metamorfosis
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada bagian sebelumnya telah dipelajari perkembangan embrio mulai dari
fertilisasi sel telur, proses perbanyakan sel melalui pembelahan dan organisasi
menjadi badan embrio primitif, kemudian diteruskan sampai proses pembentukan
organ-organ tubuh yang merupakan turunan-turunan dari tiga lapisan lembaga yang
dikenal sebagai organogenesis. Pada saat ini ada kelompok hewan yang mengalami
pertumbuhan langsung dan hewan yang mengalami pertumbuhan tidak langsung.
Pada hewan yang mengalami pertumbuhan yang langsung, maka hasil dari proses
organogenesis ini adalah individu yang sudah menyerupai bentuk dari induknya,
meskipun dalam proporsi yang berbeda. Dari bentuk individu muda ini menjadi
bentuk dewasa pada kebanyakan hewan yang mengalami pertumbuhan langsung
hanya terjadi pertumbuhan pesat tanpa perubahan bentuk yang berarti. Pada
kelompok hewan yang mengalami pertumbuhan tidak langsung, hasil dari
organogenesis ini adalah sautu individu yang dikenal sebagai larva (Surjono, 2001).
Larva ini umumnya bergerak bebas, hidup bebas dari induknya, mampu
mencari makan sendiri dan bentuknya berbeda dengan bentuk dewasanya. Dari
bentuk larva menjadi bentuk dewasa harus terjadi perubahan bentuk yang sangat
drastis yang dikenal sebagai metamorfosis. Contohnya pada katak dan kupu-kupu.
Meskipun demikian, dalam dunia hewan yang besar masih banyak macam dan jenis
metamorfosis yang terjadi. Sudah barang tentu proses alami metamorfosis dan
penyebab terjadinya proses tersebut pada masing-masing jenis hewan berbeda.
Misalnya saja pada larva insekta disebut nymf dan pada katak disebut berudu katak.
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses metamorfosis pada amphibia?
2. Bagaiaman proses metamofosis pada serangga?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui proses terjadinya metamorfosis pada amphibia.
2. Untuk mengetahui proses terjadinya metamorfosis pada serangga.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Metamorfosis pada Katak
1. Perubahan Organisasi selama Proses Metamorfosis
Pada amphibia, metamorfosis selalu dikaitkan antara larva dengan
perubahan lingkungan hidupnya, yaitu dari lingkungan perairan (akuatik)menjadi
individu yang dapat hidup di darat. Sejalan dengan perubahan ini pada suku anura
(katak dan kodok) juga terjadi perubahan jenis makanan. Berudu katak dan kodok
memakan materi tumbuhan yang ada di perairan (hancuran tumbuhan, baik yang
masih hidup ataupun yang telah mati dan fitoplankton) dengan bantuan gigi-gigi
tanduk yang tumbuh disekitar mulut. Beberapa bahkan memakan bahan organik
sisa hancuran yang ada di dasar perairan. Pada urodela, perubahan jenis makanan
ini tidak terjadi karena larva urodela memang sudah karnivora dengan memakan
hewan yang lebih kecil, terutama cacing dan crustacea (Surjono, 2001).
Perubahan pola organisasi hewan selama proses metamorfosis ada yang
berjalan secara progresif dan ada pula yang regresif, oleh karena itu digolongkan
menjadi tiga kelompok:
1. Struktur atau organ yang diperlukan selama masa larva tetap terdapat organ
lain yang memiliki struktur atau fungsi sama pada hewan dewasa mungkin
hilang semua.
2. Beberapa organ tumbuh dan berkembang selama dan setelah proses
metamorfosis
3. Organ-organ yang ada dan berfungsi selama masa sebelum dan setalah
metamorfosis mengalami perubahan sesuai model dan kebutuhan hidup dari
individu dewasanya (Surjono, 2001).
3
Gambar 1. Proses metamorfosis pada Katak
Proses regresif selama metmorfosis berudu katak adalah sebagai berikut:
ekor yang panjang dan semua strukturnya mengalami resorpsi sampai habis.
Insang luar juga mengalami resorpsi, penutup insang akan menutup dan rongga
peribrankia juga menghilang. Gigi-gigi tanduk yang ada disekitar mulut akan
mengalami penataan kembali menjadi gigi-gigi yang terletak pada permukaan
rahang, sementara bentuk mulutnya mengalami perubahan. Bumbung kloaka
mengalami pemendekan dan reduksi. Bebapa pembuluh darah juga mengalami
reduksi, termasuk bagian-bagian dari arkus aortikus (Surjono, 2001).
Proses pembentukan organ baru selama metamorfosis adalah
perkembangan kaki-kaki yang sangat progresif terutama pada penambahan
ukuran dan perubahan bentuk. Kaki depan yang tumbuh di dalam selaput
operkulum, memecah dan tumbuh keluar. Telinga tengah berkembang dan
berhubungan dengan celah faring pertama. Membran timpani tumbuh dengan baik
disokong oleh rawan timpani. Mata terdesak ke arah dorsal kepala dan kelopak
mata tumbuh. Lidahnya tumbuh dengan baik dari dasar mulut. Organ-organ yang
tetap berfungsi sebelum dan sesudah masa larva adalah kulit dan saluran
penceranaan. Kulit berudu ditutupi oleh dua lapis epidermis. Selama proses
metamorfosis, jumlah lapisan epidermis meningkat sehingga terjadi penebalan
4
dan pada permukaannya akan mengalami penandukan. Kelenjar-kelenjar mukosa
dan serosa akan tumbuh pada epidermis dan kemudian tenggelam sampai jaringan
ikat pada lapisan dermis. Organ-organ sensori yang terdapat sepanjang alteral
tubuh pada masa larva akan hilang selama proses metamorfosis. Warna pigmen
kulit juga mengalami perubahan, baik pola maupun warnanya. Saluran
pencernaan yang sebelumnya sangat panjang dan melingkar-lingkar pada saat
larva, seperti dijumpai pada kebanyakan herbivora, mengalami pemendekan ke
depan dan menjadi relativ lurus pada hewan dewasa. Proses-proses ini terjadi
dengan sangat cepat dan hanya memerlukan waktu beberapa hari saja (Surjono,
2001).
Perubahan struktur selama proses metamorfosis pada urodela tidaklah
sedramatis pada katak. Ekornya masih tetap ada, hanya lipatan-lipatan sirip
ekornya yang menghilang. Insang luarnya mengalami resorpsi dan celah insang
akan menutup. Tulang-tulang viseral mengalami pengecilan. Kepalanya berubah
bentuk, menjadi lebih lonjong. Perubahan-perubahan progresif yang terjadi jauh
lebih kecil dibandingkan metamorfosis pada berudu katak. Perubahan-perubahan
itu terutama terjadi pada perubahan struktur kulit dan mata. Kedua mata bergeser
letaknya dan lebih ke arah dorsal kepala dan lipatan penutup mata tumbuh. Kulit
mengalami penandukan dan banyak kelenjar kulit yang tumbuh. Pigmentasi kulit
mengalami perubahan. Bentuk kaki dan saluran pencernaan tampaknya tidak
mengalami perubahan. Proses metamorfosis pada urodela ini terjadi selama
beberapa minggu (Surjono, 2001).
Pertumbuhan paru-paru pada urodela dan anura tidak sedrastis
metamorfosis itu sendiri. Paru-paru pada kedua kelompok hewan ini telah tumbuh
dan berfungsi secara secara pasti sejak masa larva. Sebelumnya telah dijelaskan
bahwa sebelum masa metamorfosis, berudu katak dan larva salamander sudah
harus sering muncul ke permukaan air untuk mengambil udara bebas guna
membantu pernafasan insang mereka. Hal ini mungkin sangat penting artinya bagi
katak yang hidup diperairan yang cepat kering atau tingkat pencernaan air
5
meningkatkan, sehingga mereka tetap dapat melewati masa larva dengan aman
(Surjono, 2001).
Sejalan dengan proses metamorfosis yang tampak pada perubahan bentuk
dan struktur morfologis, pada katak juga terjadi perubahan fisiologis. Fungsi
endokrim pankreas katak mulai terjadi selama proses metamorfosis yang
berkaitan dengan perubahan/peningkatan fungsi hati dalam mengubah glukosa
menjadi glikogen. Perubahan lain yang sangat penting adalah pada sistem
ekskresi. Pada berudu produksi ekskresi berupa amoniak dapat dengan mudah
dibuang kelingkungan tubuh (air) melalui proses difusi dari tubuh. Tetapi pada
hewan dewasa hal ini tidak mudah dilakukan. Sementara itu, deposit amoniak di
dalam tubuh yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya keracunan. Seekor
katak mengekskresikan urea dan sedikit sekali dalam bentuk amoniak. Perubahan
ini terjadi pada masa akhir metemorfosis yaitu ketika hati mengalami perubahan
fungsi dan membantuk sintesis urea dan amoniak yang dihasilkan (Surjono,
2001).
Proses reduksi insang dan ekor berudu dipengaruhi oleh autolisis dari
kompone-komponen jaringan organ tersebut, dibantu oleh sel-sel makrofag yang
memakan sisa-sisa sel yang mengalami kematian. Mekanisme yang serupa juga
ditemukan pada terjadinya reduksi lipatan-lipatan ekor dan insang pada urodela
(Surjono, 2001).
Selama proses metamorfosis berudu katak, proses penghancuran beberapa
organ tubuh terjadi sangat nyata, perubahan-perubahan pada sistem penceranaan
makanan mungkin akan mengganggu pola konsumsi berudu tersebut, maka katak
yang beru saja selesai mengalami metamorfosis umumnya berukuran lebih kecil
dibandingkan bentuk dan ukuran berudu sendiri. Pernyusutan tidak hanya terjadi
pada berat individu sebelum dan sesudah metamorfosis, tetapi juga pada ukuran
kepala dan badan dari individu tersebut (Surjono, 2001).
6
2. Penyebab terjadinya Metamorfosis pada Amfibi
Penyebab metamorphosis salah satunya adalah terjadinya pelepasan
hormone dalam jumlah besar dari kelenjar tiroid pada hewan yang sedang
memasuki masa metamorphosis. Hormone tiroid sebagai pemicu terjadinya
metamorphosis diketahui setelah dilakukannya beberapa penelitian, diantaranya
adalah apabila kelenjar tiroid diambil dari seekor berudu dengan cara operasi,
maka berudu yang tidak memiliki kelenjar tiroid ini tidak mengalami
metamorphosis ketika dipelihara lebih dari setahun, berudu tanpa kelenjar tiroid
ini terus tumbuh besar. Percobaan ini membuktikan bahwa metamorphosis tidak
dapat terjadi tanpa stimulus dari hormone yang dihasilkan kelenjar tiroid. Dari
percobaan lain diketahui pula bahwa memelihara berudu dengan diberi makana-
makanan yang mengandung dari hormone dari kelenjar tiroid atau memelihara
berudu di dalam larutan yang mengandung hormone tiroid , berudu dengan diberi
perlakuan seperti itu akan cepat mengalami metamorphosis selain itu juga
membuktikan bahwa kelenjar tiroid hewan itu sendiri bukanlah satu-satunya
sumber pemicu terjadinya metamorphosis selain itu ada yang dipengaruhi
lingkungan juga (Surjono, 2001).
Selain dipicu oleh kelenjar tiroid, larutan garam tiroglobulin juga dapat
memicu terjadinya metamorphosis. Larutan ini berasal dari merendam kelenjar
tiroid di dalam larutan garam fisiologi. Hal ini akan mengakibatkan hormone
dalam kelenjar tiroid akan terlarut ke dalam garam fisiologi tersebut. Hormone
yang terlarut ini berupa protein tiroglobulin. Karakter khas tiroglobulin adalah
mengandung gugus yodium atau iodine yang merupakan bagian penting dari
hormone tiroid. Tiroglobulin ini mempercepat metamorphosis karena tiroglobulin
memiliki berat molekul sekitar 675.000 Dalton, merupakan sebuah molekul yang
besar dan dapat menembus dinding-dinding sel dalam proses meninggalkan
kelenjar tiroid menuju sel-sel target. Komponen- komponen yodium ini nantinya
dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang merupakan gabungan dari
komponen-komponen asam amino tirosin dengan gugs iodine. Dua komponen
7
yang terpenting adalah tri-iodotironin dan tiroksin.tiroksin dihasilkan lebih
banyak dari pada tri-iodotironin tetapi tri iodotironin terlihat lebih aktif dengan
jaringan (Surjono, 2001).
Dari penelitian diketahui bahwa iodine juga dapat memperdepat terjadinya
metamorphosis hal ini dapat dilakukan dengan cara menginjeksi menginjeksikan
larutan iodine ke dalam tubuh berudu atau dengan cara menanamkan Kristal
yodium pada tubuh berudu. Dari penelitian ini diketahui bahwa yodium dapat
menstimulus terjadinya metamorphosis pada axolotl yang telah diambil kelenjar
tiroidnya. Dari penelitian juga diketahui bahwa tri-iodotironin memiliki aktivitas
untuk menstimulus metamorphosis 3-5 kali lebih tinggi dari pada tiroksin
(Surjono, 2001).
Kelenjar lain yagn juga memicu untuk terjadinya metamorphosis adalah
kelenjar hipofisis. Hal ini diketahui dari percobaan apabila kelenjar hipofisis dari
seekor berudu di hancurkan maka berudu tersebut tidak dapat melakukan
metamorphosis. Tetapi hipofisis tidak berperan langsung pada proses
metamorphosis melainkan melalui stimulus pada kelenjar tiroid. Agenesia yang
diperlukan untuk mengaktifkan kelenjar tiroiddihasilkan pada lobus anterior
hipofisis disebut hormone tirotropik. Pada larva amfibi. Hipofisis tidak
memproduksi hormone tirotropik sampai saat normal untuk terjadinya prose
metamorphosis. Hipofisi berudu menghasilkan hormone lain yang bekerja secara
antagonis untuk dengan hormone tiroksin selama maa berudu. Hormone ini
mencegah terjadinya metamorphosis (Surjono, 2001).
Dari hal diatas dapat disimpukan bahwa metamorphosis dimulai apabila
bagian anterior hipofisis menghasilakn hormone tirotropik sampai kadar tertentu
sehingga dapat menstimulus kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormone-
hormonnya terutama tiroksin. Konsenterasi hormone tiroksin yang tinggi akan
menutupi aktivitas yang bekerja secara antagonis yaitu hormone yang mirip
prolaktin dan mempengaruhi jaringan secara langsung. Hal ini mengakibatkan
8
terjadinya degenerasi dan nekrosi (kematian sel) sel-sel target dan juga memicu
terjadinya deferensiasi dan pertumbuhan sel-sel lain (Surjono, 2001).
3. Reaksi Jaringan Tubuh Anfibia Terhadap Proses Metamorfosis
Penyebab utama terjadinya proses metamorfosis itu adalah hadirnya
hormon – hormon kelenjar tiroit. Misalnya bagaimana hanya sel – sel tertentu
(insang dan ekor saja) yang mengalami degenerasi sedangkan bakal kaki depan
dan belakang malah tumbuh, suatu sistem yang bekerja secara antagonis. Pada
percobaan kali ini apabila semua sebagian dari ekor berudu di cangkokkan pada
tubuh berudu yang lain dan berudu itu mengalami resorpsi. Sebaliknya apabila
satu mata berudu dicangkokkan pada ekor berudu yang siap bermetamorfosis,
apabila satu mata pada ekor itu tidak akan ikut diresorpsi setelah masa
metamorfosis terjadi. Ketika ekor mengalami pemendekan , maka mata pada ekor
itu akan terbawa mendekat dan tetap hidup pada bagian sakral katak tersebut.
Percobaan tersebut menunjukkan bahwa karakter reaksi jaringan terhadap
stimulus dari kelenjar tiroid tidak tergantung pada tempat tetapi pada keadaan
alami dari organ itu sendiri (Surjono, 2001).
Pada bagian tubuh yang berbeda bereaksi tidak saat terhadap dosis
hormon kelenjar tiroid. Bila hormon tiroid diberikan pada berudu dengan dosis
yang sangat renda, maka dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan kaki
belakang dan pemendekan saluran pencernaan. Pemberian dosis yang lebih tinggi
dapat memicu munculnya kaki depan. Dosis yang lebih besar diperlukan kelipatan
dosis yang berbeda pula. Bagian ujung ekor tampak lebih relatif di bandingkan
pangkal ekor. Secara umum tampak sensitivitas terhadap hormon – hormon
kelenjar tiroid direfleksikan oleh bagian – bagian tubuh yang dipengaruhinya
selama perkembangan normal. Bagian yang memiliki sensitivitas tinggi (kadar
hormon rendah, misalnya pertumbuhan kaki) merespon lebih dahulu
dibandingkan dengan bagian – bagian tubuh yang memiliki sensitivitas rendah
(memerlukan konsentrasi hormon tinggi, misalnya reduksi ekor) (Surjono, 2001).
9
4. Proses – Proses Induksi selama Metamorfosis Amfibia
Meskipun secara umum tampak bahwa proses metamorfosis adalah reaksi
langsung terhadap hormon kelenjar tiroid yang mencapai jaringan yang
bersangkutan. Kulit yang menutup ekor barudu seharusnya ikut mengalami
nekrosis selama proses metamorfosis, tetapi kenyataannya tidak mengalami
nikrosis apabila kulit ekor itu di cangkokkan pada tubuh tanpa sel – sel otot ekor
yang ada di bawahnya. Apabila pada kulit ekor itu masih terdapat sel – sel otot
ekor yang ikut dicangkokkan ke bagian tubuh manapun, maka kulit itu akan tetap
mengalami nekrosis, hal ini membuktikan bahwa hormon kelenjar tiroid itu hanya
mempunyai efek langsung kepada jaringan otot apabila kulit yang melingkupinya
ikut menalami resorpsi itu adalah akibat sekunder (Surjono, 2001).
Sebuah kejadian yang lebih kompleks pada proses ini adalah terbentuknya
membran timpani pada katak. Telinga yang berupa rongga berhubungan dengan
rongga mulut melalui saluran eustakhius merupakan salah satu struktur yang
tumbuh secara progresif selama proses metamorfosis. Diferensiasi membran
timpani terjadi menjelang berakhirnya masa metamorfosis. Di mulai dengan
terbentuknya rawan yang membentuk cincin (rawan timpani) yang berkembang
sebgai penonjolandari rawan kuadrat. Kulit yang kemudian tumbuh menjadi
membran timpani semula, tampak tidak berbeda dengan kulit yang ada di sekitar.
Selama masa metamorfosis, jaringan ikat di daearah yang akan menjadi membran
timpani mengalami reorginisasi. Lapisan serabut terpeca karana aktifitas sel – sel
fagositas dan sebuah lapisan jaringan ikat baru yang lebih tipis kemidian di
bangun di tempat ini. Pada membran timpani yang sudah sempurna, ketebalan
kulitnya akan menjadi kurang dari setengah ketebalan kulit normal, tetapi lebih
kompak dan berbeda pigmentasinya (Surjono, 2001).
Oleh karena itu di ketahui bahwa diferensiasi membran timpani bukanlah
sebagai akibat langsung dari hormon kelenjar tiroid tetapi di induksikan oleh
rawan timpani. Apabila rawan timpani dihilangkan sebelum masa metamorfosis,
10
maka membran timpani tidak akan berkembang. Apabila daerah ditutupi oleh
kulit yang bersal dari bagian tubuh yang lain, maka membran timpani akan tetap
berkembang. Sebaliknya apabila rawan timpani dicangkokkan di bawah kulit
pada bagian tubuh mana saja sebelum berudu mengalami metamorfosis, maka
kulit diatas rawan timpani itu akan mengalami diferensiasi menjadi membran
timpani (Surjono, 2001).
2.2 Metamorfosis pada Serangga
A. Ganti Kulit (Molting) dan Hubungannya dengan Metamorfosis pada
Serangga
Metamorphosis pada serangga bersifat spesifik karena melibatkan
pergantian kulit. Pergantian kulit dialami hewan yang kulitnya terbuat dari bahan
kutikula, karena kulit tidak bisa bertambah besar ketika hewan tumbuh besar,
sehingga diperlukan proses ganti kulit (molting) (Surjono, 2001).
Sebagian besar permukaan kulit serangga mengalami penebalan kutikula,
misalnya seluruh tubuh, rambut dan duri, sculpture dan pigmentasinya. Selama
molting bagian tersebut lepas terikut dengan kutikula yang dibuang. Ketika ganti
kulit dibentuk kutikula baru yang keras dan umumnya berukuran lebih besar.
Kutikula tersebut disekresikan oleh sel epidermis (Surjono, 2001).
Sel-sel epidermis pada lapisan terluar berdekatan dengan permukaan
dalam dari kutikula. Sebelum ganti kulit, sel epidermis mengalami aktivasi, yaitu
mengalami pemisahan sendiri dari kutikuladan mengalami fase penumbuhan dan
pembelahan. Pembelahan terjadi secara mitosis. Jumlah sel yang dihasilkan sesuai
dengan kebuthan. Sebagian sel-sel mengalami degenerasi melalui piknosis. Di
samping mengalami degenerasi, sel epidermis juga mengalami perubahan bentuk.
Beberapa sel mengalami perubahan bentuk menjadi lapisan epitel berbentuk
kolumnar. Permukaan epitel memberi bayangan bentuk serangga yang mengalami
molting. Pada bagian tubuh yang mengalami pembesaran epidermis tumbuh
sebagai lipatan-lipatan yang kemudian akan membuka saat serangga keluar dari
kulit lamanya (Surjono, 2001).
11
Pada permukaan sel epidermis tersebut dihasilkan lapisan sekresi yang
kemudian mengeras dan diesebut epikutikula. Epikutikula terdiri dari substansi
lipoprotein alami yang disebut kutikulin. Suatu cairan yang dihasilkan kelenjar
khusus disekresikan di atas lapisan kutikula yang baru dan di bawah lapisan
kutikula lama. Cairan berisi enzim yang mendegradasi (menghancurkan) lapisan
kutikula lama sehingga tersisa sedikit lapisan yang tersisa. Cairan direabdsorpsi
kembali oleh tubuh serangga. Pada saat yang sama, epidermis menghasilkan
lapisan kutikula baru di bawah epikutikula, lapisan ini disebut eksokutikula.
Eksokutikula banyak berisi kutikulin dan substansi fenolik yang kemudian
mengoksidasi lapisan itu sehingga tampak berwarna lebih gelap. Kemudian
dibentuk lapisan endokutikula yang berisi kitin, yaitu polisakarida yang
mengandung nitrogen (Surjono, 2001).
Ketika lapisan kutikula lama menjadi tipis, maka pada bagian belakang
kepala dan tubuh akan terlepas dan serngga keluar dari kulit tuanya. Kutikula
baru, terbentuk dengan lengkap, maka kutikula mengalami pengerasan dan
pigmen warna-warni terbentuk daro precursornya. Lapisan endokutikula
dideposisikan pada permukaan dalam kutikula beberapa hari atau beberapa
minggu setelah proses ganti kulit selesai (Surjono, 2001).
Proses molting pada serangga melibatkan beberapa elemen dari
metamorphosis amfibia, yaitu destruksi (reabsorpsi dari kutikula lama, nekrosis
dari sebagian sel-sel epidermis) dan konstruksi (perubahan bentuk sel epitel
epidermis, pembentukan kutikula baru). Keadaan ini tergentung hasil ganti kulit.
Apabila kulit baru sama dan sebangun dengan kulit lama, maka proses ini menjadi
suatu mekanisme perkembangan yang progresif. Apabila sangat nyata berbeda,
maka hasilnya adalah metomorfosis (Surjono, 2001).
Pada Apterigota (serangga tanpa sayap) serangga muda yang menetas dari
telur sebenarnya bentuknya ssudah sama dengan dewasa, hanya berbeda
ukuran dan tingkat kematangan seksual. Ganti kulit pada serangga ini hanya
menyebabkan pertumbuhan ukuran tubuh dan pemasakan organ seksual tidak
12
berkaitan dengan proses ganti kulit, bahkan ganti kulit tetap terjadi meskipun
serangga tersebut telah dewasa (Surjono, 2001).
Pada kelompok Pterigota (serangga bersayap atau tidak punya sayap
sekunder), terdapat stadium imago yang nyata, yang dicapai setelah
mengalami ganti kulit imago yang spesifik dan setelah itu serangga tidak
mengalami ganti kulit lagi. Stadium imago berbeda dengan larva karena
kehadiran sayap dan organ-organ genital eksternalnya sudah berkembang
dengan lengkap (gonadnya mungkin berfungsi sempurna hanya beberapa saat
setelah metamorphosis) (Surjono, 2001).
Pada serangga yang lebih primitive sayap mungkin tumbuh secara gradual
dari sayap rudiment. Sayap tersebut tumbuh dari badian dorsal segmen torax
kedua dan ketiga yang sudah tampak sejak stadium akhir larva atau disebut
stadium nympha. Sayap tersebut bertambah besar setiap serangga megalami
ganti kulit, tetapi pada proses ganti kulit terakhir ukuran sayap bertambah
dengan pesat dan fungsional. Hanya pada Ephemeroptera memiliki 2 pasang
sayap membraneus, terjadi pada stadium sayap pertama (subimago) kemudian
mengalami mo;ting hingga menjadi imago (Surjono, 2001).
Pada kelompok Exopterigota (kelompok serangga paling maju, termasuk
kecoa, capung dan belalang) sayap telah tumbuh secara internal sebagai
lipatan anggota gerak yang tumbuh selama stadium larva di dalam suatu
kantong pada epidermis. Epidermis yang menutup sayap rudimenter ini
membawa sifat embrionik sepanjang masa larva. Bagian epidermis tidak ikut
berperan dalam pada pembentukan kutikula eksternal dan baru ikut bereaksi
ketika fase larve berakhir. Reorganisasi terjadi selama masa istirahat
(kepmpong atau pupa) (Surjono, 2001).
Pada kelompok Endopterigota (termasuk kupu-kupu, lebeh, nyamuk dan lalat)
sayapnya tumbuh secara internal. Bagian rudimenter tersimpan di bawah
permukaan tubuh pada stadium larva dan mengalami diferensiasi penuh
menjadi imago disebut imarginal disc. Pada kelomopok Endopterigota
perbedaan antara medium larva dan dewasa sangat mencolok. Pada stadium
13
larva mulut, antenna, kaki tumbuh, kaki anggota gerak tidak ada (Surjono,
2001).
Metamorfoosis yang melibatkan stadium pupa disebut metamorphosis
lengkap dan serangga yang memiliki stadium itu disebut holometabola.
Sementara serangga yang tidak melalui stadium pupa mengalami metamorfosis
tidak lengkap disebut hemimetabola.
Gambar metamorfosis lengkap (A) dan metmorfosis tidak lengkap (B)
(sumber: Starr et.al, 2011)
B. Penyebab terjadinya Molting dan Metamorfosis pada Serangga
Dalam proses pergantian kulit biasa (larval molt), seluruh bagian tubuh
harus terlibat dan menyelesaikannya dalam waktu yang bersamaan agar proses
ganti kulit menjadi sempurna. Ini memberikan gambaran bahwa satu penyebab
utama harus ada agar semua bagian tubuh serangga dapat terlibat. Pada beberapa
kasus yang terjadi secara alami, dapat dipelajari dengan mudah bahwa suatu
faktor eksternal diperlukan untuk terjadinya suatu pergantian kulit adalah pada
Rhodnius (kutu penghisap darah) dan pupa ngengat Platysamia cecropia. Pada
Rhodnius (kutu penghisap darah) adalah contoh dari hewan yang mempunyai
faktor eksternal berupa makanan yang masuk untuk terjadinya suatu pergantian
14
kulit sehingga ia akan menghisap darah sebanyak-banyaknya pada interval dua
pergantian kulit sehingga ukuran tubuhnya mengembang menjadi besar beberapa
kali lipat. Pergantian kulit akan terjadi secara regular setiap 12-15 hari setelah
makan pertama (pada 4 stadium pertama larva) dan pada stadium larva terakhir
interval waktunya lebih lama kira-kira 28 hari dan hasilnya akan berbeda. Setelah
ganti kulit maka ia akan berubah dari larva menjadi imago yang bersayap. Pada
pupa ngengat Platysamia cecropia setelah membentuk pupa maka ia akan
memasuki tahap diapause. Tahap ini adalah tahap dimana serangga memasuki
masa diam dengan laju metabolisme yang tereduksi. Tahap ini akan terhenti
ketika diperlakukan pada suhu dingin (30-50 C). Pperbandingan temporer ini
merupakan proses vital bagi pupa dan sekembalinya pada lingkungan yang lebih
hangat pupa mengalami ganti kulit, dan saat itulah perkembangan terjadi dengan
lengkap dan serangga memasuki tahap imago (Surjono, 2001).
Pada kebanyakan serangga, jarang sekali ditemukan faktor eksternal yang
dapat menyebabkan terjadinya ganti kulit dan proses ganti kulit yang satu
mengikuti proses sebelumnya pada interval yang tampaknya ditentukan oleh
faktor internal. Pada kebanyakan serangga, berat badan meningkat sampai
mencapai proporsi yang pasti antara dua ganti kulit, sering ditentukan oleh satu
atau dua faktor dan akan tampak bahwa sejumlah sintesis harus dilakukan
sebelum stimulus stimulus untuk melakukan ganti kulit berikutnya dihasilkan di
dalam organisme tersebut. Pada kasus faktor eksternal memicu terjadinya proses
ganti kulit sekalipun, dapat diamati bahwa faktor luar itu tidak berpengaruh pada
tubuh secara langsung tetapi dikendalikan oleh otak. Apabila seekor larva
Rhodnius dipotong bagian lehernya (dekapitasi) setelah satu atau dua hari
menghisap darah maka proses ganti kulit tidak akan terjadi tetapi bila dekapitasi
dilakukan pada lima hari setelah menghisap darah maka ganti kulit akan terjadi.
Hal ini terjadi karena stimulus yang dikirimkan oleh otak telah melewati bagian
leher yang dipotong dan dapat menyebabkan seluruh tubuh dan menyebabkan
terjadinya pergantian kulit. Percobaan serupa juga dilakukan terhadap pupa
ngengat Platysamia cecropia yang telah diaktivasi pada suhu rendah dan
15
kemudian dicangkokkan pada pupa yang tidak diberi perlakuan suhu dingin.
Pencangkokan otak dari pupa yang sudah diberi perlakuan suhu dingin akan
memberi stimulus kepada pupa yang tidak diberi perlakuan suhu dingin untuk
ganti kulit berikutnya dan imago akan keluar dari pupa. Kejadian tersebut tidak
akan terjadi jika yang dicangkokkan bukanlah otak. Hal itu menunjukkan bahwa
suhu dingin secara langsung mempengaruhi otak memberikan stimulus untuk
melakukan itu (Surjono, 2001).
Gambar: Percobaan pemotongan kepala dan akibatnya pada proses ganti kulit
dan metamorfosis pada larva Rhodnius (atas) dan pupa Ephestia kubnella (bawah).
Ganti kulit dan metamorfosis yang terjadi pada serangga dikontrol oleh
hormon-hormon yang disekresikan oleh tiga jenis organ, yaitu: otak
(protoserebrum), korpora alata, dan kelenjar protoraks. Di dalam otak sebuah
hormon protorasikotropik diproduksi oleh sel-sel neurosekretoris yang teratur
dalam empat kelompok. Dua kelompok dekat garis tengah dan dua kelompok
yang lain di masing-masing sisi. Di belakang protoserebrum, sepanjang aorta
16
dorsal, terdapat dua pasang badan yang dihubungkan dengan protoserebrum oleh
serabut-serabut saraf yaitu korpora kardiaka. Badan tersebut adalah ganglion dari
korpora alata yang terdiri dari sel-sel sekretoris. Pada beberapa jenis serangga,
korpora alat mungkin bersatu dengan badan. Kelenjar protoraks yang merupakan
kumpulan sel-sel kelenjar yang membentuk percabangan tidak teratur dan terletak
di bagian dada berhubungan dekat dengan tabung trakea. Sel-sel dari ketiga
kelenjar ini menunjukkan adanya siklus sekresi yang teratur untuk setiap
terjadinya kulit. Ppergantian kulit dimulai dari sekresi kelenjar pada
protoserebrum yaitu hormon protorasikotropik yang berfungsi mengaktifkan
kelenjar protoraks. Kemudian kelenjar protoraks akan mensekresikan hormon
yang disebut ekdison. Ekdison merupakan prohormon yang harus diaktifkan
terlebih dahulu sebelun berfungsi. Pengubahan ini terjadi karena adanya oksidase
yang mengandung hemin yang terdapat di dalam mitokondria dari jaringan-
jaringan seperti lemak tubuh. Di sini ekdison diubah menjadi hormon ekdisteron
yang mempengaruhi terjadinya prooses ganti kulit pada epidermis, seperti:
pertumbuhan dan pembelaha sel-sel epidermis, pemisahan kutikula lama, dan
produksi kutikula yang baru.
Gambar: Diagram skematis yang menggambarkan mekanisme kontrol proses
ganti kulit dan metamorfosis pada ngengat tembakau.
17
Salah satu variasi percobaan yang sama telah dilakukan untuk
membukikan bahwa sekresi sel-sel otak tidak berperan langsung tetapi melalui
aktivasi sel-sel kelenjar protoraks. Percobaan itu tidak mencangkokkan sel-sel
otak kepada satu pupa yang utuh, melainkan hanya kepada bagian posterior dari
seekor pupa yang dipotong di tengahnya dan dipisahkan dengan menggunakan
lilin. Dalam kondisi ini maka sel-sel otak yang dicangkokan tersebut tidak dapat
menstimulus terjadinya ganti kulit dan metamorfosis. Hal ini dikarenakan kelenjar
protoraks tidak terdapat pada bagian tubuh ini (Surjono, 2001).
Percobaan yang serupa juga dilakukan pada kepinding Rhodnius. Setelah
sel-sel nurosekretoris dari otaknya diaktivasi. Karena kepinding itu telah
menghisap darah, otak itu kemudian dicangkokkan pada badan seekor kepinding
lain yang telah didekapitasi. Larva kepinding ini tetap memiliki kelenjar protoraks
yang fungsional yang kemudian bereaksi dan proses ganti kulit ini masih tetap
terjadi. Tetapi apabila otak tersebut dicangkokkan pada potongan perut larva,
maka proses ganti kulit tidak akan terjadi. Peristiwa sebaliknya terjadi apabila
pada potongan tersebut juga dicangkokkan kelenjar protoraks (Surjono, 2001).
Peranan otak dan kelenjar protoraks sebagai agen penyebab proses ganti
kulit juga dapat dipelajari pada serangga-serangga yang mengalami proses ganti
kulit tanpa dipengaruhi oleh faktor luar. Apabila otak dibuang dari seekor ulat
sebelum waktu yang diperkirakan akan terjadinya proses ganti kulit atau
membentuk pupa. Pencangkokan otak dari ulat yang lain mengembalikan
kemampuan ulat yang sudah tanpa otak tersebut unuk menyelesaikan proses
perkembangannya. Seklai kelenjar protoraks telah mengalami aktivasi, otak tidak
lagi diperlukan untuk memulai terjadiinya proses ganti kulir. Dengan demikian
hanya hormon dari kelenjar protoraks yang sangat berperan dalam proses ganti
kulit. Apabila seekor ulat yang telah mencapai stadium akhir masa larva diisolasi
bagian posterior otaknya maka bagian tubuh yang akan berkembang menjadi pupa
hanyalah bagian anterior sedangkan bagian posterior yang tidak dapat dijangkau
oleh hormon ganti kulit tetap dalam kondisis larva. Beberapa saat kemudian
apabila hormon tersebut telah tersebar ke seluruh tubuh, maka pemisahan
18
transversal ini tidak dapat mencegah proses terjadinya pupa dari bagian proses
ulat tersebut (Surjono, 2001).
Hormon-hormon yang dihasilkan oleh sel-sel neurosekrotis protoserebrum
dan kelenjar-kelenjar protoraks menginduksi serangga untuk ganti kulit, tetapi
hormon-hormon ini tidak, dapat mendeterminasi apakah serangga itu akan menjad
larva pupa ganti kulit, mengubah larva menjadi pupa atau imago ganti kulit atau
berubah menjadi imago saja. Kelenjar endokrin ketiga adalah korpora alata yang
mengontrol terjadinya perubahan pada setiap kali prosses ganti kulit. Sel-sel
neurosekrotis protoserebrum dan kelenjar protoraks apabila beraksi sendiri dapat
menyebabkan terjadinya ganti kulit, yaitu terjadinya pupa pada kelompok yang
termasuk serangga holometaboola (Surjono, 2001)..
Gambar: metamorfosis dini yang terjadi pada ngengat ulat sutra yang
disebabkan oleh penghilangan korpora alata selama masa instar III
Rasanya tidak mungkin kita dapat menghilangkan korpora alata pada ulat
kaper. Secara umum pada setiap stadium dimana operasi dilakukan, ulat akan
segera berubah menjadi pupa pada proses ganti kulitberikutnya. Kadang-kadang
seekor kaper akan keluar dari pupa, meskipun ukurannya haya setengah dari
ukuran normal. Dengan demikian korpora alata diperlukan oleh serangga untuk
mencegah serangga mengalami metamorfosis dan menahan serangga agar tetap
19
pada stadium larva. Oleh karena itu, sekret dari korpora alata disebut hormon
juvenl. Sel-sel korpora alata menunjukkan tanda-tanda adanya sel kelenjar (sel-
selnya membengkak, kenampakan dan dan pelepasan vakuola, dll).pada setiap
ganti kulit pada stadium larva sampai mencapai akhir stadium larva. Aktivitas ini
tidak lagi tampak apabila serangga sudah mencapai ganti kulit menjadi pupa atau
imago. Kenyataannya, setiap kali terjadi proses ganti kulit, korpora alata tidak
bersekresi atau tampak kurang aktif dibandingkan pada keadaan sebelumnya. Hal
ini membuktikan ketidak hadiran hormon juvenil atau ada dalam kosentrasi
sangat rendah sehingga protoserebrum dapat melaksanakan protosikotropik yang
memicu terjadinya metamorfosis. Pembuktian dilakukan dengan cara
mencangkokkan korpora alata dari seekor larva muda kepada larva stadium akhir
yang seharusnya sudah mengalami metamorfosis pada proses ganti kulit,
berikutnya, larva tersebut tetap mengalami proses ganti kulit, tetapi dibawah
pengaruh hormon juvenil yang disekresikan oleh kelenjar yang dicangkokkan ,
maka serangga itu tidak diubah menjadi bentuk imago (hal ini terjadi pada
serangga hemimetabola) atau meghasilkan larva yang besarnya abnormal
(Surjono, 2001).
Gambar: A Nimfa normal stadium V (terakhir) Rhodnius, B. Rhodnius
dewasa normal, C. Nimfa raksasa stadium VI yang dihasilkan dari pencangkokan
korpora alata dari nimfa stadium IV ke dalam rongga perut nimfa stadium V.
Pada serangga yang bentuknya holometabola, keadaanyang terjadi jauh
lebih kompleks karena terjadi dua kali, proses ganti kulit dengan prubahan
20
morfologis yaitu gati kulit menjadi pupa dan ganti kulit menjadi imago.
Penghilangan korpora alata dari ulat akan menyebabkan ulat berubah menjadi
pupa. Beberapa percobaan mengindikasikan bahwa sebagian dari peristiwa
transformasi bentuk ini berkaitan dengan menurunnya kadar hormon juvenil di
dalam darah dari hewan yang bersangkutan. Settellah penghancuran kelenjar.
Hormon juvenil masih tersisa dalam kadar yang rendah di dalam peredaran darah
dan tetap digunakan hingga waktu terjadinya proses ganti kulit kedua (Surjono,
2001).
C. Faktor-Faktor yang mengontrol terjadinya proses Molting dan
Metamorfosis pada Serangga
Ketika proses molting atau metamorphosis terjadi, tidak hanya seluruh
bagian tubuh dari serangga itu yang bereaksi bersama-sama, melainkan juga
bagian-bagian yang dicangkokkan kepadanya melalui hal yang sama. “Imaginal
disc” dan bagian-bagian lain dari tubuh yang dicangkokkan diantara hewan-
hewan pada medium yang berbeda, akan mengalami proses ganti kulit dan
metamorphosis secara bersamaan dengan semua bagian dari hewan yang sedang
mengalaminya (Surjono, 2001).
Sebuah percobaan yang sangat menarik telah dilakukan pada
perkembangan kaper Ephestia kubneilla, yaitu dengan transplantasi dalam rongga
tubuh individu lain. pinggiran dari tiap-tiap potongan kulit yang dicangkokkan
menggulung seperti akan membentuk kista dengan permukaan kulit yang beraasal
dari posisi distal melengkung ke dalam. Permukaan proksimal dari epidermis
dibasahi oleh cairan tubuh semangnya dan juga oleh hormon yang terkandung
didalam cairan tubuh semang tersebut (Surjono, 2001).
Setiap kali serangga semang mengalami proses ganti kulit, maka
potongan-potongan kulit ini juga mengalami proses yang sama, terjadi pergantian
kutikula, kutikula yang lama dilepaskan dan dimasukkan dalam rongga kista.
Selain proses molting yang sama antara semang dan transplan, keadaan alami
21
kutikula yang baru dibentuk juga mengalami proses yang sama antara semang dan
transplan (Surjono, 2001).
Apabila suatu proses molting larva terjadi, maka kista epidermis
menghasilkan suatu kutikula yang tipis. Apabila semang menjadi pupa, kista
epidermis ini juga akan menghasilkan kutikula yang tebal. Apabila semang
bermetamorfosis menjadi hewan dewasa, kista epidermis akan membentuk suatu
imaginal kutikula dengan sisik-sisik (Surjono, 2001).
Pengaruh hormon terhadap perkembangan kulit. Pergantian kulit yang terjadi di dalam
kista epidermis yang dicangkokkan dan dipengaruhi oleh hormon yang disirkulasi di
dalam tubuh semang (Sumber: Surjono, 2001).
Meskipun telah mencapai stadium untuk memproduksi kutikula dari
hewan dewasa, epidermis tetap tidak kehilangan kapasitasnya untuk berganti
kulit, ini membuktikan bahwa ekdison (hormon penyebab terjadinya molting) dan
juvenile terdapat di dalam larutan yang mengitarinya (Surjono, 2001).
Metamorfosis adalah suatu proses perubahan yang reversible, dalam hal
ini minimal pada epidermis kulit dan kondisi alami diferensiasi yang dihasilkan
oleh proses selanjutnya secara terpisah, tergantung pada keseimbangan hormon-
hormon yang terdapat dalam darah. Kebalikan metamorphosis, meskipun hanya
sebagian, dapat terjadi dalam kondisi eksperimental. Pada keadaaan normal, dari
seekor serangga, metamorfosis menjadi pertanda berakhirnya masa pertumbuhan
22
dan perkembangan (kecuali perkembangan gonad yang masih akan berlanjut
sampai masa dewasa penuh) (Surjono, 2001).
Terjadinya penghentian pertumbuhan dikarenakan terjadinya degenerasi
kelenjar protoraks dan mengalami kerusakan setelah menyebabkan proses ganti
kulit yang terakhir. Dengan hilangnya kelenjar protoraks, maka tidak ada lagi
faktor-faktor lain yang dapat menghidupkan kembali proses morfogenesis dari
epidermis dan tidak ada lagi proses ganti kulit (Surjono, 2001).
Hormon juvenile memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
pertumbuhan. Pada imago, setelah metamorphosis, korpora alata melanjutkan
aktivitas sekresinya dan sekresi ini sangat diperlukan untuk pertumbuhan ovarium
dan sel-sel telur. Pada vertebrata, struktur kimia dari agen yang disekresikan oleh
kelenjar-kelenjar endokrin dapat dibuktikan dengan membuat ekstraksi bahan
aktif dari kelenjar-kelenjar.
Stuktur kimia hormon juvenile, ekdison dan ekdisteron (Gilbert dalam Surjono, 2001).
D. Mekanisme Aksi Hormon-Hormon Metamorfosis Serangga
Kelenjar ludah dari beberapa jenis serangga yang termasuk ordo Diptera
terdapat beberapa sel yang tumbuh menjadi relative besar ukurannya, dan
kromosom sel-sel tersebut juga menjadi lebih besar bahkan dapat diamati
meskipun sel-sel tersebut juga menjadi lebih besar bahkan dapat diamati
23
meskipun sel-sel itu tidak sedang mempersiapkan dan untuk melakukan mitosis.
Kromosom raksasa pada beberapa sel ini adalah hasil duplikasi ADN yang
berulang-ulang dan dengan demikian ratusan molekul ADN terletak berselisihan
satu dengan yang lain. Terdapat penebalan pada kromosom raksasa tersebut, yang
disebut cincin Balbiani dan uga disebut sebagai “puff” (Surjono, 2001).
Suatu “puff” sebenarnya adalah bagian dari kromosom dimana sejumlah
pita ADN yang menyusun kromosom raksasa tersebut, terpisash satu dengan yang
lain dan membentuk lilitan (loop), melebar kea rah luar dari posisi normal dalam
kromosom. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pembentukan “puff”
selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi pada stadium
dari serangga tersebut. Stadium metamorphosis ditandai oleh pola spesifik dari
pembentukan “puff” yang dapat dipelajari dengan baik apabila struktur kromosom
raksasa secraa rinci dari satu spesies dapat dibuat (Surjono, 2001).
Kemungkinan besar ekspresi, gen-gen yang terdapat di kromosom pasti
berhubungan dengan proses terjadinya transformasi bentuk dan organisasi pada
binatang tersebut. Hormon berperan mempengaruhi gen-gen yang terdapat di
dalam kromosom dan mengubah aktivitasnya sehingga menyebabkan terjadinya
perubahan tingkah laku dari sel-sel dan jaringan (Surjono, 2001).
Bukti-bukti telah diketemukan bahwa lokus yang berbeda pada kromosom
tidak melakukan reaksi yang sama terhadap hormon ekdison. Terdapat satu atau
dua lokus yang membentuk “puff” segera setelah dilakukan injeksi ekdison.
Lokus-lokus yang lain dimana “puff” mungkin mengalami perbesaran pada tahap
berikutnya, diperkirakan sanga tergantung pada aksi dari gen-gen yang diaktivasi
pada sat permulaan. Sampai kondisi ini tampak bahwa aksi ekdison terdiri dari
aktivasi satu atau dua gen (tampakya hanya satu) dan ini kemudian memulai
reaksi berantai yang melibatkan aktivitas gen-gen lain yang berakhir pada proses
ganti kulit dari metamorphosis (Surjono, 2001).
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Metamorfosis pada Amphibi diawali dari stadium larva, selnjutnya untuk
menjadi dewasa larva mengalami metamorphosis dengan urut-urutan kejadian
dan melibatkan hormon- hormon tetentu.
Metamorphosis pada serangga bersifat spesifik karena melibatkan pergantian
kulit. Metamorfoosis yang melibatkan stadium pupa disebut metamorphosis
lengkap dan serangga yang memiliki stadium itu disebut holometabola.
Sementara serangga yang tidak melalui stadium pupa mengalami
metamorfosis tidak lengkap disebut hemimetabola. Hormon yang berperan
dalam metamorphosis adalah ekdison, ekdisteron dan juvenile.
3.2 Saran
Pada makalah ini masih sedikit sekali sumber yang digunakan, untuk dapat
memahami materi lebih lanjut diperlukan literature-literatur lain yang lebih
mendukung dan dapat melengkapi penjelasan yang ada.
25
DAFTAR PUSTAKA
Surjono, Tien Wiati. 2001. Perkembangan Hewan. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka
Starr, Cecie, Evers, Christine A. dan Starr, Lisa. 2011. Biology Concept and
Application 8th Edition. USA: Cengage Lerning, Inc
26