n-2 igaa _kapas_
DESCRIPTION
PertanianTRANSCRIPT
-
Perspektif Vol. 10 No. 1 /Juni 2011. Hlm 11 - 21
ISSN: 1412-8004
Potensi Jamur Entomopatogen Nomuraea rileyi Untuk Pengendalian H. armigera pada Kapas (IGAA INDRAYANI) 11
POTENSI JAMUR ENTOMOPATOGEN Nomuraea rileyi (Farlow) SAMSON
UNTUK PENGENDALIAN Helicoverpa armigera Hubner PADA KAPAS
IGAA. INDRAYANI
Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat
Indonesian Tobacco and Fibre Crops Research Institute
Jl. Raya Karangploso, Kotak Pos 199 Malang 65152
Diterima: 2 Februari 2011 ; Disetujui: 2 Mei 2011
ABSTRAK
Keberadaan entomopatogen secara alami berperan
penting dalam mengatur populasi serangga hama.
Jamur N. rileyi yang diisolasi dari larva H. armigera
pada tanaman jagung dan kapas merupakan jamur
entomopatogen potensial terhadap lebih dari 10
spesies hama Lepidoptera di dunia. Salah satunya
adalah H. armigera yang ditemukan terinfeksi N. rileyi
pada pertanaman jagung di sekitar Malang dan kapas
di Lamongan, Jawa Timur. Hasil observasi lapang
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah larva
H. armigera terinfeksi N. rileyi di lapang setiap tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa epizootik N. rileyi
berkembang pesat pada populasi inangnya tersebut.
Untuk mengetahui potensi N. rileyi sebagai faktor
mortalitas H. armigera, maka perlu dilakukan
serangkaian pengujian yang dimulai dari isolasi,
pemurnian, uji karakter biologi terutama laju
pertumbuhan dan produksi konidia, serta uji virulensi
terhadap hama sasaran. N. rileyi diisolasi dari larva H.
armigera yang terinfeksi, kemudian dimurnikan dan
diperbanyak pada media Sabouraud Maltosa Agar +
ekstrak yeast (SMAY). Tulisan ini bertujuan untuk
menginformasikan potensi N. rileyi sebagai agen hayati
dalam pengendalian larva penggerek buah kapas, H.
armigera. Diperoleh dua strain N. rileyi yang diisolasi
dari larva H. armigera, yaitu MA 01 (Malang) dan LG 02
(Lamongan). Hasil uji laju pertumbuhan menunjukkan
bahwa kedua strain berkecambah lebih cepat pada
media SMAY dibanding pada media SMAY+ekstrak
beras (SMAYB), yaitu berturut-turut sekitar 1,25-1,27
mm/hr (SMAY) dan 0,99-1,07 mm/hr (SMAYB). Strain
LG 02 memproduksi konidia lebih banyak (3,9 x 109
konidia/ml) dibanding MA 01 (1,7 x 109 konidia/ml)
pada media SMAY. Hasil uji virulensi terhadap larva
H. armigera instar II menunjukkan strain LG 02 lebih
virulen dibanding strain MA 01 dengan mortalitas
berturut-turut 76 dan 64% pada konsentrasi 109
konidia/ml. LC50 pada LG 02 dan MA 01 berturut-turut
adalah 5,2 x 106 dan 7,2 x 106 konidia/ml dengan LT50
keduanya berkisar antara 5,9-8,4 hari. Namun
demikian masih diperlukan beberapa penelitian
lanjutan untuk mengetahui potensinya dalam
pengendalian H. armigera, antara lain: uji virulensi
terhadap berbagai serangga inang, uji kesesuaian
dengan teknik pengendalian hama yang lain, serta
pengujian untuk mendapatkan teknik perbanyakan
yang efektif dan efisien.
Kata kunci: Entomopatogen, Nomuraea rileyi, isolat,
strain, mortalitas, konidia, virulensi
ABSTRACT
Potential of Nomuraea rileyi (Farlow) Samson as a Entomopathogen to Helicoverpa armigera Hubner on Cotton
Naturally, occuring entomopathogens are important as
a regulatory factors in insect pest population. N. rileyi
isolated from H. armigera cadavers on corn silks and
leaves of tomato and cotton is an important
entomopathogenic fungi causing natural mortality in
more than 10 lepidopteran insects throughout the
world. One of these pests is cotton bollworm or corn
budworm, H. armigera was found naturally infected by
N. rileyi around Malang and Lamongan, East Java.
Field observation recorded that number of infected
larvae by N. rileyi increased every year in the field. This
indicated that epizootic of N. rileyi developed rapidly
in host population. To study the potency of N. rileyi as
a mortality factor of H. armigera, a series of test should
be arranged e.g. isolation, purification, biological
characteristic test, such as growth rate, conidia
production, and testing of virulence against target
insect pest. N. rileyi was isolated from infected larvae of
H. armigera in the field, then purified and re-cultured
on Sabouraud Maltose Agar with yeast extract (SMAY)
medium. The objective of this paper is to inform the
potency of N. rileyi as a bio control agent against H.
armigera. There were two strains of N. rileyi, MA 01 and
LG 02 collected from H. amigera larvae cadaver from
Malang and Lamongan, East java. Laboratory test on
germination showed that the germination rate of both
-
12 Volume 10 Nomor 1, Juni 2011 : 11 - 21
strains MA 01 and LG 02 were faster on SMAY media
(1,25-1,27 mm/day) than that on SMAY+rice extract
(SMAYR) media (0,99-1,07 mm/day). Yield of conidia
cultured on SMAY was higher on LG 02 than on MA 01
as 3,9 x 109 conidia/ml and 1,7 x 109conidia/ml,
respectively. Strain LG 02 was more virulence than MA
01 against second instar of H. armigera with 76 and 64%
of percentage mortality, respectively. Concentration of
N. rileyi conidia for 50% mortality of tested larvae
(LC50) was 5,2 x 106 conidia/ml and 7,2 x 106 conidia/ml
for LG 02 and MA 01, respectively with average LT50
were 5,9-8,4 days. However, these early studies need
further testing to find out the whole potency of N. rileyi
in controling of H. armigera, mainly study on virulence
against other insect host, compatibility to other control
methods and suitable technique for mass production,
such as effective and efficient.
Key words: Entomopathogen, Nomuraea rileyi, isolate,
strain, mortality, conidia, virulence
PENDAHULUAN
Hama penggerek buah, H. armigera
merupakan salah satu hama utama tanaman
kapas yang serangannya berpotensi merusak dan
mengakibatkan produksi menurun, bahkan
menggagalkan panen. Serangan hama buah ini
ditemukan hampir di seluruh pertanaman kapas
pada setiap musim tanam. Serangan biasanya
dimulai saat pembentukan kuncup bunga kapas
dan berakhir hingga menjelang panen, karena
hama ini dapat merusak mulai dari daun muda,
kuncup bunga, bunga, buah muda dan buah tua
yang masih berwarna hijau. Serangannya pada
masing-masing fase pertumbuhan kapas tersebut
tidak dilakukan sekaligus, tetapi disesuaikan
menurut instar larva. Larva instar I dan II
biasanya lebih suka memakan daun muda. Instar
III dan IV menyerang kuncup bunga dan bunga,
sedangkan instar V dan VI lebih banyak merusak
buah-buah muda. Hama ini sangat aktif merusak,
karena satu larva saja dapat menghabiskan
semua kuncup bunga dan buah yang ada,
sehingga tanaman tidak berproduksi.
Pengendalian serangga hama dengan
mikroorganisme di negara-negara maju sudah
berkembang sejak lama, sedangkan di Indonesia
baru dimulai sekitar tahun 1986 melalui Proyek
FAO pada kapas. Entomopatogen yang potensial
mengendalikan serangga hama adalah jamur.
Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae
adalah spesies jamur entomopatogen yang sudah
dikomersialkan di sejumlah Negara (Hanchinal,
2000; Nirmala et al., 2006; James, 2003). Jamur
lainnya seperti: Paecilomyces fumosoroseus, Verticil-
lium lecanii dan Nomuraea rileyi juga diketahui
dapat mengendalikan populasi serangga hama
(Vega et al., 1999; Sulistyowati et al., 2002; Sheroze
et al., 2003; Fatiha et al., 2007). Menurut
Shanthakumar et al. (2010), diantara ketiga jamur
tersebut N. rileyi lebih berpotensi mengendalikan
serangga hama, khususnya anggota Lepidoptera.
Pemanfaatan N. rileyi dalam pengendalian hama
sudah cukup populer di beberapa negara, seperti:
Brasil, India, Pakistan, China, dan Thailand. Di
Brasil, jamur N. rileyi sudah digunakan sejak
lama untuk pengendalian larva daun kedelai dan
kacang-kacangan, Anticarsia gemmatalis (Onofre et
al., 2002; Sosa-Gomez et al., 2003). Penelitian di
India juga membuktikan bahwa beberapa hama
penggerek buah kapas, terutama H. armigera,
sangat rentan terhadap infeksi N. rileyi (Uma
Devi et al., 2003), juga terhadap larva pemakan
daun, Spodoptera litura (Rao et al., 2006) dan
Spodoptera frugiperda (Pavone et al., 2009).
Penelitian tentang pemanfaatan jamur N.
rileyi untuk pengendalian hama belum banyak
dilakukan, padahal serangga inangnya banyak
dijumpai pada berbagai komoditas penting,
seperti kapas, tembakau, jagung, tomat, dan
tanaman kacang-kacangan. Berdasarkan hasil
observasi sejak tahun 2005 hingga 2010 di Jawa
Timur, diketahui telah terbentuk epizootik jamur
N. rileyi pada populasi larva H. armigera yang
merusak pertanaman jagung, tomat dan kapas di
wilayah Malang. Paling sedikit 1 dari 20 larva H.
armigera yang dikoleksi dari lapang diketahui
terinfeksi N. rileyi disertai gejala mikosis
(pertumbuhan jamur pada larva) dan jumlah
tersebut semakin meningkat setiap tahunnya.
Demikian pula eksplorasi entomopatogen di
Lamongan pada tahun 2008 dan 2009 diperoleh
sekitar 5% larva H. armigera pada tanaman jagung
dan kapas terinfeksi N. rileyi. Eksplorasi
entomopatogen yang dilakukan di Lamongan
dan Temanggung pada tahun 2010 menemukan
sekitar 15 larva ( 24,6%) H. armigera dengan
variasi instar III-V terinfeksi N. rileyi (Indrayani et
al., 2010). Fenomena yang sama juga terjadi di
-
Potensi Jamur Entomopatogen Nomuraea rileyi Untuk Pengendalian H. armigera pada Kapas (IGAA INDRAYANI) 13
India dan Meksiko dimana epizootik N. rileyi
dijumpai pada populasi larva S. litura dan S.
frugiperda pada tanaman kacang tanah, kedelai
dan jagung (Rachappa dan Lingappa, 2007; Rios-
Velasco et al., 2010; Ramegowda et al., 2010).
Mengingat sebagian besar wilayah Lamongan
merupakan daerah yang lebih kering
dibandingkan dengan Malang dan Temanggung,
maka epizootik N. rileyi di daerah tersebut
merupakan kejadian yang tidak biasa, karena
jamur lebih menyukai daerah yang sejuk dengan
kelembapan tinggi, seperti Malang dan
Temanggung. Secara bioekologi, jamur yang
mampu beradaptasi di lingkungan bersuhu
tinggi (>30 C), kering dengan kelembapan
rendah (< 80%) biasanya lebih virulen.
Tulisan ini bertujuan untuk menginfor-
masikan potensi N. rileyi sebagai agen hayati
untuk pengendalian larva penggerek buah kapas,
H. armigera.
PENGENDALIAN SERANGGA HAMA
KAPAS
Terdapat tiga serangga hama utama pada
kapas, yaitu hama pengisap daun, Amrasca
biguttula, hama penggerek buah, H. armigera dan
Pectinophora gossypiella. Sejak tiga dasa warsa
terakhir, serangan hama pengisap daun A.
biguttula sudah dapat dikendalikan dengan
varietas tahan. Namun demikian, sampai saat ini
varietas tahan yang digunakan belum memiliki
ketahanan yang sesuai dengan harapan, karena
masih memerlukan perlakuan benih dengan
insektisida sistemik dalam upaya menghambat
serangan A. biguttula selama fase vegetatif tanam-
an kapas. Upaya merakit varietas kapas yang
tahan serangan hama pengisap masih terus
dilakukan melalui pengujian aksesi kapas untuk
mendapatkan sifat tahan secara genetik. Salah
satu sifat tahan adalah berasal dari karakteristik
morfologi tanaman kapas, terutama kerapatan
bulu daun (Indrayani, 2008).
Sudah tersedia teknik pengendalian H.
armigera pada tanaman kapas, mulai dari teknik
budidaya dengan tanaman jagung sebagai
tanaman perangkap, manipulasi habitat untuk
meningkatkan musuh alami, penggunaan
pestisida botani, hingga pemanfaatan mikro-
organisme (entomopatogen) yang semuanya
terakit dalam Pengendalian Hama Terpadu
(PHT). Setiap teknik pengendalian memiliki
kelebihan dan kekurangan yang berdampak
cukup nyata terhadap hasil pengendalian.
Tanaman perangkap berupa rambut jagung
cukup efektif mengurangi infestasi telur H.
armigera pada kapas, demikian pula upaya
memanipulasi habitat dapat meningkatkan
pemangsaan dan parasitasi musuh alami
terhadap inangnya (Nurindah dan Sunarto,
2008). Selain itu, sebagai pestisida botani serbuk
biji mimba yang diaplikasikan pada tanaman
kapas juga efektif mengurangi 10% serangan H.
armigera (Sunarto et al., 2004).
Varietas tahan untuk H. armigera hingga
saat ini belum diperoleh, disebabkan
keterbatasan sumber genetik. Meskipun beberapa
negara saat ini telah menggunakan varietas tahan
hasil rekayasa genetika, tetapi teknologi ini
belum diadopsi di Indonesia, karena peraturan-
nya belum tersedia. Sejak diterapkannya PHT,
pengendalian hama kapas sudah tidak lagi
menggunakan insektisida kimia secara intensif.
Penggunaan varietas tahan hama pengisap daun
A. biguttula, parasitoid telur Trichogramma spp.,
manipulasi habitat untuk meningkatkan
ketersediaan nektar, dan aplikasi pestisida botani
tampaknya cukup efektif menekan kehilangan
hasil kapas hingga 50%. Selain itu, dengan
komersialisasi produk HaNPV dan SlNPV yang
akan dilakukan oleh PT. Probio Malang
berpotensi meningkatkan peran agen hayati
dalam pengendalian serangga hama kapas.
BIOEKOLOGI DAN POTENSI JAMUR
N. rileyi DALAM PENGENDALIAN
SERANGGA HAMA
Filum Deuteromycotina merupakan keluar-
ga besar berbagai jamur Imperfecti, termasuk N.
rileyi yang berkembangbiak secara aseksual
(anamorfik) dengan spora pasif yang disebut
konidia. Penelitian terhadap berbagai genus dan
spesies jamur dari klas Hypomycetes sudah
banyak dilakukan dan salah satu yang siklus
hidupnya telah dikarakterisasi secara lengkap
adalah N. rileyi. Jamur ini sangat infektif terhadap
larva-larva Lepidoptera. Larva yang terinfeksi N.
rileyi biasanya menunjukkan gejala mumifikasi
atau pengerasan yang diikuti dengan pertum-
-
14 Volume 10 Nomor 1, Juni 2011 : 11 - 21
buhan miselium pada seluruh permukaan
tubuhnya. Konidiofor yang terbentuk dari
miselium memproduksi konidia yang warnanya
hijau kekuningan atau biru kehijauan.
Unit utama infeksi jamur N. rileyi adalah
konidia. Konidia bersifat menyerap air (hidrofob)
yang penyebarannya di alam melalui angin atau
air hujan. Siklus infeksi pada serangga diawali
dengan menempelnya konidia pada integumen
(kulit), kemudian diikuti dengan masa per-
kecambahan dalam waktu 24 jam. Kematian
pada larva biasanya terjadi sekitar 5-7 hari setelah
terinfeksi dan penyebabnya antara lain: gang-
guan fisiologis akibat pengaruh toksin yang
diproduksi jamur. Pendland et al. (1994) mengata-
kan bahwa pengaruh toksin yang diproduksi dari
miselium N. rileyi dapat menyebabkan gejala
toksisitas pada beberapa larva Lepidoptera.
Seperti jamur umumnya, suhu dan kelem-
baban lingkungan juga sangat mempengaruhi
perkembangan N. rileyi. Kelembapan tinggi (80-
90%) lebih dibutuhkan dalam proses perkecam-
bahan dibanding dengan kelembapan rendah (<
60%), terutama untuk melakukan kontak dengan
kutikula serangga. Sebaliknya, untuk pembentu-
kan konidia dan melakukan penyebaran secara
horizontal pada inang lain biasanya terjadi pada
kelembapan lingkungan yang lebih rendah (50-
60%). Pada kelembapan tinggi miselium N. rileyi
akan tumbuh dari larva yang telah bermumifikasi
dan memproduksi konidiofor sebagai alat invasi
ke seluruh bagian internal serangga. Di labora-
torium N. rileyi dapat diperbanyak secara in vivo
menggunakan serangga hidup dan secara in vitro
pada media yang kaya nutrisi, seperti Sabouraud
Maltose Agar + ekstraks yeast (SMAY). Pertum-
buhan miselium yang berwarna putih biasanya
sudah terjadi < 10 jam setelah kematian larva dan
massa konidia yang berwarna hijau terbentuk
48 jam setelah pertumbuhan miselium.
N. rileyi dikenal efektif menginfeksi sejum-
lah spesies serangga hama (Tang et al., 1999;
Srisukchayakul et al., 2005; Suwannakut et al.,
2005). Tidak seperti jamur entomopatogen lain-
nya, yaitu Beauveria bassiana dan Metarhizium
anisopliae yang pilihan inangnya lebih generalis,
inang N. rileyi cenderung lebih spesifik terutama
dari famili Noctuidae (Lepidoptera). Epizootik
jamur ini dapat ditemukan pada populasi hama
yang merusak berbagai tanaman pertanian. Lebih
dari 30 spesies Lepidoptera yang tergolong
serangga polifagus telah teridentifikasi rentan
terhadap infeksi N. rileyi (Ignoffo dan Boucias,
1992; Vimala Devi et al., 2003; Shah dan Pell,
2003), terutama dari genus Helicoverpa, Heliothis,
Spodoptera, Pseudoplusia, Trichoplusia, Plutella, dan
Rachiplusia yang juga dikenal sebagai inang yang
rentan terhadap infeksi entomopatogen (Sanchez-
Pena, 2000; Martins et al., 2005). Menurut Uma
Devi et al. (2003), pada kondisi lingkungan yang
sesuai N. rileyi sangat virulen terhadap hama
sasaran, namun demikian tingkat virulensi jamur
dipengaruhi oleh kondisi geografis wilayah
dimana isolat jamur tersebut pertama kali
ditemukan. Hal ini dibuktikan melalui hasil
penelitian sebelumnya bahwa isolat N. rileyi yang
diisolasi dari inang serangga dari lokasi geografis
yang berbeda biasanya mempunyai karakter
biologi yang juga berbeda (Boucias et al., 2000;
Molina et al., 2003).
Pada Lepidoptera N. rileyi dapat meng-
infeksi sebagian atau semua instar (I-V) larva.
Menurut Boucias et al., (1984) dalam Tang et al.
(1999), larva instar IV Pseudaplusia includes dan
Anticarsia gemmatalis lebih rentan terhadap
infeksi N. rileyi dibanding instar II, sedangkan
larva Helicoverpa zea instar III-V lebih rentan
terhadap infeksi N. rileyi dibanding dengan instar
I-II (Mohammed et al., 1977 dalam Tang et al.,
1999). Pada hama kubis, Trichoplusia ni semakin
tua instar larva semakin menurun virulensi N.
rileyi (Getzin, 1961 dalam Tang et al., 1999). Hasil
penelitian Tang et al. (1999) lainnya membuktikan
bahwa LC50 N. rileyi pada larva H. armigera instar
I-II mencapai 625 kali lebih tinggi dibanding pada
larva instar IV-V. Tang et al. (2003) juga meng-
ungkapkan bahwa lebih banyak larva Helicoverpa
spp. instar III-V yang terinfeksi N. rileyi
dibanding instar I-II. Tetapi hasil penelitian yang
berbeda dicapai pada pengujian virulensi N. rileyi
strain lokal, yaitu larva H. armigera instar II lebih
rentan terhadap infeksi dibanding instar III-V
(Indrayani et al, 2010). Hasil ini sejalan dengan
hasil penelitian terdahulu bahwa mortalitas larva
H. armigera instar I-II lebih tinggi dibanding
instar III-V (Gundannavar et al., 2005; 2008).
Perbedaan virulensi N. rileyi pada setiap
instar larva kemungkinan dipengaruhi oleh
-
Potensi Jamur Entomopatogen Nomuraea rileyi Untuk Pengendalian H. armigera pada Kapas (IGAA INDRAYANI) 15
metode inokulasi yang digunakan. Larva H.
armigera instar I-II biasanya belum menunjukkan
sifat kanibalnya, sehingga inokulasi jamur dapat
dilakukan dengan cara penyemprotan pada
integumen. Sedangkan pada larva instar III-V
yang sudah menunjukkan sifat kanibalnya,
inokulasi jamur dilakukan melalui kontak media
pakan per individu larva. Kelemahan cara
inokulasi ini adalah kemungkinan hanya sedikit
massa konidia jamur yang kontak (menempel)
pada larva karena hanya bagian ventral dan kaki
depan (proleg) serangga yang menyentuh media
yang telah diinokulasi jamur. Selain itu, semakin
menebalnya kutikula serangga seiring dengan
bertambahnya umur larva juga berpotensi
menghambat penetrasi jamur. Adanya perbedaan
kerentanan instar larva terhadap infeksi N. rileyi,
maka pengendalian dengan jamur ini sebaiknya
dimulai sejak instar awal populasi larva pada
tanaman inang, untuk mencegah kerusakan yang
lebih berat pada tanaman akibat serangan larva
instar lanjut.
KARAKTER BIOLOGI DAN VIRULENSI
N. rileyi STRAIN LOKAL
Karakter biologi yang cukup penting
sebagai pendukung potensi N. rileyi untuk
pengendalian H. armigera adalah laju pertumbuh-
an dan produksi konidia pada media standar
(SMAY). Setiap isolat jamur entomopatogen
memiliki laju pertumbuhan yang berbeda-beda,
tergantung strain jamur dan kandungan nutrisi
media tumbuhnya (Vega et al., 2003; Edelstein et
al., 2004; Gao dan Liu, 2009). Media tumbuh
masing-masing spesies jamur entomopatogen
cenderung spesifik. SMAY adalah media tumbuh
yang paling sesuai untuk N. rileyi, sedangkan B.
bassiana lebih cocok pada media Sabouraud
dextrose agar + ekstrak yeast (SDAY) dan
pertumbuhan jamur P. fumosoroseus mencapai
optimal pada media potato dextrose agar (PDA).
Selain SDAY, beras merupakan media tumbuh
yang baik untuk B. bassiana, tetapi kurang
mendukung pertumbuhan miselium N. rileyi,
tetapi lebih baik pada media sorghum atau
gandum (Vimala Devi, 1994).
Tiga strain N. rileyi yang dikoleksi dari
lapang dua diantaranya, yaitu MA 01 dan LG 02
telah diisolasi, dimurnikan, dan diperbanyak
pada media potato carrot agar (PCA) sebagai
media standar koleksi jamur entomopatogen.
Selain disimpan dalam almari es sebagai koleksi,
juga digunakan sebagai sumber inokulum dalam
perbanyakan pada media SMAY untuk bahan
pengujian. Hasil uji laju pertumbuhan kedua
strain pada dua komposisi media agar yang
berbeda. Data menunjukkan bahwa keduanya
berkecambah lebih cepat (1,25-1,27 mm/hari)
pada media SMAY dibanding pada media
SMAY+ekstrak beras (SMAYB) dan media
lengkap khusus untuk N. rileyi (0,99-1,07 mm/
hari) (Hidayah dan Indrayani, 2011). Disamping
laju pertumbuhan, kemampuan produksi konidia
juga penting untuk mendukung potensinya
dalam pengendalian hama. Hasil uji produkti-
vitas konidia menunjukkan bahwa strain MA 01
dan LG 02 mampu menghasilkan konidia sekitar
1,7- 3,9 x 109 konidia/ml suspensi atau setara
dengan produksi 1,7-3,9 x 1010 konidia/g konidia
kering tanpa media (Hidayah dan Indrayani,
2011). Produksi tersebut tidak berbeda dengan
yang dicapai oleh Vimala Devi (1994), yaitu
sekitar 1,4 x 1010 konidia/g, bahkan 100 kali
lebih banyak dibanding yang dicapai Rieswanto
(1998), yaitu sekitar 3,62 x 108 konidia/ ml. Ansari
et al. (2004) mengatakan bahwa strain jamur
entomopatogen yang virulen biasanya berkecam-
bah lebih cepat dan memproduksi konidia lebih
banyak dibanding yang kurang virulen. Damir
(2006) mengatakan bahwa laju perkecambahan
jamur yang tinggi pada media Agar juga akan
lebih cepat menginfeksi inang.
Martins et al. (2005) mengatakan bahwa
tingkat virulensi jamur entomopatogen cende-
rung lebih tinggi pada serangga inang utamanya
(serangga asal mula jamur pertama kali diisolasi)
dibandingkan dengan yang bukan inang
utamanya. Hasil uji virulensi terhadap larva H.
armigera instar II menunjukkan bahwa strain LG
02 lebih virulen dibandingkan dengan strain MA
01 dengan masing-masing mortalitas sebesar 76%
pada LG 02 dan 64% pada MA 01 pada
konsentrasi 1x109 konidia/ml. Selain itu, strain LG
02 mencapai LC50 relatif lebih rendah (5,2 x 106
konidia/ml) dibanding MA 01 (7,2 x 106
konidia/ml) dengan kisaran LT50 keduanya
sekitar 5,8-8,7 hari (Indrayani et al., 2010). LC50
yang sama juga pernah dicapai, yaitu sekitar 105-
-
16 Volume 10 Nomor 1, Juni 2011 : 11 - 21
106 konidia/ml dengan LT50 sekitar 7,9-9,4 hari
(Iqtiat et al., 2009). Hasil penelitian Tang et al.
(1999) di China LC50 dapat dicapai 10 kali lebih
rendah dibanding strain MA 01 dan LG 02, yaitu
2,4 x 105 konidia/ml dengan LT50 sekitar 7-7,5
hari. Namun demikian Qin et al. (2009)
mengatakan bahwa kisaran LC50 semua strain N.
rileyi variasinya tidak terlalu tinggi antar
serangga inang yang berasal dari kelompok
Lepidoptera.
Setiap jamur entomopatogen biasanya
memiliki lebih dari satu strain dan setiap strain
akan menunjukkan karakter biologi yang
berbeda-beda. Karakter biologi ini erat kaitannya
dengan virulensi. Jamur entomopatogen yang
diisolasi dari lingkungan yang kering dengan
kelembapan rendah biasanya virulensinya tinggi.
Hal ini berhubungan dengan kemampuan
adaptasi pada daerah yang lebih ekstrim. Boucias
et al. (2000) mengatakan bahwa jamur yang dapat
menginfeksi inang di daerah kering dengan
kelembaban lingkungan rendah menunjukkan
jamur tersebut lebih virulen dibanding yang
hidup di daerah dengan kelembaban tinggi.
Selain itu, kecepatan menyebabkan mikosis larva
yang terinfeksi (< 7 hari) juga merupakan indikasi
bahwa jamur tersebut sangat virulen (Regoes et
al., 2000),
Perbanyakan N. rileyi strain lokal masih
menggunakan media SMAY yang harganya
cukup mahal karena belum menemukan bahan
media organik dari serealia yang sesuai untuk
jamur ini. Di India, Vimala Devi (1994) cukup
berhasil memperbanyak N. rileyi pada gandum
dan sorghum, sedangkan Sahayaraj et al. (2008)
mencoba memperbanyak N. rileyi pada beberapa
media padat dan cair, seperti beras, gandum,
sorghum, air kelapa, air cucian beras, air cucian
gandum atau sorghum, tetapi hanya air kelapa
yang terbukti lebih produktif. Hasil pengujian
terhadap kapasitas produksi konidia N. rileyi
dengan media SMAY pada cawan petri
berdiameter 10 cm menunjukkan bahwa setiap
cawan petri mampu menghasilkan sekitar 30-50
mg konidia. Jika mengacu pada hasil penelitian
Tang dan Hou (2003), untuk mencapai mortalitas
larva H. armigera sekitar 90,5-100% pada tanaman
jagung dibutuhkan sekitar 108-1011 konidia atau
setara dengan 1-1,5 g konidia, sehingga
banyaknya konidia yang mesti disiapkan adalah
sekitar 20-50 cawan petri. Oleh karena itu, untuk
mempercepat pemanfaatan N. rileyi di lapang,
maka diperlukan serangkaian penelitian lanjutan,
terutama difokuskan pada uji konsentrasi efektif
di lapang, uji pengaruh lingkungan terhadap
virulensi, dan uji kompatibilitas dengan teknik
pengendalian hama yang lain.
PROSPEK PENGEMBANGAN JAMUR
ENTOMOPATOGEN SEBAGAI
BIOINSEKTISIDA
Sebagai salah satu komponen PHT jamur
entomopatogen sudah banyak dimanfaatkan
dalam pengendalian serangga hama. Seperti
sebagian besar entomopatogen, jamur juga sangat
selektif terhadap inang. Selektivitas tinggi
berhubungan dengan mekanisme infeksi ter-
hadap serangga inang. Jamur membutuhkan
kontak dengan inangnya sebelum menginfeksi.
Hal ini yang menyebabkan stadia inang yang
akan diinfeksi harus tepat. Keberhasilan
penggunaan jamur entomopatogen sebagai bio
insektisida akan sangat tergantung pada
ketepatan memilih isolat yang virulen, bentuk
formulasi yang sesuai, serta ketepatan dosis dan
waktu aplikasi. Selain itu, ketepatan waktu
aplikasi berkaitan erat dengan tingkat kerentanan
stadia inang dan kondisi lingkungan pendukung
perkembangan jamur, serta kesesuaian dengan
aktivitas budidaya, terutama pengairan.
Disamping itu, fungisida dalam pengendalian
penyakit tanaman berpotensi menghambat
aktivitas jamur entomopatogen. Menurut Sosa-
Gomez et al. (2003) benomil adalah fungisida
yang paling aktif menghambat pertumbuhan
miselium jamur N. rileyi karena dapat menunda
2-14 hari inisiasi epizootik N. rileyi di lapang. Di
antara pestisida kimia, fungisida merupakan
penghambat tertinggi perkembangan jamur
entomopatogen (78,28%) diikuti oleh insektisida
(44,23%) dan herbisida (20,33%) (Rachappa et al.,
2006).
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa kerusakan polong pada tanaman kacang-
kacangan yang disebabkan oleh serangan larva
H. armigera lebih rendah (10,65%) pada
pengendalian dengan jamur N. rileyi dibanding-
-
Potensi Jamur Entomopatogen Nomuraea rileyi Untuk Pengendalian H. armigera pada Kapas (IGAA INDRAYANI) 17
kan pengendalian dengan jamur Metarhizium
anisopliae, pestisida nabati biji mimba, dan
nuclear polyhedrosis virus dari larva H. armigera
(HaNPV), yaitu berturut-turut 10,86; 12,33; dan
13,56% (Sreenivas et al., 2006). Secara umum
entomopatogen sebagai agen hayati dalam
pengendalian serangga hama memiliki keung-
gulan dibanding agen hayati lainnya, terutama
parasitoid, predator dan pestisida botani.
Dibandingkan dengan parasitoid dan predator,
produk entomopatogen dapat disimpan dalam
jangka waktu yang lama karena dapat
diformulasi. Selain itu, entomopatogen juga
persisten di lapang, baik pada tanaman maupun
tanah hingga kurun waktu yang cukup lama dan
jika kondisi lingkungan mendukung akan
berpotensi menjadi sumber inokulum yang
efektif menginfeksi generasi inang berikutnya.
Hal tersebut agak sulit terjadi pada penggunaan
pestisida botani biji mimba karena azadirachtin
sebagai bahan aktif sangat mudah terdegradasi
oleh sinar ultraviolet dari matahari. Keunggulan
lainnya adalah sebaran N. rileyi yang melalui
angin sangat mendukung perluasan wilayah
infeksi terhadap inangnya. Fuxa (1992) mengata-
kan bahwa N. rileyi dapat menyebar hingga
luasan 0,8 ha, sedangkan jamur M. anisopliae
hanya mampu menyebar hingga 800 m.
Jamur N. rileyi banyak dimanfaatkan untuk
pengendalian H. armigera pada kapas, jagung,
tomat, kedelai, dan bunga krisan (Tang dan Hou,
2003; Gundannavar et al., 2008; Iqtiat et al., 2009).
Aplikasi jamur ini juga dapat dikombinasikan
dengan teknik pengendalian hama yang lain,
yaitu pestisida botani, parasitoid dan predator,
varietas resisten, dan insektisida kimia yang
selektif. Menurut Rao et al. (2006) N. rileyi dapat
dikombinasikan dengan jamur entomopatogen
lain, seperti Beauveria bassiana, tetapi tidak selalu
menghasilkan pengaruh yang sinergis maupun
antagonis terhadap mortalitas serangga. Hasil
observasi terhadap kemampuan parasitasi dan
rasio jantan-betina parasitoid Trichogramma
japonicum dan T. chilonis menunjukkan bahwa
parasitoid aman bagi perkembangan N. rileyi
(Shanthakumar et al., 2010). Penggunaan varietas
tahan terhadap serangga hama pengisap juga
dapat dikombinasikan dengan aplikasi N. rileyi
untuk mengendalikan hama Lepidoptera. Kom-
binasi ini akan meningkatkan efektivitas
pengendalian terhadap komplek hama. Kese-
suaian jamur N. rileyi dengan teknik pengen-
dalian hama yang lain memberikan peluang pada
jamur entomopatogen untuk digunakan secara
luas dalam pengendalian hama pada berbagai
komoditas.
Selain efektif, jamur entomopatogen juga
persisten di lapang. Tanah sebagai habitat alami
jamur juga turut membantu mengembangkan
epizootiknya pada populasi H. armigera di
lapang. Hal ini menyebabkan kemunculannya
setiap tahun melalui larva H. armigera yang
terinfeksi di lapang jumlahnya semakin mening-
kat. N. rileyi dapat digunakan dalam pengen-
dalian hama Lepidoptera pada berbagai varietas
yang tahan terhadap hama pengisap
Di Indonesia produk jamur entomopatogen
yang sudah komersial masih terbatas pada
spesies tertentu saja, seperti B. bassiana dan M.
anisopliae. Selain belum dikenal oleh masyarakat,
produksinya dalam skala industri kecil yang
terbatas jumlahnya juga menyebabkan peman-
faatannya sangat terbatas. Selain itu, penggunaan
insektisida kimia pada komoditas yang mempu-
nyai nilai tinggi juga merupakan kendala dalam
mempercepat pengembangan entomo-patogen.
Namun demikian, masih banyak harapan untuk
mengembangkan produk bio insektisida di masa
depan, karena saat ini beberapa perusahaan
swasta sudah mulai merintis kerja sama dengan
balai penelitian lingkup Badan Litbang Pertanian
dalam mengembangkan bioinsektisida, antara
lain produksi bioinsektisida Nuclear Polyhe-
drosis Virus (NPV) untuk H. armigera dan S. litura
oleh PT. Probio yang berlokasi di Malang.
Demikian pula jamur B. bassiana dan M. anisopliae
yang rencananya akan diproduksi oleh sebuah
perusahaan farmasi terkenal di Jawa Barat.
Bioinsektisida berbahan aktif entomo-
patogen sangat cocok untuk pertanian organik.
Di beberapa negara Eropa dan Amerika produk
pertanian organik saat ini sudah semakin populer
dan sangat disukai masyarakat karena relatif
bebas residu pestisida yang selanjutnya akan
diterapkan zero pesticides secara menyeluruh,
yaitu mulai dari pupuk hijau yang menggunakan
kompos buatan sendiri dan pupuk kandang dari
ternak. Pertanian organik di luar negeri sebagian
-
18 Volume 10 Nomor 1, Juni 2011 : 11 - 21
besar dirintis oleh petani sayur yang mengem-
bangkan usahanya secara mandiri dengan
menjual hasil pertaniannya langsung di lokasi
(sumber informasi: media elektronik). Hal ini
berkaitan dengan semakin meningkatnya
kesadaran dan pengetahuan masyarakat ter-
hadap bahaya bahan kimia, termasuk pupuk,
terhadap kesehatan manusia maupun lingkung-
an. Di masa mendatang tidak menutup kemung-
kinan produk insektisida kimia semakin dibatasi
produksi maupun peredarannya di seluruh
dunia, dan yang sudah terjadi akhir-akhir ini
adalah semakin banyak perusahaan pestisida
kimia, terutama yang peduli terhadap lingkung-
an, mulai memproduksi pestisida dengan daya
bunuh lebih lambat (slow release) dan lebih
selektif terhadap hama sasaran, seperti kelompok
pestisida neonikotinoid yang hanya efektif ter-
hadap spesies tertentu serangga hama (Tomiza-
wa dan Casida, 2003; Nault et al., 2004).
KESIMPULAN DAN SARAN
Jamur entomopatogen adalah organisme
pertama yang digunakan dalam pengendalian
serangga hama secara hayati. Dari jumlah spesies
yang telah diidentifikasi berasosiasi dengan
serangga, baru 10 spesies yang telah dimanfaat-
kan sebagai bioinsektisida untuk pengendalian
hama. N. rileyi adalah salah satu jamur entomo-
patogen yang epizootiknya telah berkembang
baik pada populasi hama, khususnya H. armigera
pada tanaman tomat, jagung, dan kapas. Hasil
observasi di lapang menunjukkan bahwa setiap
tahunnya makin meningkat jumlah larva H.
armigera dari lapang yang terinfeksi N. rileyi (5-
24%). Dua strain N. rileyi yang dikoleksi, yaitu
MA 01 dan LG 02 memiliki laju pertumbuhan
yang lebih cepat pada media SMAY dibanding
pada media SMAY+ekstrak beras (SMAYB), yaitu
berturut-turut sekitar 1,25-1,27 mm/hari (SMAY)
dan 0,99-1,07 mm/hari (SMAYB). Produksi
konidia lebih tinggi pada strain LG 02 (3,9 x 109
konidia/ml) dibanding strain MA 01 (1,7 x 109
konidia/ml). Strain LG 02 lebih virulen dibanding
strain MA 01 dengan mortalitas masing-masing
76 dan 64% pada konsentrasi 109 konidia/ml.
LC50 yang dicapai LG 02 lebih rendah (5,2 x 106
konidia/ml) dibanding MA 01 (7,2 x 106 konidia/
ml) dengan LT50 keduanya berkisar antara 5,9-8,4
hari. N. rileyi aman dikombinasikan dengan
jamur B. bassiana, tidak berbahaya bagi parasitoid
telur T. japonicum dan T. chilonis, serta kompatibel
dengan pengendalian hama menggunakan
varietas tahan. Penelitian lanjutan masih diperlu-
kan untuk mengetahui potensi N. rileyi, terutama
pengaruh faktor lingkungan, teknik formulasi,
pengaruh suhu dan lama penyimpanan, serta
kompatibilitasnya dengan teknik pengendalian
hama yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ansari, M.A., S. Vestergaard, L. Tirry, and M.
Moens 2004. Selection of highly viru-
lent fungal isolate, Metarhizium anisopliae
CLO53 for controlling Hoplia philantus. J.
Invertebrate Pathology 85: 89-96.
Boucias, D.G., M.S. Tigano, D.R. Sosa-Gomez,
T.R. Glare, and P.W. Inglish. 2000.
Genotypic properties of the entomo-
pathogenic fungus Nomuraea rileyi.
Biological Control 19: 124-138.
Damir, M.E. 2006. Effect of growing media and
water volume on conidial production of
Beauveria bassiana and Metarhizium
anisopliae. J. Biol. Sci. 6: 269-275.
Edelstein, J.D., R.E. Lecuona, and E.V. Trumper.
2004. Selection of culture media and in
vivo assessment of temperature-depen-
dent development of Nomuraea rileyi.
Neotropical Entomology 33(6): 737-742.
Fatiha, L., S. Ali, S. Ren, and M. Afzal. 2007.
Biological characteristics and patho-
genicity of Verticillium lecanii against
Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae)
on eggplant. Pakistan Entomology
29(2): 63-71.
Fuxa, J.R. 1992. Impact of the release of
entomopathogens in the environment.
Pesq. Agropec. Brasilia, 27, S/N: 349-369.
Gao, L. and X.Z. Liu. 2009. A novel two-stage
cultivation method to optimize carbon
concentration and carbon-to-nitrogen
ratio for sporulation of biocontrol fungi.
Folia Microbiology 54(2): 142-146.
Gundannavar, K.P., S. Lingappa, R.S. Giraddi.
2005. Dose mortality response between
-
Potensi Jamur Entomopatogen Nomuraea rileyi Untuk Pengendalian H. armigera pada Kapas (IGAA INDRAYANI) 19
Helicoverpa armigera (Hubner) and
mycoinsecticide Nomuraea rileyi
(Farlow) Samson. Karnataka J. Agric.
Sci. 18(1): 141-143.
Gundannavar, K.P., S. Lingappa, R.S. Giraddi,
and K.A. Kulkarni. 2008. Susceptibility
of Helicoverpa armigera (Hubner) to
Nomuraea rileyi (Farlow) Samson. J.
Entomological Research 32(1): 78-85.
Hanchinal, S.G. 2000. Effect of Metarhizium aniso-
pliae (Metsch). Sorokin on Tetranychus
neocaledonicus Andre on bhendi (okra)
under field condition. Karnataka J.
Agric. Sci., 13: 1000-1002.
Hidayah, N. dan IGAA. Indrayani. 2011.
Pengaruh komposisi media terhadap
pertumbuhan jamur Nomuraea rileyi
(Farlow) Samson dan patogenisitasnya
pada Helicoverpa armigera Hubner dan
Spodoptera litura F. 12 hal. (sedang
proses publikasi).
Ignoffo, C.M. and D.G. Boucias. 1992. Relative
activity of geographical isolates of
Nomuraea bioassayed against the cab-
bage looper and velvetbean caterpillar.
J. Invertebrate Pathology 59: 215-217.
Indrayani, IGAA. 2008. Perananan morfologi
tanaman untuk mengendalikan peng-
isap daun, Amrasca biguttula (Ishida)
pada tanaman kapas. Jurnal Perspektif
7 (1): 47-54.
Indrayani, IGAA., H. Prabowo dan Deciyanto S.
2010. Formulasi biopestisida berbahan
aktif Beauveria bassiana untuk pengen-
dalian Helicoverpa armigera. Laporan
Hasil Penelitian TA. 2010. 11 hal.
Iqtiat, I.I., M.I. Al-Masri and R.M. Barakat. 2009.
The potential of native palestinian
Nomuraea rileyi isolates in the biocontrol
of corn earworm Helicoverpa (Heliothis)
armigera. Agricultural Sciences 36(2): 43-
46.
James, R.R. 2003. Combining azadirachtin and
Paecilomyces fumosoroseus (Deutero
mycotina: Hyphomycetes) to control
Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyro-
didae). J. Econ. Entomol. 96(1): 25-30.
Martins, T., L. Oliveira, and P. Garcia. 2005.
Larval mortality factors of Spodoptera l
ittoralis in the Azores. Biocontrol 50:
761-770.
Molina-Ochoa, J., R. Lezama-Gutierrez, M.
Gonzalez-Ramirez, M. Lopez-Edwards,
M.A Rodriguez-Vega, and F. Arceo-
Palacios. 2003. Pathogens parasitic
nematodes associated with populations
of fall armyworm (Lepidoptera: Noctui-
dae) larvae in Mexico. Florida Entomo-
logist 86: 244-253.
Nault, B.A., A.G. Taylor, M. Urwiler, T. Rabaey,
and W.D. Hutchinson. 2004. Neoni-
cotinoid seed treatments for managing
potato leafhopper infestations in snap
bean. Crop Protection 23: 147-154.
Nirmala, R., B. Ramanujam, R.J. Rabindra and
N.S. Rao. 2006. Effect entomofungal
pathogen on mortality of three aphid
species. J. Biol. Control 20: 89-94.
Nurindah dan D.A. Sunarto. 2008. Konservasi
musuh alami serangga hama sebagai
kunci keberhasilan PHT kapas. Jurnal
Perspektif 7(1): 01-11.
Onofre, S.B., R.R. Gonzales, C.L. Messias, J.L.
Azevedo, and N.M. de Barros. 2002.
LC50 of the peptide produced by the
entomopathogenic fungus Nomuraea
rileyi (Farlow) Samson active against
third instar larvae of Anticarsia gemma-
talis (Lepidoptera: Noctuidae). Braz.
Arch. Biol. Technol. 45(3): 145-152.
Pavone, D., M. Diaz, L. Trujillo and B. Dorta.
2009. A granular formulation of Nomu-
raea rileyi Farlow (Samson) for the
control of Spodoptera frugiperda (Lepi-
doptera: Noctuidae). Averciensia 34(2):
130-134.
Pendland, J.C., C. Lopez-Lastra, and D.G.
Boucias. 1994. Laminin-binding sites on
cell walls of the entomopathogen
Nomuraea rileyi associated with growth
and adherence to host issues. Myco-
logia 86: 327-335.
Qin, L., X. Jian., Y.X. Dong, W. Yan and Q.J.
Hang. 2009. Study on the biological
characteristic of Nomuraea rileyi and its
pathogenicity against Spodoptera exigua.
Biocontrol 53: 721-730
-
20 Volume 10 Nomor 1, Juni 2011 : 11 - 21
Rachappa, V., S. Lingappa, and R.K. Patil. 2006.
Effects of agrochemicals on growth and
sporulation of Metarizhium anisopliae
(Metsch.) Sorokin. Karnataka J. Agric.
Sci. 20(2): 410-413.
Rachappa, V. and S, Lingappa. 2007. Seasonality
of Nomuraea rileyi (Farlow) Samson in
northern transitional belt of Karnataka.
Annals of Plant Protection Sciences
15(1), p. 1 (abstract).
Ramegowda, G.K., R.K. Patil, S. Lingappa, and S.
Kulkarni. 2010. Studies on epizoo-
tiology and aerobiology of Nomuraea
rileyi (Farlow) Samson. International
Journal of Science and Nature 1(2): 226-
235.
Rao, C.U.M, K. Uma Devi, and P. A. A. Khan.
2006. Effect of combination treatment
with entomopathogenic fungi Beauveria
bassiana and Nomuraea rileyi (Hypo-
creales) on Spodoptera litura (Lepidop-
tera: Noctuidae). Biocontrol Science and
Technology 16(3): 221-232.
Regoes, R.R., Nowak, M.A., and S. Bonhoeffer.
2000. Evolution of virulence in a
heterogeneous host population. Evo-
lution 54: 64-71.
Rieswanto, R.D. 1998. Perbanyakan inokulum
Nomuraea rileyi (Farl.) Sams. dan
virulensinya terhadap larva perusak
buah Helicoverpa armigera (HBN.)
(Lepidoptera: Noctuidae). Program
Pasca Sarjana IPB (Abstrak).
Rios-Velasco, C., E. Cerna-Chavez, S.S. Pena, and
G.G. Morales. 2010. Natural epizootic
of the entomopathogenic fungus Nomu-
raea rileyi (Farlow) Samson infecting
Spodoptera frugiperda (Lepidop-tera:
Noctuidae) in Coahuila Mexico. The
Journal of Research on the Lepidoptera
43: 7-8.
Sahayaraj, K. and S.K.R. Namasivayam. 2008.
Mass production of entomopathogenic
fungi using agricultural products and
by products. African J. Biotechnology
7(12): 1907-1910.
Sanchez-Pena, S.R. 2000. Entomopathogens from
two Chihuahuan desert localities in
Mexico. Biocontrol 45: 63-78.
Shah, P.A. and J.K. Pell. 2003. Entomopathogenic
fungi as biological control agents.
Appl. Microbiol. Biotechnol. 61: 413-423.
Shanthakumar, S.P., P.D. Murali, S. Malarvannan,
V.R. Prabavathy and S. Nair. 2010.
Laboratory evaluation on the potential
of entomopathogenic fungi, Nomuraea
rileyi against tobacco caterpillar,
Spodoptera litura Fabricius (Noctuidae:
Lepidoptera) and its safety to Tricho-
gramma sp. J. Biopesticides 3 (special
issue): 132-137.
Sheroze, A., A. Rashid, A.S. Shakir and S.M.
Khan. 2003. Effect of biocontrol agents
on leaf rust of wheat and influence of
different temperature and humidity
levels on their colony growth. Interna-
tional J. Agriculture and Biology 5(1):
83-85.
Sosa-Gomez, D.R., K.E. Delpin, F. Moscardi, and
M.D.H. Nozaki. 2003. The impact of
fungicides on Nomuraea rileyi (Farlow)
Samson epizootics and on population of
Anticarsia gemmatalis Hubner (Lepidop-
tera: Noctuidae) on soybean. Neotro-
pical Entomology 32(2): 287-291.
Sreenivas, A.G., R.K. Patil, S. Lingappa, V.B.
Nargund and K.T. Vendan. 2006.
Pathogenicity of entomopathogenic
fungus, Nomuraea rileyi (Farlow) Sam-
son against chickpea pod borer,
Helicoverpa armigera Hubner under
irrigated condition. Karnataka J. Agric.
Sci. 19(4): 954-956.
Srisukchayakul, S., C. Wiwat, and S. Pantuwa-
tana. 2005. Studies on the pathogenesis
of the local isolates of Nomuraea rileyi
against Spodoptera litura. Science Asia
31: 273-276.
Sulistyowati, E., Y.D. Yunianto, E. Mufrihati dan
A. Wahab. 2002. Keefektifan jamur
Paecilomyces fumosoroseus untuk me-
ngendalikan penggerek buah kakao
(Conopomorpha cramerella). Pelita Perke-
bunan 18(3): 120-128.
Sunarto, D.A., Nurindah, dan Sujak. 2004.
Pengaruh ekstraks serbuk biji mimba
terhadap konservasi musuh alami dan
populasi Helicoverpa armigera Hubner
-
Potensi Jamur Entomopatogen Nomuraea rileyi Untuk Pengendalian H. armigera pada Kapas (IGAA INDRAYANI) 21
pada tanaman kapas. Jurnal Penelitian
Tanaman Industri 10(3): 89-95.
Suwannakut, S., D.G. Boucias and C. Wiwat.
2005. Genotypic analysis of Nomuraea
rileyi collected from various noctuid
hosts. J. Invertebrate Patholology 90:
169-176.
Tang, L.C., Cheng, D.J. and R.F. Hou. 1999.
Virulence of entomopathogenic fungus,
Nomuraea rileyi to various larval stages
of the corn earworm, Helicoverpa
armigera (Lepidoptera: Noctuidae). J.
Appl. Entomol. Zool. 34(3): 399-403.
Tang, L.C. and R.F. Hou. 2003. Potential
application of the entomopathogenic
fungus, Nomuraea rileyi, for control of
the corn earworm, Helicoverpa armigera.
Entomologia Experimentalis Applicata
88: 25-30.
Tomizawa, M. and J.E. Casida. 2003. Selective
toxicity of neonicotinoids attributable to
specificity of insect and mammalian
nicotinic receptors. Annual Review of
Entomology 48: 339-364.
Uma Devi, K., M. Murali C.H., J. Padmavathi,
and K. Ramesh. 2003. Susceptibility to
fungi of cotton bollworms before and
after a natural epizootic of the entomo-
pathogenic fungus Nomuraea rileyi
(Hyphomycetes). Biocontrol Science
and Technology 13: 367-371.
Vega, F.E., M.A. Jackson and M.R. McGuire. 1999.
Germination of conidia and blasto-
spores of Paecilomyces fumosoroseus on
the cuticle of the silverleaf whitefly,
Bemisia argentifolii. Mycopathologia 147:
33-35.
Vega, F.E., M.A. Jackson, G. Mercadier and T.J.
Poprawski. 2003. The impact of nutria-
tion on spore yields for various fungal
entomopathogens. J. Microbiology &
Biotechnology 19: 363-368.
Vimala Devi, P.S. 1994. Conidia production of
the entomopathogenic fungus Nomuraea
rileyi and its evaluation for control of
Spodoptera litura (Fab.) on Ricinus
communis. J. Invertebrate Pathology
63(2): 145-150.
Vimala Devi, P.S., Y.G. Prasad, D. Anita Chow-
dary, M. M. Rao, and L. Balakhrisnan.
2003. Identification of virulent isolates
of the entomopathogenic fungus Nomu-
raea rileyi (F.) Samson for the
management of Helicoverpa armigera and
Spodoptera litura. Mycopathologia 156:
365-373.