minggu, 31 oktober 2010 | media indonesia bersaing … filepada pembuatan trolley dan timbangan....

1
“S AYA terkadang merenung. Kok produk lokal sulit menembus Eropa. Apakah teknologi yang kurang mutakhir, atau sum- ber daya manusianya yang minim?” Sejenak Ahmad menarik napas panjang dan membuka pembicaraan, sore itu. Dia sejurus meluruskan tangkai kaca mata yang sedikit melorot ke ujung hidungnya. Ayah dua anak ini seolah tengah gundah gulana terkait dengan kegiatan pasar global yang sudah mulai berimbas sekarang ini. Berawal dari modal se- nilai Rp500 ribu, Ahmad me- ngawali bisnis kecil-kecilan di bidang produksi alat ke- sehatan. Dia bahkan harus memanggul sendiri berbagai bahan baku sebelum dibubut di pabrik. Pria kelahiran Cianjur, Jawa Barat, 6 Mei 1961 ini menya- dari betul pentingnya alat-alat perlengkapan rumah sakit. Dia pun mulai berpikir untuk me- racik produk dengan kualitas tinggi, dan mampu bersaing. Dimulailah ‘proyek’ yang masih jarang dilirik pengusaha lokal. Pada 1989, usaha mem- produksi alat kesehatan itu mulai dia geluti. Merebaknya peralatan kesehatan dari ber- bagai negara, seperti Kanada, China, Singapura, dan Malaysia tak membuatnya miris dengan keberadaan SDM lokal. Dia pun mulai merintis karier dengan mengibarkan bendera sendiri. Usaha yang cukup menjanjikan itu dia geluti se- cara tekun. Hingga akhirnya, pada medio 1991, dia mendiri- kan pabrik alat kesehatan CV Nuri Teknik di atas area 10.000 meter persegi, tepatnya di Jl Raya Sadamaya, Cianjur. “Saat itu (era 1990-an), alat- alat kesehatan di Indonesia semuanya impor. Saya berpikir terbalik mulai mencari peluang untuk bisa mengekspor sesuai standar internasional,” tutur alumnus jurusan teknik industri, Institut Teknologi Nasional Bandung ini. Bermodal Rp500 ribu, dia hanya memfokuskan perhatian pada pembuatan trolley dan timbangan. Semua pekerjaan awalnya hanya dikerjakan de- ngan bantuan 10 pekerja. Dua di antaranya fokus pada proses pembubutan. Dengan berjalannya waktu, usaha suami Linda Mardalina ini terus menggeliat. Salah satunya adalah tidak bosan- bosannya dia merangkum berbagai informasi tentang perkembangan alat kesehatan dari majalah hingga mengakses ke situs internet. Berbagai seminar dan pamer- an di luar negeri juga dia ikuti, seperti di Arab Saudi (2007), Dubai (2003-2008), dan Jerman (2003-2005). “Saya banyak ber- temu orang dari latar belakang berbeda. Saya bisa melihat produk terbaik dari negara lainnya,” sambung Ahmad. Tak jarang dalam pertemuan- pertemuan internasional itu produk Ahmad akhirnya mulai dikenal. Sebagai sebuah pabrikan, produk yang dihasilkan Nuri Teknik mencapai 500 macam. Produsen ini telah menggu- nakan standar internasional, ISO 9000. Produk terakhir yang di- hasilkan, yaitu meja operasi elektrik (electric operating table), tempat tidur operasi elek- trik untuk anak-anak (electric children bed ), kursi elektrik ginekologi (gynecological elec- tric chair), ranjang rumah sakit, meja periksa trolley makanan, hingga lampu periksa. “Kami menggunakan baja sebagai bahan dasar. Saya mendapatkannya dari dis- tributor PT Krakatau Steel. Kecuali bahan aktuator untuk elektrik, diimpor dari Den- mark. Bahan-bahan dari luar hanya 6%,” ungkapnya, sam- bil meneguk secangkir jus. Pada 1996, usaha Ahmad mulai berkembang pesat dan mendapatkan penghargaan Upakarti dari Presiden RI Soeharto, saat itu. Namun dua tahun kemudi- an, Nuri Teknik mulai sedikit mengalami kendala. Pasal- nya, terjadi krisis moneter di Indonesia. Kenaikan harga tukar dolar ke rupiah yang menembus Rp18 ribu membuatnya sedikit kelabakan. “Untunglah, saya bisa melakukan pengelolaan de- ngan baik. Ada dampak, yaitu kenaikan bahan baku,” tu- turnya. “Namun saya bisa sedikit bernapas juga karena saat itu saya telah menjalani kontrak dengan distributor sehingga dapat menghindari kerugian. Bisnis adalah kepercayaan meski harus merugi.” Menebar produk Kini berbagai produk milik Ahmad telah digunakan di beberapa RS swasta hingga pemerintah di seluruh Tanah Air. Mulai dari RS Cipto Mangunkusumo (Jakarta), RS Permata (Cibubur), RS Hasan Sadikin, dan Boromeus (Bandung), RS Aceh hingga RS Papua. “Kami melakukan pemasar- an melalui distributor. Hasil- nya, hampir seluruh rumah sakit terbaik di Indonesia sudah menggunakan produk kami,” paparnya, seraya menunjukkan data-data penjualan. Ia menjelaskan, produk alat- alat kesehatan cukup mening- kat pesat. Pada 2007, misalnya, hasil produksi mencapai 4.500 tempat tidur per tahun. Kini, pada 2010, produksi meningkat hingga 6.000 tempat tidur per tahun. “Ini baru sampai Oktober, masih tersisa dua bulan un- tuk mengakumulasikan total produksi,” ucap Ahmad, santai. Sebagai pabrikan nasional, kini omzet pendapatan Nuri Teknik mencapai Rp25 miliar per tahunnya. Dari pendapatan menyeluruh itu, dia meng- alokasikan 80% untuk biaya operasional hingga pengupah- an terhadap 150 karyawan di perusahaan. “Boleh dibilang 20% keuntungan yang dapat diraih.” Selain pemasaran dalam negeri, pihaknya mengirimkan pemesanan (ekspor) ke ber- bagai negara, seperti Malaysia, Arab Saudi, Dubai, hingga be- berapa negara di Eropa. “Pasar utama masih negara- negara di Timur Tengah. Saya juga mengirimkan ke Eropa, tapi terkadang sangat sulit karena negara-negara di Eropa menerapkan sertifikasi ber- dasarkan ukuran kualitas Euro (Euro certication),” paparnya lagi. Kendati memiliki pasar tersendiri, Ahmad mengakui masih terdapat kendala dalam hal pajak pembelian bahan baku. Di Indonesia, pajak sebesar 15%, sedangkan di China tidak dikenai biaya pajak sama sekali alias 0%. “Mau gimana lagi, pemerintah telah menerapkan aturan,” ujarnya. Sebagai anti- sipasi untuk menghemat biaya dari over head pabrik semua biaya produksi selain bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung Ahmad menerapkan satu manajer untuk dua divisi berbeda. “Ya mau tidak mau, saya harus mencari orang yang profesional untuk menanggu- langi dua divisi. Ini juga untuk menghemat biaya operasional,” cetusnya. Dan kini untuk meng- hadapi ASEAN Free Trade Area (AFTA) terutama dengan Chi- na, Ahmad memperkirakan setidaknya akan terjadi per- saingan ketat. Apalagi produk- produk asing terus masuk secara bebas. Untuk itu, dia berharap pe- merintah tidak perlu menaik- kan pajak secara mencolok. Pasalnya, dapat merugikan industri kecil menengah. Sebagai pengusaha, Ahmad mengaku bangga telah mem- buka tabir bahwa produk lokal mampu bersaing secara global. Dia membuktikan, ketekunan dan kesabaran dapat menjadi kunci kesuksesan. Meski, cap sebagai tukang panggul be- ras dan besi masih melekat dalam ingatannya. (M-1) miweekend@ mediaindonesia.com Ahmad Syarifudin Iwan Kurniawan Entrepreneur | 9 MINGGU, 31 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Bersaing dengan Alat Kesehatan Impor Ahmad Syarifudin bisa buktikan, selain dipakai rumah sakit kelas A, produk alat kesehatan buatannya mampu menembus pasar internasional. MI/USMAN ISKANDAR Saat itu (era 1990-an), alat-alat kesehatan di Indonesia semuanya impor. Saya berpikir terbalik mulai mencari peluang untuk bisa mengekspor sesuai standar internasional.”

Upload: donhan

Post on 30-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MINGGU, 31 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Bersaing … filepada pembuatan trolley dan timbangan. Semua pekerjaan awalnya hanya dikerjakan de- ngan bantuan 10 pekerja. Dua di antaranya

“SAYA terkadang merenung. Kok produk lokal sulit menembus

Eropa.Apakah teknologi yang

kurang mutakhir, atau sum-ber daya manusianya yang mi nim?” Se jenak Ahmad menarik napas panjang dan membuka pembicaraan, sore itu. Dia sejurus meluruskan tangkai kaca mata yang sedikit melorot ke ujung hidungnya. Ayah dua anak ini seolah tengah gundah gulana terkait dengan kegiatan pasar global yang sudah mulai berimbas sekarang ini.

Berawal dari modal se-nilai Rp500 ribu, Ahmad me-ngawali bisnis kecil-kecilan di bidang produksi alat ke-sehatan. Dia bahkan harus memanggul sendiri berbagai bahan baku sebelum dibubut di pabrik.

Pria kelahiran Cianjur, Jawa Barat, 6 Mei 1961 ini menya-dari betul pentingnya alat-alat perlengkapan rumah sakit. Dia pun mulai berpikir untuk me-racik produk dengan kualitas tinggi, dan mampu bersaing.

Dimulailah ‘proyek’ yang masih jarang dilirik pengusaha lokal. Pada 1989, usaha mem-produksi alat kesehatan itu mulai dia geluti. Merebaknya

peralatan kesehatan dari ber-bagai negara, seperti Kanada, China, Singapura, dan Malaysia tak membuatnya miris dengan keberadaan SDM lokal.

Dia pun mulai merintis karier dengan mengibarkan ben dera sendiri. Usaha yang cukup menjanjikan itu dia geluti se-

cara tekun. Hingga akhirnya, pada medio 1991, dia mendiri-kan pabrik alat kesehatan CV Nuri Teknik di atas area 10.000 meter persegi, tepatnya di Jl Raya Sadamaya, Cianjur.

“Saat itu (era 1990-an), alat-alat kesehatan di Indonesia semuanya impor.

Saya berpikir terbalik mulai mencari peluang untuk bisa mengekspor sesuai standar internasional,” tutur alumnus jurusan teknik industri, Institut Teknologi Nasional Bandung ini.

Bermodal Rp500 ribu, dia hanya memfokuskan perhatian pada pembuatan trolley dan timbangan. Semua pekerjaan awalnya hanya dikerjakan de-ngan bantuan 10 pekerja. Dua di antaranya fokus pada proses pembubutan.

Dengan berjalannya waktu, usaha suami Linda Mardalina ini terus menggeliat. Salah satunya adalah tidak bosan-bosannya dia merangkum berbagai informasi tentang perkembangan alat kesehatan dari majalah hingga mengakses ke situs internet.

Berbagai seminar dan pamer-an di luar negeri juga dia ikuti, seperti di Arab Saudi (2007), Dubai (2003-2008), dan Jerman (2003-2005). “Saya banyak ber-temu orang dari latar belakang berbeda. Saya bisa melihat produk terbaik dari negara lainnya,” sambung Ahmad. Tak jarang dalam pertemuan-pertemuan internasional itu produk Ahmad akhirnya mulai dikenal.

Sebagai sebuah pabrikan, produk yang dihasilkan Nuri Teknik mencapai 500 macam. Produsen ini telah menggu-nakan standar internasional, ISO 9000.

Produk terakhir yang di-hasilkan, yaitu meja operasi elektrik (electric operating table), tempat tidur operasi elek-trik untuk anak-anak (electric children bed), kursi elektrik ginekologi (gynecological elec-tric chair), ranjang rumah sakit, meja periksa trolley makanan, hingga lampu periksa.

“Kami menggunakan baja sebagai bahan dasar. Saya mendapatkannya dari dis-tributor PT Krakatau Steel. Kecuali bahan aktuator untuk

elektrik, diimpor dari Den-mark. Bahan-bahan dari luar hanya 6%,” ungkapnya, sam-bil meneguk secangkir jus.

Pada 1996, usaha Ahmad mulai berkembang pesat dan mendapatkan penghargaan Upakarti dari Presiden RI Soeharto, saat itu.

Namun dua tahun kemudi-an, Nuri Teknik mulai sedikit mengalami kendala. Pasal-nya, terjadi krisis moneter di Indonesia.

Kenaikan harga tukar dolar ke rupiah yang menembus R p 1 8 r i b u m e m b u a t n y a sedikit kelabakan.

“Untunglah , saya b isa melakukan pengelolaan de-ngan baik. Ada dampak, yaitu kenaikan bahan baku,” tu-turnya.

“Namun saya bisa sedikit bernapas juga karena saat itu saya telah menjalani kontrak dengan distributor sehingga

dapat menghindari kerugian. Bisnis adalah kepercayaan meski harus merugi.”

Menebar produkKini berbagai produk milik

Ahmad telah digunakan di beberapa RS swasta hingga pemerintah di seluruh Tanah Air. Mulai dari RS Cipto Mangunkusumo (Jakarta), RS Permata (Cibubur), RS Hasan Sadikin, dan Boromeus (Bandung), RS Aceh hingga RS Papua.

“Kami melakukan pemasar-an melalui distributor. Hasil-nya, hampir seluruh rumah sakit terbaik di Indonesia sudah menggunakan produk kami,” paparnya, seraya menunjukkan data-data penjualan.

Ia menjelaskan, produk alat-alat kesehatan cukup mening-kat pesat. Pada 2007, misalnya, hasil produksi mencapai 4.500 tempat tidur per tahun.

Kini, pada 2010, produksi meningkat hingga 6.000 tempat tidur per tahun.

“Ini baru sampai Oktober, masih tersisa dua bulan un-tuk mengakumulasikan total produksi,” ucap Ahmad, santai.

Sebagai pabrikan nasional, kini omzet pendapatan Nuri Teknik mencapai Rp25 miliar per tahunnya. Dari pendapatan menyeluruh itu, dia meng-alokasikan 80% untuk biaya operasional hingga pengupah-an terhadap 150 karyawan di perusahaan. “Boleh dibilang 20% keuntungan yang dapat diraih.”

Selain pemasaran dalam negeri, pihaknya mengirimkan pemesanan (ekspor) ke ber-bagai negara, seperti Malaysia, Arab Saudi, Dubai, hingga be-berapa negara di Eropa.

“Pasar utama masih negara-negara di Timur Tengah. Saya juga mengirimkan ke Eropa, tapi terkadang sangat sulit karena negara-negara di Eropa menerapkan sertifikasi ber-dasarkan ukuran kualitas Euro (Euro certifi cation),” paparnya lagi.

Kendati memiliki pasar tersendiri, Ahmad mengakui masih terdapat kendala dalam hal pajak pembelian bahan baku.

Di Indonesia, pajak sebesar 15%, sedangkan di China tidak

dikenai biaya pajak sama sekali alias 0%. “Mau gimana lagi, peme rintah telah menerapkan aturan,” ujarnya. Sebagai anti-sipasi untuk menghemat biaya dari over head pabrik semua biaya produksi selain bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung Ahmad menerapkan satu manajer untuk dua divisi berbeda.

“Ya mau tidak mau, saya harus mencari orang yang profesional untuk menanggu-langi dua divisi. Ini juga untuk menghemat biaya operasional,” cetusnya. Dan kini untuk meng-hadapi ASEAN Free Trade Area (AFTA) terutama dengan Chi-na, Ahmad memperkirakan setidaknya akan terjadi per-saingan ketat. Apalagi produk-produk asing terus masuk secara bebas.

Untuk itu, dia berharap pe-merintah tidak perlu menaik-kan pajak secara mencolok. Pasalnya, dapat merugikan industri kecil menengah.

Sebagai pengusaha, Ahmad mengaku bangga telah mem-buka tabir bahwa produk lokal mampu bersaing secara global. Dia membuktikan, ketekunan dan kesabaran dapat menjadi kunci kesuksesan. Meski, cap sebagai tukang panggul be-ras dan besi masih melekat dalam ingatannya. (M-1)

[email protected]

Ahmad Syarifudin

Iwan Kurniawan

Entrepreneur | 9MINGGU, 31 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Bersaing dengan Alat Kesehatan Impor

Ahmad Syarifudin bisa buktikan, selain dipakai rumah sakit kelas A, produk alat kesehatan buatannya mampu menembus pasar internasional.

MI/USMAN ISKANDAR

Saat itu (era 1990-an), alat-alat kesehatan di Indonesia semuanya impor. Saya berpikir terbalik mulai mencari peluang untuk bisa mengekspor sesuai standar internasional.”