mengoptimalkan potensi ekonomi wakaf untuk kesejahteraan umat.pdf

10
Mengoptimalkan Potensi Ekonomi Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat Oleh : Drs. H. Abd. Rasyid As’ad, M.H. (Hakin Pengadilan Agama Kraksaan) A. Pendahuluan Dalam perspektif ekonomi, wakaf didefinisikan sebagai pengalihan dana (aset lainnya) dari keperluan konsumsi dan menginvestasikannya ke dalam aset produktif yang menghasilkan pendapatan untuk konsumpsi di masa yang akan datang baik oleh individual ataupun kelompok1. Dalam Pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya gunana keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari‟ah. Sedangkan Pasal 215 (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan : “wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya sesuai dengan ajaran Islam”. Abu Bakar Al-Jaziri, dalam Minhajul Muslim mendefinisikan wakaf sebagai penahanan harta sehingga harta tersebut tidak bisa diwarisi, atau dijual, atau dihibahkan, dan mendermakan hasilnya kepada penerima wakaf. Wakaf memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Muslim. Selain itu, ekebaradaan wakaf juga telah banyak menfasilitasi para mahasiswa dan sarjana dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana kepada pemerintah. Bahkan ketika terjadi krisis ekonomi global pada akhir tahun 90-an, banyak mahasiswa Indonesia yang melanjutkan pendidikan di Al-Azhar, Cairo yang mengalami kesulitan ekonomi dibantu dengan dana yang dihasilkan dari produktifitas wakaf. Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat islam sejak awal-awal agama Islam masuk di Indonesia. Sebagai kelembagaan Islam, wakaf telah menjadi salan satu penunjang perkembangan masyarakat muslim. Jumlah tanah wakaf di Indonesia sangat banyak. Menurut data dari Kementerian Agama, sampai dengan 2002 jumlah seluruh tanah wakaf di

Upload: tindyop

Post on 05-Dec-2014

51 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

good

TRANSCRIPT

Page 1: Mengoptimalkan  Potensi Ekonomi  Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat.pdf

Mengoptimalkan Potensi Ekonomi Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat

Oleh : Drs. H. Abd. Rasyid As’ad, M.H.

(Hakin Pengadilan Agama Kraksaan)

A. Pendahuluan

Dalam perspektif ekonomi, wakaf didefinisikan sebagai pengalihan dana (aset lainnya)

dari keperluan konsumsi dan menginvestasikannya ke dalam aset produktif yang menghasilkan

pendapatan untuk konsumpsi di masa yang akan datang baik oleh individual ataupun kelompok1.

Dalam Pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa wakaf adalah

perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda

miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan

kepentingannya gunana keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari‟ah.

Sedangkan Pasal 215 (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan : “wakaf adalah perbuatan

hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta

miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya sesuai dengan ajaran Islam”.

Abu Bakar Al-Jaziri, dalam Minhajul Muslim mendefinisikan wakaf sebagai penahanan

harta sehingga harta tersebut tidak bisa diwarisi, atau dijual, atau dihibahkan, dan mendermakan

hasilnya kepada penerima wakaf.

Wakaf memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangkan kegiatan-kegiatan

sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Muslim. Selain itu, ekebaradaan wakaf juga telah

banyak menfasilitasi para mahasiswa dan sarjana dengan berbagai sarana dan prasarana yang

memadai untuk melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan

dana kepada pemerintah. Bahkan ketika terjadi krisis ekonomi global pada akhir tahun 90-an,

banyak mahasiswa Indonesia yang melanjutkan pendidikan di Al-Azhar, Cairo yang mengalami

kesulitan ekonomi dibantu dengan dana yang dihasilkan dari produktifitas wakaf.

Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat islam sejak awal-awal

agama Islam masuk di Indonesia. Sebagai kelembagaan Islam, wakaf telah menjadi salan satu

penunjang perkembangan masyarakat muslim. Jumlah tanah wakaf di Indonesia sangat banyak.

Menurut data dari Kementerian Agama, sampai dengan 2002 jumlah seluruh tanah wakaf di

Page 2: Mengoptimalkan  Potensi Ekonomi  Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat.pdf

Indonesia sebanyak 403.845 lokasi dengan luas 1.566.673.406 M21[1]. Apabila tanah-tanah

wakaf tersebut dikembangkan dan kelola secara produktif, sangat membantu ekonomi

masyarakat yang kurang mampu. Namun sayangnya, tanah-tanah wakaf yang jumlahnya begitu

banyak, pemanfaatannya masih bersifat konsumtif dan belum dikelola secara produktif, sehingga

wakaf di Indonesia belum terasa manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat muslim

yang bekum kecukupan.

Fakta di lapangan, wakaf pada umumnya digunakan untuk membangun masjid, musholla,

sekolah/madrasah, pondok pesatren, rumah yatim piatu, pemakaman, dan sangat sedikit tanah

wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh

masyarakat Muslim yang membutuhkan, khususnya kaum dhu’afa (orang-orang yang lemah

ekonominya). Pemanfaatkan wakaf dari aspek kepentingan peribadatan memang efektif, tetapi

tidak memberi pengaruh kepada perekonomian umat Islam. Apabila wakaf hanya terbatas pada

pembangunan fasilitas peribadatan misalnya, tanpa diimbangi dengan pengelolaan yang

produktif, maka peningkatan kesejahteraan social ekonomi masyarakat dari wakaf tidak akan

dapat terealisasi secara optimal.

Di tengah-tengah usaha pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, harta wakaf sangat

urgen untuk dikelola dan dikembangkan secara produktif agar menghasilkan dana yang dapat

dugnakan untuk membantu meringankan beban ekonomi masyarakat miskin.

Agar wakap dapat membantu meningkatkan kesejahteraan social dan ekonomi masyarakat

Muslim, maka pengembangan dan produktifitas wakat merupakan keniscayaan. Oleh karena itu,

diperlukan paradigma baru dalam system pengelolaam wakaf secara produktif dan

pengembangan wakaf benda bergerak, seperti uang tunai dan saham. Wakaf benda tidak

bergerak seperti tanah dan bangunan perlu didorong agar produktif. Sedangkan wakaf benda

bergeral dikembangkan melalui lembaga-lembaga kekuarangan atau perbankan dan badan

usaha dalam bentuk investasi. Hasil pengembangan wakaf itulah yang kemudian dipergunakan

untuk pendanaan kepentingan social, seperti untuk meningkatan pendidikan, bantuan sarana dan

1[1] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama RI., Pedoman

Pengelolaan &

Pengembangan Wakaf, 2006, hal. 82.

Page 3: Mengoptimalkan  Potensi Ekonomi  Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat.pdf

perasarana ibadah. Di samping itu, dapat juga digunakan untuk membantu pelajar atau

mahasiswa yang kurang mampu sebagai beasiswa dan sebagainya.

B. Urgensi Wakaf

Wakaf yang disyari‟atkan dalam ajaran agama Islam mempunyai dua dimensi sekaligus,

yaitu dimensi religi dan dimensi sosial ekonomi. Dimensi religi karena wakaf merupakan

anjuaran agama yang perlu dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat muslim, sehingga mereka

yang memberi wakaf (waqif) mendapat pahala dari Allah SWT karena mentaati perintahnya.

Sedangkan dimensi sosial ekonomi karena syair‟at wakaf mengandung unsur ekonomi sosial,

hal mana wakaf akan mampu meringankan benan hidup kaum dhu’afa (ekonomi lemah).

Wakaf memang merupakan salah satu sumber dana sosial potensial yang erat kaitannya

dengan kesejahteraan umat di samping zakat, infak dan sedekah. Terlebih lagi karena ajaran

agama menjadi motivasi utama masyarakat untuk berwakaf. Di Indonesia, wakaf telah dikenal

dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia. Sebagai salah satu

institusi keagamaan yang erat hubungannya dengan sosial ekonomi, wakaf telah banyak

membantu pembangunan secara menyeluruh di Indonesia, baik dalam pembangunan SDM

maupun dalam pembangunan sumber daya sosial.

Tak dapat dipungkiri, bahwa sebagian besar rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-

lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun diatas tanah wakaf. Namun amat disayangkan

bahwa persepsi sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia mengenai obyek wakaf masih

terbatas pada tanah dan bangunan dan meskipun saat ini sudah mulai berkembang pada uang,

saham dan benda bergerak lainnya. Demikian pula berdasarkan data yang ada dalam masyarakat,

umumnya wakaf di Indonesia sebagian besar di gunakan untuk kuburan, masjid dan madrasah,

dan sedikit sekali yang di dayagunakan secara produktif. Hal itu tentunya tidak terlepas dari

kenyataan bahwa sebagian besar harta yang diwakafkan baru berkisar pada asset tetap (fixed

asset), seperti tanah dan bangunan.

Dalam perekonomian moderen dewasa ini, uang memainkan peranan penting di dalam

menentukan kegiatan ekonomi masyarakat suatu negara. Disamping berfungsi sebagai alat tukar

dan standar nilai, uang juga merupakan modal utama bagi perubahan perekonomian dan

penggerak pembangunan. Bahkan, dewasa ini nyaris tak satupun negara yang lepas dari

kebutuhan uang dalam mendanai pembangunannya. Tapi ironisnya tidak sedikit pembangunan di

Page 4: Mengoptimalkan  Potensi Ekonomi  Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat.pdf

negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim masih dibiayai oleh modal hutang.

Indonesia termasuk diantara negara-negara yang pembangunannya masih dibiayai oleh modal

hutang yaitu dengan mengandalkan uang pinjaman dari lembaga keuangan multilateral, seperti,

World Bank, ADB dan satu negara donor yang tergabung dalam CGI. Lebih ironis lagi, ajaran

agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk muslim tersebut, tidak pernah mengajarkan

dan menganjurkan umatnya untuk berhutang apalagi menumpuk-numpuk hutang yang akan

membebani generasi setelahnya.

Dari apa yang dikemukakan diatas, diperoleh gambaran betapa pentingnya kedudukan wakaf

dalam masyarakat muslim dan betapa besarnya peranan uang dalam perekonomian dewasa ini.

Hanya saja potensi wakaf yang besar tersebut belum didayagunakan secara maksimal oleh

pengelola wakaf akibat terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai obyek benda yang boleh

diwakafkan serta masih terbatasnya nazir wakaf yang memiliki sumber daya yang profesional

dan manajerial untuk mengelola wakaf. Padahal wakaf memiliki potensi yang sangat bagus

untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat, terutama dengan konsep wakaf Uang.

Terlebih lagi disaat pemerintah tidak mampu menyejahterahkan rakyatnya. Karena itu tulisan

ini dibuat untuk melihat bagaimana legalitas wakaf uang dalam Hukum Islam dan sejauh mana

wakaf uang mampu berperan sebagai alternatif untuk menyejahterakan umat dalam Ekonomi

Islam.

C. Wakaf Uang

Menurut istilah, wakaf uang adalah bagian dari istilah wakaf. Majelis Ulama Indonesia

(MUI) telah mendefinisikan wakaf uang dalam fatwanya tentang kebolehan wakaf pada 11 Mei

2002 yang menyatakan bahwa wakaf uang (cash wakaf/waqf al-nuqud) adalah wakaf yang

dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai,

termasuk dalam pengertian ini adalah surat-surat berharga (saham dan obligasi). Definisi ini

kemudian diperkuat oleh lahirnya UU No. 41/2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah

No.42 Tahun 2006 tentang wakaf yang menyatakan bahwa uang termasuk bagian dari benda

wakaf. Adapun definisi wakaf yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor : 41 Tahun 2004

tentang Wakaf Pasal 1 ayat 1: Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau

menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka

waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan

umum menurut syariah.

Page 5: Mengoptimalkan  Potensi Ekonomi  Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat.pdf

Lebih lanjut, harta benda wakaf yang dimaksud oleh undang-undang tersebut terdiri dari

benda bergerak dan benda tidak bergerak . Salah satu benda bergerak yang dapat diwakafkan

adalah uang, yaitu penyerahan secara tunai sejumlah uang wakaf dalam bentuk mata uang

rupiah yang dilakukan oleh wakif kepada nazhir melalui lembaga keuangan syariah penerima

wakaf uang (LKS-PWU) yang ditunjuk oleh Menteri Agama atas saran dan pertimbangan Badan

Wakaf Indonesia (BWI) yaitu berupa sertifikat wakaf uang yang diterbitkan oleh LKS-PWU dan

disampaikan kepada wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Lebih lanjut,

nazhir melakukan pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang melalui investasi

pada produk-produk LKS (Lembaga Keuangan Syariah) atau instrument keuangan syariah

dengan syarat harus mengikuti program lembaga penjamin simpan atau diasuransikan pada

asuransi syariah yaitu jika investasi dilakukan diluar bank syariah sebagai wujud kehati-hatian

terhadap harta benda wakaf uang. Adapun hasil dari pengembangan dan pengelolaan investasi

wakaf uang dimanfaatkan keseluruhannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setelah

dikurangi sepuluh persen sebagai hak nazir (pengelola wakaf) dari setiap hasil investasi seperti

diatur dalam Undang-undang Nomor : 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Apabila dilihat dari tata cara transaksi, maka wakaf uang dapat dipandang sebagai salah satu

bentuk amal yang mirip dengan shadaqah. Hanya saja diantara keduanya terdapat perbedaan.

Dalam shadaqah, baik substansi (asset) maupun hasil/manfaat yang diperoleh dari

pengelolaannya, seluruhnya dipindahtangankan kepada yang berhak menerimanya. Sedangkan

dalam wakaf, yang dipindahtangankan hanya hasil atau manfaatnya saja, sedangkan substansi

atau assetnya tetap dipertahankan. Kemudian, juga terdapat perbedaan antara wakaf dan hibah.

Dalam hibah, substansi atau assetnya dapat dipindahtangankan dari seseorang kepada orang lain

tanpa ada persyaratan tertentu. Sementara itu dalam wakaf ada persyaratan penggunaan yang

ditentukan oleh wakif (pemberi Wakaf).

D. Wakaf Uang dalam Hukum Islam

Dikalangan ulama fikih klasik, hukum mewakafkan uang merupakan persolan yang masih

diperselisihkan (ikhtilaf). Perselisihan tersebut lahir karena tradisi yang lazim masyarakat bahwa

mewakafkan harta hanya berkisar pada harta tetap (fixed asset).

Berdasarkan tradisi yang lazim tersebut, maka sebagian ulama masa terdahulu merasa aneh

saat mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al-Anshari, murid dari

Zufar (sahabat Abu Hanifah) tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan; dirham

Page 6: Mengoptimalkan  Potensi Ekonomi  Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat.pdf

atau dinar, dan dalam bentuk komoditi yang ditimbang atau ditakar (seperti makanan gandum).

Yang membuat mereka merasa aneh ialah bagaimana mungkin mempersewakan uang wakaf,

bukankah hal itu telah merubah fungsi utama dari uang sebagai alat tukar ? kemudian mereka

mempertanyakan, “Apa yang dapat kita lakukan dengan dana cash dirham?”. Al-Anshari

menjelaskan dengan mengatakan, ”Kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah, dan

keuntungannya kita sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha

mudlarabah kemudian hasilnya disedekahkan”.

Memang, dikalangan mazhab-mazhab fikih, masalah wakaf uang memang pernah dijadikan

bahan diskusi atau perdebatan. Dikalangan Syafi‟iyah misalnya, Imam Nawawi dalam kitabnya,

al Majmu‟, menyatakan, “Dan berbeda pendapat para sahabat kita tentang berwakaf dengan uang

(dirham dan dinar). Orang yang memperbolehkan mempersewakan dirham dan dinar,

membolehkan juga berwakaf dengannya, dan yang tidak memperbolehkan mempersewakannya,

tidak memperbolehkan mewakafnya“.

Ulama Hanifiyah berpendapat, bahwa sah tidaknya berwakaf dalam bentuk uang tunai

tergantung kepada tradisi atau kebiasaan masyarakat setempat. Wakaf uang dirham dan dinar

misalnya, sudah menjadi kebiasaan di negeri Romawi, sehingga berdasarkan prinsip tersebut,

maka wakaf dirham dan dinar sah di tenmpat itu dan tidak sah di tempat lain. Secara lebih jelas

kebolehan wakaf dengan uang terungkap dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin

Abdullah Al-Anshari (murid dari sahabat Abu Hanifah). Fatwa Al-Ansahri b membolehkan

berwakaf dengan barang-barang komoditi yang ditimbang atau ditakar2[2].

Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika memanfatwakan keboleh wakap uang, juga

mempertimbangkan pendapat ulama-ulama besar seperti : (1). Imam Az-Zuhri (wafat 124 H),

yang membolehkan wakaf uang dengan cara menjadikan uang sebagai modal usaha kemudian

hasilnya disalurkan kepada mawquf „alaihi, (2). Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi yang

membolehkan wakaf uang sebagai pengecualian atas dasar istihsan bil-„urf, (3). Abu Tsaur

meriwatkan dari Iman Syafi‟I tentang kebolehan wakaf uang3[3].

2[2] Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Bairut, Daar al-Kutub Ilmiyah, 2000, Jilid 18, Juz 31, hal 101.

3[3] Drs. H. Farid Wadjdi, M.Pd dan Mursyid, M.Si, Wakaf & Kesejahteraan Umat, Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, 2007, hal. 90-91.

Page 7: Mengoptimalkan  Potensi Ekonomi  Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat.pdf

Kebolehan wakaf uang sebagiamana beberapa pendapat ulama tersebu, kalau kita

hubungkan dengan kontek masa kini, terutama kalau kita kaitkan dengan funsi uang sebagai

asset yang memiliki likuid, bahwa dengan kekuatan fleksibilitas uang, maka banyak umat Islam

yang bisa ikut berpartisipasi dalam wakaf uang ini. Wakaf uang ini telah banyak dipraktekkan

oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ketika menerima siswa pada tahun ajaran baru, banyak

sekolah Islam atau pondok pesantren yang mewajibkan para siswa baru untuk mewakafkan

sejumlah uang menggantikan pungutan sumbangan gedung.

Kebolehan berwakaf dalam bentuk uang tunai sesuangguhnya membuka peluang bagi asset

wakaf untuk memasuki berbagai usaha investasi seperti syirkah, mudlarabah, murabahah, dan

lainnya. Oleh karena itu, penulis cenderung mendukung pendapat yang membolehkan wakaf

dengan uang seperti yang difatwakan oleh Muhammad bin Abdullah al-Anshari dari kalangan

Hanafiyah. Dan fatwa Al-Anshari juga bisa dijadikan legalitas yang valid bagi kebolehan wakaf

uang.

E. Investasi Wakaf Uang dalam Kegiatan Ekonomi

Dengan muncul dan berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syari‟ah dengan system

bagi hasil, jual beli, dan sewa menyewa, maka semakin mempermudah para pengelola wakaf

(nazir) untuk menginvestasikan dana-dana wakaf yang terhimpun sesuai dengan prinsip-prinsip

syariat Islam. Adapat diantara bentuk-bentuk investasi yang dapat dulakukan oleh pengelola

wakaf ( nazir) ialah sebagai berikut4[4] :

1. Investasi Mudlarabah. Merupakanan salah satu produk keuangan syari‟ah yang ditawarkan

guna mengembangkan harta wakaf. Satu hal yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf (nazir)

dengan system ini adalah membangkitkan sektor usaha kecil dan menengah dengan memberikan

modal usaha kepada petani gurem, para nelayan, pedagang kecil dan menengah (UKM). Dalam

hal ini pengelola wakaf uang berperan sebagai shohibul mal (pemilik modal) yang menyediakan

modal 100% dari kegiatan usaha/proyek dengan system bagi hasil (mudlarabah).

2. Investasi musyarakah. Investasi ini hampir sama dengan investasi mudlarabah. Hanya saja

pada investasi musyarakah ini resiko yang ditanggung oleh pengelola wakaf (nazir) lebih kecil

karena modal usaha ditanggung bersama oleh dua pihak pemilik modal atau lebih. Investasi ini

memberikan peluang kepada pengelola wakaf (nazir) untuk menyertakan modalnya pada sektor

4[4] Hendra Kholid, Wakaf Uang Persepektif Hukum dan Ekonomi (makalah), 2011.

Page 8: Mengoptimalkan  Potensi Ekonomi  Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat.pdf

usaha kecil dan menengah UKM) yang dianggap memiliki kelayakan usaha tapi kekurangan

modal untuk mengembangkan usahanya.

3. Investasi Murabahah. Dengan investasi ini pengelola wakaf (nazir) diharuskan berperan

sebagai pengusaha (entrepreneur) yang membeli peralatan dan material yang diperlukan melalui

suatu kontrak murabahah. Adapun keunggulan dari investasi ini pengelola wakaf (nazir) dapat

mengambil keuntungan dari selisih harga pembelian dan penjualan barang. Manfaat dari

investasi ini ialah pengelola wakaf dapat membantu pengusaha-pengusaha kecil yang

membutuhkan alat-alat produksi, misalnya tukang jahit yang memerlukan mesin jahit.

4. Investasi Ijarah. Investasi system ini khusus berlaku bagi harta wakaf yang tidak bergerak,

yaitu mendayagunakan tanah wakaf yang ada dengan disewakan (ijarah). Dalam hal ini

pengelola wakaf (nazir) menyediakan dana untuk mendirikan bangunan di atas tanah wakaf,

seperti pusat perbelanjaan (Commercial Center), rumah sakit, apartemen, dan lainnya. Pengelola

wakaf (nazir) menyewakan gedung tersebut sehingga dapat menutupi modal pokok dan

mengambil keuntungan yang dikehendaki.

Tujuan utama menginvestasikan dana wakaf tersebut, adalah untuk optimalisasi fungsi harta

wakaf dalam rangka mengangkat harkat dan martabat kaum dhu’afa (golongan ekonomi lemah)

dan menjadi sumber dana dakwah dan kegiatan keagamaan lainnya yang tidak tersentuh oleh

pemerintah.

Dana wakaf yang dikelola secara profesional akan mampu meningkatkan pertumbuhan

ekonomi umat dan dapat menjadi instrumen pemerataan pendapatan bagi masyarakat Muslim

yang hidup di bawah garis kemiskinan.

F. Sengketa Wakaf

Dalam pengelolaan dan pengembangan harta atau dana wakaf, boleh jadi akan timbul

konflik atau sengketa, khususnya dalam kegiatan investasi wakaf uang antara pengelola wakaf

(nazir) dengan mitranya atau antara pemberi wakaf (wakif) atau pengawas wakaf dengan

pengelola wakaf (nazir). Bila konflik atau sengketa itu tidak dapat diselesaikan secara damai,

maka kemungkinan akan berlanjut ke pengadilan. Lalu yang menjadi pertanyaan, pengadilan apa

yang berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara itu?

Dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kemudian

disempurnakan dengan Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 terakhir dengan Undang-

Undang No. 50 Tahun 2009, Pengadilan Agama diberi wewenang antara lain memeriksa,

Page 9: Mengoptimalkan  Potensi Ekonomi  Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat.pdf

memutus, dan menyelasikan perkara di bidang wakaf dan ekonomi syarai‟ah antara orang-orang

yang beragama Islam.

Apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf

sehingga wakaf tidak sesuai dengan peruntukan dan tujuannya, atau ada pihak yang merasa

dirugikan dalam kegiatan investasi itu harta wakaf, maka pengelola wakaf (nazir), maupun

mitranya, bahkan pemberi wakaf (waqif) atau Badan Wakaf Indonesia atau pengawas wakaf

dapat mengajukan gugatan. Jika waqif atau Badan Wakaf atau Pengawas Wakaf yang

mengajukan gugatan karena diduga telah terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pengelola

wakaf (nazir) dalam melakukan investasi dana wakap misalnya, maka perkaranya adalah

sengketa wakaf. Dalam hal ini Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari‟ah dalam memeriksa

sengketa wakaf tersebut, harus teliti dalam memetakan fakta-fakta peristiwa maupun fakta-fakta

hukum secara kronologis dan dalam pembuktian tidak hanya menilai bukti formil, akan tetapi

berupaya untuk membuktikan bukti kebenaran materiil agar kepentingan umum tidak dirugikan

oleh kepentingan perorangan atau kelompok tertentu.

Bila sengketa itu terjadi pada kegiatan investasi antara pengelola wakaf (nazir) dengan

mitranya, maka itu termasuk dalam lingkup sengketa ekonomi syari‟ah. Dalam hal ini

Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari‟ah dalam memeriksa sengketa tersebut, harus meneliti

secara cermat akta akad (transaksi) yang dibuat oleh para pihak. Jika di dalam akta akad

(transaksi) tersebut, dimuat suatu klausul yang berisi bahwa bila terjadi sengketa akan memilih

penyelesaian melalui Badan Arbitrase Syari‟ah Nasional (Basyarnas), maka Pengadilan Agama

atau Mashkamah Syari‟ah yang menangani perkara tersebut, secara ex officio harus menyatakan

tidak berwenang5[5].

G. Penutup

Dari pemaparan tersebut, terlihat jelas bahwa Pengelolaan wakaf secara profesional dan

produktif, khususnya wakaf uang akan mampu mensejahterakan umat dan meningkatkan harkat

dan martabat kaum dhu’afa ( golongan ekonomi lemah). Bahkan, jika harta wakaf dikelola

dengan professional, manajerial dan transfaran, nilainya sungguh amat fantastik dan dapat

5[5] Mahkamah Agung RI., Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksanaan Tugas

dan

Admnistrasi Peradilan Agama Edisi Revisi, 2010, hal 174-175.

Page 10: Mengoptimalkan  Potensi Ekonomi  Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat.pdf

menjadi sosulisi alternatif untuk menanggulangi kemiskinan dan mengurangi pengangguran di

negeri ini. Bila dalam pengelolaan dan pengembangan potensi ekonomi wakaf terjadi sengketa,

maka Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari‟ah berwenang memeriksa, mengadili, dan

menyelesaikannya selama tidak ada klausul dalam akta akad (transaksi) antara para pihak untuk

menyelesaikannya apabila terjadi sengketa melalui Arbitrase Syari‟ah Nasional (Basyarnas).