nafkah istri dalam kasus perceraianrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · nafkah...

100
NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: HALIMATUSA’ADAH NIM: 11150440000100 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1441 H/2019 M

Upload: others

Post on 04-Nov-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN

QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA

(Analisis Putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dan

Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

HALIMATUSA’ADAH

NIM: 11150440000100

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1441 H/2019 M

Page 2: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan
Page 3: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan
Page 4: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan
Page 5: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

iv

ABSTRAK

Halimatusa’adah NIM 11150440000100. Nafkah Istri Dalam Kasus Perceraian

Qobla Dukhul Setelah Melakukan Zina (Analisis Putusan Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dan Nomor 161/Pdt/G/2017/PTA.Smg). program

Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 1440 H/2019 M. xiii + 87 halaman.+ 1

halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan

hukum positif tentang talak raj’i, nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah madhiyah

dalam kasus perceraian qobla dukhul pada putusan Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. Serta bertujuan untuk mengetahui pertimbangan

Majelis Hakim dalam memutuskan perkara Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd/

dan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. dalam menjatuhkan talak serta pemberian

nafkah dalam kasus perceraian qobla dukhul.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sedangkan

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Normatif

Yuridis. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen putusan

perkara Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd.dan perkara Nomor

161/Pdt.G/2017/PTA. Smg. Sedangkan data sekundernya (studi kepustakaan).

Teknik penulisannya berdasarkan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Hasil penelitian ini memakai pendapat mazab Syafi’i mengenai makna

nikah secara hakiki yaitu akad sedangkan makna majazinya bersetubuh. Putusan

tingkat pertama tidak sesuai pada keputusannya merujuk sebagai pernikahan

ba’da dukhul. Sedangkan putusan tingkat banding telah sesuai yang keputusannya

merujuk sebagai pernikahan qobla dukhul. Karena walaupun keduanya sudah

bersetubuh namun belum terjadinya akad pernikahan yang sah, dan begitu juga

setelah menikah keduanya tidak berhubungan intim serta tidak tinggal bersama

dengan jangka waktu 2 tahun 5 bulan. Maka menurut KHI pasal 119 ayat 2 huruf

a istri yang dicerai qobla dukhul dijatuhkan talak bain sughra. Begitu juga tidak

diwajibkan iddah menurut PP No. 9 Tahun 1975 pasal 39 ayat 2. Serta pemberian

mut’ah berlaku bagi suami yang belum memberikan mahar. Menurut Jumhur

Ulama pemberian nafkah harus adanya syarat tamkin dari istri diantaranya yaitu

akad dan istri sudah digauli. Namun dalam penellitian ini istri yang tidak digauli

yaitu atas kehendak suami yang tidak mau menggaulinya, sehingga istri

dinyatakan tidak nuysuz dan berhak mendapakan nafkah.

Kata Kunci : qobla dukhul, nafkah, iddah, mut’ah, madhiyah.

Pembimbing : Rosdiana M.A.,

Daftar Pustaka : 1992-2019

Page 6: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

v

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

Puji syukur kepada Allah Tuhan Seru Sekalian Alam. Tidak ada kata yang

pantas kecuali pujian yang terus dilafalkan oleh lisan dan tidak ada perbuatan baik

dan perbuatan ketaatan kecuali tertuju hanya kepada-Nya. Hanya Dia lah yang

pantas dipuji dan hanya Dia lah yang pantas disembah, kepada-Nya pula hamba

memohon pertolongan, sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan

dengan baik.

Dalam proses penulisan skripsi ini, banyak hambatan, rintangan maupun

cobaan, tentunya ada peran berbagai pihak yang membantu secara langsung

maupun tidak langsung sehingga segala masalah dapat terselesaikan. Maka dari

itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih sedalam-

dalamnya kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A., sebagai Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah

dan Hukum.

2. Dr. Mesraini, M.Ag, sebagai Ketua Program Studi Hukum Keluarga

beserta Ahmad Chairul Hadi, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum

Keluarga, yang terus mendukung dan memotivasi penulis untuk segera

menyelasaikan penyusunan skripsi ini.

3. Rosdiana, M.A. sebagai pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan

terus memberikan arahan untuk membimbing penulis dalam proses

penyusunan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis

selama duduk di bangku perkuliahan.

Page 7: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

vi

5. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk

meminjamkan buku kepada penulis sebagai referensi.

6. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis ayahanda Madroji, ibunda

Ratna Wati dan kedua adikku Fahmi dan Ilham Yang selalu memberikan

dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya

kepada mereka.

7. Sahabat-sahabatku tersayang, Devy, Hana, Desi, Novi, Dina, vio, Ladina,

Imamah, Dede, Iis, Aza, Ilham, Nabila, Rifqiyati, Refi, Myta, Angel, dan

seluruh semua teman-teman Hukum Keluarga 2015.

8. Teman-teman KKN Divergent 061 yang telah memberikan pengalaman

hidup yang tak akan penulis lupakan di Desa Sukasari, Rajeg, Tangerang.

9. Seseorang yang selalu setia menemani penulis dalam suka maupun duka,

yang selalu menjadi pendengar paling setia, motivator terhebat. Semoga

Allah melindungi dia selalu.

10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah

memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.

Jakarta, 27 November 2019

Penulis,

Page 8: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan

asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama

bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah

Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih

penggunaannya terbatas.

A. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak Dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts te dan es ث

J Je ج

H ha dengan garis bawah ح

Kh ka dan ha خ

D De د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

Page 9: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

viii

S Es س

Sy es dan ye ش

S es dengan garis bawah ص

D de dengan garis bawah ض

T te dengan garis bawah ط

Z zet dengan garis bawah ظ

‘ عkoma terbalik diatas hadap

kanan

Gh ge dan ha غ

F Ef ف

Q Qo ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apostrop ‘ ء

Y Ya ي

Page 10: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

ix

B. Vokal Pendek dan Vokal Panjang

Vokal Pendek Vokal Panjang

____ _ ____ = a اى = a

_____ ____= i يى = i

_____ ___ = u = u

C. Diftong dan Kata Sandang

Diftong Kata Sandang

al = (ال) ai = يأ

al-sh = (الش) aw = وأ

-wa al = (وال)

D. Tasydid (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf,

yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf’ah, tidak

ditulis asy-syuf’ah

E. Ta Marbutah

Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh

1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah

tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan

menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

Page 11: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

x

Kata Arab Alih Aksara

Syarî’ah شريعة

al-syarî’ah al-islâmiyyah الشريعةالإسلامية

Muqâranat al-madzâhib نةالمذاهبمقار

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih

aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia

Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar nama tersebut

berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn

al-Rânîrî.

Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman

kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:

No Transliterasi Asal Dalam KBBI

1 Al-Qur’an Alquran

2 Al-Hadist Hadis

3 Sunnah Sunah

4 Nash Nas

5 Tafsir Tafsir

6 Fiqh Fikih

Dan lain-lain (lihat KBBI)

Page 12: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

xii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii

ABSTRAK ............................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................. v

PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... vii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang................................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................ 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 7

D. Metode Penelitian .............................................................................. 8

E. Teknik Penulisan ............................................................................... 9

F. Studi Review Terdahulu..................................................................... 9

G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 12

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG NIKAH, CERAI TALAK DAN

NAFKAH ............................................................................................. 14

A. Pengertian Nikah Menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i ....... 14

B. Cerai Talak ...................................................................................... 16

1. Pengertian Cerai Talak ............................................................... 16

2. Dasar Hukum Talak ................................................................... 18

3. Macam-Macam Talak ................................................................ 18

4. Akibat Putusnya Perkawinan ...................................................... 24

C. Nafkah Dalam Hukum Islam ............................................................ 25

1. Pengertian Nafkah ...................................................................... 25

2. Dasar Hukum Nafkah ................................................................. 26

3. Syarat-Syarat Menerima Nafkah ................................................ 27

4. Ketentuan Kadar Nafkah ............................................................ 28

5. Sebab-Sebab Yang Mewajibkan Nafkah..................................... 29

Page 13: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

xiii

6. Nafkah dalam Hukum Positif Indonesia ..................................... 31

D. Hak-Hak Mantan Istri Akibat Cerai Talak ........................................ 32

1. Mut’ah ....................................................................................... 32

2. Nafkah Iddah ............................................................................. 36

3. Nafkah Madhiyah....................................................................... 46

BAB III STUDI PUTUSAN NOMOR 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd DAN

NOMOR 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg ................................................... 49

A. Perkara Pengadilan Agama Mungkid Putusan Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd................................................................ 49

1. Duduk Perkara ........................................................................... 49

2. Pertimbangan Hakim .................................................................. 50

3. Amar Putusan ............................................................................ 54

B. Perkara Pengadilan Tinggi Agama Semarang Putusan Nomor

161/Pdt.G/2017/PTA.Smg ............................................................... 55

1. Duduk Perkara ........................................................................... 55

2. Pertimbangan Hakim .................................................................. 57

3. Amar Putusan ............................................................................ 61

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG

NAFKAH DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL

SETELAH MELAKUKAN ZINA ...................................................... 63

A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd................................................................ 63

B. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor

161/Pdt.G/2017/PTA.Smg ............................................................... 75

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 79

A. Kesimpulan .................................................................................... 79

B. Saran .............................................................................................. 80

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 82

LAMPIRAN .......................................................................................................... 88

Page 14: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah SWT telah menciptakan makhluk manusia yaitu laki-laki dan

perempuan untuk berpasang-pasangan yang mempunyai daya tarik satu sama

lainnya untuk hidup bersama. Manusia mempunyai kebutuhan yakni

kebutuhan primer dan sekunder, diantara kebutuhan primer atau pokok adalah

kebutuhan seksual yang menjadi naluri manusia.1Maka bagaimana cara

mengatasi dari kebutuhan pokok tersebut agar tidak menyimpang, tidak

disalahgunakan dan tidak pula mendatangkan mudhorat sehingga dijauhkan

dari sesuatu yang di haramkan yaitu berzina. Islam memberikan solusi untuk

memenuhi kebutuhan seksual dengan jalan yang halal yaitu perkawinan.

Namun, apabila tidak mempunyai kemampuan untuk menikah dan tidak bisa

menahan nafsu syahwatnya maka ia harus berpuasa dan mendekatkan diri

kepada Allah, agar mempunyai daya mental dalam menghadapi kemungkinan-

kemungkinan yang di haramkan untuk berzina.2

Pernikahan bukanlah ikatan yang bersifat sementara waktu yang hanya

untuk kesenangan dan status semata, akan tetapi sesuatu yang semestinya

berjalan seumur hidup untuk menegakan agama dan meningkatkan ketaqwaan

kepada Allah SWT.3 perkawinan mempunyai tujuan yang bersifat jangka

panjang sebagaimana keinginan dari manusia itu sendiri yakni sakinah,

mawadah, warahmah yang di definisikan bahwa keluarga memiliki rasa

tenang dan tetram yang di dalamnya terdapat rasa cinta dan kasih sayang yang

berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmani dan rohani.4

1 Agus Hermanto, Larangan Perkawinan, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books,

2016), h.1. 2 Putri Permata Ramaningsih, Sistem Pemberian Nafkah (Studi Masyarakat di Kecamatan

Sooko Kabupaten Mojokerto), (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2018), h. 1. 3 Elie Mulyadi, Buku Pintar Membina Rumah Tangga yang Sakinah, Mawwadah,

Warahmah

Bimbingan Mamah Dedeh, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 253. 4 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,

(Jakarta: Kencana, 2017), h. 262.

Page 15: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

2

Perkawinan telah diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan pasal 1 ayat 2 “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.5 Begitu juga

terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 yaitu “akad yang sangat

kuat (mitsaqan ghalidhzan) untuk mentaati perintah Allah, dan

melaksanakannya merupakan ibadah”.6

Agama menetapkan setelah berlangsungnya akad nikah dengan rukun

dan syarat yang sah, maka timbulah akibat hukum dan menimbulkan pula hak

dan kewajiban. Maksud dari hak dan kewajiban adalah apa-apa yang harus

diterima oleh seseoang dari orang lain yang mempunyai tanggung jawab.7

Maka untuk tercapainya sebuah tujuan perkawinan maka suami istri

mempunyai hak dan kewajiban secara bersamaan, diantaranya yaitu adalah

suami istri dihalalkan untuk saling bergaul mengadakan hubungan intim

karena perbuatan tersebut merupakan kebutuhan bersama suami istri yang

dihalalkan secara timbal balik, dan tidak boleh dilakukan tidak secara

bersamaan atau hanya sepihak saja. Kemudian suami istri memikul kewajiban

yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan

warahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.8

Setalah adanya hak dan kewajiban bersama, masing-masing suami istri

mempunyai hak dan kewajiban terutama seorang suami yang menjadi peran

penting di dalam sebuah keluarga, karena suami memiliki derajat lebih tinggi

dari pada istri yaitu sebagai pemimpin rumah tangga.9 Suami yang menjadi

pemimpin rumah tangga akan lebih besar tanggung jawabnya yang

5 Tim Redaksi Bi, Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: BIP Kelompok Gramedia,

2017), h. 2. 6 Tim Redaksi Nuansa, Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Bandung: CV. Nuansa Aulia,

2015, Cet.6), h. 7 Kamar Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,( Jakarta: Bulan bintang,)

h.27. 8 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 155-157. 9 Zaitunah Subhan, Al-Qur’an & Perempuan Menuju Kesehatan Gender dalam

Penafsiran), (Jakarta: Kencana, 2015, Cet. 1), h.102.

Page 16: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

3

merupakan hak bagi istri yakni kewajiban yang bersifat materi dan non

materi.10

Adapun kewajiban suami yang besifat materi disebut nafkah. Maka

nafkah yang dimaksud adalah mencukupkan kebutuhan istri berupa makanan,

tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, karena nafkah merupakan

jaminan hidup bagi seorang istri setelah ia lepas dari tanggungjawab wali atau

kelaurganya.11

. Namun suami memberikan nafkah kepada istrinya sesuai

dengan kemampuan suami yaitu tidak ada ketentuan kadar tertentu.

Setelah adanya kewajiban suami yang menjadi hak istri maka ada pula

kewajiban istri yang menjadi hak suami, namun ada perbedaan bahwa istri

tidak wajib menanggung nafkah tetapi hanya berkewajiban bersifat non materi

saja, sebagimana terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 83.12

Namun, berbeda bagi pernikahan yang hanya dipandang status semata

saja, yang mana pasangan tersebut sudah menjadi suami istri tidak

melaksanakan hak dan kewajiban yang telah diatur hukum Islam, seperti

suami istri setelah menikah tidak berhubungan intim atau suami tidak

memberikan nafkah. Maka pernikahan tersebut akan menimbulkan ketidak

sempurnaan, dan begitu juga tujuan dari pernikahan sudah tidak tercapai

sehingga akan mengakibatkan perceraian. Maka apabila diantara salah satu

pihak tidak mendapatkan hak-haknya dikarenakan tidak terlaksananya

kewajiban maka salah satu yang dirugikan bisa mengajukan gugatan ke

pengadilan.13

`

Masalah perceraian telah diatur dalam Hukum Indonesia UU No. 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu pada pasal 38, bahwa perkawinan

dapat putus karena : kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.

Selanjutnya pada pasal 39 bahwa perceraian dapat dilakukan di depan sidang

setelah pengadilan sudah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua

10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007),

Cet. 2, h. 160. 11 Zubair Ahmad, Relasi Suami Istri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita Uin

Syarif Hidayatullah, 2004), h. 61. 12

Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Kencana, Jakarta, 2003), h. 164. 13 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h 157.

Page 17: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

4

belah pihak. Ketentuan yang mengatur tentang perceraian di atur dalam pasal

41 (c) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa pengadilan dapat

mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan

menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.14

Bekas istri yang ditalak raj’i dalam perkara cerai talak maka suami

berkewajiban memberikan nafkah, yang harus diberikan kepada bekas istrinya

yakni nafkah iddah dan mut’ah.15

Istri juga boleh mengajukan gugatan kepada

bekas suaminya mengenai nafkah yang tidak pernah diberikan pada masa

pernikahan. Karena nafkah tersebut tidak akan gugur dan menjadi hutang.16

Apabila istri yang dicerai qobla dukhul maka talak yang dijatuhkan

adalah talak bain sugra, dan istri juga berhak mendapatkan mut’ah karena

pada saat akad pernikahan suami belum memberikan mahar. Dan begitu juga

istri tidak perlu menjalankan masa iddah. karena suami istri yang tidak

berhubungan intim istri dinyatakan telah bersih rahimnya sehingga tidak perlu

ditakutkan sedang mengandung.17

Namun di dalam putusan Pengadilan Agama Mungkid Nomor.

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dalam kasus perceraian qobla dukhul yang di dalam

pernikahannya tersebut bahwsanya sudah melakukan perbuatan zina namun

setelah menikah keduanya tidak melakukan hubungan intim layaknya suami

istri. Maka dengan ini Hakim memberikan keputusannya dengan menjatuhkan

talak raj’i dan memberikan nafkah iddah dan mut’ah serta nafkah yang tidak

pernah diberikan selama pernikahan dengan jangka waktu 2 tahun 5 bulan

dinyatakan obscuur libel. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang sangat

menarik untuk diteliti dalam bentuk skripsi dengan judul “Nafkah Istri Dalam

14 Redaksi New Merah, Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Yogyakarta:

New Merah Putih (Anggota Ikapi, 2009, Cet. 1), h. 25-26. 15 Burhanutut Dyana, Hak-hak Istri Pasca Cerai Talak Raj’i (Analisis Perbandingan

Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan

Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn), (Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2015), h. 4. 16 Proyek Pembinaan prasarjana dan sarana perguruan tinggi agama /IAIN di Jakarta,

Ilmu Figih Jilid II Cet ke 2, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,

1984/1985),h. 192. 17 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 42.

Page 18: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

5

Kasus Perceraian Qobla Dukhul Setelah Melakukan Zina (Analisis Putusan

Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dan Nomor 161/Pdt/G/2017/PTA.Smg).”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

a. Apa pengertian nikah menurut mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi?

b. Apa yang dimaksud dengan cerai talak ?

c. Apa saja macam-macam talak?

d. Apakah istri yang ditalak dan dijatuhkan qobla dukhul berhak

mendapakan nafkah?

e. Apakah istri yang ditalak dan dijatuhkan qobla dukhul berhak

mendapakan mut’ah ?

f. Bagaimana ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

dan Kompilasi Hukum Islam tentang iddah bagi pernikahan qobla

dukhul ?

g. Apa yang menjadi perbedaan pendapat, hakim tingkat pertama dan

hakim tingkat banding dalam memutuskan suatu perkara ?

h. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara

cerai talak Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd/ dan Nomor

161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. dalam pemberian nafkah dalam kasus

perceraian qobla dukhul setelah melakukan zina?

i. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia

terhadap perkara Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dalam menjatuhkan

talak raj’i dan memberikan nafkah iddah, mut’ah, serta tidak

memberikan nafkah madhiyah dalam kasus perceraian qobla dukhul

setelah melakukan zina?

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,

penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya

lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Disini

Page 19: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

6

penulis akan membahas dalam kasus perceraian qobla dukhul setelah

melakukan zina, mengenai talak yang dijatuhkan yaitu talak raj’i, dan

mengenai pemberian nafkah iddah, mut’ah dan tidak diberikannya nafkah

madhiyah yang terdapat pada putusan Pengadilan Agama Mungkid Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd.

3. Rumusan Masalah

Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

dalam pasal 34 ayat 1 suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan

hidup berumah tangga. Kompilasi Hukum Islam pasal 119 ayat 2 huruf a

istri yang dicerai qobla dukhul dijatuhkan talak bain sughra. Dan tidak

adanya masa iddah yang ditetapkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tetang

perkawinan pasal 11 yang diatur di dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 39

ayat 2. Pemberian Mut’ah berlaku bagi suami yang belum menyebutkan

mahar pada saat akad nikah. Sedangkan di dalam perkara Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dalam kasus perceraian qoblal dukhul setelah

melakukan zina, istri dijatuhkan talak raj’i, diberikan nafkah iddah, dan

mut’ah dengan alasan talak raj’i tersebut. serta istri setalah menikah tidak

diberikan tempat tinggal dan nafkah namun dikatakan obscuur libel.

Maka permasalahan dalam penelitian ini yang perlu dikaji adalah

berkisar sebagai berikut :

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara Cerai

Talak dalam putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd/ dan Nomor

161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. dalam memberikan nafkah dalam kasus

perceraian qobla dukhul setelah melakukan zina?

2. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia

terhadap perkara Cerai Talak dalam putusan Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dalam menjatuhkan talak raj’i dan

memberikan nafkah iddah, mut’ah, serta tidak memberikan nafkah

madhiyah dalam kasus perceraian qobla dukhul setelah melakukan

zina?

Page 20: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ialah pernyataan mengenai apa yang hendak

penulis capai, dengan maksud agar penulis maupun orang lain yang

membaca penelitian tersebut dapat mengetahui maksud apa tujuan

penelitian itu sesungguhnya.18

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pertimbangan Hakim dalam

memutuskan perkara Cerai Talak dalam putusan Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd/ dan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.

dalam memberikan nafkah dalam kasus perceraian qobla dukhul setelah

melakukan zina.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan menurut pandangan hukum Islam

dan hukum positif di Indonesia terhadap perkara Cerai Talak pada

putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dalam menjatuhkan talak

raj’i dan memberikan nafkah iddah, mut’ah, serta tidak memberikan

nafkah madhiyah dalam kasus perceraian qobla dukhul setelah

melakukan zina?

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1) Secara akademis, dapat memberikan sumber reverensi pembelajaran

bagi mahasiswa pada umumnya dan khususnya bagi mahasiswa bagian

hukum keluarga islam.

2) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran mengenai hukum penikahan menurut imam Syafi’i dan imam

Hanafi serta pemberian nafkah menurut hukum Islam dan hukum positif

khususnya bagi istri yang diceraikan qobla dukhul yang sudah didahului

berzina.

18

Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT

Bumi Aksara, 2008, Cet.1), h. 30.

Page 21: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

8

3) Secara praktis, penelitian ini diharapkan untuk bisa menjadi

pembelajaran serta pertimbangan yang baik bagi seseorang yang mau

melakukan perbuatan zina. Penelitian ini juga diharapkan agar suami

istri lebih mengetahui apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dalam

sebuah perkawinan, khususnya bagi suami yang yang mempunyai

kewajiban bersifat materi untuk menafkahkan keluarganya. Dan

diharapkan juga mampu menambah pengembangan keilmuan hakim

dalam memutus perkara terutama dalam perkara cerai talak pada kasus

perceraian qobla dukhul yang sudah di dahului berzina.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian ialah suatu proses untuk mendalami sebuah

petunjuk yang terdapat dalam penelitian19

. Maka penulis menggunakan

metode sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian

kualitatif yang memusatkan perhatian pada prinsip umum yang mendasari

perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.

Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif

yuridis.

2. Sumber data penelitian

a. Data primer

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah berupa putusan

Pengadilan Agama Mungkid dengan perkara Cerai Talak Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg

melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung.

b. Data sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dengan

mengadakan studi kepustakaan berupa dokumen-dokumen yang

19

Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT

Bumi Aksara, 2008, Cet.1), h. 41.

Page 22: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

9

berhubungan dengan permasalahan tersebut seperti dari Al-Qur’an,

Hadits, Undang-undang, Kompilasi hukum Islam, buku-buku, serta

bentuk referensi baik jurnal, artikel, maupun karya tulis lainnya yang

relavan.

3. Teknik Pengumpulan Data

1. Study dokumentasi yaitu penulis memfokuskan untuk dapat mengkaji

tentang berbagai dokumen dan berkas yang mengatur tentang

pemeriksaan putusan yang terkait masalah nafkah istri dalam kasus

perceraian qobla dukhul dalam putusan Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. dan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.

2. Kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan

data dan landasan teoritis dengan mempelajari buku-buku, jurnal

hukum dan artikel, serta sumber bacaan lainnya yang berhubungan

dengan permasalahan yang di teliti.

4. Teknik Analisis Data

Bahan-bahan hukum yang sudah dikumpulkan tersebut dianalisis

dengan berpedoman pada metode kualitatif, yaitu suatu cara penelitian

yang menghasilkan informasi deskriptif analisis dan terkumpul untuk

mendapatkan kebenaran atau mengurai fakta dan berakhir pada suatu

kesimpulan dan saran. Selain itu penulis menggunakan cara berpikir

deduktif yang menarik kesimpulan yang berangkat dari hal-hal yang

bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus.

E. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun

2017”.

F. Study Review Terdahulu

Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis telah menemukan

beberapa skripsi yang berhubungan dengan penelitian yang akan penulis teliti.

Berikut skripsi-skripsi yang penulis temukan :

Page 23: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

10

Fani Yulianti Fauziah (082321006) “Tinjauan hukum Islam mengenai

gugatan terhadap nafkah lampau anak yang dilalaikan ayahnya (studi

putusan mahkamah agung RI Nomor 608K/AG/2003) skripsi tahun 2015.20

Dalam skripsi ini pokok pembahasannya adalah tentang gugatan terhadap

nafkah lampau anak yang di lalaikan ayahnya ditolak, dengan alasan pendapat

mazhab Hanafi dan para fuqaha bahwasanya nafkah yang diberikan ayah

kepada anaknya merupakan lil intifa’ untuk memenuhi kebutuhan sehingga

jika lewat masanya nafkah tersebut menjadi gugur, yang kemudian pada

skripsi tersebut menggunakan pendapat mazhab Syafi’iyyah yang menjelaskan

mengenai kata lil intifa dapat dikecualikan ketika ditentukan hakim atau

mendapat izin untuk berhutang. Sebab, sang ayah sengaja melalaikan

kewajibannya memberikan nafkah kepada anaknya.

Sedangkan penulis membahas nafkah lampau istri karena suami

melalaikan kewajibannya secara materi. namun majelis tingkat pertama

menolak gugatan nafkah lampau tersebut karena dinyatakan obscuur libel.

namun, disini penulis bertolak belakang dengan adanya obscuur libel yang

kemudian melakukan penelitiannya yaitu membahas mengenai pertimbangan

hakim serta hukum Islam tentang dan hukum positif tentang kewajiban

seorang suami.

Rika Nur Fajriani “Tinjaun hukum Islam tentang pemberian mut’ah

kepada istri qobla dukhul (analisis putusan pengadilan agama kudus

no.535/Pdt.G/2007/PA.Kds) thesis tahun 2010.21

Yang sama dengan skripsi

yang penulis tulis adalah sama-sama membahas tentang pemberian mut’ah

kepada istri yang dicerai qobla dukhul, namun perbedaannya penelitian

tersebut membahas tentang dasar hukum pertimbangan majelis hakim yaitu

surat Al Baqarah ayat 241 yang menjelaskan tidak ada batasan-batasan

mengenai syarat yang harus dipenuhi apabila seorang istri menerima mut’ah.

20 Fani Yulianti Fauziah, Tinjauan hukum islam mengenai gugatan terhadap nafkah

lampau anak yang dilalaikan ayahnya (studi putusan mahkamah agung RI Nomor

608K/AG/2003), skripsi, Purwokerto, institut agama islam negeri purwokerto, 2015. 21 Fajriani, Rika nur, Tinjaun hukum islam tentang pemberian mut’ah kepada istri qobla

dukhul (analisis putusan pengadilan agama kudus no.535/Pdt.G/2007/PA.Kds), thesis, semarang,

institut agama islam walisongo, 2010.

Page 24: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

11

Dan juga merujuk kepada surat Al-Ahzab ayat 49, surat Al Ahzab ayat 28

selain itu juga merujuk dengan pendapat imam Abu Hanifah tentang hukum

pemberian mut’ah yang digolongkan menjadi tiga bagian salah satunya

sunnah muakkad, dan hakim juga berprinsip maslahah tahsiniyah yang

merupakan adat kebiasaan yang baik sehingga pemberian mut’ah termasuk

layak dan pantas untuk dibenarkan.

Sedangkan penulis membahas mengenai istri yang dicerai qobla

dukhul setelah melakukan zina, yang mana majelis hakim tingkat pertama

memberikan mut’ah dengan merujuk surat Al Baqarah ayat 241 yang

dinyatakan telah sesuai dengan hukum Islam namun dalam pertimbangannya

hakim juga merujuk pada KHI pasal 149 huruf a serta pemberiannya karena

istri dijatuhkan talak raj’i karena melihat sebelum adanya pernikahan tersebut,

yang kemudian pernikahannya disamakan sebagai pernikahan ba’da dukhul.

Dengan itu maka penulis dalam penelitiannya melakukan analisis terhadap

kasus serta pertimbangan majelis hakim yang kemudian dihubungkan dengan

hukum islam dan hukum positif.

Alfina Sauqi Anwar (152121104) “ penetapan nafkah iddah terhadap

istri qabla ad-dukhul perspektif maslahah (studi kasus putusan mahkamah

agung nomor 561 K/Ag/2017) skripsi tahun 2019.22

Dalam skripsi ini sama-

sama membahas tentang kasus perceraian qobla dukhul yang diberikan nafkah

iddah namun perbedaannya adalah dilihat dari kasus yang berbeda penelitian

tersebut dalam kasus pemberian nafkah iddah bagi pereceraian qobla dukhul

dikarenakan bukan kemauan istri akan tetapi karena adanya penyakit yang di

derita istri, dan istri telah berusaha untuk melakukan pemeriksaan dan

pengobatan ke dokter kandungan dan psikolog, begitu juga suami istri telah

tinggal bersama dengan jangka waktu yang cukup panjang yaitu kurang kebih

15 tahun hingga diajukannya perceraian. Maka Majelis Hakim berijtihad

dengan melakukan pembaruan hukum islam berupa penafsiran progresif yang

22

Alfina Sauqi Anwar “ penetapan nafkah iddah terhadap istri qabla ad-dukhul

perspektif maslahah (studi kasus putusan mahkamah agung nomor 561 K/Ag/2017) skripsi,

surakrta, institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2019.

Page 25: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

12

bertujuan untuk mewujudkan keadilan substantif, mewujudkan kesetaraan

gender, dan mewujudkan maslahah bagi istri.

Sedangkan penulis membahas penelitian ini mengenai kasusnya

tentang pemberian nafkah iddah bagi pereceraian qobla dukhul, dikarenakan

bukan kemauan istri akan tetapi atas kemauan suami yang tidak mau

menggauli istrinya setelah menikah serta keduanya juga tidak tinggal bersama

dengan jangka waktu yang cukup panjang yaitu 2 tahun 5 bulan, namun

sebelum adanya pernikahan keduanya sudah melakukan zina. Dengan itu

hakim memberikan nafkah iddah dengan melihat sebelum adanya pernikahan

tersebut yang merujuk kepada kitab Syarqowi’Alat Tahrir Juz IV ; 349 yang

menjelaskan bahwasanya nafkah iddah wajib diberikan karena adanya maasa

iddah jika dalam talak raj’i, dan merujuk juga kepada Kompilasi Hukum Islam

pasal 149 huruf b. Maka dengan itu penulis dalam penelitiannya melakukan

analisis tentang kasus serta pertimbangan Majelis Hakim yang kemudian

dihubungkan dengan hukum Islam dan Undang-Undang mengenai istri yang

dicerai qobla dukhul setelah melakukan zina.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh maka penulis

mencoba memaparkan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, study

review, dan sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PERNIKAHAN, CERAI

TALAK DAN NAFKAH

Dalam bab kedua ini Menguraikan landasan teori mengenai

pernikahan, cerai talak, yang meliputi pengertian nikah,

pengertian cerai talak, dasar hukum talak, macam-macam talak,

Page 26: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

13

akibat putusnya perkawinan. Dan juga menjelaskan tentang

nafkah yang meliputi, pengertian nafkah ,dasar hukum nafkah,

Syarat-Syarat Menerima Nafkah, Ketentuan Kadar Nafkah,

Sebab-Sebab yang Mewajibkan Nafkah. Serta hak-hak istri

akibat cerai talak diantaranya mut’ah, nafkah iddah dan nafkah

madhiyah.

BAB III STUDI PUTUSAN NOMOR 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd

DAN NOMOR 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.

Dalam bab ketiga ini menguraikan pemaparan terhadap putusan

pengadilan yang diantaranya terdiri dari deskripsi tentang

duduk perkara, pertimbangan hakim, dan amar Putusan.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

TENTANG NAFKAH DALAM KASUS PERCERAIAN

QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA

Dalam bab keempat ini menguraikan pembahasan inti dari

skripsi ini, yang membahas mengenai Analisis putusan No.

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dan No. 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg

dan analisis menurut pandangan hukum Islam dan hukum

positif di Indonesia terhadap nafkah istri yang dicerai qobla

dukhul.

BAB V PENUTUP

Dalam bab kelima ini menguraikan bab akhir dalam penelitian

ini yaitu mengenai kesimpulan dan saran.

Page 27: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

14

BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG NIKAH, CERAI TALAK DAN NAFKAH

A. Pengertian Nikah Menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i

Perkawinan disebut juga pernikahan yang berasal dari kata “nikah”

yang berarti al-jam’u dan al-dhamu, yang artinya (نكاح)

kumpul/mengumpulkan saling memasukan dan digunakan untuk arti

bersetubuh (wat’i).1 makna nikah (Zawaj) juga diartikan dengan aqdu al

tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah)

bermakna menyetubuhi istri.2

Dan para ulama berbeda pendapat tentang makna asli dari nikah.

Apakah nikah tersebut makna aslinya adalah bersetubuh dan makna majazi

adalah akad ikatan, atau sebaliknya makna asli nikah adalah akad ikatan

sedangkan makna majazinya adalah bersetubuh.3 Pendapat pertama yakni

mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa nikah menurut arti aslinya (hakiki)

adalah bersetubuh dan menurut arti majazi adalah akad.4 Pendapat kedua

yakni mazhab Syafi’iyah yang paling shahih mengenai pengertian nikah

secara syar’i adalah bahwa kata itu dari sisi denotatif /hakaki bermakna ‘akad’

sedangkan dari segi konotatif/majazi bermakna “hubungan intim”.5 Pendapat

ketiga menurut Abdul Qasim Azzajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan

sebagian ahli ushul dari sahabat Abu Hanifah mengartikan nikah, bersyarikat

artinya antara akad dan setubuh.6

1 Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV

Pustaka Setia, 2017), hal. 1. 2 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2009), h. 7. 3 Ahmad Sarwat,Ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2019), h. 3. 4 Gus Arifin dan Sundus Wahidah, Fikih Wanita, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,

2018), h. 552. 5 Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,

Fiqih Imam Syafi’i 2, (Jakarta: almahira, 2010), Cet. 1, h. 449-450. 6 ABD. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,

(Jakarta: Kencana, 2017), h. 273.

Page 28: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

15

Pengaruh perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah dalam

masalah ini juga bisa dilihat dalam kasus laki-laki yang berzina dengan

wanita. Menurut Hanafiyah, wanita tersebut menjadi mahram bagi orang tua

maupun anak laki-laki tersebut. Ini berebeda dengan Syafi’iyah yang

berpendapat sebaliknya. Juga bisa dilihat dalam kasus orang yang menaklik

talak dengan nikah. Bagi Syafi’iyah, ‘nikah’ di sini diarahkan pada pengertian

‘akad’, bukan ‘hubungan intim’, kecuali bila memang dimaksudkan

demikian.7

Nikah secara syar’i adalah akad yang membolehkan hubungan intim

dengan menggunakan kata ‘menikahkan’, ‘mengawinkan’, atau terjemah

keduanya. Masyarakat arab menggunakan kata “nikah” untuk merujuk makna

“akad” dan “hubungan intim” sekaligus. Namun, jika orang Arab

mengucapkan, “Nakaha fulanun fulanata aw binta fulanin aw uktahu (Fulan

menikahi fulanah atau putri fulan atau saudara perempuannya)” maka yang

dimaksud ialah dia mengawini fulanah dan mengikat akad dengannya.

Sementara itu, jika orang arab mengatakan, “Nakaha Zawjatahu aw imra

atahu (“dia menikahi”istrinya), tidak lain yang dimaksud adalah berhubungan

‘intim dengan istri tersebut.8

Menurut pengertian ahli hadist dan ahli fiqh pernikahan (az-zawaj)

adalah perkawinan dalam arti hubungan yang terjalin antara suami istri dengan

ikatan hukum Islam, dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun

pernikahan, seperti wali, mahar, dua orang saksi dan disahkan dengan ijab

qabul.9

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 1

mengartikan perkawinan sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

7 Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,

Fiqih Imam Syafi’i 2, (Jakarta: almahira, 2010), Cet. 1, h. 450. 8 Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,

Fiqih Imam Syafi’i 2 , h. 449 9 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2012), Cetakan kedua, h. 1

Page 29: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

16

Sedangkan perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Inpres No. 1 Tahun 1991 mengartikan perkawinan adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghaliidhan untuk menaati perintah Allah

dan melaksanakan merupakan ibadah.

B. Cerai Talak

1. Pengertian Cerai Talak

Kata Thalaq (Talak) berasal dari kata bahasa arab: ithlaq, yang

berarti “melepaskan” atau meninggalkan”.10

Sedangkan menurut istilah

syarak, talak bermaksud meleraikan akad pernikahan atau perkawinan

dengan menggunakan lafaz talak atau perkataan-perkataan lain yang sama

maksud dengannya. Talak merupakan suatu perbuatan yang diharuskan

oleh Islam sebagai jalan terakhir terhadap penyelesaian suatu konflik

rumah tangga.11

Hakikat dari perceraian yang bernama talak yaitu melepaskan,

ikatan perkawinan, dengan adanya lafaz talak. Maksud dari kata-kata

tersebut. Pertama , “melepaskan” yakni talak itu melepaskan sesuatu yang

selama ini telah terikat, yaitu ikatan perkawinan. Kedua, “ikatan

perkawinan” yakni talak yang mengakhiri hubungan perkawinan antara

suami istri yang setelahnya menjadi haram. Ketiga, “dengan lafaz talak”

bahwa putusnya hubungan perkawinan antara suami istri dilakukan dengan

adanya ucapan Talak.12

Putusnya perkawinan yang dalam kitab fiqh disebut talak diatur

secara cermat dalam, PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelakasanaan UU No.

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan juga secara panjang lebar diatur

dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 38 menjelaskan bentuk putusnya

10 Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II, (Bandung: Karisma, 2008), h. 181. 11 Zani Nasohah, perceraian Hak Wanita Islam, (Kuala Lumpur: Ingin Tahu Agama,

2002), h. 14. 12

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 20017),

Cet. 2, h. 199.

Page 30: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

17

perkawinan dengan rumusan: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian

b. perceraian dan c. atas keputusan pengadilan.

Pasal ini ditegakan lagi dengan bunyi yang sama dalam Kompilasi

Hukum Islam Pasal 113 dan kemudian diuraikan dalam pasal 114 dengan

rumusan: Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat

terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Pengertian talak dalam pasal 114 ini dijelaskan Kompilasi Hukum

Islam dalam pasal 117. Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang

Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan

dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.13

Salah satu asas perkawinan yang disyariatkan ialah perkawinan

untuk selama-lamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan saling

mencintai. Karena itu agama islam mengharamkan perkawinan yang

tujuannya untuk sementara, dalam waktu-waktu yang tertentu sekedar

untuk melepaskan hawa nafsu saja, seperti nikah mut’ah, nikah muhalil

dan sebagainya.

Dalam melaksanakan kehidupan suami istri kemungkinan terjadi

salah paham antara suami istri, salah seorang keduanya tidak

melaksanakan kewajiban, tidak saling percaya dan sebagainya. Dalam

keadaan tersebut maka harus segara diselesaikan sehingga hubungan

suami istri kembali menjadi lebih baik lagi. Namun adakalanya tidak dapat

didamaikan sehingga mendatangkan pertengkaran yang secara terus

menerus dan sudah tidak ada jalan keluar, maka dari perkawinan tersebut

akan mengakibatkan perceraian. Karena talak merupakan obat dan sebagai

jalan keluar bagi suatu kesulitan yang tidak dapat dipecahkan lagi seperti

istilahnya obat suatu penyakit parah yang tidak ada obatnya.14

13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 20017),

Cet. pertama, h. 226-227. 14

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan

Bintang, 1987), Cet.ke 2, h. 157-158.

Page 31: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

18

2. Dasar Hukum Talak

Adapun dalil tentang talak dapat dilihat dalam Q.S. Al Baqarah [2]

ayat 229 sebagai berikut :

ق مارتاان ان الطلا اك باعروف أاو تاسريح بإحسا فاإمسا

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi

dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”

Lalu dijelaskan juga dalam Q.S. At-Talaq [65] ayat 1 sebagai berikut :

تن اءا فاطالقوهن لعد ا النب إذاا طالقتم النسا ياا أاي ها

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka

hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)

iddahnya (yang wajar”.15

Dijelaskan juga di dalam hadits yang berbunyi :16

را عان ابن عما اللاه الطلآاق الا لال م أاب غاض الا .قاالا راسول الله ص: قاالا ض.ر وا

)ورجح ابوحاتم ارسا له, وصححه الاكم, رواه ابوداود وابن ماجه(

Dari Ibnu Umar, dia berkata, telah berkata Rasulullah saw

bersabda, “perbuatan halal yang dibenci oleh Allah ialah talak”.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah. “Dishahihkan oleh Hakim

dan rajihkan oleh Abu Hatim menganggap hadits ini mursal.

3. Macam-Macam Talak

Untuk mengetahui macam-macam talak, perlu diketahui lebih

dahulu dari segi untuk melihatnya :

a. Ditinjau dari segi sifatnya, talak dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan

sunnah. Disebut talak sunni apabila memenuhi syarat-syarat

berikut :

a) Istri yang ditalak sudah pernah digauli.

15

Sudarto, Ilmu Fikih, (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2018), cet. pertama, h. 182. 16 Muhammad bin IsmalAmir, Subulussalam. (Kairo: Dar Al Hadits, 2007), Juz: 3, h. 227.

Page 32: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

19

b) Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah di talak, yaitu

dalam kedaan suci dan haidh. Menurut ulama Syafi’yah,

perhitungan iddah bagi wanita berhaidh ialah tiga kali suci,

bukan tiga kali haidh. Talak terhadap istri yang telah lepas

haidh (monopouse) atau belum pernah berhaidh, atau sedang

hamil, atau talak karena suami meminta tebusan yakni dalam

hal khulu’ atau ketika istri dalam haidh, semuanya tidak

termasuk talak sunni.

c) Talak dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik di

permulaan, di pertengahan maupun di akhiri suci, sekalipun

beberapa saat setelah itu datang haid.

d) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci ketika

talak dijatuhkan.17

Talak sunny dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam

pada pasal 121 yang berbunyi Talak sunny adalah talak yang

dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang

suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.18

2) Talak Bid’iy

Talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana waktu itu si

istri sedang dalam haid atau dalam masa suci namun dalam waktu

itu telah dicampuri oleh suaminya. Talak dalam bentuk ini disebut

talak bid’iy, artinya talak yang pelaksanaannya menyimpang dari

sunnah Nabi. Hukumnya haram. Alasannya ialah dengan cara ini

perhitungan iddah istri menjadi memanjang, karena setelah terjatuh

talak belum langsung dihitung iddahnya.19

Talak bid’iy dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam

dalam pasal 122 yang berbunyi Talak bid’iy adalah talak yang

dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam

17 Hotnidah Nasution, Relasi Suami Istri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN

Syarif Hidayatullah, 2004), h. 28. 18

Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 121. 19 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 130.

Page 33: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

20

keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri

pada waktu suci tersebut.20

b. Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya si suami kembali

kepada mantan istrinya, thalaq itu ada dua macam :

1) Talak raj’i ialah talak yang dijatuhkan seorang suami kepada

istrinya, dan suaminya boleh mengadakan rujuk tanpa harus

melakukan pernikahan lagi, seperti talak satu dan talak dua, dengan

syarat masih dalam masa iddah istrinya.21

Hal ini sesuai dengan

Firman Allah SWT dalam Q.S. At Thalaq [65] ayat 1 sebagai

berikut :

ةا تن واأاحصوا العد اءا فاطالقوهن لعد ا النب إذاا طالقتم النسا واات قوا اللها رابكم ياا أاي ها“hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka

hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat

(menghadapi) iddahnya ( yang wajar) dan hitunglah waktu iddah

itu serta betakwalah kepada Allah Tuhanmu” .

Firman Allah SWT dalam Q.S. Al Baqarah [2] ayat 229 sebagai

berikut :

ق مارتاان ان الطلا اك باعروف أاو تاسريح بإحسا أخذوا ما فاإمسا ل لاكم أان ا والا يا

ا حدودا الله يئا إل أان يااافاا أال يقيما آت ايتموهن شا

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh

rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan

cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu

dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau

keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum

Allah”.

Talak raj’i yang terdapat di dalam pasal 118 Kompilasi

Hukum Islam menjelaskan bahwa talak raj’i adalah talak kesatu

20 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 122. 21

Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:

Darussalam, 2004) Cet. 1, h. 250.

Page 34: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

21

atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa

iddah.22

2) Talak bain yaitu dimana seorang suami tidak lagi memiliki hak

untuk rujuk dengan istri yang ditalaknya.23

a) Talak bain sughra ialah putusnya tali perkawinan suami istri,

karenanya suami tidak boleh kembali begitu saja kepada

mantan istrinya, akan tetapi harus dengan akad nikah dan

mahar yang baru.24

Talak bain sughra yang terdapat di dalam pasal 119

Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa talak bain sughra

adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah

baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.

sedangkan maksud dari ayat 1 mengenai talak apa saja yang

termasuk sebagai talak bain sughra terdapat di dalam ayat

selanjutnya yaitu ayat 2 yaitu talak yang terjadi qobla dukhul,

talak dengan tebusan atau khulu dan talak yang dijatuhkan oleh

Pengadilan Agama25

Selain itu, ada beberapa hal lain yang mengakibatkan

suami kehilangan hak untuk ruju’ yang telah ditalaknya secara

langsung atau dalam istilah fiqih disebut ba’in shugra, yaitu :

(1) talak yang dilakukan sebelum istri digauli oleh suami.

Talak dalam bentuk ini tidak memerlukan iddah. oleh

karena tidak ada masa iddah, maka tidak ada kesempatan

untuk ruju’, sebab ruju’ hanya dilakukan dalam masa iddah.

hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-

Ahzab [33] ayat 49 sebagai berikut:

22 Inpres No 1 Tahun1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 118. 23Abu Malik Kamal ibn as-Sayyid Salim, Fikih Sunnah Wanita, (Jakarta: Qisthi Press,

2013), h. 599. 24 Zaenal Arifin, Muh. Anshori, Fiqih Munakahat, (Yogyakarta: CV.Jaya Star Nine,

2019), h. 183. 25 Inpres, No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 119.

Page 35: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

22

حتم المؤمنا ا الذينا آمانوا إذاا ناكا ات ث طالقتموهن من ق ابل أان ياا أاي ها

ا ون اها ة ت اعتاد ا لاكم عالايهن من عد وهن فاما تااس

“Hai orang-orang yang berfirman bila kamu

menikahi orang-orang perempuan beriman kemudian kamu

menthalaqnya sebelum sempat kamu gauli, maka tidak ada

iddah yang harus mereka lakukan”.

(2) talak yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak istri

atau yang disebut khulu. Hal ini dapat dipahami dari

isyarat. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat

229 sebagai berikut :

ت به تادا ا اف ا فيما ا حدودا الله فالا جنااحا عالايهما فاإن خفتم أال يقيما

ا عاد حدودا الله فاأولائكا هم تلكا حدود الله فالا ت اعتادوها وامان ي ات ا

الظالمونا

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak akan

menegakan ketentuan Allah, maka tidak ada halangannya

begitu untuk memberikan uang tebusan. Demikianlah

ketentuan Allah, maka janganlah kamu melampauinya.

Barang siapa yang melampaui ketentuan Allah mereka

itulah orang yang aniaya”.26

(3) talak yang berlaku dibeberapa negara berpenduduk muslim

sebagai akibat putusan hakim yang menjatuhkan talak

disebabkan cacat tertentu pada diri suami, atau

keberadaanya jauh dari istri selama waktu tertentu, atau

karena suami menjalani hukuman di penjara ataupun demi

26

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 20017),

Cet. kedua, h. 221-222.

Page 36: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

23

menghindari istri dari tindakan suami yang

membahayakan.27

b) Talak bain kubra yaitu talak tiga, baik sekali ucapan atau

berturut-turut.28

menghilangkan pemilikan bekas suami

terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami

untuk kawin kembali dengan bekas istrinya kecuali setelah

bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain, secara wajar,

kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul serta telah selesai

menjalani masa iddahnya.29

Hal ini sesuai dengan firman Allah

SWT dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 230 sebagai berikut :

راه ت انكحا زاوجا غاي ت ل لاه من ب اعد حا ا فالا تا ها ا فالا جناا فاإن طالقا ها حا فاإن طالقا

ا حدودا الله عاا إن ظانا أان يقيما رااجا ا أان ي ات ا عالايهما

“Jika kamu menthalaqnya (setelah dua kali thalaq),

maka tidak boleh lagi kamu nikahi kecuali setelah dia kawin

dengan laki-laki lain. Jika kemudian dia (suami kedua)

menthalaqnya tidak ada halangannya bagi keduanya untuk

(nikah) kembali. Jika keduanya berpendapat akan dapat

menjalankan hukum-hukum Allah”.

Dari ayat tersebut dapat dihubungkan dengan Kompilasi

Hukum Islam yang terdapat dalam pasal 120 tentang talak bain

kubra, yang menjelaskan bahwa talak bain kubra adalah talak

yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat

dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila

pernikahan dilakukan dengan setelah bekas istri menikah

27 Quraish Shihab, Fiqih Praktis II: Menurut Al Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para

Ulama, (Bandung: Karisma, 2008), h. 208. 28 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 131. 29 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta,

Ilmu Fiqih Jilid II, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984/1985), h.

232.

Page 37: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

24

dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da

dukhul dan habis masa iddahnya.30

c. Perceraian ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap

istrinya ada beberapa bentuk di antaranya :

1) talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami

dengan ucapan lisan di hadapan istrinya dan istrinya mendengar

secara langsung ucapan suaminya itu.

2) talak dengan tulisan yaitu talak yang disampaikan oleh suami

secara tertulis lalu disampaikan kepada istrinya dan istri

memahami isi dan maksudnya.

3) talak dengan isyarat yaitu talak yang dilakukan suami yang

tunawicara dalam bentuk isyarat baginya sama dengan ucapan

yang dapat berbicara dalam menjatuhkan talak, sepanjang isyarat

itu jelas dan meyakinkan bermaksud talaknya.

4) talak dengan utusan yaitu talak yang disampaikan oleh suami

kepada istrinya melalui perantara orang lain sebagai utusan. Dalam

hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami yang

menjatuhkan talak suami dan melaksanakannya talak itu.31

4. Akibat Putusnya Perkawinan

Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

pasal 41 menguraikan tentang Akibat putusnya perkawinan karena

perceraian sebagai berikut :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana

ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi

keputusannya;

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan bapak

dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,

Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

30

Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 120. 31 Dahlan, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 117.

Page 38: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

25

c. Pengadilan dapat mewajibkan, kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas

istri.

Sedangkan berdasarkan pasal 149 Kompilasi Hukum Islam

mengenai akibat putusnya perkawinan tentang biaya penghidupan yang

terdapat di UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 41 ayat 3,

telah dijelaskan secara rinci diantaranya sebagai berikut :

a. Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas istrinya, baik

berupa atau benda, kecuali bekas istri qobla dukhul.

b. Memberi nafkah, maskan, dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian)

kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri dijatuhi talak

bain atau nuysuz dan dalam keadaan tidak hamil.

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila

qobla dukhul.

d. Memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang

belum mencapai umur 21 tahun.32

C. Nafkah Dalam Hukum Islam

1. Pengertian Nafkah

Secara bahasa nafkah atau (النفقة) adalah ism al-masdar yang

berarti dan bentuk ,(pergi atau hilang) الذهاب dan (pengeluaran) الإخراج

jamaknya adalah نفقات dan نفاق. Adapun secara istilah adalah pengeluaran

yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau

dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya yang

meliputi kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal.33

Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam

bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berkonatasi materi.

32

Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 149. 33 Ulin Na’mah, Cerai Talak, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015), Cet. 1, h. 14.

Page 39: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

26

Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat

seksual istri tidak masuk dalam arti nafkah, meskipun dilakukan suami

terhadap istrinya. Suami adalah pencari rezeki yang telah diperolehnya itu

menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya suami berkedudukan

sebagai pemberi rezeki.

2. Dasar Hukum Nafkah

Di dalam Al-Qur’an, secara jelas ditemukan bahwa suami

berkewajiban memenuhi nafkah bagi istrinya, seperti firman Allah SWT

dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 233 sebagai berikut :

عروف ولود لاه رزق هن واكسوات هن بالما عالاى الما اوا لف ن افس الوسعاها لاتكا

“dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada

para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebeni melainkan

menurut kadar kesanggupannya”.

Dalam ayat tersebut dijelaskan oleh para ahli tafsir sebagai

kebutuhan makanan dan minuman (pangan) sementara kata kiswah

dipahami sebagai pakaian. Ayat lain yang menerangkan tentang kewajiban

suami terdapat dalam Q.S At-Thalaq [65] ayat 6 sebagai berikut :

قوا عالايهن اروهن لتضاي نتم من وجدكم والا تضا كا يث سا أاسكنوهن من حا

“tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat

tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan

mereka untuk menyimpitkan (hati) mereka”.34

Firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa [4] ayat 34:

قوا من أامواالم لا الله ب اعضاهم عالاى ب اعض واباا أان فا اء باا فاض وامونا عالاى النسا ال ق ا الرجا

“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh

karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas

34

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan

Bintang, 1987), Cet.ke 2, h. 130

Page 40: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

27

sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah

menafkahkan sebahagian dari harta mereka”.35

Begitu juga terdapat di dalam hadis Nabi dari Muawiyah al-

Qusyairiy menurut riwayat Abu Daud.

يي قاالا اان عان معااوياة القشا ائناا ؟ :قاالا . أات ايت راسولا الله ص: وا ف اقلت ماا ن اقول ف نسا

رواه )والا تاضرب وهن والا ت قابحوهن , أاطعموهن ما تاأكلونا وااكسوهن ما تاكسونا :قاالا

.(أبوداود dan dari Mu’awiyah al-Qusyairi, ia berkata: aku pernah datang

kepada Rasulullah saw. Mu’awiyah berbata: lalu aku bertanya: apa yang

engkau perintahkan (ya Rasulullah) tentang isteri-isteri kami? Ia

bersabda: “Berilah mereka itu makan dari apa yang kamu makan, berilah

mereka itu pakaian dari apa yang kamu pakai, janganlah mereka itu kamu

pukul dan janganlah mereka itu kamu jelek-jelekan”. (HR. Abu Daud).36

Dari ayat-ayat dan hadits diatas dapat diambil kesimpulan bahwa

suami wajib memberikan makanan, pakaian dan tempat tinggal kepada

istrinya. Dan suami melaksanakan kewajiban itu sesuai dengan

kesanggupannya.37

3. Syarat-syarat Menerima Nafkah

Berdasarkan keterangan dan nash diatas maka syarat-syarat

menerima nafkah ialah:38

a. Telah terjadi akad yang sah antara suami dan istri. Bila akad nikah

mereka masih ragu-ragu atau tidak sesuai dengan rukun dan syarat,

maka istri belum berhak menerima nafkah dari suaminya.

b. Menyerahkan dirinya kepada suaminya.

35 Zubair Ahmad, Relasi Suami Istri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN

Syarif Hidayatullah), h. 63. 36 Muammal Hamidy, Imron, Umar Fanany, Terjemah Nailul Authar Jilid 5, (Surabaya,

PT. Bina Ilmu),h. 2465. 37 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta,

Ilmu Fiqih Jilid II, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984/1985), h. 1

87. 38

Muslih Abdul Karim, Keistimewaan Nafkah Suami&kewajiban istri. Jakarta:

QultumMedia, 2007, Cet. Pertama, h. 59.

Page 41: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

28

c. Suami dapat menggauli istrinya.

d. Istri tidak menolak untuk pindah rumah jika diajak suami

e. Suami dan istri sama-sama dapat saling menikmati.

4. Ketentuan Kadar Nafkah

Ketentuan kadar nafkah tidak diterangkan di dalam Al Qur’an dan

hadits tentang berapa ukuran maksimum dari nafkah yang harus diberikan

kepada istri. Namun hanya menerangkan secara umum saja, yaitu orang

yang kaya maka ia memberikan sesuai dengan kekayaannya, orang yang

sederhana dan miskin memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya

saja.39

Sebagian ulama berpendapat bahwa agama tidak menentukan

jumlah nafkah. Namun, suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya

secukupnya yang meliputi makanan, serta segala kebutuhan yang

diperlukan sehari-hari dan sesuai dengan keadaan dan situasi setempat.

Golongan ini menetapkan jumlah nafkah bagi istri di tetapkan sesuai

dengan kemampuan suami, kaya atau miskin, bukan melihat bagaimana

keadaan istrinya. Allah SWT berfiman dalam Q.S. At-Talaq [65] ayat 7

sebagai berikut :

عاته عاة من سا لف الله ن افسا الله وامان قدرا عالايه رزقه ف الي نفق ما آتااه لي نفق ذو سا لا يكا

ا ا آتااها ياجعال الله ب اعدا عسر يسرا إل ما سا

“orang yang mampu hendaknya memberi nafkah menurut

kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah

memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadannya, Allah

tidak akan memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa

yang Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.40

39 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan

Bintang, 1987), Cet.ke 2, h. 133. 40

Muslih Abdul Karim, Keistimewaan Nafkah Suami&Kewajiban Istri, (Jakarta: Qultum

Media, 2007), Cet. 1, h. 64.

Page 42: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

29

Namun Para ulama berusaha memikirkan dan menetapkan jumlah

nafkah minimal yang wajib diberikan suami kepada istrinya. Mazhab

Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak

ditentukan berdasarkan ketentuan syara’, tetapi berdasarkan keadaan

masing-masing suami istri, dan ini akan berbeda berdasarkan perbedaan

tempat, waktu, dan keadaan. Imam Syafi’i berpendapat bahwa nafkah

(makan) itu ditentukan besarnya. Bila orang kaya = 2 mud, (1 mud = +/-

1,5 kg) orang yang sedang = 1,5 mud dan orang yang miskin = 1 mud.

Fuqaha/ulama Fiqh sependapat bahwa pemberian pakaian itu tidak ada

batasnya, sedang pemberian makanan itu ada batasnya.41

Namun tentu saja jumlah nafkah yang paling baik diberikan suami

kepada istri ialah jumlah yang sesuai dengan gambaran ayat Al-Qur’an

diatas.42

5. Sebab-Sebab Yang Mewajibkan Nafkah

Di dalam sebuah perkawinan tentu adanya suatu hak dan kewajiban

antara suami dan istri. Diantara kewajiban suami terhadap istri yang paling

pokok adalah memberi nafkah, baik berupa makanan, pakaian (kiswah),

maupun tempat tinggal bersama.43

Walaupun pada dasarnya suami wajib

memberi nafkah, namun tetap ada batasannya. Batasan itu terkait dengan

kapan kewajiban itu mulai berlaku dan kapan menjadi tidak berlaku.

Dalam hal ini pendapat para ulama terbagi menjadi tiga macam

pendapat. Ada yang mengatakan ketika terjadi istihqaq al-habs (akad),

yang lain mengatakan ketika terjadi tamkin, ada juga yang mengatakan

akad dan tamkin.

a. Akad

Kalau merujuk kepada makna secara bahasa, istihqaq al-habs

adalah keadaan di mana seseorang benar-benar menjadi tahanan atau

41 Gus Arifin, Menikah untuk Bahagia, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2013), Cet.

4, h. 124. 42 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta,

Ilmu Fiqih Jilid II, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984/1985), h.

190 43 M. Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung: Mizan, 2002), h. 136.

Page 43: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

30

dipenjara. Namun sebenarnya yang dimaksud bukan makna secara

bahasa,

Secara istilah, ungkapan istihqaq al-habs sendiri maksudnya

bahwa akad nikah telah benar-benar terjadi secara sah. Dan ini untuk

membedakannya dengan yang batil. Maka pendapat yang pertama ini

mengatakan bahwa kewajiban memberi nafkah sudah langsung berlaku

tepat ketika akad nikah yaitu ijab kabul telah dilaksanakan.44

Hal tersebut menurut golongan Zhahiriyah sependapat bahwa

kewajiban nafkah dimulai semenjak akad nikah, bukan dari tamkin,

baik istri yang telah melangsungkan akad nikah itu memberi

kesempatan kepada suaminnya untuk digauli atau tidak, sudah dewasa

atau masih kecil, secara fisik maupun melayani kebutuhan seksual

suaminya atau tidak, sudah janda atau masih perawan.

Dasar pemikiran golongan ini ialah ayat-ayat Al-Qur’an

maupun hadis Nabi yang mewajibkan suami membayar nafkah tidak

menetapkan waktu. Dengan begitu bila seseorang telah menjadi suami,

yaitu dengan berlangsungnya akad nikah, maka ia telah wajib

membayar nafkah tanpa melihat kepada keadaan istri. Inilah tuntutan

zahir dari dalil yang mewajibkan nafkah.45

b. Tamkin

Jumhur ulama termasuk ulama Syiah Imamiyah berpendapat

bahwa nafkah itu mulai diwajibkan semenjak dimulainya kehidupan

rumah tangga, yaitu semenjak suami telah bergaul dengan istrinya,

dalam arti isti telah memberikan kemungkinan kepada suaminya untuk

menggaulinya, yang dalam fikih disebut tamkin. Dengan semata

terjadinya akad nikah belum ada kewajiban membayar nafkah.

Berdasarkan pendapat ini bila setelah berlangsungnya akad nikah istri

44 Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan, (Jakarta: Gremedia

Pustaka Utama 2019), h. 191. 45

Amir Syarifuddin, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:

Kencana20017), Cet kedua, h. 168.

Page 44: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

31

belum melakukan tamkin, karena keadaanya ia belum berhak

menerima nafkah.46

c. Akad dan Tamkin

Dan pendapat ketiga adalah pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah

versi qaul qadim. Pendapat ini menggabungkan antara akad dan tamkin

secara bersamaan. Pembagiannya bahwa kewajiban nafkah mulai

berlaku kewajibannya ketika akad nikah, namun implementasinya

dihitung sejak tamkin.47

6. Nafkah Dalam Hukum Positif Indonesia

Di dalam Hukum Positif Indonesia yaitu Undang-Undang No. 1

Pasal 1974 Tentang Perkawinan mengenai kewajiban suami yang

dijelaskan secara umum di dalam pasal 34 yaitu :

1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya

2. istri wajib mengatur urusan berumah tangga sebaik-baiknya.

3. Namun apabila diantara keduanya yaitu Jika suami atau istri

melalaikan kewajibannya masing-masing maka salah satu yang tidak

mendapatkan haknya dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Terdapat juga di dalam Kompilasi Hukum Islam di Bagian Ketiga

Tentang Kewajiban Suami pasal 80 yang menjelaskan bahwasanya Suami

adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi

mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan

oleh suami istri bersama. Suami wajib melindungi istrinya dan

memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai

dengan kemampuannya. Suami wajib memberikan pendidikan agama

kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang

berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Suami juga

46 Amir Syarifuddin, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 20017), Cet kedua. 168. 47

Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan, (Jakarta: Gremedia

Pustaka Utama, 2019), h. 193.

Page 45: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

32

berkewajiban dapat memberikan nafkah kepada keluarganya Sesuai

dengan penghasilannya suami. Maksud nafkah tersebut yakni adalah :

a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri

dan anak.

c. Biaya pendidikan bagi anak.

Namun, Kewajiban suami terhadap istrinya seperti di atas tersebut

mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. Apabila istri

tersebut dinyatakan nuysuz maka suami tidak diwajibkan untuk

memberikan nafkah.

C. Hak-Hak Mantan Istri Akibat Cerai Talak

1. Pengertian Mut’ah

Kata Mut’ah berasal dari kata mata’ dalam bahasa Arab yang

berarti segala suatu yang dapat dinikmati dan dimanfaatkan, misalnya

makanan, pakaian, perabot rumah tangga, dan sebagainya. Kemudian,

dalam istilah fiqih dimaksudkan sebagai suatu pemberian dari suami

kepada istri akibat terjadinya perceraian, sebagai “penghibur” atau “ganti

rugi”.48

Dalam hukum positif arti mut’ah dijelaskan dalam Kompilasi

Hukum Islam pasal 1 huruf (j), yang berbunyi “ Mut’ah adalah pemberian

bekas suami kepada istri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan

lainnya”.49

Para ulama memahami bahwa yang dimaksud dengan mut’ah suatu

pemberian sukarela dari seorang suami kepada mantan istrinya yang belum

digauli, sebagai penghibur atau kebaikan yang pernah diterimanya dari

istrinya itu. Akan tetapi, bila melihat makna kata mut’ah sendiri yang

mengandung arti manfaat dan kebaikan yang dirasakan dalam waktu yang

48

Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II, (Bandung: karisma, 2008), h. 230. 49 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 1.

Page 46: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

33

panjang, maka pada dasarnya mut’ah adalah suatu pemberian yang dapat

dirasakan manfaatnya bagi istri untuk jangka waktu yang lama.

Namun menurut Zamaksyari bahwa kewajiban memberikan mut’ah

tidak hanya berlaku kepada perempuan yang ditalak yang belum digauli

tetapi berlaku untuk seluruh wanita yang ditalak dengan keadaan masing-

masing. Hal tersebut zamaksyari menafsirkan bahwa ayat 241 Surah Al

Baqarah berlaku secara umum.50

2. Dasar Hukum Mut’ah

Mut’ah hukumnya adalah wajib diterima oleh setiap istri yang

ditalak menurut pendapat yang paling shahih dari para ulama karena

keumuman Firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah [2] ayat 241

sebagai berikut:

عروف للمطالقاات ماتااع بالما ا عالاى وا ق المتقيا حا

“kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh

suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi

orang-orang yang bertakwa”.

Dan juga dalam Q.S. Al Baqarah [2] ayat 236 sebagai berikut :

عروف ره ماتااعا بالما ره واعالاى المقت قادا عوهن عالاى الموسع قادا مات ا عالاى المحسنيا وا ق حا

“dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada

mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang

miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang

patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang

berbuat kebajikan”.51

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 158 bahwa mut’ah wajib

diberikan oleh bekas suami dengan syarat:

a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da dukhul

50 Zubair Ahmad, Relasi Suami Istri dalam Islam, ( Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN

Syarif Hidayatullah, 2004), h. 76-77. 51

Abu Malik Kamal ibn as-Sayyid salim, Fikih Sunnah Wanita, (Jakarta: Qisthi Press,

2013), h. 605.

Page 47: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

34

b. Perceraian itu atas kehendak suami.52

3. Hukum Pemberian Mut’ah

c. Pemberian Mut’ah untuk istri Qobla Dukhul

Para ulama sepakat mewajibkan memberikan mut’ah kepada

istri yang diceraikan sebelum berlangsung hubungan intim dengannya

yakni qobla dukhul sementara jumlah maharnya belum ditetapkan

sebelum itu. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 236

sebagai berikut :

ة ن فاريضا وهن أاو ت افرضوا لا ا لا تااس اءا ما عوهن لا جنااحا عالايكم إن طالقتم النسا مات وا

عروف ره ماتااعا بالما عالاى المقت قادا ره وا قا عالاى المحسنيا عالاى الموسع قادا حا

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika

kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan

mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah

kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. orang yang

mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut

kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang

demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat

kebajikan”.

Akan tetapi, jika besarnya mahar telah ditetapkan sebelumnya

(misalnya pada waktu akad nikah) lalu si suami menceraikannya

sebelum “menyentuh” (yakni sebelum berlangsungnya hubungan

intim) maka suami hanya wajib memberinya setengah dari jumlah

mahar yang telah ditentukan itu. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-

Baqarah [2] ayat 237 sebagai berikut :

راضتم إل أا ا ف ا ة فانصف ما ن فاريضا قاد ف اراضتم لا وهن وا إن طالقتموهن من ق ابل أان تااس ن وا

اح ة النكا ي اعفونا أاو ي اعفوا الذي بياده عقدا

52

Abdul Gani Abdulullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum

Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), Cet pertama, h. 124

Page 48: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

35

“Jika kamu menceraikannya istri-istrimu sebelum kamu

bercampur dengan mereka, sedangkan kamu sudah menentukan

maharnya, maka bayarlah kepada mereka seperdua dari mahar yang

telah kamu tentukan itu. Kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau

dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah”.

d. Pemberian Mut’ah untuk Istri Ba’da Dukhul

Bagi istri dicerai suaminya ba’da dukhul (yakni setelah di

campuri) atau setelah berlangsung hubungan badan antara keduanya),

maka sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin

Hanbal (dalam salah satu dari dua pendapat yang diriwayatkan

darinya), juga imam Syafi’I (dalam mazhab qadim-nya, atau

pendapatnya yang lama) menyatakan bahwa pemberian mut’ah

baginya hanya berupa anjuran, sebagaimana mestinya dan istri telah

menerima maharnya secara sempurna.53

Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak

dijelaskan secara rinci tentang pemberian mut’ah namun hanya

dijelaskan secara umum saja di dalam bab tentang putusnya

perkawinan serta akibatnya yang menjelaskan bahwasanya pengadilan

mewajibkan kepada bekasi suami untuk membeikan biaya

penghidupan kepada bekas istrinya.

Sedangkan di dalam pasal 149 huruf a Kompilasi Hukum Islam

tentang akibat putusnya perkawinan terdapat penjelasan mengenai

pemberian mut’ah yaitu “Bilamana perkawinan putus karena talak,

maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas

istrinya, baik berupa uang, atau benda kecuali bekas istri tersebut

qobla dukhul”.54

Di dalam Kompilasi Hukum Islam dengan bab yang sama yaitu

tentang akibat putusnya perkawinan juga terdapat penjelasan secara

khusus tentang mut’ah yang terdapat di dalam pasal 158 yang

dijelaskan mut’ah wajib diberikan oleh suami dengan syarat belum

53

Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II, (Bandung: karisma, 2008), h. 230-231. 54 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 149.

Page 49: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

36

ditetapkan mahar bagi istri ba’da dukhul, dan terjadinya perceraian

yang dilakukan dari kehendak suami. Pada pasal selanjutnya yaitu

pasal 159 menjelaskan bahwasanya pemberian mut’ah yang terdapat di

pasal 158 tersebut sunnah untuk diberikan kepada bekas istrinya tanpa

syarat. Kemudian pada pasal 160 menjelaskan tentang pemberian

mut’ah dapat diberikan sesuai dengan kepatutan dan kemampuan

suami.

D. Iddah

1. Pengertian Iddah

Menurut bahasa, iddah diambil dari kata ‘adad yang dalam kamus

Al-Munawwir berarti hitungan. Kata iddah dalam bahasa Arab berasal dari

kata kata ‘adda - ya’uddu – ‘iddatan dan jamaknya ‘iddad yang artinya

menghitung atau hitungan. Jadi, kata iddah yang artinya ialah hitungan

yang dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci

pada wanita.55

Sedangkan menurut terminologi, para ahli fikih telah merumuskan

tentang definisi iddah diantaranya :

Menurut Al Jaziri iddah secara syar’i yaitu masa tunggu seorang

perempuan yang tidak hanya didasarkan pada masa haid atau sucinya,

tetapi kadang-kadang juga didasarkan ditandai dengan melahirkan, dan

selama masa tersebut perempuan dilarang untuk menikah dengan laki-laki

lain.

Sayid Sabiq menjelaskan bahwa iddah merupakan masa lamanya

perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian

suaminya atau setelah bercerai dengan suaminya.56

Zainuddin Abd Al Aziz Al-Malibari mengemukakan bahwa iddah

adalah masa penantian perempuan untuk mengetahui apakah kandungan

55 Zaenal Arifin, Muh. Anshori, Fiqih Munakahat, (Yogyakarta: CV.Jaya Star Nine,

2019), h. 214. 56

Muhammad Isna Wahyudi, Fiqih Iddah Klasik dan Kontemporer,( Yogyakarta:

Pustaka Pesantren, 2009), Cet pertama, h. 75.

Page 50: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

37

istri bebas dari kehamilan atau tujuan ibadah, atau untuk masa kekagetan

(penyesuaian) karena baru ditinggal mati oleh suami. Akan tetapi, menurut

tujuan syariat yang asli, iddah memang digunakan untuk menjaga

keturunan dari percampuran dengan benih lain. Dalam definisi ini,

Zainudin Al Malibari menambahkan unsur ibadah sebagai alasan hukum

iddah.57

Maka dari beberapa definisi yang telah dikemukakan menurut para

ahli fiqih dapat disimpulkan bahwa iddah adalah masa yang harus

ditunggu oleh seorang perempuan yang setelah kematian suami atau putus

perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau

dengan melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, atau beribadah

(ta’abud) maupun bela sungkawa atas kematian suaminya. Selama masa

tersebut perempuan (istri) dilarang menikah dengan laki-laki lain.58

2. Dasar Hukum Iddah

Para ulama telah sepakat bahwa iddah adalah wajib bagi wanita

yang ditinggal mati oleh suaminya atau yang diceraikan dengan suaminya.

Adapun yang menjadi dasar hukumnya yaitu :

Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 228 sebagai berikut :

ثاةا ق روء رابصنا بأان فسهن ثالا ات ي ات ا لاقا الله ف واالمطالقا ا خا ن أان ياكتمنا ما ل لا والا يا

وم الخر امهن إن كن ي ؤمن بالله واالي ا لكا إن أاراادوا أارحا هن ف ذا ق براد واب عولات هن أاحا

حا عروف إصلا ن مثل الذي عالايهن بالما ة والا ال عالايهن داراجا واالله عازيز واللرجا

كيم حا

“wanita-wanita yang ditalak henda klah menahan diri (menunggu)

tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan

Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari

akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti

57 Titik Hamida, Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, (Malang: UIN Maliki

Press, 2011), h. 130.

58

Zaenal Arifin, Muh. Anshori, Fiqih Munakahat, (Yogyakarta: CV.Jaya Star Nine,

2019), h. 215.

Page 51: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

38

itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita

mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang

ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari

pada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”

3. Macam-Macam Iddah

Putusnya perkawinan dapat dibedakan karena kematian suami dan

talak. Sedangkan kondisi istri dapat dibedakan menjadi istri yang sudah

dicampuri atau belum, istri yang masih mengalami haid atau belum (atau

bahkan sudah menopause), dan istri dalam keadaan hamil atau tidak.

Berikut ini akan dijelaskan berbagai macam iddah sebagai berikut.59

a. Iddah istri karena kematian suami.

Iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya itu tidak dalam

keadaan hamil. Maka masa iddahnya empat bulan sepuluh hari, baik

dia telah melakukan hubungan intim dengan suaminya yang telah

meninggal maupun belum. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-

Baqarah [2] ayat 234 sebagai berikut :60

رابصنا بأان فسهن أارب اعاةا أا رونا أازوااجا ي ات ا واف ونا منكم واياذا شهر واعاشراواالذينا ي ت ا

“dan orang yang meninggal dunia di antara kamu yang

meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu

empat bulan sepuluh hari”.

b. perempuan yang belum digauli oleh suaminya.

Jika istri belum disetubuhi kemudian dicerai maka ia tidak

memiliki iddah. hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. Al-

Ahzab [33] ayat 49 sebagai berikut:61

ا لا وهن فاما حتم المؤمناات ث طالقتموهن من ق ابل أان تااس ا الذينا آمانوا إذاا ناكا كم ياا أاي ها

اعالايه ون اها ة ت اعتاد ن من عد

59 Muhammad Isna Wahyudi, Fiqih Iddah Klasik dan Kontemporer,(Yogyakarta: Pustaka

Pesantren, 2009), Cet pertama, h. 89. 60

Abd al-Qadir Manshur, Fikih Wanita, (Jakarta, Zaman, 2009), Cet pertama, h. 132. 61 Ali Yusuf As-Subki, Fikih Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet. 1, h. 357.

Page 52: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

39

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi

perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan

mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib

atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”.

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa bagi istri tersebut

tidak ada iddah, artinya bahwa istri tersebut setelah putus perkawinan

dihalalkan mengikatkan perkawinan dengan laki-laki lain. Dan bagi

suami yang mentalaknya memberikan mut’ah bagi istri tersebut.62

Istri yang ditinggal mati suaminya meski belum pernah

melakukan hubungan intim (bersenggama) dengan suaminya tersebut,

ia harus beriddah, seperti iddahnya orang yang sudah pernah

bersanggama dengan suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari.63

c. Iddah perempuan yang sedang hamil.

Iddah perempuan yang sedang hamil maka iddahnya adalah

sampai ia melahirkan kandungannya. Ketetapan ini berdasarkan firman

Allah SWT dalam Q.S. At-Talaq [65] ayat 4 sebagai berikut :64

لاهن عنا حا لهن أان ياضا ت الاحاال أاجا وامان ي اتق اللها ياعال لاه من أامره يسرا واأولا

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka

itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa

yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya

kemudahan dalam urusannya”.

Imam Ahmad meriwayatkan dari al Musawwir subai’ah al-

Aslamiyah ditinggal mati oleh suaminya padahal dia sedang hamil.

Beberapa malam kemudian dia melahirkan. Setelah selesai menjalani

masa nifasnya dilamar orang. Dia meminta izin terlebih dahulu kepada

Rasulullah saw. Untuk menikah lagi, maka beliau mengizinkannya,

62 Zaenal Arifin, Muh. Anshori, Fiqih Munakahat, (Yogayakarta: CV.Jaya Star Nine,

2019), h.. 218. 63 Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), Cet pertama, h. 339. 64

Zaenal Arifin, Muh. Anshori, Fiqih Munakahat, (Yogyakarta: CV.Jaya Star Nine,

2019), h. 219.

Page 53: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

40

dan dia pun menikah”. (hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan

Muslim dalam shahihnya.)65

d. Iddah Perempuan yang berhaid

Bagi istri yang masih haid ,masa iddahnya ialah tiga kali quru’,

berdasarkan firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 228

sebagai berikut :

ثاةا ق روء رابصنا بأان فسهن ثالا ات ي ات ا ل لا واالمطالقا لاقا الله ف والا يا ا خا ن أان ياكتمنا ما

وم الخر امهن إن كن ي ؤمن بالله واالي ا أارحا

Wanita yang ditalak, hendaklah menahan diri (beriddah) tiga

kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang dijadikan

Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari

akhir”

“Quru” adalah kalimat musytarak, berarti “haidh” dan “suci”.

Karena itu para ahli fiqh berbeda pendapat dalam mengartikan “quru”

dalam ayat di atas.

Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Hambali

“quru” berarti “haidh”. Selanjutnya dinyatakan bahwa istri yang

ditalak dalam keadaan suci yang belum dicampuri, kemudian beriddah

tiga kali haidh. Maka iddahnya habis pada habisnya haidh yang ketiga,

jadi masa iddahnya lebih kurang tiga bulan. Apabila istri ditalak pada

waktu haidh, maka masa iddahnya ialah setelah habis masa haidh

keempat, karena haidh yang pertama tidak termasuk ke dalam haidh

yang dihitung.

Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik bahwa arti

“quru” ialah “suci”. Masa iddahnya menurut mereka ialah tiga kali

65

Muhammad Nasib ar-Riyadh, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu

Katsir/Muhammad Nasib ar-Riyadh, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 738.

Page 54: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

41

suci, yang dihitung mulai waktu suci yang belum dicampuri. Menurut

pendapat ini masa iddah itu lebih kurang selama dua bulan.66

e. Iddah perempuan yang sudah tidak haid.

Seorang perempuan yang sudah tua dan sudah menupause

(darah haidnya sudah berhenti) maka masa iddahnya selama tiga bulan.

Masalah ini di kalangan ulama fiqih tidak ada perbedaan pendapat, dan

berlandaskan pada firman Allah SWT dalam Q.S. At-Talaq [65] ayat 4

sebagai berikut :

ح ئي يائسنا منا الما واالل ئي لا ثاة أاشهر واالل ت هن ثالا ائكم إن ارت ابتم فاعد يض من نسا

ضنا يا

“wanita-wanita tua yang sudah tidak haid lagi di antara perempuan-

perempuan kamu, jika kamu ragu maka masa iddah mereka tiga bulan,

demikian juga perempuan-perempuan yang belum haid dari kecilnya”

Pada umumnya perempuan yang sudah masuk usia menapuse

atau berhenti dari haid adalah berkisar berusia 45-46 tahun. Namun

menurut Ibnu Taimiyah, tiap-tiap orang berbeda-beda umurnya dalam

memasuki usia menopause.67

4. Hak Istri Dalam Masa Iddah

Istri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak

dari mantan suaminya selama berada dalam masa iddah, karena dalam

masa itu dia tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain.

Bentuk yang diterima tidak tergantung pada lama masa iddah yang

dijalaninya, tetapi tergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya.68

Adapun hak-hak mereka itu adalah sebagai berikut:

66 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan

Bintang, 1987), h. 232. 67 Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:

Darussalam, 2004), Cet pertama, h. 270. 68 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 144.

Page 55: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

42

a. Sependapat para ahli fiqih bahwa bekas istri dalam masa iddah talak

raj’i atau dalam keadaan hamil baik dalam masa iddah talak raj’i atau

talak bain, berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari

suaminya. 69

b. Istri yang dicerai dalam bentuk talak bain, baik bain sugra atau bain

kubra, dia berhak atas tempat tinggal, bila ia tidak dalam keadaan

hamil.

c. Istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Hal yang disepakati ialah

bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal selama dalam iddah,

karena ia harus menjalani masa iddah di rumah suaminya dan tidak

dapat kawin selama masa itu.70

Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak

dijelaskan secara rinci tentang pemberian nafkah iddah namun hanya

dijelaskan secara umum saja di dalam bab tentang putusnya perkawinan

serta akibatnya yang menjelaskan bahwasanya pengadilan mewajibkan

kepada bekasi suami untuk membeikan biaya penghidupan kepada bekas

istrinya.

Sedangkan di dalam pasal 149 huruf b Kompilasi Hukum Islam

tentang akibat putusnya perkawinan terdapat penjelasan mengenai

pemberian nafkah dalam masa iddah, yang menjelaskan bilamana

perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah,

maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali istri

telah dijatuhi talak bain atau nuysuz dalam keadaan tidak hamil. Kemudian

dijelaskan juga pada pasal 152 mengenai nafkah iddah bahwasanya berhak

bagi istri yang sedang menjalani masa iddah kecuali istri tersebut

dinyatakan nuysuz.

69 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan

Bintang, 1987), h. 235. 70 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 144.

Page 56: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

43

5. Ketentuan Iddah Dalam UU Perkawinan

Mengenai Masa tunggu telah diterapkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan pada pasal 11 sebagai berikut:

1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu

tunggu.

2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur

dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang masa tunggu telah diuraikan

secara rinci dan jelas yang terdapat di dalam pasal 39 sebagai penjelasan

dari UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawina pasal 11 sebagai berikut :

1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksudkan dalam pasal 11

ayat (2) undang-undang ditentukan sebagai berikut:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu di

tetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi

yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan

sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak

berdatang bulan ditetapkan 90 (Sembilan pulu) hari.

c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan

hamil, waktu tunggu dtetapkan sampai melahirkan.

2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena

perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum

pernah terjadi hubungan kelamin.

3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu

tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum yang tepat, sedangkan bagi perkawinan yang putus

karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian

suami.71

71 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 173-174.

Page 57: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

44

6. Ketentuan Iddah Dalam Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan secara khusus di

dalam bab akibat putusnya perkawinan mengenai masa iddah atau waktu

tunggu yang dijelaskan secara rinci dan jelas di dalam pasal 153 s/d pasal

155.

1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu

atau iddah, kecuali qobla dukhul dan perkawinannya putus bukan

karena kematian suami.

2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla

dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi

yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-

kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid

ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari.

c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut

dalam keadaan hamil,waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan

d. Apabila perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut

dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

3) Tidak ada waktu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang

antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla dukhul.

4) Bagi perkawinan yang putus perkawinan karena perceraian, tenggang

waktu tunggu terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama

yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap sedangkan bagi

perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu

dihitung sejak kematian suami.

5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu

menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali

suci.

Page 58: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

45

6) Dalam hal keadaan pada ayat 5 bukan karena menyusui, maka

iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam satu tahun tersebut

ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Pada pasal selanjutnya yaitu pasal 154 menjelaskan bahwasanya

apabila istri dijatuhkan talak raj’i kemudian dalam waktu iddah

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)

pasal 153 ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi

empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.

Kemudian pada pasal 155 juga menjelaskan bahwasanya waktu

iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu, fasakh, berlaku

untuk iddah talak.72

7. Hikmah Iddah

Iddah disyariatkan berdasarkan makna dan hikmah-hikmah yang

telah dipertimbangkan oleh syariat, diantaranya adalah:

1) Untuk mengetahui kebersihan rahim, dan agar tidak bercampur air

mani dari dua orang laki-laki atau lebih di dalam satu rahim, sehingga

nasab menjadi tercampur baur, dan menyebabkan terjadinya

kerusakan.

2) Untuk mengagungkan sebuah pernikahan, mengangkat derajatnya, dan

menunjakan kehormatannya.73

3) Memberikan masa rujuk yang cukup panjang bagi suami yang

menceraikan dengan maksud memberikan kesempatan kepada suami

istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya

masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.74

72 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 174-175. 73 Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, Fikih Sunnah Wanita (Jakarta: Qisthi Press2013),

h. 607. 74

Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar,

2007), Cet.24, h. 449.

Page 59: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

46

E. Nafkah Madhiyah

1. Pengertian Nafkah Madhiyah

Nafkah madhiyah terdiri dari dua kata yaitu nafkah dan madhiyah.

nafkah berarti belanja dan madhiyah berasal dari kata isim madhi dalam

bahasa arab yang mempunyai arti lampau atau terdahulu. Nafkah

madhiyah merupakan nafkah yang tidak diberikan atau nafkah yang telah

lewat waktu yang tidak dibayar oleh suami kepada istrinya pada waktu

pernikahan.75

Apabila akad nikah telah sah, maka suami dan istri telah pula

terikat oleh ikatan perkawinan. Dengan adanya ikatan perkawinan itu

berarti istri telah terikat oleh kewajiban-kewajiban sebagai seorang istri

kepada suaminya, sehingga ia tidak dapat lagi mengerjakannya yang lain

untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Karena itu ia berhak memperoleh

nafkah dari suaminya.76

Nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya berupa

nafkah lahir dan batin. Nafkah tersebut wajib dilaksanakan dan menjadi

utang kalau tidak dilaksanakan dengan sengaja.

Utang nafkah batin hendaknya dibayar dengan jalan melakukan

perbaikan diri dan perbaikan sikap kepada istri, sehingga istri siap

memaafkan suaminya dan siap memberikan pelayanan kepada suaminya

dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. sedangkan nafkah lahir

adalah berupa pemberian biaya dan keperluan hidup yang wajar dalam

bentuk pangan, sandang, papan, kesehatan, dan lain-lain.

Kalau suami tidak memberikan nafkah lahir tersebut maka ia

berstatus sebagai seorang yang mempunyai utang kepada istrinya. Setiap

utang mesti dibayar, baik utang itu kepada istri, suami, anak-anak, maupun

75 Siti Zulaekah, Aanalisis Pelaksanaan Pemberian Nafkah Mantan Istri Akibat Cerai

Talak (studi Kasus di Pengadilan Agama Semarang Tahun 2015), (semarang, Universitas Islam

Negeri Walisongo Semarang, 2016),h. 54. 76

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan

Bintang, 1987), h. 135.

Page 60: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

47

kepada pihak lain. Utang tersebut baru menjadi bebas kalau dibebaskan

oleh yang bersangkutan (yang dihutangi).77

2. Dasar Hukum Nafkah Madhiyah

Nafkah adalah kewajiban suami yang harus dipikulnya terhadap

istrinya. Setiap kewajiban agama itu merupakan beban hukum sedangkan

prinsip pembebanan hukum itu tergantung kemampuan subjek hukum

untuk memikulknya.78

berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. At-

Thalaq [65] ayat 7 sebagai berikut :

عاة م عاته لي نفق ذو سا لف الله وامان قدرا عالايه رزقه ف الي نفق ما آتااه الله ن سا لا يكا

ا ا آتااها ياجعال الله ب اعدا عسر يسرا ن افسا إل ما سا

“Hendaklah orang yang memberikan nafkah menurut

kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah

memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak

memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah

berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah

kesempitan”.

Ayat tersebut selain menerangkan tentang kewajiban memberi

nafkah, juga memberikan toleransi tentang jumlah nafkah sesuai dengan

kemampuan suami. Artinya, kalau suami pada suatu saat betul-betul tidak

mampu maka jumlah nafkah bisa berbeda dengan jumlah nafkah ketika

suami mempunyai banyak rezeki.

Kalau suami betul-betul tidak mampu memberikan rezeki maka

ujung ayat tadi memberikan jawaban bahwa Allah tidak memberikan

beban kepada seseorang kecuali sekedar dalam keadaan terpaksa. Akan

tetapi, kalau pada suatu saat ia memperoleh rezeki yang banyak maka ia

hendaklah memberi ganti nafkah tersebut secara pantas, adil dan

bijaksana.79

77 Miftah Faridh, Masalah Nikah Keluarga, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 83. 78 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 20017),

Cet kedua h. 172. 79 Miftah Faridh, Masalah Nikah Keluarga, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 83-84.

Page 61: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

48

Hukum Positif di Indonesia tidak mengatur tentang nafkah

madhiyah namun hanya dijelaskan secara umum saja yang terdapat di

dalam sebuah perkawinan tentang kewajiaban suami pada pasal 80 ayat (4)

Kompilasi Hukum Islam jo. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan.

1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

3. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat

mengajukan gugatan kepada pengadilan.80

80

Mardani, Hukum keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), Cet pertama,

h. 114.

Page 62: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

49

BAB III

STUDI PUTUSAN NOMOR 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd DAN

NOMOR 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.

A. Perkara Pengadilan Agama Mungkid Putusan Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd

1. Duduk Perkara

Pemohon, umur 42 tahun, dan Termohon, umur 37 tahun sebagai

pasangan suami istri yang sah yang menikah pada tanggal 12 juni 2014.

Sebelum terjadinya pernikahan, Termohon masih mempunyai suami dan

pada saat itu Pemohon sering kali menggoda/merayu Termohon sehingga

keduanya suka sama suka dan kemudian apabila bertemu serta dalam

setiap pertemuan tersebut Pemohon sering kali mengajak Termohon untuk

berbuat zina yang pada akhirnya Termohon hamil diluar nikah.

Kemudian, pada saat kandungan 3 bulan Termohon meminta

kepada Pemohon untuk bertanggung jawab. Akan tetapi, Pemohon

menolak dan tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya yang telah

menghamili Termohon. Lalu Termohon dan bapaknya menemui ibu

Pemohon dan akhirnya dilakukan ijab siri pada hari minggu kliwon 10

februari 2013.akan tetapi pernikahan tersebut batal demi hukum karena

Termohon masih terikat perkawinan dengan suami Termohon.

Sebelum Termohon melahirkan Termohon telah diceraikan dengan

suaminya yang pada saat itu Termohon sedang hamil. Kemudian pada

tanggal 18 Agustus 2013 Termohon melahirkan, namun Pemohon tidak

perduli dan tidak datang serta tidak membiayakan kelahiran anaknya.

Setelah dijemput oleh keluarga Termohon baru Pemohon datang untuk

menjenguk anaknya namun tanpa membawa apapun.

Setelah Termohon bercerai dengan suaminya yang pertama lalu

menikah secara resmi dengan Pemohon yang dilakukan secara sah sesuai

dengan rukun dan syarat yang dilaksanakan pada tanggal 12 juni 2014.

Namun, setelah menikah sebagai suami istri keduanya pulang ke rumah

Page 63: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

50

orang tuanya masing-masing dan tidak tinggal bersama, hal tersebut terjadi

karena Pemohon selalu mengikuti kehendak ibu kandungnya, setiap

perintah dari ibunya selalu ditaati tanpa bisa berpikir bahwa perintah itu

benar atau salah tanpa memikir akibatnya dan masa depannya.

Bahwa ketaatan seorang anak terhadap orang tua adalah sesuatu

yang harus dilakukan sesuai dengan hukum agama, durhaka terhadap ibu

adalah suatu perbuatan dosa yang dosanya lebih besar dari pada zina,

apalagi Pemohon merupakan anak tunggal sehingga tumpuan dan harapan

ibu Pemohon selaku orang tua hanya pada Pemohon.

Melihat usia Pemohon yang sudah tua (43 tahun) bukan anak muda

lagi yang selalu bergantung kepada ibunya, tetapi Pemohon sudah dewasa

yang seharusnya berani untuk mengambil sikap, berani mandiri, berani

mengambil keputusan yang tegas dan jelas serta sadar diri atas semua

kesalahan yang pernah Pemohon perbuat dimasa lalu kepada Termohon.

Dari kejadian tersebut Pemohon dan Termohon setelah menikah

tidak berhubungan intim layaknya suami istri serta tidak tinggal bersama,

dan Termohon juga tidak diberikan nafkah selama 2 tahun 5 bulan.

Sehingga mengakibatkan perceraian dengan alasan rumah tangga antara

Pemohon dan Termohon sejak semula tidak harmonis dan tidak

memberikan lagi manfaat terhadap ketentraman jiwa bagi kedua belah

pihak sehingga tujuan dari pernikahan sudah tidak tercapai.

Kemudian, Pemohon mengajukan permohonan cerai talak yang

telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Mungkid Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd, pada tanggal 07 Nopember 2016. Pemohon

diwakili kuasa hukumnya kepada Miftahul Huda SHI sebagai

Advokat/Pengacara, sedangkan Termohon diwakili kuasa hukumnya

kepada Rianto , SH sebagai Advokat/Pengacara.1

2. Pertimbangan Hakim

Pada hari persidangan kedua belah pihak yang berperkara telah

datang menghadap sendiri ke persidangan dan Majelis Hakim telah

1 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 1-9.

Page 64: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

51

berusaha mendamaikan agar berusaha hidup rukun dan bisa

memperbaikinya, begitu juga memerintahkan kedua belah pihak untuk

melakukan upaya mediasi dengan mediator Hakim Pengadilan Agama

Mungkid Dra. Emmafatri, SH., MH., akan tetapi usaha tersebut tidak

berhasil.2

Berdasarkan bukti berupa keterangan saksi-saksi baik saksi dari

Pemohon dan Termohon serta dihubungkan dengan keterangan Pemohon

Konpensi dan Termohon Konpensi di depan persidangan, maka telah

ditemukan fakta kejadiannya sebagai berikut :3

- Bahwa antara Pemohon Konpensi dengan Termohon Konpensi adalah

sebagai suami istri sah yang menikah pada tanggal 12 juni 2014;

- Bahwa rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon setelah

menikah tidak pernah harmonis karena keduanya tidak tinggal

serumah.

- Bahwa, sebelum menikah antara Pemohon dan Termohon sudah

melakukan hubungan intim layaknya suami istri;

- Bahwa sebelum menikah Termohon sudah melahirkan seorang anak

perempuan dengan umur 3 tahun.

- Bahwa saat ini Pemohon dan Termohon telah berpisah tempat tinggal

selama sekitar 2 (dua) tahun 5 (lima) bulan.

- Bahwa selama berpisah tempat tinggal antara Pemohon dan Termohon

sudah tidak saling memperdulikan lagi.

Maka dari fakta tersebut di atas, maka Majelis Hakim berpendapat

bahwa rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon sudah retak

sehingga sudah tidak memberikan lagi manfaat bagi kedua belah pihak

sehingga tujuan dari pernikahan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum

Islam pasal 3 yaitu perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan

2 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 15

3 Salinan Putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 19.

Page 65: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

52

rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Maka sudah tidak

dapat tercapai lagi.

Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, maka alasan-

alasan perceraian yang terdapat dari fakta-fakta tersebut terdapat di dalam

Pasal 19 huruf (f) PP. Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.

1 Tentang Perkawinan dan pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.

Oleh karena itu permohonan Pemohon telah beralasan hukum maka

permohonan Pemohon untuk menjatuhkan talaknya patut untuk

dikabulkan.4

Majelis Hakim memberikan dasar hukum dalam Q.S. Al-Baqarah

[2] ayat 227 sebagai berikut :

يع عليم وإن عزموا الطلق فإن الله س

“apabila mereka berketetapan hati untuk talak maka sesugguhnya

Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”.

Maka penyebab Pemohon dan Termohon tidak tinggal bersama

yaitu bukan merupakan kesalahan Termohon dan bukan pula atas

kemauannya, akan tetapi disebabkan karena Pemohon tidak menyukai

Termohon, sehingga keduanya setelah menikah tidak tinggal serumah,

meskipun sebelum menikah Pemohon dan Termohon sudah melakukan

hubungan intim layaknya suami istri, maka dinyatakan Termohon bukan

istri yang nuysuz. Sehingga Termohon berhak mendapatkan nafkah dari

suaminya.

Bahwa memberikan mut’ah merupakan kewajiban seorang suami

yang menceraikan istrinya dengan talak raj’i maka sudah sepatutnya

apabila Pemohon di hukum untuk memberikan mut’ah kepada Termohon,

hal ini sesuai dengan pasal 41 huruf (c) undang-undang Nomor 1 tahun

1974 Tentang Perkawinan dan pasal 149 huruf (a) Kompilasi Hukum

Islam. Kemudian Majelis Hakim juga mengemukakan Firman Allah SWT

dalam Q.S Al-Baqarah [2] ayat 241 sebagai berikut :

4 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 20

Page 66: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

53

ا على المتقين وللمطلقات متاع بالمعروف حق

“kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh

suaminya mut’ah menurut yang ma’ruf sebagai suatu kewajiban bagi

orang-orang yang bertakwa”.

Pemohon dan Termohon telah menikah selama sekitar 2 (dua)

tahun 5 (lima) bulan, dan meskipun setelah menikah tidak berhubungan

intim akan tetapi sebelum menikah keduanya sudah melakukan hubungan

intim layaknya suami istri, maka sudah pantas dan batas-batas kewajaran

apabila Pemohon dibebani untuk memberikan mut’ah kepada Termohon

sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Nafkah iddah juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh

suami apabila menceraikan istrinya dengan talak raj’i, maka sudah

sepantasnya Pemohon dibebani untuk memberikan nafkah iddah kepada

Termohon, hal tersebut sesuai dengan pasal 41 huruf (c) Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal 149 huruf (b) Kompilasi

Hukum Islam, dan terdapat juga di dalam kitab Syarqowi’Alat Tahrir Juz

IV ; 349 sebagai berikut:

“dan wajib nafkah untuk perempuan dalam iddah, jika ada dalam

talak raj’i, karena perempuan tersebut masih menjadi tangggungan dan

masih tetap di dalam kekuasaan bekas istrinya”.5

Di dalam gugatan rekonpensinya termohon tidak menguraikan

posita gugatan secara jelas dan hanya menyebutkan sebenarnya Termohon

tidak menginginkan adanya perceraian karena masih mencintai Pemohon

dan begitu juga untuk demi masa depan anak, namun dengan syarat

Pemohon harus memperbaiki diri. Akan tetapi apabila Pemohon bersikeras

tetap pada pendiriannya untuk bercerai dan hal ini dikabulkan oleh Majelis

Hakim. Maka Termohon akan mengajukan tuntutan nafkah sebagai beriku:

5 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 21-22.

Page 67: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

54

1. Nafkah Iddah

Rp. 2.500.000 x 3 bulan = Rp. 7.500.000

2. Nafkah Mut’ah

Terhitung sejak nikah Rp. 2.500.000 x 31 bulan = Rp. 77.500.000

3. Nafkah Kiswah

Rp.500.000 x 31 bulan = Rp. 15.500.000

Di dalam gugatan rekonvensinya Termohon tidak menguraikan

petitum gugatan secara jelas dan hanya menyebutkan mengabulkan

seluruh gugatan tersebut tanpa perinci apa saja yang menjadi tuntutannya.

Bahwa dengan memperhatikan hal-hal sebagaimana tersebut di atas maka

ternyata di dalam posita gugatan tidak mencantumkan fakta peristiwa

hukum (feitelijke grond) dan tidak mencatumkan tuntutan secara terperinci

di dalam petitum gugatan rekovensi.

Surat gugatan seharusnya dibuat secara jelas, dengan memuat dasar

hukum (rechtelijke ground) serta fakta peristiwa hukum (feitelijke grond)

secara runtut dan jelas, dan di dalam petitum gugatan harus dibuat secara

terperinci sehingga sesuai dan bersambung dengan posita gugatan,

sehingga gugatan menjadi terang dan sempurna, oleh karena gugatan yang

tidak memenuhi dasar gugatan (grondslag van de lis) sebagaimana

tersebut di atas, maka mengakibatkan gugatan menjadi tidak jelas (obscuur

libel), maka gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (niet

onvankelijk verkleard).6

4. Amar Putusan

Adapun hasil Putusan Pengadilan Agama Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd ialah sebagai berikut :

Dalam Konvensi:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’i

terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Mungkid.

6 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 23-24

Page 68: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

55

3. Menghukum kepada Pemohon Konvensi untuk membayar kepada

Termohon Konvensi berupa:

- Nafkah Iddah sebesar Rp. 3.750.000,- (tiga juta tujuh ratus lima

puluh ribu rupiah);

- Mut’ah sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)

Dalam Rekonvensi

- Menyatakan gugatan rekonvensi penggugat rekonvensi tidak dapat

diterima.

Dalam Konvensi dan Rekonvensi

- Membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar

Rp.703.000,- (Tujuh ratus tiga puluh ribu rupiah) kepada Pemohon

Konvensi/Tergugat Rekonvensi.7

B. Perkara Pengadilan Tinggi Agama Semarang Putusan Nomor

161/Pdt.G/2017/PTA.Smg

1. Duduk Perkara

Pada perkara ini para pihak terlihat masih belum merasa puas

dengan Putusan Majelis Hakim tingkat pertama, sehingga pihak-pihak

yang berkeberatan mengajukan upaya hukum untuk mencari keadilan.

Upaya hukum yang diajukan adalah upaya hukum banding.

Banding ialah permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak yang

terlibat dalam perkara, agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan

Pengadilan Agama diperiksa ulang dalam pemeriksaan tingkat banding

oleh Pengadilan Tinggi Agama, karena merasa belum puas dengan

Putusan Pengadilan Tingkat Pertama.8

Pihak yang berkeberatan atas Putusan Pengadilan Tingkat Pertama

adalah Pemohon dan Termohon, sehingga keduanya mengajukan memori

7 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 24-25. 8 Sulaikin Lubis, Wismar Ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan

Agama di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2008), Cet. Ke 3, h.178.

Page 69: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

56

banding. Pemohon sebagai pembanding I/Terbanding II, sedangkan

Termohon sebagai Terbanding I/Pembanding II.

Bahwa dalam memori bandingnya Pembanding I mengajukan

keberatan-keberatan yang pada pokoknya yaitu tentang dijatuhkannya

talak raj’i, padahal petitum permohonan Pembanding I yaitu mohon di

ijinkan mengikrarkan talak bain shugra terhadap Terbanding I karena hal

tersebut sesuai dengan fakta-fakta bahwa antara pembanding I dan

Terbanding I belum pernah tinggal bersama dan belum melakukan

hubungan intim layaknya suami istri setelah akad nikah. Maka seharusnya

talak yang dijatuhkan adalah talak bain sughra.

Talak bain sughra (kecil), yaitu talak satu atau dua yang dijatuhkan

kepada istri yang belum pernah berhubungan badan.9

Selain itu, pembanding juga keberatan atas Putusan Pengadilan

Tingkat Pertama yang memberikan mut’ah dan nafkah iddah yang di

diberikan kepada Terbanding yang dimana alasannya sama bahwa

Pembanding dan Terbanding setelah akad nikah belum pernah tinggal

bersama dan belum pernah melakukan hubungan intim layaknya suami

istri, sehingga tidak berhak Terbanding mendapatkan mut’ah dan nafkah

iddah.

Sedangkan Termohon/Pembanding II dalam memori bandingnya

mengajukan keberatan-keberatan yang pada pokoknya yaitu bahwa

putusan dalam Konvensi khususnya point 3 adalah sangat tidak adil dan

sangat merugikan Pembanding II karena nafkah yang diberikan pada

pengadilan tingkat pertama terlalu sedikit. Sebagai berikut:

a. Nafkah yang tidak berikan selama 2 tahun 5 bulan yang dinyatakan

pemberian mut’ah sebanyak Rp. 5.000.000,00 adalah terlalu kecil

karena melihat kebutuhan sehari-hari yaitu makan, kebutuhan untuk

bermasyarakat, dan kebutuhan anak.

b. Begitu pula untuk nafkah iddah juga sangat kecil.

9 Mahmudin Bunyamin, Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung, CV

Pustaka Setia, 2017), Cet.1, h. 181.

Page 70: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

57

c. Kemudian, biaya persalinan itu seharusnya ditanggung oleh

Terbanding II, akan tetapi hal tersebut ditanggung oleh Pembanding II

selaku istrinya.

d. Pada saat Terbanding mengusulkan TES DNA untuk mengetahui anak

yang hamil diluar nikah, tetapi Terbanding II tidak mau bertanggung

jawab untuk membiayai TES DNA tersebut.

2. Pertimbangan Hakim

Majelis Hakim Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Agama

Semarang Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg setelah menerima berkas dan

membaca serta mempelajari dengan seksama mengenai pertimbangan

hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama, memori banding Pemohon dan

kontra memori banding Termohon serta berkas perkara banding tersebut,

maka Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa benar

berdasarkan fakta bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon telah

pecah dan sudah tidak ada harapan lagi untuk kembali rukun. Namun

Majelis Hakim tingkat banding tidak sependapat dengan putusan tingkat

pertama mengenai pemberian ijin untuk mengikrarkan talak satu raj’i, oleh

karena itu Majelis Hakim tingkat banding akan memberikan pertimbangan

sendiri.10

Ketentuan mengenai iddah bagi seorang istri yang dicerai baik

dalam keadaan cerai talak maupun gugat cerai atau cerai mati, yang pada

intinya adalah untuk mengetahui apakah wanita tersebut sedang

mengandung atau tidak, agar tidak merasa bimbang mengenai ayah dari

anak yang dikandungnya itu apabila ia ingin menikah lagi.11

Menurut pendapat Sayid Sabiq dalam kitab Fiqhus Sunnah Juz II

halaman 277 diantaranya untuk :

10 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PtA.Smg.. h. 5. 11

Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam. (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1992),

Cet.1, h. 114.

Page 71: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

58

Untuk mengetahui bersihnya rahim istri yang dicerai dari benih

suaminya sehingga tidak tercampur dengan benih nasab yang lain:

Oleh karena itu, walaupun sebelum menikah antara Pemohon dan

Termohon sudah pernah berhubungan badan. Namun, setelah menikah

keduanya tidak berhubungan intim dan tidak tinggal bersama hingga 2

tahun 5 bulan. Maka jelaslah bahwa selama kurung waktu 2 tahun 5 bulan

setelah akad nikah tersebut rahim Termohon sebagai istri telah bersih dari

benih nasab Pemohon. Maka status hukum kembali kepada keadaan

semula yaitu kondisi akad nikah antara Pemohon dan Termohon tidak

pernah berhubungan intim (qobla dukhul) maka seharusnya talak yang

diikrarkan adalah talak bain sughra. Sehingga istri tidak perlu manjalankan

masa iddah.12

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 153 ayat 1 yaitu bagi

seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah,

kecuali qobla dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian

suami.13

Berdasarkan ketentuan pasal 149 huruf a Kompilas Hukum Islam

yaitu memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa

uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla dukhul.14

Dari

ketentuan tersebut Majelis Hakim tingkat banding berpendapat bahwa

sesuai dengan ketentuan dalam Q.S. Al Ahzab [33] ayat 49 sebagai

berikut:

وهن فما ل كم يا أي ها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ث طلقتموهن من ق بل أن تس

ة ت عتد يل ون ها عليهن من عد عوهن وسرحوهن سراحا ج فمت

“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi

perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka

sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka

12 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.. h. 8-9. 13

Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 153. 14 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 149.

Page 72: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

59

iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah

mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-

baiknya.

Ayat tersebut menjelaskan untuk suami yang tidak mau menggauli

istrinya sehingga dikatakan qobla dukhul kemudian menceraikannya.

Sedangkan dalam pasal 149 a Kompilasi hukum Islam adalah untuk istri

yang setelah menikah menolak untuk digauli oleh suaminya kemudian

suaminya menceraikannya maka istri tersebut tidak berhak untuk atas

mut’ah dari suaminya.

Maka dari fakta tersebut suami setelah menikah tidak mau

menggauli istrinya maka pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama

yang menghukum Pemohon untuk memberikan mut’ah sudah tepat. 15

Bahwa kewenangan hakim terbatas yaitu hanya sebatas yang

ditentukan dalam pasal 149 Kompilasi Hukum Islam saja ialah tentang

pemberian mut’ah, pemberian nafkah selama masa iddah, melunasi mahar

dan biaya hadhonah untuk anak. Sedangkan keberatan Termohon dalam

memori bandingya yaitu tentang kecilnya mut’ah yang dikaitkan dengan

nafkah selama 30 bulan berpisah, keberatan tersebut tidak dapat

dibenarkan karena yang dimaksud dengan mut’ah menurut pasal 1 huruf

(j) Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian bekas suami kepada istri,

yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.16

Mengenai hadhanah anak Majelis Hakim tingkat banding

memberikan pertimbangan bahwa Majelis Hakim tingkat pertama yang

tidak menjatuhkan putusan dengan menghukum Pemohon/Pembanding I

untuk membayar uang hadhonah anak telah tepat sesuai dengan ketentuan

hukum. Karena anak yang lahir diluar nikah perlu dibuktikan terlebih

dahulu sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, oleh karena itu tidak perlu

dipertimbangkan lebih lanjut.17

15 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. h. 10-11. 16

Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 1. 17 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. h. 16.

Page 73: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

60

Talak yang dijatuhkan adalah talak satu bain sughra, maka sesuai

dengan ketentuan pasal 119 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, Pemohon

sebagai suami tidak mempunyai hak rujuk terhadap Termohon sebagai

istri. Maka Pemohon tidak berkewajiban untuk memberikan nafkah iddah.

Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat menurut Sayid Sabiq dalam

bukunya Fiqhussunah Juz II halaman 159 yang berbunyi :

dan dia beberapa riwayat, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda

sesungguhnya (biaya untuk) tempat tinggal dan nafkah selama masa iddah

adalah bagi istri (yang ditalak suaminya) yang suaminya mempunyai hak

rujuk terhadapnya.

Maka keberatan Termohon harus di tolak dan putusan Majelis

Hakim tingkat pertama yang menghukum Pemohon untuk membayar

nafkah selama masa iddah kepada Termohon harus dibatalkan.18

Bahwa gugatan rekovensi tentang nafkah kiswah selama 31 bulan

sebesar 15.500.000, Majelis Hakim berpendapat bahwa yang dimaksud

dengan nafkah kiswah adalah kewajiban yang harus ditanggung suami

sesuai dengan ketentuan pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam yang

termasuk di dalamnya nafkah. kiswah, maskan dan biaya rumah tangga.19

Syarat seorang istri untuk mendapatkan nafkah tersebut diatas

sesuai dengan ketentuan pasal 80 ayat (5) dan pasal 84 ayat (2) Kompilasi

Hukum Islam adalah adanya tamkin sempurna dari istri dan istri tidak

nuysuz, namun karena setelah menikah suami menunjukan sikap tidak mau

rukun dengan Termohon sebagai istri sehingga keduanya tidak tinggal

bersama. Maka Termohon sebagai istri yang tamkin dan tidak nuysuz

sehingga oleh karenanya ia berhak atas nafkah selama berpisah 31 bulan.

Oleh karena itu gugatan Temohon dikabulkan.

Nafkah madhiyah adalah merupakan hutang atas suami bagi

istrinya.20

maka nafkah istri telah lewat tidak bayar oleh suami menjadi

18 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. h. 17-18. 19 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 80. 20

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta, Prenada

Media, 2003), Edisi pertama, h. 221.

Page 74: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

61

hutang yang menjadi tanggung jawab suami untuk membayarnya. Hal ini

sebagaimana dalam kitab Muhadhab Juz II halaman 75:

“jika istri tamkin yang mewajibkan suami memberi nafkah, dan

suami tidak juga memberi nafkah lewat beberapa waktu, (kewajiban)

memberi nafkah menjadi hutang yang merupakan jadi tanggung jawab

suami (untuk membayarnya) dan tidak gugur dengan lewatnya waktu.21

3. Amar Putusan

Adapun hasil Putusan Pengadilan Agama Nomor

161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. ialah sebagai berikut :

- Menyatakan permohonan banding Pembanding I dan Pembanding II

dapat diterima;

- Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Mungkid Nomor:

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd tertanggal 19 April 2017 Masehi bertepatan

dengan tanggal 15 Rajab 1438 Hijriyah yang dimohonkan banding,

dan mengadili sendiri yang amar selengkapnya sebagai berikut :

Dalam Konvensi

1. Mengabulkan Permohonan Pemohon

2. Member izin kepada Pemohon (Pembanding) untuk menjatuhkan talak

satu kepada Termohon (Terbanding) di depan sidang Pengadilan

Agama Mungkid;

3. Menghukum kepada Pemohon Konvensi untuk membayar kepada

Termohon Konvensi berupa Mut’ah sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima

juta rupiah);

4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Mungkid untuk

mengirimkan Salinan Penetapan Ikrar Talak tanpa materai kepada

Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngluwar

untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu;

21 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. h. 21-22.

Page 75: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

62

Dalam Rekovensi

1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;

2. Menghukum kepada Tergugat Rekonvensi untuk membayar kepada

Penggugat Rekonvensi Nafkah Madhiyah sebesar Rp. 15.500.000,00

(lima belas juta lima ratus rupiah);

3. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi selain dan selebihnya;

Dalam Konvensi dan Rekonvensi

- Membebankan biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar

Rp.703.000,00 (tujuh ratus tiga ribu rupiah) kepada Pemohon

Konvensi/Tergugat Rekonvensi;

- Membebankan kepada Pemohon Konvensi/Pembanding I untuk

membayar biaya perkara pada tingkat banding sebesar Rp. 150.000,00

(seratus lima puluh ribu rupiah.22

22 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. h. 23-24.

Page 76: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

63

BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG

NAFKAH DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH

MELAKUKAN ZINA

A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd.

Majelis Hakim Pengadilan Agama Mungkid mempertimbangkan

putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd mengenai perkara Cerai Talak yang

diajukan oleh Pemohon dengan umur 42 Tahun, bahwa Pemohon dan

Termohon telah menikah secara resmi sesuai dengan rukun dan syarat yang

sah pada tanggal 12 juni 2014 di hadapan Pejabat/Pegawai Kantor Urusan

Agama Kecamatan Ngulawar Kabupaten Magelang. Setelah menikah

kehidupan rumah tangga antara Pemohon dan Termohon sudah tidak berjalan

harmonis sehingga berakhir dengan perceraian. Adapun alasan terjadinya

perceraian yaitu karena setelah menikah Pemohon dan Termohon tidak tinggal

bersama dan tidak berhubungan intim seperti pada umumnya suami istri

dengan jangka waktu selama 2 tahun 5 bulan, dan keduanya juga sudah tidak

saling memperdulikan lagi. Sehingga Pemohon mengajukan perkara cerai

talak di Pengadilan Agama Mungkid.

Menurut penulis bahwa sebab alasan terjadinya perceraian,

dikarenakan Pemohon tidak mempunyai rasa cinta terhadap Termohon.

Apabila ia memang mempunyai rasa cinta yang kemudian melalukan

perbuatan yang diharamkan yaitu berzina sehingga terjadinya hamil diluar

nikah, Seharusnya Pemohon sebagai laki-laki bisa bertanggung jawab atas apa

yang ia lakukan. Bahkan keduanya harus berpikir sebelum berkehendak maka

ada resiko yang akan menimpahnya. Begitu juga pada saat sudah menikah

Pemohon menunjukan sifat tidak kesukaannya, hal yang paling inti dari

sebuah perkawinan Pemohon sebagai suami tidak mau menggauli Termohon

sebagai istri. Hal tersebut penulis menganggap bahwa sebelum adanya

Page 77: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

64

pernikahan Permohon sudah merasa puas atas apa yang diperbuat terhadap

Termohon. Dan hal yang paling menguatkan adalah pengakuan langsung dari

Pemohon yang terdapat di dalam posita pada poin ke 3 yaitu bahwa sesudah

pernikahan antara Pemohon dan Termohon belum melakukan hubungan intim

layaknya suami istri karena pernikahannya itu dilakukan secara terpaksa dan

tidak didasari dengan rasa cinta.1 Maka hal tersebut sudah jelas bahwa

Pemohon hanya melampiaskan nafsu syahwatnya terhadap Termohon.

Setelah penulis membaca berkas dokumen putusan perkara Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd yang meliputi penjelasan Pemohon dan Termohon,

saksi-saksi serta pertimbangan hukum dari Majelis Hakim, dapat disimpulkan:

a. Sebelum terjadinya pernikahan antara Pemohon dan Termohon sudah

melakukan hubungan intim layaknya suami istri. Dan pada saat itu

Termohon masih mempunyai suami.

b. Pemohon dinyatakan hamil diluar nikah kemudian pada saat

kandungannya 3 bulan sempat melakukan ijab siri pada tanggal 10 februari

2013 namun hal tersebut batal demi hukum dikarenakan Termohon masih

mempunyai suami.

c. Saat sedang hamil, Termohon telah bercerai dengan suaminya.

d. Sebelum terjadinya pernikahan, Termohon melahirkan seorang anak pada

tanggal 13 Agustus 2013.

e. Kemudian Pemohon menikah dengan Termohon pada tanggal 12 juni

2014, namun setelah menikah keduanya pulang kerumah orang tua

masing-masing.

f. Saat ini Pemohon dan Termohon telah berpisah tempat tinggal selama

sekitar 2 (dua) tahun 5 (lima) bulan. Selama berpisah tempat tinggal antara

keduanya sudah tidak saling memperdulikan lagi, sehingga Termohon

sebagai istri tidak digauli dan tidak diberikan nafkah.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam putusan Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dalam perkara Cerai Talak, yang telah ditetapkan di

1 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 2

Page 78: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

65

Pengadilan Agama Mungkid hingga naik banding di Pengadilan Tinggi

Agama Semarang dalam Putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg, dari

kedua Pengadilan tersebut dimana Majelis Hakim berbeda pendapat dalam

memberikan pertimbangan dan keputusan.

Dalam Putusan Tingkat Pertama perkara Nomor

2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd Majelis Hakim dalam memberikan

pertimbangannya yaitu mengenai penyebab Pemohon dan Termohon tidak

tinggal bersama yaitu bukan merupakan kesalahan Termohon dan bukan pula

atas kemauannya, akan tetapi disebabkan karena Pemohon tidak menyukai

Termohon, sehingga keduanya setelah menikah tidak tinggal serumah,

meskipun sebelum menikah Pemohon dan Termohon sudah melakukan

hubungan intim layaknya suami istri. maka dinyatakan Termohon bukan istri

yang nuysuz. Sehingga Termohon berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.

Mengenai pertimbangan hukum yang dijadikan sebagai penguat alasan

Majelis Hakim dalam memberikan keputusannya, sebagai berikut :

- Tentang alasan-alasan perceraian sebagai berikut :

Surat Al Baqarah ayat 227 serta pasal 19 (f) PP No. 9 Tahun 1975 Tentang

Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal 116

huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.

- Tentang pemberian mut’ah sebagai berikut :

Surat Al Baqarah ayat 241, pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan dan pasal 149 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam.

- Tentang pemberian nafkah iddah

Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 149

huruf (b) Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Syarqowi’Alat Tahrir Juz IV;

349 sebagai berikut :

“Dan wajib nafkah untuk perempuan dalam iddah, jika ada dalam

talak raj’i, karena perempuan tersebut masih menjadi tanggungan dan

masih tetap di dalam kekuasan bekas istrinya”.

- Tentang Nafkah yang tidak diberikan pada saat pernikahan

Page 79: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

66

Untuk gugatan rekonvensi Termohon mengenai nafkah kiswah selama 2

tahun 5 bulan yang tidak diberikan oleh Pemohon Majelis Hakim tidak

mengabulkannya, karena, gugatan dianggap tidak jelas mengenai dasar

hukum, serta fakta peristiwa hukum dan seharusnya di dalam petitum

gugatan dibuat secara terperinci yang bersambungan dengan posita

gugatan sehingga gugatan menjadi sempurna. Karena gugatan rekovensi

Termohon tidak jelas (obscuur libel) sebagaimana tersebut di atas, maka

gugatannya tidak dapat diterima.

Dari beberapa pertimbangan hukum tersebut Pengadilan Agama

Mungkid Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd memberikan amar putusan yaitu

Termohon dijatuhkan talak raj’i, diberikan nafkah iddah dan mut’ah, yang

mana pemberian tersebut Majelis Hakim berlandasan dengan talak raj’i.

Maka dengan petimbangan hakim serta amar putusannya penulis

berpendapat bahwasanya Majelis Hakim tingkat pertama menyamakan

pernikahan tersebut sebagai pernikahan ba’da dukhul, yang mana pendapatnya

yaitu melihat sebelum terjadinya pernikahan keduanya sudah melakukan

hubungan intim (bersetubuh) hal ini merupakan sependapat dengan mazhab

Hanafi yang memberikan pemahaman tentang makna asli dari nikah itu adalah

bersetubuh sedangkan makna nikah secara majazinya adalah akad.2 Maksud

kata bersetubuh disini bahwasanya seorang laki-laki dan perempuan sudah

melakukan persebutuhan sebelum adanya akad nikah contohnya seperti hamil

diluar nikah maka menurut mazhab Hanafi perbuatannya tersebut sudah

dikatakan pernikahan. Sehingga apabila keduanya bercerai mantan suami

tersebut tidak boleh menikah dengan anak hasil persetubuhannya.

Sedangkan dalam Putusan Tingkat Banding perkara Nomor

161/Pdt.G/PTA.Smg bahwasanya Majelis Hakim dalam pertimbangannya

yaitu walaupun melihat sebelum adanya pernikahan sudah melakukan

hubungan intim (berzina) dan juga melihat setelah adanya pernikahan tidak

melakukan hubungan intim layaknya saumi istri, namun hakim memberikan

2 Ahmad Sarwat, ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan, (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2019), h. 4

Page 80: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

67

keputusannya yaitu merujuk setelah adanya pernikahan sehingga

pernikahannya tersebut dinyatakan sebagai pernikahan qobla dukhhul. Maka

dengan petimbangannya tersebut penulis berpendapat bahwasanya Majelis

Hakim tingkat banding sependapat dengan mazhab Syafi’i yang memberikan

pemahaman tentang makna nikah secara hakiki adalah akad sehingga

pertimbangannya yaitu melihat setelah adanya perkawinan dengan akad yang

sah, sedangkan makna nikah secara majazinya adalah bersetubuh Majelis

Hakim tidak melihat sebelum adanya pernikahan.3 Sehingga apabila laki-laki

yang berzina dengan perempuan yang kemudian hamil di luar nikah maka

anak hasil persetubuhan tersebut dibolehkan menikah dengan bapaknya.

Perbedaan pertimbangan tersebut yang kemudian di hubungankan

dengan pendapat kedua mazhab yakni mahzab Hanafi dan mazhab Syafi’i.

Apabila penulis memakai pendapat mahzab Hanafi yang menyatakan

bahwasanya makna nikah aslinya adalah bersetubuh, maka akan menimbulkan

banyak kemudharatan seperti diantaranya pada kasus ini melihat sebelum

adanya pernikahan antara Pemohon dan Termohon sering melakukan

perbuatan keji (berzina). Hal tersebut merupakan perbuatan haram yang

dilarang oleh Agama serta mendapatkan dosa besar. Bahkan di dalam Al-

Qur’an surat Al-Isra ayat 32 menjelaskan mengenai zina bahwa janganlah

kamu mendekati zina atau yang berhubungan degan zina dan membawa

kepada perbuatan zina apalagi sampai melakukannya (berzina) Karena, selain

mendapatkan dosa besar juga akan mendatangkan banyak bencana, antara

lain: pertama, apabila seseorang melakukan perbuatan zina sehingga hamil

diluar nikah, maka anak tersebut tidak mempunyai nasab ke ayah biologisnya

sehingga terhalangnya untuk menjadi wali serta tidak memiliki hak pewaris.

Kedua, penularan penyakit yang berbahaya yaitu penyakit kelamin seperti

AIDS. Ketiga, seorang perempuan yang diketahui telah berzina, maka harga

dirinya akan hancur di mata orang lain.

3 Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,

Fiqih Imam Syafi’i 2, (Jakarta: almahira, 2010), Cet. 1, h. 490-450.

Page 81: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

68

Maka melihat dari pendapat mazhab Hanafi banyaknya terjadi

kemudharatan, dengan ini penulis setuju dengan putusan tingkat banding yang

sependapat dengan mazhab Syafi’i, yang menjelaskan bahwa kebolehan

berhubungan seksual dilakukan setelah adanya akad dengan menggunakan

lafaz inkah atau lafaz tazwij atau dengan menggunakan kalimat yang sama

maksudnya dengan kedua kalimat tersebut. Maka dengan itu apabila laki-laki

dan perempuan melakukan wat’i (bersetubuh) belum dinyatakan pernikahan

dan bahkan diharamkan sebelum adanya akad. Begitu juga di dalam

Kompilasi Hukum Islam telah diterapkan mengenai makna nikah yaitu akad

terdapat pada pasal 2 bahwasanya perkawinan menurut hukum Islam adalah

pernikahan dengan akad yang sangat kuat atau mitsaqqan ghalidzan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Begitu juga

sesuatu yang bergantung dengan akad akan terdapat kemaslahatan baik di

dunia maupun di agama seperti menjaga kehormatan perempuan, menahan

nafsu dari zina dan memperbanyak ibadah kepada Allah dan Rasulnya.

Kemudian penulis melihat dari dua sudut pandang yang berbeda yaitu

dari sebelum terjadinya pernikahan hingga setelah terjadinya pernikahan

melihat jangka waktu pada saat Termohon melahirkan anaknya pada tanggal

18 Agustus 2013 sedangkan menikah dengan Pemohon pada tanggal 12 juni

2014 maka jangka waktu tersebut adalah 11 bulan. kemudian setelah menikah

keduanya sudah menjadi suami istri yang dihalalkan untuk berhubungan intim.

Namun, hal tersebut tidak terjadi dan keduanya juga tidak tinggal bersama

hingga jangka waktu 2 tahun 5 bulan. Maka dengan itu walaupun keduanya

sebelum menikah sudah pernah melakukan persetubuhan, namun keduanya

belum terikat dengan akad pernikahan yang sah dan kemudian juga melihat

jangka waktu yang cukup panjang sudah tidak berhubungan intim Termohon

sebagai istri telah bersih rahimnya dan sudah tidak ada benih yang tersisa dari

Pemohon. sehingga pernikahan tersebut dinyatakan sebagai pernikahan qobla

dukhul.

Bahwa setelah menikah istri belum digauli oleh suaminya/qobla

dukhul, apabila terjadinya perceraian maka talak yang dijatuhkan adalah talak

Page 82: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

69

bain sughra. Talak bain sughra adalah talak yang menghilangkan hak rujuk

terhadap mantan istri, apabila suami ingin rujuk kembali dengan mantan

istrinya maka harus melakukan akad nikah baru. Hal ini telah sesuai dengan

Kompilasi Hukum Islam Pasal 119 ayat 1 yang menerapkan tentang talak bain

sughra, sedangkan pada ayat selanjutnya yang termasuk di dalam talak bain

sughra diantaranya yaitu talak yang terjadi qobla dukhul. Kemudian istri yang

dicerai dan dinyatakan qobla dukhul tidak diwajibkan untuk menjalankan

masa iddah. Hal ini telah di terapkan di dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 49 sebagai

berikut :

وهن فما لكم عليهن يا أي ها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ث طلقتموهن من ق بل أن تس

ون ها ة ت عتد من عد

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-

perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu

mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang

kamu minta menyempurnakannya”.

Di dalam Hukum Positif Indonesia yaitu UU No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan pasal 11 yang diatur di dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal

39 ayat 3, menjelaskan tidak adanya masa Iddah bagi perempuan (istri) yang

putus perkawinan karena perceraian sedang antara perempuann (istri) tersebut

dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.

Diterapkan juga di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 153 ayat 1

dan 3 yang menjelaskan bahwasanya masa iddah berlaku bagi istri yang

diceraikan suaminya ba’da dukhul. Kemudian untuk istri yang diceraikan

suaminya qobla dukhul tidak berlakunya untuk mejalankan masa iddah.

Karena bahwasanya iddah berlaku dengan adanya sebab diantaranya

seseorang yang sudah terikat sebuah perkawinan, yang kemudian terjadinya

putus perkawinan baik ditinggal mati atau perceraian karena terjadinya

Page 83: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

70

persetubuhan.4 Maka berlakunya iddah bagi mantan istri tersebut untuk tujuan

sebagai berkut:

1. untuk mengetahui apakah wanita tersebut sedang mengandung atau tidak

dari bekas suami.

2. untuk menjaga nasab agar tidak rusak.

Namun dalam perkara ini pengadilan Agama Mungkid yang

memberikan nafkah iddah dengan melihat bahwa antara Pemohon dan

Termohon sebelum terjadinya pernikahan sudah berhubungan intim layaknya

suami istri. Tetapi, menurut penulis hal tersebut belum terikat sebuah

perkawinan, sehingga tidak berlakunya untuk masa iddah, tidak adanya masa

iddah maka Pemohon tidak diwajibkan untuk memberikan nafkah iddah

kepada Termohon sebagai mantan istri. Karena, bahwasanya nafkah iddah

hanya berlaku untuk perempuan yang sedang menjalani masa iddah yang

dijatuhkan talak raj’i dikarenakan perempuan tersebut masih menjadi

tanggungan dan masih tetap di dalam kekuasaan bekas suaminya.

Mengenai Pemberian mut’ah yang pertimbangannya yaitu menurut

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 41 huruf c dan

Kompilasi Hukum Islam pasal 149 huruf (f) kemudian Majelis Hakim

mengemukakan firman Allah SWT dalam Q.S. Al Baqarah [2] ayat 241.

Menurut Penulis bahwa Majelis Hakim tingkat pertama sudah tepat

dalam amar putusannya memberikan mut’ah. Namun, penulis kurang

sependapat mengenai pertimbangan Majelis Hakim dalam pemberian mut’ah

melihat sebelum adanya pernikahan sudah berhubungan intim, yang kemudian

merujuk pada KHI pasal 149 huruf (a), yang menganggap pernikahannya

sebagai pernikahan ba’da dukhul. Karena, menurut penulis perbuatan yang

dilakukan antara Pemohon dan Termohon yaitu berhubungan intim,

bahwasanya belum terikat sebuah perkawinan, kemudian sesudah menikah

tidak berhubungan badan dengan jangka waktu cukup panjang seharusnya

pernikahan tersebut dinyatakan sebagai pernikahan qobla dukhul. Menurut

4 Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam

dan Hukum Materil. (Tangerang Selatan:Yasmi, 2018), h. 296.

Page 84: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

71

Kompilasi Hukum Islam pada pasal 158 huruf (b) mengenai pemberian

mut’ah secara umum berlaku bagi istri karena adanya perceraian dari suami.

Mut’ah tersebut dapat diberikan berupa uang atau benda yang tujuannya untuk

memberikan kesenangan sebagai penghibur.

Mengenai mut’ah dijelaskan secara umum di dalam Q.S. Al-Baqarah

[2] ayat 241 sebagai berikut :

ا على المتقي وللمطلقات متاع بالمعروف حق

“kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh

suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-

orang yang bertakwa” .

Sedangkan dalam pemberian mut’ah yang dijelaskan secara khusus

untuk istri yang dicerai qobla dukhul. Menurut para ulama telah sepakat

bahwa istri yang dicerai qobla dukhul sedangkan suami sudah menyebutkan

besar maharnya pada saat akad namun belum diberikan maka suami wajib

memberikan setengah mahar. Hal ini telah diterapkan di dalam Kompilasi

Hukum Islam pasal 35 ayat 1 tentang mahar “Suami yang mentalak istrinya

qobla dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam

akad nikah”.

Namun, apabila belum menyebutkan besar maharnya maka suami

harus memberikan uang mut’ah sesuai dengan kemampuannya.

Adapun Istri yang dicerai qobla dukhul telah diterapkan secara jelas

tentang pemberian mut’ah di dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 236 sebagai

berikut:

وهن أو ت فرضوا لن فريضة عوهن على ل جناح عليكم إن طلقتم النساء ما ل تس ومت

ا على المحسني الموسع قدره وعلى المقت قدره متاعا بالمعروف حق

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu

menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan

sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu

mut’ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut

kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu

Page 85: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

72

pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi

orang-orang yang berbuat kebajikan”.

Menurut Hukum Positif Indonesia yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan tidak menjelaskan mengenai mut’ah, namun hanya

dijelaskan secara umum saja yaitu mengenai kewajiban suami untuk

memberikan biaya penghidupan terhadap bekas istrinya, yang diterapkan di

pasal 41 ayat 3.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam tidak diterapkan mengenai

pemberian mut’ah bagi istri yang dicerai qobla dukhul. Namun hanya untuk

istri yang dicerai ba’da dukhul yanga terdapat pada pasal 158 huruf (a) yang

menjelaskan pemberian mut’ah diberikan kepada istri yang diceraikan ba’da

dukhul dikarenakan suami belum memberikan mahar kepada istrinya, yang

kemudian pada pasal selanjutnya pasal 160 pemberian mut’ah kepada istri

yang dicerai ba’da dukhul dinyatakan hukumnya sunnah. Sedangkan pada

pasal 158 Kompilasi Hukum Islam pemberian mut’ah tidak berlaku untuk istri

yang diceraikan dalam keadaan qobla dukhul. Namun, maksud dari pasal 158

tersebut tidak berlaku bagi istri yang tidak mau menyerahkan diri kepada

suaminya seperti menolak untuk digauli.

Sedangkan permasalahan dari penelitian ini yakni suami yang bersifat

tidak mau rukun yang tidak mau menggauli istrinya. Maka apabila suami

tersebut belum menyerahkan mahar hingga terjadinya perceraian maka suami

harus memberikan mut’ah sesuai dengan kemampuannya.

Mengenai gugatan rekovensi yaitu nafkah istri yang tidak diberikan

selama 2 tahun 5 bulan menurut Majelis Hakim bahwa gugatan penggugat

dinyatakan tidak jelas /kabur karena tidak mencantumkan fakta peristiwa

hukum dan tidak mencantumkan tuntutan secara terperinci didalam gugatan

rekovensi sehingga dinyatakan gugatan tidak dapat diterima. Menurut penulis

bahwa Majelis Hakim tingkat pertama kurang teliti dalam memberikan

pertimbangannya. Karena menurut penulis waalaupun gugatan penggugat

tidak menguraikan tuntutannya secara terperinci di dalam gugatan

rekonvensinya. Namun, di dalam posita tuntutan tersebut berdasarkan atas

Page 86: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

73

posita perkara cerai talak yang diajukannya Pemohon dalam perkara konvensi

yaitu hal-hal tentang perkawinan yang mereka alami. Demikian posita yang

melandasi tuntutan Termohon adalah posita Pemohon konvensi yang termuat

dalam perkara cerai talak yang tidak dibantak oleh termohon konvensi dalam

perkara konvensi. Dan begitu juga menurut hukum Islam serta Hukum positif

Indonesia bahwa Seorang suami yang menceraikan istrinya maka akan

menimbulkan sebuah akibat dari perceraian tersebut, diantaranya adalah

pemberian nafkah iddah dan mut’ah yang harus diberikan, namun ada juga

nafkah madhiyah yaitu pada saat pernikahan suami tidak menjalankan

kewajibannya sehingga istri tidak mendapatkan haknya. Adapun hak istri yang

harus dipenuhi yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan dalam pasal 34 ayat 1 yakni suami wajib melindungi

istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga

sesuai dengan kemampuannya, yang dijelaskan secara rinci di dalam KHI

pasal 80 ayat 4 huruf a meliputi sandang (makanan), papan (pakaian), dan

pangan (tempat tinggal).

Suami diberikan derajat lebih tinggi dari perempuan yaitu sebagai

pemimpin, yang mana seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab yang

besar yakni menafkahi keluarganya. Hal ini telah diatur di dalam pasal 79 ayat

1 KHI kemudian ditegaskan bahwa suami adalah kepala keluarga sesuai

firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa [4] ayat 34 sebagai berikut :

ل الله ب عضهم على ب عض وبا أن فقوا من أموالم الرجال ق وامون على النساء با فض

“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena

Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang

lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian

dari harta mereka”.5

Untuk pemberian nafkah terdapat di dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat

233 sebagai berikut:

5 Zubair Ahmad, Relasi Suami Istri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN

Syarif Hidayatullah), h. 63.

Page 87: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

74

لتكلف ن فس الوسعهاوعلى المولود له رزق هن وكسوت هن بالمعروف

“dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu

dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebeni melainkan menurut kadar

kesanggupannya”.

Maka nafkah yang harus diberikan yaitu sesuai dengan kemampuan

suami, apabila suami melalaikan kewajibannya dikarenakan suami tidak

mampu, maka nafkah yang tidak dibayar menjadi hutang suami, lalu apabila

istri mengajukan gugatan ke Pengadilan untuk meminta haknya. maka hutang

tersebut tidak gugur tetap harus dibayar sesudah suami mampu kecuali istri

memaafkan atau menggugurkan haknya.

Namun, dapat dilihat terlebih dahulu suami harus memberikan

kewajibannya apabila istri telah memenuhi syarat yaitu istri sudah tamkin. Hal

ini diterapkan di dalam KHI pasal 80 ayat 5 “Kewajiban suami terhadap

istrinya seperti pada ayat 4 huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada

tamkin sempurna dari istrinya”.

Begitu juga Jumhur Ulama memberikan penjelasan mengenai

kewajiban suami yang memberikan nafkah kepada istrinya yang dapat disebut

sebagai tamkinnya istri sebagai berikut: 6

- Istri menyerahkan dirinya walaupun belum digauli oleh suaminya. Seperti

istri mau tinggal bersama dengan suaminya.

- Isri sudah dewasa. Dan sudah pantas untuk berhubungan seksual.

- Pernikahannya sesuai dengan rukun dan syarat yang sah.

- Istri taat kepada suaminya tidak nuysuz, kalau suami yang nuysuz maka

nafkah istri tidak gugur.

Maka menurut penulis Termohon sebagai istri sudah masuk diantara

syarat-syarat tersebut. karena Pernikahan Pemohon dan Termohon sesuai

dengan syarat dan rukun yang sah. Walaupun Termohon belum digauli oleh

6 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam , (Jakarta, Prenada

Media, 2003), h. 217

Page 88: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

75

Pemohon sebagai suaminya bukan merupakan kehendak Termohon sendiri.

Namun, hal itu Pemohon sebagai suami yang nuysuz dikarenakan

meninggalkan kewajiban suami terhadap istri yaitu kewajiban yang bersifat

materi (nafkah) dan kewajiban secara kebersamaan (menggauli istrinya).7

Maka suami yang nuysuz dan Termohon dinyatakan sebagai istri yang tamkin

dan tidak nuysuz. Sehingga gugatan rekovensi mengenai nafkah yang tidak

dibayar selama 2 tahun 5 bulan seharusnya dapat diterima dan nafkah tersebut

menjadi hutang pemohon yang harus dibayar kepada Termohon.

B. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor

161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.

Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor

161/Pdt.G/2017/PTA.Smg yang membatalkan Putusan Pengadilan Agama

Mungkid Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd akan memberikan pertimbangan

sendiri. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama mempertimbangkan bahwa

Pembanding dan Terbanding setelah menikah tidak tinggal bersama dan juga

belum berhubungan intim layaknya suami istri dengan jangka waktu yang

cukup panjang yaitu 2 tahun 5 bulan sehingga dengan jangka waktu tersebut

rahim Terbanding telah bersih maka Terbanding tidak perlu menjalankan masa

iddah dan talak yang dijatuhkan seharusnya adalah talak satu yaitu talak bain

sughra, begitu juga Terbanding berhak mendapatkan nafkah mut’ah karena

walaupun Terbanding belum digauli oleh suaminya namun hal tersebut atas

kemauan Pembanding yang enggan menggauli istrinya yang kemudian

diceraikan, maka sudah sepatutnya Terbanding diberikan mut’ah. Kemudian

nafkah yang tidak diberikan oleh Pembanding terhadap Terbanding selama 2

tahun 5 bulan Majelis Hakim tingkat banding menerima gugatan tersebut

karena Terbanding sebagai istri tidak nuysuz dan tamkin.

Mengenai pertimbangan di atas tersebut Majelis Hakim Pengadilan

Tinggi Agama Semarang memberikan landasan hukum sebagai berikut :

7 Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam

dan Hukum Materil. (Tangerang Selatan:Yasmi, 2018), h. 115.

Page 89: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

76

- Majelis Hakim berpendapat mengenai masa iddah menurut Sayid Sabiq

dalam Kitab Fiqhus Sunnah Juz II halaman 227 sebagai berikut:

“untuk mengetahui bersihnya rahim istri yang dicerai (dari benih

suaminya) sehingga tidak bercampur dengan benih nasab yang lain”.

- Majelis Hakim berpendapat menurut Sayid Sabiq dalam bukunya

Fiqhussunah Juz II halaman 159 sebagai berikut :

“dan dia beberapa riwayat, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda

sesungguhnya (biaya untuk) tempat tingal dan nafkah selama masa iddah

adalah bagi istri (yang ditalak suaminya) yang suaminya mempunyai hak

rujuk padanya”.

- Kompilasi Hukum Islam pasal 153 ayat 1 Tentang Iddah.

- Al Qur’an Surat Al Ahzab ayat 49, dan Kompilasi Hukum Islam pasal 149

huruf a dan pasal 1 huruf j tentang Mut’ah.

- Kompilasi Hukum Islam Pasal 119 ayat 1 Tentang Talak Bain Sughra.

- Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 4 Tentang Nafkah.

- Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 5 dan pasal 84 ayat 2 tentang

syarat seorang istri mendapatkan nafkah.

- Majelis Hakim berpendapat mengenai nafkah yang tidak diberikan selama

2 tahun 5 bulan yang disebut sebagai nafkah madhiyah, dalam kitab

Muhadhab Juz II halaman 75 sebagai berikut :

“jika istri tamkin yang mewajibkan suami memberi nafkah, dan suami

tidak juga memberi nafkah lewat beberapa waktu, (kewajiban) memberi

nafkah menjadi hutang yang merupakan jadi tanggung jawab suami

(untuk membayarnya) dan tidak gugur dengan lewatnya waktu”.

Dari beberapa pertimbangan hukum tersebut Pengadilan Tinggi Agama

Semarang Nomor 161/Pdt.G/20167/PTA.Smg memberikan amar putusan yaitu

Terbanding dijatuhkan talak satu/bain sughra, kemudian diberikan mut’ah

serta diberikan nafkah madhiyah.

Mengenai pertimbangan dan amar putusan menurut penulis Majelis

Hakim tingkat banding sudah benar telah sesuai dengan hukum Islam dan

Page 90: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

77

Hukum Positif Indonesia. Namun, menurut penulis ada beberapa landasan

hukum yang seharusnya dijadikan sebagai penguat dari pertimbangan hukum

tersebut yang mana tidak dipakai oleh Majelis Hakim, diantaranya adalah

tentang iddah, istri yang belum digauli oleh suaminya/qobla dukhul kemudian

terjadinya perceraian, maka istri tidak diwajibkan untuk menjalankan masa

iddah, hal ini sesuai dengan hukum Islam di dalam Q.S. Al-Ahzab [33] ayat

49 sebagai berikut:

وهن فما ل كم عليهن يا أي ها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ث طلقتموهن من ق بل أن تس

ون ها ة ت عتد من عد

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-

perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu

mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang

kamu minta menyempurnakannya.

Kemudian terdapat juga di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan pasal 11 yang diatur di dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal

39 ayat 3, mengenai iddah bagi perempuan yang diceraikan suaminya

sedangkan antara keduanya belum pernah terjadi hubungan intim layaknya

suami istri/qobla dukhul maka tidak adanya masa iddah yang harus dijalankan.

Mengenai mut’ah Majelis Hakim tingkat banding hanya memberikan

pertimbangan hukum secara khusus saja, namun penulis berpendapat untuk

menyinggung secara umum terlebih dahulu yang kemudian dijelaskan secara

khusus. Mengenai mut’ah secara umum terdapat di dalam Kompilasi Hukum

Islam pada pasal 158 huruf (b) “ mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami

dengan syarat perceraian itu atas kehendak suami”. Dan juga terdapat di dalam

Q.S. Al Baqarah [2] ayat 241 sebagai berikut :

ا على المتقي وللمطلقات متاع بالمعروف حق

“kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh

suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-

orang yang bertakwa” .

Page 91: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

78

Maka dapat di pahami bahwa suami yang menceraikan istrinya

hendaklah untuk memberikan mut’ah. kemudian dijelaskan secara khusus

yaitu tentang pemberian mut’ah dilihat terlebih dahulu bagaimana keadaan

istri tersebut apakah istri yang sudah digauli atau kepada istri belum digauli.

Karena setiap keadaan istri berbeda dalam pemberian mut’ah. Di dalam

pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat banding menjelaskan bagi istri

yang belum digauli kemudian istri belum diberikan mahar maka menurut Al-

Qur’an surat Al Baqarah ayat 264 suami diwajibkan untuk memberikan

mut’ah sesuai dengan kemampuan suami. Maka menurut Penulis Majelis

Hakim tingkat banding sudah benar dalam memberikan pertimbangan hukum.

Page 92: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

79

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Uraian dan analisis di atas pada bab-bab terdahulu, maka penulis dapat

memberikan kesimpulan bahwa :

1. Apabila terjadinya perceraian namun suami istri belum sempat berhubungan

badan/qobla dukhul Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 119 talak yang

dijatuhkan adalah talak bain sughra. Kemudian istri yang dicerai qobla dukhul

menurut hukum Islam Al Qur’an surat Al Ahzab ayat 49 tidak adanya

kewajiban untuk beriddah, juga diterapkan di Undang-Undang No 1 tahun

1974 Tentang Perkawinan pasal 11 yang dijelaskan di PP No. 9 Tahun 1975

pasal 39 ayat 2, dan Kompilasi Hukum Islam pasal 153 ayat 1 dan ayat 3.

Kompilasi Hukum Islam pasal 158 huruf b bahwasanya Pemberian mut’ah

diberikan setiap istri yang diceraikan oleh suaminya, sedangkan pemberiannya

mut’ah bagi istri yang dicerai qobla dukhul menurut Hukum Islam Al-Qur’an

surat Al Baqarah ayat 236 dan juga menurut Jumhur Ulama apabila pada saat

pernikahan belum sempat memberikan mahar pada saat akad pernikahan maka

suami memberikan mut’ah sesuai dengan kemampuannya, namun kalau sudah

ditentukan mahar maka hanya memberikan setengah mahar kepada istrinya.

Mengenai pemberian nafkah yang harus ada di dalam sebuah pernikahan

merupakan kewajiban suami yang diatur secara umum di dalam Undang-

Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 34 dan terdapat juga di

dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 4 huruf a yang diatur secara

khusus dan rinci mengenai kewajiban suami tersebut seperti makanan,

pakaian, dan tempat tinggal. Namun kewajiban suami tersebut dapat berlaku

setelah adanya tamkin dari istri. Adapun syarat-syarat tamkin istri dinataranya

adalah adanya pernikahan yang sah, istri sudah digauli, dan istri tidak nuysuz.

Apabila istri sudah memenuhi syarat-syarat tersebut apabila suami tidak

memberikan kewajiban maka nafkah tersebut menjadi hutang yang harus

dibayar.

Page 93: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

80

2. Penelitian ini dalam kasus istri yang diceraikan qobal dukhul namun

sebelumnya sudah berzina, penulis lebih memakai pendapat mazhab Syafi’i

yang menyatakan makna nikah aslinya akad, karena dengan akad tersebut

banyak mengandung kemaslahatan, sedangkan apabila memakai pendapat

mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa makna nikah arti aslinya bersetubuh,

yang mana dengan makna bersetubuh tersebut terdapat banyak kemudharatan.

Putusan tingkat pertama yang melihat sebelum adanya pernikahan sudah

berhubungan intim (bersetubuh) pernikahannya tersebut disamakan sebagai

pernikahan ba’da dukhul. Pernikahan ba’da dukhul apabila terjadinya

perceraian talak yang dijatuhkan adalah talak raj’i serta berlakunya masa

iddah dan adanya pemberian nafkah iddah dan mut’ah. namun apabila dilihat

dari pendapat mazhab Syafi’i bahwasanya keduanya sebelum menikah sudah

berhubungan badan layaknya suami istri akan tetapi hal tersebut belum

terjadinya akad pernikahan yang sah. maka dengan itu Putusan Tingkat

Pertama telah keliru dalam memberikan pertimbangan dan keputusan.

Sedangkan putusan tingkat banding yang tidak melihat sebelum

adanya pernikahan yaitu sudah berzina namun Majelis Hakim melihat setelah

adanya akad pernikahan yang sah dan keduanya tidak tinggal bersama serta

tidak terjadinya hubungan intim layaknya suami istri, sehingga pernikahan

yaitu disamakan sebagai pernikahan qobla dukhul yang kemudian termohon

dijatuhkan talak bain sughra, dan diberikannya mut’ah. dan juga majelis

hakim menyatakan termohon sebagai istri yang tamkin dan tidak nuysuz

berhak mendapatkan nafkah yang tidak dibayar selama pernikahan yaitu

nafkah madhiyah. Maka dengan pertimbangan serta amarnya majelis hakim

dinyatakan telah sesuai dengan pendapat mazhab Syafi’i dan juga telah sesuai

dengan hukum islam dan hukum positif.

B. Saran

Berdasarkan hasil analisis terhadap masalah yang penulis

paparkan, maka dapatlah disampaikan beberapa saran sebagai berikut :

Page 94: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

81

1. Kepada Pemerintah diharapkan untuk membuat peraturan perundang-

undangan secara rinci mengenai kewajiban suami yaitu tentang nafkah

serta hukuman bagi suami yang tidak menjalankan kewajibannya.

Karena permasalahan kewajiban suami sangat penting dan inti di

dalam sebuah keluarga agar berjalan dengan baik dan harmonis.

2. Kemudian juga diharapkan untuk membuat peraturan perundang-

undangan secara khusus dan rinci mengenai hak istri akibat putusnya

perkawinan yaitu tentang mut’ah, serta pemberian mut’ah bagi istri

yang qobla dukhul. Karena hal tersebut untuk penghibur bekas istri

yang telah diceraikan oleh suaminya.

3. Pengadilan agama merupakan sebuah lembaga yang memberikan

keputusan mengenai perkawinan diantaranya adalah perceraian. Maka

dapat diharapkan Kepada hakim pengadilan agama untuk lebih teliti

dan menggali lebih dalam untuk memberikan pertimbangan hukum

serta keputusannya. Sehingga pihak-pihak yang berperkara tidak

merasa dirugikan.

4. Kepada masyarakat khususnya bagi yang sudah menikah yaitu suami

istri untuk lebih sadar hukum serta lebih memahami mengenai hak dan

kewajiban masing-masing. Maka dapat dilakukannya

seminar/penyuluhan tentang undang-undang perkawinan dan aturan-

aturan lainnya.

Page 95: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

82

DAFTAR PUSTAKA

AbdShomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia.

Jakarta: Kencana, 2017.

Abdulullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum

Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, Cet pertama , 1994.

Abdurrahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.

Ahmad, Zubair, Relasi Suami Istri Dalam Islam. Jakarta: Pusat Studi Wanita Uin

Syarif Hidayatullah , 2004.

Al-Habsyi, M. Bagir, Fiqih Praktis. Bandung: Mizan, 2002.

Ali, Moh Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam

dan Hukum Materil. Tangerang Selatan:Yasmi, 2018.

Amir, Muhammad bin Ismal, Subulussalam. Juz 3, Kairo: Dar Al Hadits, 2007.

Anwar, Alfina Sauqi, penetapan nafkah iddah terhadap istri qabla ad-dukhul

perspektif maslahah (studi kasus putusan mahkamah agung nomor 561

K/Ag/2017). Surakrta: Skripi institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2019.

Arifin, Gus, Menikah untuk Bahagia. Cet. 4, Jakarta: PT Elex Media Komputindo,

2013.

Arifin, Gus dan Sundus Wahidah, Fikih Wanita, (Jakarta: PT Elex Media

Komputindo, 2018

Arifin, Zaenal dan Muh. Anshori, Fiqih Munakahat. Yogyakarta: CV.Jaya Star Nine,

2019.

Page 96: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

83

ar-Riyadh, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu

Katsir/Muhammad Nasib ar-Riyadh. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Asmawi, Muhammad, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan. Cet. 1,

Yogyakarta: Darussalam, 2004.

As-Subki, Ali Yusuf, Fikih Keluarga. Cet. 1, Jakarta: Amzah, 2010.

Bagir, Muhammad, Fiqih Praktis II. Bandung: Karisma, 2008.

Bunyamin, Mahmudin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam. Cet.1,

Bandung: CV Pustaka Setia, 2017.

Dahlan, Fikih Munakahat. Yogyakarta: Deepublish, 2015.

Dyana, Burhanutut, Hak-hak Istri Pasca Cerai Talak Raj’i (Analisis Perbandingan

Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn

dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor

154/Pdt.G/2014/PA.Bjn). Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.

Fajriani, Rika nur, Tinjaun hukum islam tentang pemberian mut’ah kepada istri qobla

dukhul (analisis putusan pengadilan agama kudus

no.535/Pdt.G/2007/PA.Kds), thesis, semarang, institut agama islam

walisongo, 2010.

Faridh, Miftah, Masalah Nikah Keluarga. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Fauziah, Fani Yulianti, Tinjauan hukum islam mengenai gugatan terhadap nafkah

lampau anak yang dilalaikan ayahnya (studi putusan mahkamah agung RI

Nomor 608K/AG/2003). Purwokerto: Skripsi institut agama islam negeri

purwokerto, 2015.

Ghozali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.

Page 97: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

84

Hamida, Titik, Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender. Malang: UIN

Maliki Press, 2011.

Hamidy, Muammal, Imron dkk, Terjemah Nailul Authar Jilid 5. Surabaya: PT. Bina

Ilmu.

Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Prenada

Media, Edisi pertama, 2003.

Hermanto, Agus, Larangan Perkawinan. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books,

2016.

Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

Karim, Muslih Abdul, Keistimewaan Nafkah Suami&Kewajiban Istri. Jakarta:

Qultum Media, 2007.

Lubis, Sulaikin dan Wismar Ain Marzuki, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan

Agama di Indonesia. Cet. ke 3, Jakarta: Kencana, 2008.

Manshur, Abd al-Qadir, Fikih Wanita. Cet pertama, Jakarta, Zaman, , 2009.

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2016.

Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan

bintang,.

Mulyadi, Elie, Buku Pintar Membina Rumah Tangga yang Sakinah, Mawwadah,

Warahmah Bimbingan Mamah Dedeh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2010.

Na’mah, Ulin, Cerai Talak. Cet.1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Page 98: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

85

Nasohah, Zani, perceraian Hak Wanita Islam. Kuala Lumpur: Ingin Tahu Agama,

2002.

Nasution, Hotnidah, Relasi suami istri dalam islam. Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN

Syarif Hidayatullah.

Proyek Pembinaan prasarjana dan sarana perguruan tinggi agama /IAIN di Jakarta,

Ilmu Figih Jilid II Cet ke 2, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan

Agama Islam, 1984/1985.

Putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd.

Putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.

Qadir, Abdul, Keluarga Sakinah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, Cet pertama, 1995.

Ramaningsih, Putri Permata, Sistem Pemberian Nafkah (Studi Masyarakat di

Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto). Jakarta: Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah, 2018.

Redaksi New Merah, Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Yogyakarta: New Merah Putih Anggota Ikapi, Cet. 1, 2009.

Salim, Abu Malik Kamal ibn as-Sayyid, Fikih Sunnah Wanita. Jakarta: Qisthi Press,

2013.

Sarwat, Ahmad, Ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan. Jakarta: Gremedia

Pustaka Utama 2019.

Shihab, Quraish, Fiqih Praktis II: Menurut Al Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat

Para Ulama. Bandung: Karisma, 2008.

Page 99: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

86

Subhan, Zaitunah, Al-Qur’an & Perempuan Menuju Kesehatan Gender dalam

Penafsira. Jakarta: Kencana, 2015.

Sudarto, Ilmu Fikih. Cet. Pertama, Yogyakarta: CV. Budi Utama, , 2018.

Syarifuddin, Amir Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta :Kencana, 2003.

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2009

Tim Redaksi Bi, Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: BIP Kelompok Gramedia,

2017.

Tim Redaksi Nuansa, Kompilasi hukum islam (KHI). Cet. 6, Bandung: CV. Nuansa

Aulia, 2015.

Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo Setiady, Metodologi Penelitian Sosial. Cet.1,

Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.

Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita. Cet. 24, Jakarta: Pustaka Al

Kautsar, 2007.

Wafa, Moh Ali, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam

dan Hukum Materil. (Tangerang Selatan:Yasmi, 2018

Wahyudi, Muhammad Isna, Fiqih Iddah Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta:

Pustaka Pesantren, Cet pertama, 2009.

Zuhaili, Wahbah, Al-fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,

Fiqih Imam Syafi’i 2, Jakarta: almahira, Cet. 1, 2010.

Page 100: NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA (Analisis Putusan

87

Zulaekah, Siti, Aanalisis Pelaksanaan Pemberian Nafkah Mantan Istri Akibat Cerai

Talak (studi Kasus di Pengadilan Agama Semarang Tahun 2015). Semarang:

Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016.