meteorologi dan klimatologi kajian paleo

22
1 METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI KAJIAN PALEOKLIMATOLOGI DAN UNSUR PROXY IKLIM Disusun oleh : Nama : Aditya Pradana NIM : 14/366595/GE/07882 Program Studi : Geografi dan Ilmu Lingkungan FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014

Upload: arga-arek-malang

Post on 27-Jan-2016

244 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

wow

TRANSCRIPT

Page 1: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

1

METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI

KAJIAN PALEOKLIMATOLOGI DAN UNSUR PROXY IKLIM

Disusun oleh :Nama : Aditya Pradana

NIM : 14/366595/GE/07882

Program Studi : Geografi dan Ilmu Lingkungan

FAKULTAS GEOGRAFI

UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA

2014

Page 2: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

2

PALEOKLIMATOLOGI

A. PENDAHULUAN

Perubahan iklim global adalah perubahan pola dan intensitas iklim dalam skala global

se-bagai akibat dari perubahan keseimbangan komponen energi dalam sistem bumi, dan

hal ini disebabkan oleh dua faktor yaitu natural dan antopogenik (Dwimeini, 2010).

Paleoklimatologi adalah studi tentang iklim masa lalu, dapat pula dikatakan sebagai

ilmu mengenai perubahan iklim yang terjadi dalam seluruh rentang sejarah bumi. Ilmu ini

mempelajari iklim masa lampau dengan skala waktu puluhan sampai ribuan tahun yang

lalu, beserta implikasinya terhadap perubahan yang terjadi dalam ekosistem bumi. Karena

tidak mungkin untuk kembali ke masa lalu untuk melihat bagaimana kondisi iklim pada

saat itu, maka ilmuwan menggunakan cetakan yang dibuat selama iklim masa lalu

sebagai cara mempelajari berbagai sinyal yang terdokumentasikan di alam, yang

kemudian dikenal sebagai proxy (Handiani, 2012). Proxy digunakan untuk menafsirkan

kondisi paleoklimatik dan merupakan data yang digunakan untuk menggantikan data atau

kondisi iklim. Proxy yang digunakan dapat berupa bentuk objek yang dapat merekam

kondisi iklim pada masa lalu, baik berupa makhluk hidup (komponen biotik), maupun

benda komponen abiotik.

Karena iklim pada ekosistem bumi selalu bervariasi dan perubahannya hampir selalu

terjadi pada setiap periode bumi, maka penelitian dalam paleoklimatologi menjadi sebuah

subyek yang sangat menarik dan perlu dipelajari secara lebih rinci. Ahli paleoklimatologi

menyimpulkan bahwa perubahan iklim tidak hanya terjadi pada saat ini, akan tetapi

perubahan tersebut juga pernah terjadi di masa lampau. Sehingga penelitian dalam bidang

paleoklimatologi dapat membantu kita dalam memahami perubahan iklim di masa yang

akan datang pula. Iklim masa lalu dapat direkonstruksi menggunakan kombinasi dari

berbagai jenis catatan (proxy). Catatan ini kemudian dapat diintegrasikan dengan

pengamatan iklim bumi yang modern dan ditempatkan dalam sebuah model komputer

untuk menyimpulkan masa lalu serta memprediksi iklim di masa depan.

Page 3: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

3

B. MACAM PROXYMIKROBA

Proxy iklim mikroba biasanya digunakan foraminifera (foram) dan diatom . Foram

dan diatom adalah mikroorganisme yang ditemukan di lingkungan perairan dan laut

seperti dalam gambar 1. Bentuk mikroba dapat beraneka ragam, baik planktonik

(mengambang di kolom air) dan bentik (bawah hunian / dasar laut). Cangkang Foram

terbentuk dari kalsium karbonat (CaCO3), sedangkan diatom terbentuk dari silikon

dioksida (SiO2). Metodenya berupa analisa perbandingan komposisi isotop Oksigen

(18O/16O) , penghitungan kelimpahan foraminifera planktonik dalam sedimen untuk

mengetahui kondisi air permukaan tempat mereka hidup, rasio perbandingan Mg/Ca

dalam shell foraminifera planktonik, dan juga metode paleobiomarker, seperti dengan

menggunakan rantai alkenon. Organisme ini merekam bukti untuk kondisi lingkungan

masa lalu pada cangkang mereka. Sisa-sisa foram dan diatom kerang dapat ditemukan

dengan mengambil inti sedimen dari dasar lautan, karena cangkang mereka terkubur dan

diawetkan dalam sedimen ketika mereka mati. Bahan kimia membuat kerang ini

mencerminkan kimia air pada saat pembentukan shell (cangkang).

Gambar 1. Bakteri foraminifera sebagai elemen proxySumber : RKPM Meteorologi Klimatologi, UGM

Rasio isotop oksigen stabil yang terkandung dalam shell dapat digunakan untuk

menyimpulkan suhu air di masa lalu. Isotop oksigen yang ditemukan secara alami di

kedua atmosfer dan larut dalam air. Oksigen dalam bentuk gas memiliki dua bentuk yang

berbeda, yaitu oksigen dengan bobot 16 (oksigen-16, atau 16O), dan isotopnya yang

berbobot 18 (Oksigen-18, atau 18O). Konsentrasi dari setiap bentuk ini ditentukan oleh

suhu. Dengan mengetahui rasio antara kedua bentuk oksigen para ilmuwan bisa

Page 4: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

4

memperkirakan suhu masa lalu. Kadar 18O yang tinggi mencerminkan suhu yang lebih

sejuk, sementara suhu yang menghangat menunjukkan penurunan jumlah 18O. Ahli

paleoklimatologi menggunakan data ini sebagai dasar penentuan kecenderungan iklim

kita di masa lalu dan proyeksi iklim di masa depan. Air yang lebih hangat cenderung

terevaporasi, sehingga kerang tumbuh di perairan hangat akan diperkaya dengan isotop

lebih ringan. Pengukuran isotop stabil planktonik serta bentik-foram dan kerang diatom

telah diambil dari ratusan kerang laut di seluruh dunia untuk memetakan permukaan masa

lalu dan suhu bawah air .

Para peneliti juga dapat menggunakan foram dan dinamika populasi diatom untuk

menyimpulkan iklim masa lalu. Kelimpahan relatif serta komposisi spesies di daerah

tertentu dapat menunjukkan kondisi lingkungan. Biasanya, cuaca yang lebih hangat akan

menyebabkan organisme untuk berkembang biak. Selain itu, karena setiap spesies

memiliki seperangkat kondisi yang ideal tertentu , komposisi spesies pada situs dan

waktu tertentu dapat menunjukkan kondisi lingkungan masa lalu. Metode rekonstruksi

iklim purba yang banyak dilakukan ainnya adalah dengan cara mengukur rasio Mg/Ca

pada shell foraminifera planktonik. Logika dasar dari palaeotermometer ini berdasarkan

pada keberadaan kation Mg2+ yang bisa menyubstitusi Ca selama masa pembentukan

kalsium karbonat biogenik. Peristiwa bergabungnya (incorporation) Mg2+ ke dalam kalsit

foraminifera dipengaruhi oleh temperatur air keliling dan salinitas selama pertumbuan

foraminifera.

Nurnberg dkk. (1995) melakukan percobaan tersebut menggunakan spesies foraminifera

planktonik Globigerinoides sacculifer yang biasanya hidup di lautan pada arena tropis

dan sub-tropis. Untuk mengetahui hubungan antara temperatur dan salinitas air dengan

perbandingan Mg/Ca dalam mineral kalsit yang terdapat dalam shell foraminifera tersebut,

maka suhu dan salinitas air dalam gelas percobaan diatur sedemikian rupa. Percobaan

dilakukan dalam dua jenis. Pertama, dengan temperatur yang berubah dan salinitas yang

tetap. Kedua, salinitas yang berubah tapi temperatur tetap. Hasilnya, mereka

mendapatkan satu formula khusus yang menjelaskan hubungan ini. Intinya, suhu air

memiliki hubungan yang linier dengan rasio Mg/Ca pada mineral kalsit yang ada pada

shell G. sacculifer. Semakin tinggi suhu dalam gelas percobaan maka semakin tinggi pula

rasio Mg/Ca, dan sebaliknya. Adapun untuk salinitas, mereka mendapatkan pola yang

Page 5: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

5

sama dengan efek yang timbul akibat perubahan temperatur.

Salah satu interval waktu yang menjadi sasaran para peneliti adalah Late Glacial

Maximum (LGM), yaitu interval waktu sekira 21.000 tahun yang lalu (Batubara, 2009).

Berdasarkan formula yang ditemukan melalui percobaan tersebut maka dilakukanlah

rekonstruksi terhdap suhu muka air laut LGM di berbagai tempat di dunia seperti dalam

gambar 2. Dari sekian banyak rekonstruksi iklim purba LGM yang telah dilakukan di

seluruh dunia, maka Barker dkk. (2004) membuat sebuah model kompilasi berupa suhu

permukaan air laut global pada LGM. Meskipun banyak perbedaan dan diskrepansi dari

banyak penelitian yang telah dilakukan, tetapi secara general kompilasi mereka

menunjukkan bahwa temperatur tropis pada LGM lebih dingin sekitar 2.0 — 3.50 C dari

temperatur modern.

Gambar 2. Peta Suhu Permukaan Air Laut (Sea Surface Temperature—SST) LGM padabeberapa lokasi di dunia .

Sumber : Barker, dkk., 2004

Page 6: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

6

INTI ESGletser merupakan perekam terbaik yang paling cepat merespon perubahan iklim

natural maupun antropogenik. Analisis ice core merupakan analisis bagian dari gletser

yang di bor dan memberikan 3 jenis informasi dari masa lalu maupun perubahan iklim

saat ini:

- Informasi temperatur dan presipitasi sebagai data iklim terekam dalam tiap lapisan es.

- Informasi percepatan hilangnya gletser itu sendiri.

- Informasi flora dan fauna kuno yang pernah hidup di tepian gletser (Thompson 2010).

Salju yang jatuh menggambarkan informasi yang unik, bukan hanya presipitasi dan

temperatur, tapi juga komposisi atmosfer (partikulat larut atau tidak larut), letusan gunung

berapi, bahkan variasi pergerakan matahari di masa lalu (Bradley 1999).

Parameter Analisis

Suhu Musim panasHari turun salju

Kelembaban

Akumulasi masalalu (net)

Aktivitas vulkanik

Turbiditas troposfer

Kecepatan angin

Komposisi atmosfer: jangka panjang akibat ulah

manusia

Sirkulasi atmosferAktivitas tatasurya

Melt layersδD, δ18O

Deuterium excess (d)

Seasonal signals, 10Be

Conductivity, nss. SO4

ECM, microparticle content, trace elements

Particle size,

Concentration

CO2, CH4, N2O content,

Glaciochemistry (major ions),10Be

Tabel 1. Sumber informasi utama paleoklimatik dari inti es

Sumber : Bradley 1999

Informasi suhu pada saat musim panas didapatkan dari lapisan es gelap yang meleleh,

sedangkan suhu pada musim dingin dengan salju turun setiap harinya didapatkan dari

kuantitas isotop oksigen yang terkandung dalam es tersebut. Informasi kelembaban

didapatkan dari kandungan isotop hidrogen atau deuterium (Tabel 1). Semua analisis

Page 7: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

7

yang dilakukan pada lapisan es tertentu menghasilkan output parameter yang saling

berhubungan seperti yang terlihat pada Tabel 1. Informasi suhu dari inti es dapat

diketahui dari isotop oksigen, hidrogen, dan konstituen air serta karbon dioksida yang

terkandung dalam lapisan es tersebut. Aktivitas vulkanik dapat dideteksi dengan

menganalisis konduktivitas serta kandungan sulfat yang tidak mengandung air laut.

Kekeruhan atmosfer dapat diketahui dengan menganalisis ECM (Elektrical Conductivity

Measure) , kandungan mikropertikel, dan jejak elemen. Ukuran partikel yang terkandung

dalan inti es manggambarkan kecepatan angin pada masa itu. Selain itu aktivitas tatasurya

di indikasikan dengan kandungan isotop berelelium yang merupakan isotop radioaktif.

Lapisan es terbentuk dari salju, suhu udara Antartika selalu jauh di bawah titik beku

air. Jika suhu musim panas berada di atas titik beku, catatan inti es akan rusak parah atau

benar-benar tidak berguna, karena air lelehan akan meresap ke dalam salju. Salju yang

terus menumpuk terkubur dan dikompresi serta membentuk firn, bahan kasar dengan

tekstur mirip dengan gula pasir. Celah udara dan sirkulasi udara terbentuk terus-menerus.

Salju yang menumpuk di atas firn semakin padat , serta di beberapa titik pori menutup

sehingga udara yang terperangkap. Di bawah tekanan yang meningkat firn yang

dikompresi menjadi es. Kedalaman ini bisa berkisar antara beberapa untuk beberapa

puluh meter ke biasanya 100 m untuk core Antartika. Aktivitas tersebut dapat terlihat

dalam gambar 3. Karena udara terus beredar sampai saat itu, zaman es dan umur gas

tertutup tidak sama. Perbedaan usia gas dan usia es yang besar (7 kyr) ditemukan di

kawasan glasial es Vostok, Antartika, dan inti es berupa sampel es silinder.

(a) (b)Gambar 3. (a) Aktivitas pengeboran inti es di Antartika dan (b) Bentuk inti es.

Sumber : Dewan Perubahan Iklim Indonesia, 2013

Page 8: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

8

Banyak bahan dapat muncul dalam inti es. Lapisan dapat diukur dalam beberapa cara

untuk mengidentifikasi perubahan komposisi. Diidentifikasi meteorit kecil dapat tertanam

dalam es, selain itu letusan gunung berapi dapat meninggalkan lapisan abu . Debu di inti

dapat dikaitkan dengan peningkatan temperatur daerah sekitarnya. Analisis isotop dari

inti es dapat dihubungkan dengan suhu dan variasi permukaan laut global. Analisis udara

yang terkandung dalam gelembung dalam es dapat mengungkapkan palaeocomposition

atmosfer, dalam variasi CO2 tertentu. Kedalaman paling dalam yang pernah diobservasi

berada di Vostok antartika timur. Inti es ini merekam informasi iklim selama 420.000

tahun yang kemudian dijadikan objek dan rujukan untuk penelitian perubahan iklim dunia

(NOAA 2007), seperti dalam gambar 4. Studi tentang inti es ini telah menjadi indikator

penting perubahan dalam CO2 selama bertahun bahkan bermilenium, dan terus

memberikan informasi berharga tentang perbedaan antara kuno dan modern kondisi

atmosfer.

Gambar 4.Analisis inti es Vostok untuk 420.00 tahun terakhir. Grafik hijau terkait konsentrasi

CO2, biru terkait suhu yang direkontruksi, dan merah terkait konsentrasi debu dalam inti es.

Sumber : NOAA, 2007

Page 9: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

9

LINGKARAN TAHUN POHON ( DENDROKRONOLOGI)

Dendrokronologi adalah studi tentang perubahan iklim sebagaimana dicatat oleh

cincin pertumbuhan pohon. Setiap tahun, pohon menambahkan lapisan pertumbuhan

antara kayu tua dan kulit. Lapisan ini, atau cincin tidak hanya merekam kadar air tanah,

melainkan juga merekam kejadian selama pertumbuhan (Dwimeini, 2010). Lapisan yang

lebih lebar merupakan rekaman musim hujan. Sedangkan lapisan yang lebih sempit

merekam musim kering. Informasi iklim pada cincin pohon sangat bervariasi bukan

hanya suhu dan kelambaban tapi juga keadaan radiasi pada masa itu. Dalam kondisi

tertentu pohon dapat tumbuh hingga ribuan tahun misalnya pinus bristlecone. Pohon

tertua yang sudah diobservasi berumur 9000 tahun dari jenis pinus bristlecone (Gou et al.

2006). Bagian batang dari pohon berkambium yang biasanya banyak terdapat di daerah

tropis menggambarkan banyak informasi iklim dari cincin pertumbuhannya. Cincin

pohon (Gambar 5) merupakan bagian lapisan sel tebal (latewood) yang dipisahkan oleh

lapisan sel tipis (earlywood). Ketebalan lapisan antara earlywood dan latewood

merupakan sumber informasi yang sangat berharga.

Gambar 5. Penampang melintang batang pohon berkambium

Sumber : Bradley, 2007 dalam Dwimeini, 2010

Page 10: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

10

Densitas lapisan dikaitkan dengan suhu dan kemudian dikaitkan dengan musim.

Kerapatan yang tinggi sangat erat kaitannya dengan bulan April sampai Agustus di daerah

hutan boreal Alaska sampai Labrador. Musim dingin menyebabkan terjadinya nilai

densitas lebih minimum (D'Arrigo et al. 2009). Kerapatan lapisan lingkar pohon juga

dapat diukur dengan sinar x (Gambar 6) untuk mendapatkan hasil yang akurat.

Penanggalan dengan metode ini juga sangat penting. Metode ini dilakukan untuk

mengetahui secara tepat usia cincin yang terdapat pada pohon tersebut menggunakan

pohon pembanding yang seumur (Bradley 1999).

Gambar 6. Hasil pengukuran densitas dengan sinar X

Sumber : Schweingruber et al., 1993 dalam Dwimeini, 2010

LUBANG BOR SUHU

Borehole suhu (lubang bor suhu) dapat digunakan sebagai proxy temperatur. Karena

perpindahan panas melalui tanah berlangsung lambat, pengukuran suhu lubang bor di

serangkaian kedalaman yang berbeda dapat disesuaikan dengan dampak kenaikan panas

dari dalam bumi. Hal ini bersifat "terbalik" (rumus matematika untuk memecahkan

persamaan matriks) untuk menghasilkan serangkaian non-value yang unik dari suhu

permukaan. Solusinya adalah "non-unik "karena ada beberapa kemungkinan rekonstruksi

suhu permukaan yang dapat menghasilkan profil temperatur yang sama. Ketika

Page 11: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

11

merekonstruksi suhu sekitar 1.500 AD, lubang bor memiliki resolusi temporal beberapa

abad. Pada awal abad ke-20, resolusinya beberapa dekade tidak terlalu memberikan cek

yang berguna pada catatan suhu. Namun, konfirmasi ini telah memberikan keyakinan

bagi paleo klimatologis bahwa mereka dapat mengukur suhu 500 tahun yang lalu. Hal ini

disimpulkan oleh skala kedalaman sekitar 492 kaki (150 meter) untuk mengukur suhu

100 tahun yang lalu, sementara kedalaman 1.640 kaki (500 meter) untuk mengukur suhu

1.000 tahun yang lalu.

Lubang bor memiliki keuntungan besar dari berbagai jenis proxy lain karena tidak

perlu adanya kalibrasi karena yang dicatat adalah suhu aktual. Namun, yang dicatat

adalah suhu permukaan bukan suhu dekat permukaan (1.5 meter) seperti hal nya yang

digunakan untuk sebagian "permukaan" pengamatan cuaca. Ini dapat berbeda secara

substansial untuk di bawah kondisi ekstrim atau ketika ada salju permukaan. Dalam

prakteknya efek pada suhu lubang bor diyakini umumnya kecil. Lebih dari 600 lubang

bor di seluruh dunia telah digunakan sebagai proxy untuk merekonstruksi suhu

permukaan. Konsentrasi tertinggi lubang bor yang ada di Amerika Utara dan Eropa.

Kedalaman pengeboran mereka biasanya berkisar dari 200 sampai lebih besar dari 1.000

meter ke dalam kerak Bumi atau lapisan es. Pusat suhu lubang bor Greenland

menunjukkan "pemanasan selama 150 tahun terakhir” sekitar 1 ° C ± 0,2 ° C didahului

oleh beberapa abad kondisi dingin. Mendahului ini adalah periode hangat berpusat sekitar

tahun 1000, yang lebih hangat daripada akhir abad ke-20 oleh sekitar 1 ° C. "Sebuah

lubang di es Antartika menunjukkan bahwa suhu pada 1 AD sekitar 1 ° C lebih hangat

dibandingkan pada akhir abad ke-20 ".

KARANG

Istilah karang (coral) umumnya digunakan untuk terumbu karang yang berasal dari

ordo Scleractinia. Karang dari ordo tersebut memiliki kerangka kapur yang sejati (keras).

Satu individu karang disebut polip yang memiliki ukuran yang bervariasi, mulai dari

1mm-5000mm (Cobb et al. 2008). Untuk studi iklim masa lalu karang yang penting

untuk diobservasi merupakan bangunan terumbu karang yang besar dan hidup saling

ketergantungan (simbiotik) dengan alga uniseluler (zooxanthellae). Karang yang

melakukan hubungan simbiotik dengan zooxanhellae disebut karang hermatypic.

Page 12: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

12

Ganggang menghasilkan karbohidrat dengan proses fotosintesis. Proses tersebut

membutuhkan sinar matahari. Dengan demikian karang hermatypic tumbuh paling dalam

hanya 20m dari permukaan laut, dengan tingkat kekeruhan air yang kecil. Sebagian besar

carbon organik diserap gangang untuk fotosintesis, dan menyediakan makanan bagi

karang untuk terus tumbuh. Sementara itu karang memberikan perlindungan terhadap

alga. Pertumbuhan karang sangat dipengaruhi oleh suhu (minimal pada 20oC), karena

itulah karang tumbuh di sekitar perairan ekuator dengan batas lintang 30o utara dan 30o

selatan. Ketika suhu turun ke 18oC, tingkat klasifikasi pertumbuhan karang berkurang dan

akan mati pada suhu yang lebih rendah (Bradley,1999).

Sampel untuk analisis biasanya dibor di bagian yang menggambarkan pertumbuhan

karang. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dilakukan pengambilan sampel yang

rutin (6-10 kali per tahun). Penelitian karang berfokus pada catatan lingkungan pada masa

pertumbuhannya. Tingkat pertumbuhan karang bergantung pada suhu permukaan laut dan

nutrisi yang terkandung pada air laut. Nutrisi tersebut banyak didapatkan dari proses

fotosintesis yang dipengaruhi oleh radiasi dan keawanan. Waktu rekonstruksi karang yang

terpanjang adalah 800 tahun yang berhasil diobservasi di perairan Bermuda. Pada

observasi tersebut diketahui bahwa tingkat pertumbuhan koral berbanding terbalik

dengan Sea Surface Temperature, sebagai contoh air upwelling yang dingin membawa

banyak nutrisi dan menyebabkan meningkatnya pertumbuhan karang. Kondisi terdingin

yang dialami dari 1470-1710 dan sejak 1760 sampai akhir abad kesembilan belas, diikuti

oleh pemanasan di abad kedua puluh. Hal ini mirip dengan perkiraan musim panas

belahan bumi utara (Bradley,1999). Isotop oksigen diketahui menujukan korelasi

terhadap suhu ketika mengalami pengendapan karbonat secara biologis. Berkurangnya

konsentrasi δ18O sebesar 0,22% menyebabkan kenaikan suhu sebesar 1oC (Gribin,1978).

Dengan meningkatnya suhu permukaan laut maka penguapan semakin meningkat.

Sehingga jumlah curah hujan juga akan mengalami peningkatan. δ13C (isotop karbon)

mengindikasikan perawanan pada masanya. Nilai δ13C tersebut dipengaruhi oleh

fotosintesis gangang yang terdapat pada karang. Semakin tinggi konsentasi δ13C pada

karang maka semakin tinggi tingkat fotosintesis. Konsentrasi δ13C berkurang seiring

dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini menunjukan bahwa δ13C peka terhadap cahaya,

dan dapat mengindikasikan perawanan pada masa itu (Gribbin 1978). Selain itu

Page 13: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

13

parameter lainya yang dianalisis adalah Δ14C yang saat ini diindikasikan kepada siklus

samudra yaitu upwelling. Parameter lain berupa konsentrasi barium, namun barium

kebanyakan digunakan untuk parameter perubahan lingkungan dalam beberapa periode.

DI Australia penginderaan jauh yang digunakan sejak tahun 1980an dan perunut

geokimia sedimen (Ba/Ca) dan unsur hara (skeletar d15N) yang canggih dari kerangka

terumbu karang merupakan metoda yang dipakai untuk mendeskripsikan sejarah

perubahan kualitas air dan ekosistem pantai Great Barrier Reef sejak masa pendudukan

Eropa (di Australia), seperti dalam gambar 7.

Gambar 7. Analisis kandungan Barium pada perairan Great Barier reef

Sumber : Dewan Perubahan Iklim Indonesia, 2013

Pada tahun 2002, laporan yang diterbitkan berbasis temuan Drs. Lisa Greer dan Peter

Swart dari University of Miami, menunjukan terdapat isotop oksigen stabil di kalsium

karbonat karang. Suhu dingin cenderung menyebabkan karang untuk menggunakan

isotop yang lebih berat dalam strukturnya, sementara suhu hangat menyebabkan isotop

oksigen yang lebih ringan mendominasi struktur karang. Air dengan tingkat salinitas

tinggi juga cenderung mengandung lebih berat isotop. Sampel karang Greer dari Samudra

Atlantik diambil pada tahun 1994 dan kembali ke 1935. Ketika melihat data tahunan

rata-rata dari 1935 sampai sekitar tahun 1994, data memiliki bentuk gelombang sinus. Ini

adalah periodik dan memiliki pola yang signifikan dengan isotop oksigen. Komposisi

Page 14: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

14

memiliki puncak pada sekitar setiap dua belas sampai lima belas tahun. Suhu air

permukaan memuncak bertepatan dengan setiap dua belas setengah tahun. Namun, karena

rekaman suhu ini hanya dipraktekkan selama lima puluh tahun terakhir, hubungan antara

suhu air tercatat dan struktur karang hanya dapat ditarik sejauh periode tersebut.

POLLEN ( SERBUK SARI)

Serbuk sari adalah tempat gametofit jantan pada generasi gametofit tumbuhan

Gymnospermae dan Angiospermae. Penyebaran serbuk sari dapat terjadi melalui berbagai

perantara, yaitu: angin, air, dan binatang (Dwimeini, 2010). Analisis serbuk sari (pollen

analysis) merupakan metode yang paling penting dalam rekonstruksi flora, vegetasi, dan

lingkungan masa lampau, karena serbuk sari yang sangat awet atau tahan terhadap

kerusakan. Selain itu serbuk sari dihasilkan dalam jumlah yang sangat banyak dan

tersebar secara lebih luas dan merata dibandingkan dengan makrofosil. Kelebihan lainya

adalah serbuk sari dapat diperoleh dari sedimen dalam jumlah yang sangat banyak

sehingga memungkinkan untuk diuji secara kuantitatif / statistik. Analisis serbuk sari

dapat digunakan untuk melacak sejarah kelompok dan jenis (spesies) tumbuhan serta

habitatnya. Analisis serbuk sari juga dapat menentukan umur relatif batuan atau sedimen.

Inti dari analisis serbuk sari untuk paleoklimatologi adalah untuk memperlajari sejarah

iklim, dan pengaruh manusia terhadap lingkungan (Kneller,2009). Serbuk sari dan spora

adalah dasar dari sebuah aspek penting dari rekonstruksi iklim bumi. Sebuah studi khusus

untuk mempelajari serbuksari dan spora biasa disebut dengan palinologi. Serbuk sari

yang tersebar di danau, laut dan mengendap dalam sedimen memberikan catatan

perubahan vegetasi masa lalu yang mungkin terjadi karena perubahan iklim. Metode ini

merupakan metode pelengkap paling penting untuk melengkapi hasil dari metode lainya

(Bradley,1999). Tahap yang dilakukan pada metode ini adalah mengklasifikasi morfologi,

deskripsi morfologi serbuk sari, serta menentukan taksonomi. Sehingga dapat diketahui

habitat serta iklim yang medukung per-tumbuhannya. Serta dapat diketahui jenis

tumbuhan yang tumbuh pada masa itu. Kemudian bagaimana tumbuhan tersebut bertahan

hidup (NOAA,2011). Perbedaan dalam produktivitas dan tingkat penyebaran serbuk sari

menimbulkan masalah yang signifikan untuk rekonstruksi komposisi vegetasi karena

kelimpahan relatif serbuk sari tidak dapat langsung diinterpretasikan dalam hal

Page 15: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

15

kelimpahan spesies di daerah tersebut. Maka sangat penting untuk mengetahui hubungan

antara frekuensi tanaman di daerah itu dan jumlah hujan serbuk sari yang terjadi. Sebagai

contoh, komunitas vegetasi terdiri dari 10% pinus, maple 35%, dan beech 65% dapat

diwakili dengan jumlah serbuk sari yang kurang lebih sama persentasenya (Bradley,

1999).

Penentuan iklim dengan analisis serbuksari juga dapat dilakukan secara kuantitatif.

Dengan menggunakan persamaan sederhana ini:

Cm = Tm. Pm………………(1)

Cm merupakan iklim modern, Pm hujan serbuk sari modern, dan Tm merupakan

keofisien fungsional (fungsi transfer) yang diperoleh dari hubungan antara serbuk sari

dan iklim (Bradley, 1999). Persamaan sederhana tersebut berkembang dengan melalui

penelitian lebih lanjut dan ditransformasi menjadi:

July Tmean (°C) = 17.76 +1.73 (Quercus) 0.25 + 0.09 (Juniperus) + 0.51(Tsuga) -

0.41(Pinus) 0.25-0.12(Acer)-0.04 (Fagus)……………..................(2)

Persamaan 2 menggunakan pensentase serbuk sari dan baru dilakukan penelitian di

Amerika Serikat dan New England oleh Bartlein dan Webbs pada tahun 1985. Sementara

keofisien dari tiap jenis tumbuhan didapatkan dari korelasi antara suhu bulan Juli disuatu

wilayah tertentu (varibel lingkungan) , dan nilai persentase penyebaran serbuk sari suatu

spesies tertentu di daerah tersebut. Persamaan diatas memiliki R2 sebesar 0.77. Variabel

yang mempengaruhi suhu rata-ratabualn Juli adalah persentase subgenus Quercus (pohon

Oak), Juniperus, Tsuga (cemara), Pinus, Acer (maple), Fagus. Hasil dari penelitian terbut

adalah suhu di bulan Juli di wilayah Amerika Utara hingga Kanada lebih hangat 1-2oC

dibandingkan suhu saat ini. Penelitian yang dilakukan di wilayah Eropa Tengah sampai

Eropa Selatan menghasilkan suhu bulan Juli yang lebih hangat 4oC dibandingkan suhu

saat ini (Bradley 1999). Dengan suhu Bulan Juli ditentukan juga suhu bulan Januari yang

mengikuti pola suhu wilayah tersebut. Sehingga curah hujan wilayah tersebut juga bisa

diketahui. Menurut Bradley panjang tahun yang dapat di rekonstruksi dengan analisis

Page 16: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

16

polen pun cukup panjang. Dua situs di Perancis dapat merekstruksi suhu dan curah hujan

hingga 140,000 tahun yang lalu.

Serbuk sari dapat ditemukan dalam sedimen. Tanaman menghasilkan serbuk sari dalam

jumlah besar dan hal ini sangat tahan terhadap pembusukan (macamnya dapat dilihat

dalam gambar 8). Hal ini dimungkinkan untuk mengidentifikasi spesies tanaman dari

biji-bijian serbuk sarinya. Berbagai jenis tumbuhan dapat diidentifikasi daerah

penyebarannya pada waktu relatif dari lapisan sedimen, serta dapat memberikan

informasi tentang kondisi iklim. Kelimpahan serbuk sari yang diberikan

tumbuh-tumbuhan periode atau tahun tergantung sebagian pada kondisi cuaca dari bulan

bulan sebelumnya, kepadatan maka serbuk sari memberikan informasi tentang kondisi

iklim jangka pendek (Bradley .et al, 1992).

Gambar 8. Macam serbuk sari dalam tanaman

Sumber : RKPM Meteorologi Klimatologi, UGM

SEDIMEN DANAU DAN LAUT

Metode ini mirip dengan studi dengan proxy lain, studi palaeoklimatologis akan

memeriksa isotop oksigen dalam sedimen lautan (Sudibyakto, et al., 2013). Demikian

juga, mereka mengukur lapisan varve (lapisan lumpur halus dan kasar atau tanah liat)

yang membentuk lapisan sedimen danau. Varve terutama dipengaruhi oleh:

Suhu musim panas, yang menunjukkan energi yang tersedia untuk mencairkan salju

dan es musiman

Salju pada musim dingin, yang menentukan tingkat gangguan terhadap sedimen

ketika pencairan terjadi

Curah hujan

Page 17: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

17

Analisis sedimen tidak dapat dipisahkan dari analisis mikroba ( diatom dan formainifera),

mikrobiota, pollen ( serbuk sari), dan arang. Karena, komponen tersebut bersama dengan

sedimen itu sendiri menyusun endapan sedimen didasar danau dan lautan.

ISOTOPAIR

Air laut yang sebagian besar tersusun atas H216O , dengan sejumlah kecil HD16O, dan

H218O. Dimana D menunjukkan Deuterium, yaitu hidrogen dengan neutron tambahan. Di

Vienna, Austria terdapat Standar Berarti Samudera Air (VSMOW) yaitu rasio D untuk H

O-18 ke O-16 . Fraksinasi terjadi selama perubahan antara fase terkondensasi dan fase

uap (evaporasi), dimana tekanan uap isotop berat lebih rendah sehingga uap mengandung

relatif lebih isotop ringa. Sementara ketika uap mengembun curah hujan mengandung

isotop lebih berat. Perbedaan dari VSMOW dinyatakan sebagai :

18O = 1000 ‰ x ................... (3)

dan formula yang sama untuk δD. nilai δ untuk curah hujan selalu negatif (Delmas et

al.,2004). Pengaruh besar pada δ adalah perbedaan antara suhu air laut di mana

kelembaban menguap dan tempat di mana curah hujan akhir terjadi, karena suhu laut

relatif stabil nilai δ sebagian besar mencerminkan suhu di mana curah hujan terjadi.

Dengan mempertimbangkan bahwa curah hujan membentuk inversi layer atas , kita

biarkan dengan hubungan linear yang secara empiris dikalibrasi dari pengukuran suhu.

Dengan nilai δ = 0.67 ‰ / oC di tanah penggembalaan dan 0,76 ‰ / oC di bagian timur

Antartika. Kalibrasi ini awalnya dilakukan atas dasar variasi spasial dalam suhu dan

diasumsikan bahwa hal ini berhubungan dengan variasi temporal (Jouzel dan Merlivat,

1984 dalam Sudibyakto, et al., 2013). Baru-baru ini, Thermometry lubang bor telah

menunjukkan bahwa untuk variasi glasial-interglasial, a = 0,33 ‰ / oC, menunjukkan

bahwa terdapat perubahan suhu glasial-interglasial dua kali lebih besar seperti yang

diyakini sebelumnya. Hasil analisis isotop oksigen atom di atmosfer bumi menunjukan

bahwa 16O berjumlah 99,759% , 17O berjumlah 0,037% dan 18O 0,204%. Karena molekul

air yang mengandung isotop yang lebih ringan sedikit lebih mungkin untuk menguap dan

Page 18: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

18

jatuh sebagai pengendapan (Dansgaard, 1964). Es kutub di bumi mengandung sedikit

kurang (0,1981%) dari isotop berat 18O, sementara udara (0,204%) atau air laut

(0,1995%). Perbedaan ini memungkinkan analisis pola suhu melalui bersejarah inti es.

PSEUDOPROXIES

Algoritma yang digunakan untuk menggabungkan catatan proxy ke sebuah rekonstruksi

temperatur secara keseluruhan dapat diuji dengan menggunakan teknik yang dikenal

sebagai "pseudoproxies". Dalam metode ini, output dari model iklim adalah sampel di

lokasi yang sesuai dengan dikenal jaringan proxy, dan catatan suhu yang dihasilkan

dibandingkan dengan suhu keseluruhan model. Meskipun demikian, beberapa metode

menggabungkan catatan menghasilkan hasil yang kurang baik. Pseudoproxies

menggunakan sintesis data yang membandingkan data asli dengan data hasil olahan,

seperti dalam gambar 9.

Gambar 9. Analisa data pseudoproxies dengan data insturmental faktual melalui model

temperatur di dua lokasi berbeda

Sumber : Mann, Michael E. dan Scott Rutherford, 2002

Page 19: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

19

SPELEOTHEMS

Speleothems ("deposit gua"), umumnya dikenal sebagai formasi gua atau endapan

mineral sekunder yang terbentuk dalam gua. Speleothems biasanya terbentuk di batu

gamping, kapur atau dolostone/dolomit pada bentanglahan karst (solusional). Air

merembes melalui celah-celah di batuan dasar yang mengelilingi sebuah gua dapat

melarutkan senyawa tertentu, biasanya kalsit dan aragonit (kalsium karbonat), atau gips

(kalsium sulfat). Tingkatya tergantung pada jumlah karbon dioksida yang diadakan dalam

larutan, pada suhu, dan faktor lainnya. Ketika larutan mencapai gua, keluarnya karbon

dioksida dari larutandapat mengubah kemampuan air untuk menahan mineral ini dalam

larutan, menyebabkan zat terlarut kemudian mengendapkan unsur kalsium karbonat.

Seiring waktu hingga puluhan ribu tahun, akumulasi dari endapan dapat membentuk

speleothems. Macam speleothems diantaranya ; stalaktit, stalakmit, drip curtain,

flowstone, pilar dan lain sebagainya, seperti dalam gambar 10.

Gambar 10. Ornamen Speleothems sebagai proxy iklim

Sumber : Dwimeini, 2010

Banyak faktor yang membuat bentuk dan warna formasi speleothem berbeda-beda,

diantaranya termasuk tingkat dan arah rembesan air, jumlah asam dalam air, suhu dan

kelembaban isi gua, udara arus, iklim di atas tanah, jumlah curah hujan tahunan dan

kepadatan tanaman penutup. Sampel yang dapat diambil dari speleothems dapat

digunakan seperti inti es sebagai wakil catatan perubahan iklim masa lalu. Sebuah

Page 20: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

20

kekuatan khusus speleothems dalam hal ini adalah kemampuan mereka yang unik untuk

secara waktu lebih akurat untuk identifikasi iklim periode akhir Kuarter dengan

penggunaan teknik uranium-thorium dating. Stalagmit sangat berguna untuk aplikasi

paleoklimat karena geometri relatif sederhana dan karena berisi beberapa catatan iklim

yang berbeda, seperti oksigen dan karbon isotop dan trace kation. Ini dapat memberikan

petunjuk untuk curah hujan masa lalu, suhu, dan perubahan vegetasi selama kurang lebih

500.000 tahun terakhir.

C. PROXYAKURAT

Penggunaan analisa isotop oksigen dapat dikatakan sebagai unsur proxy paling akurat,

mengingat skema dating yang digunakan dalam analisa tiap isotop sangat akurat. Analisa

isotop baik pada inti es maupun isotop air dianggap sebagai sistem proxy yang paling

akurat. Sebuah inti es dari situs yang tepat dapat digunakan untuk merekonstruksi catatan

iklim dengan sangat rinci dan luas selama ratusan ribu tahun, hal ini memberikan

informasi mengenai berbagai aspek iklim pada setiap titik waktu. Keberadaan inti es

dibawah permukaan serta kondisi lokasi yang selalu dibawah titik beku membuat catatan

informasi masa lampau selalu terjaga, walaupun data ini hanya dapat dilakukan di lokasi

tertentu dimuka bumi yang dilapisi es atau glacier.

Sementara pada penggunaan lubang bor suhu sumber kesalahan berupa kontaminasi

sumur oleh air tanah yang dapat mempengaruhi suhu, karena air "membawa" suhu yang

lebih aktual. Walaupun efek ini diyakini umumnya kecil namun bisa diterapkan di lokasi

yang sangat lembab. Padahal masalah seperti ini tersebut justru tidak berlaku dalam inti

es di mana situs tetap beku sepanjang tahun. Sementara penggunaan karang diperlukan

analisis yang rumit dan keterbatasan objek hanya pada lintang tertentu menyebabkan

metode ini lebih jarang dilakukan dibandingkan metode inti es karena dianggap tidak

menyediakan data menyeluruh.

Sebenarnya penggunaan proxy cincin pohon juga merupakan sebuah keuntungan

karena tersedianya spesimen bahan pernah hidup yanag secara akurat pada tanggal dan

tahun digunakan sebagai kalibrasi dan pemeriksaan penanggalan radiokarbon. Melalui

estimasi rentang tanggal maka terbentuk intersepsi radiokarbon serta kondisi iklimnya.

Akan tetapi tidak meratanya penyebaran pohon di bumi ini menyebabkan terbatasnya

Page 21: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

21

informasi iklim yang dihasilkan dari metode lingkar pohon serta metode pollen (serbuk

sari). Rekonstruksi iklim menggunakan metode inti es menghasilkan data iklim yang

lebih panjang dan akurat dibandingkan dengan menggunakan metode lingkar pohon,

karang, dan serbuk sari.

Sementara pada proxy speleothems keakuratan hanya terbatas pada periode akhir

Kuarter, namun penggunaanya jauh lebih mudah daripada inti es terlebih dengan adanya

sistem uranium-thorium dating. Namun, sebenarnya untuk menghasilkan hasil yang

paling tepat, dan sistematis maka harus ada lintas verifikasi antara indikator proxy. Hal ini

diperlukan untuk akurasi pembacaan dan pencatatan, proxy dapat dikombinasikan untuk

menghasilkan rekonstruksi suhu lebih lama dari data pencatatan suhu yang ada, sehingga

dapat berperan dan dapat menginformasikan diskusi perubahan iklim lebih detail. Karena

tidak memungkiri bahwa setiap elemen memiliki kelemahan masing-masing.

D. PENUTUPWalalupun data paleoklimatologi dapat digunakan sebagai sarana pengujian berbagai

model iklim yang berbeda, namun sampai saat ini belum ada model yang sempurna untuk

bisa menggambarkan sistem iklim dan interaksinya secara menyeluruh dan rinci. Salah

satu kendalanya adalah kemampuan komputerisasi yang masih kurang memadai untuk

menyelesaikan persamaan-persamaan matematis dan mensimulasikannya dalam skenario

waktu yang panjang. Akan tetapi melihat perkembangan komputerisasi yang semakin

maju, penelitian dalam model iklim tetap menjadi salah satu komponen terpenting dalam

paleoklimatologi.

Page 22: Meteorologi Dan Klimatologi Kajian Paleo

22

DAFTAR PUSTAKA

Barker, S., Cacho, I., Benway, H., and Tachikawa, K., (2004). Planktonic foraminiferalMg/Ca as a proxy for past oceanic temperatures: a methodological overview anddata compilation for the Last Glacial Maximum. Quarternary Science Reviews. 24,821-834.

Batubara, Bosman. (2009). Rekonstruksi Iklim Purba: Sumbangan Geosains bagi StudiPerubahan Iklim. http : //www.tulisangeologipopuler.wordpress/ , diakses 6 Jnauari2015.

Bradley R. (1999). Paleoclimatologi: Reconstructing Climates of the Quaternary SecondEdition. USA: ACADEMIC PRESS.

Cobb K, Cole J, Lough J, Tudhope S. (2008). Annually-banded corals as climate proxies.http://www.ncdc.noaa.gov/ , diakses 5 Januari 2015.

D’Arrigo R, Abram N, Ummenhofer C, Palmer J, Mudelse M. (2009). ReconstrucedStreamflow for Citarum River, Java, Indonesia. Jakarta : Springer.

Dansgaard, W. (1964). Stable isotopes in precipitation. Tellus 16, 436-468Delmas RJ, J Beer, HA Synal, et al. (2004). "Bomb-test 36Cl measurements in Vostok

snow (Antarctica) and the use of 36Cl as a dating tool for deep ice cores". Tellus B36 (5): 492.

Dewan Perubahan Iklim Indonesia. (2013).Perubahan Iklim. Jakarta : DPII.Dwimeini, Ratih Purwanto. (2010). Kajian Paleoklimatologi dan Perubahan Suhu Global.

Bogor : Institut Pertanian Bogor.Gou X, Chen F, Yang M, Jacoby G, Peng J, Zhang X. (2006). A comparison of tree-ring

records and glacier variations over the past 700 years, northeastern Tibetan Plateau.Annals of Glaciology 43: 83- 89.

Gribbin J. (1978). Isotop Studies. Di dalam: Gribbin J, editor. Climatic Change. London:Cambridge University Press. Hlm 46-67.

Handiani, Dian H. (2012). Paleoklimatologi: Berburu ke Masa Lampau, Meramal keMasa Depan. http : //www.kompas.com/, diakses 5 Jnauari 2015.

Kneller M. (2009). Pollen analysis. Ensiclopedia of Paleoclimatologi and AcientEnvironments: 815-820.

Mann, E. Michael dan Scott Rutherford. (2002). Climate Reconstruction usingPseudoproxies. Geophysical Research Letters, Vol. 29, No. 10.

[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. (2007). Climate Change.USA: NOAANational Weather Data Service.

Nurnberg, D., Bijma, J., and Hemleben, C., (1995). Assessing the realibility ofmagnesium in foraminiferal calcite as a proxy for water mass temperatures.Geochimica at Cosmochimica Acta. 60, 803-814.

Schweingruber F, Briffa K, Nogler P. (1993). A tree-ring densitometric transect fromAlaska to Labrador. International Journal of Biometeorology 37: 151-169.

Sudibyakto, et al. (2013). RKPM Meteorologi dan Klimatologi. Yogyakarta : UniversitasGadjah Mada. Hlm 306-377.

Thompson LG. (2010). Understanding global Climate Change: Paleoclimate perspectivefrom the world‟s highest Mountains. Proceeding of the American PhiloshopicalSociety 154: 133-157.