migas
DESCRIPTION
fTRANSCRIPT
Energi bagi sebuah negara merupakan denyut nadi dan nyawa untuk menggerakkan segala
bidang kehidupan. Jika energi suatu negara dikuasai negara lain, maka negara tidak mempunyai
kedaulatan. Baik di mata rakyat, maupun di kancah internasional.
Pengelolaan energi menuai polemik yang mengarah pada liberalisasi Migas, terlebih saat Ketua
Asosiasi Perminyakan Indonesia (API) Elisabeth Proust menyatakan ada salah persepsi dari
publik bahwa industri migas didominasi perusahaan asing sehingga tidak menghasilkan banyak
manfaat bagi bangsa Indonesia. (kompas.com, 6/12).
Bila dikaji, ini malah bertolak belakang dengan data yang dikeluarkan oleh BP Migas 2011 dan
fakta di lapangan penguasaan energi/migas banyak perusahaan asing ikut andil dalam
kebijakan dan pengelolaan teknis energi. Di antaranya pengelolaan Cepu dimenangi Exon Mobil
daripada Pertamina, dan kenaikan BBM hampir setiap tahun dari rezim kepemimpinan pasca
reformasi.
Ini refleksi pengelolaan Migas yang kacau balau. Bubarnya BP Migas salah satu contoh dari
carut-marutnya pengelolaan migas. BP Migas dibentuk untuk menjalankan amanat UU Migas
No. 22 tahun 2001. Selain pembubaran BP Migas juga ada persoalan lain yang pelik terkait
pengelolaan Migas. Persoalan itu antara lain terkait barganing position pemerintah untuk
menguasai seluruh sektor Migas Indonesia.
Pemerintah seolah terjebak pada dilema antara formulasi B to G atau B to B. Saat ini sekitar
80% ladang Migas di Indonesia dikuasai asing. Asing dalam hal ini berbentuk multi national
corporation (MNC) atau pun negara. Sehingga bisnis dan kekuasaan begitu kental dalam
pengelolaan migas.
Adapun tulisan ini menguraikan kesalahan pernyataan ketua Asosiasi Perminyakan Indonesia
(API) bahwa pengelolaan energi Indonesia bermanfaat bagi rakyat.
Faktor Normatif
Ada beberapa dasar kebijakan negara yang memperkuat adanya liberalisasi sektor
Migas.Pertama, UU Migas No. 22 tahun 2001 menjamin efektivitas pelaksanaan dan
pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara
akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat,
dan transparan(Pasal 2). “Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 angka 1dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: Badan Uaha Milik
Negara; Badan Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta (Pasal 9).”
Kedua, PP No. 31/2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Persero. Tujuan
utama persero adalah mendapatkan keuntungan (Pasal 2) dan keputusan tertinggi ada pada
RUPS. (Tahun 2011 anak Perusahaan Pertamina PT Pertamina Hulu Energi direncanakan akan
melakukan Initial Public Offering [IPO] di Bursa Saham).
Ketiga, Perpres No. 5 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c: “Penetapan
kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap
mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu.”
Keempat, Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM:
Program utama (1) Rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga
BBM dengan harga internasional .
Kelima, adapun pembubaran BP Migas merupakan masalah cabang dari masalah pokok berupa
liberalisasi pengelolaan energi. Keputusan MK atas uji materiil UU No 22 tahun 2001 oleh
beberapa Ormas dan tokoh yang menghasilkan keputusan BP Migas bubar menyisakan
beberapa pertanyaan besar dari berbagai kalangan.
BP Migas bubar, sudahkah kedaulatan energi negeri ini terwujud ? Apakah BP Migas bubar
wujud dari usainya liberalisasi Migas ? Apakah esensi sebenarnya keputusan MK? Menjawab
beberapa pertanyaan di atas faktanya walaupun pemerintah telah membubarkan BP Migas tetap
saja pengelolaan energi masih dikuasai oleh swasta terutama asing.
Faktor Ekonomi
Peran asing dalam megelola energi mengalami defisit perdagangan minyak dari tahun ke tahun.
Defisit perdagangan minyak meningkat empat kali lipat dari USD 4,02 miliar pada 2009 menjadi
USD18,93 miliar di 2011. Defisit neraca perdagangan minyak Indonesia tahun 2012 naik sekitar
10% dibandingkan tahun lalu yang sebesar US$ 18,93 miliar.
Defisit neraca perdagangan minyak Indonesia akan terus bertambah selama masih menjadi
importer minyak. Defisit neraca perdagangan minyak akan bertambah jika konsumsi bahan
bakar minyak terus bertambah dan tidak ada peningkatan produksi dalam negeri. Setiap
pertumbuhan ekonomi 6% hingga 7%, konsumsi bahan bakar akan naik setidaknya 10%.
Defisit neraca minyak Indonesia akan lebih besar jika terjadi gejolak harga minyak di pasar
internasional. Data Kementerian ESDM 2010 menunjukkan bahwa minyak bumi masih
merupakan sumber energi terbesar dengan 46,9 persen disusul batu bara (26,4 persen) dan gas
(21,3 persen).
Mewujudkan Perpres 5/2006 membutuhkan peningkatan signifikan produksi gas. Peningkatan
terbesar terjadi pada bahan bakar mineral US$ 254,2 juta. Sementara untuk ekspor migas naik
7,87 persen dari US$ 2,770 juta pada September 2012 menjadi US$ 2,988 juta pada Oktober
2012.
Pola perdagangan gas cukup menarik dengan ekspor meningkat dua kali lipat dari USD9,8 miliar
pada 2009 menjadi USD18 miliar pada 2011, tapi impor gas meningkat empat kali lipat dari
USD438 juta menjadi USD1,62 miliar pada periode yang sama. Lalu, bagaimana cara
menguatkan ketahanan dan daya saing sektor energi Indonesia? Penguatan Pertamina dan
Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai perusahaan dan minyak dan gas nasional.
UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang melemahkan Pertamina dan PGN perlu dikaji
ulang. Tentunya semua kebijakan tersebut perlu disertai dengan peningkatan efisiensi di
Pertamina dan PGN serta pengawasan ketat terhadap korupsi. Berdasarkan data BP Migas
menunjukkan bahwa dari hampir 10 ribu BBTUD yang diproduksi Indonesia, hampir setengahnya
sudah terikat kontrak untuk diekspor dengan tujuan utama ke Jepang (67 persen), Korea Selatan
(16 persen), Taiwan (14 persen), dan China (2,7 persen).
Faktor Politik
Tingginya harga BBM dan gas di Indonesia, jika ditelusuri lebih dalam maka akan ditemukan
akar masalahnya yakni amburadulnya kebijakan energi primer (BBM dan Gas) dan sekunder
(PLN) di Indonesia.
Problem kelangkaan BBM diakibatkan oleh rusaknya sistem yang digunakan oleh pemerintah.
Ujungnya adalah diterapkannya UU 22/2001 tentang Minyak dan Gasbumi yangsangat
liberal. Pemerintah, melalui UU ini, lepas tanggung jawab dalam pengelolaan MIGAS.
Sebab dalam UU ini pemerintah pertama, membuka peluang pengelolaan Migas karena BUMN
Migas Nasional di privatisasi. Kedua, pemerintah justru memberikan kewenangan kepada
perusahaan asing maupun domistik melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak.
Ketiga, perusahaan asing dan domestik dibiarkan menetapkan harga sendiri. Padahal, di
Indonesia dengan 60 kontraktor Migas yang ada terkatagori kedalam 3 kelompok, (1)Super
Major yang terdiri dari ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco ternyata
menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80% Indonesia. (2) Major yang terdiri dari Conoco,
Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, dan Japex telah menguasai cadangan
minyak 18% dan gas 15%. Dan (3) Perusahaan independen menguasai cadangan minyak 12%
dan gas 5%.
Walhasil, kita bisa melihat bahwa minyak dan gas bumi kita hampir 90% telah dikuasai oleh
asing. Mereka semua adalah perusahaan multi nasional asing dan berwatak kapitalis tulen.
Wajar jika negeri berlimpah ruah akan minyak dan gas ini ’meradang’ tatkala harga minyak
mentah dan gas dunia naik. Semuanya dijual keluar negeri oleh perusahaan asing tersebut.
ExxonMobil merupakan perusahaan migas Amerika Serikat yang memimpin di hampir setiap
aspek bisnis energi dan petrokimia. Produk ExxonMobil dipasarkan di hampir seluruh negara di
dunia, dan dalam mengeksplorasi sumber daya migas, Exxon Mobil beroperasi hingga di enam
benua.Di Indonesia, ExxonMobil telah beroperasi selama lebih dari 100 tahun, dengan tambang
migasnya yang menyebar dari ujung Barat Indonesia di Aceh hingga ujung Timur di Papua.
Kepemilikan tambang migas ExxonMobil ini merupakan yang terbanyak di Indonesia, jauh
melebihi Pertamina. Contohnya adalah penerbitan PP No.34/2005 yang mana PP ini memberi
pengecualian terhadap beberapa ketentuan pokok Kontrak Kerjasama yang terdapat dalam PP
No.35/2004. Tujuannya, untuk memberi landasan hukum bagi ExxonMobil dalam memperoleh
kontrak selama 30 tahun. Dengan penguasaan ExxonMobil yang besar tesebut, maka
diperkirakan dapat terjadi kecurangan-kecurangan seperti anggaran cost recovery, biaya
eksploitasi, data cadangan migas sebenarnya, hingga manfaat bagi penduduk sekitar.
Ternyata, dominasi asing dalam usahanya mengeruk dan menguras habis sumberdaya alam kita
bukan disebabkan kinerja mereka sendiri, tetapi karena kekuasaan dan kewenangan besar yang
dihambakan oleh pemerintah kepada mereka.
Produksi minyak bumi Indonesia yang dimulai sejak jaman Belanda dan dieksploitasi secara
besar-besaran, serta konsumsi rakyat terhadap BBM yang setiap tahun semakin tinggi,
menyebabkan Indonesia sejak tahun 2003 sudah tidak dapat mengekspor minyaknya lagi.
Bahkan sejak tahun 2004,
Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai negara produsen minyak dunia dan merupakan
anggota OPEC, telah menjadi negara pengimpor minyak, yang jumlahnya semakin meningkat
setiap tahun. Kondisi ini semakin diperparah ketika Pemerintahan SBY yang baru naik pada
waktu itu langsung membuat kebijakan menaikkan harga BBM sebesar 126% pada tahun 2005,
dengan alasan untuk menyesuaikan terhadap harga minyak dunia.
Padahal minyak yang diimpor setiap tahunnya hanya sebesar 10 persen dari total kebutuhan
BBM Indonesia, sedangkan 90 persen lagi, dapat dihasilkan dari bumi Indonesia sendiri.
Semakin naiknya harga minyak dunia setiap tahun, membuat subsidi pemerintah terhadap harga
BBM semakin besar.
Terhadap situasi ini pemerintahan SBY kembali membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada
rakyat dengan rencana akan membatasi BBM bersubsidi pada April 2012. Sehingga rakyat
dipaksa untuk dan mengalihkan konsumsi BBMnya kepada BBM yang sesuai dengan harga
pasar dunia. Kebijakkan ini memang secara langsung tidak menaikkan harga BBM, tapi
dampaknya justru lebih parah karena BBM yang tidak bersubsidi, fluktuasi harganya selalu tidak
dapat diduga.
Menghadapi masalah BBM yang setiap tahun semakin menyulitkan ini, solusi yang diberikan
pemerintah melalui BP Migas justru meminta kepada Chevron sebagai produsen minyak
terbesar di Indonesia, dan seluruh perusahaan minyak asing dan dalam negeri yang beroperasi
di Indonesia, agar memaksimalkan produksinya.
Ini jelas membuktikan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan minyak asing yang
menguasai 90 persen produksi minyak Indonesia, telah menciptakan ketergantungan kebutuhan
BBM bangsa ini kepada mereka. Sehingga membuat pemerintah harus memohon kepada
perusahaan-perusahaan asing tersebut untuk dapat memenuhi keperluan BBM negeri ini, dan
rakyat harus membeli BBM dari bumi mereka sendiri dengan harga pasaran dunia kepada asing.
Di masa depan tampaknya rakyat akan semakin terus kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
BBM ini, karena ketika pimpinan Chevron Corporation dari kantor pusat Amerika Serikat
menemui Wakil Presiden Boediono pada September 2011 lalu, CEO Chevron John. S Watson
memberikan keterangan bahwa, “Saya mengatakan pada Wakil Presiden bahwa saya berharap
Chevron akan berada di sini (Indonesia) 85 tahun lagi, karena kami memiliki banyak peluang
investasi di negeri ini.”
Berdasarakan telaah pendekatan normatif, ekonomi dan politik di atas tentu tidak benar kalau
API mengatakan pengelolaan energi oleh asing bermanfaat bagi rakyat. Karena yang terjadi
adalah menyengsarakan, rakyat harus membayar mahal Migas yang notabene milikinya sendiri
kepada asing.
Solusi Pengelolaan Energi dalam Islam
Dalam pandangan Islam, semua sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia, baik primer,
seperti batu bara, minyak bumi, gas, energi matahari beserta turunannya (energi air, angin,
gelombang laut), pasang surut dan panas bumi dan nuklir maupun sekunder seperti listrik adalah
HAK MILIK UMUM (Milkiyatul Aammah). Dan Pengelola Hak Milik Umum adalah negara, melalui
perusahaan milik negara (BUMN).
Karenanya tidak diperbolehkan individu untuk memiliki energi tersebut untuk dikomersilkan.
Melakukan liberaliasasi yang pada akhirnya berujung pada privatisasi sektor-sektor tersebut
dilarang dalam pandangan Islam. Rasulullah saw. Bersabda:
ي�بان�ي� عن� ال�عو�ام� ب�ن� ب� الش� و�ش اش� ب�ن� ح ر د�ثنا عب�د� الل�ه� ب�ن� خ� ع�يد� ح د�ثنا عب�د� الل�ه� ب�ن� س حول� الل�ه� �س ال ر ال ق د� عن� اب�ن� عب�اس� ق اه� ج �ب� عن� م و�ش كاء� ف�ي ثالث� ف�يeح ر �ل�م�ون ش : ال�م�س�
ام3 ر ن�ه� ح ثم الن�ار� و ال�كإل� و اء� و ]رواه ابن ماجه[ ال�مKami diberitahu oleh Abdullah bin Sa’id, kami diberitahu oleh Abdullah bin Khirasy bin Hausyab
as-Syaibani, dari al-Awwam bin Hausyab, dari Mujahid, dari Ibn ‘Abbas berkata. Rasulullah saw.
bersabda: “Kaum Muslim itu sama membutuhkan tiga hal: air, padang dan api. Dan, harganya
pun haram.” (HR. Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah)
Air, api dan padang adalah tiga perkara yang dibutuhkan oleh semua orang demi kelangsungan
hidupnya, sehingga Nabi menyebut, bahwa kaum Muslim (bahkan seluruh manusia) sama-sama
membutuhkannya. Karena itu, ketiganya disebut sebagai perkara yang menguasai hajat hidup
orang banyak. Maka, Islam menetapkan perkara seperti ini sebagai Hak Milik Umum.
Semua sarana dan prasarana, termasuk infrastruktur yang berkaitan dan digunakan untuk
kebutuhan tersebut juga dinyatakan sebagai Hak Milik Umum. Seperti pompa air untuk
menyedot mata air, sumur bor, sungai, selat, serta salurat air yang dialirkan ke rumah-rumah
adalah Hak Milik Umum.
Begitu juga alat pembangkit listrik, seperti PLTU, PLTA, PLTD, PLTS, PLTN, PLGL dan
sebagainya, termasuk jaringan traasmisi dan sistem distribusi adalah Hak Milik Umum. Begitu
juga tambang gas, minyak, batubara, emas, dan sebagainya adalah Hak Milik
Umum.Perusahaan yang bergerak dan mengelola Hak Milik Umum adalah Perusahaan Umum,
yang tidak boleh diprivatisasi, apalagi dijual kepada pihak asing