module a-siklus an kapasitas

Upload: rizal-sonakai

Post on 06-Jul-2015

135 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Support for Decentralization Measures (SfDM) / Proyek Pendukung Pemantapan Penataan Desentralisasi (P4D)

PERSIAPAN

ANALISIS

PREPARATION EVALUATION

Siklus Pengembangan Kapasitas

EVALUASI

PERENCANAAN

PELAKSANAAN

Pedoman Pengembangan Kapasitas di Daerah Bahan-bahan untuk Lokakarya Pengembangan Kapasitas di Daerah 3 Mei 2005, Jakarta Modul A: Siklus Pengembangan Kapasitas Dari Pengkajian Kebutuhan Pengembangan Kapasitas (CBNA) Menuju Rencana Tindak Pengembangan Kapasitas (CBAP)

Versi 2.0 Februari 2005 Laporan P4D 2005-5

Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Otonomi Daerah

Tentang Proyek Pendukung Pemantapan Penataan Desentralisasi (P4D) Proyek ini membantu Departemen Dalam Negeri dan instansi pemerintah lainnya dalam menyempurnakan kerangka hukum desentralisasi dan pemerintahan daerah serta dalam menyediakan informasi yang berkaitan dengan desentralisasi kepada para stakeholder yang berkepentingan. Proyek ini mendukung pelaksanaan "Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Dalam Rangka Mendukung Desentralisasi", dan melalui keterkaitan yang erat dengan proyek-proyek bantuan teknis pada tingkat daerah membantu mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman dan masukanmasukan kebijakan kepada para pembuat keputusan di tingkat nasional. Hubungi: Proyek Pendukung Pemantapan Penataan Desentralisasi (P4D) (Support for Decentralization Measures/ SfDM), Departemen Dalam Negeri, PO Box 4813, Jakarta 10048; Tel.: 021 - 3511584, 3868166; Fax: 021 - 3868167; E-mail: [email protected]; Project Home Page: www.gtzsfdm.or.id

Kata Pengantar Pedoman pengembangan kapasitas di daerah ini, mulai dari pelaksanaan pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas secara sistematis sampai dengan perumusan rencana tindak pengembangan kapasitas daerah untuk jangka menengah secara komprehensif telah dipersiapkan oleh tim GTZ-SfDM sebagai masukan untuk kebijakan pengembangan kapasitas Pemerintah Indonesia untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Versi pertama dari pedoman ini (versi 1.0) dipersiapkan pada bulan Mei 2003 (Laporan SfDM 2003-3, 2003-4 dan 2003-5) setelah melalui pembahasan dengan Departemen Dalam Negeri dan instansi pemerintah terkait lainnya pada bulan Januari 2003, dan pembahasan oleh para pakar pengembangan kapasitas dan praktisi pada bulan April 2003. Lalu pada awal tahun 2004, pedoman tersebut diujicobakan di tiga Kabupaten di Kalimantan Timur. Setelah itu dilakukan pemyempurnaan sehingga dihasilkan pedoman ini (disebut versi 2.0) yang telah menampung berbagai masukan yang diperoleh dari uji coba lapangan, dan memperhatikan komentar-komentar dan saran-saran dari berbagai pihak. Modul A ini menjelaskan konsep dan pemahaman tentang strategi pengembangan kapasitas daerah dalam kaitannya dengan kebijakan Indonesia tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Modul ini disusun berdasarkan atas dokumen Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Dalam Rangka Mendukung Desentralisasi, yang telah secara resmi disahkan oleh Departemen Dalam Negeri dan BAPPENAS pada bulan November 2002. Modul ini menjelaskan proses pengembangan kapasitas di daerah dan memberikan panduan tentang cara untuk menyelenggarakan dan mengelola proses pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas di daerah yang menghasilkan rencana tindak pengembangan kapasitas daerah untuk jangka waktu menengah. Para pengguna utama dari modul ini adalah para pejabat tinggi pemerintah daerah dan para anggota DPRD yang harus memutuskan untuk memulai dan melakukan proses pengembangan kapasitas di daerah mereka. Modul ini juga dimaksudkan untuk memberikan panduan kepada para fasilitator dan moderator dari luar yang ditugaskan untuk mendukung timtim teknis pengembangan kapasitas di daerah.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

3

Daftar IsiPENDAHULUAN BAGIAN SATU - KONSEP PENGEMBANGAN KAPASITAS1. 2. PENGEMBANGAN KAPASITAS DAN DESENTRALISASI KONSEP PENGEMBANGAN KAPASITAS 5 10 11 12

BAGIAN DUA - MENGKAJI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KAPASITAS (CBNA) DAN MENYUSUN RENCANA TINDAK PENGEMBANGAN KAPASITAS (CBAP) 203. SIKLUS PENGEMBANGAN KAPASITAS: TAHAPAN, PROSES DAN PELAKU 3.1 Tahap A: Persiapan 3.2 Tahap B: Analisis Kebutuhan Pengembangan Kapasitas 3.3 Tahap C: Perencanaan dan Pemrograman 3.4 Tahap D: Pelaksanaan Langkah-Langkah Pengembangan Kapasitas 3.4 Tahap D: Pelaksanaan Langkah-Langkah Pengembangan Kapasitas 3.5 Tahap E: Evaluasi Proses dan Perencanaan Kembali Pengembangan Kapasitas 21 23 29 32 35 36 38 45 46 61 64

BAGIAN TIGA - CONTOH MODEL SIKLUS PENGEMBANGAN KAPASITAS 4. 5. CONTOH MODEL SIKLUS PENGEMBANGAN KAPASITAS DI DAERAH SUMBER DAYA PENDUKUNG, REFERENSI

BAGIAN EMPAT - SUMBER DAYA TAMBAHAN

Daftar GambarGAMBAR A-1: TINGKATAN PENGEMBANGAN KAPASITAS GAMBAR A-2: SIKLUS PENGEMBANGAN KAPASITAS GAMBAR A-3: PROSES ZOOMING IN ZOOMING OUT GAMBAR A-4: LANGKAH-LANGKAH DALAM SIKLUS PENGEMBANGAN KAPASITAS GAMBAR A-5: PROSES LOKAKARYA EKSPLORASI (CONTOH) GAMBAR A-6: BERBAGAI RUANG LINGKUP DARI PENGKAJIAN KEBUTUHAN GAMBAR A-7: TAHAP-TAHAP DAN LANGKAH DALAM SIKLUS PENGEMBANGAN KAPASITAS 14 16 18 22 25 26 40

Daftar TabelTABEL A-1: PARA CALON PENGGUNA POTENSIAL PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS TABEL A-2: LANGKAH-LANGKAH DALAM SIKLUS DAN PERAN STAKEHOLDERS TABEL A-3: PERKIRAAN JANGKA WAKTU SIKLUS PENGEMBANGAN KAPASITAS TABEL A-4: SIKLUS PENGEMBANGAN KAPASITAS: KEGIATAN, PERISTIWA, ALAT 9 41 44 48

Daftar Teks Dalam KotakKOTAK TEKS A-1 SUMBER DAYA YANG TERSEDIA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN KAPASITAS 63

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

4

Pendahuluan

Bagaimana Daerah Mengambil Manfaat dari Pengembangan Kapasitas? Desentralisasi dan reformasi politik telah menghadapkan daerah-daerah kepada aturan main yang baru tentang cara menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Dengan tanggung jawab yang sangat besar dalam penyediaan layanan publik, dan dengan keleluasaan yang sangat luas dalam mengelola sumber daya, daerah-daerah kini dapat merencanakan dan melaksanakan program dan kegiatan dengan jauh lebih baik sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masyarakat setempat. Namun demikian, peluang baru ini seringkali membutuhkan tingkat kapasitas yang lebih tinggi (seperti dalam perencanaan dan penganggaran), dan terkadang suatu susunan kapasitas yang berbeda (misalnya penekanan yang lebih besar pada manajemen strategis, kebutuhan akan partisipasi masyarakat, dan tanggung gugat) dibandingkan dengan kerangka kerja pemerintahan daerah yang ada sebelumnya dimana daerah semata-mata melaksanakan programprogram yang dirancang dan dibiayai oleh pemerintah pusat. Pengembangan kapasitas daerah dalam konteks ini menyoroti kebutuhan untuk menyesuaikan dan meningkatkan pengetahuan serta kompetensi para pelaku utama dalam pemerintahan daerah sehubungan dengan kerangka kerja kelembagaan yang baru tersebut, seperti DPRD, pemerintah, sektor usaha swasta dan kelompok masyarakat madani yang menaruh perhatian pada permasalahan pemerintahan daerah, sehingga seluruh pelaku tersebut di atas memahami kerangka kerja pemerintahan daerah yang baru tersebut, dapat sepenuhnya menjalankan peran mereka dengan baik, dan dapat memahami serta mengkaji peran para pelaku lainnya. Selain kebutuhan jangka menengah untuk memahami dan melaksanakan sepenuhnya kerangka kerja baru pemerintahan setempat yang didesentralisasikan, pengembangan kapasitas mengacu kepada dimensi yang lain: yaitu bahwa dalam negara yang demokratis masyarakat mengharapkan bahwa sektor publik menyediakan barang dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan masyarakat. Pendekatan baru manajemen publik yang didiskusikan dalam dekade terahir (seperti: mengarahkan dan bukan melaksanakan; pemerintah yang ramping, orientasi kepada masyarakat sebagai pelanggan) dipadukan dengan fokus yang lebih kuat pada kualitas layanan publik adalah alasan utama perlunya pengembangan kapasitas: sektor publik pemerintah daerah harus mengetahui kebutuhan masyarakatnya, dan harus memanfaatkan sumberdaya yang ada sehingga layanan publik dapat disediakan sesuai dengan jumlah dan mutu yang dibutuhkan. Kata kuncinya di sini adalah orientasi kinerja. Reformasi terahir dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan penganggaran dan pengelolaan keuangan sektor publik (termasuk: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara) mengharuskan semua instansi pemerintah pusat dan daerah untuk menunjukan bahwa pengeluaran uang negara telah menghasilkan manfaat yang nyata bagi rakyat. Di negara yang demokratis, para pejabat pemerintah daerah akan dinilai apakah mereka dapat menghasilkan manfaat tersebut. Karena itu, orientasi terhadap kinerja dan kualitas layanan publik merupakan faktor pendorong lain untuk pengembangan kapasitas dalam konteks pemerintahan daerah saat ini di Indonesia, yang melampaui kebutuhan mendesak untuk memenuhi tuntutan kebijakan desentralisasi. Melakukan upaya jangka menengah yang sistematis untuk mengembangkan kapasitas jelas memiliki manfaat dan keuntungan bagi daerah: hal tersebut mengarah kepada identifikasi bidang-bidang yang akan dikembangkan dan memberikan cara untuk mengatasi kekurangan yang ada, sehingga menjadikan pemerintah daerah lebih efisien dan efektif.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) - Modul A (Februari 2005)

6

Ketika pemerintah daerah beralih dari penyusunan rencana pembangunan yang tradisional ke yang lebih strategis berdasarkan pernyataan visi dan misi jangka menengah, strategi pengembangan kapasitas menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dari rencana-rencana strategis ini karena rencana-rencana tersebut memerlukan kemampuan dan keahlian yang baru. Lembaga-lembaga daerah akan diposisikan dengan lebih baik untuk memenuhi permintaan pelayanan yang datang dari masyarakat setempat. Para pejabat dapat menunjukkan bahwa mereka mendasarkan kegiatan-kegiatan mereka pada pemahaman bersama yang luas tentang kebutuhan masyarakat. Pengertian yang lebih baik di antara DPRD, aparatur pemerintah daerah, dan kelompok-kelompok masyarakat akan mengurangi perselisihan dan konflik dalam masyarakat daerah. Dengan memiliki program pengembangan kapasitas jangka menengah yang multi dimensional akan memudahkan untuk mengakses sumber dana tambahan dari Pemerintah, lembaga donor atau dari sektor swasta. Latar Belakang Pedoman ini Sebagai bagian dari usahanya untuk menjamin pelaksanaan desentralisasi yang tepat waktu dan efisien, Pemerintah Indonesia telah menyusun Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Dalam Rangka Mendukung Desentralisasi. Kerangka nasional tersebut menguraikan kebijaksanaan pengembangan kapasitas dalam konteks desentralisasi, menjelaskan peranan dan tanggung jawab dari stakeholder lain yang terlibat (seperti pemerintah pusat, daerah-daerah, lembaga donor), dan menentukan beberapa prinsip kegiatan pengembangan kapasitas. Di antara prinsip-prinsip tersebut adalah penetapan bahwa pengembangan kapasitas untuk mendukung desentralisasi di daerahdaerah harus didasarkan pada kebutuhan (demand-driven), yaitu pengembangan tersebut harus didasarkan pada analisis kebutuhan spesifik daerah, dan harus sejalan dengan prioritas dan program daerah.1 Para wakil daerah berulang kali menekankan perlunya menyediakan pedoman praktis untuk melakukan pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas [Capacity Building Needs Assessment (CBNA)] di daerah sebagai dasar untuk menyusun program-program pengembangan kapasitas jangka menengah dan sebagai dasar untuk mengalokasikan dana dari anggaran daerah (APBD). Pedoman ini berupaya untuk menjawab permintaan daerah tersebut dengan mengusulkan konsep metodologis untuk melakukan pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas di daerah dan untuk menyusun rencana tindak pengembangan kapasitas daerah [Capacity Building Action Plan (CBAP)]. Pedoman ini terdiri atas tiga modul, yaitu: Modul A (dokumen ini) menjelaskan konsep pengembangan kapasitas dan menguraikan langkah-langkah serta komponen dasar dari siklus pengembangan kapasitas di daerah. Modul ini ditujukan untuk meningkatkan pemahaman tentang pengembangan kapasitas, berdasarkan Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Dalam Rangka Mendukung Desentralisasi, serta untuk memampukan daerah-daerah dalam memahami ruang lingkup dan kompleksitas proses pengembangan kapasitas, yang terdiri atas pengkajian kebutuhan secara sistematis dan penyusunan rencana tindak pengembangan kapasitas jangka menengah. Modul ini menekankan perlunya pendekatan partisipatif dan inklusif dalam pengembangan kapasitas, serta perlunya keterkaitan upaya pengembangan kapasitas1

Lihat Modul C untuk Naskah Kerangka Nasional.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) - Modul A (Februari 2005)

7

dengan proses perencanaan dan penganggaran di daerah. Modul ini juga memuat contoh model proses pengembangan kapasitas di daerah untuk memberikan gambaran bentuk prosesnya. Namun demikian, modul ini tidak dimaksudkan sebagai cetak biru untuk diikuti atau diterapkan tanpa peninjauan lebih dahulu. Semestinya, proses pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas serta proses berikutnya berupa penyusunan rencana tindak pengembangan kapasitas hendaknya disesuaikan dengan kondisi spesifik daerah. Modul B adalah sekumpulan alat untuk melaksanakan pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas dan untuk merencanakan intervensi pengembangan kapasitas yang nyata. Modul ini berisi contoh-contoh metode, alat dan instrumen yang dapat digunakan untuk menganalisis kesenjangan pengembangan kapasitas, mengkaji kebutuhan pengembangan kapasitas, dan untuk merencanakan langkahlangkah pengembangan kapasitas. Modul ini lebih jauh memberikan petunjuk praktis untuk memfasilitasi proses pengembangan kapasitas di lapangan oleh fasilitator dan moderator yang telah terlatih. Modul C memuat dokumen-dokumen tambahan, referensi dan sumber-sumber informasi. Modul ini juga berisi Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Dalam Rangka Mendukung Desentralisasi yang diterbitkan pada bulan Nopember 2002. Kata daerah dalam pedoman ini mengacu kepada pemerintah tingkat sub-nasional, yaitu tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Kedua tingkat tersebut dapat menggunakan pedoman ini. Pedoman ini bertujuan untuk memberikan kepada daerah (yakni, para pejabat pemerintah daerah, para anggota DPRD, para wakil organisasi masyarakat madani dan kelompok-kelompok kepentingan) suatu tinjauan umum tentang konsep pengembangan kapasitas dan proses metodologis untuk menyusun serta melaksanakan strategi pengembangan kapasitas. Pedoman ini menggunakan pendekatan inklusif terhadap pengembangan kapasitas, yaitu bahwa pengembangan kapasitas tidak boleh ditujukan hanya kepada aparatur pemerintah daerah, tetapi juga kepada DPRD, kelompok masyarakat madani dan stakeholder lain pada tingkat daerah. Siapa sebaiknya menggunakan Pedoman ini? Terdapat beberapa pengguna potensial modul-modul ini. Para pejabat pemerintah daerah (para pejabat senior pemerintah, pegawai negeri sipil), dan para anggota DPRD terpilih dapat menggunakan modul-modul ini untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang konsep siklus pengembangan kapasitas, dan hal-hal yang diperlukan untuk melaksanakan pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas di daerah. Untuk tujuan tersebut, Modul A merupakan bagian yang paling penting. Para penyedia layanan pengembangan kapasitas (seperti perguruan tinggi dan lembaga pelatihan) dapat menggunakan pedoman tersebut untuk memahami kebijakan nasional tentang pengembangan kapasitas dalam konteks desentralisasi sehingga mereka diposisikan secara lebih baik untuk menawarkan layanan kepada para pemerintah daerah. Dalam Modul B, para pelatih, fasilitator dan moderator dapat memperoleh saran-saran tentang alat dan instrumen yang dapat digunakan selama pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas dan untuk menyusun rencana tindak pengembangan kapasitas. Modul C memuat sumber-sumber informasi dan pendukung yang berkaitan dengan masalah pengembangan kapasitas.Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) - Modul A (Februari 2005) 8

Tabel A- 1: Para Calon Pengguna Potensial Pedoman Pengembangan Kapasitas

Modul Modul A: Konsep Pengembangan Kapasitas, Proses Pengkajian Kebutuhan Pengembangan Kapasitas (CBNA) dan Penyusunan Program-Program Tindak Pengembangan Kapasitas (CBAP) Modul B: Pendekatan, Metode dan Instrumen untuk Pengkajian Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Proses Perencanaan (Kumpulan alat) Modul C: Dokumen Tambahan, Sumber Informasi

Kelompok Pengguna yang Dianjurkan

Para pejabat pemerintah daerah, para anggota DPRD terpilih, organisasi masyarakat madani, para penyedia layanan pengembangan kapasitas, para pelatih dan moderator/fasilitator

Satuan Tugas Pengembangan Kapasitas Daerah (tim teknis daerah), Para penyedia layanan pengembangan kapasitas, Para pelatih dan moderator/fasilitator

Referensi

dan Satuan Kerja Pengembangan Kapasitas Daerah (tim teknis daerah), Para penyedia layanan pengembangan kapasitas, Para pelatih dan moderator/fasilitator

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) - Modul A (Februari 2005)

9

Bagian Satu

Konsep Pengembangan Kapasitas

1.

Pengembangan Kapasitas dan Desentralisasi

Desentralisasi dan proses reformasi politik sejak tahun 1998 telah mengubah secara signifikan sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Tanggung jawab yang besar untuk menyediakan layanan publik telah dialihkan ke daerah (yakni propinsi-propinsi, kabupaten-kabupaten dan kota-kota). Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah diberikan hak untuk mengawasi eksekutif daerah, untuk mengesahkan APBD dan untuk menentukan kebijakan-kebijakan pokok di tingkat daerah. Revisi terakhir terhadap undang-undang pemerintahan daerah (Undang-undang 32/2004) telah memperkenalkan pemilihan langsung Kepala Daerah sejalan dengan pemilihan langsung Presiden. Daerahdaerah memiliki kewenangan yang lebih luas untuk menentukan struktur organisasinya dan mengelola sumberdaya manusianya. Sistem perimbangan keuangan antar pemerintahan telah dibuat menjadi lebih transparan, dan diperkenalkannya Dana Alokasi Umum (DAU) telah memungkinkan daerah untuk menentukan alokasi belanjanya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas mereka sendiri. Sementara pemerintah pusat tetap memegang fungsi penentuan kebijakan secara keseluruhan, desentralisasi tanggung jawab yang signifikan ke pemerintahan daerah diharapkan mampu meningkatkan penyediaan pelayanan publik, sehingga membuat sektor publik lebih bertanggung gugat dan tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dan prioritas-prioritas masyarakat daerah, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pembuatan dan pengawasan kebijakan. Dalam rangka pelaksanaan kebijakan desentralisasi, telah dilakukan diskusi yang mendalam tentang kapasitas-kapasitas dari para stakeholder di daerah (pemerintah, DPRD, masyarakat setempat) untuk melaksanakan tanggung jawab mereka yang baru, dan untuk menjalankan peran-peran dan fungsi mereka yang baru. Pengembangan Kapasitas telah menjadi strategi utama dari Pemerintah, yang telah mengesahkan Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Dalam Rangka Mendukung Desentralisasi sebagai bagian dari upaya Pemerintah untuk memfasilitasi upaya-upaya daerah. Kerangka tersebut menggambarkan bahwa program-program pengembangan kapasitas harus didorong oleh permintaan, yang berarti bahwa daerah itu sendiri harus mengkaji kebutuhan mereka sendiri akan pengembangan kapasitas, dan harus menyusun programprogram pengembangan kapasitas. Namun, banyak daerah yang telah meminta penjelasan lebih lanjut tentang konsep pengembangan kapasitas tersebut, dan telah meminta dukungan untuk melaksanakan pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas. Tujuan dari Modul A ini adalah: (i) untuk menjelaskan secara lebih rinci konsep pengembangan kapasitas (bab 1), (ii) untuk menguraikan berbagai tahapan dan langkah siklus pengembangan kapasitas di daerah (bab 2), serta (iii) untuk memberikan suatu proses model untuk siklus pengembangan kapasitas tersebut (bab 3). Bab 4 menjelaskan sumber daya eksternal dan internal yang tersedia untuk mendukung pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas dan penyusunan rencana tindak pengembangan kapasitas.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) - Modul A (Februari 2005)

11

2.

Konsep Pengembangan Kapasitas

Karena bermanfaat, penulis memulai dengan menjelaskan konsep pengembangan kapasitas dalam konteks kebijakan desentralisasi Indonesia. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kapasitas, dan bagaimana hal itu dapat diukur? Terdapat beragam konsep dan definisi tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan kapasitas. Umumnya semua konsep dan definisi tersebut mengacu pada kemampuankemampuan individu atau organisasi untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Namun demikian, kapasitas berarti lebih dari sekadar kompetensi teknis, atau ketersediaan sumber daya keuangan dan materiil yang memadai. Konsep kapasitas tersebut termasuk bagaimana masukan (input) dipergunakan untuk menghasilkan keluaran (output) dan mencapai hasil tertentu. Banyak penulis menganggap kapasitas sebagai sesuatu yang bersifat dinamis, multidimensi, dan secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh faktor-faktor kontekstual (Brown et.al. 2001). Kapasitas dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan khusus dengan tugas, dan batasanbatasan kapasitas bersifat spesifik karena berkaitan dengan faktor-faktor dalam suatu organisasi atau sistem tertentu pada suatu jangka waktu tertentu (Milen 2001). Kapasitas dapat memiliki konotasi kuantitatif, tetapi seringkali dihubungkan dengan pertimbanganpertimbangan kualitatif. Kapasitas dapat dilihat baik sebagai suatu proses maupun sebagai hasil. Kapasitas adalah kemampuan seorang individu, sebuah organisasi atau sebuah sistem untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan mencapai tujuantujuan secara efektif dan efisien. Hal ini harus didasari pada suatu tinjauan yang terus-menerus terhadap kondisi-kondisi kerangka kerja, dan pada penyesuaian dinamis dari fungsi-fungsi dan tujuan.

Definisi

Kapasitas dapat diukur secara kuantitatif, tetapi dalam konteks pemerintahan daerah dan penyediaan layanan hal itu seringkali dilihat dari sudut pandang bagaimana proses pengambilan keputusan dilakukan, mutu layanan apa yang akan diberikan, dan apa hasil dan dampak yang dicapai. Banyak alat dan instrumen pengkajian kapasitas organisasi yang mengukur kapasitas organisasi sebagaimana dipersepsikan oleh para anggota organisasi yang bersangkutan, dan kadang-kadang melengkapi kajian internal ini dengan pandangan luar, yaitu pengkajian kapasitas organisasi sebagaimana dilihat oleh stakeholder di luar organisasi (misalnya: pelanggannya). Apabila tolok ukur mutu (quality benchmarks) telah ditetapkan untuk layanan tertentu, tolok ukur tersebut dapat dipergunakan sebagai alat ukur untuk mengkaji kapasitas organisasi tersebut. Perbandingan dengan organisasi sejenis dalam konteks yang sama (misalnya memperbandingkan kinerja/prestasi satu Dinas Pertanian dengan Dinas Pertanian yang lain) juga dapat menghasilkan penilaian yang signifikan tentang kapasitas organisasi tersebut. Apa yang dimaksud dengan pengembangan kapasitas? Pengembangan kapasitas adalah suatu proses yang meningkatkan kemampuan orang, organisasi atau sistem untuk mencapai maksud dan tujuan yang telah ditetapkan (Brown et.al. 2001). Pengembangan kapasitas dapat dilihat sebagai suatu proses untuk melakukan, atau menggerakkan, perubahan di berbagai tingkatan (individu, kelompok, organisasi dan sistem) untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan penyesuaian diri dari orang dan organisasi sehingga mereka dapat merespons lingkungannya yang selalu berubah (Morrison 2001). Dengan demikian, pengembangan kapasitas adalah menciptakan organisasi pembelajaran. Pengembangan kapasitas, seperti halnya kapasitas, bersifat

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) - Modul A (Februari 2005)

12

spesifik terhadap tugas, dan sementara itu mungkin terdapat alat dan instrumen yang sama untuk digunakan, program pengembangan kapasitas harus dirancang sesuai dengan keadaan khusus setempat (Milen 2001). Walaupun pengembangan kapasitas terdiri atas tahapan (seperti pengkajian, perumusan strategi, pelaksanaan tindakan-tindakan, pemantauan dan evaluasi, serta perencanaan kembali) yang berkaitan secara erat satu sama yang lain, kejadiannya tidak harus selalu berurutan secara linier (Milen 2001). Pengembangan kapasitas harus meliputi berbagai tingkatan yang berbeda, seperti tingkatan individu, tingkatan kelembagaan (organisasi), dan tingkatan sistem (UNDP 1998). Pengembangan kapasitas dapat didefinisikan sebagai suatu proses untuk meningkatkan kemampuan individu, kelompok, organisasi, atau masyarakat untuk (i) menganalisis lingkungan mereka, (ii) mengidentifikasi masalah-masalah, kebutuhan, isuisu dan peluang, (iii) merumuskan strategi untuk mengatasi masalah-masalah, isu-isu dan kebutuhan tersebut, dan memanfaatkan peluang yang relevan, (iv) merancang sebuah rencana tindak, dan (v) mengumpulkan dan mempergunakan secara efektif dan atas dasar sumber daya yang berkelanjutan untuk melaksanakan, memantau dan mengevaluasi rencanarencana tindak tersebut, dan (vi) mempergunakan umpan balik untuk pembelajaran (ACBF 2001).

Definisi

Sebagaimana dapat dilihat berdasarkan definisi di atas, pengembangan kapasitas bersifat lebih luas dari sekadar mengirimkan staf untuk mengikuti program pelatihan. Dalam rangka pengembangan kapasitas, seseorang juga harus mempertimbangkan cara staf tersebut dapat memanfaatkan pengetahuan dan keahliannya yang baru, seseorang harus mempertimbangkan misalnya apakah sistem kerja di lembaga yang bersangkutan memungkinkan mereka untuk mencapai kinerja yang baik, seseorang harus mengkaji struktur organisasi dari lembaga tersebut dan hubungannya dengan lembaga lainnya dalam pemerintahan daerah. Karena hanya dengan cara seperti demikianlah seseorang dapat memastikan bahwa kapasitas pada tingkatan individu akan meningkat (anggota staf yang mengikuti pelatihan dapat belajar sesuatu yang baru), dan bahwa terdapat dampak positif pada cara institusi bersangkutan memberikan layanannya (pengembangan kapasitas kelembagaan) dan memberikan kontribusi kepada perbaikan proses secara keseluruhan dan kondisi pembangunan daerah. Pengembangan kapasitas lebih dari sekadar pelatihan! Kerangka Nasional menjelaskan bahwa pelatihan merupakan komponen yang penting dalam pengembangan kapasitas karena pelatihan dapat meningkatkan keahlian dan kompetensi para individu (seperti staf yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan daerah, para anggota DPRD, para anggota organisasi kemasyarakatan daerah). Namun, komponen tersebut hanyalah satu dari beberapa bidang intervensi. Sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar A-1, pengembangan kapasitas harus berlangsung dalam tiga tingkatan agar efektif dan berkelanjutan: tingkatan sistem, seperti misalnya kerangka peraturan, kebijakan, dan kondisi lingkungan yang mendukung atau menghambat pencapaian tujuan kebijakan tertentu;

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) - Modul A (Februari 2005)

13

tingkatan lembaga, yakni struktur organisasi, proses pengambilan keputusan dalam organisasi, tata cara dan mekanisme kerja, instrumen pengelolaan, hubungan dan jaringan antar organisasi tingkatan individu, yakni kemampuan dan kualifikasi individu, pengetahuan, sikap, etos kerja dan motivasi dari orang-orang yang bekerja dalam organisasi. Gambar A-1: Tingkatan Pengembangan Kapasitas

Tingkatan sistem adalah lingkungan dimana sistem organisasi atau pemerintah daerah beroperasi. Sistem tidaklah sama dengan nasional - kondisi-kondisi daerah (seperti struktur kekuasaan daerah, adat istiadat daerah, karakteristik sosial ekonomi daerah) menentukan berfungsinya (dan kapasitas) lembaga-lembaga daerah sama halnya seperti kerangka peraturan nasional dan kebijakan nasional. Ketiga tingkatan tersebut saling bergantung: perubahan pada satu tingkatan akan memiliki dampak pada tingkatan-tingkatan yang lain. Begitu juga pengembangan kapasitas pada suatu tingkatan akan berpengaruh pada kapasitas tingkatan lainnya. Oleh karena itu, prakarsa pengembangan kapasitas harus menyoroti kebutuhan pengembangan kapasitas dalam semua tingkatan, jika tidak upaya-upaya tersebut tidak akan berkelanjutan dan tidak akan mencapai hasil-hasil yang diinginkan. Pengembangan kapasitas adalah suatu proses, bukan suatu keluaran. Pengembangan kapasitas adalah upaya untuk membuat orang, organisasi dan sistem mampu menghadapi tantangan dan memenuhi permintaan. Dalam teorinya pengembangan kapasitas merupakan suatu proses yang tiada akhir, yang dapat berlangsung selamanya karena kondisi lingkungan pemerintahan yang selalu berubah, yang memaksa organisasi untuk senantiasa mengidentifikasi dan memenuhi tantangantantangan baru. Pembangunan ekonomi baru, perubahan sosial dan budaya, perubahan teknologi, kedewasaan berpolitik masyarakat semua faktor tersebut menentukan jenis

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) - Modul A (Februari 2005)

14

layanan dan kegiatan apa yang diharapkan dari organisasi di sektor publik. Apa yang saat ini dianggap sebagai penyediaan layanan yang baik dan memadai, mungkin esok tidak akan sesuai dan dibutuhkan lagi. Pengelolaan sektor publik juga mencakup upaya untuk mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut dan menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan tersebut. Siklus pengembangan kapasitas harus disusun dan dikelola sebagai suatu proses yang saling terkait dan berkelanjutan yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berhubungan, yaitu: pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas melalui berbagai kegiatan analisis dengan menggunakan berbagai perangkat dan instrumen; penyusunan rencana tindak pengembangan kapasitas yang melibatkan berbagai stakeholder; pelaksanaan program pengembangan kapasitas (tahunan) dengan menggunakan sumber daya sendiri atau sumber daya yang disediakan oleh stakeholder lainnya (seperti pemerintah pusat), dan akhirnya; evaluasi atas dampak-dampak dari kegiatan pengembangan kapasitas. Langkah terakhir yakni evaluasi dan perencanaan kembali akan mengulang kembali siklus pengembangan kapasitas. Gambar A-2 menjelaskan konsep proses pengembangan kapasitas bersiklus ini. Pengembangan Kapasitas bukanlah suatu proyek, tetapi suatu proses ! Karena pengembangan kapasitas merupakan hal yang selalu dibutuhkan oleh setiap organisasi, maka hal tersebut tidak dapat dianggap sebagai suatu proyek jangka pendek yang selesai saat intervensi pengembangan kapasitas telah diselesaikan. Sementara banyak komponen program pengembangan kapasitas mungkin akan dilaksanakan sebagai bagian dari suatu proyek yang akan didanai dengan menggunakan APBD (atau APBN) setiap tahunnya, adalah penting untuk mempertahankan kaitan dan konsistensi di antara proyek-proyek individu tersebut sebagai bagian dari strategi pengembangan kapasitas yang lebih luas, untuk memastikan bahwa komponen-komponen tersebut berkaitan satu sama lain dan dikembangkan berdasarkan hasil dan pencapaian dari aktivitas yang telah dilaksanakan. Sebagaimana telah dinyatakan dalam konsep siklus pengembangan kapasitas, evaluasi dan pengkajian hasil-hasil intervensi pengembangan kapasitas membawa kepada perumusan kegiatan pengembangan kapasitas yang berikutnya. Pengembangan Kapasitas bukan sesuatu yang baru! Banyak proyek dan rencana pembangunan di masa lalu baik yang didanai dari sumber daya Pemerintah saja, maupun didanai bersama dengan bantuan dari luar ditujukan untuk meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga daerah dan orang-orang yang bekerja di lembaga-lembaga tersebut, sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat memberikan fungsi mereka secara lebih efektif dan efisien. Upaya-upaya pengembangan kapasitas tersebut lebih banyak yang berwawasan sektoral, dan ditujukan pada instansi-instansi sektoral. Rencana-rencana tersebut sering hanya menekankan pada pelatihan (= memperkuat kemampuan dan pengetahuan individu), dan tidak cukup terfokus pada perubahan kelembagaan dan intervensi kerangka yang dibutuhkan agar penduduk dan organisasi dapat mempergunakan potensi mereka secara penuh. Pengembangan Kapasitas untuk pemerintahan daerah Otonomi daerah telah secara dramatis meningkatkan kebutuhan akan pengembangan kapasitas, karena lingkungan hukum dan politik untuk pemerintah daerah telah berubah secara mendasar. Baik yang berbentuk peningkatan peran DPRD, atau tuntutan

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) - Modul A (Februari 2005)

15

Gambar A-2: Siklus Pengembangan Kapasitas

PERSIAPAN

ANALISIS

PREPARATION EVALUATION

Siklus Pengembangan Kapasitas

EVALUASI

PERENCANAAN

PELAKSANAAN

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) - Modul A (Februari 2005)

16

masyarakat daerah untuk mendapatkan lebih banyak informasi tentang apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah, atau tanggung jawab pemerintah daerah yang baru dan lebih luas otonomi daerah sudah tentu telah mengubah cara kerja pemerintah daerah dalam mengatur para konstituen mereka. Karena pemerintah daerah kini memiliki kewenangan yang lebih besar untuk menentukan kegiatan mereka sendiri (tentunya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada), pemerintah daerah harus mencari cara untuk memprioritaskan tujuan-tujuan pembangunan, dana anggaran, dan sumber daya manusia serta sumber daya lainnya. Otonomi daerah telah menimbulkan peningkatan yang besar pada tuntutan akan kemampuan dan kecakapan manajerial, dan dengan demikian memerlukan proses perumusan kebijakan yang berbeda di tingkat daerah. Pengembangan kapasitas di daerah dalam rangka desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam Kerangka Nasional, mengacu pada keharusan untuk menyesuaikan kebijakan dan peraturan daerah, untuk mereformasi lembaga-lembaga pemerintahan daerah, untuk mengubah tata kerja dan mekanisme koordinasi, untuk meningkatkan kemampuan dan kualifikasi orang-orang di daerah, dan untuk mengubah sistem nilai dan sikap sehingga dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan dari otonomi daerah sebagai suatu pendekatan baru untuk menjalankan roda pemerintahan.

Definisi

Otonomi daerah tidak semata-mata berkaitan dengan pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengelola urusan mereka sendiri, otonomi daerah juga menyangkut upaya untuk memperkuat demokrasi dan akuntabilitas di daerah, serta memperkuat peran serta masyarakat di daerah. Oleh karena itu, pengembangan kapasitas untuk mendukung desentralisasi juga berkaitan dengan pengembangan mekanisme peran serta dan sistem pertanggungjawaban yang efektif untuk memenuhi tuntutan akan demokrasi yang lebih luas di daerah. Dari mana pengembangan kapasitas dimulai? Pengembangan kapasitas dapat dimulai dari beberapa bidang. Penentuan bidang mana yang paling sesuai dan efektif merupakan sebuah keputusan penting yang harus dibuat pada tahap awal ketika suatu daerah melaksanakan pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas yang sistematis. Menurut UNDP (1998), pengkajian pengembangan kapasitas dapat dilakukan secara zoom in atau zoom out, dengan kata lain suatu daerah dapat memulai dari tingkatan yang sangat rinci dan nyata, dan kemudian zoom out untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas. Atau daerah dapat memulainya dari tingkatan yang sangat luas dan umum, dan kemudian mengurangi tingkatan analisis dengan berfokus pada satuan-satuan organisasi tertentu dalam pemerintahan daerah atau bahkan pada anggota staf tertentu. (lihat Gambar A-3) Contoh: Untuk mengkaji kapasitas dari pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan tata ruang, seseorang dapat melihat kapasitas individu dan kelembagaan di seksi BAPPEDA yang berurusan dengan perencanaan tata ruang (Seksi Tata Ruang BAPPEDA) sebagai langkah awal, dan mengkaji kebutuhan pengembangan kapasitas dari seksi ini. Seseorang kemudian dapat melakukan zoom out untuk mengkaji misalnya hubungan antara Seksi Tata Ruang ini dengan seksi-seksi lain di BAPPEDA, hubungan BAPPEDA dengan instansi pemerintah daerah lain dan dunia usaha, peran BAPPEDA dalam menentukan prioritas pembangunan ekonomi di daerah, kemampuan instansi pemerintah daerah untuk melaksanakan rencana tata ruang yang ada, kerangka hukum

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) - Modul A (Februari 2005)

17

untuk perencanaan tata ruang dan sebagainya. Semakin jauh seseorang bergerak dari Seksi Tata Ruang BAPPEDA, semakin rumit gambaran tentang benturan kepentingan, hubungan timbal balik dan saling ketergantungan.

Gambar A-3: Proses Zooming in Zooming out

Atau seseorang dapat memulai dengan pengkajian secara umum atas status tata ruang di daerah, meninjau apakah rencana tata ruang yang ada sesuai dengan tren pembangunan dan telah dilaksanakan atau belum, menganalisis kelemahan-kelemahan dalam proses perencanaan tata ruang dan pelaksanaannya, dan kemudian secara perlahan zoom in untuk menganalisis secara rinci situasi BAPPEDA dan Seksi Tata Ruangnya serta kompetensi perencaaan yang ada dari para staf yang bekerja di seksi ini. Darimana seseorang memulai, dan apakah seseorang melakukan zoom in atau zoom out bukanlah hal yang penting. Aspek yang penting adalah bahwa analisis dan rancangan program-program pengembangan kapasitas yang dilakukan berikutnya sebaiknya tidak dibatasi hanya pada satu tingkatan saja, tetapi harus selalu berusaha untuk mencakup ketiga tingkatan tersebut, untuk mengetahui saling ketergantungan di antara tingkatantingkatan tersebut dan juga mengetahui faktor-faktor mana yang dapat benar-benar mempengaruhi, apabila dibandingkan dengan faktor-faktor luar yang berada di luar jangkauan intervensi pengembangan kapasitas daerah. Pengembangan kapasitas untuk mendukung desentralisasi tidak hanya untuk staf pemerintah daerah! Salah satu prinsip utama dari Kerangka Nasional adalah pengertian bahwa otonomi daerah melibatkan banyak stakeholder: aparatur pemerintah daerah, pejabat senior pemerintah daerah (seperti Sekretaris Daerah dan Kepala Dinas), pemimpin politik (Kepala Daerah, pimpinan DPRD), partai politik cabang daerah, DPRD dengan fraksifraksi dan komisi-komisinya, kelompok kepentingan daerah, kelompok berbasisPengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) - Modul A (Februari 2005) 18

masyarakat sipil, serta media. Untuk memastikan pelaksanaan pemerintahan daerah yang baik, semua stakeholder membutuhkan pengembangan kapasitas. Oleh karena itu, program tindak pengembangan kapasitas di daerah harus mencoba untuk melibatkan kelompokkelompok ini untuk meningkatkan peran mereka dalam pemerintahan daerah dan proses pembangunan. Siapa yang menentukan kebutuhan dan prioritas pengembangan kapasitas? Setiap kelompok atau setiap stakeholder dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kapasitasnya sendiri: Masing-masing Dinas misalnya harus memperhatikan kebutuhannya. DPRD harus mendiskusikan dalam bidang apa saja lembaga tersebut ingin memperkuat kinerjanya dan dalam bidang apa saja para anggotanya berniat untuk meningkatkan keahlian dan kompetensinya. Sekretariat Daerah sebagai satuan administrasi pangkal dari pemerintahan daerah tentunya memiliki kebutuhan pengembangan kapasitasnya sendiri. Kelompok-kelompok masyarakat daerah mungkin ingin memperluas kapasitas mereka untuk turut menangani proses dan permasalahan pemerintahan daerah. Tentunya, semua kebutuhan pengembangan kapasitas yang terpisah-pisah tersebut bersaing satu sama lain untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas. Keputusan tentang kebutuhan pengembangan kapasitas mana yang dipertimbangkan dan didanai tidak dapat diambil oleh seorang pejabat saja (seperti misalnya Sekretaris Daerah atau Kepala Daerah). Sebagaimana tersirat dalam prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, harus ada proses yang partisipatif yang melibatkan berbagai stakeholder untuk menentukan prioritas kegiatan pengembangan kapasitas. Hal ini dapat dilakukan sebagai bagian dari proses penyusunan anggaran tahunan dan tinjauan berkalanya. Hal ini juga dapat dilakukan sebagai bagian dalam menentukan prioritas pembangunan umum daerah selama lima tahun (Rencana Pembangunan Jangka Menengah - RPJM) dan rencana pembangunan tahunan (Rencana Kerja Pemerintah Daerah - RKPD), dengan menggunakan hasil-hasil pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas dalam pelaksanaan perencanaan reguler dan dengan memuat hasil-hasil tersebut dalam strategi daerah. Hal ini dapat juga dilakukan dengan proses perencanaan terpisah, tetapi hasilnya harus dimasukkan kedalam keseluruhan proses penyusunan anggaran. Kapan pengembangan kapasitas dibutuhkan? Sebagaimana disebutkan di atas, organisasi selalu menghadapi perubahan dalam lingkungan kelembagaan mereka dan harus memenuhi tuntutan dan tantangan baru. Dalam kaitan tersebut pengembangan kapasitas selalu dibutuhkan pada setiap waktu. Hal inilah yang menjadi pusat perhatian dari konsep organisasi pembelajaran: organisasi yang secara terus-menerus mengamati dan menganalisis lingkungannya, dan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menyesuaikan diri (strukturnya, mekanisme kerjanya, sumber dayanya) dengan kondisi yang baru. Namun, dalam kenyataannya kegiatan pengembangan kapasitas jarang sekali diterapkan secara rutin tetapi biasanya terkait dengan beberapa perubahan besar di lingkungan organisasi, atau pada saat organisasi mempertimbangkan opsi strategis jangka menengah dan jangka panjang dan dengan demikian organisasi tersebut memulai perubahan. Bagi pemerintah daerah, desentralisasi dan reformasi politik merupakan perubahan besar pada lingkungan operasinya, sehingga memerlukan upaya yang besar untuk pengembangan kapasitas.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) - Modul A (Februari 2005)

19

Bagian Dua Mengkaji Kebutuhan Pengembangan Kapasitas (CBNA) dan Menyusun Rencana Tindak Pengembangan Kapasitas (CBAP)

3.

Siklus Pengembangan Kapasitas: Tahapan, Proses dan Pelaku

Pengembangan kapasitas dipahami sebagai suatu proses siklus yang mencerminkan proses perencanaan strategis, yaitu terdiri atas: persiapan, analisis, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi intervensi pengembangan kapasitas. Namun, tidak ada siklus pengembangan kapasitas yang cocok untuk semua. Karena pengembangan kapasitas daerah berlangsung dalam lingkungan yang beragam, dengan para pelaku yang berbeda-beda dan tujuan yang berbeda-beda pula, maka siklus pengembangan kapasitas di suatu daerah akan selalu kelihatan berbeda dari daerah lainnya. Namun, langkah-langkah umum atau komponen dasar tertentu dapat diidentifikasi untuk dimasukkan dalam proses pengembangan kapasitas. Dalam bagian yang berikut, kita akan menjelaskan langkah-langkah yang sangat biasa terdapat dalam siklus pengembangan kapasitas. Langkah-langkah tersebut tidak harus selalu dilaksanakan secara berurutan; sebaliknya langkah-langkah tersebut dapat terjadi secara sekaligus, secara berputar (in loops), dan secara tidak berurutan, tergantung pada kondisi dan kebutuhan setempat. Proses yang diusulkan terdiri atas lima tahapan pokok dan 20 langkah rinci yang membentuk metodologi untuk pengembangan kapasitas (lihat Gambar A-4). Untuk mencanangkan suatu proses pengembangan kapasitas yang secara metodologis cocok untuk tingkat daerah, sejumlah kegiatan persiapan harus dilakukan untuk mengetahui kebutuhan dan kesiapan guna memulai suatu proses yang komprehensif. Keseluruhan proses untuk mengkaji kebutuhan pengembangan kapasitas dan untuk menyusun rencana tindak pengembangan kapasitas mungkin akan memerlukan waktu sekitar 5 6 bulan, tergantung pada tujuan, metodologi, profesionalisme dan ketersediaan sumber daya serta komitmen politik dan dukungan yang diberikan oleh pimpinan pemerintah daerah. Hal ini belum mencakup waktu yang diperlukan untuk melaksanakan intervensi pengembangan kapasitas untuk mana tergantung pada kompleksitas dari program dan intervensinya enam bulan atau lebih mungkin diperlukan sebelum dampak awal dapat dirasakan baik oleh instansi pemerintah daerah sebagai penyedia utama layanan publik maupun masyarakat sebagai penerima layanan.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

21

Gambar 4: Langkah-Langkah Dalam Siklus Pengembangan KapasitasTahapan persiapan dari siklus pengembangan kapasitas menyoroti pembentukan proses kerja di tingkat daerah, kesepakatan atas tujuan dan penetapan tanggung jawab, peran dan fungsi yang akan dilaksanakan oleh berbagai stakeholder. Tahapan ini sampai pada mencapai pengerahan dan alokasi sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas.

1. Identifikasi

2. 3. 4. 5.

untuk kapasitas Penentuan tujuan Penetapan tanggung jawab Perencanaan proses Pengalokasian sumber daya

ANALISIS

6. 7. 8. 9.

Identifikasi masalah Analisis proses Analisis organisasi Pengkajian kesenjangan kapasitas 10. Perangkuman kebutuhan pengembangan kapasitas yang teridentifikasi

Tahapan analisis mengidentifikasi kesenjangan kapasitas yang ada dengan mempertimbangkan fungsi pemerintahan daerah untuk dikaji. Tahapan ini menggunakan metode analisis dan alat khusus untuk pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas pada tiga tingkatan, yaitu sistem, lembaga dan individu. Hasil akhir dari tahapan ini adalah daftar awal kebutuhan pengembangan kapasitas berkaitan dengan semua stakeholder yang terlibat.

PERSIAPAN

kebutuhan pengembangan

Tahapan perencanaan dan pemrograman mentransformasikan kebutuhan pengembangan kapasitas yang teridentifikasi menjadi strategi pengembangan kapasitas multi-tahun. Rencana tindakan pengembangan kapasitas multi-tahun dan program pembelanjaan jangka menengah memberikan arah strategis untuk intervensi pengembangan kapasitas berdasarkan prioritas dan urutuan kegiatan yang telah ditetapkan.

11. StrategiPERENCANAAN

dan perencanaan tindakan untuk beberapa tahun 12. Perencanaan pembelanjaan jangka menengah 13. Penetapan prioritas dan urutan

14. PELAKSANAAN 15. 16.

17. 18.

Pemrograman & penganggaran tahunan Perencanaan proyek Pemilihan penyedia layanan; pengadaan layanan Pelaksanaan proyek Pemantauan proses

Pelaksanan kegiatan pengembangan kapasitas memerlukan perencanaan dan pemrograman intervensi yang baik. Program-program tahunan yang didasarkan atas penetapan prioritas dan urutan kegiatan mencakup kerangka untuk penganggaran tahunan dan pelaksanaan jangka menengah dari tindakan pengembangan kapasitas. Pengadaan didasarkan atas tender yang kompetitif. Pemantauan secara terus-menerus atas pencapaian memastikan bahwa proses pengembangan kapasitas tetap berada dalam jalurnya dan peningkatan produk serta layanan tersedia bagi para stakeholder maupun penerima manfaat di daerah.

Tahapan akhir berkenaan dengan evaluasi hasil dan dampak dari pengembangan kapasitas pada tingkat daerah. Indikator kinerja akan menilai apakah organisasi atau individu meningkat kinerjanya dengan menggunakan hasil, dan manfaat tetap apa yang telah dicapai dari kinerja pemerintahan yang semakin membaik. Berdasarkan hal tersebut di atas, perencanaan kembali rencana tindakan pengembangan kapasitas harus dilakukan.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

EVALUASI

19. Evaluasi dampak 20. Penyusunan kembali rencana tindak pengembangan kapasitas

22

3.1

Tahap A: Persiapan

Tahap persiapan dari siklus pengembangan kapasitas menangani pembentukan proses kerja di tingkat lokal, kesepakatan akan tujuan, dan penetapan tanggung jawab, peran dan fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh berbagai stakeholder selama proses tersebut. Pembentukan tim teknis merupakan langkah penting dalam tahap persiapan. Selanjutnya tahap persiapan bertujuan membangun kesadaran akan pengembangan kapasitas di antara para stakeholder di tingkat lokal. Tahap ini juga memobilisasi dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas. Tahap pertama terdiri atas lima langkah kerja: Mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kapasitas (Langkah 1) Menentukan tujuan dan ruang lingkup proses pengkajian kebutuhan (CBNA) (Langkah 2) Menetapkan tanggung jawab atas proses pengkajian kebutuhan (Langkah 3) Merancang proses pengkajian kebutuhan (Langkah 4) Mengalokasikan sumber daya untuk proses pengkajian kebutuhan (Langkah 5) Langkah 1: Identifikasi Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Upaya pengembangan kapasitas yang sistematis tidak dapat dimulai sebelum kebutuhan pengembangan kapasitas telah diidentifikasi dan diungkapkan. Kadang-kadang kebutuhan pengembangan kapasitas mungkin tidak dirasakan dalam organisasi itu sendiri, tetapi justru dirasakan oleh organisasi atau individu lain yang berurusan dengan organisasi itu. Dengan kata lain, identifikasi kebutuhan pengembangan kapasitas dapat datang dari dalam organisasi, atau dari luar organisasi. Tanda-tanda apa saja yang dapat menunjukkan adanya kebutuhan pengembangan kapasitas? Mungkin mutu layanan atau keluaran yang dihasilkan oleh suatu organisasi tidak memuaskan, atau kuantitas layanan yang diberikan tidak memadai atau bahkan tidak relevan. Mungkin juga organisasi tersebut menyediakan layanan dan menghasilkan keluaran yang tidak diperlukan, sementara layanan yang diperlukan justru terabaikan. Survei kepuasan konsumen dapat memberikan umpan balik kepada organisasi berupa pendapat konsumen dan klien tentang kinerja organisasi tersebut. Penetapan tolok ukur (benchmarking), yakni membandingkan kinerja suatu organisasi dengan kinerja organisasi lainnya yang sejenis, juga dapat menunjukan ada tidaknya kebutuhan pengkajian kapasitas dan pengembangan kapasitas. Penilaian sendiri kapasitas organisasi dapat menghasilkan umpan balik yang menarik dan merangsang bagi para anggota organisasi tersebut tentang persepsi mereka mengenai organisasinya. Dalam rangka pengawasan pemerintah daerah, pemerintah tingkat yang lebih tinggi dapat mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan suatu pemerintah daerah atau organisasi tertentu di dalamnya yang memerlukan intervensi pengembangan kapasitas. Kebutuhan akan pengembangan kapasitas dapat bersifat sangat nyata, berdasarkan kejadian penting tertentu (Biro Keuangan lagi-lagi tidak dapat menyampaikan angkaangka yang dibutuhkan untuk merancang APBD tepat pada waktunya), atau berdasarkan pengamatan dan pengkajian yang lebih umum (Entah apa sebabnya sistem manajemen keuangan kita sepertinya tidak berfungsi). Kita harus menyadari bahwa tanpa proses pengkajian kapasitas yang baku dan resmi pun dunia luar (seperti pelanggan dari layanan publik tertentu, kolega dari unit-unit kerja lain di pemerintah

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

23

daerah) secara terus menerus menilai kinerja organisasi menurut persepsi mereka. Akan tetapi, pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas dapat menyusun dan menguji penilaian ini.

Pengkajian kinerja dapat terjadi secara informal, berdasarkan pada apa yang sedang terjadi, baik organisasi itu terlibat dalam pengkajian kinerja secara resmi ataupun tidak. Pengkajian semacam ini dapat dipicu oleh berbagai stakeholder maupun klien. (IRDC 1995)

Pimpinan politik dan birokrasi pemerintah daerah harus memiliki persepsi yang sama tentang kebutuhan akan pengembangan kapasitas ini, apabila tidak, maka prakarsa pengembangan kapasitas akan kurang mendapat dukungan politis dan manajemen dan tidak akan terintegrasi dengan baik ke dalam seluruh program pemerintah daerah. Dalam rangka desentralisasi saat ini, mungkin semua pemerintah daerah di Indonesia akan merasakan dibutuhkannya pengembangan kapasitas karena mereka sedang berusaha memahami tugas dan fungsi mereka yang baru, tanggung jawab baru, dan mekanisme pengambilan keputusan baru. Namun demikian, bidang-bidang kebutuhan pengembangan kapasitas di tiap daerah mungkin berbeda, tergantung pada situasi khusus masing-masing daerah. Langkah 2: Penentuan Tujuan dan Ruang Lingkup Proses Pengkajian Kebutuhan Tujuan dan ruang lingkup pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas yang diikuti dengan penyusunan program pengembangan kapasitas harus ditentukan. Idealnya, keputusan tersebut tidak diambil secara sepihak oleh pimpinan politik dan birokrasi daerah, tetapi diambil setelah melakukan konsultasi dengan semua stakeholder (pejabat pemerintah, pimpinan dan anggota DPRD, organisasi masyarakat sipil, dsb.). Pada tahap ini, mungkin belum harus tersedia gagasan yang sangat jelas dan nyata tentang semua masalah pengembangan kapasitas, namun harus tersedia informasi yang cukup untuk menerangkan secara garis besar ruang lingkup dari proses tersebut karena ruang lingkup tersebut juga menentukan berapa banyak sumber daya yang harus disediakan untuk melaksanakan proses pengkajian kebutuhan. Sebuah lokakarya eksplorasi mungkin dapat dilakukan untuk menjelaskan konsep pengembangan kapasitas, menyajikan metode-metode dan pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan untuk menilai kebutuhan pengembangan kapasitas, dan pada saat yang sama, mengidentifikasi masalahmasalah kunci menurut pandangan berbagai stakeholder.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

24

Gambar A-5: Proses Lokakarya Eksplorasi (Contoh)

Tujuan harus menunjukkan sasaran dari proses pengembangan kapasitas: yaitu apa yang harus dicapai setelah proses pengkjian kebutuhan dijalankan. Hal ini termasuk batasan sementara dari fokus atau obyek dari proses: yaitu proses pengkajian kebutuhan dapat sangat luas, misalnya mengkaji seluruh sistem perangkat daerah dan interaksinya dengan lembaga-lembaga swasta dan masyarakat madani. Proses ini dapat juga lebih terbatas, yaitu mengkaji kapasitas sebuah perangkat daerah (misalnya Badan Kepegawaian Daerah). Pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas dapat juga mengkaji fungsi-fungsi layanan tertentu pemerintah daerah dan mengkaji apakah fungsifungsi tersebut (misalnya, pembuangan sampah, penyediaan air minum bersih, perencanaan pembangunan daerah, atau pengembangan karier pegawai pemerintah daerah) telah dijalankan dengan cara yang layak, efektif dan efisien. Tergantung pada apakah daerah memilih pendekatan yang luas atau yang lebih terbatas, daerah harus menyesuaikan sumber daya, waktu, metode, peralatan, dan instrumennya. Tentu saja, untuk mencakup seluruh sistem perangkat daerah akan memerlukan lebih banyak waktu dan sumber daya dibandingkan dengan hanya mencakup satu lembaga saja. Penentuan obyek dari pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas ini mempunyai implikasi-impikasi pada proses pelaksanaannya.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

25

GAMBAR A-6:

BERBAGAI RUANG LINGKUP PENGEMBANGAN KAPASITASMengkaji satu lembaga pemerintah daerah

DARI

PENGKAJIAN

KEBUTUHAN

Mengkaji struktur pemerintah daerah secara keseluruhan

Mengkaji satu layanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah

Pemda Kabupaten Indah Utara

Dinas Kebersihan Kabupaten Indah Utara

Pembuangan Sampah di Kabupaten Indah Utara

Pemilihan antara pendekatan yang luas atau yang lebih terbatas untuk pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas pada tahap ini tidak harus berarti bahwa program pengembangan kapasitas di masa depan juga akan bersifat luas ataupun terbatas. Proses pengkajian dapat saja membuahkan hasil dan pengetahuan yang tidak terduga sebelumnya, sehingga memerlukan program pengembangan kapasitas yang berbeda dari perkiraan semula. Dalam hal inilah proses zooming in/zooming out dapat diterapkan dengan tujuan mengidentifikasi faktor-faktor krusial dalam pengembangan yang berkaitan dengan tiga tingkatan kapasitas, yaitu sistem, lembaga, dan individu. Sementara ketiga tingkatan tersebut harus dicakup oleh pengkajian, mungkin saja selama jalannya pengkajian kita menemukan bahwa akar permasalahannya terletak pada tingkatan yang berbeda dari yang semula diduga. Kita perlu menjaga fleksibilitas proses pengkajian, dan jangan menentukan hasilnya terlebih dahulu. Dalam kebanyakan kasus, persepsi awal tentang letak kebutuhan pengembangan kapasitas dapat diperoleh dari kerja sehari-hari pemerintah daerah serta interaksinya dengan penduduk dan sektor swasta, dengan daerah lain, dan dengan tingkatan pemerintah lainnya. Desentralisasi dan proses reformasi politik sejak tahun 1998 telah memperluas ruang lingkup pengaruh luar pada pemerintah daerah. DPRD, partai-partai politik, media, dan kelompok-kelompok yang berkepentingan dari masyarakat daerah memiliki lebih banyak kebebasan untuk berkomentar tentang adanya kapasitas (atau tidak adanya kapasitas) pemerintah daripada di masa lalu. Tuntutan dan aspirasi, serta masukan dan umpan balik dari mereka dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang penting kepada pemerintah daerah tentang bidang-bidang pengembangan kapasitas mana yang dibutuhkan. Namun, kita perlu membuktikan bahwa kebutuhan pengembangan kapasitas yang mereka persepsikan itu memang benar-benar penting, dan mendiskusikan persepsi tersebut dengan stakeholder lainnya. Selanjutnya kita tidak boleh mengabaikan kebutuhan pengembangan kapasitas dari stakeholder lain yang memainkan peranan penting dalam proses pemerintahan daerah, seperti DPRD dan kelompok-kelompok masyarakat madani.Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005) 26

Langkah 3: Penetapan Tanggung Jawab atas Proses Pengkajian Kebutuhan Karena pengembangan kapasitas berupaya untuk menangani kapasitas individu, lembaga, dan sistem secara terintegrasi, perlu adanya tanggung jawab kelembagaan yang jelas dalam proses pengembangan kapasitas, termasuk kebutuhan pengkajian dan pelaksanaan langkah-langkah pengembangan kapasitas. Pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas dapat dilakukan baik oleh staf pemerintah daerah itu sendiri, maupun dengan dukungan dari luar, misalnya, universitas, asosiasi pemerintah daerah, instansi pemerintah pusat, dan lain-lain. Kerangka Nasional mengamanatkan dibentuknya tim antar instansi atau satuan tugas pengembangan kapasitas (Tim Teknis, Tim Koordinasi, Satuan Tugas) untuk mengkoordinasikan pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas, memantau pelaksanaan kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas dan dampaknya, serta untuk lebih mengembangkan strategi dan program-program daerah. Tim antar instansi atau satuan tugas tersebut secara administratif dapat ditempatkan di bawah Badan Perencanaaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), atau di bawah Sekretariat Daerah sebagai unit pendukung administrasi utama Kepala Daerah. Tergantung pada ruang lingkup dari proses CBNA yang diinginkan, barangkali penting untuk memastikan bahwa stakeholder dari luar birokrasi pemerintah daerah (seperti DPRD, partai-partai politik, kelompokkelompok masyarakat) dilibatkan sebagai anggota atau nara sumber dalam tim atau satuan tugas tersebut. Tim/satuan tugas tersebut diberi tanggung jawab melakukan pengkajian kebutuhan dan menyusun rancangan program aksi pengembangan kapasitas daerah. Tambahan pula, karena proses pengembangan kapasitas merupakan kegiatan pembangunan yang penting dan memerlukan koordinasi yang erat antar semua stakeholder dan komitmen tulus dari pimpinan daerah, disarankan agar dibentuk Tim Pengarah yang terdiri dari pejabat tinggi di daerah untuk memastikan bahwa pengembangan kapasitas menjadi arus utama dalam penyusunan kebijakan dan program pembangunan daerah. Dalam beberapa kasus, pembentukan Forum Pengembangan Kapasitas Daerah telah disarankan, yang akan menghimpun berbagai stakeholder, yang diharapkan akan berfungsi sebagai penguji hasil kerja dan strategi. Langkah 4: Perencanaan Proses Pengkajian Kebutuhan Berdasarkan parameter awal proses pengembangan kapasitas sebagaimana diperoleh dari Langkah-2, Satuan Tugas/Tim Teknis harus merancang rencana tindak untuk melakukan pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas dan penyusunan prioritas-prioritas dan langkah-langkah pengembangan kapasitas selanjutnya. Hal ini mencakup beberapa hal, yang terpenting adalah: Menetapkan metodologi pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas. Ruang lingkup dan tujuan dari proses tesebut merupakan variabel-variabel yang penting untuk menentukan metodologi pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas. Terdapat banyak metode yang tersedia yang tentunya harus disesuaikan dengan tugas yang dihadapi. Metode-metode seperti SWOT dan diskusi kelompok terarah sering memerlukan moderator-moderator yang terlatih.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

27

Begitu pula, metode-metode pengkajian organisasi seperti OCAT dan PROSE membutuhkan lebih banyak waktu, lebih rumit penyelenggaraannya, dan juga membutuhkan fasilitator-fasilitator yang terampil. Oleh karena itu, pemilihan metodologi yang sesuai untuk pengkajian kebutuhan mempengaruhi penentuan waktu dan urutan proses serta berakibat pada dibutuhkannya dukungan luar. Modul B menjelaskan secara lebih rinci metode dan instrumen mana yang dapat diterapkan dalam proses ini. Menentukan kebutuhan dukungan luar untuk proses pengembangan kapasitas. Dukungan luar tersebut, misalnya, dapat berasal dari perguruan tinggi dan lembagalembaga pelatihan, instansi-instansi pemerintah pusat, atau proyek-proyek yang didukung donor. Dukungan dapat berbentuk penelitian (menyelidiki masalahmasalah tertentu), fasilitasi (misalnya sebagai moderator dalam diskusi dan pertemuan) atau informasi (bagaimana masalah-masalah tertentu ditangani oleh pemerintahpemerintah daerah lain? Program-program latihan berkualitas manakah yang cocok dengan kebutuhan-kebutuhan pelatihan pegawai yang telah teridentifikasi?) Akan tetapi, penggunaan dukungan luar dapat meningkatkan biaya pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas, apabila dukungan tersebut tidak diberikan secara gratis. Menetapkan jadwal waktu untuk pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas dan penyusunan program pengembangan kapasitas. Tergantung pada ruang lingkupnya, proses pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas dapat memakan waktu singkat atau lama. Rancangan jadwal waktu yang realistis (realistis dalam hal ruang lingkup proses dan sumber daya yang tersedia) adalah penting untuk memantau proses pelaksanaannya dan untuk mengambil tindakan perbaikan apabila pelaksanaannya tidak berjalan sesuai rencana. Mengantisipasi hubungan antara proses pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas (dan kemudian pelaksanaan program pengembangan kapasitas) dengan proses perencanaan pembangunan dan penyusunan anggaran yang berlaku. Perlu diingat bahwa proses pengembangan kapasitas tidak dapat dipandang sebagai sesuatu hal yang terpisah dari keseluruhan proses perencanaan pembangunan dan penyusunan anggaran di daerah. Visi dan Misi dari pemerintah daerah dan prioritasprioritas pembangunan sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen pembangunan daerah jangka menengah dan panjang (seperti RPJMD atau RPKD) tentu saja ikut mempengaruhi dan menentukan kapasitas-kapasitas apa saja yang diperlukan. Karena program aktual pengembangan kapasitas juga akan didanai antara lain dari APBD, sangatlah penting untuk mempertimbangkan sejak awal proses pengkajian kebutuhan untuk mengintegrasikan hasil pengkajian dan rencana tindak kedalam proses perencanaan anggaran.

Untuk mewujudkan dukungan politis dan administratif bagi pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas, pengaturan kelembagaan dan operasional proses pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas perlu ditetapkan secara resmi dengan keputusan Kepala Daerah (Surat Keputusan Kepala Daerah).

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

28

Langkah 5: Pengalokasian Sumber Daya untuk Proses Pengkajian Kebutuhan Pada tahap persiapan poses CBNA ini, selanjutnya perlu mendapatkan gagasan yang mantap tentang sumber daya yang diperlukan untuk melakukan proses pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas: Berapa lama waktu yang dibutuhkan? Apakah perlu dana untuk, misalnya, membayar konsultan, moderator, atau pelatih dari luar? Berapa banyak orang dan dari unit kerja mana dibutuhkan pegawai untuk melaksanakan dan mengelola proses pengkajian? Apakah sumber daya (manusia, dana) diperlukan dari stakeholder di luar pemerintah daerah? Apabila ya, dapatkah sumber daya tersebut disiapkan? Adakah cara untuk mengakses dan menggunakan sumber daya dari luar untuk mendukung pengkajian, misalnya program-program dukungan dari pemerintah pusat, program-program yang didanai dan didukung oleh lembaga-lembaga donor, atau dukungan dari tingkat propinsi? Tergantung pada metodologi yang dipilih dan jadwal waktu untuk pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas, sumber daya dapat berupa sumber daya keuangan (yaitu untuk membayar konsultan dari luar, atau untuk menyelenggarakan lokakarya/seminar), sumber daya manusia (berapa banyak staf akan dilibatkan dalam proses pengkajian), dan sumber daya waktu. Dalam banyak kasus, sumber daya keuangan untuk pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas berasal dari APBD. Sumber-sumber lain dapat berasal dari program-program dukungan dari pemerintah propinsi atau pusat. Kegiatan-kegiatan bantuan teknis dukungan donor di daerah-daerah mungkin hanya dapat memberikan dukungan terbatas (seperti mendanai lokakarya, atau menyediakan moderator terlatih untuk diskusi kelompok). Dalam beberapa kasus, sektor perusahaan swasta telah bersedia memberikan sumber daya tambahan bagi pemerintah-pemerintah daerah. 3.2 Tahap B: Analisis Kebutuhan Pengembangan Kapasitas

Dalam tahap analisis dilakukan identifikasi terhadap kesenjangan kapasitas yang ada yang menyangkut fungsi-fungsi pemerintahan daerah. Hasil akhir dari tahap ini adalah daftar awal kebutuhan pengembangan kapasitas yang berkaitan dengan semua stakeholder yang terlibat dan rekomendasi awal untuk pengembangan kapasitas pada fungsi-fungsi pokok pemerintahan dan atau fungsi-fungsi penyediaan layanan. Fungsi-fungsi pokok pemerintahan umumnya berkaitan misalnya dengan hubungan antara dewan legislatif dan instansi-instansi pemerintah, partisipasi masyarakat dalam penyiapan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan pembangunan daerah, pembangunan ekonomi daerah, pengembangan dan pengelolaan sumber daya manusia pada pemerintah daerah, pengembangan organisasi, pengelolaan administrasi keuangan dan pendapatan daerah, termasuk keterbukaan dan informasi publik atas hal-hal tersebut serta perencanaan investasi jangka menengah dan penyusunan anggaran tahunan. Fungsi-fungsi pokok pemerintah ini bersifat lintas sektoral dan merupakan kapasitas pemerintah yang utama yang merupakan prasyarat yang mendasar untuk penyediaan layanan masyarakat secara efektif dan efisien dalam setiap sektor. Pengembangan kapasitas hendaknya difokuskan kepada kedua bentuk fungsi tersebut (yaitu: fungsi-

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

29

fungsi pokok pemerintahan dan fungsi-fungsi penyediaan layanan publik) tergantung pada kebutuhan nyata dan kesempatan. Proses pengkajian memerlukan metode-metode dan alat-alat khusus untuk mencakup ketiga tingkatan kapasitas tersebut di atas (sistem, lembaga, individu). Apabila suatu daerah ingin mengkaji kapasitas dari Dinas Pertanian, maka daerah tersebut tentu saja dapat menilai keahlian dan kecakapan dari masing-masing individu anggota staf. Tetapi untuk mengembangkan program-program pengembangan kapasitas yang bermanfaat dan berdampak terhadap penyediaan layanan pertanian, daerah juga harus melihat bagaimana Dinas Pertanian sebagai suatu lembaga berinteraksi dengan "pelanggannya" (seperti petani, penyuluh pertanian, usaha-usaha swasta) atau dengan lembaga-lembaga lainnya. Daerah juga harus melihat apakah pada tingkatan sistem, peraturan-peraturan tentang penyediaan layanan pertanian sudah kondusif untuk menghasilkan barang dan jasa (didasarkan atas permintaan). Mekanisme "zooming in/zooming out" yang disebutkan di atas lagi-lagi merupakan alat yang berguna untuk memahami lingkungan, di mana kegiatankegiatan tersebut berlangsung. Dalam Modul B akan dibahas lebih rinci tentang instrumen, alat dan metode yang dapat digunakan untuk mengkaji kebutuhan pengembangan kapasitas. Tahap kedua dari Siklus Pengembangan Kapasitas terdiri atas lima langkah kerja: Identifikasi masalah-masalah pengembangan kapasitas (Langkah 6) Analisis proses-proses yang berkaitan dengan pemerintahan (Langkah 7) Analisis organisasi (Langkah 8) Pengkajian kesenjangan kapasitas (Langkah 9) Perangkuman kebutuhan-kebutuhan pengembangan kapasitas yang teridentifikasi (Langkah 10).

Langkah 6: Identifikasi Masalah-masalah Pengembangan Kapasitas Sebagaimana dikemukakan di atas, kebutuhan pengembangan kapasitas terkait dengan fungsi-fungsi khusus pemerintahan daerah. Fungsi-fungsi tersebut sering dicirikan dengan masalah-masalah khusus yang harus diidentifikasi dengan cara penyelidikan partisipatif. Masalah-masalah tersebut merupakan pintu masuk ke arah kerangka kerja yang lebih substantif untuk mengkaji kebutuhan pengembangan kapasitas, dan sebetulnya menentukan ruang lingkup dari pengkajian. Penyelenggaraan lokakarya yang bersifat penyelidikan di awal proses yang melibatkan semua stakeholder dan curah pendapat mengenai masalah-masalah yang mungkin dicakup selama pengkajian kebutuhan terbukti merupakan suatu cara yang efektif untuk segera memulai proses pengkajian selanjutnya. Langkah 7: Analisis Proses-Proses yang Berkaitan dengan Pemerintahan Untuk memahami masalah-masalah yang mendasari, analisis proses hendaknya dilakukan untuk memungkinkan penganalisa kapasitas mengidentifikasi tujuan proses-proses pemerintahan yang terkait, hasil yang diinginkan berupa barang atau jasa yang diadakan secara internal maupun eksternal, dan siapa saja yang terlibat dalam suatu proses tertentu. Hal ini akan membantu dalam mengidentifikasi para stakeholder maupun penerima manfaat, dan untuk memilih pihak-pihak yang akan diukur kinerjanya.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

30

Langkah 8: Analisis Organisasi Organisasi-organisasi yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu atau yang memainkan peran utama dalam pemberian layanan masyarakat tertentu harus dianalisis secara lebih rinci dan hubungan kelembagaannya harus diperiksa. Pelaksanaan pengkajian pengembangan kapasitas dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam instrumen dan metodologi (lihat Modul B), tergantung pada ruang lingkup pengkajian dan masalah-masalah yang dikaji. Daerah dapat menggunakan diskusi kelompok terarah yang sederhana untuk mengumpulkan orang-orang yang telah mengenal masalah tertentu. Daerah juga dapat menggunakan metode-metode penelitian empiris (pengumpulan data, analisis dokumen, penilaian cepat, survei) untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas dan lebih mewakili. Penetapan tolok ukur (yaitu perbandingan antara kinerja suatu lembaga dengan kinerja lembaga serupa di tempat lain) dapat memberikan petunjuk yang penting tentang kesenjangan kapasitas. Instrumeninstrumen pengkajian kapasitas organisasi (seperti OCAT, PROSE) dapat membantu dalam mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan suatu organisasi. Seseorang dapat mencoba memperoleh pendapat orang dalam (misalnya "Apa yang dianggap oleh pegawai Dinas Pertanian sebagai kelemahan utama dalam memberikan layanan kepada para petani lokal") dan/atau seseorang dapat mencoba memperoleh pendapat orang luar (Bagaimana pendapat para petani tentang layanan yang mereka terima dari Dinas Pertanian"?). Seseorang dapat membandingkan tingkat kinerja dan metode pelayanan suatu pemerintah daerah dengan tingkat kinerja dan metode pelayanan pemerintah-pemerintah daerah lainnya (atau setiap instansi pemerintah daerah lain), seperti membandingkan kinerja Dinas Pertanian di daerahnya sendiri dengan kinerja Dinas Pertanian di kabupaten tetangga. Apabila daerah ingin mengkaji kapasitas untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu, standar pelayanan minimal (SPM) akan menjadi tolok ukur yang berguna di masa yang akan datang. Langkah 9: Pengkajian Kesenjangan Kapasitas Hasil akhir dari pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas adalah pengidentifikasian kesenjangan kapasitas, yaitu kelemahan-kelemahan dalam: kapasitas pengelolaan, mekanisme penyediaan layanan, kapasitas pendayagunaan sumber daya, serta aspek-aspek lainnya seperti lemahnya kebijakan atau rendahnya keahlian serta ketrampilan individu. Apabila kinerja organisasi dalam menyediakan hasil yang nyata rendah, kesenjangan kapasitas yang teridentifikasi (yaitu kapasitas aktual versus kapasitas yang diharapkan) menunjukkan dan merupakan kebutuhan pengembangan kapasitas aktual yang harus dicakup dalam rencana tindak pengembangan kapasitas. Suatu hal yang sangat penting untuk tidak hanya membandingkan kapasitas yang ada dengan kapasitas yang diharapkan atau yang diminta saat sekarang, tetapi juga perlu mempertimbangkan kemungkinan terjadinya perubahan permintaan dan harapan pada masa mendatang yang memerlukan keahlian dan ketrampilan yang berbeda, yang memerlukan perubahan tata kerja, atau bahkan memerlukan reformasi kelembagaan. Dalam hal ini, kapasitas adalah suatu yang dinamis, tidak statis. Jadi, proses pengembangan kapasitas harus berpandangan kedepan dan mengantisipasi keadaan yang akan datang. Strategi-strategi jangka menengah yang dimiliki daerah sebagaimana termuat dalam rencana pembangunan daerah (RPJMD) harus dapat memberi petunjuk tentang

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

31

bentuk-bentuk perubahan yang diperkirakan membutuhkan pengembangan kapasitas selain kebutuhan segera saat ini. Langkah 10: Perangkuman Kebutuhan-Kebutuhan Pengembangan Kapasitas yang Teridentifikasi Langkah ini merangkum kebutuhan-kebutuhan pengembangan kapasitas yang teridentifikasi pada semua tingkatan kapasitas berdasarkan kesenjangan-kesenjangan yang telah teridentifikasi sebelumnya dengan memberikan rekomendasi awal terhadap kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas. Setelah tim yang ditugaskan melaksanakan proses pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas menyelesaikan pengkajiannya, hasilnya harus dipublikasikan dan dikomunikasikan kepada semua stakeholder terkait. Hal ini dilakukan untuk menjamin agar temuan-temuan dapat diverifikasi oleh pihak lain dan agar informasi dan pendapat tambahan dapat dikumpulkan. Terserah kepada daerah untuk memutuskan dalam bentuk apa hasil CBNA dan rekomendasinya dipublikasikan. Hal ini dapat berupa dengar pendapat, atau debat di DPRD. Laporan-laporan dapat disediakan untuk masyarakat dan media daerah, dan dapat dikirim langsung kepada kelompok-kelompok kepentingan daerah. Proses komunikasi yang terbuka dan dua arah perlu dipertahankan untuk memungkinkan para stakeholder memberi komentar tentang temuan-temuan dari pengkajian kebutuhan dan usulan rencana tindak. Penyediaan hasil CBNA untuk pembahasan publik dapat meningkatkan kepercayaan para stakeholder dan pemerintahan daerah, serta meningkatkan kredibilitas pelaksanaannya. Pada tahapan ini penting untuk membuat suatu konsensus di antara para stakeholder tentang apa yang merupakan masalah pengembangan kapasitas yang utama dan menetapkan peringkat masalah-masalah tersebut sebagai dasar untuk menentukan prioritas dari rencana tindak pengembangan kapasitas berikutnya. 3.3 Tahap C: Perencanaan dan Pemrograman

Tahap perencanaan dan pemrograman menuangkan kebutuhan pengembangan kapasitas yang teridentifikasi ke dalam strategi pengembangan kapasitas untuk beberapa tahun berdasarkan intervensi pengembangan kapasitas yang ditetapkan secara jelas. Berbagai macam rencana disusun: suatu Rencana Tindak Pengembangan Kapasitas yang strategis dan berjangka beberapa tahun [(Capacity Building Action Plan (CBAP)] dan rencana anggaran belanja jangka menengah (medium-term expenditure programe) yang memberikan arah yang menyeluruh serta sumber daya untuk proses pengembangan kapasitas daerah. Program tahunan yang didasarkan pada skala prioritas dan urutan kegiatan berisi kerangka untuk penyusunan anggaran tahunan dan pelaksanaan jangka pendek dari rencana tindak pengembangan kapasitas. Program-program tersebut mengidentifikasi lembaga-lembaga pelaksana utama untuk berbagai komponen rencana tindak. Dengan menggunakan pendekatan kerangka kerja logis yang juga diperlukan dalam format anggaran daerah yang berdasarkan kinerja2, intervensi pengembangan kapasitas yang telah ditetapkan dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam proses penyusunan anggaran daerah .2

Sesuai dengan Undang-undang No 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

32

Tahap ketiga dari siklus pengembangan kapasitas terdiri atas tiga langkah kerja, yaitu: Penyusunan rencana strategi berjangka beberapa tahun dan perencanaan tindakan (Langkah 11) Perencanaan belanja jangka menengah (Langkah 12) Penetapan prioritas dan urutan kegiatan (Langkah 13). Langkah 11: Penyusunan Rencana Strategi Berjangka Beberapa Tahun dan Perencanaan Tindakan Pengembangan kapasitas untuk mendukung desentralisasi, sebagaimana dipahami oleh Kerangka Nasional, adalah suatu proses jangka menengah yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu satu tahun. Rencana-rencana tindak pengembangan kapasitas (CBAP), yang bersifat menyeluruh dan terpadu haruslah mempertimbangkan bentang waktu berskala menengah, dan tidak terbatas hanya pada satu tahun anggaran saja. Jangka waktu yang lebih panjang memberikan kepada daerah ruang untuk merancang komponen dasar untuk pengembangan kapasitas, di mana kegiatan-kegiatan di tahun pertama meletakkan fondasi untuk melanjutkan upaya-upaya pengembangan kapasitas pada tahun-tahun berikutnya. Pada akhir langkah ini, daerah harus memiliki rancangan rencana tindak pengembangan kapasitas yang memuat strategi pengembangan kapasitas, kebutuhan dana, jadwal waktu, dan pengaturan kelembagaan dan operasional untuk pelaksanaan. Rancangan rencana tersebut juga harus mengidentifikasi kebutuhan terhadap dukungan eksternal (misalnya keahlian, dana), mekanisme kerjasama antara berbagai stakeholder dan struktur pengelolaan untuk keseluruhan kerangka kerja strategis pengembangan kapasitas. Lebih lanjut, rencana dan intervensi-intervensi pengembangan kapasitasnya harus memuat indikatorindikator yang digunakan dalam menilai kemajuan yang dicapai dan dampaknya terhadap kapasitas pemerintah daerah. Rencana tindak pengembangan kapasitas daerah harus disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk memberikan dukungan politis dan memastikan bahwa rencana tersebut akan menjadi bagian dari siklus pembuatan program dan anggaran daerah tersebut. Juga disarankan untuk memasukan rencana tindak pengembangan kapasitas dalam rencana-rencana jangka menengah daerah (seperti RPJMD) layak tidaknya hal tersebut tergantung kepada situasi masing-masing daerah. Langkah 12: Perencanaan Belanja Jangka Menengah Rencana tindak pengembangan kapasitas (CBAP) jangka menengah harus dilengkapi dengan: (i) perkiraan tentang total biaya program untuk masing-masing komponen pengembangan kapasitas dengan bentang waktu beberapa tahun yang disesuaikan dengan rencana pembangunan strategis daerah, dan (ii) pengidentifikasian sumber-sumber dana dan rencana alokasi dana untuk kegiatan-kegiatan yang diprioritaskan. Tugas ini dilaksanakan melalui pendekatan rencana belanja jangka menengah yang memungkinkan pemerintah-pemerintah daerah untuk menggunakan perspektif jangka waktu tiga sampai lima tahun untuk pendanaan intervensi pengembangan kapasitas. Pengenalan Kerangka Kerja Belanja Jangka Menengah (Medium-term Expenditure Framework) memberikan dasar yang lebih dapat diandalkan dalam perencanaan dan pemberian prioritas atas tujuan-tujuan strategis yang telah disepakati untuk

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

33

pengembangan kapasitas dengan perkiraan yang lebih andal tentang sumber daya jangka menengah yang tersedia. Langkah 13: Penetapan Prioritas dan Urutan Kegiatan Usulan rencana tindak pengembangan kapasitas strategis "yang ideal" yang dirumuskan dalam langkah-langkah sebelumnya perlu disesuaikan dengan sumber daya yang tersedia. Daftar prioritas kebutuhan pengembangan kapasitas dapat digunakan untuk membuat keputusan-keputusan yang cepat dan mengonsentrasikan sumber daya yang langka untuk kebutuhan pengembangan kapasitas yang paling mendesak dan penting, dan menunda kebutuhan dengan prioritas yang lebih rendah sampai tersedia sumber daya yang lebih banyak. Seperti dalam menetapkan prioritas-prioritas pembangunan dalam dokumen-dokumen pembangunan daerah, atau menetapkan alokasi anggaran, proses ini mungkin membutuhkan rangkaian pembahasan-pembahasan dan negosiasi-negosiasi di antara berbagai pihak dan stakeholder yang terlibat. Tidak ada pedoman yang jelas tentang bagaimana menetapkan prioritas, tetapi ada beberapa pertimbangan umum yang harus diingat, yaitu sebagai berikut: Prioritaskan kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas yang cakupan pengaruhnya sangat luas terhadap berbagai layanan pemerintah daerah! Adalah bijaksana untuk memulai dengan kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas yang kemungkinan akan berdampak pada sebagian besar tugas dan fungsi-fungsi pemerintah daerah. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan bahwa memberikan pelatihan teknis yang sangat khusus kepada pegawai Seksi Tata Ruang BAPPEDA dalam menggunakan data satelit untuk perencanan tata guna lahan tentu saja dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam membuat rencana tata guna lahan. Akan tetapi hal tersebut tidak berdampak besar terhadap kapasitas keseluruhan pemerintah daerah karena manfaat intervensi pengembangan kapasitas (dalam hal ini pelatihan teknis) terbatas hanya untuk satu unit. Sebaliknya, adanya unit pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang cakap dan inovatif di Sekretariat Daerah (atau Badan Kepegawaian Daerah) dapat memiliki dampak yang sangat besar pada kinerja sebagian besar unit-unit pemerintah daerah apabila unit pengelolaan SDM ini dapat meningkatkan sistem karir dan sistem pengembangan pegawai dari pegawai negeri daerah. Dengan demikian, apa yang harus diprioritaskan adalah kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas yang menyangkut fungsi-fungsi pokok manajemen dari pemerintah daerah, seperti perencanaan dan pemrograman, pengelolaan keuangan, pengelolaan sumber daya manusia, pemantauan dan evaluasi. Prioritaskan kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas yang sangat penting untuk mencapai tujuan-tujuan daerah! Sebagaimana disebutkan di atas, program pengembangan kapasitas daerah haruslah dipadukan ke dalam proses pembangunan daerah secara keseluruhan. Visi-visi daerah yang dinyatakan secara resmi dan prioritas-prioritas pembangunan daerah sebagaimana ditetapkan dalam RPJM dan dokumen-dokumen perancanaan jangka menengah lainnya adalah faktor-faktor yang penting untuk menetapkan prioritas rencana tindak pengembangan kapasitas.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

34

Cakup kebutuhan-kebutuhan pengembangan kapasitas dari berbagai stakeholder! Pemerintahan daerah yang baik memerlukan keterlibatan dan interaksi dengan berbagai stakeholder, seperti aparatur pemerintah, partai-partai politik dan DPRD, serta kelompok-kelompok masyarakat daerah. Program-program pengembangan kapasitas harus berusaha untuk mencakup kebutuhan stakeholder yang berbeda-beda ini untuk memastikan agar semuanya dapat memberikan sumbangan untuk pemerintahan daerah yang lebih baik. Tingkatkan kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas yang mendukung atau sangat penting untuk mencapai tata pemerintahan daerah yang baik! Pada bulan Oktober 2001, seminar nasional asosiasi-asosiasi pemerintah daerah menyepakati 10 prinsip Tata Pemerintahan Daerah yang Baik (lihat Modul C), yang mencakup di antaranya daya tanggap pemerintah daerah, tanggung gugat, efisiensi dan efektivitas. Pengembangan kapasitas harus memberikan sumbangan dalam pencapaian prinsip-prinsip ini. Modul B (Bab 3.3.3) menyajikan beberapa metode sederhana untuk menentukan prioritas. Keputusan yang diambil tentang prioritas harus dapat diterima oleh semua stakeholder, dan tidak hanya mencerminkan persepsi dari pejabat pemerintah daerah secara perorangan. Apabila proses tersebut dilaksanakan secara partisipatif, semua stakeholder harus mengetahui kebutuhan pengembangan kapasitas yang telah teridentifikasi serta sumber daya yang tersedia. Hal tersebut hendaknya merupakan dasar yang kokoh untuk pembahasan tentang prioritas. Konsensus penuh hampir selalu tidak mungkin tercapai dalam kasus tersebut keputusan final harus diambil bersama DPRD sebagai bagian dari perannya dalam menentukan dan mengawasi penggunaan sumber daya daerah.

Menurut analisis yang dilakukan terhadap lebih dari 100 organisasi yang dilakukan oleh INTRAC, prakarsa pengembangan kapasitas yang berhasil memiliki ciri tertentu yang sama: dirancang sesuai dengan kebutuhan, menggunakan lokakarya dan diskusi untuk refleksi kolektif di antara anggota organisasi, dan memiliki komitmen terhadap organisasi. (Berita Pengembangan Kapasitas INTRAC No. 1, Des. 1998)

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

35

3.4

Tahap D: Pelaksanaan Langkah-Langkah Pengembangan Kapasitas

Pelaksanaan kegiatan pengembangan kapasitas memerlukan perencanaan yang baik mengenai tindakan-tindakan yang telah dipertimbangkan, mengenai identifikasi penyedia layanan pengembangan kapasitas, dan penilaian tentang kemampuan mereka dalam menyediakan layanan tertentu. Pengadaan jasa harus didasarkan pada proses tender yang bersifat kompetitif. Pemantuan pencapaian yang terus menerus menjamin bahwa proses pengembangan kapasitas tetap berada di jalur yang benar dan bahwa peningkatan mutu barang dan jasa serta layanan tersedia untuk instansi-instansi pemerintah dan penerima manfaat setempat. Tahap keempat dari siklus pengembangan kapasitas terdiri atas lima langkah kerja, yaitu: Pemrograman dan penganggaran tahunan (Langkah 14). Perencanaan proyek pengembangan kapasitas (Langkah 15) Pemilihan penyedia layanan dan pengadaan layanan pengembangan kapasitas (Langkah 16) Pelaksanaan proyek (Langkah 17) Pemantauan proses pengembangan kapasitas (Langkah 18). Langkah 14: Pemrograman dan Penganggaran Tahunan Setelah lengkapnya proses perencanaan serta tersusunnya dan disetujuinya program prioritas tahunan, sumberdaya yang dibutuhkan untuk program tersebut harus dimasukkan kedalam proses penganggaran dan tergabung dengan program-program pembangunan lainnya di daerah. Karena lembaga-lembaga pelaksana utama telah teridentifikasi untuk masing-masing intervensi/komponen rencana tindak pengembangan kapasitas, pengalokasian anggaran dapat dilakukan untuk masing-masing pelaksana utama. Selain itu, terdapat kebutuhan untuk menyediakan anggaran untuk pengelolaan keseluruhan proses pengembangan kapasitas yaitu dana operasional untuk tim teknis/tim koordinasi serta dana untuk pemantauan dan evaluasi. Pelaksanaan harus pertama-tama mengandalkan sumber daya yang tersedia di tingkat daerah, yaitu dari anggaran daerah (APBD). Mungkin juga ada sumberdaya tambahan dari program-program nasional atau propinsi. Donor dan proyek-proyek yang didukung donor mungkin bersedia memberikan sumbangan untuk program-program pengembangan kapasitas daerah apabila program-program tersebut disusun dengan baik. Langkah 15: Perencanaan Proyek Pengembangan Kapasitas Setiap intervensi pengembangan kapasitas harus direncanakan secara cukup rinci. Tergantung pada substansi dan posisi kronologis dalam proses pengembangan kapasitas, metode perencanaan proyek (pendekatan kerangka kerja logis) harus digunakan untuk meninjau dan memutakhirkan masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan yang mendasari, serta menyediakan indikator yang baik untuk memantau dan mengevaluasi prakarsa-prakarsa pengembangan kapasitas. Rencana operasional untuk masing-masing intervensi pengembangan kapasitas harus digabungkan dengan sumber daya yang ada dan kegiatan-kegiatan strategis lainnya.

Pengembangan Kapasitas di Daerah (Versi 2.0) Modul A (Februari 2005)

36

Langkah 16: Pemilihan Penyedia Layanan dan Pengadaan Layanan Terdapat banyak penyedia layanan pengembangan kapasitas, seperti perguruan tinggi, lembaga pelatihan pemerintah, (seperti Badan Diklat Propinsi dan Badan/Pusat Diklat Departemen), lembaga sektor swasta, dsb. Beberapa dari lembaga tersebut beroperasi secara komersial, beberapa lagi berdasarkan prinsip pengembalian biaya. Akan tetapi, tidak semua lembaga tersebut memiliki kapasitas yang memadai untuk menyediakan layanan yang layak, dan oleh karena itu, harus dievaluasi secara hati-hati sebelum menandatangani kontrak. Dalam waktu dekat sistem sertifikasi dan akreditasi nasional yang akan dikembangkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) dapat memberikan informasi tentang ketersediaan dan mutu layanan dan produk pengembangan kapasitas dan oleh karenanya sangat memudahkan proses pemilihan oleh daerah. Adalah tugas daerah sendiri untuk memilih program khusus serta penyedia layanan khusus yang paling sesuai dengan kebutuhan dan persyaratan yang dimiliki daerah. Tender yang dilakukan secara kompetitif mungkin diperlukan, tergantung pada ukuran layanan yang akan dikontrakan. Peraturan-peraturan nasional (seperti KEPPRES No. 80/2003 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah) harus menjadi pertimbangan. Langkah 17: Pelaksanaan Proyek Kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas mungkin memiliki jangka waktu dan tingkat kerumitan yang berbeda-beda. Sebagai gambaran, mengirim anggota staf untuk