napak tilas harta bersama -...
TRANSCRIPT
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 1
Jan. 2013
Napak Tilas Hukum Harta Bersama
(Kajian Ringan tentang Eksistensi Harta Bersama dalam Hukum Islam Kontemporer)
Oleh Erfani el Islamiy
PROLOG
Ada sebentuk cita rasa hukum Islam kekinian yang hambar. Sajian produk
hukum yang kemudian disuguhkan kepada masyarakat, lebih merupakan olahan
instan. Penyaji hukum itu agaknya menyuguhkan apa adanya, sebagaimana yang
ditemuinya dalam buku sakral warisan leluhur. Seperti ada keogahan menelusuri
racikan-racikan apa yang menjadi unsur olahan instan. Atau bisa jadi bukan
keogahan, tapi merupakan wujud ketakutan ‘ketiban’ kualat karena menyimpangi
buku sakral, lalu menyebabkannya terpojok di batas nusantara meski dijanjikan
tunjangan belipat.
Harta bersama, terbilang jarang mencuri perhatian akademisi hukum Islam
lalu memenjarakannya dalam lembar-lembar ilmiah. Kondisi itu bisa jadi
menyebabkan stagnansi berpikir para praktisi terhadap sajian-sajian instan, lalu
bersikap sangat praktis dengan hanya membuka lembaran yang telah ada, kemudian
secara yakin mencatutnya. Tak penting rasanya mengutak-atik, belum lagi ancaman
mengabdi di rimba-rimba minim berpenghuni, sering menunggu pelanggaran
sakralitas leluhur. Padahal apapun bangunannya, jika ia adalah bangunan, tentu
banyak unsur yang membuatnya tegak, dan unsur itu meniscayakan penghuninya
untuk tahu, agar sanggup berbuat saat ada kerusakan terhadap bangunan.
Penyelesaian perkara harta bersama, sering kali kehilangan tolok ukur yang
memadai, kecuali dasar-dasar normatif-temporer. Mengandalkan rumusan sangat
aman ala Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (masing-masing
seperdua), lalu menutup mata tentang objektifitas perkara. Bukan sekadar siapa
yang memperoleh harta itu, tetapi yang prinsip pula adalah bagaimana bisa sebuah
harta itu kemudian disebut harta milik bersama, yang meniscayakan pembagiannya
secara seimbang. Atau benarkah perkawinan disepakati menjadi piranti akad selevel
bai’ yang diadakan guna mengais hasil ekonomis.
Tentu sebait kalimat teramat kurang untuk memberikan jawaban yang utuh.
Belum lagi jika ditilik dari tradisi hukum Islam (fikih) yang tidak begitu konsen
memberikan kajian tentang pranata harta bersama. Hal ini karena, pada dasarnya
mana yang merupakan hak dan mana yang tanggung jawab telah menjadi garis yang
jelas dalam hukum Islam, yang tidak meniscayakan munculnya permasalahan harta
bersama antara suami dan istri. Harta bersama kemudian mencuat di era
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 2
Jan. 2013
kontemporer ini, sebagai gejala dari telah bergesernya haluan-haluan dasar dalam
hukum Islam yang kebetulan berbungkus peradaban. Bahwa masalah kepemilikan
harta dalam perkawinan harus menjadi perkara, karena karakteristik kehidupan
kaum suami dan kaum istri, harus dikatakan telah terlanjur memiliki bargaining
position sendiri- sendiri.
Seiring desakan terhadap persamaan hak itu diamini dalam paksaan iklim
kehidupan yang bimbang ini, maka lembaga perkawinan pun mau tidak mau
(terkesan/seakan) menjelma menjadi lapak kaki lima, yang digelar guna meraup
keuntungan lalu kemudian dibagi secara seimbang, dan bila rugi yang menghadang
tak segan-segan lapak ditelingkupkan. Sangat jauh meninggalkan apa yang disebut
suci. Bahkan yang naif, istri hanya menganggap suaminya berharga sebab selalu ada
uang, sementara suami menganggap istri berharga hanya pada batas pelayanan
hubungan seksual semata.
Seiring hak dan kewajiban tiap individu yang hidup, dipaksa terselubung
dalam bungkus hasrat dan ego, lalu menipu siapa saja yang memandang, selama itu
pula sesungguhnya keadilan sedang digerogoti oleh kepalsuan.
Adilkah jika keadilan itu dikendalikan oleh satu suara yang dimuliakan di
puncak lembaga? Lalu menghukum pengingkarnya dalam sepi berteman desiran
pantai. Banyak yang tidak disadari dari bagaimana kita menegakkan hukum Islam ini.
Ruh syariat yang kita punggawai, lebih sering mati suri, kehilangan jasadnya yang
asli. Atau sebaliknya raga Syariat, lebih sering dirasuki hantu bernama takut dan ego
sesaat. Membuatnya jauh dari maksud punggawa.
Tulisan ini tidak berangkat dari kajian kasus, tapi lahir dari lamunan asri
berbaur sepoi, dalam sendawa sore, sesaat setelah melepas dahaga, menyantap
hidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan nasi dan segelas air
putih untuk suaminya, sebagai keutuhan rumah tangga. Istri yang katanya bertasbih
bukan melulu dalam hamparan sajadah, tetapi juga berteman bawang dan garam,
lalu ditahlilkan dalam wajan bertikar api.
Pada penutup prolog ini, harus dikatakan, bahwa tulisan ini tak sebagus judul
yang mengepalainya. Banyak kesan fiksi yang menjiwai prolog, tapi sesungguhnya
ada nyata dan fakta yang ingin diutarakan. Apapun itu, tekad menghadirkan bacaan
yang nyaman dan lugas, adalah motifasi awal, yang dibalut dengan sentuhan
idealisme secara wajar, mengirim objektifitas yang santun agar sampai di benak para
pembaca.
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 3
Jan. 2013
PEMBAHASAN
A. Harta Bersama dalam Hukum Islam
1. Fase Klasik
Jalinan suci pernikahan (dalam istilah kekerabatan disebut mushaharah)
memiliki posisi yang strategis sekaligus menentukan banyak dampak hukum
keluarga. Ia bukan sekadar instrumen resmi dan suci penghalalan yang
haram, namun lembaga besar yang darinya dibangun banyak implikasi
hukum keluarga. Implikasi itu antara lain:
a. Munculnya kewajiban nafkah oleh suami kepada istri
b. Munculnya kewajiban nafkah suami kepada istri dan anak-anak
c. Dasar dari lembaga talak
d. Salah satu sebab keberhakan dalam waris
e. Lahirnya hubungan nasab
f. dll.
Pada prinsipnya, pernikahan dicanangkan bukan sebagai piranti ekonomi
bahwa rumah tangga didominasi oleh kegiatan berkaitan dengan atau
menghasilkan sesuatu yang bernilai harta benda, melainkan terbentuknya
rumah tangga dalam balutan energi-energi positif psikologis, berupa
ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Bahwa
kemudian suami berkewajiban menghidupi (memenuhi kebutuhan pangan
sandang dan papan bagi istri dan anak), bukan merupakan muatan utama,
namun merupakan konsekuensi logis yang harus dilakukan oleh kaum suami.
Sehingga harta yang diperoleh selama perkawinan bersifat assesoir guna
membangun kebahagiaan rumah tangga, bukan sebaliknya membangun
rumah tangga untuk meraup harta benda sebanyak-banyaknya.
Hal ini karena memang salah satu indikasi dari adanya ketenangan dan
kenyamanan dalam rumah tangga adalah adanya penopang kehidupan
secara wajar yang tercakup dalam nafkah itu. Sehingga tidak adanya nafkah
atau suami yang tidak mampu memenuhi kewajiban nafkah, kemudian dapat
menjadi alasan bahwa rumah tangga dan pernikahan itu dapat diakhiri
(kecuali kalangan Hanafiyah). Dalam situasi yang sedemikian itulah, apalagi
dalam kuantitas kasus yang banyak di tengah-tengah kehidupan rumah
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 4
Jan. 2013
tangga manapun, maka pernikahan dan rumah tangga cenderung dirasakan
sebagai wahana ekonomis, sementara cinta dan kasih sayang hanya sebagai
assesoir. Sehingga semakin ke sini, cita rasa perkawinan didominasi oleh
tuntutan-tuntutan hak ekonomis, lalu runtuhnya rumah tangga kemudian
berujung pada sengketa ekonomi.
Dalam gambaran klasik masyarakat muslim (klasik tidak berarti tidak laik
guna), sebagaimana yang dapat diraba dalam piranti hukumnya dalam fikih-
fikih tradisional, akan memunculkan gambaran bahwa seorang perempuan
yang dinikahi itu hanya perlu berbekal diri apa adanya. Ia tidak perlu
khawatir tentang bagaimana menjalani kehidupan terkait pemenuhan
kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal, karena saat ia dinikahi
seorang pria, maka kehidupan perempuan itu seutuhnya berada dalam
naungan tanggung jawab (ihtibas/dzimmah) pria yang menjadi suaminya itu.
Sehingga istri pada dasarnya menjadi raja dalam rumah tangga, bahwa ia
berhak menuntut hak-haknya sejauh dalam lingkup nafkah sebagai
kewajiban suaminya. Suami harus memastikan bahwa setiap hari ada
makanan untuk istrinya. Sebagaimana istri harus memastikan seluruh
sikapnya berada dalam naungan ketaatan yang utuh untuk suaminya.
Sehingga dengan demikian, kalaupun dalam perkawinan itu, istri lalu
mendapatkan harta benda, jalurnya hanyalah melalui nafkah. Setidak-
tidaknya, selama pernikahan hak-hak itu dapat ia kumpulkan. Kecuali tempat
tinggal yang memang berlakunya selama menjadi istri saja. Kalaupun
diperpanjang, hanya dalam situasi istri ditalak dalam keadaan hamil, sampai
kemudian ia melahirkan. Maka pemilahan terhadap harta benda dalam
perkawinan sesungguhnya telah teramat jelas. Bahwa selama pernikahan,
yang punya harta itu suami. Dan istri dapat memiliki harta lewat jalur nafkah,
mahar, pemberian suaminya/hibah, dll. Apalagi, dalam konteks klasik ini,
beban tanggung jawab nafkah (mas’ul) itu ada di pundak suami, dan istri
hanya bersifat menerima dan kehidupannya terjamin (makful) oleh
suaminya. Istri tak perlu ikut campur tentang hal itu. Dalam situasi
keterjaminan itu tidak ada, istri dapat menggunakan haknya meminta fasakh
(putusnya perkawinan oleh hakim).
Hanya saja, posibilitas harta bersama menjadi perkara dalam perkawinan,
dalam pandangan klasik ini dapat terjadi dalam kondisi istri dinikahi dalam
keadaan mapan secara ekonomi. Memiliki harta benda, lalu selama
perkawinan terjadi percampuran harta dengan suaminya (ikhtilathu
malizzaujaini). Sehingga bukan harta yang muncul dalam kapasitasnya
sebagai istri, tetapi harta yang muncul dalam kapasitas istri sebagai pribadi.
Tidak akan ada kajian yang memadai menuangkan harta bersama sebagai
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 5
Jan. 2013
semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Dalam situasi terjadi
percampuran harta antara suami dan istri, maka teknis penyelesaiannya jika
harta berada di kedua belah pihak lalu tidak diketahui siapa yang paling
banyak memiliki harta itu, dapat dilakukan dengan sumpah, lalu dibagi
maisng-masing separoh.
Sehingga pada prisnsipnya, tidak ada percampuran harta dalam perkawinan.
Kalaupun istri boleh bertindak terhadap harta suaminya tanpa
sepengetahuan suaminya, itu atas dasar haknya yang diabaikan suami, lalu
dibolehkan mengambil sewajarnya meskipun tanpa sepengetahuan suami.
Sebagaimana yang terjadi dalam kasus Hindun dan Abu Sufyan. Kala itu
Hindun mengadu ke Rasulullah saw, bahwa Abu Sufyan amat pelit sehingga
tidak memberikan nafkah yang mencukupi kebutuhannya dan anaknya, lalu
Rasul mengizinkannya mengambil harta suaminya secara diam-diam dalam
ukuran yang ma’ruf/wajar.(lihat hadis dari Aisyah ra, diriwayatkan oleh
Jamaah kecuali Turmudzi, Nailul Author, Jilid 7 hal. 80)
Riwayat itu pun pada dasarnya, menegaskan bahwa dalam perkawinan,
harta yang diperoleh suami adalah merupakan hartanya secara sepihak, dan
tidak lantas menjadi harta bersama. Hak-hak istri yang pasti dari harta suami
itu, adalah apa yang menjadi nafkah untuknya (termasuk mahar, hibah dari
suami, mut’ah, dll.).
Kendati demikian, standarisasi nafkah untuk istri itu tentu bukan melulu
batas minimal saja. Melainkan keluasan suami. Sehingga pada dasarnya,
dalam keluarga yang harmonis, tidak akan ada ketimpangan dalam hal
harta/penggunaan harta benda antara suami dan istri, meskipun sejatinya
harta itu milik suami. Pesan ini dapat dicermati dari Al Quran Surah al Thalaq
Ayat ( 7):
Ayat ini menjadi salah satu dasar kewajiban nafkah atas suami untuk istrinya.
Seberapa besar seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya,
dilakukan dengan tolok ukur sa’ah, keluasan dan keluasaan yang ada pada
suami itu dalam ukuran yang seimbang. Namun jika dalam situasi sempit,
kewajiban nafkah tentu tidak seukuran dengan saat mana suami itu leluasa.
Ia cukup menafkahkan seukuran dengan apa yang Allah anugerahkan, karena
sesungguhnya tanggungjawabnya hanyalah sebesar apa yang Allah
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 6
Jan. 2013
karuniakan itu. Jika baik suami atau istri secara harmonis menyelami,
melewati masa sempit itu secara sempurna, maka kesempurnaan
kemudahan lah yang menjadi pamungkasnya.
Prinsip keseimbangan dalam hal harta dalam perkawinan (seimbang dalam
arti harta yang digunakan suami sebagai miliknya dan harta yang
digunakannya dalam hal menafkahi istrinya), telah menjadi pesan penting
dalam ajaran agama Islam. Sebuah prinsip yang menyokong terbentuknya
romantisme rumah tangga yang harmonis. Meletakkan tanggung jawab
setara dengan hak. Di saat yang sama memberikan pesan pula tentang
pentingnya bersabar mengarungi kesulitan kehidupan rumah tangga, karena
kesulitan yang utuh, merupakan kemudahan yang sempurna.
Tidak saja dalam hal jalinan pernikahan itu masih utuh, saat-saat sudah retak
sekalipun, dan istri dalam masa ‘iddah, kewajiban nafkah dalam konteks
yang seimbang pun tetap menjadi pesan dalam agama, termasuk tempat
tinggal untuk istri tersebut demikian pula nafkah lainnya secara relatif. (lihat
QS. AL Thalaq: (4-6)).
Hal senada juga dipesankan Rasulullah saw. Dalam banyak riwayat, pesan
keseimbangan penggunaan harta benda dalam perkawinan yang diperoleh
suami, antara menggunakan untuk dirinya dan untuk menafkahi istrinya,
terlihat sangat jelas. Sebagaimana yang tergambar dalam hadis riwayat Abu
Dawud dalam Sunannya berikut ini:
تع م ام ع تع ملن م ع اع - ا لم عل هلل صلى - الل و ع م اع ع تع ن م ع اع ان م ع ن و ى م ع او ع ع ن ع
اع ع ع ن و م وم ل اع ع ع ن عسم ع و ل اع نسم وم ل ع ن ملم ع و ل ع ن و م وم ل » ع اع نوسع ئونع وى
«. تم ع ى م وم ل
Artinya: “Muawiyah Al Qusyairiy berkata, aku pernah datang ke hadapan
Rasulullah saw, lalu aku bertanya, “Apa yang engkau pesankan kepada kami
tentang istri-istri kami? Rasulullah menjawab, “Beri mereka makan dari
apa/sebagaimana yang kalian makan, beri mereka pakaian dari
apa/sebagaimana kalian berpakaian, jangan kalian memukul mereka,
jangan pula menjelekkan””
Hadis ini begitu indah menghargai martabat kaum istri. Hak-hak mereka
seimbang dengan kaum suami, dan kaum suami tidak dibenarkan bersikap
kasar kepada mereka baik fisik maupun mental.
Prinsip keseimbangan dalam rumah tangga/pernikahan sedemikian ini, telah
menepis kesimpang-siuran tentang hak-hak terkait harta dalam perkawinan.
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 7
Jan. 2013
Di saat yang sama, konteks klasik hukum Islam, dengan berbagai regulasinya,
sesungguhnya tidak mengenalkan, atau secara tidak langsung telah
mengeliminir adanya lembaga harta bersama dalam perkawinan. Hal ini
dapat dilakukan, karena sedari awal Islam telah mengenalkan prinsip
keseimbangan dalam harta dalam perkawinan dalam balutan hak dan
tanggung jawab yang luhur.
2. Fase Modern
Dalam perjalanannya, kehidupan rumah tangga dan perkawinan itu, tak
dapat dipungkiri, mengalami banyak pergeseran nilai. Pergeseran yang
merupakan bagian dari keniscayaan putaran roda kehidupan. Atas nama
peradaban, terkadang pergeseran itu secara sadar diterima. Perkawinan itu
sendiri, yang sejatinya landasan pacu rumah tangga dan hukum-hukum
keluarga yang dibangunnya, hampir kehilangan sakralitasnya sebagai
mitsaqan ghalizan. Pengabaian sekelompok besar masyarakat muslim
terhadap ketentuan pencatatan nikah, menjadi salah satu indikasi
tergerusnya nilai luhur pernikahan. Belum lagi, perkawinan-perkawinan yang
hanya diperankan sebagai solusi sosial atas runyamnya pergaulan muda-
mudi, kemudian berakhir teramat singkat di meja hijau, menjadi kabar bahwa
keberkahan perkawinan telah jauh meninggalkan pelaksananya.
Paragraf tersebut ingin mengatakan bahwa, harmonisasi rumah tangga, telah
bermula dari bagaimana perkawinan itu dibangun. Motifasi, kesiapan mental,
kecukupan biaya, dll. Kendati demikian, tidak semua kesulitan dalam
membina rumah tangga itu merupakan indikasi hilangnya keberkahan.
Karena bangunan rumah tangga seolah menjadi satu kesatuan paket antara
ujian dan kebahagiaan. Banyak masalah rumah tangga muncul sebagai siasat
Tuhan menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga. Hanya saja, sikap
suami atau istri dalam menghadapi permasalahan itu, teramat sangat
bervariasi. Hal itu lah yang lambat-laun tanpa disadari, memberi citra
tertentu terhadap lembaga perkawinan.
Utamanya mengahadapi problem ekonomi. Kehidupan rumah tangga
modern saat ini, menayangkan fakta bahwa suami istri bekerja sebagai hal
biasa. Baik suami maupun istri, lalu memiliki peran dan partisipasi dalam
perolehan harta dalam perkawinan. Hubungan suami menafkahi istri sudah
usang dikampanyekan dalam rumah tangga. Era persamaan gender kemudian
mengamini situasi itu. Istri-istri karier menjamur, seiring tuntutan kehidupan
semakin besar, dan upaya memperolehnya semakin sulit.
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 8
Jan. 2013
Kenyataan itu kemudian dijadikan tolok ukur, bahwa harus ada ketentuan
bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama,
yang masing-masing berhak atas seporohnya.
Undang-Undang Perkawinan yang lahir di tahun 1974, sangat terasa
mengandung pesan-pesan tertentu tentang persamaan hak kaum
perempuan. Lahirnya Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, merupakan
puncak kulminasi dari tarik ulur kepentingan antara gerakan kaum
perempuan yang telah ada di era kemerdekaan dan idealisme umat Islam
yang diwakili Fraksi/Partai PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Lebih dari
tiga dasawarsa konflik positivisasi perkawinan terkatung-katung.
Penyebabnya bermuara seputar pasal-pasal mengenai hak-hak perempuan,
persamaan gender, termasuk di dalamnya poligami.
Dalam Pasal-Pasal 35 s.d. 37 Undang-Undang Perkawinan, ketentuan tentang
harta bersama diatur sedemikian rupa. Sebagaimana Bab XIII Pasal-Pasal 85
s.d. 97 Kompilasi Hukum Islam. Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapat
disampaikan beberapa poin:
- Yang disebut harta bersama adalah harta yang diperoleh terbatas hanya
selama perkawinan dalam konteks membangun rumah tangga, bukan
yang merupakan pemberian yang sifatnya pribadi (waris, hibah, hadiah
pribadi, dll), tidak peduli siapa yang memperolehnya.
- Dalam hal cerai hidup atau mati, harta bersama dibagi masing-masing
separoh.
- Besaran dan/atau keberadaan harta bersama dalam perkawinan bersifat
relatif, karena dapat ditentukan secara khusus dalam perjajian
perkawinan.
- Perkawinan tidak menjadi sebab bercampurnya harta suami-istri, namun
dapat bercampur atas dasar perjanjian perkawinan.
- Penyelesaian sengketa harta bersama dilakukan menurut ketentuan
hukum yang bersangkutan, baik agama, adat, dll.
Ada setidaknya dua hal yang cukup signifikan. 1) pengertian harta bersama,
2) penyelesaian sengketa harta bersama menurut hukumnya (Islam).
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, lembaga harta bersama itu
sendiri tidak merupakan tema sentral yang pernah dikenal dalam tradisi
hukum Islam. Maka baik pengertian maupun cara penyelesaiannya, harus
dibangun secara tersendiri dan terkini.
Pengertian harta bersama sedemikian itu, kemudian menempatkan peristiwa
perkawinan sebagai sebab munculnya harta bersama secara imperatif, atau
menjadi sebab dinyatakannya sebuah harta sebagai harta bersama.
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 9
Jan. 2013
Pengertian ini dengan demikian sangat memihak kepada istri, atau enaknya
melindungi istri baik selama perkawinan maupun pasca perkawinan. Tetapi di
sisi lain, kalangan istri karier tentu merinci, bahwa yang disebut harta yang
diperoleh selama perkawinan itu adalah harta yang diperoleh suami untuk
keluarga, karena suami menanggung beban nafkah. Adapun istri yang
berkerja, maka hasil kerjanya menjadi miliknya secara pribadi, dan bukan
harta bersama karena istri tidak dibebankan menafkahi kekuarga, untung-
untung dia ikut bekerja. (tentang hal ini dapat dibaca dalam
http://www.badilag.net/artikel/9211-implikasi-nafkah-dalam-konstruksi-
hukum-keluarga-oleh-erfani-shi-1312.html).
Dalam kapasitasnya sebagai bagian dari kompetensi absolut pengadilan
agama, tentu mau tidak mau hukum Islam harus diracik sedemikian rupa lalu
menghasilkan aturan hukum paten yang dekat dengan nilai keadilan. Tentang
hal ini dicoba untuk diurai dalam sub berikutnya.
B. Tolok Ukur Keberhakan Istri dalam Harta Bersama
Untuk mempersingkat basa-basi menuju uraian ini, akan disampaikan 3 sudut
pandang yang melandasi adanya keberkahan istri dalam harta bersama, sebagai
berikut:
1. Dasar Ilahiyah Filosofis-Transcendental
Tuhan menciptakan manusia itu dalam kesatuan paket kehidupan. Manusia
tidak lahir tanpa bekal. Karena Allah swt telah memberikan garis ukuran
(baca taqdir: ukuran bagian kehidupan yang manusia dikuasakan untuk
memperolehnya), beriringan dengan kelahirannya di muka bumi. Hanya saja
semua bersifat misteri agar ia senantiasa mencari, dan berjuang mengisi
kehidupan guna memperoleh arti yang berharga. Sebagaimana ia terlahir
dalam keadaan tidak tahu apapun, kemudian diperintah untuk belajar,
membaca, tadabbur, agar lambat laun ketidaktahuannya berkurang,
meskipun ia tak tahu seberapa banyak pengetahuan yang telah disediakan
untuknya.
Dalam hal memenuhi kebutuhan hidup seorang manusia, tentu bukan dari
bayi lantas mencari sendiri penghidupannya itu. Melainkan dibebankan
kepada siapa yang menjadi pelantara kelahirannya. Lalu rezekinya
diamanahkan lewat orangtuanya itu, meski kadang-kadang orangtua tak
pernah menyadari hasil yang ia peroleh sesungguhnya bertambah seiring
bertambahnya manusia yang ia pelantarai. Untuk sampai kepada hubungan
itu, Tuhan menghendaki terjadi secara resmi dan sakral, suci. Karena
kehendakNya secara fitrah akan terjadi di saat itu. Perkawinan melembaga
sebagai jawaban atas tuntutan sakralitas. Kemudian rentetan hukum pun
mulai menata posisi dimana seharusnya berpundak.
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 10
Jan. 2013
Pesan-pesan wahyu menghendaki kaum laki-laki mukallaf menghibahkan
bahunya untuk menanggung pemenuhan kehidupan manusia lainnya. Di saat
yang sama, semakin besar beban itu, Tuhan sesungguhnya memberikan
bagian-bagiannya lewat karunia kepada pemegang amanat. Karunia bagi
seorang laki-laki kala sendiri, akan berbeda peruntukannya/jumlahnya
manakala ia kemudian beristri, lalu beranak-pinak dalam balutan keluarga.
Allah swt lah yang mengatur tatanan penghidupan itu, sehingga tidak akan
pernah kurang, kecuali merasa kurang.
Mari kita cermati Al Quran Surah Al Nuur Ayat (32):
32. dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian (orang-orang yang belum menikah) di
antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui.
Ayat ini sejatinya menandaskan bahwa kefaqiran (dalam arti jika menikah
khawatir tidak mampu menafkahi istri dan anak), bukanlah alasan bahwa
seseorang melajang selama hidupnya. Hal ini karena, pada hakikatnya, Tuhan
secara prerogatif lewat fadhalnya (fadhal artinya karunia yang diberikan
Tuhan menurut kehendakNya secara prerogatif, mandiri, azali, tanpa
intervensi, bukan dalam hubungan sebab-akibat/hubungan keniscayaan)
akan menjadikannya cukup untuk menanggung kehidupan rumah tangganya
kelak.
Hanya saja, terhadap perkawinan itu, hitung-hitungan matematis lebih
mendominasi rencana manusia. Kalau belum mapan, belum akan menikah.
Padahal jika kita merasukkan keyakinan yang utuh disertai amaliah yang
wajar dalam kehidupan yang menyokong keyakinan itu, maka kebenaran
tentang jaminan Tuhan itu akan dapat dirasakan secara nyata. Di sisi lain
jaminan itu pada dasarnya telah diamperahkan oleh Allah swt, hanya saja
pintu hati terlalu kotor sehingga tak pernah sensitif terhadap karunia yang
berharga dari Allah swt. Selalu berkata kurang. Selalu berkata belum, dan
sejenisnya.
Dalam kaitan harta bersama ini, sesungguhnya telah dapat dipahami, bahwa
keberhakan siapapun yang ditanggung oleh seorang laki-laki/suami, telah ada
bersamaan dengan adanya tanggungjawab itu. Maka secara fitrah ketuhanan
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 11
Jan. 2013
yang transcendental, ikatan perkawinan telah cukup untuk menunjuk adanya
hak istri dalam perolehan harta oleh suami.
Maka salah satu yang juga meniscayakan pernikahan itu sakral, pada
hakikatnya adalah bahwa Allah swt akan menjadikan suami sebagai
pemegang amanat menyampaikan karunia/penghidupan bagi istri. Bahwa
tanpa disadari, kapanpun seseorang menjadi suami, maka sebagian dari
rezekinya itu tiada lain adalah milik istrinya yang harus disampaikan sebagai
titipan Allah swt untuknya.
Hanya saja, mengingat sudut pandang ini merupakan wilayah sarair, sehingga
untuk aplikasi praktis, memang tidak dicanangkan sebagai ukuran baku,
karena manusia dititahkan untuk mengukur kehidupannya dalam wilayah
zhawahir. Namun demikian, setidaknya, sudut pandang ini laik menjadi
pegangan moril-spiritual-transcendental penegak hukum untuk memandang
kasus harta bersama.
2. Dasar Psikologis/Dukungan Moril Istri
“Behind a great man there’s a great woman” di belakang laki-laki hebat, ada
wanita yang hebat pula. Demikian kata mutiara yang populer kita dengar.
Kalimat itu kemudian sesekali dikukuhkan pula dalam memberikan dasar
keberhakan istri dalam harta selama perkawinan. Bahwa baik disadari
ataupun tidak, keberadaan istri sebagai pendamping suami, telah berperan
secara tidak langsung dalam perolehan harta benda oleh suami.
Penulis tidak mendapati adanya penelitian ilmiah yang signifikan mendukung
hal itu. Tetapi rasanya, secara umum hal itu dapat diterima secara nalar dan
logis. Pikiran suami yang tenang dalam rumah tangganya, dibalut dalam
ketaatan istri secara wajar, penampilan yang selalu menarik, mampu menjaga
diri dan hartanya, tentu membuat konsentrasi kerja dan kinerjanya semakin
baik. Atau dalam situasi kerja yang serba sulit, istri hadir memberikan
sokongan motifasi, lalu larut dalam indahnya hubungan rumah tangga dalam
suka dan duka. Semua itu menjadi dasar yang relevan bahwa istri sejatinya
berhak atas bagian harta yang diperoleh suami selama perkawinan.
Khususnya dalam hal, salah satu pihak meninggal lebih dahulu, maka
keharmonisan sedemikian itu semakin mengukuhkan adanya hak dalam harta
bersama.
Hanya saja, rumah tangga yang harmonis sebagaimana yang disampaikan itu
cenderung tidak akan berakhir dengan petaka perceraian lalu ribut harta
bersama. Karena harta bersama menjadi masalah, telah dimulai dari
dishamonisnya rumah tangga antara suami dan istri. Apalagi disharmonis
terjadi dalam jangka yang lama, lalu jangka yang lama itu diperoleh harta,
sementara istri dalam kondisi itu tidaklah berperan menjadi penyokong,
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 12
Jan. 2013
justru menjadi beban pikiran bagi suaminya. Maka dasar psikologis sangat
relatif berperan dalam hal penentuan harta bersama dalam perkawinan,
utamanya dalam perkara perceraian yang dikuti gugatan harta bersama.
Apalagi jika ditelaah, bahwa harta bersama itu sifatnya ekonomis, sementara
peran psikologis bisakah dinilai secara ekonomis pula lalu berpengaruh dalam
keberhakan harta bersama?
3. Pelakasanaan Aktifitas/Tugas Kerumahtanggaan
Kajian yang Penulis rasa paling berharga dari tulisan ini, agaknya berada pada
sub terakhir ini. Mari kita simak bersama!
Telah disinggung di muka, bahwa keberhakan istri dalam harta bersama, lebih
sering tertuju pada tolok ukur peran istri menghasilkan harta karena ikut
bekerja. Dalam situasi ini dapat muncul dua apriori:
1. Versi suami, silahkan istri bekerja kemudian menghasilkan harta dan
harta itu kemudian menjadi harta bersama karena diperoleh selama
perkawinan.
2. Versi istri, karena beban menafkahi kehidupan rumah tangga ada pada
suami, maka kendati istri bekerja, suami jangan beranggapan hasil kerja
istri sebagai harta bersama.
Penulis telah mencoba mendamaikan dua apriori itu dalam tulisan terkait
implikasi nafkah dalam harta bersama. Sehingga rasanya tak lagi perlu
mengulangnya.
Dalam bagian ini, menarik untuk diulas bahwa bekerja yang bagaimana lalu
seorang istri berhak atas harta bersama?
Jika ditelusuri lagi nilai awal hukum Islam tentang perkawinan, maka akan
tampak betapa tingginya seorang perempuan/istri dimuliakan dalam rumah
tangga. Ia diberi hak jaminan makan, jaminan pakaian, dan tempat tinggal,
sebagaimana suaminya makan, berpakaian dan bertempat tinggal. Berhak
atas perlindungan secara fisik dan mental dari perilaku sewenang-wenang.
Tugasnya hanya satu. Menaati suaminya dalam konteks yang ma’ruf, tentu
termasuk di dalamnya makna nikah itu sendiri (al wathu). Suami diembankan
tugas mengayomi (qawwamun) istrinya baik dalam hal ibadah kepada Allah
swt dalam lingkup mahdhah, maupun kebajikan-kebajikan lainnya secara
wajar dan ma’ruf. Perintah suami dalam hal-hal sedemikian itu, menjadi
kewajiban istri menaatinya.
Sehingga dengan demikian, sejatinya dalam perkawinan itu, istri tidak
dominan bertugas mengurus suaminya, tetapi suamilah yang dominan
mengurus istrinya. Suami harus memastikan bahwa istrinya hari ini mendapat
makan darinya, berpakaian sewajarnya, dan bertempat tinggal selayaknya.
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 13
Jan. 2013
Sehingga pada dasarnya, tidak ada keharusan aktifitas masak-memasak, cuci
mencuci, sapu-menyapu, dilakukan istri. Namun oleh karena konteks
ketaatan kepada suami itu terlanjur mengeneral, maka yang terjadi hingga
saat ini adalah tugas kerumahtanggaan sedemikian itu telah galib dan
maklum dilakoni oleh istri sebagai bagian dari ketaatan kepada suami.
Bahkan ia menjadi sistim dalam rumah tangga. Meskipun pada
kenyataannnya tugas-tugas berat itu dilaksanakan oleh pembantu, namun
beban manejerial dan administrasi rumah tangga, tetap ada pada istri.
Dan terhadap pelaksanaan tugas itu, tidak pernah terdengar adanya upah
mengupah dari suami untuk istrinya. Bahkan hal ini tergolong tabu. Padahal,
apa yang dilakukan istri itu bukanlah menjadi kewajibannya secara normatif.
Meski demikian, tidak lantas istri kehilangan haknya terkait pelaksaan tugas
rumah tangga itu, karena semuanya kemudian dapat dikompensasi secara
implisit dalam bentuk hak terhadap harta bersama selama perkawinan secara
seimbang.
Tolok ukur keberhakan terhadap harta bersama dari sudut ini, jauh lebih
mengena secara adat (al ‘adah muhakkamah) karena harta bersama itu
sendiri bersifat mutamawwil atau merupakan hasil ekonomis yang untuk
sampai pada hak terhadapnya, tentu dengan jalan kegiatan ekonomi pula.
Sehingga pelaksanaan jasa pengurusan dan administrasi rumah tangga yang
dilakoni istri itu, sangat patut dihargai sebagai kegiatan ekonomis dimaksud.
Saat dikatakan bahwa seorang istri sebagai ibu rumah tangga, maka peran ibu
rumah tangga itu dengan demikian bukan peranan kosong, lalu istri disebut
tidak bekerja. Ibu rumah tangga secara tidak langsung harus dinyatakan
sebagai pekerjaan, karena peran itu dapat memiliki hasil berupa hak
terhadap harta bersama selama perkawinannya dengan suami. Apalagi
mengurus tugas kerumahtanggaan itu bukan perkara mudah, memang
terlihat monoton sebagai rutinitas harian, namun efeknya bagi kelangsungan
rumah tangga sangat besar.
Bila tolok ukur ini yang digunakan sebagai acuan, agaknya dapat diterapkan
secara menyeluruh, karena sistim rumah tangga masyarakat kita yang ada
saat ini (al ‘adah muhakkamah), menempatkan istri sebagai lakon tugas
kerumahtanggaan, meskipun secara teknis operasional dapat dilakukan
dengan cara tertentu.
Wallahu a’lam.
EPILOG
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 14
Jan. 2013
Meski dengan bahasa yang rancu antara fiksi dan ilmiah, tulisan ini akhirnya
rampung bi’aunillah. Dalam penutup ini, perlu ditekankan beberapa poin penting
yang tersebar dalam tulisan:
1. Secara eksplisit-normatif, lembaga harta bersama tidak dikenal dalam tradisi
hukum Islam. Hal ini berangkat dari tekad agama itu sendiri dalam perkawinan
yang memang dicanangkan bukan untuk memperoleh harta benda sebanyak-
banyaknya, tetapi harta benda yang ada selama perkawinan itu digunakan
seluas-luasnya untuk merajut kebahagiaan rumah tangga, baik dunia maupun
akhirat.
2. Meski tak disebut secara definitif sebagai harta bersama, namun ikatan
perkawinan itu telah merupakan cikal bakal dari tumbuhnya hak hakiki seorang
istri terkait harta suaminya dalam ukuran yang seimbang. Keseimbangan dalam
hal harta seorang suami yang digunakan untuk dirinya dan yang digunakan
untuk menafkahi istrinya, merupakan pesan yang tersirat baik dalam al Quran
maupun Al Sunnah. Berangkat dari ini, ketentuan hukum positif tentang hak
suami-istri dalam harta bersama masing-masing separoh, secara implisit
memiliki legitimasi yang syar’i.
3. Peran istri menjalankan tugas kerumahtanggaan yang notabene bukan
kewajibannya secara normatif tetapi timbul sebagai adat (al ‘adah
muhakkamah) dalam sistim kehidupan yang berkembang di masyarakat, dengan
demikian patut dinobatkan sebagai peran yang laik dikompensasi dalam bentuk
hak terhadap harta bersama. Dalam kapasitas harta bersama sebagai
hasil/barang ekonomis, maka dasar dan tolok ukur keberhakan terhadapnya pun
dengan demikian harus pula/selaiknya berupa kegiatan ekonomi. Maka peran
istri sedemikian itu secara tidak langsung sangat relevan menjadi kegiatan
ekonomi dimaksud. Apalagi saat Undang-Undang Perkawinan menyamarkan
penunjukan hukum apa yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa harta
bersama, sementara hukum Islam secara normatif-eksplisit tidak memiliki
aturan yang tertentu, maka dalil hukum al ‘adah muhakkamah tersebut kiranya
patut dipertimbangkan lebih lanjut.
Demikian tulisan ini dirampungkan di Tangerang, Rabu 9 Januari 2013, pukul
00.10.WIB. walhamdulillahi rabbil’alamin.
Semoga bermanfaat.
Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam
Penulis, Calon Hakim pada Pengadilan Agama Tangerang.
Alumnus Pesantren Al ‘Aqobah Jombang.
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 15
Jan. 2013
All Copy Rights Shared, 2013