model pemerintahan adat di kabupaten jayapura.pdf

19
Membangun Model Pemerintahan Kampung Adat di Kabupaten Jayapura Oktober 2014 Sebuah Pengkajian Cepat Dokumen ini mendeskripsikan hasil kajian tentang model pemerintahan kampung adat di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Kajian dilakukan atas kerjasama Kemitraan melalui Program Reform the Reformers Continuation dengan Koalisi CSO Papua yang dikoordinir oleh Asosiasi Fasilitator Pemberdayaan Pembangunan Partisipatif (AFP3).

Upload: indah-sulistiani

Post on 04-Oct-2015

71 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

  • Membangun Model Pemerintahan Kampung Adat di Kabupaten Jayapura

    Oktober 2014

    Sebuah Pengkajian Cepat

    Dokumen ini mendeskripsikan hasil kajian tentang model pemerintahan kampung adat di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Kajian dilakukan atas kerjasama Kemitraan melalui Program Reform the Reformers Continuation dengan Koalisi CSO Papua yang dikoordinir oleh Asosiasi Fasilitator Pemberdayaan Pembangunan Partisipatif (AFP3).

  • ii

    Membangun Model Pemerintahan Kampung Adat di Kabupaten Jayapura

    Dokumen ini mendeskripsikan hasil kajian tentang model pemerintahan kampung adat di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Kajian dilakukan atas kerjasama

    Kemitraan melalui Program Reform the Reformers Continuation dengan Koalisi CSO Papua yang dikoordinir oleh Asosiasi Fasilitator Pemberdayaan

    Pembangunan Partisipatif (AFP3).

    Peneliti

    Tim Riset dan Advokasi Koalisi CSO Papua

    Asosiasi Fasilitator Pemberdayaan Pembangunan Partisipatif (AFP3) Papua

    Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat

    Papua (PPMA)

    Universitas Cendrawasih

    Reviewer

    Tim CSO Engagement RTRC

    Jayapura, Oktober 2014

  • 1

    Latar Belakang

    Salah satu perubahan regulasi yang paling kuat membawa dampak secara

    sistemik adalah Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang menandai

    terjadinya big bang decentralization di Indonesia (Hofman & Kaiser, 2002).

    Kerangka baru tersebut sekaligus menjadi jalur cepat bagi pembentukan daerah

    otonom baru yang merupakan pemekaran dari unit pemerintahan yang telah ada

    sebelumnya. Dalam rentang 10 tahun sejak 1999, jumlah daerah otonom di

    Indonesia telah bertambah sebanyak 205 buah, yang terdiri dari 7 daerah otonom

    provinsi, 164 daerah otonom kabupaten serta 34 daerah otonom kota. Dengan

    demikian, penambahan ini telah menambah total jumlah daerah otonom di

    Indonesia menjadi 524 daerah otonom yang terdiri dari 33 provinsi, 398

    kabupaten, 93 kota, tidak termasuk 6 daerah administratif di Provinsi DKI Jakarta.

    Besarnya hasrat masyarakat dan elit politik lokal untuk membentuk daerah

    otonom baru terutama disebabkan oleh cakupan geografis yang terlalu luas,

    ketertinggalan pembangunan, kurangnya fasilitas pelayanan publik, serta

    kegagalan pengelolaan konflik komunal. Pemekaran dipandang sebagai cara

    ampuh bagi daerah, yang selama ini merasa dipinggirkan dalam pembangunan,

    untuk mendorong pembangunan di daerahnya. Setidaknya, dengan membentuk

    daerah otonom baru akan ada aliran Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi

    Khusus (DAK), membuka peluang kerja sebagai pegawai negeri, memunculkan

    elit-elit politik baru yang akan duduk di DPRD, serta meningkatkan eksistensi

    identitas lokal. Pada titik inilah, dalam banyak kasus, upaya pemekaran daerah

    menjadi arena bagi para pemburu rente (rent-seeker) maupun para petualang

    politik yang mengejar kepentingan sendiri dan kepentingan jangka pendek.

    Terlepas dari besarnya dorongan kelompok-kelompok masyarakat,

    terjadinya ledakan pemekaran juga dimungkinkan karena instrument regulasi yang

    sangat lemah. Kelemahan pada desain regulasi antara lain ditandai dengan

    longgarnya persyaratan yang ditetapkan untuk pembentukan daerah otonom.

    Berbeda dengan era Orde Baru, terlepas dari kuatnya sentralisme, pembentukan

    suatu daerah baru dulunya dipertimbangkan dengan sangat ketat dan butuh waktu

    yang lama, sedangkan saat ini ketentuan pembentukan daerah otonom baru

    cenderung sangat longgar. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000

    tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan

    Penggabungan Daerah, persyaratan teknis yang ditetapkan seperti jumlah

    penduduk, cakupan wilayah, dan potensi ekonomi, masih sangat longgar.

    Akibatnya banyak daerah otonom yang berpenduduk sangat sedikit, atau dengan

    wilayah yang sempit, ataupun dengan potensi ekonomi terbatas. Daerah otonom

    semacam itu akan sulit berkembang menjadi daerah otonom yang maju dan

    mandiri, dimana pada ujungnya tentu akan menjadi beban Pemerintah Pusat.

    Meskipun PP Nomor 129 Tahun 2000 sudah diganti dengan PP Nomor 78 Tahun

    2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah

    PENDAHULUAN

  • 2

    dengan syarat pembentukan daerah otonom yang lebih diperketat, tetapi syarat-

    syarat tersebut seringkali tidak dipenuhi.

    Di samping akibat dari lemahnya regulasi, ledakan pembentukan DOB

    juga disebabkan karena proses pemekaran menempatkan daerah dan aktor lokal

    sebagai variabel utama. Dalam praktiknya pola regulasi semacam ini

    memunculkan kecenderungan terjadinya politik uang, politik identitas dan free

    rider dalam proses pemekaran yang pada akhirnya menjauhkan pemekaran dari

    tujuan-tujuan normatifnya. Daerah dan elit lokal berusaha melakukan segala cara

    untuk menunjukkan kuatnya dukungan masyarakat terhadap proses pemekaran,

    termasuk membangkitkan semangat kedaerahan (primordialisme) dan semangat

    etnis (ethno-politics). Di sisi lain ada pihak-pihak pemegang otoritas yang merasa

    dipaksa untuk menyetujui atau memberi rekomendasi usulan proses pemekaran

    atas nama aspirasi rakyat.

    Mekanisme pemekaran yang didasarkan semata-mata pada prinsip bottom

    up (dari bawah ke atas) ini menjadi problematik ketika pemekaran hanya menjadi

    agenda daerah dan cenderung mengabaikan kepentingan strategis nasional. Tidak

    bisa dipungkiri bahwa pemerintah Indonesia masih menghadapi banyak persoalan

    pada lingkup nasional. Masalah-masalah tersebut antara lain disparitas

    pembangunan ekonomi dan sosial, kerapuhan identitas ke-Indonesiaan, serta

    rapuhnya sistem penjagaan kewilayahan aktif dari ancaman dan ganggunan pihak

    luar. Kebijakan pemekaran daerah sesungguhnya dapat merupakan salah satu

    alternatif untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Persoalan politik

    domestik dan internasional di beberapa daerah perbatasan antar negara mungkin

    akan dapat dihindari jika saja Pemerintah Pusat jauh-jauh hari telah menghadirkan

    unit pemerintahan di sana. Oleh karena itu proses inisiasi kebijakan formal

    seharusnya dapat juga dilakukan oleh Pemerintah Pusat demi menjaga

    kepentingan strategis nasional.

    Ledakan inginnya sebuah wilayah mengatur wilayahnya sendiri tidak

    hanya sampai pada daerah dengan status daerah otonom, tetapi juga dilakukan

    oleh wilayah yang cakupannya lebih kecil lagi. Undang-Undang No. 6 Tahun

    2014 tentang Desa menunjukkan bahwa wilayah yang lebih kecil cakupan

    administratifnya dari sebuah daerah otonom menginginkan diatur oleh aktor desa

    yang ditempatkan sebagai variabel utama. Akan tetapi, persoalan kewenangan

    penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat di bawah daerah otonom sendiri

    memiliki perbedaaan antara satu daerah dengan daerah lainnya, terutama daerah

    otonom yang memiliki kekhususan dalam menyelenggarakan pemerintahan.

    Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi yang memiliki kekhususan

    dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan. Provinsi ini memiliki status

    sebagai daerah otonomi khusus, selain Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta,

    Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Papua Barat. Dengan demikian,

    daerah otonom dalam bentuk kabupaten dan kota di Provinsi Papua juga memiliki

    kekhususan dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hal ini berdampak pada

  • 3

    kekhususan bentuk dan sistem pemerintahan pada wilayah yang berada di bawah

    kabupaten dan kota di Provinsi Papua. Salah satunya terdapat di Kabupaten

    Jayapura.

    Kabupaten Jayapura memiliki sistem pemerintahan kampung dengan dua

    kategori yang memiliki ciri khas masing-masing, yakni sistem pemerintahan

    kampung secara umum dan sistem pemerintahan kampung adat. Kekhususan

    penyelenggaraan pemerintahan terjadi pada masyarakat yang berdiam di kampung

    adat. Akan tetapi, beberapa permasalahan tidak dapat dipungkiri dalam sistem

    pemerintahan kampung adat yang berlangsung di Kabupaten Jayapura.

    Pertama, psikologis komunitas adat mengalami degredasi karena

    minimnya ruang, waktu dan kesempatan untuk mengekspresikan dan

    mengaktualisasikan kepercayaan dirinya atas nilai-nilai adat sebagai sebuah

    indikator maupun pendekatan pembangunan melalui nilai-nilai kebudayaan yang

    dimiliki masyarakat lokal.

    Kedua, restorasi nilai-nilai adat (kebudayaan) yang selama ini telah,

    sedang dan akan hilang karena difusi kebudayaan yang datang dari luar Papua.

    Oleh karena itu maysarakat adat merindukan nilai-nilai adat yang relevan dengan

    kehidupan beragama dan proses pembangunan serta sistem pemerintahan modern

    yang ada saat ini.

    Ketiga, pemetaan wilayah adat sudah dilakukan oleh masyarakat pemilik

    hak ulayat adat yang difasilitasi oleh PPMA Papua, tetapi penataan dan

    penglolaan serta analisis isi dan poten-potensi kekayaan alam dan nilai-nilai adat

    yang diberikan oleh leluhurnya pada suatu hak ulayat adat belum dilakukan. Hak

    ulayat adat tidak harus wilayah geografis dengan batas-batasnya, tetapi juga

    menyangkut hak-hak dasar atau hak-hak asasi berupa alam, manusia dan nilai-

    nilai adat (kebudayaan) yang tidak kelihatan diberikan dan dimiliki sejak turun-

    temurun oleh leluhurnya di seantero ulayat adat yang dibatasi oleh simbol-simbol

    alam.

    Keempat, penataan nilai-nilai adat di setiap kampung adat perlu

    didokumentasikan secara tertulis untuk generasi yang sekarang dan akan datang.

    Karena orang Papua tidak memiliki budaya tulisan tetapi budaya lisan.

    Dokumentasi terhadap nilai-nilai adat telah dilakukan secara tertulis maka hal ini

    sebagai upaya dan bentuk pengelolaan, keberpihakan dan pelestarian terhadap

    kearifan local di kampung tersebut.

    Kelima, rekonsiliasi adat menjadi aspek yang urgen karena memperbaiki

    hubungan yang harmonis antara manusia dengan leluhur, manusia dengan alam

    dan manusia dengan manusia. Karena anggota manusia yang bertumbuh dan

    berkembang saat ini tidak sesuai dengan nilai-nilai adat yang ditanamkan oleh

    leluhur. Karena identitas dan jati diri atau harga diri seseorang sebagai anak anak

    adat, anak buyakha, Moi dan Elseng diberikan oleh leluhurnya.

    Dari permasalahan-permasalahan yang mencuat tersebut, maka kajian

    mengenai membangun model pemerintahan kampung adat menjadi penting.

  • 4

    Tujuan

    Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

    Mengetahui model pemerintahan kampung adat Nendali, Waibron, dan

    Elseng,

    Menentukan indikator model pemerintahan kampung adat, dan

    Menjelaskan model pemerintahan kampung adat pada Perda Kabupaten

    Jayapura.

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

    efektivitas penyelenggaraan pemerintahan kampung adat, khususnya di

    Kabupaten Jayapura.

    Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Artinya melukiskan

    atau mendiskripsikan nilai-nilai adat yang menjadi kebiasaan hidup kelompok

    yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara kepada para

    informan sebagai pelaku kebudayaan yang teridiri atas ondoafi, kepala kampung,

    dan masyarakat umum yang diapandang mengetahui banyak tentang tema yang

    dikaji. Wawancara dilakukan dengan cara merekam informasi yang disampaikan

    oleh informan. Hasil wawancara diolah dan dianalisis dengan teknik analisis data

    kualitatif. Data juga dikumpulkan dengan menggunakan studi kepustakaan dan

    eksplorasi media sosial (internet) untuk menjastifikasi serta mendukung informasi

    atau data informan.

    Penelitian ini dilakukan di tiga kampung asli, yaitu Kampung Nendali,

    Waibron, dan Elseng. Tiga kampung asli ini masing-masing memiliki kesamaan

    dan perbedaan nilai adat istiadat atau kebudayaannya. Khususnya soal kesamaan

    unsur nilai kebudayaan tertentu, Mansoben (1995) menjelaskan bahwa orang Irian

    yang mengenal sistem kekuasaan politik yang bersifat pewarisan, yang dikenal

    dengan istilah kepemimpinan ondoafi, secara teknik dapat dibedakan menurut 9

    suku bangsa ialah orang Skou, orang Arso-Waris, orang Tobati, orang Ormu,

    orang Sentani, orang Moi, orang Tabla (Tanah Merah), orang Nimboran dan

    orang Muris (Demta), semua suku-suku bangsa ini terdapat di daerah timur laut

    Irian Jaja.

    A. Gambaran Umum Kampung Nendali, Waibron, dan Elseng

    Perbedaan unsur-unsur kebudayaan tiga kampung ini memperlihatkan

    perbedaan karakter dan pola hidup antara satu kampung dengan kampung lainnya.

    METODE PENELITIAN

    HASIL PENELITIAN

  • 5

    Pertama, tentang Kampung Nendali. Kampung Nendali adalah nama

    sebuah kampung asli sebelum gereja dan pemerintah ada. Kampung Nendali

    merupakan satu dari lima kampung asli yang dimiliki oleh suku bangsa Sentani.

    Kampung Nendali persis berada di wilayah utara danau Sentani dan di tengah

    kampung ini telah dibangun jalan Raya Abe-Sentani.

    Kampung Nendali memiliki wilayah yang berbatasan dengan kampung-

    kampung sekitarnya. Sebelah timur, Kampung Nendali berbatasan dengan

    komunitas adat Kampung Asei. Sebelah barat berbatasan dengan komunitas adat

    kampung Ifar Besar. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah siklop di balik

    gunung yang saat ini ditempati oleh penduduk ormuare (ormo).

    Secara umum, Kampung Nendali memiliki 10 suku yang dibagi dalam 2

    bagian yaitu masing-masing bagian terdiri dari lima suku besar. Lima suku besar

    yang pertama kali mendiami di kampung Nendali yaitu klan wally dan Taime

    (kakak-beradik) yang lebih dulu menempati kampung ini, kemudian menyusul

    marga Ibo, Mallo dan Yoku yang masuk dalam tiga bagian marga kecil dari dua

    marga besar Wally dan Taime.

    Wally adalah moyang yang memimpin pasukan dari seberang menuju

    Kampung Nendali, begitu juga Taime dengan moyang yang sama memimpin

    pasukan dari seberang ke Kampung Nendali. Kemudian Ibo, Malo dan Yoku

    dengan rombongan bersama moyangnya. Wally dengan moyangnya yang pertama

    menduduki kampung ini maka seseorang memanggil Wally berarti sudah

    memanggil moyang, begitu juga untuk Mallo, Ibo dan Taime.

    Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari saat ini pada

    komunitas adat Kampung Nendali terdapat dua bahasa yaitu bahasa asli Sentani

    dan Bahasa Indonesia.

    Kedua, tentang Kampung Waibron. Kampung Waibron adalah sebuah

    nama kampung asli jauh sebelum gereja dan pemerintah ada. Dalam perspektif

    suku bangsa, Kampung Waibron merupakan salah satu kampung dari Sabron,

    Dosai, Maribu, Depapre dan Kendate yang terdapat pada suku bangsa Moi. Dalam

    administrasi dan hirarki pemerintahan modern, Waibron adalah salah satu

    kampung bentukan pemerintahan modern yang batas wilayahnya dibuat tersendiri.

    Karena itu dalam pemetaan wilayah pembangunan Kabupaten Jayapura, Kampung

    Waibron bagian dari wilayah pembangunan dua.

    Kampung Waibron adalah kampung yang berasal dari Maribu, tempatnya

    di urat gunung atau bukit kecil (kambatib). Dari sinilah moyang dari Waybron

    done berasal. Dari bukit kecil di kampung itulah moyang Kampung Waibron

    berpindah ke tempat yang sekarang menjadi nama Waibron. Cerita tentang tempat

    nenek moyang ini selalu disampaikan (diceritakan) kapada setiap generasi yang

    ada sekarang.

  • 6

    Batas komunitas adat kampung Waibron bagian timur berbatasan dengan

    komunitas adat Kampung Doyo, sebelah barat berbatasan dengan komunitas adat

    kampung Maribu, sebelah utara berbatasan dengan wilayah tablasupa, Dormena,

    Yowena, dobonsoro Utara dan Yagno, dan sebelah selatan berbatasan dengan

    wilayah Kemtek Mranba. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari

    saat ini pada komunitas adat kampung Waibron yaitu bahasa asli Moi-Waibron

    dan Bahasa Indonesia

    Ketiga, tentang Kampung Elseng. Kata Elseng berasal dari kataEl dan

    Seng. El artinya anak dan Seng artinya bapak. Secara umum masyarakat adat

    Elseng adalah masyarakat yang mendiami dataran Yagui Fay (Lembah Yagui)

    mulai dari Mambramo sampai dengan Tami atau yang sering disebut wilayah adat

    MAMTA. Jadi masyarakat adat Elseng berasal dari ANAK dengan BAPAK yang

    berkembang manjadi Suku bangsa (komunitas Etnik). Suku bangsa Elseng dibagi

    lagi menjadi sub suku masing-masing yaitu (1) Koya, (2) Kosu, (3) Semse, (4)

    Pneymon, dan (5) Imeli. Lima sub suku ini berkembang menjadi 5 (lima) wilayah

    Komunitas besar yang mendiami daerah MAMTA, masing-masing:

    Klesi-Kemtuk (Kemtuk Gresi bahasa Moderen)

    Nambluong (Nimboran bahasa Moderen)

    Sop-Tapu (Lereh-Tajah, Yapsi, Kaure bahasa Moderen)

    Tepia-Vail ( Tanah Merah atau Pantai bahasa Moderen)

    Swo-Wali (Sentani bahasa Moderen)

    Jadi kalau berbicara Masyarakat Adat Elseng, berarti berbicara masyarakat

    adat Mamta.

    Secara geografis, Kampung Elseng sebelum timur berbatasan dengan Arso

    Kota Distrik Skanto dan Abepura, sebelah barat berbatasan dengan Wilayah Mat

    Demutru, sebelah utara berbatasan dengan Wilayah Adat Puyakha, dan sebelah

    selatan berbatasan dengan Distrik Senggi, Molof Kali Sia-Sia dan Distrik Aurina.

    Luas Wilayah Adat Elseng untuk sementara disesuaikan dari Pemerintahan

    Distrik, diperkirakan seluas 21.080 km2.

    Wilayah suku bangsa Elseng merupakan suatu wilayah adat yang

    terlupakan dan sapertinya terlambat disentuh oleh perkembangan modern.

    Wilayah ini berada di dua wilayah administrasi pemerintahan yaitu Kabupaten

    Keerom dan Jayapura. Kabupaten Keerom di Distrik Skanto, Senggi dan Waris.

    Sedangkan Kabupaten Jayapura distrik Kaure, Gresela, Kemtuk Gresi, Kemtuk

    dan Sentani.

    B. Model Pemerintahan Kampung Nendali

    Hak dan kedudukan wilayah adat masyarakat kampung Nendali secara

    umum dipimpin oleh seorang ondofolo saja. Di bawah satu ondofolo terdapat 10

  • 7

    (sepuluh) kepala suku, kemudian dari 10 (sepuluh) kepala suku atau biasa disebut

    koselo besar ini juga dibagi 2 (dua) bagian besar yaitu 5 (lima) suku yang biasa

    disebutkan dalam rumah atau (obee), dalam bahasa Sentani disebut imae yo,

    dan 5 (lima) bagian lagi yang di luar rumah moe imea, meskipun dibagi dalam

    dua bagian, namun masih tetap dalam satu tatanan adat kampung. Kemudian

    dalam tatanan adat Nendali, sebutan Ondofolo adalah matahari atau dalam

    bahasa Sentani disebut Ie WaWa. Artinya Ondofolo kampung Nendali adalah

    ondofolo matahari, sehingga dalam tatanan hidup Ondofolo saling menghargai

    dalam hal batas wilayah yang menjadi hak ulayat masyarakat, sehingga semua

    dapat berjalan baik sesuai dengan aturan yang berlaku dalam kampung yang di

    pimpin oleh seorang ondofolo.

    Seorang Ondofolo dalam tatanan adat Sentani harus memiliki jiwa besar

    dan sosok Ondofolo ini sudah dinilai dari jauh hari untuk diangkat sebagai

    seorang Ondofolo, dan kalau dalam satu kampung tidak ada pengganti Ondofolo

    yang tepat dalam penilaian masyarakat kampung, maka hak menjaga kampung

    akan diberikan kepada abuafaa. Dalam pemerintahan adat kampung, seorang

    Ondoafi harus memiliki seorang istri yang juga sudah dinilai dalam masyrakat

    bahwa ia bisa menjadi istri Ondofolo, karena kriteria seorang istri Ondofolo harus

    dari golongan yang tinggi dalam adat, agar supaya dapat menjadi penghormatan

    bagi seorang Ondofolo dan dalam hal apa saja, rumah seorang Ondofolo tidak

    pernah tertutup, karena setiap masyarakatnya akan masuk-keluar dengan leluasa,

    mulai dari anak-anak sampai orang-orang tua. Status Ondofolo secara umum

    adalah pelindung dan secara khusus adalah penolong masyarakatnya.

    Kemudian dalam hal seorang Ondofolo memiliki istri lebih dari satu, hal

    ini biasa dilihat dari tugas dan fungsinya. Apabila tugasnya banyak, maka ia juga

    membutuhkan orang yang banyak, termasuk dalam keturunan. Apabila istri

    pertama tidak dikaruniai anak, maka Ondoafi akan mengambil istrinya lagi, atau

    misalkan istrinya telah meninggal dunia.

    Kampung Nendali merupakan kampung asli, bagian dari suku bangsa

    Sentani yang tidak dapat dipisahkan tiga lapisan kepemimpinan yang melekat

    dalam seluruh aktifitas orang Sentani. Mansoben menyebutkan suku bangsa

    sentani memiliki tiga lapisan suku bangsa. Tiga lapisan kepemimpinan yang

    dimaksud adalah kepemimpinan khoselo imea ti tingkat klan, kepemimpinan yo

    ondoafi di tingkat kampung dan hu ondoafi ti tingkat konfederasi. Untuk

    memperjelas tiga lapisan kepemimpinan orang Sentani, dapat dilihat pada tiga

    struktur di bawah ini:

  • 8

    Gambar 1. Struktur Organisasi Pemerintahan Sistem Ondoafi Tingkat Klen

    Gambar 2. Struktur Organisasi Pemerintahan Sistem Ondoafi Tingkat Kampung

    Gambar 3. Struktur Organisasi Pemerintahan Sistem Ondoafi Tingkat Konfederasi

  • 9

    C. Model Pemerintahan Kampung Waibron

    Struktur komunitas masyarakat adat Waibron sebagai suatu kesatuan yang

    memiliki unsur-unsur kebudayaan, telah lama dipimpin dan dikuasai secara

    pemerintahan adat oleh suatu kepemimpinan tradisional yang dilengkapi dengan

    struktur, peran dan kewenangan dalam mengatur segala isi dalam hak ulayat

    adatnya. Secara etnografi belum banyak dipublikasikan mengenai struktur

    kepemimpinan dan kewenangannya. Namun struktur yang dijelaskan di bawah ini

    merupakan struktur pemerintahan adat Kampung Waibron.

    Gambar 4. Struktur Kepemimpinan Adat Kampung Waibron

    Keterangan:

    Posisi Arti Posisi Dan Kewenagan

    Kembudase : Kepala suku yang diambil dari suku yang tertua untuk menjadi kepala suku.

    Dotungkroy : Anak anak sulung dari mata rumah. Yasu : Pesuruh ondoafi atau kepala suku yang bertugas membawa berita dari

    kepala suku atau dalam masyarakat yasu sebagai penggerak masa. Parayaru : Kepala perang atau panglima perang, di mana setiap kampung adat

    harus ada kepala perangnya. Asukeikum : Pemimpin upacara adat untuk membuka lahan baru, membuat api,

    menaruh bibit tanaman dan lain-laindll. Asukeikum berperan di bidang

    ekonomi kampung suku. Ndrangdum : Penyimpan harta dalam kampung adat, atau sebagai bendahara adat. Sroum : Berperan mempersiapkan makanan pada acara-acara dalam kampung.

    Artinya Sroum ditunjuk sebagai pengatur dibagian konsumsi dalam

    tradisi kampung adat.

  • 10

    Arem : Orang yang sangat khusus yang bertugas untuk memotong atau membagi-bagi makanan saat di meja makan, misalnya ada daging yang

    harus dibelah atau dipotong untuk dibagikan kepada orang-orang yang

    akan makan. Nyawo : Orang yang bertugas untuk menyiapkan makanan di dapuratau di

    rumah ondoafi, jadi nyawo adalah orang yang slalu menyiapkan bekal

    makanan dalam dapur ondoafi, setelah atau sesudah berburu. Masimuci : Berparan untuk membela rakyat atau masyarakat.

    Dalam susunan garis kesukuan, kampung Maribu memiliki dua suku yaitu

    Suku Wantenei dan Suku Youngsena. Kemudian di bawah Waibron ada dua

    kampung yaitu: Waibron Woy dan Waibron Bano. Bano artinya Bulan, dimana

    moyang dari Bano keluar pada malam hari, yaitu dengan adanya cahaya dari

    bulan. Sedangkan Woy artinya Matahari, dimana moyang Woy datang atau keluar

    pada siang hari pada saat matahari bersinar. Kemudian untuk asal sukunya bahwa

    Waibron Bano dan Waibron Woy, moyangnya berasal dari kampung Youngsu.

    Asal usulnya yaitu pada zaman dulu para moyang mereka dipanggil dan

    dikumpulkan untuk berperang. Dalam strategi perang ada suatu pelanggaran atau

    kesalahan yang dibuat dan dilanggar kemudian terjadilah bencana yaitu berupa

    lautan air dan sampai saat ini disebut kali biru yang berada pada kampung Brap,

    yang mana dulu dijadikan tempat berkumpul moyang, kemudian setelah

    terjadinya musibah dengan bencana air, maka lenyaplah semua orang atau

    tenggelam dan yang selamat hanya seorang nenek dengan dua orang cucunya.

    Brab artinya yang tertinggal, jadi yang menduduki Brab adalah nenek atau

    perempuan yang tertinggal.

    Waibron Woy terdapat tiga suku yaitu Samon Sabra atau disebut owari

    (mata rumah Damai), Boy kawai dan Yeuw atau Yaung (asli). Sedangkan

    Waibron Bano sendiri ada dua suku yaitu Suku Done (Duluan) dan Suku Siet

    (mengikuti langkah). Done dalam bahasa asli disebut Duluan, yang pertama,

    kemudian Siet disebut yang kedua atau mengikuti. Pengertiannya secara umum

    adalah Done yang datang duluan sekali kemudian Siet berjalan mengikutinya dan

    duduk di tempat yang dinamakan Kande. Tempat yang dimaksud di bukit

    Kendate. Kemudian Yamdena-Nimboran, menempati di lahan kosong. Siet

    mengikuti langkah kaki dari Done. Oleh sebab itu, Done disebut sebagai

    pemegang ahli waris dan semua kewenangan adat ada di tangan Done. Dengan

    demikian kewenangan Done diartikan dengan kedudukan kampung. Sedangkan

    Siet di lahan yang kosong sehingga dalam berburu, Done mempunyai wewenang

    yang tidak bisa dilanggar oleh suku Siet atau suku lain. Karena setiap mau

    berburu atau mengerjakan sesuatu harus ada izin dari Done atau harus duduk

    berunding dulu. Tetapi bila dilanggar maka hukumanya akan buruk. Dalam cara

    berburu atau mencari makan, suku Siet hanya disuruh membawa anak panah dan

    busur saja, sedangkan Done yang membawa pulang Hasil yang terbaik dari

    buruan, misalnya babi yang terbesar.

  • 11

    D. Model Pemerintahan Kampung Elseng

    Dalam model pemerintahan kampung Elseng dikenal orang Yaru. Yaru

    artinya bahu atau dalam adat disebut bahwa saya punya orang kerja. Yarusarwa

    berarti pelaksana pekerjaan saya, jadi orang Yaru tidak bisa menduduki kursi atau

    tempat ondoafi. Pada zaman sekarang timbul sebutan ondoafi (atau ondo-ondo)

    palsu karena adanya tempat atau kedudukan yang salah dan mengambil alih yang

    salah dalam hal suku Yaru tadi. Sedangkan untuk seorang disebut ondoafi, dia

    akan dikukuhkan dengan adat, tarian dan dipasangkan burung cendrawasih di

    kepala lalu diangkat dan diberikan jabatan pemimpin. Prosesi pengukuhan atau

    pelantikan ini dilakukan di depan semua suku yang ada. Agar dengan begitu

    masyarakat umum menyaksikan upacara pelantikan seorang ondoafi. Oleh karena

    itu, pelantikan ondoafi tidak bisa sembarang atau asal main tunjuk. Masa jabatan

    ondoafi selesai jika meninggal dunia, lalu hak kekuasaan keondoafian diberikan

    kepada anaknya atau orang yang telah ditunjuk dan disiapkan oleh adat. Karena

    harus disadari bahwa kekuasaan ondofolo melebihi semua kuasa, memiliki mistik.

    Artinya tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi di atas dia selain matahati (Tuhan),

    yang pada zaman nenek moyang hingga kini dipandang dan disembah sebagai

    dewa tertinggi masyarakat Elseng.

    Gambar 5. Struktur Organisasi Pemerintahan Adat Suku Elseng

  • 12

    Dalam rumah adat, atau tempat tinggal seorang ondofolo, perempuan atau

    ibu-ibu tidak boleh naik ke tempat sacral tersebut. Tetapi anak laki-laki yang pada

    usia 10 tahun boleh naik. Jika ada orang yang datang dari tempat yang jauh atau

    ada orang yang memiliki masalah harus dilindungi oleh ondoafi dalam rumah

    adat. Dengan demikian masyarakat tidak melihat orang yang dari dari jauh itu

    sebagai musuh. Orang lain yang dimaksudkan disini adalah orang di luar suku

    atau komunitas Elseng. Orang yang diterima oleh ondoafi dalam rumah adat ini

    mendengarkan perihal atau cerita perjalanannya yang baik maupun yang buruk.

    Dengan pola adat seperti ini dapat dikatakan bahwa rumah ondofolo atau rumah

    adat adalah tempat keselamatan, perlindungan, perdamaian, pengampunan. Oleh

    karena itu seorang ondofolo harus benar-benar dipilih dengan memiliki jiwa yang

    besar, terbuka kepada masyarakat. Isterinya berhati besar dan mulia, yang bisa

    mengimbangi kedudukan suaminya di mata masyarakat.

    Kekuasaan seorang ondofi biasa diibaratkan dengan kekuasaan api dan air.

    Jadi, setiap kata atau kalimat yang diucapkan ondoafi akan terwujud atau benar-

    benar terjadi. Kalau seorang ondoafi mengatan atau mengucapkan itu baik maka

    yang terjadi baik. Begitupun sebaliknya yang terjadi buruk jika berkata buruk.

    Oleh karena itu, seorang ondoafi tidak akan membunuh orang. Kewenangan

    ondoafi hanya memberikan ijin apabila seseorang terbukti salah dan harus

    dihukum mati.

    Kampung Aip adalah kampung asli, marga aslinya kumtu. Sampai dengan

    sekarang di kampung ini memiliki dua marga yaitu Duntru dan Warring. Dalam

    aturan adat, Dantru adalah ondoafi karena pertama. Sedangkan Warring adalah

    orang kedua. Karena itu secara adat diistilahkan Dantru menerangi warring (saya

    terangi dia). Jika dianalogikan dengan pemerintahan, Dantru eksekutif dan

    Warring legislatif. Struktur ini adalah struktur adat orang Elseng. Masing-masing

    memiliki kewenangan, fungsi dan tugas. Sebelum pemerintah dan agam masuk di

    daerah ini, struktur ada sudah ada. Artinya, setiap suku bangsa mengatur dirinya

    sendiri sesuai dengan struktur adat kampung asli. Pemimpin dalam suatu suku

    bangsa selalu mengatur masyarakat, memberikan kebebasan masyarakat serta hak-

    haknya untuk menikmati semua kekyaan alam yang ada di sekitarnya.

    Fungsi, tugas dan kewenangan marga dalam suku bangsa Elseng adalah:

    1. Srom sebagai fungsi ekonomi pembangunan;

    2. Bemei sebagai fungsi bendahara harta adat (misalnya tomako batu);

    3. Tegai sebagai fungsi juru bicara ondofolo. Setiap hal yang diputuskan oleh

    ondofolo, maka Tegai melaksanakan fungsinya yaitu menyampaikan kepada

    masyarakat tentang hal yang diputuskan oleh ondoafi.

    4. Terangdegeng sebagai fungsi atau bagian eksekusi keputusan, atau

    pelaksana hasil keputusan. Misalnya bila ada masalah atau orang yang

    melanggar aturan adat akan diberikan sangsi atau dihukum mati oleh orang

    ini (terangdegeng).

  • 13

    5. Blung adalah sebutan untuk masyarakat atau rakyat dalam struktur

    organisasi adat.

    6. Dungauduyau adalah sebutan untuk seksi-seksi atau bidang-bidang dalam

    organisasi adat. Misalnya seksi konsumsi, seksi perang, seksi acara dan lain-

    lain. Namun saat ini, hal-hal yang dijelaskan di atas telah hilang sehingga

    kampung adat mulai buruk.

    Zaman dahulu, di setiap rumah adat selalu diletakan lima batu (Dumutri)

    besar dan datar, untuk dipakai sebagai tempat duduk dari lima orang yang ada

    dalam organisasi adat yang mempunyai peranan penting. Hanya lima orang ini

    yang boleh duduk mendengarkan apa yang disampaikan oleh ondofolo. Misalnya,

    dalam hal upacara adat, perkawinan dan acara-acara yang akan dilangsungkan di

    kampung, maka tidak sembarang orang yang bisa mendengarkan hal-hal ini.

    E. Indikator Model Pemerintahan Kampung Adat

    Membangun pemerintah kampung adat atau kampung asli sesungguhnya

    tidak terlepas dari unsur nilai budaya yang diwariskan oleh leluhur atau diperoleh

    melalui difusi kebudayaan atau ciptaan hasil kreativitas masyarakat yang telah

    lama berlangsung cukup lama melalui suatu proses evolusi. Oleh karena itu,

    indikator pemerintahan kampung adat atau kampung asli tidak dapat dipisahkan

    dari substansi pemaknaan dan pengertiannya, namun tidak diterjemahkan sebagai

    sesuatu yang berbeda. Indikator pemerintahan kampung adat atau kampung asli,

    yaitu:

    1. Memiliki luas batas wilayah geografis kampung asli yang dibatasi

    dengan wilayah kampung komunitas lain.

    2. Memiliki mitos yang sampai saat ini dihayati sebagai mitos penciptaan

    atau mitos yang memiliki hubungan manusia dengan kepercayaan

    terhadap sesuatu yang lebih tinggi.

    3. Memiliki sejarah asal usul kampung yang memperlihatkan evolusi

    penyebaran.

    4. Memiliki sitem kepemimpinan, struktur kepemimpinan dan kewenangan-

    kewenangannya.

    5. Memiliki warga yang dibuktikan dengan marga asli atau klan-klan dari

    kampung asli tersebut.

    6. Bahasa ibu atau bahasa kampung yang selalu digunakan setiap saat pada

    berbagai aktivitas.

    7. Memiliki hukum adat yang mengatur kehidupan bersama komunitas

    kampung.

    8. Memiliki alat-alat atau peralatan kebudayaan asli yang sampai saat ini

    digunakan oleh warga kampung dalam berbagai aktivitas.

  • 14

    9. Memiliki upacara adat yang sering berulang-ulang dilaksanakan oleh

    warga kampung.

    10. Memiliki tempat-tempat sakral yang dipercayai sebagai asal usul marga

    atau klan tertentu.

    11. Nama dan pemaknaan bahasa asli yang digunakan atau dikenakan pada

    berbagai obyek tertentu atau tempatumum seperti nama Distrik,

    kampung, gedung, jalan raya, obyek wisata dan lain sebagainya di

    kampung tersebut.

    12. Memiliki potensi sumber daya alam (SDA), sumber daya Manusia

    (SDM) dan kekhasan atau keunikan yang dapat membedakan kampung

    adat yang satu dengan kampung adat yang lain.

    F. Model Pemerintahan Kampung Adat dalam Perda

    Pertama, kampung adat diberikan karakteristik sebagai kampung yang

    beranggotakan masyarakat adat dari wilayah yang dihuni, masih memberlakukan

    aturan-aturan adat bagi anggotanya, memiliki pola kepemimpinan menurut sistem

    kepemimpinan yang dianut dalam struktur masyarakat adat, memiliki kesatuan

    geneologis, memiliki kesatuan territorial dam/atau kesatuan geneologis territorial,

    memiliki hak-hak ulayat tradisional, dan memiliki peradilan adat.

    Kedua, kampung adat memiliki keanggotaan masyarakat yang berasal dari

    suku-suku asli yang mendiami wilayah Kabupaten Jayapura maupun orang Papua

    lainnya yang telah hidup bersama-sama. Penduduk bukan orang asli tidak dapat

    mempunyai hak milik atas tanah pada wilayah kampung adat. Penduduk orang

    asli papua yang hendak bertempat tinggal dan menjadi anggota masyarakat

    kampung adat harus mendapat persetujuan Kepala Kampung Adat, Kepala Klen,

    dan anggota masyarakat adat. Penerimaan penduduk luar diputuskan melalui

    musyawarah bersama antar masyarakat kampung adat.

    Ketiga, terkait dengan pembentukan kampung adat, kampung adat

    dibentuk atas prakarsa masyarakat adat dengan memperhatikan struktur

    masyarakat adat, kesatuan nilai-nilai adat yang dianut, dan hak-hak setiap suku

    atau klen. Prakarsa pembentukan kampung adat tersebut harus disampaikan

    kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah wajib melakukan pengkajian guna

    menentukan kelayakan pembentukan kampung adat. Kelayakan pembentukan

    kampung adat tersebut harus memenuhi (1) jumlah penduduk, (2) jumlah kepada

    keluarga, (3) kepastian keluasan wilayah dan hak-hak tradisional masyarakat adat,

    (4) memiliki kesatuan geneologis, dan (5) memiliki potensi ekonomi.

    Keempat, bentuk pemerintahan pada kampung adat sesuai sistem

    kepemimpinan adat yang dianut oleh masing-masing masyarakat adat di wilayah

    kabupaten Jayapura sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui. Sistem

    ondoafian atau keoktiman yang berlaku di Kabupaten Jayapura adalah Ondofolo

    untuk wilayah Sentani, Ondewafi untuk wilayah Tepra dan Yokari, Tube untuk

    wilayah Ormu, Done untuk wilayah Moi, Mrar Matawun, Matawun Pan dan Mran

  • 15

    Tamsu untuk wilayah Jouw wari dan Tarpi, Dugeno atau Kikeno atau disebut juga

    Dugu untuk wilayah Gresi dan Kemtuk, Iram untuk wilayah Namblong, dan

    Oktim untuk wilayah Orya, Elseng, Sause, Kaureh, Nakasai, Kapaouri, dan

    Kosare.

    Dalam sistem pemerintahannya, pemerintahan kampung adat terdiri atas

    ondoafi atau sebutan lain yang dianut oleh masyarakat adat yang berkedudukan

    sebagai kepala kampung adat. Ondoafi dibantu oleh seorang anggota masyarakat

    adat yang berkedudkan sebagai sekretaris kampung adat. Untuk membantu

    pelaksanaan tugas sebagai Kepala Kampung Adat, ondoafi mengangkat

    fungsionaris adat menurut struktur yang dianut masyarakat adat dalam sistem

    kepemimpinan keondoafian dan keoktiman. Sekretaris kampung adat berperan

    membantu pelaksanaan kepala kampung adat. Sekretaris kampung adat tidak

    berstatus sebagai PNS. Pemerintahan kampung adat yang terdiri dari Kepala

    Kampung Adat, Sekretaris Kampung Adat dan fungsionaris pemerintahan

    kampung adat berasal dari sistem kepemimpinan keondoafian yang dipilih secara

    demokratis melalui musyawarah masyarakat adat.

    Kelima, Pemerintah Kampung Adat memiliki peran sebagai pelindung,

    pensejahtera, dan pelestari masyarakat adat dalam lingkungan hidup masyarakat

    adat. Perannya meliputi:

    1. Menjaga ketertiban, ketentraman, dan keamanan masyarakat dalam

    hubungan antara masyarakat sendiri maupun dalam hubungan masyarakat

    dengan lingkunagnnya.

    2. Memlihara dan melestarikan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat bagi

    pembangunan daerah.

    3. Melindungi hak-hak bersama masyarakat adat dan hak-hak perorangan

    warga masyarakat adat.

    4. Melindungi dan mengembangkan kebudayaan masyarakat adat dalam usaha

    melestarikan kebudayaan daerah.

    5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat.

    6. Menyelesaikan sengketa-sengketa adat.

    7. Mengusahakan perdamaian di lingkungan masyarakat adat serta masyarakat

    adat dengan pihak lain.

    8. Membantu pemerintah dan pemda dalam melaksanakan pembangunan

    daerah.

    9. Bersama pemda menyelesaikan konflik.

    10. Bersama masyarakat melakukan kegiatan pembangunan.

    11. Mememlihara dan mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang berada

    di wilayah kampung untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap

    memperhatikan keberlanjutan lingkungan.

    Adapun hak dan kewajiban kampung adat dapat dilihat pada tabel di

    bawah ini.

  • 16

    Tabel 1. Hak dan Kewajiban Kampung Adat Menurut Perda

    Hak Kampung Adat

    1 Melaksanankan aturan-aturan adat yang diakui dan dihormatinya dalam pergaulan hidup

    masyarakat adat

    2 Menyelenggarakan peradilan adat

    3 Menegakkan aturan-aturan adat di wilyaha pemerintahan kampung adat melalui peradilan

    adat

    4 Memperolah pelayanan pemerintahan dan pembangunan dari pemerintah daerah

    5 Memperoleh perlindungan dari pemerintah daerah melalui peraturan daerah atas

    pelaksanaan hak-hak masyarakat adat

    6 Memperoleh anggaran dari pemerintah dan pemerintah daerah yang diperuntukkan bagi

    pembangunan kampung adat dan pencapaian kesejahteraan masyarakat

    Kewajiban Kampung Adat

    1 Menjaga dan melestarikan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat bagi

    pencapaian kesejahteraan masyarakat adat

    2 Melestarikan kearifan lokal yang bertujuan mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan

    pembangunan daerah

    3 Mendukung penyelenggaraan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah

    kabupaten, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah

    4 Mengelola keuangan kampung secara bertanggung jawab

    5 Memelihara hasil pembangunan yang dikerjakan oleh masyarakat dan pemerintah daerah di

    kampung

    Keenam, dalam menyelenggarakan pemerintahan, kampung adat

    mendapatkan anggaran dari (a) pendapatan asli kampung, (b) ADK yang

    dialokasikan sesuai kemampuan keuangan daerah yang bersumber dari dana

    perimbangan yang menjadi bagian kabupaten, (c) bantuan keuangan dari

    pemerintah daerah yang besumber dari dana otonomi khusus yang menjadi bagian

    kabupaten, (d) bantuan keuangan dari pemerintah provinsi, bantuan keuangan dari

    pemerintah pusat, dan (d) hibah dari pihak ketiga yang tidak mengikat.

    Ketujuh, peradilan adat yang berlaku dalam masyarakat adat diakui

    keberadaannya sepanjang masih ada. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian

    di lingkungan masyarakat hukum adat. Setiap anggota masyarakat adat yang

    melanggar norma-norma adat, diadili oleh peradilan adat. Setiap orang yang

    bukan anggota persekutuan masyarakat yang melanggar norma-norma adat yang

    berlaku pada wilayah kampung adat, diadili oleh peradilan adat.

    Kedelapan, terkait hak dan kewajiban masyarakat adat dalam

    pembangunan. Hak masyarakat adat dalam pembangunan diantaranya:

    Memperoleh pelayanan pembangunan guna meningkatkan taraf hidupnya.

    Memperoleh informasi mengenai program dan kegiatan pembangunan yang

    dilakukan oleh pemerintah kampung adat, kabupaten, provinsi, dan pusat.

    Memperoleh informasi mengenai anggaran pembangunan kampung yang

    bersumber dari APBD.

    Ikut serta dalam musrenbang distrik, kabupaten, dan rencana pembangunan

    lainnya.

    Adapun kewajiban masyarakat adat dalam pembangunan diantaranya:

  • 17

    Memelihara pembangunan yang dilaksanakan dengan dana pemberdayaan

    kampung maupun dari dana yang bersumber dari APBD kabupaten,

    Provinsi, APBN, serta pihak lain.

    Mengelola keuangan kampung secara bertanggung jawab.

    Melakukan pertanggungjawaban atas penggunaan dana pemberdayaan

    kampung.

    Membantu pemerintah dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan program

    pembangunan kepada masyarakat.

    Melestarikan nilai kearifan lokal sebagai pendukung pelaksanaan

    pembangunan di wilayah kampung.

    Penjelasan mengenai model pemerintahan kampung adat di Nandeli,

    Waibron, dan Elseng menunjukkan bahwa kampung-kampung tersebut memiliki

    ciri khusus dalam menyelenggarakan pemerintahan. Model pemerintahan yang

    berlaku di Nandeli, Waibron, dan Elseng juga memberikan gambaran bahwa

    diperlukan kebijakan yang dapat mengakomodir sistem pemerintahan yang sudah

    lama berlangsung.

    Dengan hasil penelitian yang mengakomodir kondisi empiris dan studi

    literature, maka terdapat indikator-indikator model pemerintahan kampung

    seperti yang sudah dijelaskanyang dapat menjadi penambahan khzanah

    keilmuan bagi pemangku kepentingan dalam menentukan status kampung sebagai

    sebuah kampung adat.

    Upaya membangun model pemerintahan kampung adat telah memasuki

    ranah politik dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura

    Tentang Kampung. Oleh karena itu, perlu proses partisipasi masyarakat yang

    berkelanjutan dalam mengawal kebijakan tersebut, sehingga setelah ditetapkan

    dapat efektif diimplementasikan sesuai kearifan lokal.

    KESIMPULAN