muraqabah dan muhasabah
DESCRIPTION
Agama ISLAMTRANSCRIPT
Muraqabah dan Muhasabah
Muqaddimah
“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari
kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih
mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu masih berupa janin dalam
perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui
tentang orang yang bertaqwa”.(QS. 53:32)
Ayat Allah SWT tersebut di atas benar-benar menyadarkan kita akan kelemahan dan
kenistaan kita sebagai manusia yang sering kali berbuat kekhilafan. Bahwa seandainya pun
kita terhindar dari dosa-dosa besar, kita pasti tak akan luput dari dosa-dosa kecil.
Allah menegaskan bahwa kita jangan merasa dan mengklaim diri suci, karena Allah sajalah
yang paling mengetahui siapa yang bertaqwa dan yang tidak. Sementara Allah juga tahu
siapa diri kita sejak dari awal penciptaan, ketika masih berupa janin di rahim ibu kita, hingga
kita dewasa. Namun Ia juga mengingatkan kita tentang ampunan-Nya yang luas.
Memang hanya satu insan kamil yang ma'shum, yakni Rasulullah SAW. Beliau
menjalani proses pembedahan dada dan pembersihan jiwa oleh malaikat Jibril
karena beliau dipersiapkan untuk mengemban tugas mulia. Namun beliau juga
pernah mengatakan bahwa kalau bukan karena rahmat Allah niscaya tak akan ada
yang selamat dari siksa Allah dan neraka-Nya. “Tidak juga engkau ya
Rasulullah?”. “Ya, tidak juga aku”.
Selain sifat manusia yang lemah, mudah lupa, khilaf, kikir dan berkeluh kesah, penyebab
terjerumusnya manusia ke dalam lembah kenistaan dan kemaksiatan adalah godaan
syaithan yang gencar dari segala penjuru.
Dalam QS. Az-Zukhruf:36-37, Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari
pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur'an), kami adakan baginya syaithan (yang
menyesatkan). Maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya (qarin).
Dan sesungguhnya syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang
benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk”.
Qarin alias syaithan yang selalu mendampingi kita, akan sukses menggoda kita, jika kita
berpaling dari-Nya dan ajaran-Nya (Al-Qur'an). Sampai akhirnya kita terhalang dari jalan
yang lurus dan benar. Namun ironisnya, kita tetap menyangka berada di jalan yang benar
dan memperoleh petunjuk-Nya. Padahal kita sudah jauh tersesat.
Hanya Rasulullah SAW saja yang tak dapat digoda oleh Qarin. Bahkan Qarinpun
tak akan mampu menyerupai Rasulullah SAW baik ketika beliau masih hidup
maupun setelah meninggal dunia.
Menyadari begitu rentan dan lemahnya kita sebagai manusia dari godaan syaithan yang
menyesatkan dan menghalangi kita dari ajaran Allah serta melalaikan kita dari mengingat-
Nya, maka jelas pemahaman dan kesadaran muraqabah dan muhasabah adalah satu
kemestian.
Pengertian Muraqabah dan Muhasabah
Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah
(muraqabatullah). Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri dengan jalan
mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
Sedangkan muhasabah merupakan usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi
diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum
dilakukannya. Jadi Muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran
bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Raqib dan Atib
sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas
memperbaiki diri.
Urgensi Muraqabah dan Muhasabah
Bila setiap Muslim senantiasa memuraqabahi dirinya dan menghadirkan muraqabatullah
(pengawasan Allah) dalam dirinya maka ia akan selalu takut untuk berbuat kemaksiatan
karena ia selalu merasa dan sadar dirinya dalam pemantauan dan pengawasan Allah.
Kemudian bila ia juga gemar memuhasabahi dirinya karena takut pada perhitungan hari
akhirat, maka bisa dipastikan akan terwujud masyarakat yang aman karena semua orang
sudah memiliki pengawasan melekat.
Orientasi Ukhrawi membuat seseorang senantiasa memperhitungkan segala
tindak-tanduknya dalam perspektif Ukhrawi. Ia juga akan terhindar dari penyakit
Wahn (cinta dunia dan takut mati), keserakahan, kezhaliman, penindasan dan
kemungkaran, karena semua keburukan itu hanya akan menyengsarakannya di
akhirat kelak.
Sebaliknya ia akan berusaha menanam kebajikan sebanyak mungkin (QS. 22:77) agar dapat
menuai hasilnya di akhirat kelak. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah mengibaratkan bahwa
dunia adalah ladang tempat menanam, bibitnya adalah keimanan dan ketaatan adalah air
dan pupuknya. Sementara akhirat adalah tempat kita memetik atau menuai hasilnya, kelak.
Bila demikian keadaannya, Insya Allah akan tercipta “Baldatun thayyibatun warabbun
ghafur” (negeri yang baik, berkah dan dalam ampunan Allah) yang bukan sekedar slogan.
Selain tercipta kemaslahatan dalam scope atau ruang lingkup negeri, Insya Allah akan
tercipta pula kemaslahatan di ruang lingkup dunia internasioanal bila para Muslimnya
dengan kualitas seperti itu mampu menjadi “Ustadziatul 'alam” (soko guru dunia).
Hanya dengan bimbingan dan arahan para ustadziatul 'alam yang sekaligus
khalifatullah fil ardhi sajalah, dunia akan terbebas dari bencana, kerusakan dan
kemurkaan Allah (QS. 2:10-11, 30:41).
Namun bila para Muslim tetap mengekor musuh-musuh Allah yang membenci Al-Qur'an (QS.
47:25-26) maka bahaya kemurtadan massal menghadang di depan mata dan tetap saja
yahudi la'natullah alaihim yang memegang supremasi dan mengendalikan dunia serta terus
menimbulkan kerusakan dan menumpahkan darah.
Tahapan-tahapannya
Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun
sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting kita
jalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan kita
dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti.
Mu'ahadah
Mu'ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah SWT di
alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu kita dan
ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabbmu?”
Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”. (QS. 7:172)
Dengan bermu'ahadah, kita akan berusaha menjaga agar sikap dan tindak tanduk kita tidak
keluar dari kerangka perjanjian dan kesaksian kita.
Dan kita hendaknya selalu mengingat juga bahwa kita tak hanya lahir suci (HR. Bukhari-
Muslim) melainkan sudah memiliki keberpihakan pada Al-haq dengan syahadah di alam ruh
tersebut sehingga tentu saja kita tak boleh merubah atau mencederainya (QS. 30:30).
Muraqabah
Setelah bermu'ahadah, seyogyanyalah kita bermuraqabah. Jadi kita akan sadar ada yang
selalu memuraqabahi diri kita apakah melanggar janji dan kesaksian tersebut atau tidak.
Penjelasan yang detail tentang muraqabah diuraikan dalam bagian tersendiri, karena tulisan
ini memang menitikberatkan pada pembahasan tentang muraqabah dan muhasabah.
Muhasabah
Muhasabah adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengkalkulasi amal shaleh yang kita
lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Penjabaran lebih detail
tentang muhasabah juga ada pada bagian tersendiri.
Mu'aqabah
Selain mengingat perjanjian (mu'ahadah), sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk
mengkalkulasi diri, kita pun perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam
meng'iqab (menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri).
Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”,
maka tak ada salahnya kita menganalogikan mu'aqabah dengan ucapan tersebut yakni
“Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari
menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya.
Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera
mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut
untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau
terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun
segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.
Mujahadah
Mujahadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada
Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-
Nya. Kelalaian sahabat Nabi SAW yakni Ka'ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat
perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda
perang dan sebagainya. Ka'ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya
mujahadah pada dirinya.
Ternyata Kaab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pengisoliran selama
kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan
padanya.
Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa
dalam ibadah seperti dalam shalat tahajjudnya. Kaki beliau sampai bengkak
karena terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah
r.a bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah
diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang”. Beliau menjawab.
“Salahkah aku bila menjadi 'abdan syakuran?”.
Mutaba'ah
Terakhir kita perlu memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses
tersebut seperti mu'ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
Muraqabah
Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya
muraqabatullah (pengawasan Allah). Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri
seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat 'waskat' (pengawasan melekat atau built in
control) yakni sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif
mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah
pengawasan Allah seperti dalam untaian ayat-ayat Allah berikut ini:
“...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan”.(QS. 57:4).
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.(QS. 50:16).
“Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali
Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai
daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir pun
dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis
dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.(QS. 6:59)
(Luqman berkata) : “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji
sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.
(QS. 31:16)
Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi SAW bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau
sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang
mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan
ma'iyatullah (kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. 9:40)
bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita” ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan
bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada diri Nabi Musa a.s
ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara Fir'aun mengepung dan laut
merah ada di depan mata. Namun ketika umat pengikutnya panik dan ketakutan, beliau
sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku
bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”.
Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi contoh agung tentang kesadaran
akan kesertaan dan pertolongan Allah. Yakni ketika beliau diseret dan dibakar di api
unggun, beliau tetap tenang. Dan benar saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam
keadaan sehat wal 'afiat karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api
agar menjadi dingin dengan izin dan kehendak-Nya.
Muhasabah
Muhasabah atau menghisab, menghitung atau mengkalkulasi diri adalah satu upaya
bersiap-siaga menghadapi dan mengantisipasi yaumal hisab (hari perhitungan) yang sangat
dahsyat di akhirat kelak.
Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri, memperhatikan bekal apa yang dipersiapkannya untuk hari esok (kiamat). Bertaqwalah
kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. 59:18).
Persiapan diri yang dimaksud tentu saja membekali diri dengan taqwa kepada karena di sisi
Allah bekal manusia yang paling baik dan berharga adalah taqwa.
Umar r.a pernah mengucapkan kata-katanya yang sangat terkenal: “Haasibu anfusakum
qabla antuhasabu” (Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab).
Allah SWT juga menyuruh kita bergegas untuk mendapat ampunan-Nya dan syurga-Nya
yang seluas langit dan bumi, diperuntukkan-Nya bagi orang-orang yang bertaqwa.(QS
3:133)
Begitu pentingnya kita melakukan muhasabah sejak dini secara berkala karena segala
perkataan dan perbuatan kita dicatat dengan cermat oleh malaikat Raqib dan Atid dan akan
dimintakan pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah.( QS. 50:17-18). Setiap
kebaikan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi ganjaran dan keburukan sekecil
apapun juga akan dicatat dan diberi balasan berupa azab-Nya.(QS. 99:7-8)
Bila kita mengingat betapa dahsyatnya hari penghisaban, perhitungan dan pembalasan,
maka wajar sajalah jika kita harus mengantisipasi dan mempersiapkan diri sesegera, sedini
dan sebaik mungkin.
Dalam QS. 80:34-37, tergambar kedahsyatan hari itu ketika semua orang berlarian dari
saudara, kerabat, sahabat, ibu dan bapaknya serta sibuk memikirkan nasibnya sendiri. Hari
di mana semua manusia pandangannya membelalak ketakutan, bulan meredup cahayanya,
matahari dan bulan dikumpulkan, manusia berkata: “Kemana tempat lari?. Sekali-kali tidak!
Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu saja pada hari itu tempat kembali”.
(QS. 75:7-12)
Ummul Mu'minin Aisyah r.a bertanya kepada Rasulullah SAW apakah manusia tidak malu
dalam keadaan telanjang bulat di padang mahsyar. Rasulullah SAW menjawab bahwa hari
itu begitu dahsyat sampai-sampai tidak ada yang sempat melihat aurat orang lain.
Rasulullah SAW juga pernah bersabda bahwa ada 7 golongan yang akan mendapat
naungan/perlindungan Allah di mana di hari tidak ada naungan/perlindungan selain
naungan/perlindungan Allah (Yaumul Qiyamah atau Yaumul Hisab). Ketujuh golongan itu
adalah Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah SWT, pemuda
yang lekat hatinya dengan masjid, orang yang saling mencintai karena Allah; bertemu dan
berpisah karena Allah, orang yang digoda wanita cantik lagi bangsawan dia berkata,
“Sesungguhnya aku takut kepada Allah”, orang yang bersedekah dengan tangan kanannya
sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya (secara senbunyi-sembunyi) dan orang yang
berkhalwat dengan Allah di tengah malam dan meneteskan airmata karena takut kepada
Allah.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang pertama dihisab adalah mereka yang
berjihad, berinfaq dan beramal shaleh (QS. 22:77, 2:177). Kemudian sabda Rasulullah SAW
di hadits lainnya: “Ada 70.000 orang akan segera masuk surga tanpa dihisab”. “Do'akan aku
termasuk di dalamnya, ya Rasulullah!”, mohon Ukasyah bersegera. “Ya, Engkau kudo'akan
termasuk di antaranya”, sahut Nabi SAW. Ketika sahabat-sahabat yang lain meminta yang
serupa, jawab Nabi SAW singkat, “Kalian telah didahului oleh Ukasyah”. “Siapa mereka itu
ya Rasulullah?”, tanya sahabat. “Mereka adalah orang yang rajin menghisab dirinya di dunia
sebelum dihisab di akhirat”. Subhanallah.
Di riwayat lain dikisahkan bahwa orang-orang miskin bergerombol di depan pintu surga.
Ketika dikatakan kepada mereka agar antri dihisab dulu, orang-orang miskin yang shaleh ini
berkata, “Tak ada sesuatu apapun pada kami yang perlu dihisab”.
Dan memang ada 3 harta yang tak akan kena hisab yakni: 1 rumah yang hanya
berupa 1 kamar untuk bernaung, pakaian 1 lembar untuk dipakai dan 1 porsi
makanan setiap hari yang sekedar cukup untuk dirinya. Maka orang-orang miskin
itupun dipersilakan masuk ke surga dengan bergerombol seperti kawanan
burung.
Betapa beruntungnya mereka semua padahal hari penghisaban itu begitu dahsyatnya
sampai banyak yang ingin langsung ke neraka saja karena merasa tak sanggup segala
aibnya diungkapkan di depan keseluruhan umat manusia. Apalagi tak lama kemudian atas
perintah Allah, malaikat Jibril menghadirkan gambaran neraka yang dahsyat ke hadapan
mereka semua sampai-sampai para Nabi dan orang-orang shaleh gemetar dan berlutut
ketakutan. Apalagi orang-orang yang berlumuran dosa.
Yaumul Hisab itu bahkan juga terasa berat bagi para Nabi seperti Nabi Nuh yang ditanya
apakah ia sudah menyampaikan risalah-Nya atau Nabi Isa yang ditanya apakah ia menyuruh
umatnya menuhankan ia dan ibunya sebagai dua tuhan selain Allah. Pertanyaan yang
datang bertubi-tubi itu terlihat menekan dan meresahkan para Nabi. Jika Nabi-nabi saja
demikian keadaannya, bagaimana pula kita?.
Mudah-mudahan saja kita tidak termasuk orang yang bangkrut/pailit di hari penghisaban,
hari ketika dalih-dalih ditolak dan hal sekecil apapun dimintakan pertanggungjawabannya.
Mengapa disebut bangkrut? Karena ternyata amal shaleh yang dilakukan terlalu sedikit
untuk menebus dosa-dosa kita yang banyak sehingga kita harus menebusnya di neraka.
Na'udzubillah min dzalik
Hasil Muraqabah dan Muhasabah
Seseorang yang rajin me'muraqabah'i dan me'muhasabah'i dirinya akan mau dan mudah
melakukan perbaikan diri. Ia juga akan mau meneliti, mengintrospeksi, mengoreksi dan
menganalisis dirinya. Hal-hal apa saja yang menjadi faktor kekuatan dirinya yang harus
disyukuri dan dioptimalkan.
Kemudian hal-hal apa saja yang menjadi faktor kelemahan dirinya yang harus diatasi,
bahkan kalau mungkin dihilangkan. Lalu bahaya-bahaya apa yang mengancam diri dan
aqidahnya sehingga harus diantisipasi, dan akhirnya peluang-peluang kebajikan apa saja
yang dimilikinya yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Jika dirinci, paling tidak, ada 3 hasil yang akan diraih orang yang rajin melakukan
muraqabah dan muhasabah :
1. Mengetahui aib, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dirinya serta
berupaya sekuat tenaga meminimalisir atau bahkan menghilangkannya.
2. Istiqamah di atas syari'at Allah. Karena ia mengetahui dan sadar akan konsekuensi-
konsekuensi keimanan dan pertanggungjawaban di akhirat kelak maka cobaan sebesar
apapun tidak akan memalingkannya dari jalan Allah seperti misalnya tokoh Bilal dan
Masyitah. Walaupun keistiqamahan adalah hal yang sangat berat sehingga Rasulullah SAW
sampai mengatakan, “Surat Hud membuatku beruban” (Karena di dalamnya ada ayat 112
berisi perintah untuk istiqamah).
3. Insya Allah akan aman dari berat dan sulitnya penghisaban di hari kiamat nanti (QS.
3:30).