nalar irfani dalam kancah problema di indonesia

Download Nalar Irfani Dalam Kancah Problema Di Indonesia

If you can't read please download the document

Upload: ali-farhan-lamongan

Post on 14-Jun-2015

460 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Nalar Irfani dalam Kancah Problema di IndonesiaMakalah ini disusun guna memenuhi salah satu tugas mata Kuliah:

Filsafat IlmuDosen pengampu: Bapak Fachruddin Faiz

Disusun Oleh:

Nurul kholish (07530004) JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN

1

KALIJAGA YOGYAKARTA

2009BAB I PENDAHULUAN Sekedar mengutip kisah betapa pentingnya keilmuan Irfani ini penulis mengutip di Masnawi yang bertema Seorang Pemimpin Ketika Sang Nabi memilih seorang Pemuda sebagai pemimpin (salah satu kelompok), ada yang mengeluh: Dia masih muda sekali, Nabi. Sebaiknya memilih seorang Syaikh yang sudah berusia. Bukankah engkau pula yang pernah berkata bahwa seorang pemimpin haruslah orang tua. Orang yang sudah berusia. Sesungguhnya orang itu merasa iri. (Dia menyangsikan, meragukan kebijakan seorang Nabi). Dia lupa bahwa berhadapan dengan seorang Nabi, lebih baik berdiam diri saja, karena seorang Nabi melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh kita. Si Pengeluh masih belum sadar juga. Dan dalam ketidaksadarannya itu, dia lupa bahwa dirinya hanya bisa mengutip kata-kata. Sementara para Nabi bisa melihat apa yang ada dibalik kata-kata. Sampai, akhirnya Sang Nabi harus menegur dia: Cukuplah sudah. Engkau hanya melihat wujud luar. Janganlah engkau meragukan kemampuan pemuda ini. Ada yang berjanggut hitam, tetapi (berjiwa tua dan) bijak. Ada yang berjanggut putih tetapi berjiwa hitam. Tuanya seseorang haruslah dinilai dari pemahamannya, bukan dari warna putih rambut serta janggutnya. Sering sekali kita menyalahartikan kata-kata para Nabi, para Avatar, para Mesias, para Buddha. Kita memperhatikan yang tersurat. Lupa menyelami yang tersirat. Maka terjadilah kesalahpahaman. Dalam kisah ini, untung Sang Nabi masih ada. Sehingga dia bisa langsung meluruskan perkara ini. Bagaimana kalau Sang nabi sudah tidak ada? Sudah pergi? Yang meluruskan perkara-perkara semacam ini, siapa? Mau tak mau, kata-kata para Nabi dan para Avatar dan para Buddha dan para mesias harus diartikan kembali. Kalau tidak, ya kita harus puas dengan arti harfiah. Kemudian kita akan melihat pertentangan dimana-mana. Kita menjadi Asosial. Tidak bisa bergaul dengan siapapun juga.

2

Sangat eksklusif dan ber harga mati. Kita tidak akan bisa menerima beda pendapat dan beda pandangan. Kita akan mandeg. Berhenti mengalir bersama hidup. Lebih celaka lagi, kita akan gelisah sendiri. Sedikit-sedikit tersinggung. Sebentar-sebentar marah. Berprasangka buruk dan berpraduga melulu. Sehingga yang rugi kita sendiri, karena sifat-sifat itu akan semakin menjauhkan diri kita dari Allah, dari kesadaran ilahi. Kita akan sibuk mengurusi orang lain. Mengkritik orang lain. Mencari kesalahan orang lain. Lupa melakukan perjalanan batin kita. Mau berdoapun, yang teringat wajah orang yang tidak kita sukai. Mau melakukan perjalanan sucipun, yang terbayang wajah mereka yang kita benci, sehingga doa kita, ziarah kitasemuanya sia-sia. Tanpa disadari, kegigihan kita untuk mempertahankan pandangan dan pendapat pribadi atau kelompok itu sudah sama dengan menduakan Tuhan. Kita menempatkan pandangan serta pendapat sejajar dengan Tuhan. Demikian, kita memberhalakan pandangan dan pendapat. Kemudian pandangan serta pendapat itu yang kita agung-agungkan. Kita lupa mengagungkan Tuhan. Kita lupa bahwa Dia berada di atas segala pandangan dan pendapat. Kita lupa bahwa tujuan hidup bukanlah mempertahankan pandangan dan pendapat. Tetapi untuk berjalan menuju dia. Pandangan dan pendapat sekedar sarana, bekal untuk perjalanan. Ada yang tidak tahan dingin dan membekali diri dengan selimut. Ada yang tahan dingin dan tidak membekali diri dengan selimut. Masa setiap orang diharuskan membawa selimut. Ya, tidak bisa Dalam bahasa Rumi: Banyak sekali ahli hukum yang menjatuhkan hukuman berdasarkan apa yang terlihat (oleh mata kasat). Kemudian, ada pula yang membebaskan seorang terdakwa hanya karena terdakwa itu mengaku dirinya beriman. Berapa banyak nyawa yang sudah melayang, karena kemunafikan seperti ini! (Oleh karena itu), jadilah tua dalam hal kebijakan dan keagamaan, sehingga engkau bisa menemukan inti kebenaran. Kulit juga benar. Tidak bisa disebut tidak benar, tetapi, hendaknya kita tidak berhenti di permukaan. Tidak berhenti pada kesadaran kulit. Seperti buah

3

berkulit, kulit itu harus dikupas. Yang dimakan adalah dagingnya. Jangan hanya mengagungkan-agungkan Sang Buah. Kemudian lupa mengupasnya, lupa memakannya. Disimpan lama, buah itu akan membusuk. Tersia-sia dan tak berguna lagi.1 Dari kisah ini, betapa urgensinya keilmuan Irfani, yang mana ilmu ini hanya dimiliki oleh orang tertentu saja. Menyatunya teks dan akal rupanya memunculkan kekakuan dan ketegangan-ketegangan tertentu, bahkan tidak jarang konflik dan kekerasan yang bersumber dari pola pikir ini. Untuk menghindari kekakuan dan rigiditas dalam berpikir keagamaan yang menggunakan teks sebagai sumber utamanya, epistemologi pemikiran keagamaan Islam sesungguhnya telah mempunyai dan menyediakan mekanisme kontrol perimbangan pemikiran dari dalam (internal kontrol) melalui epistemologi Irfani. Berbagai macam metode para ulama dalam mencari sebuah kebenaran. Mulai dari pendekatan bayani, burhani dan terakhir irfani. Yang masing-masing pendekatan ini selalu berkembang seiring perkembangannya pemikiran manusia. Dari pendekatan irfani ini, banyak problema-problema yang berkaitan dengan keilmuan ini yang menjurus pada aspek social bahkan keagamaan. Misalnya masalah konsep ilham. Konsep ini merupakan sumber pengetahuan irfani. Kadang kala pengetahuan ini bisa menyesatkan disamping keilmuan irfani ini mengungkapkan hakekat kebenaran. Persoalan-persoalan keilmuan irfani ini, bila dikaitkan permasalahan di Indonesia mulai dari meyakini sebuah kebenaran melalui ilham, banyak terjadi kesalahpahaman bahkan menjadi tersesat karena minimnya kedalaman ilmu agama dan hukum-hukum syariat Islam. Seperti adanya aliran-aliran yang banyak jumlahnya, yang konon pemimpinnya mengaku dapat wahyu dari Tuhan, ruh qudus dan lain-lain. Hal ini dia memiliki pengalaman mistik (ilham) dari bertapanya di Gua selama 40 hari 40 malam. Dan banyak peristiwa-peristiwa yang lain semisal ini. Seperti ada kejadian di surat kabar yang katanya dapat ilham atau bisikan suara tanpa adanya wujud, yang mana bisikan itu memerintahkan1 Anand Krishna, Masnawi Bersama Jalaluddin Rumi Mabuk Kasih Allah, Buku Ke-4 (Jakarta: Pustaka Utama, 2001), hal. 144-148.

4

membunuh anaknya. Lalu ayahnya tersebut mempercayainya, kalau bisikan itu berasal dari Tuhan lalu anaknya itu dia bunuh. Dari timbulnya peristiwa-peristiwa ini, dikarenakan minimnya keilmuan agama dan pemahaman hukum-hukum syariat Islam, yang komprehensif, utuh dan sempurna. Dengan adanya kejadian-kejadian seperti ini, penulis mencoba memberi solusi adanya peristiwa tersebut, yang akan dijelaskan nanti. Nalar Irfani ini cakupannya sangat luas. Karena keilmuan ini berkaitan dengan ilmu tasawwuf. Dengan mempelajari ilmu tasawwuf yang merupakan ilmu mistik ini, yang sifatnya irasional dan kadangkala dapat difahami oleh pikiran tetapi ujung-ujungnya akal tidak mampu menangkap. Dari latar belakang adanya keilmuan irfani. Para ulama dalam memahami sebuah kebenaran baik dari teks keagamaan maupun yang lain merasa tidak cukup memahami dengan cara bayani saja. Lalu dari keilmuan bayani melalui dari perkembangan pemikiran manusia, merasa tidak cukup hanya berdasar keilmuan bayani saja lalu timbullah keilmuan lagi yang disebut burhani. Setelah adanya ilmu ini sesuai dengan perkembangannya pemikiran manusia, keilmuan ini dirasa tidak cukup. Timbullah keilmuan baru yang disebut ilmu Irfani. Yang mana keilmuan ini diikuti oleh ulama sufi. Ilmu Irfani ini, juga cukup kompleks dari segi cabang-cabangnya dan tingkatan-tingkatannya sehingga mempengaruhi definisi irfani. Supaya tidak salah memahami tentang ilmu ini, perlu dipetakan dulu, khususnya dari segi levellevelnya. Sebelum membahas permasalahan di atas, yang penulis sebutkan itu, nanti diterangkan apa sebenarnya ilmu irfani beserta sekilas sejarahnya dan batasan-batasan keilmuan ini. Dari mengetahui kedua aspek kedua hal ini, nanti terjawab dengan sendirinya problema-problema yang penulis sebutkan diatas. Dari tulisan makalah ini, penulis menyadari banyak kekurangan. Dari itulah saran dan kritik yang konstruktif, baik dari segi susunan kata yang kurang tepat dan penjelasan yang kurang jelas di Makalah ini, sangat penulis harapkan. Demi perbaikan makalah ini. Akhirnya semoga pembaca dapat memahami betul keilmuan ini dengan tepat dan benar. Selamat membaca.

5

BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Irfani Dan Sekilas Historisnya. Irfani berasal dari bahasa Arab yang asal katanya dari bentuk masdar yaitu Irfan lalu ditambah ya nisbat, jadi dibaca Irfani. Ia menunjukkan bentuk khusus dari sebuah konsep jenis keilmuan. Yang sebelum diberi ya nisbat, ia berbentuk umum. Yang berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilman (ilmu). Dalam konteks ini, Irfan atau makrifat dimaksudkan sebagai perolehan secara langsung melalui pengalaman ilham, kasyf, iyan (persepsi langsung), dan isyraq.2 Sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu secara terminologis Irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hambanya (kasyf) setelah adanya olah rohani (riyadhah) yang didasarkan atas dasar cinta (mahabbah).3 Dan mahabbah inilah yang mempercepat seorang hamba marifat (mengetahui hakekat). Mengenai marifat, yakni mengenal Allah dalam hati yang sebenarnya, yang menjadi tujuan para sufi. Al-Ghazali berpendapat bahwa marifat akan dapat dicapai dengan hati yang bersih. Artinya hati yang bersihlah yang bisa menerima Nur Allah untuk mengenal sesuatu dalam hati yang sebenarnya. Syarat pertama yang harus dilakukan adalah mensucikan hati dari yang selain Allah Swt. Kunci itu adalah melibatkan hati secara total untuk berdzikir (ingat) kepada Allah dan akhir dari kesucian itu adalah fana secara total menuju Allah. Mengenai dzikir yang diucapkan itu, penulis mengaji dari Syaikh Abdul Ghafur, pengasuh pondok pesantren Sunan Drajat. Beliau mengatakan lafadz Laa ilaa ha illallah. Di samping menyucikan diri, sambil mengucapkan lafadz itu. Dengan melafadzkan berulang kali kalimat itu, awalnya ingat sesuatu yang ada di alam dunia, lalu ditingkatkan lagi ingat alam Malakut (alam para malaikat), lalu ditingkatkan lagi alam Jabarut yakni alam Tuhan dari sinilah2 Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut : al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991) hal. 28. 3 Ibid.,

6

seorang hamba mendapat nur ilahi (nur nubuwwah). Nur kenabian ini merupakan tingkat lebih tinggi di mana manusia dapat melihat alam gaib beserta rahasia-rahasia lainnya, yang tak dapat dilihat oleh akal.4 Ketika Al-Ghazali beruzlah melakukan perenungan yang sangat kontemplatif. Beliau menginsafi sepenuhnya bahwa akal tidak akan sanggup mencapai hal-hal hakekat kebenaran. Hal itu hanya dapat dicapai dengan Nur kenabian. Nur kenabian itu pada akhirnya akan membimbing dan mengarahkan kepada hidayat kenabian, laksana orang buta diserahkan kepada penuntunnya, atau seperti orang sakit diserahkan kepada tabib yang bijaksana. Hanya sampai di sinilah langkah akal, tak akan dapat melampaui lebih jauh, kecuali sekedar menjelaskan apa yang dinasehatkan oleh tabib itu kepadanya.5 Menurut al-Ghazali, seseorang tidak akan dapat mencapai marifat dengan indera dan akalnya, akan tetapi marifat diperoleh melalui nur yang diilhamkan oleh Tuhan kepadanya. Nur ini adalah kunci pembuka sebagian besar dari ilmu marifat. Barang siapa mengira bahwa tirai hanya dapat dibuka dengan menyusun kata-kata dan alasan alasan belaka, berarti ia telah menyempitkan rahmat Allah. Pengetahuan Irfani tidak didasarkan pada teks seperti Bayani, juga tidak atas rasio seperti Burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu, pengetahuan Irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks atau keruntutan logika, tetapi dengan olah rohani, di mana dengan kesucian hati, Tuhan akan melimpahkan langsung kepadanya. Dari situ kemudian dikonsep atau dimasukkan di dalam pikiran sebelum dikemukakan kepada orang lain. Sebenarnya pengetahuan Irfani, lahir dengan adanya kebimbangan atas pengetahuan yang diperoleh oleh akal atau otak. Sebagaimana dijelaskan AlGhazali dari sejarahnya yang syak (ragu-ragu) terhadap segala-galanya. Perasaan ini kelihatannya timbul dalam dirinya dari pelajaran ilm al-Kalam atau teologi yang diperoleh dari gurunya al-Juwaini. Sebagaimana diketahui dalam4 Mahfudz Masduqi, Spritualitas & Rasionalitas Al-Ghazali, (Yogyakarta: TH Press, 2005), hal. 82. 5 Ibid., hal. 83.

7

ilm al-Kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Timbullah pertanyaan dalam diri al-Ghazali: aliran manakah yang betul-betul benar di antara semua aliran itu? Sebagaimana dijelaskan al-Ghazali dalam bukunya al-Munqidz min alDhalal ia ingin mencari kebenaran yang sebenarnya; yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. Sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang betul ia wujudkan, saya akan kagum melihat kemampuannya, tetapi sungguhpun demikian, keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah. Serupa inilah, menurut al-Ghazali, pengetahuan yang sebenarnya. Pada mulanya pengetahuan serupa itu dijumpai al-Ghazali dalam hal-hal yang ditangkap dengan pancaindera, tetapi baginya kemudian ternyata bahwa panca indera juga berdusta. Sebagaimana yang beliau sebut: Bayangan (rumah) kelihatannya tak bergerak, tetapi akhirnya ternyata berpindah tempat. Bintang-bintang dilangit kelihatannya kecil, tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari Bumi. Karena tidak percaya pada pancaindera lagi, ia kemudian meletakkan kepercayaannya pada akal. Tetapi akal juga ternyata tak dapat dipercayai. Sewaktu bermimpi, demikian al-Ghazali, orang melihat hal-hal yang kebenarannya diyakininya betul-betul tetapi setelah bangun ia sadar, bahwa apa yang ia lihat benar itu, sebetulnya tidaklah benar.6 Dari gambaran ini, Muhammad Abed al-Jabiri, merintis sebuah konsep sebuah keilmuan yang dinamakan Irfani, bayani, dan burhani. B. Epistemologi Irfani Epistemilogi memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yakni metode kasyfi dan iktisyafi manhaj kasyfi di sebut juga manhaj marifah irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kasyf6 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), hal. 35-36.

8

dengan riyadhah dan mujahadah. Metode ini sangat unique karena tidak bisa dirasionalkan selamanya, diverifikasi atau diperdebatkan. Epistemologi ini benarbenar sulit difahami karena tidak bisa didemonstrasikan. Epistemologi ini lebih mengandalkan rasa individual dari pada penggambaran dan penjelasan. Bahkan ia menolak penalaran. Epistemologi ini akhirnya sulit dijelaskan karena seseorang harus mengalaminya sendiri kalau ingin mengetahuinya. Penganut setia epistemology ini adalah para sufi.7 Manhaj (metode) Iktisyafi disebut juga al-Mumatsilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogianalogi. Analogi dalam Manhaj ini meliputi: a. Analogi berdasarkan angka atau jumlah, seperti = 2/4 = 4/8, ilmu alam (hukum alam) dst. b. Tamsil yang meliputi silogisme dan induksi c. Surah dan Askal Irfani menolak atau menghindari mitologi, kaum Irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru mereka membersihkannya dari semua persoalan agama. Dan dengan Irfani pula, mereka lebih mengupayakan menangkap hakekat yang terletak dibalik teks, dan yang batin dibalik yang zahir. Dengan memperhatikan dua metode diatas, diketahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup ilham, intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui takwil).8 Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan irfani meliputi tanziltakwil, haqiqi-majazi, mumatsilah dan zahir batin. Hubungan zahir dan batin tersebut menjadi tiga yaitu: a. Siyasi Mubasyar, yakni memalingkan makna-makna tersurat pada sebagian ayat dan lafadz kepada pribadi tertentu. b. Ideologi Madzhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan kepada madzhab atau ideology tertentu. c. Metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik7 Muhyar Fanani, Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqih, dalam Muqadimah, Jurnal studi Islam, no. 9 th VI/2000, hal. 28. 8 Ibid., 29.

9

yang berkaitan dengan al-ilah al-mutaaliyah, aql kulli, dan al-nafs alkulliyah.9 Pendekatan irfani banyak dimanfaatkan dalam takwil. Takwil irfani terhadap al-Quran bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kasyf. Tetapi ia merupakan upaya mendekati lafal-lafal al-Quran lewat pemikiran berasal dari dan berkaitan dengan warisan irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.10 Dalam Tulisannya Syamsul Hidayat mencoba mengetepikan kekhawatiran yang muncul mengenai nalar irfani yang bersifat Subyektif. Menurutnya meskipun pengetahuan irfani bersifat subyektif dan batini, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri. Maka validitas kebenarannya bersifar intersubyektif.11 Karena beranjak dari epistemology yang demikian, bias teori-teori para sufi dikomunikasikan melalui metaphor dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang definitive. Seringkali puisi dan cerita dipakai untuk mengungkapkan pesan kebenaran. Misalnya, kisah yang bertema; Tidak Menangisi Kematian Anak Pernah ada seorang Syaikh yang konon tidak menangisi kematian putranya. Maka salah seorang anggota keluarga berkomentar, Jiwamu sungguh keras. Sekeras batu. Sehingga wafatnya seorang anak pun tidak kau tangisi. Sikapmu begitu dingin. Padahal kita semua mengharapkan kelembutan serta kehangatan kasihmu. Dari ilustrasi ini mereka mengaitkan air-mata dengan kelembutan dan kehangatan kasih. Mereka pemerhati wujud, pemuja berhala. Mereka menganggap nyata segala sesuatu yang terlihat oleh mata kasat. Mereka belum mampu melihat kebenaran di balik wujud. Rumi memberi contoh dari kehidupan Nabi Muhammad: Sang Nabi pernah berjanji bahwa dia tidak akan meninggalkan mereka yang tersesat. Pada9 Ibid., 10 Ibid., hal. 12. 11 Syamsul Hidayat, Pengembangan Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah, dalam suara Muhammadiyah, No. 05, Th ke-88 (Maret 2003) hal. 231.

10

saat perhitungan nanti, dia akan berupaya keras untuk membela mereka. Karena yang saleh, yang taat dan sudah berada pada jalan yang benar, tidak membutuhkan pembelaan. Mereka bisa membela diri sendiri. Yang membutuhkan pembelaan justru mereka yang berada pada jalur yang salah, yang tersesat. Beban mereka sungguh berat. Dan ia yang berbeban berat tidak bisa meringankan beban orang lain. Tapi kata Nabi, Kami tidak terbebani. Allah telah membebaskan dirinya dari segala beban. Allah telah memuliakan, mengagungkan, meninggikan namanya. Oleh karena itu, dia bisa membantu orang lain. Dia bisa meringankan beban mereka. Seorang syaikh adalah pir atau orang tua yang sudah putih rambutnya. Banyak yang mengartikan kalimat ini secara harfiah. Jelas salah. Rambut berarti keakuan. Apabila masih hitam, berarti masih tebal. Apabila sudah putih, berarti sudah menipis. Ada orang yang rambutnya masih hitam, tetapi keakuannya sudah lenyap, dia seorang Pir. Ada orang yang rambutnya sudah putih, tetapi keakuannya masih utuh, dia belum bisa disebut Pir. Ia yang sudah lenyap keakuannya, sudah lenyap keterikatannya, baru bisa di sebut Syaikh. Rumi tidak berhenti untuk menjelaskan apa kaitan riwayat Nabi dengan derinisi Syaikh yang baru saja diberikannya. Kaitannya jelas sekali. Muhammad TIDAK fanatik! Seorang Nabi tidak bisa fanatic. Seorang Mesias, seorang Avatar, sorang Buddha, seorang Rasul, seorang Pir, seorang Syaikh, seorang Sufi, seorang Master, seorang Mursyid, TIDAK BISA FANATIK. Kalau fanatic, ya dia belum apa-apa. Begitu lembutnya jiwa Muhammad, sehingga dia tidak lagi membedakan antara yang tersesat dan yang saleh. Bahkan dia akan maju ke depan untuk membela mereka yang tersesat. Yang saleh, yang taat pada ajarannya, tidak perlu dibela lagi. Mereka sudah sadar. Tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak saleh, yang tidak taat, bahkan yang menghujat dia, mengejek dia? Muhammad tidak membedakan antara apa yang anda sebut muslim dan non muslim. Dia adalah Nabi dunia. Bukan hanya Nabi Anda yang hidup dalam

11

kotak sempit dan menganggapnya dunia. Dia adalah berkah bagi umat manusia. Bukan berkah bagi sekelompok manusia yang arogan, egois dan atas nama fundamentalisme, selalu menganggap dirinya benar. Dia datang untuk menerangi alam semesta sempit Begitu lembutnya Muhammad sang Nabi. Begitu manis kasihnya. Begitu besar jiwanya. Begitu hangat hatinya. Lihat apa yang telah anda lakukan. Atas nama Islam dan dengan menggunakan symbol-simbol agama, anda memenggal kepala agama orang. Anda membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Lalu anda mencari-cari pembenaran dari sunnah Nabi, dari hadits Nabi. Sungguh memalukan! Karena tidak fanatic, maka seorang Nabi juga TIDAK terikat dengan salah satu kelompok. Dia tidak membedakan kelompok A dari kelompok B. Kasihnya bagaikan Cahaya Matahari tidak membedakan pekarangan rumah kumuh dari pekarangan istana. Bagi dia, semua sama. Setelah menjelaskan arti kata syaikh, Rumi melanjutkan kisahnya; Syaikh itu menanggapi komentar anggota keluarganya, Tidak sahabat. Hatiku tidak keras. Jiwaku lembut. Kadang melihat seekor anjing dibatui, batinku meleleh. Bertemu dengan mereka yang tidak percaya, aku menangis. Aku mengasihani mereka. Lalu kenapa tidak menangisi kematian putra kita? Menangisi nasib orang lain, tetapi tidak menangisi nasib anak sendiri. Istri Syaikh yang selama itu membisu akhirnya ikut bicara juga. Justru karena itu aku tidak menangis. Lain musim semi, lain musim gugur. Ada yang badannya hidup, tetapi jiwanya mati. Ada yang badannya tidak hidup, tetapi jiwanya hidup. Mana yang harus kutangisi? Aku melihat jelas apa yang tidak terlihat oleh kalian. Oleh karena itu reaksiku pun menanggapi suatu keadaan berbeda, Jawab sang Syaikh. Putra Syaikh dalam kisah ini mewakili setiap murid yang saleh, yang taat, yang mengindahkan petunjuk sang Mursyid. Kematian dia harus dirayakan. Dia sudah terbebaskan dari beban badan. Dia akan menyatu kembali dengan lain. Caraku Bukan hanya untuk menerangi lorong anda yang

12

semesta. Untuk apa ditangisi? Yang harus ditangisi justru mereka yang tidak taat, tidak mengindahkan petunjuk mursyid. Satu masa kehidupan terlewatkan begitu saja!12 Sesuai dengan sasaran bidik Irfan yang esoterik, isu sentral Irfan adalah lahir dan Batin, bukan sebagai konsep yang berlawanan tetapi sebagai pasangan. Menurut Muhsibi (w. 857 M), al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Arabi (w. 1240 M), juga para sufis yang lain, teks keagamaan (al-Quran dan Hadits) tidak hanya mengandung apa yang tersurat (zahir) tetapi juga apa yang tersirat (batin). Aspek zahir teks adalah bacaannya (tilawah) sedang aspek batinnya adalah takwilnya. Jika dianalogikan dengan Bayani konsep zahir-batin ini tidak berbeda dengan lafadz menuju makna sedang dalam Irfani seseorang justru berangkat dari makna menuju lafadz, dari batin menuju zahir atau dalam bahasa al-Ghazali, makna sebagai ashl, sedang lafadz mengikuti makna (sebagai furu).13 Persoalannya bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari kasyf tersebut diungkapkan? menurut Jabiri, makna batin ini, pertama diungkapkan dengan cara apa yang disebut sebagai Itibar atau qiyas irfani yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Misalnya qiyas yang dilakukan kaum Syiah yang meyakini keunggulan keluarga Imam Ali r.a. atas QS. al-Rahman, 19-22. Dia membiarkan dua lautan mengalir dan bertemu diantra keduanya ada batas yang tidak terlampui dan di antara keduanya keluar mutiara dan Marjan. Dalam hal ini, Ali dan Fatimah dinisbatkan pada dua lautan, Mutiara dan Marjan dinisbatkan = Hasan/Husen. Kedua, pengetahuan kasyf dengan apa yang disebut Sathahat namun berbeda berbeda dengan qiyas Irfani yang dijelaskan secara sadar dan dikaitkan dengan teks, Sathahat ini sama sekali tidak mengikuti aturan-aturan tersebut. Sathahat lebih merupakan ungkapan lisan tentang perasaan (al-Wijdan) karena limpahan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan maha besar aku dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau Ana al-Haqq (aku12 Anand Krishna, Masnawi Bersama Jalaluddin Rumi Menggapai Kebijaksanaan, Buku ke-3 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 157-162. 13 Muhammad Abed al-jabiri, Op.,Cit. hal. 29.

13

adalah Tuhan) dari al-Hallaj (w. 913 M) ungkapan-ungkapan seperti itu keluar saat seorang mengalami pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula, ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran yang baku. Meski demikian secara umum, sathahat sebenarnya diterima di kalangan sufisme, meskipun kalangan sufisme sunni ada yang membatasi diri pada aturan syariat, yakni syarat bahwa Sathahat tersebut harus ditakwilkan, ungkapan harus dikembalikan dahulu dalam makna zahir teks, artinya Sathahat tidak boleh diungkapkan secara liar dan berseberangan dengan syariat yang ada. Ismail Thaib mempunyai pandangan lain. Dalam tulisannya yang berjudul pendekatan Irfani Dalam Istinbat Hukum, suara Muhammadiyah edisi Agustus-Oktober 2002, beliau secara panjang lebar menguak Irfani dari segi historisitasnya. Dari Uraiannya bisa ditarik benang merah bahwa sesungguhnya pendekatan irfani itu sangat domonan digunakan oleh Syiah Imamiyah dan para Musawwifun. Golongan Syiah Imamiyah berpandangan bahwa al-Quran disamping mempunyai makna lahir dan juga mempunyai makana batinnya, yang hanya diketahuo oleh imam-imam Syiah yang menurut mereka para imam itu mempunyai pertalian batin (shilah ruhiyah) dengan Allah, sebagaimana halnya para Nabi dan Rasul yang mempunyai hubungan khusus dengan Allah Swt.14 Sementara dikalangan Mutasawwifun, mereka mengamalkan dalalah Ilham, dalam penetapan hukum yaitu sesuatu yang berasal dari hatinya (wijdan) tanpa disertai Istidlal dari ayat-ayat hadits. Mereka memegang ketetapan bahwa ilham dapat menjadi hujjah dalam penetapan hokum. Hal ini bertentangn dengan pendapat para Ulama ahli Ushulfiqih bahwa ilham tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena ilham itu mengandung ihtimal (kemungkinan-kemungkinan) boleh jadi berasal dari Allah dan boleh jadi merupakan bisikan Syaitan atau bahkan dari dirinya sendiri. Dan ini sangat sukar sekali dibedakan kalau tidak diukur dengan al-Quran dan al-sunnah. Dari argumentasi di atas menurut Ismail Thaib, dapat dijadikan alasan untuk menjauhkan diri dari pendekatan irfani dalam menetapkan14 Ismail Thaib, Pendekatan Irfani Menurut al-Jabiri, dalam suara Muhammadiyah, No. 8, Th. Ke-87, (April 2002), hal. 22.

14

suatu hokum.15 Implikasi dari pengetahuan Irfani dalam konteks pemikiran keislaman adalah mengahampiri agama pada tataran subtantif dan esensi spritualitasnya, serta mengembangknnya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki subtansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada adanya orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah. Obyek pengetahuan Irfani berupa cahaya yakni cahaya-cahaya penyingkap yang menghantarkan kepada pengetahuan yang sebenarnya (al-Ulum al-Haqiqiyah). Simbolisasi cahaya itu adalah Tuhan itu sendiri, yang bersifat transhistoris, transkultural, dan transreligius.16 Berbeda dengan pengetahuan pada umumnya yang digali dari obyek eksternal (korespondensi). Pengetahuan Irfani digali dari diri sendiri, tepatnya dari realitas kesadaran diri yang dalam bahasa tasawwuf disebut kasyf. Metode yang dilakukan untuk menggapai pengetahuan tersebut adalah lewat tahapan-tahapan laku spritual (riyadhah), yang dimulai dari taubat sebagai pensucian diri sampai tawakkal, ridha dan seterusnya. Pada puncaknya, yang bersangkutan akan memperoleh kesadaran diri dan kesadaran akan hal ghaib lewat neotic atau pencerahan atau emanasi. Proses pencerahan dan emanasi inilah yang menuntun salik (murid menurut istilah thariqat) untuk menemui dan mampu menjelaskan rahasia-rahasia realitas, sehingga tidak tepat jika dikatakan bahwa pengetahuan irfani adalah hasil abstraksi atau kontemplasi belaka tanpa mampu membaur pada persoalan-persoalan tersebut.17

15 Ibid., 16 Syamsul Hidayat, Op., Cit. hal. 24. 17 Muhammad Abed al-Jabiri, Op., Cit. hal. 251-253.

15

Pemetaan tentang metode, sumber dan epistemology irfani akan lebih jelas dilihat dari skema berikut ini;18

1. Origin

Experience Al-Ruyah al-Mubasyirah Direct Experience; al-Ilm al-Huduri Preverbal; Prelogical Knowledge Al-Zauqiyah (Al-Tajribah Al-Batiniyyah) Al-Riyadah; Al-Mujahadah; AlKasyfiyah; Al-Isyraqiyah; penghayatan batin/tasawuf al-Laduniyah;

2. Metode (Proses dan Prosedur)

3.

Approach Psiko-Gnosis; Intuitif; Zauq (qalb) La Aqliyah

(Epistemologi) 4. teori) Theoretical

Framework (kerangka Zahir-Batin Tanzil-Tawil Nubuwah Wilayah Haqiqi-Majazi

5. Fungsi dan Peran Akal

Partisipatif Al-Hads Wa al-Wijdan Bila Wasitah; Bila Hijab Atifiyyah-Wijdaniyah Sprituality (Esoterik) Universal Reciprocity Empati

6. Types of Argument 7. Tolak Ukur Validitas Keilmuan

18 Amin Abdullah, Al-Tawil Al-Ilmi Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,alJamiah, vol. 39, Juli-Desember, 2001. hal. 382.

16

8. Dasar

Prinsip-prinsip

Simpati Understanding Others

Al-Ma'rifah Al-Ittihad/Al-Fana' (Al-Insan Yazhubu Fillah), Al-Insan (Partikular), Yadzubu finnas (Universal) Al-Hulul (Allahu Nafsuhu Yaghzu al-Nafs al-Insaniyyah fa Yahulla fihawa Yatahawwalu al-Insanu hina izin ila kainin jadidin

9. Kelompok Ilmuan Pendukung Al-Mutasawwifah Ashhab al-Irfan/Ma'rifah Hermes/Arifun Intersubyektif Wihdatulwujud (Unity In Difference, Unity

10. Hubungan Subjek dan Obyek

in

Multiciplicity) Ittihad al-Arif wa al-Ma'ruf (lintas Ruang dan Waktu), . Ittihad al-Aql, al-Aqil walma'qul Pengetahuan Irfani dapat dicapai melalui tiga tingkatan. Pertama, tahap membersihkan diri dari ketergantungan terhadap dunia. Kedua, ditandai dengan pengalama-pengalaman eksklusif menghampiri dan merasakan pancaran nur ilahi. Ketiga, ditandai dengan perolehan pengetahuan yang seolah-olah tak terbatas dan tak terikat oleh ruang dan waktu, karena bersatunya al-Aql, al-Aqil, dan alMaqul.19 Misalnya: Pengalaman Batiniyah Rasulullah dalam menerima wahyu alQuran, dan lain-lain. Post tradisionalisme Islam karangan Abed al-Jabiri, menyatakan bahwa tradisi irfani pada tingkat elit dan terpelajar, serupa dengan yang dianut kalangan Musyrik Makkah pada tataran awam dan primitifnya, yaitu selain tidak mengakui kekuatan akal manusia juga menganut kepercayan tentang perantara untuk mencapai Tuhan Transenden, tidak mengakui kenabian dan juga tidak19 Amin Abdullah, Op., Cit. hal. 376-377.

17

mempercayai Tuhan transenden sebagai pencipta. Hal ini menjadi ideology yang didasarkan pada argument-argumen penalaran yang cukup canggih, sehingga oleh al-Jabiri disebut la Maqul al-Aqli (Irasionalitas yang rasional) sebuah ideology yang banyak menggunakan argument akal tetapi ujung-ujungnya tidak mengakui kemampuan akal.20 Misalnya; Kenapa wudhu, sholat, dan lain-lain, sebelumnya di Syaratkan dengan Niat? Ulama Fiqih dalam kitabnya pasti mendasarkan pada ayat atau Hadits, tidak menerangkan dibalik rahasia itu semua. Lalu dalam konteks inilah keilmuan Irfani perlu digunakan dalam menyingkp rahasia tersebut. Penulis pernah mendengar perkataannya K.H Abdul Ghafur, beliau mengungkapkan, dengan pandangan ilmu elektronik. Hal ini sesuai manhaj Iktisyafi diatas, bagian pertama. Niat (konsentrasi hanya pada tuhan) itu seperti mencocokkan gelombang, sebagaimana Radio bila tidak pas seperti apa! Seperti ketika sholat waktu Takbiratul Ihram Ulama Fiqih mewajibkan niat (konsentrasi menuju Tuhan), tidak ingat melainkan hanya pada Tuhan. Tujuannya sebagai media penyambung antara hamba dengan Tuhannya. Juga pernah beliau mengungkapkan, bahwa dalam waktu sholat lima waktu, memiliki rahasiarahasia yang sesuai untuk berdoa. Beliau berkata, seperti Sholat Dzuhur itu untuk minta derajat dunia, Ashar meminta ampunan, Maghrib meminta derajat akherat, Isya meminta ilmu dan jodoh, Shubuh meminta rizki. Beliau mengatakan hal ini, dengan dimbuhi perkataan jangan bilang-bilang. Ini rahasiarahasia Tuhan. Beliau mengungkapkan dihadapan ribuan Muridnya waktu mengaji. Dan banyak yang lain. Hal ini menunjukkan keilmuan Irfani biasanya diwariskan oleh Muridnya.

BAB III KESIMPULAN20 Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, alih bahasa Ahmad Baso, Cet. Ke-1 (Yogyakarta: LKis, 2000), hal. 38.

18

Dari pembahasan di atas dapat ditarik konklusi, bahwa keilmuan Irfani, membahas tentang dunia kemistikan. Masalah tentang pengalaman kemistikan atau keghaiban atau melihat sesuatu yang ajaib, perlu kritis menghadapi fenomena tersebut. Hal itu dikarenakan, peristiwa tersebut masih perlu dipertanyakan apa berasal dari Tuhan? ataukah jangan-jangan dari Syaitan? Yang notabene Syaitan, sudah berjanji pada Tuhan, hambanya akan disesatkan sampai hari kiamat dengan berbagai macam cara. Baik syaitan kelas professor atau kelas dasar, yang menggodanya baik godaannya melalui pemikiran atau yang lain sesuai dengan siapa levelnya. Dari sinilah ilmu fiqih bermain untuk membentengi diri dari zaman globalisasi yang mana fiqih ini semakin lama semakin kurang dipelajari oleh generasi-generasi pemuda. Ilmu Irfani berkaitan erat dengan ilmu bayani dan burhani. Kalau dalam Islam ada istilah syariat, thariqat dan hakekat. Jadi tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain. Ulama sufi menganalogikan Syariat sebagai kapal lautnya, dan Thoriqat sebagai dayungnya dan hakekat adalah tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian untuk menangkap suatu kebenaran yang utuh tentu menggabungkan ketiga jenis keilmuan ini.

19

DAFTAR PUSTAKA Krishna, Anand. Masnawi Bersama Jalaluddin Rumi Mabuk Kasih Allah, Buku Ke-4, Jakarta: Pustaka Utama, 2001 Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, Beirut : al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991 Masduqi, Mahfudz. Spritualitas & Rasionalitas Al-Ghazali, Yogyakarta: TH Press, 2005. Nasution, Harun Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2006. Fanani, Muhyar Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqih, dalam Muqadimah, Jurnal studi Islam, no. 9 th VI/2000, Hidayat, Syamsul Pengembangan Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah, dalam suara Muhammadiyah, No. 05, Th ke-88, Maret 2003. Krishna, Anand. Masnawi Bersama Jalaluddin Rumi Menggapai Kebijaksanaan, Buku ke-3, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. Thaib, Ismail. Pendekatan Irfani Menurut al-Jabiri, dalam suara Muhammadiyah, No. 8, Th. Ke-87, April 2002. Abdullah, Amin. Al-Tawil Al-Ilmi Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,al-Jamiah, vol. 39, Juli-Desember, 2001. al-Jabiri, Muhammad Abed Post Tradisionalisme Islam, alih bahasa Ahmad Baso, Cet. Ke-1, Yogyakarta: LKis, 2000.

20