metamorfosis

40
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada bagian sebelumnya telah dipelajari perkembangan embrio mulai dari fertilisasi sel telur, proses perbanyakan sel melalui pembelahan dan organisasi menjadi badan embrio primitif, kemudian diteruskan sampai proses pembentukan organ-organ tubuh yang merupakan turunan- turunan dari tiga lapisan lembaga yang dikenal sebagai organogenesis. Pada saat ini ada kelompok hewan yang mengalami pertumbuhan langsung dan hewan yang mengalami pertumbuhan tidak langsung. Pada hewan yang mengalami pertumbuhan yang langsung, maka hasil dari proses organogenesis ini adalah individu yang sudah menyerupai bentuk dari induknya, meskipun dalam proporsi yang berbeda. Dari bentuk individu muda ini menjadi bentuk dewasa pada kebanyakan hewan yang mengalami pertumbuhan langsung hanya terjadi pertumbuhan pesat tanpa perubahan bentuk yang berarti. Pada kelompok hewan yang mengalami pertumbuhan tidak langsung, hasil dari organogenesis ini adalah sautu individu yang dikenal sebagai larva (Surjono, 2001). Larva ini umumnya bergerak bebas, hidup bebas dari induknya, mampu mencari makan sendiri dan bentuknya 1

Upload: gentongcantik

Post on 08-Dec-2014

371 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: METAMORFOSIS

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada bagian sebelumnya telah dipelajari perkembangan embrio mulai dari

fertilisasi sel telur, proses perbanyakan sel melalui pembelahan dan organisasi

menjadi badan embrio primitif, kemudian diteruskan sampai proses pembentukan

organ-organ tubuh yang merupakan turunan-turunan dari tiga lapisan lembaga yang

dikenal sebagai organogenesis. Pada saat ini ada kelompok hewan yang mengalami

pertumbuhan langsung dan hewan yang mengalami pertumbuhan tidak langsung.

Pada hewan yang mengalami pertumbuhan yang langsung, maka hasil dari proses

organogenesis ini adalah individu yang sudah menyerupai bentuk dari induknya,

meskipun dalam proporsi yang berbeda. Dari bentuk individu muda ini menjadi

bentuk dewasa pada kebanyakan hewan yang mengalami pertumbuhan langsung

hanya terjadi pertumbuhan pesat tanpa perubahan bentuk yang berarti. Pada

kelompok hewan yang mengalami pertumbuhan tidak langsung, hasil dari

organogenesis ini adalah sautu individu yang dikenal sebagai larva (Surjono, 2001).

Larva ini umumnya bergerak bebas, hidup bebas dari induknya, mampu

mencari makan sendiri dan bentuknya berbeda dengan bentuk dewasanya. Dari

bentuk larva menjadi bentuk dewasa harus terjadi perubahan bentuk yang sangat

drastis yang dikenal sebagai metamorfosis. Contohnya pada katak dan kupu-kupu.

Meskipun demikian, dalam dunia hewan yang besar masih banyak macam dan jenis

metamorfosis yang terjadi. Sudah barang tentu proses alami metamorfosis dan

penyebab terjadinya proses tersebut pada masing-masing jenis hewan berbeda.

Misalnya saja pada larva insekta disebut nymf dan pada katak disebut berudu katak.

1

Page 2: METAMORFOSIS

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses metamorfosis pada amphibia?

2. Bagaiaman proses metamofosis pada serangga?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui proses terjadinya metamorfosis pada amphibia.

2. Untuk mengetahui proses terjadinya metamorfosis pada serangga.

2

Page 3: METAMORFOSIS

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Metamorfosis pada Katak

1. Perubahan Organisasi selama Proses Metamorfosis

Pada amphibia, metamorfosis selalu dikaitkan antara larva dengan

perubahan lingkungan hidupnya, yaitu dari lingkungan perairan (akuatik)menjadi

individu yang dapat hidup di darat. Sejalan dengan perubahan ini pada suku anura

(katak dan kodok) juga terjadi perubahan jenis makanan. Berudu katak dan kodok

memakan materi tumbuhan yang ada di perairan (hancuran tumbuhan, baik yang

masih hidup ataupun yang telah mati dan fitoplankton) dengan bantuan gigi-gigi

tanduk yang tumbuh disekitar mulut. Beberapa bahkan memakan bahan organik

sisa hancuran yang ada di dasar perairan. Pada urodela, perubahan jenis makanan

ini tidak terjadi karena larva urodela memang sudah karnivora dengan memakan

hewan yang lebih kecil, terutama cacing dan crustacea (Surjono, 2001).

Perubahan pola organisasi hewan selama proses metamorfosis ada yang

berjalan secara progresif dan ada pula yang regresif, oleh karena itu digolongkan

menjadi tiga kelompok:

1. Struktur atau organ yang diperlukan selama masa larva tetap terdapat organ

lain yang memiliki struktur atau fungsi sama pada hewan dewasa mungkin

hilang semua.

2. Beberapa organ tumbuh dan berkembang selama dan setelah proses

metamorfosis

3. Organ-organ yang ada dan berfungsi selama masa sebelum dan setalah

metamorfosis mengalami perubahan sesuai model dan kebutuhan hidup dari

individu dewasanya (Surjono, 2001).

3

Page 4: METAMORFOSIS

Gambar 1. Proses metamorfosis pada Katak

Proses regresif selama metmorfosis berudu katak adalah sebagai berikut:

ekor yang panjang dan semua strukturnya mengalami resorpsi sampai habis.

Insang luar juga mengalami resorpsi, penutup insang akan menutup dan rongga

peribrankia juga menghilang. Gigi-gigi tanduk yang ada disekitar mulut akan

mengalami penataan kembali menjadi gigi-gigi yang terletak pada permukaan

rahang, sementara bentuk mulutnya mengalami perubahan. Bumbung kloaka

mengalami pemendekan dan reduksi. Bebapa pembuluh darah juga mengalami

reduksi, termasuk bagian-bagian dari arkus aortikus (Surjono, 2001).

Proses pembentukan organ baru selama metamorfosis adalah

perkembangan kaki-kaki yang sangat progresif terutama pada penambahan

ukuran dan perubahan bentuk. Kaki depan yang tumbuh di dalam selaput

operkulum, memecah dan tumbuh keluar. Telinga tengah berkembang dan

berhubungan dengan celah faring pertama. Membran timpani tumbuh dengan baik

disokong oleh rawan timpani. Mata terdesak ke arah dorsal kepala dan kelopak

mata tumbuh. Lidahnya tumbuh dengan baik dari dasar mulut. Organ-organ yang

tetap berfungsi sebelum dan sesudah masa larva adalah kulit dan saluran

penceranaan. Kulit berudu ditutupi oleh dua lapis epidermis. Selama proses

metamorfosis, jumlah lapisan epidermis meningkat sehingga terjadi penebalan

4

Page 5: METAMORFOSIS

dan pada permukaannya akan mengalami penandukan. Kelenjar-kelenjar mukosa

dan serosa akan tumbuh pada epidermis dan kemudian tenggelam sampai jaringan

ikat pada lapisan dermis. Organ-organ sensori yang terdapat sepanjang alteral

tubuh pada masa larva akan hilang selama proses metamorfosis. Warna pigmen

kulit juga mengalami perubahan, baik pola maupun warnanya. Saluran

pencernaan yang sebelumnya sangat panjang dan melingkar-lingkar pada saat

larva, seperti dijumpai pada kebanyakan herbivora, mengalami pemendekan ke

depan dan menjadi relativ lurus pada hewan dewasa. Proses-proses ini terjadi

dengan sangat cepat dan hanya memerlukan waktu beberapa hari saja (Surjono,

2001).

Perubahan struktur selama proses metamorfosis pada urodela tidaklah

sedramatis pada katak. Ekornya masih tetap ada, hanya lipatan-lipatan sirip

ekornya yang menghilang. Insang luarnya mengalami resorpsi dan celah insang

akan menutup. Tulang-tulang viseral mengalami pengecilan. Kepalanya berubah

bentuk, menjadi lebih lonjong. Perubahan-perubahan progresif yang terjadi jauh

lebih kecil dibandingkan metamorfosis pada berudu katak. Perubahan-perubahan

itu terutama terjadi pada perubahan struktur kulit dan mata. Kedua mata bergeser

letaknya dan lebih ke arah dorsal kepala dan lipatan penutup mata tumbuh. Kulit

mengalami penandukan dan banyak kelenjar kulit yang tumbuh. Pigmentasi kulit

mengalami perubahan. Bentuk kaki dan saluran pencernaan tampaknya tidak

mengalami perubahan. Proses metamorfosis pada urodela ini terjadi selama

beberapa minggu (Surjono, 2001).

Pertumbuhan paru-paru pada urodela dan anura tidak sedrastis

metamorfosis itu sendiri. Paru-paru pada kedua kelompok hewan ini telah tumbuh

dan berfungsi secara secara pasti sejak masa larva. Sebelumnya telah dijelaskan

bahwa sebelum masa metamorfosis, berudu katak dan larva salamander sudah

harus sering muncul ke permukaan air untuk mengambil udara bebas guna

membantu pernafasan insang mereka. Hal ini mungkin sangat penting artinya bagi

katak yang hidup diperairan yang cepat kering atau tingkat pencernaan air

5

Page 6: METAMORFOSIS

meningkatkan, sehingga mereka tetap dapat melewati masa larva dengan aman

(Surjono, 2001).

Sejalan dengan proses metamorfosis yang tampak pada perubahan bentuk

dan struktur morfologis, pada katak juga terjadi perubahan fisiologis. Fungsi

endokrim pankreas katak mulai terjadi selama proses metamorfosis yang

berkaitan dengan perubahan/peningkatan fungsi hati dalam mengubah glukosa

menjadi glikogen. Perubahan lain yang sangat penting adalah pada sistem

ekskresi. Pada berudu produksi ekskresi berupa amoniak dapat dengan mudah

dibuang kelingkungan tubuh (air) melalui proses difusi dari tubuh. Tetapi pada

hewan dewasa hal ini tidak mudah dilakukan. Sementara itu, deposit amoniak di

dalam tubuh yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya keracunan. Seekor

katak mengekskresikan urea dan sedikit sekali dalam bentuk amoniak. Perubahan

ini terjadi pada masa akhir metemorfosis yaitu ketika hati mengalami perubahan

fungsi dan membantuk sintesis urea dan amoniak yang dihasilkan (Surjono,

2001).

Proses reduksi insang dan ekor berudu dipengaruhi oleh autolisis dari

kompone-komponen jaringan organ tersebut, dibantu oleh sel-sel makrofag yang

memakan sisa-sisa sel yang mengalami kematian. Mekanisme yang serupa juga

ditemukan pada terjadinya reduksi lipatan-lipatan ekor dan insang pada urodela

(Surjono, 2001).

Selama proses metamorfosis berudu katak, proses penghancuran beberapa

organ tubuh terjadi sangat nyata, perubahan-perubahan pada sistem penceranaan

makanan mungkin akan mengganggu pola konsumsi berudu tersebut, maka katak

yang beru saja selesai mengalami metamorfosis umumnya berukuran lebih kecil

dibandingkan bentuk dan ukuran berudu sendiri. Pernyusutan tidak hanya terjadi

pada berat individu sebelum dan sesudah metamorfosis, tetapi juga pada ukuran

kepala dan badan dari individu tersebut (Surjono, 2001).

6

Page 7: METAMORFOSIS

2. Penyebab terjadinya Metamorfosis pada Amfibi

Penyebab metamorphosis salah satunya adalah terjadinya pelepasan

hormone dalam jumlah besar dari kelenjar tiroid pada hewan yang sedang

memasuki masa metamorphosis. Hormone tiroid sebagai pemicu terjadinya

metamorphosis diketahui setelah dilakukannya beberapa penelitian, diantaranya

adalah apabila kelenjar tiroid diambil dari seekor berudu dengan cara operasi,

maka berudu yang tidak memiliki kelenjar tiroid ini tidak mengalami

metamorphosis ketika dipelihara lebih dari setahun, berudu tanpa kelenjar tiroid

ini terus tumbuh besar. Percobaan ini membuktikan bahwa metamorphosis tidak

dapat terjadi tanpa stimulus dari hormone yang dihasilkan kelenjar tiroid. Dari

percobaan lain diketahui pula bahwa memelihara berudu dengan diberi makana-

makanan yang mengandung dari hormone dari kelenjar tiroid atau memelihara

berudu di dalam larutan yang mengandung hormone tiroid , berudu dengan diberi

perlakuan seperti itu akan cepat mengalami metamorphosis selain itu juga

membuktikan bahwa kelenjar tiroid hewan itu sendiri bukanlah satu-satunya

sumber pemicu terjadinya metamorphosis selain itu ada yang dipengaruhi

lingkungan juga (Surjono, 2001).

Selain dipicu oleh kelenjar tiroid, larutan garam tiroglobulin juga dapat

memicu terjadinya metamorphosis. Larutan ini berasal dari merendam kelenjar

tiroid di dalam larutan garam fisiologi. Hal ini akan mengakibatkan hormone

dalam kelenjar tiroid akan terlarut ke dalam garam fisiologi tersebut. Hormone

yang terlarut ini berupa protein tiroglobulin. Karakter khas tiroglobulin adalah

mengandung gugus yodium atau iodine yang merupakan bagian penting dari

hormone tiroid. Tiroglobulin ini mempercepat metamorphosis karena tiroglobulin

memiliki berat molekul sekitar 675.000 Dalton, merupakan sebuah molekul yang

besar dan dapat menembus dinding-dinding sel dalam proses meninggalkan

kelenjar tiroid menuju sel-sel target. Komponen- komponen yodium ini nantinya

dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang merupakan gabungan dari

komponen-komponen asam amino tirosin dengan gugs iodine. Dua komponen

7

Page 8: METAMORFOSIS

yang terpenting adalah tri-iodotironin dan tiroksin.tiroksin dihasilkan lebih

banyak dari pada tri-iodotironin tetapi tri iodotironin terlihat lebih aktif dengan

jaringan (Surjono, 2001).

Dari penelitian diketahui bahwa iodine juga dapat memperdepat terjadinya

metamorphosis hal ini dapat dilakukan dengan cara menginjeksi menginjeksikan

larutan iodine ke dalam tubuh berudu atau dengan cara menanamkan Kristal

yodium pada tubuh berudu. Dari penelitian ini diketahui bahwa yodium dapat

menstimulus terjadinya metamorphosis pada axolotl yang telah diambil kelenjar

tiroidnya. Dari penelitian juga diketahui bahwa tri-iodotironin memiliki aktivitas

untuk menstimulus metamorphosis 3-5 kali lebih tinggi dari pada tiroksin

(Surjono, 2001).

Kelenjar lain yagn juga memicu untuk terjadinya metamorphosis adalah

kelenjar hipofisis. Hal ini diketahui dari percobaan apabila kelenjar hipofisis dari

seekor berudu di hancurkan maka berudu tersebut tidak dapat melakukan

metamorphosis. Tetapi hipofisis tidak berperan langsung pada proses

metamorphosis melainkan melalui stimulus pada kelenjar tiroid. Agenesia yang

diperlukan untuk mengaktifkan kelenjar tiroiddihasilkan pada lobus anterior

hipofisis disebut hormone tirotropik. Pada larva amfibi. Hipofisis tidak

memproduksi hormone tirotropik sampai saat normal untuk terjadinya prose

metamorphosis. Hipofisi berudu menghasilkan hormone lain yang bekerja secara

antagonis untuk dengan hormone tiroksin selama maa berudu. Hormone ini

mencegah terjadinya metamorphosis (Surjono, 2001).

Dari hal diatas dapat disimpukan bahwa metamorphosis dimulai apabila

bagian anterior hipofisis menghasilakn hormone tirotropik sampai kadar tertentu

sehingga dapat menstimulus kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormone-

hormonnya terutama tiroksin. Konsenterasi hormone tiroksin yang tinggi akan

menutupi aktivitas yang bekerja secara antagonis yaitu hormone yang mirip

prolaktin dan mempengaruhi jaringan secara langsung. Hal ini mengakibatkan

8

Page 9: METAMORFOSIS

terjadinya degenerasi dan nekrosi (kematian sel) sel-sel target dan juga memicu

terjadinya deferensiasi dan pertumbuhan sel-sel lain (Surjono, 2001).

3. Reaksi Jaringan Tubuh Anfibia Terhadap Proses Metamorfosis

Penyebab utama terjadinya proses metamorfosis itu adalah hadirnya

hormon – hormon kelenjar tiroit. Misalnya bagaimana hanya sel – sel tertentu

(insang dan ekor saja) yang mengalami degenerasi sedangkan bakal kaki depan

dan belakang malah tumbuh, suatu sistem yang bekerja secara antagonis. Pada

percobaan kali ini apabila semua sebagian dari ekor berudu di cangkokkan pada

tubuh berudu yang lain dan berudu itu mengalami resorpsi. Sebaliknya apabila

satu mata berudu dicangkokkan pada ekor berudu yang siap bermetamorfosis,

apabila satu mata pada ekor itu tidak akan ikut diresorpsi setelah masa

metamorfosis terjadi. Ketika ekor mengalami pemendekan , maka mata pada ekor

itu akan terbawa mendekat dan tetap hidup pada bagian sakral katak tersebut.

Percobaan tersebut menunjukkan bahwa karakter reaksi jaringan terhadap

stimulus dari kelenjar tiroid tidak tergantung pada tempat tetapi pada keadaan

alami dari organ itu sendiri (Surjono, 2001).

Pada bagian tubuh yang berbeda bereaksi tidak saat terhadap dosis

hormon kelenjar tiroid. Bila hormon tiroid diberikan pada berudu dengan dosis

yang sangat renda, maka dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan kaki

belakang dan pemendekan saluran pencernaan. Pemberian dosis yang lebih tinggi

dapat memicu munculnya kaki depan. Dosis yang lebih besar diperlukan kelipatan

dosis yang berbeda pula. Bagian ujung ekor tampak lebih relatif di bandingkan

pangkal ekor. Secara umum tampak sensitivitas terhadap hormon – hormon

kelenjar tiroid direfleksikan oleh bagian – bagian tubuh yang dipengaruhinya

selama perkembangan normal. Bagian yang memiliki sensitivitas tinggi (kadar

hormon rendah, misalnya pertumbuhan kaki) merespon lebih dahulu

dibandingkan dengan bagian – bagian tubuh yang memiliki sensitivitas rendah

(memerlukan konsentrasi hormon tinggi, misalnya reduksi ekor) (Surjono, 2001).

9

Page 10: METAMORFOSIS

4. Proses – Proses Induksi selama Metamorfosis Amfibia

Meskipun secara umum tampak bahwa proses metamorfosis adalah reaksi

langsung terhadap hormon kelenjar tiroid yang mencapai jaringan yang

bersangkutan. Kulit yang menutup ekor barudu seharusnya ikut mengalami

nekrosis selama proses metamorfosis, tetapi kenyataannya tidak mengalami

nikrosis apabila kulit ekor itu di cangkokkan pada tubuh tanpa sel – sel otot ekor

yang ada di bawahnya. Apabila pada kulit ekor itu masih terdapat sel – sel otot

ekor yang ikut dicangkokkan ke bagian tubuh manapun, maka kulit itu akan tetap

mengalami nekrosis, hal ini membuktikan bahwa hormon kelenjar tiroid itu hanya

mempunyai efek langsung kepada jaringan otot apabila kulit yang melingkupinya

ikut menalami resorpsi itu adalah akibat sekunder (Surjono, 2001).

Sebuah kejadian yang lebih kompleks pada proses ini adalah terbentuknya

membran timpani pada katak. Telinga yang berupa rongga berhubungan dengan

rongga mulut melalui saluran eustakhius merupakan salah satu struktur yang

tumbuh secara progresif selama proses metamorfosis. Diferensiasi membran

timpani terjadi menjelang berakhirnya masa metamorfosis. Di mulai dengan

terbentuknya rawan yang membentuk cincin (rawan timpani) yang berkembang

sebgai penonjolandari rawan kuadrat. Kulit yang kemudian tumbuh menjadi

membran timpani semula, tampak tidak berbeda dengan kulit yang ada di sekitar.

Selama masa metamorfosis, jaringan ikat di daearah yang akan menjadi membran

timpani mengalami reorginisasi. Lapisan serabut terpeca karana aktifitas sel – sel

fagositas dan sebuah lapisan jaringan ikat baru yang lebih tipis kemidian di

bangun di tempat ini. Pada membran timpani yang sudah sempurna, ketebalan

kulitnya akan menjadi kurang dari setengah ketebalan kulit normal, tetapi lebih

kompak dan berbeda pigmentasinya (Surjono, 2001).

Oleh karena itu di ketahui bahwa diferensiasi membran timpani bukanlah

sebagai akibat langsung dari hormon kelenjar tiroid tetapi di induksikan oleh

rawan timpani. Apabila rawan timpani dihilangkan sebelum masa metamorfosis,

10

Page 11: METAMORFOSIS

maka membran timpani tidak akan berkembang. Apabila daerah ditutupi oleh

kulit yang bersal dari bagian tubuh yang lain, maka membran timpani akan tetap

berkembang. Sebaliknya apabila rawan timpani dicangkokkan di bawah kulit

pada bagian tubuh mana saja sebelum berudu mengalami metamorfosis, maka

kulit diatas rawan timpani itu akan mengalami diferensiasi menjadi membran

timpani (Surjono, 2001).

2.2 Metamorfosis pada Serangga

A. Ganti Kulit (Molting) dan Hubungannya dengan Metamorfosis pada

Serangga

Metamorphosis pada serangga bersifat spesifik karena melibatkan

pergantian kulit. Pergantian kulit dialami hewan yang kulitnya terbuat dari bahan

kutikula, karena kulit tidak bisa bertambah besar ketika hewan tumbuh besar,

sehingga diperlukan proses ganti kulit (molting) (Surjono, 2001).

Sebagian besar permukaan kulit serangga mengalami penebalan kutikula,

misalnya seluruh tubuh, rambut dan duri, sculpture dan pigmentasinya. Selama

molting bagian tersebut lepas terikut dengan kutikula yang dibuang. Ketika ganti

kulit dibentuk kutikula baru yang keras dan umumnya berukuran lebih besar.

Kutikula tersebut disekresikan oleh sel epidermis (Surjono, 2001).

Sel-sel epidermis pada lapisan terluar berdekatan dengan permukaan

dalam dari kutikula. Sebelum ganti kulit, sel epidermis mengalami aktivasi, yaitu

mengalami pemisahan sendiri dari kutikuladan mengalami fase penumbuhan dan

pembelahan. Pembelahan terjadi secara mitosis. Jumlah sel yang dihasilkan sesuai

dengan kebuthan. Sebagian sel-sel mengalami degenerasi melalui piknosis. Di

samping mengalami degenerasi, sel epidermis juga mengalami perubahan bentuk.

Beberapa sel mengalami perubahan bentuk menjadi lapisan epitel berbentuk

kolumnar. Permukaan epitel memberi bayangan bentuk serangga yang mengalami

molting. Pada bagian tubuh yang mengalami pembesaran epidermis tumbuh

sebagai lipatan-lipatan yang kemudian akan membuka saat serangga keluar dari

kulit lamanya (Surjono, 2001).

11

Page 12: METAMORFOSIS

Pada permukaan sel epidermis tersebut dihasilkan lapisan sekresi yang

kemudian mengeras dan diesebut epikutikula. Epikutikula terdiri dari substansi

lipoprotein alami yang disebut kutikulin. Suatu cairan yang dihasilkan kelenjar

khusus disekresikan di atas lapisan kutikula yang baru dan di bawah lapisan

kutikula lama. Cairan berisi enzim yang mendegradasi (menghancurkan) lapisan

kutikula lama sehingga tersisa sedikit lapisan yang tersisa. Cairan direabdsorpsi

kembali oleh tubuh serangga. Pada saat yang sama, epidermis menghasilkan

lapisan kutikula baru di bawah epikutikula, lapisan ini disebut eksokutikula.

Eksokutikula banyak berisi kutikulin dan substansi fenolik yang kemudian

mengoksidasi lapisan itu sehingga tampak berwarna lebih gelap. Kemudian

dibentuk lapisan endokutikula yang berisi kitin, yaitu polisakarida yang

mengandung nitrogen (Surjono, 2001).

Ketika lapisan kutikula lama menjadi tipis, maka pada bagian belakang

kepala dan tubuh akan terlepas dan serngga keluar dari kulit tuanya. Kutikula

baru, terbentuk dengan lengkap, maka kutikula mengalami pengerasan dan

pigmen warna-warni terbentuk daro precursornya. Lapisan endokutikula

dideposisikan pada permukaan dalam kutikula beberapa hari atau beberapa

minggu setelah proses ganti kulit selesai (Surjono, 2001).

Proses molting pada serangga melibatkan beberapa elemen dari

metamorphosis amfibia, yaitu destruksi (reabsorpsi dari kutikula lama, nekrosis

dari sebagian sel-sel epidermis) dan konstruksi (perubahan bentuk sel epitel

epidermis, pembentukan kutikula baru). Keadaan ini tergentung hasil ganti kulit.

Apabila kulit baru sama dan sebangun dengan kulit lama, maka proses ini menjadi

suatu mekanisme perkembangan yang progresif. Apabila sangat nyata berbeda,

maka hasilnya adalah metomorfosis (Surjono, 2001).

Pada Apterigota (serangga tanpa sayap) serangga muda yang menetas dari

telur sebenarnya bentuknya ssudah sama dengan dewasa, hanya berbeda

ukuran dan tingkat kematangan seksual. Ganti kulit pada serangga ini hanya

menyebabkan pertumbuhan ukuran tubuh dan pemasakan organ seksual tidak

12

Page 13: METAMORFOSIS

berkaitan dengan proses ganti kulit, bahkan ganti kulit tetap terjadi meskipun

serangga tersebut telah dewasa (Surjono, 2001).

Pada kelompok Pterigota (serangga bersayap atau tidak punya sayap

sekunder), terdapat stadium imago yang nyata, yang dicapai setelah

mengalami ganti kulit imago yang spesifik dan setelah itu serangga tidak

mengalami ganti kulit lagi. Stadium imago berbeda dengan larva karena

kehadiran sayap dan organ-organ genital eksternalnya sudah berkembang

dengan lengkap (gonadnya mungkin berfungsi sempurna hanya beberapa saat

setelah metamorphosis) (Surjono, 2001).

Pada serangga yang lebih primitive sayap mungkin tumbuh secara gradual

dari sayap rudiment. Sayap tersebut tumbuh dari badian dorsal segmen torax

kedua dan ketiga yang sudah tampak sejak stadium akhir larva atau disebut

stadium nympha. Sayap tersebut bertambah besar setiap serangga megalami

ganti kulit, tetapi pada proses ganti kulit terakhir ukuran sayap bertambah

dengan pesat dan fungsional. Hanya pada Ephemeroptera memiliki 2 pasang

sayap membraneus, terjadi pada stadium sayap pertama (subimago) kemudian

mengalami mo;ting hingga menjadi imago (Surjono, 2001).

Pada kelompok Exopterigota (kelompok serangga paling maju, termasuk

kecoa, capung dan belalang) sayap telah tumbuh secara internal sebagai

lipatan anggota gerak yang tumbuh selama stadium larva di dalam suatu

kantong pada epidermis. Epidermis yang menutup sayap rudimenter ini

membawa sifat embrionik sepanjang masa larva. Bagian epidermis tidak ikut

berperan dalam pada pembentukan kutikula eksternal dan baru ikut bereaksi

ketika fase larve berakhir. Reorganisasi terjadi selama masa istirahat

(kepmpong atau pupa) (Surjono, 2001).

Pada kelompok Endopterigota (termasuk kupu-kupu, lebeh, nyamuk dan lalat)

sayapnya tumbuh secara internal. Bagian rudimenter tersimpan di bawah

permukaan tubuh pada stadium larva dan mengalami diferensiasi penuh

menjadi imago disebut imarginal disc. Pada kelomopok Endopterigota

perbedaan antara medium larva dan dewasa sangat mencolok. Pada stadium

13

Page 14: METAMORFOSIS

larva mulut, antenna, kaki tumbuh, kaki anggota gerak tidak ada (Surjono,

2001).

Metamorfoosis yang melibatkan stadium pupa disebut metamorphosis

lengkap dan serangga yang memiliki stadium itu disebut holometabola.

Sementara serangga yang tidak melalui stadium pupa mengalami metamorfosis

tidak lengkap disebut hemimetabola.

Gambar metamorfosis lengkap (A) dan metmorfosis tidak lengkap (B)

(sumber: Starr et.al, 2011)

B. Penyebab terjadinya Molting dan Metamorfosis pada Serangga

Dalam proses pergantian kulit biasa (larval molt), seluruh bagian tubuh

harus terlibat dan menyelesaikannya dalam waktu yang bersamaan agar proses

ganti kulit menjadi sempurna. Ini memberikan gambaran bahwa satu penyebab

utama harus ada agar semua bagian tubuh serangga dapat terlibat. Pada beberapa

kasus yang terjadi secara alami, dapat dipelajari dengan mudah bahwa suatu

faktor eksternal diperlukan untuk terjadinya suatu pergantian kulit adalah pada

Rhodnius (kutu penghisap darah) dan pupa ngengat Platysamia cecropia. Pada

Rhodnius (kutu penghisap darah) adalah contoh dari hewan yang mempunyai

faktor eksternal berupa makanan yang masuk untuk terjadinya suatu pergantian

14

Page 15: METAMORFOSIS

kulit sehingga ia akan menghisap darah sebanyak-banyaknya pada interval dua

pergantian kulit sehingga ukuran tubuhnya mengembang menjadi besar beberapa

kali lipat. Pergantian kulit akan terjadi secara regular setiap 12-15 hari setelah

makan pertama (pada 4 stadium pertama larva) dan pada stadium larva terakhir

interval waktunya lebih lama kira-kira 28 hari dan hasilnya akan berbeda. Setelah

ganti kulit maka ia akan berubah dari larva menjadi imago yang bersayap. Pada

pupa ngengat Platysamia cecropia setelah membentuk pupa maka ia akan

memasuki tahap diapause. Tahap ini adalah tahap dimana serangga memasuki

masa diam dengan laju metabolisme yang tereduksi. Tahap ini akan terhenti

ketika diperlakukan pada suhu dingin (30-50 C). Pperbandingan temporer ini

merupakan proses vital bagi pupa dan sekembalinya pada lingkungan yang lebih

hangat pupa mengalami ganti kulit, dan saat itulah perkembangan terjadi dengan

lengkap dan serangga memasuki tahap imago (Surjono, 2001).

Pada kebanyakan serangga, jarang sekali ditemukan faktor eksternal yang

dapat menyebabkan terjadinya ganti kulit dan proses ganti kulit yang satu

mengikuti proses sebelumnya pada interval yang tampaknya ditentukan oleh

faktor internal. Pada kebanyakan serangga, berat badan meningkat sampai

mencapai proporsi yang pasti antara dua ganti kulit, sering ditentukan oleh satu

atau dua faktor dan akan tampak bahwa sejumlah sintesis harus dilakukan

sebelum stimulus stimulus untuk melakukan ganti kulit berikutnya dihasilkan di

dalam organisme tersebut. Pada kasus faktor eksternal memicu terjadinya proses

ganti kulit sekalipun, dapat diamati bahwa faktor luar itu tidak berpengaruh pada

tubuh secara langsung tetapi dikendalikan oleh otak. Apabila seekor larva

Rhodnius dipotong bagian lehernya (dekapitasi) setelah satu atau dua hari

menghisap darah maka proses ganti kulit tidak akan terjadi tetapi bila dekapitasi

dilakukan pada lima hari setelah menghisap darah maka ganti kulit akan terjadi.

Hal ini terjadi karena stimulus yang dikirimkan oleh otak telah melewati bagian

leher yang dipotong dan dapat menyebabkan seluruh tubuh dan menyebabkan

terjadinya pergantian kulit. Percobaan serupa juga dilakukan terhadap pupa

ngengat Platysamia cecropia yang telah diaktivasi pada suhu rendah dan

15

Page 16: METAMORFOSIS

kemudian dicangkokkan pada pupa yang tidak diberi perlakuan suhu dingin.

Pencangkokan otak dari pupa yang sudah diberi perlakuan suhu dingin akan

memberi stimulus kepada pupa yang tidak diberi perlakuan suhu dingin untuk

ganti kulit berikutnya dan imago akan keluar dari pupa. Kejadian tersebut tidak

akan terjadi jika yang dicangkokkan bukanlah otak. Hal itu menunjukkan bahwa

suhu dingin secara langsung mempengaruhi otak memberikan stimulus untuk

melakukan itu (Surjono, 2001).

Gambar: Percobaan pemotongan kepala dan akibatnya pada proses ganti kulit

dan metamorfosis pada larva Rhodnius (atas) dan pupa Ephestia kubnella (bawah).

Ganti kulit dan metamorfosis yang terjadi pada serangga dikontrol oleh

hormon-hormon yang disekresikan oleh tiga jenis organ, yaitu: otak

(protoserebrum), korpora alata, dan kelenjar protoraks. Di dalam otak sebuah

hormon protorasikotropik diproduksi oleh sel-sel neurosekretoris yang teratur

dalam empat kelompok. Dua kelompok dekat garis tengah dan dua kelompok

yang lain di masing-masing sisi. Di belakang protoserebrum, sepanjang aorta

16

Page 17: METAMORFOSIS

dorsal, terdapat dua pasang badan yang dihubungkan dengan protoserebrum oleh

serabut-serabut saraf yaitu korpora kardiaka. Badan tersebut adalah ganglion dari

korpora alata yang terdiri dari sel-sel sekretoris. Pada beberapa jenis serangga,

korpora alat mungkin bersatu dengan badan. Kelenjar protoraks yang merupakan

kumpulan sel-sel kelenjar yang membentuk percabangan tidak teratur dan terletak

di bagian dada berhubungan dekat dengan tabung trakea. Sel-sel dari ketiga

kelenjar ini menunjukkan adanya siklus sekresi yang teratur untuk setiap

terjadinya kulit. Ppergantian kulit dimulai dari sekresi kelenjar pada

protoserebrum yaitu hormon protorasikotropik yang berfungsi mengaktifkan

kelenjar protoraks. Kemudian kelenjar protoraks akan mensekresikan hormon

yang disebut ekdison. Ekdison merupakan prohormon yang harus diaktifkan

terlebih dahulu sebelun berfungsi. Pengubahan ini terjadi karena adanya oksidase

yang mengandung hemin yang terdapat di dalam mitokondria dari jaringan-

jaringan seperti lemak tubuh. Di sini ekdison diubah menjadi hormon ekdisteron

yang mempengaruhi terjadinya prooses ganti kulit pada epidermis, seperti:

pertumbuhan dan pembelaha sel-sel epidermis, pemisahan kutikula lama, dan

produksi kutikula yang baru.

Gambar: Diagram skematis yang menggambarkan mekanisme kontrol proses

ganti kulit dan metamorfosis pada ngengat tembakau.

17

Page 18: METAMORFOSIS

Salah satu variasi percobaan yang sama telah dilakukan untuk

membukikan bahwa sekresi sel-sel otak tidak berperan langsung tetapi melalui

aktivasi sel-sel kelenjar protoraks. Percobaan itu tidak mencangkokkan sel-sel

otak kepada satu pupa yang utuh, melainkan hanya kepada bagian posterior dari

seekor pupa yang dipotong di tengahnya dan dipisahkan dengan menggunakan

lilin. Dalam kondisi ini maka sel-sel otak yang dicangkokan tersebut tidak dapat

menstimulus terjadinya ganti kulit dan metamorfosis. Hal ini dikarenakan kelenjar

protoraks tidak terdapat pada bagian tubuh ini (Surjono, 2001).

Percobaan yang serupa juga dilakukan pada kepinding Rhodnius. Setelah

sel-sel nurosekretoris dari otaknya diaktivasi. Karena kepinding itu telah

menghisap darah, otak itu kemudian dicangkokkan pada badan seekor kepinding

lain yang telah didekapitasi. Larva kepinding ini tetap memiliki kelenjar protoraks

yang fungsional yang kemudian bereaksi dan proses ganti kulit ini masih tetap

terjadi. Tetapi apabila otak tersebut dicangkokkan pada potongan perut larva,

maka proses ganti kulit tidak akan terjadi. Peristiwa sebaliknya terjadi apabila

pada potongan tersebut juga dicangkokkan kelenjar protoraks (Surjono, 2001).

Peranan otak dan kelenjar protoraks sebagai agen penyebab proses ganti

kulit juga dapat dipelajari pada serangga-serangga yang mengalami proses ganti

kulit tanpa dipengaruhi oleh faktor luar. Apabila otak dibuang dari seekor ulat

sebelum waktu yang diperkirakan akan terjadinya proses ganti kulit atau

membentuk pupa. Pencangkokan otak dari ulat yang lain mengembalikan

kemampuan ulat yang sudah tanpa otak tersebut unuk menyelesaikan proses

perkembangannya. Seklai kelenjar protoraks telah mengalami aktivasi, otak tidak

lagi diperlukan untuk memulai terjadiinya proses ganti kulir. Dengan demikian

hanya hormon dari kelenjar protoraks yang sangat berperan dalam proses ganti

kulit. Apabila seekor ulat yang telah mencapai stadium akhir masa larva diisolasi

bagian posterior otaknya maka bagian tubuh yang akan berkembang menjadi pupa

hanyalah bagian anterior sedangkan bagian posterior yang tidak dapat dijangkau

oleh hormon ganti kulit tetap dalam kondisis larva. Beberapa saat kemudian

apabila hormon tersebut telah tersebar ke seluruh tubuh, maka pemisahan

18

Page 19: METAMORFOSIS

transversal ini tidak dapat mencegah proses terjadinya pupa dari bagian proses

ulat tersebut (Surjono, 2001).

Hormon-hormon yang dihasilkan oleh sel-sel neurosekrotis protoserebrum

dan kelenjar-kelenjar protoraks menginduksi serangga untuk ganti kulit, tetapi

hormon-hormon ini tidak, dapat mendeterminasi apakah serangga itu akan menjad

larva pupa ganti kulit, mengubah larva menjadi pupa atau imago ganti kulit atau

berubah menjadi imago saja. Kelenjar endokrin ketiga adalah korpora alata yang

mengontrol terjadinya perubahan pada setiap kali prosses ganti kulit. Sel-sel

neurosekrotis protoserebrum dan kelenjar protoraks apabila beraksi sendiri dapat

menyebabkan terjadinya ganti kulit, yaitu terjadinya pupa pada kelompok yang

termasuk serangga holometaboola (Surjono, 2001)..

Gambar: metamorfosis dini yang terjadi pada ngengat ulat sutra yang

disebabkan oleh penghilangan korpora alata selama masa instar III

Rasanya tidak mungkin kita dapat menghilangkan korpora alata pada ulat

kaper. Secara umum pada setiap stadium dimana operasi dilakukan, ulat akan

segera berubah menjadi pupa pada proses ganti kulitberikutnya. Kadang-kadang

seekor kaper akan keluar dari pupa, meskipun ukurannya haya setengah dari

ukuran normal. Dengan demikian korpora alata diperlukan oleh serangga untuk

mencegah serangga mengalami metamorfosis dan menahan serangga agar tetap

19

Page 20: METAMORFOSIS

pada stadium larva. Oleh karena itu, sekret dari korpora alata disebut hormon

juvenl. Sel-sel korpora alata menunjukkan tanda-tanda adanya sel kelenjar (sel-

selnya membengkak, kenampakan dan dan pelepasan vakuola, dll).pada setiap

ganti kulit pada stadium larva sampai mencapai akhir stadium larva. Aktivitas ini

tidak lagi tampak apabila serangga sudah mencapai ganti kulit menjadi pupa atau

imago. Kenyataannya, setiap kali terjadi proses ganti kulit, korpora alata tidak

bersekresi atau tampak kurang aktif dibandingkan pada keadaan sebelumnya. Hal

ini membuktikan ketidak hadiran hormon juvenil atau ada dalam kosentrasi

sangat rendah sehingga protoserebrum dapat melaksanakan protosikotropik yang

memicu terjadinya metamorfosis. Pembuktian dilakukan dengan cara

mencangkokkan korpora alata dari seekor larva muda kepada larva stadium akhir

yang seharusnya sudah mengalami metamorfosis pada proses ganti kulit,

berikutnya, larva tersebut tetap mengalami proses ganti kulit, tetapi dibawah

pengaruh hormon juvenil yang disekresikan oleh kelenjar yang dicangkokkan ,

maka serangga itu tidak diubah menjadi bentuk imago (hal ini terjadi pada

serangga hemimetabola) atau meghasilkan larva yang besarnya abnormal

(Surjono, 2001).

Gambar: A Nimfa normal stadium V (terakhir) Rhodnius, B. Rhodnius

dewasa normal, C. Nimfa raksasa stadium VI yang dihasilkan dari pencangkokan

korpora alata dari nimfa stadium IV ke dalam rongga perut nimfa stadium V.

Pada serangga yang bentuknya holometabola, keadaanyang terjadi jauh

lebih kompleks karena terjadi dua kali, proses ganti kulit dengan prubahan

20

Page 21: METAMORFOSIS

morfologis yaitu gati kulit menjadi pupa dan ganti kulit menjadi imago.

Penghilangan korpora alata dari ulat akan menyebabkan ulat berubah menjadi

pupa. Beberapa percobaan mengindikasikan bahwa sebagian dari peristiwa

transformasi bentuk ini berkaitan dengan menurunnya kadar hormon juvenil di

dalam darah dari hewan yang bersangkutan. Settellah penghancuran kelenjar.

Hormon juvenil masih tersisa dalam kadar yang rendah di dalam peredaran darah

dan tetap digunakan hingga waktu terjadinya proses ganti kulit kedua (Surjono,

2001).

C. Faktor-Faktor yang mengontrol terjadinya proses Molting dan

Metamorfosis pada Serangga

Ketika proses molting atau metamorphosis terjadi, tidak hanya seluruh

bagian tubuh dari serangga itu yang bereaksi bersama-sama, melainkan juga

bagian-bagian yang dicangkokkan kepadanya melalui hal yang sama. “Imaginal

disc” dan bagian-bagian lain dari tubuh yang dicangkokkan diantara hewan-

hewan pada medium yang berbeda, akan mengalami proses ganti kulit dan

metamorphosis secara bersamaan dengan semua bagian dari hewan yang sedang

mengalaminya (Surjono, 2001).

Sebuah percobaan yang sangat menarik telah dilakukan pada

perkembangan kaper Ephestia kubneilla, yaitu dengan transplantasi dalam rongga

tubuh individu lain. pinggiran dari tiap-tiap potongan kulit yang dicangkokkan

menggulung seperti akan membentuk kista dengan permukaan kulit yang beraasal

dari posisi distal melengkung ke dalam. Permukaan proksimal dari epidermis

dibasahi oleh cairan tubuh semangnya dan juga oleh hormon yang terkandung

didalam cairan tubuh semang tersebut (Surjono, 2001).

Setiap kali serangga semang mengalami proses ganti kulit, maka

potongan-potongan kulit ini juga mengalami proses yang sama, terjadi pergantian

kutikula, kutikula yang lama dilepaskan dan dimasukkan dalam rongga kista.

Selain proses molting yang sama antara semang dan transplan, keadaan alami

21

Page 22: METAMORFOSIS

kutikula yang baru dibentuk juga mengalami proses yang sama antara semang dan

transplan (Surjono, 2001).

Apabila suatu proses molting larva terjadi, maka kista epidermis

menghasilkan suatu kutikula yang tipis. Apabila semang menjadi pupa, kista

epidermis ini juga akan menghasilkan kutikula yang tebal. Apabila semang

bermetamorfosis menjadi hewan dewasa, kista epidermis akan membentuk suatu

imaginal kutikula dengan sisik-sisik (Surjono, 2001).

Pengaruh hormon terhadap perkembangan kulit. Pergantian kulit yang terjadi di dalam

kista epidermis yang dicangkokkan dan dipengaruhi oleh hormon yang disirkulasi di

dalam tubuh semang (Sumber: Surjono, 2001).

Meskipun telah mencapai stadium untuk memproduksi kutikula dari

hewan dewasa, epidermis tetap tidak kehilangan kapasitasnya untuk berganti

kulit, ini membuktikan bahwa ekdison (hormon penyebab terjadinya molting) dan

juvenile terdapat di dalam larutan yang mengitarinya (Surjono, 2001).

Metamorfosis adalah suatu proses perubahan yang reversible, dalam hal

ini minimal pada epidermis kulit dan kondisi alami diferensiasi yang dihasilkan

oleh proses selanjutnya secara terpisah, tergantung pada keseimbangan hormon-

hormon yang terdapat dalam darah. Kebalikan metamorphosis, meskipun hanya

sebagian, dapat terjadi dalam kondisi eksperimental. Pada keadaaan normal, dari

seekor serangga, metamorfosis menjadi pertanda berakhirnya masa pertumbuhan

22

Page 23: METAMORFOSIS

dan perkembangan (kecuali perkembangan gonad yang masih akan berlanjut

sampai masa dewasa penuh) (Surjono, 2001).

Terjadinya penghentian pertumbuhan dikarenakan terjadinya degenerasi

kelenjar protoraks dan mengalami kerusakan setelah menyebabkan proses ganti

kulit yang terakhir. Dengan hilangnya kelenjar protoraks, maka tidak ada lagi

faktor-faktor lain yang dapat menghidupkan kembali proses morfogenesis dari

epidermis dan tidak ada lagi proses ganti kulit (Surjono, 2001).

Hormon juvenile memiliki pengaruh tidak langsung terhadap

pertumbuhan. Pada imago, setelah metamorphosis, korpora alata melanjutkan

aktivitas sekresinya dan sekresi ini sangat diperlukan untuk pertumbuhan ovarium

dan sel-sel telur. Pada vertebrata, struktur kimia dari agen yang disekresikan oleh

kelenjar-kelenjar endokrin dapat dibuktikan dengan membuat ekstraksi bahan

aktif dari kelenjar-kelenjar.

Stuktur kimia hormon juvenile, ekdison dan ekdisteron (Gilbert dalam Surjono, 2001).

D. Mekanisme Aksi Hormon-Hormon Metamorfosis Serangga

Kelenjar ludah dari beberapa jenis serangga yang termasuk ordo Diptera

terdapat beberapa sel yang tumbuh menjadi relative besar ukurannya, dan

kromosom sel-sel tersebut juga menjadi lebih besar bahkan dapat diamati

meskipun sel-sel tersebut juga menjadi lebih besar bahkan dapat diamati

23

Page 24: METAMORFOSIS

meskipun sel-sel itu tidak sedang mempersiapkan dan untuk melakukan mitosis.

Kromosom raksasa pada beberapa sel ini adalah hasil duplikasi ADN yang

berulang-ulang dan dengan demikian ratusan molekul ADN terletak berselisihan

satu dengan yang lain. Terdapat penebalan pada kromosom raksasa tersebut, yang

disebut cincin Balbiani dan uga disebut sebagai “puff” (Surjono, 2001).

Suatu “puff” sebenarnya adalah bagian dari kromosom dimana sejumlah

pita ADN yang menyusun kromosom raksasa tersebut, terpisash satu dengan yang

lain dan membentuk lilitan (loop), melebar kea rah luar dari posisi normal dalam

kromosom. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pembentukan “puff”

selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi pada stadium

dari serangga tersebut. Stadium metamorphosis ditandai oleh pola spesifik dari

pembentukan “puff” yang dapat dipelajari dengan baik apabila struktur kromosom

raksasa secraa rinci dari satu spesies dapat dibuat (Surjono, 2001).

Kemungkinan besar ekspresi, gen-gen yang terdapat di kromosom pasti

berhubungan dengan proses terjadinya transformasi bentuk dan organisasi pada

binatang tersebut. Hormon berperan mempengaruhi gen-gen yang terdapat di

dalam kromosom dan mengubah aktivitasnya sehingga menyebabkan terjadinya

perubahan tingkah laku dari sel-sel dan jaringan (Surjono, 2001).

Bukti-bukti telah diketemukan bahwa lokus yang berbeda pada kromosom

tidak melakukan reaksi yang sama terhadap hormon ekdison. Terdapat satu atau

dua lokus yang membentuk “puff” segera setelah dilakukan injeksi ekdison.

Lokus-lokus yang lain dimana “puff” mungkin mengalami perbesaran pada tahap

berikutnya, diperkirakan sanga tergantung pada aksi dari gen-gen yang diaktivasi

pada sat permulaan. Sampai kondisi ini tampak bahwa aksi ekdison terdiri dari

aktivasi satu atau dua gen (tampakya hanya satu) dan ini kemudian memulai

reaksi berantai yang melibatkan aktivitas gen-gen lain yang berakhir pada proses

ganti kulit dari metamorphosis (Surjono, 2001).

24

Page 25: METAMORFOSIS

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Metamorfosis pada Amphibi diawali dari stadium larva, selnjutnya untuk

menjadi dewasa larva mengalami metamorphosis dengan urut-urutan kejadian

dan melibatkan hormon- hormon tetentu.

Metamorphosis pada serangga bersifat spesifik karena melibatkan pergantian

kulit. Metamorfoosis yang melibatkan stadium pupa disebut metamorphosis

lengkap dan serangga yang memiliki stadium itu disebut holometabola.

Sementara serangga yang tidak melalui stadium pupa mengalami

metamorfosis tidak lengkap disebut hemimetabola. Hormon yang berperan

dalam metamorphosis adalah ekdison, ekdisteron dan juvenile.

3.2 Saran

Pada makalah ini masih sedikit sekali sumber yang digunakan, untuk dapat

memahami materi lebih lanjut diperlukan literature-literatur lain yang lebih

mendukung dan dapat melengkapi penjelasan yang ada.

25

Page 26: METAMORFOSIS

DAFTAR PUSTAKA

Surjono, Tien Wiati. 2001. Perkembangan Hewan. Jakarta: Pusat Penerbitan

Universitas Terbuka

Starr, Cecie, Evers, Christine A. dan Starr, Lisa. 2011. Biology Concept and

Application 8th Edition. USA: Cengage Lerning, Inc

26