mengoptimalkan potensi ekonomi wakaf untuk kesejahteraan umat.pdf
DESCRIPTION
goodTRANSCRIPT
Mengoptimalkan Potensi Ekonomi Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat
Oleh : Drs. H. Abd. Rasyid As’ad, M.H.
(Hakin Pengadilan Agama Kraksaan)
A. Pendahuluan
Dalam perspektif ekonomi, wakaf didefinisikan sebagai pengalihan dana (aset lainnya)
dari keperluan konsumsi dan menginvestasikannya ke dalam aset produktif yang menghasilkan
pendapatan untuk konsumpsi di masa yang akan datang baik oleh individual ataupun kelompok1.
Dalam Pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya gunana keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari‟ah.
Sedangkan Pasal 215 (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan : “wakaf adalah perbuatan
hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta
miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya sesuai dengan ajaran Islam”.
Abu Bakar Al-Jaziri, dalam Minhajul Muslim mendefinisikan wakaf sebagai penahanan
harta sehingga harta tersebut tidak bisa diwarisi, atau dijual, atau dihibahkan, dan mendermakan
hasilnya kepada penerima wakaf.
Wakaf memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangkan kegiatan-kegiatan
sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Muslim. Selain itu, ekebaradaan wakaf juga telah
banyak menfasilitasi para mahasiswa dan sarjana dengan berbagai sarana dan prasarana yang
memadai untuk melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan
dana kepada pemerintah. Bahkan ketika terjadi krisis ekonomi global pada akhir tahun 90-an,
banyak mahasiswa Indonesia yang melanjutkan pendidikan di Al-Azhar, Cairo yang mengalami
kesulitan ekonomi dibantu dengan dana yang dihasilkan dari produktifitas wakaf.
Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat islam sejak awal-awal
agama Islam masuk di Indonesia. Sebagai kelembagaan Islam, wakaf telah menjadi salan satu
penunjang perkembangan masyarakat muslim. Jumlah tanah wakaf di Indonesia sangat banyak.
Menurut data dari Kementerian Agama, sampai dengan 2002 jumlah seluruh tanah wakaf di
Indonesia sebanyak 403.845 lokasi dengan luas 1.566.673.406 M21[1]. Apabila tanah-tanah
wakaf tersebut dikembangkan dan kelola secara produktif, sangat membantu ekonomi
masyarakat yang kurang mampu. Namun sayangnya, tanah-tanah wakaf yang jumlahnya begitu
banyak, pemanfaatannya masih bersifat konsumtif dan belum dikelola secara produktif, sehingga
wakaf di Indonesia belum terasa manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat muslim
yang bekum kecukupan.
Fakta di lapangan, wakaf pada umumnya digunakan untuk membangun masjid, musholla,
sekolah/madrasah, pondok pesatren, rumah yatim piatu, pemakaman, dan sangat sedikit tanah
wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat Muslim yang membutuhkan, khususnya kaum dhu’afa (orang-orang yang lemah
ekonominya). Pemanfaatkan wakaf dari aspek kepentingan peribadatan memang efektif, tetapi
tidak memberi pengaruh kepada perekonomian umat Islam. Apabila wakaf hanya terbatas pada
pembangunan fasilitas peribadatan misalnya, tanpa diimbangi dengan pengelolaan yang
produktif, maka peningkatan kesejahteraan social ekonomi masyarakat dari wakaf tidak akan
dapat terealisasi secara optimal.
Di tengah-tengah usaha pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, harta wakaf sangat
urgen untuk dikelola dan dikembangkan secara produktif agar menghasilkan dana yang dapat
dugnakan untuk membantu meringankan beban ekonomi masyarakat miskin.
Agar wakap dapat membantu meningkatkan kesejahteraan social dan ekonomi masyarakat
Muslim, maka pengembangan dan produktifitas wakat merupakan keniscayaan. Oleh karena itu,
diperlukan paradigma baru dalam system pengelolaam wakaf secara produktif dan
pengembangan wakaf benda bergerak, seperti uang tunai dan saham. Wakaf benda tidak
bergerak seperti tanah dan bangunan perlu didorong agar produktif. Sedangkan wakaf benda
bergeral dikembangkan melalui lembaga-lembaga kekuarangan atau perbankan dan badan
usaha dalam bentuk investasi. Hasil pengembangan wakaf itulah yang kemudian dipergunakan
untuk pendanaan kepentingan social, seperti untuk meningkatan pendidikan, bantuan sarana dan
1[1] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama RI., Pedoman
Pengelolaan &
Pengembangan Wakaf, 2006, hal. 82.
perasarana ibadah. Di samping itu, dapat juga digunakan untuk membantu pelajar atau
mahasiswa yang kurang mampu sebagai beasiswa dan sebagainya.
B. Urgensi Wakaf
Wakaf yang disyari‟atkan dalam ajaran agama Islam mempunyai dua dimensi sekaligus,
yaitu dimensi religi dan dimensi sosial ekonomi. Dimensi religi karena wakaf merupakan
anjuaran agama yang perlu dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat muslim, sehingga mereka
yang memberi wakaf (waqif) mendapat pahala dari Allah SWT karena mentaati perintahnya.
Sedangkan dimensi sosial ekonomi karena syair‟at wakaf mengandung unsur ekonomi sosial,
hal mana wakaf akan mampu meringankan benan hidup kaum dhu’afa (ekonomi lemah).
Wakaf memang merupakan salah satu sumber dana sosial potensial yang erat kaitannya
dengan kesejahteraan umat di samping zakat, infak dan sedekah. Terlebih lagi karena ajaran
agama menjadi motivasi utama masyarakat untuk berwakaf. Di Indonesia, wakaf telah dikenal
dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia. Sebagai salah satu
institusi keagamaan yang erat hubungannya dengan sosial ekonomi, wakaf telah banyak
membantu pembangunan secara menyeluruh di Indonesia, baik dalam pembangunan SDM
maupun dalam pembangunan sumber daya sosial.
Tak dapat dipungkiri, bahwa sebagian besar rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-
lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun diatas tanah wakaf. Namun amat disayangkan
bahwa persepsi sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia mengenai obyek wakaf masih
terbatas pada tanah dan bangunan dan meskipun saat ini sudah mulai berkembang pada uang,
saham dan benda bergerak lainnya. Demikian pula berdasarkan data yang ada dalam masyarakat,
umumnya wakaf di Indonesia sebagian besar di gunakan untuk kuburan, masjid dan madrasah,
dan sedikit sekali yang di dayagunakan secara produktif. Hal itu tentunya tidak terlepas dari
kenyataan bahwa sebagian besar harta yang diwakafkan baru berkisar pada asset tetap (fixed
asset), seperti tanah dan bangunan.
Dalam perekonomian moderen dewasa ini, uang memainkan peranan penting di dalam
menentukan kegiatan ekonomi masyarakat suatu negara. Disamping berfungsi sebagai alat tukar
dan standar nilai, uang juga merupakan modal utama bagi perubahan perekonomian dan
penggerak pembangunan. Bahkan, dewasa ini nyaris tak satupun negara yang lepas dari
kebutuhan uang dalam mendanai pembangunannya. Tapi ironisnya tidak sedikit pembangunan di
negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim masih dibiayai oleh modal hutang.
Indonesia termasuk diantara negara-negara yang pembangunannya masih dibiayai oleh modal
hutang yaitu dengan mengandalkan uang pinjaman dari lembaga keuangan multilateral, seperti,
World Bank, ADB dan satu negara donor yang tergabung dalam CGI. Lebih ironis lagi, ajaran
agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk muslim tersebut, tidak pernah mengajarkan
dan menganjurkan umatnya untuk berhutang apalagi menumpuk-numpuk hutang yang akan
membebani generasi setelahnya.
Dari apa yang dikemukakan diatas, diperoleh gambaran betapa pentingnya kedudukan wakaf
dalam masyarakat muslim dan betapa besarnya peranan uang dalam perekonomian dewasa ini.
Hanya saja potensi wakaf yang besar tersebut belum didayagunakan secara maksimal oleh
pengelola wakaf akibat terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai obyek benda yang boleh
diwakafkan serta masih terbatasnya nazir wakaf yang memiliki sumber daya yang profesional
dan manajerial untuk mengelola wakaf. Padahal wakaf memiliki potensi yang sangat bagus
untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat, terutama dengan konsep wakaf Uang.
Terlebih lagi disaat pemerintah tidak mampu menyejahterahkan rakyatnya. Karena itu tulisan
ini dibuat untuk melihat bagaimana legalitas wakaf uang dalam Hukum Islam dan sejauh mana
wakaf uang mampu berperan sebagai alternatif untuk menyejahterakan umat dalam Ekonomi
Islam.
C. Wakaf Uang
Menurut istilah, wakaf uang adalah bagian dari istilah wakaf. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) telah mendefinisikan wakaf uang dalam fatwanya tentang kebolehan wakaf pada 11 Mei
2002 yang menyatakan bahwa wakaf uang (cash wakaf/waqf al-nuqud) adalah wakaf yang
dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai,
termasuk dalam pengertian ini adalah surat-surat berharga (saham dan obligasi). Definisi ini
kemudian diperkuat oleh lahirnya UU No. 41/2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah
No.42 Tahun 2006 tentang wakaf yang menyatakan bahwa uang termasuk bagian dari benda
wakaf. Adapun definisi wakaf yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor : 41 Tahun 2004
tentang Wakaf Pasal 1 ayat 1: Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum menurut syariah.
Lebih lanjut, harta benda wakaf yang dimaksud oleh undang-undang tersebut terdiri dari
benda bergerak dan benda tidak bergerak . Salah satu benda bergerak yang dapat diwakafkan
adalah uang, yaitu penyerahan secara tunai sejumlah uang wakaf dalam bentuk mata uang
rupiah yang dilakukan oleh wakif kepada nazhir melalui lembaga keuangan syariah penerima
wakaf uang (LKS-PWU) yang ditunjuk oleh Menteri Agama atas saran dan pertimbangan Badan
Wakaf Indonesia (BWI) yaitu berupa sertifikat wakaf uang yang diterbitkan oleh LKS-PWU dan
disampaikan kepada wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Lebih lanjut,
nazhir melakukan pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang melalui investasi
pada produk-produk LKS (Lembaga Keuangan Syariah) atau instrument keuangan syariah
dengan syarat harus mengikuti program lembaga penjamin simpan atau diasuransikan pada
asuransi syariah yaitu jika investasi dilakukan diluar bank syariah sebagai wujud kehati-hatian
terhadap harta benda wakaf uang. Adapun hasil dari pengembangan dan pengelolaan investasi
wakaf uang dimanfaatkan keseluruhannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setelah
dikurangi sepuluh persen sebagai hak nazir (pengelola wakaf) dari setiap hasil investasi seperti
diatur dalam Undang-undang Nomor : 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Apabila dilihat dari tata cara transaksi, maka wakaf uang dapat dipandang sebagai salah satu
bentuk amal yang mirip dengan shadaqah. Hanya saja diantara keduanya terdapat perbedaan.
Dalam shadaqah, baik substansi (asset) maupun hasil/manfaat yang diperoleh dari
pengelolaannya, seluruhnya dipindahtangankan kepada yang berhak menerimanya. Sedangkan
dalam wakaf, yang dipindahtangankan hanya hasil atau manfaatnya saja, sedangkan substansi
atau assetnya tetap dipertahankan. Kemudian, juga terdapat perbedaan antara wakaf dan hibah.
Dalam hibah, substansi atau assetnya dapat dipindahtangankan dari seseorang kepada orang lain
tanpa ada persyaratan tertentu. Sementara itu dalam wakaf ada persyaratan penggunaan yang
ditentukan oleh wakif (pemberi Wakaf).
D. Wakaf Uang dalam Hukum Islam
Dikalangan ulama fikih klasik, hukum mewakafkan uang merupakan persolan yang masih
diperselisihkan (ikhtilaf). Perselisihan tersebut lahir karena tradisi yang lazim masyarakat bahwa
mewakafkan harta hanya berkisar pada harta tetap (fixed asset).
Berdasarkan tradisi yang lazim tersebut, maka sebagian ulama masa terdahulu merasa aneh
saat mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al-Anshari, murid dari
Zufar (sahabat Abu Hanifah) tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan; dirham
atau dinar, dan dalam bentuk komoditi yang ditimbang atau ditakar (seperti makanan gandum).
Yang membuat mereka merasa aneh ialah bagaimana mungkin mempersewakan uang wakaf,
bukankah hal itu telah merubah fungsi utama dari uang sebagai alat tukar ? kemudian mereka
mempertanyakan, “Apa yang dapat kita lakukan dengan dana cash dirham?”. Al-Anshari
menjelaskan dengan mengatakan, ”Kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah, dan
keuntungannya kita sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha
mudlarabah kemudian hasilnya disedekahkan”.
Memang, dikalangan mazhab-mazhab fikih, masalah wakaf uang memang pernah dijadikan
bahan diskusi atau perdebatan. Dikalangan Syafi‟iyah misalnya, Imam Nawawi dalam kitabnya,
al Majmu‟, menyatakan, “Dan berbeda pendapat para sahabat kita tentang berwakaf dengan uang
(dirham dan dinar). Orang yang memperbolehkan mempersewakan dirham dan dinar,
membolehkan juga berwakaf dengannya, dan yang tidak memperbolehkan mempersewakannya,
tidak memperbolehkan mewakafnya“.
Ulama Hanifiyah berpendapat, bahwa sah tidaknya berwakaf dalam bentuk uang tunai
tergantung kepada tradisi atau kebiasaan masyarakat setempat. Wakaf uang dirham dan dinar
misalnya, sudah menjadi kebiasaan di negeri Romawi, sehingga berdasarkan prinsip tersebut,
maka wakaf dirham dan dinar sah di tenmpat itu dan tidak sah di tempat lain. Secara lebih jelas
kebolehan wakaf dengan uang terungkap dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin
Abdullah Al-Anshari (murid dari sahabat Abu Hanifah). Fatwa Al-Ansahri b membolehkan
berwakaf dengan barang-barang komoditi yang ditimbang atau ditakar2[2].
Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika memanfatwakan keboleh wakap uang, juga
mempertimbangkan pendapat ulama-ulama besar seperti : (1). Imam Az-Zuhri (wafat 124 H),
yang membolehkan wakaf uang dengan cara menjadikan uang sebagai modal usaha kemudian
hasilnya disalurkan kepada mawquf „alaihi, (2). Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi yang
membolehkan wakaf uang sebagai pengecualian atas dasar istihsan bil-„urf, (3). Abu Tsaur
meriwatkan dari Iman Syafi‟I tentang kebolehan wakaf uang3[3].
2[2] Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Bairut, Daar al-Kutub Ilmiyah, 2000, Jilid 18, Juz 31, hal 101.
3[3] Drs. H. Farid Wadjdi, M.Pd dan Mursyid, M.Si, Wakaf & Kesejahteraan Umat, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2007, hal. 90-91.
Kebolehan wakaf uang sebagiamana beberapa pendapat ulama tersebu, kalau kita
hubungkan dengan kontek masa kini, terutama kalau kita kaitkan dengan funsi uang sebagai
asset yang memiliki likuid, bahwa dengan kekuatan fleksibilitas uang, maka banyak umat Islam
yang bisa ikut berpartisipasi dalam wakaf uang ini. Wakaf uang ini telah banyak dipraktekkan
oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ketika menerima siswa pada tahun ajaran baru, banyak
sekolah Islam atau pondok pesantren yang mewajibkan para siswa baru untuk mewakafkan
sejumlah uang menggantikan pungutan sumbangan gedung.
Kebolehan berwakaf dalam bentuk uang tunai sesuangguhnya membuka peluang bagi asset
wakaf untuk memasuki berbagai usaha investasi seperti syirkah, mudlarabah, murabahah, dan
lainnya. Oleh karena itu, penulis cenderung mendukung pendapat yang membolehkan wakaf
dengan uang seperti yang difatwakan oleh Muhammad bin Abdullah al-Anshari dari kalangan
Hanafiyah. Dan fatwa Al-Anshari juga bisa dijadikan legalitas yang valid bagi kebolehan wakaf
uang.
E. Investasi Wakaf Uang dalam Kegiatan Ekonomi
Dengan muncul dan berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syari‟ah dengan system
bagi hasil, jual beli, dan sewa menyewa, maka semakin mempermudah para pengelola wakaf
(nazir) untuk menginvestasikan dana-dana wakaf yang terhimpun sesuai dengan prinsip-prinsip
syariat Islam. Adapat diantara bentuk-bentuk investasi yang dapat dulakukan oleh pengelola
wakaf ( nazir) ialah sebagai berikut4[4] :
1. Investasi Mudlarabah. Merupakanan salah satu produk keuangan syari‟ah yang ditawarkan
guna mengembangkan harta wakaf. Satu hal yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf (nazir)
dengan system ini adalah membangkitkan sektor usaha kecil dan menengah dengan memberikan
modal usaha kepada petani gurem, para nelayan, pedagang kecil dan menengah (UKM). Dalam
hal ini pengelola wakaf uang berperan sebagai shohibul mal (pemilik modal) yang menyediakan
modal 100% dari kegiatan usaha/proyek dengan system bagi hasil (mudlarabah).
2. Investasi musyarakah. Investasi ini hampir sama dengan investasi mudlarabah. Hanya saja
pada investasi musyarakah ini resiko yang ditanggung oleh pengelola wakaf (nazir) lebih kecil
karena modal usaha ditanggung bersama oleh dua pihak pemilik modal atau lebih. Investasi ini
memberikan peluang kepada pengelola wakaf (nazir) untuk menyertakan modalnya pada sektor
4[4] Hendra Kholid, Wakaf Uang Persepektif Hukum dan Ekonomi (makalah), 2011.
usaha kecil dan menengah UKM) yang dianggap memiliki kelayakan usaha tapi kekurangan
modal untuk mengembangkan usahanya.
3. Investasi Murabahah. Dengan investasi ini pengelola wakaf (nazir) diharuskan berperan
sebagai pengusaha (entrepreneur) yang membeli peralatan dan material yang diperlukan melalui
suatu kontrak murabahah. Adapun keunggulan dari investasi ini pengelola wakaf (nazir) dapat
mengambil keuntungan dari selisih harga pembelian dan penjualan barang. Manfaat dari
investasi ini ialah pengelola wakaf dapat membantu pengusaha-pengusaha kecil yang
membutuhkan alat-alat produksi, misalnya tukang jahit yang memerlukan mesin jahit.
4. Investasi Ijarah. Investasi system ini khusus berlaku bagi harta wakaf yang tidak bergerak,
yaitu mendayagunakan tanah wakaf yang ada dengan disewakan (ijarah). Dalam hal ini
pengelola wakaf (nazir) menyediakan dana untuk mendirikan bangunan di atas tanah wakaf,
seperti pusat perbelanjaan (Commercial Center), rumah sakit, apartemen, dan lainnya. Pengelola
wakaf (nazir) menyewakan gedung tersebut sehingga dapat menutupi modal pokok dan
mengambil keuntungan yang dikehendaki.
Tujuan utama menginvestasikan dana wakaf tersebut, adalah untuk optimalisasi fungsi harta
wakaf dalam rangka mengangkat harkat dan martabat kaum dhu’afa (golongan ekonomi lemah)
dan menjadi sumber dana dakwah dan kegiatan keagamaan lainnya yang tidak tersentuh oleh
pemerintah.
Dana wakaf yang dikelola secara profesional akan mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi umat dan dapat menjadi instrumen pemerataan pendapatan bagi masyarakat Muslim
yang hidup di bawah garis kemiskinan.
F. Sengketa Wakaf
Dalam pengelolaan dan pengembangan harta atau dana wakaf, boleh jadi akan timbul
konflik atau sengketa, khususnya dalam kegiatan investasi wakaf uang antara pengelola wakaf
(nazir) dengan mitranya atau antara pemberi wakaf (wakif) atau pengawas wakaf dengan
pengelola wakaf (nazir). Bila konflik atau sengketa itu tidak dapat diselesaikan secara damai,
maka kemungkinan akan berlanjut ke pengadilan. Lalu yang menjadi pertanyaan, pengadilan apa
yang berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara itu?
Dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kemudian
disempurnakan dengan Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 terakhir dengan Undang-
Undang No. 50 Tahun 2009, Pengadilan Agama diberi wewenang antara lain memeriksa,
memutus, dan menyelasikan perkara di bidang wakaf dan ekonomi syarai‟ah antara orang-orang
yang beragama Islam.
Apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf
sehingga wakaf tidak sesuai dengan peruntukan dan tujuannya, atau ada pihak yang merasa
dirugikan dalam kegiatan investasi itu harta wakaf, maka pengelola wakaf (nazir), maupun
mitranya, bahkan pemberi wakaf (waqif) atau Badan Wakaf Indonesia atau pengawas wakaf
dapat mengajukan gugatan. Jika waqif atau Badan Wakaf atau Pengawas Wakaf yang
mengajukan gugatan karena diduga telah terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pengelola
wakaf (nazir) dalam melakukan investasi dana wakap misalnya, maka perkaranya adalah
sengketa wakaf. Dalam hal ini Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari‟ah dalam memeriksa
sengketa wakaf tersebut, harus teliti dalam memetakan fakta-fakta peristiwa maupun fakta-fakta
hukum secara kronologis dan dalam pembuktian tidak hanya menilai bukti formil, akan tetapi
berupaya untuk membuktikan bukti kebenaran materiil agar kepentingan umum tidak dirugikan
oleh kepentingan perorangan atau kelompok tertentu.
Bila sengketa itu terjadi pada kegiatan investasi antara pengelola wakaf (nazir) dengan
mitranya, maka itu termasuk dalam lingkup sengketa ekonomi syari‟ah. Dalam hal ini
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari‟ah dalam memeriksa sengketa tersebut, harus meneliti
secara cermat akta akad (transaksi) yang dibuat oleh para pihak. Jika di dalam akta akad
(transaksi) tersebut, dimuat suatu klausul yang berisi bahwa bila terjadi sengketa akan memilih
penyelesaian melalui Badan Arbitrase Syari‟ah Nasional (Basyarnas), maka Pengadilan Agama
atau Mashkamah Syari‟ah yang menangani perkara tersebut, secara ex officio harus menyatakan
tidak berwenang5[5].
G. Penutup
Dari pemaparan tersebut, terlihat jelas bahwa Pengelolaan wakaf secara profesional dan
produktif, khususnya wakaf uang akan mampu mensejahterakan umat dan meningkatkan harkat
dan martabat kaum dhu’afa ( golongan ekonomi lemah). Bahkan, jika harta wakaf dikelola
dengan professional, manajerial dan transfaran, nilainya sungguh amat fantastik dan dapat
5[5] Mahkamah Agung RI., Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan
Admnistrasi Peradilan Agama Edisi Revisi, 2010, hal 174-175.
menjadi sosulisi alternatif untuk menanggulangi kemiskinan dan mengurangi pengangguran di
negeri ini. Bila dalam pengelolaan dan pengembangan potensi ekonomi wakaf terjadi sengketa,
maka Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari‟ah berwenang memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikannya selama tidak ada klausul dalam akta akad (transaksi) antara para pihak untuk
menyelesaikannya apabila terjadi sengketa melalui Arbitrase Syari‟ah Nasional (Basyarnas).