menyibak ekslusifitas fikih klasik terhadap kebebasan beragama_khoirul anwar

8
1 Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama______________________________Khoirul Anwar MENYIBAK EKSLUSIFITAS FIKIH KLASIK TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA; Sebuah Pengantar Merumuskan Fikih Kebebasan Beragama* Oleh: Khoirul Anwar** Prolog Fikih bukanlah barang yang hadir secara adem ayem, sepi dari persoalan hidup yang menjangkiti masyarakat di mana fikih itu diproduk. Fikih hadir sarat dengan berbagai kepentingan yang dimiliki fuqahâ` (produsen) khususnya, dan masyarakat (konsumen) pada umumnya. Singkatnya, fikih merupakan potret realita pergolakan politik, ekonomi, dan sosial di mana ia lahir. Namun bukan berarti fikih sama dengan sejarah yang merekam kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat. Fikih lebih dari itu, ia menawarkan solusi problematika umat dan tuntunan menjalankan agama bagi umat Islam dan berlandaskan pada teks-teks keagamaan (al-Nushûsh al-Syar‟iyyah). Oleh karena itu masyarakat sering memposisikan pengamal fikih sebagai orang yang saleh atau muslim sejati. Namun sungguh ironis, bahkan berbahaya jika fikih yang dimaksud hanya tertuju pada fikih masa lalu yang kini tertuang di dalam lembaran-lembaran kitab kuning, karena bagaimanapun fikih hanyalah produk pemikiran manusia yang bersifat lokal dan temporal, bukan karya Tuhan yang abadi, sehingga fikih masa lalu pun memiliki dimensi lokalitas yang terbatas dan temporal. Oleh karena itu bukan hal yang muhal jika fikih klasik untuk masa sekarang sudah tidak relevan lagi, namun bukan berarti fikih anggitan ulama masa lampau itu harus kita musnahkan, karena dengan melupakannya secara total akan berdampak pada keterputusan genealogi keilmuan. Sehingga tindakan yang mungkin lebih bijak adalah menggumulinya dengan berpedoman pada kaidah “al- Muhâfadhah „alâ al-qadîm al-shâlih wa al-ibdâ` bi al-jadîd al-ashlah (memelihara fikih lama yang masih relevan dan menciptakan fikih baru yang lebih relevan). Salah satu dari persoalan fikih yang sering mengemuka adalah persoalan kebebasan beragama dan berakidah (hurriyah al-dîn wa al-„aqîdah). Dalam kitab kuning keberadaan non muslim sama sekali tidak diakui oleh Islam, fikih klasik ini berpandangan bahwa semua umat manusia yang hidup di muka bumi harus beragama Islam sehingga fikih ini memiliki watak intoleran terhadap penganut agama lain atau yang tidak beragama sama sekali. Sementara sarjana muslim lainnya ada yang berpendapat bahwa Islam tidak memaksa umat agama lain untuk masuk ke dalam agama yang dibawa nabi Muhammad Saw. itu, singkatnya Islam mengakui kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pandangan ini biasanya berdasarkan pada QS. Al-Baqarah 256 sembari tidak mengakui bahwa ayat ini tidak dihapus (mansûkh) oleh ayat pedang. Namun pendapat kedua ini memunculkan persoalan lanjutan, apakah pengakuan Islam terhadap kebebasan beragama tertuju pada orang yang belum memiliki agama, yakni orang tersebut dibebaskan memilih agama sesuai dengan suara hati nuraninya, atau juga meliputi konversi agama seperti dari Islam berpindah ke Kristen, atau bahkan memilih hidup tanpa Tuhan? Jika kebebasan beragama hanya diberikan bagi orang yang belum beragama sebagaimana pendapat Akrom Ridlâ Mursî, 1 hemat penulis, kebebasan beragama yang disuarakan itu tidak lebih dari kata-kata gombal. Karena dengan menentukan kebebasan beragama hanya bagi yang belum memiliki agama berarti secara tidak langsung memaksa seseorang yang telah menganut agama Islam untuk tidak keluar darinya, dan ini bertentangan dengan kebebasan yang konon katanya diakui oleh Islam sendiri, bahkan jika demikian agama Islam tak lebih seperti mulut buaya, sekali masuk maka tidak dapat keluar, hingga mati sekalipun. 1 Menurut Akrom Ridlâ, kebebasan beragama hanya diberikan kepada orang-orang yang belum masuk ke dalam agama Islam. Sehingga apabila seseorang sudah beragama Islam dan ia murtad maka dihukum mati. Hukuman mati ini menurutnya tidak bertentangan dengan kebebasan beragama yang dikandung dalam QS. Al-Baqarah 256. Oleh karena itu bagi non muslim yang hendak masuk ke dalam agama Islam harus diberi tahu akan konsekwensi hukuman bagi orang yang murtad. Baca Akrom Ridlâ Mursî, Al-Riddah wa al-H urriyyah al-Dîniyyah, Dâr al-Wafâ`, ttp. cet. I, 2006 hal. 204.

Upload: khoirul-anwar

Post on 25-Apr-2015

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama_Khoirul Anwar

1 Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama______________________________Khoirul Anwar

MENYIBAK EKSLUSIFITAS FIKIH KLASIK TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA;

Sebuah Pengantar Merumuskan Fikih Kebebasan Beragama*

Oleh: Khoirul Anwar**

Prolog Fikih bukanlah barang yang hadir secara adem ayem, sepi dari persoalan hidup yang

menjangkiti masyarakat di mana fikih itu diproduk. Fikih hadir sarat dengan berbagai kepentingan yang dimiliki fuqahâ` (produsen) khususnya, dan masyarakat (konsumen) pada umumnya. Singkatnya, fikih merupakan potret realita pergolakan politik, ekonomi, dan sosial di mana ia lahir. Namun bukan berarti fikih sama dengan sejarah yang merekam kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat. Fikih lebih dari itu, ia menawarkan solusi problematika umat dan tuntunan menjalankan agama bagi umat Islam dan berlandaskan pada teks-teks keagamaan (al-Nushûsh al-Syar‟iyyah). Oleh karena itu masyarakat sering memposisikan pengamal fikih sebagai orang yang saleh atau muslim sejati.

Namun sungguh ironis, bahkan berbahaya jika fikih yang dimaksud hanya tertuju pada fikih masa lalu yang kini tertuang di dalam lembaran-lembaran kitab kuning, karena bagaimanapun fikih hanyalah produk pemikiran manusia yang bersifat lokal dan temporal, bukan karya Tuhan yang abadi, sehingga fikih masa lalu pun memiliki dimensi lokalitas yang terbatas dan temporal. Oleh karena itu bukan hal yang muhal jika fikih klasik untuk masa sekarang sudah tidak relevan lagi, namun bukan berarti fikih anggitan ulama masa lampau itu harus kita musnahkan, karena dengan melupakannya secara total akan berdampak pada keterputusan genealogi keilmuan. Sehingga tindakan yang mungkin lebih bijak adalah menggumulinya dengan berpedoman pada kaidah “al-Muhâfadhah „alâ al-qadîm al-shâlih wa al-ibdâ` bi al-jadîd al-ashlah (memelihara fikih lama yang masih relevan dan menciptakan fikih baru yang lebih relevan).” Salah satu dari persoalan fikih yang sering mengemuka adalah persoalan kebebasan beragama dan berakidah (hurriyah al-dîn wa al-„aqîdah). Dalam kitab kuning keberadaan non muslim sama sekali tidak diakui oleh Islam, fikih klasik ini berpandangan bahwa semua umat manusia yang hidup di muka bumi harus beragama Islam sehingga fikih ini memiliki watak intoleran terhadap penganut agama lain atau yang tidak beragama sama sekali. Sementara sarjana muslim lainnya ada yang berpendapat bahwa Islam tidak memaksa umat agama lain untuk masuk ke dalam agama yang dibawa nabi Muhammad Saw. itu, singkatnya Islam mengakui kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pandangan ini biasanya berdasarkan pada QS. Al-Baqarah 256 sembari tidak mengakui bahwa ayat ini tidak dihapus (mansûkh) oleh ayat pedang. Namun pendapat kedua ini memunculkan persoalan lanjutan, apakah pengakuan Islam terhadap kebebasan beragama tertuju pada orang yang belum memiliki agama, yakni orang tersebut dibebaskan memilih agama sesuai dengan suara hati nuraninya, atau juga meliputi konversi agama seperti dari Islam berpindah ke Kristen, atau bahkan memilih hidup tanpa Tuhan?

Jika kebebasan beragama hanya diberikan bagi orang yang belum beragama sebagaimana pendapat Akrom Ridlâ Mursî,1 hemat penulis, kebebasan beragama yang disuarakan itu tidak lebih dari kata-kata gombal. Karena dengan menentukan kebebasan beragama hanya bagi yang belum memiliki agama berarti secara tidak langsung memaksa seseorang yang telah menganut agama Islam untuk tidak keluar darinya, dan ini bertentangan dengan kebebasan yang konon katanya diakui oleh Islam sendiri, bahkan jika demikian agama Islam tak lebih seperti mulut buaya, sekali masuk maka tidak dapat keluar, hingga mati sekalipun.

1 Menurut Akrom Ridlâ, kebebasan beragama hanya diberikan kepada orang-orang yang belum masuk ke dalam agama Islam. Sehingga apabila seseorang sudah beragama Islam dan ia murtad maka dihukum mati. Hukuman mati ini menurutnya tidak bertentangan dengan kebebasan beragama yang dikandung dalam QS. Al-Baqarah 256. Oleh karena itu bagi non muslim yang hendak masuk ke dalam agama Islam harus diberi tahu akan konsekwensi hukuman bagi orang yang murtad. Baca Akrom Ridlâ Mursî, Al-Riddah wa al-Hurriyyah al-Dîniyyah, Dâr al-Wafâ`, ttp. cet. I, 2006 hal. 204.

Page 2: Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama_Khoirul Anwar

2 Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama______________________________Khoirul Anwar

Berkait kelindan dengan persoalan ini kiranya mendesak untuk menilik sejarah riddah pada masa nabi Muhammad Saw. dan sahabatnya sembari menelanjangi sumber hukum yang dijadikan kaki pijak referensial para fuqahâ dalam merumuskan konsep murtad yang terkesan ekslusif dan intoleran. A. Riddah Pada Masa Nabi Muhammad Saw. Banyak riwayat yang menginformasikan bahwa pada masa nabi Muhammad Saw. sudah banyak umat Islam yang berpindah agama, dari Islam ke Kristen maupun sebaliknya, secara personal maupun berjama‟ah. Bahkan tidak sedikit orang yang berpindah-pindah agama, namun nabi saw. tidak pernah melarang, apalagi menghukum dengan menjatuhkan sanksi hukuman mati. Diriwayatkan oleh al-Bukhârî, ada salah seorang sahabat nabi Saw. pencatat wahyu keluar dari Islam (murtad) dan ia mengumbar perkataan yang tidak baik, namun oleh nabi Saw. orang tersebut tidak ditindak sama sekali.

Pada masa nabi Saw. terdapat sekelompok muslim yang berjumlah 12 orang keluar dari agama Islam, antara lain al-Hârits bin Suwaid al-Anshârî. Kemudian mereka keluar kota Madinah untuk menuju ke Makkah. Terhadap 12 orang ini Rasulullah Saw. tidak menghalalkan darahnya, beliau menghadapi persoalan tersebut dengan mencukupkan diri pada kandungan QS. Ali Imrân 85 yang berbunyi:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

Ubaidillah bin Jahsy, salah seorang sahabat nabi Muhammad Saw. yang pernah menemaninya hijrah ke Habsyah juga berpindah agama, dari Islam ke Kristen. Terhadap Ubaidillah ini nabi Saw. sama sekali tidak menghalalkan darahnya dan tidak memerintahkan orang Najâsyî (penganut Kristen) untuk menyerahkannya kepada nabi Saw. juga tidak memberikan rekomendasi kepada satu orang pun untuk membunuhnya.

Diceritakan pula pada suatu hari terdapat salah seorang sahabat mengadu kepada nabi Saw. bahwa kedua anaknya yang sudah beragama Islam berpindah ke agama Kristen, sahabat tersebut

berkata kepada nabi Saw: Ya Rasul ajaklah kedua anakku, mereka akan masuk ke dalam Neraka أدع(ولداي يدخلون النار Jawaban yang keluar dari rasulullah Saw. bukan perintah untuk membunuh .) يا رسول اهلل

atau membawa keduanya ke hadapan rasul agar rasul dapat membunuhnya, melainkan penggalan ayat al-Quran yang berbunyi “Lâ ikrâha fiddîn qadd tabayyan al-rusyd min al-ghay” (QS. Al-Baqarah 256).2

Melalui hadis-hadis ini dapat dimengerti bahwa nabi Muhammad Saw. tidak mengajarkan kepada umatnya untuk menghukum orang yang murtad, juga tidak pernah memerintahkan dan menerapkannya. Hal demikian karena dalam al-Quran Allah menegaskan bahwa setiap individu dipersilahkan memilih agama yang ia sukai atau tidak memilih sama sekali,3 nabi Muhammad Saw. hanya bertugas sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan serta tidak memiliki hak untuk memaksa orang lain untuk mengikuti agamanya.4 Memberikan hidayah kepada manusia hanya menjadi hak Tuhan, bukan manusia.5 Sedangkan keberagaman agama dan kepercayaan merupakan

2 Jammâl al-Bannâ, Hurriyah al-Fikr wa al-I‟tiqâd fî al-Islâm, Dâr al-Fikr al-Islâmî: Kairo, tt. hal. 22-23. 3 QS. Al-Baqarah 256, QS. Yûnus 108, QS. Al-Isrâ` 15, QS. Al-Kahfi 29, QS. Al-Naml 93, QS. Al-Rûm 44, QS. Fâthir 39, QS. Al-Zumar 41. 4 QS. Al-Mâidah 99, QS. Al-A‟râf 188, QS. Yûnus 41, QS. Hûd 12, QS. Al-Ra‟d 40, QS. Al-Hijr 94, Al-Nahl 82, QS. Al-Furqân 56-58, QS. Qâf 45, QS. Al-Dzâriyât 52-55, QS. Al-Syûrâ 6, QS. „Abasa 5-7, QS. Al-Ghâsyiyah 21-22. 5 QS. Al-Baqarah 272, Al-Nisâ` 88, QS. Yûnus 99-100, QS. Al-Qashash 56, QS. Fâthir 8.

Page 3: Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama_Khoirul Anwar

3 Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama______________________________Khoirul Anwar

kehendak Tuhan dan menjadi persoalan yang akan diputuskan Allah kelak di Hari Kiyamat.6 Oleh karena itu hukuman bagi orang murtad pun akan di gelar kelak di hari kiamat, bukan di dunia.7

B. Riddah Pada Masa Abû Bakar Riddah pada masa Abû Bakar memiliki pengertian yang berbeda dengan masa nabi Muhammad Saw. Riddah pada masa ini berarti pembangkangan terhadap peraturan pemerintah. Sejak QS. Al-Taubah 103 turun masyarakat muslim diwajibkan membayar zakat (baca: pajak Negara), namun setelah rasulullah Saw. mangkat, masyarakat Arab banyak yang tidak membayar pajak kepada pemerintah yang saat itu dikendalikan oleh Abû Bakar. Persoalan ini disebabkan masyarakat pembangkang itu tidak mengakui kepemimpinan Abû Bakar. Sementara pada masa nabi Saw. mereka patuh karena mengakui kebesaran nabi Muhammad Saw. sebagai utusan Allah. Dalam sya‟irnya mereka mendendangkan:

بكر ألبي ما هللا لعباد فيا # بيننا كان إذ هللا رسول أطعنا الظهر قاصمة هللا لعمرو وتلك # بعده مات إذا بكرا أيورثها

“Kami patuh kepada rasulullah saat beliau masih ada di tengah-tengah kami. Wahai hamba Tuhan, sekarang apa yang dimiliki Abû Bakar.

Apakah Rasulullah Saw. mewariskan umat ini kepada Abû Bakar setelah wafat. Ah, itu adalah kebinasaan bagi Amrillah.”8 Riddah pada masa ini sama sekali tidak bertali temali dengan persoalan akidah, karena saat itu orang-orang yang diperangi Abû Bakar sebab “murtad (membangkang)” tidak sedikit yang masih beriman kepada Allah dan utusan-Nya, bahkan mereka juga melakukan shalat. Oleh karena itu Umar bin Khatab dan sebagian sahabat lainnya banyak yang tidak setuju dengan tindakan Abû Bakar itu, namun Abû Bakar sebagai pemimpin politik sangat mengetahui “udang” di balik pembangkangan masyarakat yang tidak membayar zakat, yakni sedang merongrong kepemimpinannya. Sehingga dengan terpaksa Abû Bakar memerangi mereka dengan tujuan agar mereka bergabung kembali dengan membayar pajak Negara. C. Babak Penyelewengan Konsep Riddah Sejak masa nabi Muhammad Saw. hingga tampuk kepemimpinan dipegang Ali bin Abî Thâlib agama Islam sangat toleran terhadap kebebasan beragama. Namun pada masa Ali bin Abî Thâlib tepatnya pasca konflik yang mendera di dalam tubuh umat Islam yang kemudian melahirkan kelompok ekslusif, yakni Khawârij, agama Islam terlihat garang dan intoleran terhadap kebebasan beragama.9 Kelompok Khawârij selalu memainkan pedang dalam setiap menghadapi permasalahan dan suka mengumbar label kafir kepada orang yang tidak sepaham, bahkan semua sahabat yang saat itu terlibat dalam perdamaian (tahkîm) antara kubu Alî dan Mu‟âwiyah dituduh telah keluar dari agama Islam dan wajib dibunuh. Kendati Khawarij menjadi duri di dalam tubuh umat Islam, namun Ali bin Abî Thâlib tidak memeranginya hingga akhirnya Ali bin Abî Thâlib sendiri yang dibunuh oleh mereka. Penyalahgunaan konsep riddah yang mulanya hanya dilakukan oleh Khawarij pada babakan selanjutnya dilakukan oleh pakar fikih (fuqahâ) abad pertengahan. Dalam kitab-kitab fikih anggitan mereka riddah (keluar dari agama Islam) hukumnya dilarang, dan bagi yang melanggar apabila setelah diminta untuk kembali lagi ke agama Islam (taubat) tetap berada di dalam kemurtadan maka dikenai hukuman mati (had al-riddah).

Fikih yang intoleran terhadap kebebasan beragama yang tersebar di dalam lipatan kitab kuning ini lahir pada masa transisi kekuasaan Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyyah. Saat itu

6 QS. Al-Baqarah 62, QS. Al-Baqarah 113, 136-137, dan 148, QS. Âli „Imrân 84, QS. Hûd 118-119, QS. Al-„Ankabût 46, QS. Al-Zumar 46, QS. Al-Syûrâ 10, QS. Al-Kâfirûn 1-6. 7 QS. Al-Baqarah 108, dan 217, QS. Âli „Imrân 90, QS. Al-Nisâ` 137, QS. Al-Mâ`idah 54, QS. Al-Taubah 74, QS. Al-Nahl 106, QS. Muhammad 25. 8 Jammâl al-Bannâ, Hurriyah al-Fikr wa al-I‟tiqâd fî al-Islâm, hal. 41. 9 Jammâl al-Bannâ, Hurriyah al-Fikr wa al-I‟tiqâd fî al-Islâm, hal. 42-43.

Page 4: Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama_Khoirul Anwar

4 Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama______________________________Khoirul Anwar

pergulatan politik dan pendapat (madzhab) meluap-luap tidak menentu, dan hal ini sangat mengancam persatuan umat Islam. Oleh karena itu fuqahâ merasa harus ikut serta bertanggungjawab untuk mengembalikan keadaan sosial dan politik seperti semula dengan cara menyatukan umat Islam dan mengancam hukuman mati bagi yang menjauh dari Islam (murtad). Namun fikih anggitan ulama masa lampau ini akhirnya menjadi “produk gagal” karena sumber hukum yang dijadikan kaki pijak referensial diambil secara brutal, yakni mengambil hadis dengan tanpa diteliti keabsahannya terlebih dahulu, bahkan mereka seringkali mencomot hadis dla‟if yang sebenarnya tidak layak pakai namun hadis tersebut dipaksa menjadi kaki pijak hukum dengan cara merombak sanadnya hingga terlihat seakan-akan sangat kuat (shahîh) dan mendapat justifikasi dari syari‟at.10 Dalam penelitiannya, Jammâl al-Bannâ menyimpulkan bahwa hadis nabi yang dijadikan sumber hukum perbincangan murtad oleh para fuqahâ` ada 4 macam: Pertama, hadis yang menceritakan bahwa ada sekelompok non muslim dari daerah „Uraiynah datang kepada nabi Muhammad Saw., mereka berbai‟at kepada nabi Saw. untuk masuk ke agama Islam, namun setelah itu tanah tempat tinggal mereka menjadi gersang dan tidak cocok tanam. Mereka mengadu kepada nabi Saw. tentang hal itu. Lalu nabi Saw. menganjurkan kepada mereka untuk ikut mengembala bersama pengembala unta agar mereka dapat meminum air susu unta dan air kencingnya. Kemudian mereka pun mengikuti anjuran tersebut hingga tubuh mereka kembali sehat, namun setelah itu mereka membunuh para pengembala unta dan membawa lari unta-untanya. Hadis ini memiliki riwayat yang beragam, namun makna yang dikandungnya sama.11 Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahîh-nya:

أخبرنا ىشيم، عن عبد العزيز بن صهيب، وحميد، عن أنس : وحدثنا يحيى بن يحيى التميمي، وأبو بكر بن أبي شيبة، كالىما عن ىشيم، واللفظ ليحيى، قالإن شئتم أن تخرجوا إلى : بن مالك، أن ناسا من عرينة قدموا على رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم المدينة، فاجتووىا، فقال لهم رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم

إبل الصدقة، فتشربوا من ألبانها وأبوالها، ففعلوا، فصحوا، ثم مالوا على الرعاء، فقتلوىم وارتدوا عن اإلسالم، وساقوا ذود رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم، فبلغ .ذلك النبي صلى اهلل عليو وسلم، فبعث في أثرىم فأتي بهم، فقطع أيديهم، وأرجلهم، وسمل أعينهم، وتركهم في الحرة، حتى ماتوا

Artinya: “Telah bercerita kepadaku Yahyâ bin Yahyâ al-Tamîmî dan Abû Bakar bin Abî Syaibah, keduanya dari Hasyîm dan lafadznya dari Yahyâ. Yahyâ berkata, telah bercerita kepadaku Hasyîm, dari Abdil „Azîz bin Shuhaib dan Humaid, dari Anas bin Mâlik, bahwa sesungguhnya sekelompok orang dari tanah „Uraiynah datang kepada Rasulullah Saw. di Madinah, lalu mereka tidak cocok dengan udara di tempat tersebut. Kemudian nabi Saw. bersabda kepada mereka: “Jika kalian berkenan keluarlah bersama (pengembala) unta zakat, lalu minumlah air susu unta dan air kencingnya.” Kemudian mereka melakukan hal itu dan mereka

10 Jammâl al-Bannâ, Hurriyah al-Fikr wa al-I‟tiqâd fî al-Islâm, hal. 49-50. 11 Lihat Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Hasan al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, Dâr Ihyâ` al-Turâts al-„Arabî, tt. Bab hukuman bagi orang yang memerangi dan murtad (Bâb Hukm al-Muhâribîn wa al-Murtaddîn) vol. III, hal. 1296. Muhammad Isma‟îl Abû „Abdillah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Dâr Thauq al-Najâh, cet. I, 1422, Bab Memperlakukan unta zakat (Bâb Isti‟mâl Ibil al-Shadaqah wa Albânihâ li Abnâ`) vol. II, hal. 130, Bab kisah kelompok „Ukl dan „Urainah (Bâb Qishshah „Ukl wa „Urainah) vol. V, hal. 129, Bab QS. Al-Mâ`idah 33 (Bâb Innamâ Jazâ` al-Ladzîna Yuhâribûnallah wa Rasûlah) vol. VI, hal. 52, Bab Pengobatan dengan menggunakan air kencing unta (Bâb al-Dawâ` bi Abwâl al-Ibil) vol. VII, hal. 123, Bab orang yang keluar dari bumi tandus (Bâb Man Kharaja Min Ardl Lâ Tulâyimuh) vol. VII, hal. 129, Bab orang murtad yang memerangi tidak diberi minum hingga mati (Bâb Lam Yusqa al-Murtaddûn al-Muhâribûn Hattâ Mâtû) vol. VIII, hal. 163, Bab Sumpah (Bâb al-Qasâmah) vol. IX, hal. 9. Muhammad Bin „Isâ al-Turmudzî, Sunan al-Turmudzî, (Syirkah Maktabah wa Mathba‟ah Mushthafâ al-Bâbî al-Halbî: Mesir, cet. II, 1975), Bab sesuatu yang terdapat di dalam binatang yang dagingnya boleh dimakan (Bâb mâ Jâ`a fî Baul mâ Yu`kal Lahmuh) vol. I, hal. 106, Bab air kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan (Bâb Baul mâ Yu`kal Lahmuh) vol. IV, hal. 385. Abû „Abdirrahmân Ahmad al-Nasâ`î, Sunan al-Nasâ`î, Maktab al-Mathbû‟ât al-Islâmiyyah: Halb, cet. II, 1986) Bab air kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan (Bâb Baul mâ Yu`kal Lahmuh) vol. I, hal. 158 dan hal. 160, Bab ta`wil QS. dan hal. 93, Bab perbedaan orang-orang yang memindah pada khabar Humaid (Dzikr Ikhtilâf al-Nâqilîn li Khabar Humaid) vol. VII, hal. 95, hal. 96, dan hal. 97, Bab perbedaan hadis Thalhah Bin Musharrif dan Mu‟âwiyah Bin Shâlih atas Yahyâ Bin Sa‟îd (Dzikr Ikhtilâf Thalhah Bin Musharrif wa Mu‟âwiyah Bin Shâlih „alâ Yahyâ Bin Sa‟îd fî Hadzâ al-Hadîts) vol. VII, hal. 98. Ibn Mâjah Abû „Abdillah Muhammad al-Qazwayinî, Sunan Ibn Mâjah, Dâr Ihyâ` al-Kutub al-„Arabiyah: ttp. tt.), Bab orang yang memerangi dan jalan di bumi dengan berbuat kerusakan (Bâb Man Hârab wa Sa‟â fi al-`Ardl Fasâdâ), vol. II, hal. 861.

Page 5: Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama_Khoirul Anwar

5 Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama______________________________Khoirul Anwar

kembali sehat. Mereka mendekati para pengembala dan kemudian membunuhnya, mereka kemudian keluar dari Islam dan membawa beberapa unta milik rasulullah Saw. Setelah kejadian itu sampai pada rasulullah Saw., rasulullah mengutus para sahabatnya untuk mencari jejak mereka. Setelah mereka di bawa di hadapan rasulullah Saw., rasulullah memotong tangan dan kaki mereka serta mencukil matanya. Kemudian nabi Saw. meninggalkannya di tanah lapang hingga mati.”12

Sebagaimana terlihat secara jelas dalam hadis di atas bahwa nabi Muhammad Saw. telah menghukum mati terhadap kelompok „Uraniyyîn disebabkan mereka telah membunuh para pengembala unta, sehingga mereka berhak untuk diqishâsh. Hukuman tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kemurtadan, andai mereka tidak murtad pun tetap dihukum mati. Kedua, hadis yang menceritakan bahwa rasulullah Saw. melarang membunuh orang muslim kecuali apabila melakukan salah satu dari tiga perbuatan; 1- membunuh muslim lain, 2- zina setelah menikah, dan 3- berpisah dari kelompoknya. Hadis ini memiliki riwayat dan kandungan makna yang beragam. Dari keberagaman makna ini secara garis besar dapat diurai menjadi dua makna, yaitu hadis yang menyatakan orang yang keluar dari agama Islam harus dibunuh seperti yang diriwayatkan Abdullah dan Ibn Mas‟ûd, dan hadis yang memerintahkan menghukum mati orang yang memerangi agama Allah dan utusan-Nya sebagaimana riwayat dari A`isah.13 Riwayat yang menginformasikan orang yang keluar dari agama Islam harus dibunuh berbunyi:

. قتل نفس، وزنا بعد إحصان، والمارق عن الدين المفارق للجماعة: حالة من ثالث اليجوز قتل مسلم إال فيArtinya: “Tidak boleh membunuh orang muslim kecuali dalam tiga kondisi: membunuh orang, zina

setelah menikah, keluar dari agama dan memisahkan diri dari kelompok umat Islam. Sedangkan riwayat yang menceritakan bahwa orang yang dihukum dengan dibunuh adalah

orang yang memerangi Allah dan utusan-Nya berbunyi:

.زان محصن فيرجم، ورجل قتل مسلما متعمدا، ورجل يخرج من اإلسالم فيحارب اهلل عز وجل ورسولو فيقتل: اليحل قتل مسلم إال في إحدى ثالث خصال

Artinya: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali dalam salah satu dari tiga kondisi; pezina yang sudah menikah maka dirajam, seorang lelaki yang membunuh orang muslim dengan disengaja, dan orang lelaki yang keluar dari Islam kemudian memerangi Allah dan utusan-Nya.” Dengan mengutip pendapat Ibnu Taimiyyah, Jammal al-Bannâ menyatakan bahwa kedua hadis di atas kontradiktif, hadis pertama menjatuhkan hukuman mati kepada “orang yang murtad”, sedangkan hadis kedua yang dihukum mati adalah “murtad yang memerangi agama Allah dan

utusan-Nya”. Namun hadis pertama yang hanya menggunakan kata “ ”والمارق عن الدين المفارق للجماعة

mengindikasikan bahwa hadis ini kandungan artinya tidak jelas (ghair sharîh) sehingga memberikan

ruang sepekulasi ke pemaknaan lain, sedangkan hadis kedua dengan memuat kata “ ورجل يخرج من اإلسالم menjadikan kandungan teks ini sangat jelas (shârih) sehingga dapat menutup ”فيحارب اهلل عز وجل ورسولو

kemungkinan-kemungkinan penafsiran lain. Jika demikian maka hadis kedualah yang patut dijadikan sumber penetapan hukum Islam, yakni orang yang keluar dari agama Islam dan memerangi agama Allah dikenai hukuman mati. Hukuman mati ini penyebab utamanya bukan karena ia murtad, melainkan sebab ia mengusik keberadaan agama Islam atau yang dalam hadis disebut memerangi agama Allah dan utusan-Nya.14 Ketiga, hadis yang secara tekstual mengandung arti bahwa orang yang mengganti agamanya maka harus dibunuh.15 Hadis ini memiliki riwayat yang beragam, antara lain:

. من بدل دينو فاقتلوه: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: حدثنا إبن عيينة عن أيوب عن عكرمة عن ابن عباس قال“Artinya: Telah bercerita kepadaku Ibn „Uyainah dari Ayyûb, dari „Ikrimah dari Ibn „Abbâs, Ibn

„Abbâs berkata: Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah.”

12 Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Hasan al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, Dâr Ihyâ` al-Turâts al-„Arabî, ttp. tt. Bab hukuman bagi orang yang memerangi dan murtad (Bâb Hukm al-Muhâribîn wa al-Murtaddîn) vol. III, hal. 1296. 13 Jammâl al-Bannâ, Hurriyah al-Fikr wa al-I‟tiqâd fî al-Islâm, hal. 25 14 Jammâl al-Bannâ, Hurriyah al-Fikr wa al-I‟tiqâd fî al-Islâm, hal. 25-28. 15 Jammâl al-Bannâ, Hurriyah al-Fikr wa al-I‟tiqâd fî al-Islâm, hal. 28

Page 6: Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama_Khoirul Anwar

6 Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama______________________________Khoirul Anwar

Riwayat lainnya berbunyi:

لتهم تالتعذبوا بعذاب اهلل ولق: لو كنت أنا لم أحرقهم لنهى رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: عن عكرمة أن عليا أتي بزنادقة فأحرقهم فبلغ ذلك ابن عباس فقال .من بدل دينو فاقتلوه: لقولو عليو السالم

Artinya: “Diceritakan dari „Ikrimah bahwa telah didatangkan orang-orang zindiq kepada Ali, lalu Ali membakar semua orang zindiq itu. Kemudian kejadian tersebut sampai kepada Ibn Abbâs dan Ibn Abbâs berkata: “Andai (saat kejadian itu) aku hadir aku tidak akan membakarnya karena Rasulullah Saw. melarang menyiksa dengan siksaan Allah (membakar), namun aku tetap membunuhnya karena Rasulullah bersabda: Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah.” Hadis yang sering kali dijadikan sumber utama larangan murtad oleh fuqahâ ini menurut Jammâl al-Bannâ memiliki kecacatan ganda, yaitu cacat dari sisi sanad dan matan. Dari sisi sanad hadis ini dengan beragam riwayatnya semuanya kembali kepada Ikrimah, padahal Ikrimah sendiri sebagaimana yang dikatakan Imam Muslim (penulis kitab Shahîh Muslim) Ikrimah tidak pernah meriwayatkan hadis satupun kecuali satu hadis tentang haji, dan itupun riwayatnya ditopang oleh Sa‟îd bin Jabîr. Bahkan menurut penulis kitab al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, Muhammad Abû Zahw (pakar fikih yang dikenal sangat wira‟i), hadis riwayat „Ikrimah tidak boleh dijadikan sumber hukum karena „Ikrimah dikenal tukang berbohong, berpikiran seperti Khawârij dan sering menerima pemberian dari pemimpin yang korup. Sedangkan dari sisi matan, hadis di atas juga memuat beberapa keganjilan, antara lain hadis tersebut mengandung kata “orang-orang zindiq (Zanâdiqah)”, padahal sejarah membuktikan bahwa pada masa al-khilâfah al-râsyidah istilah ini belum dikenal. Begitu juga informasi bahwa sahabat Ali membakar orang-orang zindiq sementara nabi Saw. sendiri melarang pembunuhan dengan cara membakar menambah hadis ini sulit untuk dapat diterima karena tidak mungkin sahabat Ali tidak mengetahui larangan nabi Saw. tersebut, padahal Ibnu Abbâs

mengetahuinya. Kandungan arti “من بدل دينو” juga sangat umum, yakni tidak terkhusus bagi orang yang

awalnya beragama Islam kemudian berpindah ke agama lain, tapi mencakup orang yang asalnya beragama Kristen, Yahudi, dan yang lainnya. Sebab kandungan arti yang sangat umum ini hadis di atas maknanya tidak jelas, bagaimana mungkin agama Islam melarang orang Yahudi atau Nashrani berpindah ke agama Islam? Keempat, hadis yang menginformasikan bahwa lelaki yang murtad harus dipenggal lehernya, sedangkan apabila yang murtad perempuan maka diperintah untuk segera kembali ke agama Islam terlebih dahulu, jika ternyata masih tetap berada di dalam kekufurannya maka ia pun harus dipenggal lehernya.16 Hadis ini juga memiliki riwayat dan kandungan arti yang beragam, antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Mu‟âd berbunyi:

.أيما رجل ارتد عن اإلسالم فادعو فإن عاد فاضرب عنقو، وأيما امرأة ارتدت عن اإلسالم فادعها فإن عادت وإال فاضرب عنقهاArtinya: “Apabila ada seorang lelaki keluar dari Islam maka ajaklah dia (untuk kembali masuk ke

dalam agama Islam), apabila dia kembali (ke dalam agama Islam) maka pukullah lehernya. Apabila seorang perempuan keluar dari Islam maka ajaklah dia (untuk kembali masuk ke dalam agama Islam), apabila dia kembali maka biarkanlah, namun apabila tidak mau maka pukullah lehernya.”

Hadis lainnya adalah:

وأيما امرأة ارتدت عن اإلسالم فادعها، فإن تابت فاقبل منها وإن أبت . أيما رجل ارتد عن اإلسالم فادعو، فإن تاب فاقبل منو، وإن لم يتب فاضرب عنقو .فاستتبها

Artinya: “Apabila seorang lelaki keluar dari agama Islam maka ajaklah dia (untuk kembali masuk ke dalam agama Islam), apabila dia bertaubat maka terimalah taubatnya, namun apabila tidak bertaubat maka pukullah lehernya. Apabila seorang perempuan keluar dari agama Islam maka ajaklah dia (untuk kembali masuk ke dalam agama Islam), apabila dia bertaubat maka terimalah taubatnya, apabila tidak mau bertaubat maka perintahlah dia untuk bertaubat. Melalui kedua contoh hadis di atas terlihat bahwa hadis tersebut dari sisi kandungan artinya memiliki perbedaan yang cukup tajam, hadis pertama mengandung arti perintah membunuh terhadap perempuan yang keluar dari Islam dan tidak mau kembali ke agama ini, sementara hadis

16 Jammâl al-Bannâ, Hurriyah al-Fikr wa al-I‟tiqâd fî al-Islâm, hal. 32.

Page 7: Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama_Khoirul Anwar

7 Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama______________________________Khoirul Anwar

kedua perempuan yang tidak mau kembali ke agama Islam setelah ia murtad hanya diperintahkan untuk bertaubat. Dalam kitab Fath al-Bârî Ibn Hajar menyatakan bahwa hadis ini saling bertentangan sehingga perlu dikompromikan, namun mendamaikan kedua hadis ini tidak mungkin tergapai karena dari sisi sanad hadis ini rapuh, yakni terdapat nama Muhammad bin Abdillah al-„Irzamî, salah seorang rawi hadis yang riwayatnya tidak dapat dipakai (matrûk min al-sâdisah). Dari hadis-hadis yang secara kualitas tidak dapat dijadikan sebagai kaki pijak hukum seperti di atas, fuqahâ` memaksakan diri untuk merumuskan konsep murtad yang saat itu hanya bertujuan untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam yang sedang terancam badai perpecahan.

Tidak hanya itu, demi meyakinkan umat Islam saat itu fuqahâ juga merumuskan ajaran Islam menjadi dua, yaitu ajaran yang dapat diketahui secara pasti (Ma‟lûm min al-dîn bi al-dlarûrah) dan yang tidak. Oleh karena itu di dalam buku-buku anggitan mereka biasanya setelah membahas penyebab riddah, baik yang berupa tindakan, ucapan, maupun keyakinan, fuqahâ` menutupnya dengan kalimat

“ barangsiapa yang mengingkari ajaran yang diketahui secara pasti dari) من جحد معلوما من الدين بالضرورة فقد كفر

agama maka ia kufur).” Di samping itu fuqahâ` masa lampau juga membuat konsep “perintah bertaubat (istitâbah)” bagi orang yang murtad. Menurut mereka apabila seorang muslim keluar dari agamanya maka langkah yang pertama kali harus dilakukan umat Islam adalah memerintahkannya untuk bertaubat, jika masih bertahan dalam kemurtadan maka ditindak lanjuti dengan hukuman pancung. Dalam penelitian Jammâl al-Bannâ, konsep istitâbah seperti ini tidak terdapat dalam al-Quran maupun hadis. Rasulullah hanya pernah satu kali memerintahkan taubat kepada orang lain, yaitu pada orang yang terkena hukuman potong tangan sebab mencuri. Nabi Muhammad Saw. bersabda kepada pencuri: “Ucapkanlah, aku bertaubat kepada Allah.” Lalu pencuri tersebut mengucapkannya, kemudian nabi Saw. bersabda: “Semoga Allah menerima taubatmu.” Dalam al-Quran konsep taubat di dalamnya tidak ada pemaksaan, dan bagi yang tidak melakukannya tidak mendapatkan hukuman, sementara dalam fikih klasik taubat tersebut mengandung teror dan berbuntut pedang, jika tidak bertaubat maka pedang akan memenggal lehernya. Konsep taubat seperti ini jelas menghilangkan mutiara indah yang tersimpan di dalam taubat versi al-Quran. Epilog Dengan membaca sejarah riddah sebelum masa kodifikasi kitab-kitab fikih, yakni sejak masa nabi Muhammad Saw. dan sahabatnya, setidaknya dapat diketahui bahwa Islam sesungguhnya membebaskan manusia untuk memilih agamanya masing-masing atau bahkan tidak memilih sama sekali. Wacana fikih klasik yang menyatakan bahwa orang yang sudah beragama Islam dilarang keluar atau pindah ke agama lain dan bagi yang keluar (murtad) akan mendapat hukuman mati merupakan fikih yang dirumuskan pada masa transisi Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyyah yang bertujuan untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam. Kendati rumusan fikih tersebut bertujuan baik, namun di sisi lain bermasalah karena dalil-dalil yang dijadikan sumber hukum tidak memenuhi persyaratan. Akhirnya, fikih produk gagal ini meninggalkan “coreng hitam di muka dunia” yang melenyapkan nuansa romantika kebebasan di dalam Islam. Apakah kita biarkan begitu saja? Wallahu yufashshilu mâ bainanâ wa bainahum fî yaumil qiyâmah.

*Disampaikan dalam Diskusi Bulanan eLSA 09 Maret 2012. **Aktif di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang.

Email: [email protected] Twitter: khoirulanwar_88

Page 8: Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama_Khoirul Anwar

8 Menyibak Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama______________________________Khoirul Anwar

DAFTAR PUSTAKA Abû „Abdirrahmân Ahmad al-Nasâ`î, Sunan al-Nasâ`î, Maktab al-Mathbû‟ât al-Islâmiyyah: Halb, cet.

II, 1986. Akrom Ridlâ Mursî, Al-Riddah wa al-Hurriyyah al-Dîniyyah, Dâr al-Wafâ`, ttp. cet. I, 2006. Ibn Mâjah Abû „Abdillah Muhammad al-Qazwayinî, Sunan Ibn Mâjah, Dâr Ihyâ` al-Kutub al-

„Arabiyah: ttp. tt. Jammâl al-Bannâ, Hurriyah al-Fikr wa al-I‟tiqâd fî al-Islâm, Dâr al-Fikr al-Islâmî: Kairo, tt. Muhammad Bin „Isâ al-Turmudzî, Sunan al-Turmudzî, Syirkah Maktabah wa Mathba‟ah Mushthafâ al-

Bâbî al-Halbî: Mesir, cet. II, 1975. Muhammad Isma‟îl Abû „Abdillah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Dâr Thauq al-Najâh, cet. I, 1422. Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Hasan al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, Dâr Ihyâ` al-Turâts al-

„Arabî, tt.