut reformasi. “Sekarang kedaan malah tambah buruk,” ungkapnya. Perbaikan keadaan masyarakat bertolak belakang dengan tujuan reformasi. Visi gerakan mahasiswa tidak ses-uai dengan kenyataan.

“Ternyata kehidupan sema-kin buruk, dulu irigasi buat sawah baik, ada perhatian tinggi bagi petani, sekarang buat air sawah kita harus bere-but, pupuk naik, panen pun turun,” ungkap Rudin, yang berprofesi sebagai petani di Jawa Tengah.

Peran mahasiswa dalam melakukan perubahan perlu di-pertanyakan kembali. Kekece-waan masyarakat begitu tinggi pada mahasiswa yang tidak fokus pada bidangnya. Tang-gapan sinis datang dari Biner

Tobing, mantan ketua Dewan Mahasiswa UI angkatan ’78, “Mahasiswa sekarang belajar saja dengan serius, tidak usah ikut dalam kegiatan politik, bekerja, menikah, dan hidup layak lalu mati”.

Pendapat senada juga di-ungkapkan Jono, supir angkot di Jakarta. “Apa itu mahasiswa, kerjanya demo, bikin jalan macet, kita jadi tidak bisa kerja”.

Kebutuhan bangsa Indo-nesia atas tenaga kerja yang handal harus dijawab oleh ma-hasiswa masa kini. Tantangan globalisasi yang berhembus dari negara maju ke negara berkembang dengan begitu kencang dan harus ditanggapi dengan sigap oleh segenap ele-men bangsa. Menanggapi hal ini, Haris, seorang karyawan swasta mengatakan di Indo-nesia tidak ada tenaga kerja ahli. “Klien saya harus mem-bawa orang dari China untuk merawat peternakan ikan laut-nya di Indonesia. Padahal di Indonesia sendiri banyak ma-hasiswa tapi klien saya sendiri tidak percaya pada mahasiswa Indonesia,” katanya.

Gerakan yang merakyat ha- rus dilakukan dan mendapat porsi yang lebih besar karena sesungguhnya mahasiswa adalah rakyat, bukan orang elit, yang seharunya memang merakyat.

Gerakan Koran ala Maha-siswa

Hampir setiap hari ada demonstrasi di jalan-jalan Ja-karta dan daerah lain yang me-miliki. Gerakan mahasiswa di-dasarkan pada kondisi bangsa yang sangat problematik. Dari ekonomi hingga politik, dari beras, minyak tanah, dari tu-kang becak sampai SBY semua

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 13

10 tahun reformasi

LILA/SUMA

Page 16: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

berbicara tentang isu, isu, dan isu. Tidak ada bedanya sebuah gerakan mahasiswa dengan sebuah headline koran. ”Me- reka hanya sekedar teriak, ge- rakan mereka hanya gerakan reaktif semata,” jelas Boni Hargens, dosen ilmu politik UI.

Gerakan mahasiswa dan ge- rakan massa lain yang disebab-kan karena reaksi tanpa adanya suatu pemahaman yang sama semua massa. Hal ini menim-bulkan sebuah kegamangan kolektif. Mereka tidak mema-hami sebuah persoalan yang sama. Ketidakmengertian mer-eka atas suatu permasalahan yang ada. Massa seperti inilah yang memudahkan mereka di-provokasi pihak luar.

“Anak-anak memang mendapatkan info dari media massa”, Heggy Kearens, aktivis BEM UI. Media bisa mengen-dalikan sebuah aksi massa tapi akan sangat sulit mempenga-ruhi tatanan sosial.

Gerakan mahasiswa yang hanya berdasar isu semata ini tidak akan memunculkan sebuah perubahan dalam ma-syarakat. Tidak ada kematan-gan isu yang dibangun sejak lama. Setiap ada isu muncul mereka langsung serang. Tidak ada pembangunan perubahan

sosial dalam jangka panjang. Gerakan mahasiswa

ternyata juga saling bersa-ing satu sama lain. Tak ada bedanya dengan suatu koran bersaing dalam oplah penjua-lan walapun berita yang dimuat sama. Persaingan ini dilandasi oleh keinginan agar dianggap sebagai superior di Indonesia. Bagaimana mereka mengang-gap dirinya superior tergantung dengan seberapa kuat melaku-kan aksi di jalanan dan efek yang dihasilkan.

Pasca-reformasi terjadi per-saingan agar dianggap sebagai pahlawan reformasi. Antara UI dan Trisakti, antara Jakarta dan non Jakarta. Muncul-lah beberapa organisasi baru, BEM Nusantara dan BEM SI, KAMI dan KAMMI, FKSMJ dan Forkot (Forum Kota). Per-saingan antar universitas ini dilakukan atas dasar manakah yang paling aktif dan bergerak. Manakah yang diliput di-blow up media? Sebuah ambisi yang jauh dari visi pembangunan Indonesia.

Persaingan dalam mem-buat agenda dalam melakukan aksi demonstrasi adalah hal yang tidak dapat dihindarkan. Manakah yang paling dahulu menyerukan kepentingannya?

Atas nama bangsa Indonesia mereka turun ke jalan, atas nama kesejahteraan bundaran HI harus disambangi, dan atas nama kesulitan ekonomi maka orang yang duduk di Senayan harus dimaki-maki. Itulah se-buah aksi.

Banyaknya sebuah organ-isasi ternyata bukan membuat kesadaran akan pentingnya persatuan, tapi mungkin me-lemahkan. Organisasi yang dulunya bersatu kini pecah menjadi berbagai macam nama organisasi. “Dulu organisasi mahasiswa itu satu, yaitu De-wan Mahasiswa,” ungkap Biner Tobing. Banyaknya organisasi mahasiswa sekarang sebagai akibat keberhasilan politik penguasa dalam memainkan pergerakan mahasiswa demi kepentingan mereka.

Perselingkuhan Mahasiswa, Penguasa dan Partai Politik

Gerakan mahasiswa banyak terkait dengan permasalahan dalam negeri. Mahasiswa digu-nakan sebagai alat pembubaran penguasa dari Soekarno sampai Soeharto. Kegagalan gerakan mahasiswa disebabkan kedeka-tan mereka dengan suatu ger-akan politik praktis.

Pasca Reformasi ’98 ber-bondong-bondong aktivis ber-lomba mengejar karier sebagai politisi, banyak dari mereka yang kini duduk di DPR/MPR Senayan. “Mereka merintis karier politik sejak duduk di BEM, mereka mudah diman-faatkan oleh elit proterian yang hanya mencari peluang untuk berkuasa”, ungkap Boni Har-gens. Menurutnya dari mereka inilah partai politik menyusup ke kampus. Dinamika pesta demokrasi –pemilihan umum 1999, 2004, 2009,dst- mem-pengaruhi kebutuhan suatu

1� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

10 tahun reformasi

AD

E/S

UM

A

Aksi Mahasiswa

Page 17: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

partai politik untuk mem-perbanyak kadernya. Mereka melakukan kaderisasi hingga masuk ke kampus-kampus.

Masuknya peranan par-pol pada gerakan mahasiswa memang tak dapat dipungkiri. Bahkan, suatu Parpol pasti mempunyai basis kader yang besar di kampus. Penyusu-pan-penyusupan parpol dalam kegiatan mahasiswa memang sudah terjadi sejak angkatan pertama negara ini merdeka. Masuknya CGMNI (Consen-trasi Gerakan Mahasiswa Na-sional Indonesia) dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) dan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) sebagai basis muda Partai Nasional Indonesia (PNI), yang kini menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah bukti nyata bahwa organisasi tersebut tidak inde-penden. Gerakan mahasiswa menjadi tidak independen dan hanyalah menjadi underbouw kepentingan politik. “Mulai dari inilah muncul bibit-bibit perselingkuhan antara maha-siswa dan penguasa” ungkap Boni Hargens.

Ia berpendapat, perlunya menjaga gerbong gerakan ma-hasiswa agar tidak menjadi alat kepentingan politik adalah suatu kewajiban. Mahasiswa adalah kelas khusus dalam struktur masyarakat. Ia adalah penghubung kepentingan masyarakat dan penguasa. Idealismse bahwa kepentingan kepentingan masyarakat ban-yak di atas segala-galanya tidak dapat dibantah lagi. Gerakan mahasiswa angkatan ’66 yang ditunggangi ABRI merupakan contoh nyata bagaimana ma-hasiswa hanya dijadikan alat semata dari penguasa. Perubahan para-

digma memang sangat terlihat apabila gerakan mahasiswa menjalin hubungan dengan suatu Parpol tertentu. GMNI, PRD, HMI, PMKRI, FAM, GMKI, LDK atau LDF dan masih banyak lainnya adalah organisasi yang dijadikan buffer penyangga partai politik

Menurut salah satu anggota SALAM UI yang aktif dalam kegiatan politik, peran besar gerakan mahasiswa saat ini begitu terlihat pada Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) atau Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Walaupun secara kasat mata terlihat sebagai orga- nisasi mahasiswa. Secara tidak langsung menunjukkan sebuah tahapan kedekatan antara ma-hasiswa dengan suatu partai politik tertentu. Kebesaran partai politik ini tidak dapat dipungkiri bahwa mereka telah melakukan kaderisasi melalui organisasi-organisasi kampus.

KAMMI adalah contoh bagaimana keterkaitan erat antara organisasi mahasiswa dan partai politik, “Saya dulu ikut mendirikan KAMMI, waktu itu saya masih kuliah di UI,” ungkap Mustafa Kemal, sekarang anggota Fraksi PKS DPR RI.

Hal ini tentunya sejalan dengan kepentingan partai politik ini dalam upaya pe-menangan pemilihan umum 2009. Untuk dapat duduk dalam di suatu pemerin-tahan masih juga ditanya latar belakang organisasi maha-siswanya. “Kalau sedang rapat di DPR dalam pemilihan ketua suatu lembaga tertentu, pasti akan ada pertanyaan, dulu dia aktif di mana?”, ungkap Bivitri Susanti, aktivis Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK).

SURURUDIN

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 15

kiLas BaLik Gerakan maHasiswa

Berawal dari sebuah poli-tik penjajahan Belanda yang membutuhkan tenaga ahli maka mulai dibuka pendidikan bagi penduduk pribumi di tahun 1864. Jika gene- rasi 1900 telah merintis sejarah kebangkitan nasional maka tantangan zaman yang dihadapi dan berupaya dijawab oleh gen-erasi 1928 menggalang kesatuan pemuda. Ditegaskan dengan ter-cetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktbober 1928 pada kongres Pemuda II, Sumpah Pemuda memunculkan kesada-ran pentingnya semangat ke-bangsaan dibawa ke tingkat baru yang lebih tinggi. Di mana para pemuda mengucapkan kesetiaan dan pengabdian pada satu nusa, satu bangsa, dan satu bangsa In-donesia serta dikumandangkan-nya lagu Indonesia Raya.

Pada masa pendudukan Jepang yang berlangsung se-lama 3,5 tahun, saat itu situasi kemahasiswaan mengalami disharmoni, disorganisasi, dan distorsi akibat banyaknya pergu-ruan tinggi yang ditutup, kecuali fakultas kedokteran dan fakultas teknik. Jepang juga melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik, dan hal ini ditindaklajuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar, mahasiswa, termasuk partai politik.

Proklamasi 17 Agustus 1945 juga tak terlepas dari para pemu-da di dalamnya. Golongan bawah tanah yang dipimpin Chairul Saleh dan Soekarni menculik Soekarno dan Hatta ke Rengas Dengklok. Ini tak terlepas dari ciri khas pemuda yang cenderung radikal, romantis, ingin segalanya cepat dan terkadang revolusioner.

10 tahun reformasi

Page 18: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Sebagai tokoh penggagas, apa yang ingin Bapak bawa da-lam Reformasi ‘98 waktu itu?

Waktu itu, saya punya semacam kewajiban intelektual sekaligus moral keagamaan untuk menyampaikan yang be-nar itu benar dan berani menyalahkan apa yang saya yakini sebagai kesalahan. Nah, kesalahan bangsa Indonesia yaitu membiarkan seorang anak bangsa bernama Soeharto terlalu lama bercokol di panggung kekuasaan. Padahal secara alamiah seseorang yang terlalu lama bercokol di kekuasaan cenderung untuk korupsi dan semakin lama korupsinya tentu semakin besar power tends to c orrupt and absolut power corrupts absolutely.

Peran mahasiswa dan masyarakat pada waktu itu?Sesungguhnya jangan lupa mahasiswa tanpa dukungan

masyarakat tidak mungkin bisa bergerak. Lihatlah waktu itu ada ratusan ribu nasi bungkus mengalir ke Senayan, dibuat ibu-ibu secara sukarela karena seorang ibu juga mencer-minkan kekuatan masyarakat. Mahasiswa itu menempel men-jadi a part and parcel of the hole society. Jadi mahasiswa tidak sendiri, di belakang ada orang tua, saudara, handai taulan, dsb.

Prof. Dr. Amien Rais meru-pakan sosok yang ikut mem-bidani lahirnya reformasi. Konon ketika itu, mahasiswa

menginginkan revolusi yang memer-lukan waktu yang sangat panjang. Le-laki yang akrab dipanggil Pak Amien inilah yang kemudian mengusulkan konsep yang bernama reformasi, se-buah haluan perjuangan mahasiswa dan rakyat ketika itu yang berujung runtuhnya rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun. Sebagai peng- gagas tentunya Pak Amien tahu, apa reformasi itu sebenarnya.

Di tengah kesibukannya, Amien Rais menyempatkan diri di wawan-cara dengan Suara Mahasiswa UI di kediamannya di Gandaria Selatan, Jakarta Selatan. Berikut petikan hasil wawancara dengan beliau.

16 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

PROF. DR. AMIEN RAIS:

“reformasi itu kandas”

10 tahun reformasi

ADE/SUMA

Page 19: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Dalam pandangan Pak Amien, Agenda reformasi itu apa?

Untuk menegakkan kembali demokrasi yang sudah hilang ka-rena zaman orde lama demokrasi terpimpin hanya sekedar simbol, dalam orde baru demokrasi sudah lenyap diganti dengan demokrasi Pancasila.

Visi reformasi waktu ter-laksana atau bagaimana?

Ya... ternya-ta reformasi itu memang kandas. Memang dalam arti liberalisasi politik bang- sa kita menikmati. Tapi sayang sekali bahwa yang namanya pemulihan ekonomi masih jauh panggang dari api, penganggu-ran masih merajalela, kemiskinan tambah meluas. Rezim sekarang ini saya katakan broken gover-ment. Pemerintahan yang sudah carut marut, sudah kacau balau. Broken goverment adalah sebuah pemerintahan kacau balau yang tidak lagi mampu mengurusi kebutuhan pokok rakyat, masa depan bangsa ini sepertinya tidak jelas karena itulah saya mengatakan reformasi itu kandas

Kendalanya kira-kira apa, Pak? Kalau saya lihat begini, me-

mang kekuatan lama itu masih terlalu kokoh. Jadi, kekuatan reformis hanya bisa mendesak mereka, ibaratnya itu bergeser dari tengah panggung tapi se-sungguhnya wilayah besar dari panggung nasional, itu masih meraka kuasai, kebetulan yang naik menjadi elit penguasa itu adalah sambungan dari masa lalu itu. Mengapa saya berani mengatakan sambungan? Karena mereka tidak pernah bisa menye-lesaikan kasus Soeharto selama empat presiden Indonesia. Ke-

empatnya itu, secara fundamen-tal ternyata masih merupakan sambungan dari masa lalu sehin-gga tidak pernah ada satupun yang berani memecahkan kasus Soeharto. Warisan korupsi yang menggelegar seperti halilintar, itu hanya dianggap kasus kecil

tapi kasus-kasus yang besar tidak diungkap, apalagi diperiksa, diproses saja tidak berani.

Jadi saya bilang, jangan-jangan istana bagian dari korupsi besar itu karena istana tidak berani membuka skandal-skandal besar yang memburukkan rakyat kita. Jawaban saya yang bisa saya per-tanggungjawabkan dan didukung bukti-bukti, mengapa refromasi kandas karena yang muncul jadi elit di zaman reformasi masih sambungan dari masa lalu. Sikap mentalnya masih lebih kurang sama, permainan lebih kurang sama tapi yang beda hanya ba-junya.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 17

10 tahun reformasi

“...sudah saya rentas jalan, jangan tidur terus, lanjutkan (perjuangan reformasi) kalau anda

betul-betul mahasiswa.”

AD

E/S

UM

A

Page 20: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Lalu sebagai tokoh reformasi, apa pertanggungjawaban Pak Amien membuat rakyat Indo-nesia menjadi begini?

Nah, saya sekarang minta pertanggungjawaban dari maha-siwa dan rakyat Indonesia. Saya dulu sudah meretas jalan, saya sudah berani melawan Soeharto. Tapi menghadapi bangsa yang penakut, mahasiwa peragu, jan-gan menyalahkan saya. Mungkin nyawa saya diincar oleh rezim waktu itu tapi dengan Bismillah saya berani. Jadi tugas saya sudah selesai saat itu. Jadi kalau ada mahasiswa yang nanya di mana tanggung jawab Pak Amien, maka mahasiswa itu mental gu-rem. Sekarang saya balik nanya di mana tangggung jawab Anda? sudah saya buka jalan, sudah saya rentas jalan, jangan tidur

terus, lanjutkan (perjuangan re-formasi) kalau Anda betul-betul mahasiswa.

.Menurut Pak Amien, kenapa gerakan mahasiswa sekarang tidak ‘segarang’ dulu lagi?

Saya sendiri tidak tahu. Se-sungguhnya, derita rakyat itu sekarang sudah hampir tidak ter-tahankan, terutama bicara rakyat

kecil. Tapi jangan lupa, yang namanya rakyat di manapun itu selalu statis, tidak bergerak karena ada perasan takut salah, nrimo, kadang putus asa, dan kadang apatis.. Nah, itu perlu ada anak bangsa terutama mahasiswa yang mendinamisir kelambanan rakyat.

Mungkinkah negeri ini akan membaik dengan keadaan se-perti ini?

Dengan pemerintah sekarang ini sudah hopeless, sudah broken, tidak bisa dikembalikan lagi. Pe-merintahan sekarang ini sudah tidak ada harapan lagi. Tetapi (tetap) harus dihargai dan dihor-mati supaya selesai menunaikan tugasnya sampai 2009. Nah, di 2009 itulah saat dimana kita bisa memilih pemimpin yang lebih

responsible dan peduli kepada rakyat.

Setelah 10 tahun reformasi, menurut Pak Amien, makna apa saja yang bisa diambil ?

Kalau kita jadi bangsa yang mau jujur, kita harus mengakui agenda reformasi baru sebagian yang tercapai dan yang sebagian masih terbengkalai. Sekarang ini

kalau ada pemimpin yang jujur dan ikhlas tapi menggunakan terminologi reformasi, ia sudah tidak disahuti lagi oleh rakyat. Mengangkat isu Reformasi cenderung basi karena sudah 10 tahun (masih) begini-begini saja. Orang bicara reformasi jadi negatif. Harus ada pembaruan yang lebih atraktif. Misalnya menegakkan kemandirian nasional, memulihkan kedau-latan ekonomi, politik, hukum, membangun mentalitas bangsa yang merdeka independan dan berdaulat. Menyusun program yang konkret membangun eko-nomi yang betul-betul membela rakyat dan sejumlah agenda lain yang muaranya membela kaum duafa, nelayan, tani, buruh, kaum kerani perlu elaborasi yang jelas. Mahasiswa harus dapat menjadi

bara yang bisa mengahangati bara yang sudah mati itu. Jadi se-perti arang, kalau ada arang yang panas satu dua tiga maka yang lain akan jadi panas juga.

SURURUDINDEWI ANDRIANI

18 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

10 tahun reformasi

“sesungguhnya, derita rakyat itu sekarang sudah hampir tidak

tertahankan, terutama bicara rakyat kecil. ”

ADE/SUMA

Page 21: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

11 - 13 mei 1998

1190 orang meninggal terbakar

�7 orang meninggal akibat senjata tajam

5� korban pemerkosaan

850 bangunan terbakar

untuk tumbal reformasi dan sekarang

“reformasi itu kandas”**amin rais

Page 22: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

�0 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

10 tahun reformasi

Page 23: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi �1

10 tahun reformasi

Page 24: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

�� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

10 tahun reformasi

RiZKy maliNda & Roy

Page 25: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Tanpa terasa reformasi sudah berjalan sepuluh tahun. Perang wacana dan berbagai kebijakan pemerintah terus bergulir. Akan tetapi kami melihat kenyataan yang ironis, bahwa setelah sepuluh tahun berlalu rakyat Indonesia masih belum merasakan perubahan yang nyata terutama di bidang

ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Semangat reformasi pun terus memudar di kalangan mahasiswa yang dahulu adalah motor penggerak perubahan rezim orde baru. Didorong atas kekhawatiran kami dan semangat untuk terus bergerak, untuk memperingati sepuluh tahun

reformasi, majalah Suara Mahasiswa (edisi khusus) kali ini menyajikan berbagai opini dan wawancara eksklusif dari para tokoh guna mengevaluasi berbagai bidang pasca reformasi. Adapun bidang opini dan wawancara tersebut terbagi menjadi sebelas yaitu; politik, ekonomi, keamanan dan

militer, hak asasi manusia, budaya dan pluralitas, pendidikan, gerakan pemberdayaan perempuan, kesejahteraan sosial, hukum, pers dan media, dan gerakan mahasiswa. Semoga semua tulisan-tulisan yang dimuat dalam rubrik opini ini dapat menjadi bahan refleksi bagi para pembaca dan mendorong untuk terus bergerak menuntaskan agenda reformasi sehingga kita dapat segera

terbebas dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Viva La Libertad!

diah sETiawaTi

R E f l E K s i

REFORMASI

10

budaya

POLITIK

ekonomi

HAM

MILITER

perempuan

hukum

kesejahteraan

PERS

Page 26: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

�� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

HANIF/SUMA

opini sketsa

Page 27: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

“Kami berkuasa kembali!” Begitulah pesan utama para Soehartois, kekua-tan utama Orba Jilid Dua, sepanjang 24 hari terakhir Jenderal Besar (purn.)

Soeharto sakit di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) hingga ke pemakamannya di Astana Giribangun, Solo. Siapakah Soehartois ini? Tak lain adalah keluarga, kroni dan loyalis, yang setia berpartisipasi penuh menjalankan praktik antidemokrasi berupa pelanggaran hukum sepan-jang rezim totaliter Soeharto-Orde Baru (Orba) berkuasa yaitu, (1) Korupsi, Kolusi, dan Nepo-tisme (KKN), dan; (2) Kejahatan Hak Asasi Ma-nusia dari Tragedi 1965 – 21 Mei 1998.

Kejahatan KKN dan HAM ini merupakan dua musuh utama demokrasi dan reformasi se-hingga harus diselesaikan secara hukum di ruang pengadilan. Bahkan Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Ban Ki Moon, dengan program Stolen Asset Recovery (StAR) Initiave pada 17 Sep-tember 2007 telah menetapkan Jenderal Besar (purn.) Soeharto sebagai pemimpin politik ter-korup di dunia, dengan nilai korupsi 15-35 miliar dolar AS.

Kemenangan SoehartoisSayangnya, gagasan ideal reformasi 1998 akhir-

nya terkatung-katung tak bertuan. Satu dekade hilang sia-sia untuk menuntaskan semua keja-hatan KKN dan HAM rezim totaliter Soeharto-Orba. Alih-alih penuntasan hukum, yang terjadi sebaliknya adalah impunitas terhadap Soeharto, keluarga, kroni dan loyalis. Para pemimpin politik pasca Soeharto dipenuhi segala jejaring hutang budi politik dan ekonomi, serta gagasan usang

yang tak lagi sesuai dengan praktik demokrasi. Misalnya saja, setelah PBB mengumumkan StAR Initiative bergegas Menteri Luar Negeri Hasan Wirayuda di Kantor Kepresidenan (19/9) men-gatakan, “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan meminta keterangan lebih jelas ke-pada Presiden Bank Dunia Robert Zoellick pada Sidang Umum PBB 22-26 September di New York.” Optimistime muncul tetapi segera sirna karena hasilnya nol besar, tak ada pembicaraan dan program SBY untuk menindaklanjuti StAR Intiative. Program global PBB melawan korupsi sia-sia, karena SBY lebih berminat melindungi Soeharto, “Bapak Pembangunan KKN dan Keja-hatan HAM” tersebut. Sebelumnya Mahkamah Agung pimpinan Bagir Manan memenangkan Soeharto atas Time sebesar Rp.1 triliun, lalu Tommy Soeharto menang lagi di pengadilan dan Bulog dipaksa mengganti rugi senilai Rp. 5 miliar, boleh jadi tak lama lagi sengketa “uang Soeharto Inc.” di Pengadilan Guernsey, Inggris, senilai 60 juta Euro juga akan dimenangkan Soeharto Inc. Sempurna sudah kemenangan Soeharto Inc dan Soehartois sepanjang 10 tahun reformasi.

Di RSPP dan Astana Giribangun para Soe-hartois merayakan kemenangan Soehartoisme tanpa Soeharto, memamerkan kekuatan ekonomi-politik Orba Jilid Dua. Karena itu tokoh utama mereka, simbol Orba, Soeharto, harus diselamat-kan dari segala jeratan hukum dan dianugerahi gelar ‘Pahlawan Nasional” versi Partai Golkar agar para Soehartois terlepas dari segala stigma buruk tentang Soeharto-Orba. Begitulah, RSPP yang notabene adalah rumah sakit, tanpa rasa ber-salah dan sungkan, para Soehartois berseru-seru

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi �5

soeHartoisme TANPA SOEHARTOM. Fadjroel Rachman

Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan [Pedoman Indonesia] dan Presidium Forum Mahasiswa Pascasarjana (Forum Wacana) Universitas Indonesia pada Mei 1998

ISTIMEWA

bidang politik

Page 28: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

ke semua media agar Soeharto dimaafkan semua kesalahan hu- kumnya. Padahal Republik In-donesia adalah negara hukum (rechstaat) sama sekali bukan negara halal bi halal. Seolah-olah mereka berniat baik, den-gan mimik sedih, padahal in-tinya adalah seruan, “Lupakan juga semua pelanggaran hukum saya dan kawan-kawan ketika berpartisipasi penuh mendu-kung rezim totaliter Soeharto-Orba.”

Semua perilaku para Soehartois tentu tak lepas dari keberhasilan meremukkan agenda utama Reformasi 1998 seperti, (1) upaya mengadili Jenderal Besar (purn.) Soeharto kandas, alih-alih mencari te-robosan hukum, setelah Jaksa Agung Abdurrahman Saleh menyetujui Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Per-kara (SKP3) Atas nama HM. Soeharto, tanggal 11 Mei 2006. SKP3 ini menunjukkan bahwa perkara atas nama terdakwa HM. Soeharto ditutup demi hukum oleh pihak Kejaksaan Agung berdasarkan pasal 140 ayat 2 KUHAP. Alih-alih mendukung pengadilan So-eharto-keluarga-kroni sesuai amanat Tap MPR No. XI/MPR/1999, Partai Golongan Karya (Golkar) pimpinan Jusuf Kalla memberi Soeharto peng-hargaan Anugerah Bhakti Pra-tama karena selama 32 tahun Golkar adalah Soeharto dan Soeharto adalah Golkar; (2) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami mutilasi fungsi karena dibatasi wewe-nangnya hanya menangani kasus korupsi sejak 1999 keatas, sehingga perkara kejahatan korupsi pada rezim Soeharto-Orba tidak bisa disentuh sama-sekali.; (3) Pengadilan HAM Ad Hoc yang membebaskan se-

mua pelaku utama atau penang-gung jawab kejahatan HAM Berat seperti kasus Tanjung Priok dan Timor Timur, dan mengabaikan pengadilan atas kejahatan HAM Berat atas ka-sus Trisakti, Semanggi I dan II, Penculikan Aktifis, dan lain-nya; (4) UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 8 Desember 2006, sebagai hadiah terburuk un-tuk perayaan HAM Se-dunia ke-58; (5) Pemilu bersih dari pelaku kejahatan korupsi dan kejahatan HAM juga sirna dari harapan, dengan mudah kita menunjuk para pelaku kedua kejahatan tersebut ikut dalam

pemilu 1999 dan 2004, baik sebagai calon anggota legislatif dan presiden, bahkan Soeharto dengan gembiranya menjadi pe-milih pada kedua pemilu itu.

Sejumlah penanda lain yang menegaskan kehadiran para Soehartois atau individu dan lembaga rekondisi Orba ini adalah, Pertama, hadirnya SBY (TNI atau ABRI) dengan rekan segenerasinya dominan menguasai tampuk kekuasaan politik. SBY dan rekan militer segenerasinya dahulu merupa-kan ujung tombak rezim So-eharto-Orba untuk menghadapi masyarakat dan mahasiswa pada 1980-an hingga awal 1990-an; Kedua, Partai Golkar,

�6 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

RIZ

KI/

SU

MA

bidang politik

Page 29: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

pendukung utama rezim tota-liter Orba, selama tujuh kali pemilu palsu di bawah rezim Orba, partai ini selalu menang secara mayoritas dan tujuh kali juga mendukung Jenderal Besar (purn.) Soeharto sebagai Presiden. Partai Golkar tak dibubarkan atau dikurangi ke-kuatan politiknya seperti partai Golkar-nya Ferdinand Marcos yaitu Kilusang Bagong Lipunan (KBL); Ketiga, Pulihnya kekua-tan konglomerasi Orba penyum-bang terbesar krisis ekonomi 1998 yang sarat dengan praktik KKN dan sentralisasi kekuatan ekonomi, berhasil menghindari segala bentuk hukuman dan pengadilan, bahkan men-garahkan akumulasi kapital dari lembaga eksekutif yang berhasil dikendalikannya. Dari sekitar 200 konglome-rat Orba, praktis semuanya aktif kembali memapankan gurita ekonominya, sekadar bertukar tempat pada po-sisi kekayaan, dan kembali menyumbang ketimpangan sosial-ekonomi yang semakin parah (lihat Pedoman Indone-sia www.soehartoincbuster.org). Contoh terbaik Aburizal Bakrie (Menteri Koordinator Kesejah-teraan Rakyat) dengan Grup Bakrie sekarang memiliki keka-yaan 5,4 miliar dolar AS (Forbes Asia 2007) dari 1,05 miliar dolar AS (2004), menempati posisi konglomerat nomor satu Indo-nesia menggusur anak emasnya Soeharto, Lim Sioe Liong. Li-hat juga PT Bimantara Citra Tbk., milik Bambang Triat-modjo, berhasil membukukan peningkatan laba bersih konso-lidasi tahun 2006 lebih dari tiga kali lipat menjadi Rp 446 miliar dibandingkan dengan Rp 136 miliar tahun 2005. Sementara itu pendapatan usaha konsolida-si meningkat 34 persen menjadi

Rp 3,2 triliun, dibandingkan periode sama tahun 2005 sebe-sar Rp 2,4 triliun (Pers release MNC, 13 Mei 2007).

Demokrasi dalam bahayaHingga ajal menjemput,

Soeharto adalah diktator yang berbahagia, dan para Soehartois menikmati impunitas terhadap Soeharto karena merekapun menjadi kebal hukum. Bila re-formasi berarti mengganti dan mere- organisir semua nilai, lembaga, individu, peraturan dan praktik antidemokrasi pada lima arena konsolidasi demokrasi modern

(Juan J. Linz dan Alfred Ste-phan Problems of Democratic Transition and Consolidation, 1996) yaitu, (1) Masyarakat sipil (civil society); (2) Masyara-kat politik (political society); (3) Supremasi hukum (rule of law); (4) Aparatus negara (state appa-ratus); (5) Masyarakat ekonomi (economic society). Maka dalam 10 tahun reformasi, praktis keli-ma arena konsolidasi demokrasi moderen tersebut sudah kembali di tangan para Soehartois yang dilengkapi dengan nilai, lem-baga, individu, peraturan dan praktik antidemokrasi. Indone-sia dengan arsitektur demokrasi tanpa kaum demokrat.

Ketika demokrasi kita dalam bahaya, di manakah harapan? Sekarang kita bertumpu pada kesabaran revolusioner, me-

nyiapkan generasi kepemimpi-nan nasional baru seperti Cile yang menyiapkan kehadiran Michel Bachelet. Tak akan ada penegakan hukum dan keadilan bila Soehartois berkuasa, ter-masuk bila pemimpin nasional generasi pertama pasca refor-masi seperti SBY, JK, Megawati, Gus Dur, Amien Rais, Sutiy-oso, Akbar Tanjung, Wiranto, Prabowo, maupun Sri Sultan Hamengkubuwono X berkuasa. Para pencari keadilan sepanjang Pinochet berkuasa (1973-1990), berada dalam ketidakpastian hukum yang sama seperti di Indonesia hari ini. Berlanjut

hingga Presiden Patricio Aylwin (1994), Eduardo Frei Ruiz-Tagle (2000), dan Ri-cardo Froilán Lagos Escobar (2006), hingga datang Mi-chele Bachelet dengan Pino-chet Trial, menangkap isteri Pinochet dan kelima anaknya, serta tiga Jenderal dan sejumlah pendukung Pinochet, untuk tuduhan korupsi cuma 27 juta dolar

AS. Demikian pula Polpot Trial sedang berlangsung di Kamboja, Pol Pot mati tapi para pemimpin Khmer Merah, harus bertang-gungjawab di depan pengadilan untuk kejahatan terhadap kema-nusiaan. Tak ada impunitas untuk kejahatan KKN dan ke-jahatan HAM. Dewi keadilan akan terus mengejarnya, ke mana pun, dan sampai kapan pun. Tugas mulia itu sedang dan akan dituntaskan oleh gen-erasi baru kepemimpinan nasi-onal, dan gerakan mahasiswa Indonesia, tak mungkin di tan-gan SBY-JK dan generasinya.

Percayalah, keadilan, hukum dan demokrasi tak akan pernah mati di Indonesia, sekalipun Soeharto meninggal dunia dan para Soehartois kembali berkuasa.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi �7

“Percayalah, keadilan, hukum dan demokrasi tak akan pernah mati

di indonesia, sekalipun soeharto meninggal dunia

dan para soehartois kembali berkuasa.”

bidang politik

Page 30: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Merupakan kebetulan kalau saya memulai kuliah Magister Akuntansi di awal

Januari 1998. Bersamaan dengan nilai US$ yang sudah mencapai Rp 10.000. Sehingga waktu itu, pusat-pusat perbelanjaan diserbu masyarakat untuk menimbun kebutuhan sehari-hari. Menurut catatan saya, untuk pertama kalinya Pemerintah Orde Baru tidak mampu mengendalikan harga. Sementara rezim Soeharto sangat konsisten menerapkan stabilisasi—di semua bidang ke-hidupan.

Dan sejak saat itu, hampir setiap hari demo digelar di depan Fakultas Kedokteran UI. Terus menjalar ke berbagai tempat dan puncaknya pada tanggal 19–22 Mei 1998 di gedung DPR/MPR-RI. Sebagai mahasiswa, saya rajin

mengikutinya. Maka secara tidak sengaja saya pun menjadi pelaku reformasi 1998. Sebuah langkah yang “salah”, setelah sepuluh ta-hun saya renungkan.

Kata reformasi menjadi man-tra sakti kala itu. Padahal arti- nya—menurut kamus Bahasa Indonesia—sebuah perubahan drastis untuk perbaikan masyara-kat atau negara. Sementara bagi para reformis, reformasi berarti Presiden Soeharto harus lengser keprabon. Huntington (1989) menulis bahwa ada tiga keadaan menuju demokratisasi. Pertama, transformasi, di mana penguasa memang menginginkan keadaan menjadi demokratis. Kedua, transplacements, antara penguasa dan rakyat sama-sama mengh-endakinya. Ketiga, replacement, perubahan menjadi demokra-tis dilakukan rakyat. Dengan

demikian reformasi 1998 mirip dengan replacement. Sa- yangnya hanya sebatas mengganti Presiden, tidak sampai menata sistem.

Ini terjadi karena para re-formis telah gagap menentukan langkah. Sebab reformasi dila-hirkan tanpa melalui persiapan yang matang. Hanya ada satu tujuan dan itu pun sudah tercapai. Sehingga ketika Habibie meng-gantikan Soeharto, perjuangan menjadi terhenti. Reformis telah membiarkan Habibie berjalan tanpa melibatkannya.

Sementara—agar diterima rakyat—Habibie telah melaku-kan kesalahan yang mendasar, yaitu secara serta merta membuka katup demokrasi seluas-luasnya. Dengan empat pilar penyang-ganya: kebebasan, kesetaraan, keadilan dan hak asasi manusia.

�8 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

KESALAHAN BESAR reformasi !!!

RIZKI/SUMA

bidang politik

Page 31: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Habibie lupa bahwa kebebasan dan kesetaraan merupakan akar persoalan kebhinekaan kita. Jus-tru karena para founding father sadar akan potensi konflik dalam keberagaman: suku, agama dan ras maka mereka menyatukannya dalam Sumpah Pemuda. Den-gan demikian semua ego dapat ditekan dalam bingkai keindo-nesiaan. Kendati nasionalisme, menurut Benedict Anderson, hanya merupakan imagined com-munities.

Oleh Habibie, keberagaman “dipencarkan” kembali. Sehingga kini setiap hari kita kenyang dengan pertengkaran-perteng-karan atas nama kesetaraan dan kebebasan. Tuntutan pemekaran wilayah. Tuntutan pendirian lembaga pengawasan: hakim, jaksa, kepolisian atau lembaga ad hoc lainnya, sepertinya tidak ber-kesudahan. Padahal, agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan, Montesquieu, hanya membaginya dalam tiga bagian. Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Untuk kekuasaan yudikatif, kini kita mempunyai Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsti-tusi. Dengan Komisi Yudisial, sebagai lembaga pengawasannya. Akibatnya, undang-undang seb-agai produk bersama antara legis-latif dan eksekutif menjadi tidak pernah final. Sebab masih dapat diperdebatkan di Mahkamah Konstitusi. Tidak ada aturan yang titik, karena terus menerus bersifat koma.

Kesetaraan dan kebebasan pula yang kemudian melahirkan sistem pemilihan kepala daerah langsung. Mari kita simak berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya? Menurut catatan, sampai saat ini jumlah kabupaten/kota sebanyak 465 dengan 33 propinsi. Pilkada dapat diselenggarakan apabila ada minimal dua pasang calon.

Taruhlah setiap orang paling sedikit mengeluarkan Rp 5 mi-lyar maka dalam setiap pilkada dikeluarkan Rp 20 milyar. Se-hingga untuk 598 pilkada akan menyerap biaya paling kurang Rp 9,9 triliun. Biaya ini belum termasuk yang dikeluarkan oleh pemerintah secara resmi.

Untuk pilkada DKI—menu-rut sebuah sumber—salah satu calon gubernurnya telah mem-belanjakan kaos sebesar Rp 16 milyar (4 juta kaos dengan harga perbuah Rp 4.000). Belum un-tuk pengeluaran spanduk, iklan media cetak dan elektronik atau “mahar partai pendukung”. Semua pengeluaran ditanggung oleh para calon dan para sponsor. Dan laiknya tabiat para sponsor politik, tidak ada yang ikhlas.

Kemudian apa yang terjadi dengan pemilihan anggota legislatif? Seandainya gaji para anggota DPR-RI sebulan Rp 50 juta, dan oleh mereka “tidak dibelanjakan sepeserpun” maka setahun akan diperoleh Rp. 600 juta. Dengan masa jabatan 5 ta-hun, mereka dapat mengantongi Rp 3 milyar. Sebuah jumlah yang kecil untuk mempertahankan posisinya kembali di periode berikutnya.

Demikian yang terjadi pada pemilihan presiden. Berapakah yang terserap untuk terbang dari satu tempat ke tempat lainnya. Membawa sejumlah artis, diser-tai sekian puluh pengikut setia. Seakan rombongan sirkus yang loncat sana-sini. Tidak mem-buahkan hasil bagi pendidikan politik rakyat. Pesta pora hanya menjadi milik elit dan investor politik. Sementara rakyat yang mendambakan buah manis dari reformasi tak kunjung menikma- tinya.

Maka menurut saya, ken-dati pilpres, pilkada, multipartai merupakan anak kandung re-

formasi, harus segera disudahi. Sistem ini berpotensi menebar benih korupsi karena biaya yang dikeluarkan sangat besar. Refor-masi memang telah terjebak pada euforia kebebasan dan kesetaraan, karena kepengapan sentralistis yang diciptakan rezim orde baru terlalu lama.

Plato mengatakan, kalau diterapkan secara tergesa, de-mokrasi akan menjadi penyakit. Sebab demokrasi tidak mampu menyatukan—karena prinsip kebebasan yang dimilikinya. Keanekaragaman dan perbedaan tidak memunculkan kesatuan. Kehidupan tidak tertata dengan baik sebab ketidaksamaan selalu menjadi alasan untuk menghan-curkan satu sama lain.

Dengan reformasi yang tidak teratur, kita menjadi bangsa yang teraliensi karena tidak mampu lagi mengenali diri sendiri. Menurut Durkheim, bangsa ini berada dalam posisi anomie—ke-tika nilai-nilai baru belum ditemukan, nilai lama sudah dis-ingkirkan. Saya pun rasanya baru terjaga dari mimpi buruk sepuluh tahun lamanya.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi �9

D.T. Rimbawan

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI

DOK. PRIBADI

bidang poltik

Page 32: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Menapaki 2008, ke-rasnya tantangan hidup kian terasa. Minyak tanah

bersubsidi, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, men-ghilang seiring dicanangkannya program konversi ke gas. Ka-laupun sesekali ada pasokan ke depo minyak, harganya bisa me-lambung hingga Rp 3.500 seli-ter, jauh lebih tinggi ketimbang harga resmi minyak bersubsidi yang hanya Rp 2.500 seliter. Di tingkat pedagang minyak keli-ling harganya bisa mencapai Rp 7.000 seliter, padahal minyak tanah merupakan kebutuhan vi-tal masyarakat kelas bawah.

Lebih repot lagi, gas Elpiji yang menjadi pengganti minyak tanah pun menghilang dari pa-

sar, khususnya untuk tabung 12 kg yang ditujukan untuk pasar rumah tangga. Diduga keras penyebabnya karena pasokan gas 12 kg ini diborong sektor bisnis. Sebenarnya untuk sektor bisnis dan industri Pertamina telah menyediakan tabung 50 kg. Masalahnya, terhitung awal April Pertamina menaikkan harga Elpiji untuk sektor indu-stri dari Rp 5.852/kg menjadi Rp 7.932/kg, sementara harga Elpiji untuk domestik tetap Rp 4.250/kg karena mendapatkan subsidi. Bisa ditebak, para pen-gusaha menyiasati kenaikan ini dengan memborong Elpiji tabung 12 kg – lengkap dengan tabungnya. Dampaknya, harga tabung 12 kg kosong pun me-lambung dari Rp 200.000 men-jadi Rp 550.000.

Perilaku pebisnis/industria-wan yang merambah hak ma-syarakat ini sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, demi mendapatkan harga lebih ren-dah, tak sedikit industri yang memborong minyak tanah dan bensin bersubsidi yang sebenar-nya dialokasikan untuk rakyat. Akibat perilaku seperti ini, pola pemberian subsidi seperti ini menjadi tidak efektif, karena akhirnya yang menikmati sub-sidi ini kebanyakan justru bukan mereka yang sebenarnya men-jadi sasaran subsidi ini.

Padahal beban subsidi se-

perti ini tidak sedikit. Ambil contoh pada kasus subsidi bahan bakar minyak (bensin premium). Ketika harga minyak mentah dunia melambung menembus US$ 100/barel (per 18 April menjadi US$ 116/barel) maka beban subsidi BBM yang di-tanggung pemerintah mencapai Rp 260 triliun – lebih dari seperempat total pengeluaran pemerintah sepanjang 2008. Dengan subsidi sebesar itu maka ruang gerak pemerintah untuk melakukan pembangunan men-jadi sangat terbatas. Apalagi se-lain subsidi BBM masih ada lagi subsidi untuk stabilisasi pangan, di antaranya untuk raskin (Rp 8,6 triliun), minyak goreng (Rp 0,5 triliun) dan kedelai (Rp 0,5 triliun). Mengingat harga di pa-sar dunia untuk ketiga komodi-tas yang stabilkan itu pun terus melambung, logikanya beban subsidi ini pun masih akan terus bergerak naik. Di luar komodi-tas yang sedang bergejolak itu, masih ada lagi subsidi untuk listrik, pupuk, dan obat-obatan.

Fakta ini menegaskan bahwa kebijakan subsidi tak lagi bisa dipertahankan. Konsekuensinya terlalu berat; pemerintah tak bisa membangun berbagai infra-struktur yang justru dibutuhkan untuk mendorong laju pertum-buhan ekonomi. Padahal, seba-gian terbesar subsidi itu justru jatuh ke tangan yang keliru.

Satu dasawarsa setelah reformasi dikumandangkan,

realita ekonomi di tingkat akar rumput justru makin

terpuruk. Harga tempe melambung dan antrean

sembako merebak di seantero tempat. Namun

pemerintah sudah berada di jalur yang benar, meski

tidak populer

30 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

EKONOMI PASCA 10 TAHUN REFORMASI “GrowinG Pain”

Teguh Poeradisastra

Redaktur Pelaksana majalah ekonomi bisnis SWA dan pengajar pada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP-UI

LILA.SUMA

bidang ekonomi

Page 33: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Pola subsidi ini merupakan warisan peninggalan Orde Baru yang meninabobokan dan membodohi masyarakat. Ber-kat subsidi, harga-harga seolah terjangkau dan rakyat tenang. Sedangkan untuk membangun pemerintah terus meminjam dari berbagai pihak. Hutang ini dibayar dengan pola gali lubang tutup lubang sehingga akhirnya tercipta lubang besar yang sulit ditutup. Pemerintah pun terjeblos pada 1998, ketika IMF mendikte pemerintah untuk meneken restrukturisasi keuangan dan membuat seluruh sektor ekonomi pingsan.

Fakta-fakta ini harusnya bisa menjadi pelajaran. Secara ber-tahap subsidi ini harus dihapu-skan agar kita bisa hidup dalam realita yang sebenarnya. Tentu saja akan timbul riak – bahkan mungkin gelombang – di ma-syarakat karena kebijakan yang tidak populer ini. Karena itu pengurangan subsidi ini harus dilakukan secara gradual, tidak drastis. Subsidi yang pertama harus dipangkas adalah sub-sidi BBM. Selain jumlahnya paling besar, yang paling ba-nyak menikmati subsidi ini pun bukanlah masyarakat di tingkat akar rumput, melainkan pemi-lik kendaraan pribadi. Subsidi BBM ini hendaknya hanya dit-ujukan untuk angkutan umum.

Itu pun dengan pemantauan yang ketat, agar tak diseleweng-kan dengan berbagai akal-aka-lan licik.

Dikuranginya – dan pada gilirannya dihapuskannya – sub-sidi ini tentu akan menimbul-kan kesakitan-kesakitan baru, karena daya beli masyarakat terutama di kelas akar rumput akan semakin lemah. Sekarang pun ucapan “Beli tempe saja su-sah, apalagi beli susu buat anak,” sudah kerap terdengar. Berbagai tudingan tentu akan mengarah kepada pemerintah yang dinilai tak mampu mengemban amanat reformasi dan menyejahterakan

masyarakat. Sekarang pun di lapisan bawah masyarakat sudah santer suara yang merindukan era Orde Baru – sama halnya banyak yang merindukan ‘za-man normal’ (yang adalah zaman penjajahan Belanda) ketimbang era awal kemerde-kaan ketika ekonomi Indonesia melata.

Namun pemerintah sudah berada di jalur yang benar. Kesakitan-kesakitan yang tim-bul akibat penghapusan subsidi ini adalah growing pain, seperti demam yang muncul menjelang anak tumbuh gigi, seperti suara sember yang muncul seiring akil balig. Ketika sakit mereda, anak pun berubah menjadi dewasa – hidup dalam

realita yang sebenarnya. Yang harus diperhatikan adalah growing pain ini tak boleh ter-lalu lama. Masa satu dasawarsa sebenarnya sudah terlalu lama. Maka pemerintah SBY-Kalla harus segera bertindak nyata, meski akan kehilangan popula-ritasnya.

Tak kalah penting untuk dilakukan adalah pemerataan. Ini bisa dilakukan dengan menerapkan pajak progresif. Semakin tinggi pendapatan dan kekayaan semakin tinggi pula pajak yang dikenakan. Penda-patan dari pajak ini menjadi subsidi silang bagi kelompok

masyarakat yang perlu dibantu. Bentuknya bukan uang, melai-nkan proyek-proyek padat karya yang bisa menjadi sumber pen-ghasilan bagi masyarakat lapisan bawah.

Agar pengelolaan dana un-tuk proyek-proyek ini tak me-nyimpang, tentunya dibutuhkan penga- wasan. Jika melihat dukungan terhadap penegakan hukum – khususnya pemberantasan korupsi – kita boleh optimis hal ini bisa dijalankan dengan baik. Dan jika ini semua berjalan dengan baik, insya Allah, kita sedang berjalan di jalur menuju Indonesia yang lebih baik untuk semua – bukan hanya untuk se-kelompok elite saja.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 31

TAQWA/SUMA

bidang ekonomi

Page 34: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Reformasi yang me-nyertai tumbangnya rezim Orde Baru merupakan salah satu

langkah penting untuk meng-gapai bukan hanya kehidupan yang lebih demokratis tetapi juga lebih sejahtera. Reformasi militer merupakan prasyarat bagi terbentuknya kehidupan seperti itu. Kehadiran militer dalam kehidupan politik, khu-susnya di sepanjang masa Orde Baru, mematikan demokrasi, memperkuat militerisme ma-syarakat, dan oleh karenanya bertentangan dengan upaya membangun kesejahteraan yang harus dilakukan bukan hanya dengan memperluas ruang partisipasi politik tetapi juga dengan menanamkan kebiasaan non-ke- kerasan.

Se-berapa besar tujuan itu telah ter-capai selalu dapat diperde-batkan. Apa yang dikenal sebagai “paradigma baru TNI” merupakan sejumlah konsep yang akrab dikenal sebagai redefinisi, reposisi dan reaktualisasi peran TNI. Depolitisasi meru-pakan agenda utama dan pertama yang dipancang-kan dalam reformasi militer. Larangan bagi para perwira tinggi memiliki jabatan rang-

kap di lingkungan militer dan birokrasi sipil, penghapusan jabatan kepala staf sosial politik yang mengemuka pada awal re-formasi sampai dengan pengha-pusan jatah militer di lembaga legislatif merupakan sebagian dari berbagai upaya depolitisasi itu.

Tak diragukan, semua itu merupakan pencapaian penting bagi depolitisasi militer. TNI tidak lagi menjadi akselarator pembangunan tetapi terbatas pada pemegang peran sebagai komponen utama dalam per-tahanan negara. Tak ada lagi institusi tangan besi, semacam Komando Keamanan dan Keter-tiban (Kobkamtib) atau Badan Koordinasi Strategi Nasional (Bakorstranas), yang secara

terbuka merancang keluaran politik (political outcomes). Keka-lahan hampir semua purnawira-wan dalam puluhan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berlangsung dalam dua tahun belakangan ini juga menunjuk-kan bahwa komando militer agaknya tidak cukup berminat untuk mengamankan jalan bagi para senior mereka.

Namun masih terlalu mewah untuk membicarakan demilite-risasi Departemen Pertahanan. Selama masa pasca-Orde Baru baru tercatat beberapa orang Di-rektur Jenderal yang berasal dari lingkungan sipil, misalnya Mas Widjaya, Direktur Jenderal Pe-rencanaan dan Anggaran pada masa kepemimpinan Megawati

Soekarno- putri dan Budi Su-silo Supanji, Direktur

Jenderal Po-tensi Pertaha-

nan pada masa Susilo Bambang Yudhoyono. Jabatan lain yang berada di tangan sipil adalah Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan, yang selama delapan tahun belakangan

ini berada di tangan sipil, seperti

Prof. So-fyan Tsauri dan Prof.

Lilik Hendrajaya. Me-reka yang memiliki latar belakang kemiliteran masih

menguasai lebih dari 80 per-sen dari jabatan-jabatan eselon di bawahnya.

METAMORFOSE HUBUNGAN SIPIL-MILITER

3� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

FAHMI/SUMA

bidang militer

Page 35: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Terlalu pagi untuk mengata-kan konsolidasi kontrol otoritas politik atas institusi militer. Di bawah kepemimpinan Moham-mad Mahfud, Departemen Pertahanan berhasil mengurung tentara hanya “sebagai kompo-nen utama untuk menghadapi ancaman bersenjata”. Namun Mahfud terpaksa merelakan be-berapa perwira untuk merumus-kan sendiri apa yang dimaksud-kannya sebagai operasi militer selain perang. Penggantinya, Matori Abdul Djalil, boleh saja tercatat sebagai pemrakarsa pemberlakukan hukum humani-ter di lingkungan TNI. Namun Matori juga gagal membendung tangan ajaib beberapa perwira tinggi untuk mengganti RUU TNI yang disusun berdasarkan mandatnya. Juwono Sudarsono justru mengundang berbagai kontroversi, mulai dari keeng-ganannya untuk menerima UU Peradilan Militer sampai dengan gagasannya tentang an-caman nir-militer.

Tak heran jika empat tahun setelah pemberlakuan UU No. 34/2004 tentang Tentara Na-sional Indonesia, otoritas sipil belum berhasil menegakkan hukum sipil terhadap anggota militer yang melakukan tindak kriminal. Otoritas sipil juga tidak berdaya ketika hendak mengambil alih aset negara yang digunakan untuk “bisnis militer”. Sebagai representasi negara, para Duta Besar Indo-nesia di luar negeri hanya bisa menggerutu karena tidak dapat mengendalikan para atase per-tahanan.

Lebih dari itu, hubungan para prajurit dengan masyarakat di mana mereka berada tidak banyak berubah. Depolitisasi militer pada tingkat pusat justru memberi peluang bagi ko-mando militer di daerah untuk

memainkan peran yang lebih leluasa. Berbeda dari pada masa Orde Baru ketika komandan-komandan tentara daerah pada umumnya memangku jabatan kemiliteran yang lebih rendah dibanding senior mereka yang dikaryakan untuk memegang ja-batan sipil, kini para komandan itu berhadapan dengan para po-litisi yang kerap kali bukan ha-nya lebih muda tetapi juga ku-rang berpengalaman. Khususnya di daerah-daerah konflik atau ketika otoritas sipil dihadapkan pada saat-saat genting, misal-nya bencana alam atau konflik komunal, para komandan itu pada umumnya memainkan pe-ranan kunci.

Dengan kata lain, hubungan sipil militer yang demokratis, yaitu supremasi otoritas politik atas institusi militer, terjadi ha-nya pada institusi-institusi poli-tik di tingkat pusat, khususnya dalam konteks hubungan antara eksekutif dan legislatif dan an-tara Departemen Pertahanan dengan Markas Besar TNI. Lebih dari itu, supremasi sipil itu, kalaupun harus digunakan sebagai benchmark hubungan sipil-militer, agaknya tidak lebih dari sekedar supremasi formal dan prosedural. TNI masih te-tap memiliki ruang gerak yang amat luas, sekalipun tidak bisa dikatakan tetap menggenggam impunitas, privilege, atau keisti-mewaan sejarah.

Satu hal yang tidak berubah dalam sepuluh tahun belakang-an ini adalah karakter hubungan sipil-militer seperti itu. Dan tantangan di masa depan dapat dipastikan jauh lebih rumit di-banding masa-masa sebelumnya. Alih generasi di lingkungan TNI sendiri telah menyebab-kan tiadanya kelanjutan dari rencana paradigma baru yang dirumuskan para pimpinan mi-

liter pada akhir 1990-an. Ber-samaan dengan itu, hingga kini kalangan sipil gagal mengisi kesempatan untuk mengendali-kan arah dan mengisi substansi reformasi militer.

Entah kepada siapa lagi kelan- jutan reformasi militer itu da-pat diharapkan. Jangan-jangan, paradigma baru TNI memang dirancang sekedar untuk me-nyelamatkan pimpinan TNI pada waktu itu dari dosa-dosa Soeharto tetapi bukan untuk membangun profesionalisme tentara.

Dr. Kusnanto Anggoro

Alumni Jurusan Ilmu Politik, FISIP UI, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Glasgow (Scotland); pengajar tamu pada Sekolah Staf dan Komando di lingkungan TNI dan Departemen Pertahanan RI; anggota kelompok kerja penyusunan RUU Pertahanan Negara (2002), Buku Putih Pertahanan (2003), RUU TNI (2004)

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 33

DOK. PRIBADI

bidang militer

Page 36: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Mengapa tingkat ke-sejahteraan rakyat menjadi bagian penting dari evalu-

asi 10 tahun reformasi politik di Indonesia ? Ia menjadi penting bagi kita semua karena sejumlah alasan. Pertama, reformasi yang intinya adalah perubahan dasar dalam kepemerintahan yang se-harusnya instrumental terhadap kesejahteraan rakyat. Kesejahte-raan adalah harapan kita semua. Kedua, reformasi politik yang terjadi menggunakan demokrasi sebagai kendaraan utamanya. Tidak berlebihan pula jika kita berharap bahwa era keterbu-kaan dan pemilihan pimpinan pemerintahan langsung dapat membuahkan kesejahteraan yang lebih besar. Reformasi dan de-mokrasi dengan demikian adalah konteks utama dari pembahasan perkembangan kesejahteraan di Indonesia. Artinya begini, buat apa terjadi perubahan rejim dan buat apa membuka diri dengan menjalankan prosedur demokrasi kalau akhirnya, tingkat kesejah-teraan tidak juga meningkat.

Apa elemen dasar kesejah-teraan? Elemen utama adalah pemenuhan kebutuhan pokok : sandang pangan dan papan. Ke-mampuan memenuhi kebutuhan pokok keluarga terkait tiga ele-men dasar yakni 1) kesempatan, 2) pemberdayaan dan 3) proteksi.

Kemiskinan, misalnya, adalah akibat dari langkanya kesempatan usaha, rendahnya keberdayaan dan akibat rawannya kaum miskin ter-hadap beragam bentuk ancaman. Penyediaan proteksi, pemberda-yaan dan kesempatan difasilitasi melalui kebijakan, perundang-un-dangan, perda dan program yang disediakan oleh otoritas publik serta layanan yang diberikan pi-hak swasta dan elemen masyarakat. Kita dapat mengggunakan 5 kate-gori penye- diaan kesejahteraan yang dapat dijadikan acuan yakni pemenuhan kebutuhan pokok dan penyele-saian masalah sosial. Penyelesaian masalah sosial dapat dilihat lebih rinci tentang upaya-upaya pen-gemba- ngan kapasitas masyarakat, pro-teksi sosial dan penyediaan kese-lamatan/fasilitas publik. Tentunya, indikator kesejahteraan menjadi cukup luas untuk dibicarakan.

Debat tentang kemajuan kese-jahteraan masyarakat dapat dilihat dari kontradiksi antara laporan kemajuan pencapaian sasaran Millenium Development Goals un-tuk Indonesia selama 7 tahun te-rakhir, yang menunjukkan tingkat kemajuan yang baik untuk indika-tor utama seperti tingkat partisi-pasi pendidikan, tingkat kematian bayi, kematian ibu melahirkan dan angka gizi buruk. Namun kita semua dikejutkan dengan rang-

3� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

DEMOKRATISASI DAN AGENDA

KESEJAHTERAAN

Bambang Shergi Laksmono

Dekan FISIP UI

DOK. PRIBADI

bidang kesejahteraan

Page 37: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

kaian kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi akhir-akhir ini. Terjadinya pembunuhan ibu terhadap anak kandungnya sen-diri, seperti yang terjadi terakhir di kota Pekalongan, Jawa Tengah sungguh memilukan kita semua. Bagaimana mungkin seorang ibu nekat membenamkan dua anak balitanya hingga tewas? Kemiskinan dan kekerasan tidak otomatis berhu-bungan namun kekerasan banyak yang bersumber dari kemiskinan. Tinda-kan menyakiti diri sendiri dan tindakan self inflicting injuries seperti bunuh diri tidak akan terja-di tanpa tekanan emosional yang berat. Kontradiksi antara data kemajuan kesejahteraan umum dengan kenyataan di lapangan dapat dijelaskan antara lain dengan adanya kema-juan dalam perluasan jangkauan program-program di bidang kesehatan dan pendidi-kan. Namun tetap perlu kita pahami bahwa pada tingkat keluarga miskin, terutama yang tinggal di kantong-kantong kemiskinan di perkotaan, telah terjadi masa penderitaan yang sangat berkepanjangan. Ka-sus kekerasan terhadap anggota keluarga sendiri menunjukkan situasi keterdesakan yang amat mendalam sehingga menimbul-kan dampak penyimpangan pe-rilaku. Kiranya menjadi penting dari sudut kebijakan untuk terus memberikan perhatian yang le-bih kepada segmen masyarakat termiskin yang mengalami situ-asi kemiskinan berkepanjangan

(persistent poverty). Masyarakat juga perlu difasilitasi agar ter-dapat kapasitas kemampuan me-mantau, menggalang sumberdaya masyarakat dan memberdayakan kemampuan masyarakat melaku-kan upaya-upaya penanggulan-gan masalah lokal.

Pada kesempatan yang sing-kat ini dapat digunakan untuk

mengangkat beberapa kondisi dan permasa-lahan yang perlu diperhatikan secara lebih khusus :1. Angka kemiskinan yang fluk-

tuatif terkait dengan kinerja ekonomi makro, khususnya dampak dari penye- suaian APBN, subsidi BBM dan kebijakan fiskal.

2. Semakin meningkatnya fre-kuensi kejadian dan mening-katnya korban bencana alam, terkait dengan perubahan

iklim, banjir, longsor dan ke-keringan.

3. Memburuknya kondisi hidup keluarga miskin perkotaan dan keterkaitan dengan ting-kat kriminalitas.

4. Lambat dan tidak kompre-hensifnya penanganan benca-na industrial, khususnya kasus semburan lumpur di Porong

Sidoardjo.5. Realisasi fasilitas umum dan fasilitas sosial yang belum optimal disediakan oleh para pengembang.6. Belum maksimalnya kebijakan keselamatan umum, dengan mening-katnya jumlah kecelakaan di jalan raya yang me-renggut nyawa dan me-nyebabkan kecacatan.7. Masih rendahnya kapasitas perlindungan bagi para pekerja migran perempuan.8. Pentingnya memper-kuat kapasitas kelemba-gaan dalam menangani masalah dan proses penanganan hukum/pe-radilan bagi anak.

Sebagai penutup, perlu kita pahami kese-jahteraan sebagai hasil akhir dan kebijakan kesejahteraan sebagai instrumen.Tentunya kita semua mempu-

nyai harapan yang besar ter-hadap reformasi. Reformasi akan diukur dari hasil kesejahteraan, sejalan dengan perhatian kita terhadap efektifitas kebijakan yang dibuat oleh pihak eksekutif dan legislatif baik di tataran pe-merintah pusat dan pemerintah daerah. Semoga gambaran kese-jahteraan yang buram di Indone-sia dapat kita hapus secara ber-tahap, dengan kerjasama seluruh komponen bangsa ini.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 35

TAQWA/SUMA

bidang kesejahteraan

Page 38: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Terima kasih atas kontribusi dan dukungannya selama ini semoga cita-cita yang telah terajut dapat terwujud

khairil irfan P dalimunthe, st

Pangeran ahmad nurdin, s.sos

selamat wisuda

kepada Wisudawan Kerabat Kerja BO Suara Mahasiswa

Page 39: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

“TuRuNKaN soEhaRTo, TuRuNKaN soEhaRTo!!!” iTu adalah sEpENggal

TERiaKaN mEREKa dahulu. TETapi, masih

iNgaTKah mEREKa hiNgga sEKaRaNg?

aktivis Gerakan maHasiswa ‘98

di manakaH enGkau sekaranG?

DOK.SUMA

Page 40: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

38 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

Mei 1998, ribuan mahasiswa bermodal jaket almamater bersenjatakan nekat dan keberanian menjajah gedung MPR/DPR. Tidak tanggung-tanggung, 10 hari mereka mengobrak-ngabrik gedung nusantara tersebut hingga mengengkangi atapnya. Rakyat pun ikut mendampingi mahasiswa hingga cita-cita bersama tercapai yaitu Soeharto turun tahta. Sepuluh tahun berselang, masih ingatkah mereka akan teriakan dan tulisan mereka itu? Setelah semua tuntutan mereka sampaikan, selanjutnya apa? Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah

”Ke mana mereka sekarang?”

AKTIVIS GERAKAN MAHASISWA ‘98:

DI MANAKAH ENGKAU SEKARANG?

liputan khusus

DO

K.S

UM

A

Aksi Mahasiswa UI di Salemba pada tahun 1998

Page 41: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Reformasi merupakan perwujudan tang-gungjawab moral dan intelektual mahasiswa kepada rakyat. Gerakan mereka tidak han-

ya mengorbankan waktu kuliah dan pikiran mereka tetapi juga mempertaruhkan nyawa. Akademisi ini-lah anak anak kunci yang pada akhirnya membuka gembok tirani selama 32 tahun. Dari hanya satu-dua orang, mereka berhasil mengkonsolidasikan ribuan teman mereka untuk ikut berpanas-panasan di tengah jalan.

Dentuman sen-jata, gas air mata, dan bom Molotov pun tidak menggentarkan seman-gat dan kesadaran mere-ka. “Sekuat apapun rezim itu pasti dia akan runtuh. Seperti Hitler misalnya, dia juga runtuh. Walau tidak runtuh tiba-tiba. Ada perjalanan panjang di baliknya.” terang John Muhammad, (Arsitektur’94 Trisakti), perintis per-tama aksi mahasiswa di Universitas Trisakti.

Alasan para mahasiswa untuk turun ke jalan pun beragam. Wanda Hamidah (Hukum’95 Tri-sakti), yang sekarang menjadi notaris sekaligus Bendahara Umum Partai Amanat Nasional (PAN), mengungkapkan alasannya ‘turun’ ke jalan waktu itu. “Dulu hidup kita itu penuh ketakutan. Rakyat dipaksa memilih Golkar secara terus menerus. Ak-tivis diculik di penjara. Ketika krisis moneter, saya ikut merasakan dampak krisis moneter saat ibu saya borong makanan. Saya patut concern dengan ma-salah ini,” ungkap Wanda.

Berbeda dengan Wanda, John mempunyai ala-san yang berbeda dengan teman seperjuangannya itu. “Kalo saya terlibat langsung dengan ini (ger-akan mahasiswa-red) karena kebetulan. Saya tidak tertarik dengan politik. Ada satu momen ketika saya dapat kesempatan memimpin teman-teman saya sehingga saya merasa bertanggung jawab.”

Menurut John, di balik itu semua, ada musibah dan trauma yang tak bisa ia lupakan hingga saat ini. “Diteror. Bentuknya telpon. Tapi itu udah bi-asa.” ungkap John yang sangat ‘vokal’ untuk aksi solidaritas Munir. Bahkan, lebih tragis dari John, seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) angkatan 91, Ken Budha Kusumandaru tak bisa mengelak dari musibah yang datang pada dirinya. Ia harus mengecap kehidupan di balik jeruji penjara selama 2 tahun lamanya. “Saya diculik tentara, sam-

pai akhirnya dibebaskan Habibie.”, tuturnya. Tak cukup hanya itu, Mas Ndaru, begitu biasa ia disapa harus menelan pil pahit lainnya. Ia dikeluarkan dari kampusnya IPB.

Meskipun begitu, penyesalan dan ketakutan tak pernah menghinggapi para aktivis. “Itu pili-han, lo harusnya kasihan dengan orang yang nggak punya pilihan seperti rakyat yang lapar di tengah jalan. Tapi kalau gue mati di jalan. Jangan kasihan karena itu pilihan gue. Gue patut memperjuangkan

apa yang harus diperjuangkan.” jelas Adian Na-pitupulu, alumni Universitas Kris-ten Indonesia (UKI) yang juga ketua Forum Kota (Forkot)

Di Mana Mereka Sekarang?

“Menjadi aktivis itu bisa selamanya tapi menjadi aktivis ma-hasiswa ada batas waktunya”. Itulah kata sebagian besar mantan aktivis mahasiswa yang diwawancarai SUMA. Perjalanan waktu mulai mempertanyakan idealisme mereka. Ketika dulu mereka menjabat sebagai mahasiswa, rakyat bersatu bergerak bersama mereka. Namun tatkala mereka melepaskan status kemahasiswaannya, dan masuk ke dalam pemer-intahan, mereka seakan meninggalkan kepentin-gan rakyat. Hal ini menimbulkan pertanyaan, ke manakah idealisme mereka dulu?

Abdul Qadir menyatakan pilihan hidup maha-siswa berada di tangan masing-masing. “Memang teman-teman yang lain tamat kuliah langsung memilih pekerjaan masing-masing.” Namun tidak sedikit pula yang masih bertahan dengan idealisme mereka. Adian Natiputupu salah satunya. “Gue orang yang berhasil menolak keberhasilan. Gue dita-warin masuk DPR dan Komisi, gue menolak” tung-kas Adian. “Saya aktivis bukan artis. Saya nggak harus menyenangkan banyak orang. Tapi saya patut memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan.”

Jemi Irwansyah, alumni Politik UI 94, memilih kembali ke dunia akademisi, menjadi staf pengajar di Departemen Ilmu Politik dan aktif juga dalam organisasi politik Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP). ”Kesadaran itu muncul dari benturan antara pengetahuan yang kita dapat di Kampus, dengan keadaan nyata yang kita lihat dan hadapi. Karena itu gue memilih untuk berkecimpung dalam dunia

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 39

liputan khusus

“saya aktivis bukan artis. saya nggak harus menyenangkan

banyak orang. tapi saya patut memperjuangkan apa yang

harus diperjuangkan.”adian napitupulu

Page 42: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

akademisi.”Berbeda dengan kedua temannya, John me-

milih tetap menjadi aktivis dengan jalurnya sendiri. Bahkan sekarang dia menyumbangkan pemikiran-nya lewat sebuah buku yang ia dedikasikan untuk kematian almarhum Munir, yang sekaligus berisi sindiran bagi pemerintah. “Saya tetap bergerak dalam pelanggaran HAM karena saya merasa bersalah dengan adik kelas saya (Elang, mahasiswa Trisakti yang tewas dalam tragedi Mei-red). Orang yang saya beri tanggung jawab, yang saya suruh beri nama-nama siapa saja yang akan ikut ke jalan dan kemudian dia meninggal,” katanya.

Wanda Hamidah, yang sempat masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) di era Orde Baru, mengaku tetap konsisten dengan idealismenya.

“Sekarang lebih umum aja di Wasekjen Komnas perlindungan anak. Dari tahun 98 bikin yayasan Azzalira, yayasan yang memberikan beasiswa ke-pada anak-anak yng miskin, dhuafa, yatim piatu, dll. Saya terjun juga di Masyarakat Profesional Madani. Sampe sekarang cukup vokal juga meng-kritisi pemerintah terutama dalam soal BLBI dan lain-lain”.

Meski beberapa aktivis menyatakan mereka tetap konsisten di jalannya tetapi ada saja mantan

aktivis mahasiswa lain yang dinilai tidak konsisten. Beberapa mantan aktivis pun dinilai pro pemerin-tah. Malah, beberapa mantan aktivis mahasiswa 98 masuk dalam pemilihan calon legislatif Partai Golkar, di tahun 2004, yang sering disebut mesin politik Orba. Mereka yang berteriak dan berkri-tik keras melawan Golkar dulu, kini berbuat hal yang sebaliknya. Di antaranya aktivis Front Aksi Mahasiswa untuk Demokrasi ( Famred ) Bernard Hambombong Halomoa, aktivis Forum Kota ( Forkot ) M. Lutfi Iskandar dan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII ) Nusron Washid.

Ketua BEM UI, Edwin Nofsan Naufal, berpe-san pada para aktivis untuk tidak melupakan komit-men dan idealisme mereka. “Abang-abang mampu melakukan atau melahirkan momen luar biasa. Rezim Soeharto sudah tumbang tetapi mereka tidak memikirkan what’s next. Jangan lupa tujuan pikiran Orba mereka. Mereka jangan lupa panas-panasan di jalanan. Mereka sudah bekerja di pemerintahan dan mengulang kesalahan yang sama. Seharusnya jadi corong mahasiswa. Sebagai aspirasi kita.”

Perkembangan zaman dan perubahan tuntu-tan sekarang berbuah sebuah pertanyaan. Apakah mereka, para aktivis di luar sana, masih dengan idealisme yang sama? Apakah ‘gerakan’ mereka dahulu memang hanya ‘gertakan’ saja? Mereka yang memang mempunyai jabatan di berbagai organisasi dan parlemen, belum tentu mempunyai ‘ jabatan’ tetap di hati nurani mereka seperti semasa mereka mahasiswa dulu.

“Politik kadang teman, besok bisa jadi lawan. Yaa..jalanin aja posisi masing-masing.” pesan Ken Ndaru pada para aktivis yang sudah meninggalkan atribut idealisme mereka yang awalnya untuk rakyat.

“Rakyat mati kelaparan, apakah kita akan diam saja?” tungkas Jemi Irwansyah. Hidup ini hanya sekali. Manusia mati hanya meninggalkan sejarah. Lebih baik kita tinggalkan sejarah yang baik dengan ber-buat sesuatu yang positif untuk rakyat.

Apa yang kita peringati sekarang? Perjuangan Rakyat! Sepuluh tahun telah berlalu, mahasiswa 98 ‘masih’ menjejaki hidup dengan sisa-sisa idealisme-nya. Mahasiswa hari ini pun meneruskan perjua- ngan mereka. Meneriakkan tuntutan yang sama, melakukan hal dengan cara yang sama. Sekarang, mereka yang kita teladani mengakui masih mem-punyai dan tetap pada idealisme yang sama. Lalu? Sepuluh tahun ke depan Masih Di Manakah Mer-eka? SEMANGAT REFORMASI!!!

NOVIE

�0 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

liputan khusus

DO

K.S

UM

A

Aksi Mahasiswa UI pada tahun 1998

Page 43: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Apa yang ada di ingatan Anda di tahun 1998? Mungkin, sebagian besar akan menjawab seputar kerusuhan, pen-jarahan, atau demonstrasi besar-besaran. Ya, memang berbagai macam kekacauan itulah yang mencoreng wajah

bangsa ini. Namun, di tengah segala kekacauan tersebut juga terla-hir gerakan mahasiswa yang dibutuhkan dan ditunggu-tunggu ma-syarakat. Mungkin banyak orang terdistorsi dalam memahaminya. Gerekan mahasiswa sebagai pendorong perubahan akhirnya campur aduk dengan segala kekacauan yang terjadi.

Gerakan mahasiswa 1998 mempunyai andil dalam menum-bangkan rezim orde baru. Gerakan ini bukan sekedar gerakan ma-hasiswa, mereka mampu melengserkan Bapak Pembangunan, Soe-harto. Disadari atau tidak, media yang ada sudah menjadi corong elit saat itu. Mereka butuh sebuah media propaganda terpercaya sekaligus objektif dengan khas kejurnalistikan. Ditengah kondisi kaotik itulah, Persma memegang peranan penting. Sofyan, dosen UI yang juga alumni UI membenarkan ”Kekuatan media saat itu sangat berpengaruh, oleh karena itu setiap media yang dikeluarkan oleh Persma universitas pasti menjadi hal-hal yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar mahasiwa”

Keberadaan Persma pada era reformasi tidak begitu banyak dibicarakan dan dikenang oleh masyarakat luas karena tenggelam oleh berbagai isu kekerasan dan manuver politik elit-elit mahasiswa.

Pers maHasiswa, BUKAN CUMA SISI LAIN GERAKAN MAHASISWA

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi �1

Rezim yang berkuasa selama puluhan tahun telah memangkas hak

manusia untuk memperoleh informasi. Sudah banyak

media yang dibredel, dan yang bertahan hanya

bisa memberitakan “Atas Petunjuk Bapak”. Ketika

gerakan reformasi terjadi 10 tahun yang lalu, akses

informasi menjadi hal yang sangat penting. Terutama bagi mahasiswa, gerakan

mereka tidak boleh terdistorsi oleh kepentingan

media yang saat itu diyakini sebagai antek

pemerintah. Pada saat itu, Pers Mahasiswa (Persma)

datang memberikan solusi.

DOK.SUMA

Page 44: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Pada 1998, hampir semua universitas di Indone-sia, terutama Pulau Jawa, mempunyai lembaga jurnalistik dan media yang diterbitkan. Sebut saja Suara Mahasiswa di Universitas Indonesia (UI), Universitas gajah mada (UGM) dengan Balairung-nya, Trisakti dengan Galang, dan Uni-versitas Diponegoro (Undip) Semarang dengan Opini. Mereka sendiri-sendiri mempunyai peran yang sangat signifikan dan tidak bisa dipisahkan dari gerakan di daerah mereka masing-masing..

Mereka bukan saja hanya meliput berita yang terjadi dan menyampaikan berita saja tetapi juga membangkitkan kesadaran mahasiswa untuk bertindak terhadap pemerintahan yang dinilainya sudah tidak baik lagi. Biasanya produk Persma yang diterbitkan menjadi asupan mahasiswa akan isu politik saat itu sehingga perannya jelas konkrit dirasakan oleh mahasiswa.

Namun, Persma bukanlah tanpa kesulitan. Ada saja kendala yang mereka hadapi, baik dalam segi pemberitaan ataupun penulisan. Tarik menarik kepentingan menjadi masalah utama di dalam “dapur” Persma itu sendiri untuk bisa independen. ”Di era reformasi, banyak kelompok-kelompok atau organisasi yang muncul di kalan-gan mahasiswa dan dari setiap kelompok tersebut mempunyai visi dan misi yang berbeda. Sebut saja ada kelompok ’hijau’ dan ’merah’, ketika kita menuliskan tentang salah satu kelompok, di pikiran kelompok lain kita membela kelompok tersebut, jadi saat itu sebenarnya sulit juga media untuk independen” jelas Sofyan.

Jatuh BangunBanyak sisi lain dan cerita unik dibalik

perjuangan Persma pada tahun 1998 dalam menjalankan tugas sebagai jurnalis mahasiswa. Semuanya berawal dari sikap represif rezim orba terhadap Persma. Rezim Orba melakukan pengekangan lewat Peraturan Menteri Peneran-gan (Permenpen) RI No. 01/Per/Menpen/1975, yang menggolongkan pers mahasiwa sebagai penerbitan khusus yang bersifat non-pers. Su-rat Edaran Dikti No.849/D/T/1989 mengenai Penerbitan Kampus di Perguruan Tinggi ikut mengekang gerakan Persma. Melalui peraturan-peraturan tersebut peran Persma diamputasi sehingga tidak leluasa lagi menulis hal-hal di luar persoalan akademik (kampus-red) dan men-galami pengkotak-kotakan. Mahasiswa Fakultas Ekonomi hanya boleh bicara tentang ekonomi, dan mahasiswa Fakultas Teknik hanya boleh bicara soal teknik. Alhasil Persma terisolir dari

persoalan kemasyarakatan lainnya. Cocok sudah istilah ilmuwan ada di menara gading, yang juga bisa direpresentasikan oleh mahasiswa. Pada periode tersebut juga terjadi pembredelan terha-dap sejumlah pers mahasiswa.

Teguh Santosa, Ketua Lembaga Pers Ma-hasiswa FISIP Universitas Padjajaran (Unpad), Polar, periode 1996-1998 pernah mengecap sakit-nya pembredelan. Polar yang menjadi sarana pro-paganda mereka untuk menolak rezim Soeharto dibredel pemerintah akibat pemberitaannya yang menyebarluaskan rekomendasi agar Soeharto tidak dipilih kembali pada pemilihan umum (pe-milu) 1998.

”Kami memutuskan untuk membuat reko-mendasi politik, yang butir pertamanya meminta agar Soeharto tidak dipilih lagi dalam pemilu 1998. Rekomendasi politik itu disebar ke banyak tempat di dalam kampus dan sekitar kampus Jatinangor. Majalah kami kemudian dinyatakan dilarang beredar di kampus. Bahkan dinyatakan terlarang oleh Rektorat dan Dekanat dan sejak itu kami tidak dapat bekerja bebas” pungkas Te-guh.

�� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

liputan khusus

Seorang fotografer sedang mengabadikan momen pada aksi mahasiswa tahun 1998

Page 45: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Tidak hanya itu, base camp pers mahasiswa pun tak luput dari pantauan orang-orang tertentu, ba-hkan elit politik saat itu. Gerakan Elang (Galang) Trisakti mengalami merasakan langsung infiltrasi pihak luar ke dalam kampus. ”Sekretariat kami sering diteror, dikecam untuk bubar, sweeping, dan sebaginya tapi kita tetap harus bertahan, ti-dak takut sama tekanan” ujar Dorry Herlambang, anggota pers mahasiswa Galang Trisakti yang sekarang menjadi staf pengajar jurusan Arsitektur Trisakti.

Selain tekanan dari beragam pihak, menurut Teguh, ada beragam permasalahan intern yang harus dihadapi Persma dahulu untuk menyampai-kan pemberitaannya ke mahasiwa. Permasalahan itu sangatlah beragam, mulai dari layout majalah, cetak, sampai pendistribusian.”Setelah saya kerja di koran, saya selalu tersenyum bila ingat masa-masa di kampus.” kenangnya.

Bergerak!UI pun punya cerita di balik kontribusi itu.

Suara Mahasiswa UI, sebagai Persma tingkat Universitas di UI menerbitkan harian berge-

rak! Sebuah harian yang waktu itu hadir antara perbedaaan-perbedaan ideologis antara gerakan mahasiswa. Achmad Nurhoeri, pemimpin umum saat itu mengungkapkan bahwa bergerak! tidak memihak satu ideologi tertentu. Terbit perdana pada 10 Maret 1998, bergerak! merupakan satu-satunya media jurnalistik mahasiswa UI di tahun 1998 yang menjadi corong pemberitaan aktivitas mahasiwa dan kejadian seputar reformasi.

Dalam menyajikan berita, bergerak! mempu-nyai kewajiban untuk memberikan baik kepada para mereka yang bukan dan aktivis dan maupun para aktivis. Untuk berusaha membujuk mahasis-wa UI yang awam politis untuk ikut serta dalam gerakan, bergerak! memilih menggunakan gaya bahasa yang mudah dimengerti, lugas, mudah, dan komunikatif. Sedang untuk kewajiban kedua, bergerak! memposisikan diri sebagai alat pergera-kan yang objektif dan tidak memihak. “Bahkan kalau mahasiswa salah, kami akan katakan me-reka salah!” tukas Wien Muldiyan, Pemimpin Perusahaan bergerak! ketika itu. Sampai saat ini, bergerak! telah dua kali dijadikan tema penelitian. Pertama oleh Satrio Arismunandar untuk tesisnya pada Universitas Indonesia. Yang kedua, disertasi di Cornell University.

Sama seperti Persma universitas lain, harian Bergerak! pun dihinggapi masalah tersendiri. Mu-lai beragam teror dari pihak luar hingga pemang-gilan dari pihak universitas. Tapi dari sekian ceri-ta ’mencekam’ dibalik perjuangan pers mahasiswa, terselip juga kisah haru. ”Sewaktu kita pindah sementara ke Salemba, di saat keadaan genting banyak kerusuhan di mana-mana, tanggung jawab menyelesaikan semua berita yang masuk untuk diedarkan, kami tidak bisa keluar dari ruangan karena melihat situasi yang memang tidak aman. Bahkan hanya untuk mencari makan ke luar tidak bisa. Pada saat itu kami berpikir untuk memang tidak bisa makan dan total bekerja. Tapi, entah dari mana, ada saja makanan, nasi bungkus, yang dikirimkan pada kami. Ada isu makanan tersebut dari pihak tertentu yang ingin ’mencari muka’ tapi kami tidak peduli.” jelas Irfantoni, layout desainer bergerak! ketika itu.

Selain itu ada pula simpati yang datang dari masyarakat luas. ”Sampai-sampai pada waktu itu, ada seorang ibu yang rela datang ke tempat kami membawa pisang goreng yang ia sengaja masak untuk kami” lanjut Irfan Toni sambil tersenyum.

NOVIE & DENISSA

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi �3

liputan khusus

DOK.SUMA

”sekretariat kami sering diteror, dikecam untuk bubar, sweeping, dan

sebagainya, tapi kita tetap harus bertahan, tidak takut

sama tekanan”

Seorang fotografer sedang mengabadikan momen pada aksi mahasiswa tahun 1998

Page 46: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Riuh pergerakan maha-siswa 1998 masih tere-kam jelas. Terlihat dari cara pria pecinta buku

ini menceritakan pengalaman-nya. Bertempat di perpustakaan Departemen Pendidikan Nasio-nal yang lebih dikenal dengan Library@Senayan, perbincangan dengan salah seorang mantan aktivis pers mahasiswa Universi-tas Indonesia ini dilakukan.

Sebagai aktivis pers ma-hasiswa pada zamannya, pria berperawakan besar ini memang bukan orang yang berteriak-te-riak lantang memimpin aksi. Perannya lebih di belakang layar, berperan dalam mengatur dan menyampaikan informasi pergerakan kepada mahasiswa. Ia bersama teman-temannya mengisi kekosongan mahasiswa akan informasi yang tidak ter-penuhi pers umum saat itu. Di bawah redaksi Majalah Berita Mahasiswa (MBM) Suara Ma-hasiswa UI (Suma UI), mereka kemudian menerbitkan Buletin Bergerak!, yang terbit perdana 10 Maret 1998. Dikelilingi rak kaca penuh buku, dimulailah pembicaraan dengan bang Wien,

yang saat itu masih menggena-kan seragam dinasnya.

Bisa diceritakan konsep berita Bergerak! atau Suara Maha-siswa di zamannya Abang?

Awalnya kalau lu baca Suara Mahasiswa sebelum gw dan Ahmad (Nurhoeri, Pemimpin Umum Suma ketika itu,-red), itu benar-benar jadi propaganda kepentingan. Bahkan nggak je-las arahnya mau ke mana. Kalau baca dari nomor berapa sampai ke belakang, ke awal-awal isinya nggak jelas. Yang penting penuh dengan data-data, ya udah sele-sai. Nggak ada pemahaman yang jelas bahwa arah jurnalisme kita mau ke mana. Jadi konsep ma-jalah berita mahasiswa itu, dari semua yang gw riset di berbagai macam media mahasiswa pada zaman itu, Suara Mahasiswa itu yang pertama kalinya membuat konsep berita majalah mahasis-wa. Tapi penuh dengan keberpi-hakan kepada mahasiswa.

Kalau zaman dulu itu ada namanya KARSINAL (Kader Fungsional Golkar). Mereka itulah yang bermain di majalah yang mengatasnamakan UI. Jadi sebenarnya sejarah Suara Ma-hasiswa itu di awal benar-benar tidak mengenakkan.

Terus bagaimana posisi Berge-rak! atau Suara Mahasiswa di antara berbagai kepentingan saat itu?

Suara Mahasiswa dan Ber-gerak! selalu ada dalam posisi netral waktu itu, jadi tidak ada di pihak manapun. Karena kita tidak ada di pihak manapun, kita kadang dimusuhi berbagai macam pihak. Karena tulisan kita kadang menelanjangi si A, menelanjangi si B, si C. Itu prinsipnya tadi. Tetap kita po-sisinya netral dan memberitakan apa yang menurut kita, dari

Nama : Wien MuldianTTL : Pontianak, 3 Mei 1972Hoby : Membaca bukuPekerjaan :

- Manajer Perpustakaan Pendidikan Nasional Depdiknas (library@senayan)

- Librarian - Literacy Trainer - Consultant

Affiliations : - Forum Indonesia Membaca

(FIM) - Asosiasi Pekerja Informasi

Indonesia (APII) - Ikatan Sarjana Ilmu

Perpustakaan dan Informasi (ISIPI)

- Komunitas Pekerja Buku Indonesia (KPBI)

- The Indonesian Literacy Insitute (ILI) - PasarBuku

- Suara Mahasiswa UI (SUMA UI)- Harian Aksi bergerak!

�� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

WIEN MULDIAN“komPor” aksi maHasiswa ‘98

liputan khusus

TITAH/SUMA

Page 47: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

penegakan idealis mahasiswa itu tidak benar, kita bilang tidak benar. Yang benar ya kita bilang be-nar. Gerakan mahasiswanya itu pun salah, kita bilang salah. Itu ideologi penulisan kita waktu itu. Kita (Bergerak!-red) bermain mengompori, jadi tukang komporlah. Mengompori berbagai macam kelompok di dalam pesaingan di antara mereka tapi tetap akhirnya bicara kepentingan sebuah perubahan.

Bukan yang menyebarkan selebaran propa-ganda?

Ya itu ada. Itu kan bagian dari pemberitaan. Bagian dari sesuatu yang lumrah dari pemberi-taan tapi bukan berarti kita ada dipihaknya Rama Pratama cs (aktivis 98-red), kan nggak. Kita ada di pihaknya anak-anaknya apa, nggak gitu. Yang misalnya menginformasikan ke media massa tentang akan ada aksi apa, di mana. Ya bermain di konstelasi itulah karena itu kita kasih tau ke rek-torat. “Pak nanti mau ada gini gini nih. Bapak tolong pikirkanlah, nanti kalau ada anak UI yang mati kan repot Pak!”.

Di rektorat UI juga pasti punya banyak akses tingkat tinggi. Nah itu, peran itu yang kita main-kan. Jadi kita sebagai mediator informasi di antara berbagai macam kelompok organisasi dan kepen-tingan. Itu peran Suara Mahasiswa yang mungkin belum terlalu terungkap. Taunya cuma menerbit-kan Bergerak!

Lalu peran bang Wien?Kalau gw main di konsep PR (Public Rela-

tion). PR selain cari duit dong pasti, PR dalam arti kita itu sampai bisa menentukan karakter seorang tokoh. Dalam arti gini, Rama gimana caranya se-banyak mungkin diekspos oleh media. Karena dia simbol gerakan mahasiswa UI. Yang resmi, yang sah.

Jadi sebenarnya Suma terlibat dibelakang itu menset skenario untuk ekspos ke media. Anak-anak itu (Suma-red) paling sebel setiap “ Woi! ca-riin semua koran hari ini bawa ke gw. Terus yang media-media asing yang baru terbit tu! coba cari di toko buku ini atau di mana”. Dicari untuk gw mempelajari semua itu. “Jadi arahnya begini nih!”. Jadi gw itu tuh sebenarnya kaya orang yang di be-lakang layar.

Tanpa disadari dan mungkin kelompok-ke-lompok (mahasiswa,-red) itu sampai sekarang nggak ngerti bahwa sebenarnya kita terlibat dalam hal mengatur konstelasi gerakan massa yang ma-suk ke DPR. Itu peran yang diambil oleh Suara Mahasiswa dalam aksi ‘98 di tengah mahasiswa UI. Karena terus terang, waktu di Salemba itu aksinya bukan hanya warga UI. Banyak anak-anak kampus-kampus lain yang juga di Salemba.

Ada nggak sih tekanan di sana sini?Maksudnya segelintir mahasiswa mungkin

masih takut tapi segelintir yang lain itu udah ng-gak peduli. Yang penting Suharto tumbang dan segala macem. Dia bisa nelpon, seperti gw bilang bukan menekan tapi mengingatkan, menasehati. Pada dasarnya kalau ditekan atau apa kita udah nggak peduli. Ya udah, nggak ada rasa takut lagi.

Kalau sweeping dan diteror dari pihak ter-tentu?

Ya itu mah dijalanin aja. Kalau emang kena ya nasib. Kalau nggak kena, ya udah. Kalau kena ya apes. Itu aja. Gw aja di kantor (ketika itu Wien sudah memiliki pekerjaan-red) di Mar-

gonda, kantor gw juga diteror.Nah, gw sendiri kan udah ditandain. Ditan-

dain ya kaya misalnya gw, Bayu (aktivis persma yang lain-red), apa, udah pasti ditandainlah ama yang di Kalibata itu. Dulu namanya masih Bak-imdai, badan intelijen. Ya, udah ditandainlah. Jadi nggak soal. Makanya gw abis ’98, Mei tumbang Soeharto segala macem, itu kan Juni gw dah kabur ke Aceh.

ERICHSON SIHOTANG

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi �5

liputan khusus

“kita sebagai mediator informasi di antara berbagai macam kelompok organisasi dan

kepentingan. itu peran suara mahasiswa yang mungkin

belum terlalu terungkap. taunya cuma Bergerak!.”

TIT

AH

/SU

MA

Page 48: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Ketika reformasi bergulir, karirnya dalam organisasi sedang memuncak. Ia adalah Ketua Senat Mahasiswa UI (sekarang BEM UI-red) ketika itu. Ia merupakan Ikon perjuangan maha-

siswa UI namun sekarang sebagian mempertany-akan idealismenya ketika ia masuk dan sekarang menjadi anggota DPR dari fraksi PKS. Simak jawabannya ketika diwawancarai oleh Re-porter Suara Mahasiswa UI, Olga Tabita.

Apa alasan Mas menjadi aktivis kampus du-lunya?

Saya memang suka organisasi. Organisasi di kampuslah yang memperkenalkan konsep-konsep tentang perubahan. Bahwa kita tidak boleh men-jadi menara gading. Hal inilah yang membentuk karakter aktivis saya. Lalu, apa alasan Mas dan teman-teman ikut aksi 1998?

Gerakan mahasiswa 98 jangan dipahami se-bagai fenomena yang terjadi begitu saja. Tapi ini merupakan rangkaian peristiwa yg terkait satu dengan yang lain. Pertama ada situasi gerakan di awal 1990-an. Pemerintah sangat represif. Jang-ankan demo, aktivitas diskusi publik banyak yang dibubarkan oleh intel, rektorat juga yang begitu

represif, pemecatan mahasiswa karena isu yg sen-sitif kerap terjadi sehingga akhirnya mahasiswa pada saat itu melakukan gerakan yang sangat soft, seperti melakukan diskusi, gerakan-gerakan pemikiran dalam kelompok kajian yg kecil-kecil. Makanya ada Kelompok Studi Mahasiswa yang sampai sekarang masih ada.

Pada saat yang sama terjadi sebuah krisis. Yang memang terjadi sejak jaman Soeharto yang men-urut kita memang sudah keliru selama masa orde baru. Kenapa? Karena pada saat itu ia memban-gun negara ini dengan satu pilar saja, yaitu eko-nomi. Sektor-sektor lain seperti politik, sosial dan lainnya dianggap tidak perlu karena rakyat sudah kenyang. Sehingga ia membangun negara ini menjadi sebuah negara logistik dengan perangkat yang namanya Bulog. Tapi ternyata tidak ada kai-tan dengsn sektor riil. Lalu muncul gerakan yang akhirnya berakumulasi, dan berujung pada ger-akan reformasi. Yang pada intinya menekankan bahwa kita butuh perubahan. Tapi belum sam-pai tuh pada ujung tombak perubahan nasional –suharto turun-.baru sampai pada bahwa negara ini harus berubah dalam mengelola dan mema-nage negara ini. Dengan berbagai dialektikanya jugalah pada saat itu. Pada kenyataannya akhirnya memang keinginan reformasilah yang kemudian membesar. Kenapa pilihan kita reformasi ketika

�6 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

RAMA PRATAMA:“aktivis

maHasiswa ada

masanYa“

liputan khusus

LILA/SUMA

Page 49: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

itu dan bukan revolusi adalah karena menurut kita itulah pilihan paling rasional yang ada saat itu. Gerakan kita merupakan sebuah gerakan moral. Kita mahasiswa mengambil peran sebagai balan-cing power ketika itu.

Bagaimana tanggapan Mas dengan komentar teman-teman aktivis dari kampus lain yang mengatakan bahwa kita –mahasiswa UI- adalah produk berhasilnya Orde Baru?

Yah, capek deh...so what gitu loh? Kan bukan salah kita kalo kita masuk UI.

Dan saya gak pernah mengkalim bahwa kita pionir, reformasi ini merupakan sebuah kerja ber-sama. Jadi buat apa saya pertanggungjawabkan. Bahkan kita sering mengatakan jangan mem-personifikasi sebuah kerja bersama, ngapain kita saling berantem sesama mahasiswa sendiri hanya untuk persoalan eksistensi. Saat itu, isu itu merupakan isu yang paling males buat saya tanggepin. Menurut saya, hal itu mengkerdilkan gerakan mahasiswa saat itu. Saya gak pernah mengklaim bahwa reformasi itu kerja anak-anak UI.

Ini kan persoalannya bentukan media. Media melihat UI sebagai ikon, sebagai universitas terbaik di Indonesia. Terus ba-gaimana teman-teman melihat secara sama-sama. Trus buat apa mengkonfirmasi? Gak perlu meng-klaim. Saya tidak pernah mengklaim. Ini masalah hati. Persoalan eksistensi, gak usah ditanggepin. Tidak pernah ada suatu perubahan di dunia ini yang dapat terjadi hanya karena gerakan mahasis-wa. Jadi mahasiswa gak boleh sombong.

Setelah lulus, mas Rama terjun ke partai politik. Apa alasannya terjun ke partai politik di saat masyarakat kini mulai tidak percaya dengan ke-beradaan parpol?

Setiap langkah saya harus dapat saya per-tanggungjawabkan. Aktivis never die tapi aktivis mahasiswa ada masanya. Ketika saya lepas dari kemahasiswaan saya butuh ruang pertanggung-jawaban moral. Politik yang saya anggap belum selesai. Saya bekerja tapi saya melihat parpol juga sebagai institusi yang penting ke depannya dalam memilih orang yang akan mengambil kebijakan di masa depan.

Saya juga gak bisa sembarang pilih partai. Saya

merupakan produk reformasi, jadi nggak mugkin memilih partai yang bukan produk reformasi. Makanya saya pilih PKS (Partai Keadilan Se-jahtera) yang saya anggap parpol pertama, yang mengusung reformasi. Di samping itu juga karena keanggotaannya juga muda-muda. Jadi lebih gam-pang untuk saling menjaga agar tetap konsisten. Dan di sini pun saya punya sejarah organisasi yang panjang dan natural, tidak ujuk-ujuk langsung jadi ketua partai

Lalu pesan Mas?Bagi kami para mantan aktivis 98, kalaupun

hari ini kami menjadi anggota dewan, tidak pernah sama sekali kami pandang itu sebagai

“hadiah“ dan “hasil“ perjuangan. Namun semata-mata wujud pertanggungjawaban moral, publik dan politik kami, disebabkan kami pernah men-

gusung suatu gagasan peru-bahan yang ternyata sampai hari ini belum terwujud sama sekali. Jadi, semacam beban moril atas sebuah perjuangan yang belum di tuntaskan. Sekarang, di fo-rum parlemen ini konsistensi kami diuji. Untuk itu saya berdoa agar saya dan rekan-rekan seperjuangan lainnya senantiasa dikaruniai Allah

keyakinan, keikhlasan serta semangat untuk terus istiqomah dalam beramal shalih..kapanpun dan dimanapun.

OLGHA TABITA

“kalaupun hari ini kami menjadi anggota dewan,

tidak pernah sama sekali kami pandang itu

sebagai ‘hadiah’ dan ‘hasil’ perjuangan”

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi �7

RAMA PRATAMA:“aktivis

maHasiswa ada

masanYa“

liputan khusus

Page 50: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

kami ingin kembalidi mana darah telah tertumpah namun

tangan masih terkepal Harapan yang menggantung di pundak ti-

daklah terasa beratBuah kesadaran “kami adalah milik

rakyat!”

namun kini berbeda, Langkah ini terasa berat.

karena kaki telah terbelenggu rantai yang bernama modal

Yang detik itu juga mengikat rakyat iniLalu harapan perlahan menjadi semu

terbias kepentingan dan ideologi yang diselingkuhi

ketika itu, tidak ada lagi “kami”, hanya “kita” dan “mereka”

sampai kami sadar…Landasan kami bukanlah modal, pun juga

ideologikami berdiri lagi, atas nama moral

saat itu, kami tak ingin kembaliLawan di depan lebih garang

karena kami tahu, keadiLan BeLum JuGa diteGakkan!!.

Teks: Hafizhul Mizan Piliangfoto: Lila kesuma Hairani

Page 51: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23
Page 52: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Kalau partai politik adalah tulang pung-gung (backbond) dalam sistem demokrasi In-

donesia maka pers memainkan peranan sebagai urat nadinya. Kedua komponen ini, partai poli-tik dan pers, sudah dan terus me-mainkan peran strategis dalam pendalaman arah demokrasi.

Reformasi yang bergulir sejak Mei 1998 terasa berjalan tertatih, terutama dalam pencapaian kesejahteraan rakyat. Ledakan-ledakan masalah sosial kian tam-pak, terutama ketika semakin banyak orang yang antri minyak. Perubahan kebijakan pemerintah dalam hajat hidup orang banyak, ternyata mengalami kendala dari segi manajemen pemerintahan.

Ketika semakin banyak per-soalan di masyarakat, partai poli-tik dan pers juga kian memain-kan peranan. Sampai sejauh ini, sudah terdapat banyak sekali penerbitan pers di Indonesia, baik cetak ataupun elektronik, termasuk media online. Masyara-kat disuguhi dengan beragam bentuk informasi tanpa jeda.

Persoalan kemudian, bagaimana posisi pers hari ini dalam menuntaskan program-program reformasi? Dalam melakukan amandemen kon-stitusi, pers banyak membantu. Begitu juga segala macam pe-rubahan di tingkatan aturan

main. Berpolemik di media massa sudah menjadi kebiasaan yang baik.

Bahkan, bagi kalangan elite tertentu, pers sudah dianggap lebih kuat dari publik itu sendiri. Kalau ada istilah vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) maka lebih jauh suara rakyat itu kian terepresentasikan lewat pers. Pers menjadi institusi yang menakutkan. Saking takut-nya, sejumlah wartawan dianiaya, ada yang dibunuh, bahkan kan-tor redaksi media pun digrebek. Tuntutan hukum atas pers juga bukan hal yang tabu lagi. Pers adalah suara Tuhan. Selain ke-pada Tuhan, banyak kalangan elite yang lebih takut kepada pers, ketimbang kepada rakyat itu sendiri.

Dalam perkembangan baru, semakin banyak pengusaha nasional pada level konglom-erat, baik lama atau baru, yang terjun ke dunia pers. Penguasaan itu menjangkau daerah-daerah terpencil. Pers semakin terinte-grasikan dari segi jaringan usaha sehingga kalau ada pers yang hanya bermodal kecil dan terba-tas, bisa langsung menghadapi krisis. Yang paling dirugikan oleh perkembangan pers seperti ini adalah pers di tingkat lokal yang dimiliki oleh keluarga-ke-luarga tertentu. Apabila mereka tidak mengadopsi manajemen

moderen, termasuk dari segi penyuntikan modal, teknologi, sampai sumberdaya manusia maka dengan cepat pers “tradis-ional” itu akan basi dan terbit tidak menentu.

Bagi para pecinta ilmu pengetahuan, kebebasan yang didapatkan pers sudah membuka kesempatan baru untuk men-sosialisasikan beragam bentuk ilmu pengetahuan itu. Kema-san-kemasan yang lebih populis berusaha ditampilkan. Sekalipun begitu, pers juga membawa “ku-tukan” bawaan, yakni menjadi ranah pencitraan. Kalau anda yang sekadar ilmuwan berkaca-mata tebal maka akan sulit wajah anda masuk ke halaman-halaman foto jurnalistik, kecuali mungkin dalam pameran-pam-eran foto yang dilakukan oleh keluarga Anda sendiri.

Dengan unsur populisme yang kuat, Anda bisa tiba-tiba menjadi sangat terkenal kalau melahirkan karya yang dianggap wah. Mungkin Anda menge-masnya dengan cara yang jeli dan hati-hati. Entah itu musik, cerpen, buku petua- langan, ataupun karya-karya lain yang menempatkan Anda lebih unggul dari yang lain, hingga secara cepat Anda akan masuk ke dalam sanjungan pers. Atau Anda membidik kelom-pok-kelompok yang tidak serius,

Pers, SUARA TUHAN

50 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

Indra Jaya Piliang

Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta Alumni B.O. Pers Suara Mahasiswa UID

OK

.PR

IBA

DI

bidang pers

Page 53: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

mengubah diri Anda menjadi Madame, lalu menceritakan bagaimana pola pikir Anda juga berubah.

Pers barangkali lebih kuat dari kitab suci. Setiap hari orang membacanya – tentu saya juga

--, menontonnya, mendengarnya. Seluruh cerita, berita atau derita, hadir tanpa diundang. Pikiran kita dibentuk oleh beragam in-formasi itu. Dan bukan hanya pikiran yang bisa diubah pers tetapi juga dunia, paling tidak cara memandang dunia.

Pers tentu tidak menjelma Tuhan. Walau hari ini hanya demi untuk diberitakan pers, sekelompok orang berani men-gacungkan panah, tombak dan kelewang, lantas mencoba mengusir manusia-manusia lain. Penyerangan atas kelompok Ahmadiyah, misalnya, adalah tindakan anar- ki dalam rezim demokrasi di negara manapun. Dengan menga- tasnamakan Tuhan sendiri, ada orang-orang yang menyerang orang menu-hankan yang lain.

Saya merasa, lebih banyak diperlukan ke-lompok yang paling berpen-getahuan dan berbudi pekerti yang harus bekerja di pers. Kalau tidak, pers akan membunuh kita: manusia dan kemanusiaan kita. Pers tentu mempunyai agenda, terutama ja-jaran pemilik dan pengelolanya.

Tetapi kalau agenda-agenda itu ditujukan untuk membunuh manusia dan kemanusiaan, baik langsung atau tidak langsung, berarti pers sedang menghancur-

kan dirinya sendiri.Pedang kata-kata lebih me-

nyakitkan dan berbahaya, dari-pada pedang yang sesungguhnya. Dari sini sebetulnya diperlukan kedalaman perasaan dalam membangun sebuah cerita atau berita. Saya meyakini, kalau pers mengubah dirinya maka ia akan mengubah masyarakatnya, ling-kungannya, malah juga dunianya. Tradisi jurnalistik yang hanya sibuk dengan sensasi, mistik atau irrasionalitas, akan membentuk masyarakat yang sama.

Kita sudah mampu memper-tahankan kebebasan pers, pada batas-batas yang wajar. Sebagai buah pertama dari reformasi, pers bergerak dalam dinamika masyarakat yang menuntut pe-rubahan, sekaligus menghendaki perbaikan. Pers tidak sedang membangun sesuatu. Ia pen-

gabar, pemberi kabar, tentang wajah masyarakat itu sendiri. Pada kekuasaan, pers layak ber-sikap selalu curiga. Kalau negara sedang tidur, pers perlu mem-bangunkannya, ketika ada satu masyarakat yang sakit, kebanji-ran atau kelaparan di punggung sebuah gunung.

Mahasiswa adalah cikal-bakal insan pers. Dalam artian

apapun, pembaca, penulis, pe-mirsa, presenter. Mahasiswa adalah lapisan masyarakat yang banyak menimba ilmu lewat penghormatan atas kata. Kalau ada mahasiswa yang tidak hor-mat pada kata, berarti ia adalah siswa kurcaci. Kerdil bukan dalam artian fisik, tetapi dalam bentuk pikiran.

Sebagai bagian dari kekuatan yang menakutkan, termasuk untuk membela kepentingan rakyat maka mahasiswa harus menyadari posisi strategis dari pers ini. Mulailah mengamatin-ya, kalau memang belum pernah sama sekali peduli. Yang terpent-ing, gunakan media secara baik. Pers tertentu menyediakan ko-lom khusus untuk menampilkan pikiran mahasiswa.

Dengan mahasiswa hadir di dunia pers, dalam bentuk apapun,

berarti mahasiswa bisa “membon-ceng” pers dalam membentuk piki-ran-pikiran yang ada di masyarakat. Kita tahu, kualitas pendidikan di Indonesia begitu terpuruk, begitu pula dari sisi kuan-titas. Sedikit sekali jumlah sarjana di negeri ini, tidak sesuai dengan tun-tutan modernitas dan kemajuan per-adaban.

Sehingga, apabila mahasiswa mampu mengambil peranan positif atas keberadaan pers, di samping tentunya sadar atas fungsi-fungsi partai politik maka ia dengan sendirinya telah menjadi pengawas atas dunia yang membentuk para elite. Mahasiswa, dengan demikian, bisa menghadang pers menjelma Tuhan..

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 51

TAQWA/SUMA

bidang pers

Page 54: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Sepuluh tahun kemerdekaan pers di era refor-masi, tak bisa dilepas kaitannya dengan prak-tik kemerdekaan pers di Indonesia pada era sebelumnya. Adagium pers adalah cermin

kehidupan nyata masyarakat, rupanya termasuk di dalamnya refleksi perspektif kekuatan politik yang tengah berkuasa. Jika sistem politiknya demokratis maka kemerdekaan pers dipayungi. Sebaliknya jika rezim yang berkuasa otoriter maka hukum dijadikan alat untuk menzalimi pers.

Sejak 1945 sampai Dekrit Presiden 5 Juli 1959, misalnya, karakterisitik produk hukum yang men-jadi pijakan kemerdekaan pers adalah Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 19 UUDS 1950. Sepertinya, keten-tuan kedua konstitusi tadi masih lurus-lurus saja sehingga kemerdekaan pers dikawal dengan baik. Realitas praktik politik hukum pers demikian itu, pasti ada kaitannya dengan apa yang dikenal sebagai royan revolusi, suasana revolusi yang masih kental tentang mimpi-mimpi bersama pembebasan diri dari cengkreman kekuasaan kolonial atau imperialisme.

Selama kurun waktu 1945 – 1959, pandangan tentang perlunya kemerdekaan terbelah dua. Per-tama, pers adalah alat perjuangan bangsa, karena kemerdekaan pers tak bisa ditawar-tawar. Di awal kemerdekaan, muncul jargon: pejuang dulu, baru wartawan. Dengan kata lain, setiap wartawan pasti pejuang. Jalan pikiran kedua melihat, kemerdekaan pers identik dengan kapitalisme liberal, akar kolo-nialisme. Pandangan ini mengemuka tatkala Rapat Besar BPUPKI, 15 Juli 1945, ketika membicarakan rancangan Pasal 28 UUD 1945 yang kemudian dia-komodir Pasal 28 UUD 1945 sehingga jalan pikiran yang memperjuangkan pentingnya payung kemer-dekaan pers dimasukkan secara eksplisit ke dalam Pasal 28 UUD dieliminir.

Masuk akal, tatkala realitas politik multi partai,

di bawah payung Konstitusi UUDS 1945, terkesan sebaga terompet partai maka penganut paham anti kemerdekaan pers berteriak : ”Lihat sendiri kan, kalau kemerdekaan pers terlalu liberal, pers cuma punya jadi penyambung lidah politisi dan partai.” Tak heran jika muncul tudingan, pers partai yang sangat liberalistik itu cuma bikin kacau dan alat saling menyerang antar partai. Mungkin, itulah yang dijadikan dalih kuat, mengapa muncul gagasan kembali ke UUD 1945 lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang memungkinkan bagi siapapun yang men-jadi presiden untuk melakukan praktik buruk yang oleh Clinton Rositter dijuluki, ”Dictatorship Consti-tutional” Rezimnya diktator dipayungi konstitusin represif.

Teori Rositter, sulit dipatahkan. Pasca Dekrit 5 Juli 1959 sampai 23 September 1999, kemerdekaan pers seolah berada di tepi pantai. Dengan kata lain, tak ada kepastian tentang kemerdekaan pers. Keti-dakpastian hukum ini dimungkinkan oleh muatan Pasal 28 UUD 1945 yang bermakna cek kosong. Era cek kosong Pasal 28 UUD 1945 yang diikuti produk hukum represif tentang kemerdekaan pers itu, terny-ata berlangsung sekitar empat puluh tahun. Berawal dari era sistem politik demokrasi terpimpin, pasca Dekrit 1959, berakhir setelah kejatuhan mantan Presiden Soeharto, Mei 1998, diikuti keluarnya UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, 23 September 1999.

Di bawah rezim sistem politik demokrasi terpim-pin, ditemui tiga produk hukum represif yang mem-belenggu pers, Tap MPRS Nomor II/ 1960; Pera-turan Panglima Tertingi (Peperti) Nomor 10 Tahun 1960; dan Tap MPRS Nomor XXXII/1960. Ketiga produk hukum itu berisi, pers harus jadi alat per-juangan revolusi; harus izin terbit penguasa; setiap pemimpin redaksi harus membuat pernyataan setia

PASANG SURUT POLITIK HUKUM KEMERDEKAAN PERS

Wikrama Iryans Abidin

Anggota Dewan Pers periode 2006 - 2009, pernah bekerja sebagai wartawan, dan mantan Pemimpin Redaksi SKK-UI Salemba

DOK.PRIBADI

5� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

bidang pers

Page 55: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

kepada penguasa. Ketiga produk hukum represif itu, menggunakan konsideran Pasal 28 UUD 1945. Begitu juga di era kekuasaan Soeharto, modusnya persis sama pasal yang jadi landasan aneka produk hukum pers represif tetap Pasal 28 UUD 1945.

Cuma bedanya, soal Soeharto bergaya euphemis-me. Misalnya, di dalam UU Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan Pokok Pers, dikatakan sensor, bredel, surat izin terbit ditiadakan. Tetapi, di dalam ketentuan peralihan UU tersebut, menyebutkan se-lama masa transisi tetap diperlukan surat izin terbit.

Tak heran jika produk hukum tentang pers di era Orde Baru lainnya, seperti UU Nomor 4 Tahun 1967; Tap MPR Nomor IV/1978, UU Nomor 21 Tahun 1982 Tentang SIUPP; Permenpen Nomor 1/1986, materi muatannya juga represif. Dalam ren-tang waktu 32 tahun itu, kemerdekaan pers mesti menjadi bagian dari pers bebas yang bertanggung ja-wab pada kekuasaan, dalam hal ini kepada Menpen dan Deppen-nya.

Kekuasaan Orde Baru kemudian berjalan di bawah sistem pers yang menulis dan menyiarkan berita dan opini atas dasar Asal Bapak Senang. Pers bukan lagi mencerminkan realitas kekuasaan yang korup dan bengis, akan tetapi didorong menjadi alat propaganda seolah-olah di bawah rezim yang bersih dan demokratis, padahal korup dan keropos.Di bawah pembelengguan pers dan sistem politik yang korup itu, tak heran jika terjadi pembusukan politik dan kekuasaan. Penguasa merasa stabilitas terjamin, padahal, realitasnya berbeda karena informasi yang disampaikan ABS dan semu. Mudah ditebak ke-mudian, penyebab utama kejatuhan Soeharto, dia dibuai opium orang-orang dekatnya yang berwatak ABS dan selalu memuji dan membohonginya.

Kejatuhan Soeharto, diikuti dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU 40/99) yang dikenal responsif karena me-respon aspirasi komunitas pers membuka belenggu pers. Proses pembuatannya pun sangat demokratis. Sebab, mencerminkan aspirasi masyarakat demo-kratis, serta melibatkan berbagai entitas masyarakat pers, pemerintah pasca Orde Baru dan DPR RI.

Yang paling spektakuler dari UU Tentang Pers yang lahir di era reformasi ini adalah, ia menjadi payung hukum kemerdekaan pers tanpa syarat. Jika pada Orde Baru, pers ditempatkan sebagai budak kekuasaan maka pada era reformasi ini konsepnya berubah, pers adalah wujud demokrasi (Pasal 2 UU 40/99). Pers dituntut memiliki arah dalam menegakkan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi dan supremasi hukum. Perspektif ini tentu saja di-maksudkan agar kemerdekaan pers tidak berpeluang

menjadi anarkhisme pers yang justru merusak nilai luhur demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Untuk menjamin kemerdekaan pers, tidak ada sen-sor, bredel, pelarangan penyiaran, SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).

Buah kemerdekaan pers yang dipayungi UU 40/99 ini, luar biasa. Wajah pers Indonesia, dihiasi oleh : (1). Penerbitan nasional dan daerah : 829, penerbitan In-house, 10.000; (2). TV Nasional, 11 stasiun, TV local, 60-an; (3). Radio berizin, 1.124, tak berizin, 8.000 (Don Bosco, 2006).

Bisa dibayangkan, dengan kemajuan pers yang luar biasa itu betapa besarnya audience yang bisa di-jangkau. Berapa banyak tenaga wartawan dan karya-wan pers yang ditampung industri pers. Termasuk betapa hebatnya kompetisi pers Indonesia saat ini. Di tengah booming industri pers itu, menjadi persoa-lan sangat serius jika ia dikelola dan tangan-tangan yang miskin pengetahuan dan kompetensi jurnalis-tik. Kehadiran mereka yang tidak profesional dirasa-kan sebagai musuh publik yang merusak wajah pers.

Dalam situasi seperti ini, jangan heran kalau ada yang mengidentikkan wartawan sebagai penyakit berbahaya, seperti HIV, atau flu burung, atau se-suatu yang berbahaya, seperti narkoba. Sebab, keha-dirannya seolah bukan lagi sebagai pembawa kabar gembira dan baik. Ia sudah dianggap sebagai public enemy. Namun jangan pula lupa tak sedikit rakyat berterima kasih kepada pers yang berani dan jujur mengungkap aneka kebobrokan yang ada di tengah kita. Bahkan pers dinilai mampu melompat jauh ke depan sebagai sarana kontrol dan pendidikan positif publik dan kekuasaan yang efektif melalui produk jurnalistik berdasarkan investigasi yang berani, jujur dan berimbang.

Di situlah kemerdekaan pers di era reformasi berdiri. Ihwal malpraktik kemerdekaan pers yang sebetulnya sebagai residu problem ekomoni tak perlu ditampik. Publik pembaca dan khalayak Indonesia yang kian cerdas, tidak selamanya bisa dibohongi. Biarlah publik yang menghakimi pers. Pers yang punya kredibilitas tinggi, pasti tetap eksis dan ung-gul. Pers ugal-ugalan dan merugikan kepentingan publik, pasti akan ditinggalkan pembaca dan pema-sang iklan.

Itulah perspeketif kemerdekaan pers yang kita inginkan. Praktik kemerdekaan di era reformasi yang demokratis ini harus kita pertahankan agar bangsa ini tidak terombang-ambing oleh gelombang laut. Caranya, tentu dengan memperkokoh kedudu-kan kemerdekaan pers ke menjadi constituonal right sehingga tak mudah diutak-atik kepentingan sesaat.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 53

bidang pers

Page 56: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

don’t be addicted!Gerbatama has been metamorf

berita aktual, terpercaya,terbit rutin bulanan, investasi iklan menjanjikan

kenali UI-mu, baca

© badan otonom pers suara mahasiswa ui 2008

BEM FISIP UI bersama LKPS (Lembaga Kemi-traan Pembangunan Sosial, Jakarta) menggelar

kegiatan bernama SPEKTRA (Seminar Pelatihan Keterampilan Manajerial) pada tanggal 10-11 Mei 2008. Acara yang bertempat di aula Asuransi Jiwa Bimaputra (AJB) FISIP UI ini bertujuan membekali peserta dengan berbagai keterampilan merancang program sosial dan bagaimana mengoperasikan monitoring dan evaluasi untuk mengukur pencapa-ian program.

Ketua pelaksana SPEKTRA, Rifa Mulyawan, me-maparkan bahwa kegiatan ini dilatarbelakangi oleh besarnya niat dan kepedulian mahasiswa terhadap realita sosial yang menimpa bangsa Indonesia. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya program dan aksi sosial mahasiswa. Namun, tidak semua program tersebut berjalan efektif dan tepat sasaran. Masih menurutnya, output yang kurang jelas ini seringkali disebabkan oleh kurangnya keterampilan pelaksana

program dalam mengelola program. Hal inilah yang mendorong Departeman Sosial dan Lingkungan BEM FISIP UI mengadakan seminar pelatihan ini.

Pada hari pertama dilakukan reintroduksi terha-dap konsep-konsep intervensi terencana (social in-tervention) dan menyusun rencana program dengan teknologi LFA (Logical Framework Approach), yang menjadi standar perencanaan dalam berbagai Inter-national NGO’s. Dalam sesi ini peserta diajak untuk memahami bagaimana merancang program melalui simulasi kelompok. Di hari kedua peserta diajak un-tuk menyadari pentingnya monitoring dan evaluasi dalam sebuah program, kemudian peserta kembali melakukan praktek dengan simulasi teknik monitor-ing dan evaluasi program. Sebagai tambahan dalam kegiatan ini juga dibahas mengenai teknik penda-naan (fundrising), yang selama ini banyak menjadi hambatan dalam keberlangsungan program sosial.

Kegiatan yang dihadiri mahasiswa S1 dan S2 ini berlangsung fun karena banyak diselingi dengan ice-breaking dan games untuk menganalogikan materi sehingga pembelajaran dan diskusi menjadi lebih hidup.

Salah satu peserta terbaik, Yudhi, Antropologi ’07, menyatakan bahwa acara ini sangat menarik dan berguna, “keterampilan manajemen seperti ini dapat menjembatani teori sosial yang dipelajari dalam kelas dan realitas yang ada di masyarakat”. Ia juga berharap kegiatan ini dilakukan rutin se-hingga dapat diaplikasikan dalam organisasi dan bermanfaat bagi masyarakat.

DINAR RAHMI

5� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

SPEKTRA: Pembekalan Mahasiswa Merancang Kegiatan Sosial

liputan

Page 57: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

REfoRmasi TElah mEmasuKi saTu dEKadE.

baNyaK pENdapaT daN opiNi bERagam

TENTaNg saNg REfoRmasi. lalu, apa

KaTa CIVITAS AKADEMIKA TENTaNg hal iNi?

mereka BiCara semanGat reformasi

ADE/SUMA

Page 58: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Muhammad Sina A.

Ketua DPC GMNI UI, Mahasiswa FE UI 2004

“Mahasiswa sekarang bisa dibilang apatis semua. Mereka juga kurang jelas ke kampus tuh ngapain. Aktif ngga, belajar doang juga ngga. Hal itu dikare-nakan makin banyaknya orang yang lebih fokus ke kegiatan kepanitiaan, dibanding organisasi eks-tra kampus atau organ-isasi intra kampus. Makin jarangnya orang yang ikut organisasi semacam GMNI atau sebagainya. Kita emang ga menjan-jikan hal yang material, cuma menawarkan ide-ologi dan visi untuk keber-hasilan Indonesia. Namun, alangkah cantiknya apabi-la kita sebagai mahasiswa dapat menyatukan lang-kah dan visi untuk mema-jukan Indonesia. Apalagi dibilang kan semangat reformasi itu adalah semangat perubahan”

Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, SH.,MHDosen Hukum Administrasi Negara dan MKDNFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia

”Pasca reformasi, sebenarnya tugas mahasiswa belum selesai. Maha-siswa masih harus terus berjuang untuk mengisi dan mengawal re-formasi. Starting point yang telah dibangun oleh mahasiswa 1998 ha-rus diteruskan perjuangannya oleh mahasiswa penerusnya, semangat ini tidak boleh berhenti hanya pada tumbangnya orde baru tetapi harus terus dirasuki untuk mengawal dan mengisi reformasi. Namun kelihatannya mahasiswa sekarang seolah-olah telah kehilangan roh, vitalitas dan semangatnya untuk

mengisi dan mengawal reformasi. Mahasiswa seolah-olah telah kehi-langan arah dalam menyikapi refor-masi ini. Kecenderungannya adalah sudah tidak adanya persatuan lagi di antara komponen-komponen mahasiswa. Di mana gerakan ma-hasiswa telah kehilangan vitalitas perjuangannya akibat terjadi frag-mentasi (perpecahan) intern dalam gerakan mahasiswa yang didorong oleh adanya perbedaan prinsip ideologi yang menancap pada sekelompok mahasiswa yang con-dong mengarah pada “perbedaan Idealisme” sehingga mengerucut menjadi perpecahan dalam perge-rakan. Hal lain yang meyebabkan kendornya semangat mahasiswa saat ini adalah munculnya sepa-ratisme di kalangan pergerakan mahasiswa yang cenderung oportunitis, tidak independen dan didorong/ditunggangi oleh kelom-pok-kelompok tertentu di luar ma-hasiswa yang memiliki target-target tertentu pula. Selain itu, peran ma-hasiswa sebagai agen perubahan (agent of change), kekuatan moral (moral force) dan perangkat keras (iron stock) suatu bangsa disikapi apatis oleh kebanyakkan maha-siswa. Sehingga membuat gerakan mahasiswa menjadi mlempem kehilangan roh dan mengalami dekadensi eksistensi di tengah masyarakat”

56 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

kampus

mereka BiCara SEMANGAT REFORMASI

IST

IME

WA

Page 59: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

“Semangat reformasi saat ini tidak seperti dulu lagi di mana nampaknya isu mengenai reformasi gaungnya tidak sekeras lagi. Hal ini dianggap wajar karena semangat reformasi lebih mudah dihayati oleh orang-orang yang dekat dengan kejadian itu. Lagipula, tidak semua pihak dapat memberikan arti ter-hadap reformasi itu sendiri. Yang dapat lebih memberikan arti pada reformasi itu sendiri adalah pihak-pihak yang terkait lang-sung dengan dampak reformasi itu sendiri. Selain itu, emosi yang dulu menyertai semangat reformasi saat ini juga semakin menurun, semakin berat pula orang mengisinya. Makin berat beban masyarakat untuk memberikan arti. Lagipula sudah ti-dak adanya agenda besar yang harus diperjuangkan lagi. Tun-tutan reformasi pun sudah hampir semuanya terwujud. Karena sudah tidak adanya agenda besar yang menjadi prioritas, saat ini nampaknya yang terjadi adalah kecenderungan mahasiswa lebih memperjuangkan reformasi yang sifatnya mengerucut pada suatu bidang atau parsial. Contohnya: ada mahasiswa yang menyoroti UU Lingkungan Hidup, ada mahasiswa yang menyoroti UU anti pornografi”

“Kita tidak bisa memahami kondisi semanagat reformasi mahasiswa saat kini, kalo kita tidak memahami kondisi se-mangat reformasi di awal-awal momentumnya. Dan Rasanya

agak kurang bijak menilai ses-uatu yang kita tidak hidup di zamannya. Apalagi kalau harus dibandingkan dengan zaman di mana kita hidup yang terlampau jauh dengan zaman tersebut. Tentunya ada perubahan yang terjadi. Karena kita tidak benar-benar hidup di zaman itu. Dan jelas ini ada perbedaannya antara orang yang merasakan atau hidup di zamannya dengan yang tidak. Sehingga apa yang didefinisikan” baik” pada zaman dulu belum tentu relevan atau

”baik” untuk dilakukan sekarang. Begitupun dengan reformasi.

Sebagai contoh, definisi aplikasi istilah militansi mahasiswa di zaman waktu hangat-hangatnya reformasi tentu berbeda relevan-sinya dengan kini. Juga dengan ’semangat reformasi”, tentu ben-tuk aplikasinya berbeda kemarin dan kini. Oleh karena itu, bentuk perbandingannya harus dengan sebuah nilai meskipun bentuk dan definisi aplikasi nilai terse-but berbeda mengikuti zaman-nya. Saya fikir untuk pertanyaan ini telah terjawab di pertanyaan awal.“

Prof. Adrianus Meliala, M.Si, M.Sc, Ph.DDosen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia

Ahmad Fahrozy Ketua Salam UI

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 57

kampus

TITAH.SUMA

DOK.PRIBADI

Page 60: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Harry Setyono

Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa UI

“Menurut saya, setelah refor-masi sudah ada beberapa hal yang tercapai. Hal yang sudah dicapai misal-nya kebebasan berserikat dan berkumpul. Hal ini belum bisa kita dapat-kan di masa pra-reformasi. Selain itu, kita juga bisa lebih bebas dalam mengemukakan pendapat. Namun, ada hal yang belum berhasil dicapai seperti kes-ejahteraan dan pendidikan yang kondisinya masih jauh dari harapan. Dalam memaknai reformasi,

mahasiswa sebaiknya kita jangan sampai terbius dengan masa lalu. Kita sebagai mahasiswa harus mencari cara-cara untuk mewujudkan kesejahter-aan bangsa ini. Kita harus menggunakan hal-hal atau cara yang sesuai. Jika diliat dari gerakan ma-hasiswa di tingkat Universitas Indonesia, gerakan mahasiswa seperti Konvensi Gerakan Se-UI ini sudah baik. Selama ini isu yang dibawa keluar si-fatnya turunan, misalnya dari BEM tetapi tahun ini sangat luar biasa. Karena sebelum memunculkan isu dan gerakan, kita membicarakan isu tersebut terlebih dahulu. Contohnya adalah Tugu Rakyat yang menjadi buah pikiran mahasiswa bersama. Untuk menyikapi reformasi, dari DPM sendiri seb-agai badan legislatif, kita membuat peraturan yang mengatur lembaga di UI. Kita juga sudah me- lantik badan audit mahasiswa untuk transpa- ransi lembaga. Penataan-penataan di dalam juga kita lakukan. Selain itu, sebaiknya mahasiswa tidak boleh lupa kenapa kita kuliah. Apapun yang kita lakukan, lakukanlah untuk bangsa karena kon-tribusi kita kepada rakyat sangat ditunggu. Mari kita sama-sama berjuang untuk bangsa di mana-pun kita berada.”

M. Faisal

Ketua KSM Eka Prasetya UI

“Sepuluh tahun reformasi telah menciptakan demokrasi prose-dural. Apapun yang dijalankan sekarang semua berdasarkan demokrasi, seperti pemilu dan pilkada. Namun, semua hal ini hanya terbatas pada demokrasi politik, bukan demokrasi kerak- yatan. Padahal demokrasi kerak- yatan ini yang sekarang ini san-gat dibutuhkan mengingat de-mokrasi prosedural atau politik yang selama ini dijalankan su-dah menghasilkan banyak dana dan tidak efektif. Saya kurang setuju de- ngan gerakan mahasiswa sekarang ini, seperti misalnya gerakan aksi demo ke Istana Negara beberapa hari yang lalu

yang melibatkan sekitar 5000 mahasiswa UI. Aksi tersebut hanya sebatas mobi- lisasi tanpa memikirkan isunya secara menyeluruh dan mem-berikan solusi yang nyata. Saya lebih suka kepada mahasiswa yang tanpa banyak bicara ma-salah politik tetapi memberi kontribusi bagi Indonesia sesuai dengan keahlian dan ilmu yang ia miliki.Saya percaya bahwa gerakan kebangkitan nasional dahulu bangkit dari grup diskusi dan pers di mana ide bisa dibangun dan diungkapkan. Oleh karena itu, saya dan organisasi yang saya pimpin (KSM) mencoba untuk melakukan diskusi dan edukasi di daerah Sukabumi, Jawa Barat, untuk mentransfer ilmu ke masyarakat dengan bekerja sama dengan LSM.

Dalam menyikapi sepuluh tahun reformasi, sebaiknya maha-siswa bersikap lebih konkrit lagi. Jangan hanya ngomong doang karena sekarang kita sudah bisa mendapatkan apa yang tidak bisa kita dapatkan dulu. Seka-rang kita sudah bebas ngomong dan menulis untuk melakukan aksi yang konkrit tadi.”

58 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

kampus

DOK.PRIBADI

DOK.PRIBADI

Page 61: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Nichi

Mahasiswa Fakultas Kedokteran UI 2007

“Saat ini mahasiswa punya pendapat berbeda-beda tentang reformasi, ada yang cuek banget, ada pula yang masih sema- ngat. Yang pasti, menurut gue saat ini mahasiswa lebih banyak mengeluh dan protes namun belum mampu menun-jukkan bukti yang nyata untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Zaman reformasi dulu mungkin lebih semangat dan kritis. Saat ini udah jauh luntur, apalagi bagi yang kurang bisa memahami penderitaan rakyat. Banyak orang atau ma-hasiswa yang nganggep kalau orang lain pada kesusahan itu karena nasibnya aja yang jelek. Tapi gue juga ngeliat banyak teman-teman yang “menyalurkan” semangat reformasinya dengan cara yang lebih bagus, emang sih ngga dengan demo semata, lebih ke bentuk pengabdian masyarakat”

Akhmad BasoriMahasiswa FE UI, Ilmu Ekonomi Angkatan 2004

”Kebebasan berpendapat sudah didapat dari reformasi. Tapi kebe-basan dari kemiskinan belum juga direalisasikan. Kenaikan harga barang dan KKN masih setengah hati dituntaskan. Agenda refor-masi harus pula didukung kepe-mimpinan yang kuat pula. Ma-hasiswa yang tidak ingin terbuai heroisme 98, harus mengawal re-formasi baik orang dan sekaligus sistemnya. Reformasi yang telah dilahirkan kaum muda harus pula dituntaskan pula oleh pemuda. Jika reformasi gagal pemuda ju-galah yang gagal”

Adit

Mahasiswa FT UI, Teknik Industri Angkatan 2006

”Reformasi membawa perubahan terutama dalam kebebasan informasi. Karena lebih baik dari masa pra reformasi, sebe-lum 1998. Tapi, untuk bidang yang lain, sepertinya tetap jalan di tempat. Contohnya aset-aset bangsa di klaim oleh negara lain, banyak masyarakat kekurangan pangan dan beberapa kasus seperti tak berujung. Contohnya Lapindo. Semangat reformasi di mahasiswa jelas masih ada. Tapi yang kurang adalah bargaining power dari mahassiwa terhadap pemer-intah. Selain itu pergerakan mahasiswa juga sangat terpaku momentum. Jadi ketika seperti sekarang ada 10 tahun refor-masi langsung mahasiswa sigap semua”

Ghali MAPALA UI angkatan BKP’07

Kalau dilihat secara historis, keadaan gerakan mahasiswa sekarang agak berkurang karena pe-micunya kurang, jadi gerakan kolektifnya menu-run. Sekarang kurang ada yang mengajak dan mewadahi. Konsepnya hanya masing-masing saja, tanpa adanya konsep kolektif. Sebagian sibuk dengan kuliahnya, dan banyak masalah se-cara pribadi. Mereka mempengaruhi pemerintah dengan hanya aksi saja, tanpa kontrak perjanjian. Seperti kemarin ada 7 tuntutan rakyat dengan Amien Rais tapi itu pengaruhnya kecil. Polanya sama. Tidak ada aksi lebih lanjut seperti turun ke

media. Jangan cuma lihat satu fakta saja seperti kenaikan BBM. Aspek lain juga harus dilihat.Di Mapala sendiri, caranya beda. Kita lang- sung ke daerah, lihat sendiri kondisi mereka, dan ikut merasakan makna yang ada disana. Misal-nya waktu ke Ponorogo, lihat kondisi mereka. Li-hat pendidikan mereka, kondisi ekonomi mereka. Di sana, para perempuan remaja itu kebanyakan jadi TKW (Tenaga Kerja Wanita,-red) di luar ne-geri, untuk membantu perekonomian. Lalu, kita melaporkan perjalanan kita berupa tulisan.Untuk teman-teman mahasiswa, tetap semangat. Jangan bosan mencari celah untuk mempenga-ruhi kebijakan pemerintah, demi kita semua.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 59

kampus

SEFTI/SUMA

Page 62: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Reformasi ternyata tidak menjadikan Indonesia ke arah yang lebih baik. Dari hasil survei

68% mahasiswa menjawab tidak. Hasil ini menunjukkan sebagian besar responden benar-benar melihat dan merasakan bahwa semenjak gerakan reformasi pada tahun1998, negeri ini be-lum ada perbaikan yang berarti untuk menjadi Indonesia yang lebih baik dalam kehidupannya. Sementara 24% responden menganggap bahwa Indonesia sudah berjalan ke arah yang lebih baik dan hanya 8% responden yang menjawab tidak tahu.

Banyaknya mahasiswa yang beropini bahwa kondisi Indo-nesia tidak berjalan ke arah yang lebih baik, mungkin di-karenakan kinerja pemerintah yang tidak memuaskan. Ini tercermin dari 48% mahasiswa yang berpendapat bahwa agenda pemberantasan korupsi pada pe-merintahan SBY tidak terlaksa-na. Sedangkan mahasiswa yang berpendapat agenda korupsi ter-sebut terlaksana sebanyak 43%. Sisanya, 9% yang menjawab tidak tahu. Asumsi yang terjadi mengapa angka 43% dan 48% begitu cukup dekat, hal ini bisa terlihat dari kegencaran KPK

selama ini dalam menjaring para koruptor namun di sisi lain tebang pilih masih saja terjadi, belum lagi kasus-kasus korupsi kecil di berbagai instansi yang tak tersentuh. Hal-hal tersebut-lah yang bisa membuat keraguan responden apakah akan memilih ya atau tidak. Faktanya, seba-gian besar responden tetap ber-pendapat agenda pemberantasan korupsi tidak terlaksana.

Untuk masalah pendidikan sebagai hak manusia Indonesia, mahasiswa bersepakat bahwa kinerja pemerintah tidak me-muaskan. Ini terlihat dari hasil survey tentang implementasi penggunaan dana APBN untuk pendidikan. 85% mahasiswa menjawab tidak sesuai, 11% menjawab tidak tahu, dan han-ya 4% yang menjawab sesuai. Untuk masalah ini, mahasiswa merupakan yang ikut merasakan langsung implementasinya. Jangankan implementasi peng-gunaan, anggaran pendidikan negeri ini yang seharusnya 20% dari APBN sampai saat ini pun belum terlaksana.

Cermin ketiga adalah opini mengenai pemerataan ekonomi di Indonesia selama periode pemerintahan 2004-2009 sudah baik serta adil dan merata. 88% mahasiswa menjawab tidak.

Sisanya, 9% menjawab tidak tahu dan hanya 3% mahasiswa yang beranggapan bahwa pe-merataan ekonomi sudah baik serta adil dan merata. Hasil ini menunjukkan cita-cita untuk mencapai mas- yarakat yang adil dan makmur tampaknya masih dalam perja-lanan panjang. Kemiskinan dan pengangguran yang masih ba-nyak di berbagai pelosok negeri mencerminkan kesejahteraan ra-kyat belum merata. Inilah yang perlu diperhatikan pemerintah dalam membuat cita-cita refor-masi benar-benar terlaksana se-hingga kesejahteraan akan selalu menyertai negeri ini.

Kebijakan pemerintah ten-tang konversi minyak tanah ke gas ditanggapi dengan perpe-cahan suara oleh mahasiswa. Setidaknya, 42% mahasiswa menganggap kebijakan tersebut tidak merupakan hal yang baik bagi rakyat. Lebih sedikit dari itu, sebanyak 45% menganggap kebijakan itu baik, dan sisanya 13% menjawab tidak tahu. Ke-langkaan gas elpiji serta antrian panjang yang melelahkan rakyat di daerah-daerah bisa menjadi alasan mengapa 42% responden menjawab kebijakan konversi minyak tanah tidak baik bagi rakyat.

60 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

MAHASISWA UI: “reformasi saLaH araH”

Momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional,10 Tahun Reformasi, dan mungkin juga bisa ditambahkan 10 Windu Sumpah Pemuda, merupakan momen yang tidak akan pernah terulang. Kesalahan besar terjadi jika momen yang ada kemudian hanya diisi dengan selebrasi yang kadang mengaburkan makna sebenarnya. Di sinilah di mana kita ternyata harus mengevaluasi agar kita memaknai dengan tepat, makna momen itu sendiri. Suara Mahasiswa UI telah melakukan suatu riset yang melibatkan 808 mahasiswa yang tersebar di seluruh fakultas yang ada di UI, untuk meneliti sudut pandang mahasiswa melihat permasalahan dan arah perkembangan bangsa ini pasca 10 tahun reformasi dan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Simak bagaimana mereka memaknai momen ini.

riset kampus

Page 63: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

85%

4%

11%

48%

9%43%

7%

69%

9%2%

89%

45%

42%

13%

77%17%

6%

22% 61%

17%

46%

44%10%

76%

15% 9%

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 61

riset kampus

Page 64: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Apakah anda akan menggunakan hak pilih

Anda pada pemilu 2009?

Peranan mahasiswa sangat besar terhadap perubahan negeri ini, baik

pada masa kemerdekaan maupun refor-masi Indonesia.Signifikankah peranan mahasiswa pada lima tahun terakhir?

60%

14%26%

Jajak pendapat dilakukan tanggal 7-11 April 2008 pada 808

mahasiswa yang tersebar di 12 fakultas di Universitas

Indonesia. Jumlah sampling telah disesuaikan dengan

populasi setiap fakultas, dengan tingkat kepercayaan 95%.

Hasil jajak pendapat ini bukan pendapat seluruh mahasiswa

Universitas Indonesia.

Melihat daerah menjadi maju sepertinya merupakan hal yang diinginkan bagi sebagain besar responden. 61% mahasis-wa setuju kalau Pajak Bumi dan Bangunan disetorkan ke Pemda dan dikelola di sana. Tentunya jika hal ini terjadi maka APBD akan naik dan memungkinkan adanya perbaikan ekonomi di daerah yang berdampak pada kemajuan daerah tersebut. 22% menjawab tidak setuju dengan wacana tersebut, serta sedikit dibawahnya, 17% menjawab tidak tahu.

Tayangan yang tidak mendi-dik juga menjadi permasalahan yang tiada habisnya karena ini menyangkut moral dan generasi penerus bangsa. Hasil survei tentang langkah apa yang seha-rusnya dilakukan pemerintah terhadap tayangan yang tidak mendidik di televisi Indonesia memperlihatkan bahwa 46% mahasiswa lebih memilih mela-kukan pengaturan jam tayang acara dewasa dan semua umur, 44% mahasiswa lebih memilih melakukan sensor pada ke-seluruhan materi iklan & film, dan yang memilih langkah membatasi waktu siaran televisi sebanyak 10%.

Bukan hanya tayangan yang tidak mendidik, tayangan yang berbau SARA pun sempat hadir di Indonesia. Film pendek yang berjudul “Fitna” yang dibuat

politikus Belanda ini dianggap mencemari salah satu agama dengan penganut terbesar di Indonesia. Survei yang dilaku-kan terkait hal itu adalah sikap apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah. Sebanyak 76% ma-hasiswa memilih sikap pemerin-tah untuk meminta politikus tersebut diproses secara hukum negeri Belanda maupun interna-sional. 15% lebih memilih agar pemerintah tidak ikut campur dengan permasalahan tersebut, dan 9% memilih memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda.

Terkait kasus korupsi terhadap mantan Presiden So-eharto yang sekarang sudah almarhum, wacana melanjutkan proses kasus tersebut masih saja terdengar. Hasil survei terhadap kelanjutan kasus ini menunjuk-kan 77% mahasiswa memilih kasus tersebut tetap dilanjutkan, 17% memilih tidak dilanjutkan, dan sisanya 6% menjawab tidak tahu. Hasil ini menyimpulkan bahwa memang sebagian besar responden ingin agar kasus yang melibatkan uang negara yang tidak sedikit ini harus tetap di-lanjutkan.

Pemilu 2009 sebentar lagi. Tentunya ini merupakan ajang perwujudan demokrasi yang baik bagi rakyat Indonesia, apa-lagi mahasiswa. Oleh karena itu, dari hasil survei terlihat 82%

mahasiswa ingin menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2009. Sedangkan 8% mahasiswa men-jawab tidak dan mahasiswa yang menjawab tidak tahu sebanyak 10%. Kita tunggu saja pemilu 2009 akan seperti apa, apakah mahasiswa yang biasanya diang-gap sebagai posko golput akan memilih? Menarik juga menanti calon presidennya siapa saja nantinya.

Reformasi yang dicetuskan tahun 1998 silam memang tidak terlepas dari peran ma-hasiswa. Gerakan mahasiswa Indonesia yang besar pada saat itu telah membawa perubahan yang berarti. Namun, 5 tahun belakangan ini gaung-gaung akan peranan mahasiswa yang diharapkan sudah semakin tidak tampak. Setidaknya itu yang terasa bagi 60% responden yang berpendapat bahwa pera-nan mahasiswa dalam 5 tahun terakhir ini tidak signifikan. Sementara itu terdapat 26% responden yang beranggapan bahwa peranan mahasiswa tetap signifikan, dan sisanya 14% responden menjawab tidak tahu. Dari hasil survei tersebut seha-rusnya bisa membuat mahasiswa semakin tersadarkan untuk kembali meluruskan dan mem-perjuangkan cita-cita reformasi demi keadilan dan kemakmuran negeri ini.

FAISHAL & SARAH

81%

11%8%

6� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

riset kampus

Page 65: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Mendengar nama Arief Rachman, pasti akan langsung meng-

ingatkan pembaca kepada sosok mantan kepala SMU Labschool yang kini sibuk menjalani salah satu aktivitasnya sebagai seorang dosen di Universitas Negeri Ja-karta dan Universitas Indonesia. Bapak tiga orang anak ini dikenal luas oleh publik lantaran kepedu-liannya yang amat besar dalam bidang pendidikan yang banyak diekspos oleh media massa.

Di sela-sela kesibukannya untuk mempersiapkan hari Pendi-dikan Nasional, Pak Arief meny-empatkan diri untuk diwawancara oleh reporter SUMA, Ni Made Kumara Santi Dewi, via telepon. Berikut petikannya.

Menurut Bapak setelah 10 tahun berjalan pasca reformasi, apa Bapak melihat ada yang berubah dari sistem pendidikan kita?

Kita sudah mempunyai UU Pendidikan, kita juga sudah mem-punyai UU Guru dan Dosen jadi saya pikir secara hukum itu sudah banyak yang dimiliki oleh sistem pendidikan kita. Kita juga sudah mempunyai beberapa standar seperti standar isi, standar proses, standar fasilitas, standar tenaga kependidikan dan lain-lain.

Untuk lingkup yang lebih luas, pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal, bagaimana seharusnya arah dan tujuan pendidikan di negara kita untuk

mengejar ketertinggalan ini?Saya pikir tataran pelaksa-

naannya yang harus dicermati. Pertama, konsistensi terhadap tujuan pendidikan itu harus di-kawal jangan sampai pelaksanaan pendidikan menyimpang dari tujuan pendidikan itu sendiri. Pada pelaksanaannya poin yang seharusnya dititikberatkan ke-pada penguasaan kognitif, afektif, dan psikomotorik kelihatannya agak tertinggal. Yang kedua, di dalam pembinaan mutu guru saya anggap universitas sep-erti yang dahulu namanya IKIP, UNJ, dll harus mendapatkan perhatian yang jauh lebih dalam dan luas sehingga mereka yang lulus jadi guru betul-betul bisa mengantarkan anak-anak kita kepada kesiapannya menghadapi tantangan-tantangan di masa depan. Jika menyangkut masalah fasilitas seyogyanya tanpa ragu sekolah swasta, sekolah yang di kota maupun di daerah harus ada pemerataan yang jauh lebih bagus sehingga proses belajar mengajar hendaknya lebih menyenangkan. Hendaknya pendekatan yang di-lakukan jangan terlalu ditekankan pada kekuatan belahan otak kiri. Belahan otak kanan juga harus cukup dirangsang sehingga anak-anak kita menjadi anak-anak yang kreatif dan imajinatif yang tidak hanya pandai menghafal saja.

Bagaimana tanggapan Bapak mengenai buruknya fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung

Nama Prof. DR. H. Arief Rachman, M.Pd

TTL Malang, 19 Juni 1942

Pendidikan- IKIP Jakarta, Sarjana, 1970, - Victoria University, N. Z, 1965- Tavistock House, London, 1975- R. E. L. C Singapore, 1982- Pasca Sarjana IKIP Jakarta

(UNJ), 1984- Doktor Pendidikan IKIP Jakarta

(UNJ), 1997Tanggung Jawab

- Dosen Jur. Bahasa Inggris, Fak. Pendidikan Bahasa dan Sastra UNJ, 1964 - sekarang

- Dosen Luar Biasa, Fakultas Psikologi UI, 1979 - sekarang

- Ketua Harian Nasional Indonesia untuk UNESCO, 2001 - sekarang

- Board Executive UNESCO Paris, 2003 - sekarang

- Anggota Tim Penanggulangan Masalah Penyalahgunaan Narkotik dan Zat Adiktif, Wilayah DKI Jaya, 1982 - sekarang

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 63

PROF. DR. H. ARIEF RACHMAN, M.PD:“CERMATI LAGI TATARAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA”

DOK.PRIBADI

bidang pendidikan

Page 66: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

jawab pemerintah?Tanggung jawab pembangu-

nan pendidikan tidak boleh hanya diserahkan kepada pemerintah saja, masyarakat juga mempunyai tanggung jawab yang kuat dan mengerti akan tanggung jawab yang baik. Saya lihat masyarakat itu terlalu menggantungkan sega-la sesuatunya kepada pemerintah dan saya kira ini keliru. Masyara-kat pun mempunyai tanggung jawab yang cukup berarti sehing-ga tidak ada SD, SMP, SMA atau SMK yang pembangunannya kurang bisa dipakai untuk proses pendidikan. Jadi pada intinya tidak boleh segala sesuatunya itu menyandarkan kepada pemerin-tah.

Ada wacana kebijakan bahwa beberapa mata pelajaran seperti PPKN dan Sejarah akan diha-puskan. Apa pendapat Bapak mengenai hal ini?

Saya tidak mau memberikan komentar sebab mata pelajaran tersebut belum dihapuskan. Be-lum ada peraturannya juga. Ya, kita lihat saja dulu. Tapi saya anggap semua mata pelajaran itu perlu dimiliki oleh anak-anak tetapi tidak semua mata pelajaran itu harus dikuasai supaya mereka juga bisa lebih konsentrasi pada mata pelajaran-mata pelajaran yang bisa mengantarkan dia men-jadi anak yang berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, cerdas, ber-tanggung jawab, dan demokratis.

Apa tanggapan Bapak mengenai Ujian Akhir Nasional (UAN) yang beberapa waktu yang lalu diadakan? Apakah memang layak hasil belajar siswa selama tiga tahun kemudian ditentu-kan dalam sebuah ujian yang berlangsung hanya dalam waktu tiga hari dan tiap tahun nilai standarnya pun selalu berubah menjadi lebih tinggi?

Ujian itu harus ada. Tidak boleh ada suatu sistem proses be-lajar mengajar yang ujungnya itu tidak ada suatu evaluasi. Evaluasi itu sangat penting dan harus ada namun pelaksanaannya mungkin harus disempurnakan oleh yang sekarang ini. Saya melihat UAN yang sekarang dilaksanakan lebih sebagai suatu pemetaan bukan se-bagai suatu ujian. Yang namanya pemetaan dapat berakibat lulus tidak lulus sedangkan yang dina-makan ujian itu harus menguji anak mengenai apa yang telah pe-lajari dan bagaimana apa adanya dia, bukan bagaimana seharusnya anak itu Selanjutnya tentang standar mutlak yang dipakai un-tuk menentukan kelulusan boleh dikatakan itu belum memenuhi standar evaluasi suatu ujian. Untuk suatu ujian yang harus diperhatikan bukan tanda mutlak tetapi kekuatan daerah itu masing-masing dan juga harus memper-hitugkan simpangan baku dari se-tiap siswa. Lalu keputusan men-genai kelulusan biar bagaimana pun itu semua ada di tangan para guru dan kepala sekolah masing-masing sebab mereka jauh lebih mengerti dengan proses belajar mengajar selama 3 tahun yang akan menjadi suatu hitungan untuk menentukan apakah siswa tersebut lulus atau tidak lulus.

Apakah adil jika memberlaku-kan standar kelulusan secara nasional di seluruh Indonesia dengan fasilitas, mutu guru, dan manajemen sekolah yang ber-beda pula?

Tidak

Berarti jika demikian setiap daerah boleh memiliki standar khusus kelulusan?

Boleh memakai yang sekarang ini. Tetapi rumus kelulusannya seperti yang tadi saya anjurkan. Rata-rata

daerah itu harus diperhitungkan.

Menurut Bapak, apakah Kuri-kulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang digunakan saat ini memang merupakan kurikulum yang lebih tepat diterapkan jika dibandingkan dengan kuriku-lum 1994?

Kurikulum itu adalah isi ma-teri pelajaran. Kurikulum apa pun yang diterapkan itu tidak dapat dijadikan indikator keberhasilan dari pembangunan suatu pendi-dikan. Yang sangat menentukan bukan kurikulumnya tetapi proses belajar mengajarnya terhadap kurikulum yang diberikan itu. Jadi itu yang harus ditingkatkan.

Apa kesejahteraan para guru dapat dijadikan indikator dalam pembangunan pendidikan di negara kita?

Ya, tidak. Kesejahteraan guru itu hanya salah satu yang bisa membantu proses belajar-men-gajar yang lebih baik. Jadi dia tidak menjadi satu syarat yang menentukan tetapi kesejahteraan guru memang penting. Guru kita itu tidak boleh tidak dihargai. Jangan malah dianggap lebih ren-dah daripada pekerjaan lain yang tidak memakai kecanggihan dan keunggulan otak manusia sebab kita itu bukan hanya mengajar tapi juga harus mendidik.

Apa perbedaan antara mengajar dan mendidik?

Mengajar hanya memberikan materi,sedangkan yang dina-makan mendidik itu lebih kepada pembentukan sikap.

Apa harapan Bapak terhadap pendidikan di negara kita?

Ya, harapan saya konsisten saja kepada UU Pendidikan yang ada di dalam UUD’45.DIAH S, AISYAH I, & SANTI

6� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008 RIZKI/SUMA

bidang pendidikan

Page 67: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Saat ini marak sekali di-beritakan mengenai ma-halnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia, be-

berapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sudah menyandang status Badan Hukum Milik Neg-ara (BHMN) seakan-akan saling berlomba-lomba untuk untuk menetapkan “tariff ” biaya bagi calon mahasiswa baru yang ber-niat untuk masuk ke dalam PTN yang bersangkutan¹. Fenomena ini membuat shock masyarakat Indonesia karena pada situasi saat ini mereka sedang dihadapkan kepada sulitnya kondisi pereko-nomian, dengan kata lain bagi sebagian besar rakyat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, dalam hal pan-gan, sandang, dan papan sudah berat apalagi jika ditambah untuk memikirkan biaya-biaya yang lainnya seperti biaya pendidikan, tentu akan semakin menambah berat beban yang diderita ma-syarakat.

Dalam konsepsi kenegaraan

di Republik Indonesia secara yuridis pendidikan pada dasarnya adalah hak dari setiap warga negara, hal ini tercermin dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 Hasil Amandemen, yang berbu-nyi ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan tang-gung jawab penyelenggaraannya ada di pundak pemerintah seb-agaimana disebutkan di dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 Hasil Amandemen, ”Pemerintah mengusahakan dan menyeleng-garakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-un-dang.” Demikian halnya dalam tanggung jawab pendanaan adalah juga merupakan tang-gung jawab konstitusi dari negara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai”; dan (4) “Negara

memprioritaskan anggaran pen-didikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk me-menuhi kebutuhan penyeleng-garaan pendidikan nasional”. Ini menunjukkan terdapat kesadaran bahwa pendidikan merupakan salah satu tugas dari negara yang harus diwujudkan secara konkrit dalam bentuk pelayanan publik (public sevice) kepada rakyat untuk memenuhinya.

Secara filosofis apabila kita telaah dalam pembukaan UUD Tahun 1945 salah satu tujuan diadakannya negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, artinya pendidikan adalah salah satu domain penting negara. Se-dangkan secara sosiologis saat ini dalam konteks pendidikan tinggi negeri yang berstatus BHMN seakan-akan mengarah kepada perlombaan untuk menaikkan

”tarif” biaya kuliah. Ternyata kon-sepsi yang ideal mengenai pendi-dikan sebagai salah satu bentuk pelayanan publik jika dilihat dari aspek yuridis dan filosofis pada saat ini apabila dihadapkan pada aspek sosiologis ternyata jauh panggang dari api.

Di lain pihak saudara kembar BHMN, yaitu wacana mengenai Badan Hukum Pendidikan seba-gai amanat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dipandang oleh peme- rintah saat ini sebagai obat mu-

Rimas KautsarMahasiswa FH UI angkatan 2003, mantan Ka.Dept. Kesejahteraan Mahasiswa BEM UI periode 2006-2007 dan Korbid. Kemahasiswaan BEM UI periode 2007. Penggiat Forum Lintas Batas.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 65

TARIK MENARIK KEPENTINGAN ANTARA PELAYANAN PUBLIK DAN PRIVATISASI

opini

TAQWA/SUMA

Page 68: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

jarab untuk mengatasi seluruh permasalahan pendidikan di Indonesia. UU Sisdiknas men-gamanatkan bahwa perguruan tinggi harus otonom, yang berarti mampu mengelola secara mandiri lemba-ganya serta dapat menge-lola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan sekolah/madrasah harus dikelola dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/ma-drasah, yang berarti otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan².

Antara status Badan Hukum Milik Negara dengan Badan Hukum Pendidikan memiliki benang merah, keduanya sama-sama mengarah kepada privati-sasi. Meskipun istilah privatisasi di Indonesia masih sebatas dike-nal di dalam bidang pengelolaan BUMN namun secara esensi menurut John. D. Donahue, ia menyimpulkan bahwa privatisasi sebagai pendelegasian kewajiban publik kepada organisasi swasta³ sedangkan di Amerika Serikat privatisasi diartikan sebagai minimalisasi peranan pemerin-tah dan maksimalisasi peranan sektor swasta, baik dalam ak-tivitas-aktivitas layanan publik maupun kepemilikan aset-aset-nya sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Safri Nugraha (Guru Besar HAN Fakultas Hukum UI) yang menyimpulkan pendapat dari E.S Savas⁴. Di Indonesia menurut Prof. Safri Nugraha menganut dua konsep privatisasi sekaligus yaitu konsep privatisasi Amerika (yang memfokuskan pada layan-an publik) dan konsep privatisasi Inggris (yang memfokuskan pada penjualan BUMN)⁵.

Apabila ditelaah BHMN dan BHP dapat dikategorikan seb-agai “organisasi swasta” karena adanya pemisahan entitas hukum antara negara dengan PTN Badan Hukum Milik Negara,

dengan statusnya sebagai badan hukum maka PTN bersifat san-gat otonom karena ia memiliki manajemen dan harta kekayaan yang terpisah dari negara. Bah-kan nuansa “organisasi swasta” (badan hu-

kum per-data/privat) dapat kita lihat dalam konsiderans mengingat PP No. 152 Tahun 2000 yang memasuk-kan Kitab Undang-Undang Hu-kum Perdata (Staatsblad 1847:23) sebagai salah satu konsiderannya. Meskipun sebagai pemilik dari badan hukum tersebut peranan negara hanya sebatas diwakili oleh Menteri Pendidikan yang menjadi anggota Majelis Wali Amanat (organ tertinggi PT BHMN-Pasal 12 PP No. 152 Tahun 2000⁶) dan memberikan kontribusi pendanaan, yang men-jadi salah satu sumber dari empat sumber pendanaan PT BHMN yang lainnya (Pasal 12 ayat (1) PP No. 152 Tahun 2000), selebihnya pemerintah lebih memposisikan diri sebagai regulator bukan operator. Jadi dengan adanya pe-

rubahan status hukum PTN yang tadinya merupakan bagian dari unit pemerintah menjadi entitas badan hukum tersendiri meru-pakan suatu bentuk privatisasi.

Di Inggris, menurut Heidi Abromeit terdapat dua motivasi

adanya privatisasi, yaitu: pengu-rangan peranan pemerintah

dan peningkatan peran pasar bebas di negara kesejahteraan (welfare state) Inggris (motif eko-nomi)⁷. Sedangkan di

Amerika Serikat motivasi tersebut menurut para ahli

disebabkan oleh adanya sentimen “anti negara” yang

dianggap gagal dalam mem-berikan pelayanan publik yang

berkualitas⁸. Kemudian untuk negara-negara berkembang mo-tivasi adanya privatisasi menurut Prof. Safri Nugraha adalah karena mereka ingin mencon-toh keberhasilan negara-negara Eropa Barat dalam melaksanakan privatisasi di kawasan tersebut⁹. Indonesia sen- diri privatisasi menurut Prof. Safri Nugraha lebih dikarenakan ada- nya motif ekonomi, yang ia sim-pulkan dari pendapat Bacelius Ruru mengenai tiga motivasi uta-ma privatisasi di Indonesia yaitu: kondisi keuangan negara, pem-berlakuan kesepakatan perda-gangan bebas, dan peningkatan pengharapan dari masyarakat¹⁰.

Kemudian, apakah manfaat ideal dari privatisasi? Menurut Prof. Safri Nugraha ada lima manfaat dari adanya privatisasi¹¹:1. Mengurangi beban negara,

baik berupa pekerjaan, subsidi, kerugian, jaminan keuangan, dana investasi dan lain seba-gainya; serta berkurangnya intervensi pemerintah dalam pengelolaan BUMN.

2. Meningkatkan pendapatan negara; dari penjualan saham

66 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

opini

FAH

MI/S

UM

A

Page 69: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

BUMN, penjualan aset yang tidak produktif, perolehan pa-jak, dan lain sebagainya.

3. Peningkatan partisipasi swasta dalam pengelolaan public servi-ce dan BUMN.

4. Peningkatan kinerja BUMN dan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat (public service), dan pada akhir-nya menciptakan BUMN yang efisien, transparan dan meng-hasilkan laba yang signifikan.

5. Hapusnya monopoli yang di-miliki BUMN dan timbulnya kompetisi di pasar yang pada akhirnya akan menguntungkan konsumen karena memiliki ba- nyak pilihan dan harga yang bersaing dalam menentukan service dan product yang di-inginkannya.

Jika manfaat privatisasi sedemikian baik, lalu kenapa ter-jadi tren mahalnya biaya kuliah di PTN yang berstatus BHMN? Untuk menjawab hal ini ada bai-knya kita melihat pendapat Prof. Safri Nugraha juga menyebut-kan mengenai resiko privatisasi, yaitu¹²:1. Di berbagai negara, privatisasi

justru menciptakan kenaikan harga dari public service yang disediakan kepada masyarakat.

2. Di banyak negara, privatisasi ditentang oleh serikat buruh karena sering menciptakan PHK massal di BUMN yang diprivatisasi. Hal ini disebab-kan karena BUMN yang dip-rivatisasi harus efisien, dan ini berarti jumlah pekerja dalam BUMN tersebut harus dirasio-nalisasi.

3. Privatisasi sering diartikan se-bagai pesan sponsor dari peru- sahaan-perusahaan transnasio-nal (MNC) untuk memperluas jaringan bisnis mereka dan mengambil alih BUMN-BUMN yang ada.

4. Seringkali BUMN yang

diprivatisasi masih memiliki monopoli sehingga yang terjadi adalah pengalihan monopoli dari negara ke swasta.

5. Privatisasi sering diartikan sebagai komersialisasi public service karena di banyak negara, untuk menciptakan efisiensi di sektor public service, privatisasi mengenakan tarif atau biaya-biaya baru yang tidak dikenal pada saat public service tersebut dikelola oleh pemerintah.

Jadi tidaklah mengherankan akibat yang nyata dari privatisasi PTN adalah kenaikan biaya ku-liah karena hal tersebut adalah merupakan resiko dari adanya privatisasi.

Di sisi lain Prof. Safri Nu-graha¹³ juga memberikan catatan mengenai adanya privatisasi yang apabila kita cermati relevan de- ngan adanya peristiwa tranfor-masi hukum PTN yang sebelum-nya merupakan unit pelaksana peme- rintah menjadi BHMN atau BHP (nantinya), yaitu adanya transformasi hukum Perusa-haan Negara/Daerah menjadi Perseroan Terbatas (Terbuka) belum tentu menjamin pening-katan kinerja perusahaan yang bersangkutan menjadi lebih baik dan efisien dan transparan selama faktor-faktor lain yang menentukan keberhasilan pri-vatisasi tidak dilaksanakan, fak-tor-faktor tersebut adalah paling tidak empat syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu: deregulasi dan debirokratisasi; kompetisi; transparansi; dan no intervensi. Sayangnya sampai dengan saat ini dalam konteks PT BHMN hal tersebut masih belum terlak-sana sepenuhnya, sebagai contoh dalam hal transparansi saat ini belum pernah tersiar kabar kalau PT BHMN memberikan laporan keuangannya yang merupakan hasil audit (terpercaya) kepada

publik. Dengan demikian ti-daklah mengherankan jika apa yang terjadi terhadap kondisi PT BHMN adalah seperti yang kita lihat sekarang ini.

1 Biaya Masuk PTN Bisa Lebih dari Rp 100 Juta. Kompas edisi Senin 12 Mei 2008 hal. 1.

2 Kata Pengantar. http://pih.diknas.go.id/bhp/ , diakses pada tanggal 15 Mei 2008.

3 Safri Nugraha. Privatisasi Di Ber-bagai Negara: Pengantar Untuk Memahami Privatisasi. Hal. 10.

4 Ibid. Hal. 15.5 Ibid. Hal. 20.6 PP No. 152 Tahun 2000 Tentang

Penetapan Universitas Indonesia Sebagai Badan Hukum Milik Neg-ara. Pada saat ini selain UI, PTN yang sudah ditetapkan sebagai PT BHMN adalah UGM, ITB, IPB, dan UPI.

7 Safri Nugraha. Privatisasi Di Ber-bagai Negara: Pengantar Untuk Memahami Privatisasi. Hal. 30.

8 Menurut E.S Savas terdapat empat hal motif privatisasi di AS, yaitu motif pragmatis, ideology, komersial, dan populis, di mana keempat motif tersebut mengklaim bahwa pemerin-tah yang efisien dan efektiflah yang dapat kesis pada masa globalisasi sekarang ini, di sisi lain program-program pemerintah tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan yang layak masyarakat AS. Ibid Hal. 34-36.

9 Ibid. Hal. 26.10 Ibid. Hal. 41.11 Safri Nugraha. Beberapa Catatan

Tentang Privatisasi. Makalah pada Seminar Permasalahan Yuridis Penyediaan Tenaga Listrik di In-donesia yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UI, Depok, 15 September 2004. Hal. 5-6.

12 Ibid. Hal. 6.13 Safri Nugraha. Privatisasi BUMN/

BUMD, Manfaat dan Kerugian Bagi Daerah. Makalah pada Semi-nar Privatisasi: Sebuah Diskursus di Era Globalisasi, yang diselenggara-kan oleh Asian Labor Network on International Finance Institutions (ALNI) Indonesia, Jakarta, 20 Janu-ari 2003.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 67

opini

Page 70: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Selama lebih dari tiga puluh dua tahun, rezim Orba merepresi semangat indi-vidualisme dalam masyarakat

Indonesia. Atas nama negara (kolek-tivisme), negara berhak menyita ta-nah seseorang, mengusir penduduk di suatu tempat, dan mengambil lahan petani untuk kepentingan megaproyek. Hak invidualisme benar-benar dilanggar dengan sedemikian rupa pada era Orba.

Gelombang reformasi yang mulai berhembus dari tahun 1996 mulai menyuarakan ketertindasan hak-hak sipil politik (SIPOL) in-dividu yang pada era Orde Baru berada pada kondisi yang mempri-hatinkan. Fokus gerakan reformasi pada tahun 1998 masih sangat ken-tal dipengaruhi nuansa pembebasan hak-hak sipil politik yang selama ini dikekang oleh Orde Baru. Semua elemen masyarakat sepakat untuk merebut kembali demokrasi politik yang selama ini tidak pernah mereka dapatkan.

Namun banyak yang lupa bahwa hak sipil politik hanyalah salah satu hak warga negara yang mesti dipenuhi. Hak yang tak kalah pent-ingnya bagi masyarakat Indonesia tentunya adalah Hak ekonomi Sosial Budaya (EKOSOB.

Dua hak ini selalu berada dalam kondisi antinomi. Bila hak Sipil Politik adalah hak yang berakar dari individualisme, maka hak Ekosob adalah hak untuk yang berakar dari kolektivisme. Bila domain Sipol adalah domain politik, maka domain ekosob adalah domain eko-nomi. Bila negara mengedepankan hak sipol, maka hak Ekosob akan

terbengkalai. Sebaliknya, bila negara mengedepankan hak ekosob maka hak sipol akan terbengkalai. Lihat saja Venezuela dimana negara mulai concern terhadap pemenuhan hak Ekosob, maka secara linier, hak sipol warga negara mulai tereduksi.

Hak Sipil Politik VS Hak Ekonomi, Sosial, Budaya

Sebelum abad ke-20 gagasan tentang HAM selalu didominsai oleh gagasan tentang individualisme dan kebebaasan personal (liberal-isme). Abad ke-17 dan ke-18 sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Hukum Alam (Natural Law) yang dirumuskan oleh Johon Locke dan Rosseau. Gagasan Hukum Alam yang sangat individualis ini mem-buat diskursus Hak Asasi Manusia terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk me-milih dan sebagainya.

Akan tetapi pada abad ke-20 hak-hak politik ini dianggap kurang sempurna. Selain aspek politik, hak asasi manusia juga hendaknya mengatur mengenai hak atas kes-ejahteraan. Salah satu tokoh yang mempelopori diskursus tentang hak kesejahteraan (yang terkait dengan ekonomi) adalah Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt yang mengintrodusir gagasan ten-tang The Four Freedoms (Empat Kebebasan) yakni, Kebebasan un-tuk berbicara (Freedom of Speech) Kebebasan beragama; (Freedom of Religion); Kebebasan dari Ketakutan (Freedom from Fear); Kebebasan dari kemelaratan (Freedom from Want)

Mochammad Faisal

Ketua Umum Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) Eka Prasetya UI

68 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

MERDEKA DARI KEMELARATAN MENUJU DEMOKRASI PARIPURNA

“Peran Negara yang besar ada gunanya

untuk sedikitnya mengendalikan kerakusan para

kapitalis tapi tidak boleh sedemikian

besar sehingga melumpuhkan minat

investor”(anthony giddens)

opini

DOK.PRIBADI

Page 71: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Gagasan Roosevelt tentang kebebasan dari kemelaratan merupakan diskursus pertama yang mengajukan tesis bahwa Hak Asasi Manusia juga seharus-nya mencakup hak-hak ekonomi-sosial tidak terbatas pada hak-hak sipil dan politik an sich.

Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang dideklarasikan pada 1948 sebenarnya telah men-cakup hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi sosial dan budaya secara proporsional dalam satu naskah. Sehingga DUHAM dianggap sebagai skema paling jelas yang ada tentang apa yang dipndang komunitas internasional sebagi hak-hak dasar manusia sesunguhnya yang dimiliki oleh semua manusia di muka bumi ini, karena mereka manusia.

Meski demikian deklarasi hanya difahami sebagai suatu pernyataan prinsip atas dasar dorongan moral namun kurang memiliki dorongan hukum. Oleh karena itu dua perjanjian dirancang untuk menjadikan prinsip-prinsip pada DUHAM sebagi kewajiban hukum bagi Negara-negara yang turut menge-sahkan deklarasi tersebut. Dua perjanjian itu adalah ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) dan IC-ESCR (International Covenant on Economic,Social and Cultural Rights).

Secara bersamaan ketiga do-kumen ini (DUHAM, ICCPR, ICESCR) menjadi International Bill of Rights dan menjadi doku-men terpenting dalam hukum HAM modern. Namun pemba-gian DUHAM dalam dua kon-vensi ini membawa dampak beru-pa seringnya muncul apa yang disebut dengan “secondary class status” pada Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Hak EKOSOB/ IC-ESCR), jika dibandingkan den-gan Hak Sipil dan Politik (Hak

SIPOL/ ICCPR). Ini memuncul-kan pandangan bahwa hak sipil dan politik (yang mencakup hak penting seperti kebebasan berbi-cara, bekeyakinan, kebebasan dari penyiksaan dan sebagainya) lebih penting dari pada mendapatkan cukup makanan atau kesempatan untuk belajar.

Dalam sejarahnya, ICCPR diprakarsai oleh Amerika Serikat dan negara-negaral liberas, sedan-gkan ICESCR diprakarsai oleh Uni Soviet dan negara blok Ko-munis. Hingga sekarang Amerika Serikat tidak pernah meratifikasi ICESCR.

Dalam kondisi tertentu hak sipil dan politik mungkin lebih penting daripada hak untuk mendapatkan makanan atau akses pada pendidikan (Hak EKO-SOB), namun dalam seluruh kehidupan sebagian besar manu-sia, kedua kategori hak tersebut bersifat interdependen (saling bergantung satu sama lain).

Hak EKOSOB dan Demokrasi Paripurna

Masyarakat Indonesia secara umum telah hidup di alam di-mana Hak-Hak SIPOL telah ter-penuhi. Tentu hal ini merupakan hasil perjuangan melelahkan gerakan reformasi 1998. Namun kita terlalu lama terjebak dalam euforia demokrasi politik tanpa pernah menyadari bahwa sampai sekarang pemenuhan Hak EKO-SOB oleh negara begitu minim.

Apa guna hak untuk hidup jika tak ada hak untuk mendapat-kan pekerjaan yang layak, peng-hidupan yang layak, dan makanan yang layak? Apa signifikansi ke-bebasan individu tanpa dibarengi kebebasan dari kemelaratan.

Demokrasi politik tanpa di-barengi dengan pemenuhan hak-hak dasar EKOSOB warga neg-ara hanya menghantarkan bangsa ini menuju krisis demokrasi.

Masih tengiang di kepala kita terjadinya busung lapar di selu-ruh wilayah negara Indonesia. Ibu membunuh anak karena tak mampu bertahan menjalani hidup. Bahkan seorang anak yang berani bunuh diri karena tak mampu membayar uang sekolah. Pelanggaran hak EKOSOB pada akhirnya akan menciderai hak SIPOL pula.

Cukup sudah Sepuluh ta-hun reformasi berlalu. kita telah mendapatkan demokrasi prose-dural. Bahkan kita rela menge-luarkan triliunan rupiah untuk menjalankannya, pilpres, pemilu, pilkada, pilgub, dan yang lain-nya. Cukup. Visi reformasi harus diarahkan kepada pemenuhan hak-hak EKOSOB yang diced-erai. dengan kondisi yang seka-rang, enam visi reformasi terlihat usang karena tak ada arah untuk melalukan reformasi ekonomi yang menjadi permasalahan inti semenjak reformasi bergulir dari tahun 1998. Revitalisasi Indo-nesia mesti diarahkan kepada revitalisasi pemenuhan hak-hak EKOSOB yang termanifestasikan dari peran negara dalam pemenu-han pelayanan publik bagi ma-syarakat miskin.

Demokrasi yang paripurna adalah demokarasi yang menga-komodir kepentingan individu tetapi tetap menjamin kepent-ingan kolektif. demokrasi harus tetap menjamin kebebasan in-dividu namun secara bersamaan memberikan keadilan sosial dan ekonomi bagi masyarakat dengan melakukan affirmative action bagi kaum residual yang terpinggirkan. Inilah yang diidealkan Hatta se-bagai model demokrasi paripurna. satu kaki telah kita dapatkan, maka harus kita rebut kaki yang lain sehingga demokrasi pari-purna yang diimpikan oleh Hatta dapat mewujud dalam alam kein-donesaan sekarang.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 69

opini

Page 72: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Seperti biasa Kamis sore itu, rombongan Ibu dan Bapak paruh baya kembali datang ke seberang Istana Negara. Mereka mengenakan baju hitam, melindungi tubuh tuanya dengan payung yang juga berwarna hitam, dan tertulis “ Adili Kejahatan HAM”. Mereka melakukan aksi ini setiap hari Kamis dan terhitung 29 Mei ini, sudah sampai minggu ke-65. Rasa kasih sayang dan haus akan keadilan membuat mereka sanggup melawan malas dan lupa. Dan perjalanan ini masih akan diteruskan, sampai tujuan mereka tercapai.

70 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

PERJALANAN PANJANG ATAS NAMA Cinta DAN keadiLan

catatan perjalanan

RIO/SUMA

KAMISAN

Page 73: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

“Kamisan”

Kamis itu, mentari sore mulai menjilati kulit. Ditambah dengan emisi kendaraan yang lewat di depan Istana Negara. Hawa ini

telah cukup untuk membuat kita tidak be-tah dan ingin segera pulang ke rumah. Na-mun tidak bagi sekelompok Ibu dan Bapak berpayung hitam itu. Walau sebagian ram-but sudah mulai memutih, mereka tetap berdiri selama sejam di seberang istana putih itu. Aksi berjejer ini tidak sekali pun membuat mereka lelah. Mereka percaya pada pepatah ”batu yang ditetesi oleh air secara terus-menerus pasti hancur juga”.

“Kamisan”, begitulah aksi ini mereka namakan. Aksi ini dilakukan setiap ming-gunya pada hari Kamis mulai pukul 16.00 sampai 17.00. Beratributkan pakaian dan payung hitam yang menurut mereka melambangkan keteguhan cinta terhadap

orang-orang yang dibunuh oleh aparat, aksi demonstrasi dilakukan. Sebuah aksi tanpa pengeras suara, tanpa orasi, dan tentunya tanpa keributan. Hanya spanduk dibentangkan lebar-lebar, payung ber-tuliskan tuntutan, dan foto-foto korban pelanggaran HAM.

Mereka merupakan korban dan ke-luarga korban tindak pelanggaran HAM yang tergabung dalam JSKK ( Jaringan Solidartias Korban dan Keluarga Korban). Memasuki minggu ke-65, berbagai rintan-gan telah mereka lewati. Pernah suatu kali mereka dibujuk untuk menurunkan payung-payung mereka karena salah satu tamu negara akan melewati jalan tersebut. Mereka menolak, malah mengacungkan payung tinggi-tinggi melampaui tinggi border aparat. “Biar mereka tahu bahwa ada kejahatan HAM yang tidak tersele-saikan disini!” teriak salah satu Ibu. Ter-jadilah ketegangan dengan pemandangan yang ironis. Sekelompok polisi sedang berusaha merebut payung beberapa orang

tua paruh baya. Beberapa payung pun patah dalam ke-jadian itu. Setelahnya, meskipun dijaga oleh tiga tronton aparat, aksi tetap mereka lakukan, bergandengan tangan agar tidak terpisah satu sama lain.

Perjuangan yang Belum BerakhirMasing-masing peserta aksi tentunya memiliki motif

tersendiri yang nantinya melahirkan semangat yang sangat besar untuk berjuang. Contohnya Ibu Sumarsih. Peristiwa tragis yang mengiringi reformasi 10 tahun yang lalu tidak akan pernah terlupa di benaknya. Pada peristiwa Semanggi I tanggal 13 November 1998, anak sulungnya B.R. Norma Irmawan, mahasiswa semester 5 jurusan Akuntansi Uni-versitas Atmajaya, meninggal terkena timah panas petugas di bagian dada.

Sebenarnya ia telah berusaha melindungi anak sulung-nya itu, “sebagai orangtua, saya melarang Wawan untuk demo,” ungkapnya. Wawan patuh pada sang ibu. Ia mem-batasi diri dengan hanya mengadakan seminar-seminar di dalam kampus dan mengabdikan diri sebagai relawan ke-manuisaan, bukan peserta demonstrasi. Namun tetap saja,

RIO

/SU

MA

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 71

catatan perjalanan

“...motivasi saya adalah cinta, saya mencintai wawan…, maka saya harus membelanya.”

Bu Sumarsih dan Pak Bejo

Page 74: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

pada hari naas itu, tentara masuk ke kampus At-majaya. Malang tidak dapat ditolak. Hasil otopsi dr. Budi Sampurno dari RSCM menunjukkan peluru masuk ke dada, menembus paru dan jantung sebe-lah kiri. Berdasarkan penyeledikan Komnas HAM, Wawan tertembak ketika berusaha menolong para korban. Terbukti dengan ditemukannya obat-obatan di dalam tas yang masih menggantung di punggungnya ketika itu.

Meninggalnya Wawan meninggalkan luka yang mendalam bagi keluarganya. Ibu Sumarsih, yang sekarang berumur 56 tahun, mengambil cuti pan-

jang 3 bulan dari pekerjaannya setelah kejadian itu. “Perihal meninggal saya Ikhlas, cara meninggalnya ini yang saya minta negara bertanggungjawab!” un-gkapnya tegas. “Supaya tidak ada korban baru lagi,” lanjutnya. Rupanya ia tidak ingin lagi ada Ibu lain merasakan penderitaan dirinya.

Waktu cutinya dimanfaatkan Ibu Sumarsih menuntaskan pertanyaan-pertanyaan seputar kematian ananknya. Berbagai instansi terkait ia datangi. Mulai dari Kodam Jaya, Puspom, sampai ke Fraksi ABRI di DPR. Namun hasil yang di-dapat ternyata nihil, seperti juga nasib pengusutan

kasus-kasus serupa yang terjadi di kurun waktu yang hampir bersa-maan. Tragedi Semanggi, Peristiwa Trisakti, dan kasus lainnya ternyata telah menjadi bola panas yang di-hindari oleh pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam penyidi-kannya. Sepuluh tahun sudah waktu ia habiskan untuk menuntut keadi-lan, namun wanita yang sebagian rambutnya telah memutih ini tidak akan menyerah. “Yang memotivasi saya adalah cinta, saya mencintai Wawan…, maka saya harus membe-lanya!” ucapnya dengan yakin.

10 tahun waktu untuk perjuan-gan Ibu Sumarsih ternyata belumlah lama. Pak Bejo, juga merupakan peserta aksi ”Kamisan”, sudah 43 tahun berjuang untuk nasibnya. Ia merupakan korban ’65, dimana diduga terjadi pembantaian besar-besaran terhadap rakyat yang diang-gap sebagai anggota atau antek dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut Pak Bejo, pembantaian waktu itu tidak hanya untuk mereka yang dianggap anggota. “Ya Bapak-nya, ya anaknya, itu semua dibantai oleh rezim Soeharto!” ceritanya penuh emosi.

Ayah Pak Bejo merupakan seorang guru yang aktif di organisasi perburuhan. Setelah ayahnya ditang-kap, ia kemudian ikut dicari oleh aparat. Alasannya, karena ia yang waktu itu murid kelas 3 Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Pema-lang, ikut organisasi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Pak Bejo yang waktu itu berumur 17 tahun,

7� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

catatan perjalanan

RIO

/SU

MA

Foto-foto korban tindak pelanggaran HAM

Page 75: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

melarikan diri ke Jakarta. Setelah 5 tahun, akh-irnya pada tahun 1970, ia berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Salemba selama 9 tahun.

Selama sembilan tahun dalam Penjara Salemba merupakan penderitaan bagi Pak Bejo. Disana, ia dan tahanan politik (tapol) yang lain diinterogasi, dipukul, disetrum, dan disiksa. “Penjara tahanan kriminal saja (perlakuannya-red) lebih baik,” ka-tanya. Tapi, disana juga ia bisa banyak belajar karena para tapol merupakan orang yang pintar, terpelajar, namun dianggap berbahaya. Setelah keluar penjara, Pak Bejo masih diperlakukan se-cara diskriminatif. Setelah Reformasi ’98, ia mulai bergabung bersama tapol-tapol yang lain untuk memperjuangkan pengusutan atas ketidakadilan yang ia dan rekan-rekannya terima.

Perjalanan Ibu Sumarsih dan Pak Bejo mung-kin hanya segelintir dari banyak cerita tentang pelanggaran HAM di Indonesia. Perjuangan mer-eka pun tidak akan ada artinya jika pemerintah ti-dak mempunyai kemauan untuk mengurai benang kusut pelanggaran HAM ini. Harapan menyeruak kala UU No.2000 tentang pengadilan HAM disahkan. Namun, belum terlihat juga hasil yang diinginkan. Perjalanan Ibu Sumarsih selama10 tahun dan penderitaan Pak Bejo selama 43 tahun merupakan sebuah catatan keyakinan di lembar hitam pelanggaran HAM di Indonesia.

HAFIZ MIZAN PILIANG

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 73

catatan perjalanan

RIO

/SU

MA

RIO

/SU

MA

Aksi Bisu di seberang Istana

Page 76: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Kejadian diatas adalah pengalaman seorang Yono (bukan nama asli). Setahun lalu, ia menjadi

korban amukan massa setelah aksinya mencuri perhiasan keta-huan. Perbuatan Yono memang salah. Namun mengadili Yono dengan amukan juga tidak dapat dibenarkan.

Mungkin bukan hanya Yono yang pernah mendapat amukan massa. Di negeri ini, cukup sering kita mendengar pelaku kejahatan

“diadili” terlebih dahulu oleh ma-syarakat sebelum diserahkan pada pihak yang berwenang. Maka timbullah satu pertanyaan: apakah amuk massa sudah membudaya di Indonesia?

Ada KerumunanAnggapan bahwa amuk massa

membudaya di Indonesia itu bu-kan sesuatu yang yang bisa diami-ni kebenarannya namun―jika bo-leh dikatakan―memang begitulah sifat dasar manusia. Ia cenderung melakukan self-defense apabila sesuatu yang penting terancam dan terganggu pelaksanaannya. Sesuatu itu dapat berupa nilai-ni-lai, kepercayaan, aspirasi, sumber daya, harta, dan kepentingan se-seorang maupun kelompok. Jika sesuatu yang penting dalam suatu masyarakat terganggu, maka amuk massa dapat terjadi.

Amuk massa, diartikan sebagai perilaku mengamuk yang dilaku-kan oleh sejumlah orang secara bersama-sama. Perilaku tersebut

“HaJar!!!”Keheningan malam pun

pecah. Segerombolan manusia berlari

menyerang seorang lelaki muda. Terengah-

engah ia berlari menyelamatkan diri dari amukan orang-orang di

belakangnya, amukan massa.

7� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

amuk massa = asYik massa?

TITAH.SUMA

budaya

Page 77: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

hanya terjadi apabila ada kum-pulan orang. Hal ini ditegaskan oleh Daisy Indira Yasmine, M.Soc.Sci., dosen jurusan sosio-logi FISIP UI,”Ketika beberapa orang berkumpul―ada atau tidak ada tujuan―itu bisa terjadi kegiatan kerusuhan bersama atau biasanya disebut amuk massa.” Mbak Deby, begitu ia biasa dipanggil, juga menamba-hkan bahwa jika ada kerumunan, maka ada kecenderungan seseo-rang untuk mengikuti (contagi-ous/penularan) dan mengimi-tasi perilaku orang di dekatnya. Maka jangan heran apabila ada orang yang ikut-ikutan melaku-kan hal yang sama dengan orang di sekitarnya namun tidak tahu alasan mengapa ia melakukannya.

“Habis, yang lain begitu…”, mun-gkin itu jawaban yang anda dapat jika ditanya alasan-nya.

Ada Kepentingan Lain

Tidak semua amuk massa terjadi alami. Sudah raha-sia umum bahwa banyak oknum memang sengaja “merancang” amuk massa. Tujuannya mung-kin salah satunya untuk mem-berikan image buruk terhadap pemimpin berkuasa, seperti dugaan isu provokator ketika kerusuhan 1998. Bisa juga guna memuluskan langkah politik, ataupun mencari muka dengan berpura-pura meredakan amuk massa dan menjadi public hero. Kita tak pernah tahu.

Ada perancang, pasti ada yang melaksanakan. Inilah yang mengherankan. Terdapat komunitas yang memang me-nawarkan dirinya berdemo. ”Itu banyak. Mudah untuk mencari

satu atau dua minibus penuh dengan pendemo. Mereka ber-sedia mendemo. Tidak hanya sekedar mendemo, bahkan sampai pada tindakan yang le-bih keras daripada demo yakni berbenturan dengan petugas hukum. Tentu imbalannya ber-beda-beda.”, ucap Adrianus Me-liala, dosen jurusan kriminologi FISIP UI.Entahlah. Semuanya bisa terjadi, termasuk hal-hal tersebut. Yang pasti, sang “desai-ner” mencari keuntungan dibalik amuk massa yang ia galang, baik tujuannya positif maupun negatif.

Ciptakan Ruang BicaraAspirasi juga merupakan

aspek penting. Maka jangan he-ran jika seseorang bisa “meledak” apabila penyaluran aspirasinya terganggu, seperti ditegaskan Adrianus,”Jadi ketika aspirasi suatu kelompok massa―umum-nya aspirasi politik―itu ke-mudian tersumbat, dalam arti misalnya tidak tersalurkan, tidak bisa bertemu pimpinan partai, lalu kemudian dalam rangka menyalurkan energi yang sudah terlanjur besar itu, mereka lalu menjadi amuk massa.”

Untuk penyalurannya, men-urut mbak Deby harus dicip-takan ruang untuk bicara seba-nyak mungkin atau ruang-ruang ekspresi baik dalam bidang

politik, sosial, dan ekonomi. Ti-dak hanya pada kelompok elit, tapi juga warga biasa karena ke-terlibatan amuk massa kadang-kadang memang akhirnya yang terlibat justru warga biasa yang disebabkan oleh penularan dan rasa terancam.

Ruang bicara telah ter-bukti jitu mengurangi resiko terjadinya, bahkan meredakan amuk massa. Sebagai contoh nyata ialah meredanya konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Konflik ini mereda setelah diadakan perundingan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah yang dimediasi oleh Finlandia.

Penegakan HukumJika ruang bicara

sudah tidak mampu lagi menampung en-ergi yang meluap-luap massa, maka hukum berbicara.“Kalau pen-demo sudah melibat-kan amuk massa dan kekerasan, itu menjadi masalah hukum. Berarti hukum harus diperketat, harus kuat. Siapa yang melanggar hukum tetap

harus dihukum secara tegas.”, tukas Mbak Deby. Hukum dan penegakannya faktor penting.

“Kalau negaranya kuat, negara-nya perform, maka kemudian amuk massa dapat ditekan sam-pai minimal. Jadi, perilaku main hakim sendiri itu semua ada kaitannya dengan aparat negara yang bingung dalam rangka mengeksekusi kewenangannya.”, Pak Adrianus menjelaskan.

Pada akhirnya, kekerasan tidak perlu lagi digunakan jika masyarakatnya sudah memiliki kesadaran akan norma dan hu-kum yang berlaku.

YULINIAR VIDA

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 75

“ketika beberapa orang berkumpul-ada atau tidak ada tujuan-itu bisa terjadi kegiatan

kerusuhan bersama atau biasanya disebut amuk massa.”

daisy indira Yasmine, m.soc.sci. dosen sosiologi fisiP ui

budaya

Page 78: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Pada tanggal 16 April ke-marin Badan Koordinasi (BAKOR) mengeluar-kan rekomendasi agar

Ahmadiyah dilarang pemer-intah. Dasar rekomendasi itu: ajaran Ahmadiyah menyeleweng dari ajaran Islam yang benar.

Rekomendasi BAKOR itu amat mengherankan. Dari mana alat negara mengambil hak un-tuk menetapkan apa yang boleh dipercayai oleh seseorang dan bagaimana ia beribadat? Bahwa rekomendasi itu sebuah cemoo-han undang-undang dasar yang berlaku di negara kita dapat dicatat juga.

Ada yang mengkhawatirkan: Ahmadiyah sudah berada di Indonesia lebih dari 80 tahun. Selama itu mereka tidak per-nah membuat gaduh. Mengapa mereka sekarang diuber-uber, diancam, dijadikan korban kekerasan, dan sekarang mau dilarang? Ada Sekjen sebuah organisasi mengatakan: “Ka-lau Ahmadiyah tidak dilarang, kami akan membunuh mereka!

“ Negara ini sudah sampai ke

mana?Sejak kira-kira 12 tahun

intoleransi dalam masyarakat terus bertambah. Membangun rumah ibadat bagi minoritas-minoritas di Indonesia sudah sangat susah. Kalau mereka terpaksa beribadat di tempat lain, mereka sering diancam oleh kelompok-kelompok ber-ingas. Begitu pula ketegangan antar suku, antar penduduk asli dan pendatang bertambah. Ke-mampuan untuk berpluralisme berkurang.

Sebetulnya masalahnya ti-dak terletak dalam masyarakat pada umumnya. Pada umumnya orang tetap toleran, tahu bahwa di Indonesia hidup macam-macam orang dengan macam-macam latar belakang budaya, agama, dan adat. Bahkan ter-hadap kelompok-kelompok orang dengan orientasi seksual berbeda masyarakat tradisional mempunyai keterbukaan terten-tu. Tetapi sekarang ada kelom-pok-kelompok kecil keras yang dengan bebas menyebarkan kebencian mereka. Ancaman

dan kekerasan terbuka semakin sering terjadi.

Jadi demokrasi belum segala-galanya. Salah satu sikap paling fundamental yang diandaikan oleh demokrasi adalah plural-isme.

Perlu ditegaskan kembali: Pluralisme, khususnya plural-isme agama, bukan anggapan bahwa: semua agama sama be-nar. Pluralisme adalah sebuah sikap sosial, yaitu kesediaan dan kemampuan psikologis untuk menerima pluralitas, keanekaan. Pluralisme berarti memberi kedudukan sama dalam hukum dan undang-undang dasar kepa-da semua agama dan kepercaya-an yang ada dalam masyarakat tanpa mendahulukan salah satu. Pluralisme adalah kesediaan untuk saling menerima seb-agai sesama warga negara dan sesama warga masyarakat dalam perbedaan. Termasuk kesediaan untuk tidak mau memaksakan keyakinan-keyakinannya send-iri kepada mereka yang tidak menghendakinya sendiri.

Para founding fathers sangat

76 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

10 TAHUN REFORMASI: PLURALISME TERANCAM?

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ

Budayawan Rohaniwan Guru Besar Filsafat Sosial Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

ISTIMEWA

bidang budaya

Page 79: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

sadar akan pluralisme sebagai dasar kebang-saan dan kenegaraan Indonesia. Karena itu, 1928, mereka memilih bahasa Melayu, dan bukan bahasa Jawa, bahasa suku terbesar, menjadi bahasa In-donesia. Dan karena sikap pluralis mer-eka, pada tahun 1945 menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, dan meskipun hampir 90% warga Indonesia terhitung Islam, tidak memberi kedudukan istimewa kepada agama Islam dalam undang-undang dasar historis itu.

Tetapi di Indo-nesia selalu juga ada gerakan-gerakan yang anti-pluralistik. Di sini termasuk Darul Islam, suatu gerakan 1950 – 1966 di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan, serta Partai Komunis Indonesia dengan Marxisme-Leninisme sebagai ideologinya.

Eksklusivisme-eksklusiv-isme itu jelas di luar mainstream bangsa Indonesia. Karena itu mereka gagal. Tetapi sesudah keterbukaan demokratis 1998 kelompok-kelompok totaliter anti-pluralis muncul kembali dengan terbuka (masih ingat: dua tahun lalu sebuah komisi DPR, di bawah kamuflase “anti porno”, mempersiapkan sebuah RUU yang akan mengharam-kan cara 60 persen perempuan Indonesia berpakaian sebagai porno?).

Kalau tendensi-tendensi itu tidak dicek, akibatnya akan seri-us. Pemaksaan pandangan-pan-dangan ideologis-agamis sera-gam tertentu kepada masyarakat akan mengakibatkan konsensus

yang mendasari negara Indone-sia menjadi menguap. Konsen-sus itu berdasarkan kesepakatan bahwa identitas etnis, kultural dan religius segenap komponen bangsa dihormati. Konflik-kon-flik mengerikan selama 12 ta-hun terakhir, ketegangan-kete-gangan yang di mana pun masih terasa, membuktikan betapa fundamental kesediaan untuk tetap pluralistik bagi eksistensi Indonesia sebagai negara yang damai dan beradab.

Lain lagi perjuangan kelom-pok-kelompok orang yang secara tradisional ditekan atau ditindas. Perjuangan kaum perempuan atas perlakuan yang sama me-mang mulai menunjukkan hasil-nya karena pada hakekatnya semua agama besar mengakui kesamaan harkat kemanusiaan mereka meskipun dalam ke-nyataan perjuangan itu masih menemukan banyak hambatan.

Jauh lebih sulit situasi kaum homoseks, kaum transvestit dan lain sebagaimnya. Men-gapa? Karena situasi mereka langsung ber-sentuhan dengan keya-kinan-keyakinan moral yang berakar mendalam dalam masyarakat “bi-asa” serta dalam ajaran resmi agama-agama tentang moralitas. Di situ perjuangan harus ke dua arah. Pertama, perlu ditegaskan terus menerus bahwa apa yang dilakukan oleh dua (atau lebih) orang dewasa atas kesepaka-tan mereka secara privé adalah urusan mereka selama mereka tidak mengganggu kehidupan orang lain. Kedua, perlu diluaskan kesadaran bahwa ada orientasi-

orientasi seksual yang secara alami berbeda dan hendaknya orang tidak didiskriminasi ter-hadapnya. Mau saya catat bahwa perjuangan ini justru dihambat kalau pengakuan yang ditun-tut berlebihan. Misalnya agar diakui „perkawinan homoseks“. Usul-usul seperti itu menim-bulkan reaksi kontra, tetapi juga kurang berdasar karena pengakuan eksklusif terhadap perkawinan heteroseks tentu karena masyarakat berkepent-ingan akan keturunan yang se-cara jasmani, rohani dan psikis sehat dan untuk itu diperlukan

„kerjasama“ perempuan dan laki-laki.

Pernah bangsa Indonesia memiliki pluralisme luas. Su-dah amat mendesak bahwa kita memperbaharui tekad untuk tetap saling menerima dalam keanekaan kita masing-masing.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 77

TAQWA/SUMA

bidang budaya

Page 80: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Saat ini yang tersisa, mungkin, cuma hara-pan dan optimisme. Sejumlah kekuran-gan dan kritik yang dilontarkan sejak Orde Baru, masih sering dilontarkan

sekarang, setelah 10 tahun reformasi berjalan. Setidaknya ada 2 mata rantai yang hilang

dalam reforma hukum di negeri ini: hilangnya sosok keteladanan, dan langkanya para pemikir hukum.

Praktik mafia peradilan misalnya, sejak lama telah disuarakan. Na- mun tak kunjung juga berhenti kumandang-nya. Sejumlah pejabat yang seharusnya menegakkan hukum, justru terlibat pidana korupsi. Beberapa contoh dapat dise-butkan. Pada Januari 2006, hakim Her-man Allositandi, mantan Ketua Maje-lis Hakim kasus dugaan korupsi PT Jamsostek ditang-kap Tim Tastipikor Kejaksaan Agung. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian mem-vonisnya 4,5 tahun penjara dan denda RP 200 juta karena memeras saksi. Selanjutnya, Komjen Suyitno Landung, mantan Kabreskrim Mabes Polri divo-nis 18 bulan oleh PN Jaksel pada Oktober 2006 terkait dengan kasus penyuapan dalam perkara pembobolan BNI senilai Rp 1,7 triliun. Contoh lain, kasus suap yang dilakukan Tengku Syaifud-din Popon untuk “memperlancar” kasus Abdullah Puteh. Penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan, mantan jaksa penyelidik kasus BI yang tertang-kap tangan oleh KPK, merupakan sebuah contoh yang terjadi belum lama ini.

Sangat sulit menyebut aparat penegak hukum

yang bisa dijadikan panutan saat ini. Padahal, bangsa ini sebelumnya sempat melihat sepak ter-jang Jaksa Agung R. Soeprapto, Kapolri Jenderal Pol. Hoegeng, Hakim Agung Bismar Siregar. Dikalangan profesi advokat sendiri bisa muncul banyak nama, antara lain: Lukman Wiriadi-nata, Suardi S Tasrif, Yap Thiam Hien, Haryono Tjitrosubeno, Sukardjo Adidjojo.

Dalam 1 dekade ini, tidak dapat diabaikan se-jumlah inisiatif pembaruan hukum, baik yang di-lakukan pemerintah, maupun masyarakat. Jutaan

dollar mengalir untuk keperluan ini. Namun, inisiatif per-baikan peraturan perun-dang-undangan, insitusi dan agen penegak hukum lebih mencerminkan per-baikan teknis a la kelom-pok teknokrat, bukan pada perbaikan fundamental dan ideologis. Beruntung, bangsa ini masih memiliki Prof. Soetandyo Wignyo-soebroto, dengan sosiologi hukumnya, dan Prof. Satji-pto Rahardjo, dengan pe-mikiran hukum progresif-nya.

Dengan hilangnya kedua mata rantai itu, maka tidak heran laju perbaikan hukum dan penikmatan keadilan masih jauh panggang dari

api. Sampai batas inilah, penting untuk bicara serius soal pendidikan hukum.

Pendidikan Hukum yang MembebaskanPendidikan sebaiknya merupakan sebuah

strategi, teknik dan pendekatan belajar-ajar yang membebaskan. Fakultas Hukum, merupakan pilar penting untuk mencetak para sarjana yang tidak saja mengerti teks hukum, melainkan para sarjana yang jelas keberpihakannya: keadilan. Untuk mencapai tujuan itu, maka diperlukan pengembangan pedagogy keadilan. Pentingnya

PENDIDIKAN HUKUM DAN MATA RANTAI YANG HILANG

78 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

DELA.SUMA

bidang hukum

Page 81: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

seni atau metode belajar-ajar ini untuk membe-baskan para mahasiswa hukum dari kungkungan pemikiran sempit tujuan hukum, seperti untuk memenangkan sebuah perkara di pengadilan.

Pendidikan hukum mesti ditempatkan dalam hubungan pembentuk hukum dari kalangan pen-guasa dan masyarakat jelata yang dipaksa untuk menaati hukum yang ada. Dengan demikian, para dosen dan mahasiswa hukum perlu diberikan keleluasaan waktu dan jam kuliah untuk mencari-kan titik keseimbangan dan solusi terhadap relasi ini. Keadilan tidak dapat diperoleh hanya dengan mengikuti pasal-pasal dalam peraturan perun-dang-undangan, melainkan menuntut sebuah proses aksi dan refleksi.

Ambil contoh, bidang hukum pidana, para mahasiswa dan dosen perlu banyak berdiskusi mengapa pidana mati ditentang para ahli hukum hak asasi manusia, ketimbang berhenti berdiskusi karena pidana mati masih berlaku dalam kitab un-dang-undang hukum pidana kita. Dalam hukum agraria, mahasiswa dan dosen perlu memperde-batkan sisi positif dan negatif proyek administrasi lahan atau program sertifikasi tanah, ketimbang menghabiskan waktu membicarakan jenis-jenis hak atas tanah. Demikian juga, dalam hukum tata usaha negara, dosen dan mahasiswa perlu mengembangkan diskusi terkait dengan ideologi politik hukum ( juridico politico ideology) dibalik keputusan-keputusan para pejabat tata usaha negara.

Mengikuti pedagogy yang dikembangkan Paulo Freire, seorang pakar pendidikan Brazil, maka proses belajar-ajar di Fakultas Hukum mesti dilakukan secara dialogis. Proses pendidikan di fakultas, sebaiknya mesti dapat menunjukkan ket-impangan, kesewenang-wenangan, dan marjinal-isasi masyarakat akar rumput akibat hukum yang berlaku. Dengan jalan inilah, dimungkinkan lahir para sarjana yang punya kesadaran kritis untuk menjadi pembela dan pejuang keadilan, apa pun profesi yang digelutinya.

Secara singkat, pendidikan hukum perlu dikembangkan untuk mampu membelejeti hukum yang manipulatif, yang hanya menguntungkan segelintir orang dan menyengsarakan banyak orang. Pendidikan yang juga mampu memberikan pencerahan dan meningkatkan kesadaran akan kemanusiaan.

Pendidikan Hukum yang MahalSemakin lama, pendidikan di universitas

menjadi semakin mahal. Hal ini pun belaku di

fakultas hukum. Tidak heran muncul satir, saat ini tidak cukup cuma pintar, melain-kan punya uang agar bisa kuliah.

Biaya pen-didikan yang tinggi, dan para penge-lola kampus dan dosen yang tek-nokratik, serta metode pendi-dikan yang di-jalankan dengan konsep banking – dimana dosen tidak berdialog dengan maha-siswa – memun-culkan dua aki-bat yang harus dibayar mahal bangsa ini, yak-ni kehilangan sosok teladan dan kelangkaan pemikir hu-kum. Setelah tamat kuliah, jarang para sarjana yang bercita-cita berkiprah di lembaga sosial, seperti lembaga bantuan hukum (LBH), atau menjadi penegak hukum yang memegang teguh nilai-nilai keadilan. Boleh jadi hal inilah yang menyediakan lahan subur untuk bertumbuhnya mafia peradilan bagai jamur dimusim penghujan.

Kata “mahal” mengandung makna ekonomis. Semakin mahal pendidikan, maka semakin mahal harga yang harus dibayar dan dikembalikan.

Tak ada jalan lain, tugas sejarah Fakultas Hu-kum saat ini, melahirkan kembali keteladanan pe-mimpin dibidangnya, dan memproduksi para pe-mikir hukum yang berpihak pada keadilan, bukan malah melahirkan para pekerja yang menopang struktur dan sistem hukum yang telah membuat mayoritas rakyat ini miskin, tertidas, marjinal dan dimarjinalkan. Dari ruang-ruang beton bercat di Fakultas Hukum, semoga terwujud kedua pilar reforma hukum yang berpihak pada keadilan.

Patra m Zen

Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 79

DOK.PRIBADI

bidang hukum

Page 82: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Sepuluh tahun kita sudah menjalani masa reformasi,kita sudah merasakan bagaimana kebebasan pers bahkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung sudah

kita nikmati. Apa kabarnya reformasi sampai hari ini? Apakah agenda yang sudah digembar-gem-borkan itu terealisasi? Masih segar dalam ingatan agenda reformasi yang diminta adalah penegakan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pengadilan mantan Pres-iden Soeharto dan kroninya, amandemen konsti-tusi, pencabutan dwifungsi TNI-Polri serta pembe-rian otonomi daerah seluas- luasnya.

Berapa yang bisa dinikmati atau yang sudah ditegakkan? Boleh jadi KPK telah bekerja dengan sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi meski sedikit sekali para kakapnya dihukum berat, namun pemberantasan korupsi tetap berjalan meski tersendat-sendat dalam pemenuhan agenda refor-masi.

Meninggalnya Soeharto menjelaskan bagaima-na carut marutnya wajah bangsa kita. Seolah lupa dengan komitmen penyelesaian atas kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan Soeharto ter-hadap bangsa ini,tiba-tiba Soeharto bak pahlawan yang harus disanjung bahkan tanpa malu para politisi yang dahulunya begitu keras berteriak atas kejahatan Soeharto seolah-olah amnesia dengan meminta Soeharto diangkat menjadi pahlawan.

Kejahatan kemanusiaan merupakan bagian penyelesaian masa lalu dan kerja mendasar dari In-donesia yang hitam, yang tetap harus diselesaikan tuntas karena kejahatan demikian tidak boleh dilu-pakan. Penting untuk menjelaskan demi terangnya sejarah bangsa Indonesia setelah dalam masa oto-ritarian pemerintahan Soeharto. Penuntutan dan peradilan perkara-perkara tersebut tidak boleh lagi terganjal oleh masalah-masalah teknis hukum dan rekayasa para pelaku dengan pihak yudisial.

Pernyataan Andi Malarangeng 1 bahwasanya pemerintah konsisten melaksanakan Agenda Re-formasi perlu dilihat ulang terutama dalam pen-egakan hukum dan HAM. Semestinya Presiden ti-dak lagi hanya meminta , sebagai orang nomor satu di Republik ini seharusnya bisa memerintahkan se-cara tegas kepada Jaksa Agung dan Kapolri untuk bertanggung jawab dalam mendukung komitmen-nya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Menjadikan perintah Presiden sebagai implemen-tasi yang bisa diukur,jika gagal menyelesaikannya Presiden berhak untuk mengganti Jaksa Agung maupun Kapolri atas ketidakmampuan mereka melakukan kerja atas tanggung jawabnya itu.

Menjadi pertanyaan besar atas keseriusan pemerintah dalam, hal ini Presiden untuk meny-elesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Mengingat awal April 2008 ini berkas-berkas kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, ka-sus Penculikan, kasus Wasior Wamena, dan kasus kerusuhan Mei 1998 dikembalikan oleh Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM. Jelas ini menyakiti, tidak hanya rakyat terutama keluarga korban,tentu saja ini semakin menunjukan ketidak mauan pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus Pelanggaran HAM.

Tragis memang sepuluh tahun reformasi berja-lan namun dalam kasus pelanggaran HAM tidak ada satu pun pelakunya diadili. Bahkan beberapa pejabat militer yang diduga sebagai pelaku ke-jahatan kemanusiaan itu menjadi pejabat publik bahkan ada yang tidak malu-malu mencalonkan diri menjadi Capres tahun 2009. Bagaimana Hen-dropriyono yang diduga melakukan pembunuhan massal di Talangsari tahun 1989, pada masa pemerintahan Megawati malah diangkat menjadi Kepala BIN (Badan Intelejen Negara). Hari ini kita bisa melihat bagaimana Wiranto 2dan Prabowo 3 mempertontonkan kepada kita bahwa pemerintah

REFORMASI TANPA PENEGAKAN HAMsuciwati

Aktivis KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir) dan JSKK (Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban Pelanggaran HAM)

80 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

RIO/SUMA

bidang ham

Page 83: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

dan bangsa ini tidak pernah belajar dari sejarah hitam. Ini semakin menunjukan dinegara kita im-punity sangatlah berakar dan kuat.

Bagaimana kabarnya partai reformasi? Partai-partai yang mengaku partai reformasi dan bahkan mempunyai fraksi reformasi di DPR, ternyata ga-gal menuntaskan agenda reformasi selama sepuluh tahun terakhir ini. Bahkan dengan jelas kita bisa lihat partai-partai yang ada memfasilitasi para pelaku pelanggaran HAM menjadi bagian dari partai mereka. Kita bisa lihat Eurico Guteres yang terlibat kejahatan HAM dalam jajak pendapat di Timor Leste dilibatkan di partai PAN, Andi Ghalib yang dicopot dari jabatannya ketika men-jadi Jaksa Agung karena dugaan korupsi malah ke-mudian eksis di DPR bahkan hari ini dia diangkat menjadi duta besar di India. Kompromi-kompromi tadi sangat melemahkan kampanye hukum yang sudah terlanjur mereka luncurkan ke publik selama masa kampanye pemilu. Ini semakin menunjukan bahwa parpol mempunyai andil besar melemahkan penyelesaian agenda reformasi dalam penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

Parpol menjadi produk institusional semata ketimbang dari masyarakat. Ironis memang karena parpol keharusannya menjadi produk yang berasal dan berakar seperti itu cenderung berkonsentrasi memapankan dirinya untuk kelancaran hubungan langsung dengan pemilihnya ketimbang menyal-urkan aspirasi masyarakat. Padahal mestinya, elite politik dengan parpol yang menjadi kendaraannya harus berupaya kuat mendorong proses pendidikan politik secara luas.

Sampai hari ini korban dan keluarga ko-rban Pelanggaran HAM sudah melakukan aksi sebanyak 60 Kamis (Aksi Diam Kamisan) didepan istana, sudah satu tahun lebih meminta diselesaikan kasus-kasus mereka yang dijanjikan dalam agenda reformasi. Satu ta- hun

lebih berdiri diam mengingatkan para politisi dan pejabat negara ini namun tiada satu pun dari para politisi kita bahkan pejabat penegak hukum yang menggubrisnya, tragis memang.

Boleh saja Presiden telah menemui mereka, kel-uarga korban pelanggaran HAM 4, bahkan berjanji akan menyelesaikan kasusnya namun yang jelas sampai hari ini tak ada satupun pelaku kejahatan kemanusiaan yang dihukum,padahal seharusnya menjadi agenda utama reformasi.

Tentu saja yang pasti dirasakan korban dan sebagai bangsa sampai hari ini adalah “Reformasi tanpa penegakan HAM”.

____________________

1 Antara News 21 Mei 2007 : “Kalau kita lihat struktur kekuasaan Indonesia sebelum reformasi,yaitu terpusat-nya kekuasaan,sekarang baik secara vertikal maupun horizontal,semua sudah kita lakukan reformasi” ujar Andi Malarangeng. Yang paling dekat adalah kasus Munir, kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Ini adalah PR yang masih tersisa yang terus menerus kita lakukan. Presiden meminta laporan dari Kapolri maupun Jaksa Agung tentang perkembangan penyelidikannya”,ujarnya.

2 Diduga melakukan Kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat di Timor Leste pada tahun 1999. Bahkan Serious Crime Unit (unit khusus yang dibentuk PBB untuk menyelesaikan kejahatan 1999 diTimor Leste tugasnya menjadi jaksa) sudah membuat dakwaan dan meminta Jaksa Agung di Timor Leste untuk melakukan penangkapan kepada Wiranto.

3 Dicopot jabatannya sebagai Danjen Kopassus pada tahun 1999 diduga terlibat dalam kasus Penculikan Aktivis 1998 atas rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk Wiranto dan sebagai anggota Susilo Bambang Yudhoyono serta Subagyo HS.

4 Keluarga korban Pelanggaran HAM (Tri-sakti Semanggi I dan II, Talangsari, Tanjung Priok,Penculikan, Kerusuhan Mei 98)diterima Pres-

iden pada tanggal 26 Maret 2008 di Istana Pres-iden.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 81

TAK

WA

/SU

MA

bidang ham

Page 84: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Dra. Masruchah

Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia

Tutur katanya tegas, tapi jangan sangka ia galak. Ia sangat vokal apabila berbicara mengenai masalah perempuan. Organisasi yang dipimpinnya merupakan organisasi

pertama perempuan yang berdiri pada era refor-masi dan telah memiliki lebih dari 15.000 anggota di seluruh Indonesia. Di sela-sela kesibukan-nya, Beliau meluangkan waktu untuk diwawan-cara oleh reporter SUMA, Ni Made Kumara Santi Dewi, langsung di kantornya yang berlokasi dae-rah Pasar Minggu.

Perkembangan apa yang terjadi dalam gerakan perempuan selama 10 tahun reformasi?

Pada masa orba (Orde Baru, -red) organisasi perempuan relatif dibungkam oleh negara. Saya melihat 10 tahun reformasi ada beberapa kema-juan yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perlindungan perempuan misalkan ada UU Kewarganegaraan yang tahun 2006 disahkan padahal pada masa Orba tidak bisa disuarakan terutama masalah kewarganegaraan ganda bagi anak. Lalu UU Penghapusan Ke-kerasan Dalam Rumah Tangga tahun 2004, UU Anti Trafficking yang sudah dibicarakan oleh ger-akan perempuan, kemudian sejak awal tahun 2007 sudah disahkan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya perempuan dan anak. Serta kemajuan-kemajuan yang lain. Tahun 2007-2008 menurut saya kemajuannya lebih pesat lagi, karena UU Penyelenggara Pemilu sudah menetapkan 30% keterlibatan perempuan di lembaga penyelen

ggara Pemilu. Lalu juga ada UU Partai Politik yang memang jelas mengatakan bahwa setiap par-tai baru perlu melibatkan 30% perempuan sampai di tingkat nasional dalam pembentukkannya. Ini akan mengadaptasi AD/ART partai, saat kongres atau munas harus melakukan revisi AD/ARTnya.)

Apakah arah gerakan perempuan sudah sesuai dengan cita-cita?

Masih ada yang melenceng karena konteks otonomi daerah juga perlu direview dan direfleksi-kan kembali, karena kebijakan-kebijakan di lokal ini banyak yang mengatur kehidupan perempuan selain soal pelacuran terutama perda anti maksiat, Jika perempuan keluar di atas jam 9 malam bisa kena razia. Saya pikir ini kan adalah hak berekspresi, dan hak asasi manusia. Dalam hal berbusana misalnya dia mau pakai jilbab atau tidak berjilbab itu kan haknya bukan tergantung kepada pikiran orang-orang. Tetapi intervensi terhadap agama luar biasa di beberapa daerah. Saya pikir ini adalah bentuk dari politisasi agama.

Perda Syari’ah?Ya, klo saya melihat sebenarnya pemerintah

kita atau penyelenggara negara ini sering menja-dikan pendekatan moral sebagai wacana, karena sepertinya RUU APP akan dihembuskan kembali dengan adanya isu ini. Di lokal dibatasi dengan perda-perda, di nasional dengan UU Pornografi. Dari aturan-aturan ini sebenarnya perempuan itu diharapkan untuk tidak bisa gerak, di situ

8� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

PEREMPUAN PASCA 10 TAHUN REFORMASI

ADE/SUMA

bidang perempuan

Page 85: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

nalarnya. Di satu sisi ini memang peluang politik yang baik, tapi jika kemudian ini dikunci dengan aturan-aturan moral. Saya pikir merupakan ma-salah besar bahwa seksualitas perempuan dikontrol sepenuhnya oleh negara. Kembali lagi ini adalah mainstream yang tetap mengatur perempuan me-lalui organisasi. Tapi sekarang ini diatur secara individu-individu dan kontrolnya adalah moral.

Apa pendapat Anda tentang pornografi? Begini ketika di di zaman rezim Orba kelom-

pok-kelompok agama atau ranah agama dibatasi dan dilarang masuk. Tapi ketika reformasi, siapa pun bebas menyuarakan suaranya. Dulu kelompok kanan atau kelompok-kelompok keras, funda-mentalis itu tidak diperbolehkan masuk ke ranah negara. Atau agama apa pun lah bahkan yang pal-ing moderat sekalipun negara tidak menyuarakan hal itu. Itu merupakan urusan personal. Sekarang ini semuanya menggunakan label agama. Entah caranya lewat menawari sesuatu, jual buku atau tawaran bimbingan dan lain-lain. Ada main-stream agama masuk di sini. Di sekolah-sekolah bisa saja terjadi kes-epakatan guru Agama mengatakan untuk me-ningkatkan ketakwaan dan keimanan, maka siswa-siswi harus sholat berjamaah. Atau siswi perempuan sebaiknya ba-junya di bawah lutut atau mengenakan jilbab. Ini merupakan taktik para guru agama. Ketika saya tanya di beberapa tempat, aturan ini merujuk pada UU Sisdiknas, karena di dalam UU Sisdiknas menyebutkan lembaga-lembaga pendidikan membuat kebijakan atau kurikulum sesuai dengan kearifan lokal. Lokal itu di lokal di mana? Lokal sekolah atau lokal di dae-rah itu? Seharusnya te-man-teman bisa lebih kri-tis memandang persoalan ini. Jika kita mengatakan batasan pornografi, itu

adalah hal yang mudah untuk bisa mengaitkannya. Ini realita, tapi semua ini alatnya adalah tubuh perempuan. Nah, di tingkat nasional itu mungkin kebijakan itu susah untuk diimplementasikan maka yang dijadikan alat ya konten porno. Ok, kita sepakat pada masalah-masalah yang porno, tetapi sudah ada UU yang mengatur sendiri men-genai masalah itu. Lalu untuk apa membuat UU Pornografi yang sebenarnya definisinya sendiri belum jelas? Jika kita melihat di daerah-daerah masalah mengenai pornografi ini sudah diwadahi dengan perda-perda syariah atau perda jilbabisasi. Menurut saya hal ini sebenarnya adalah masalah besar.

Harapan Anda ke depan? Saya berharap isu perempuan ini menjadi isu

sosial. Jadi tidak bisa jalan sendiri, gerakan sosial berjalan sendiri gerakan perempuan berjalan send-iri karena masalah perempuan juga masalah sosial. Yang kedua bagaimana di antara teman-teman ger-

akan perempuan sendiri juga saling menguatkan karena problem perempuan, ancamannya itu banyak sekali, bagaimana kita harus bekerja secara ber-sinergi dan mengadakan gerakan massiv baik di tingkat lokal, nasional, maupun dunia. Persoa-lan lokal juga persoalan nasional, persoalan na-sional persoalan lokal sehingga harus menjadi gerakan bersama. Kelom-pok-kelompok organisasi perempuan yang punya konstituen dan basis harus sering-sering melakukan konsolidasi karena jika ti-dak massa ini bisa tercerai berai karena situasi ke-miskinan yang luar biasa, situasi kebijakan yang dis-kriminatif di mana-mana. Massa ini harus diberikan informasi. Itu bagian yang harus dilakukan dengan baik.

DIAH SETIAWATIAISYAH ILYAS

“saya pikir merupakan masalah besar bahwa seksualitas

perempuan dikontrol sepenuhnya oleh negara”

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 83

PEREMPUAN PASCA 10 TAHUN REFORMASI

RIZ

KI/

SU

MA

bidang perempuan

Page 86: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Ini satu lagi kasus bu-ruknya persatuan di negara kita. Sebanyak 76, 4 juta masyarakat miskin

atau sekitar 30 persen dari total penduduk Indonesia diper-mainkan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab.

Seharusnya merekalah yang mendapatkan pemeliharaan hid-up oleh negara, termasuk dalam hal kesehatan, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dasar negara, UUD ‘45, Pasal 28H. Reformasi disuarakan, orde baru pun gulung tikar, dan ber-ganti masa desentralisasi. Disini masyarakat menanti keadilan, namun tetap saja mereka yang dirugikan.

Kisah ini menjadi masalah klasik di negara kita. Salah

satunya adalah masalah kes-ehatan masyarakat. Kesehatan di era desentralisasi sekarang ini diharapkan lebih baik, karena adanya distribusi tanggung jawab ke provinsi-provinsi dan kabupaten. Pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk memanajemen wilayahnya sesuai dengan kondisi mereka. Se-mentara sistem secara nasional masih dipegang oleh Departe-men Kesehatan (Depkes) yang bertindak sebagai pemerintah pusat. “Depkes berfungsi seb-agai regulator dan memberikan guidance yang sifatnya nasional, kemudian diterjemahkan oleh pemerintah daerah sesuai den-gan situasinya”, papar dr. Sandi Iljanto, MPH, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universi-

tas Indonesia. Berdasarkan keterangan Drs.

Chairul Anwar, Apt (anggota Komisi IX DPR-RI), masalah pertama yang membuat sistem desentralisasi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya adalah tingkat pemahaman peny-elenggara kesehatan, baik yang berada di pusat dan di daerah. Penyelenggara di tingkat pusat tidak menganggap penyeleng-gara yang berada di daerah adalah bagian tubuh yang saling berkoordinasi dan mendukung. Pemahaman seperti ini akan membuat tidak adanya kesiner-gisan suatu sistem.

Masalah kedua, penyeleng-gara daerah menganggap bahwa otonomi daerah memberikan otoritas yang tidak terkait sama

8� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

DESENTRALISASI KESEHATAN:askeskin diCaBut, masYarakat diruGikan

kesehatan

Page 87: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

sekali dengan pusat. “Timbul-nya gejala seperti Bupati atau Gubernur yang bertindak seb-agai raja-raja kecil yang ingin kekuasaannya penuh dalam mengatur masalah-masalah di daerah,” papar Chairul. Masalah yang ketiga, adalah masalah atau masalah penataan yang artinya belum terjadi dukungan yang sinergis antar stake holder dalam pengaturan dunia kesehatan. Masalah-masalah semacam ini seharusnya memang tidak terjadi di negara yang memiliki ideologi pancasila.

Namun, masalah tersebut adalah satu sisi dari kecederun-gan pemerintah mendahulukan kepentingan rakyat yang mulai tampak di pasca reformasi ini. Berdasarkan keterangan dr. San-

di, pada amandemen ke 4 UUD 45 setelah reformasi dinyatakan secara eksplisit bahwa negara menjamin pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan menjamin fasilitas medis. Intrepretasinya dari UU ini adalah kesehatan merupakan hak masyarakat. Se-luruh masyarakat miskin, secara penuh akan ditanggung oleh pemerintah. “Jika mereka sakit, dengan hanya membawa kartu miskin atau Surat Keterangan Tidak Mampu”, jelas Sandi.

Berdasarkan keterangan Chairul Anwar, bahwa wujud konkret negara menjamin pelay-anan kesehatan bagi masyarakat yaitu dengan menjadikan fasili-tas yang ada sebagai modal dasar. Fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat diberikan unsur in-put seperti sinergisme, anggaran , manejemen, visi-misi kesehatan, sehingga outcome yang dihasil-kan sesuai dengan cita-cita undang-undang. Namun kondisi yang ada sekarang seakan terjadi kesalahan manajemen, ketidak-sinergisan, visi-misi tidak jelas.

“Misal visi Indonesia Sehat 2010, sekarang sudah 2008 dan ting-gal 2 tahun lagi, jika dikatakan ini sangat sulit, apalagi dengan kondisi “centang pertang” sep-erti ini,” lirih Cahirul dengan nada pesimis.

Contoh lain yang diungkap-kan Chairul yang juga alumni Fakultas MIPA Universitas Indonesia yaitu permasalahan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin). Penyeleng-gara yang diberikan amanah mengatur Askeskin merasa sudah memanajemen Askeskin namun, mereka beranggapan bahwa merekalah sebagai pen-guasa dananya. Hal ini berarti tidak melihat kepentingan ma-syarakat. PT Askes tarik-tarikan dengan Depkes. Kondisi seperti ini yang dirugikan adalah ma-

syarakat bukanlah PT Askes atau Departemen Kesehatan.

“Masyarakatlah pemilik ang-garan itu”. Jelas Chairul dalam harian Tempo, 21 Februari 2008, hal. 7 , tertera bahwa Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari telah memutuskan tetap bekerja sama dengan PT Askes dalam penyelenggaraan Askeskin 2008. Namun yang terjadi setelah itu adalah perseteruan antara Di-rektur Utama PT Askes dengan Menkes Siti Fadilah Supari. Akhirnya Askeskin dicabut diganti menjadi Jaminan Kes-ehatan Masyarakat (Jamkesmas). Hal ini menjadi pembahasan khusus oleh komisi IX DPR-RI. Komisi ini meminta Menkes untuk meninjau ulang peralihan Askeskin menjadi Jamkesmas. Sementara hal ini belum jelas, Menkes telah mengatakan Ask-eskin beralih menjadi Jamkes-mas yang disampaikannya dalam sambutan pertemuan sosialisasi Jamkesmas di JCC, Senayan, Ja-karta, Rabu (26/3/2008).

Menkes pernah menyam-paikan bahwa beberapa alasan akhirnya kerjasama Askeskin dicabut dari

PT Askes adalah terjadi penggelembungan dana tung-gakan Askeskin. Pemerintah diminta mengeluarkan dana sebesar Rp 10 triliun untuk 74,6 juta rakyat miskin yang masuk kuota penerima Askeskin. Se-mentara dana yang tersedia di kas negara hanya Rp 4,6 triliun. Selain itu, dia kecewa dengan manajemen PT Askes yang dianggapnya buruk, khususnya soal transparansi pembayaran klaim tagihan perawatan dan RS serta verifikasi klaim tersebut. Dengan berbagai pengalaman ini, akhirnya Menkes berembuk dengan kepala dinas kesehatan se-Indonesia pada Senin (14/1). Informasi ini diambil dari lintas

PUTRI.SUMA

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 85

kesehatan

Page 88: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

berita www.mrmynews.com dalam artikel “Klaim Dana Ask-eskin Terlalu Mahal, Menkes Copot PT Askes”, Rabu, 16 Januari 2008, 07:01:26 WIB

Dengan membentuk Jamkes-mas sekarang ini, akan menim-bulkan permasalahan baru dan lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat. Pasalnya, pembentukan Jamkesmas tentu-lah membutuhkan penyesuaian yaitu waktu, uang, orang (SDM), dan jaringan. “Hal ini sama saja dimulai lagi dari nol,” jelas Chairul yang mengetok meja saat memaparkan hal ini. Ia pun menambahakan. “Kesehatan itu hanya menjadi kelinci perco-baan, tidak ada desain dari awal. Seharusnya dari tahun ketahun makin membaik, namun ke-nyaatanya tahun pertama sampai dengan ketiga “tengkar” kemu-dian tahun keempat memulai dari nol.” Berarti tahun kelima sama seperti tahun kedua. Ka-pan mau beres?” tandas Chairul, lelaki berkopiah yang kerap kali disapa ustaz oleh sekitar, saat Suma UI mewawancarainya di Gedung Jamsostek YTKI.

Chairul Anwar juga menam-bahkan, “Jika saja Siti Fadilah dapat memperkirakan hal ini dari awal tentulah akan lebih baik.” Disini terlihat bahwa tidak adanya konsep yang kuat, valid, dan jelas, untuk perma-salahan Askeskin. Sebenarnya dalam melangkah, Menkes su-dah mengumpulkan para pakar dan ada buku yang ia terbitkan, tetapi buku tersebut ternyata dilanggar. Achmad Sujudi se-belumnya telah menjalankan JPKMM, seharusnya tinggal diteruskan. Namun yang terjadi adalah Menkes Siti Fadilah Su-pari merubah sistem, manajerial ditarik ke PT. Askes kemudian ditarik lagi Jamkesmas. Padahal, sebelumnya Presiden Yudhoyono

pernah meminta Departemen Kesehatan, PT Askes dan pihak rumah sakit untuk membenahi mekanisme kerja sama penge-lolohan Askeskin ini.

Sebagaimana yang diung-kapkan oleh United Nations De-velopmnent Programme (UNDP), tingkat indeks pembangunan manusia Indonesia masih ter-tinggal dibanding negara-negara lain. Padahal, salah satu unsur terpenting dalam indeks pem-bangunan manusia adalah pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini membuat negara berkomitmen untuk meningkat-kan kesehatan masyarakat. Hal ini terlihat dari pemerintah me-naikkan anggaran kesehatan di tahun 2005 sekitar 5 triliun dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), yang sekarang menjadi 18 triliun, seperti yang diungkapkan oleh Chairul Anwar.

Namun menurut hasil diskusi mahasiswa FKM UI dalam forum kelas Kebijakan Kesehatan, meskipun ada kenaikan anggaran di masa desentralisasi tetap saja outcome dari kinerja kepemerintahan kesehatan sama saja, dan tidak ada bedanya, bahkan masalah kesehatan begitu “polemik”.

Hal ini dikarenakan, kesehatan tidak cukup berbicara anggaran, namun manajemen input, dan komitmen menjalankan proses dan juga kerjasama baik intern departemen dan antar departe-men terkait.

Jika saja kesehatan ma-syarakat dapat ditingkatkan ini berarti mendukung masyarakat untuk produktif secara ekonomi, seperti cita-cita UU 23 tahun 1992. Jika pendapatan atau kon-disi ekonomi masyarakat secara individual meningkat berarti meningkat pula perekonomian bangsa. Melihat kecenderungan ini, maka kesehatan menjadi sektor yang dikedepankan untuk memulihkan kondisi bangsa, meskipun masalah akan terus muncul. Terbukti dari adanya peningkatan aggaran kesehatan, dana pengurangan subsidi BBM yang dialihkan kepada kes-ehatan. Hal-hal ini juga didu-kung oleh Presiden SBY sendiri, seperti dalam pidato-pidatonya yang pro terhadap kesehatan termasuk Askeskin, dan bahkan sempat memimpin rapat kabinet terbatas bidang kesehatan di Departemen Kesehatan 20 Feb-ruari Silam. CHRISSENDY T.L.SITORUS

86 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

LIL

A/S

UM

A

kesehatan

Page 89: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

“Nama lengkap lu apa?”

“Ivory.”“Udah, gituh ajah?”“Iya, begitu saja. Singkat. Padat.

Daleem.”“Oh.” Responku, datar.“Kok elo gak keliatan penasaran, sih?”“Apa?”“Nama gue!”“Emangnya ada apa dengan namamu, Ivo?”“Katanya lo interest sama gue! Huh, gimana siy,

nama gue kan unik!”“Emang Ivory bahasa mana, ya? Sejenis bumbu

masak, bukan?”“Hmm, h0keh, sekarang gue percaya kalo nilai

pdpt bahasa inggris lu `C`!”“Hihi, maap deh, pengaruh gejala gizi buruk

waktu masih kanak-kanak.”“Ivory, demikian bonyok kasih nama gue.” Kata

Ivo sambil menangkupkan kedua tangannya meny-angga dagu, tatapannya seolah menerawang.

“Hmm.” Aku juga gak mau kalah, kucondong-kan tubuhku dan melakukan perilaku yang sama dengan Ivo, bedanya tatapan mataku hinggap ke meja seberang, memperhatikan seorang nenek tengah menganiaya cucunya yang baru saja melempar juice cabe rawit super tepat ke mata sang nenek.

“Ivory itu artinya GADING, bego…!” katanya sambil menjulek dahiku.

“Hmm.” Dengan keterbatasan kapasitas otak aku mencoba memahaminya.

“Ada pepatah yang menyatakan tak ada gading yang tak retak.”

“Oke, lalu apa hubungannya peryataan dari si pepatah yang merangkap jadi bandit pengutil gading gajah itu dengan nama lu, Ivo?”

“Begitulah gue adanya. Gue nggak sempurna, Dang. Seperti nggak ada gading yang gak retak.” Tandas Ivo, sok puitis.

“Hmm, jadi elu kek gading, ya?”“Right.”“Elu tau gak, gading itu sebenarnya bagian apa

dari tubuh gajah?” tanyaku yang emang paling ma-niak nonton acara animal documentary, terutama episode reproduksi katak dan episode bayi gajah beranjak puber.

“Gading ya gading, Dadang!” sentak Ivo.“Asal elu tau ya, Ivo. Gading gajah itu sebenar-

nya gigi lebih!”“HAH?”“Iya, Ivo. Gading itu gigi gajah yang tumbuh

mencuat ke luar! Gua juga gak tau gajah pake pasta gigi merek apa.”

“Gak. Gak mungkin. Gak mungkin. Boong lu!”

“Come on, that’s the fact, Ivo! Jadi, mulai se-karang elu gua panggil Ivo Si Gigi Gajah, hihi.” Selorohku, menggodanya. Menggoda Ivo. Cewek cantik sok idealis yang aku kenal seminggu lewat sudah sejak demonstrasi menentang kebijakan pemerintah mengimport jarum pentul Made in Ger-many. Cewek yang sekarang lagi menghisap seba-tang mild dalam-dalam usai menonton Ayat-Ayat Cinta di 21 Detos bersamaku.

“Oh, elo Dadang?”“Dadang Mulayana kasep, tepatnya.” Jawabku

cengar-cengir saat pertama kali berkenalan dengannya.

“Ketua Imaho ?”“Bukan, Neng. Itu mah Dadang Mahendra. Gua

mah normal.” Ralatku, menyelamatkan image pada pertemuan pertama.

“Oh. Ngapain lo ikut demo?”“Ditraktir mie ayam sama korlapnya.” Jawabku

jujur, sambil megang pantat2, entah salah tingkah, salah urat atau salah syaraf.

“Ck, yang kek elu nih ngerusak citra mahasiswa.” Ivo geleng-geleng kepala.

“Emang alesan lu ikut demo?”“GUE MAU NGERUBAH BANGSA INI!”“?”“MENCIPTAKAN MASYARAKAT MADANI!”Glek. Gua cuma bisa keselek mendengar penu-

turan Ivo. Otak gua gak nyampe. Ke laut aja luh, Dadang! Seolah seperti itu arti tatapan mata Ivo padaku.

“Elo gila, ya.”“Huh?” pernyataan sadis Ivo itu menyeretku dari

alam flashback.“Semua orang tadi pada nangis nonton AAC, eh,

elu malah ketawa cekikikan minta dicekek.”“Hihi, abis gua ngebayangin yang gak sadarkan

diri bukan Maria, tapi elu Ivo. Terus, yang berusaha menyadarkan bukan Fahri, tapi gua, si Dadang Kasep.”

“Begitu gue sadar, terus yang pertama kali gue lihat muka elo, Dang, pasti gue langsung teriak-te-riak: `Dokter! Dokter! Suntik mati saja saya!”3

Ivo ketawa. Gua juga ketawa, kenceng banget, karena emang begitu juga versi lamunan gua, yang bikin gua bisa-bisanya ketawa, minta ditabok, di tengah lautan air mata penonton AAC.

“Dang, besok lo ikut gue yuk?”“Ngapain?”“Biasa.”“Demo apalagi? Pelarangan menebang pohon

toge?”“Mencegah kenaikan BBM yang jelas-jelas ng-

erugiin rakyat!” seru Ivo berapi-api.“Hobi banget lu. Nggak deh. Besok gua mau

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 87

iVorYcerita pendek

Page 90: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

iVorY

nyari jangkrik.”“!” Ivo melotot padaku, seolah berkata: apa-

kah kau tak malu dengan mahasiswa-mahasiswa pahlawan Ampera dan pahlawan reformasi yang telah merelakan jiwa mudanya untuk negeri ini?! Mahasiswa durjana kau!

“Yah, nyari jangkrik kan juga ikut membantu me-ningkatkan ekonomi bangsa, Ivo.” Kilahku cengen-gesan, sambil mencomot french fries yang mulai mendingin di meja kami.

Para pengunjung resto silih berganti, tetapi kami belum hendak beranjak. Diam-diam kucuri tatap pahatan-pahatan wajah cantik Ivo yang ken-tara menyuratkan adanya sumbangan kromosom ras Arya yang angkuh dalam tubuhnya. Cocok denganku yang juga berwajah indo kalau begitu. Meskipun wajahku mirip tukang tape konon kata-nya kakeknya dari kakekku adalah mantan legiun asing Perancis yang tersohor di kancah perang dunia. Yah, jadi wajar saja kulitku jadi hitam manis begini. Mercy. Ehehehe.

Hmm, Ivo, rasanya ingin sekali aku mengatakan bahwa aku…,

“Dang!” seru Ivo, menghentakan lamunanku.“Uhm, apa?” Jawabku dengan tatapan mata

penuh cinta.“Gue pengen ngomong sesuatu sama lo.” Ucap

Ivo sambil mengaduk-aduk orange squash di hadapannya.

“…?” Aku semakin mencondongkan tubuhku, menanti apa yang akan diucapkan Ivo.

“Gue…, keknya gue…, gue jatuh cinta…sama,”“STOP! STOP, IVO! Nggak perlu segitunya! Bia-

rin gue yang nembak elu!” seruku setengah histeris, euphoria, tidak menyangka bahwa akhirnya Ivo menyadari pesona dahsyat alamiah yang aku miliki. Uoh!

“Jangan gila, lo, Dang.” Reaksi Ivo kemudian.“Tapi, Ivo, gua…,”“Gue JATUH CINTA sama BENO!” Pekik Ivo

dengan mata penuh cahaya.“Gua juga jatuh cinta…WHAT?! Elu jatuh cin-

tanya sama Beno?!” seruku gak terima. Kenapa bukan sama gue, Ivo? Rintih hatiku.

“Iya, Dang! I am fall in love with him!”“With BENO?”“Hmm.” Angguk Ivo.“Apa lebihnya Pak Beno, Ivo?!” aku benar-benar

gak bisa terima.“Ye, bukan Pak Beno satpam kampus kita,

Dang!”“?”“Ini BENO ketua Senat mahasiswa Teknik!”“Oh, emang ketua Senat mahasiswa fakultas

teknik namanya Beno juga?”“Iya, bodoh. Elu tuh emang gak aware yah sama

pergerakan mahasiswa!”Glek. Sainganku ketua Senat mahasiswa? Mati

aja guah!“Beno itu…orangnya humoris.”

Aku bisa lebih lucu dari Komeng, demi kamu Ivo!

“Beno itu…pemberani!”Demi elu, Ivo, Mak Lampir juga bakal gua ce-

kek kalo berani-berani nyentuh rambut lu! Lupakan Beno! Please.

“Beno itu…ganteng.”Gue? Apa bedanya jempol, eh, muka gue sama

Afghan?“Beno itu…cerdas.”GLEK. Kalau yang ini gua juga ragu.

“Yang terpenting Beno itu orangnya berwibawa dan idealis banget!”

SKAK MAT!*****Alkisah, Ivo akhirnya resmi jadi calon istri si

Beno satpam, eh, ketua senat sialan itu! Hingga pada suatu hari terjadilah peristiwa yang menghe-bohkan!

“Ivo turun! Jangan nekat, Ivo!” teriak beberapa mahasiswa yang berusaha menolong.

“Jangan pada ngedeket! Gue lompat nih!” teriak Ivo sambil melakukan aksi sirkus di atas pagar pembatas jembatan Teksas yang menghubungkan fakultas teknik dan sastra.

“Ivo, kalo jatuh elu mati!” Seruku merangsek ke depan mendekati Ivo.

“Ya iyalah, mati! Bego lo, Dang! Udah, jangan ngedeket lagi!”

“Ivo, setidaknya elu katakan alasanya! Kenapa, Ivo? Bukan kek gini Ivory yang gue kenal!”

“Tak ada gading yang tak retak, Dang! Saat ini hati gue bukan hanya retak, tapi remuk!”

“?”“BENO sialan!”“Hah?”“Iya, Dang. Beno ngekhianatin gue.”“Ngepet. Berani-beraninya dia nyakitin hati lu!

Biar gua cabutin semua bulu yang melekat di tu-buhnya!” eng ing eng, aku jadi superman dadakan,

“Dia ngapain lu, Ivo?!”“Dia selingkuh.”“Sama siapa?”“Asia Carrera.”“Oh, sama si Asia…HAH?! Itu kan bintang porno

termahsyur abad ini!”“Kok elo tau, Dang? Elo juga sering nonton, ya?

Huh. Dasar lelaki!”CRAP!

“Tapi ini BENO, Dang! Kalo mahasiswa kek elo sih wajar dan gue bisa terima.”

CRAP! CRAP!“Beno bukan hanya selingkuh dari gue! Dengan

mengoleksi tiga giga bokep Asia Carrera dia juga telah selingkuh dari jalan pergerakan yang dianut-nya!”

“Beno kan juga manusia, Ivo.”“Pokoknya gue mau mati ajah!”“Beno hanya lelaki, with his heart and his pas-

sion.”

88 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

cerita pendek

Page 91: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

iVorY“Kok elu malah belain Beno, sih!”“Seperti kata elu, Ivo. Nggak ada gading yang

semulus Miyabi4. Eh, ups!”“Siapa tuh, Miyabi?”“Tukang pecel. Udah, lupain ajah.”“Beno sudah mencemarkan nama gue dan

nama pergerakan mahasiswa dengan kelakuannya itu!”

“Ivo, di dunia fana ini emang nggak ada yang sempurna. Elu sendiri tau kan, isu kondom bekas yang bertebaran di gedung perwakilan rakyat pas-capendudukan gedung itu oleh mahasiswa Mei 1998? Lihat, buka mata Ivo, gading reformasi yang segitu harumnya ajah menyimpan retaknya sendiri! Apalagi hanya seorang Beno?!”

“Tapi gue tetep nggak bisa terima kenyataan ini, Dang!”

“Emang Beno udah ngapain ajah sampe elu ne-gerasa tercemar dan nggak bisa terima gitu?”

“Dia udah…,”“Apa?””“Beno udah…,”“APA?! DIAPAIN?!” aku yang jadi heboh sendiri,

garuk-garuk selangkangan.“Hiyah, elo tau sendirilah, apa yang udah kita

lakukan sebagai sepasang kekasih.” Lirih Ivo me-malingkan wajahnya, bersiap-siap hendak mence-burkan diri ke danau.

Beno…dasar, pendekar durjana pemetik bunga5 kau! Makiku membatin.

Awan terlihat tebal menutupi langit sehingga air danau nampak begitu kelam dan suasana di seki-tarnya lebih mencekam.

“Dang…,” mendadak Ivo kembali memalingkan wajahnya, menatapku, lekat.

“Iya?”“Elo mau nolongin gue gak?”“Apapun Ivo!” seru gue serta merta, “gue siap

kok kalau harus bertanggung jawab atas perbua-tan yang dilakukan Beno. Kalau lahirnya cewek kita kasih nama…,”

“Nggak segitunya, Dang! Mending gue disuntik mati aja.” Ivo sempat-sempatnya tersenyum sebe-lum menuntaskan niat harakirinya.

“?”“Dang…,” Ivo menatapku lekat, penuh harap.“Iya, Ivo?”“Maukah kau?”“?”“Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bi-

birku dengan bibirmu?6”“Bibir Beno?”“Hmm.”“Di bibir lu?”“Iya.”“Pake bibir gue?”“Please.” Ivo menuruni pagar pembatas jemba-

tan, menghampiriku.“Lakukan! Lakukan! Tolong dia! Penuhi permin-

taannya!” seru seorang mahasiswi yang berhati

tulus.“Cium! Cium!” pekik segerombolan mahasiswa

berakal bulus.“Gue aja! Gue aja!” jerit napsu beberapa orang

mahasiswa berwajah nista.“Tapi, duh, gimana ya,” aku pasang tampang

seolah dipaksa melakukan sesuatu yang sangat kubenci. Ivo tersenyum penuh arti. Ups. Rupanya dia dapat membaca ekspresi sebenarnya dalam hatiku yang berteriak-teriak: Yes! Yes! Come on, babe. Lets kiss!

“Please, Dang. Gue nggak pengen ngebawa be-kas bibir Beno ke akherat.”

“Baiklah Ivo, jika kau memaksa.” Aku pasang muka paling hipokrit.

Seorang mahasiswa berinisiatif memasang hijab7 dari sepanduk bertuliskan ucapan selamat atas terpilihnya dekan fakultas yang baru.

Maka kami berciuman. Dimulai perlahan. Lalu semakin ketat. Semakin dalam. Semakin larut. Hingga tak sadar ketika Ivo melepaskan bibirnya, aku ambil inisiatif merangsek menghapus bagian-bagian lain di wajah dan leher jenjang Ivo yang kusinyalir terdapat jejak-jejak Beno.

“Adakah bekas lain dari tubuh Beno di tubuhmu yang perlu kuhapus dengan tubuhku?” lirihku, saat tiba di daun telinga Ivo. Rintik hujan mulai berting-kah saat aku mengatakan kalimat yang sangat propokatif itu.

“Cukup, Dang. Biarkan hujan yang menghapus semua bekas yang ditinggalkan Beno pada diriku.” Usai berkata demikian Ivo menanggalkan satu per satu pakaiannya, tanpa sisa sehelai benang. “I wanna naked in the rain.” Ujar Ivo, setengah berbi-sik, kepadaku.

Damn, lucky rain!Maka hujanpun terjun bebas sejadi-jadinya,

penuh gairah membasuh tubuh telanjang Ivory, seolah memenuhi titahnya, menghapus sisa-sisa Beno yang melekat dalam tubuh dan jiwanya, merekatkan kembali serpih-serpih gading hatinya yang telah remuk hilang bentuk.

ENDANG RUKAMANADepok, Mei 2008

_____________________

1 Ikatan Mahasiswa Homo2 Milik gua, bukan Ivo.3 Based on true story beberapa kawan gua yang

nonton AAC.4 Bintang film porno.5 Istilah hasil kreasi seorang kawan; based on true

story.6 Judul cerpen Hamsad Rangkuti.7 Dinding penghalang

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 89

cerita pendek

Page 92: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Jakarta, 2.15 pagi

Saya masih sangat men-gantuk sebenarnya. Tapi apa mau dikata, jarum jam telah lewat 15 menit

dari angka 2. Sudah dua hari ini, saya juga harus menggantikan teman yang sedang sakit. Ia me-mohon agar saya menggantikan-nya untuk beberapa hari. Ia tidak ingin kehilangan pekerjaan ini karena tanggungannya banyak, istrinya dua dan punya enam anak. Saya pun tidak tega me-nolak permintaannya. Dengan mata masih setengah terpejam, saya bersiap-bersiap untuk be-rangkat kerja.

Jakarta masih sepi ketika saya tiba, hanya satu dua mobil yang lalu lalang dan beberapa truk besar. Angin pun masih dingin menusuk sampai ke tulang. Benar-benar menyiksa tubuh kurus saya yang hanya dibalut dua lapis pakaian. Per-angkat tempur untuk bekerja sudah saya bawa. Sarung tangan, sapu lidi besar bergagang pan-jang sudah di tangan dan kain penutup kini sudah dililitkan di wajah. Saatnya membersihkan sampah dan kotoran di sepan-jang Thamrin sebelum jalanan ini dijejali oleh kendaraan plat B.

Setelah hampir 2 jam, akh-irnya tugas saya untuk sementara selesai juga. Langit Jakarta pun mulai berubah warna dari kelabu menjadi biru keungu-unguan. Fajar telah menampakkan diri. Berarti saya sudah bisa istirahat sejenak. Dan jam kerja saya beri-kutnya sekitar jam 10 pagi.

Namun, betapa terkejutnya saya ketika akan kembali mem-bersihkan jalanan melihat lebih banyak polisi yang berjaga-jaga di sekitar Bundaran HI.

“Mau ada apa lagi nih, mas?” tanya saya ke Karjo teman sekerja saya

”Mahasiswa mao demo kat-anya”

“Demo apa lagi?””Katanya sih tentang repor-

masi!””Oh...,” jawab saya sekenanya”Repormasi udah 10 taon

katanya, jadi mao didemo-in sama mahasiswa. Gua gak ngerti dah maunya apaan, tapi ini mah bakal nambah-nambahin ker-jaan kita aja...!!”, tambah Karjo agak sewot.

***Sudah sepuluh tahun? Be-

narkah? Secepat itukah waktu berjalan? Mendengar kata ”Re-formasi” saya selalu teringat bapak, ibu, dan Ika adik saya. Entah dimana mereka sekarang. Berarti sudah hampir sepuluh tahun saya hidup sendirian.

Reformasi, menurut orang-orang sih bagus untuk negeri ini. Berhasil menggulingkan Pak Harto yang berkuasa dengan otoriter selama 32 tahun katanya. Tapi, saya sendiri tidak begitu ingat apa yang sebenarnya terja-di saat itu. Waktu itu umur saya baru 13 tahun. Yang saya ingat, banyak kerusuhan, banyak yang mati, banyak tentara, dan awal sebuah kehilangan...

Akhir tahun 1997, seingat saya, bapak semakin sibuk.

Bahkan sering pulang sampai larut malam dan pagi-paginya bapak sudah pergi lagi. Menurut cerita ibu, bapak sedang mem-perjuangkan kebenaran. Tapi kebenaran apa? Saya sama sekali tidak mengerti. Yang saya tahu, bapak saya hanyalah seorang pengusaha besi bekas sederhana bukan pengusaha kaya. Bapak cuma punya 6 pekerja. Tapi berkat kerja kerasnya, bapak bisa mencukupi kebutuhan keluarga kami dan keenam pekerjanya. Bapak saya adalah orang yang ulet, berani, dan keras. Dia juga suka menolong orang yang se-dang kesusahan. Dugaan saya, karena menolong orang itulah bapak saya hilang.

Sekitar bulan September 1997, Bapak saya pernah marah besar. Sampai-sampai dia me-lempar besi-besi tuanya karena emosi. Saya dan Ika yang me-lihat kejadian itu benar-benar takut. Kata Bang Pino, salah satu pekerja bapak, ini karena Kak Faisal. Pekerja termuda ini menghadap bapak dan men-gatakan akan berhenti bekerja karena ingin aktif di pergerakan buruh. Kata Bang Pino lagi, diam-diam Faisal malah sudah dipercaya sebagai jenderal lapan-gan di setiap demonstrasi kaum buruh. Makanya, para pria berseragam loreng sibuk menca-rinya karena dianggap berbahaya.

Sejak saat itu, saya tidak pernah lagi melihat Kak Faisal. Tapi beberapa hari kemudian, saya malah sering melihat seo-rang lelaki berbadan tegap den-

90 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

SEPULUH TAHUN YANG LALU...

cerita pendek

Page 93: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

gan jaket kulit berdiri di ujung gang rumah kami. Hampir setiap hari dia di situ. Dia hanya berdiri, terus merokok, dan memperhatikan sekelilingnya.

Suatu hari, lelaki itu datang ke rumah kami, ia ingin berte-mu bapak katanya. Ibu terlihat gugup ketika mempersilahkan lelaki tidak ramah itu masuk. Lelaki itu terlibat pembicaraan serius dengan bapak, tapi saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena ibu menyuruh kami bermain di luar. Setelah kedatangan lelaki itu, bapak selalu pulang malam. Wajahnya selalu lelah dan pucat.

Saya masih ingat, sehari sebelum natal, waktu itu saya dan Ika sudah tidur, tapi bapak masuk ke ka-mar dan membangunkan kami. Bapak kemudian memeluk kami erat dan lama sekali. Beliau berpesan agar tidak nakal dan menjaga ibu. Karena masih mengan-tuk, saya tidak paham betul apa yang bapak katakan. Namun, itu terakhir kalinya bapak memeluk dan berbicara pada saya. Setelah itu bapak tidak ada, entah menghilang atau dihilan-gkan. Saya tidak tahu.

Ibu benar-benar shock setelah bapak hilang. Ia mendatangi be-berapa orang pintar agar menda-pat petunjuk keberadaan bapak. Menurut orang-orang pintar itu, bapak ada di antara timur dan selatan Jakarta. Awal Februari ’98, ibu memaksa saya menema-ninya mencari bapak. Awalnya, saya menolak karena kondisi ibu masih sangat labil. Namun karena pesan terakhir bapak, ak-hirnya saya menemani ibu. Ika yang masih kecil terpaksa dititip di rumah kakak ibu di Cikini.

Sebulan sudah kami berkeli-ling, tapi tidak menemukan apa-apa. Akhirnya kami menjelajahi pelosok Jakarta karena ibu masih ingin mencari. Perasaan ibu terus mengatakan bapak masih hidup.

Malam itu, Jakarta didera hujan lebat. Saya dan ibu terpak-sa berteduh di depan toko yang sudah tutup. Saya benar-benar kelelahan saat itu dan akhirnya tertidur. Ketika saya terbangun di pagi hari, saya benar-benar terkejut! Ibu tidak ada! Saya mencari ibu selama berjam-jam.

Tapi tidak ketemu.

Yang saya tahu dari

papan toko, seka-rang saya berada di Pondok Gede. Karena berharap ibu akan kembali, akhirnya saya menung-gu ibu di depan toko tempat kami berteduh tadi malam. Sampai malam tiba, ibu tak jua kembali. Hujan kembali turun dan saya pun menangis sejadi-jadinya.

Naluri membawa saya men-cari ibu ke rumah tante di Ciki-ni, karena di sana juga ada Ika. Tanpa uang sepeserpun, saya akhirnya menumpang sebuah

mobil bak sampai Pasar Rebo. Dan dari sana, saya terpaksa berjalan kaki ke Stasiun Tanjung Barat. Untungnya saya masih in-gat rumah tante di Cikini yang memang tidak jauh dari stasiun kereta. Secercah harapan mun-cul ketika saya mendekati jalan masuk ke rumah tante. Saya ber-harap ibu dan Ika ada di sana.

Rumah tante ternyata sepi dan terkunci. Mungkin mereka sedang pergi, pikir saya. Saya pun menunggu di depan rumah sampai malam, tetap rumah itu sepi. Tiga orang lelaki lengkap dengan senter dan pentungan

kemudian menghampiri saya.

”Ngapain kamu di sini?” tanya salah satu dari mereka. ”Kamu harus pulang...”

”Iya, kamu harus cepat pulang! Bahaya! Sekarang keadaan se-

dang gak aman...!” ”Tapi...tapi...saya

lagi nunggu tante saya, Pak.”

”Nunggu siapa? Tante kamu?,” tanya mereka.

”Iya, Pak...ini rumah tante saya””Loh??!! Kamu gak

tahu??? Mereka...mereka...mere-ka...sudah meninggal...hangus..”

”Hangus????” tanya saya bingung

”Iya,emm...mereka mening-gal waktu menjarah...,” jawabnya lirih.

”Maksudnya apa, pak?? Terus adik saya bagaimana??? Anak kecil yang dititip di rumah tante saya ini!”

”Anak kecil apa? Pokoknya hampir dua minggu ini rumah tantemu tak berpenghuni...”

FANNY FAJARIANTIMei 2008

HANIF/SUMA

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 91

cerita pendek

Page 94: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Dalam rentang waktu 10 tahun sejak

berakhirnya masa Orde Baru, telah lahir banyak buku tentang proses reformasi di

Indonesia. Beberapa dari buku-buku ini telah menjadi

semacam catatan perjalanan reformasi, dengan menyatakan

berbagai permasalahan,

pandangan, ataupun langkah-langkah

yang telah ditempuh dalam reformasi.

9� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

Buku yang dapat meng-gambarkan titik awal dari reformasi, dimana gejolak dan krisis ke-

hidupan publik masih sangat ter-asa, salah satunya adalah Opini Masyarakat: Reformasi Kehidu-pan Bernegara, Dari Krisis ke Reformasi. Sesuai dengan judul-nya, buku ini secara keseluruhan merupakan gagasan-gagasan seputar reformasi dalam ke-hidupan bernegara di Indonesia. Ia diterbitkan pada bulan April tahun 1999 oleh Penerbit Har-ian KOMPAS dan di dalamnya terdapat 49 artikel yang pernah dimuat dalam koran KOMPAS sepanjang tahun 1998. Bebera-pa penulis artikelnya yang cukup terkenal adalah Abdurrahman Wahid, H Rosihan Anwar, Kwik Kian Gie, Franz Magnis-Suseno, dan Selo Soemardjan. Meski-pun di dalamnya tidak terdapat pembahasan yang terlalu ilmiah atau mendalam, ia tetap menarik dalam rangka menunjukkan sub-stansi krisis masyarakat pada saat awal reformasi serta me-maparkan opini-opini antara lain mengenai reformasi menghadapi pasar global, bagaimana mem-bangun ketatanegaraan, dan agenda reformasi total.

Dalam tahapan reformasi selanjutnya, buku yang dapat cukup memberi gambaran men-genai proses reformasi adalah Reformasi Menjadi Deformasi: Dari Lengser ke Lengser. Buku yang diterbitkan pada tahun 2001 oleh Universitas Indonesia

ini merupakan kumpulan artikel yang ditulis oleh Prof. Dr. Sri-Edi Swasono (SES) dalam berbagai surat kabar antara 1997-2000. Tersusun secara kronologis berdasarkan tanggal ditulisnya artikel, tulisan SES menunjukkan sisi yang lebih akademis dalam pembahasan seputar reformasi. Secara keseluruhan, SES yang disebut-sebut sebagai ses-eorang yang berorientasi rakyat ini membahas bahwa reformasi telah mengalami kemunduran karena telah terdapat berbagai permasalahan antara lain dalam pembangunan daerah, perlind-ungan TKW, transmigrasi, otono-mi, ekonomi, birokrasi serta pemerintahan.

Selain pandangan orang Indonesia seputar proses refor-masi, terdapat pula pandangan orang asing yang dapat menun-jukkan pendapat atau analisa luar tentang proses yang dilalui oleh bangsa. Beberapa buku yang mengemukakan pan-dangan ini antara lain adalah Indonesia in Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis dan Post-Soeharto Indonesia: Renewal or Chaos?, diterbitkan oleh Institute of Southeast Asian Studies. Terdapat pula Refor-masi: The Struggle for Power in Post Soeharto Indonesia karya Kevin O’Rourke, semacam catatan sejarah dan analisa mengenai politik Indonesia dari tahun 1996-2001.

RIZKY SADALI

BIBLIOGRAFI reformasi indonesia

resensi

Page 95: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Foto

: Sepuluh tahun refor-masi sepertinya men-jadi moment penting bagi sebagian besar

masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya acara yang dibuat. Tak ketinggalan in-dustri perfilman. Film Berjudul May merupakan salah satunya.

Film yang mengambil set-ting peristiwa Mei 1998 ini bercerita tentang seorang gadis bernama May (Jenny Chang). Ia merupakan seorang gadis ke-turunan Tioghoa yang keseharian-nya membantu di restoran bakmi milik ibunya, Cik Bing (Tuti Kirana). Dalam film ini, diceritakan kalau ia memi-liki kekasih seorang pribumi, Antares (Yama Carlos), yang merupakan sutradara film do-kumenter.

Alkisah, May ingin sekali menjadi seorang artis. Demi impiannya itu, ia rela datang memenuhi panggilan casting, tanggal 13 Mei. Meski situasi ibu kota saat itu sedang kacau dan terjadi kerusuhan.

Ketika ia berusaha ber-sembunyi dan meminta per-tolongan dari sang kekasih,

tragedi itu pun datang. Ia menjadi salah seorang korban kekerasan seksual ketika itu. Hal ini menimbulkan trauma tersendiri pada diri May. Se-

hingga, ia dan ibunya memu-tuskan untuk meninggalkan Indonesia dan menetap di Malaysia.

Film May ini disutradarai oleh Viva Westi dan ditulis oleh Dirmawan Hatta. Dalam film ini bertaburan aktris dan aktor pen-datang baru sep-erti Jenny Chang, Yama Carlos, dan Tuti Kirana. Meski-pun demikian, sejumlah aktor se-nior tetap mendu-kung film ini, Ria Irawan (Haryuni), Niniek L Karim (Ibu Haryuni), dan Tio Pakusadewo (Harriandja) meru-pakan beberapa contohnya. Film produksi Flix Pic-

ture ini mengambil lokasi syut-ing di sejumlah kota di Indone-sia dan Malaysia.

Kisah yang mengambil latar kerusuhan Mei ini, lebih banyak diwarnai oleh kisah percintaan antara May dan An-tares. Meskipun demikian film ini sukses menggambarkan kerusuhan saat itu

SEFTI, DEVI, (dari berbagai sumber)

Cinta maY DI TRAGEDI MEI

Judul: MAY

sutradara: Viva Westi

Pemain: Jenny Chang, Tuli Kirana, Yama Carlos, Ria Irawan,

Niniek L. Karim, Tio Pakusadewo

Produksi: Flix Pictures

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 93

ISTIMEWA

resensi

Page 96: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Siapa yang tidak tahu Laskar Pelangi? Novel ini, menyusul sekuel-sekuelnya, Sang Pemimpi,

Edensor, dan Maryamah Karpov yang tergabung dalam tetralogi menjadi novel inspiratif bagi bany-ak orang. Membicarakan novel-novel ini, mau tak mau kita akan mengingat pengarangnya, Andrea Hirata.

Ditemui di akhir acara Jumpa Fans setelah se-belumnya menjadi bintang tamu pada acara Kick Andy Off Air di Balairung UI, pria berambut ikal ini me-nyapa SUMA dengan ramah. Ia menyatakan pendapatnya mengenai pendidikan di Indonesia. Menurutnya, Pendidikan di Indonesia sekarang merupakan pendidikan massal (mass education), dimana orang-orang menjadi oportunis kare-na siswa belajar bukan karena mencintai ilmu, tetapi karena ingin masuk ke perguruan tinggi negeri. Saat ini pula masyarakat cenderung mu- dah menya-lahkan pemerintah atas kualitas pendidikan kita, seharusnya jangan buru-buru saling menyalahkan karena persoalan ini memang bukanlah sesuatu yang mudah dipecahkan. Untuk hal ini, ia meny-

ampaikan usulan pemecahan masalahnya, yaitu orang-orang pintar di Indonesia membuka kelas-kelas gratis. Seperti yang sudah dilakukan olehnya yaitu membuka kelas gratis untuk mata pelajaran fisika, kimia, biologi, dan bahasa inggris di jenjang pendidikan SD,SMP,SMA.

Selain pendidikan di Indonesia, ia pun juga me-nyoroti pendidikan di UI. Menurut pria yang pernah mengecap bangku kuliah di S1 FEUI Ekstensi

Jurusan Manajemen UI ini, dirinya kaget ketika mengetahui prestasi UI di salah satu lomba Penulisan Ilmiah yang, bahkan, 10 besar saja tidak masuk. Menurutnya ini satu penurunan yang mengece-wakan. Sehingga ia berpesan agar mahasiswa UI terus mem-perbanyak scientific writing untuk dapat mendukung misi UI menjadi research university.

Terakhir, pria yang terpilih sebagai salah satu Tokoh Peru-bahan 2007 versi Republika ini bercerita tentang kesibukan-nya menggodok film adaptasi Novel Laskar Pelangi, dimana ia menggandeng dua sutrada-ra handal, Riri Reza dan Mira Lesmana. Sebenarnya, se-belum ini sudah banyak yang melirik Laskar Pelangi untuk diadaptasi ke film, tetapi baru ditangan dua sutradara handal ini, Andrea menaruh kepercayaannya. Menurut-nya, mereka memiliki kapa-sitas sebagai orang-orang berbakat. Selain itu, nilai

tambahnya adalah mereka tidak pernah membuat film horor.

Ok, sukses ya untuk filmnya. Kita tunggu keha-dirannya di layar lebar.

DEVI RAISSA

9� Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

andrea HiratakeCewa Prestasi ui di PenuLisan iLmiaH

ALI/SUMA

singkap

Page 97: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

”Terima kasih cinta.. untuk segalanya.. Kau berikan lagi.. kesempatan itu... Takkan terulang lagi... semua kesalahanku..Yang pernah menyakitimu..”

Secarik bait di atas adalah cuplikan lirik tembang Terima Kasih Cinta yang dilantunkan

penyanyi pendatang baru, Afgan. Kiprahnya di du-nia tarik suara berawal dari sekadar iseng bernya-nyi di studio instant recording Wanna B. Karakter vokal cowok kelahiran Jakarta, 27 Mei 1989 yang dinilai unik dan romantis ini rupanya me-narik hati sang produser studio tersebut. Produser Wanna B Music Production kemudian menawari Afgan untuk mem-buat album hingga akhirnya terbitlah album pertamanya yang bertitel Confession No. 1.

Single pertama Afgan yang berjudul Terima Kasih Cinta kemudian langsung menjadi hits. Wajah manis berhias lesung pipinya pun sekejap menjadi idola, tak hanya di kalangan remaja, tetapi juga orang dewasa. Tawaran bernyanyi baik on air ataupun off air serta wawancara pun kemudian menjadi makanan sehari-harinya. Namun, aktivitas promo album serta show tersebut diakui cowok ber-nama panjang Afgan Syah Reza ini tidak menganggu aktivitas akademiknya di Fakultas Ekonomi Uni-versitas Indonesia walaupun pada awalnya sem-pat keteteran. ”Kesulitan awal-awalnya pasti ada. Kaya keteteran lah. Tapi sekarang udah disesuain semua sama jadwal kuliah. Jadi gak ganggu.” ujar

Afgan ketika ditemui selepas acara Bakti Kandidat salah satu calon ketua BEM FISIP UI. Agar tidak bentrok atau mengganggu kuliahnya, lulusan SMA 34 Jakarta ini hanya menjalani promo album atau tawaran menyanyi selepas kuliahnya selesai atau pun di akhir pekan saja, ”Kita sih promo cuman seusai jam kuliah gitu.. jadi biasanya malem dan weekend.” tegasnya.

”UI gitu loh!” Itulah jawaban Afgan ketika dita-nya apakah ia mendapat dispensasi atau toleransi

dari dosen atas kesibukannya promo album. Selain itu, meskipun sekarang su-dah menjadi artis ngetop dan bukan sekadar anak kuliahan biasa, Afgan mengaku ba-hwa statusnya sebagai artis tidak membuat ia mendapat per-lakuan khusus di lingkungan so-sialnya, ”Nggak, nggak.. gak ada perubahan sama sekali reaksi te-men-temen gue sih..” Cowok berka-camata ini juga ber-tekad untuk tetap fokus dan berusaha yang terbaik untuk kuliahnya agar cita-citanya untuk kuliah di Australia bisa ter-

capai. Di tengah kesibukannya promo album dan show, Afgan juga masih menyempatkan diri untuk proses produksi album keduanya.

LARAS LARASATI

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 95

afGan sYaH reZa “ui GiTU LoH”

LA

RA

S/S

UM

A

singkap

Page 98: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

Pt LaPindo BrantasPak Guru : Apa yang kamu ketahui tentang PT Lapindo Brantas?Murid : “Perusahaan tambang Lumpur Panas yang bikin Sidoarjo Benar-benar terbenam tanpa bekas”

nYanYianKulihat ibu pertiwiSedang bersusah hatiHarga minyak semakin tinggiRakyat susah makan nasiKorupsi pun terus bertambahKaya’ nggak sudah-sudahKini ibu sedang laraReformasi nggak ada guna

BuLe naik taksiApa beda orang Indonesia dan orang bule kalau naik taksi?Kalau orang bule, pandangannya ter-tuju sama pemandangan luarKalau orang Indonesia pandangan-nya selalu tertuju pada argometer Takut kalo entar nggak bisa bayar.

BerBaHasa indonesiaBerbahasa Indonesia memang lebih nyaman. Coba aja ngomong kalimat-kalimat di bawah ini.Bahasa Indonesia: “Tiga nenek sihir mengagumi tiga buah arloji merk Swatch. Nenek sihir mana melihat pada arloji Swatch yang mana?”Bahasa Inggris: “Three witches watch three Swatch watches. Which witch watch which Swatch watch?

dosen BotakMengapa dosen sejarah botaknya pada kepala bagian belakang, se-

dangkan dosen fasilkom dibagian depan?Karena dosen sejarah berpikir ten-tang masa lampau, sedang dosen fasilkom berpikir untuk masa depan.

GeorGe BusH uedanPercakapan George Bush (G) dan Codoleeza Rice (R)...G: Condi! Nice to see you. What’s happening? R: Sir, I have the report here about the new leader of China. G: Great. Lay it on me. R: Hu is the new leader of China. G: That’s what I want to know. R: That’s what I’m telling you. G: That’s what I’m asking you. Who is the new leader of China? R: Yes. G: I mean the fellow’s name. R: Hu. G: The guy in China. R: Hu. G: The new leader of China. R: Hu. G: The Chinaman! R: Hu is leading China. G: Now whaddya’ asking me for? R: I’m telling you Hu is leading China. G: Well, I’m asking you. Who is lead-ing China? R: That’s the man’s name. G: That’s who’s name? R: Yes. G: Will you or will you not tell me the name of the new leader of China? R: Yes, sir. G: Yassir? Yassir Arafat is in China? I thought he was in the Middle East. R: That’s correct. G: Then who is in China?

R: Yes, sir. G: Yassir is in China? R: No, sir. G: Then who is? R: Yes, sir. G: Yassir? R: No, sir. G: Look, Condi. I need to know the name of the new leader of China. Get me the Secretary General of the U.N. on the phone. R: Kofi? G: No, thanks. R: You want Kofi? G: No. R: You don’t want Kofi. G: No. But now that you mention it, I could use a glass of milk. And then get me the U.N. R: Yes, sir. G: Not Yassir! The guy at the U.N. R: Kofi? G: Milk! Will you please make the call? R: And call who? G: Who is the guy at the U.N? R: Hu is the guy in China. G: Will you stay out of China?!And stay out of the Middle East! Just get me the guy at the U.N. R: Kofi. G: All right! With cream and two sug-ars. Now get on the phone. (Condi picks up the phone). R: Rice, here. G: Rice? Good idea. And a couple of egg rolls, too. Maybe we should send some to the guy in China. And the Middle East. Can you get Chinese food in the Middle East?

(dari berbagai sumber)

96 Suara Mahasiswa No. 24 Tahun XV, 2008

HA

NIF

v/S

UM

A

ui mania

Page 99: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23

SDP

SUMA DESIGN AND PRINTING layanan jasa desain dan percetakan

poster, flyer, brosur, buletin, proposal, sertifikat, dsb.informasi dan pemesanan:

pusgiwa ui lt. 2 kampus ui depok, +6281 802 11 216,[email protected], http//suma.ui.edu

| enter our zone |

Page 100: Narkolepsi Bukan Serangan Tidur Biasa: Majalah Suara Mahasiswa UI Edisi-23