metodologi penelitian lokasi dan waktu penelitian · perubahan garis pantai dilakukan dengan cara...

19
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Ternate yang merupakan salah satu kota di Propinsi Maluku Utara. Secara administratif, Kota Ternate berada pada 0°2° LU dan 126°128° BT, yang terdiri dari 4 (empat) pulau berpenghuni yaitu Pulau Ternate, Pulau Hiri, Pulau Moti dan Pulau Batangdua. Lokasi penelitian dibatasi pada kawasan reklamasi pantai yang berada di Pulau Ternate. Kota Ternate (khususnya Pulau Ternate) memiliki 2 kecamatan di pesisir timur dan selatan yang tepat berada di kawasan waterfront, yaitu Kecamatan Kota Ternate Utara dan Kecamatan Kota Ternate Tengah (Gambar 9). Luas wilayah Kota Ternate adalah 5.795,40 km 2 dan lebih didominasi oleh wilayah laut. Penelitian dilaksanakan dari bulan April hingga bulan Oktober 2012. Gambar 9. Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (1) RTRW dan RDTR Kota Ternate, (2) Peta Digital Rupabumi Indonesia (RBI) dengan NLP 2516-64, (3) Citra Satelit GeoEye tahun 2001 dan citra Quickbird tahun 2010, (4) Dokumen Perencanan Infrastruktur Kementerian PU, (5) Data tabular BPS, (6) Data Potensi

Upload: nguyennguyet

Post on 18-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Ternate yang merupakan salah satu kota di

Propinsi Maluku Utara. Secara administratif, Kota Ternate berada pada 0°‐2° LU

dan 126°‐128° BT, yang terdiri dari 4 (empat) pulau berpenghuni yaitu Pulau

Ternate, Pulau Hiri, Pulau Moti dan Pulau Batangdua. Lokasi penelitian dibatasi

pada kawasan reklamasi pantai yang berada di Pulau Ternate. Kota Ternate

(khususnya Pulau Ternate) memiliki 2 kecamatan di pesisir timur dan selatan

yang tepat berada di kawasan waterfront, yaitu Kecamatan Kota Ternate Utara

dan Kecamatan Kota Ternate Tengah (Gambar 9). Luas wilayah Kota Ternate

adalah 5.795,40 km2 dan lebih didominasi oleh wilayah laut. Penelitian

dilaksanakan dari bulan April hingga bulan Oktober 2012.

Gambar 9. Lokasi Penelitian

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (1) RTRW dan RDTR

Kota Ternate, (2) Peta Digital Rupabumi Indonesia (RBI) dengan NLP 2516-64,

(3) Citra Satelit GeoEye tahun 2001 dan citra Quickbird tahun 2010, (4) Dokumen

Perencanan Infrastruktur Kementerian PU, (5) Data tabular BPS, (6) Data Potensi

47

Desa (PODES) dan (7) Kuesioner. Alat yang digunakan adalah perangkat

komputer berserta software Microsoft Office, Microsoft Exel, ArcGIS 9.3, Global

Position System (GPS), dan kamera digital.

Jenis dan Sumber Data

Data yang dibutuhkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer

diperoleh melalui survei di kawasan waterfront, kuesioner dan wawancara terkait

dengan ketersediaan infrastruktur dan waterfront. Data sekunder dikumpulkan

dari instansi terkait diantaranya data tabular BPS, dokumen perencanaan

infrastruktur, peta dasar dan citra satelit, RTRW dan RDTR. Jenis data, sumber

data, teknik analisis, serta hasil yang akan dicapai disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Hasil Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis Hasil

1. Pemetaan

perubahan spasial kota

Peta RBI

Citra Satelit Peta Administrasi

• Pengamatan Lapang

BAKOSURTANAL

Google Earth BAPPEDA • Primer

• SIG

Peta perubahan

garis pantai di kawasan waterfront

Peta penggunaan lahan kawasan

waterfront

Peta perubahan penggunaan lahan

2. Analisis hierarki wilayah

• Potensi Desa (PODES)

• BPS

• Skalogram Hierarki wilayah berdasarkan jumlah ketersediaan infrastruktur

3. Pemetaan

ketersediaan infrastruktur di kota Ternate

• Peta Tematik

Ketersediaan

infrastruktur

• Batas

Administrasi

• Kota Ternate

Dalam Angka

• Data Tabular

Infrastruktur

• SNI Infrastruktur

• Pengamatan Lapang

• PU

• BAPPEDA • BPS

• PU, PDAM, PLN,

Dinas Tata Kota

• Primer

• SIG

• Analisis Deskriptif

Peta sebaran dan

ketersediaan

infrastruktur di kota

Ternate

4. Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2032

• Jumlah Penduduk

• SNI Infrastruktur

• BPS

• PU

• Regresi Linear

Prediksi Kebutuahn Infrastruktur untuk perencanaan infrastruktur

perkotaan hingga tahun 2032

5. Penentuan arahan strategi penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront

• kuesioner

• AHP

Persepsi stakeholder untuk arahan strategi penataan dan pengelolaan infrastruktur

48

Metode Analisis Data

Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG)

Analisis Perubahan Garis Pantai

Pengembangan kawasan waterfront di pesisir timur dan selatan kota

Ternate menyebabkan terjadinya perubahan spasial kawasan pesisir. Salah satu

parameter yang dapat diukur adalah perubahan garis pantai karena adanya

rekayasa teknis reklamasi pantai untuk penambahan luas daratan. Penentuan

perubahan garis pantai dilakukan dengan cara tracking sepanjang garis pantai

dengan menggunakan GPS (Global Position System) dan pengolahan data citra

Quickbird dan GeoEye pada dua titik tahun (akuisisi citra tahun 2001 dan tahun

2010) dengan menggunakan tools Sistem Informasi Geografis (SIG).

Pengolahan data citra dilakukan dalam 2 tahapan, yaitu pertama, koreksi

geometri dengan sistem UTM (Universal Transverse Mercator) karena daerah

penelitian relatif kecil dan kedua, delineasi garis pantai secaran visual di kawasan

waterfront untuk memisahkan kawasan darat dan laut. Hasil pengolahan citra

tersebut kemudian ditumpang-susunkan atau overlay (data citra tahun 2001 dan

tahun 2010) untuk mendapatkan peta perubahan garis pantai. Selanjutnya analisis

SIG digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan di kawasan waterfront.

Analisis menggunakan citra Quickbird tahun 2010 dengan cara digitasi secara

visual. Hasil analisis berupa peta kondisi eksisting penggunaan lahan kawasan

waterfront.

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

Analisis penggunaan lahan dalam dua titik tahun (tahun 2004 dan tahun

2010) dilakukan untuk membandingkan penggunaan lahan sebelum dan sesudah

pengembangan kawasan waterfront. Analisis ini menggunakan data citra satelit

dengan resolusi tinggi yaitu citra Quickbird dan citra GeoEye. Analisis citra

dilakukan dengan menggunakan alat analisis Sistem Informasi Geografis (SIG).

Pengolahan data citra dilakukan dalam 2 tahapan, yaitu pertama, koreksi geometri

meliputi penyiapan data dengan pengambilan titik kontrol di bumi antara citra

dengan peta; penentuan titik kontrol dilakukan dengan sistem UTM (Universal

Transverse Mercator) dan kedua, digitasi visual yang didasarkan pada

warna/rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola, bayangan dan asosiasi spasial. Citra

49

resolusi tinggi memiliki kenampakan visual yang dapat membedakan antara objek

satu dengan objek lainnya sehingga memudahkan dalam interpretasi tutupan

lahan. Klasifikasi penggunaan lahan ditetapkan menjadi 2 kelompok, yaitu lahan

terbangun (permukiman, jasa dan perdagangan, dan kawasan industri) dan lahan

tidak terbangun (hutan, perkebunan, pertanian lahan kering, taman dan tubuh air).

Analisis deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara

tumpang susun (overlay) peta penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010.

Hasil analisis berupa peta perubahan penggunaan lahan. Selanjutnya data atribut

dari peta tersebut digunakan untuk analisis perubahan luas penggunaan lahan

dengan menggunakan matriks transisi.

Analisis Sebaran dan Ketersediaan Infrastruktur

Analisis SIG juga digunakan untuk menganalisis sebaran dan ketersediaan

infrastruktur di kota Ternate. Penentuan sebaran dan ketersediaan infrastruktur

dilakukan dengan cara on screen digitizer dan hasilnya berupa peta eksisting

sebaran dan ketersediaan infrastruktur masing-masing unit kecamatan. Peta

tersebut dimanfaatkan untuk mengidentifikasi radius pelayanan infrastruktur

dalam hal akses pencapaian. Gambar 10 menunjukkan bagan alir penelitian

dengan menggunakan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG).

Gambar 10. Bagan Alir Penelitian

Peta Perubahan

Garis Pantai

Citra Satelit

GeoEye tahun 2001

Quickbird tahun 2010

Survei

Lapang

• Peta Administrasi

• Citra Quickbird 2010

• Peta Tematik Infrastruktur

Sistem Informasi Geografis

(SIG)

Peta Eksisting

Ketersediaan Infrastruktur Peta Perubahan

Penggunaan Lahan

Peta Penggunaan Lahan

Kawasan waterfront

Survei

Lapang

Citra Satelit

GeoEye tahun 2004

Quickbird tahun 2010

50

Analisis Hierarki Wilayah dengan Skalogram

Salah satu cara untuk mengukur hierarki wilayah secara cepat dan mudah

adalah menggunakan metode skalogram. Pada prinsipnya suatu wilayah yang

berkembang secara ekonomi dicirikan oleh jumlah ketersediaan sarana dan

prasarana serta tingkat aksesibilitas masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya

yang ada. Asumsi yang digunakan adalah bahwa wilayah yang memiliki rangking

tertinggi adalah lokasi yang dapat menjadi pusat pelayanan. Berdasarkan analisis

ini dapat ditentukan prioritas pengadaan infrastruktur atau sarana dan prasarana di

setiap unit wilayah yang dianalisis dan tingkat perkembangan wilayahnya.

Data yang digunakan dalam metode skalogram meliputi data umum

wilayah, aksesibilitas ke pusat pelayanan, keadaan perekonomian wilayah yang

ditunjukkan oleh aktifitas masyarakat yang ada di wilayah tersebut, dan data

tentang fasilitas umum yang meliputi data jumlah fasilitas pendidikan, kesehatan,

peribadatan, komunikasi dan jenis data penunjang lainnya.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel-variabel

yang telah dimodifikasi dengan mempertimbangkan tujuan penelitian yang

berkaitan dengan infrastruktur dan waterfront city. Beberapa variabel yang

digunakan adalah variabel yang bersumber dari hasil penelitian Gustiani (2005),

yang sebelumnya menggunakan 33 variabel (variabel aksesibilitas dan variabel

infrastruktur sosial ekonomi) untuk menentukan hierarki wilayah pesisir. Variabel

yang digunakan dalam metode skalogram disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Variabel Untuk Analisis Hierarki Wilayah

No Variabel

1. 2.

3.

4. 5.

6.

7. 8.

9.

10.

11. 12.

13.

14.

Jumlah penduduk Luas desa/kelurahan

Jarak dari desa ke ibukota kecamatan

Waktu tempuh dari desa ke ibukota kecamatan Jarak dari desa ke ibukota kabupaten

Waktu tempuh dari desa ke ibukota kabupaten

Jarak dari desa ke ibukota kabupaten/kota lain terdekat Waktu tempuh dari desa ke ibukota kabupaten/kota lain terdekat

Jumlah TK

Jumlah SD

Jumlah SLTP Jumlah SMU/SMK

Jumlah Perguruan Tinggi (PT)

Jumlah Rumah Sakit Umum

51

Tabel 4. Variabel Untuk Analisis Hierarki Wilayah (Lanjutan)

No Variabel

15.

16. 17.

18.

19. 20.

21.

22.

23. 24.

25.

26. 27.

28.

29. 30.

31.

32.

33. 34.

35.

Jumlah Rumah Sakit Bersalin

Jumlah Puskesmas Jumlah Tempat Praktek Dokter

Jumlah Apotek

Jumlah Terminal Penumpang Kendaraana Bermotor Roda 4 atau Lebih Jumlah Wartel/Kiospon/Warpostel/Warparpostel

Jumlah Kios Sarana Produksi Pertanian

Jumlah industri UKM

Jumlah Supermarket/ pasar swalayan/toserba/ minimarket Jumlah Restoran/rumah makan

Jumlah Toko/Warung kelontong

Jumlah Hotel Jumlah Bank Umum (Kantor Pusat/Cabang/Capem)

Jumlah Bank Perkreditan Rakyat

Jumlah Koperasi Jumlah KUD

Jumlah Koperasi Simpan Pinjam

Jumlah Koperasi Non KUD lainnya

Jumlah Keluarga yang menggunakan listrik PLN Jumlah Keluarga yang menggunakan air bersih PDAM

Jumlah Sarana Ibadah

Selanjutnya terhadap masing-masing data atau variabel dilakukan

pembobotan dan standarisasi. Struktur pusat pelayanan dalam wilayah dinilai

berdasarkan indeks perkembangan wilayah tersebut. Setiap wilayah diurutkan

hierarkinya berdasarkan akumulasi dari prasarana yang ada di wilayah tersebut

setelah dilakukan pembobotan dan standarisasi. Wilayah dengan tingkat hierarki

yang terbesar merupakan wilayah yang memiliki ketersediaan prasarana

terlengkap, demikian seterusnya hingga urutan hierarki terkecil atau merupakan

pusat pelayanan bagi wilayah yang hierarki wilayahnya lebih rendah. Urutan

hierarki yang diperoleh kemudian dikelompokan lagi menurut selang hierarki.

Nilai indeks perkembangan (IP) masing-masing unit kelurahan/desa

selanjutnya dikelompokan lagi untuk menentukan hierarki kelurahan/desa yaitu

hierarki 1 (pusat pelayanan), hierarki 2 dan hierarki 3 (hinterland). Penentuan

pengelompokan menggunakan selang hierarki berdasarkan nilai standar deviasi IP

dan nilai rataan dari IP. Hierarki 1 adalah nilai rata-rata ditambah dengan standar

deviasi, hierarki 2 adalah nilai yang berada diantara nilai hierarki 1 dan 3,

sedangkan hierarki 3 adalah nilai rata-rata standar deviasi.

52

Analisis Ketersediaan Infrastruktur

Identifikasi ketersediaan infrastruktur menggunakan data tabular,

kemudian dibandingkan dengan standar/pedoman kebutuhan infrastruktur

berdasarkan ketetapan dari Kementrian Pekerjaan Umum. Jumlah penduduk dan

akses pencapaian digunakan sebagai parameter untuk perhitungan ratio jumlah

dan sebaran infrastruktur dengan kebutuhan masyarakat pada masing-masing

kecamatan. Data yang digunakan merupakan data tabular ketersediaan

infrastruktur eksisting (tahun 2010 atau 2011). Hasil analisis diinterpretasikan

sebagai kondisi ketersediaan infrastruktur fisik, infrastruktur sosial dan ekonomi

dan infrastruktur hijau sesudah pengembangan kawasan waterfront.

Infrastruktur Fisik

a. Jaringan Jalan

Infrastruktur jalan memiliki peran penting sebagai media pergerakan

manusia maupun kendaraan dari satu tempat ke tempat lainnya, serta sebagai

akses pelayanan. Jalan perkotaan dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsinya,

yaitu jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal/lingkungan sebagaimana termuat

dalam Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan

No.010/T/BNKT/1990.

Tabel 5. Klasifikasi Jalan Perkotaan Sistem

Jaringan Jalan

Perkotaan

Dimensi dari Elemen-Elemen Jalan Kendaraan yang

diizinkan Jalur

(m)

Bahu

(m)

Trotoar

(m)

Separator

(m)

Median

(m)

Arteri Primer 6.0-7.0 1.0 2.0 1.5 2.5

Mobil, motor,

kendaraan

umum bus,

angkutan barang

berat

Kolektor

Primer 5.0-6.0 1.0 1.5 1.0 1.5

Mobil, motor,

bus, angkutan

barang berat

Lokal Primer 4.5-5.0 0.7 1.5 - -

Mobil, motor,

bus, kendaraan

angkutan barang

Arteri

Sekunder 6.0-7.0 1.0 2.0 1.0 2.0

Mobil, motor,

bus, angkutan

barang ringan,

Kolektor

Sekunder 5.0-6.5 1.0 2.0 1.0 1.5

Mobil, motor,

bus

Lokal

Sekunder 3.0-4.5 0.5 2.0 - - Mobil, motor,

Sumber : Panduan Klasifikasi Jalan Perkotaan No.010/T/BNKT/1990 (diolah)

53

Evaluasi ketersediaan jaringan jalan di Kota Ternate dianalisis dengan data

jalan dalam deret waktu (time series) untuk mengetahui tingkat perkembangan

jaringan jalan yang ada. Selain itu parameter kerapatan jalan juga dianalisis guna

mengidentifikasi kecamatan-kecamatan mana yang memiliki tingkat kerapatan

jalan tinggi dalam penyediaan infrastruktur jalan. Kondisi eksisting ketersediaan

jalan saat ini dibandingkan dengan pedoman pada Tabel 5, untuk menunjukkan

kesesuaian kondisi jaringan jalan berdasarkan standar/pedoman tersebut.

b. Jaringan Listrik

Penyediaan infrastruktur jaringan listrik perkotaan meliputi pembangkit,

gardu dan jaringan kabel. Umumnya setiap kota memiliki pembangkit sebagai

sumberdaya listrik misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit

Listrik Tenaga Uap (PLTU) maupun Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).

Penelitian ini difokuskan untuk evaluasi distribusi daya listrik yang disebarkan

melalui gardu listrik yaitu: gardu tiang/portal, gardu tembok/beton, gardu cantol

atau gardu kios, dan jaringan kabel yang ada di Kota Ternate. Analisis deskriptif

dilakukan untuk menggambarkan sarana dan prasarana listrik di Kota Ternate.

Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi cakupan pelayanan (jumlah

pelanggan/penduduk yang terlayani) jaringan listrik berdasarkan SNI 03-1733-

2004. Data yang digunakan meliputi data tabular dalam deret waktu (time series),

sehingga dapat mengetahui perkembangan cakupan pelayanan jaringan listrik

sesudah pengembangan kawasan waterfront.

Jenis-jenis elemen perencanaan pada jaringan listrik yang harus disediakan

pada lingkungan perumahan di perkotaan adalah:

a) kebutuhan daya listrik; dan

b) jaringan listrik.

Beberapa persyaratan, kriteria dan kebutuhan sarana dan prasarana listrik

yang harus dipenuhi berdasarkan SNI 03-1733-2004 adalah:

a) Penyediaan kebutuhan daya listrik

1) Setiap lingkungan perumahan harus mendapatkan daya listrik dari PLN

atau dari sumber lain; dan

54

2) Setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik minimum 450

VA per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari jumlah

kebutuhan rumah tangga.

b) Penyediaan jaringan listrik

1) Penyediaan jaringan listrik lingkungan mengikuti hierarki pelayanan,

dimana besar pasokannya telah diprediksikan berdasarkan jumlah unit

hunian yang mengisi blok siap bangun;

2) Penyediaan tiang listrik sebagai penerangan jalan yang ditempatkan pada

area damija (daerah milik jalan) pada sisi jalur hijau yang tidak

menghalangi sirkulasi pejalan kaki di trotoar;

3) Penyediaan gardu listrik untuk setiap 200 KVA daya listrik ditempatkan

pada lahan yang bebas dari kegiatan umum;

4) Penerangan jalan yang disyaratkan memiliki kuat penerangan 500 lux

dengan tinggi >5 meter dari muka tanah;

5) Daerah di bawah tegangan tinggi sebaiknya tidak dimanfaatkan untuk

tempat tinggal atau kegiatan lain yang bersifat permanen karena akan

membahayakan keselamatan.

c. Air Bersih

Data lokasi sumber air bersih diambil dengan menggunakan alat Global

Positioning System (GPS), wawancara dan observasi. Analisis deskriptif

digunakan untuk identifikasi ketersediaan pelayanan instalasi air bersih pada

sarana publik misalnya pasar, pertokoan/mall, dan mesjid maupun terhadap

kebutuhan untuk rumah penduduk. Hasil analisis dibandingkan dengan SNI-03-

1733-2004 dan standar kebutuhan air bersih dari PDAM sebagai bahan acuan

(Tabel 6).

55

Tabel 6. Kebutuhan Air Domestik dan Non Domestik Perkotaan

Jenis Sarana Kebutuhan

Rumah Tangga Sekolah

100 lt/org/hari 10 1t/murid/hari

Rumah sakit 200 lt/tempat tidur/hari

Puskesmas 2 m3/hari

Mesjid 2 m3/hari

Kantor 10 1t/pegawai/hari

Pasar 12 m3/ha/hari

Hotel 150 1t/tempat tidur/hari Rumah makan 100 1t/tempat duduk/hari

Kompleks militer 60 1t/orang/hari

Kawasan industri 0,2-0,8 lt/dt/ha Kawasan pariwisata 0,1-0,3 lt/dt/ha

Sumber : PDAM Kota Ternate (2007)

d. Drainase

Sistem drainase merupakan rangkaian bangunan air yang berfungsi untuk

mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan,

sehingga fungsi kawasan/lahan tersebut tidak terganggu. Analisis ketersediaan

sistem drainase perkotaan dilakukan dengan identifikasi jenis saluran yang

terlayani pada masing-masing kecamatan. Hasil analisis data di lapang

dikomparasikan dengan SNI 02-2406-1991 tentang Tata Cara Perencanaan Umum

Drainase Pekotaan (Tabel 7) dan Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan

No.008/T/BNKT/1990.

Tabel 7. Bagian Jaringan Drainase

Jenis Sarana Prasarana

Badan Penerima Air Sumber air di permukaan tanah (laut, sungai, danau)

Sumber air di bawah permukaan tanah (air tanah akuifer)

Bangunan pelengkap Pertemuan saluran

Bangunan terjun

Jembatan

Street inlet

Pompa

Pintu air

Sumber : SNI 02-2406-1991

e. Sampah

Pengelolaan sampah menurut Tchobanoglous (1997 diacu dalam Soma,

2010) dapat dikelompokan kedalam 6 (enam) elemen terpisah yaitu :

56

1. Pengendalian bangkitan (control of generation)

2. Penyimpanan (storage)

3. Pengumpulan (collection)

4. Pemindahan dan pengangkutan (transfer and transport)

5. Pemrosesan (processing)

6. Pembuangan (disposal)

Keterkaitan antar elemen-elemen tersebut sangat menentukan keberhasilan

dalam pengelolaan sampah. Untuk mewujudkan efisiensi dalam pengelolaan

sampah, maka setiap elemen harus dikelola secara optimal dengan tetap

mempertimbangkan faktor kendala misalnya teknologi, biaya, pendidikan maupun

perilaku masyarakat (Soma, 2010). Identifikasi sistem pengelolaan sampah dalam

penelitian ini meliputi perilaku pembuangan sampah, timbulan sampah (sumber

dan tipe sampah), pewadahan sampah, frekuensi pelayanan kebersihan

(pengumpulan), proses pemindahan dan pengangkutan sampah, serta pembuangan

akhir (TPA). Analisis deskriptif digunakan untuk meninjau sistem persampahan

rumah tangga dalam unit masing-masing kecamatan. Pedoman standar yang

digunakan sebagai acuan adalah SNI 19-2454-2002 tentang Tata Cara Teknik

Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan dan SNI 19-3983-1995 tentang

Spesifikasi Timbulan Sampah Untuk Kota Kecil dan Sedang di Indonesia (Tabel

8).

Tabel 8. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen-Komponen Sumber

Sampah

Komponen Sumber Sampah Satuan Volume (liter) Berat (kg)

Rumah permanen per org/hari 2,25 - 2,50 0,350 - 0,400

Rumah semi permanen per org/hari 2,00 - 2,25 0,300 - 0,350

Rumah non permanen per org/hari 1,75 - 2,00 0,250 - 0,300

Kantor per pegawai/hari 0,50 - 0,75 0,025 - 0,100

Toko/ruko per petugas/hari 2,50 - 3,00 0,150 - 0,350

Sekolah per murud/hari 0,10 - 0,15 0,010 - 0,020

Jalan arteri sekunder per meter/hari 0,10 - 0,15 0,020 - 0,100

Jalan kolekter sekunder per meter/hari 0,10 - 0,15 0,010 - 0,050

Jalan lokal per meter/hari 0,05 - 0,10 0,005 - 0,025

Pasar per meter2/hari 0,20 - 0,60 0,100 - 0,300

Sumber: SNI 19-3983-1995

57

Infrastruktur Sosial dan Ekonomi

Penyediaan infrastruktur sosial dan ekonomi berdasarkan jumlah

penduduk terlayani, radius area layanan terkait dengan kebutuhan pelayanan yang

harus dipenuhi. Standar kebutuhan dan pelayanan sarana dan prasarana sosial dan

ekonomi mengacu pada SNI-03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan

Lingkungan Perumahan di Perkotaan (Tabel 9). Analisis deskriptif digunakan

untuk evaluasi ketersediaan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi dengan cara

tabulasi, perhitungan dan penyajian dalam bentuk angka.

Tabel 9. Kebutuhan Sarana dan Prasarana Sosial dan Ekonomi

Jenis Sarana & Prasarana

Jumlah Penduduk Pendukung

(jiwa)

Kebutuhan per satuan sarana

Standar (m2/jiwa)

Kriteria

Luas

Lantai Min. (m2)

Luas

Lahan Min. (m2)

Radius (m’)

Lokasi dan Penyelesaian

Pertokoan 6.000 1.200 3.000 0,5 2.000 Di pusat kegiatan sub lingkungan. KDB 40% dapat berbentuk P&D

Pusat Pertokoan + Pasar Lingkungan

30.000 13.500 10.000 0,33 Dapat dijangkau dengan kendaraan umum

Pusat Perbelanjaan dan Niaga (toko + pasar + bank + kantor)

120.000 36.000 36.000 0,3 Terletak di jalan utama, termasuk sarana parkir sesuai ketentuan setempat

Mesjid (Kecamatan)

120.000 3.600 5.400 0,03 Berdekatan dengan pusat lingkungan/ kelurahan. Sebagian sarana berlantai 2, KDB 40%

Gedung Serbaguna

120.000 1.500 3.000 0,025 100 Dapat dijangkau dengan kendaraan umum

Gedung Bioskop

120.000 1.000 2.000 0,017 100 Terletak di jalan utama, dapat merupakan bagian dari pusat perbelanjaan

Terminal wilayah (tiap kecamatan)

120.000 2.000 jarak jangkauan pejalan kaki ideal ke titik transit lain /daerah tujuan = 400m

Sumber: SNI 03-1733-2004 (diolah)

58

Infrastruktur Hijau

Infrastruktur hijau (green infrastructure) merupakan konsep

pengembangan kota ekologis (eco-city) atau seimbang dengan alam dan

berkelanjutan. Pendekatan konsep infrastruktur hijau menurut Jongman dan

Pungetti (2004 diacu dalam Herwirawan, 2009) adalah hubungan multi fungsi

antar kawasan terbuka termasuk taman, kebun, areal tanaman hutan, koridor hijau,

saluran air, pohon-pohon di sepanjang jalan, dan daerah terbuka lainnya serta

kondisi fisik lingkungan di pedesaan maupun perkotaan. Dalam penelitian ini,

analisis kapasitas pemenuhan infrastruktur hijau dimaksudkan untuk evaluasi

karakteristik dan standar penyediaan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di

Kota Ternate.

Berdasarkan Undang-Undang No.26 Tahun 2007, Ruang Terbuka Hijau

(RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya

lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah

maupun sengaja ditanam. Ketentuan UU No. 26/2007 menyatakan bahwa

penyediaan RTH 30%, terdiri dari RTH publik di kawasan perkotaan minimal

20% dan RTH privat minimal 10% dari luas wilayah kota. Dalam kasus ini,

kondisi eksisting ketersediaan RTH tiap kecamatan di Kota Ternate (kecamatan-

kecamatan yang berada di pusat kota) dikomparasikan dengan ketentuan UU

No.26/2007 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 tentang

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan

Perkotaan (Tabel 10).

Tabel 10. Fungsi dan Penerapan RTH Berdasarkan Tipologi Kawasan Perkotaan Tipologi Kawasan

Perkotaan

Karakteristik RTH

Fungsi Utama Penerapan Kebutuhan RTH

Pantai Pengaman wilayah pantai

Sosial budaya

Mitigasi bencana

Berdasarkan luas wilayah

Berdasarkan fungsi tertentu

Pegunungan Konservasi tanah

Konservasi air

Keanekaragaman hayati

Berdasarkan luas wilayah

Berdasarkan fungsi tertentu

Rawan Bencana Mitigasi/evakuasi bencana Berdasarkan fungsi tertentu

Berpenduduk jarang

sampai sedang

Dasar perencanaan kawasan

Sosial

Berdasarkan fungsi tertentu

Berdasarkan jumlah penduduk

Berpenduduk padat Ekologis

Sosial

Hidrologis

Berdasarkan fungsi tertentu

Berdasarkan jumlah penduduk

Sumber : PERMEN PU No.05/PRT/M/2008

59

Analisis Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2032

Prediksi kebutuhan infrastruktur dimaksudkan untuk membantu

merencanakan sistem penyediaan infrastruktur di masa mendatang. Analisis

prediksi kebutuhan infrastruktur diantaranya adalah air bersih, listrik, sampah,

sarana kesehatan serta niaga dan perdagangan. Analisis ini menggunakan

parameter jumlah penduduk dalam 20 tahun kedepan (hingga tahun 2032) untuk

menentukan besarnya kebutuhan infrastruktur yang harus disediakan di suatu

wilayah.

Metode proyeksi penduduk dapat dibagi atas proyeksi secara global,

proyeksi secara kategorik dan proyeksi menurut lokasi (distribusi menurut lokasi

(Tarigan, 2006). Dalam studi kasus ini, metode yang digunakan adalah proyeksi

global dimana semua penduduk dianggap memiliki karakteristik yang sama

(hanya jumlah penduduk yang diproyeksi). Proyeksi secara global menggunakan

metode regresi linear dengan persamaan sebagai berikut :

Linear Regression a dan b dapat dihitung :

Y = a + bX

Pt = a + bX b

Dimana:

Pt = Penduduk pada tahun t

a = Konstanta

b = Arah garis

X = variabel independen (jumlah penduduk)

Analisis Persepsi Stakeholders dengan Analitycal Hierarchy Process (AHP)

Setelah pengembangan kawasan waterfront masih menyisahkan beberapa

permasalahan dalam penataan maupun pengelolaan infrastruktur. Untuk dapat

menangani permasalahan tersebut, maka diperlukan integrasi antara stakeholder

untuk dapat merumuskan kebijakan dalam penataan dan pengelolaan infrastruktur

di kawasan waterfront. Stakeholder yang dipilih terkait langsung dengan bidang

infrastruktur, diantaranya adalah instansi pemerintah (BAPPEDA Kota Ternate,

60

Dinas Tata Kota, dan Dinas PU), pihak swasta (konsultan perencana dan

kontraktor) dan akademis dengan jumlah responden sebanyak 11 responden.

Metode Analitycal Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk analisis

persepsi stakeholders terkait dengan permasalahan dalam ketersediaan

infrastruktur di kawasan waterfront. Prinsip kerja AHP ialah menyederhanakan

suatu persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, strategis dan dinamis serta

menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi

nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif

dibandingkan dengan variabel yang lain. Dengan berbagai pertimbangan

kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas

tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin,

2000 diacu dalam Faizu, 2011).

Hal-hal yang diperhatikan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam

AHP adalah dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas dan konsistensi

logika. Adapun tahapan pendekatan AHP diuraikan dibawah ini.

a. Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari faktor-faktor yang

mempengaruhi permasalahan dan memerlukan variabel yang berpengaruh dan

solusi yang diinginkan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, bahwa metoda

AHP digunakan untuk mendapatkan solusi dalam permasalahan terkait dengan

infrastruktur di kawasan waterfront. Untuk itu pertanyaan diajukan dalam

pendekatan 3 (tiga) kelompok infrastruktur yaitu infrastruktur fisik, infrastruktur

sosial dan ekonomi, dan infrastruktur hijau.

b. Penyusunan Sistem Hierarki

Penyusunan struktur hierarki diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan

dengan sub-sub tujuan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkat

kriteria paling bawah (Gambar 11).

c. Pembuatan Matriks Perbandingan Berpasangan

Matriks perbandingan berpasangan menggambarkan pengaruh relatif atau

pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria/kepentingan

setingkat diatasnya. Perbandingan berdasarkan persepsi responden dengan menilai

tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya.

61

Penilaian dilakukan dengan pembobotan masing-masing komponen dengan

perbandingan berpasangan dimulai dari level tertinggi sampai pada level terendah.

Pembobotan dilakukan berdasarkan persepsi responden dengan skala komparasi

1-9 (Saaty, 1991 diacu dalam Faizu, 2011). Nilai komparasi digunakan untuk

mengkuantitatifkan data yang bersifat kualitatif.

62

Tingkat 1:

Fokus

Tingkat 2 :

Aspek

Tingkat 3:

Sub Aspek

Tingkat 4:

Alternatif

Gambar 11. Struktur Hierarki AHP

Arahan Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur

Kawasan Waterfront

Infrastruktur Fisik Infrastruktur Sosial & Ekonomi Infrastruktur Hijau

Jaringan

Jalan

Saluran

Drainase Sampah

Perbaikan Saluran

Drainase

Pengelolaan

Sampah Terpadu

Revitalisasi kawasan Pasar Tradisional

Penataan Lansekap

Taman Kota

“Dodoku-Ali”

Pelayanan

Air Bersih

Jaringan

Listrik

Pasar

Tradisional Taman

Kota

Pertokoan/

Mall

Mesjid Terminal

Angkutan Lapangan

Olahraga

Penataan Kawasan PKL

Penataan Jalur

Pedestrian Penataan Lansekap

Kawasan

Gelanggang Remaja

62

63

1) Perhitungan Matriks Pendapat Individu

Formulasi matriks individu, sebagai berikut :

C1 C2 .... Cn

C1 1 a12 .... a1n

A = (aij) = C2 1/a12 1 .... a2n

.... .... .... .... ....

Cn 1/a1n 1/a2n ....

dimana :

C1, C2, ....., Cn = set elemen pada satu tingkat keputusan dalam hierarki.

Kuantifikasi pendapat dari hasil yang mencerminkan

nilai kepentingan Ci terhadap Cj

2) Perhitung Matriks Pendapat Gabungan

Matriks pendapat gabungan merupakan matriks baru yang elemen-

elemennya ( ∑ij ) berasal dari rata-rata geometrik elemen matrik pendapat individu

yang nilai rasio konsistensinya (CR) memenuhi syarat. Tujuan dari penyusunan

matriks pendapat gabungan ini adalah untuk membentuk suatu matriks yang

mewakili matriks-matriks pendapat individu yang ada. Matriks ini selanjutnya

digunakan untuk mengukur tingkat konsistensi serta prioritas dari elemen-elemen

hierarki yang mewakili semua responden. Pendapat gabungan ini menggunakan

formula sebagai berikut ;

√∏

dimana :

gij = elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i kolom ke-j

aij = elemen matriks pendapat individu pada baris ke-i kolom ke-j

k = 1,2, .....m. dan m = jumlah responden

64

3) Pengolahan Vertikal

Pada penyusunan prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki

keputusan tertentu terhadap sasaran utama dilakukan pengolahan vertikal. Bila

CVij merupakan nilai prioritas pengaruh elemen ke-i pada tingkat ke-j terhadap

sasaran utama, maka :

Untuk, i = 1,2,3,......p j = 1,2,3,.........r dan t = 1,2,3..........s

Dimana :

Cvij = nilai prioritas pengaruh ke-i pada tingkat ke-j terhadap sasaran

utama

Chij (t,i – 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap

elemen ke-t pada tingkat diatasnya (i=1)

VWt(i – 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (i-1)

terhadap sasaran utama

p = jumlah tingkat hierarki keputusan

r = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i ke (i-1)

s = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke (i-1)

4) Revisi Pendapat

Revisi pendapat dilakukan apabila nilai konsistensi ratio (CR) pendapat

cukup tinggi (>0,1) dengan mencari deviasi RMS (Root Mean Square) dari baris-

baris (aij) dan perbandingan nilai bobot kolom (Wi/Wj) dan merevisi pendapat

pada baris yang mempunyai nilai terbesar, dengan persamaan :

∑(

⁄ )

Catatan dari beberapa ahli bahwa jika jumlah revisi terlalu besar,

sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Oleh karena itu penggunaan revisi ini

sangat terbatas sekali mengingat akan terjadi penyimpangan dari jawaban.