midnight poetry 170815

1
Warna yang sejatinya berbeda Mewakili jejak pada masa pagi, siang, senja, dan malam Kala pagi menyelimuti bumi dengan cahaya yang lembut Lidah yang semalam beringas menata kata penuh hujat, hilanglah sudah Bersembunyi di balik nikmatnya suguhan makanan dan minuman Terus begitu hingga matahari tepat di atas kepala Sebagaimana biasanya pada hari-hari libur yang lalu Aku habiskan waktu menjamu khayalan dengan imajinasi Mungkin pula karena cuaca yang begitu panas, Suasana sosial dalam rumah mendadak pecah Imajinasi yang telah terbangun sedari pagi harus tertebas pula oleh lidah tajam itu Sungguh tak seperti kebanyakan keluarga lain Ada rasa canggung yang teramat sangat, muncul demi mendengar umpatan Adapun heran mulai mengintip dari balik tirai pemikiran Lantas tanya dalam kepala bertubi-tubi menghunjam rasa Mengapa dia jadi begini bengis? Belum sepuluh tahun bahtera berlayar dalam perbedaan Jika hal canggung ini berlarut hingga satu dekade ke depan, Bukan tidak mungkin harus ada yang merasa kehilangan dan terpuruk Dan...siang pun berpamitan pada desir angin senja, saat ayam hutan mulai beristirahat Lidah itu kembali menunjukkan hakikat sebenar keberadaannya Tajam menyayat hati, perih tak terperi, kecewa kembali jumawa Padahal telah terpenuhi keinginannya membuang kesenanganku Ternyata belumlah cukup puas dengan itu, malah cambuk cabaran kembali bersambut Mungkin dia lupa, siapa dia dalam mataku, atau apa hakikatku dalam kehidupannya Mungkin dia lupa, bagaimana beratnya perjuangan dulu menyatukan harap Atau mungkin lebih baik aku menepi Menempatkan diri selayak budak yang jauh dari kata merdeka

Upload: ayatollah-rahmat-al-indunisy

Post on 11-Jan-2016

214 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

A poet from 'no one'

TRANSCRIPT

Page 1: Midnight Poetry 170815

Warna yang sejatinya berbedaMewakili jejak pada masa pagi, siang, senja, dan malamKala pagi menyelimuti bumi dengan cahaya yang lembutLidah yang semalam beringas menata kata penuh hujat, hilanglah sudahBersembunyi di balik nikmatnya suguhan makanan dan minumanTerus begitu hingga matahari tepat di atas kepalaSebagaimana biasanya pada hari-hari libur yang laluAku habiskan waktu menjamu khayalan dengan imajinasiMungkin pula karena cuaca yang begitu panas,Suasana sosial dalam rumah mendadak pecahImajinasi yang telah terbangun sedari pagi harus tertebas pula oleh lidah tajam ituSungguh tak seperti kebanyakan keluarga lainAda rasa canggung yang teramat sangat, muncul demi mendengar umpatanAdapun heran mulai mengintip dari balik tirai pemikiranLantas tanya dalam kepala bertubi-tubi menghunjam rasaMengapa dia jadi begini bengis?Belum sepuluh tahun bahtera berlayar dalam perbedaanJika hal canggung ini berlarut hingga satu dekade ke depan,Bukan tidak mungkin harus ada yang merasa kehilangan dan terpurukDan...siang pun berpamitan pada desir angin senja, saat ayam hutan mulai beristirahatLidah itu kembali menunjukkan hakikat sebenar keberadaannyaTajam menyayat hati, perih tak terperi, kecewa kembali jumawaPadahal telah terpenuhi keinginannya membuang kesenangankuTernyata belumlah cukup puas dengan itu, malah cambuk cabaran kembali bersambutMungkin dia lupa, siapa dia dalam mataku, atau apa hakikatku dalam kehidupannyaMungkin dia lupa, bagaimana beratnya perjuangan dulu menyatukan harapAtau mungkin lebih baik aku menepiMenempatkan diri selayak budak yang jauh dari kata merdeka