naa

73
PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO Oleh: YAYU ALITALIA A34304025 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Upload: jamilatus-sadiyah

Post on 26-Sep-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kultur

TRANSCRIPT

  • PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA

    TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

    TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis)

    SECARA IN VITRO

    Oleh:

    YAYU ALITALIA

    A34304025

    PROGRAM STUDI HORTIKULTURA

    FAKULTAS PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2008

  • RINGKASAN

    YAYU ALITALIA. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA Terhadap

    Pertumbuhan dan Perkembangan Tunas Mikro Kantong Semar (Nepenthes

    Mirabilis) Secara In Vitro. (Dibimbing oleh DINY DINARTI)

    Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis dan konsentrasi

    zat pengatur tumbuh BAP dan NAA yang sesuai untuk pertumbuhan dan

    perkembangan tunas mikro kantong semar (Nepenthes mirabilis) secara in vitro.

    Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 hingga Maret 2008 di

    Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura,

    Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

    Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua

    faktor yaitu konsentrasi BAP dan NAA pada media dasar yaitu MS. Faktor

    pertama adalah BAP yang terdiri dari empat taraf konsentrasi, yaitu 0; 0.5; 1.0

    dan 2.0 ppm. Faktor kedua adalah NAA dengan empat taraf konsentrasi, yaitu 0;

    0.1; 0.2 dan 0.5 ppm. Penelitian ini terdiri dari 16 kombinasi perlakuan masing-

    masing diulang sebanyak 10 kali, sehingga terdapat 160 satuan percobaan dengan

    1 eksplan untuk setiap satu satuan percobaan (1 botol kultur).

    Pengamatan dilakukan setiap hari dan minggu selama 16 minggu setelah

    tanam. Peubah yang diamati setiap hari yaitu: waktu inisiasi tunas, waktu inisiasi

    daun, waktu inisiasi kantong dan waktu inisiasi akar. Peubah yang diamati setiap

    minggu yaitu: jumlah tunas, jumlah daun, jumlah kantong dan jumlah akar.

    Peubah yang diamati pada akhir pengamatan yaitu: panjang daun terpanjang,

    panjang akar terpanjang dan tinggi tanaman.

    Sidik ragam menunjukkan pengaruh BAP nyata terhadap inisiasi tunas dan

    inisiasi daun dan sangat nyata terhadap inisiasi kantong, panjang daun terpanjang

    dan tinggi tanaman. BAP memberikan pengaruh yang nyata pada 2 MST dan

    sangat nyata pada 3 hingga 16 MST terhadap jumlah tunas yang terbentuk. BAP

    juga memberikan pengaruh yang nyata pada 3 MST dan sangat nyata pada 4

    hingga 16 MST terhadap jumlah daun dan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah

    kantong pada 5-16 MST.

    NAA memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap panjang akar

    terpanjang, panjang daun terpanjang, tinggi tanaman dan jumlah akar pada 10

    hingga 16 MST. NAA memberi pengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada 3

    hingga 7 MST dan terhadap jumlah kantong pada 5 MST. NAA juga

    menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun pada 4 hingga 8 MST

    dan pengaruh nyata pada 9-14 MST dan 16 MST.

    Kombinasi antara BAP dan NAA hanya memberikan pengaruh sangat

    nyata terhadap panjang daun terpanjang (30.9 mm), jumlah tunas pada 2 MST (1.6

    tunas per eksplan) dan jumlah daun pada 4 MST (4.1 daun per eksplan).

  • PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA

    TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

    TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis)

    SECARA IN VITRO

    Skripsi sebagai salah satu syarat

    untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

    pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

    Oleh:

    Yayu Alitalia

    A34304025

    PROGRAM STUDI HORTIKULTURA

    FAKULTAS PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2008

  • Judul : PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP

    PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO

    KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO

    Nama : Yayu Alitalia

    NRP : A34304025

    Menyetujui,

    Dosen Pembimbing

    Ir. Diny Dinarti, MSi

    NIP. 131 999 963

    Mengetahui,

    Dekan Fakultas Pertanian

    Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.

    NIP. 131 124 019

    Tanggal Lulus :

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 13 maret 1986. Penulis merupakan

    putri pertama dari Bapak Lili Hanapi dan Ibu Aminah.

    Riwayat pendidikan penulis yaitu pada tahun 1998 lulus dari SD Negeri Puspanegara 03

    Citeureup-Bogor, pada tahun 2001 lulus dari SLTP Negeri 1 Cibinong-Bogor, pada tahun 2004

    lulus dari SMU Negeri 3 Bogor dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB

    melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Hortikultura.

    Selama kuliah penulis sempat menjadi panitia Festival Tanaman (FESTA) yang diadakan

    oleh Himpunan Mahasiswa Agronomi (Himagron) ke-XXVI (2005), FESTA ke-XXVII (2006),

    Panitia Pelatihan Terarium (2006) dan menjadi panitia pada Hard Launching Indo Flower

    Nursery IPB (2008). Pada tahun 2005 penulis juga mendapat kesempatan magang di Agrowisata

    Strawberry Petik Sendiri di Kurnia Strawberry Ciwidey, Bandung selama 1 bulan.

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat, rahmat

    dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

    Pengaruh Pemberian BAP dan NAA Terhadap Pertumbuhan dan

    Perkembangan Tunas Mikro Kantong Semar (Nepenthes Mirabilis) Secara

    In Vitro ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

    gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas

    Pertanian IPB.

    Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-

    besarnya kepada:

    1. Ir Diny Dinarti, MSi selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing

    skripsi atas bimbingan, kesabaran, motivasi dan waktu hingga

    terselesaikannya skripsi ini.

    2. Dr Ir Nurul Khumaida, MSi dan Ir Megayani Sri Rahayu, MS sebagai

    penguji atas masukan ilmu serta kritik dan sarannya.

    3. Papa dan Mama tercinta yang telah memberikan segala kasih sayang, doa

    dan cinta yang tidak akan pernah terbalaskan.

    4. M. Reza Cordova atas segala motivasi, semangat, bantuan dan dorongan

    yang telah diberikan.

    5. Urip Sayekti, atas semua arahan dalam pelaksanaan penelitian ini.

    6. Purnawati, Ardhanariswari, Rima dan Rini Riestiani atas semua bantuan

    dan waktu untuk saling berbagi suka dan duka.

    7. Melly, Aji, Hanna, Mbak Retno, Mbak Ella, Doni, Eneng dan teman-

    teman di Laboratorium Kultur Jaringan.

    8. Noni, Kiki, Yesa, Heni, Rini, Mbak Ayi, Enggar, Nika, Roy, Mega dan

    teman-teman yang telah membantu dalam setiap kegiatan.

    9. Teman-teman Hortikultura angkatan 41 serta semua pihak yang tidak bisa

    penulis sebutkan satu per satu.

    Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.

    Bogor, Mei 2008

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

    Latar belakang ................................................................................... 1

    Tujuan ............................................................................................... 3

    Hipotesis ........................................................................................... 4

    TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 5

    Botani dan Morfologi Kantong Semar ............................................... 5

    Ekologi .............................................................................................. 10

    Kultur Jaringan Tanaman ................................................................... 11

    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Jaringan ...... 12

    Eksplan ....................................................................................... 12

    Media Kultur .............................................................................. 13

    Zat Pengatur Tumbuh .................................................................. 14

    Kultur JaringanTanaman Karnivora ................................................... 17

    BAHAN DAN METODE ............................................................................ 18

    Waktu dan Tempat ............................................................................ 18

    Bahan dan Alat ................................................................................. 18

    Metode Penelitian .............................................................................. 18

    Pelaksanaan ....................................................................................... 19

    Sterilisasi Alat, Botol dan Media Tanam ..................................... 19

    Pembuatan Larutan Stok ............................................................. 19

    Pembuatan Media Kultur ............................................................ 20

    Persiapan Ruang Tanam .............................................................. 20

    Penanaman .................................................................................. 21

    Pemeliharaan .............................................................................. 21

    Pengamatan ....................................................................................... 22

    HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 23

    Kondisi Umum .................................................................................. 23

    Waktu Inisiasi Tunas ......................................................................... 27

    Waktu Inisiasi Daun........................................................................... 28

    Waktu Inisiasi Kantong ...................................................................... 30

    Waktu Inisiasi Akar ........................................................................... 30

    Jumlah Tunas ..................................................................................... 32

    Jumlah Daun ...................................................................................... 35

    Jumlah Kantong ................................................................................. 38

    Jumlah Akar ...................................................................................... 40

    Tinggi Tanaman ................................................................................. 42

    Panjang Daun Terpanjang .................................................................. 44

    Panjang Akar Terpanjang ................................................................... 45

  • KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 47

    Kesimpulan ....................................................................................... 47

    Saran ................................................................................................. 47

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 48

    LAMPIRAN ................................................................................................ 51

  • DAFTAR TABEL

    Nomor Halaman

    Teks

    1. Rekapitulasi Sidik Ragam Respon Peubah yang Diamati pada Kultur

    Nepenthes mirabilis ................................................................................. 26

    2. Pengaruh Pemberian BAP terhadap Waktu Inisiasi Tunas, Inisiasi Daun,

    dan Inisiasi Kantong Nepenthes mirabilis ................................................ 27

    3. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Waktu Inisiasi Akar

    Nepenthes mirabilis ................................................................................. 31

    4. Pengaruh Pemberian BAP terhadap Rata-rata Jumlah Tunas

    Nepenthes mirabilis pada 2-16 MST ........................................................ 32

    5. Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Jumlah Tunas

    Nepenthes mirabilis pada 2-8 MST .......................................................... 34

    6. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA terhadap Rata-rata Jumlah Tunas

    Nepenthes mirabilis pada 2 MST ............................................................. 35

    7. Pengaruh Pemberian BAP terhadap Rata-rata Jumlah Daun

    Nepenthes mirabilis pada 3-16 MST ........................................................ 36

    8. Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Jumlah Daun

    Nepenthes mirabilis pada 3-16 MST ........................................................ 36

    9. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA terhadap Rata-rata Jumlah Daun

    Nepenthes mirabilis pada 4 MST ............................................................. 37

    10. Pengaruh Pemberian BAP terhadap Rata-rata Jumlah Kantong

    Nepenthes mirabilis pada 5-16 MST ........................................................ 39

    11. Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Jumlah Kantong

    Nepenthes mirabilis pada 5-16 MST ........................................................ 39

    12. Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Jumlah Akar

    Nepenthes mirabilis pada 10-16 MST ...................................................... 41

    13. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Rata-rata Tinggi Tanaman

    Nepenthes mirabilis ................................................................................. 43

    14. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Rata-rata Panjang Daun

    Terpanjang Nepenthes mirabilis ............................................................... 44

    15. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA terhadap Rata-rata Panjang Daun

    Terpanjang Nepenthes mirabilis ............................................................... 45

    18. Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Panjang Akar Terpanjang

    Nepenthes mirabilis ................................................................................. 46

  • Nomor Halaman

    Lampiran

    1. Komposisi Media Murashige-Skoog ....................................................... 51

    2. Sidik Ragam Waktu Inisiasi Tunas N.mirabilis ....................................... 52

    3. Sidik Ragam Waktu Inisiasi Daun N.mirabilis ....................................... 52

    4. Sidik Ragam Waktu Inisiasi Kantong N.mirabilis ................................... 52

    5. Sidik Ragam Waktu Inisiasi Akar N.mirabilis ........................................ 53

    6. Sidik Ragam Panjang Daun Terpanjang N.mirabilis ............................... 53

    7. Sidik Ragam Panjang Akar Terpanjang N.mirabilis ................................ 53

    8. Sidik Ragam Tinggi Tanaman N.mirabilis .............................................. 54

    9. Sidik Ragam Jumlah Tunas N.mirabilis pada 2-16 MST ......................... 54

    10. Sidik Ragam Jumlah Daun N.mirabilis pada 3-16 MST .......................... 56

    11. Sidik Ragam Jumlah Kantong N.mirabilis pada 5-16 MST ..................... 58

    12. Sidik Ragam Jumlah Akar N.mirabilis pada 6-16 MST ........................... 60

  • DAFTAR GAMBAR

    Nomor Halaman

    Teks

    1. (A) Nepenthes yang Merambat di Pohon ................................................ 5

    (B) Menyemak Diatas Permukaan Tanah ................................................ 5

    2. (A) Bunga Jantan N.mirabilis ................................................................. 6

    (B) Bunga Betina N.gracilis ................................................................... 6

    3. (A) Struktur Bunga Jantan ...................................................................... 6

    (B) Struktur Bunga Betina ...................................................................... 6

    4. (A) Buah N.mirabilis .............................................................................. 7

    (B) Buah yang Telah Merekah ................................................................ 7

    5. (A) Biji yang Berasal dari Buah yang Matang ......................................... 7

    (B) Biji yang Siap Ditanam .................................................................... 7

    6. (A) Tipe Kantong Atas ........................................................................... 8

    (B) Tipe Kantong Bawah ........................................................................ 8

    7. Serangga yang Terjebak di dalam Kantong ............................................. 9

    8. (A) N.hookeriana x N.mirabilis .............................................................. 10

    (B) N.gracilis x N.mirabilis .................................................................... 10

    9. Struktur Molekul NAA ........................................................................... 15

    10. Struktur Molekul BAP ............................................................................ 16

    11. Tanaman Induk yang Digunakan Sebagai Eksplan .................................. 23

    12. (A) Kontaminasi yang Disebabkan oleh Cendawan ................................ 24

    (B) Kontaminasi yang Disebabkan oleh Bakteri ...................................... 24

    13. Kantong yang Terbentuk pada Eksplan N.mirabilis. ............................... 24

    14. (A) Tahap Perkembangan Eksplan dari Sebelum Bertunas ...................... 28

    (B) Tahap Perkembangan Eksplan Setelah 2 MST .................................. 28

    15. Inisiasi Daun pada Eksplan Nepenthes. ................................................... 29

    16. (A) Ukuran Daun Nepenthes pada Perlakuan NAA 0.2 ppm ................... 29

    (B) Ukuran Daun Nepenthes pada Perlakuan NAA 0.5 ppm ................... 29

    17. Inisiasi Kantong pada Eksplan Nepenthes. .............................................. 30

    18. Inisiasi Akar pada Eksplan Nepenthes. ................................................... 31

    19. (A) Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan BAP 1 ppm ............. 33

    (B) Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan BAP 2 ppm ............. 33

    20. (A) Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan NAA 0.1 ppm ......... 34

    (B) Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan NAA 0.5 ppm .......... 34

  • 21. Jumlah Tunas pada Perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.5 ppm. .................. 35

    22. Jumlah Daun Nepenthes pada Perlakuan Tanpa Penambahan Zat

    Pengatur Tumbuh ................................................................................... 37

    23. Warna Daun pada Eksplan Nepenthes mirabilis ...................................... 38

    24. Kantong yang Terbentuk pada Eksplan Nepenthes mirabilis ................... 40

    25. Jumlah Akar dilihat dari Bagian Bawah Botol Kultur ............................. 41

    26. Bulu Akar pada Akar Nepenthes mirabilis .............................................. 42

    27. (A) Tinggi Tanaman Nepenthes pada Perlakuan BAP 2 ppm .................. 43

    (B) Perlakuan NAA 0.2 ppm + BAP 1 ppm ............................................ 43

    28. Panjang Daun Terpanjang pada Perlakuan

    BAP 1 ppm + NAA 0.2 ppm .................................................................. 44

    29. Panjang Akar Terpanjang pada Perlakuan Tanpa Penambahan Zat

    Pengatur Tumbuh ................................................................................... 46

  • PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Nepenthes atau yang lebih dikenal dengan sebutan kantong semar

    merupakan salah satu tanaman unik dan langka yang ada di Indonesia. Menurut

    Direktorat Budidaya Tanaman Hias (2006), nepenthes merupakan jenis tumbuhan

    yang termasuk dalam CITES Appendix 1 Tahun 2003. Tanaman yang termuat di

    dalamnya merupakan jenis-jenis yang telah terancam punah (endangered)

    sehingga perdagangan internasional spesimen yang berasal dari habitat alam harus

    dikontrol dengan ketat dan hanya diperkenankan untuk kepentingan non komersial

    tertentu dengan izin khusus.

    Menurut Mansur (2007), terdapat 64 jenis nepenthes yang hidup di

    Indonesia dari sekitar 82 jenis yang ada di dunia. Borneo (Kalimantan, Serawak,

    Sabah dan Brunei) merupakan pusat penyebaran nepenthes di dunia dan saat ini

    terdapat sekitar 32 jenis nepenthes yang hidup disana. Sumatera menempati urutan

    kedua dengan jumlah sebanyak 29 jenis. Berdasarkan hasil penelusuran spesimen

    herbarium di Herbarium Bogorinse-Bogor, ditemukan bahwa di Sulawesi terdapat

    minimum 10 jenis, New Guinea 9 jenis, Maluku 4 jenis dan Jawa hanya terdapat 2

    jenis nepenthes.

    Nepenthes diberi sebutan kantong semar karena ujung daunnya

    termodifikasi menjadi kantong seperti perut semar yang buncit. Kantong-kantong

    ini sangat menarik, karena bentuk dan warnanya yang indah. Keunikan lainnya

    terdapat pada kantung yang berbentuk corong berisi cairan yang di dalamnya

    dapat ditemukan berbagai jenis serangga. Penampilannya yang seperti ini

    menjadikannya sebagai tanaman yang unik jika dibandingkan dengan tanaman

    yang lain. Menurut Handayani (2006), tanaman ini memiliki potensi untuk

    dijadikan tanaman hias ornamental karena bentuk, warna dan ukurannya yang

    menarik.

    Tanaman nepenthes sebenarnya hanya menjadi tanaman liar di hutan-

    hutan tempat asalnya. Kelestarian nepesthes semakin terancam akhir-akhir ini

    karena adanya konversi lahan. Keadaan ini justru sangat berbeda dengan kondisi

  • 2

    nepenthes di luar negeri. Tanaman ini banyak digemari dan bahkan

    pengembangan budidayanya jauh lebih maju.

    Semakin menyusutnya luasan hutan yang disertai kerusakan pada beberapa

    waktu ini, dikhawatirkan akan berdampak langsung terhadap berkurangnya

    populasi dan keanekaragaman nepenthes. Kepunahan nepenthes pun bisa terjadi

    jika hal ini tidak ditanggulangi. Usaha konservasi ex-situ perlu dilakukan dengan

    cara domestikasi melalui mekanisme budidaya dan pemuliaan (Mansur, 2007).

    Metode perbanyakan tanaman nepenthes yang banyak dilakukan selama

    ini adalah dengan menggunakan biji, stek dan pemisahan anakan. Cara

    perbanyakan melalui stek terbatas dari jumlah buku dan waktu yang relatif lama

    untuk menyiapkan tanaman induk siap stek (Sayekti, 2007). Suska (2006) dalam

    Sayekti (2007) juga menyatakan bahwa untuk mempersiapkan tanaman induk siap

    stek pada Nepenthes mirabilis yang berasal dari semai biji diperlukan waktu

    sekitar dua tahun. Metode perbanyakan dengan pemisahan anakan terbatas oleh

    sedikitnya jumlah anakan yang terbentuk. Pada Nepenthes mirabilis juga anakan

    jarang terbentuk.

    Salah satu alternatif metode perbanyakan yang dapat ditempuh adalah

    melalui kultur in vitro. Metode ini diharapkan mampu menghasilkan tanaman

    dalam skala besar dengan waktu yang relatif cepat serta kualitas tanaman yang

    dihasilkan menjadi lebih baik. Menurut Gunawan (1992), melalui kultur jaringan

    kebutuhan ketersediaan bibit tanaman dalam jumlah yang banyak dapat terpenuhi.

    Sudarmonowati et al. (2002) juga menambahkan bahwa perbanyakan tanaman

    dengan teknik kultur jaringan (in vitro) telah banyak dilakukan untuk tanaman

    yang bernilai ekonomi tinggi atau tanaman yang tergolong langka dan sulit

    dipropagasi dengan cara konvensional.

    Penelitian tentang pengaruh media terhadap pertumbuhan dan

    perkembangan Nepenthes mirabilis secara in vitro telah dilakukan sebelumnya

    oleh Sayekti (2007) dengan menghasilkan media perkecambahan yang terbaik

    adalah KC dan MS. Pada penelitian ini juga diperoleh tanaman yang

    membentuk kalus dan multiplikasi tunas pada minggu ke-8 setelah berkecambah.

    Media yang mampu memberikan respon pertumbuhan tersebut adalah KC +

    Thidiazuron (TDZ) dan MS + TDZ. Pertumbuhan tanaman pada media ini

  • 3

    berbeda dengan yang lain. Tanaman menjadi kerdil (abnormal), daun tidak

    berkantong, roset, berukuran kecil dengan jumlah yang banyak. Hal ini diduga

    disebabkan oleh aktivitas TDZ sebagai sitokinin yang sangat aktif walaupun

    dalam konsentrasi yang sangat rendah.

    Menurut Maryani dan Zamroni (2005), perbanyakan krisan secara kultur

    jaringan melalui multiplikasi tunas dapat menghemat waktu dan dapat diperoleh

    bibit dalam jumlah banyak. Keseimbangan antara BAP dan IAA juga sangat

    penting dalam menginduksi tunas karena masing-masing zat pengatur tumbuh

    tersebut mempunyai peranan dalam menginduksi tunas. Hal ini menunjukkan

    bahwa sitokinin (termasuk BAP) dan auksin (termasuk IAA) berperanan saling

    melengkapi dalam menginduksi tunas. Keadaan ini juga dibuktikan oleh

    kombinasi BAP 1 ppm dan IAA 1 ppm yang memberikan penggandaan tunas

    krisan terbanyak. Sudarmonowati et al. (2002) juga menyatakan, respon tanaman

    untuk menghasilkan tunas baru (multiplikasi tunas) atau kalus embriogenik

    bervariasi dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain bagian tanaman yang

    digunakan, umur fisiologis bagian tersebut atau umur pohon induk, jenis (spesies)

    tanaman dan prosedur perbanyakan termasuk jenis zat pengatur tumbuh yang

    ditambahkan pada media.

    Tujuan

    1. Mempelajari pengaruh BAP pada pertumbuhan dan perkembangan tunas

    mikro Nepenthes mirabilis.

    2. Mempelajari pengaruh NAA pada pertumbuhan dan perkembangan tunas

    mikro Nepenthes mirabilis.

    3. Mendapatkan perlakuan terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan

    tunas mikro Nepenthes mirabilis.

  • 4

    Hipotesis

    1. Terdapat pengaruh BAP pada pertumbuhan dan perkembangan tunas

    mikro Nepenthes mirabilis.

    2. Terdapat pengaruh NAA pada pertumbuhan dan perkembangan tunas

    mikro Nepenthes mirabilis.

    3. Terdapat interaksi BAP dan NAA terbaik untuk pertumbuhan dan

    perkembangan tunas mikro Nepenthes mirabilis.

  • TINJAUAN PUSTAKA

    Botani dan Morfologi Kantong Semar

    Nepenthes pada sistem klasifikasi tanaman termasuk dalam kerajaan

    Plantae, filum Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, Subkelas Dilleniidae, Ordo

    Nepenthales, famili Nepenthaceae, dan genus Nepenthes (Mansur, 2007).

    Menurut James dan Pietropaolo (1996), tanaman nepenthes merupakan

    herba tahunan yang mempunyai batang sangat kasar dengan diameter lebih dari 2

    inchi (5 cm). Pada beberapa spesies panjang batang nepenthes dapat mencapai

    hingga 66 kaki (20 m). Batang tersebut merambat diantara semak belukar dan

    pohon atau dapat juga menyemak di atas permukaan tanah (Gambar 1).

    (A) (B)

    Gambar 1. Nepenthes yang Merambat di Pohon (Mansur, 2007) (A), dan

    Menyemak Diatas Permukaan Tanah (Tim Redaksi, 2006) (B).

    Nepenthes termasuk jenis tanaman berumah dua. Satu tanaman berupa

    tanaman jantan dan yang lainnya betina, tidak keduanya. Bunga dihasilkan dari

    bagian apex pada batang tanaman yang telah dewasa (Gambar 2). Untuk

    menghasilkan biji pada tanaman ini dibutuhkan pollen dari tanaman jantan untuk

    di transfer ke stigma pada tanaman betina (Gambar 3). Ovary akan berkembang

    menjadi buah setelah fertilisasi berlangsung (Clarke, 1997).

  • 6

    (A) (B)

    Gambar 2. Bunga Jantan N.mirabilis (Mansur, 2007) (A), dan

    Bunga Betina N.gracilis (Tim Redaksi, 2006) (B).

    (A) (B)

    Gambar 3. Struktur Bunga Jantan (A), dan

    Bunga Betina (B) (Clarke , 1997)

    Buah nepenthes membutuhkan waktu sekitar 3 bulan untuk berkembang

    penuh hingga masak setelah masa fertilisasi (Gambar 4.A). Ketika masak, buah

    akan retak menjadi empat bagian dan biji-bijinya akan terlepas (Gambar 4.B).

    Penyebaran biji biasanya dengan bantuan angin. Kapsul buah nepenthes tersebut

    banyak yang rusak karena gigitan ngengat. Ngengat biasanya memakan buah

    nepenthes yang sedang berkembang (Clarke, 1997).

    anters stigma

    ovary

    column sepal

    pedicel

  • 7

    (A) (B)

    Gambar 4. Buah N.mirabilis (Mansur, 2007) (A), dan

    Buah yang Telah Merekah (Tim Redaksi, 2006) (B).

    Biji yang dihasilkan tanaman nepenthes memiliki sayap yang panjangnya

    dapat mencapai 30 mm, sangat ringan dengan endosperm yang kecil (Gambar 5).

    Terdapat lebih dari 500 biji dalam satu kapsul biji yang masak, tapi diantaranya

    banyak yang merupakan biji-biji steril. Biji-biji tersebut juga hanya sedikit yang

    mampu bertahan hidup hingga menjadi tanaman dewasa.

    (A) (B)

    Gambar 5. Biji yang Berasal dari Buah yang Matang

    (http://rumputijo.wordpress.com/) (A), dan Biji yang Siap Ditanam (B).

    Bentuk batang dari tiap tanaman kantong semar berbeda tergantung dari

    spesiesnya. Batang berbentuk segitiga dimiliki oleh N. gracillis dan N.

    reinwardtiana; batang segi empat dimiliki oleh N. spathulata; dan batang

    bersudut dimiliki oleh N. andrianii. Batang ini berwarna hijau, kadang-kadang

    ungu tua atau merah tua. Daun kantong semar akan muncul di ruas-ruas batang

  • 8

    dengan jarak tetap, pada ujung daun tersebut akan muncul sulur panjang yang tipis,

    sulur ini menjadi penopang ketika ia merambat ke pohon lain dan di ujung sulur

    inilah akan muncul kantong-kantong yang sangat unik (Tim Redaksi, 2006).

    Daun nepenthes mempunyai helaian yang panjang berwarna hijau sampai hijau

    kekuningan dengan calon kantong terdapat di luar helaian daun keluar dari sulur

    berbentuk silinder dengan ukuran sama panjang atau lebih panjang dari daun.

    Ujung sulur yang berwarna kuning kehijauan berkembang menjadi kantong pada

    lingkungan yang sesuai (James dan Pietropaolo, 1996).

    Tiap spesies tanaman nepenthes memiliki tipe kantong yang berbeda.

    Secara umum tanaman ini memiliki dua tipe kantong, yaitu kantong atas dan

    bawah (Gambar 6). Kantong bawah (kantong roset) biasanya memiliki mulut

    yang lebar. Kantong roset muncul pada tanaman yang relatif muda atau yang

    sudah dipangkas. Kantong atas bentuknya cenderung seperti corong jika

    dibandingkan kantong bawah. Kantong atas juga menyimpan cairan dalam

    jumlah sedikit dibandingkan kantong bawah sehingga lebih ringan. Kantong

    tersebut muncul pada ujung sulur yang memiliki warna dan bentuk yang beragam.

    Kantong itu juga berlubang dan terbuka, dengan tepi lubang yang disebut

    peristome. Kantong tertutup oleh penutup yang beraneka macam bentuknya pada

    awal pembentukan (Tim Redaksi, 2006).

    Gambar 6. Tipe Kantong Nepenthes, Tipe Kantong Atas (A), dan

    Tipe Kantong Bawah (B) (Clarke, 1997).

    A B

    kelenjar

    sulur

    Peristome/bibir

    sayap

    Penutup

    Struktur tambahan

    berambut

    Zona

    pencernaan

  • 9

    Biasanya serangga-serangga mendatangi kantong nepenthes karena tertarik

    oleh bentuk, warna dan aroma dari cairan nepenthes yang khas (Gambar 7).

    Cairan ini berguna untuk menjebak serangga atau binatang kecil lainnya yang

    terbang mengerumuni, sehingga terjerumus masuk ke dalam kantung (Pudjiastuti

    et al., 1997). Cairan khas ini sebenarnya merupakan enzim yang disebut

    proteolase. Enzim ini dikeluarkan oleh kelenjar yang ada pada dinding kantong di

    zona pencernaan yang berfungsi sebagai enzim pengurai. Enzim ini juga dikenal

    dengan sebutan nepenthesin, bekerja dengan cara menguraikan protein serangga

    atau binatang lain yang terperangkap di dalam cairan kantong menjadi zat-zat

    yang lebih sederhana, seperti nitrogen, fosfor, kalium dan garam-garam mineral.

    Zat-zat sederhana inilah yang kemudian diserap oleh tanaman untuk kebutuhan

    hidupnya. Aktivitas enzim ini sangat dipengaruhi oleh pH (keasaman) cairan

    kantong dan setiap jenis nepenthes memiliki nilai pH yang berbeda, umumnya di

    bawah 4 (Mansur, 2007).

    Gambar 7. Serangga yang Terjebak di dalam Kantong (Tim Redaksi, 2006).

  • 10

    Ekologi

    Seperti kebanyakan carnivorous plant lainnya, nepenthes tumbuh pada

    tanah yang miskin unsur hara, seperti tanah kapur, tanah pasir, tanah merah dan

    tanah gambut. Umumnya, tanah-tanah tersebut kekurangan unsur nitrogen dan

    fosfor. Dengan kondisi ini sering kali nepenthes dijadikan sebagai indikator

    bahwa tempat tersebut merupakan tanah marginal (Mansur, 2007).

    Dilihat dari segi geografis, tanaman ini tumbuh di daerah tropis yang

    basah dan tersebar mulai dari Madagaskar, Kepulauan Seychelles, Srilanka, India,

    menyebrang ke Cina, Asia Tenggara, Papua, Australia dan Kaledonia Baru.

    Menurut James dan Pietropaolo (1996), penyebaran nepenthes juga terbatas di

    daerah-daerah tropis di dunia. Clarke (1997) menambahkan bahwa populasi

    paling banyak terdapat di Pulau Kalimantan dan Sumatra.

    Menurut Mansur (2007), N. mirabilis memiliki daya adaptasi lebih tinggi

    daripada N. gracilis dan jenis nepenthes lainnya. Jenis ini dapat hidup di berbagai

    habitat pada tempat-tempat yang basah dan kering. Penyebaran N. mirabilis juga

    sangat luas di Asia Tenggara. Di Indonesia tumbuh mulai dari Sumatera, Jawa,

    Kalimantan, Sulawesi hingga ke Irian Jaya. N. mirabilis umumnya ditemukan

    tumbuh baik di bawah ketinggian 500 m dpl pada tanah podsolik merah, tanah liat,

    tanah gambut, maupun tanah kapur. Tanaman ini juga sering tumbuh bersama

    dengan jenis nepenthes lainnya, khususnya N. reinwardthiana, N. rafflesiana, N.

    gracilis, N. ampullaria dan N. bicalcarata sehingga sering terjadi silang alami

    antara N. mirabilis dan jenis nepenthes lain (Gambar 8).

    (A) (B)

    Gambar 8. N.hookeriana x N.mirabilis (Tim Redaksi, 2006), dan

    N.gracilis x N.mirabilis (Mansur, 2007) (B).

  • 11

    Kultur Jaringan Tanaman

    Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari

    tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta

    menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut

    dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali.

    Pada mulanya, orientasi teknik kultur jaringan hanya pada pembuktian teori

    totipotensi sel. Kemudian hal ini menjadi sarana penelitian di bidang fisiologi

    tanaman dan aspek-aspek biokimia tanaman (Gunawan, 1987).

    Perbanyakan mikro beberapa tanaman yang biasa diperbanyak secara

    vegetatif, merupakan contoh aspek yang menarik dari penerapan kultur jaringan.

    Teknik kultur jaringan juga dapat diterapkan dalam pemuliaan tanaman untuk

    mempercepat pencapaian tujuan dan membantu dimana cara-cara konvensional

    menemui rintangan alamiah (Gunawan, 1987).

    Teknik kultur jaringan tanaman terdiri dari beberapa tahapan yang secara

    umum terdiri dari: tahap persiapan, tahap inisiasi kultur, tahap multiplikasi tunas,

    tahap pemanjangan tunas, induksi akar dan perkembangan akar dan tahap terakhir

    berupa pemindahan ke rumah kaca (aklimatisasi).

    Salah satu teknik yang dilakukan di kultur jaringan yaitu subkultur.

    Subkultur merupakan pemindahan kultur ke media yang baru, baik media yang

    sama maupun media yang komposisi kimianya berbeda (Gunawan, 1992).

    Subkultur dapat menjadi kebutuhan untuk memperbanyak tanaman dan

    mempertahankan kultur (George dan Sherrington, 1984). Pierik (1987) juga

    menyatakan bahwa subkultur perlu dilakukan jika unsur hara dan hormon yang

    terdapat pada media telah berkurang atau habis, untuk merubah pola pertumbuhan

    dan perkembangan kultur, serta bila kultur telah memenuhi botol kultur.

    Cahaya dalam kultur jaringan berguna untuk mengatur proses-proses

    morfogenik tertentu seperti pembentukan pucuk dan akar, dan tidak untuk

    fotosintesis karena sumber energi bagi eksplan telah disediakan oleh sukrosa

    (George dan Sherrington, 1984). Cahaya juga penting dalam pengendalian

    perkembangan eksplan dan unsur-unsur cahaya yang perlu diperhatikan adalah

    kualitas cahaya, panjang penyinaran dan intensitas cahaya. Temperatur ruang

    kultur juga menentukan respon fisiologi kultur dan kecepatan pertumbuhannya

  • 12

    (Gunawan, 1987). Armini et al. (1991), menambahkan bahwa fotosintesis

    jaringan sebagian besar jenis tanaman secara in vitro sangat rendah dan sebagian

    besar tergantung pada suplai sukrosa dari luar (medium kultur). Dalam hal ini

    cahaya sangat penting untuk fotomorfogenesis. Fotomorfogenesis merupakan

    proses menginduksi perkembangan suatu tanaman dan tidak melibatkan energi

    cahaya dalam jumlah besar. Reaksi fotomorfogenesis dibagi menurut tipe bagian

    spektrum yang menghasilkan respon. Respon yang utama adalah yang diinduksi

    oleh spekrum cahaya merah atau biru.

    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Jaringan

    Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan

    propagul in vitro adalah eksplan, media tanam, kondisi fisik media, Zat Pengatur

    Tumbuh (ZPT) dan lingkungan tumbuh (Wattimena et al., 1992).

    Eksplan

    Eksplan merupakan sebutan bagi bahan tanaman yang dikulturkan.

    Menurut Harjadi (1989) bagian tanaman yang dijadikan sebagai eksplan

    mencakup ujung pucuk (shoot tips), irisan-irisan batang, daun, daun bunga, daun

    keping biji, akar, buah, embrio, meristem pucuk apikal (yang betul-betul

    merupakan titik tumbuh) dan jaringan nuselar. Rasco jr dan Maquilan (2005)

    menggunakan eksplan biji pada studi perkecambahan N. truncata, dan Sayekti

    (2007) juga menggunakan eksplan biji pada studi perkecambahan N. mirabilis dan

    N. ampularia.

    Menurut Gunawan (1987), eksplan harus diusahakan agar dalam keadaan

    aseptik melalui prosedur sterilisasi dengan berbagai bahan kimia. Melalui eksplan

    yang aseptik kemudian diperoleh kultur yang axenik yaitu kultur dengan hanya

    satu macam organisme yang diinginkan.

    Eksplan yang ditanam pada media tumbuh yang tepat dapat beregenerasi

    melalui proses yang disebut organogenesis atau embriogenesis. Organogenesis

    merupakan suatu proses terbentuknya organ-organ seperti pucuk dan akar.

    Sedangkan embriogenesis merupakan suatu proses terbentuknya embrio somatik.

  • 13

    Embrio yang terbentuk ini bukan dari zigot, melainkan dari sel biasa dari tubuh

    tanaman (Gunawan, 1987).

    Menurut Gunawan (1987), ukuran eksplan yang dikulturkan turut

    menentukan keberhasilan dari suatu teknik kultur jaringan. Ukuran eksplan yang

    terlalu kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan. Sedangkan bila

    ukurannya terlalu besar akan sulit didapatkan eksplan yang steril. Mariska dan

    Sukmadjaja (2003) juga menambahkan bahwa ukuran eksplan yang dapat

    digunakan dalam teknik kultur jaringan bervariasi dari ukuran mikroskopik ( 0,1

    mm) hingga 5 cm.

    Media Kultur

    Gunawan (1987) menyatakan bahwa keberhasilan dalam penggunaan

    metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan. Media ini

    tidak hanya menyediakan unsur hara (makro dan mikro) tetapi juga karbohidrat

    (gula) untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfer melalui

    fotosintesis. Hasil yang lebih baik akan kita peroleh, bila ke dalam media tersebut

    ditambahkan vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh.

    Umumnya media kultur jaringan tersusun atas komposisi hara makro, hara

    mikro, vitamin, gula, asam amino dan N-organik, persenyawaan kompleks

    alamiah (air kelapa, ekstak ragi, juice tomat, dsb), buffer, arang aktif, zat pengatur

    tumbuh (terutama auksin dan sitokinin) dan bahan pemadat. Faktor lain yang

    tidak kalah penting dalam teknik kultur jaringan adalah pengaturan pH media.

    Tingkat kemasaman media harus diatur supaya tidak mengganggu fungsi

    membran sel dan pH sitoplasma (Gunawan, 1987). Gamborg dan Shyluk (1981)

    menambahkan bahwa sel-sel tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam

    berkisar antara 5.5-5.8.

    Secara umum menurut Armini (1991), pembentukan tunas secara in vitro

    baik melalui morfogenesis langsung maupun tidak langsung sangat tergantung

    pada jenis dan konsentrasi yang tepat dari senyawa organik, in-organik dan zat

    pengatur tumbuh. Namun tidak berarti bahwa suatu kombinasi medium hanya

    untuk satu jenis tanaman.

  • 14

    Penambahan agar-agar ke dalam kultur bertujuan agar terjadinya kontak

    antara jaringan tanaman, media dan udara. Jika media berbentuk cair, kultur harus

    selalu digoyangkan dengan shaker agar aerasi yang baik tetap terjaga. Jika media

    tersebut tidak digoyang-goyangkan, eksplan akan tenggelam seluruhnya yang

    dapat menyebabkan terjadinya kematian eksplan karena kondisi anaerobik

    (Wetherell, 1982).

    Sayekti (2007) menyatakan media MS mampu menghasilkan waktu

    inisiasi berkecambah tercepat pada perkecambahan Nepenthes mirabilis (37.61

    HST), jumlah daun terbanyak dan tanaman paling tinggi (3.99 mm). Tinggi

    tanaman terendah (1.07 mm) diperoleh pada media MS. Hal ini diduga terjadi

    karena adanya penghambatan pertumbuhan pada media MS yang disebabkan oleh

    konsentrasi garam yang tinggi.

    Zat Pengatur Tumbuh

    Zat pengatur tumbuh (ZPT) didefinisikan sebagai senyawa organik bukan

    nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10-6

    -10-5

    mM) yang disintesiskan pada

    bagian tertentu tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman

    dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan

    morfologis (Wattimena, 1988). Dua golongan zat pengatur tumbuh yang penting

    dalam kultur jaringan yaitu auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh ini

    mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel dan organ.

    Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam

    media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah

    perkembangan suatu kultur (Gunawan, 1987). Armini et al. (1991)

    menambahkan bahwa untuk pertumbuhan dan perkembangan kultur in vitro

    diperlukan komposisi dan atau konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda

    untuk satu varietas dengan varietas lain dari suatu tanaman. Penentuan taraf

    konsentrasi juga disesuaikan dengan tipe organ atau eksplan, metode kultur

    jaringan dan tingkat kultur jaringan (pembuatan kalus, induksi tunas, induksi akar,

    dan lain-lain).

  • 15

    Auksin banyak digunakan secara luas pada kultur jaringan dalam

    merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ (Gunawan, 1987).

    Bentuk-bentuk auksin yang biasa ditambahkan ke dalam media kultur adalah 2.4-

    D (2.4 Diclorophenoxy Asetic Acid), IBA (Indole Butyric Acid), NAA

    (Naphthalene Asetic Acid) dan IAA (Indole-3-Acetic Acid). Auksin yang secara

    alami terdapat dalam tumbuhan adalah IAA. Menurut Wattimena (1988), setelah

    ditemukan IAA sebagai salah satu fitohormon yang penting, maka disintesis

    senyawa-senyawa serupa dan diuji keaktifan biologis dari senyawa-senyawa

    tersebut. Asam naftalena asetat (NAA) dan 2.4-D merupakan senyawa tanpa ciri

    indol tapi mempunyai aktivitas biologis seperti IAA. NAA banyak digunakan

    sebagai hormon akar dan selang konsentrasi yang mendorong pembesaran sel-sel

    pada akar adalah sangat rendah. Menurut Zaer dan Mapes (1985), NAA memiliki

    sifat kimia lebih stabil dibanding IAA dan tidak mudah teroksidasi oleh enzim.

    Anwar (2007) menambahkan bahwa NAA merupakan IAA sintetik yang sering

    digunakan karena memiliki sifat yang lebih tahan, tidak terdegradasi dan lebih

    murah. Naphthalene Asetic Acid/Naphtyl Acetic Acid (NAA) memiliki berat

    molekul 186.21 dengan rumus molekul C12H10O2 (Gambar 9).

    Gambar 9. Struktur Molekul NAA

    Sitokinin merupakan senyawa organik yang menyebabkan pembelahan sel

    yang dikenal dengan proses sitokinesis. Menurut Wattimena (1988), sitokinin

    mempengaruhi berbagai proses fisiologis di dalam tanaman terutama mendorong

    pembelahan sel. Selain itu menurut Armini (1991), sitokinin juga berpengaruh

    dalam ploriferasi tunas ketiak, penghambatan pertumbuhan akar dan induksi umbi

    mikro pada kentang. Sitokinin yang biasa digunakan adalah kinetin, zeatin, 2iP

    (N6-2-Isopentanyl Adenin) , BAP (6-Benzyl Amino Purin), PBA, 2C 1-4 PU, 2.6-

    C1-4 dan TDZ (thidiazuron) (Gunawan, 1987).

  • 16

    6-Benzyl amino purine (BAP) merupakan sitokinin sintesis yang memiliki

    berat molekul sebesar 225.26 dengan rumus molekul C12H11N5. Wattimena

    (1988) menambahkan bahwa BAP merupakan turunan adenin yang disubstitusi

    pada posisi 6 adalah yang memiliki aktivitas kimia paling aktif (Gambar 10).

    Gambar 10. Stuktur Molekul BAP (www.wuzhouchem.com)

    Hasil penelitian Maryani dan Zamroni (2005), pada penggandaan tunas

    krisan secara in vitro apabila perlakuan tanpa BAP (0 ppm) ternyata memberikan

    jumlah akar banyak dan kecenderungan jumlah akar menurun dengan

    meningkatnya konsentrasi BAP. Keadaan ini membuktikan bahwa BAP mampu

    menekan pertumbuhan akar. Kemampuan menghambat pertumbuhan akar ini

    sangat penting dalam penggandaan tunas atau (multiplikasi). Nursandi (2006) juga

    menambahkan bahwa BAP dan TDZ bisa menghambat pembentukan akar nenas

    secara spontan pada konsentrasi yang berbeda, yaitu BAP dengan konsentrasi

    17.76 M sedangkan TDZ dengan konsentrasi 4.54 x 10-2

    M. Menurut Supriati

    et al., (2006), zat pengatur tumbuh BAP juga telah banyak digunakan pada

    berbagai spesies tanaman karena dapat meningkatkan multiplikasi tunas secara

    langsung maupun tidak langsung.

    Aktivitas sitokinin tergantung juga dari aktivitas fitohormon yang lainnya,

    terutama auksin baik dalam efek menghambat maupun efek yang mendorong

    pembelahan sel (Wattimena, 1988). Sitokinin dan auksin memiliki peran yang

    sangat penting dalam hal menginduksi tunas adventif. Nisbah keduanya akan

    menentukan apakah suatu kalus akan membentuk tunas adventif, akar, atau tunas

    adventif dan akar (Armini et al., 1991). Menurut Gunawan (1992), nisbah auksin-

    sitokinin yang tinggi akan mendorong morfogenesis akar, sebaliknya nisbah

    sitokinin-auksin yang tinggi akan mendorong pembentukan tunas.

  • 17

    Kultur Jaringan Tanaman Karnivora

    Salah satu yang meneliti perbanyakan tanaman karnivora secara in vitro

    yaitu Rasco dan Maquilan (2005) tentang perkecambahan Nepenthes truncata

    secara in vitro yang menghasilkan waktu inisiasi perkecambahan tercepat 18 hari

    setelah tanam (HST). Pada peubah persentase inisiasi perkecambahan hasil yang

    terbaik yaitu pada perlakuan media WPM (17.5%) diikuti KC (14 %) dan KC

    (13.8 %). Pada peubah rata-rata perkecambahan terbaik pada media MS (1.8 %

    perkecambahan per hari) dan peubah perkecambahan akhir terbaik pada media

    KC (95 %). Pada peubah bentuk kantong, kondisi daun dan panjang pucuk

    terbaik pada media KC.

    Penelitian tentang pengaruh media terhadap pertumbuhan dan

    perkembangan Nepenthes mirabilis secara in vitro telah dilakukan oleh Sayekti

    (2007) dengan menghasilkan media perkecambahan yang terbaik adalah KC

    dan MS. Media MS mampu menghasilkan waktu inisiasi berkecambah

    tercepat yaitu pada 37.61 HST, tanaman tertinggi dengan nilai 3.99 mm dan

    jumlah daun terbanyak setiap minggu. Media KC menghasilkan waktu inisiasi

    kecambah pada 40.56 HST dan terbukti dapat menghasilkan jumlah akar

    terbanyak pada setiap minggu selama 12 minggu setelah tanaman berkecambah

    dan daun terpanjang (9.11 mm). Perbedaan waktu inisiasi diduga dipengaruhi

    oleh perbedaan spesies dan perbedaan masa simpan sebelum biji dikecambahkan.

  • BAHAN DAN METODE

    Waktu dan Tempat

    Penelitian ini berlangsung mulai bulan Oktober 2007 hingga Maret 2008.

    Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen

    Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

    Bahan dan Alat

    Bahan tanaman yang digunakan adalah tunas mikro Nepenthes mirabilis.

    yang merupakan hasil dari penelitian Sayekti (2007) di Laboratorium Kultur

    Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut

    Pertanian Bogor.

    Media yang digunakan adalah MS ditambah dengan zat pengatur

    tumbuh, yaitu sitokinin (BAP) dan auksin (NAA). Pengaturan pH media dengan

    menambahkan KOH (1 N) atau HCl (1 N). Bahan yang digunakan untuk

    sterilisasi berupa alkohol 70%. Bahan lainnya adalah agar-agar, gula pasir,

    aquades, karet gelang, plastik, tissue, spirtus dan label.

    Alat yang digunakan antara lain botol kultur, pipet, cawan petri, labu

    takar, alat ukur gelas, pinset, gunting, scalpel, mata pisau, timbangan, pH paper,

    hand sprayer, bunsen, autoklaf dan laminar air flow cabinet. Rak penyimpanan

    kultur dilengkapi dengan lampu fluorescence yang mempunyai intensitas 1500-

    2000 lux sebagai sumber penyinaran dengan suhu ruang 20-22C.

    Metode Penelitian

    Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

    dengan dua faktor yaitu konsentrasi BAP dan NAA pada media dasar yaitu MS.

    Faktor pertama adalah BAP yang terdiri dari empat taraf konsentrasi, yaitu 0

    ppm; 0.5 ppm; 1.0 ppm dan 2.0 ppm. Faktor kedua adalah NAA dengan empat

    taraf konsentrasi, yaitu 0 ppm; 0.1 ppm; 0.2 ppm dan 0.5 ppm. Penelitian ini

    terdiri dari 16 kombinasi perlakuan, masing-masing diulang sebanyak 10 kali

    sehingga terdapat 160 satuan percobaan dengan 1 eksplan untuk setiap

    ulangannya (1 botol kultur).

  • 19

    Model statistika yang digunakan sebagai berikut:

    Yijk = + i + j + ()ij + ijk

    Dimana:

    Yijk = Nilai pengamatan unit percobaanpada taraf perlakuan BAP ke-i,

    NAA ke-j, dan ulangan ke-k

    = Nilai tengah umum

    i = Pengaruh BAP ke-i

    j = Pengaruh NAA ke-j

    ()ij = Nilai tambah pengaruh interaksi BAP ke-i dan NAA ke-j

    ijk = Galat percobaan

    i = 1, 2, 3 dan 4

    j = 1, 2, 3 dan 4

    k = 1, 2, dan 10

    Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji F pada sistem SAS

    (Statistical Analysis Sistem). Perlakuan yang berpengaruh nyata pada uji F diuji

    lanjut menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%.

    Pelaksanaan

    Sterilisasi Alat, Botol dan Media Tanam

    Sterilisasi merupakan kunci keberhasilan dari pelaksanaan kultur jaringan.

    Botol dan alat-alat yang akan dipakai dalam pembuatan media dan penanaman

    tunas nepenthes dicuci hingga bersih kemudian disterilkan ke dalam autoklaf pada

    temperatur 1210C dengan tekanan 17.5 psi dengan waktu satu jam. Penghitungan

    waktu dimulai saat tekanan yang diinginkan telah dicapai. Alat-alat yang perlu

    disterilkan yaitu pinset, gunting, pengaduk, erlenmeyer, botol kultur, gelas piala

    dan cawan petri.

    Pembuatan larutan stok

    Larutan stok dibuat sesuai dengan komposisi media MS yang disimpan

    dalam erlenmeyer dengan konsentrasi yang lebih pekat. Larutan stok F, vitamin

    dan myo-inositol disimpan dalam lemari es sedangkan stok A, B, C, D dan E

    disimpan dalam suhu kamar. Pembuatan larutan stok ini bertujuan untuk

  • 20

    memudahkan pekerjaan dalam pembuatan media. Larutan stok ini kemudian

    disimpan dalam lemari es.

    Pembuatan Media Kultur

    Media yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu media MS. Media

    MS dibuat dengan memipet 10 ml larutan stok A, 10 ml larutan stok B, 2.5 ml

    larutan stok C, D dan E, 5 ml larutan stok F, 10 ml vitamin, 5 ml larutan stok myo-

    inositol ke dalam labu takar satu liter (Tabel Lampiran 1). Setelah itu

    ditambahkan NAA sebanyak 1 ml untuk mendapatkan media dengan konsentrasi

    0.1 mg/l dari stok 100 mg/l NAA dan BA sebanyak 1 ml untuk mendapatkan

    media dengan konsentrasi 0.1 mg/l dari stok 100 mg/l BA. Kemudian gula

    dilarutkan sebanyak 20 gram dalam aquades dan dimasukkan ke dalam larutan

    media setelah disaring lebih dahulu. Volume ditetapkan dengan menambahkan

    aquades hingga 1 liter. Kemasaman media diukur menggunakan pH meter 6.0

    diatur dengan penambahan KOH atau HCl.

    Larutan media tersebut dipindahkan ke panci pemanas yang volumenya 1

    liter lalu ditambahkan agar-agar sebanyak 6 gram. Larutan media tersebut di

    panaskan sambil diaduk-aduk. Botol kultur yang telah steril disiapkan untuk

    menempatkan larutan agar-agar tersebut. Larutan media yang telah mendidih

    dituang ke botol kultur yang telah disiapkan. Botol ditutup rapat dengan plastik

    setelah semua media dituang ke botol kultur. Botol-botol yang telah terisi media

    disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210 C dan tekanan 17.5 psi selama 30

    menit. Media steril disimpan dalam ruang penyimpan media. Media ini dapat

    digunakan setelah diinkubasi selama 4 hari dan bebas dari kontaminasi.

    Persiapan Ruang Tanam

    Seluruh permukaan laminar air flow cabinet sebelumnya dibersihkan

    terlebih dahulu dengan di lap menggunakan alkohol 70% lalu di sterilkan dengan

    sinar Ultra Violet selama 1 jam sebelum proses penanaman dilakukan. Semua alat

    dan bahan yang akan dipakai harus disemprot dengan alkohol 70% sebelum

    dimasukkan ke dalam laminar air flow cabinet. Hal ini dilakukan untuk

    menghindari resiko bahan penelitian terkontaminasi.

  • 21

    Penanaman

    Eksplan tunas Nepenthes mirabilis dikeluarkan dari botol kultur dan

    dipilih yang memiliki penampilan baik. Kriteria tunas yang baik yaitu tanaman

    Nepenthes mirabilis yang pertumbuhannya baik, daunnya hijau cerah tidak

    berwarna kuning, tidak vitrus, pertumbuhannya tidak merana seperti kekurangan

    hara dan tidak berbentuk kalus. Eksplan diperoleh dari tunas yang dipotong dari

    pangkal batang tanpa akar, tiap potongan masing-masing memiliki 5 buku. Ujung

    tanaman yang memiliki tunas apikal di potong agar semua eksplan seragam. Hal

    ini dilakukan untuk menghilangkan dominasi tunas apikal pada pucuk tersebut.

    Potongan kecil ini kemudian ditanam di media perlakuan. Setiap botol kultur

    terdiri dari 1 eksplan. Botol kultur diletakkan di rak kultur di bawah cahaya

    penuh.

    Pemeliharaan

    Botol kultur diletakkan pada rak kultur selama 16 minggu. Kondisi ruang

    kultur dijaga pada suhu 20-22 C dan dijaga kebersihannya agar terhindar dari

    kontaminasi.

  • 22

    Pengamatan

    Pengamatan dilakukan setiap hari dan minggu selama 16 minggu setelah

    tanam. Peubah yang diamati:

    1. Waktu inisiasi tunas, diamati setiap hari setelah tanam.

    2. Waktu inisiasi daun, diamati setiap hari setelah eksplan bertunas.

    3. Waktu inisiasi kantong, diamati setiap hari setelah eksplan memiliki daun.

    4. Waktu inisiasi akar, diamati setiap hari selama 16 minggu setelah tanam.

    5. Jumlah tunas diamati setiap minggu setelah tanam.

    6. Jumlah daun diamati setiap minggu dimulai setelah munculnya tunas.

    7. Jumlah kantong diamati setiap minggu dimulai setelah munculnya daun.

    8. Jumlah akar diamati setiap minggu dimulai setelah munculnya tunas.

    9. Panjang daun terpanjang, panjang akar terpanjang dan tinggi tanaman

    diamati pada minggu terakhir pengamatan dengan cara mengeluarkan

    tanaman dari botol kultur kemudian diukur menggunakan milimeter block.

  • 23

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Kondisi Umum

    Eksplan (tunas mikro Nepenthes mirabilis) yang digunakan dalam

    penelitian ini berasal dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh

    Sayekti (2007) di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan

    Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ekplan tersebut telah

    berumur sekitar satu tahun (Gambar 11).

    Gambar 11. Tanaman Induk yang Digunakan Sebagai Eksplan.

    Kontaminasi terjadi pada minggu ketiga setelah tanam (MST) sebesar

    15%. Terjadinya kontaminasi pada eksplan diduga karena beberapa hal, antara

    lain kurang sterilnya ruang tanam maupun laminar air flow cabinet saat

    penanaman dan ruang kultur yang terekspos lingkungan luar yang tidak steril serta

    kurangnya perlakuan sterilisasi pada ruang kultur. Kontaminan yang ditemukan

    selama pengamatan yaitu cendawan dan bakteri (Gambar 12). Kultur yang

    terkontaminasi cendawan ditandai dengan adanya benang-benang hifa maupun

    spora cendawan pada tunas, media ataupun botol kultur, sedangkan tunas yang

    terkontaminasi oleh bakteri ditandai dengan munculnya lendir pada eksplan

    maupun pada media perlakuan. Menurut Gunawan (1992), inisiasi kultur yang

    bebas kontaminasi merupakan langkah yang sangat penting. Kontaminan akan

    tumbuh dengan cepat pada media yang mengandung gula, vitamin dan mineral

  • 24

    bila faktor kontaminasi tidak dihilangkan. Eksplan dapat mati sebagai akibat

    langsung dari serangan cendawan atau bakteri atau secara tidak langsung akibat

    persenyawaan toksik yang diproduksi cendawan atau bakteri.

    (A) (B) Gambar 12. Kontaminasi yang Disebabkan oleh Cendawan (A); dan

    yang Disebabkan oleh Bakteri (B).

    Eksplan pada penelitian ini menghasilkan kantong seperti tanaman yang

    berada di lapang. Kantong terbentuk di setiap ujung daun. Kantong-kantong

    tersebut memiliki ukuran yang beragam menyesuaikan dengan bentuk daun yang

    ada (Gambar 13).

    Gambar 13. Kantong yang Terbentuk pada Eksplan N.mirabilis.

  • 25

    Rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) menunjukkan pengaruh BAP nyata

    terhadap inisiasi tunas dan inisiasi daun dan sangat nyata terhadap inisiasi

    kantong, panjang daun terpanjang dan tinggi tanaman. BAP memberikan

    pengaruh yang nyata pada 2 MST dan sangat nyata pada 3 hingga 16 MST

    terhadap jumlah tunas yang terbentuk. BAP juga memberikan pengaruh yang

    nyata pada 3 MST dan sangat nyata pada 4 hingga 16 MST terhadap jumlah daun

    dan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah kantong pada 5-16 MST.

    NAA memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap panjang akar

    terpanjang, panjang daun terpanjang, tinggi tanaman dan jumlah akar pada 10

    hingga 16 MST. NAA memberi pengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada 3

    hingga 7 MST dan terhadap jumlah kantong pada 5 MST. NAA juga

    menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun pada 4 hingga 8 MST

    dan pengaruh nyata pada 9-14 MST dan 16 MST.

    Kombinasi antara BAP dan NAA memberikan pengaruh sangat nyata

    terhadap panjang daun terpanjang, jumlah tunas pada 2 MST dan jumlah daun

    pada 4 MST.

  • 26

    Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Respon Peubah yang Diamati pada Kultur Nepenthes mirabilis

    Peubah Perlakuan

    BAP NAA BAP*NAA

    1 Inisiasi Akar tn tn tn

    2 Inisiasi Daun * tn tn 3 Inisiasi Tunas * tn tn 4 Inisiasi Kantong ** tn tn 5 Panjang Akar Terpanjang

    16 MST tn ** tn 6 Panjang Daun Terpanjang

    16 MST ** ** ** 7 Tinggi tanaman

    16 MST ** ** tn 8 Jumlah Tunasa

    2 MST * tn ** 3 MST ** tn tn 4-7 MST ** * tn 8-16 MST ** tn tn

    9 Jumlah Dauna

    3 MST * tn tn 4 MST ** ** ** 5-8 MST ** ** tn 9-14 MST ** * tn 15 MST ** tn tn 16 MST ** * tn

    10 Jumlah Kantonga

    5 MST ** * tn 6-16 MST ** tn tn

    11 Jumlah Akara

    6-9 MST tn tn tn 10-16 MST tn ** tn

    Keterangan: tn : Tidak nyata pada uji F 5% * : Nyata pada uji F 5% ** : Sangat nyata pada uji F 5% a : Hasil Transformasi (x+0.5) MST : Minggu Setelah Tanam

  • 27

    Waktu Inisiasi tunas

    Berdasarkan hasil sidik ragam, pemberian kombinasi BAP dan NAA tidak

    memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu inisiasi tunas mikro Nepenthes

    mirabilis. Pengaruh yang nyata diperoleh dari pemberian BAP secara tunggal

    (Tabel 2). Pemberian BAP hingga 1 ppm mampu menghasilkan waktu inisiasi

    tunas tercepat. Peningkatan konsentrasi BAP menjadi 2 ppm justru

    memperlambat waktu inisiasi tunas.

    Tabel 2. Pengaruh Pemberian BAP terhadap Waktu Inisiasi Tunas, Inisiasi Daun dan Inisiasi kantong Nepenthes mirabilis.

    BAP (ppm)

    Inisiasi Tunas (HST)

    Inisiasi Daun (HST)

    Inisiasi Kantong (HST)

    0 18.8 b 29.1 b 41.4 c 0.5 19.2 b 29.7 b 52.7 b 1 17.8 b 27.3 b 56.0 b 2 24.8 a 35.7 a 69.7 a

    Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

    Data pada tabel 2 memperlihatkan waktu inisiasi tunas terjadi pada

    konsentrasi BAP rendah atau tanpa pemberian BAP. Hal ini diduga adanya

    akumulasi sitokinin endogen yang cukup tinggi pada tanaman induk nepenthes

    yang dijadikan eksplan, sehingga dengan pemberian BAP lebih dari 1 ppm akan

    menghambat inisiasi tunas. Pada perbanyakan klon lili yang dilakukan oleh

    Setiawati (2003), konsentrasi sitokinin yang tinggi akan mempercepat inisiasi

    tunas. Waktu inisiasi tunas lili paling cepat terjadi pada klon 500-2 pada media

    MS + BA 2 mg/l + NAA 1 mg/l (13 HST). Klon yang paling lambat bertunas

    yaitu klon 500-3, pada media MS + BA 1 mg/l + NAA 1 mg/1 (23 HST).

    Menurut Gunawan (1992), sitokinin sering berperan penting dalam

    pengaturan pembelahan sel. Mufaadi (2003) juga menyatakan tanaman terpacu

    untuk lebih cepat melakukan multiplikasi tunas disebabkan oleh pemberian

    sitokinin BAP. Pada penelitian ini pengaruh BAP 0, 0.5 dan 1 ppm tidak

    menghasilkan perbedaan yang nyata dalam mempercepat waktu munculnya tunas

    sehingga tanpa pemberian BAP pun dapat menginisiasi tunas mikro Nepenthes

    dengan cepat. Menurut Sudarmonowati et al. (2002), apabila penggunaan tanpa

  • 28

    hormon tidak berpengaruh nyata maka tidak diperlukan penggunaan BAP

    sehingga biaya produksi akan jauh lebih murah.

    Tahap inisiasi tunas diawali dengan munculnya calon tunas berupa

    tonjolan kecil menyerupai calon batang berwarna hijau (Gambar 14). Umumnya

    inisiasi tunas ini terjadi pada minggu kedua setelah tanam, sekitar satu minggu

    kemudian muncul daun pertama yang berukuran sangat kecil pada tunas tersebut.

    (A) (B)

    Gambar 14. Tahap Perkembangan Eksplan dari Sebelum Bertunas (A) dan Setelah 2 MST (B).

    Waktu Inisiasi Daun

    Berdasarkan hasil sidik ragam, kombinasi BAP dan NAA tidak

    memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu inisiasi daun. Pemberian BAP

    secara tunggal memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu inisiasi daun

    (Tabel 2). Pemberian BAP hingga 1 ppm mampu menghasilkan waktu inisiasi

    daun tercepat. Hasil ini sesuai dengan waktu inisiasi tunas pada tabel 2, karena

    inisiasi daun terjadi setelah inisiasi tunas sebelumnya.

    Inisiasi daun terbentuk sekitar satu minggu setelah adanya inisiasi tunas

    pada eksplan. Daun pertama yang terbentuk berukuran sangat kecil (Gambar 15).

    Daun pertama ukurannya seperti tereduksi dan belum memiliki kantong di

    ujungnya. Daun yang terbentuk berikutnya memiliki ukuran dan bentuk yang

    normal.

    Tunas baru

  • 29

    Gambar 15. Inisiasi Daun pada Eksplan Nepenthes.

    Bentuk dan ukuran daun eksplan umumnya normal seperti tanaman induk.

    Pada perlakuan NAA 0.1 ppm, NAA 0.2 ppm dan NAA 0.5 ppm ukuran daun

    seperti tereduksi sehingga berukuran kecil (Gambar 16). Hal ini mengindikasikan

    bahwa pertumbuhan eksplan tersebut lambat. Keadaan ini diduga karena

    perlakuan tersebut tidak mendapat tambahan sitokinin eksogen, yaitu BAP.

    (A) (B)

    Gambar 16. Ukuran Daun Nepenthes pada Perlakuan NAA 0.2 ppm (A) dan Perlakuan NAA 0.5 ppm (B).

  • 30

    Waktu Inisiasi Kantong

    Pemberian BAP secara tunggal memberikan pengaruh yang sangat nyata

    terhadap waktu inisiasi kantong Nepenthes mirabilis. Data pada tabel 2

    memperlihatkan perlakuan tanpa pemberian BAP mampu memberikan waktu

    inisiasi kantong tercepat. Pemberian BAP 2 ppm justru memberikan waktu

    inisiasi kantong paling lama. Hal ini terjadi karena BAP 2 ppm memiliki waktu

    inisiasi daun terlama sehingga proses pembentukan kantong pun menjadi

    terhambat.

    Inisiasi kantong nepenthes terjadi setelah daun terbentuk sempurna.

    Kantong-kantong tersebut umumnya mulai terbentuk pada daun kedua di setiap

    eksplan (Gambar 17). Kantong yang terbentuk mulanya berukuran sangat kecil

    dan lama-kelamaan akan membesar menyesuaikan dengan ukuran daunnya.

    Gambar 17. Inisiasi Kantong pada Eksplan Nepenthes.

    Waktu Inisiasi Akar

    Berdasarkan hasil sidik ragam, pemberian BAP dan NAA memberikan

    pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap waktu inisiasi akar tunas Nepenthes

    mirabilis, baik secara tunggal maupun kombinasi. Umumnya akar akan terbentuk

    apabila nisbah konsentrasi sitokinin dan auksin rendah. Menurut Sukawan

    (2000), pembentukan akar selain dipengaruhi oleh pemberian auksin eksogen juga

    dipengaruhi oleh perbedaan genetik yang disebabkan oleh eksplan yang

    digunakan dan kandungan sitokinin endogennya.

  • 31

    Tabel 3. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Waktu Inisiasi Akar Nepenthes mirabilis

    Perlakuan Waktu Inisiasi Akar (HST)

    BAP (ppm) 0

    70.7

    0.5 80.2 1 74.0 2 77.7

    NAA (ppm) 0 0.1 0.2 0.5

    74.2 82.7 73.8 91.5

    Menurut Sukawan (2000), pembentukan akar ditentukan oleh

    keseimbangan yang tepat antara auksin dan nutrisi. Auksin bertindak sebagai

    trigger pada level transkripsi dan nutrisi sebagai sumber karbon untuk mengatur

    translasi dalam sintesis protein yang diperlukan untuk diferensiasi aktivitas

    kambium menjadi primordial akar dan perkembangan dari primordial akar.

    Inisiasi akar yang terjadi pada penelitian ini membutuhkan waktu yang

    cukup lama (Gambar 18). Menurut Pierik (1987), sitokinin efektif dalam

    menghambat inisiasi akar. Rasco jr dan Maquilan (2005) juga menambahkan

    bahwa untuk menghindari tekanan osmotik, kekurangan air dan nutrisi

    memungkinkan terjadinya penghambatan pertumbuhan akar pada perkecambahan

    Nepenthes truncata di media MS.

    Gambar 18. Inisiasi Akar pada Eksplan Nepenthes.

  • 32

    Jumlah Tunas

    Pemberian BAP dan NAA secara tunggal memberikan pengaruh nyata

    terhadap rata-rata jumlah tunas Nepenthes mirabilis pada 2-16 MST. Kombinasi

    pemberian NAA dan BAP hanya memberikan hasil yang nyata terhadap jumlah

    tunas pada 2 MST.

    Rata-rata jumlah tunas umumnya meningkat pada semua perlakuan BAP

    setiap minggunya (Tabel 4). Penggunaan 0, 0.5 dan 1 ppm BAP tidak berbeda

    nyata terhadap rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan. Pemberian BAP 2 ppm

    menghasilkan jumlah tunas yang lebih rendah daripada pemberian konsentrasi

    BAP yang lain.

    Tabel 4. Pengaruh Pemberian BAP Terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2-16 MST

    BAP (ppm)

    Waktu Pengamatan (MST)

    2 3 6 9 12 15 16

    0 0.6 b 3.1 a 4.1 a 4.7 a 4.9 a 5.3 a 5.3 a 0.5 0.8 b 2.6 a 3.8 a 4.4 a 4.8 a 5.0 a 5.0 a 1 1.1 a 2.8 a 3.8 a 4.6 a 4.6 a 4.9 a 4.9 a 2 0.7 b 1.8 b 2.8 b 2.9 b 3.1 b 3.2 b 3.2 b

    Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5).

    Data pada tabel 4 memperlihatkan bahwa nepenthes sudah mampu

    menghasilkan rata-rata jumlah tunas yang banyak dengan konsentrasi BAP yang

    rendah atau tanpa penambahan BAP. Pemberian BAP hingga 1 ppm

    menghasilkan jumlah tunas yang banyak, sedangkan BAP 2 ppm menunjukkan

    penurunan jumlah tunas (Gambar 19). Hal ini diduga karena adanya kandungan

    sitokinin endogen yang cukup tinggi pada eksplan, sehingga dengan penambahan

    BAP berkonsentrasi rendah sudah mampu merangsang tanaman untuk

    manghasilkan tunas yang banyak.

  • 33

    (A) (B) Gambar 19. Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan BAP 1 ppm (A) dan

    Perlakuan BAP 2 ppm (B).

    Penelitian kultur kaspea yang telah dilakukan oleh Wydiastuti (2001), juga

    menghasilkan jumlah tunas yang semakin banyak dengan meningkatnya

    konsentrasi BAP hingga 1 ppm, sedangkan BAP 2 ppm menunjukkan penurunan

    jumlah tunas. Menurut Wydiastuti (2001), diduga pada konsentrasi 2 ppm

    tanaman sudah tidak responsif terhadap penambahan BAP dan pertumbuhannya

    menjadi terhambat.

    Tanaman yang tidak diberikan NAA mampu menghasilkan jumlah tunas

    paling banyak pada 5 hingga 8 MST (Tabel 5). Semakin meningkatnya

    konsentrasi NAA, jumlah tunas yang dihasilkan semakin sedikit (Gambar 20).

    Keadaan ini terjadi karena pada konsentrasi yang tinggi auksin akan menghambat

    pertumbuhan tunas. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Gunawan (1992),

    dimana nisbah auksin-sitokinin yang tinggi akan mendorong morfogenesis akar,

    sebaliknya nisbah sitokinin-auksin yang tinggi akan mendorong pembentukan

    tunas.

  • 34

    Tabel 5. Pengaruh Pemberian NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2-8 MST

    NAA (ppm)

    Waktu Pengamatan (MST)

    2 4 5 6 7 8

    0 0.9 3.2 ab 3.7 a 3.9 a 4.2 a 4.3 0.1 0.7 3.3 a 3.5 a 3.7 a 3.8 ab 4.0 0.2 0.8 3.0 ab 3.2 ab 3.5 ab 3.7 ab 3.9 0.5 0.9 2.6 b 2.9 b 3.1 b 3.3 b 3.6

    Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT Data merupakan hasil transformasi (x+0.5).

    (A) (B) Gambar 20. Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan NAA 0.1 ppm (A)

    dan Perlakuan NAA 0.5 ppm (B).

    Data pada tabel 6 memperlihatkan pengaruh interaksi BAP dan NAA,

    perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.5 ppm merupakan perlakuan yang mampu

    menghasilkan jumlah tunas terbanyak pada 2 MST yaitu 1.6 tunas per eksplan

    (Gambar 21). Menurut Sayekti (2007), pertumbuhan nepenthes setelah

    berkecambah relatif lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman

    herbaceous lain secara in vitro tetapi jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan

    pertumbuhan tanaman Nepenthes di lapang.

  • 35

    Tabel 6. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2 MST

    NAA (ppm)

    BAP (ppm)

    0 0.5 1 2

    0 0.5 bc 0.3 bc 0.7 abc 0.3 bc 0.1 0.0 c 0.0 c 0.8 abc 0.4 bc 0.2 0.0 c 1.4 ab 0.2 c 0.3 bc 0.5 0.4 bc 0.0 c 1.6 a 0.2 c

    Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5).

    Gambar 21. Jumlah Tunas pada Perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.5 ppm.

    Jumlah Daun

    Pemberian BAP dan NAA sebagai faktor tunggal memberikan pengaruh

    yang nyata terhadap jumlah daun Nepenthes mirabilis. Kombinasi pemberian

    BAP dan NAA memberikan pengaruh yang nyata hanya pada 4 MST.

    Rata-rata jumlah daun umumnya meningkat untuk perlakuan BAP setiap

    minggu (Tabel 7). Jumlah daun terbanyak dihasilkan oleh perlakuan tanpa

    pemberian BAP pada 6 hingga 16 MST. Seperti halnya jumlah tunas pada tabel

    4, pemberian BAP 0, 0.5 dan 1 ppm mampu menghasilkan rata-rata jumlah daun

    paling banyak. Penggunaan BAP dalam konsentrasi rendah atau tidak

    ditambahkan BAP cukup efisien untuk menghasilkan jumlah daun yang banyak.

  • 36

    Tabel 7. Pengaruh Pemberian BAP Terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 3-16 MST

    BAP (ppm)

    Waktu Pengamatan (MST)

    3 6 9 12 15 16

    0 0.4 b 1.5 a 10.8 a 13.6 a 15.5 a 16.1 a 0.5 0.9 a 5.9 a 9.5 a 12.2 a 15.3 a 15.8 a 1 0.7 ab 6.4 a 9.9 a 12.8 a 14.7 a 15.7 a 2 0.3 b 2.7 b 4.6 b 6.4 b 8.1 b 8.5 b

    Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5).

    Pertumbuhan daun pada nepenthes tergolong cukup lambat. Keadaan ini

    diindikasikan dari sedikitnya jumlah daun yang terbentuk setiap minggunya.

    Menurut Sayekti (2007), jumlah daun pada tanaman Nepenthes dapat dijadikan

    sebagai indikator jumlah buku dimana dalam tiap buku tersebut terdapat satu helai

    daun. Sedikitnya jumlah buku mempengaruhi jumlah bagian tanaman untuk

    disubkultur atau diperbanyak pada tahapan berikutnya.

    Data pada tabel 8 memperlihatkan tanpa pemberian NAA mampu

    memberikan jumlah daun terbanyak pada setiap minggu pengamatan. Pemberian

    NAA 0.5 ppm menghasilkan jumlah daun lebih sedikit dari perlakuan lain

    Tabel 8. Pengaruh Pemberian NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 3-16 MST

    NAA (ppm)

    Waktu Pengamatan (MST)

    3 6 9 12 15 16

    0 1.0 6.8 a 10.3 a 12.9 a 15.1 16.1 a 0.1 0.8 5.1 b 8.8 ab 11.4 ab 13.5 14.0 ab 0.2 0.9 5.3 b 8.2 b 10.7 ab 13.0 13.6 ab 0.5 0.6 4.3 b 7.6 b 10.0 b 12.0 12.4 b

    Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT Data merupakan hasil transformasi (x+0.5).

  • 37

    Data pada tabel 9 memperlihatkan interaksi BAP dan NAA yang mampu

    memberikan jumlah daun terbanyak pada 4 MST yaitu perlakuan tanpa pemberian

    BAP dan NAA (4.1 daun per eksplan). Hal ini diduga karena tanaman memiliki

    kandungan sitokinin endogen yang cukup tinggi, sehingga tanpa penambahan

    BAP dan NAA tanaman dapat menghasilkan jumlah daun yang banyak (Gambar

    22).

    Tabel 9. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 4 MST

    NAA (ppm)

    BAP (ppm)

    0 0.5 1 2

    0 4.1 a 2.7 ab 2.7 abc 1.0 cde 0.1 0.0 e 1.7 bcd 2.7 abc 0.9 cde 0.2 0.4 de 3.5 ab 2.0 abc 0.4 de 0.5 1.2 bcde 0.4 de 1.9 bcd 0.4 de

    Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5).

    Gambar 22. Jumlah Daun Nepenthes pada Perlakuan Tanpa Penambahan Zat Pengatur Tumbuh.

    Warna daun yang terbentuk secara umum tidak berbeda untuk semua

    perlakuan yaitu hijau kekuningan (Gambar 23). Warna kekuningan daun ini

    diduga karena tanaman kekurangan unsur besi dan magnesium pada media.

    Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa belum diketahui dengan jelas

    mengapa kekahatan besi dengan cepat dapat menghambat pembentukan klorofil.

    Tapi ada dua atau tiga macam enzim yang mengkatalis reaksi tertentu dalam

  • 38

    sintesis klorofil tampaknya memerlukan Fe2+. Salah satu bentuk besi yang

    mantap dan banyak terdapat di daun disimpan dalam kloroplas sebagai kompleks

    besi-protein yang disebut fitoferitin. Lakitan (2004) menambahkan bahwa

    kekurangan magnesium juga dapat menyebabkan tanaman tidak dapat membentuk

    klorofil dengan sempurna. Magnesium merupakan unsur penyusun klorofil dan

    aktivator dari berbagai enzim dalam reaksi fotosintesis, respirasi, dan

    pembentukan DNA dan RNA.

    Gambar 23. Warna Daun pada Eksplan Nepenthes mirabilis.

    Sayekti (2007) juga mengemukakan warna kuning pada daun tanaman

    nepenthes disebabkan oleh pertumbuhan sel yang terlalu cepat tetapi tidak diikuti

    oleh pembentukan klorofil yang cepat. Selain itu diduga kandungan sukrosa pada

    media juga telah habis diserap tanaman, sehingga tanaman kekurangan sukrosa

    yang mengakibatkan daun berwarna kekuningan.

    Jumlah Kantong

    Pemberian BAP secara tunggal memberikan pengaruh yang sangat nyata

    terhadap jumlah kantong pada 5 hingga 16 MST. Jumlah kantong umumnya

    meningkat pada semua perlakuan BAP setiap minggunya (Tabel 10). Pemberian

    BAP hingga 1 ppm mampu menghasilkan jumlah kantong paling banyak. Hal ini

    sesuai dengan tabel 7, pemberian BAP hingga 1 ppm menghasilkan jumlah daun

    paling banyak sehingga akan menghasilkan jumlah kantong yang banyak juga.

  • 39

    Tabel 10. Pengaruh Pemberian BAP Terhadap Rata-rata Jumlah Kantong Nepenthes mirabilis pada 5-16 MST

    BAP (ppm)

    Waktu Pengamatan (MST)

    5 7 9 11 13 15 16

    0 1.1 a 3.5 a 5.9 a 7.8 a 9.1 a 10.5 a 11.2 a 0.5 0.9 a 3.3 a 4.6 a 6.6 a 7.9 a 9.6 a 10.6 a 1 1.0 a 2.8 a 5.0 a 6.3 a 8.1 a 10.0 a 10.5 a 2 0.5 b 1.3 b 1.9 b 2.8 b 3.5 b 4.5 b 5.9 b

    Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5).

    Pemberian NAA secara tunggal memberikan pengaruh yang nyata

    terhadap jumlah kantong N.mirabilis hanya pada 5 MST (Tabel 11). Jumlah

    kantong pada minggu berikutnya tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. Hal

    ini menunjukkan pemberian NAA tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah

    kantong N.mirabilis yang dihasilkan.

    Tabel 11. Pengaruh Pemberian NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Kantong Nepenthes mirabilis pada 5-16 MST

    NAA (ppm)

    Waktu Pengamatan (MST)

    5 8 12 15 16

    0 0.9 a 3.6 6.9 9.0 10.0 0.1 0.7 ab 2.3 5.5 7.6 8.2 0.2 0.5 b 2.2 5.2 7.4 7.9 0.5 0.4 b 2.0 4.7 6.7 7.1

    Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5).

    Kantong pada tanaman nepenthes merupakan modifikasi dari daun.

    Strukturnya di alam, daun akan membentuk sulur panjang terlebih dahulu baru

    membentuk kantong di bagian ujung sulur tersebut. Pada penelitian ini, kantong-

    kantong nepenthes langsung terbentuk di bagian ujung daun tanpa pembentukan

    sulur terlebih dahulu (Gambar 24). Hal ini diduga karena kantong belum

    berfungsi sebagai penyedia hara bagi tanaman. Ketersediaan hara bagi tanaman

    sudah dipenuhi oleh zat hara pada media yang diberikan.

  • 40

    Gambar 24. Kantong yang Terbentuk pada Eksplan Nepenthes mirabilis.

    Jumlah Akar

    Hasil sidik ragam menunjukkan kombinasi pemberian BAP dan NAA

    memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap rata-rata jumlah akar

    setiap minggunya. Pengaruh yang nyata terhadap rata-rata jumlah akar diperoleh

    dari pemberian NAA secara tunggal.

    Jumlah akar umumnya meningkat setiap minggunya. Data pada tabel 12

    memperlihatkan bahwa perlakuan tanpa pemberian NAA menghasilkan rata-rata

    jumlah akar terbanyak pada 10-16 MST. Hal ini menunjukkan bahwa eksplan

    yang dikulturkan tanpa penambahan NAA memperlihatkan pertumbuhan yang

    lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain. Menurut Ammirato (1986) dalam

    Marlin (2005), beberapa sel tanaman dapat tumbuh, berkembang dan beregenerasi

    menjadi tanaman baru dalam media tanpa penambahan hormon. Dengan

    demikian, tanpa suplai auksin dan sitokinin eksogen, akar akan tetap tumbuh dan

    memanjang.

  • 41

    Tabel 12. Pengaruh Pemberian NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Akar Nepenthes mirabilis pada 10-16 MST

    NAA (ppm)

    Waktu Pengamatan (MST)

    10 11 12 13 14 15 16

    0 1.2 a 1.9 a 2.7 a 3.2 a 4.0 a 4.6 a 4.9 a 0.1 0.1 b 0.2 b 0.2 b 0.3 b 0.3 b 0.3 b 0.3 b 0.2 0.3 b 0.4 b 0.5 b 0.5 b 0.6 b 0.6 b 0.6 b 0.5 0.0 b 0.0 b 0.0 b 0.1 b 0.2 b 0.3 b 0.3 b

    Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5)

    Jumlah akar yang terbentuk pada tanaman nepenthes sangat sedikit seperti

    strukturnya di alam (Gambar 25). Menurut Sayekti (2007), jumlah akar yang

    berjumlah sedikit ini menunjukkan bahwa fungsi akar tidak terlalu berperan dalam

    memberikan stok hara bagi pertumbuhan tanaman. Mansur (2007), menambahkan

    secara alami kantong dibuat untuk mensuplai kekurangan nutrisi yang diserap

    akar dari tanah.

    Gambar 25. Jumlah Akar dilihat dari Bagian Bawah Botol Kultur.

    Akar yang terbentuk pada eksplan berwarna cokelat kehitaman dengan

    banyak bulu halus disekitarnya (Gambar 26). Menurut Lakitan (2004), akar

    membentuk bulu-bulu akar untuk memperluas permukaan kontaknya. Bulu akar

    merupakan penonjolan dari sel-sel epidermis akar. Lapisan sel ini berada pada

    bagian paling luar dan umumnya berbentuk agak pipih. Panjang bulu akar

    umumnya sekitar 1.5 mm. Bulu-bulu akar ini terbentuk pada daerah dekat dengan

    ujung akar, tidak pada semua bagian akar.

  • 42

    Gambar 26. Bulu Akar pada Akar Nepenthes mirabilis.

    Tinggi tanaman

    Hasil analisis ragam menunjukkan kombinasi pemberian BAP dan NAA

    memberikan pengaruh yang tidak nyata pada peubah tinggi tanaman. Pengaruh

    sangat nyata di dapat dari pemberian BAP dan NAA secara tunggal.

    Data pada tabel 13 memperlihatkan tanaman tertinggi di dapat dari

    pemberian BAP hingga 1 ppm dan tanpa pemberian NAA. Hal ini menunjukkan

    untuk menghasilkan tanaman yang cukup tinggi hanya diperlukan konsentrasi

    BAP yang cukup rendah. Hasil ini serupa dengan penelitian yang telah dilakukan

    Marlin (2005), eksplan jahe yang dikulturkan pada media tanpa pemberian BAP

    (0 ppm) atau BAP dengan konsentrasi yang rendah menghasilkan tunas yang

    berukuran lebih tinggi. Dalam kondisi tersebut kebutuhan sel akan sitokinin

    untuk pemanjangan sel telah terpenuhi.

  • 43

    Tabel 13. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Rata-rata Tinggi Tanaman Nepenthes mirabilis

    Perlakuan Tinggi Tanaman (mm)

    BAP (ppm) 0 9.1 a 0.5 9.1 a 1 10.2 a 2 5.9 b

    NAA (ppm) 0 10.7 a 0.1 7.8 b 0.2 7.5 b 0.5 8.2 b

    Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

    Tinggi tanaman merupakan peubah yang sering diamati baik sebagai

    indikator pertumbuhan maupun untuk mengukur pengaruh lingkungan atau

    perlakuan yang diterapkan. Hal ini didasarkan karena tinggi tanaman merupakan

    ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat (Anwar, 2007). Pertumbuhan

    tanaman nepenthes cukup lambat, hal ini dapat dilihat dari tinggi tanaman yang

    relatif pendek (Gambar 27).

    (A) (B)

    Gambar 27. Tinggi Tanaman Nepenthes, pada Perlakuan BAP 2 ppm (A) dan Perlakuan NAA 0.2 ppm + BAP 1 ppm (B).

  • 44

    Panjang Daun Terpanjang

    Panjang daun terpanjang diamati pada minggu pengamatan terakhir

    (Gambar 28). Berdasarkan hasil sidik ragam, kombinasi pemberian BAP dan

    NAA memberikan pengaruh yang sangat nyata pada peubah panjang daun

    terpanjang. Pemberian NAA dan BAP secara tunggal juga memberikan pengaruh

    yang sangat nyata.

    Data pada tabel 14 memperlihatkan bahwa pemberian BAP yang mampu

    menghasilkan panjang daun terpanjang yaitu BAP 0.5 ppm (19.5 mm) dan BAP 1

    ppm (19.8 mm). Ketika konsentrasi BAP ditingkatkan menjadi 2 ppm, panjang

    daun menjadi setengahnya (9.1 mm). Hal ini mengindikasikan BAP efektif

    digunakan dalam konsentrasi yang rendah. Panjang daun terpanjang juga didapat

    dari NAA 0 ppm (23.4 mm).

    Gambar 28. Panjang Daun Terpanjang pada Perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.2 ppm.

    Tabel 14. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Rata-rata Panjang Daun Terpanjang Nepenthes mirabilis

    Perlakuan Panjang Daun (mm)

    BAP (ppm) 0 15.3 b 0.5 19.5 a 1 19.8 a 2 9.1 c

    NAA (ppm) 0 23.4 a 0.1 14.4 b 0.2 13.3 b 0.5 12.7 b

  • 45

    Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

    Panjang daun terpanjang dipengaruhi sangat nyata oleh pemberian BAP

    dan NAA. Data pada tabel 15 memperlihatkan panjang daun terpanjang diperoleh

    dari perlakuan tanpa pemberian zat pengatur tumbuh (30.9 mm) dan panjang daun

    terpendek dari perlakuan 2 ppm BAP + 0.1 NAA (5.8 mm). Hal ini

    mengindikasikan perlakuan tanpa pemberian zat pengatur tumbuh memiliki

    kemampuan perpanjangan sel tanaman paling besar.

    Tabel 15. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA terhadap Rata-rata

    Panjang Daun Terpanjang Nepenthes mirabilis

    NAA (ppm)

    BAP (ppm)

    0 0.5 1 2

    0 30.9 a 26.1 ab 23.3 abc 13.4 def 0.1 12.0 def 19.9 bcd 19.8 bcd 5.8 f 0.2 6.9 f 15.2 de 24.5 abc 6.4 f 0.5 11.4 ef 16.7 cde 11.7 def 10.9 ef

    Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

    Panjang Akar Terpanjang

    Panjang akar terpanjang diamati pada minggu akhir pengamatan.

    Berdasarkan hasil sidik ragam, interaksi pemberian BAP dan NAA memberikan

    pengaruh yang tidak nyata pada peubah panjang akar. Pengaruh yang sangat

    nyata didapat dari pemberian BAP secara tunggal.

    Tabel 16 memperlihatkan bahwa panjang akar terpanjang didapat dari

    perlakuan tanpa pemberian NAA. Hal ini diduga kandungan auksin endogen

    tanaman cukup tinggi. Peningkatan konsentrasi auksin akan menghambat inisiasi

    akar, pembelahan sel dan pemanjangan akar (Wattimena, 1988). Ekawati (2006),

    juga menambahkan konsentrasi NAA yang ditingkatkan ke media pengakaran

    akan meningkatkan auksin endogen sehingga terjadi akumulasi auksin.

    Akumulasi auksin ini akan menghambat pemajangan akar. Konsentrasi auksin

    endogen yang tinggi dapat menyebabkan pemendekan sel-sel.

  • 46

    Tabel 16. Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Pan