mewujudkan good governance direktorat · pdf filetuntutan terhadap good governance pada sektor...

7
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id Riset / 1479 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 1605 MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DENGAN REINVENTING GOVERNMENT (TELAH TERHADAP MANAJEMEN DJP DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PAJAK) Abdoel Wahid Oesman (Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda) Abstrak Reformasi yang menjadi tekad dari Direktorat Jenderal Pajak haruslah mendapat sambutan yang positif. Perbaikan pengelolaan organisasi, perbaikan pelayanan, pembenahan peraturan perundang-undangan, semuanya bermuara pada tujuan penghimpunan penerimaan pajak untuk membiayai anggaran negara sehingga dapat memberikan pelayanan publik secara maksimal. Ada beberapa konsep pendekatan untuk mereformasi manajemen sektor publik. Penulis menggunakan konsep Reinventing Government untuk menjawab tuntutan good governance pada manajemen DJP. Reformasi yang dilaksanakan DJP janganlah setengah- setengah, ini dengan tujuan untuk menghasilkan sinergi yang membawa pada menajemen secara keseluruhan menjadi lebih baik lagi. Good governance yang menjadi tekad Direktorat Jenderal Pajak sejalan dengan dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang pajak haruslah memberikan warna yang bercirikan Reinventing Governance. Kajian terhadap pengelolaan organisasi (isu desentralisasi, manajemen SDM) dan beberapa hal yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang akan penulis sajikan dalam tulisan ini. Kata Kunci : Good Governance, Reinventing Government, Rancangan Undang-Undang, Direktorat Jenderal Pajak.. PENDAHULUAN Tuntutan terhadap good governance pada sektor publik dalam beberapa tahun ini menjadi sebuah keharusan. Hal ini belajar dari pengalaman akibat banyaknya organisasi sektor publik yang memiliki kinerja yang kurang baik. White (2000) mengemukakan bahwa sektor swasta dan sektor publik menghadapi tantangan lingkungan yang kurang lebih sama. Perubahan lingkungan yang meliputi segala aspek kehidupan, baik yang bersifat ekonomi, sosial, budaya, dan politik menjadi penyebab akan tuntutan tersebut. Dalam upaya mengantisipasi perubahan kondisi lingkungan, sektor publik perlu mengarahkan kembali usaha mereka sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan yang baru. Mereka perlu mereview dan mengoreksi kembali cara-cara bekerja, contohnya dengan memperkenalkan sistem yang baru, reorganisasi, mengadopsi metode pekerjaan yang baru dan lain sebagainya termasuk juga perubahan manajemen (Ulupui, 2002). Se1ktor publik juga perlu melakukan efisiensi dan efektivitas dengan melakukan pemotongan pengeluaran pemerintah (Walsh, 1995). Hal ini menunjukkan bahwa sektor publik saat ini diharapkan dapat memperlihatkan ciri-ciri yang dimiliki sektor swasta, termasuk perilaku kewirausahaan (Leadbetter, 1997 dalam White, 2000). Beberapa pendekatan dilakukan untuk memperbaiki manajemen sektor publik. Ada istilah yang berbeda yang digunakan untuk menyebut pendekatan tersebut, misalnya “Managerialism” (Pollitt, 1990), “New Public Management” (Hood,

Upload: dophuc

Post on 06-Feb-2018

217 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

http://www.karyailmiah.polnes.ac.id

Riset / 1479 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605

MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DENGAN REINVENTING GOVERNMENT

(TELAH TERHADAP MANAJEMEN DJP DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PAJAK)

Abdoel Wahid Oesman

(Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda)

Abstrak

Reformasi yang menjadi tekad dari Direktorat Jenderal Pajak haruslah mendapat

sambutan yang positif. Perbaikan pengelolaan organisasi, perbaikan pelayanan, pembenahan peraturan perundang-undangan, semuanya bermuara pada tujuan penghimpunan penerimaan pajak untuk membiayai anggaran negara sehingga dapat memberikan pelayanan publik secara maksimal. Ada beberapa konsep pendekatan untuk mereformasi manajemen sektor publik. Penulis menggunakan konsep Reinventing Government untuk menjawab tuntutan good governance pada manajemen DJP. Reformasi yang dilaksanakan DJP janganlah setengah-setengah, ini dengan tujuan untuk menghasilkan sinergi yang membawa pada menajemen secara keseluruhan menjadi lebih baik lagi. Good governance yang menjadi tekad Direktorat Jenderal Pajak sejalan dengan dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang pajak haruslah memberikan warna yang bercirikan Reinventing Governance. Kajian terhadap pengelolaan organisasi (isu desentralisasi, manajemen SDM) dan beberapa hal yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang akan penulis sajikan dalam tulisan ini. Kata Kunci : Good Governance, Reinventing Government, Rancangan Undang-Undang,

Direktorat Jenderal Pajak..

PENDAHULUAN

Tuntutan terhadap good governance pada sektor publik dalam beberapa tahun ini menjadi sebuah keharusan. Hal ini belajar dari pengalaman akibat banyaknya organisasi sektor publik yang memiliki kinerja yang kurang baik. White (2000) mengemukakan bahwa sektor swasta dan sektor publik menghadapi tantangan lingkungan yang kurang lebih sama. Perubahan lingkungan yang meliputi segala aspek kehidupan, baik yang bersifat ekonomi, sosial, budaya, dan politik menjadi penyebab akan tuntutan tersebut.

Dalam upaya mengantisipasi perubahan kondisi lingkungan, sektor publik perlu mengarahkan kembali usaha mereka sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan yang baru.

Mereka perlu mereview dan mengoreksi kembali cara-cara bekerja, contohnya dengan memperkenalkan sistem yang baru, reorganisasi, mengadopsi metode pekerjaan yang baru dan lain sebagainya termasuk juga perubahan manajemen (Ulupui, 2002). Se1ktor publik juga perlu melakukan efisiensi dan efektivitas dengan melakukan pemotongan pengeluaran pemerintah (Walsh, 1995). Hal ini menunjukkan bahwa sektor publik saat ini diharapkan dapat memperlihatkan ciri-ciri yang dimiliki sektor swasta, termasuk perilaku kewirausahaan (Leadbetter, 1997 dalam White, 2000).

Beberapa pendekatan dilakukan untuk memperbaiki manajemen sektor publik. Ada istilah yang berbeda yang digunakan untuk menyebut pendekatan tersebut, misalnya “Managerialism” (Pollitt, 1990), “New Public Management” (Hood,

JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1480

1991), “Market-Based Public Admninistration” (Lan dan Rosenbloom, 1992), “Post-Bureaucratic Paradigma” (Barzelay, 1992), “Reinventing Government” (Osborn dan Gaebler,1992). Walaupun beragam namun mempunyai pandangan umum yang sama. Istilah yang umum digunakan adalah New Public Management (NPM) yaitu merupakan teori manajemen publik yang beranggapan bahwa praktik bisnis komersial dan manajemen sektor swasta adalah lebih baik dibandingkan dengan praktik dan manajemen sektor publik (Mahmudi,2002).

Hood (1991) mengemukakan bahwa reformasi sektor publik menjadi dimensi baru pembuatan kebijakan.. Beberapa elemen yang menjadi cirinya adalah : (1)penekanan yang luas pada output daripada input, (2)perubahan menuju kompetensi yang lebih luas pada sektor publik, (3)penekanan pada praktik manajemen sektor swasta (letting managers manage), penekanan pada disiplin yang tinggi, (4)penghematan dalam penggunaan sumber daya, (5)adanya standar-standar yang jelas, (5)pengukuran kinerja pada sektor publik. Penerapan konsep New Public Management telah menyebabkan terjadinya perubahan manajemen sektor publik yang drastis dari sistem manajemen tradisional yang kaku, birokratis dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan mengakomodasi pasar. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa perubahan tersebut juga telah mengubah peran pemerintah terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dengan masyarakat.

Good governance sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pengembangan demokrasi. Pandangan ini dimaksudkan sebagai wacana untuk membina hubungan yang selaras antara ketiga komponen makro, yaitu pemerintah, masyarakat dan pelaku ekonomi. Pemerintah saat ini sedang mengajukan tiga Rancangan Undang-Undang Perpajakan, yaitu: RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), RUU Pajak Penghasilan (PPh) dan RUU Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Rancangan Undang-Undang Perpajakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara yang semuanya bermuara pada peningkatkan pelayanan terhadap pelayanan publik. Di mana tujuan tersebut tetap mengapresiasi kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat dan pelaku ekonomi (RUU KUP, 2004). Berdasarkan latar belakang di atas tulisan ini akan melakukan kajian terhadap beberapa hal yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang Pajak dengan fenomena pengelolaan organisasi di Direktorat Jenderal Pajak sendiri dalam konsep Reinventing Governance.

Mengapa Good Governance ?

Menghadapi tantangan ke depan, efisiensi, efektivitas dan kesinambungan suatu organisasi diperlukan dalam rangka untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, karyawan dan stakeholder . Kondisi itu dapat di capai dengan meningkatkan sistem good governance pada Direktorat Jenderal Pajak. Good governance adalah tata kelola organisasi secara baik dengan prinsip-prinsip keterbukaan, keadilan dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka mencapai tujuan organisasi (Syakhroza, 2003). Tata kelola organisasi yang baik pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat di lihat dalam konteks mekanisme internal maupun mekanisme eksternal organisasi. Mekanisme internal lebih fokus pada bagaimana pimpinan DJP mengatur jalannya organisasi sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan, keadilan dan dapat dipertanggungjawabkan. Mekanisme eksternal lebih menekankan kepada bagaimana interaksi DJP dengan pihak eksternal berjalan dengan harmonis tanpa mengabaikan pencapaian tujuan organisasi .

Good governance merujuk pada suatu kondisi penyelenggaraan aktivitas yang mengandung aspek-aspek transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat (Sutmuller, 2003). Aspek akuntabilitas akan dapat terlaksana apabila dapat terselenggara aspek-aspek transparansi dan partisipasi. Artinya transparansi dan partisipasi terlaksana maka akuntabilitas akan terwujud. Good governance penting bagi sektor publik dalam rangka : (1)menciptakan daya tarik kepada investor baik lokal maupun asing bahwa investasi mereka aman dan dapat dikelola secara efisien, terbuka dan dengan dukungan proses yang dapat dipertanggungjawabkan, (2)mendorong terciptanya daya saing yang kompetitif, (3)meningkatkan pertanggungjawaban dan kinerja yang memungkinkan kepercayaan terhadap pengelolaan organisasi, (4)meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas pemakaian sumber daya organisasi, (5)peningkatan pelayanan kepada private dan masyarakat (Syakhroza, 2003).

Reinventing Government

Guna mewujudkan good governance, manajemen sektor publik perlu mengarahkan sektor-sektor vital yang dapat mempercepat terwujudnya pelayanan prima kepada masyarakat. Pendekatan manajemen yang baru yang digunakan untuk sektor publik banyak menggunakan istilah yang berbeda. Pendekatan tersebut walaupun mempunyai nama yang berbeda tetapi mempunyai pandangan umum yang sama (Mahmudi, 2002). Pandangan yang sama tersebut yaitu pertama apapun nama yang digunakan, perubahan model manajemen publik tersebut menunjukkan adanya pergeseran besar dari model manajemen publik tradisional menuju sistem manajemen publik yang

http://www.karyailmiah.polnes.ac.id

Riset / 1481 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605

memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pencapaian kinerja dan akuntabilitas manajer publik. Kedua, perubahan tersebut menunjukkan adanya keinginan untuk bergerak meninggalkan birokrasi klasik menuju model organisasi yang lebih fleksibel. Ketiga, adanya pernyataan yang jelas mengenai tujuan organisasi dan tujuan personal. Hal tersebut berdampak pada perlunya dilakukan pengukuran atas prestasi yang mereka capai melalui indikator kinerja. Terdapat evaluasi program yang sistematik. Keempat, staf senior tampaknya secara politis lebih komit terhadap pemerintah saat itu daripada bersikap netral atau non partisipan. Kelima, fungsi pemerintah tampaknya akan lebih banyak berhadapan dengan pasar. Keenam terdapat kecenderungan untuk mengurangi fungsi pemerintah melalui privatisasi dan bentuk lain marketisasi sektor publik (Hughes, 1998).

Reinveting Government yaitu praktik manajemen publik yang didukung oleh birokrasi dengan semangat kewirausahaan. Beberapa acuan utama dalam menyelenggarakan pemerintahan yang berorientasi kewirausahaan menurut prinsip dasar Osborne dan Gaebler (1992) yang harus diterapkan pada sektor publik adalah: Pertama, pemerintahan yang katalis, yaitu tidak hanya terfokus pada penyediaan jasa publik, tetapi juga dalam mengkatalisasi seluruh sektor publik, swasta, dan sukarelawan dalam bertindak menyelesaikan masalah di komunitas mereka. Kedua, memberdayakan rakyat dengan memberikan wewenang dalam pengendalian. (empowering rather than service). Ketiga, pemerintahan kompetitif, menciptakan persaingan pelayanan. Keempat, pemerintahan yang digerakkan oleh misi, mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan dan regulasi. Kelima, pemerintahan yang berorientasi hasil, membiayai hasil bukan masukan (funding outcomes, not input). Keenam, pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan dan menyediakan pilihan bagi mereka. Ketujuh, pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan (earning rather than spending). Kedelapan pemerintahan yang antisipatif: mencegah daripada mengobati, Kesembilan, pemerintahan desentralisasi. Kesepuluh, pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar (leveraging change through out the market).

Kajian Manajemen DJP dan Rancangan Undang-Undang Pajak

Pemikiran dari Osborn dan Gaebler (1992) tentang “Reinveting Government” menjadi sebuah paradigma solusi atas masalah yang dihadapi sektor publik. Bentuk organisasi birokrasi pada sektor publik pada masa sekarang sudah saatnya untuk ditinjau kembali dan diarahkan pada bentuk

organisasi yang terbuka atau fleksibel serta terdesentralisasi (Osborne dan Gaebler, 1992). Direktorat Jenderal Pajak sudah seharusnya berdiri sendiri menjadi sebuah departemen, terpisah dari Departemen Keuangan. Sudah saatnya institusi sebagai mesin pencari sumber penerimaan negara ini mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya. Ibarat sebuah keluarga maka Direktorat Jenderal Pajak adalah seorang “Bapak” yang menjadi tulang punggung keluarga besar Indonesia untuk mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hampir 80% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dibiayai oleh pajak dan ini dibebankan kepada DJP untuk mendapatkannya.

Permasalahannya bukan hanya pada otonomi dalam pengelolaan keuangan secara mandiri oleh DJP. Beban DJP sangatlah vital ini memerlukan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab. Keputusan-keputusan penting dapat dihasilkan tanpa birokrasi yang rumit karena harus berkoordinasi pada departemen di atasnya (Departemen Keuangan). Salah dampak tidak terdesentralisasinya DJP selama ini yaitu prosedur birokrasi audit terhadap DJP lebih rumit dibandingkan dengan institusi publik lainnya. Ini disebabkan oleh adanya peraturan perundang-undangan yang tidak memungkinkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit tanpa ijin dari Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak. Kondisi ini menunjukkan kurangnya transfaransi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber-sumber penerimaan negara. ”Pemerintah tidak boleh memperlakukan Ditjen Pajak berbeda dengan institusi publik lainnya yang dapat diaudit. Pada prinsipnya, transparansi menuntut perlakuan equal (sama),” kata Iman Sugema menegaskan. Sependapat dengan itu, Paskah mengatakan, selama ini berapa pun target perolehan pajak yang ditetapkan pemerintah selalu dapat dipenuhi Ditjen Pajak, tetapi sebenarnya tidak pernah diketahui berapa kemampuan dan potensi perolehan pajak karena sisi penerimaan pajak tidak terjamah audit (Hidayati, 2005).

Permasalahan selanjutnya yang penulis analisa adalah kaitannya dengan sumber daya manusia dalam hal ini adalah aparat pajak. Reward dan Punishment yang jelas dan tegas harus dapat diterapkan pada Direktorat Jenderal Pajak karena perubahan paradigma sebagai institusi yang digerakan oleh visi dan misi, bukan digerakkan oleh peraturan dan regulasi. Peningkatan pelayanan yang dijadikan tujuan dari Rancangan Undang-Undang (penyederhanaan prosedur administrasi, penggunaan teknologi informasi) harus memiliki sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang tinggi. Manajemen sumber daya manusia (Perekrutan, Promosi, Mutasi, Penurunan, dan Pemutusan Hubungan Kerja) harus dapat mengadopsi manajemen yang diterapkan oleh

JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1482

sektor private. Sudah saatnya DJP melakukan proses perekrutan tenaga kerjanya secara profesional. transfaransi dengan publikasi di media (Internet, koran, televisi), proses seleksi yang baik akan mendapatkan kualitas tenaga kerja yang tinggi. Sudah saatnya DJP mengikis habis nepotisme dalam perekrutan tenaga kerjanya

Manajemen sumber daya manusia yang baik, akan terdapat pernyataan tujuan organisasi dan tujuan personal (Hughes, 1998). Hal tersebut berdampak pada perlunya dilakukan pengukuran atas prestasi yang mereka capai melalui indikator kinerja. Terdapat evaluasi program yang sistematik, staf senior pajak secara politis lebih komit daripada bersikap netral atau non partisipan, staf yunior pajak pun bekerja lebih baik karena ada evaluasi terhadap kinerjanya oleh pimpinan. Kesemuanya tentu saja diimbangi dengan tingkat penghargaan, baik kompensasi berupa materi maupun non materi yang akan diterima oleh aparat pajak. Hal ini penting agar reformasi yang dilaksanakan tidak setengah-setengah dan menghasilkan sinergi yang membawa pada suatu manajemen secara keseluruhan menjadi lebih baik lagi.

Tekad Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan dan mewujudkan citra yang baik pada masyarakat dengan reformasi moral dan etika serta integritas aparat pajak merupakan langkah yang positif. Keseriusan dan komitmen yang sungguh-sungguh dengan konsolidasi internal diharapkan dapat menghapus sedikit demi sedikit image yang ada di masyarakat. Image yang melekat pada Direktorat Jenderal Pajak dalam pandangan masyarakat awam sebagai instansi negara yang ”basah”. Secara teknis memang Dinas Pajak tidak memegang langsung uang pajak yang berhasil dipungutnya. Tetapi karena karakteristik pekerjaannya, sistem yang ada, menjadi celah yang memungkinkan oknum aparat pajak untuk melakukan perbuatan melanggar rambu-rambu yang ada. Kondisi ini tentu saja menimbulkan penafsiran miring terhadap Direktorat Jenderal Pajak. Terlepas dari usaha dan upaya yang sudah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam menyelesaikan permasalahan ini, realitas itulah yang menunjukkan hasil usaha selama ini. Solusi atas masalah ini belum menyentuh pada substansi permasalahan.

Kasus penyalahgunaan pajak bepergian luar negeri yang melibatkan petugas imigrasi dan petugas pajak disinyalir berlangsung cukup lama dan merugikan negara triliunan rupiah. Ini adalah contoh kasus yang secara langsung harus menjadi koreksi oleh Direktorat Jenderal Pajak. Begitu pula dengan kasus SPT ASPAL yang baru-baru ini terjadi karena kolusi pihak bank, orang pajak dan orang bea cukai adalah bukti akan perlunya pembenahan yang mendesak terhadap manajemen organisasi dan sumber daya manusia DJP.

Rancangan Undang-Undang Pajak 2004

KOMPOSISI POKOK-POKOK "KETENTUAN UMUM

RUU PAJAK 2004"

0

2

4

6

8

10

12

14

Mempermudah Memperketat

Jum

lah

Secara kwantitas dalam ketentuan umum RUU Pajak 2004 terdapat 12 (duabelas) pokok-pokok perubahan yang memberikan kemudahan (peningkatan pelayanan, penyampaian SPT, memberi hak lebih pada WP, dan lain-lain). Selanjutnya terdapat 8 (delapan) pokok-pokok yang lebih memperketat (memperbesar sanksi administrasi, memperpendek jangka waktu daluarsa penetapan dan penagihan pajak, mempertegas sanksi pidana). Sedangkan 4 (empat) ketentuan lainnya memperketat bagi intern DJP sendiri (sanksi petugas pajak, kewajiban mematuhi kode etik, pembentukan komite pengawasan).

KOMPOSISI POKOK-POKOK

"RUU PPh"

63%

37%

Dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan terdapat 17 (tujuhbelas) pokok-pokok perubahan atau sekitar 63% yang memberikan kemudahan (ketentuan pengecualian objek pajak untuk pendidikan, biaya-biaya kemanusiaan yang dapat dibiayakan, tarif PPh pribadi yang disederhanakan dan tarif tertingginya akan diturunkan, dan lain-lain). Sebaliknya terdapat 10 (sepuluh) atau sekitar 37% pokok-pokok yang lebih memperketat (penambahan objek pajak usaha tertentu, pembedaan tarif antara yang ber NPWP

http://www.karyailmiah.polnes.ac.id

Riset / 1483 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605

dan tidak ber NPWP, tarif tunggal untuk PPh badan, dan lain-lain).

KOMPOSISI POKOK-POKOK "RUU PPN dan

PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH 2004"

0

2

4

6

8

10

12

Mempermudah Memperketat

Jum

lah

Dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terdapat 10 (sepuluh) pokok-pokok perubahan yang memberikan kemudahan (Pengecualian objek pajak PPN, kemudahan prosedur pelayanan) terhadap wajib pajak. Sebaliknya terdapat 1 (satu) pokok-pokok yang lebih memperketat (barang hasil pertambangan sebagai objek pajak dan peningkatan tarif tertinggi PPn BM dari 75% menjadi 200%.

Data di atas menunjukkan bahwa pokok-pokok perubahan Undang-Undang Pajak 2004 secara kwantitas menunjukkan banyak ketentuan yang mengupayakan keringanan terhadap wajib pajak. Tetapi kemudahan tersebut banyak bermain pada sekitar penyederhanaan prosedur administrasi pada ketentuan umum RUU pajak 2004. Pada pokok-pokok perubahan Pajak Penghasilan banyak ketentuan yang berpihak pada orang kecil, contoh (1)Tarif PPh Wajib Pajak Orang Pribadi disederhanakan dan tarif tertinggi diturunkan secara bertahap, (2)Untuk mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah dapat diberikan fasilitas perpajakan khusus yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, (3)Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, dapat diberikan fasilitas perpajakan. Dalam RUU Pajak Penghasilan ini juga banyak ketentuan-ketentuan yang sangat kental dengan sisi-sisi kemanusiaan, contoh (1)Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, biaya pembangunan infrastruktur sosial, (2)Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia dan sumbangan fasilitas pendidikan dapat dibiayakan.

Pokok-Pokok Perubahan Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan atas Barang Mewah, terdapat ketentuan yang menarik dengan di naikkannya tarif tertinggi PPn BM dari 75%

menjadi 200% (RUU PPN, 2004). Kebijakan ini dibuat atas fenomena konsumerisme bangsa kita akan barang-barang mewah. Ketentuan yang mempermudah banyak terlihat pada disempitkannya objek pajak PPN, contoh (1)Penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka Penggabungan Usaha tidak dikenakan PPN sepanjang pihak-pihak yang melakukan penggabungan usaha (merger), (2)Ekspor Jasa Kena Pajak (JKP)/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dikenakan tarif 0%, (3)untuk melindungi barang pertanian dalam negeri, menjamin pasokan bahan baku bagi industri pengolahan barang hasil pertanian, dan membantu petani mendapat hasil yang lebih baik, maka barang hasil pertanian diambil langsung dari sumbernya ditetapkan menjadi Bukan Barang Kena Pajak, (4)Mempertegas bahwa jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun termasuk perbankan syariah tidak dikenakan PPN, (5)jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, jasa di bidang penyediaan tempat parkir, jasa pengiriman uang dengan wesel pos ditetapkan sebagai jenis jasa yang tidak dikenakan PPN. Sedangkan beberapa ketentuan lainnya memberikan kemudahan administrasi dan pelayanan.

Ketentuan yang di Perdebatkan

Melihat data di atas memang pokok-pokok perubahan dalam Rancangan Undang-Undang Pajak 2004 banyak berpihak pada rakyat kecil dengan menonjolkan sisi kemanusian serta peningkatan pelayanan dan kemudahan prosedur administrasi. Di sisi lain masih banyak yang menjadi daerah abu-abu dalam menginterpretasikan Rancangan Undang-Undang Pajak ini. Fenomena ini terlihat dengan masih banyak mengundang kontroversi terutama oleh pengusaha yang merasakan bahwa RUU ini tidak Businnes Friendly. Peraturan yang masih abu-abu ini pada dasarnya tidak mengurangi tingkat kerumitan dari ketentuan yang ada sehingga membuka peluang bagi oknum aparat untuk melakukan pemerasan atau penyalahgunaan (Samhadi, 2005).

Wewenang pemblokiran rekening, DJP bisa menyegel tempat, ruangan, barang bergerak atau tak bergerak yang diduga digunakan sebagai tempat atau alat untuk menyimpan buku, catatan atau dokumen oleh WP yang tak memenuhi kewajiban pajaknya, DJP berwewenang meminta keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi atau pihak ketiga lainnya yang memiliki hubungan dengan WP yang sedang diperiksa atau dalam penyidikan, dan pihak-pihak di atas wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. Samhadi (2005) menyatakan bahwa kewenangan penyidik ini terlalu luas. Pasal ini dinilai sangat rawan untuk disalahgunakan oleh oknum penyidik

JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1484

untuk memeras WP bagi kepentingan dirinya sendiri.

Profesi pegawai DJP dengan undang-undang ini lebih dikukuhkan dengan adanya kode etik yang mengatur prinsip benar dan salah atas pekerjaannya. Dalam RUU ini juga dijelaskan apabila petugas pajak yang sengaja menyalahgunakan wewenang dan atau melanggar hak-hak perpajakan WP sesuai dengan UU Perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Depkeu. Di lain sisi apabila petugas pajak dalam melaksanakan tugasnya tidak sesuai UU Perpajakan yang berlaku sehingga merugikan negara, maka petugas pajak dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dengan dikenai hukum pidana. Melihat kontradiksi ini maka sangat nampak adanya ketidakadilan, ketika merugikan hak WP hanya diajukan ke internal Depkeu, tetapi ketika merugikan negara akan dikenai sanksi pidana. (Muhammad, 2005).

Ketentuan tindak pidana di bidang perpajakan disempurnakan, yaitu (1)ketentuan pidana bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembuktian dan atau tidak menyimpan pembukuan di Indonesia; (2)ketentuan pidana bagi setiap orang yang sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak dan atau bukti pemungutan pajak dan atau bukti pemotongan pajak, bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; (3)ketentuan pidana bagi setiap orang pada asosiasi, instansi dan lembaga pemerintah, dan pihak ketiga yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan data dan informasi kepada Ditjen Pajak, termasuk yang menyebabkan tidak terpenuhinya data dan informasi dimaksud. (4)kontruksi pidana pajak yang sebelumnya hanya mengatur tentang pidana maksimal, beberapa diubah menjadi pidana minimal dan maksimal (RUU KUP, 2004). Begitu banyak ketentuan-ketentuan yang dirubah dengan tujuan untuk menutup celah bagi wajib pajak dalam melakukan penyelewengan. Tetapi ini tidak diikuti dengan ketentuan untuk menutup celah bagi oknum pajak apabila melakukan penyelewengan.

Prosedur amat ketat diperlukan (wewenang penggeledahan dan penyitaan) supaya aparat pajak tidak menyalahgunakan kewenangan, antara lain jika pemeriksaan sudah dilakukan dan kasus sudah diserahkan ke pengadilan pajak, barulah pengadilan pajak yang seharusnya memblokir rekening, bukan aparat pajak. Pemeriksaan tanpa pembekuan amat dimungkinkan karena aparat pajak sudah mempunyai kewenangan membuka. Jika kewenangan untuk menyegel atau membekukan rekening misalnya didasarkan pada penilaian aparat pajak terhadap sikap kooperatif wajib pajak, maka amat multiinterpretatif, ujar

pengamat ekonomi dari Indef, Iman Sugema. Aturan administrasi perpajakan yang rumit dan multiinterpretasi membuka peluang terjadinya tawar-menawar yang tidak sehat. Bahkan perusahaan-perusahaan yang biasanya sudah menyewa konsultan pajak pun masih hampir selalu mengalami perbedaan interpretasi antara aparat pajak dan konsultan (Kompas, 26 November 2005).

Kesimpulan

Efisiensi, efektivitas dan kesinambungan suatu organisasi diperlukan dalam rangka untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, karyawan dan stakeholder. Kondisi itu dapat di capai dengan meningkatkan sistem good governance pada Direktorat Jenderal Pajak. Tata kelola organisasi yang baik pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat di lihat dalam konteks mekanisme internal maupun mekanisme eksternal organisasi. Mekanisme internal lebih fokus pada bagaimana pimpinan DJP mengatur jalannya organisasi sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan, keadilan dan dapat dipertanggungjawabkan. Mekanisme eksternal lebih menekankan kepada bagaimana interaksi DJP dengan pihak eksternal berjalan dengan harmonis tanpa mengabaikan pencapaian tujuan organisasi .

Pemikiran dari Osborn dan Gaebler (1992) tentang “Reinveting Government” menjadi sebuah paradigma solusi atas masalah yang dihadapi DJP. Direktorat Jenderal Pajak sudah seharusnya berdiri sendiri menjadi sebuah departemen, terpisah dari Departemen Keuangan. Sudah saatnya institusi sebagai mesin pencari sumber penerimaan negara ini mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya. Permasalahannya bukan hanya pada otonomi dalam pengelolaan keuangan secara mandiri oleh DJP. Beban DJP sangatlah vital ini memerlukan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab. Keputusan-keputusan penting dapat dihasilkan tanpa birokrasi yang rumit karena harus berkoordinasi pada Departemen Keuangan.

Reward dan Punishment yang jelas dan tegas harus dapat diterapkan pada Direktorat Jenderal Pajak karena perubahan paradigma sebagai institusi yang digerakan oleh visi dan misi, bukan digerakkan oleh regulasi. Peningkatan pelayanan yang dijadikan tujuan dari Rancangan Undang-Undang (penyederhanaan prosedur administrasi, penggunaan teknologi informasi) harus memiliki sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang tinggi. Manajemen sumber daya manusia (Perekrutan, Promosi, Mutasi, Penurunan, dan Pemutusan Hubungan Kerja) serta evaluasi terhadap kinerja terhadap sumber daya manusianya. harus dapat mengadopsi manajemen yang diterapkan oleh sektor private.

Melihat pokok-pokok perubahan dalam Rancangan Undang-Undang Pajak 2004, banyak

http://www.karyailmiah.polnes.ac.id

Riset / 1485 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605

berpihak pada rakyat kecil dengan menonjolkan sisi kemanusian serta peningkatan pelayanan dan kemudahan prosedur administrasi. Di sisi lain masih banyak yang menjadi daerah abu-abu dalam menginterpretasikan Rancangan Undang-Undang Pajak ini. Fenomena ini terlihat dengan masih banyak mengundang kontroversi terutama oleh pengusaha yang merasakan bahwa RUU ini tidak Businnes Friendly. Pokok-pokok perubahan yang menjadi kontroversi adalah wewenang yang di rasakan terlalu berlebihan seperti pemblokiran rekening, penyegelan tempat, kewenangan meminta keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi atau pihak ketiga lainnya yang memiliki hubungan dengan WP yang sedang diperiksa atau dalam penyidikan. Selain itu sanksi yang di atur terhadap pegawai pajak belum di atur secara tegas pada Rancangan Undang-Undang ini.

Rakyat (masyarakat, pelaku usaha) termasuk birokrat saat ini mengalami suatu proses reformasi dalam segala bidang. Semua menjadi lebih peka dalam melihat, mendengar dan kritis terhadap sebuah masalah. Ini adalah sebuah proses dan akan berjalan alami dalam koridor peraturan perundang-undangan. Pembenahan ke dalam perlu lebih ditekankan oleh DJP, membangun image yang baru sebagai institusi publik reformis bukanlah pekerjaan yang mudah. Tapi ini harus dimulai sebagai sebuah proses. Politisasi dan lobilisasi perundang-undangan janganlah membuat semangat menjadi surut untuk menjadi institusi publik yang reformis.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, N. 2005. Bayar Pajak dan Mimpi Keadilan, Kompas 26 November 2005.

Hughes, O.E. 1998. Public Management and Administration, 2ndEd.,Mac Millan Press Ltd. London.

Hood, L. 1991. A Public Productivity Hand Book, Marcel Dekker, NY.

Kompas. 2005 Ada Apa dengan Aparat Pajak?, Kompas, 26 November 2005.

Mahmudi, 2002. Rerangka Metodologis Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik, Vol.03.No.01,31-40

Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik, Andi, Yogyakarta.

Muhammad, M. 2005. Apa yang Hendak di Capai RUU Perpajakan?, Bisnis Indonesia, 17 Oktober 2005.

Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Reinveting government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Pustaka Binaman Prassindo.

Republik Indonesia. 2004. Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), tahun 2004.

---------------------------. 2004. Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan, tahun 2004.

---------------------------. 2004. Rancangan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, tahun 2004.

Samhadi, S.H. 2005. Pasal-Pasal yang Bermasalah, Kompas, Sabtu 26 November 2005.

Sutmuller, Paul, M. 2003. Good Governance di Pemerintahan, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik, Vol.04. No.01, 50-57.

Syakhroza, Ahmad. 2003. Arah dan Perkembangan Organisasi Profesi Sektor Publik dalam Perspektif Reformasi Keuangan dan Good Government Governance, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik, Vol.04. No.01, 38-49.

Ulupui, IG.K.A. 2002. Petunjuk Menuju Penilaian Kinerja Pada Sektor Publik, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik, Vol.03.No.01,10-16

Walsh, K. 1995. Public Service and Market Mechanism, Macmilla, Basingatoke.

White, Leroy. 2000. Changing the Whole System in The Public Sector, Jurnal of Organizational Change Management.