menghidupkan konstitusi kepulauan

138
HAK ASASI NELAYAN Terobosan Konstitusi Untuk Selamatkan Rakyat

Upload: ardi-green

Post on 15-Nov-2014

595 views

Category:

Education


0 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

HAK ASASI NELAYANTerobosan Konstitusi Untuk Selamatkan Rakyat

Page 2: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

ii iii

Sejatinya, secara keseluruhan pembatalan HP3 adalah upaya sadar untuk memastikan rakyat Indonesia (baca: keluarga

nelayan tradisional dan masyarakat adat) keluar dari himpitan kemelaratan yang kian bertambah berat.

In fact, the overall annulment of HP3 is a conscious effort to ensure the Indonesian people (traditional fisherfolk families

and indigenous peoples) come out from the crushing pressure of poverty that is growing worse.

Riza Damanik

Page 3: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

HAK ASASI NELAYANTerobosan Konstitusi Untuk Selamatkan Rakyat

PenulisM. Riza Damanik

PrologGunawan

EpilogAbdul Halim

Kata SambutanChairilsyah, S.HDedy RamantaBerry Nahdian Forqan

EditorMida Saragih

PenerjemahMida SaragihAdam PantouwDinar Setiawan

Desain grafisDodo

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Hak Asasi Nelayan:Terobosan Konstitusi untuk Selamatkan RakyatCetakan Pertama, April 2012Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

xl + 232 hal., 17 cm x 24 cm

ISBN: 978-979-19559-5-9

Diterbitkan olehKoalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)Jl. Lengkeng Blok J-5Perumahan Kalibata IndahJakarta 12750IndonesiaTelp. +62 21 798 9522 Faks. +62 21 798 9543Email. [email protected]. www.kiara.or.id

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)The People’s Coalition for Fisheries Justice2012

Page 4: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

Prolog

GunawanSekretaris Jenderal Indonesian Human Rights Committee

for So cial Justice (IHCS)

Privatisasi dan komersialisasi atas sumber-sumber agraria (kekayaan alam) akibat penguasaan dan penggunaan, dalam hal ini adalah pesisir, pulau kecil, dan perairan Indonesia oleh Toean-Toean Modal adalah cerminan dari tiga problematika sekaligus, yaitu problem nasional; problem demokrasi; dan problem kerakyatan

Problem kerakyatan yang berupa terasingnya penduduk desa pesisir dan pulau kecil, nelayan kecil, nelayan masyarakat adat, dan nelayan masyarakat tradisional dari sumber-sumber agraria adalah juga dan turunan dari problem demokrasi. Pertama, teralienasinya tenaga produktif dan kekuatan produktif penduduk desa pesisir dan pulau-pulau kecil, nelayan kecil, nelayan masyarakat adat, dan nelayan masyarakat tradisional telah mengakibatkan perekonomian nasional tidak demokratis sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945; kedua, praktek privatisasi di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perairan telah dilegalkan oleh produk hukum yang disahkan oleh DPR, yang berarti transisi demokrasi di Indonesia adalah basa-basi oligarki kekuasaan (the old reactionary regime) yang secara prosedural melegitimasi reorganisasi dan rekonsolidasi modus operandi nasional dari internasionalisasi modal pasca developmentalisme. Dan itulah problem nasional indonesia ketika negara,

Prologue

GunawanGeneral Secretary of Indonesian Human Rights Committee

for Social Justice (IHCS)

Privatisation and commercialization of agrarian resources (natural resources) through control and utilization, in this case on coastal, small islands and Indonesian water by “Toean-Toean Modal” or the capitalist are the reflection of three problems, which are national, democratic and populist problems.

Populist problematics take form in the marginalization of coastal and small islands communities, small fisherfolk, customary fisherfolk community and traditional fisherfolk from their agrarian resources which also a derivative of democracy problem. First, the alienation of productive labour and productive capacity of coastal and small island communities, also small fisherfolk, customary fisherfolk community and traditional fisherfolk have led to undemocratic national economy based on Article 33 of 1945 Constitution; second, privatization practices of coastal area, small islands and the water has been legalized by law product passed on by the House of Representative, which means the democracy transition in Indonesia is a mere oligarchy (the old reactionary regime) lip service which procedurally legitimize the reorganization and reconsolidation of national operational mode from post-developmentalism international capital. And that constitute national problem in Indonesia, when the government, the

Page 5: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

viii ix

Perekonomian (mode produksi dan alat produksi), dan masyarakat tetap di bawah dominasi dan hegemoni kapitalisme internasional (imperialisme baru).

Cita-cita Indonesia Merdeka 100%

Para pedagang Arab, para petualang Eropa, Dinasti Tiongkok dan India, telah memiliki sebutan tersendiri untuk kepulauan yang kemudian menjadi teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Suatu tempat di antara dua lautan dan dua benua, itulah Nusa Antara, yang kemudian lebih dikenal sebagai Nusantara. UUD 1945 Pasal 25 A menyatakan, ”Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.”

Bercirikan nusantara seharusnya merupakan kesadaran akan posisi Indonesia yang terdiri dari pulau besar, pulau kecil, pantai dan perairan serta kesadaran akan geo-strategis dan geo-politis, bahwasanya Indonesia bukan hanya “perlintasan,” tetapi sekaligus tujuan akibat kekayaan alamnya. Dari era merkantilisme, kolonialisme hingga imperialism baru sekarang ini, strategi pertahanan banyak negara, tidak hanya di kedaulatan teritorialnya saja, tetapi juga keamanan jalur transportasi internasionalnya serta di mana modal mereka ditanamkan.

Hukum internasional yang dibangun lewat mekanisme di PBB (Hukum Internasional HAM) di antaranya Deklarasi Universal HAM, Kovenan Internasional Hak Sipil-Politik dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya—mengakui hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination rights), dan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa diyakini oleh penduduk kepulauan nusantara, yang telah menyatukan diri sebagai bangsa Indonesia yang dibangun lewat pergerakan nasional yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan negara-bangsa Indonesia. Untuk itulah, bangsa Indonesia berhak menguasai dan mempergunakankan tanah-air di kepulauan Indonesia, yang bersifat abadi. Artinya jika negara-bangsa Indonesia lenyap, baru hilanglah hak bangsa tersebut.

economy (production and production tool), and the peoples stay under the hegemony of international capitalism (new imperialism).

Indonesia Aspiration is to be 100% Independent

Arabic trader, Europe traveler, Tiongkok Dynasty and Indian had their own name for a stretch of island that later on become Republic of Indonesia territory. A place between two ocean and two continent, that’s where Nusa Antara1 lies, or known better as Nusantara. The article 25 A of 1945 Constitution stated that “Republic of Indonesia is an archipelagic country with Nusantara characteristic where its boundaries and rights are defined by law.

Nusantara characteristic should be the underlaying conscious of Indonesia’s position which consisted of big islands, small islands, coastal and water, also for the geographically strategic and geopolitics of Indonesia not to be considered merely as a “passage way”, but also a destination in the search of natural resources. In the era of mercantilism, colonialism to recent new imperialism, a nation guard-strategy should not only focusing within its territory, but including the security of international transportation route also sites of investment.

International law built through UN mechanism (International Law on Human Rights) which among other are Declaration on Universal Human Rights, International Convenant on Civil-political Rights and International Convenant on Economy, Social, Cultural Rights–acknowledge the rights of every nation to be self determine, and that to be independent is the rights of every nation. Nusantara peoples believe in the laws, and united as Indonesian which built through national movement which then proclaimed the birth of nation-state Indonesia. Thus, it is the rights of Indonesia as a nation to control and utilize Indonesia territory, eternally. It means, only the collapse of Indonesia can annul the rights.

These nation rights which enable the emergence of concepts governing the citizen rights over agrarian resources as well for nation rights to control over natural resources. The customary communities have special position, which based on, first, their rights guaranteed by the 1945

1.AntarainEnglishmeansbetween,andNusa meansanation

Page 6: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

x xi

Hak bangsa tersebutlah yang kemudian melahirkan konsepsi tentang hak-hak warga negara atas sumber-sumber agraria dan Hak Menguasai Negara Atas Kekayaan Alam. Masyarakat adat mempunyai kedudukan istimewa, hal ini dikarenakan, pertama, hak-haknya dilindungi oleh konstitusi, sebagaimana tercantum di dalam UUD 1945 Pasal 18 B (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Kedua, UUPA 1960 sebagai implementasi dari pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku di Indonesia bersumber dari hukum adat dan masyarakat hukum adat mendapat limpahan wewenang dari pemerintahan pusat sebagaimana Pasal 2 (4) UUPA 1960: “Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.”

Hak Bangsa, Hak Menguasai Negara, Hak Warga Negara, dan Hak Masyarakat Adat, adalah pewujudan bahwa kepulauan nusantara adalah milik publik (rakyat/warga negara), yang akan dikelola lewat 446 badan publik (BUMN, koperasi, kolektivitas masyarakat adat) dan untuk kepentingan publik (negara dan masyarakat).

Para pemimpin perjuangan nasional Indonesia, dalam merumuskan cita-cita Indonesia merdeka, sebagaimana kemudian tersurat dalam Pembukaan UUD 1945, memandang kemerdekaan dari empat hal. Pertama, kemerdekaan adalah hak segala bangsa (self determination rights). Kedua, kemerdekaan adalah penjajahan di atas dunia harus dihapuskan (anti kolonialisme dan anti imperialisme), karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan (hak asasi manusia universal) dan perikeadilan. Ketiga, kemerdekaan adalah pintu gerbang Negara Indonesia, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

Constitution article 18 B (2): “The State recognizes and respects traditional communities along with their traditional customary rights as long as these remain in existence and are in accordance with the societal development and the principles of the Unitary State of the Republic of Indonesia, and shall be regulated by law. ” Second, 1960 Law on Agrarian Land Reform as the implementation of article 33 of 1945 Constitution stated that agrarian reform law of Indonesia is based on customary law and that the indigenous people receive authority from the central government as stated in article 2 (4) of 1960 Agrarian Reform Law: “The execution of natural resources control can be disposed by the state to Swatantra areas and indigenous communities, when needed and as long does not contradict to national interest, according to Government Regulation”

The Nation Rights, state rights of control, citizen rights, indigenous peoples rights, are the manifestation of Nusantara as public possession (peoples/ citizen), managed by 446 public bodies (State owned enterprise, cooperative, indigenous peoples) and for public interest (state and peoples)

The leaders of Indonesia national struggle in formulating the dreamed Independent Indonesia as later on written in the 1945 Constitution preamble, seen independency from four perspectives: first, to be independent is the rights of any nation (self determination rights). Second, independence means all imperialism in the world must be eliminated (anti-colonialism and anti-imperialism), due to violating the humanity (universal human rights) and justice. Third, independence is a gate for Indonesia nation to establish Indonesia government that protect Indonesia peoples and Indonesia’s territory, and to promote peoples welfare, to educate nation lives, and to take part in world order based on independency, eternal peace, and social justice in the form of a sovereign Republic of Indonesia based on Pancasila.2

The underlying meaning of national independency is for a nation-state to manage their agrarian resources (natural resources) for the greatest prosperity of the peoples, which regulated in Article 33 of 1945 Constitution as an effort to eliminate human exploitation, “the strong” over “the weak” (exploitation de l’homme par l’homme). Thus national

2.PancasilaistheofficialphilosophicalfoundationofIndonesia,whichconsistedoffivepoints.Itisoriginatedfromoldjavanesewords,PancameansfiveandSilameansprinciples.

Page 7: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

xii xiii

dan keadilan sosial, dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Pancasila.

Inti makna dari sebuah kemerdekaan nasional adalah agar sebuah negara bangsa (nation state) dapat mengelola sumber-sumber agraria (kekayaan alam) yang dimilikinya untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, sebagai upaya menghapuskan eksploitasi manusia ”yang kuat” kepada manusia ”yang lemah” (exploitation de l’homme par l’homme), perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. UUD 1945 Pasal 33 mengamanatkan: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Alasan berdirinya bangsa Indonesia bukan sekedar konsolidasi primordial tetapi juga konsolidasi nasional ekonomi politik yang harus maju dan muncul, karena kalau gagal akan hilang selamanya di tengah kekuatan besar ekonomi, politik, budaya, dan militer negara-negara besar. Belajar dari negara-negara Asia dan Amerika Latin yang menjawab keterbelakangannya pasca era kolonialisme dengan dua langkah. Langkah pertama adalah penataan kembali kekayaan alam (sumber-sumber agraria) guna menjawab situasi minus kapital (modal) tetapi surplus tenaga kerja dan kekayaan alam melalui pembaruan agraria (reforma agraria). Inilah kekuatan produktif yang dipergunakan untuk langkah kedua, yaitu membangun industri dasar-berat-besar yang mengelola hasil kekayaan alam, yaitu hasil tambang, utamanya baja, guna mendukung industri ringan dan pertanian dan perikanan yang menyerap banyak tenaga kerja serta industri pertahanan khususnya pengadaan alutsista (alat utama sistem persenjataan). Outputnya adalah terpenuhinya beberapa komponen utama kekuatan nasional, antara lain pangan, industri, dan militer. Bersatulah buruh, tani, dan prajurit, menjadi terealisir bukan hanya dalam pertahanan negara tetapi juga kemakmuran bangsa dan rakyat.

economy formulated as a communal endeavor based on family system principle. Article 33 of 1945 Constitution mandated: (1) the economy shall be organized as a common endeavor based upon the principles of the family system. (2) sectors of production which are important for the country and affect the life of the people shall be under the powers of the State; and (3) the land, the waters and the natural resources within shall be under the powers of the State and shall be used to the greatest benefit of the people.

The reason behind the rise of Indonesia is more than just a primordial consolidation but also national economy politic consolidation that has to grow and emerge, and not to fail since its failure will caused a fatal collapse among great powers of economy, politic, culture, and military of the big nations. Learn from Asia and Latin America countries that took two steps in answering their setbacks during post-colonialism era. First, step is re-setting their natural resources (agrarian resources) through agrarian reform to cope with minimum-capital situation but in the other hand have labour surplus and abundance natural resources. This is the productive capacity then used in the second stage, to build basic-weight-big industries to manage the natural resource production, including mining, mainly steel production, to support light-weight industry, agriculture and fishery that labour intensive as well for security industry especially supplying defense equipment.

Then it was perfect to have the national struggle leaders (peoples struggle) as Indonesia founding fathers, which then formulated national economy as written in Republic of Indonesia Constitution of 1945 article 33 regarding natural wealth, sectors of production related to the peoples lives shall be under state control for the greatest benefit of the peoples. State rights of control over the natural resources and sectors of production which peoples lives dependent on should not be interpreted as state possession. The state obligations are to formulate policy (beleid), to govern (bestuursdaad), to regulate (regelendaad), to manage (beheersdaad), and to monitor (toezichthoudendaad). All done for the greatest prosperity of the peoples

Page 8: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

xiv xv

Maka tepatlah ketika tokoh pergerakan nasional (pergerakan rakyat) yang kemudian menjadi founding fathers negara Indonesia yang merdeka, merumuskan perekonomian nasional, yang termaktub dalam konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945 Pasal 33, kekayaan alam dan cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara atas kekayaan alam dan cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidaklah diartikan negara mempunyai. Tetapi negara memiliki tugas untuk merumuskan kebijaksanaan (beleid), melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad); dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad). Itu semua dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran.

Merebut Alat Produksi Pengetahuan

Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 telah menjawab dua pertanyaan sekaligus: “Mengapa Manusia Memberontak” dan “Alasan Berdirinya Sebuah Bangsa.” Namun nilai-nilai konstitusional kemudian meredup seiring dengan praktik depolitisasi, deidelogisasi, dan, politik massa mengambang yang dilakukan oleh rezim militer Orde Baru dengan cara represif maupun korporatisme negara. Sehingga konsolidasi demokrasi dalam transisi demokrasi pasca Orde Baru, bukanlah mengimplementasikan demokrasi ekonomi sebagaimana bunyi pasal 33 ayat 1-3, yaitu perpaduan antara Hak Menguasai Negara dengan Usaha Bersama yang berasas kekeluargaan (gotong-royong). Akan tetapi justru liberalisasi ekonomi, sebagaimana penambahan ayat 4 dalam pasal 33 UUD 1945.

Sedari awal, prinsip dari perekonomian Indonesia di dalam UUD 1945 adalah demokrasi ekonomi. Namun, dalam proses amandemen konstitusi, muncul satu ayat yang secara eksplisit menyebut bahwa perekonomian nasional berdasarkan pada demokrasi ekonomi. Pertanyaannya, apakah dengan pencantuman tersebut justru akan mereduksi atau mempertegas konsep demokrasi ekonomi yang sudah digagas oleh para pendiri republik dalam penyusunan awal konstitusi Indonesia?

Regain Knowledge Production Tool

The 1945 Constitution and its preamble answered to questions at once: “Why peoples revolt?” and “The reason of building a nation”. But then, the constitutional values is fading as the practices of depoliticization, de-ideologyzation, and mass politic emerging, practiced by the New Order military regime (rezim Orde Baru) through either repression or state corporatism. Thus democracy consolidation in the post-New Order democratic transition, did not implement democratic economy as defined in article 33 point 1-3, that is a combination of State Rights of Control through common endeavor based on the principles of the family system (gotong-royong). In contrary, what happened was economy liberalization, using the additional point 4 in article 33 of 1945 Constitution.

Since the beginning, Indonesia economical principle in the 1945 Constitution is democratic economy. But through constitutional amendment, a new point was added and explicitly stated that national economy is based on democratic economy. The question is, wether the additional point is affirming or in the contrary reducing the democratic economy concept aspired by founding fathers of Indonesia in the first constitution arrangement?

The democratic economy principles was stated clearly in Soekarno speech on 1 June 1945 in BPUPKI3 meeting, while explaining the meaning of Pancasila. In his explanation, the “sila” or principles in Pancasila consisted of Belief in God, Internationalism (humanity), nationality (sosio-national), citizenships (sosio-democracy), and prosperity. Through main body of the constitution (article 33 of 1945 constitution) the meaning of democratic economy is explained further. Article (1) stated that the economy is build as a common endeavour based on the principles of the family system. On the next two articles (2) and (3), explained about State rights of control related to 449 with natural resource and sectors of production that peoples lives relied upon.

Meanwhile, post the amendement, the use of democratic economy phrase in the constitution in contrary may be interpreted as liberal competition. “Democratic Economy” in article (4) understood as an equal chance for everyone

3.ThecommitteeforPreparatoryWorkforIndonesiaIndependence,setupinMarch1945bytheJapanese,wherethefirstpresidentandvicepresidentalsoregisteredasthemember.

Page 9: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

xvi xvii

Prinsip demokrasi ekonomi ini tampak jelas dalam Pidato Sukarno pada tanggal 1 Juni 1945 di BPUPKI saat menjelaskan makna yang terkandung di dalam Pancasila. Menurut Sukarno, sila-sila dalam Pancasila terdiri dari Ketuhanan, Internasionalisme (kemanusiaan), Kebangsaan (sosio-nasional), Kerakyatan (sosio-demokrasi), dan Kesejahteraan. Dan melalui Batang Tubuh Konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) makna demokrasi ekonomi dijelaskan lebih lanjut di dalamnya. Ayat (1) menyatakan soal perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama dengan berdasarkan pada asas kekeluargaan. Selanjutnya, dalam ayat (2) dan ayat (3), menjelaskan tentang Hak Menguasai Negara terkait 449 dengan kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Sementara, pasca amandemen, penggunaan kata demokrasi ekonomi dalam konstitusi justru bisa sebagai persaingan bebas. “Demokrasi Ekonomi” dalam ayat (4) dimaknai sebagai pemberian kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk memperoleh akses. Artinya, jika setiap orang harus berusaha, maka setiap orang harus bersaing satu dengan yang lainnya untuk memperoleh kesempatan itu, untuk menggunakan kesempatan itu.

Dalam persaingan tersebut tentu terdapat warga negara Indonesia yang bisa memperoleh hak itu dan ada kelompok masyarakat yang tidak akan memperoleh hak itu. Artinya, akan ada yang menang dan ada yang kalah. Yang akan menang tentu adalah mereka yang mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan untuk memperoleh hak itu. Dan yang mampu, memenuhi syarat-syarat tersebut, biasanya mempunyai modal besar dan menguasai managemen berusaha yang baik, serta menguasai teknologi yang tinggi. Sementara, kelompok-kelompok masyarakat yang tidak memenuhi persyaratan ini, yang tidak termasuk dalam kategori ini, tentu akan tersingkir dari proses persaingan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sesungguhnya pencantuman demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 saat amandemen keempat, justru membuat kerancuan dalam pemaknaan demokrasi ekonomi Indonesia.

Hal ini terjadi karena beberapa kemungkinan. Pertama, ketidakpahaman para stakeholder yang terlibat dalam proses amandemen konstitusi. Kedua, kerancuan itu

to gain access. Meaning, if everyone has to struggle than everyone has to compete each other to gain the chance, to use the chance.

In the competition, it would be expected to have some Indonesia citizens who managed to have the rights while some other groups would be failed. It means, some would loose and some would win. The winners are those who can cope with the requirements set in order to get the rights. Usually those who can meet the requirements are the ones with big capital and have the skill of good business management and have access to high technology. While other communities that failed to meet the requirements or fit into the category, shall be eliminated in the competition process.

Based on the explanation, having the democratic economy phrase in article 33 in the fourth amendement is in fact creating an absurdity in giving meaning to Indonesia democratic economy.

There are some possibility of why it happened. First, misunderstanding among the stakeholders involved in the constitution amendement process. Second, the situation continued due to the supposedly constitution guardian, the Constitutional Court, was focusing more to the normatif issue (narrative) without further assessment on the history of thinking dynamics during the constitution amendement process.

Thus, it become most significant today to re-open the discussion of thinking construction behind national economy which conform to the constitution, by referring to the history of founding father thinking dynamics.

The judicial review in the Constitutional Court has set a new motion direction. First, the attempt to criticize a law product through filing a lawsuit into Constitutional Court has led to critics upon neoliberalism by using constitutionalism frame of reference, to bring an ideology to mass movement, especially for mass organization or NGO and advocates. Second, re introduce the idea of nation, economy, and society in the context of Indonesia independency as mandated by the 1945 Constitution. Third, distributing court materials in the Constitutional Court, as part of critical education in a hope that it would serve as knowledge production tools in the interest of national, democracy and peoples struggles.

Page 10: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

xviii xix

tetap berjalan juga dikarenakan Mahkamah Konstitusi yang diasumsikan sebagai pengawal konstitusi ternyata dalam beracara lebih berkutat pada norma (kalimat) dalam konstitusi, tanpa menilisik lebih jauh tentang sejarah dinamika pemikiran selama proses penyusunan konstitusi.

Maka, menjadi signifikan hari ini untuk mendiskusikan kembali konstruksi pemikiran ekonomi nasional yang sesuai dengan konstitusi, dengan tetap menjadikan sejarah dinamika pemikiran para founding fathers sebagai referensi.

Gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi telah menimbulkan arah gerak baru. Pertama, upaya mengkritisi sebuah produk hukum melalui gugatan di Mahkamah Konstitusi telah mengakibatkan kritik terhadap neoliberalisme dengan menggunakan kacamata konstitusionalisme, sehingga yang terjadi adalah ideologisasi gerakan massa, khususnya organisasi massa atau LSM (NGO) dan para advokat. Kedua, memunculkan kembali gagasan tentang negara, perekonomian, dan masyarakat dalam konsteks kemerdekaan Indonesia seperti yang diamanatkan oleh konstitusi/ UUD 1945. Ketiga, pendistribusian materi-materi persidangan di MK, adalah bahan bagi pendidikan kritis masyarakat yang diharapkan akan menjadi alat produksi pengetahuan bagi kepentingan perjuangan nasional, perjuangan demokrasi dan perjuangan kerakyatan.

Undang-Undang Dasar 1945, sebagai konstitusi Republik Indonesia, dalam mengatur persoalan agraria (bumi, air, angkasa dan isinya) dan kewajiban negara serta hak-hak warga negara, telah menggaris enam hal. Pertama, Indonesia adalah negara kepulauan yang bercirikan nusantara (Pasal 25 A); kedua, kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 (3)); ketiga, cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara (33 (2)); keempat, perekonomian Indonesia berdasarkan kekeluargaan dan demokrasi ekonomi (Pasal 33 (1) dan Pasal 33 (4); kelima, perlindungan hak asasi manusia (Pasal 28 A-J); keenam, Perlindungan hak masyarakat adat (Pasal 18 B, 28 I, dan Pasal 32).

Namun ternyata, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 belum mewujudkan pendekatan Integrated Coastal

The 1945 Constitution, as the constitution of Republic of Indonesia, in regulating agrarian related issue (earth, water, sky and its content) and state obligation including citizen rights, has set six principles. First, Indonesia is an archipelagic country with Nusantara character (article 25 A); second, natural resources under state authority to be managed for peoples prosperity (article 33 (3)); third, sectors of production which peoples lives dependent on shall under state control (article 22 (2)); fourth, Indonesia economy based on family system and democratic economy (article 33 (1) and article 33 (4); fifth, human rights protection (article 28 A-J); sixth, indigenous people rights protection (article 18 B, 28 I, and 32).

Unfortunately, Law No. 27/2007 has yet used Integrated Coastal Management approach, shown by the lack of solution to the unequal utilization and control over natural resources and its contradictory to other laws. Also, the law No. 27/2007 is emphasizing more on investment aspect and tend to be pro-business, thus shrinks the community space, especially small traditional fisherfolk and indigenous people in participating in the management planning.

In spite of having social and environmental regulation included in the law, also for environmental rehabilitation, these aspects are already regulated under different laws, to name a few Law on Limited Liability Company, Law on Environmental Protection and Management, also other law regarding natural resource management and Law on Disaster Risk Management.

Jakarta, March 15th, 2012

Page 11: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

xx xxi

Management, yang ditandai dengan tidak adanya pembaruan atas penguasaan dan pengunaan yang timpang dan adanya ketidaksingkronan dengan undang-undang lainnya. Dan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 juga lebih menekankan pada aspek investasi dan lebih pro dunia usaha, sehingga tidak ada ruang untuk masyarakat khususnya nelayan kecil tradisional dan masyarakat adat dalam pengusulan rencana pengelolaan.

Kalaupun ada pengaturan soal kewajiban sosial dan lingkungan, serta perbaikan lingkungan hidup, sesungguhnya hal-hal tersebut telah diatur di peraturan perundangan yang lain, seperti Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta peraturan perundangan yang terkait pengelolaan sumber daya alam dan Undang-Undang Penanggulangan Bencana.

Jakarta, 15 Maret 2012

Page 12: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

DAFTAR ISIContentsProlog viPrologue

Daftar Isi xxiiiContents

Kata Sambutan xxivPreface

Pengantar xxxviiIntroduction

Pendahuluan: Sekilas Mengenai HP3 1 Foreword: HP3 at a Glance

Bab I. Subtansi Gugatan Koalisi Tolak HP3 11Chapter I. Subtance of the Claim by the “Reject HP3” Coalition

Bab II. Menakar Konstitusinalitas Mahkamah Konstitusi 17Chapter II. Analysis of the Constitutional Court Ruling

Bab III. Terobosan Mahkamah Kontitusi 25Chapter III. Breakthroughs in the Constitutional Court

Bab IV. Ambiguitas Keputusan Mahkamah 33Chapter IV. Ambiguity of Court Rulling

Bab V. Rekomendasi dan Agenda Tindak Lanjut 41Chapter V. Recommendation and Follow-up Agenda

Epilog 46Epilogue

Daftar Pustaka 57Bibliography

Lampiran Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-VII/2010 59Attachment Constitutional Court Ruling No.3/PUU-VII/2010

Biografi Penulis 230Author Biography

Page 13: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

KATA SAMBUTANChairilsyah, S.H

Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia (SHI)

Membaca tulisan Riza Damanik dalam buku ini, Saya memahaminya sebagai sebuah harapan untuk merajut datangnya nuansa baru, tidak hanya sekedar bagi terwujudnya ekspektasi “esok harus lebih baik dari hari sebelumnya”, tetapi bagaimana mengajak kita semua untuk melakukan perlawanan dan pembebasan terhadap praktek ketidakadilan.

Sebab jika tulisan dalam buku ini, hanya ditujukan semata-mata untuk lebih memperjelas dan memahami isi putusan Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan uji materil terhadap Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) yang kemudian membatalkan pasal-pasal terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), maka menurut hemat Saya, buku ini cukup ditulis dan/ atau disusun oleh sekelompok ahli hukum yang akan membahasnya berdasarkan basis keilmuannya.

Karenanya, sebagai seorang intelektual dan praktisi, Saya melihat sesungguhnya harapan penulis melalui buku ini dimaksudkan agar terbangunnya sebuah kekuatan baru yang memiliki kemampuan kembalinya kedaulatan bangsa yang sudah tercabik-cabik oleh rezim ekonomi dan politik.

PREFACEChairilsyah, S.H

Chairman of The Indonesia Green Union (SHI)

Having read what Riza Damanik wrote in this book, I see it as a hope to weave a new nuance, not only for the purpose of “tomorrow must be better than yesterday”, but how to persuade us to take part in the struggle and be free from all injustice practices.

If the purpose of this book merely to clarify and understand the content of Constitutional Court decision which review and judge the judicial review application of Law No.27/2007 regarding Management of Coastal Area and Small Islands (PWP3K) that resulted in the annulment of articles related to Coastal Water Concessions (HP3), then in my opinion, law experts would be enough to write this book from their academical perspective.

Because of that, as an intellectual and practitioner, I see what’s the writer truly hopes for the book is as a way to build a new strength to empower and bring back our sovereignty that has been torn apart by the economic and political regime

As initial requirements to build the new strength, Riza believes that: first, the fisherfolk possessing adequate aggressiveness to look and learn for new policy and program related to fishery which relatively high compare to the previous years.

Page 14: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

xxvi xxvii

Sebagai modal awal untuk terwujudnya kekuatan baru tersebut, Riza Damanik melihatnya: pertama, terdapat agresivitas para nelayan untuk mencari tahu dan mempelajari berbagai kebijakan dan program terkait kenelayanan relatif tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya; kedua, keterlibatan dan perhatian publik—baik yang pro maupun kontra—mulai dari aparatur pemerintah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), politisi, akademisi, mahasiswa/i, praktisi hukum, LSM, budayawan, dan perhatian publik secara umum untuk membincangkan berbagai kebijakan dan program pemerintah dalam lingkup kelautan dan kenelayanan semakin membesar. Hal ini ditunjukkan dengan semakin mengarusutamanya gelombang politik, baik di tingkat lokal, nasional, hingga pada forum-forum global yang mendesakkan terwujudnya keadilan perikanan dalam beragam perspektif.

Akan halnya, putusan Mahkamah Konstitusi dalam permohonan uji materiil ini sendiri, Saya melihatnya baru sebatas pengakuan de jure dan/ atau supplement di tengah gelombang politik yang masih akan terus berjuang merebut pengakuan de facto dari negara.

Perjuangan masyarakat nelayan adalah kebangkitan yang didasari oleh perlawanan terhadap peminggiran dan perampasan hak asasi manusia. Hal tersebut sejalan dengan tujuan utama Indonesia merdeka: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; serta, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Disinilah urgensi kehadiran buku: “Hak Asasi Nelayan, Terobosan Konstitusi untuk Selamatkan Rakyat,” yang ditulis Bung Riza Damanik. Untuk memberi pemahaman yang komprehensif bagi kita bahwa perjuangan nelayan dan organisasi sosial hari ini merupakan perjuangan konstitusional yang identik dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Bersatu-Bersarekat-Berlawan

Jakarta, 21 Maret 2012

Second, a growing public involvement and attention–both for the pros and cons–start from state apparatus, member of the House of Representative (DPR), politician, academician, college students, law practitioner, NGO, humanist, and public attention in general to talk about vast issue of state’s policy and program related to marine and fishery. It can be seen through the emerging political wave, from local, national level, and up to global forums that urging fishery justice from diverse perspectives.

On the Constitutional Court’s decision regarding the judicial review application, I see it as merely a de jure acknowledgement and/or supplement amidst the continuous political waves of seizing back de facto acknowledgement from the state.

The rising struggle of the fishing communities are based on the fight against marginalization and deprivation of human rights. This is in line with the main purpose of an independent Indonesia: to protect the whole nation and the entire homeland of Indonesia; to promote the general welfare; intellectual life of the nation; as well as to participate in the establishment of world order based on freedom, peace and social justice.

This is where the urgency of the presence of the book: “The Fisherfolk’s Rights: Constitution Breakthroughs to Save Peoples,” that written by Riza Damanik. To provide a comprehensive understanding that the struggles of traditional fisherfolk and social organization today is a constitutional struggle that is identical to the ideals of independence Indonesia.

Unite – Associate – Resist!

Jakarta, March 21st, 2012

Page 15: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

KATA SAMBUTAN

Dedy RamantaSekretaris Nasional Kesatuan Nelayan Tradisional

Indonesia (KNTI)

Sejarah penting untuk ditulis, tidak sekedar untuk diingat, sebab ingatan punya keterbatasan. Pesan mulia ini sejalan dengan keinginan KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) untuk menuliskan perjuangan para nelayan dalam merebut kedaulatan hak-hak konstitusinya. Penulisan sejarah perjuangan nelayan dalam konteks perjuangan konstitusional merupakan hal baru dalam tradisi perjuangan kaum nelayan di Indonesia. Maka hadirnya buku ini menjadi modal berharga bagi perjuangan nelayan untuk masa yang akan datang

Jamak diketahui satu dekade belakangan, sebagai sub sektor dari gerakan sosial, gerakan nelayan merupakan sub sektor baru yang keberadaannya masih tertinggal dengan gerakan-gerakan sosial seperti gerakan kaum tani, gerakan kaum buruh maupun gerakan kaum mahasiswa. Meskipun pada era tahun 1960-an gerakan nelayan pernah mengalami kemajuan dengan berkembangnya berbagai koperasi nelayan yang berperan tidak hanya sebagai wadah aktivitas ekonomi, namun juga menjadi sarana pemberdayaan politik para anggotanya (Barisan Nelayan Indonesia). Sayangnya gerakan nelayan waktu itu dianggap sebagai bagian dari gerakan komunis dan ujung-ujungnya ditumpas oleh orde baru.

Nampaknya trauma yang dialami oleh nelayan akibat represi orde baru dan juga depolitisasi yang dilakukan

PREFACE

Dedy RamantaNational Secretary Indonesian Traditional Fisherfolk Unity

(KNTI)

History is important to be written, not just to be remembered, since memory is limited. This noble message is in line with KIARA (The People’s Coalition for Fishery Justice) initiative to write fisherfolk struggle in regain their constitutional rights sovereignty. Writing history of fisherfolk struggle in the context of constitutional rights is a novelty in fisherfolk struggle tradition in Indonesia. Thus, the presence of this book become a valuable asset for fisherfolk struggle in the future.

It is well known during the one last decade, as a subsector of social movement, fisherfolk movement is a new one which existence among other social movements such as peasant, labor, and student movement is still left behind. Although during 1960s fisherfolk movement once a progressive movement as some fisherfolk cooperation evolved and become more than just an economic forum, but also as a political empowerment facility for its members (Indonesia Fisherfolk Front/ BNI). Unfortunately at that time, fisherfolk movement was considered as part of communist movement and by the end dismissed by New Order.

It seems the traumatic experiences of New Order repression and depoliticization by the state have made difficult for fisherfolk movement to evolve. The absence of strong organization among fisherfolk practically made various harmful policy were not significantly responded.

Page 16: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

xxx xxxi

oleh negara membuat gerakan sosial nelayan sulit untuk berkembang. Ketiadaaan organisasi yang kuat di kalangan nelayan praktis membuat berbagai kebijakan yang merugikan nelayan tidak mendapat respon yang berarti

Bahkan rencana privatisasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang kemudian dikenal dengan HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K)—tidak pernah terdengar di kalangan nelayan, khususnya nelayan tradisional. Dari proses pembahasan Rancangan Undang-Undang sampai dengan Pengesahan UU tersebut, “sepi” suara protes yang berasal dari kalangan nelayan sebagai kelompok potensial yang bakal dirugikan. Hal ini menjadi pertanda bahwa negara melalui berbagai perangkatnya tidak berusaha menyambungkan gagasan kebijakan yang dilahirkannya dengan nelayan, sebagai subjek kebijakan yang nantinya akan menerima dampak maupun manfaat.

Latar peristiwa adanya HP3 yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 justru menjadi alat konsolidasi bagi nelayan-nelayan tradisional untuk sadar dan bangkit, bahwa hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar oleh pemerintah melalui serangkaian pasal-pasal yang telah disahkan oleh wakil rakyat. Bahkan, oleh nelayan isu HP3 menjadi salah satu alat konsolidasi lahirnya KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia).

Melalui berbagai rapat-rapat akbar di kampung-kampung nelayan dan pertemuan-pertemuan dengan berbagai ahli di berbagai kampus, nelayan tradisional menyimpulkan bahwa HP3 melanggar hak-hak konstitusi nelayan. Untuk itu setidaknya ada 27 orang nelayan sebagai perwakilan nelayan tradisional untuk melakukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian besar tuntutan nelayan tradisional untuk mencabut HP3 dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007. Meskipun bukan kemenangan besar, putusan tersebut setidaknya menjadi pertanda awal bahwa isu-isu gerakan sosial di kalangan nelayan mulai tumbuh dan mempunyai ruang untuk bersemi.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, selain membatalkan pasal-pasal tentang HP3, juga menyatakan sebuah subyek hukum yang disebut “Nelayan Tradisional”.

Even privatization planning of coastal zone and small island which then known as HP3 (the Coastal Waters Concessions) that provided by Law No. 27/2007 on Management of Coastal Zone and Small Islands (PWK-PPK)–was never be heard between fisherfolk, especially traditional fisherfolk. From the process of Law draft assessment to Law legalization, there was only small voice from fisherfolk as potentially harmed group. This is a sign that the state through its various state instruments did not try to socialize their policy to the fisherfolk, as a policy subject who will receive its impact and benefit.

The background event of HP3 that provided in Law No. 27/2007 turned out to be consolidation mean for traditional fisherfolk to become aware and revive, that the government has violated their constitutional rights through a set of articles legalized by peoples representative. Later on they used HP3 issue as a consolidation tool to establish KNTI (Indonesian Traditional Fisherfolk Unity).

Through rally of meetings in fisherfolk villages and some meetings with various experts in universities, traditional fisherfolk concluded that HP3 has been violated their constitutional rights. Therefore at least there were 27 representative fisherfolk filed a Judicial Review lawsuit to the Constitutional Court. Through Court Ruling No. 3/PUU-VIII/2010, the Court has granted most of their demands to revoke HP3 (Coastal Waters Concessions) in Law no. 27/2007. Although that was not a big victory, at least the decision became an initial sign that social movement issues among fisherfolk has started to grow and have space to evolve.

On that Constitutional Court decision, beside revoked articles of HP3, it also declared “traditional fisherfolk” as a legal subject. This decision is important for us as fisherfolk. Because fisherfolk is a very general term. In fisherfolk works, there are various subpart that connected each other.

The description of fisherfolk is every person who seek or fishing in the sea, lake, or reservoar. When referring to fisherfolk description in Law No.45 / 2009 on Fishery in article 1 paragraph 10, fishermen is a person whom his livelihood is fishing. While the term of small scale fisherfolk contained in Law No.45/2009 article 1 paragraph 11, which means person whose his livelihood is fishing using boat with maximum size 5 (five) gross tons (GT). While according to Directorate General of Fisheries, Department of Agriculture

Page 17: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

xxxii xxxiii

Keputusan ini penting bagi kami sebagai nelayan. Sebab nelayan merupakan istilah yang sangat umum. Di dalam kerja nelayan terdapat berbagai sub bagian yang saling berkaitan.

Makna nelayan adalah setiap orang yang mencari dan atau menangkap ikan di laut, danau maupun waduk. Bila merujuk pengertian nelayan dalam Undang-Undang Perikanan Nomor 45 tahun 2009 pasal 1 ayat 10, Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya menangkap ikan. Sedangkan istilah Nelayan Kecil terdapat dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 pasal 1 ayat 11, yang artinya adalah orang yang mata pencahariannya menangkap ikan untuk kebutuhan sehari-hari dengan menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT). Sedangkan menurut menurut definisi Dirjen Perikanan Departemen Pertanian (tahun 1988) yang disebut nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan binatang atau tanaman air dengan tujuan sebagian atau seluruhnya untuk dijual. Orang yang melakukan pekerjaan seperti membuat perahu, jaring, mengangkut alat tangkap, mengangkut ikan beserta perlengkapannya tidak termasuk nelayan. Demikian juga istri, anak dan anggota keluarga tidak termasuk sebagai nelayan.

Secara hukum pengertian nelayan tradisional hanya terdapat dalam dalam Permendagri No 30 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sumber Daya di Wilayah Laut. Dalam Permendagri Nomor 30 Tahun 2010, nelayan tradisional adalah seseorang yang mata pencahariannya sehari-hari mengeksploitasi sumberdaya laut secara turun temurun dengan menggunakan bahan dan peralatan tradisional. Penjelasan lainnya terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010 perihal Pengujian UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Buku yang ditulis Bung Riza Damanik tentang analisis putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatalan HP3 adalah kontribusi besar bagi perjuangan nelayan dalam merebut hak-hak konstitusinya. Semoga gerakan sosial nelayan segera bersemi kembali.

Salam perjuangan nelayan tradisional!

Jakarta, 02 April 2012

(year 1988), fisherfolk is a person who actively work in harvesting water animal or plant for the purpose of selling half or all of it. Person who works in making boat or net, carrying fishing gear, fish and its tools are not a fisherfolk. Likewise a wife, children and member of the family are not a fisherfolk.

Legally, traditional fisherfolk description only presented in Regulations of Internal Affair Ministry No. 30 Year 2010 on Management of Marine Resources. On that regulation, traditional fisherfolk is a person who his livelihood is exploiting marine hereditarily by using traditional materials and tools. Other explanations present in Constitutional Court Decision No.3 /PUU-VIII/2010 about examination of Law no.27/2007 on Management of Coastal Zone and Small Islands.

The book that written by Riza Damanik about the analysis for Constitutional Court ruling of the HP3 annulment--is a major contribution to traditional fisherfolk struggle to regain the constitutional rights. Hopefully movements of traditional fisherfolk will soon blossomed again!

Greetings for traditional fisherfolk struggle!

Jakarta, April 2nd, 2012

Page 18: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

KATA SAMBUTANBerry Nahdian Forqan

Direktur Eksekutif Nasional WALHI

Koalisi Tolak HP3 yang terdiri dari 9 organisasi masyarakat sipil dan 27 pimpinan organisasi nelayan, pada tanggal 13 Januari 2010 bersama-sama mengajukan gugatan Uji Materi terhadap Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kepada Mahkamah Konstitusi. Di mana yang menjadi pokok utama gugatan adalah terkait dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir yang disingkat dengan sebutan HP3, yang telah memberikan ruang yang sangat besar kepada kepentingan korporasi untuk menguasai dan mengelola wilayah perairan pesisir sekaligus menegasikan kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir pada umumnya.

Melalui proses persidangan, diskusi, kampanye dan berbagai upaya lainnya yang cukup menguras tenaga, pikiran dan energi serta memakan waktu kurang lebih satu setengah tahun, akhirnya gugatan Uji Materi yang disampaikan oleh Koalisi Tolak HP3 membuahkan hasil yang menggembirakan dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Juni 2011, yang inti keputusannya adalah membatalkan pasal-pasal terkait dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).

Tentunya Keputusan Mahkamah Konstitusi ini membawa angin segar bagi gerakan pemenuhan hak asasi nelayan

PREFACEBerry Nahdian Forqan

National Executive Director of WALHI

The Coalition against HP3 (Rights over Coastal Water) consisted of nine civil society organizations and 27 leader of fisherfolk organizations filed judicial review on Law No. 27/2007 regarding Rights of Coastal and Small Islands Management to the Constitutional Court on January 13, 2010. The main subject of the lawsuit set towards the Rights over Coastal Water or HP3, which posses the potential entrance for corporation to take over and manage a given coastal area while negating the interests of fisherfolk and public in general.

Through the court process, discussion, campaign and other efforts that absorbed much thinking process and energy for around one an a half years, a good news finally arrived with the release of the Constitutional Court’s judicial review result on 16 June 2011, stated the annulment of the articles related to HP3.

The Constitutional Court’s decision is bringing new hope for movement concerning on the basic rights fulfillment of fisherfolk and coastal communities through out Indonesia. In this case, the Constitutional Court is affirming nation sovereignty in the face of corporate interest, and put it back to peoples as the highest rights holder to manage their water and coastal area as mandated in the constitution.

Page 19: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

xxxvi xxxvii

dan masyarakat pesisir di Indonesia. Dalam kasus ini Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali akan kedaulatan Negara berhadapan dengan kepentingan korporasi, dan mengembalikannya kembali kepada rakyat sebagai kelompok yang paling berhak atas pengelolaan wilayah perairan dan pesisir sebagaimana konstitusi kita mengamanatkan. Dengan demikian terbuka ruang yang cukup (paling tidak secara konstitusional) bagi nelayan dan masyarakat pesisir, untuk mengelola sumberdaya perairan dan persisir mereka secara mandiri demi mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama, bangsa dan Negara.

Tantangan selanjutnya adalah bagaimana menterjemahkan keputusan Mahkamah Konstitusi ini ke dalam langkah gerak berbagai aktivitas, baik yang dilakukan oleh kelompok organisasi masyarakat sipil maupun kelompok nelayan dan masyarakat pesisir umumnya dalam rangka mendorong pemenuhan hak-hak nelayan dan masyarakat pesisir, terutama dalam pemenuhan hak atas akses dan kontrol terhadap sumber-sumber kehidupan mereka. Mulai dari mengkonstruksikan kembali berbagai regulasi dan kebijakan terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulai kecil termasuk berbagai perizinan yang sudah ada sampai, kepada tindakan konkret di lapangan. Sehingga untuk itu dibutuhkan sebuah analisis terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi ini yang sekiranya mampu memandu kita semua, bukan saja buat kalangan aktivis gerakan sosial, organisasi masyarakat sipil, organisasi/ kelompok nelayan dan masyarakat di wilayah pesisir, namun juga bagi siapapun pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyusun langkah-langkah strategis ke depannya, dalam rangka merebut kembali hak asasi nelayan dan masyarakat pesisir di Indonesia.

Jakarta, 20 Maret 2012

Thus a space is now opened (at least constitutionally) for the fisherfolk and coastal communities to manage their marine and coastal resources independently to build a peaceful and prosperous live, as a nation and a country.

The next challenge is how to translate the decision into stages of action either in civil society organization, in fisherfolk group, or coastal community in general as a way to urge the basic rights fulfillment of fisherfolk and coastal community in general including access and control over their livelihood. Started with reconstructing various regulations and policy related to coastal and small islands management including the existing permits, up to concrete action in the field. Thus, we need an analysis on the decision to guide all of us, not only for social movement activist, civil society organization, fisherfolk organization/groups and coastal community, but also for any interested party to formulate strategic plan ahead in order to reclaim the rights of fisherfolk and coastal community in Indonesia.

Jakarta, March 20, 2012

Page 20: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

PengantarSetelah sekitar 13 tahun menggeluti langsung isu-isu kelautan dan kenelayanan, ada yang berbeda dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Pertama, agresivitas para nelayan untuk mencari tahu dan mempelajari berbagai kebijakan dan program terkait kenelayanan relatif tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian, satu tahapan menuju organisasi nelayan yang kuat: terorganisir, terdidik, dan mandiri—semakin dekat terwujud.

Kedua, menuju lahirnya keterlibatan dan perhatian publik—baik yang pro maupun kontra—mulai dari aparatur pemerintah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), politisi, akademisi, mahasiswa/i, praktisi hukum, LSM, budayawan, dan perhatian publik secara umum untuk membincangkan berbagai kebijakan dan program pemerintah dalam lingkup kelautan dan kenelayanan semakin membesar. Hal ini ditunjukkan dengan semakin mengarusutamanya gelombang politik, baik di tingkat lokal, nasional, hingga pada forum-forum global yang mendesakkan terwujudnya keadilan perikanan dalam beragam perspektif.

Kali ini, Kamis 16 Juni 2011, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) karena terbukti bertentangan dengan konstitusi—Undang-Undang Dasar 1945. Secara vulgar, HP3 melegalkan praktik pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil—untuk kegiatan budidaya, pariwisata, dan pertambangan—kepada sektor swasta, termasuk asing untuk masa pengusahaan 60 tahun akumulatif. Daripada itu, sektoralisme pengelolaan

Introduction

After 13 years of struggling with fishery and marine issues, something different happen in the last four years. First, the aggressiveness of fisherfolk to find and learn various policy and program related to fisher community has been relatively high compare to the previous years. It tells us that we are a step closer to have a strong fisherfolk organization, which are organized, educated and independent.

Second, entering an era of higher public involvement and attention–both pros and cons– started from state apparatus, member of House of Representatives, politician, academicians, college students, law practitioners, NGOs, humanists, and public attention in general to talk about various state’s policy and program in the scope of marine and fisher community. It is seen from the mainstreaming of political wave in broad perspective, either in local and national level, up to global forums urging for fishery justice.

This time, on Thursday, 16 June 2011, the Constitutional Court annulled the Coastal Water Concessions (HP3) that proven violating The 1945 Constitution. In a vulgar way, HP3 legalized the commercial utilization of coastal water and small islands–including for cultivation, tourism, and mining–to private sector including foreigner for 60 year accumulative contract period. Besides, the agrarian resource management (coastal water and small islands) is worsening, and threatening peoples’ life and livelihood quality. Thus, the HP3 annulment is a big moment to bring back the virtue of constitution as guidance to live as a nation and a country. Also to put more value to policy advocacy in ending the

Page 21: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

xl xli

sumber daya agraria (baca: perairan pesisir dan pulau-pulau kecil) kian akut, serta mengancam kualitas hidup dan penghidupan rakyat. Karenanya, pembatalan ketentuan HP3 adalah momentum besar untuk mengembalikan keutamaan konstitusi sebagai panduan hidup berbangsa dan bernegara. Sekaligus menambah bobot advokasi kebijakan untuk mengakhiri sektoralisme pengelolaan sumber daya agraria (secara menyeluruh) di Indonesia.

Di Sulawesi Utara, Selasa 21 Juni 2011, di hadapan sejumlah pimpinan-pimpinan organisasi nelayan tradisional, saya menemukan modalitas juang yang besar untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi ke dalam kehidupan keseharian kaum nelayan.

Bagi mereka yang sedang “terusir” dari ruang hidupnya (baca: perairan pesisir)—mereka ingin merebut kembali hak-haknya dengan cara-cara yang konstitusional. Demikian pula bagi mereka yang (merasa) kehilangan eksistensinya sebagai nelayan tradisional Indonesia—tak sabar ingin mengetahui, adakah terobosan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat memulihkan kembali eksistensi keluarga nelayan. Di saat yang sama, publik luas, baik yang (sebelumnya) pro maupun kontra terhadap HP3, tertarik mendalami Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menghabiskan waktu persidangan lebih dari 1 tahun 5 bulan tersebut.

Kesemuanya, mengharapkan adanya dokumen analisis sederhana terhadap putusan Mahkamah Konstitusi: yang berisikan 169 halaman, dengan kerumitan sistematika penulisan dan bahasa hukumnya yang khas.

Untuk itulah, analisis putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Uji Materi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil perlu dituliskan. Agar dapat memberikan gambaran yang lebih sederhana terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi, sekaligus berharap dapat memicu diskusi konstruktif untuk mengoperasionalkan hal-hal yang bermanfaat dari putusan ini untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kalibata, 2 Juli 2011

M.Riza Damanik Sekretaris Jenderal KIARA

Ketua Koalisi Tolak HP3

sectoralism approach in agrarian resource management (as a whole) in Indonesia

At this moment, after the Constitutional Court Ruling annuling the articles related to Coastal Water Concessions (HP3), Thursday, June 16, 2011, I have again found both. In North Sulawesi, Tuesday, June 21, 2011, in the presence of numbers of traditional fisherfolk organization leaders, I found a great fighting spirit to further follow-up the Constitutional Court Ruling in the fisherfolk’s daily lives.

For those that have been “evicted” from their living space (coastal water)–they want to win back their rights constitutionally. The same also for those that who (feel) have lost their existence as Indonesian traditional fisherfolk–impatiently wanting to know if there is any breakthrough in Constitutional Court Decision that can bring back their existence. At the same time, public in general, either (previously) pros or cons toward HP3, is interested in understanding the Constitutional Court Decision that had been taking one year and 5 months of hard works.

Everyone is expecting a written document of simple analysis of the Constitution Court’s decision: a 169 pages decision of sophisticated systematic in its typical law language.

That is why the analysis of the Constitutional Court’s decision on Judicial Review upon Law no. 27/2007 regarding Rights of Coastal Area and Small Islands management needed to be written. To bring a simpler picture of the Constitutional Court’s decision and at the same time in a hope to bring a more constructive discussion to operate useful items stated in the decision for peoples’ prosperity at the greatest.

Kalibata, July 2nd, 2011

M.Riza Damanik General Secretary of KIARA

Chairman of the Reject HP3 Coalition

Bagi mereka yang (merasa) kehilangan eksistensinya

sebagai nelayan tradisional Indonesia—tak sabar

ingin mengetahui, adakah terobosan Putusan

Mahkamah Konstitusi yang dapat memulihkan kembali

eksistensi keluarga nelayan.

Those who (feel to) have lost their existence as Indonesian

traditional fisherfolk are impatient to find out whether

there is a breakthrough in the Constitutional Court

Ruling that can restore the fisherfolk’s family way of life.

Page 22: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

xlii 1

PENDAHULUANFOREWORD

SEKILAS MENGENAI HP3

HP3 at a Glance

Page 23: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

2 3

Pada tanggal 26 Juni 2007, dalam Sidang Paripurnanya, DPR RI mengesahkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK). Konon idenya adalah sebagai sebuah terobosan untuk mengurai konflik peraturan perundangan yang (sebelumnya) telah mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk menjembatani keinginan negara melindungi kepentingan keluarga nelayan dan masyarakat adat. Asumsinya, dengan hadirnya undang-undang tersebut, pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat berjalan ke arah maksimal.

Secara prosedural, penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) PWP-PPK memakan waktu yang panjang dan melibatkan sejumlah pihak, termasuk asing. Yakni, diperlukan waktu tujuh tahun lebih untuk mengesahkan undang-undang ini.

Hal ini cukup beralasan. Sebab, di saat proses penyusunan berlangsung, ditemukan sedikitnya 20 undang-undang yang melakukan pengaturan di wilayah pesisir (DKP, 2001). Akibatnya, pengelolaan wilayah pesisir tidak pernah berjalan efektif; cenderung eksploitatif; bahkan, tidak memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan nelayan tradisional. Padahal, sekitar 91,8 persen pelaku perikanan di Indonesia adalah merupakan nelayan tradisional, dengan kontribusi pangan perikanan untuk kebutuhan konsumsi domestik, sebesar 92 persen dari total produksi tahunannya (KIARA, 2011).

Diawali dengan penyusunan Naskah Akademik pada paruh kedua tahun 2000, yang melibatkan akademisi, praktisi hukum, LSM, juga memperoleh masukan dari sejumlah ahli dari luar, terutama dari Rhode Island

On June 26, 2007, Indonesia’s Legislature in their Plenary Meeting passed on Law No. 27 year 2007 on Management of Coastal Water and Small Islands (PWK-PPK). Supposedly that was a breakthrough to solve the previous conflicting law between regulating coastal zone and small island, and state willingness to protect the interest of fishermen’s family and customary community. Assumed, with that law, the development of coastal zone and small island would be maximized.

By the procedure, preparation of the draft law (RUU) of PWP-PPK needs a longer time and involving some stakeholders, including foreign party. It took more than 7 years to legalize this law.This is reasonable. Since during the preparation process, at least 20 laws on management of coastal zone (DKP, 2011) were found. As the result, management of coastal zone had never ran effectively; tend to be exploitative; did not even provide the law certainty and protection to indigenous people and traditional fisherfolk. Whereas, around 91,8 percent of fishery actors are traditional fisherfolk, with fishery contribution as food for domestic consumption, amount to 92 percent of total yearly production (KIARA, 2011).

Began with preparation of Academic Manuscript on second half of year 2000, that involved academician, law practitioner, non-governmental organization, also received inputs from foreign expert, particularly from Rhode Island University, and some public policy practitioners from USA..

Likewise on budgetary context. Besides used state budgets allocation, from initiation, preparation, to socialization phases of PWP-PKK Law—either directly or indirectly—also involved a set of international financing, for example USAID, and also foreign debt from ADB and World Bank.

Page 24: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

4 5

University dan sejumlah pegiat kebijakan publik asal Amerika Serikat.

Demikian halnya dalam konteks anggaran. Selain menggunakan alokasi anggaran negara, pada tahap inisiasi, penyusunan hingga sosialisasi UU PWP-PPK—baik secara langsung maupun tidak langsung—diketahui pula melibatkan serangkaian pembiayaan asing, semisal Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika (USAID), termasuk utang luar negeri yang bersumber dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia.

Tidak justru melakukan koreksi terhadap ketimpangan penguasaan dan pengusahaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Demikian halnya mengurai tumpang-tindih antar peraturan perundang-undangan yang mengatur kawasan tersebut. Undang-undang PWP-PPK justru mempromosikan ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) sebagai instrumen legal pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil—untuk kegiatan budidaya, pariwisata, dan pertambangan—kepada sektor swasta, termasuk asing.

Lebih rinci, obyek HP3 berupa permukaan air, kolom, hingga dasar perairan dengan masa pengusahaan 60 tahun akumulatif. Bahkan, dapat beralih, dialihkan dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan.

Dengan demikian itu, substansi HP3 dipastikan akan melegalkan pencabutan hak-hak keluarga nelayan, masyarakat adat dan pesisir dalam mengakses sumber daya baik di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

Apalagi, praktik penghancuran ekosistem pulau, pengkaplingan laut, dan penggusuran nelayan terus mengemuka belakangan ini. Setidaknya dalam catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) rentang empat tahun terakhir, tidak kurang dari 42 kawasan ekologis penting: pesisir dan pulau-pulau kecil—terus “digali” oleh industri pertambangan.

Bahkan, lebih dari 20 pulau telah dikapling asing untuk industri pariwisata; sekitar 50 ribu hektar lahan konsesi budidaya di bawah pengusahaan asing; 20 pulau kecil (termasuk yang di perbatasan) tengah “diadopsi” oleh perusahaan mineral, minyak dan gas. Belakangan, sekitar satu juta hektar ekosistem pesisir sudah dikonversi untuk

Konon idenya adalah sebagai sebuah terobosan

untuk mengurai konflik peraturan perundangan yang (sebelumnya) telah mengatur wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil, termasuk menjembatani

keinginan negara melindungi kepentingan keluarga nelayan

dan masyarakat adat.

It is said that the idea was to make it a breakthrough

to resolve the conflict of laws which had (previously)

regulated coastal water areas and small islands,

including to bridge the state’s intent to protect the interests

of fisherfolk families and indigenous peoples.

There was no corrective action to inequality in coastal area and small island resource control and operation. Likewise, no resolution on the overlapping legal regulations that govern those area. Law of PWP-PPK even promoting the provision of the Coastal Water Concessions (HP3) as a legal instrument on managing coastal water and small islands—for cultivation, tourism, and mining—to private sector, including foreign party.

More detail, subject to HP3 is including water surface, water column, to seabed zone with 60 accumulative years of concession. Even, it can be switched and used as debt collateral charged with a mortgage.

Thus, the substance of HP3 automatically become the legal basis in eliminating the rights of fisherfolk’s family, coastal customary communities to access their natural resources, both in their coastal and small islands territories.

Moreover, the practices of damaging an island ecosystem, sea allotment, and forcedly evicting fisherfolk continue to appear recently. Based on KIARA’s note at least in the last four years, there are no less than 42 ecologically important areas: coastal area and small island—that keep “digging up” by mining industry.

Even, more than 20 islands already allotted by foreign party for tourism industry; about 50 thousand hectares of cultivation concession area is under foreign control; 20 small islands (including in state border) are “adopted” by mineral, oil, and gas companies. Recently, about one million hectares of coastal ecosystem had been converted in to palm oil plantation and coastal reclamation project. All of it potentially bring exacerbate pressure of fishermen family poverty. All mentioned above has the potential in exacerbating the poverty of fisherfolk’s family.

Based on the above considerations, on January 13th, 2010 Indonesia civil society coalition filed a Judicial Review against Laws No. 27 year 2007, of an articles related to HP3 to the Constitutional Court. This coalition then named The Coalition against HP3.

Besides gained support from 9 civil society organizations and 27 fishermen organization leader, this this attempt also supported by experts and academicians, such as: Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH., M.Si.; Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH, MH.; Prof. Dr. Ronald. Z. Titahelu, S.H., M.S.; Dedi Supriadi

Page 25: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

6 7

perluasan perkebunan sawit dan pembangunan reklamasi pantai. Kesemuanya berpotensi memperparah himpitan kemiskinan keluarga nelayan.

Dengan berdasar pada pertimbangan tersebut di atas, koalisi masyarakat sipil Indonesia pada tanggal 13 Januari 2010 mengajukan gugatan Uji Materi (Judicial Review) terhadap Undang-Undang No. 27 Tahun 2007. Yakni, terhadap pasal-pasal terkait HP3 ke Mahkamah Konstitusi. Koalisi ini selanjutnya disebut Koalisi Tolak HP3 .

Selain mendapat dukungan dari 9 organisasi masyarakat sipil dan 27 pimpinan organisasi nelayan, upaya pembatalan tersebut juga mendapat dukungan dari para ahli dan akademisi, di antaranya: Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH., M.Si.; Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH, MH.; Prof. Dr. Ronald. Z. Titahelu, S.H., M.S.; Dedi Supriadi Adhuri, Ph.D; dan, Henry Thomas Simarmata. Demikian juga sejumlah saksi dari nelayan dan masyarakat adat: Bapak Karyono, Bapak H. Masnun dan Bapak Bona Beding.

Adhuri, Ph.D; and, Henry Thomas Simarmata. Likewise some witnesses from fishermen and indigenous people: Karyono, H. Masnun and Bona Beding.

Table. List of Petitioners for Judicial Review of Law Number 27 of 2007

No Organizations No Fisherfolk

1 The People’s Coalition on Fishery Justice (KIARA) represented by M Riza Adha Damanik 1 Tiharom

2 Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS) represented by Gunawan 2 Waun

3Centre Study for Ocean Development and Maritime Civilization (PK2PM) represented by Muhamad Karim

3 Wartaka

4 Agrarian Reform Consortium (KPA) represented by Idham Arsyad 4 Carya Bin Darja

5 Indonesia Peasant Union (SPI) represented by Henry Saragih 5 Kadma

6Indonesian Secretariat for the Development of Human Resources in Rural Area-InDHRRA/ Bina Desa represented by Dwi Astuti

6 Saidin

7 The Indonesian Legal Aid Foundation (YLBHI) represented by Patra Mijaya Zein; 7 Jamhuri

8 Friends of The Earth Indonesia (WALHI) represented by Berry Nahdian Forqan 8 Rosad

9 The Indonesian Peasant Alliance (API) represented by Muhammad Nur Uddin 9 Tarwan

10 Tambrin Bin Tarsum

11 Yusup

Tabel. Daftar Pemohon Uji Materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

No Organisasi No Nelayan

1Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) diwakili oleh M Riza Adha Damanik

1 Tiharom

2 Indonesian Human Right Committe for Social Justice (IHCS) diwakili oleh Gunawan 2 Waun

3Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) diwakili oleh Muhamad Karim

3 Wartaka

Page 26: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

8 9

4 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) diwakili oleh Idham Arsyad 4 Carya Bin Darja

5 Serikat Petani Indonesia (SPI) diwakili oleh Henry Saragih 5 Kadma

6 Yayasan Bina Desa Sadajiwa diwakili oleh Dwi Astuti 6 Saidin

7Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diwakili oleh Patra Mijaya Zein;

7 Jamhuri

8Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) diwakili oleh Berry Nahdian Forqan

8 Rosad

9 Aliansi Petani Indonesia (API) diwakili oleh Muhammad Nur Uddin 9 Tarwan

10 Tambrin Bin Tarsum 11 Yusup 12 Rawa Bin Caslani 13 Kasirin 14 Salim 15 Warta 16 Rakim Bin Taip 17 Kadim

18 Abdul Wahab Bin Kasda

19 Mujahidin 20 Kusnan 21 Caslan Bin Rasita 22 Kartim 23 Rastono Bin Cartib 24 Ratib Bin Takrib 25 Wardi 26 Andi Sugandi 27 Budi Laksana

12 Rawa Bin Caslani 13 Kasirin 14 Salim 15 Warta 16 Rakim Bin Taip 17 Kadim

18 Abdul Wahab Bin Kasda

19 Mujahidin 20 Kusnan 21 Caslan Bin Rasita 22 Kartim 23 Rastono Bin Cartib 24 Ratib Bin Takrib 25 Wardi 26 Andi Sugandi 27 Budi Laksana

Page 27: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

10 11

BAB ICHAPTER I

SUBTANSI GUGATAN KOALISI TOLAK HP3

SUBSTANCE OF THE CLAIM BY THE “REJECT

HP3” COALITION

Page 28: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

Secara substansi, terdapat 7 pokok pikiran yang melatari upaya Uji Materi terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil oleh Koalisi Tolak HP3.

1. Bahwa Pasal 1 angka 44, angka 75, dan angka 186, Pasal 16 ayat (1)7, Pasal 23 ayat (2)8 dan ayat (4)9 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 sebagai penjelasan objek HP3 tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lain sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

2. Bahwa Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang mengatur konsep HP3 sebagai hak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;

4. SumberDayaPesisirdanPulau-PulauKeciladalahsumberdayahayati,sumberdayanonhayati;sumberdayabuatan,danjasa-jasalingkungan;sumberdayahayatimeliputiikan,terumbukarang,padanglamun,mangrovedanbiotalautlain;sumberdayanonhayatimeliputipasir,airlaut,mineraldasarlaut;sumberdayabuatanmeliputiinfrastrukturlautyangterkaitdengankelautandanperikanan,danjasa-jasalingkunganberupakeindahanalam,permukaandasarlauttempatinstalasibawahairyangterkaitdengankelautandanperikanansertaenergigelombanglautyangterdapatdiWilayahPesisir.

5. PerairanPesisiradalahlautyangberbatasandengandaratanmeliputiperairansejauh12millautdiukurdarigarispantai,perairanyangmenghubungkanpantaidanpulau-pulau,estuari,teluk,perairandangkal,rawapayau,danlaguna.

6. HakPengusahaanPerairanPesisir,selanjutnyadisebutHP3,adalahhakatasbagian-bagiantertentudariperairanpesisiruntukusahakelautandanperikanan,sertausahalainyangterkaitdenganpemanfaatanSumberDayaPesisirdanPulau-PulauKecilyangmencakupataspermukaanlautdankolomairsampaidenganpermukaandasarlautpadabataskeluasantertentu.

7. PemanfaatanperairanpesisirdiberikandalambentukHP3.

8. PemanfaatanPulau-PulauKecildanperairandisekitarnyadiprioritaskanuntuksalahsatuataulebihkepentinganberikut:a.konservasi;b.pendidikandanpelatihan;c.penelitiandanpengembangan;d.budidayalaut;e.pariwisata;f.usahaperikanandankelautandanindustriperikanansecaralestari;g.pertanianorganik;dan/atauh.peternakan.

9. PemanfaatanperairanpesisirdiberikandalambentukHP3.

Substantially, there are seven main ideas that underlie efforts to Judicial Review of Law Number 27 of 2007 on the Management of Coastal Areas and Small Islands by the Reject HP3 Coalition.

1. Article 1 number 44, number 75 and number 186, article 16 paragraph (1)7, article 23 paragraph (2)8 and paragraph (4)9 Law No. 27 of 2007 as an explanation of the HP3 objects overlapped with other laws and caused legal uncertainty and are contradictory to article 28D paragraph (1) of the 1945 Constitution;

2. Article 1 number 18 of Law No. 27 of 2007 that governs the concept of HP3 are contrary to article 33 paragraph (2) and paragraph (3) of the 1945 Constitution;

4.CoastalandSmallIslandsResourcesarethebiological,non-biologicalresources;artificialresources,andenvironmentalservices;biologicalresourcesincludefish,coralreefs,seagrassbeds,mangrovesandothermarinebiota;non-biologicalresourcesincludesand,sea,seabedminerals;artificialresourcesincludingmarineinfrastructurerelatedtomarineandfisheries,andenvironmentalservicesofnaturalbeauty,theseafloorsurfaceforunderwaterinstallationsrelatedwithmarineandfisheriesalsooceanwaveenergycontainedinCoastalAreas.

5.Coastalwatersaremarinewatersadjacenttolandcoveringasfaras12nauticalmilesfromthecoastline,thewaterslinkingtheshoreandislands,estuary,bay,shallowwaters,brackishmarshes,andlagoons.

6.CoastalWatersConcessions,hereinafterreferredtoasHP3,istherightovercertainpartsofthecoastalwatersformarineandfisherybusiness,aswellasotherbusinessesassociatedwiththeutilizationofCoastalAreasandSmallIslandsResourcesthatcoverstheseasurfaceandwatercolumndowntothesurfaceoftheseafloortoacertainlimitedextent.

7.TheutilizationofcoastalwatersisgivenintheformofHP3.

8.TheutilizationofSmallIslandsandsurroundingwatersisprioritizedforoneormoreofthefollowinginterests:a.conservation;b.educationandtraining;c.researchanddevelopment;d.marineculture;e.tourism;f.fisheriesandmaritimeaffairsalsofisheriesindustriesinasustainablemanner;g.organicfarming;and/orh.farms.

9.TheutilizationofSmallIslandsandsurroundingwatersreferredtoinparagraph(2)andmeettherequirementsinparagraph(3)shallhaveHP3issuedbytheGovernmentorLocalGovernmentinaccordancewiththeirauthority.

Page 29: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

14 15

3. Bahwa Pasal 14 ayat (1)10 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A , Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

4. Bahwa Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2)11 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang mengatur HP3 bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Pasal 28A UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

5. Bahwa Pasal 20 ayat (1)12 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang memperkenankan HP3 sebagai objek hak tanggungan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

6. Bahwa Pasal 23 ayat (4), ayat (5)13, dan ayat (6)14 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang mewajibkan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya mempunyai HP3 yang diterbitkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.

7. Bahwa Pasal 60 ayat (1) huruf b15 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

3. Article 14 paragraph (1)10 of Law No. 27 of 2007 is contrary to article 1 paragraph (3), article 28A, article 28D paragraph (1), article 28I paragraph (2) and article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution.

4. Article 16 paragraph (1) and paragraph (2)11 of Law No. 27 of 2007 on HP3 are contradictory to article 18B paragraph (2) of the 1945 Constitution, article 28A of the 1945 Constitution and article 33 paragraph (1) and paragraph (3) of the 1945 Constitution.

5. Article 20 paragraph (1)12 of Law No. 27 of 2007 which allows HP3 to be an object of mortgage is contrary to article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution.

6. Article 23 paragraph (4), paragraph (5)13, and paragraph (6)14 of Law No. 27 of 2007 that requires the utilization of small islands and surrounding waters to possess HP3 issued by the government or local government are contrary to article 18B (2), article 28C paragraph (2), and article 28H paragraph (2) of the 1945 Constitution.

7. Article 60 paragraph (1) letter b15 Law Number 27 Year 2007 is contradictory to article 28A, article 28E paragraph (1) and paragraph (2) and article 28G paragraph (1) of the 1945 Constitution.

10. UsulanpenyusunanRencanaStrategisWilayahPesisirdanPulau-pulauKecil(RSWP-3-K),RencanaZonasiWilayahPesisirdanPulau-pulauKecil(RZWP-3-K),RencanaPengelolaanWialayahPesisirdanPulau-pulauKecil(RPWP-3-K),danRencanaAksiPengelolaanWilayahPesisirdanPulau-pulauKecil(RAPWP-3-K)dilakukanolehPemerintahDaerahsertaduniausaha.

11. HP3sebagaimanadimaksudpadaayat(1)meliputipengusahaanataspermukaanlautdankolomairsampaidenganpermukaandasarlaut.

12. HP3dapatberalih,dialihkan,dandijadikanjaminanutangdengandibebankanhaktanggungan.

13. UntukpemanfaatanPulau-PulauKecildanperairandisekitarnyayangtelahdigunakanuntukkepentingankehidupanMasyarakat,PemerintahatauPemerintahDaerahmenerbitkanHP3setelahmelakukanmusyawarahdenganMasyarakatyangbersangkutan.

14. Bupati/walikotamemfasilitasimekanismemusyawarahsebagaimanadimaksudpadaayat(5).

15. …memperolehkompensasikarenahilangnyaaksesterhadapSumberDayaPesisirdanPulau-PulauKecilyangmenjadilapangankerjauntukmemenuhikebutuhanakibatpemberianHP3sesuaidenganperaturanperundang-undangan.

10.TheproposedStrategicPlanforCoastalAreasandSmallIslands(RSWP-3-K),theZoningPlanofCoastalAreasandSmallIslands(RZWP-3-K),ManagementPlanofCoastalAreasandSmallIslands(RPWP-3-K),andtheActionPlanforManagementofCoastalAreasandSmallIslands(RAPWP-3-K)isformulatedbytheLocalGovernmentandtheprivatesector.

11.TheHP3asreferredtoinparagraph(1)includesthemanagementoftheseasurfaceandwatercolumnuptothesurfaceoftheseafloor.

12.TheHP3cantransfer,betransferred,andregisteredascollateralbyapplyingmortgage.

13.FortheutilizationofsmallislandsandsurroundingwatersthathavebeenusedforthebenefitoflivelihoodoftheCommunity,theGovernmentorLocalGovernmentissuesHP3afterconsultatingwiththeimpactedcommunities.

14.Regent/Mayorfacilitatestheconsultationmechanismreferredtoinparagraph(5).

15....obtaincompensationforthelossofaccesstotheCoastalandSmallIslandsResourcesthathasbeenthelivelihoodtofulfilltheneedsasaresultofHP3grantinginaccordancewiththelegislation.

Page 30: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

16 17

BAB IICHAPTER II

MENAKAR KONSTITUSIONALITAS

PENGELOLAANANALYSIS OF THE CONSTITUTIONAL

COURT RULING

Page 31: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

Ditengah sedang bergesernya praktik liberalisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia: dari ruang darat ke laut. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, melalui Surat Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010, tertanggal 16 Juni 2011, mengabulkan permohonan Koalisi Tolak HP3 dan membatalkan ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Di atas kertas, kebijakan mengkavling ruang hidup nelayan tradisional dan masyarakat adat di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil—dibatalkan.

Terdapat dua persoalan pokok yang perlu dijawab oleh Mahkamah Konstitusi terhadap permintaan Uji Materi UU PWP-PPK yang diajukan Koalisi Tolak HP3, sebagai berikut:

1. Apakah pemberian HP3 bertentangan prinsip penguasaan negara atas sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, jaminan konstitusi terhadap hak hidup dan mempertahankan kehidupan bagi masyarakat pesisir, prinsip non-diskriminasi serta prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana didalilkan oleh Koalisi Tolak HP3;

2. Apakah penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, RAPWP-3-K yang tidak mendudukkan masyarakat sebagai peserta musyawarah melanggar hak-hak konstitusional para Pemohon (baca: Koalisi Tolak HP3) sehingga bertentangan dengan konstitusi.

Terkait kedua pertanyaan di atas, Mahkamah Konstitusi pun memberikan penjabaran. Pertama, dengan adanya anak kalimat “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka sebesar-besar kemakmuran rakyatlah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan

In the midst of shifting liberalization for management practices and utilization of natural resources Indonesia: from land to sea space; the Constitutional Court of the Republic of Indonesia, through of the Constitutional Court Ruling No. 3/PUU-VIII/2010 letter, dated June 16, 2011, granted the judicial review of The Coalition Rejects HP3 and cancel the provisions of the Coastal Water Concessions (HP3). On paper, the policy of living space to marginalize fisherfolk and indigenous peoples in the area of coastal waters and small islands, has been canceled.

As already set out in the Constitutional Court Ruling previously, there were two constitutional matters that must be addressed by the Court, namely:

1. Does the issuance of HP3 contradictory to the principle of state control over natural resources for the greatest welfare of the people, the constitutional guarantee of the right to life and sustained livelihood of coastal communities, the principles of non-discrimination and a just legal certainty as argued by the Reject HP3 Coalition;

2. Does the drafting of RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, RAPWP-3-K that does not place the communities as participants to the consultation violate the constitutional rights of Petitioners (Reject HP3 Coalition) and can be found unconstitution.

Related to both questions above, the Constitutional Court gave the following explanations. First, with the phrase “utilized for the greatest welfare of the people” in Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, then the greatest welfare of the people is the primary measure for the state in determining administration, regulation or management of land, water, and natural resources contained therein.

Page 32: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

20 21

pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Kedua, penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat, dan lain-lain.

Ketiga, HP3 akan mengakibatkan hilangnya hak-hak masyarakat adat/tradisional yang bersifat turun-temurun. Padahal hak-hak masyarakat tersebut mempunyai karakteristik tertentu, yaitu tidak dapat dihilangkan selama masyarakat adat itu masih ada. Keempat, HP3 akan mengakibatkan tereliminasinya masyarakat adat/ tradisional dalam memperoleh HP3, karena kekurangan modal, teknologi serta pengetahuan. Padahal, negara dalam hal ini pemerintah berkewajiban memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia [vide Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945].

Kelima, maksud UU PWP-PPK adalah dalam rangka melegalisasi pengkaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk dijadikan private ownership dan close ownership kepada perseorangan, badan hukum

Second, the control by State over earth, water and natural resources contained therein shall also consider the prevailing rights, both individual and collective, of peoples adhering to traditional law (hak ulayat), the rights of indigenous peoples and other constitutional rights entitled to the people and guaranteed by the constitution, such as access right to cross, right to a healthy environment, and others.

Third, HP3 will result in the loss of indigenous/traditional peoples’ rights which has been passed down through the generations. However, these rights have certain characteristics, which is that they cannot be eliminated as long as the indigenous communities exist.

Fourth, HP3 will result in the elimination of indigenous/ traditional people in obtaining HP3 due to lack of capital, technology and knowledge, while in fact, the state, in this case the government, is obligated to promote the general welfare and social justice for all Indonesian people [see the fourth paragraph of the Preamble of the 1945 Constitution and Article 34 paragraph (2) 1945 Constitution].

Fifth, the purpose of this legislation is in order to legalize the division of coastal regions and small islands into lots to be made the private and close ownership of individual, legal entities or certain members of society, so that the largest part of the management of coastal areas and small islands is left to the individual, legal entities, and community groups as set out in Law No. 27 of 2007 by granting HP3. This means

Mahkamah Konstitusi menyatakan: Pasal 1 angka 18,

Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4)

dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4739) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

The Constitutional Court states: Article 1 number 18, Article 16, Article 17,

Article 18, Article 19, Article 20, Article 21, Article 22, Article 23 paragraph (4)

and paragraph (5), Article 50, Article 51, Article 60

paragraph (1), Article 71 and Article 75 of Law Number 27 of 2007 on the Management of Coastal Areas and Small Islands (State Gazette of the Republic of Indonesia Year 2007 Number 84,

Supplementary State Gazette of the Republic of Indonesia

Number 4739) to be in contrary to the Constitution of the Republic of Indonesia Year of 1945 and to have no

binding legal effect.

Page 33: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

22 23

that there is a spirit of privatization of the management and utilization of coastal waters and small islands to businesses and private individuals.

In line with the above explanation, the Constitutional Court states: Article 1 number 18, Article 16, Article 17, Article 18, Article 19, Article 20, Article 21, Article 22, Article 23 paragraph (4) and paragraph (5), Article 50, Article 51, Article 60 paragraph (1), Article 7113 and Article 7514 of Law Number 27 of 2007 on the Management of Coastal Areas and Small Islands (State Gazette of the Republic of Indonesia Year 2007 Number 84, Supplementary State Gazette of the Republic of Indonesia Number 4739) to be in contrary to the Constitution of the Republic of Indonesia Year of 1945 and to have no binding legal effect.

Or, in other words the entire articles related to HP3, including Article 71 and 75 that have not been requested by the Petitioners to be reviewed, are declared unconstitutional and void.

atau masyarakat tertentu, sehingga bagian terbesar dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diserahkan kepada perseorangan, badan hukum, dan kelompok masyarakat yang dikonstruksikan menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 dengan pemberian HP3. Hal ini berarti bahwa terdapat semangat privatisasi pengelolaan dan pemanfaatan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada usaha perseorangan dan swasta.

Terakhir, penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, RAPWP-3-K yang hanya melibatkan pemerintah daerah dan dunia usaha merupakan sebuah bentuk perlakuan berbeda antar warga negara (unequal treatment) dan mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya

Sejalan dengan penjelasan di atas, Mahkamah Konstitusi menyatakan: Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 7116 serta Pasal 7517 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Atau, dengan kata lain seluruh pasal terkait HP3—termasuk Pasal 71 dan 75 yang tidak diajukan oleh Pemohon—dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan dibatalkan.

16. Ayat(1)PelanggaranterhadappersyaratansebagaimanatercantumdidalamHP3dikenakansanksiadministratif.Ayat(2)Sanksiadministratifsebagaimanayangdimaksudpadaayat(1)berupaperingatan,pembekuansementara,dendaadministratif,dan/ataupencabutanHP3.Ayat(3)Ketentuanlebihlanjutmengenaidendaadministratifsebagaimanadimaksudpadaayat(2)diaturdenganPeraturanMenteri.

17. Dipidanadenganpidanakurunganpalinglama6(enam)bulanataudendapalingbanyakRp300.000.000,00(tigaratusjutarupiah)setiapOrangyangkarenakelalaiannya:(a)melakukankegiatanusahadiWilayahPesisirtanpaHP3sebagaimanadimaksuddalamPasal21ayat(1);dan/atau(b)tidakmelaksanakankewajibansebagaimanadimaksuddalamPasal21ayat(4).

16. Paragraph(1)statedthatViolationoftherequirementsasstatedintheadministrativesanctionofHP3.Subsection(2)thattheadministrativesanctionsasreferredtoinparagraph(1)awarning,suspension,administrativepenalties,and/orrevocationofHP3.Paragraph(3)furtherprovisionsonadministrativefinesreferredtoinParagraph(2)isregulatedbytheMinister.

17. Liabletoamaximumconfinementof6(six)monthsorafineofnotmoreRp300,000,000.00(threehundredmillionrupiah)perpersonduetonegligence:(a)conductbusinessinCoastalAreaswithoutHP3asreferredtoinArticle21Paragraph(1),and/or(b)doesnotcarryouttheobligationsreferredtoinArticle21Paragraph(4).

Page 34: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

24 25

BAB IIICHAPTER III

TEROBOSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

BREAKTHROUGHS BY THE CONSTITUTIONAL

COURT

Page 35: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

Selain membatalkan pasal-pasal HP3, Putusan Mahkamah Konstitusi setebal 169 halaman tersebut, juga menghasilkan 3 terobosan konstitusi yang menguatkan esensi maupun eksistensi perjuangan masyarakat nelayan, masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada umumnya.

Pertama, dalam rangka menilai sejauh mana pemberian HP3 akan memberi manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, Mahkamah Konstitusi empat tolok-ukur:

1. Kemanfaatan sumberdaya alam bagi rakyat;

2. Tingkat pemerataan manfaat sumberdaya alam bagi rakyat;

3. Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumberdaya alam, serta;

4. Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumberdaya alam.

Dengan menggunakan keempat indikator tersebut, Mahkamah Konstitusi menetapkan HP3 bertentangan dengan Konstitusi. Atau dengan kata lain, pemberian HP3 tidak dapat memberikan (jaminan) pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Menurut hemat saya, keempat indikator tersebut tidak saja dapat dipergunakan untuk mengukur konstitusionalitas HP3, namun juga dapat digunakan sebagai alat ukur terhadap konstitusionalitas produk legislasi lain (nasional maupun daerah) terkait pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup Indonesia. Semisal, UU Perkebunan, UU Mineral dan Batubara, UU Perikanan, dan seterusnya.

In examining the ruling document, which is 169 pages thick, there are at least three breakthroughs by the Constitutional Court, not only internally, to strengthen the struggle of fisherfolk communities and indigenous peoples, but also the externally, to clarify the constitutional interpretation of a number of legislation both in national and sub-national level.

Externally, in assessing how far does the granting of HP3 provide a benefit for the greatest welfare of the people, the Constitutional Court used four benchmarks, namely:

1. the benefit of natural resources for the people;

2. the level of distribution of benefit of natural resources for the people;

3. the level of public participation in determining the benefit of natural resources, and;

4. the respect for people’s rights from generation to generation in utilizing natural resources.

By using these four indicators, the Constitutional Court ruled that HP3 to be contrary to the Constitution. Or in other words, granting HP3 cannot provide (the guarantee of) the utilization of coastal waters and small islands resources for the greatest welfare of the people.

In my opinion, these four indicators can be used not only to measure the constitutionality of HP3, but also to measure the constitutionality of the other legislations (national and sub-national) related to the management of natural resources and environment of Indonesia, for instance, Plantation Law, Mineral and Coal Law, Fisheries Law, and so on.

Thus, the Constitutional Court in its ruling of HP3 have also provided a significant external contribution, for example in asserting and providing a constitutional measuring

Page 36: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

28 29

Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terhadap HP3 telah berkontribusi besar-keluar. Yakni, mempertegas dan menyiapkan alat ukur konstitusi untuk mengukur operasionalisasi “sebesar-besar kemakmuran rakyat” ke dalam regulasi pengelolaan sumberdaya alam Indonesia—yang selama ini kerap diperdebatkan.

Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi menyebut dan menegaskan eksistensi nelayan tradisional (sekali lagi: nelayan tradisional)—bukan nelayan kecil (seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan) yang penyebutannya rancu dan cenderung bias kepentingan ekonomi dan teknologi semata. Yakni, sebagai nelayan kecil (merujuk pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan) mengkategorikan nelayan hanya berdasarkan bobot dan teknologi kapal, serta kapasitas ekonomi yang digelutinya. Alhasil, aspek kebudayaan dan kearifan tradisional yang sejatinya adalah panduan komunitas nelayan untuk mengelola sumber daya perikanan dan keluatan secara adil dan lestari—termarjinalkan.

instrument to the meaning of “ for the greatest welfare of the people.”

Internally, the Constitutional Court Ruling acknowledged and affirmed the existence of traditional fisherfolk (once again, the traditional fisherfolk)-not small fishers, as found in Law Number 45 of 2009 on Fisheries, which is a wrong identification and on that is biased towards economic and technology interests. “Small fishers” (referring to Law Number 45 of 2009 on Fisheries) are categorized only by vessel weight and technology, and the economic capacity bracket they are in. As a result, aspects of traditional culture and wisdom, which in essence is the guide for the fisherfolk communities to manage fisheries and marine resources fairly and sustainably has been disregarded.

Accordingly, the Constitutional Court has indirectly set out the constitutional rights of traditional fisherfolk, among them: the right to pass (access); the right to manage resources in accordance with cultural principles and traditional wisdom which is believed and passed down for generations; the right to utilize resources, including, the right to a healthy and clean water environment. All of which

Page 37: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

30 31

are inherent in the individual or collective of the traditional fisherfolk and should not be exchanged.

As far as my understanding in following and studying the policy discourse on fisheries and fisherfolk issues in Indonesia, this is the first affirmation of the existence of Indonesian traditional fisherfolk, including their constitutional rights embodied in a state gazette. Therefore, it seems appropriate that the term “small fishers” in the Fishery Law be corrected. This includes mainstreaming the fulfillment of the constitutional rights of traditional fisherfolk in all government policies and programs.

Pengakuan keberadaan “nelayan tradisional” ini sekaligus menandai babak baru persatuan dan kebangkitan organisasi nelayan tradisional di Indonesia.

Ketiga, MK juga berhasil memperkenalkan dan menegaskan adanya hak-hak konstitusional (bersifat istimewa) bagi nelayan tradisional dan masyarakat adat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, di antaranya: hak untuk melintas (akses); hak untuk mengelola sumber daya sesuai dengan kaidah budaya dan kearifan tradisional yang diyakini dan dijalankan secara turun-temurun; hak untuk memanfaatkan sumber daya; termasuk, hak untuk mendapatkan lingkungan perairan yang sehat dan bersih. Kesemuanya adalah hak yang melekat pada individu maupun kolektif nelayan tradisional dan tak boleh ditukar-gulingkan.

Sepanjang pemahaman saya mengikuti dan mempelajari diskursus kebijakan perikanan dan kenelayanan di Indonesia, baru kali ini penegasan terhadap eksistensi nelayan tradisional Indonesia, termasuk hak-hak konstitusionalnya tertuang ke dalam lembar negara. Karenanya, pantas kiranya, terminologi nelayan kecil di dalam UU Perikanan perlu dikoreksi. Termasuk di dalamnya mengarusutamakan pemenuhan hak-hak konstitusional nelayan tradisional dalam seluruh kebijakan dan program pemerintah.

Page 38: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

32 33

BAB IVCHAPTER IV

AMBIGUITAS KEPUTUSAN MAHKAMAH

AMBIGUITY OF COURT

RULING

Page 39: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

Meski secara substansi pembatalan pasal-pasal terkait HP3 telah dinyatakan oleh 9 (Sembilan) Hakim Konstitusi, terdapat sejumlah terobosan Mahkamah Konstitusi, baik ke dalam maupun keluar urusan namun masih terdapat sejumlah persoalan yang patut untuk dicermati. Keputusan Mahkamah Konstitusi meninggalkan sejumlah persoalan yang patut untuk dicermati.

Pertama, terkait status Pasal 14. Meski Mahkamah Konstitusi telah memberikan pertimbangan hukum terhadap Pasal 14 ayat (1), yakni: (a), Pasal 14 ayat (1) menyebabkan terjadinya praktik pembungkaman hak masyarakat untuk turut serta menyampaikan usulan, sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan untuk menolak atau menerima rencana tersebut (baca: usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K); (b) ketika sebuah kebijakan tidak didasarkan pada partisipasi publik, berpotensi besar terjadinya pelanggaran hak publik di kemudian hari, yaitu diabaikannya hak-hak masyarakat yang melekat pada wilayah yang bersangkutan, padahal masyarakat setempatlah yang mengetahui dan memahami kondisi wilayah.

Menurut Mahkamah, penyampaian usulan yang hanya melibatkan pemerintah dan dunia usaha ini merupakan sebuah bentuk perlakuan berbeda antarwarga negara (unequal treatment) dan mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya yang bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

Namun demikian, dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi tidak memasukkan/menyebutkan Pasal 14

Although the annulment of HP3 articles has been declared by the nine Constitutional Court Judges, a there are a number of breakthroughs with regards to fisherfolk affairs and HP3. The Constitutional Court left a number of issues that ought to be observed.

First, on the status of Article 14. Although the Constitutional Court has given its legal consideration on Article 14 paragraph (1), as follows: (a) Article 14 paragraph (1) leads to the practice of silencing the right of people to participate and to submit a proposal that the people then have no option to reject or accept the plan (the proposal for RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, and RAPWP-3-K), (b) when a policy is not based on public participation, it potentially causes violations of public rights at a later time, disregarding the people’s rights over their territories, even though it is them that know and understand the condition of the area.

According to the Court, the submission of proposals which only involves the government and private sector is a form of unequal treatment amongst citizens and it does ignore the rights of the communities to advance themselves and struggle for their rights collectively to build the communities, nation, and the country. This is contradictory to the Article 27, Article 28C Paragraph (2), and Article 28D Paragraph (3) of the 1945 Constitution.

However, in the verdict, the Constitutional Court did not include/mention Article 14 (as requested by the Applicant) to be contrary to the 1945 Constitution and null and void.

Therefore, in this matter, the Constitutional Court can be considered as being technically less than thorough, although in its legal considerations, the constitutionality status

Page 40: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

36 37

(seperti yang dimintakan oleh Pemohon) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Karenanya, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi secara teknis patut dinilai kurang cermat, meski dalam pertimbangan hukumnya cukup jelas status konstitusionalitas Pasal 14—yakni bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua, terkait pandangan Mahkamah Konstitusi yang menyebut: “… untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta, maka negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan”.

Sebagian kalangan, utamanya dari pemerintah, membaca pandangan Mahkamah Konstitusi secara terpisah (tidak satu-kesatuan). Tanpa melihat keseluruhan substansi permohonan Uji Materi yang diajukan oleh Koalisi Tolak HP3, yang pada akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pembatalan pasal-pasal terkait HP3.

Jika dicermati secara keseluruhan, maka proses Uji Materi terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir terkait pasal-pasal HP3 bukan sekadar pada konteks struktur hukum, yakni menggantikan istilah “Hak”—untuk penyebutan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir—menjadi “Izin”. Lebih

of Article 14 is clear enough-that is contrary to the 1945 Constitution.

Second, regarding the views of the Constitutional Court that states: “... to avoid the transfer of state control responsibility over the management of coastal waters and small islands to the private sector, the state can provide that management rights through licensing mechanism.”

Some, mainly from the government, read the views of the Constitutional Court separately, and not the entire of the petition for Judicial Review filed by the Reject HP3 Coalition, which has been granted in the end by the Constitutional Court with the annulment of the articles related to HP3.

When examined as a whole, then the process of Judicial Review of Law Number 27 of 2007 on the Management of Coastal Areas related to articles of HP3 is not just in the context of legal structure, but one that replaces the term “rights” for Coastal Water Concession Rights, to “permit”. Moreover, it ensured the utilization of the earth, water, and natural resources contained therein for the greatest welfare of the people, not the private sector, let alone foreign ones. It then confirmed the recognition and respect for the unit of indigenous peoples and their traditional rights, and to uphold social justice for all Indonesian people, including the fisherfolk family.

Thus, the Constitutional Court’s opinion regarding the entitlement of management and utilization rights of coastal

Page 41: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

38 39

dari itu, memastikan pemanfaatan ruang bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat—bukan sektor swasta, apalagi asing. Lalu menegaskan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya, serta menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk bagi keluarga nelayan.

Dengan demikian, pendapat Mahkamah Konstitusi terkait pemberian hak pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil melalui mekanisme perizinan ke depannya (tetap) tidak boleh mengesampingkan pendapat Mahkamah Konstitusi terkait tolak-ukur pemanfaatan sebesar-besar kemakmuran rakyat; pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya; serta, perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk bagi keluarga nelayan.

Ketiga, terkait status Putusan Mahkamah Konstitusi yang hanya berlaku ke depan (prospective) dan tidak berlaku surut (retroactive). Hal ini tentu dimungkinkan untuk diperdebatkan. Apalagi setelah Putusan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan pasal-pasal HP3 bersifat mutlak dengan penjabaran pertimbangan hukum yang jelas dan lengkap.

Terkait hal ini, pemerintah perlu membuka informasi status perizinan yang telah diberikan terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil kepada sektor swasta, termasuk asing. Hal ini diperlukan agar berbagai kerugian masyarakat, seperti yang dijabarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, tidak meluas dan bisa diselesaikan sesegera mungkin.

and small islands resources through licensing mechanism in the future must not disregard its opinion regarding the benchmark of the greatest welfare of the people; recognition of and respect for indigenous peoples and their traditional rights, and also, the realization of social justice for all Indonesian people, including the fisherfolk family.

Third, on the status of the Constitutional Court Ruling which applies only to the future (prospective, not retroactive). It is certainly possible to be debated. Evenmore after the Constitutional Court Ruling to annul the articles of HP3 are absolute with the elaboration of legal considerations which are clear and complete.

Related to this, the government should disclose license status information that has been granted for the management and utilization of coastal and small islands resources to the private sector, including foreign ones. This is necessary so that the various public loss, as defined by the Constitutional Court in its decree, is not widespread and could be resolved as soon as possible.

Page 42: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

40 41

REKOMENDASI DAN AGENDA TINDAK LANJUT

RECOMMENDATIONS AND FOLLOW-UP AGENDA

BAB VCHAPTER V

Page 43: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

Mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Uji Materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, ada harapan terpulihkannya hak-hak konstitusional keluarga nelayan tradisional, masyarakat adat dan pesisir. Karenanya, perlu peluang untuk menjalankan keputusan tersebut demi sebesar-besar kemakmuran rakyat!

Pertama, secara filosofis, optimalisasi peran sektor kelautan dan perikanan—dengan menghadirkan Kementerian (khusus) Kelautan dan Perikanan satu dekade terakhir—tidak boleh sekedar memindahkan pundi-pundi ekonomi yang hampir “bangkrut” di darat ke laut. Apalagi amar Putusan Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa kebijakan privatisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah perbuatan yang melanggar konstitusi.

Kedua, secara teknis, pemerintah dan DPR perlu merevisi seluruh aturan, baik pusat maupun daerah, yang merujuk semangat pengelolaan dan privatisasi ala HP3. Termasuk “membersihkan” wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dari berbagai wujud komersialisasi yang memiskinkan. Di Sumatera Utara, misalnya, telah ada Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang di dalamnya terang menyebut Hak Pengusahaan Perairan Pesisir.

Pada tahap ini, konsolidasi masyarakat sipil lintas sektor perlu diperbesar untuk mengkampanyekan substansi keberhasilan organisasi nelayan dalam mengawal konstitusi, sembari menginspirasi kemenangan serupa di sektor strategis lainnya. Demikian halnya, di DKI Jakarta dan sejumlah kabupaten/kota lainnya. Termasuk, mempercepat proses pembatalan terhadap Peraturan

With the Constitutional Court Ruling on the Judicial Review of Law No. 27 of 2007, there is a hope for the restitution of the constitutional rights of traditional fisherfolk families, indigenous people and coastal communities. Consequently, it requires the collective compliance to the ruling for the greatest welfare of the people!

First, philosophically, in optimizing the role of the marine and fisheries sector, by constituting a particular Ministry of Marine Affairs and Fisheries over the one last decade, must not only just move the economic coffers that is almost “broke” from land to the sea. Moreover, the ruling of the Constitutional Court Ruling has affirmed that the policy of privatization of coastal waters and small islands is an action that violates the constitution.

Second, technically, the government and Parliament need to revise all rules, both national and sub-national, which retains the spirit of management and privatization similar to HP3, including “to clean” areas of coastal, marine, and small islands from various forms of impoverishing commercialization. In North Sumatra, for example, there has been a Local Regulation No. 5 Year 2008 on the Management of Coastal Areas and Small Islands in which clearly states Coastal Water Concessions.

At this stage, the consolidation of multi-sectors civil society needs to be enhanced to campaign the success of the fisherfolk organizations in guarding the constitution, while inspiring similar victories in other strategic sectors, including to speed up the process of annulment of the Local Regulation and Drafts of Local Regulations in their respective areas.

Page 44: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

44 45

Third, operationally, the state must restore the constitutional rights of fisherfolk citizens: the right to pass (access), right to manage resources in accordance with the principles of traditional culture and wisdom that is assumed and carried out for generations; the right to utilize resources, including ensuring that no more contaminants flushed into the sea, the living space and source of livelihood of fisherfolk. Because in fact, the overall annulment of HP3 is a conscious effort to help the Indonesian people (traditional fisherfolk families and indigenous peoples) to come out from the crushing pressure of poverty that is growing worse. At the same time, saving the dignity of the state apparatus by preventing them from exercising misguided policies that are contradictory to the constitution.

In line with the above, the decision of DPR RI to include the draft Law of Fisherfolk Protection into the National Legislation Program (Prolegnas) of 2009-2014 should be followed up by ensuring the full involvement of traditional fisherfolk and indigenous peoples organizations in the drafting of the bill.

All of them need to be conducted in a not too long of a time so that the management and utilization of coastal and small islands resources can be beneficial for the greatest welfare of the people, while at the same time not colliding with the 1945 Constitution.***

Daerah maupun Rancangan Peraturan Daerah di wilayah masing-masing.

Ketiga, secara operasional, negara wajib memulihkan hak-hak konstitusional warga nelayan: hak untuk melintas (akses); hak untuk mengelola sumber daya sesuai dengan kaidah budaya dan kearifan tradisional yang diyakini dan dijalankan secara turun-temurun; hak untuk memanfaatkan sumber daya; termasuk, menjamin agar tidak ada lagi penggelontoran material pencemar ke laut (baca: ruang hidup dan penghidupan nelayan). Karena sejatinya, secara keseluruhan pembatalan HP3 adalah upaya sadar untuk menolong rakyat Indonesia (baca: keluarga nelayan tradisional dan masyarakat adat) untuk keluar dari himpitan kemelaratan yang kian bertambah berat. Di saat yang sama menyelamatkan marwah penyelenggara negara agar tak menjalankan kebijakan sesat yang bertentangan dengan konstitusi.

Sejalan dengan hal tersebut, keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasukkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Nelayan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009-2014 perlu ditindaklanjuti dengan memastikan keterlibatan penuh organisasi nelayan dan masyarakat adat dalam penyusunannya.

Kesemuanya perlu dijalankan dalam waktu yang tak terlalu lama agar pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dapat bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, di saat yang sama tak bertabrakan dengan konstisusi—Undang-Undang Dasar Tahun 1945.***

Page 45: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

EPILOGAbdul Halim

Koordinator Program KIARA

Dalam persidangan, Bona Beding, salah seorang saksi yang dihadirkan oleh Tim Advokasi Tolak HP3 berujar, “Tradisi melaut dan tradisi menangkap ikan Paus adalah bagian yang sangat integral dari tradisi dan kebudayaan masyarakat Lamalera. Hubungan horizontal, hubungan vertikal, hubungan darah, hubungan antara laut dan darat, saling terkait satu dengan lainnya. Sungguh sangat integral. Bagi masyarakat Lamalera, menghilangkan tradisi dengan segala macam cara adalah menghilangkan identitas kebudayaan orang Lamalera”.

Ungkapan salah seorang pewaris adat sebuah kampung pesisir asal Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur ini menegaskan bahwa letak geografis menginspirasi tumbuh-kembangnya pola pikir dan kebudayaan tertentu yang bertaut satu dengan lainnya. Tak berlebihan, jika Alfred Russel Wallace (1823-1913) menggarisbawahi bahwa, “Hampir tanpa kecuali, semua pulau di kawasan Nusantara memiliki iklim yang sama dan ditumbuhi oleh hutan lebat. Bila kita mempelajari bentuk dan persebaran pulau di peta atau bepergian dari pulau yang satu ke pulau yang lain, kesan pertama kita adalah pulau-pulau ini merupakan satu-kesatuan. Semua bagiannya berkaitan satu sama lain”.

EPILOGUEAbdul Halim

Coordinator Program KIARA

During the court, Bona Beding, one of a witness presented by the advocacy team against HP3 stated, “Go to sea and hunting whale traditions is an integrated part of tradition and culture of Lamarela peoples. The horizontal and vertical connection, blood ties, sea and land relation, are all bound to each other. Truly integrated. For Lamarela peoples, to eliminate the tradition with any means is to erase the cultural identity of us”

Another statement from a tradition heir of a coastal village in Lamarela, Lembata Island of East Nusa Tenggara asserted that geographical setting inspired the growth of a mind set and a culture thus become an integration. It is not overstated, as Alfred Russel Wallace (1823-1913) underlined that “Almost to no exception, every island in the stretch of Nusantara has the same climate and filled with dense forest. When we see their shapes and distribution on the map or travelling to these islands, the first impression would be that these islands is a unity. Every part is connected to one another”

Connectedness between islands as Wallace described, has set the diplomatic arrangement of Indonesia as an archipelagic nation at the time of Prime Minister Ir. Djuanda Kartawidjaja (1911-1963). He said that “Other countries, especially United

Page 46: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

48 49

Keterhubungan antarpulau, seperti digambarkan oleh Wallace, mendudukkan arah diplomasi kelautan bangsa Indonesia semasa Perdana Menteri Ir. Djuanda Kartawidjaja (1911-1963). Ia mengatakan, “Negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan Australia, sangat berkepentingan mempertahankan kondisi pulau-pulau Indonesia yang terpisah-pisah itu”. Sebagaimana diketahui, saat itu masyarakat internasional hanya mengakui batas laut teritorial Indonesia selebar 3 mil laut terhitung dari garis pantai terendah. Dengan perkataan lain, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah pulau-pulau yang terpisah oleh perairan internasional.

Sejarah mencatat, dengan visi besarnya, Djuanda dengan berani mengumumkan kepada dunia (Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957) bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan NKRI. Dengan demikian, wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.

Nukilan sejarah di atas berbalik 360 derajat saat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disahkan pada tanggal 17 Juli 2007. Pembalikan ini bertolak dari adanya kewenangan pemerintah untuk mengomersialisasi perairan pesisir atau mengkapling laut melalui apa yang mereka sebut sebagai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Sontak, dengan aturan ini, wilayah perairan tradisional nelayan dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terancam direbut.

Dalam perdebatan publik yang berlangsung lebih dari 2 tahun itulah, pada akhirnya Tim Advokasi Tolak HP3 mendaftarkan gugatan uji materi UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Pendaftaran ini dilatari oleh kebebalan penyelenggara negara dalam mengatur hajat hidup banyak orang. Kebebalan ini berpangkal dari dilegalkannya sebuah aturan yang mengonversi sumber-sumber penghidupan nelayan dan masyarakat pesisir dengan segepok uang, sebagai bentuk kompensasi. Padahal, penghormatan atas hak asasi manusia tak bisa dilihat hanya dalam kuantitas ekonomik semata.

Sejarah mencatat, dengan visi besarnya, Djuanda

dengan berani meng umumkan kepada dunia (Deklarasi

Djuanda 13 Desember 1957) bahwa segala perairan di

sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau

yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau

lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan

NKRI.

t is written in the history, Djuanda with his big vision

had the courage to announce to the world–known as

Djuanda Declaration, on 13 December 1957–that all water

surrounding to, between, and connecting the islands is part of Republic of Indonesia

territory, regardless the size, and must be considered

as a normalcy to see it as integrated part of Republic of

Indonesia.

State and Australia had all the interest to keep Indonesia‘s islands separated”

As we know, back then international society only acknowledging Indonesia’s sea territory up to three miles from the lowest coastal line. In another word, Republic of Indonesia is a stretch of islands separated by international water.

It is written in the history, Djuanda with his big vision had the courage to announce to the world–known as Djuanda Declaration, on 13 December 1957–that all water surrounding to, between, and connecting the islands is part of Republic of Indonesia territory, regardless the size, and must be considered as a normalcy to see it as integrated part of Republic of Indonesia. Thus, Indonesia water territory is including the sea surrounding, in between, and within Indonesia Archipelago.

This piece of history has turned 360 degree when Law no. 27/2007 regarding the Management of Coastal and Small Islands was approved on 17 July 2007. This turning point started when state authority tried to commercialize coastal water or set sea concession based on what they called as the Coastal Water Concessions (HP3). Automatically, all traditional water territory of fisherfolk and coastal community and small island as a whole are all prone to land grabbing.

Through a more than two years of debate, eventually an advocacy team against HP3 filed a judicial review over the Law to the Constitutional Court. The fie submission was caused by the recalcitrant government in governing peoples’ life. And it started with the legalization of a law that allowing to take away the livelihood of fisherfolk and coastal community to get money in return. In fact, respect for human rights can not be seen only in economic quantities only.

As an honor to human rights as described in the 1945 Constitution is covering civil political rights (article 26, point 27 [1], article 28, and article 29) also economical, social and cultural rights (article 33, article 34, and article 27 [2]). These are the basic understanding that has been missing in the perspective.

In “Human Rights Forum: Human Rights for All”, a human rights consultation on “Stop HP3” held by National Commission on Human Rights working together with Q-TV

Page 47: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

50 51

Penghormatan atas hak asasi manusia seperti diuraikan dalam UUD 1945 meliputi hak sipil politik (Pasal 26, Pasal 27 [1], Pasal 28 seluruhnya, dan Pasal 29) dan hak ekonomi, sosial, dan budaya (Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 27 [2]). Pemahaman mendasar inilah yang luput dari perhatian.

Dalam “Forum HAM: HAM untuk Semua”, sebuah penyuluhan HAM tentang stop HP3 yang diselenggarakan oleh Komnas HAM bekerjasama dengan Q-TV dan menghadirkan salah seorang pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jumat (20/08) siang, di mana penulis juga menjadi salah seorang narasumbernya, dinyatakan secara eksplisit bahwa, “UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ini memang dihadirkan untuk mengeksploitasi sumber daya alam di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk sebesar-besar pendapatan negara, bukan dalam rangka pelaksanaan kewajiban negara terkait HAM”.

Pernyataan di atas jelas bertentangan dengan semangat pendirian negara. Meminjam ungkapan Yudi Latif, “Fitrah

and presented a high officer of Marine and Fishery Ministry, on Friday (20/0-8) noon, where the author also became a source person, he explicitly stated that “Law on Coastal and Small Islands is here to enable the exploitation of coastal and small islands resources for state income at the greatest, and not in order to carry state’s obligation concerning human rights”

The statement obviously contradictory to the spirit of building a nation. As Yudi Latif once said “The nature of Indonesia has obliged the government to possess good manners that hold high the noble peoples moral. The government has to recalling the spirit of a nation which based on kinship. As written in the Constitution and its Preambule, Indonesia obliged to protect the citizen and all the territory through social justice”. In the context of judicial review on the Coastal Law, the social justice mentioned will be failed to achieve when the government purportedly neglecting communal ownership of customary communities and fisherfolk over their traditional land and sea territories. There are also some obligation mandated to the government

Page 48: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

52 53

Indonesia mewajibkan penyelenggara negara memiliki budi pekerti yang menjunjung moral rakyat yang luhur. Penyelenggara negara harus kembali mengingat semangat bernegara yang didasari kekeluargaan. Hal itu tertera pada dasar konstitusi dan Pembukaan UUD 1945, di mana Indonesia wajib melindungi warga negara dan segenap tumpah darah Indonesia dengan mewujudkan keadilan sosial”. Dalam konteks uji materi UU Pesisir, keadilan sosial yang dimaksudkan takkan tergapai manakala negara secara sengaja mengabaikan kepemilikan komunal masyarakat hukum adat dan nelayan atas wilayah adat dan perairan tradisional mereka.

Lebih lanjut, ada keharusan yang diemban oleh penyelenggara negara untuk mengambil langkah apapun guna melindungi hak-hak dasar masyarakat hukum adat menyangkut tanah (dan air), teritorial, serta sumber daya alam yang amat penting dalam kehidupan mereka, seperti disebut dalam Pasal 8 (2b) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan direplikasi dalam Pasal 18 Konvensi ILO No. 169 tentang FPIC (free, prior, and informed consent).

Hadirnya buku bertajuk “Menghidupkan Konstitusi Kepulauan: Perjuangan Nelayan di Mahkamah Konstitusi” adalah sebentuk upaya pembelajaran nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka memperjuangkan hak-hak dasarnya seperti tertuang dalam konstitusi dan Pembukaan UUD 1945. Dengan kehadiran buku ini, diharapkan bermunculan jiwa-jiwa baru yang berkesanggupan meneladani pemikiran, sikap, dan perilaku para founding fathers yang tak sekalipun mengedepankan kepentingan personal dan kelompoknya di atas kepentingan bersama.

Teladan ini pernah dicontohkan oleh Muhammad Yamin (1903-1962). Dalam membincangkan hukum dasar, Muhammad Yamin mengingatkan, ”Saya hanya minta perhatian betul-betul, karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik.”

Pesan Yamin jelas terbaca. Ia tegaskan, Republik ini tidak dibangun secara sembrono, melainkan digagas dengan

Muhammad Yamin menegaskan, Republik ini

tidak dibangun se cara sembrono, melainkan digagas

dengan ide dasar untuk mengayomi seluruh rakyat

Indonesia.

Yamin’s message is clearly read. He asserted that

the Republic was not built recklessly, but with basic principles that will protect and nurture all Indonesian

peoples.

to take any means necessary to protect the basic rights of customary communities regarding their land (and water) territory, and all natural resources that they relied their life upon, as mentioned in article 8 (2b) of UN Declaration on the Rights of Traditional Community and affirmed in article 18 of ILO Convention no. 169 regarding FPIC (Free, Prior, and Informed Consent)

The presence of book titled “Menghidupkan Konstitusi Kepulauan: Perjuangan Nelayan di Mahkamah Konstitusi” (Revive the Archipelagic Constitution: Fisherfolk struggle in Constitutional Court) is a learning attempt of traditional fisherfolk and community live in coastal area and smal islands in order to fight for their basic right as written in the 1945 Constitution and its preambule. The book published with the hope for the emergence of new spirits that have the capacity to emulate the founding fathers that never set their personal and group interests ahead of communal interest.

The model was showed by Muhammad Yamin (1903-1962). In a conversation on basic law, he said that “I only ask for your full attention, because this is a discussion about the rights of the peoples. Have it not been clear, then it is the failure of grondwet; grondwettelijke fout, the failure of the Constitution formulation, is a big sin as the peoples are waiting their rights from the Republic”

Yamin’s message is clearly read. He asserted that the Republic was not built recklessly, but with basic principles that will protect and nurture all Indonesian peoples. In this context, the ability to listen is also counted, besides a proper understanding on constitution. Even more important for the government especially the law apparatus. Not only to listen but a listening ability that can light up the energy of the peoples to continue the struggle in carrying our collective mandate in governing natural resource for collective prosperity which built upon the noble values of humanity and environment sustainability.

A moment before closing his testimony, Bona said, “Honorable Court, and court audience whom I respect. Our elder said to us “inatao amageno olakai kodekai, which means: Mother has put, Father has inherited, keep on the tradition until the end. If HP3, the concept of HP3 being carried on, in what we–Lamarela traditional fisherfolk–understand, we feel that if it’s not carefully done, our identity

Page 49: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

54 55

ide dasar untuk mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks inilah, selain pemahaman konstitusi yang mumpuni, kemampuan mendengar amat sangat diperhitungkan. Terlebih, bagi para penyelenggara negara dan secara khusus aparatur hukum. Tak sekadar mendengar, melainkan kemampuan mendengar yang sanggup menghidupkan energi masyarakat untuk terus berjibaku mengemban amanah bersama dalam pengelolaan sumber daya alam demi kesejahteraan kolektif yang dibangun di atas nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup.

Sesaat sebelum mengakhiri kesaksiannya, Bona menuturkan, “Majelis Hakim Yang Mulia, para hadirin sidang yang saya muliakan. Orang tua kami berpesan begini: inatao amageno olakai kodekai, kira-kira bunyinya begini: Ibunda telah menaruh, ayahanda sudah mewariskan, teruslah mewariskan tradisi ini sampai kapanpun. Jika HP3, konsep HP3 ini dilakukan, dalam bacaan kami masyarakat nelayan tradisional Lamalera, kami merasa jika tidak hati-hati dilakukan, maka identitas kami akan hilang. Semua penjelasan yang kami paparkan, tatanan adat-istiadat, tradisi, dan kebudayaan religiusitas yang terkandung di dalamnya lenyap sudah”.

Penuturan di atas merupakan batu ujian bagi kemerdekaan bangsa Indonesia yang teraih lebih dari 65 tahun silam. Kemerdekaan adalah jembatan yang memanusiakan dan menghidupkan daya kemanusiaan itu. Untuk memaknainya, Soekarno (1901-1970) berujar, “Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi”.

Kalibata, 25 Oktober 2010

will be gone. All that we just said about our traditions and rites, and its possessed religious culture, they all will be gone”

His statement, is a test to Indonesia independence which we won 65 years ago. Independent is a bridge that humanize and revive the humanity capacity. To give its meaning, Soekarno (1901-1970) said, “Across this bridge, the bridge of gold, then we will be free to build a brave, strong, healthy, immortal and immutable Indonesian peoples”.

Kalibata, October 25th, 2010

Page 50: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

DKP. 2001. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta, Indonesia.

KIARA. 2011. Evaluasi Kinerja Pangan 2011.

Mahkamah Konstitusi. 2011. Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010. Jakarta, Indonesia.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

DAFTAR PUSTAKA

BIBLIOGRAPHY

Page 51: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

LAMPIRANATTACHMENT

Page 52: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

PUTUSAN Nomor 3/PUU-VIII/2010

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada

tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan

Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] 1. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dalam hal ini

diwakili oleh:

Nama : Muhamad Riza Adha Damanik;

Pekerjaan : Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk

Keadilan Perikanan (KIARA);

Alamat : Jalan Tegal Parang Utara Nomor 43 Mampang,

Jakarta Selatan;

Disebut sebagai.................................................................. Pemohon I;

2. Indonesian Human Right Committe for Social Justice (IHCS) dalam

hal ini diwakili oleh:

Nama : Gunawan;

Jabatan : Sekretaris Jenderal Indonesian Human Rights

Committee for Social Justice (IHCS);

Alamat : Jalan Mampang Prapatan XV Nomor 8A

RT.003/04, Jakarta Selatan 12790;

Disebut sebagai................................................................. Pemohon II;

3. Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

(PK2PM) yang dalam hal ini diwakili oleh:

Nama : Muhamad Karim;

Page 53: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

62 63

2

Pekerjaan : Direktur Eksekutif Perkumpulan Pusat Kajian

Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

(PK2PM);

Alamat : Komplek Griya Melati, Blok IV Nomor 7, Kota

Bogor, Jawa Barat;

Disebut sebagai.............................................................. Pemohon III

4. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang dalam hal ini diwakili

oleh:

Nama : Idham Arsyad;

Pekerjaan : Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan

Agraria (KPA);

Alamat : Jalan Durentiga Nomor 64 Pancoran, Jakarta

Selatan 12760;

Disebut sebagai ............................................................. Pemohon IV

5. Serikat Petani Indonesia (SPI) yang dalam hal ini diwakili oleh:

Nama : Henry Saragih;

Jabatan : Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI);

Alamat : Jalan Mampang Prapatan XIV Nomor 5, Jakarta

Selatan 12790;

Disebut sebagai................................................................ Pemohon V

6. Yayasan Bina Desa Sadajiwa yang dalam hal ini diwakili oleh:

Nama : Dwi Astuti;

Jabatan : Direktur Pelaksana Yayasan Bina Desa

Sadajiwa;

Alamat : Jalan Saleh Abud Nomor 18-19 Iskandardinata,

Jakarta 13330;

Disebut sebagai............................................................... Pemohon VI

7. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang dalam

hal diwakili oleh:

Nama : Patra Mijaya Zein;

Jabatan : Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga

Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI);

Alamat : Jalan Diponegoro, Nomor 74, Jakarta Pusat;

3

Disebut sebagai ............................................................. Pemohon VII

8. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang dalam hal ini

diwakili oleh:

Nama : Berry Nahdian Forqan;

Jabatan : Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan

Hidup Indonesia (WALHI);

Alamat : Jalan Tegal Parang Utara Nomor 14, Jakarta

Selatan 12790;

Disebut sebagai ............................................................ Pemohon VIII

9. Aliansi Petani Indonesia (API) yang dalam hal ini diwakili oleh:

Nama : Muhammad Nur Uddin;

Jabatan : Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia

(API);

Alamat : Jalan Slamet Riyadi IV/50 Kelurahan Kebun

Manggis, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur

13150;

Disebut sebagai .............................................................. Pemohon IX

10. Nama : Tiharom;

Pekerjaan : Nelayan;

Alamat : Marunda, RT. 008/ RW. 007, Marunda,

Kecamatan Cilincing, Kotamadya, Jakarta Utara;

Disebut sebagai ............................................................... Pemohon X

11. Nama : Waun;

Pekerjaan : Buruh Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT 03/08 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai .............................................................. Pemohon XI

12. Nama : Wartaka;

Pekerjaan : Buruh Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun IV RT 02/09 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Page 54: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

64 65

4

Disebut sebagai ............................................................. Pemohon XII

13. Nama : Carya Bin Darja;

Pekerjaan : Buruh Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun IV RT. 03/09 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ............................................................ Pemohon XIII

14. Nama : Kadma;

Pekerjaan : Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT. 01/009 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ............................................................ Pemohon XIV

15. Nama : Saidin;

Pekerjaan : Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT. 01/09 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ............................................................. Pemohon XV

16. Nama : Jamhuri;

Pekerjaan : Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT. 003/009 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ............................................................ Pemohon XVI

17. Nama : Rosad;

Pekerjaan : Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT. 003/008 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ........................................................... Pemohon XVII

18. Nama : Tarwan;

Pekerjaan : Buruh Nelayan/Perikanan;

5

Alamat : Dusun 04 RT. 01/09 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai .......................................................... Pemohon XVIII

19. Nama : Tambrin Bin Tarsum;

Pekerjaan : Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT. 02/10 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ............................................................ Pemohon XIX

20. Nama : Yusup;

Pekerjaan : Buruh Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT. 03/08 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ............................................................. Pemohon XX

21. Nama : Rawa Bin Caslani;

Pekerjaan : Nelayan;

Alamat : Dusun 04 RT. 02/08 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ............................................................ Pemohon XXI

22. Nama : Kasirin;

Pekerjaan : Buruh Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT. 003/009 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ........................................................... Pemohon XXII

23. Nama : Salim;

Pekerjaan : Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT. 003/009 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Page 55: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

66 67

6

Disebut sebagai .......................................................... Pemohon XXIII

24. Nama : Warta;

Pekerjaan : Buruh Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT. 001/009 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ......................................................... Pemohon XXIV

25. Nama : Rakim Bin Taip;

Pekerjaan : Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT. 02/09 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai .......................................................... Pemohon XXV

26. Nama : Kadim;

Pekerjaan : Buruh Nelayan/Perikanan

Alamat : Dusun 04 RT. 02/11 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ......................................................... Pemohon XXVI

27. Nama : Abdul Wahab Bin Kasda;

Pekerjaan : Nelayan;

Alamat : Dusun 05 RT. 01/09 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ........................................................ Pemohon XXVII

28. Nama : Mujahidin;

Pekerjaan : Buruh Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT. 03/09 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ....................................................... Pemohon XXVIII

29. Nama : Kusnan;

Pekerjaan : Nelayan/Perikanan;

7

Alamat : Dusun 04 RT. 002/008 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ......................................................... Pemohon XXIX

30. Nama : Caslan Bin Rasita;

Pekerjaan : Nelayan;

Alamat : Dusun 04 RT. 03/07 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai .......................................................... Pemohon XXX

31. Nama : Kartim;

Pekerjaan : Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT. 002/009 Desa Gebang Perikanan,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ......................................................... Pemohon XXXI

32. Nama : Rastono Bin Cartib;

Pekerjaan : Nelayan;

Alamat : Desa Gebang Udik, Kecamatan Gebang,

Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ........................................................ Pemohon XXXII

33. Nama : Ratib Bin Takrib;

Pekerjaan : Nelayan;

Alamat : Dusun 04 Desa Gebang Kulon, Kecamatan

Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa

Barat;

Disebut sebagai ....................................................... Pemohon XXXIII

34. Nama : Wardi;

Pekerjaan : Buruh Nelayan/Perikanan;

Alamat : Dusun 04 RT. 003/09 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ....................................................... Pemohon XXXIV

Page 56: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

68 69

8

35. Nama : Andi Sugandi;

Pekerjaan : Nelayan;

Alamat : Dusun 04 RT. 02/09 Desa Gebang Kulon,

Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon,

Provinsi Jawa Barat;

Disebut sebagai ........................................................ Pemohon XXXV

36. Nama : Budi Laksana;

Pekerjaan : Nelayan;

Alamat : RT. 010/011 Kelurahan Petamburan, Kecamatan

Tanah Abang, Kotamadya Jakarta Pusat;

Disebut sebagai ....................................................... Pemohon XXXVI

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 17 November 2009, memberi kuasa

kepada Ecoline Situmorang, S.H., Muhnur, S.H., Janses E. Sihaloho, S.H.,

Nurkholis Hidayat, S.H., M. Taufiqul Mujib, S.H., Febionesta, S.H., Riando

Tambunan, S.H., Kiagus Ahmad Bella Sati, S.H., Ridwan Darmawan, S.H.,

Restaria F. Hutabarat, S.H., Henry David Oliver Sitorus, S.H., Edy Halomoan

Gurning, S.H., B.P. Beni Dikty Sinaga, S.H., Muhammad Isnur, S.H., Ali Imron,

S.H., Alghiffari Aqsa, S.H., Anton Febrianto, S.Hi., Tommy A.M. Tobing, S.H.,

Muhammad Zaimul Umam, S.H., Jumi Rahayu, S.H. LLM., Zainal Abidin, S.H.,

Tabrani Abby, S.H., M.Hum., Nur Hariandi, S.H., M.H., Andi Muttaqien, S.H.M.,

Rizal Siregar, S.H., M. Yudha Fathoni, S.H., Ganto Almansyah, S.H., Kristian

Feran, S.H., Carolina S. Martha, S.H., Abdul Haris, S.H., Adam Mariano Pantouw,

S.H., kesemuanya Advokat dan Pengabdi Bantuan Hukum tergabung dalam Tim

Advokasi Tolak Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang berdomisili hukum

di Jalan Tegal Parang Utara Nomor 43 Mampang, Jakarta Selatan 12790, baik

sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi

kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan dari para Pemohon;

Mendengar keterangan dari para Pemohon;

9

Mendengar dan membaca keterangan dari Pemerintah dan Dewan

Perwakilan Rakyat;

Mendengar keterangan Saksi dan Ahli dari para Pemohon;

Mendengar keterangan Saksi dan Ahli dari Pemerintah;

Memeriksa bukti-bukti;

Membaca kesimpulan dari para Pemohon dan Pemerintah;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan dengan

surat bertanggal 13 Januari 2010 yang terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 18 Januari

2010 dengan registrasi Nomor 3/PUU-VIII/2010 dan telah diperbaiki dengan

permohonan bertanggal 16 Februari 2010, sebagai berikut:

A. PENDAHULUAN

Dikarenakan Indonesia mempunyai wilayah peralihan (interface) antara

ekosistem darat dan laut, serta memiliki kekayaan alam yang melimpah, maka

sektor kelautan dan pulau-pulau kecil memegang peran strategis bagi

kepentingan nasional. Terbukti, Indonesia secara fisik memiliki 17.500 pulau,

dengan total panjang garis pantai mencapai 81.000 km serta luas laut

mencapai 70 persen dari total luas wilayah Indonesia. Potensi sumber daya

ikan juga melimpah, di mana potensi lestari mencapai 6,2 juta ton per tahun,

belum termasuk keanekaragaman hayati lainnya seperti rumput laut, terumbu

karang, dan lainnya. Sehingga, sadar akan potensi itu, berbagai lembaga

negara maupun swasta sangat berkepentingan atas regulasi tersebut. Adalah

sebuah tindakan yang tepat bagi pemerintah menjalankan fungsinya untuk

mengatur tatanan khususnya di isu pesisir dan pulau-pulau kecil ini. Akan

tetapi, pengaturan tersebut haruslah tidak bertentangan dengan kepentingan

pengelolaan lingkungan pesisir dan masyarakat, khususnya nelayan

tradisional. Regulasi sebagaimana dimaksud juga seharusnya tidak

bertentangan dengan kearifan lokal nelayan. Sebagai contoh, di sepanjang

pesisir pulau Jawa hingga saat ini masih hidup (terus tumbuh dan berkembang)

pelbagai budaya serta tradisi lokal. Dan konstitusi Indonesia menghargai

Page 57: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

70 71

10

keberadaan kebudayaan-kebudayaan tersebut. Oleh karenanya, Indonesia

sebagai negara hukum, di mana konstitusi merupakan basis filosofis dari

hukum nasional, maka sudah semestinya aturan yang ada, tidak boleh

bertentangan dengan konstitusi. Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan

pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi merupakan hukum

tertinggi (the supreme law of the land), di mana ia menjadi ruh bagi ketentuan

peraturan perundang-undangan di bawahnya. Sehingga, tiap peraturan

perundang-undangan yang bertentangan dengan isi dan jiwa dari suatu

konstitusi haruslah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

UUD 1945, sebagai konstitusi Republik Indonesia, dalam mengatur persoalan

agraria (bumi, air, angkasa dan isinya) dan kewajiban negara serta hak-hak

warga negara, telah menggariskan enam hal. Pertama, Indonesia adalah

negara kepulauan yang bercirikan nusantara (Pasal 25A); Kedua, Kekayaan

alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat [Pasal 33 ayat (3)]; Ketiga,

Cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara

[Pasal 33 ayat (2)]; Keempat, Perekonomian Indonesia berdasarkan

kekeluargaan dan demokrasi ekonomi [Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 33 ayat

(4)]; Kelima, Perlindungan hak asasi manusia/HAM (Pasal 28A-J); Keenam,

Perlindungan hak masyarakat adat (Pasal 18B, Pasal 28I, dan Pasal 32).

Bahwa pokok, dalam UUD 1945 tersebut juga membentuk “Negara” yang yang

berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan. Oleh karena itu, sistem

hukum yang dibentuk negara harus mewakili kepentingan rakyat Indonesia.

Selanjutnya, Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan peraturan perundangan

tentang wilayah teritorial Indonesia guna menggantikan peraturan perundangan

produk Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Secara historis, batas wilayah laut

Indonesia telah dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dalam

Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939, yang

menyatakan bahwa lebar wilayah laut Indonesia adalah tiga mil diukur dari

garis rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia. Kemudian wilayah laut

Indonesia ditetapkan melalui Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember

1957, dan dikukuhkan oleh Undang-Undang Nomor 4 PrP Tahun 1960, yang

kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang

Perairan Indonesia, setelah sebelumnya Pemerintah Indonesia menerbitkan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia,

11

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi

PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS - United Nations Convention On The Law

Of The Sea). UNCLOS yang ditandatangani oleh sejumlah negara di Jamaika

pada tanggal 10 Desember 1982. UNCLOS memiliki arti penting bagi

Indonesia, karena di sinilah diterimanya konsep negara kepulauan. Di sisi lain,

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria (UUPA

1960), diterbitkan guna menjalankan mandat Pasal 33 UUD 1945. Selain itu,

kelahiran UUPA 1960 juga untuk mengakhiri dualisme hukum, yaitu hukum

kolonial dan hukum adat, melalui satu hukum nasional yang mengadopsi

hukum adat, menciptakan kesederhanaan hukum, dan perubahan tata kuasa

dan tata kelola sumber-sumber agraria (pembaruan agraria). Meski UUPA 1960

hanya mengatur hingga garis pantai, namun Undang-Undang ini mengenal juga

hak guna air. Hak guna air kemudian juga diatur dalam Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Kendati telah memiliki peraturan

perundangan yang bersifat nasional, pengelolaan sumber-sumber agraria

masih menyisakan persoalan di mana pengusahaan sumber-sumber agraria

tersebut tidak paralel dengan kemakmuran rakyat. Peraturan-peraturan

tersebut justru banyak memunculkan kasus yang menciptakan kerusakan pada

perekonomian negara, kerusakan ekonomi rakyat, dan kerusakan lingkungan,

serta konflik dengan kekerasan yang mengakibatkan pelanggaran HAM. Hal-

hal tersebut di atas juga terjadi di wilayah, pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dampaknya, tidak saja rawan pangan dan rawan bencana, namun juga rawan

lepas dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemicu lain

dari kondisi ini adalah pembangunan peraturan perundangan yang

komprehensif mengatur perihal pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil cenderung lebih lambat ketimbang peraturan perundangan lainnya, seperti

pertanahan, perkebunan, kehutanan, pertambangan, perairan dan perikanan.

Parahnya lagi, berlangsung persaingan ekplorasi dan eksploitasi antar lembaga

pemerintah dengan mengedepankan ego masing-masing institusi. Pengaturan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikelola oleh pelbagai instansi negara

atau instansi pemerintah dengan berbekal peraturan perundangannya masing-

masing. Semisal, perihal pengelolaan kawasan konservasi laut dimasukkan ke

dalam rezim pengelolaan di bawah Departemen Kehutanan, melalui Undang-

Page 58: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

72 73

12

Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan

Ekosistemnya, yang merupakan ratifikasi Pemerintah Indonesia terhadap

Strategi Pelestarian Dunia (World Conservation Startegy) yang ditetapkan pada

tahun 1980. Hal ini jelas menegasikan sektor kelautan nasional. Padahal,

kontribusi sektor kelautan terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) nasional

mencapai lebih dari 20% setiap tahun. Kontribusi tersebut berasal dari sektor

perikanan, transportasi laut, pariwisata bahari, industri maritim, pertambangan

lepas pantai, dan jasa-jasa kelautan. Oleh karenanya, para pegiat sektor

kelautan, perikanan, dan pesisiran, menginginkan adanya peraturan

perundangan di tingkat nasional, karena, pertama, sumber daya wilayah pesisir

belum dikelola secara optimal sehingga kontribusinya bagi kesejahteraan

masyarakat di sekitarnya sangat minim. Kemiskinan masih mendera 32 persen

dari 16,42 juta penduduk 8.090 desa pesisir; Kedua, pelbagai bencana pesisir,

seperti tsunami, telah meluluhlantakkan pemukiman dan menewaskan ratusan

ribu orang tanpa dapat diantisipasi. Seperti kita ketahui, untuk wilayah pesisir

yang ekosistem terumbu karang dan mangrovenya masih baik, akan

mengalami kerusakan relatif lebih kecil jika mengalami bencana; Ketiga, di

pelbagai belahan bumi yang wilayah pesisirnya tertata baik, terbukti mampu

menumbuhkan investasi dan memberi kontribusi ekonomi yang signifikan.

Berdasarkan hasil review terhadap perundang-undangan (20 undang-undang

nasional) dan konvensi (5 konvensi internasional) yang telah diratifikasi

Pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir,

maka dijumpai tiga permasalahan hukum yang krusial, yaitu: Pertama, Konflik

antar Undang-Undang; Kedua, Konflik antara Undang-Undang dengan Hukum

Adat; Ketiga, Kekosongan Hukum; Dan Keempat, Konflik antar Undang-

Undang terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan laut.

Keempat masalah krusial tersebut, bermuara pada ketidakpastian hukum,

konflik kewenangan dan pemanfaatan, serta kerusakan bio-geofisik sumber

daya pesisir. Keempat masalah tersebut merupakan suatu kesatuan, sehingga

solusi yuridisnya pun harus terpadu melalui Undang-Undang baru yang

mengintegrasi pengelolaan wilayah pesisir. Sesungguhnya, telah lama di

kalangan pemerintahan Indonesia menginginkan adanya pengaturan secara

nasional persoalan pesisir. Paling tidak, BPN (Badan Pertanahan Nasional)

pada tahun 1995 pernah membentuk tim guna mempelajari dan mendalami

13

tentang tanah adat dan tanah pantai. Tanah pantai yang dimaksud di sini, yang

dijadikan studi kasus adalah tanah perbatasan antara ekosistem darat dengan

ekosistem laut maupun danau. Menurut Dr. Ir. Soedjarwo Soeromiharjo, yang

kala itu masuk tim BPN, mengatakan bahwa Indonesia adalah Negara

Kesatuan berupa kepulauan dan semakin majunya teknologi, maka sudah

waktunya perhatian diberikan lebih pada hak-hak dan pemanfaatan tanah

pantai yang diatur secara nasional (Soeromiharjo, 2007). Pada tanggal 26 Juni

2007, dalam Sidang Paripurnanya, DPR RI mengesahkan Undang-Undang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Menurut

kebijakan ini, dalam konteks tanah pantai, hanyalah wilayah pesisir, yaitu

perbatasan ekosistem darat dengan ekosistem laut. Penyusunan rancangan

undang-undang (RUU) tersebut memakan waktu yang lama. Rentang waktu

yang dilewati hingga disahkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

relatif panjang dan melibatkan hampir semua elemen yang ada kaitannya

dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hamid Awaluddin,

Menteri Hukum dan HAM ketika itu, pada suatu Rapat Dengar Pendapat (RDP)

dengan DPR sempat berkelakar bahwa tinggal bajak laut saja yang belum

sempat diajak konsultasi ikhwal RUU PWP3K ini. Memang, diperlukan waktu

tujuh tahun lebih untuk menggolkan undang-undang ini. Diawali dengan

penyusunan naskah akademik pada paruh kedua tahun 2000, yang melibatkan

akademisi, praktisi hukum, LSM, bahkan juga memperoleh masukan dari pakar

internasional, terutama dari Rhode Island University. Namun, Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil ini belum mewujudkan pendekatan Integrated Coastal Management, yang

ditandai dengan tidak adanya pembaruan atas penguasaan dan pengusahaan

yang timpang dan adanya ketidaksinkronan dengan Undang-Undang lainnya.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 juga lebih menekankan pada aspek

investasi dan lebih pro dunia usaha, sehingga tidak ada ruang bagi

masyarakat, khususnya nelayan kecil tradisional dan masyarakat adat dalam

pengusulan rencana pengelolaan, dan menyerahkan masalah kedaulatan

wilayah teritorial hanya pada setingkat Peraturan Pemerintah. Dalam Undang-

Undang ini diatur tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), yaitu hak

atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan

perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya

Page 59: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

74 75

14

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom

air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.

Substansi HP-3 ini semakin memperparah pencabutan hak-hak masyarakat

pesisir dalam mengakses sumber daya baik di permukaan laut, badan air

maupun di bawah dasar laut. Tidak ada lagi ruang bagi masyarakat pesisir

khususnya nelayan, petani ikan, pelaku UKMK kelautan dan buruh nelayan

melakukan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir. Semua akses sumber daya

kelautan praktis akan dikuasai pemilik modal. Sebab, hanya merekalah yang

mampu memenuhi segala persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Masyarakat pesisir hanya menjadi penonton karena tidak mempunyai modal

besar dan teknologi untuk bersaing dengan para pemilik modal. Hal

ini mengakibatkan kemiskinan nelayan bertambah parah. Undang-Undang ini

tetap menyisakan permasalahan, yang dapat disebut di sini adalah: Pertama,

Undang-Undang ini selalu mengkaitkan dengan adaptasi terhadap situasi

global. Tidak jelas apa konteks global yang dimaksudkan. Namun, jika ditelisik

lebih dalam, konsep global di sini lebih mengarah pada globalisasi; Kedua,

privatisasi dalam ranah yang harusnya dikuasai negara serta persoalan tata

ruang; Ketiga, perlindungan Kelompok Rentan di Pedesaan Pesisir; Keempat.

persoalan kemiskinan dan kedaulatan negara di pulau kecil; Kelima,

sinkronisasi dengan peraturan perundangan lainnya yang terkait dengan

pengelolaan wilayah pesisir.

B. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Hak Uji menurut Prof. DR. Sri Soemantri, dalam bukunya: “Hak Uji Materiil Di

Indonesia, 1997,” ada dua jenis, yaitu Hak Uji Formil dan Hak Uji Materiil. Hak

Uji Formil menurutnya adalah “wewenang untuk menilai, apakah suatu produk

legislatif, seperti Undang-Undang misalnya terjelma melalui cara-cara

(procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku ataukah tidak” (halaman 6). Selanjutnya ia mengartikan

Hak Uji Materiil sebagai “wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai,

apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan

tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu”

(halaman 11);

15

Hak Uji, baik formil maupun materiil, diakui keberadaannya dalam sistem

hukum Indonesia, sebagaimana terdapat dalam konstitusi, yaitu UUD 1945,

yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, dalam Pasal 24 ayat

(1), menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya …. dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi”.

Sedangkan pengaturan mengenai kewenangan hak uji Undang-Undang

Terhadap UUD tersebut terdapat dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10

ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, yang selengkapnya menentukan sebagai berikut: Pasal 24C ayat (1)

berbunyi, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama

dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga

Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus

pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

umum”. (Bukti P-4)

Bahwa selanjutnya Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang tentang

Mahkamah Konstitusi menyatakan ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili

pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945”;

Bahwa Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan,

“Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada

Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;

Bahwa, selain itu Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur secara hierarki

kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari Undang-Undang, oleh karenanya setiap

ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika

terdapat ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD

1945, maka ketentuan Undang-Undang tersebut dapat dimohonkan untuk diuji

melalui mekanisme Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi;

Page 60: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

76 77

16

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut jelas bahwa Mahkamah Konstitusi

mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian secara materiil, yaitu

untuk melakukan pengujian sebuah produk Undang-Undang terhadap UUD

1945;

C. KEDUDUKAN DAN HAK KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON

Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan

bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang,

yaitu: perorangan warga negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-

undang; badan hukum publik atau privat, atau; lembaga negara;

Dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak

yang diatur dalam UUD 1945;

Bahwa hak konstitusional sebagaimana terkandung dalam UUD 1945 di

antaranya meliputi hak untuk mendapatkan kepastian hukum, hak atas

pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 28D

ayat (1), ayat (2) UUD 1945;

Bahwa atas ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi

untuk menguji apakah Pemohon memiliki legal standing (dikualifikasi sebagai

Pemohon) dalam permohonan Pengujian Undang-Undang tersebut. Adapun

syarat yang pertama adalah kualifikasi bertindak sebagai Pemohon

sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi. Syarat kedua adalah adanya kerugian Pemohon atas terbitnya

Undang-Undang tersebut (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

133/PUU-VII/2009 );

Bahwa para Pemohon adalah badan privat dan perorangan warga negara

Indonesia (individu), yang bergerak, berminat dan didirikan atas dasar

kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan keadilan

sosial, hukum dan hak asasi manusia, termasuk hak-hak pekerja di Indonesia,

yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan akta notaris;

17

Bahwa walaupun demikian tidak semua organisasi dapat atau bisa mewakili

kepentingan publik (umum) akan tetapi hanya organisasi yang telah memenuhi

syarat yang ditentukan oleh berbagai Undang-Undang maupun yurisprudensi,

yaitu:

* Berbentuk badan hukum;

* Dalam AD/ART secara tegas menyebutkan tujuan didirikan organisasi

tersebut;

* Secara rutin telah melakukan kegiatan yang telah diamanatkan oleh

AD/ART nya tersebut;

Bahwa dalam hal ini para Pemohon terdiri dari berbagai organisasi non

pemerintah (badan privat) maupun perorangan (individu) yang dikenal telah

memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya dalam sektor kelautan,

masyarakat pesisir, dan ketimpangan akses agraria serta hak-hak masyarakat

adat di Indonesia di mana hal tersebut tercermin dalam AD/ART dan aktivitas

sehari-hari para Pemohon;

C.1. PEMOHON BADAN HUKUM PRIVAT

Bahwa Pemohon Organisasi telah mendapatkan status hukum sebagai

badan hukum, sebagaimana tercantum dalam Akta Notaris, adapun para

Pemohon adalah sebagai berikut:

1) Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA),

Bahwa Pemohon tercatat di Akta Notaris H. Dana Sasmita, SH, Nomor

Akta: 29 tanggal 13 Maret 2009. Bahwa maksud dan tujuan lembaga

ini didirikan, sebagaimana dilihat dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 10

Akta tersebut yaitu:

- Bahwa Pasal 7 menyatakan: -------------------- Visi ------------------------

Rakyat berdaulat mengelola sumber daya perikanan secara Adil

dan Berkelanjutan;

- Bahwa Pasal 8 menyatakan: -------------------- Misi ------------------------

Memperjuangkan keadilan kelautan dan perikanan;

- Bahwa Pasal 9 menyatakan: -------------------- Tujuan --------------------

Untuk memperkuat nelayan dan masyarakat yang tinggal di wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil agar memperoleh perlindungan dan

kesejahteraan hidup yang layak dari Pemerintah Republik

Indonesia;

Page 61: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

78 79

18

- Bahwa pasal 10 menyatakan: ------------------- Program -----------------

Dalam menjalankan Visi dan Misi KIARA ditetapkan program

sebagai berikut:

Reformasi kebijakan Illegal, unregulated, unreported fishing (IIUF).

Industri pertambakan udang dan mangrove. Pengelolaan sumber

daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang adil dan berkelanjutan;

Seperti yang tertuang baik dalam Akta mauapun dalam AD/ART

Pemohon I telah secara rutin melakukan berbagai kegiatan

bersama-sama dengan nelayan, baik dalam kegiatan pendidikan,

advokasi maupun kampanye yang betujuan untuk merubah

kebijakan agar berpihak pada nelayan; (Bukti P-5)

Bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007,

visi, misi dan tujuan KIARA agar rakyat berdaulat mengelola

sumber daya perikanan secara adil dan berkelanjutan terhalangi

dan juga berpotensi menghambat perjuangan keadilan kelautan

dan perikanan.

Bahwa selain itu, keberadaan UU Nomor 27 Tahun 2007

menghambat upaya penguatan nelayan dan masyarakat yang

tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil agar memperoleh

perlindungan dan kesejahteraan hidup yang layak dari Pemerintah

Republik Indonesia;

2) Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS),

Bahwa Pemohon II tercatat di Akta Notaris Ny. Nurul Muslimah

Kurniati, S.H., dengan Nomor Akta tanggal 16 Februari 2008. Bahwa

dalam akta Pasal 7 mengenai tujuan organisasi ini adalah:

Organisasi ini bertugas untuk memperjuangkan tata dunia yang damai,

adil dan makmur. Menghapus ketidakadilan global yang disebabkan

oleh negara dan modal. Dan dunia yang bebas dari kemiskinan,

kelaparan, peperangan dan perbudakan serta bebas dari neo-

kolonialisme dan imperialisme. Di tingkatan nasional adalah

terciptanya negara demokratis yang menghormati, memenuhi, dan

melindungi hak asasi manusia serta mewujudkan keadilan sosial bagi

warganya. Organisasi ini berperan memajukan dan membela hak asasi

manusia serta mewujudkan keadilan sosial.

19

Selanjutnya dalam Pasal 9 menyatakan:-------------- Fungsi ----------------

Organisasi ini berfungsi:

Membela korban pelanggaran hak asasi manusia melalui advokasi

litigasi dan non litigasi. Memfasilitasi korban korban pelanggaran hak

asasi manusia untuk berubah menjadi pejuang hak asasi. Melakukan

advokasi kebijakan publik untuk menciptakan sistem negara yang

demokratis dan menghormati, memenuhi dan melindungi hak asasi

manusia. Melakukan inisiatif jalan pemenuhan hak asasi manusia,

keadilan sosial, pembaruan sistem ekonomi, poltik, hukum dan

keamanan, serta penyelesaian konflik kekerasan bersenjata; (Bukti

P-6)

Bahwa keberadaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 akan

melanggengkan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia

yang dilakukan oleh pemodal (capital violence) yang dilindungi oleh

Undang-Undang (judicial violence) sehingga tujuan pendirian

organisasi IHCS akan terhalangi;

Dengan berlakunya UU Nomor 27 Tahun 2007, IHCS akan mengalami

kesulitan dalam mewujudkan tujuan advokasi di bidang pengelolaan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;

3) Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

(PK2PM)

Bahwa Pemohon III tercatat di Akta Notaris Ny. Masnah Sari, S.H,

dengan Nomor 47 pada tanggal 9 Februari 2008. Bahwa dalam Akta

Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 tersebut tercantum maksud dan tujuan

organisasi tersebut didirikan yaitu:

- Pasal 4 menyatakan:

Maksud dan tujuan PK2PM adalah mengoptimalkan pendayagunaan

sumber daya kelautan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat

sehingga tercipta suatu masyarakat yang “berperadaban maritim”

yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keberanian, keterbukaan,

pluralisme dan egaliter.

- Pasal 5 menyatakan:

Untuk mencapai maksud dan tujuan seperti tersebut dalam Pasal 3 di

atas, PK2PM melaksanakan kegiatan antara lain:

Page 62: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

80 81

20

1. Penelitian dan kajian ilmiah tentang pembangunan kelautan dan

peradaban maritim;

2. Pengembangan training-training advokasi, pengembangan,

masyarakat dan metode penelitian ilmiah;

3. Penerbitan buku dan publikasi ilmiah (Jurnal dan Buku), dialog/

diskusi, seminar dan lokakarya serta kerja sama dengan media

massa koran dan elektronik;

4. Pengembangan informasi dan dokumentasi tentang

pembangunan kelautan dan budaya maritim;

5. Melakukan advokasi kebijakan pembangunan kelautan;

6. Kerjasama nasional dan internasional dan kajian pembangunan

kelautan dan peradaban maritim;

- Pasal 6 menyatakan: Visi PK2PM adalah “Laut untuk

kesejahteraan rakyat dan masa depan peradaban bangsa”;

- Pasal 7 menyatakan: Misi PK2PM ini adalah:

1. Menempatkan sumber daya kelautan sebagai arus utama

(mainstream) pembangunan nasional untuk mengentaskan

kemiskinan dan pengangguran;

2. Meningkatkan kualitas dan kompetensi SDM (sumber daya

manusia) kelautan;

3. Meningkatkan kualitas dan distribusi informasi pembangunan

kelautan.

4. Menciptakan sinergisitas, solidaritas dan keberlanjutan

pembangunan kelautan;

5. Mewujudkan peradaban maritim dengan merevitalisasi nilai-

nilai budaya kemaritiman dalam pembangunan nasional;

(Bukti P-7)

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 berpotensi menghalangi tujuan

PK2PM untuk mengoptimalkan dan mendayagunakan sumber daya

kelautan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Undang-Undang ini

juga menghambat tujuan PK2PM untuk menciptakan suatu masyarakat

yang “berperadaban maritim” yang menjunjung tinggi nilai-nilai

kejujuran, keberanian, keterbukaan, pluralisme dan egaliter. Dalam

rangka melakukan advokasi kebijakan pembangunan kelautan, PK2PM

21

sesuai dengan anggaran dasar khususnya Pasal 5 ayat (5) merasa

perlu untuk melakukan judicial review Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 ke Mahkamah Konstitusi.

4) Yayasan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Bahwa Pemohon IV tercatat dalam Akta Notaris Doktor Wiratni

Ahmadi, SH, dengan Nomor 106 pada tanggal 22 Mei 1996. Bahwa

dalam Akta maupun AD/ART Pemohon dicantumkan tujuan didirikan

lembaga tersebut yaitu: Dalam Akta Nomor 106 menyatakan:

- Pasal 4: Maksud dan tujuan Yayasan ini ialah: merintis atau turut

serta menyumbangkan daya, tenaga dan pikiran dalam bidang

keagrariaan guna menunjang pembangunan Nasional khususnya

bidang agraria, dalam rangka penyebaran informasi melalui studi

penelitian dan kajian ilmiah.

- Pasal 5: Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, yayasan akan

melakukan usaha-usaha sebagai berikut:

1. Menyelenggarakan studi terhadap Undang-Undang Pokok Agraria

serta hukum-hukum adat yang berkembang dimasyarakat;

2. Menyelenggarakan penelitian serta studi perbandingan tentang

keagrariaan;

3. Mengadakan ceramah, simposium, seminar dan diskusi;

4. Mengadakan penerbitan buku-buku, majalah dan bulletin;

5. Bekerja sama dengan badan pemerintah maupun swasta baik di

dalam maupun di luar negeri yang mempunyai maksud dan tujuan

yang sama dengan Yayasan;

Dalam Anggaran Dasar Pemohon IV menyatakan:

- Pasal 5: Nilai-nilai yang dianut dalam KPA: hak asasi manusia;

kelestarian lingkungan; kearifan nilai-nilai adat, keadilan sosial;

keadilan dan kesetaraan gender; non sekretarian; non partisan;

perdamian dan anti kekerasan; anti diskriminasi pada ras, suku,

agama dan aliran kepercayaan; solidaritas;

- Pasal 8: PA berperan memperjuangkan pembaruan agraria, dengan

nilai-nilai sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 Bab II;

- Pasal 1: Kegiatan KPA meliputi:

Page 63: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

82 83

22

1. Memperjuangkan pemenuhan hak-hak rakyat terutama petani/

buruh tani, nelayan, masyarakat adat, dan rakyat miskin;

2. Advokasi yang berupa upaya perubahan kesadaran rakyat

(publik) melalui penyebaran informasi, pembentukan opini publik,

pembelaan kolektif disatu pihak, dan perubahan kebijakan dan

strategi pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan hak-

hak rakyat dilain pihak;

3. Menyelenggarakan pendidikan alternatif;

4. Pengembangan jaringan-jaringan informasi, kajian, dan publikasi

yang bersifat internal maupun eksternal;

5. Pengembangan kerja sama kegiatan, program, dan kelembagaan

yang mengabdi pada pemenuhan tujuan-tujuan Gerakan

Pembaharuan Agraria;

6. Secara aktif terlibat dalam perjuangan penggalangan solidaritas,

dan front/aliansi perjuangan internasional untuk Reforma Agraria

Sejati; (Bukti P-8)

Bahwa sebagian anggota KPA terdiri dari serikat nelayan dan serikat

petani, pemberlakuan Undang-Undang ini berpotensi merugikan masa

depan serikat nelayan.

Bahwa pemberlakuan HP3 di wilayah pesisir mengganggu hak-hak

kepemilikan kaum tani yang sudah diatur dan dijamin dalam Undang-

Undang 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan

peraturan terkait lainnya.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 sangat jelas

berlawanan dengan tujuan KPA dalam rangka merintis atau turut serta

menyumbangkan daya, tenaga, dan pikiran dalam bidang keagrariaan

guna menunjang pembangunan nasional khususnya bidang agraria,

dalam rangka penyebaran informasi melalui studi penelitian dan kajian

ilmiah, sehingga KPA merasa perlu untuk mengajukan judicial review

kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal

11 ayat (1) Anggaran Dasar KPA, yaitu memperjuangkan pemenuhan

hak-hak rakyat terutama petani/buruh tani, nelayan, masyarakat adat,

dan rakyat miskin;

23

5) Serikat Petani Indonesia (SPI)

Bahwa Pemohon V tercatat dalam Akta Notaris Ny. Soetati Mochtar,

SH., dengan Nomor 18 tanggal 14 April 2008. Bahwa dalam Akta

tersebut tercantum kegiatan-kegiatan organisasi sebagai berikut:

- Pasal 14 menyatakan: --------------------------- Kegiatan ---------------------

1. Melakukan berbagai bentuk pendidikan/kaderisasi bagi anggota;

2. Mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berbagai informasi

yang berguna bagi petani dan anggota;

3. Membangun kehidupan ekonomi anggota yang mandiri dan

berdaulat dengan prinsip koperasi yang sejati;

4. Pengerahan massa aksi untuk melakukan aksi massa sebagai

salah satu kekuatan utama SPI;

5. Melakukan pembelaan bagi anggota yang dilanggar hak asasinya

sebagai manusia, hak asasinya sebagai petani, dan hak asasinya

sebagai warga negara;

6. Memperbanyak jumlah anggota, mendorong serta memperkuat

kerja sama diantara sesama anggota;

7. Memperkuat kepengurusan mulai dari pusat hingga basis;

8. Melakukan kerja sama dan solidaritas yang saling memperkuat

dengan organisasi tani dan organisasi rakyat lainnya yang

mempunyai pandangan, asas, dan tujuan yang sejalan dengan

SPI, baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional;

9. Mendorong dan mendukung lahirnya organisasi rakyat lainnya

yang sejalan dengan SPI;

10. Menjalin hubungan setara dengan lembaga dan aparatur negara

yang bersifat kritis baik didalam maupun di luar negeri sepanjang

tidak bertentangan dengan pandangan, asas, tujuan, dan

kepentingan SPI;

Bahwa selanjutnya dalam Anggaran Dasar Pasal 9, Pemohon

mempunyai tujuan sebagai berikut:

Terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan, dan penataan model

pengelolaan pembangunan ekonomi secara umum dan kebijakan

agraria secara khusus. Terjadinya perombakan, pembaruan,

pemulihan, dan penataan demokrasi di bidang politik secara umum

Page 64: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

84 85

24

dan kedaulatan politik petani secara khusus. Terjadinya pemulihan dan

penataan kembali di bidang adat dan budaya masyarakat secara

umum dan adat serta budaya petani secara khusus.

Selanjutnya dalam Pasal 13 ditentukan:

Untuk mencapai tujuan tersebut, SPI melakukan kegiatan-kegiatan

sebagai berikut:

Melakukan berbagai bentuk pendidikan bagi massa dan kader

organisasi petani yang menjadi anggotanya. Memberikan layanan

informasi tentang peluang dan tantangan dan permasalahan yang

dapat dimanfaatkan oleh anggotanya. Melakukan kegiatan-kegiatan

kerja sama dengan organisasi tani lainnya yang mempunyai

pandangan, asas dan tujuan yang sejalan dengan SPI. Melakukan

advokasi terhadap kasus dan kebijakan yang merugikan anggotanya.

Memperbanyak dan memperkuat organisasi anggota. Mendorong dan

mendukung lahirnya organisasi rakyat lainnya yang sejalan dengan

SPI. Membina jaringan kerja sama dan solidaritas yang saling

memperkuat dengan organisasi pro demokrasi dan pro petani lainnya,

baik di tingkat nasional maupun di tingkat Internasional. Menjalin

hubungan setara dengan aparatur negara yang bersifat kritis baik di

dalam negeri maupun di luar negeri sepanjang tidak bertentangan

dengan pandangan, asas, tujuan dan kepentingan SPI. Mendorong

dan memfasilitasi kerja sama di antara sesama anggota SPI dan kerja

sama dengan organisasi lainnya yang segaris dengan perjuangan SPI.

Mendorong terbangunnya basis produksi petani anggota yang

bertumpu pada kemandirian dan kedaulatan petani. (Bukti P-9)

Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

maka berpotensi mengancam hak-hak petani anggota SPI di wilayah

pesisir dan menghalangi tujuan SPI untuk melakukan perombakan,

pembaruan, pemulihan, dan penataan model pengelolaan

pembangunan ekonomi secara umum dan kebijakan agraria secara

khusus. Berdasarkan hal tersebut di atas, SPI wajib melakukan

pembelaan bagi anggota yang dilanggar hak asasinya sebagai

manusia, hak asasinya sebagai petani dan hak asasinya sebagai

warga negara, sesuai dengan Pasal 14 ayat (5) Anggaran Dasar SPI

25

melalui judicial review UU Nomor 27 Tahun 2007 ke Mahkamah

Konstitusi.

6) Yayasan Bina Desa Sadajiwa

Bahwa Pemohon VI berdasarkan Akta Pendirian Yayasan Nomor 03

tanggal 18 April 2006, bahwa untuk mencapai maksud dan tujuannya,

Yayasan menjalankan kegiatan sebagai berikut:

(1) Di bidang Sosial:

Mengadakan, menyelenggarakan, dan mendirikan Lembaga

pendidikan, ketrampilan dan pelatihan baik formal maupun non

formal bagi masyarakat di pedesaan. Memfasilitasi reorientasi

kaum intelektual tentang masalah-masalah rakyat. Mengadakan,

menyelenggarakan dokumentasi dan penyebaran informasi dalam

bidang pendidikan melalui penerbitan buku-buku, media massa

elektronik maupun non elektronik. Mengadakan,

menyelenggarakan, pembinaan dalam bidang pendidikan pada

masyarakat pedesaan. Mengadakan, menyelenggarakan,

penelitian di bidang Ilmu Pengetahuan mengenai

kemasyarakatan, kemanusiaan, lingkungan hidup dan teknologi.

Mengadakan, menyelenggarakan studi banding;

(2) Di bidang kemanusiaan:

Memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat pedesaan.

Membangun dan mengembangkan masyarakat masyarakat

pedesaan. Memberikan bantuan kepada korban bencana alam,

korban-korban hak asasi manusia. Memberikan bantuan kepada

pengungsi akibat perang. Memberikan bantuan kepada tuna

wisma, fakir miskin, dan geladangan. Memberikan perlindungan

konsumen. Melestarikan lingkungan hidup.

Sesuai dengan Akta dan atau AD/ART di atas, organisasi ini telah

melakukan advokasi kepada para petani dan masyarakat di desa

pesisir yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia. Apabila

Undang-Undang ini diberlakukan maka akan semakin banyak petani,

khususnya anggota dari organisasi ini yang bermukim di kawasan

pesisir yang menjadi korban; (Bukti P-10)

Page 65: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

86 87

26

Bahwa sebagian anggota Bina Desa Sadajiwa terdiri dari masyarakat

pedesaan yang berada di wilayah pesisir, pemberlakuan Undang-

Undang ini berpotensi merugikan masa depan masyarakat pesisir

tersebut.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 sangat jelas

berlawanan dengan tujuan Bina Desa Sadajiwa dalam rangka

memfasilitasi pemberdayaan komunitas pedesaan untuk berpartisipasi

dalam menciptakan komunitas pedesaan yang demokratis dan mandiri

(Desa Swabina). Pemberlakuan Undang-Undang a quo juga

berpotensi menghalangi tujua khusus dari Bina Desa Sadajiwa untuk

meningkatkan posisi tawar petani, nelayan, perempuan pedesaan dan

kelompok-kelompok masyarakat pedesaan pada umumnya dalam hal

penguasaan tanah, faktor-faktor produksi dan akses kebijakan sosial

politik.

7) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

Bahwa Pemohon VII dalam Pasal 5 Anggaran Dasarnya disebutkan

bahwa YLBHI mempunyai maksud dan tujuan adalah:

Memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat

luas yang tidak mampu tanpa membedakan agama, keturunan, suku,

keyakinan politik, jenis kelamin maupun latar belakang sosial budaya;

Menumbuhkan, mengembangkan, dan memajukan pengertian dan

penghormatan terhadap nilai-nilai negara hukum dan martabat serta

hak-hak asasi manusia pada umumnya dan meninggikan kesadaran

hukum dalam masyarakat pada khususnya, baik kepada pejabat

maupun warga negara biasa, agar supaya mereka sadar akan hak-hak

dan kewajiban-kewajiban sebagai subjek hukum; Berperan aktif dalam

proses pembentukan hukum, penegakan hukum dan pembaharuan

hukum sesuai dengan konstitusi yang berlaku dan Deklarasi Umum

Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right);

Memajukan dan mengembangkan program-program yang

mengandung dimensi keadilan dalam politik, sosial, ekonomi, budaya

dan gender dengan fokus tetapnya pada bidang hukum; (Bukti P-11)

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 menghalangi YLBHI untuk

berperan aktif dalam proses penegakan hukum dan pembaharuan

27

hukum sesuai dengan konstitusi yang berlaku dan Deklarasi Umum

Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right);

Pemberlakuan Undang-Undang a quo juga berpotensi menghalangi

YLBHI untuk memajukan dan mengembangkan program-program yang

mengandung dimensi keadilan dalam politik, sosial, ekonomi, budaya

dan gender di wilayah pesisir.

8) Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Bahwa Pemohon VIII tercatat dalam Akta Notaris Arman Lany, S.H.,

Nomor 4 tanggal 17 Juni 2008, selanjutnya kedudukan Pemohon

sebagai badan hukum sudah disahkan Akta Pendiriannya melalui

Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia Nomor C-2898, HT.01.02.TH 2007 tanggal 10 September

2007.

Bahwa Pasal 5 Anggaran Dasar organisasi ini disebutkan bahwa

maksud dan tujuan yayasan ini, adalah:

1. Mendorong peran serta Lembaga Swadaya Masyarakat dalam

usaha pengembangan lingkungan hidup, serta menyalurkan

aspirasinya dalam lingkup nasional.

2. Meningkatkan kesadaran masyarakat sebagai pembina lingkungan

dan terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.

Selanjutnya dalam Pasal 6 ditentukan: untuk mencapai maksud dan

tujuan tersebut, organisasi ini berusaha:

Memberikan pelayanan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat yang

mencakup 3 (tiga) bidang pokok kegiatan:

Komunikasi dan informasi timbal balik di antara sesama Lembaga

Swadaya Masyarakat, di antara Lembaga Swadaya Masyarakat dan

khalayak ramai dan di antara Lembaga Swadaya Masyarakat dengan

pemerintah.

Pendidikan dan latihan untuk memperluas wawasan, membina

ketrampilan dan sikap Lembaga Swadaya Masyarakat dalam rangka

meningkatkan daya guna dan hasil gunanya di bidang pengembangan

lingkungan hidup.

Pengembangan program Lembaga Swadaya Masyarakat, di dalam:

Page 66: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

88 89

28

Menghimpun permasalahan lingkungan hidup dan sumber daya yang

ada serta menemukan berbagai alternatif pemecahannya.

Mendorong terciptanya kesadaran diri terhadap lingkungan menjadi

kegiatan nyata yang dapat mendatangkan manfaat bagi keselarasan

antara manusia dan alam lingkungannya.

Meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup dengan sebanyak

mungkin mengikut sertakan anggota masyarakat secara luas; (Bukti

P-12)

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 berpotensi

menghambat tujuan WALHI dalam mendorong peran serta Lembaga

Swadaya Masyarakat dalam usaha pengembangan lingkungan hidup

khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta menyalurkan

aspirasinya dalam lingkup nasional.

Berlakunya UU Nomor 27 Tahun 2007 juga berpotensi mengancam

nelayan khususnya anggota dari organisasi ini yang bermukim di

kawasan pesisir yang menjadi korban.

9) Aliansi Petani Indonesia (API)

Pasal 2 Anggaran Dasar Pemohon IX menyebutkan bahwa visi

organisasi dari adalah terwujudnya masyarakat petani yang adil,

makmur dan sejahtera. Bahwa Pasal 3 ditentukan: untuk mencapai visi

dalam Pasal 2 di atas, API memperjuangkan:

Melakukan pemberdayaan melalui pendidikan dan penguatan

ekonomi, politik, sosial dan budaya bagi petani memperjuangkan sistim

pemilikan lahan yang adil terhadap petani. Memperjuangkan

perlindungan hukum terhadap ketersediaan sarana produksi bagi kaum

tani. Mempersatukan berbagai serikat tani di seluruh wilayah Indonesia

berdasarkan visi organisasi tersebut Aliansi Petani Indonesia

melakukan advokasi kepada para petani yang lahannya

disengketakan. Selain itu, tidak sedikit anggota API yang hidup di

kawasan pesisir. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007, maka banyak anggota API yang tinggal di kawasan

pesisir akan kehilangan akses mereka terhadap sumber daya kelautan

di lingkungannya; (Bukti P-13)

29

Bahwa sebagian anggota API terdiri dari serikat nelayan dan serikat

petani, pemberlakuan Undang-Undang ini berpotensi merugikan masa

depan serikat nelayan.

Bahwa pemberlakuan HP3 di wilayah pesisir mengganggu hak-hak

kepemilikan kaum tani yang sudah diatur dan dijamin dalam Undang-

Undang 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan

peraturan terkait lainnya.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 sangat jelas

berlawanan dengan tujuan API untuk melakukan pemberdayaan

melalui pendidikan dan penguatan ekonomi, politik, sosial dan budaya

bagi petani, termasuk juga memperjuangkan sistim pemilikan lahan

yang adil terhadap petani pesisir.

C.2 PEMOHON PERORANGAN

10) Bahwa Pemohon X sampai dengan Pemohon XXVI adalah nelayan

yang dalam kesehariannya sebagian besar tinggal dan mencari

penghidupan di wilayah pesisir. Pemohon X sampai dengan Pemohon

XXVI ini adalah pihak yang terkena dampak langsung atas berlakunya

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 sehingga mengancam sumber

penghidupannya;

Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang a quo, berpotensi

menghilangkan akses terhadap wilayah tangkap Pemohon X sampai

dengan Pemohon XXVI sehingga berakibat kepada menurunnya

penghasilan sehari-hari, bahkan dapat berakibat pada hilangnya hak

hidup dan hak untuk mempertahankan kehidupannya. Selain itu juga

berpotensi melanggar hak atas pekerjaan yang layak, hak untuk

menjalankan kepercayaan dan keyakinan serta hak untuk bertempat

tinggal.

Bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

006/PUUIII/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah

menentukan 5 (lima) syarat kerugian konstitusional sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut:

(a). Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan

oleh UUD 1945;

Page 67: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

90 91

30

(b). Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan

pengujian;

(c). Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut

bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat

potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan

akan terjadi;

(d). Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian

hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang

yang dimohonkan pengujian;

(e). Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan

maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang

didalilkan tidak lagi terjadi;

Bahwa berdasarkan kriteria-kriteria tersebut para Pemohon merupakan

pihak yang memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) antara

kerugian konstitusional dengan berlakunya Undang-Undang yang

dimohonkan untuk diuji karena Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

khususnya Bab V (Pemanfaatan) Pasal 16 sampai dengan Pasal 21

yang di dalamnya memuat soal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir

(HP3) bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27

ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 28C UUD 1945.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil hanya memberikan

peluang dan hak-hak istimewa kepada para investor kaya dan

mematikan hak-hak konstitusional para Pemohon yang dalam hal ini

berbicara untuk dan atas nama rakyat kecil yang semakin

termarjinalkan dengan diberlakukannya pasal-pasal yang tersebut di

atas.

Bahwa dilihat dari fakta hukum di beberapa daerah kepulauan di

Indonesia telah terjadi privatisasi pulau-pulau dan pesisir sehingga

sangat berpotensi menggerus keberadaan nelayan-nelayan lokal serta

budaya kebaharian nelayan;

31

Dengan demikian, para Pemohon berpendapat bahwa para Pemohon

memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak dalam

permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945

sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

D. FAKTA-FAKTA HUKUM

Bahwa melihat laju kerusakan sumber daya pesisir yang mencapai tingkat

mengkhawatirkan. Kerusakan sumber daya pesisir tersebut berimplikasi

langsung terhadap penurunan kualitas habitat perikanan dan mengurangi

sumber daya perikanan untuk berkembang serta mengurangi fungsi lingkungan

pesisir. Pencemaran pesisir juga menurunkan kualitas air dan meningkatkan

kadar beracun serat logam berat yang berimplikasi menimbulkan ancaman

terhadap ekosistem pesisir serta keracunan ikan. Penyumbang kerusakan

pesisir juga bersumber dari akibat pemanfaatan berlebih (over exploitation),

jenis stok sumber daya ikan yang telah mengalami over fishing adalah ikan-

ikan komersial, seperti udang dan ikan karang;

Bahwa telah terjadi peningkatan kerusakan di beberapa kawasan pesisir di

Indonesia telah berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Kerusakan

tersebut di antaranya sebagai berikut:

a. Menurunnya Kualitas Perairan

Kondisi kualitas air di laut Indonesia sudah sangat memperihatinkan,

khususnya di kawasan padat penduduk, kegiatan industri, pertanian sangat

sensitif, dan lalu lintas pelayaran yang padat, seperti di Teluk Jakarta, Selat

Makassar, Semarang, Surabaya, Lhokseumawe dan Balikpapan.

Konsentrasi logam berat Hg di perairan Teluk Jakarta pada tahun 1977-

1978 berkisar antara 0,005-0,35 ppm (BATAN, 1979). Kemudian pada

tahun 1982 tercatat antara 0,005-0,029 ppm (LON LIPI, 1983). Sementara

itu, ambang batas baku mutu lingkungan dengan Kepmen KLH Nomor

02/1988 adalah sebesar 0,003 ppm. Dengan demikian kondisi perairan

Teluk Jakarta tercemar logam berat.

Dari hasil penelitian Pusat Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Institut

Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) pada tahun 1996, nilai BOD di Muara Kamal

mencapai rata-rata 35,75, COD berkisar antara 31,89-48,83 ppm, amonia di

Muara Ancol sebesar 2,25 ppm serta peningkatan kadar jenis logam berat.

Page 68: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

92 93

32

b. Erosi

Problem wilayah pesisir juga semakin kritis, karena banyaknya lahan

daratan yang terkikis setiap harinya dikarenakan ombak laut menerjang

daratan. Minimnya tanaman mangrove juga semakin memperparah

kerusakan wilayah pesisir selain memang faktor manusianya. Beberapa

kasus erosi pantai di Indonesia yang memerlukan perhatian dan

penanganan segera, seperti:

1. Di Aceh terdapat 34 lokasi kerusakan Pantai akibat erosi;

2. Di Sumatera Utara terdapat 5 lokasi kerusakan akibat erasi;

3. Di Sumatera Barat terdapat 6 lokasi kerusakan akibat erosi;

4. Di Bengkulu terdapat 3 lokasi kerusakan akibar erosi;

5. Di Lampung terdapat 1 lokasi kerusakan akibat erosi;

6. Di DKI Jakarta terdapat 8 lokasi kerusakan akibat erosi;

7. Di Jawa Barat terdapat 28 lokasi kerusakan akibat erosi;

8. Di Jawa Tengah terdapat 4 lokasi kerusakan akibat erosi;

9. Di Yogyakarta terdapat 2 lokasi kerusakan akibat erosi;

10. Di Jawa Timur terdapat 5 lokasi kerusakan akibat erosi;

11. Di Bali terdapat 21 lokasi kerusakan akibat erosi;

12. Di Nusa Tenggara Barat terdapat 1 lokasi kerusakan akibat erosi;

13. Di Kalimantan Barat terdapat 3 lokasi kerusakan akibat erosi;

14. Di Kalimantan Timur 1 lokasi kerusakan akibat erosi;

15. Di Sulawesi Utara terdapat 2 lokasi kerusakan akibat erosi;

c. Sedimentasi

Kerusakan wilayah pesisir juga terjadi akibat adanya sedimentasi, laju

sedimentasi ini cukup tinggi di beberapa daerah. Contoh, sedimentasi yang

terbawa oleh aliran Sungai Citandui sebesar 5 juta m³ per tahun, dan

Sungai Cikonde sebesar 770.000 m³ per tahun yang diendapkan ke Segara

Anakan, Sungai Barito sebesar 733.00 m³ per tahun yang diendapkan dialur

pelayanan pelabuhan Banjarmasin dan Sungai Mahakam sebesar 2,2 juta

m³ per tahun endapan lumpur yang harus dikeruk dilaur pelayaran sungai

Mahakam.

Bahwa munculnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 ini merupakan

inisiatif pemerintah (dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan)

karena melihat persoalan bahwa pengelolaan wilayah pesisir, memerlukan

33

pengaturan secara terpadu agar potensi sumber daya pesisir yang dapat

dikembangkan dan dimanfaatkan bagi pembangunan daerah dan nasional

secara berkelanjutan. Pembangunan tersebut tidak boleh mengorbankan

kepentingan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan

sumber daya pesisir generasi saat ini, yang diyakini bangsa Indonesia. Oleh

karena pentingnya pengaturan mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil, maka diperlukan adanya regulasi yang mengatur tentang hal tersebut;

(Bukti P-14)

Bahwa pada tanggal 26 Juni 2007, parlemen telah menyetujui rancangan

Undang-Undang yang diajukan oleh Pemerintah RI, menjadi Undang-

Undang, dan selanjutnya disahkan oleh Pemerintah RI c.q. Presiden RI

menjadi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diundangkan pada tanggal 17

Juli 2007 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor

84 (Bukti P-15)

Bahwa tujuan penyusunan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, sesuai

dengan penjelasan Bab tentang Dasar Pemikiran ini adalah:

(1) Menyiapkan peraturan setingkat undang-undang mengenai

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, khususnya yang

menyangkut perencanaan, pemanfaatan hak dan akses masyarakat,

penanganan konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai,

rehabilitasi kerusakan pesisir dan penjabaran konvensi-konvensi

internasional terkait;

(2) Membangun sinergi dan saling memperkuat antar lembaga Pemerintah

baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan Pengelolaan

Wilayah Pesisir sehingga tercipta kerja sama antar lembaga yang

harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan

konflik kewenangan antar kegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil; serta

(3) Memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki

tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui

pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak

masyarakat pesisir melalui pembentukan peraturan yang dapat

Page 69: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

94 95

34

menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat

yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha;

Bahwa apa yang tercantum dalam dasar pemikiran Undang-Undang ini

bertolak belakang dari fakta dan implementasi di lapangan, masyarakat

pesisir yang seharusnya mendapat keuntungan dengan adanya Undang-

Undang ini malah terancam keberadaannya;

Bahwa dari data yang diperoleh dari hasil penelitian Riza Damanik, Arif

Satria, dan Budi Prasetiamartati yang sudah dibukukan dalam judul “Menuju

Konservasi Laut yang Pro Rakyat dan Pro Lingkungan”, tahun 2006 terbitan

oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), ditemukan adanya dominasi

pengusaha dalam penguasaan pulau. (Bukti P-16)

Daftar penguasaan pulau dan Taman Nasional oleh sektor swasta,

termasuk Asing:

NO. NAMA LUAS (HA) SURAT

KEPUTUSAN

PENGUASAAN

1 Taman Nasional

Kepulauan

Seribu

108,000 MenHut/162/Kpt

s-II/1995.

2 Taman Nasional

Karimunjawa

111,625 MenHut/75/Kpts

-II/1999

PT Raja Besi,

PT Awani, PT

PURA, Mr.

Soren Lax, Mr.

Hendrawan

T.S, Mr. Jel,

3 Taman Nasional

Taka Bone Rate

530,765 MenHut/280/Kpt

s-II/1992

4 Taman Nasional

Wakatobi

1,390,000 MenHut/393/Kpt

s-II/1996

PT WDR dan

OPWAL

5 Taman Nasional

Bunaken

89,065 MenHut/730/Kpt

s-II/1991

6 Taman Nasional

Teluk

1,453,500 MenHut/472/Kpt

s-II/1993

35

Cenderawasih

7 Taman Nasional

Ujung Kulon

78,619 MenHut/284/Kpt

s-II/1992

8 Taman Nasional

Komodo

181,700 MenHut/306/Kpt

s-II/1992

PT Putri Naga

Komodo (TNC

&

Jaitasha/Faisal

Hasim)

9 Taman Nasional

Togean

10 66 Pulau di

Lombok Barat

Sedang

diproses (DKP)

PT Hanno Bali

11 12 Pulau di

Kepri

Sedang

diproses (DKP)

PT Hanno Bali

12 Pulau Nipah di

Batam

Sedang

diproses (DKP)

PT Asinusa

Putra Sekawan

13 Pulau Gebe

Maluku Utara

Sedang

diproses (DKP)

PT Samudera

Mina Semesta

14 Pulau Mapur Sedang

diproses (DKP)

Yayasan Hang

Tuah

Bahwa mulai dari awal dibahasnya rancangan Undang-Undang sampai

dengan disahkannya menjadi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, telah

mendapatkan banyak penolakan dan kecaman dari berbagai unsur

masyarakat. (Bukti P-17)

E. ALASAN-ALASAN PENGAJUAN PERMOHONAN UJI MATERIIL

Bahwa Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18, Pasal 16 ayat (1), Pasal 23

ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 sebagai

penjelasan objek HP-3 tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan

yang lain sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan

dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

Page 70: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

96 97

36

Bahwa dalam Undang-Undang a quo, objek HP-3 diatur secara keseluruhan

melalui Pasal 1 angka 4, angka 7 dan angka 18, Pasal 16 ayat (1), Pasal 23

ayat (2) dan ayat (4), antara lain sebagai berikut: Pasal 1 angka 4 Undang-

Undang a quo menyatakan bahwa Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan

jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang,

padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi

pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut

yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa

keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait

dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di

Wilayah Pesisir;

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang a quo menyatakan Perairan Pesisir adalah

laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas)

mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan

pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna;

Pasal 1 angka 18 Undang-Undang a quo menyatakan Hak Pengusahaan

Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian

tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha

lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan

permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu;

Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang a quo menyatakan bahwa pemanfaatan

perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP-3;

Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang a quo menyatakan bahwa pemanfaatan

pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau

lebih kepentingan berikut: konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan

pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan dan

industri perikanan secara lestari; pertanian organik; dan/atau peternakan;

Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang a quo menyatakan bahwa Pemanfaatan

Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dan memenuhi persyaratan pada ayat (3) wajib mempunyai HP-3 yang

diterbitkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya;

37

Bahwa pengaturan tentang objek HP-3 terdapat dalam Pasal 1 angka 4, angka

7 dan angka 18, Pasal 16 ayat (1), Pasal 23 ayat (2) dan ayat (4). Secara

ringkas, objek HP-3 tersebut digambarkan dalam Tabel berikut:

Tabel 1: Objek HP-3 dan Bentuk Pemanfaatannya

OBJEK HP-3 PEMANFAATAN

Perairan Pesisir

Usaha Kelautan seperti budidaya rumput laut atau wisata laut Usaha Perikanan Laut seperti budidaya kerang mutiara/ikan kerapu/kepiting

Sumber Daya Pesisir dan Pulau Kecil

Pemanfaatan keindahan alam pesisir termasuk terumbu karang bagi usaha wisata alam. Pemanfaatan pasir/mineral laut bagi usaha penambangan Pemanfaatan gelombang laut bagi usaha tenaga listrik Pemanfaatan air laut untuk air minum melalui usaha penyulingan

Daratan (Tanah) Pulau–Pulau Kecil

Usaha Non–Komersial seperti pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan Usaha Komersial seperti pariwisata alam, industri perikanan (pabrik pengalengan ikan), pertanian organik, dan peternakan.

Sumber: Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18, Pasal 16 ayat (1), Pasal 23

ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

Jika objek HP-3 dicermati, maka terdapat kerancuan atau tumpang tindih

antara objek HP-3 tersebut dengan objek perizinan di bidang kehutanan,

pertambangan, dan pariwisata. Tumpang tindih objek tersebut di antaranya

adalah: (1) antara HP-3 dengan perizinan bidang kehutanan yaitu tentang

pemanfaatan hutan mangrove, fauna/flora yang terdapat di kawasan perairan

pantai, dan penggunaan jasa lingkungan di kawasan hutan mangrove tersebut;

(2) antara HP-3 dengan perijinan bidang pertambangan yaitu pemanfaatan

pasir sebagai sumber daya di kawasan pantai dan mineral dalam laut; (3)

antara HP-3 dengan perizinan bidang pariwisata yaitu pengembangan wisata

pantai;

Di samping itu, karena luas cakupan objek HP-3 terutama yang terkait dengan

pemanfaatan daratan (permukaan bumi yang disebut tanah) maupun tubuh

Page 71: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

98 99

38

bumi, termasuk yang di bawah air, maka terjadi tumpang tindih dengan objek

pengaturan di bidang pertanahan. Selama ini, dalam praktik telah diberikan hak

atas tanah sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) yang dapat berupa Hak Guna

Bangunan (HGB), di wilayah dermaga dan perairan pantai, rumah-rumah

nelayan dan pelatarannya, bangunan-bangunan di perairan pesisir; Hak Guna

Usaha (HGU) diberikan untuk budidaya perikanan pantai, keramba ikan,

budidaya rumput laut, budidaya mutiara;

Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

Bahwa terdapat potensi tumpang tindih HP-3 dengan pemberian hak atau

perizinan oleh instansi/sektor lain yang secara nyata bertentangan dengan

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang mana Pasal 1 angka 4, angka 7, dan

angka 18, Pasal 16 ayat (1), Pasal 23 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang

a quo justru melakukan pengaturan terhadap hal-hal yang telah diatur pula

dalam peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga apabila diberlakukan

akan sangat berpotensi tumpang tindih yang pada akhirnya justru mereduksi

bahkan menghilangkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi

warga negara, masyarakat, utamanya nelayan dan warga pesisir;

Bahwa Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang

mengatur konsep HP3 sebagai hak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan

ayat (3) UUD 1945;

Bahwa Pasal 1 angka 18 Undang-Undang a quo menyatakan Hak

Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas

bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan

perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom

air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu;

Bahwa Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan pasal ideologi dan politik ekonomi

Indonesia, yang memuat tentang Hak Penguasaan Negara, utamanya dalam

Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;

39

Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Cabang-cabang produksi yang

penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai

oleh negara”. Selanjutnya, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”;

Bahwa pengertian “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan

menguasai hajat hidup orang banyak” yang disebutkan di dalam penjelasan

Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 adalah: “Produksi dikerjakan oleh semua, untuk

semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.

Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-

perorang. Sebab itu, perekonomian disusun bersama berdasar asas

kekeluargaan”;

Bahwa menurut ahli, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, akhir-

akhir ini menggunakan istilah the strategical economic sector on economic

government atau sektor-sektor strategis/cabang-cabang produksi yang

strategis;

Bahwa dalam konteks kelautan dan pulau-pulau kecil jelas merupakan cabang

produksi yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak. Wilayah laut

Indonesia sangat luas, yaitu 5,8 juta kilometer, sama dengan tiga per empat

dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Pada luas laut yang demikian, di

dalamnya terdapat lebih 17.500 pulau besar dan kecil serta dikelilingi garis

sepanjang 95.000 kilometer, yang berarti merupakan garis pantai terpanjang

kedua di dunia setelah Kanada. Oleh karena itu, Indonesia dikenal sebagai

negara maritim dan kepulauan terbesar dunia. Dari sisi populasi penduduk,

masyarakat pesisir diperkirakan mencapai 16,42 juta jiwa dan mendiami 8.090

desa. (Bukti P-18);

Pengertian “dikuasai oleh Negara” dalam Pasal 33 UUD 1945:

Bahwa DR. Mohammad Hatta, founding fathers Negara Indonesia, yang juga

tokoh ekonomi Indonesia, mantan Wakil Presiden I dan salah satu arsitek UUD

1945, menyatakan, “…Pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang

besar-besar seperti membangun tenaga listrik, persediaan air minum, …,

menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup

orang banyak. Apa yang disebut dalam bahasa Inggris “public utilities”

diusahakan oleh pemerintah. Milik perusahaan besar tersebut sebaik-baiknya

Page 72: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

100 101

40

di tangan pemerintah…” (Tulisan DR. Mohammad Hatta dalam Majalah Gema

Angkatan 45 terbitan tahun 1977, dengan judul: “Pelaksanaan UUD 1945 Pasal

33”);

Bahwa Mohammad Hatta merumuskan pengertian tentang dikuasai oleh

negara, bukan berarti negara sendiri yang menjadi pengusaha, usahawan atau

ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada

pembuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang

pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal;

Mohammad Yamin merumuskan pengertian dikuasai oleh negara adalah

termasuk pada mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk

memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan koperasi;

Panitia Keuangan dan Perekonomian bentukan Badan Penyelidik Usaha-

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang diketuai oleh

Mohammad Hatta merumuskan pengertian dikuasai oleh negara;

Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman

keselamatan rakyat. Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya

jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar

mestinya penyertaan pemerintah. Tanah haruslah di bawah kekuasaan negara

perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha negara.

Dengan demikian, cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai

hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dalam artian diatur dan

diselenggarakan oleh pihak-pihak yang diberi wewenang oleh negara dan

bertindak untuk dan atas nama negara berdasarkan peraturan perundangan

yang berlaku. Dalam tatanan peraturan dan perundangan yang berlaku di

Indonesia pihak-pihak yang dapat bertindak untuk dan atas nama negara

adalah instansi-instansi pemerintahan dalam hal kegiatan yang berhubungan

dengan pemerintahan dan politik, sedangkan dalam hal kegiatan usaha,

instansi pemerintah yang bukan merupakan badan usahapun tidak dapat

melakukan tindakan yang bersifat bisnis untuk dan atas nama negara sesuai

peraturan dan perundangan yang berlaku;

Penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945 menurut Mahkamah Konstitusi

dalam pertimbangan pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002

terhadap Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa penguasaan negara dalam

41

Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi daripada

pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan negara

merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan kedaulatan publik;

Bahwa mengenai konsep Penguasaan Negara di dalam pertimbangan hukum

putusan Mahkamah Konstitusi perkara Undang-Undang Minyak dan Gas,

Undang-Undang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Sumber Daya Alam,

menafsirkan mengenai “Hak Menguasai Negara/HMN” bukan dalam makna

negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan

(beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan

(bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan

pengawasan (toezichthoudendaad);

Dengan demikian, makna penguasaan negara terhadap cabang-cabang

produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta

terhadap sumber daya alam, tidak menafikan kemungkinan perorangan atau

swasta berperan asalkan lima peranan negara/pemerintah sebagaimana

disebut di atas masih tetap dipenuhi dan sepanjang pemerintah dan pemerintah

daerah memang tidak atau belum mampu melaksanakannya;

Bahwa meskipun kelima peranan negara/pemerintah tersebut di atas telah

terpenuhi, harus tetap diingat bahwa tujuan dari penguasaan negara adalah

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga harus dapat

dipastikan/dijamin bahwa lahirnya suatu undang-undang yang bersinggungan

dengan kewajiban negara untuk mensejahterakan rakyat terkait dengan

cabang-cabang produksi maupun sumber daya alam tidak menimbulkan

kesalahan fatal di dalam pelaksanaannya;

Bahwa konsep HP3 tidak sejalan dengan pengertian Pasal 33 ayat (2) dan ayat

(3) UUD 1945 tersebut di atas akan lebih jelas diterangkan di bawah ini:

Dalam diskursus tentang hubungan hukum antara orang (termasuk orang

perorangan dan badan hukum) dengan objek dikenal konsep tentang hak

kebendaan (zakelijk recht) dan hak perorangan (persoonlijk recht).

Kriteria/ukuran yang digunakan untuk menentukan apakah suatu hubungan

hukum disebut hak atau izin adalah: Sifat hubungan hukum antara subjek

dengan objek; Isi kewenangan; Daya lekat hubungan hukum dengan objeknya;

Pembebanan dengan hak lain;

Page 73: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

102 103

42

Secara ringkas, tolok ukur pembeda antara hak kebendaan dan hak

perorangan digambarkan dalam tabel berikut:

Kriteria Hak Kebendaan dan Hak Perorangan

Unsur Hak Kebendaan Hak Perorangan

Sifat hubungan

Ada hubungan hukum

langsung antara subjek dan

objek berupa hubungan

kepemilikan/kepunyaan

Tidak ada hubungan

kepemilikan/kepunyaan yang

ada hanya hubungan hukum

antar subjek berkenaan

dengan objek

Isi kewenangan

Memberikan kewenangan

yang luas yaitu

memanfaatkan/menikmati

benda/objek yang

bersangkutan atau

hasilnya, melakukan

semua perbuatan hukum

atas benda, dan meman-

faatkan nilai ekonomis

benda

Hanya memberi kewenangan

terbatas yaitu memanfaatkan/

menikmati benda/hasilnya

Daya lekat haknya

Haknya melekat/ mengikuti

terus menerus di tangan

siapapun benda berada

(droit de suite)

Hak hanya melekat selama

berada dalam penguasaan

subjek yang diberi

Pembebanan

dengan hak lain

Dapat dibebani dengan hak

lain baik hak perorangan

maupun hak kebendaan

lainnya dan hak jaminan

untuk pelunasan utang

Tidak dapat dibebani dengan

hak yang lain apapun.

Sumber: Diringkas dari L.J. van Apeldoorn dan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan

Berdasarkan tolok ukur pembeda tersebut dapat dikatakan bahwa berdasarkan

ciri-ciri HP-3 lebih cenderung dikategorikan sebagai hak perorangan. Impilkasi

hukumnya adalah:

43

Penyebutan HP-3 sebagai “hak” tidak tepat. Lebih tepat digunakan istilah

“izin” untuk memanfaatkan (dalam hal ini mengusahakan) perairan pesisir.

Contoh: Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

“hak” dalam Undang-Undang yang lama (Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1967) telah dikoreksi dengan penyebutan “Izin”, misalnya Izin Usaha

Pemanfaatan Kawasan, Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan

Kayu, Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu, Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan

Kayu;

Sebagai izin pemanfaatan/pengusahaan perairan pesisir, HP-3 selayaknya

tidak dilekati dengan sifat-sifat sebagai berikut: dapat dialihkan, dihibahkan,

ditukarkan, disertakan sebagai modal perusahaan, dijadikan objek hak

tanggungan maupun diwariskan. Sebab, jika pemanfaatan HP-3 menghasilkan

sesuatu yang bernilai ekonomis, HP-3 dapat dijadikan jaminan utang dengan

dibebani fidusia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.

HP-3 tidak perlu didaftarkan untuk diterbitkan sertifikatnya karena objek HP-3

tidak jelas (tidak pasti substansi dan volume objeknya) dan tidak bersifat tetap

serta tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan;

Sesuai dengan konsep Penguasaan Negara di dalam pertimbangan hukum

putusan Mahkamah Konstitusi perkara Undang-Undang Minyak dan Gas,

Undang-Undang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Sumber daya Alam,

menafsirkan mengenai “hak menguasai negara/HMN” bukan dalam makna

negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan

(beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan

(bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan

pengawasan (toezichthoudendaad) yang semuanya ditujukan sebesar-

besarnya untuk kemakmuran rakyat. Fungsi pengaturan/bestuurdaad meliputi

pemberian dan pencabutan izin dan konsesi.

Bahwa dikarenakan HP-3 lebih cenderung kepada hak perorangan, maka

negara lebih tepat memberikan konsep HP-3 sebagai izin.

Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas telah terbukti bahwa Pasal 1 ayat (18)

bertentangan dengan prinsip dikuasai oleh negara dalam arti bestuurdaad.

Page 74: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

104 105

44

Bahwa Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 bertentangan

dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A , Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

a. Pasal 14 (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 bertentangan

dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;

Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa: Usulan penyusunan RSWP-3-K,

RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah

Daerah serta dunia usaha.

Bahwa ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

yang hanya menyatakan bahwa usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-

K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K hanya dilakukan oleh pemerintah daerah

serta pelaku usaha yang tidak menyebutkan adanya masyarakat dapat

berpotensi untuk menimbulkan pertentangan dengan ketentuan Pasal 1

ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

negara hukum.

Bahwa kepastian hukum tentang persamaan dan kedudukan hukum yang

sama di mata hukum adalah prasyarat negara hukum (rechtsstaat atau

constitusional state) yang secara tegas dan terang dinyatakan dalam Pasal

1 ayat (3) UUD 1945 yaitu: “Negara Indonesia adalah negara hukum” hal ini

jelas menunjukkan bahwa negara memandang semua warga negara sama

dalam kedudukannya.

Bahwa di zaman modern, konsep negara hukum Eropa Kontinental

dikembangkan antara lain oleh Imanuel Kahn, Paul Laband, Julius Stahl,

Ficthe dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstate”. Sedangkan

dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara Hukum dikembangkan atas

kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The rule of law”. Menurut Julius

Stahl, konsep negara hukum yang disebutkan dalam istilah dalam

“rechtsstate” itu mencakup empat elemen antara lain:

1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia;

2. Pembagian Kekuasaan;

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;

4. Peradilan Tata Usaha;

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya ciri penting dalam setiap

Negara Hukum yang disebutkan dalam istilah “The Rule of Law”, yaitu:

45

1. Supremacy of law;

2. Equality before the law;

3. Due process law;

Bahwa keempat prinsip “rechtsstate” yang dikembang oleh Julius Sthal

tersebut di atas pada prinsipnya dapatlah dipadukan dengan ketiga prinsip

negara hukum A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum zaman

sekarang. Bahkan, oleh “The International commision of Jurist”, prinsip-

prinsip negara hukum itu ditambah dengan prinsip peradilan yang bebas dan

tidak memihak (indepence and impartiality of judiaciary) yang zaman

sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara

demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap penting dalam Negara Hukum

menurut “The International Commission of Jurists adalah:

1. Negara harus tunduk pada hukum;

2. Pemerintah menghormati hak-hak individu;

3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak;

Bahwa selanjutnya menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, dalam

merumuskan ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum kita dapat merumuskan

tiga belas prinsip di antaranya adalah prinsip persamaan di hadapan hukum

(equality before the law), bahwa yang dimaksud persamaan di depan hukum

adalah adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan

pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilakukan secara empirik;

Bahwa dalam menjalankan prinsip persamaan di hadapan hukum ini, segala

sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya

diakui sebagai sikap dan tindakan terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang

bersifat khusus dan sementara dinamakan “affirmative action” guna

mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu (nelayan) atau

kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga

mencapai tingkat perkembangan yang sama dengan masyarakat lainnya;

Bahwa sebagaimana diuraikan di atas, pengertian persamaan di muka

hukum (equality before the law) adalah adanya persamaan kedudukan setiap

orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan

dilaksanakan secara empirik;

Page 75: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

106 107

46

Bahwa persamaan di muka hukum mengandung larangan untuk

melakukan diskriminasi dalam bidang hukum. Larangan diskriminasi di

bidang hukum ini sesuai dengan pengertian diskriminasi dalam Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yakni setiap

pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak

langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku,

ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,

bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau

penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi

manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun

kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek

kehidupan lainnya;

Bahwa persamaan di depan hukum atau “equality before the law” juga harus

diikuti dengan persamaan perlakuan hukum (equality treatment) untuk itu

Negara wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan asas tersebut dengan

kata lain bahwa setiap warga negara mendapatkan hak yang sama sebagai

wujud perlindungan negara;

Bahwa hak persamaan di depan hukum sangat tergantung pada

pemahaman negara dan aparat-aparatnya, walaupun negara telah

meratifikasi berbagai instrumen mengenai Hak Asasi Manusia termasuk

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM 10 Desember 1948

melalui resolusi 217 A) yang didalamnya jelas di Pasal 7 “semua sama di

depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa

diskriminasi... “

Bahwa Pasal 14 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, telah memotong hak

masyarakat untuk bersama-sama dalam kedudukannya sebagai subjek

hukum lainya bersama-sama mempunyai hak mengusulkan penyusunan

Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K),

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K),

Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K)

serta Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

(RAPWP-3-K);

47

Bahwa penutupan akses masyarakat untuk ikut serta dalam penyusunan

rencana tersebut di atas adalah salah satu bentuk perbuatan perbedaan

perlakuan (diskriminatis treatment), sehingga berakibat hak konstitusional

warga negara (terutama nelayan kecil) sangat dirugikan atas ketentuan pasal

tersebut;

Bahwa usulan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, RPWP-3-K, RAPWP-3-K

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

memang sangat berpengaruh kepada kehidupan nelayan setempat (user).

Pelibatan masyarakat berdasarkan norma-norma, standar, dan pedoman,

yang hanya diperoleh dalam ruang-ruang melalui konsultasi publik dan atau

masyarakat adat, baik formal atau musyawarah adat, baik formal maupun

non formal adalah upaya melemahkan perlawanan nelayan maupun

masyarakat adat wilayah pesisir;

Bahwa tidak tercantumnya masyarakat atau nelayan dalam usulan rencana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir menimbulkan konsekuensi luar

biasa terhadap keberadaan nelayan seluruh Indonesia. Di mana usulan atas

wilayah pesisir yang meliputi wilayah laut yang berbatasan dengan daratan

meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai yang

menghubungkan pantai dan pulau-pulau adalah kawasan yang selama ini

menjadi sumber penghidupan nelayan;

Bahwa usulan rencana pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana diatur

dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah

upaya strategi awal dalam penataan wilayah pesisir karena di dalamnya

terdapat kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan

pengendalian terhadap interaksi manusia dalam pemanfaatan sumber daya

pesisir dan pulau-pulau kecil;

Bahwa pembatasan akses nelayan baik yang berkaitan dengan hak nelayan

untuk ikut serta dalam usulan rencana strategis pengelolaan wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil adalah wujud pelanggaran terhadap asas-asas negara

hukum. Asas-asas negara hukum diantaranya pertama, asas pengakuan dan

Page 76: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

108 109

48

perlindungan martabat manusia, kebebasan individu, kelompok, masyarakat

etnis dan masyarakat nasional. Kedua, asas kepastian hukum yaitu warga

negara bebas dari tindakan pemerintah dan pejabat yang tidak dapat

diprediksi dan sewenang-wenang.

b. Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 bertentangan

dengan Pasal 28A UUD 1945

Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2007 menyatakan bahwa usulan

penyusunan rencana strategis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

(RSWP3K), rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

(RZWP3K), rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

(RPWP3K), dan rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil (RAPWP3K) dilakukan oleh Pemda serta dunia usaha;

Mencermati bunyi Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2007 dapat

diketahui secara jelas bahwa keberpihakan kepada pengusaha terlihat

menonjol pada pengaturan pemanfaatan perairan pesisir melalui hak

pengusahaan perairan pesisir (HP-3), yang mana hanya melibatkan

Pemerintah Daerah dan dunia usaha;

Keistimewaan ini bukan hanya terkait pada usulan penyusunan rencana

strategis, melainkan juga pada luas wilayah pemanfaatan yang

menyebutkan bahwa, HP-3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan

kolom air sampai dengan permukaan dasar laut [Pasal 16 ayat (2) UU

Nomor 27 Tahun 2007]. Selanjutnya, HP-3 diberikan untuk luasan dan

waktu tertentu yaitu 20 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun (Pasal 19

UU Nomor 27 Tahun 2007). Pemberiannya wajib mempertimbangkan

kepentingan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil,

masyarakat adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi

kapal asing (Pasal 17 UU Nomor 27 Tahun 2007);

Tidak diikutsertakannya masyarakat dalam melakukan usulan penyusunan

rencana strategis tersebut, jelas merupakan suatu upaya marginalisasi

masyarakat yang secara nyata bergantung dan memenuhi kebutuhan hidup

di daerah atau wilayah yang menjadi objek HP-3;

49

Padahal berdasarkan amanat yang termaktub dalam Pasal 28A UUD 1945

secara tegas dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta

berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dengan demikian jelas

bahwa ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

telah mengurangi bahkan menghilangkan hak masyarakat untuk hidup dan

mempertahankan hidupnya;

Bahwa kerugian dan potensi kerugian yang sudah nyata terjadi seperti

penguasaan pulau dan Taman Nasional oleh sektor swasta, termasuk asing

sehingga kebijakan tersebut mengancam keberadaan kelangsungan hidup

nelayan tradisional. Dominasi penguasaan pulau dan Taman Nasional oleh

sektor swasta tersebut dijelaskan dalam Bukti P-16.

c. Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 bertentangan

dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang a quo menyatakan bahwa “Usulan

penyusunan RSWP-3-K, RZWP, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K, dilakukan

oleh pemerintah serta dunia usaha”;

Proses usulan yang hanya melibatkan pemerintah dan dunia usaha ini telah

menutup akses keterlibatan masyarakat, khususnya masyarakat lokal.

Alhasil, muncul dua masalah di sini. Pertama, terjadi pembungkaman hak

masyarakat untuk turut serta menyampaikan usulan. Kedua, ketika sebuah

kebijakan tidak didasarkan pada partisipasi publik, maka besar potensi

terjadinya pelanggaran hak publik di kemudian hari. Padahal, masyarakat

setempatlah yang mengetahui dan memahami kondisi wilayah;

Hal ini jelas bertentangan dengan konstitusi, khususnya di Pasal 28D ayat

(1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan sama di hadapan hukum”;

Selain itu, penyampaian usulan yang hanya melibatkan pemerintah dan

dunia usaha ini merupakan sebuah bentuk diskriminasi. Yang mana juga

bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pasal ini menyatakan

bahwa “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas

Page 77: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

110 111

50

dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan

yang bersifat diskriminatif itu”.

Bahwa Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

yang mengatur HP-3 bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945,

Pasal 28A UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

a. Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo bertentangan

dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Bahwa Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir berbunyi “Pemanfaatan Perairan pesisir

diberikan dalam bentuk HP-3”;

Selanjutnya, Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir berbunyi, “HP-3 sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan

kolom air sampai dengan permukaan dasar laut”;

Artinya, untuk memanfaatkan perairan pesisir harus mempunyai sertifikat

HP-3. Akibatnya, masyarakat adat, masyarakat lokal, dan tradisional yang

tidak memiliki HP-3, tidak boleh memanfaatkan perairan pesisir;

Kendati masyarakat adat disebutkan berhak memperoleh HP-3 seperti

dalam Pasal 18 Undang-Undang a quo, namun dengan keberadaan HP-3

justru mengingkari eksistensi masyarakat adat itu sendiri;

Menurut Pasal 1 angka 33 Undang-Undang a quo menyebutkan bahwa

“Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-

temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada

asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya system nilai yang menentukan pranata

ekonomi, politik, sosial, dan hukum”;

Dari definisi masyarakat adat tersebut, dapat disimpulkan bahwa

masyarakat adat terdiri dari unsur wilayah geografis dan masyarakat.

Artinya, dengan memberikan syarat HP-3 untuk memanfaatkan perairan

pesisir, sama halnya dengan menghilangkan salah satu unsur dari

masyarakat adat itu sendiri;

51

Sementara, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang;

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keberadaan HP-3 seperti yang

terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang a quo bertentangan

dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945;

b. Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo bertentangan

dengan Pasal 28A UUD 1945.

Bahwa Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir berbunyi “Pemanfaatan Perairan pesisir

diberikan dalam bentuk HP-3”;

Selanjutnya, Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir berbunyi, “HP-3 sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan

kolom air sampai dengan permukaan dasar laut”;

Bahwa keberadaan HP-3 berpotensi untuk menghilangkan hak hidup dan

hak untuk mempertahankan hidup/kehidupan masyarakat, adat, lokal dan

tradisional yang tinggal di wilayah pesisir;

Memang bila menyimak ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 Undang-

Undang a quo, masyarakat adat dinyatakan berhak untuk memperoleh

HP-3, namun didasarkan pada terpenuhinya persyaratan-persyaratan

tertentu di dalam perolehan HP-3 sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat

(1) sampai dengan ayat (6) Undang-Undang a quo, adanya persyaratan-

persyaratan ini, baik secara teknis, administratif, dan operasional tentunya

akan menjadi sesuatu hal yang sulit dipenuhi oleh masyarakat adat

mengingat adanya keterbatasan pengetahuan dan kemampuan finansial.

Lebih jauh lagi, akan terjadi persaingan dalam perolehan HP-3 antara

masyarakat adat dengan pemilik modal;

Ketidakmampuan untuk memenuhi persyaratan perolehan HP-3 maupun

ketidakmampuan bersaing dengan pelaku usaha/pemilik modal, maka

Page 78: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

112 113

52

dengan sendirinya masyarakat adat akan kehilangan hak untuk hidup dan

mempertahankan kehidupannya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal

28A UUD 1945 yang menyatakan, ”Setiap orang berhak untuk hidup serta

berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

c. Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo bertentangan

dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Bahwa Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir berbunyi “Pemanfaatan Perairan pesisir

diberikan dalam bentuk HP-3”;

Selanjutnya, Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir berbunyi, “HP-3 sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan

kolom air sampai dengan permukaan dasar laut”;

Untuk memanfaatkan perairan pesisir harus mempunyai sertifikat HP-3.

Akibatnya, masyarakat adat, masyarakat lokal dan tradisional yang tidak

memiliki HP-3, tidak boleh memanfaatkan perairan pesisir;

Kendati masyarakat adat disebutkan berhak memperoleh HP-3, namun

dengan keberadaan HP-3 justru mengingkari eksistensi masyarakat adat itu

sendiri. Demikian juga dengan masyarakat lokal, tradisional, dan

masyarakat lain yang tidak memiliki kekuatan modal tidak dapat mengakses

HP-3;

Bahwa Hak Pengusahaan Perairan Pesisir berpotensi akan mengusir

secara hukum, masyarakat adat dan masyarakat tradisional yang ruang

hidupnya ada di ruang pesisir;

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;

Sementara itu konsep penguasaan negara berdasarkan pertimbangan

hukum Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Undang-Undang Minyak dan

Gas, Undang-Undang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Sumber

Daya Alam, menafsirkan mengenai “hak menguasai negara/HMN” bukan

dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara

53

merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad),

melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan

(behersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichtthoundendaad) yang

semuanya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Fungsi

pengaturan (bestuurdaad) meliputi pemberian dan pencabutan ijin dan

konsesi;

Bahwa dikarenakan HP-3 lebih berpihak kepada pengusaha, maka tujuan

penguasaan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat

tidak akan tercapai;

Bahwa Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang dilakukan oleh

pemerintah pusat, daerah (provinsi dan kabupaten/kota) mengubah rezim

pengelolaan laut di Indonesia, perubahan dari open acces dan common

property right menjadi proverty right ini berarti bahwa kawasan pesisir dan

pulau-pulau kecil lebih eksklusif. Menurut Andre Groz (2005), dalam

bukunya Ecology as Politics mengkritik pemberian hak eksklusif pada

pemilik modal, karena pemberian hak tersebut menimbulkan ketidakadilan

sehingga memicu tingginya angka kemiskinan pada masyarakat pesisir

khususnya nelayan tradisional;

d. Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo bertentangan

dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

Bahwasanya dengan adanya HP-3 memunculkan praktik privatisasi

perairan dan pesisir, sehingga perekonomian di wilayah tersebut tidak

mungkin disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas

kekeluargaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945;

Hal ini berpotensi terjadinya pengkaplingan laut sehingga menyebabkan

hilangnya tanggung jawab negara terhadap masyarakat pesisir, hilangnya

laut sebagai common akses, hilangnya kolektivitas perekonomian perairan

dan pesisir yang selama ini dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat

adat, masyarakat tradisional, dan masyarakat local;

BAHWA PASAL 20 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007

YANG MEMPERKENANKAN HP-3 SEBAGAI OBJEK HAK TANGGUNGAN

BERTENTANGAN DENGAN PASAL 33 AYAT (3) UNDANG-UNDANG

DASAR 1945.

Page 79: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

114 115

54

Bahwa Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 menyatakan:

(1) HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan

dibebankan hak tanggungan;

Bahwa ketentuan pasal a quo berpotensi untuk bertentangan dengan Pasal 33

ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa:

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;

Bahwa konsep Penguasaan Negara berdasarkan pertimbangan hukum

Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Undang-Undang Minyak dan Gas,

Undang-Undang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Sumber Daya Air,

menafsirkan mengenai “hak menguasai negara/HMN” bukan dalam makna

negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan

kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan

pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (behersdaad), dan

melakukan pengawasan (toezichtthoundendaad) yang semuanya ditujukan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Fungsi pengaturan/bestuurdaad

meliputi pemberian dan pencabutan izin dan konsesi;

Mekanisme HP-3 mendorong komersialisasi perairan pesisir karena konsep

HP-3 dalam Undang-Undang ini merupakan hak kebendaan yang

mengakibatkan HP-3 dapat beralih, dialihkan bahkan dapat dijaminkan utang

dan dibebankan hak tanggungan;

Bahwa dengan adanya HP-3, yang dapat dialihkan dan diagunkan akan

berakibat hilangnya kedaulatan efektif negara untuk mengelola wilayah

perairan dan pesisir untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;

PASAL 23 AYAT (4), AYAT (5) DAN AYAT (6) UNDANG-UNDANG NOMOR 27

TAHUN 2007 YANG MEWAJIBKAN PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL

DAN PERAIRAN DI SEKITARNYA MEMPUNYAI HP-3 YANG DITERBITKAN

OLEH PEMERINTAH ATAU PEMDA BERTENTANGAN DENGAN PASAL 18B

AYAT (2), PASAL 28C AYAT (2) DAN PASAL 28H AYAT (2) UNDANG-

UNDANG DASAR 1945.

Bahwa Pasal 23 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 menyatakan:

55

(4) Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dan memenuhi persyaratan pada ayat (3) wajib

mempunyai HP-3 yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah

sesuai dengan kewenangannya;

(5) Untuk pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya yang telah

digunakan untuk kepentingan kehidupan Masyarakat, Pemerintah atau

Pemerintah Daerah menerbitkan HP-3 setelah melakukan musyawarah dengan

Masyarakat yang bersangkutan;

(6) Bupati/walikota memfasilitasi mekanisme musyawarah sebagaimana

dimaksud pada ayat (5)

Di samping untuk pemanfaatan perairan pesisir, HP-3 juga digunakan untuk

pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya.

Bahwa pemberlakuan Pasal 23 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 sangat berpotensi untuk melanggar ketentuan yang

terdapat di dalam UUD 1945, utamanya Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Pasal

28C ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Pemberlakuan

pasal a quo memberikan kewenangan yang luas dan absolut bagi

pemerintah/pemerintah daerah melalui suatu mekanisme musyawarah tanpa

adanya suatu ketentuan yang menyatakan atau menyebutkan tentang adanya

hak tolak bagi masyarakat. Lebih jauh, pemberlakuan Pasal 23 ayat (4), ayat

(5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 akan mengingkari

hak-hak asasi warga negara/masyarakat hukum adat untuk mempertahankan

hak-hak tradisionalnya termasuk juga hak untuk memperoleh persamaan dan

keadilan. Sebagaimana telah diatur dalam konstitusi negara Republik

Indonesia.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan:

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyatakan:

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan

haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menyatakan:

Page 80: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

116 117

56

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan

dan keadilan.

Keberpihakan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 ini terhadap pengusaha

juga terlihat dari Pasal 23 ayat (5) dan ayat (6). Pemberian HP-3 kepada

pengusaha tidak terhalangi walaupun masyarakat telah menggunakan

kawasan tersebut untuk kepentingan kehidupan mereka. Pemerintah atau

Pemda tetap akan mengeluarkan HP-3 setelah melakukan musyawarah

dengan masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu bupati/walikota (wajib)

memfasilitasi musyawarah dimaksud. Ketentuan ini rancu karena dalam Pasal

23 ayat (5) mengesankan bahwa Pemerintah atau Pemda yang melakukan

musyawarah dengan masyarakat yang bersangkutan, tetapi dalam Pasal 23

ayat (6) disebutkan bahwa Bupati/Walikota lah yang memfasilitasi musyawarah

tersebut. Dengan demikian menjadi tidak jelas apakah yang melakukan

musyawarah itu Pemerintah/Pemda dengan masyarakat yang bersangkutan,

atau (calon) perusahaan dengan masyarakat yang bersangkutan dengan

difasilitasi bupati/walikota?

BAHWA PASAL 60 AYAT (1) HURUF b UNDANG-UNDANG NOMOR 27

TAHUN 2007 BERTENTANGAN DENGAN PASAL 28A, PASAL 28E AYAT (1)

DAN AYAT (2) DAN PASAL 28G AYAT (1) UNDANG-UNDANG DASAR 1945

a. Pasal 60 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945,

Bahwa Pasal 28A UUD 1945 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak

untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”;

Pasal 60 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

menyebutkan bahwa “Masyarakat berhak memperoleh kompensasi karena

hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang

menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3

sesuai dengan peraturan perundang-undangan”;

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kompensasi” bisa

diartikan sebagai: Ganti rugi; Pemberesan piutang dengan memberikan

barang-barang yang seharga dengan utangnya; Pencarian kepuasan di

57

suatu bidang untuk memperoleh keseimbangan dari kekecewaan di bidang

lain;

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, kata “kompensasi” dalam

konteks Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 lebih mempunyai

kecenderungan makna pada sebuah upaya pengusiran secara legal;

Kata “kompensasi” ini lebih mengarah pada strategi pengusiran masyarakat

lokal agar wilayahnya bisa dimanfaatkan untuk HP-3. Potensi pengusiran

masyarakat lokal ini sangat mungkin terjadi, dikarenakan dalam Undang-

Undang a quo tidak dinyatakan bahwa masyarakat berhak menolak

penetapan wilayahnya sebagai lokasi HP-3. Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 ini hanya menyebutkan bahwa masyarakat berhak menyatakan

keberatan terhadap rencana pengelolaan. Bukan hak menolak. Padahal,

konstitusi dengan tegas menyatakan perlindungan atas sumber-sumber

produktif rakyat guna pemenuhan hajat hidupnya.

b. Pasal 60 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945,

Pasal 60 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

menyebutkan bahwa “Masyarakat berhak memperoleh kompensasi karena

hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang

menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Sekali lagi, kata

“kompensasi” ini lebih mengarah pada strategi pengusiran masyarakat lokal

agar wilayahnya bisa dimanfaatkan untuk HP-3. Potensi pengusiran

masyarakat lokal ini sangat mungkin terjadi, dikarenakan dalam Undang-

Undang a quo tidak dinyatakan bahwa masyarakat berhak menolak

penetapan wilayahnya sebagai lokasi HP-3. Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 ini hanya menyebutkan bahwa masyarakat berhak menyatakan

keberatan terhadap rencana pengelolaan. Bukan Hak Menolak. Padahal,

fakta di lapangan menunjukkan bahwa laut bagi sebagian masyarakat

Indonesia, tidak hanya merupakan tempat masyarakat memenuhi

kebutuhan ekonominya. Namun, laut juga telah menjadi bagian integral dari

sistem religi di beberapa daerah, khususnya bagi masyarakat hukum adat.

Sementara, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menyebutkan,

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,

Page 81: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

118 119

58

memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih

kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali. Setiap orang berhak atas

kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai

dengan hati nuraninya”.

Dari dua ayat tersebut, tampak jelas bahwa negara, melalui konstitusi,

sesungguhnya menjamin sistem kepercayaan setiap orang. Namun,

dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, budaya masyarakat yang

menempatkan laut sebagai bagian integral dari sistem kepercayaan, bisa

dilanggar dengan alasan perintah Undang-Undang. Artinya, Hak

Konstitusional masyarakat akan terlanggar dengan adanya Pasal 60 ayat

(1) huruf Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang melegalkan

pengusiran yang menghalangi masyarakat untuk menjalankan

keyakinannya.

c. Pasal 60 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945

Selanjutnya, Pasal 28G ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak atas

perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda

yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan

perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat

sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Artinya, konstitusi Republik Indonesia yang sudah tegas menyatakan

perlindungannya dan jaminan pemenuhan kehidupan rakyat, justru

dilanggar oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 karena telah

mengabaikan kepentingan rakyat kecil. Masyarakat yang menggantungkan

kehidupan ekonominya akan berpotensi diusir dengan dalih bahwa

masyarakat telah diberikan kompensasi.

BAHWA IMPLIKASI HP-3 YANG MENGANCAM EKSISTENSI HAK ULAYAT

LAUT (HUL) BERTENTANGAN DENGAN PASAL 28A, PASAL 18B AYAT (2),

PASAL 28C AYAT (2) DAN PASAL 28H AYAT (2) DAN AYAT (3) UNDANG-

UNDANG DASAR 1945.

59

Bahwa dalam Pasal 28A UUD 1945 disebutkan bahwa; Setiap orang berhak

untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. **)

Selanjutnya dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa: Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang.

Lebih lanjut dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 disebutkan pula bahwa:

Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya

secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Selanjutnya dalam Pasal 28H ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 juga dinyatakan

bahwa:

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai

persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan

pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

Berkaitan dengan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam Undang-

Undang ini dapat dikemukakan sebagai berikut. Undang-Undang ini mengenal

3 (tiga) istilah terkait dengan MHA: Masyarakat Adat, Masyarakat Lokal Dan

Masyarakat Tradisional. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat pesisir

yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena

adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan

sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang

menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum [Pasal 1 angka (33)].

Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan tata

kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai

nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumber

daya pesisir dan pulau-pulau kecil tertentu [Pasal 1 angka (34)].

Sementara itu, masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional

yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan

ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam

perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional [Pasal 1

angka (35)].

Page 82: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

120 121

60

Undang-Undang a quo mengakui keberadaan MA —disebut masyarakat adat

(MA)— dalam pertimbangan pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir

(HP-3) [Pasal 17 ayat (2)]. HP-3 adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari

perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang

terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang

mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan

dasar laut pada batas keluasan tertentu [Pasal 1 angka (18)]. Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 ini mengakui hak MHA dalam pengelolaan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil dalam 2 (dua) bentuk:

Pengakuan terhadap hak MA atas wilayah pesisir. Dalam hal ini MHA dapat

menjadi pemegang HP-3, di samping orang (warga negara Indonesia) dan

badan hukum Indonesia (Pasal 18). Pemerintah mengakui, menghormati, dan

melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal

atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara

turun-temurun [Pasal 61 ayat (1)]. Pengakuan tersebut dijadikan acuan dalam

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil [Pasal 61 ayat (2)]. Oleh

karena itu, wilayah adat (MA) juga menjadi perhatian bagi program konservasi

dalam UU ini. Salah satu tujuan konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil adalah untuk melindungi situs budaya tradisional [Pasal 28 ayat (1) huruf

d]. Penetapan kawasan konservasi dimaksudkan adalah untuk melindungi—

salah satunya adalah—wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti sasi,

mane'e, panglima laot, awig-awig, dan/atau istilah lain adat tertentu [Pasal 28

ayat (3) huruf c]. Masyarakat, termasuk MHA, dapat mengajukan pengusulan

kawasan konservasi, di samping perseorangan dan Pemerintah/Pemda [Pasal

28 ayat (7)].

Penetapan wilayah yang diatur oleh adat tertentu sebagai kawasan konservasi,

justru berpotensi menafikan keberadaan hak ulayat laut MHA karena

pengelolaan kawasan konservasi itu dilaksanakan oleh Pemerintah atau

Pemda [Pasal 28 ayat (5)]. Masih adakah hak MHA untuk melaksanakan

praktik hak ulayat lautnya seperti sedia kala jika wilayah hak ulayat lautnya

menjadi kawasan konservasi? MHA juga dilibatkan dalam penyelesaian

sengketa dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan

adat istiadat/kearifan lokal mereka [Pasal 64 ayat (2)].

61

Pengakuan terhadap hak MA yang akan terkena kegiatan usaha HP-3. Proses

pemberian HP-3 harus mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak MA

dan/atau masyarakat lokal [Pasal 21 ayat (4) huruf b]. Di samping itu,

pemberian HP-3 juga harus memperhatikan hak masyarakat termasuk MA

untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai [Pasal 21

ayat (4) huruf c].

Ketentuan MA bahwa dapat menjadi subjek HP-3 juga berpeluang menafikan

hak-hak MA. MHA harus memenuhi persyaratan dan mengikuti ketentuan

Undang-Undang ini dalam pengusahaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Bagaimana kalau MA tidak menjadi pemegang HP-3? Apakah mereka masih

dapat mempraktikkan hak ulayat lautnya? Kedua, jika MHA keberatan terhadap

permohonan HP-3 perorangan/badan hukum, apakah permohonan HP-3

tersebut dikalahkan atau sebaliknya?

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 ini menegaskan, bahwa dalam hal

HP-3 berbatasan langsung dengan garis pantai, Pemohon wajib memiliki hak

atas tanah [Pasal 21 ayat (3) huruf d]. Dengan demikian, pemohon harus

mengikuti cara perolehan hak atas tanah menurut UUPA yang mengakui hak

tanah MHA. Ketentuan ini juga berpotensi tumpang tindih antara HP-3 dengan

pemberian hak atas tanah yang selama ini sudah dilaksanakan menurut

ketentuan hukum tanah nasional (Bukti P-19). Konsisten dengan pengakuan

hak MA atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka dalam pengelolaan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat, termasuk MHA, mempunyai

hak untuk [Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007]:

memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3: memperoleh

kompensasi karena hilangnya akses terhadap sumber daya pesisir dan pulau-

pulau kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat

pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan; melakukan

kegiatan pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan

hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan; memperoleh manfaat atas pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil; memperoleh informasi berkenaan dengan pengelolaan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; mengajukan laporan dan pengaduan

kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang

berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

Page 83: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

122 123

62

kecil; menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah

diumumkan dalam jangka waktu tertentu; melaporkan kepada penegak hukum

atas pencemaran dan/atau perusakan WP3K yang merugikan kehidupannya;

mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah pesisir

dan pulau-pulau kecil yang merugikan kehidupannya; serta memperoleh ganti

kerugian.

Bahwa bunyi pasal ini sangat bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 yang dalam bahasanya memberi ruang masyarakat adat

untuk memperoleh hak atas wilayah pesisir akan tetapi terbitnya pasal ini akan

kontraproduktif dengan pasal sebelumnya.

Bahwa dalam Pasal 60 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

menyatakan, “Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,

masyarakat mempunyai hak untuk: Memperoleh ganti rugi”;

Pasal ini sebenarnya mengancam keberlangsungan hak masyarakat nelayan

pada umumnya maupun masyarakat adat khususnya. Dalam penguasaan

wilayah pesisir terutama bagi masyarakat adat istilah ganti kerugian atau

kompensasi berbeda dengan istilah recognition. Di mana arti kompensasi

berarti beralihnya hak masyarakat adat ke pemerintah sedangkan recognition

hak masyarakat adat tidak beralih hanya pengusahaan sementara saja oleh

pemerintah. Dengan kata lain, bila pasal-pasal yang berkaitan dengan HP-3 ini

diberlakukan maka dengan sendirinya akan mengingkari Pasal 28A, Pasal 18B

ayat (2), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28H ayat (2), ayat (3) UUD 1945 yang

telah mengatur hak hidup bagi masyarakat termasuk jaminan perlindungan

terhadap masyarakat hukum adat.

F. KESIMPULAN

1. Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, maka:

- Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18, Pasal 16 ayat (1), Pasal 23

ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (Lembaran

Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran Negara RI

Nomor 4739) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

- Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (Lembaran

Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran Negara RI

Nomor 4739) bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD

1945;

63

- Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (Lembaran

Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran Negara RI

Nomor 4739) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A , Pasal

28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945;

- Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

(Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran

Negara RI Nomor 4739) bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD

1945, Pasal 28A dan Pasal 33 ayat (1), ayat (3) UUD 1945;

- Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (Lembaran

Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran Negara RI

Nomor 4739) bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945;

- Pasal 23 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan

Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4739) bertentangan dengan

Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28H ayat (2) UUD

1945;

- Pasal 60 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

(Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran

Negara RI Nomor 4739) bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E ayat

(1) dan ayat (2), serta Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

2. Bahwa karena Pasal 1 angka 4, angka 7, angka 18, Pasal 16 ayat (1),

Pasal 23 ayat (2), ayat (4), Pasal 1 angka 18, Pasal 14 ayat (1), Pasal 16

ayat (1), ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (4), ayat (5), ayat (6),

Pasal 60 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

(Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran

Negara RI Nomor 4739) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B

ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E

ayat (1), ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), ayat (3), Pasal

28I ayat (2), Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, maka

dapat dimohonkan untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat;

G. PETITUM

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, memohon kepada Mahkamah Konstitusi

untuk memeriksa dan memutus permohonan sebagai berikut:

Page 84: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

124 125

64

1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian;

2. Menyatakan:

- Pasal 1 angka 4, angka 7 dan angka 18, Pasal 16 ayat (1), Pasal 23

ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (Lembaran

Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran Negara RI

Nomor 4739) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

- Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (Lembaran

Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran Negara RI

Nomor 4739) bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD

1945;

- Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (Lembaran

Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran Negara RI

Nomor 4739) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal

28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945;

- Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

(Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran

Negara RI Nomor 4739) bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal

28A, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945;

- Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (Lembaran

Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran Negara RI

Nomor 4739) bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945;

- Pasal 23 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan

Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4739) bertentangan dengan

Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28H ayat (2) UUD

1945;

- Pasal 60 ayat (1) huruf b, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

(Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran

Negara RI Nomor 4739) bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28E

ayat (1), dan ayat (2), serta Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;

3. Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 7 dan angka 18, Pasal 16

ayat (1), Pasal 23 ayat (2), ayat (4), Pasal 1 angka 18, Pasal 14 ayat (1),

Pasal 16 ayat (1), ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (4), ayat (5),

ayat (6), dan Pasal 60 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun

65

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat

hukumnya;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya;

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para

Pemohon mengajukan bukti berupa surat atau tulisan yang diberi tanda Bukti P-1

sampai dengan Bukti P-24, sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Surat Pengangkatan para Pemohon I - IX yang memberikan

kewenangan dalam bertindak untuk dan atas nama lembaga

yang diwakilinya, antara lain:

1. Surat Pemilihan Dewan Presidium & Sekretaris Jenderal

KIARA periode 2009-2011, selaku Pemohon I;

2. Surat Keputusan Ketua Komite Eksekutif Indonesian Human

Rights Committe For Social Justice (IHCS) Nomor

12/Kep/Ketua/IHCS/IX/2008, tentang Pengankatan Saudara

Gunawan sebagai Sekretaris Jenderal, selaku Pemohon II;

3. Surat Berita Acara Pengangkatan Direktur Pusat Kajian

Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (Center for

Ocean Development and Maritim Civilization Studies), selaku

Pemohon III;

4. Surat Keputusan Pengangkatan Nomor 010/MUNAS-

V/KPA/VI/2009 tentang Pemilihan Sekretaris Jendral

Konsorsium Pembaruan Agraria Periode 2009-2012, selaku

Pemohon IV;

5. Surat Ketetapan Nomor 15/Konggres III/FSPI/XII/2007

tentang Pengangkatan dan Pengesahan Ketua Umum

Badan Pelaksana Pusat (BPP) Serikat Petani Indonesia

(SPI), selaku Pemohon V;

6. Surat Keputusan Yayasan Bina Desa Sadajiwa Nomor

03/SK-DP/04/2007 tentang Pengangkatan Saudara Dwi

Astuti sebagai Direktur Pelaksana, selaku Pemohon VI;

Page 85: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

126 127

66

7. Surat Keputusan Ketua Dewan Pengurus YLBHI Nomor

019/SK-D.Pembina/YLBHI/VIII/2006, selaku Pemohon VII;

8. Surat Keputusan PNLH X Walhi Nomor 14/PNLHX/WALHI/

IV/2008 tentang Pengesahan Direktur Eksekutif Nasional

Walhi Periode 2008-2012 , selaku Pemohon VIII;

9. Surat Keputusan API, selaku Pemohon IX;

2. Bukti P-2 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Pemohon X - XXXVI;

3. Bukti P-3 : Surat Kuasa Khusus Para Pemohon kepada Kuasa Hukum

untuk mengajukan Uji Materi Pasal 14 ayat (1), Pasal 16 ayat

(1), dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Terhadap UUD 1945;

4. Bukti P-4 : Fotokopi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Amandemen IV;

5. Bukti P-5 : Fotokopi Akta Notaris dan Anggaran Dasar Koalisi Rakyat untuk

Keadilan Perikanan (KIARA);

6. Bukti P-6 : Fotokopi Akta Notaris dan Anggaran Dasar Indonesian Human

Rights Committe for Social Justice (IHCS);

7. Bukti P-7 : Fotokopi Akta Notaris dan Anggaran Dasar Pusat Kajian

Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM);

8. Bukti P-8 : Fotokopi Akta Notaris dan Anggaran Dasar Yayasan

Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA);

9. Bukti P-9 : Fotokopi Akta Notaris dan Anggaran Dasar Serikat Petani

Indonesia (SPI);

10. Bukti P-10 : Fotokopi Akta Notaris dan Anggaran Dasar Yayasan Bina Desa

Sadajiwa;

11. Bukti P-11 : Akta Notaris dan Angaran Dasar Yayasan Lembaga Bantuan

Hukum Indonesia (YLBHI);

12. Bukti P-12 : Akta Notaris dan Anggaran Dasar Wahana Lingkungan Hidup

Indonesia (WALHI);

13. Bukti P-13 : Akta Notaris dan Anggaran Dasar Aliansi Petani Indonesia

(API);

14. Bukti P-14 : Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, halaman III-4

sampai dengan halaman III-11;

67

15. Bukti P-15 : Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84;

16. Bukti P-16 : Riza Damanik, Arif Satria, Budiati Prasetiamartati “Menuju

Konservasi Laut yang Pro Rakyat dan Pro Lingkungan”

diterbitkan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Desember

2006;

17. Bukti P-17 : Data Media tentang Aksi Penolakan Rakyat Terhadap Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007;

18. Bukti P-18 : Kata Sambutan Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Maarif, M. Eng, dalam

buku Arif Satria, Pesisir dan Laut untuk Rakyat, IPB Press,

Bogor, 2009;

19. Bukti P-19 : Maria Sumardjono, Nurhasan Ismail dan Aminoto, Juli 2008,

“Eksistensi HP 3 dalam UU Nomor 27/2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau–pulau Kecil dan

Implikasi Yuridisnya,” Kajian Kritis, tidak dipublikasikan;

20. Bukti P-20 : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mewujudkan Hak

Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Halaman 9, 2006;

21. Bukti P-21 : Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, “Pengelolaan Sumber Daya Alam

dalam Perspektif Antropologi Hukum” dipublikasikan oleh

Prestasi Pustaka Publisher, Mei 2008;

22. Bukti P-22 : Ronald Titahelu “Legal Recognition to Local and/or Traditional

Management on Coastal Resources as Requirement to Increase

Coast and Small Islands People’s Self Confidence”, Paper

presented in Commission of Folk Law and Legal Pluralism

Congress, Fredericton, New Brunswick, Canada, August 26-

29th, 2004. This paper based on research by the author and

members of Study Centre of Law and Environmental Justice in

Community-Based Coastal and Marine Resources

Management, at Faculty of Law Sam Ratulangi University,

Manado, North Sulawesi, Indonesia;

Bukti tambahan yang diserahkan di luar persidangan:

Bukti P-22 : Foto kopi Kliping Media Tim Advokasi Tolak HP-3;

Page 86: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

128 129

68

23. Bukti P-23 : Hukum Adat Maluku dalam kontek pluralisme hukum: implikasi

terhadap manajemen sumber daya alam Maluku, Pidato

Pengukuhan, disampaikan pada Peresmian Penerimaan

Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas

Hukum Universitas Patimura Ambon tanggal 13 Agustus 2005,

oleh Prof. DR. R.Z. Titahelu, S.H.,M.S;

24. Bukti P-24 : VCD Forum HAM -09 Thema: Stop Penguasaan Perairan

Pesisir;

Di samping mengajukan bukti-bukti tertulis, para Pemohon juga mengajukan

5 (lima) orang Ahli yakni Ronald Z. Titahelu, Nurhasan Ismail, Supriadi Adhuri,

Henry Thomas Simarmata, dan I Nyoman Nurjaya serta 3 (tiga) orang saksi

yakni Masnun, Karyono, dan Bona Beding yang telah didengar keterangannya

pada persidangan tanggal 27 April 2010 dan tanggal 8 Juni 2010 sebagai berikut:

1. Ahli Ronald Z. Titahelu

! Ahli menggunakan istilah masyarakat hukum adat karena yang dilihat

adalah satuan-satuan masyarakat yang memiliki pola-pola perilaku dan

pola-pola hubungan di antara mereka yang cenderung ajeg, karena dalam

penelitian yang pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu, hukum adat

pun masih bisa berubah, tetapi perubahan itu dilakukan oleh masyarakat

sendiri melalui mekanisme yang ada di dalam masyarakat.

! Ada dua hal mengenai eksistensi masyarakat hukum adat di dalam UUD

1945, Pertama, terdapat di dalam Pasal 18B UUD 1945, yang memberikan

pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, walaupun ditambahkan di

dalamnya sepanjang masih ada dan sesuai dengan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Kedua, disebutkan di dalam Pasal 28I ayat (3) dari

UUD 1945 yang menyebutkan tentang perlindungan.

! Ada dua komunitas yang disebut, tetapi dalam kaitan dengan masyarakat

hukum adat juga disebutkan perlindungan terhadap masyarakat hukum

adat.

! Secara konstitusional, ada dua istilah yang ada di dalam UUD 1945, yaitu

apa yang disebut sebagai pengakuan dan apa yang disebut sebagai

perlindungan.

69

! Kata kunci untuk pemberian pengakuan berarti bahwa sejak awal

masyarakat hukum adat memang sudah ada. Sehingga kehadiran negara

yang kemudian terjadi adalah juga memberikan pengakuan terhadap

eksistensi riil dari masyarakat hukum adat itu sejak awal.

! Berbicara mengenai eksistensi, berarti bicara mengenai esensi dari satu

kesatuan masyarakat atau satuan-satuan masyarakat yang disebut sebagai

masyarakat hukum adat. Walaupun pada saat itu kita mengakui ada juga

yang disebut sebagai masyarakat lokal, ada juga satuan-satuan masyarakat

yang tidak dapat diidentifikasikan sebagai masyarakat hukum adat karena

pendefinisiannya sangat beragam, tetapi satu kesimpulan yang diambil ialah

mereka yang berada di dalam satu wilayah tertentu yang di dalam pola-pola

hubungan di antara mereka maupun terhadap alam yang ada di sekitar

mereka, itu berlangsung secara cenderung ajeg;

! Oleh karena itu, kehadiran negara kemudian dinyatakan sebagai kehadiran

yang kemudian sesudah adanya satuan-satuan masyarakat adat di

masyarakat hukum adat di Indonesia;

! Alinea keempat UUD 1945 memberikan pernyataan, “…maka dibentuklah

pemerintah Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa

dan seluruh tumpah darah Indonesia,…” ada dua. Pertama, kalau kita

mengatakan ‘segenap bangsa’, merupakan suatu bahasa yang disampaikan

istilahnya bangsa Indonesia, istilah yang dikemukakan oleh Bastian ketika

menyebutkan adanya sejumlah bangsa yang ada di bagian Timur Malaya,

yang disebut Indonesos dan kita kenal sebagai bangsa Indonesia, mereka

ini adalah satuan-satuan masyarakat adat, hukum adat yang sudah ada

jauh sebelumnya. Bahkan pun sebelum kekuasaan Belanda masuk di

Indonesia;

! Mengapa hak masyarakat hukum adat tercabut baik di atas tanah juga di

atas lautan? Sebuah buku yang ditulis bersama teman-teman dari

Departeman Kelautan, teman-teman dari Universitas Padjajaran, salah satu

bagian di dalam narasi harmonisasi peraturan perundangan pengelolaan

pesisir dan laut yang menjadi dasar adanya Undang-Undang 27 Tahun

2007 yang sekarang sedang berlangsung. Di dalamnya dari hasil penelitian

kita dapati ketika masyarakat-masyarakat hukum adat dari Sabang sampai

Merauke, mereka menguasai sebidang tanah, mereka menguasai wilayah

Page 87: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

130 131

70

ulayat, mereka menguasai teritori tertentu sebagai wilayah di mana mereka

hidup. Sejak saat itu terjadi pencabutan hak masyarakat adat atas tanah

dan wilayah, dan berkembang terus;

! Sejarahnya ketika domains verklaaring 1870 dikeluarkan, pemerintah

Belanda mengatur tata cara pengambilalihan tanah, cara mengosongkan

hak-hak ke masyarakat terjadi lewat pernyataan domain. Perkembangan

berjalan terus sampai dengan 1960 ketika keluarnya Undang-Undang

Pokok Agraria;

! Pengosongan yang terjadi yang sudah berjalan sejak lama, kemudian

terindikasi bahwa pengambilalihan kekuasaan, pengambilalihan

kewenangan untuk mengelola sumber daya atau semua yang ada di dalam

lingkungan masyarakat berjalan secara sistematis, tetapi juga terlibat

dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tetapi bukan

yang sekarang terjadi, sebelumnya dan jiwa dari pada Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh

masyarakat hukum adat;

! Di dalam Undang-Undang Pertambangan juga dikatakan, jika di dalam

tanah terdapat deposit logam, maka pemilik tanah harus menyerahkannya

kepada pemegang kuasa pertambangan, pengosongan terjadi. Ini bisa

mengerti bahwa tujuan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup

tinggi lewat pemanfaatan sumber daya alam yang langsung dilakukan oleh

private sector (sektor privat) memang akan memberikan suatu sumbangan

yang sangat signifikan, tetapi ketika itu terjadi dengan mengesampingkan

mereka yang memiliki hak atas tanah, mereka yang memiliki, menguasai

tanah sejak awal dengan segala sesuatu yang ada di atasnya, mereka

kehilangan akses;

! Oleh karena itu jika di dalam pada pembukaan UUD 1945 negara yang

melindungi segenap bangsa dan segenap tumpah darah, maka arti dari

perlindungan oleh negara ialah memberikan rasa aman, rasa nyaman,

dapat memanfaatkan apa yang ada di sekitar bangsa Indonesia sendiri;

! Bahwa sejak awal masyarakat hukum adat, mereka khususnya yang ada di

pesisir, di pulau-pulau kecil, mereka sudah terikat bersama-sama dengan

alam yang ada di sekitar mereka. Otoritas mereka selama ini berjalan

sebagaimana dahulu juga otoritas dilakukan;

71

! Sekarang ketika otoritas di atas wilayah yang dimiliki oleh masyarakat adat,

yang harus dikatakan adalah mereka memiliki hak otoritas di atas wilayah

by nature, sesuatu melekat ketika mereka terbentuk, ketika mereka berada

di situ. Oleh karena itu, otoritas pengelolaan yang mereka lakukan adalah

otoritas yang juga berlangsung sejak mereka ada. Ketika datang negara,

ketika datang pemerintah dengan otoritas untuk mengatur, satu hal yang

perlu diperhatikan adalah jangan sampai pengaturan kemudian

menegasikan otoritas dari masyarakat hukum adat atas wilayah-wilayah

pengelolaan, atas wilayah-wilayah yang mereka akses sebagai wilayah

kehidupan mereka;

! Perencanaan Pemerintah, wewenang itu not base and the giving found the

state. But base by nature of the traditional society it self. Jadi secara alami

sudah melekat sebagai hak mereka. Karena itu bagian Pasal 18B UUD

1945 tepat. Pemerintah mengakui to recognize hak mereka. Kemudian

dengan berbagai macam kewenangan yang diperoleh jikalau HP3 diberikan

oleh negara kepada pihak-pihak lain di wilayah, di mana masyarakat hukum

adat sudah ada, akan menimbulkan kisah harmoni hukum. Ada lima sikap

Pemerintah terhadap hukum adat. Pemerintah mengakui, Pemerintah tidak

mengakui, diam-diam mengakui tetapi tidak menyatakan suatu pengakuan

kemudian Pemerintah membiarkan, karena itu berlaku sebagai self

identification culture mereka. Hal ini yang terlihat di dalam kehidupan hukum

adat di dalam konsep konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

selalu berhadapan dengan hukum positif. Jikalau sejak hukum positif tidak

mengakui hukum adat. Sekarang trade untuk memberikan pengakuan

terhadap hukum adat dapat dilakukan, dan beberapa keputusan Mahkamah

Agung mengarah kepada pengakuan;

! Pengakuan hukum lewat peraturan perundangan baru saja penyebutan

kolektif tetapi secara substansial tidak nampak. Bahkan berbagai peraturan

perundangan yang mengarah kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia

mengabaikan hak masyarakat adat. Oleh karena itu apa yang dikatakan tadi

adalah, apakah akan mengganggu, justru sangat mengganggu karena

proses pengabaian;

! Kedua, faktor budaya, masyarakat adat juga akan terganggu. Jikalau kita

melihat bahwa sumber daya alam yang ada di sekitar mereka bukan

Page 88: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

132 133

72

sekadar dilihat dari aspek ekonomi, tetapi juga dilihat sebagai aspek secara

sosial dari kesatuan sosial maupun dari culture atau perubahan budaya.

Jadi sampai saat ini berbagai macam hidup kita bisa tampak, bisa kita lihat

di seluruh Indonesia di mana wilayah-wilayah di mana yang dikuasai atau

dihaki oleh masyarakat hukum adat yang sampai sekarang masih ada,

masih berjalan;

! Ketiga, ada faktor politik. Faktor politik di sini adalah penggunaan dalam arti

pilihan oleh satu pihak untuk mau berperilaku sebagaimana dikehendaki

oleh mereka sendiri ataupun oleh Pemerintah. Dalam beberapa kasus

penyesuaian dapat dilakukan, tetapi dilakukan oleh masyarakat sendiri. Ada

bahasa yang digunakan memang muncul, apa yang disebut sebagai prayer

inform concept. Kalau ada unsur asing dari luar yang datang untuk

memanfaatkan sumber daya yang ada yang menjadi bagian daripada milik

masyarakat adat;

! Bahwa masyarakat adat dengan wilayahnya merupakan satu kesatuan,

sehingga kalau HP-3 kemudian disyaratkan, diberikan juga kepada

masyarakat hukum adat, hal itu justru mengurangi arti penguasaan,

wewenang yang by nature secara alami sudah melekat pada diri mereka

sejak awal. Karena syarat kepemilikan sertifikat sebagai misalnya HP-3

dikeluarkan, sebagai syarat untuk mendapatkan perijinan akan menjadi

pertanyaan apakah masyarakat hukum adat akan mau melakukan seperti

itu? Kita melihat begitu banyak fauna yang diberikan oleh Pemerintah tetapi

banyak juga masyarakat hukum adat yang tidak mau memanfaatkan

sertifikat itu. Oleh karena itu, pemberian sertifikat dalam kerangka

memberikan hak, bukan merupakan suatu tindakan yang bijaksana;

! Potensi konflik dengan diberikannya HP-3 oleh Pemerintah kepada

masyarakat hukum adat, maka mereka yang sejak awal menguasai pesisir

dan pantai justru sangat besar.

2. Ahli Nurhasan Ismail

! Ada tiga hal berkenaan dengan pengujian UU 27/2007 terhadap substansi

dan semangat dari UUD 1945. Pertama, bahwa pengaturan tentang objek

HP-3 mengandung disharmoni, inkonsistensi, baik yang bersifat internal

maupun yang bersifat horizontal dengan ketentuan di dalam Pasal 28H ayat

(1) UUD 1945. Wujud disharmoninya, wujud inkonsistensinya adalah bahwa

73

pengaturan objek HP-3 tidak memberikan jaminan kepastian hukum seperti

yang dinyatakan atau ditentukan di dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Logika yang dibangun yaitu adalah bahwa benda yang menjadi objek atau

yang dapat dilekati dengan HP-3 di dalam pasal-pasal UU 27/2007 karena

pertama secara internal. Secara internal ada tiga benda yang dapat menjadi

objek dari HP-3, dan benda berbeda. Karena berbeda, tentu prinsip

spesialitas yang selalu harus ada di dalam pelekatan hak ada satu objek

benda tertentu tidak terpenuhi;

! Di dalam UU 27/2007, objek yang dapat dilekati dengan hak pengusahaan

perairan pesisir, adalah perairan pesisirnya sendiri. Di dalam Pasal 16,

dinyatakan perairan pesisir adalah permukaan air termasuk kolomnya

sampai pada batas tanah di laut. Pertama, yang menjadi benda yang dapat

menjadi objek yang dapat dilekati HP-3. Kedua, sumber daya pesisir dan

pulau-pulau kecil. Hal ini dapat kita temui di dalam Pasal 23 UU 27/2007,

konsep yang digunakan adalah sumber daya, di dalam ketentuan umum

dikatakan sumber daya ada empat yaitu:

1. Pertama, adalah sumber daya hayati yang berupa ikan, terumbu karang,

padang lamun, dan lain sebagainya. Berbeda dengan perairan pesisir;

2. Kedua, sumber daya yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil adalah

sumber daya non hayati berupa pasir, mineral, dan lain sebagainya.

Berbeda dengan konsep perairan pesisir;

3. Ketiga, yaitu sumber daya buatan yang terdiri dari bangunan-bangunan

dan infrastruktur termasuk penggunaan gelombang untuk sumber daya

listrik. Berbeda dengan konsep perairan pesisir;

4. Keempat, adalah sumber daya lingkungan yang menyangkut keindahan

dari perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Berbeda dengan konsep

perairan pesisir;

Kemudian objek yang ketiga dari yang dapat dilekati dengan HP-3 bisa kita

baca di dalam definisi tentang HP-3 yang ada di dalam ketentuan umum,

yang ada di dalam Pasal 23 yaitu pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya;

! Konsep pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya adalah menunjuk baik

kepada sumber daya tanah, yang ada di pulau-pulau kecil atau mungkin

hutan yang ada di pulau-pulau kecil. Berbeda dengan makna dari konsep

perairan pesisir;

Page 89: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

134 135

74

! Secara internal, objek sudah tidak jelas dan sudah tumpang tindih. Kalau

menyebut konsep hak atas tanah, asosiasi kita akan menuju kepada apa

yang disebut dengan benda yang namanya tanah, permukaan bumi, tetapi

ketika kita menyebut konsep HP3 gambaran kita apakah perairan

pesisirnya, apakah itu sumber dayanya, yang ada di pulau dan di pesisir,

atau pulau-pulau kecilnya.

! Persoalannya adalah apa makna kepastian hukum. Kepastian hukum di

definisikan adanya kejelasan norma yang menjadi acuan berperilaku bagi

setiap orang. Kejelasan norma tentu harus ada indikatornya, ada

ukurannya. Tiga indikator untuk menyatakan bahwa sebuah norma itu

memberikan kepastian hukum:

1. Pertama, adalah norma mengandung konsistensi, baik secara internal di

dalam undang-undang maupun konsistensi horizontal dengan undang-

undang yang lain ataupun konsistensi secara vertikal dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah dengan

UUD 1945;

2. Kedua, bahwa konsep penormaannya atau rumusan normanya tidak

mengandung multi makna, tidak mengandung multitafsir;

3. Ketiga, ada suatu implikasi yang sangat jelas terhadap pilihan-pilihan

perilaku yang sudah diatur di dalam undang-undang atau di dalam

peraturan perundang-undangan;

Ketentuan tentang objek, bertentangan dengan indikator yang pertama yaitu

konsistensi baik internal maupun secara horizontal. Internal karena UU

27/2007 mengatur tentang objeknya itu secara tidak jelas, yang dituju

adalah perairan pesisir dengan batasan permukaan air, kolom air sampai

pada batas dasar dari laut, atau yang dituju sumber daya pesisir dan pulau-

pulau kecilnya yang ada empat komponen, atau yang dituju adalah pulau-

pulau kecil. Jadi ketidakjelasan/inkonsistensi internal di dalam UU 27/2007;

! Kemudian yang kedua adalah ada inkonsistensi horizontal. Karena

objeknya terutama objek yang kelompok dua dan tiga yaitu sumber daya

pesisir dan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau kecilnya, yang mengandung

inkonsistensi secara horizontal dengan sektor-sektor lain yang sudah diatur

di dalam Undang-Undang sektoralnya masing-masing. Adanya inkonsistensi

75

pengaturan objek HP-3 baik secara internal maupun horizontal dengan

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945;

! Pengaturan tentang subjek yang dapat diberi HP-3 sebagai cara untuk

mewujudkan tujuan pengelolaan sumber daya agraria, menggunakan istilah

sumber daya agraria. Hal ini bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) dan

Pasal 28H UUD 1945;

! Bahwa pengaturan tentang subjek yang dapat diberi HP-3 sebagai cara

serta mewujudkan tujuan, bertentangan dan mengandung disharmoni

dengan kedua pasal UUD 1945. Pertama tujuan dari pengaturan,

pengelolaan sumber daya agraria, Pasal 33 ayat (3) sudah sangat jelas

mengatakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yaitu seluruh Rakyat

Indonesia. Cara mewujudkan tujuan adalah sebagaimana dalam Pasal 33

ayat (4) UUD 1945 di sana dikandung istilah demokrasi ekonomi, sebagai

cara untuk mewujudkan tujuan;

! Demokrasi ekonomi adalah pemberian kesempatan yang sama kepada

setiap orang untuk memperoleh akses atas sumber daya agraria, termasuk

di dalamnya sumber daya agraria yang menjadi objek dari HP-3. Pemberian

kesempatan yang sama, artinya setiap orang harus berusaha untuk

memperoleh, untuk menggunakan kesempatan itu agar memperoleh HP-3,

agar memperoleh bagian-bagian memanfaatkan sumber daya agraria.

Artinya apabila setiap orang harus berusaha, bersaing satu dengan yang

lainnya untuk memperoleh kesempatan, untuk menggunakan kesempatan

itu;

! Dalam persaingan yang akan terjadi adalah ada warga negara Indonesia

yang dapat memperoleh hak, tetapi tentu ada kelompok masyarakat yang

tidak akan memperoleh hak. Secara sosiologis, yang akan menang tentu

adalah mereka yang mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang

ditentukan untuk memperoleh hak;

! Dalam konteks pengelolaan sumber daya agraria, mereka yang punya

modal besar menguasai managemen berusaha yang baik begitu dan

menguasai teknologi yang tinggi. Sementara kelompok-kelompok

masyarakat yang tidak memenuhi persyaratan, yang tidak termasuk dalam

kategori, tentu akan tersingkir dari proses persaingan. Artinya demokrasi

Page 90: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

136 137

76

ekonomi hanya akan menghasilkan sebuah proses persaingan di mana

yang kuat akan memperoleh, yang lemah tidak akan memperoleh;

! Oleh karena itulah di dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 dinyatakan setiap

orang berhak untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus dalam

kerangka untuk memperoleh persamaan. Artinya negara harus memberikan

perlakuan khusus, kemudahan bagi kelompok masyarakat yang lemah agar

mereka mampu memberdayakan dirinya, sehingga berada pada posisi yang

sama dengan yang kuat;

! Pasal 33 ayat (4) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 merupakan dua pasal

yang harus saling menguatkan, harus ditafsirkan dalam konteks harus

saling menguatkan;

! UU 27/2007 baik melalui Pasal 18 dan Pasal 21 memang ada tiga

kelompok masyarakat yang dapat diberi HP-3. Pertama, orang

perseorangan warga negara Indonesia. Kedua, badan hukum Indonesia.

Ketiga adalah masyarakat adat, sedangkan pengertian masyarakat adat

dengan masyarakat hukum adat adalah berbeda;

! Ada tiga kelompok masyarakat yang diberi hak diukur dari tingkat

kemampuannya secara sosial ekonomi, Pertama, badan hukum yang

berbentuk perseroan-perseroan terbatas. Kedua, koperasi pada urutan yang

kedua. Ketiga, adalah orang perseorangan yang berada pada posisi yang

sangat lemah. Keempat, masyarakat hukum adat yang mungkin tidak akan

pernah terwujud, karena untuk dinyatakan sebagai masyarakat hukum adat

perlu satu proses yang panjang. Artinya Pasal 18 dan Pasal 21 UU 27/2007

hanya mengakomodasi cara yang bersifat demokrasi ekonomi yang hanya

akan menghasilkan persaingan. Dalam persaingan sekali lagi, yang akan

menang adalah perseroan-perseroan terbatas. Tingkatan yang kedua

mungkin adalah koperasi. Perorangan dan masyarakat hukum adat adalah

kelompok yang akan tersingkir dari proses persaingan;

! Oleh karena itu, di dalam UU 27/2007 kekurangannya adalah pertama,

ketidak konsistenannya dengan tidak menjabarkan sebagai komplemen dari

Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 karena sadar atau tidak sadar akan terjadi

persaingan. Kalau terjadi persaingan, fungsi negara melalui undang-

undangnya untuk memberikan perlakuan khusus kepada kelompok-

kelompok masyarakat yang akan menjadi subjek dari HP-3 untuk diberikan

77

perlakuan-perlakuan khusus. Kalau tidak, akan terjadi seperti di dalam

pengelolaan sumber-sumber agraria yang lainnya. Kedua, di sektor

kehutanan mengapa terjadi konflik begitu besar karena Undang-Undang

Kehutanan hanya menjabarkan demokrasi ekonomi, tetapi tidak

menjabarkan tentang adanya keharusan, adanya peranan negara untuk

memberikan perlakuan khusus kepada kelompok-kelompok di sekitar hutan

yang berada dalam posisi lemah. Ketiga, adanya pertentangan tentang

pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat yang ada

di dalam UU 27/2007 dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. UUD 1945

melalui Pasal 18B ayat (2) sudah sangat jelas, konsepnya negara

memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya. Hal itu harus diterjemahkan dengan

hak ulayatnya. Pengakuan adalah satu pernyataan oleh negara melalui

Undang-Undangnya terhadap keberadaan dan kedudukan dari masyarakat

hukum adat. Pernyataan keberadaannya, bagaimana menyatakan

keberadaannya. Di dunia doktrin, sangat banyak ukuran-ukuran yang bisa

digunakan, bahkan di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5

Tahun 1999, diberi batasan indikator-indikator untuk melakukan pernyataan

tentang keberadaan;

! Tentang kedudukan dari masyarakat hukum adat dilihat dari Pasal 18B ayat

(2) berada pada bab tentang Pemerintahan Daerah. Artinya masyarakat

hukum adat harus ditempatkan sebagai bagian dari pemerintahan di daerah

paling tidak sederajat dengan desa di daerah-daerah lain yang sudah tidak

mengenal lagi masyarakat hukum adat. Maknanya, kedudukan

pengakuannya harus diakui sebagai bagian dari pemerintahan di daerah

yang paling rendah paling tidak. Di dalam notulensi pembentukan pasal ini,

amandemen yang kedua dari UUD 1945 adalah dalam rangka

menempatkan masyarakat hukum adat sebagai bagian dari pemerintahan di

daerah yang paling bawah;

! Pengakuan pertama, harus ditujukan kepada keberadaannya, yang kedua

kepada kedudukannya sebagai bagian dari pemerintahan di daerah.

Menghormati artinya menjunjung tinggi keberadaannya dan kedudukannya.

Kalau kedudukannya adalah sebagai bagian dari pemerintahan, junjung

tinggilah, sebagai badan pemerintahan untuk menjalankan kewenangan-

Page 91: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

138 139

78

kewenangannya berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum adat yang

berlaku;

! Di dalam UU 27/2007, justru agak terbalik. Bahkan inilah wujud dari

disharmoninya. Pasal 61 UU 27/2007 jelas memberikan pengakuan,

penghormatan, dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat.

Sebagai suatu wujud yang paling baik Pasal 61, tetapi di dalam Pasal 18,

masyarakat hukum adat ditempatkan sebagai salah satu subjek dari HP-3.

Artinya, masyarakat hukum adat kedudukannya sama dengan badan-badan

hukum sama dengan orang perseorangan. Artinya Pasal 61 menghormati,

melindungi, tetapi Pasal 18 justru menempatkan bukan dalam konteks

sebagai badan pemerintahan, tetapi ditempatkan sejajar dengan

perorangan, dengan badan-badan hukum yang lain. Bahkan perlu dicermati

lebih lanjut, Pasal 21 ayat (4) huruf b dari UU 27/2007, justru keberadaan

masyarakat hukum adat disubordinasikan kepada pemegang HP-3 karena

dinyatakan pemegang HP-3 harus membina, harus memberdayakan

masyarakat hukum adat. Satu kondisi pengaturan yang sangat

bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

3. Ahli Supriadi Adhuri

! Klarifikasi Ahli: pada tanggal 11 April, tiga hari setelah mengikuti sidang

pada tanggal 8 April yang lalu, Ahli mendapat forward email yang

bersumber dari Bapak Dr. Sapta Putra Ginting salah satu representasi yang

dari Kementerian Kelautan. Email ini berisi pertanyaan dan pernyataan

terkait posisi Ahli sebagai ahli yang menyatakan “Pada sidang Mahkamah

Konstitusi (MK) hari Kamis lalu, KIARA mengajukan Ahli Dr. Dedi Adhuri

staf peneliti dari LIPI (dulu bawahan Ibu Dr. Yulvita Raharjo) setelah

disumpah dan tidak menyampaikan apa-apa pandangan keahliannya

terhadap Undang–Undang 27 Tahun 2007, yang pada akhirnya ditegur

Hakim Konstitusi dan sidang ditutup. Pertanyaannya adalah apakah Dedi

Adhuri telah mendapat kewenangan dari LIPI untuk menjadi ahli melawan

pemerintah Presiden SBY yang dilimpahkan kepada Menteri Patrialis Akbar

dan Fadel Muhammad? Atau apakah Dedi sebagai pribadi melawan

Pemerintah? Mohon bantuan menyebutkan nama orang di situ memberitahu

dari LIPI tempatnya bekerja.” Selanjutnya bagian akhir dari email ini,

“…dalam kasus lain ada seorang kepala lapas yang menjadi ahli melawan

79

pemerintah akhirnya dimutasikan meskipun akhirnya dia tidak jadi bersaksi.

Tolong bantu klarifikasi ya, Pak. Cheers, Sapta.” Karena posisi Ahli sebagai

ahli hanya pada sidang ini dan pada hal-hal lain terkait perkara ini, maka

Ahli ingin menanggapi surat email itu;

! Analisa ketidaksesuaian pasal-pasal HP3 dengan Pasal 18B ayat (2) UUD

1945. seperti kita ketahui, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 adalah pasal yang

berisi pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan masyarakat

hukum adat dan hak-hak tradisional. Pasal tersebut berbunyi “negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang”;

! Pada pranata hak ulayat laut dan pengelolaan sumber daya pesisir

tradisional dilakukan oleh cukup banyak masyarakat adat di pesisir

Indonesia. Kajian pustaka yang dilakukan oleh Ruddle tahun 1994 mencatat

bahwa pranata-pranata itu terdapat di beberapa komunitas di Sumatera,

Kalimantan, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa, Jawa Tengah, Jawa Timur,

Flores, dan Tanimbar. Gerner, tahun 1990 juga mencatat terdapatnya

praktik serupa di selat Makassar. Arif Satria juga mencatat praktik

tradisional aweg-aweg di Mataram. Di Tanimbar, Maluku, kelompok

kekerabatan tertentu memiliki hak pakai dan hak pengelolaan terhadap reef-

reef tertentu di pulau dan permohonan izin untuk mengambil atau

menggunakan sesuatu, dimintakan dari tuan tanah;

! Di antara orang-orang Galela di Halmahera, Maluku Utara, desa adat

mengklaim hak pemilikan terhadap wilayah-wilayah penangkapan ikan. Di

Pulau Selayar, di Laut Flores, tempat-tempat dimana orang meletakkan alat

tangkap menetap, juga menjadi objek kepemilikan dan diwariskan kepada

anak laki-laki. Di Irian Jaya, komunitas pesisir Ormu dan Tepra dekat

Jayapura mengolah hak penangkapan ikan dan akses wilayah dan sumber

daya pesisir laut melalui kombinasi praktik-praktik adat kepemilikan wilayah

laut oleh keluarga dan desa adat;

! Contoh hak ulayat yang menjadi dasar diklaim, dimiliki oleh satu masyarakat

adat ratschap yang disebut Maur Ohoiwut di Kei Besar. Selain mengklaim

hak kepemilikan terhadap wilayah tertentu, masyarakat adat juga

Page 92: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

140 141

80

mengimplementasikan aturan yang disebut Sasi yaitu pengaturan

bagaimana masyarakat melakukan penangkapan atau berhenti melakukan

penangkapan pada saat-saat tertentu. Di laut juga diterapkan kalau Sasi

ditutup misalnya di suatu tempat, di wilayah hak ulayat, maka masyarakat

dilarang sama sekali untuk melakukan penangkapan terhadap sumber daya

yang dikenai aturan Sasi. Hanya pada saat Sasi dibuka, anggota

masyarakat boleh melakukan penangkapan sumber daya yang dijadikan

objek Sasi. Itu pun mereka diatur, misalnya mereka hanya boleh melakukan

penangkapan dengan menyelam tanpa alat-alat modern, hanya dengan

kacamata tradisional saja. Mereka juga diatur untuk tidak menangkap,

misalnya untuk bia lola, objek dari itu, kerang, tidak boleh lebih dari 6

sentimeter. Jadi sesudah dibuka, kemudian ketua adat menyatakan ditutup

lagi, maka ditutup lagi. Semua orang dilarang untuk melakukan

penangkapan terhadap sumber daya tersebut;

! Contoh di Aceh, ada pengelolaan tradisional yang disebut dengan hak adat

laut yang dijalankan oleh Panglima Laot. Dasarnya mereka juga mengklaim

wilayah ulayat tertentu. Berbeda dengan di Maluku, mereka tidak

mengklaim hak milik terhadap wilayah itu tetapi hak pengelolaan. Menurut

mereka, semua orang boleh menangkap di situ, tetapi siapapun yang

menangkap di situ harus mengikuti aturan-aturan tertentu. Salah satu

contoh aturan-aturan yang berlaku di Lhok, yang disebut Lhok Kruet.

Mereka melarang penggunaan alat tangkap yang merusak atau

penggunaan racun untuk keperluan menghindari kerusakan lingkungan atau

keberlangsungan sumber daya alam. Kemudian mereka juga melarang

penggunaan kompresor. Karena kompresor selalu diasosiasikan dengan

penggunaan potasium. Menurut mereka, kalau orang diperbolehkan

menangkap dengan kompresor, maka sumber daya terutama lobster

biasanya yang ditangkap oleh kompresor, hanya bisa ditangkap oleh

nelayan yang menggunakan kompresor A saja, nelayan-nelayan tidak

kebagian. Jadi dalam hal ini prinsip keadilan dari distribusi sumber daya

yang ada di wilayah mereka. Mereka juga mengatur dan mengidentifikasi

fishing spots, tempat wilayah tangkapan dan mengatur teknologi apa saja

yang boleh melakukan penangkapan, misalnya pada saat tertentu hanya

diperioritaskan untuk pancing saja. Yang lain misalnya, jaring tidak boleh

81

karena prinsip keadilan. Kalau jaring dilakukan maka ikan akan terjaring

semua sementara nelayan pancing diabaikan;

! Orang-orang di sini secara voluntary mengatur bahwa trout dilarang. Dalam

teori-teori pengelolaan sumber daya alam, praktik-praktik seperti merupakan

alternatif dari kelemahan-kelemahan praktik-praktik yang sentralistik oleh

Pemerintah. Tentu saja mereka punya kelemahan, tetapi kelemahan itu

yang seharusnya dibantu oleh Pemerintah supaya mereka bisa melakukan

pengelolaan secara efektif;

! Hubungan dengan pendapat Ahli mengenai ketidaksesuaian antara pasal-

pasal mengenai HP-3 dengan pengakuan terhadap hak, kembali ke Pasal

18B ayat (2) bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kalau kita melihat isi

pasal itu, maka pasal-pasal HP-3 bertentangan. Misalnya Pasal 16 angka 1,

“Pemanfaatan peradilan pesisir diberikan dalam bentuk HP-3.” Kemudian

angka 2, “HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat satu, meliputi

pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan

permukaan dasar laut”;

! Pasal 16 angka 1 bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945

karena paling tidak secara implisit pasal tersebut mengangap praktik-praktik

hak ulayat laut dan pengelolaan pesisir laut tradisional yang objeknya sama

dengan Pasal 16 angka 2 sebagai tidak ada dan digantikan oleh HP-3.

Pihak pembuat UU 27/2007 mungkin akan berargumen pasal ini hanya

menihilkan tradisi sementara sampai dengan masyarakat mengajukan

permohonan HP-3. Logika ini tidak logis karena, tidak ada syarat yang

diajukan konstitusi untuk pengakuan terhadap hak adat itu dan tradisinya.

Jadi persyaratan oleh HP-3 dengan demikian bertentangan dengan

konstitusi;

! Karakteristik tradisi adalah oral. Dia disampaikan oleh orang-orang tua

kepada generasi penerusnya secara lisan. Hanya sedikit masyarakat yang

menerjemahkan tradisi dalam bentuk tulisan. Yang sedikit itu pun hampir

semuanya dibantu oleh akademisi ataupun aktivis lembaga swadaya

masyarakat. Dengan demikian syarat-syarat pengajuan HP-3 yang

ditentukan pada Pasal 21 angka 1 sampai dengan angka 5 paling tidak

Page 93: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

142 143

82

sebagian besar tidak sesuai dengan karakteristik hak ulayat dan

pengelolaan tradisional yang telah dijelaskan. Yang tersebar dibanyak

tempat di Indonesia;

! Jika pun dipaksakan didaftarkan, tradisi hak ulayat dan praktik pengelolaan

tradisional harus diubah. Karena karakteristik dari beberapa contoh tidak

sesuai dengan karakteristik HP-3. Misalnya, berjangka waktu 20 tahun,

Pasal 19 angka 1. Padahal praktik tradisional tidak ada batasnya sepanjang

masyarakatnya ada dan dijamin oleh konstitusi. Jadi pasal-pasal HP-3

bertentangan dengan konstitusi yang terkait dengan pengakuan terhadap

hak adat dan tradisi yang di dalamnya. Analisa terhadap kekeliruan pasal-

pasal HP-3 dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Disebutkan dalam Pasal

22H ayat (2) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak mendapatkan

kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan

manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan;

! Katarakteristik nelayan, hasil dari review seorang Ahli Antropologi Maritim

yang me-review 250 artikel yang berisi deskripsi tentang karakteristik

nelayan, “Kegiatan melaut terjadi pada lingkungan yang heterogen dan tidak

menentu, ketidaktentuan ini tidak hanya berasal dari lingkungan fisik, tetapi

juga lingkungan sosial dimana kegiatan melaut dilakukan.

Laut adalah dunia yang berbahaya dan asing di mana manusia

diperlengkapi secara minimal, Laut adalah dunia di mana manusia hanya

bisa memasukinya dengan bantuan alat buatan, perahu, alat selam, dan

lain-lain. Itu pun jika kondisi laut memungkinkan ancaman yang konstan dari

ombak kencang kecelakaan dan kerusakan mekanis membuat kegiatan

melaut menjadi pekerjaan yang paling berbahaya.

Banyak zona ekologi terdiri dari berbagai macam spesies yang

memiliki kebiasaan hidup yang berbeda. Ikan juga bergerak dari suatu

tempat ke tempat lain, dari satu musim ke musim lain dan juga jumlahnya

bisa berfluktuasi dan kadar yang sulit ditebak. Terutama oleh nelayan kecil

mayoritas dari Nelayan di Indonesia dan karakter laut dan sumber daya

seperti itu kehidupan nelayan tidaklah mudah dan penuh dengan

ketidakpastian.

Secara psikologis selain bekerja dengan tingkat bahaya yang tinggi,

dia juga pekerja dengan ruang yang sempit (perahu) dalam dunia yang

83

hanya biasanya dominasi laki-laki. Tekanan lingkungan laut dan kondisi

kerja seperti ini sering kali membuat kehidupan rumah tangga nelayan

cenderung berbeda dengan standar komunitas masyarakat dan pekerjaan

yang lain. Waktu pekerja yang seringkali tidak sesuai dengan kegiatan

dunia yang lain, misalnya bekerja pada malam hari sementara siang

digunakan untuk istirahat, seringkali membuat kepentingan nelayan tidak

terwakili dalam dunia politik.

Karakteristik seperti ini juga membuat nelayan sangat bergantung

pada pemilik-pemilik kapal dan tengkulak yang sering kali yang

mengeksploitasi mereka “;

! Menyimak HP-3 Pasal 18 huruf a, huruf b, dan huruf c, tidak terlihat adanya

perlakuan khusus terhadap nelayan dalam berhadapan dengan orang-

perorangan warga negara Indonesia, badan hukum yang didirikan

berdasarkan hukum Indonesia, atau masyarakat adat. Hampir bisa

dipastikan tanpa perlakuan yang khusus, nelayan tidak akan bisa

berkompetensi dengan pihak-pihak yang lain yang mungkin mengajukan

HP-3 seperti disebutkan Pasal 18 huruf a, huruf b, dan huruf c. Dengan

tatanan hidup dan keterbatasan sumber daya yang telah teridentifikasi di

atas dan hampir tidak mungkin untuk dapat syarat-syarat pengajuan HP-3

seperti tertuang dalam Pasal 21 angka 1 sampai angka 5 misalnya;

! Dengan kesimpulan di atas, bahwa HP3 bertentangan dengan Konstitusi

dan cenderung akan memarginalkan masyarakat nelayan pada umumnya.

4. Ahli Henry Thomas Simarmata

! Keterangan terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu:

1. Konteks hak asasi manusia secara umum dan konteks hak asasi

manusia dalam konstitusi Indonesia.

2. Masalah yang menyangkut HP-3.

3. Masalah di mana pertentangannya dengan konstitusi.

! Yang pertama, perlu ditekankan bahwa hak ekonomi, sosial, budaya dalam

konstitusi Indonesia mempunyai kekuatan hukum dan diakui secara hukum

internasional, di mana negara mempunyai kewajiban mencegah

kesewenang-wenangan, kekerasan, kekacauan hukum dan lain

sebagainya. Sekaligus juga negara harus menciptakan perlindungan

kesejahteraan, termasuk dengan pengembangan kapasitas negara. Secara

Page 94: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

144 145

84

khusus hak ekonomi, sosial, budaya membutuhkan peran negara yang aktif

dan menciptakan langkah dan ada anak tangga menuju kondisi sosial

ekonomi yang lebih baik;

! Yang kedua, kewajiban negara dalam ekonomi, sosial, dan budaya.

Ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945, kewajiban negara secara umum hak

ekonomi, sosial, dan budaya mempunyai kedudukan hukum penting dalam

konstitusi Indonesia. Kedudukan menguatkan hak kekuatan ekonomi,

sosial, dan budaya mempunyai kekuatan hukum atau dikenal istilah

justiciability. Hak ekonomi, sosial, dan budaya dinyatakan secara khusus

dalam konstitusi baik secara sejarah, dan konteks-konteks original intention

dalam kerangka hukum, lalu pendasaran yang kuat dalam Pasal 33, Pasal

34, Pasal 37 ayat (2), Pasal 18B ayat (2) dan secara khusus dalam

Penjelasan Pasal 33 dan hal ini naskah lama ada dalam catatan kaki, dan

naskah para Bapak bangsa Soekarno dan Muhammad Hatta;

! Yang ketiga, tanggung jawab negara dalam soal mengembangkan

kapasitas juga memerlukan fasilitasi dan pembangunan kapasitas, dikenal

dengan welfare state atau negara kesejahteraan atau negara kemakmuran.

Mengenai Hatta memberikan pernyataan bahwa ada empat hal dalam

fasilitasi yaitu, pekerjaan penuh, standar yang selalu bertambah baik,

berkurangnya kesetaraan dan soal keadilan sosial;

! Yang keempat, tentu secara khusus mengutip Putusan Mahkamah

Konstitusi, yang pertama dalam soal pengertian yang lebih tinggi, Pasal 33

UUD 1945 mengandung pengertian lebih tinggi daripada pemilikan dalam

konsepsi hukum perdata. Dan yang kedua tentu dalam soal negara

merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan,

melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan;

! Kerangka perlindungan:

1. Pertama, standar dalam hak asasi manusia perlu ada standar. Jadi tidak

bisa disamaratakan;

2. Kedua, indikator juga prinsip “Limbur” dan prinsip “Matriks”, artinya kalau

tidak bisa mengangkat situasi hak asasi manusia yang parah setidaknya

negara tidak menambah penderitaan;

! Kelima, identifikasi kelompok rentan, dalam suatu kebijakan. Sebagian

besar menyangkut persoalan menyangkut HP-3. Kategori HP-3 seolah-olah

85

menghapus ketentuan hukum yang lain termasuk yang terdapat dalam

Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada kebingungan

diciptakan mengenai masyarakat hukum adat. Mengapa harus ada

keharusan masyarakat hukum adat untuk mengupayakan kepemilikan

mereka di tempat mereka sendiri yang sudah mereka hidupi selama

bertahun tahun, yang semestinya tidak termasuk kategori komersialisasi

artinya menyamakan masyarakat hukum adat atau organisasi for profit

membingungkan;

! Yang ketiga, menciptakan kategori hukum baru, dalam hal ini membuka

komersialisasi tanah, termasuk juga spekulasi tanah atau dalam keterangan

Ahli sebelumnya soal sumber dayanya sendiri. Untuk Indonesia dengan

negeri garis pantai terpanjang di dunia dan juga dengan pulau pulau kecil,

komersialisasi jenis akan membuka komersialisasi, korporasi dengan skala

yang luas. Yang terjadi di Jepang pada tahun 1980 dan 1990 dan baru-baru

ini menghantam Amerika Serikat, proses utang piutang mendasarkan atas

penjaminan tanah. Dapat dicermati bahwa HP-3 menerapkan pola single

ownership atau closed ownership, artinya sekali ditetapkan HP3 menurut

peran serta ekonomi dan ekologi dari pihak lain. Tadi disebut kompetisi. Hal

ini bukan saja membayangkan secara ketahanan negara, secara ekologi

bahkan secara ekonomi. Secara khusus ilmu-ilmu lain membantu

mengidentifikasi mengapa closed ownership ini merugikan. Ahli mengutip

penghargaan nobel ekonomi di tahun 2009 kepada Elinor Ostrom yang

secara khusus memperhatikan pemeliharaan bersama dalam soal

perikanan, kawasan perumputan, hutan, danau, daerah, serta tampung

aliran air, irigasi, air minum, dan kelautan. Inilah yang disebut dengan

Command Full Resources. Yang juga penting adalah bahwa komersialisasi

sumber daya akan menjadikan pola pengelolaan, menjadi profit making atau

bahkan land grabbing atau penyerobotan tanah. Keterangan mengenai

HP-3 ada catatan bahwa tidak belajar dari catatan yang sudah dibuat,

dokumen-dokumen pokok yang sudah dibuat beberapa waktu yang lama.

Yang pertama dari Keith Griffin soal akses dan kemampuan kelola termasuk

ownership, itulah nanti yang membedakan kemampuan meningkatkan

ekonomi. Juga sudah disebut oleh Ahli sebelumnya. Kedua, Negara bisa

Page 95: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

146 147

86

saja gagal di daerah-daerah yang katakanlah jauh dari unsur konsentriknya,

dalam hal ini pesisir dan pulau-pulau kecil mempunyai peluang yang sangat

besar menjadi tempat di mana negara gagal. Ketiga, nelayan yang disebut

adalah mereka yang bekerja dengan pola pengelolaan kecil, sosial ekonomi

kecil. Diakui oleh PBB bahwa kelaparan itu menunjuk pada masalah

pedesaan di mana petani pengelola tanah skala kecil, buruh tani, nelayan,

komunitas berburu dan meramu mengalami situasi penderitaan. 80% dari

mereka hidup di wilayah pedesaan dan 50% adalah mereka yang hidup

dengan ekonomi gurem, apakah petani atau nelayan. Laporan yang juga

penting perlu disampaikan untuk menguatkan masalah kapasitas negara

adalah laporan 2009 dari IAASTD yang juga disetujui oleh seluruh anggota

konferensi, termasuk Anggota Majelis Umum PBB. Trend global

menunjukkan arah dekapitalisasi petani miskin dan sumber daya mereka, di

mana mereka mengalami posisi tawar mereka yang semakin rendah dalam

perdagangan dan kompetisi;

! Pemerintah Indonesia juga berupaya menerapkan standar hak asasi

manusia dalam konteks masyarakat pedesaan termasuk desa nelayan.

Dewan HAM, Ahli terlibat di sana. Pemerintah Indonesia menjadi

pendukung utama dalam resolusi soal hak atas pangan. Dalam resolusi

tersebut dinyatakan bahwa negara perlu memperkuat peran, kapasitasnya

dalam operative paragraph nomor 10, lalu mencermati akuisisi tanah skala

besar, operative paragraph 35, dan perlindungan terhadap kelompok rentan

atau di sini disebut masyarakat pedesaan termasuk nelayan tradisional,

operative paragraph 44;

! Secara khusus perlu ditekankan bahwa krisis pangan terjadi adanya suatu

gambar besar mengenai sisi demand yang menjadi amat sangat dominan

daripada supply. Perdagangan global membuat pertanian menjadi suatu

bentuk reserve pool sekadar untuk pengumpul modal dan dimasukkan

dalam ekonomi spekulasi dan ekonomi jangka pendek. Tentu bentuk

reserve pool ini juga bisa kekayaan hayati di wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil. Krisis pangan ini juga membuka problem konsentrasi

kepemilikan dan komersialisasi oleh pihak tertentu, apakah pihak Negara

atau pihak bukan negara. Krisis pangan membuka sisi lemah negara dalam

persoalan mempredisksi suatu kebijakan, dalam hal ini termasuk

87

menggunakan tanaman pangan sebagai bahan energi. Konteks ini juga

menjadi peringatan atas situasi sejenis dalam kawasan pesisir dan pulau-

pulau kecil;

! Akhirnya bagian yang ketiga, yang pertama di tingkat negara. Ada

pelemahan atau pengaburan, di wilayah-wilayah yang jauh dari konsentrik

negara, apalagi dengan karakter kepulauan. Kewajiban negara bisa menjadi

sangat kabur dengan adanya HP3. Sekaligus bertentangan dengan pondasi

dan tanggung jawab negara sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 33,

Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28A sampai 28H, dan Pasal 18B;

! Masalah yang kedua, di tingkat struktural. Ketentuan ini serba hipotetis

dengan kemungkinan spekulasi ekonomi yang amat besar, sehingga sangat

tergantung pada kondisi, bahkan juga kapital dan kekuatan;

! Yang kedua pelemahan hak gugat dan hak akses masyarakat, kaitannya

dengan closed ownership tadi. Sekali ditetapkan, peran serta masyarakat

yang tidak mendapat lisensi itu menjadi sangat lemah dan bisa jadi mereka

justru yang paling lemah, dalam kondisi sosial, budaya dan ekonomi;

! Lalu regulasi tanah yang membuka kemungkinan perampasan atau defifasi.

Diakui bahwa negara dengan kepulauan tentu banyak sekali alasan untuk

bisa mengambil kekayaan hayati;

! Dalam konteks kebijaksanaan internasional, hal ini menjadi kebalikan

dengan apa yang sudah dan sedang diupayakan oleh Pemerintah Indonesia

yaitu semakin memberikan perlindungan yang memadai untuk para pihak

utama dan masyarakat ekonomi, sosial, budaya di kawasan pesisir dan

pulau-pulau kecil;

! Di tingkat hak masyarakat secara khusus perlu kita lihat bahwa, yang

pertama ada pelemahan, terhadap kemampuan masyarakat dalam

memastikan kehidupan yang terjangkau, akses sumber kelola dan sumber

daya produktif. Yang kedua kelompok lemah dan diskriminasi.

5. Ahli I Nyoman Nurjaya

! Berbicara mengenai pengelolaan sumber daya alam, maka tidak bisa

langsung merujuk pada Undang-Undang. Kita harus mulai berbicara

mengenai ideologi yaitu ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber

daya alam dan rujukan yang digunakan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara adalah konstitusi negara.

Page 96: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

148 149

88

! UUD 1945 dimulai dengan pembukaan pada alinea keempat. Untuk apa

tujuan, untuk apa negara didirikan. Di sana disebutkan bahwa melindungi

segenap bangsa dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan itu

korelasinya adalah teritori wilayah kedaulatan beserta segala isinya

termasuk di dalamnya adalah sumber daya alam. Dan kemudian

dikonkritkan dalam Pasal 33 ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Ada 2 kata kunci di sini. Dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ideologi sebagai ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

Dikuasai oleh negara, kata kunci yang pertama. Ada Keputusan Mahkamah

Konstitusi yang memaknai artinya mengajak untuk memaknai hak

menguasai negara bukan berarti memiliki, tetapi sebagai atau dimaknai

sebagai merumuskan kebijakan beli, pengaturan, regeling, pengurusan,

pengelolaan dan pengawasan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

! Caranya melalui pembangunan nasional dan itu harus dilakukan, dan salah

satu modal untuk pembangunan nasional adalah sumber daya alam.

Tujuannya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Pertanyaannya

kemudian, Kalau dilihat dari paradigma pembangunan nasional yang

tercermin di dalam kebijakan nasional pembangunan nasional, kalau

sekarang disebut rencana pembangunan jangka panjang dan jangka

menengah, kalau dulu GBHN kemudian jadi Propenas dan sekarang RPJP

dan RPJM. sumber daya alam salah satu modal pembangunan, tetapi yang

paling diandalkan. Kalau kita lihat dari dokumen kebijakan pembangunan

nasional dalam RPJP, RPJM ada kecenderungan orientasinya adalah

pembangunan yang digunakan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.

Sampai sekarang mulai dari GBHN sampai sekarang, di RPJP juga

economic gradualment. Tetapi harus diingat bahwa ada 2 dimensi penting

dalam kebijakan pembangunan nasional, yang pertama dimensi proses

bagaimana pembangunan dilakukan dan yang kedua adalah dimensi

targetnya, Artinya target pertumbuhan ekonomi untuk mensejahterakan

rakyat. Dua-duanya penting, proses dan target. Ada kecenderungan bahwa

pembangunan nasional lebih diorientasikan untuk mengejar target-target

89

pertumbuhan ekonomi sehingga kemudian yang penting angka-angka

pertumbuhannya.

! Implikasi yang dapat ditimbulkan kalau orientasi pembangunan ditujukan

semata-mata untuk mengejar target pembangunan yaitu: Yang pertama,

untuk mengejar target, eksploitasi use oriented bukan resource, lebih pada

pengelolaan. Yang kedua, mau tidak mau dominasi atau keberpihakkan

pada pelaku usaha, high capital oriented, dominasi pemodal besar. Yang

ketiga, seperti diungkapkan dalam manajemen pengelolaan ada nuansa

sektoral, di Indonesia menganut. Ada Kementerian Kelautan Perikanan

sendiri, karena konteksnya sumber daya alam. Lingkungan sendiri, energi

sumber daya mineral sendiri, kehutanan sendiri, dan mencerminkan

sektoral. Dan kemudian masing-masing bergerak sendiri-sendiri sesuai

dengan kepentingan sektornya. conflict of interest-nya muncul. Ada

kelembagaan sendiri yang diberikan kewenangan sendiri oleh Undang-

Undang yang berbeda-beda, itu yang saya sebutkan sebagai sektoral. Dan

ada implikasi-implikasi hukumnya kemudian yang disebut dengan conflict of

norms, ada konflik norma antara Undang-Undang yang sederajat, yang

berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, horizontal conflict. Belum

nanti kita lihat yang vertikal, yang di atas dengan di bawah ada asas yang

disebut dengan lex superior derogat leggy inferiori dan seterusnya. Yang

kemudian ada limitasi ruang akses informasi, transparansi, partisipasi

publik, akuntabilitas publik, juga menjadi bagian dari implikasi.

! Dalam hubungan dengan keberadaan masyarakat adat, ada

kecenderungan pengabaian hak dan akses masyarakat adat dan juga

kemajemukan hukum di Indonesia, sebagai fakta kehidupan hukum, di satu

sisi ada hukum negara, di sisi lain ada hukum adat, di sisi lain lagi ada

hukum agama yang mencerminkan legal proalism {sic}.

! Ada kecenderungan yang disebut sebagai political of ignores, politik

pengabaian dalam hubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam.

Pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat, atas akses dan

pemanfaatan sumber daya alam. Oleh karena itulah bahwa konsekuensi

dari pembangunan yang selalu diorientasikan untuk mengejar target

pembangunan ongkosnya mahal sekali. Yang tidak pernah dihitung dalam

hitungan-hitungan pembangunan nasional. Ongkosnya ada tiga yang mahal

Page 97: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

150 151

90

dibayar. Dan dapat kita cermati dengan kasat mata ecological degradation

process, pembangunan mulai tahun 1967 dan seterusnya. Apa yang terjadi

hutan kita secara kuantitas, kualitas sumber daya yang lain, mineral, minyak

dan gas bumi, perikanan dan lain-lain ecological degradation yang tidak

pernah dihitung dalam proses pembangunan. Yang kedua, economical lost,

semakin punah dan atau semakin terbatasnya sumber-sumber kehidupan

ekonomi masyarakat di daerah. Yang ketiga, juga penting yang menyangkut

aspek kemanusiaan social and cultural distraction, kerusakan tatanan

kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Khususnya masyarakat di daerah

bersentuhan dengan masyarakat hukum adat.

! Tiga ongkos pembangunan yang tidak pernah dihitung di dalam proses

pembangunan. Kewajiban negara melindungi segenap bangsa dan seluruh

tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dengan

menggunakan instrumen hukum. Karena negara hukum. Wujudnya hukum

negara state law. Kongkretnya dalam bentuk peraturan perundang-

undangan. Sebenarnya fungsi hukum, kalau kita berbicara hukum

kecenderungan orang orientasinya lebih pada penindakan. Padahal fungsi

hukum sebenarnya untuk mencegah. Oleh karena itu lebih baik mencegah

daripada menindak. Dan harus tercermin di dalam produk-produk

hukumnya. untuk nanti ada rujukannya, bagaimana pembangunan hukum

itu harus dilakukan, Rujukannya adalah prinsip-prinsip, pengelolaan sumber

daya alam. Instrumen hukum yang dibangun harus merespons dan

mengakomodasi prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam. Prinsip-

prinsip pentingnya adalah prinsip keadilan, demokrasi dan berkelanjutan.

Dan kalau diakomodasi akan mencerminkan apa yang disebut oleh Billy

Pononet dan Philip Zelsnick sebagai responsive law, dalam bahasa

almarhum Profesor Satjipto Raharjo disebut sebagai hukum progresif. Dan

seperti juga dituangkan dalam disertasi Ketua Majelis Yang Mulia dalam

pemerintahan yang demokrasi, orientasi pembangunan hukumnya harus

mencerminkan apa yang disebut dengan responsive law. Kemudian dengan

UU 27/2007. Ada pelajaran masa lalu, UU 27/2007 ada di dalam Bab V

dalam hubungan dengan mengatur tentang pemanfaatan pemberian hak

pengusahaan perairan pesisir. Kalau mau belajar dari masa lalu terminologi

hukum ada implikasi-implikasi hukumnya. Dulu pernah dalam Undang-

91

Undang Nomor 5 Tahun 1967, kemudian ada Peraturan Pemerintahnya

yang memberikan hak pengusahaan hutan HPH, ada lagi HPHH. Hak

Pengusaha Hasil Hutan dan seterusnya dalam pengelolaan hutan

khususnya waktu itu. Apa implikasi hukumnya? Secara kasat mata kita bisa

lihat, karena kalau berbicara hukum ada di dua dunianya. Ada di dunia

hukum normatifnya seperti apa yang bisa kita baca dalam peraturan

perundang-undangan law asseritan in the book. Tetapi juga ada dunia

lainnya law as perform and human exact, dalam ranah hukum empirisnya.

! Hal ini kemudian menimbulkan implikasi hukum yang wujudnya adalah

pengabaian hak komunal masyarakat hukum adat. Dan ada yang penting

kemudian dicermati di sini dalam hubungan dengan persoalan hak. Kalau

kita baca dalam instrumen hukum negara, hak yang diatur itu adalah hak

negara dan hak individu. hak komunal masyarakat hukum adat selama ini

kalau kita cermati dari UUD 1945. Kemudian dalam Undang-Undang yang

lain, hak komunal masyarakat hukum adat itu, belum diakui sebagal legal

NTT. Entitas hukum yang tersendiri, berdiri sendiri setara dengan hak

negara dan hak individu. Dalam analisis akademik. Pertanyaannya

kemudian ada pilihan apakah sumber daya alam rusak dulu, baru instrumen

hukumnya baik. Hasil studi banding ke Nepal, Thailand, Filipina atau

instrumen hukumnya baik sumber daya alam terjaga juga dengan baik dan

termanfaatkan dengan baik.

! Amanat kembali kepada konstitusi yang intinya melindungi segenap

bangsa, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan

kesejahteraan umum. Oleh karena itulah kemudian ketika kita mencermati

produk hukum UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil. Rujukan untuk merumuskan norma di dalam satu produk

hukum adalah kepada prinsip-prinsip. Dalam hal ini adalah prinsip-prinsip

pengelolaan sumber daya alam.

! Pengelolaan prinsip sumber daya alam adalah sumber daya alam harus

diakui itu adalah sebagai sistem kehidupan. Sistem ekologi. Ekosistem yang

satu sama lain saling terkait dan oleh karena itu kemudian ada intregasi

kepentingan di dalamnya ekologi, ekonomi, sosial dan budaya di dalamnya.

Ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Kalau sudah menyangkut persoalan

Page 98: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

152 153

92

sistem kehidupan, hati-hati Precausionary prinsiple itu menjadi prinsip

penting di dalam pengelolaan sumber daya alam.

! Prinsip keberhati-hatian, prinsip pencegahan dini, dan kalau dalam

pengelolaan lingkungan hidup sumber daya alam, dihubungkan dengan

persoalan perizinan, prasyaratnya adalah analisis mengenai dampak

lingkungan hati-hati kalau alam rusak, kehidupan manusia juga akan

terganggu dan terancam.

! Satu prinsip lain yang berkaitan dengan persoalan keberadaan masyarakat

hukum adat, yang menyangkut hak dan aksesnya atas sumber daya alam

itu adalah apa yang disebut dengan prinsip free and prayer inform concern.

Prinsip ini di dalam produk hukum kita khususnya yang berkaitan dengan

pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam belum diakomodasi. Prinsip

ini ditemukan didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang

Pengesahaan Kovensi PBB tentang bioday city.

! Pertama, prinsip keadilan, menyangkut atau dimensinya adalah inter antar

generasi, keadilan, alokasi dan distribusi untuk kemakmuran rakyat.

! Kedua, prinsip demokrasi menyangkut kesetaraan hubungan antara

Pemerintah dengan rakyat. Ada akses informasi, transparansi, partisipasi

publik, akuntabilitas publik, pengakuan dan penghormatan terhadap hak

dan akses masyarakat hukum adat, terhadap sember daya alam,

kemajemukan hukum dan prinsip keberlanjutan. Ada sumber daya alam

yang renewable dan non renewable. Kemudian keterbatasan daya dukung

dan juga ada batas, ambang batas kemampuan lingkungan yang berkaitan

dengan fungsi dan manfaat lingkungan dan sumber daya alam. Prinsip-

prinsip ini yang harus menjadi rujukan dalam pembuatan satu produk

hukum, yang namanya Undang-Undang.

! Ada dua hal penting memang di dalam Bab V dan di dalam Bab XI yang

disoroti oleh Pemohon:

! Yang pertama, kaitan dengan pemberian hak pengusahan perairan pesisir,

HP-3, tadi. Ada pengalaman di masa lalu, hak pengusahan hutan,

kemudian hak pengusahaan juga menjadi pertanyaan. Hak pengusahaan

perairan pesisir atau ijin usaha. Hal ini menjadi penting dipertanyakan.

Kemudian HP-3 dapat dialihkan, ditukar, dihibahkan, disertakan dalam

modal perusahaan diagunkan sebagai objek hak tanggungan menjadi

93

pertanyaan besar, karena apakah masuk dalam ranah publik atau ranah

privat? Kemudian yang lain, hak pengusaha hutan tanpa diawali dengan

prasyarat Amdal, prinsip keberhati-hatian karena dibedakan antara usaha

dan kegiatan. Kalau usaha jelas orientasinya ke provit oriented, kalau

kegiatan Pemerintah melakukan kegiatan pembangunan, program-program

pembangunan untuk infrastruktur misalnya. Oleh karena itu kalau usaha,

adalah ijin bukan hak, apalagi ditambah dengan bisa dengan ditukar,

dihibah, dialihkan, diwariskanlah, apa diagunkan, karena itu pertanyaan

besarnya ranah hukum publik atau hukum privat.

! Kedua, di dalam Bab XI, kompensasi atau rekonisi dalam kaitan dengan

keberadaan masyarakat adat. Hati-hati, kompensasi artinya haknya hilang

setelah dibayar, tetapi kalau rekonisi pengakuan tetap ada dan prinsip

partisipasi publik sebenarnya sudah masuk.

6. Saksi Masnun

! Saksi dari Dukuh Ngebruk, Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tugu,

Kota Semarang.

! Keadaan saksi berserta penduduk di sekitar, yang dahulunya makmur

menjadi tidak makmur setelah beroperasinya suatu perusahaan yang

berdekatan di daerah kami yaitu perusahaan PT. Kayu Lapis Indonesia,

disingkat dengan PT. KLI. Penghasilan masyarakat di daerah saksi

sebagian besar petambak, ada juga nelayannya. Sebelum beroperasinya

suatu perusahaan, PT. KLI daerah kami adalah daerah yang subur,

makmur. Sehingga semenjak kecil setiap tahunnya ada orang yang

melaksanakan ibadah haji, tiap tahunnya, bahkan pernah terjadi pada tahun

yang sama 40 orang satu Dukuh, 40 orang bersama-sama melaksanakan

ibadah haji itu karena makmurnya. Yang kedua, kalau membangun tempat-

tempat ibadah contohnya masjid, mushalla, madrasah maupun pondok

pesantren karena sebagian besar beragama Islam, tidak pernah minta

bantuan dari luar daerah. Perusahaan KLI tadi itu berkedudukan di Pantai

Moro Redjo, Dukuh Ngebun, Kelurahan Moro Redjo, Kecamatan

Kaliwungu, Kabupaten Kendal, beda kabupaten yang berdekatan dengan

daerah kami.

Dalam pembangunannya perusahaan KLI melakukan kegiatan yaitu:

1. Melakukan pembelokan Sungai Waka sampai hampir 90 derajat;

Page 99: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

154 155

94

2. Melakukan reklamasi pantai untuk pelebaran pabrik hampir 500 meter ke

tengah laut;

3. Melakukan pengedukan pasir untuk pembuatan pabrik atau

pelebarannya atau reklamasinya itu.

! Hal tersebut dampaknya dirasakan mulai tahun 1997, mulai beroperasinya

tahun 1990, dampaknya mulai dirasakan mulai tahun 1997 yaitu satu, terjadi

abrasi yang mengakibatkan tambak-tambak banyak yang hilang maupun

yang rusak. Yang hilang menurut data ada 152,48 hektar, berdasarkan data

dikumpulkan dari masyarakat. Tambak yang rusak ringan, artinya rusak dan

bisa diperbaiki, tetapi kalau ditabur benih, kadang-kadang jebol karena

kurang besar. Ada 55 hektar koma 5, berarti 55 hektar setengah. Tambak

yang rusak berat bisa ditanami ikan tetapi pakai jaring, atau jala ada 37

hektar.

! Adanya pencemaran limbah yaitu limbah padat ataupun limbah cair maupun

limbah dari udara. Limbah padat serpihan-serpihan daripada kayu-kayu.

limbah cairnya yaitu zat kimia untuk membunuh, namanya runti di sana

supaya kayunya tidak rusak. Adanya pencemaran udara yaitu serbuk

gergaji, sehingga sangat mengganggu.

! Memang pada tahun antara 1998-1999 masyarakat bersama Lembaga

Bantuan Hukum Semarang pernah mengalami advokasi terhadap

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tentang kerusakan yang diakibatkan oleh

PT. KLI tersebut dengan tuntutan, kami menuntut satu perbaikan ekologi

atau lingkungan, yang kedua perbaikan kinerja pabrik, yang ketiga, tali asih

atau ganti rugi.

! Akhirnya terjadi perundingan yang dimediatori oleh Gubernur Jawa Tengah

waktu itu Pak Mardianto. Hasil daripada perundingan tersebut, PT. kayu

lapis hanya mau memberi tali asih sebesar 500 juta untuk 5 orang

petambak. Untuk perbaikan lingkungan dan kinerja pabriknya diabaikan

oleh mereka. Tali asih tersebut kalau dihitung-hitung tidak sebanding

dengan kerusakan-kerusakan tambak yang diderita oleh masyarakat,

karena penghasilan menjadi menurun sekali. Sebab sebelum terjadi

pencemaran hasil udang alami, artinya udang alami udang yang bibitnya

masuk dari laut secara alami tanpa ditanam tiap hari rata-rata 4 kilo per

hektar per hari, menjadi kurang daripada sekarang. Keadaan sekarang itu

95

menjadi kurang dari setengah kilo per hektar, per hari, penurunannya

sangat drastis.

! Yang kedua, untuk ditanami udang windu, sering mati karena adanya

pencemaran-pencemaran limbah. Yang ketiga, untuk ditanami bandeng

sering hilang karena tanggul tambak sering jebol karena pantainya sudah

tidak ada lagi, karena abrasi tersebut. Jadi untuk menghidupi keluarga

masyarakat di sekitar daerah saya sekarang banyak yang alih profesi. Ada

yang menjadi buruh pabrik, menjadi TKI kalau yang masih muda, yang tua

paling jadi kuli bangunan.

7. Saksi Karyono

! Menyampaikan kronologis peristiwa terjadi di Dusun Bungin, Desa Tanjung

Pakis, Kabupaten Karawang.

! Masyarakkat Desa Tanjung Pakis bekerja sebagai petani tambak dan

nelayan mencari kerang, kepiting dan rebon untuk dibuatkan terasi, untuk

hidup sehari-hari.

! Kemudian pada tahun 1995 datang perusahaan pengerukan pasir PT.

Purna Taru Murni. Secara serempak masyarakat menolak dengan

keberadaan perusahaan yang jelas-jelas ingin mengeruk pasir atau

mengambil hasil dari Desa Tanjung Pakis. Akibatnya nelayan akan

berkurang penghasilannya karena tempat mereka memanen hasil dalam

setiap bulan atau dalam kurun waktu sekian bulan dia memanen karena

lingkungan di dasar laut sudah rusak maka sudah tidak akan bisa dipanen

lagi.

! Pada tahun 2007, datang lagi perusahaan dari PT yang sama, yaitu PT.

Purna Taru Murni. Kemudian masyarakat tetap menolak dengan

keberadaan PT. Purna Taru Murni karena dari tahun 1995 ke tahun 2007

dampaknya sudah cukup lumayan dahsyat. Perumahan nelayan yang ada

di pesisir pantai Dusun Bumin habis bahkan tiga pelelangan ikan habis

terbawa oleh laut, ditambah lagi dengan tambak-tambak nelayan yang

mungkin sampai saat ini antara Karawang dan Bekasi sekitar ratusan

hektar.

8. Saksi Bona Beding

! Saksi adalah anak “Lamafa” juru tikam dan salah seorang pewaris peralatan

penangkapan ikan, perahu, dan layar, tombak, semua peralatan yang

Page 100: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

156 157

96

digunakan untuk menangkap ikan secara tradisional di Lamandara.

Pemangku masyarakat adat di Lamandara, Pulau Lambata, Nusa Tenggara

Timur, dimandatkan untuk berbicara atas nama adat dan atas nama suku

“Lamandara,” berkaitan dengan nasib kampung halaman yang sejak

beberapa tahun terakhir diterpa oleh agenda konservasi paus yang

didalangi oleh WWF dan pembombardiran perairan “Lamandara” dengan

bom ikan atau potasium oleh rombongan besar nelayan dari daerah lain.

! Pemboman dilakukan secara brutal sejak pagi hingga tengah malam.

! Kampung ini dikenal oleh dunia sebagai kampung nelayan tradisional

dengan tradisi penangkapan paus yang menggunakan peralatan serba

tradisional. Kampung ini kira-kira dihuni oleh 3.000 jiwa, mata pencarian

semuanya nelayan. Bagi masyarakat nelayan tradisional Lamandara,

lingkungan mereka adalah laut. Laut adalah ladang tempat mereka

mempertaruhkan nasib, maka ketika isu konservasi paus yang dicanangkan

sejak tahun lalu, yang mau dideklarasikan di Manado, masyarakat nelayan

sungguh sangat gelisah. Tradisi melaut dan tradisi menangkap ikan paus

adalah bagian yang sangat integral dari tradisi dan kebudayaan masyarakat

Lamalera. Hubungan horizontal, hubungan vertikal, hubungan darah,

hubungan antara laut dan darat, semua kait-mengait. Sungguh sangat

integral. Maka, bagi masyarakat Lamalera menghilangkan tradisi dengan

segala macam cara adalah menghilangkan identitas kebudayaan orang

Lamalera.

! Bagi orang Lamalera, laut selalu identik dengan pola pikir dan kebudayaan.

Beberapa tahun terakhir, menjadi sangat gelisah karena berbagai isu

pengalihan hidup kami yang serba tradisional dialihkan dengan macam-

macam cara, dialihkan ke mata pencaharian yang lain. Akan tetapi bukan

soal beralih dari tradisi penangkapan yang modern yang ada sekarang

tetapi kami justru mempertahankan tradisi, oleh karena segala macam

aspek pendidikan, moral, budi pekerti, tata nilai bahkan religiositas. Semua

ada di dalam tradisi penangkapan paus ini. Bukan semata-mata aspek

ekonomi karena semuanya harus dimulai dengan ritual adat, dari membuat

perahu, hingga mendapat ikan, semuanya dilakukan dalam ritus, tradisi dan

setelah masuknya gereja Katolik semua melebur di dalam inkulturasi gereja

Katolik. Tradisi ini berlangsung sejak belasan abad yang lalu. Sedikit

97

gambaran mengenai kelekatan adat istiadat kami di laut, terutama

berkaitan dengan penangkapan paus. Ritus mengajarkan bahwa kalau

melakukan sesuatu harus jujur, harus bijaksana. Sebagai seorang Lamafa,

ketika pada musim melaut, melautnya Lamalera berlangsung mulai tanggal

1 Mei dan berakhir hingga 31 Oktober, semua dilakukan dalam ritual adat

dan tradisi gereja Katolik.

! Mereka melakukan penangkapan sejauh yang dibutuhkan dan tidak ngoyo

kalau sudah berlayar jauh, mereka pulang. Kalau mereka tangkap ikan,

ikannya berontak, mereka lepas. mereka melakukan dengan tradisi, pamit

dia baik-baik. “Kalau hari ini kamu tidak menyerahkan diri kami pulang”.

Yang disebut oleh juru tikamnya adalah mewakili semua Matrus dalam ikan

yang kami tangkap bukan pertama-tama untuk keluarga kami tetapi untuk

janda dan fakir miskin. Hal ini sudah berlangsung berabad-abad. Hingga di

darat pembagiannya pun harus jujur. Jika ada ketimpangan, kekeliruan

sengaja atau tidak sengaja, akibat di laut akan diperoleh percaya atau tidak

percaya mungkin dianggap mistis, tetapi sungguh sangat realistis. Seorang

Lamafa untuk mempertaruhkan nyawanya, kalau dia sudah beristri maka

selama musim penangkapan tidak diperkenankan oleh dirinya sendiri dan

another untuk tidur bersama istrinya.

! Terkait dengan konservasi dan isu HP-3, di kampung konservasi tahun lalu

sudah digulirkan. Isu ini dan baru-baru ini dengan HP-3, bahkan pada

tanggal 6 Juni, minggu lalu didatangi oleh DPRD dan Pemda yang hendak

mensosialisasikan Ranperda. Bunyi persisnya sama dengan HP-3 tata

ruang wilayah dengan jarak tangkap kurang lebih 6 Km dari pesisir pantai.

Masyarakat nelayan kami sungguh sangat gelisah, sedih, kenapa

Pemerintah malah tidak melindungi tetapi membuat aturan yang macam-

macam begini. Tidak mengusir para pelaku bom potasium, tetapi malah

membuat aturan yang macam-macam.

! Daerah kami adalah daerah wisata internasional, tetapi Pemerintah sangat

tidak memperhatikan. Kami melakukan konservasi dengan cara kami yang

sudah berlangsung sekian lama, berabad-abad, kami melaut juga punya

batas pergi pagi, pulang sore. Bahkan siang, kalau lautnya tidak

bersahabat kami kembali ke darat. Ini adalah gambaran nyata yang kami

hadapi pada tanggal 6 Juni dengan sikap tegas masyarakat, masyarakat

Page 101: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

158 159

98

hukum adat Lamalera sungguh sangat keberatan dengan aturan HP-3.

Mungkin karena pengetahuannya sangat terbatas, tetapi kami sangat

terbelenggu dengan aturan yang macam-macam. Kami bahkan

menghendaki supaya tradisi ini dilestarikan, dikonservasi kebudayaan dan

bukan konservasi ikannya. Manusia lebih penting dari itu.

! Satu pesan yang kami hayati hingga hari ini terkait dengan warisan budaya.

Orang tua kami berpesan “inatao amageno olakai kodekai.” Ibunda telah

menaruh, ayahanda sudah mewariskan, teruslah mewariskan tradisi ini

sampai kapanpun. Jika HP- 3, konsep HP-3 ini dilakukan dalam bacaan

kami masyarakat nelayan tradisional Lamalera, kami merasa jika tidak hati-

hati dilakukan, maka identitas kami akan hilang. Semua penjelasan tentang

tatanan adat istiadat, tradisi dan kebudayaan religiusitas yang terkandung di

dalamnya lenyap sudah.

[2.3] Menimbang bahwa Pemerintah mengajukan keterangan tertulis tanpa

tanggal, bulan April 2010 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18

April 2010 sebagai berikut:

Pokok Permohonan Para Pemohon

a. Bahwa menurut Para Pemohon ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 7, dan

angka 18, Pasal 16 ayat (1), Pasal 23 ayat (2) dan ayat (4) dapat menimbulkan

potensi tumpang tindih/kerancuan antara Hak Pengusahaan Perairan Pesisir

(HP-3) dengan pemberian hak atau perizinan oleh instansi/sektor lain,

misalnya di bidang kehutanan, pertambangan, dan pariwisata. Selain itu.

dalam praktik telah terdapat hak atas tanah sebagaimana ditentukan dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria, yang dapat berupa Hak Guna Bangunan (HGB), di wilayah dermaga

dan perairan pantai, rumah nelayan dan pelatarannya, bangunan-bangunan di

perairan pesisir; Hak Guna Usaha (HGU) diberikan untuk budidaya perikanan

pantai, keramba ikan, budidaya rumput laut, budidaya mutiara. Karenanya

menurut para Pemohon adanya tumpang tindih/kerancuan antar beberapa

peraturan perundang-undangan tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian

hukum di Indonesia, dan karenanya dianggap bertentangan dengan ketentuan

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

b. Bahwa menurut para Pemohon, selain hal tersebut di atas, khususnya

99

ketentuan Pasal 1 angka 18, telah menimbulkan kerancuan tentang konsep

hubungan hukum antara orang (termasuk orang perorangan dan badan

hukum) dengan objek dikenal konsep tentang hak kebendaan (zakelijk

recht) dan hak perorangan (persoonlijk recht), karenanya dianggap tidak

sejalan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

c. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan Pasal 14 ayat (1) dianggap

bertentangan dengan konsep negara hukum yang mensyaratkan persamaan

dan kepastian hukum, karena dianggap memotong hak masyarakat untuk

bersama-sama dalam kedudukannya sebagai subyek hukum lainnya untuk

bersama-sama mempunyai hak mengusulkan penyusunan Rencana

Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K), Rencana

Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K), Rencana

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K), serta

Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-

3-K); yang hanya melibatkan atau setidak-tidaknya lebih menonjolkan

pemerintah (daerah) dan dunia usaha saja, sehingga menutup akses

masyarakat untuk ikut serta dalam penyusunan rencana tersebut, hal ini

adalah salah satu bentuk perbuatan perbedaan perlakuan (diskriminatis

treatment), sehingga menurut para Pemohon ketentuan a quo dianggap

bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28D

ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

d. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal

18 serta Pasal 21 dianggap telah melanggar hak masyarakat adat untuk

memperoleh persamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law)

utamanya dalam rangka mendapat perlindungan atas upaya penghidupan

yang layak, karenanya dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28A

dan Pasal 33 UUD 1945.

e. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan Pasal 23 ayat (4), ayat (5), dan ayat

(6) telah memberikan keberpihakan yang berlebihan kepada pengusaha dalam

memberikan HP-3, dan telah mendiskriminasi secara sepihak kepada

masyarakat, karenanya ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan Pasal

28 dan Pasal 33 UUD 1945;

f. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan Pasal 60 ayat (1) huruf b khususnya

kata "kompensasi" dianggap lebih mengarah pada sebuah upaya/strategi

Page 102: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

160 161

100

pengusiran secara legal terhadap masyarakat lokal agar wilayahnya bisa

dimanfaatkan untuk HP3, padahal di sisi lain masyarakat juga berhak untuk

memperoleh manfaat dan perlindungan atas sumber-sumber produktif guna

pemenuhan hajat hidupnya, karena itu ketentuan a quo dianggap bertentangan

dengan Pasal 28A dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon

Uraian tentang Kedudukan Hukum (legal standing) para Pemohon akan dijelaskan

secara lebih rinci dalam keterangan Pemerintah secara lengkap yang akan

disampaikan pada persidangan berikutnya atau melalui kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi. Selanjutnya, Pemerintah melalui Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim

Konstitusi memohon kiranya para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu

apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionainya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk

diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang

dimohonkan untuk diuji tersebut. Namun demikian, Pemerintah menyerahkan

sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi untuk

mempertimbangkan dan menilainya apakah para Pemohon memiliki kedudukan

hukum (legal standing) atau tidak, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51

ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide

Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007).

Bahwa terhadap keterangan singkat (opening statement) ini, Pemerintah

hanya ingin menyampaikan landasan filosofis dan sosiologis mengapa Undang-

Undang a quo diperlukan bagi masyarakat yang berada di wilayah pesisir

(masyarakat adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional) sebagaimana

diuraikan dalam penjelasan umum Undang-Undang a quo, sebagai berikut:

1. Bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki arti strategis karena

merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut dan jembatan

antara wilayah darat dan wilayah laut, serta memiliki potensi sumber daya

alam dan jasa-jasa lingkungan yang unik dan sangat kaya. Kekayaan

sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil menimbulkan daya tarik bagi

berbagai pemangku kepentingan utama, dunia usaha, dan masyarakat

untuk memanfaatkannya, serta berbagai instansi untuk meregulasi

101

pemanfaatannya. Sumber daya pesisir ini relatif rentan, mudah mengalami

kerusakan dan perubahan akibat intervensi manusia atau bencana

dibandingkan dengan wilayah darat.

2. Bahwa fenomena degradasi biologi, geologi, dan fisik (biogeofisik) sumber

daya pesisir semakin berkembang dan meluas secara terus menerus,

sehingga menyebabkan penurunan produktivitas ekosistem pesisir dan

mengurangi daya dukung terhadap kehidupan manusia. Laju kerusakan

sumber daya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan,

utamanya pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan estuari, yang

berimplikasi terhadap penurunan kualitas lingkungan pesisir dan pulau-

pulau kecil. Hal tersebut antara lain disebabkan adanya interaksi antara

manusla dengan sumber daya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-

kaidah kelestarian dan daya dukung lingkungannya.

3. Bahwa secara sosiologis, kekayaan sumber daya pesisir dikuasai oleh

Negara untuk dikelola Pemerintah sedemikian rupa, guna mewujudkan

kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi sekarang

tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang.

Kenyataannya, sebagian besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang

bermukim di wilayah pesisir justru menempati strata ekonomi yang paling

rendah bila dibandingkan dengan masyarakat darat lainnya.

4. Bahwa paradoksi mekanisme pengelolaan wilayah pesisir yang tidak efektif

kiranya harus diakhiri. Langkah ke arah itu dimulai dengan

mengembangkan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

terpadu, yang diharapkan pemanfaatan sumber daya pesisir dapat

dilakukan secara optimal, efisien dan berkelanjutan serta memberikan

manfaat bagi masyarakat pesisir (masyarakat adat, masyarakat lokal, dan

masyarakat tradisional) dunia usaha, dan institusi Pemerintah yang

mengelolanya.

Untuk mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang

tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan, serta memberikan

kepastian hukum, maka disusun Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU 27/2007), yang tujuannya adalah sebagai

berikut:

a. Menyiapkan peraturan setingkat Undang-Undang mengenal Pengelolaan

Page 103: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

162 163

102

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil khususnya yang menyangkut

perencanaan, pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan konflik,

konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir,

dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait;

b. Membangun sinergi dan sating memperkuat antarlembaga Pemerintah baik di

pusat maupun di daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir

sehingga tercipta kerja sama antarlembaga yang harmonis dan mencegah

serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan

antarkegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan

c. memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat

kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan

peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta

masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha.

Jika mencermati dengan seksama seluruh uraian permohonan para Pemohon,

maka dapat dikelompokkan/dikategorisasikan ke dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Undang-Undang a quo dianggap selalu mengkaitkan dengan adaptasi

terhadap situasi global. Konsep ini menurut para Pemohon ditengarai lebih

menuju arah globalisasi ekonomi dan liberalisasi ekonomi;

2. Menimbulkan terjadinya privatisasi dalam ranah yang dikuasai negara dan

persoalan tata ruang;

3. Tidak memberikan perlindungan kelompok rentan di pedesaan pesisir;

4. Berkaitan dengan persoalan kemiskinan dan kedaulatan negara di pulau-

pulau kecil;

5. Undang-Undang a quo dianggap tidak sinkron dengan peraturan

perundang-undangan lainnya, khususnya yang terkait dengan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil.

Terhadap anggapan para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapat

menjelaskan sebagai berikut:

1. Para Pemohon telah keliru dalam memahami pengertian berwawasan global

sebagaimana ditentukan dalam pertimbangan huruf b Undang-Undang a quo

yang menyatakan: "Bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki

keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi

pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga

kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan

103

berwawasan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi

masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional".

Menurut Pemerintah frase "berwawasan global" dimaksudkan bahwa

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia mempunyai

keterkaitan dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di negara-negara

lain, karena jika pemanfaatan pesisir di Indonesia tidak memperhatikan

aspek kelestarian lingkungan, akan berpengaruh pada kehidupan global,

begitupun sebaliknya.

Selain itu, dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di satu

negara termasuk Indonesia, tunduk pada berbagai konvensi International

antara lain: United Nations Convention on The Law of The Sea 1982

(UNCLOS); Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF); International

Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported, and

Unregulated Fishing (IUU Fishing); Convention on Biological Diversity (CBD);

dan United Nations Framework E Convention on Climate Change (UNFCCC).

Hal demikian sangatlah perlu untuk mengantisipasi dampak kerusakan

lingkungan dan pemanasan global (global warming).

Sehingga dengan demikian wawasan global dalam Undang-Undang a quo tidak

dimaksudkan dalam rangka mengarah pada globalisasi ekonomi, liberalisasi

ekonomi, maupun privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

2. Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang

menyatakan bahwa Undang-Undang a quo dapat menciptakan privatisasi

dalam ranah yang seharusnya dikuasai oleh negara. Sesuai dengan amanat

konstitusi, pada dasarnya pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran

masyarakat. Sebagai tindak lanjutnya adalah negara dalam hal ini Pemerintah

(pusat/daerah) menguasai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui

pengalokasian ruang dalam 4 (empat) kawasan yaitu Kawasan

Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional

Tertentu, dan Alur Laut. Sedangkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3)

diberikan terbatas pada Kawasan Pemanfaatan Umum (kecuali pantai umum dan

kawasan pelabuhan) dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu (vide Pasal 10,

Pasal 22 Undang-Undang a quo).

3. Bahwa anggapan para Pemohon yang menyatakan Undang-Undang a quo

Page 104: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

164 165

104

tidak memberikan perlindungan kelompok rentan di pedesaan pesisir, menurut

Pemerintah anggapan para Pemohon tersebut tidak berdasar dan hanya

dilandasi adanya asumsi-asumsi semata, karena pada kenyataannya

Undang-Undang a quo justru memberikan perlindungan kepada masyarakat

pesisir (kelompok rentan pedesaan pesisir menurut hemat Pemerintah tidak

dikenal/tidak ada, dan bukan ranah pengaturan Undang-Undang a quo),

antara lain dalam Undang-Undang a quo diatur tentang ketentuan

pemberdayaan masyarakat, peran serta masyarakat dalam pemanfaatan

wilayah pesisir (vide Pasal 60 s.d. Pasal 63 Undang-Undang a quo).

Peran serta masyarakat tersebut antara lain diwujudkan dalam proses

penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

(RSWP-3-K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

(RZWP-3-K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

(RPWP-3-K), dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil (RAPWP-3-K). Bahkan menurut Undang-Undang a quo

masyarakat didorong untuk mengelola pesisir dengan memberikan insentif

kepada masyarakat yang mengelola dengan baik dan sebaliknya

memberikan sanksi kepada yang merusak (reward and punishment, vide

Pasal 40, Pasal 71 s.d. Pasal 76 Undang-Undang a quo).

4. Pemerintah tidak sepakat dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan

bahwa Undang-Undang a quo dapat menimbulkan persoalan kemiskinan dan

dapat membahayakan kedaulatan negara di pulau-pulau kecil. Menurut

Pemerintah anggapan para Pemohon tersebut berlebihan dan mengada-ada,

karena persoalan kemiskinan tidak hanya terkait dan tidak hanya terjadi di

wilayah pesisir maupun di pulau-pulau kecil saja (penjelasan umum angka 3

huruf b Undang-Undang a quo).

Lebih lanjut menurut Pemerintah Undang-Undang a quo justru dimaksudkan

untuk memberdayakan masyarakat, menjaga dan memperkuat kedaulatan

negara di pulau-pulau kecil, karena setiap pemanfaatan pulau-pulau kecil

dan perairan di sekitarnya yang dilakukan oleh orang asing harus mendapat

persetujuan Menteri [vide Pasal 23 ayat (7) Undang-Undang a quo]. Dalam

hal pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar, karena pulau-pulau kecil terluar

merupakan kawasan strategis nasional tertentu, maka salah satu aspek

penting dalam pengelolaan tersebut adalah dipergunakan untuk

105

kepentingan pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup, dan

kesejahteraan masyarakat. Lebih dari itu, pemanfaatan pulau-pulau kecil

terluar dilakukan justru untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (vide Pasal 27 Undang-Undang a quo).

Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang

menyatakan Undang-Undang a quo tidak sinkron dengan peraturan

perundang-undangan Iainnya, menurut Pemerintah Undang-Undang a quo

bersifat saling melengkapi dengan Undang-Undang sektoral lainnya,

misainya yang berkaitan dengan pertambangan umum, minyak dan gas

bumi, penataan ruang, perikanan, kehutanan, pengelolaan lingkungan

hidup, pelayaran, konservasi sumber daya alam, Undang-Undang Pokok

Agraria, perairan, pariwisata, perdagangan, sumber daya air, sistem

perencanaan dan pembangunan nasional, arbitrase dan alternatif

penyelesaian sengketa. Lebih lanjut menurut Pemerintah jikalaupun

anggapan para Pemohon itu benar adanya maka ketidaksinkronan antara

Undang-Undang a quo dengan peraturan perundang-undangan Iainnya

bukan berarti Undang-Undang a quo menjadi inkonstitusional atau dengan

perkataan lain hal demikian bukanlah masalah konstitusionalitas

keberlakuan Undang-Undang a quo.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada yang Mulia

Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus, dan

mengadili permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai

berikut:

1. Menolak permohonan pengujian para Pemohon untuk seluruhnya atau

setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak

dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

2. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;

3. Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18; Pasal 16

ayat (1); Pasal 23 ayat (2) dan ayat (4); Pasal 14 ayat (1); Pasal 16 ayat (1)

dan ayat (2); Pasal 20 ayat (1); Pasal 23 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6);

Pasal 60 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Page 105: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

166 167

106

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak bertentangan

dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C

ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat

(1), Pasal 28H ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2), serta Pasal 33 ayat

(1), ayat (2), dan ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi

berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et

bono).

Di samping menyampaikan keterangan, Pemerintah juga mengajukan 3

(tiga) orang Ahli yakni Ir. Abdon Nababan, Ir. Dietriech G. Bengen, dan Budi

Wiryawan, serta seorang saksi bernama Much Imran Amin yang telah didengar

keterangannya pada persidangan tanggal 8 Juni 2010 sebagai berikut:

1. Ahli Ir. Abdon Nababan

! Ahli sebagai Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

(Aman);

! Ahli banyak terlibat sebagai anggota Tim Teknis dalam penyusunan

Keputusan Menteri tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

berkelanjutan dan berbasis masyarakat itu tahun 2000-2001 di Departemen

Kelautan dan Perikanan;

! Yang mengatur keberadaan hak-hak masyarakat adat di dalam Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 adalah Pasal 61.” Jadi, Pasal 61 ayat (1)

dengan ayat (2) itu tidak ada keraguan bahwa Pemerintah mengakui,

menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat

tradisional dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang

telah dimanfaatkan secara turun menurun.

! Kebudayaan adalah hak yang melekat di masyarakat itu untuk

menyelenggarakan pengelolaan pesisir yang mereka turunkan dari leluhur

mereka.

! Bahwa pengakuan hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan

kearifan lokal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan, bukan

pertimbangan. Kontruksi hukumnya pengakuan, bukan pemberian, bukan

izin.

107

! Masalah utama dalam pengelolahan pesisir laut, pulau-pulau kecil adalah

tragedy of open access. Tragedi di pesisir dan di lautan karena open acces,

yang dibiarkan menjadi rezim yang mengatur laut. Inilah yang

sesungguhnya ingin di-address oleh Undang-Undang ini. Salah satu

caranya meng-address adalah memang mengakui hak-hak masyarakat

adat, karena dengan demikian wilayah-wilayah itu menjadi jelas siapa yang

akan mempertanggungjawabkan. Ini tidak hanya soal pendekatan hak di

dalam pengelolaan wilayah tetapi juga sebenarnya untuk memastikan

bahwa Pemerintah itu punya kaki di bawah, karena kapal-kapal asing

masuk seperti di masa lalu, tidak ada yang mengawasi.

! Pengakuan hak sebenarnya terkait langsung dengan efektivitas

pengelolahan pesisir dan pulau-pulau kecil.

2. Ahli Ir. Dietriech G. Bengen,

! Arti penting dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 terkait dengan dua

hal. Bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 bisa dijadikan dasar

bijak bagi pengembangan potensi sumber daya pesisir pulau-pulau kecil

yang melimpah bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran

rakyat, baik saat ini maupun yang akan datang. Pertama, kita tahu bahwa

Indonesia sebagai negara kepulauan, di mana dikenalnya sebagai negara

kepulauan terbesar di dunia dan sebagian besar dari pulau-pulau yang ada

itu merupakan pulau-pulau kecil dan di banyak tempat di pulau-pulau kecil,

masyarakat yang hidup di dalamnya masih jauh dari apa yang kita katakan

dengan sejahtera.

! Karena kita negara kepulauan, maka bahwa Indonesia mempunyai garis

pantai yang cukup panjang, yang sepenuhnya belum termanfaatkan secara

baik dengan potensi yang ada. Itulah sebabnya mengapa Undang-Undang

ini bisa membantu untuk memanfaatkan potensi yang ada ini lebih jauh.

! Indonesia dialiri oleh 3 ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) salah satunya,

katakanlah yang di Selat Makassar, menunjukkan di kawasan itu sangat

kaya akan sumber daya alam yang ada. Tetapi mengapa masyarakat yang

ada di sekitar situ, umumnya masih berada di bawah garis kemiskinan.

! Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut yang terbesar

karena kita merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh berbagai

ekosistem pesisir yang sangat-sangat produktif, yang ada di kawasan kita.

Page 106: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

168 169

108

! Itulah sebabnya salah satunya yang kita kenal bahwa Indonesia berada di

jantung segitiga karang dunia yang dinisiasi oleh Indonesia dengan apa

yang kita kenal dengan CTI (Corel Triangle Inisiative).

! Kedua, mengapa Undang-Undang ini penting, hal ini bisa jadikan pilar

pembangunan wilayah pesisir pulau-pulau kecil secara terpadu dan

berkelanjutan. Dasar untuk ini kita lihat bahwa wilayah pesisir, tidak hanya

melihat perairannya saja, tetapi termasuk adalah wilayah daratannya dan di

Undang-Undang secara tegas menegakkan wilayah ini bahwa laut kita

batasi pada 12 mil. Kemudian daratnya pada kecamatan, suatu daerah

yang luar biasa interaksi antara satu dengan yang lain, sehingga kalau tidak

dikelola maka tidak akan memberikan suatu manfaat yang optimal di dalam

upaya-upaya kita memanfaatkan. Apalagi di pulau-pulau kecil.

! Pulau-pulau kecil yang boleh dikatakan sumber daya di daratannya hampir

tidak ada, air tawar tidak ada tetapi luar biasa masyarakat yang ada di

pulau-pulau ini dan sebagian besar ini hidup dari sumber daya pesisir dan

laut yang ada di sekitarnya.

! Melihat kepada wilayah pesisir mau tidak mau kalau kita ingin mendapatkan

hasil yang optimal maka kita harus lihat keterkaitan antara wilayah pesisir,

daratannya dan lautnya yang kita kenal bahwa apapun yang kita lakukan di

wilayah pesisir itu tetap harus mengacu pada daratnya dan juga mengacu

pada lautnya.

! Bahwa di wilayah pesisir pun ada keterkaitan yang sangat erat antar

berbagai ekosistem yang ada dan ini menjadi basis. Gresik terutama di

Kecamatan Ujung Pangka, di mana pengembangan industri yang demikian

pesat banyak mengganggu kepada daerah pertambakan yang ada

sehingga kita upayakan bagaimana ekosistem yang ada ini terkait satu

sama yang lain bisa memberikan manfaat yang optimal bagi semua

kepentingan yang ada. Kenyataan ini menunjukkan bahwa di wilayah pesisir

suka tidak suka, beragam aktivitas pemanfaatan yang ada di sana baik

pemanfaatan sumber daya alam maupun jasa-jasa lingkungan di wilayah

pesisir ada perumahan, ada industri. Di perairannya ada perikanan, ada

pariwisata dan sebagainya, semuanya saling terkait di dalam

pemanfaatannya. Keterkaitan antara pemanfaatan ini tidak dikelola secara

baik. Sehingga munculah berbagai macam masalah yang ada.

109

! Berbagai permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,

semua kita lihat bahwa terjadi degradasi ekosistem dan sumber daya alam

di banyak tempat. Kita lihat terjadi konfik di dalam pemanfaatan ruang yang

ada, baik itu aparat pertambangan dengan pariwisata, pertambangan

dengan perikanan dan sebagainya.

! Kemudian masalah yang muncul karena adanya sifat common property dan

rezim open access dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu. Sehingga

tidak memungkinkan kita misalnya di situ mengkapling yang namanya

wilayah pesisir atau laut yang ada. Dan masalah yang ada sampai saat ini

juga kebijakan yang ada itu masih bersifat sektoral, kurangnya

keperpaduan antara para pemangku kepentingan ini menimbulkan banyak

sekali ketidakefektifan dalam upaya pemanfaatan wilayah pesisir.

! Untuk mereduksi masalah-masalah ini mengoptimalkan sumber daya yang

ada maka perlu adanya suatu pengelolaan. Bahwa pengelolaan wilayah

pesisir itu harus terkait dengan karakteristik wilayah pesisir sehingga ada 4

hal yang harus menjadi basis kita di dalam pengelolaan. Bahwa wilayah-

wilayah pesisir memiliki keterkaitan fungsional yang erat antara daratan dan

lautnya, kemudian pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut yang

beragam dapat menimbulkan berbagai macam konflik yang terjadi, suka

tidak suka wilayah pesisir dihuni oleh bebagai kelompok masyarakat

dengan preferensi yang berbeda. Nelayan mempunyai preferensi yang

berbeda juga dengan pembudidaya dalam banyak hal, dapat terjadi konflik,

kemudian adanya sifat common property dan rezim open access dari

sumber daya pesisir dan laut.

! Untuk melakukan pengelolaan ini telah diupayakan di dalam Undang-

Undang ini bagaimana pengelolaan menjadi penting pada KUHAP Pasal 4,

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pengelolaan

wilayah pesisir pulau-pulau kecil bertujuan adalah untuk melindungi,

mengonversi, merehabilitasi memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-

pulau kecil secara berkelanjutan. Kemudian adanya harmonisasi dan sinergi

dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, bahwa banyak sekali

pemanfaatan yang ada disharmoni. Undang-Undang ini mencoba untuk

mengharmonisasi, berbagai pemanfaatan yang ada. Kemudian menguatkan

peran serta masyarakat dan lembaga Pemerintah dalam pengelolaan

Page 107: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

170 171

110

pesisir dan pulau-pulau kecil. Peran serta masyarakat, sudah banyak

disebutkan sangat-sangat nyata di dalam Undang-Undang.

! Kemudian untuk meningkatkan nilai sosial, ekonomi dan budaya dalam

pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk melaksanakan

pengelolaan pesisir di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tercakup dalam 4 bagian penting yaitu, perencanaan, pemanfaatan,

pengawasan dan pengendalian. Di dalam perencanaan menjadi bagian

yang sangat penting sebelum melakukan pemanfaatan yaitu adanya

rencana strategis yang harus disusun, kemudian rencana zonasi, rencana

pengelolaan dan rencana aksi. Dalam proses pengelolaan harus mencakup

rencana pemanfaatan pengawasan pengendalian dan dalam perencanaan.

Secara hierarki di sini kita lihat ada rencana pengelolaan yang paling bawah

kemudian harus ada rencana zonasi harus ada rencana strategis, rencana

pengelolaan dan rencana aksi. Masing-masing sangat terkait dengan apa

yang tadi sudah disebutkan harus mempertimbangkan sumber daya yang

ada, harus mempertimbangkan masyarakat yang ada di sini terkait aspek

sumber daya sosial, ekonomi dan budaya.

! Kemudian di dalam pemanfaatan, bahwa di dalam hak pengusaha perairan

ini bahwa pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP-3, tetapi

yang perlu ditekankan bahwa pengusahaan perairan hanya mencakup

wilayah permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar

laut, hal ini berbeda sekali dengan yang ada di daratan. Karena secara

fungsional kalau kita bilang perairan itu terkait satu dengan yang lain karena

rezim yang open access dan sumber daya yang sifatnya milik bersama

maka kalau tidak dikelola, dengan memberikan katakanlah di sini

kesempatan untuk adanya pengusahaan pada perairan maka di sini tidak

akan bisa juga optimal, kalau terjadi sesuatu pada wilayah tersebut tidak

juga ada yang merasa bertanggung jawab untuk itu.

! Pemberian HP-3 sebagai yang dimaksud pada ayat (1) wajib

mempertimbangkan kepentingan kelestarian ekosistem, pulau-pulau kecil

masyarakat adat dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi

kapal asing. Bahwa hak pengusahaan perairan tidak bisa dengan tiba-tiba

diberikan tetapi harus ada perencanaan sebelumnya, tidak mungkin

diberikan kalau belum ada rencana Jonasi yang ada di sana. Sehingga di

111

dalam proses perencanaan, semua aspek harus dipertimbangkan sebelum

diberikan hak untuk pengusahaan perairan. Dalam pemanfaatan terkait

dengan HP-3 terkait dengan perencanaan yang ada di dalamnya, kemudian

ada masalah konservasi, harus ada pengawasan dan pengendalian.

! Ada program akreditasi yang ditemukan bahwa ada 11 asas yang masuk di

dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, bahwa untuk

mencapai suatu pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan dengan

mempertimbangkan berbagai aspek, maka dalam Undang-Undang Nomor

27 Tahun 2007 ada 3 komponen yang ditonjolkan, di mana masing-masing

mempunyai kepentingan yang sama.

! Pertama, bahwa dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir pulau-

pulau kecil harus ada pola berhasil, ada kerja sama antara lembaga

penelitian, perguruan tinggi, swasta, dan NGO harus ada juga koordinasi

baik secara horizontal maupun secara vertikal dan yang paling penting dan

banyak dilakukan sekarang yaitu konsultasi. Selama ini kita konsultasi

hanya pada satu pihak saja tetapi dalam Undang-Undang dicakup bahwa

konsultasi harus dilakukan terhadap pakar, terhadap publik dan suka tidak

suka juga terhadap legislatif karena mereka juga yang ikut berperan di

dalam penggelolaan. Banyak contoh di dalam penerapan 3K, contohnya

adalah pada waktu menerapkan pengelolaan Teluk Balikpapan yang ada di

Kota Balikpapan Kalimantan Timur. Dengan pendekatan mekanisme

pengelolaan pesisir terpadu dan pulau-pulau kecil terpadu maka target

daripada Undang-Undang bisa kita capai ke depan.

! Bahwa targetnya ada peningkatan dalam pemberataan ekonomi yang

selama ini tidak banyak dirasakan oleh masyarakat pesisir, terutama juga

mereka yang mempunyai keterlibatan langsung dengan wilayah atau

sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

! Kemudian, adanya peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan

masyarakat sangat ditekankan di dalam Undang-Undang yang ada,

kemudian yang paling penting juga bahwa keberlanjutan pemanfaatan

sumber daya alam dan lingkungan di pesisir pulau-pulau kecil bisa kita

jamin. Dengan adanya pengelolaan pulau-pulau kecil termasuk pulau-pulau

kecil keluar maka kita harapkan bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun

Page 108: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

172 173

112

2007 dapat menyakinkan terjaganya intergritas Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

3. Ahli Budi Wiryawan

! Wilayah pesisir dan laut merupakan wilayah yang rawan terhadap

kemungkinan pemanfaatan, pengeksploitasian yang berlebihan karena

adanya anggapan bahwa wilayah tersebut adalah milik bersama dan bebas

dimanfaatkan oleh semua pihak. Telah banyak contoh-contoh yang

menunjukkan adanya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang

disebabkan aktivitas manusia yang tidak terkontrol terhadap lingkungan

pesisir akibat anggapan tersebut.

! Bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah dengan berbagai aktivitas yang

saling bertentangan, bersaing, memperebutkan sumber daya yang terbatas

atau dikenal dengan konflik manfaat dan konflik kewenangan di wilayah

pesisir. Seringkali manfaat dan keuntungan dari berbagai aktivitas tersebut

hanya di manfaatkan oleh sekelompok stakeholder yang eksklusif dalam

jumlah yang sangat kecil saja, sedangkan biaya dampak lingkungan harus

dikeluarkan dan terpaksa ditanggung oleh sebagian masyarakat dan

lingkungan setempat.

! Urgensi dari berbagai macam program pengelolaan biaya yang laut yang

dikembangkan di dunia, khususnya di Indonesia. Pada intinya adalah untuk

menjawab dua hal yang mendasar. Yaitu pertama, kebutuhan untuk

menjaga mempertahankan sumber daya yang terancam seperti dekralasi

lingkungan dan sumber daya alam yang penurunan jasa-jasa lingkungan

seperti nilai estetika pesisir serta komponen-komponen alamiah dari

perairan pesisir geo fisik Pantai, daerah ekstoria, pulau-pulau penghalang

termasuk ekosistemnya. Yang kedua adalah kebutuhan untuk mengelola

pemanfaatan sumber daya pesisir secara rasional mencari solusi atas

konflik manfaatan dan konflik kewenangan selaras tujuan dan

pembangunan berkelanjutan yaitu mencapai keseimbangan rasional antara

pembangunan ekonomi, pelestarian sumber daya dan kesetaraan sosial.

! Sistim pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah pengelolaan yang

konprehensif dengan komponen yang saling berkaitan. Oleh karena itu,

untuk pengelolaannya memerlukan tiga pendekaan. Yang pertama,

pengetahuan yang mendalam dan menyeluruh mengenai sumber daya

113

alam yang unik di kawasan pesisir, optimalisasi pemanfaatan ekosistem di

pulau-pulau kecil serta seluruh sumber daya alam di dalamnya dengan

mengintergrasikan segenap informasi ekologis, ekonomi, dan sosial.

Keterpaduan pendekatan antara disiplin, ilmu, dan koordinasi antara

sektoral dalam mengatasi permasalah dalam wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil yang kompleks.

! Melalui pendekatan ini diharapkan dan dapat memberikan hasil yang di

harapkan yaitu terpeliharanya kualitas lingkungan pesisir dan pulau-pulau

kecil, membaiknya kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat pesisir

sebagai pengguna sumber daya dan sasaran lingkungan diambil dari Dara

Jati dari Bappenas.

! Dirumuskan oleh Sekjen Sentenknek Ahli Pesisir Tahun 1998 bahwa

dimensi keterpaduan dalam pengelolaan pesisir meliputi lima aspek, yaitu

pertama, sektoral, yang kedua adalah keterpaduan wilayah ekologis, yang

ketiga adalah keterpaduan stakeholder tingkat pemerintahan, yang

keempat, keterpaduan berbagai disiplin ilmu dan yang kelima, keterpaduan

antar negara.

! Implementasi pengolahan pesisir dan laut secara terpadu di dunia baru di

mulai pada tahun 1970-an, di mana konsep pengelolahan telah

menekankan pada intergrasi dan koordinasi dan partisipasi pada

masyarakat. Misalnya, costum management X, yang diterbitkan pada tahun

1972 oleh Pemerintah Federal Amerika Serikat. Sementara perhatian

pengolahan pemerintahan pesisir laut di Indonesia mulai secara intensif

pada tahun 1990-an dengan munculnya berbagai kegiatan berbasis pesisir

yang dibiayai oleh berbagai lembaga donor yang bekerja sama dengan

Pemerintah Indonesia.

! Bab II, tentang Perkembangan Pengelolaan Pesisir di Dunia. Berdasarkan

pendekatan perencanaan pengolahan, konsep pengelolaan pesisir dan laut

dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu konsep pengelolaan secara sektoral

dan konsep pengelolaan secara terpadu atau in credit costum management,

pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada dasarnya berkaitan hanya

satu sumber daya atau ekosistem untuk memenuhi tujuan sektoral tertentu,

seperti perikanan, pariwisata, perindustri, dan sebagainya. Adapun pada

pengelolaan semacam ini aspek cross sectoral dan cross regional (suara

Page 109: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

174 175

114

tidak jelas) seringkali diabaikan, akibatnya model pengelolaan seringkali

menimbulkan berbagai dampak yang merusak lingkungan dan mematikan

sektoral lain.

! Kemudian, hadir pengelolaan wilayah pesisir terpadu sebagai satu

pendekatan yang baru yang melalui penilainan yang secara menyeluruh

merencanakan tujuan dan sasaran dan kemudian merencanakan serta

mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya, guna mencapai

pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan

pengelolaan tersebut dilakukan secara continue dan dinamis dengan

mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspirasi

masyarakat sebagai stakeholder, serta daya dukung lingkungan pesisir dan

konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada, sehingga keluhan

atau sudah menjurus kepada konflik termajinalisasinya sebagian pengguna

sumber daya seperti tambak yang digusur oleh industri dan nelayan yang

digusur oleh kegiatan yang lain dapat dihindari.

! Konsep-konsep pengelolaan pesisir seperti yang diuraikan di atas tersebut

sebenarnya sudah lama dikemukakan oleh Velingga dan Riorden tahun

1993 yang secara dinamis mengalami perubahan-perubahan evolusinya.

Kalau kita lihat bahwa perkembangan ilmu pengelolaan pesisir, kita bisa

buka kembali proceding congress nasional atas pengelolaan pesisir tahun

2000 sampai pada makalah yang akan diseminarkan pada Kongres

Nasional Pesisir ketujuh di Ambon pada bulan Agustus 2010 yang akan

datang, terlihat bahwa ada jelas perbedaan penekanan sesuai dengan

evolusi penggunaan pesisir tersebut.

! Gambaran yang jelas perkembangan pengelolaan pesisir di dunia akan

dijadikan beberapa contoh pengalaman pengelolaan pesisir yang dianggap

sukses di dunia. Jadi yaitu di Amerika Serikat dengan program Sikren dan

implementasi costum management X, di sebagian besar negara bagian, Uni

Eropa dengan peraturan yang sama dengan kualitas lingkungan pesisir

antar negara, Australia dengan Ocean Policy dan pengelolaan taman

nasional dengan sistem Jonasi yang melibatkan berbagai macam

stakeholder pada pengembangan Taman Nasional Creed borowrif, Teluk

Siamen di RRC dengan perencanaan Jonasi dan implementasinya dan

115

yang semuanya banyak dijadikan contoh praktik baik atau best practice

untuk pengelolaan wilayah pesisir di dunia.

! Meskipun Indonesia memiliki pesisir laut yang cukup luas, namun perhatian

Pemerintah terhadap wilayah pesisir baru berkembang tahun 1988, yaitu

semanjak diselesaikannya studi yang berjudul Indonesia enviromental a

summary of policy strategic action and issue kerja sama Bappenas dengan

SIDA. Sejak itu sektor kelautan mulai mendapat perhatian yang serius dari

Pemerintah dan masyarakat Indonesia serta masyarakat internasional.

Bahkan tahun 1993 sektor ini menjadi sektor tersendiri dari dalam GBHN.

! Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah yang waktu itu juga mewarnai perubahan kebijakan sumber daya

pengelolaan pesisir dan laut kemudian Undang-Undang tersebut diganti

dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Semangat otonomi yang

dikandung dalam Undang-Undang tersebut melalui desentralisasi hubungan

pengelolaan wilayah pesisir, pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 provinsi dan kabupaten memiliki otonomi dalam pengelolaan

wilayah pesisir sejauh 12 mil dan sepertiganya merupakan kewenangan

kabupaten dan kota dan sebagainya, diuraikan dalam Pasal 18 ayat (3).

! Implementasinya dari Undang-Undang tersebut, Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 terhadap pengelolaan sumber daya pesisir secara

berkelanjutan dan dapat bersifat sinergis, namun dapat pula bersifat

sebaliknya. Implikasi akan bersifat sinergis apabila Pemerintah dan

masyarakat wilayah otonomi menyadari arti penting dari pengelolaan

sumber daya pesisir secara berkelanjutan. Sehingga pemanfaatan sumber

daya alam pesisir tersebut dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan

kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan.

! Implikasi negatif akan muncul apabila daerah berlomba-lomba

mengeksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan kaidah pembangunan

berkelanjutan. Oleh karena itu perlu adanya Undang-Undang yang

mengatur tentang pengolaan wilayah pesisir Republik Indonesia untuk

mengelola sumber daya alam dan jasa lingkungan di wilayah pesisir.

! Secara kelembagaan, terbentuknya Departemen Eksplorasi Laut

memberikan tonggak sejarah bagi pengelolaan sumber daya pesisir.

Page 110: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

176 177

116

! Perkembangan terakhir dari kebijakan pengelolaan wilayah pesisir adalah

upaya penyusunan Undang-Undang wilayah pesisir pada waktu itu tahun

2001, DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) menyusun naskah

akademik perancangan Undang-Undang Pengelolaan Pesisir. Beberapa

proses dilalui seperti konsultasi publik.

! Proyek-proyek pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia, ada berbagai

macam proyek pengelolaan pesisir di Indonesia, mungkin saya bacakan

judulnya saja proyek yang disebut Marrien resources evolution and planning

project tahun 1993-1994, implementasinya meliputi 42 kabupaten dan 10

provinsi, kemudian Corarie Rehabilitation and Management Project atau

Kormap, dengan waktu 15 tahun terbagi dalam 3 tahap pelaksanaan yang

saat sekarang masih berjalan untuk pengelolaan sumber daya terumbu

karang.

! Kemudian Coster Resources Managemant Project atau kita kenal dengan

proyek pesisir dan lanjutannya dengan yang disebut dengan mitra pesisir

berlangsung 7 tahun, tahun 1996-2003. Ini merupakan proyek hibah dari

USID dan kerja sama Pemerintah RI dan Bappenas melewati Dirjen

Bangda, Depdagri. Ini memberikan gambaran bagi kita bahwa pendekatan

dengan dua arah atau two track approuch menjadi sangat penting, artinya

bagi pengembangan kebijakan di bidang pengelolaan pesisir. Juga

beberapa hasil-hasil seperti pengembangan konferensi nasional yang masih

berlanjut sampai saat sekarang, pembelajaran tentang pengolahan sumber

daya pesisir di lokasi-lokasi percontohan masih bisa kita lihat. Kemudian

program Marrien and Coster Reource Managemant Project, ini merupakan

program perencanaan lanjutan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan

pada tahun 2002-2007 merupakan program pengelolaan yang dibantu oleh

Asian Development Bank, yang membuahkan hasil perencanaan hierarki

dari mulai perencanaan strategis zonasi, perencanaan pengelolaan,

perencanaan aksi di 15 provinsi dan 40 kabupaten/kota di Indonesia yang

salah satu prinsipnya dan metodenya sudah disampaikan oleh Ahli

Pemerintah.

! Kata kunci dari kebijakan review terhadap Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 yaitu pengelolaan, bagaimana mengelola wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil. Pengelolaan dilakukan dengan berasal pada

117

berkelanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan,

pemerataan, prasta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntanbilitas

dan keadilan. Adapun ruang lingkup pengaturan wilayah pesisiran dan

pulau-pulau kecil meliputi daerah ekosistem yang telah diatur dalam

pasalnya salah satunya Pasal 2 dan Pasal 3.

! Belajar dari pengalaman negara lain dalam pengelolaan pesisir dan laut,

hal-hal yang perlu diatur dalam mekanisme hubungan Pemerintah Pusat

dan Daerah adalah mekanisme penyediaan bantuan teknis dan dana ke

daerah dalam pengelolaan pesisir. Kriteria pemberian bantuan kepada

Pemerintah Daerah insentif dan disinsentif, komitmen kedua belah pihak

untuk mengelola sumber daya pesisir secara berkelanjutan.

! Dalam era desensentralisasi pengelolaan sumber daya pesisir dan laut

perlu aturan dan tata cara untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul

antara daerah seperti penanganan limbah, pencemaran laut, sumber daya

lintas wilayah seperti perikanan dan pengusahaan perayaan pesisir.

Pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan memerlukan

perencanaan yang matang, partisipatif, berbasis ilmiah karena diperlukan

berbagai kebijakan dan strategi pengelolaan pesisir yang baik di pusat

maupun di daerah.

! Implementasi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dapat berkelanjutan

apabila memenuhi beberapa parameter seperti sesuai dengan kebijakan-

kebijakan setempat baik kebijakan formal maupun informal. Yang kedua,

sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Yang ketiga,

didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia dan kelembagaan,

keterlibatan aktivitas dari stakeholder, memiliki rencana dan program yang

jelas dan memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk budaya, sosial,

ekonomi, masyarakat setempat.

! Oleh karena itu apabila parameter tersebut belum terpenuhi, maka salah

satu komponen kegiatan proyek untuk mengimplementasikan Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 harus memasukkan parameter tersebut

untuk disiapkan. Seperti pengembangan sumber daya manusia dan

kelembagaan, misalnya agar implementasi Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 tersebut berdampak luas dan sejalan dengan tujuan

pengelolaan sumber daya pesisir maka perlu didesain bagaimana

Page 111: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

178 179

118

mereplikasi proyek-proyek percontohan untuk Indonesia sebagai

implementasi dari Undang-Undang tersebut. Oleh karena itu sejak awal

perlu dirancang kelengkapan data informasi dokumentasi proses, evaluasi,

relevansi projek dengan kondisi suatu wilayah, evaluasi dampak proyek

terhadap lingkungan dan masyarakat, keterlibatan stakeholder komunitas

dalam perencanaan dan strategi penyebarluaskan informasi tentang

pengelolaan wilayah pesisir terpadu.

4. Saksi Much Imran Amin

! Saksi adalah pelaku pada saat Undang-Undang ini pertama kali diusulkan.

Saksi bekerja sebagai pendamping masyarakat dari sebuah lembaga

swadaya masyarakat yang bernama Telapak Indonesia dan juga menjadi

dinamisator Jaring Pela, sebuah jaringan pesisir dan laut untuk beberapa

LSM yang terlibat dalam isu-isu pesisir laut di Indonesia.

! Pertama, Dalam pengelolaan wilayah pesisir yang berbasis masyarakat,

Saksi mengembangkan program khususnya dalam konteks pengelolaan

wilayah pesisir, baik yang dilakukan oleh instansi-instansi Pemerintah

sendiri maupun instansi-instansi swasta yang banyak bekerja atau

melakukan eksplorasi eksploitasi di wilayah pesisir dan laut.

! Yang kedua, dengan adanya tumpang tindih, pada periode-periode

sebelum terbentuknya pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden

Abudurrahman Wahid, saat itu masih banyak terjadi konflik-konflik, baik

antar sektor maupun konflik-konflik dari komunitas dengan komunitas

selaku stakeholder utama di lapangan dengan para pengusaha ataupun

konflik-konflik kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah terhadap

kepentingan masyarakat.

! Dalam kasus lain, di Pulau Serangan Bali, di mana pada tahun 1990 akhir

terjadi reklamasi besar-besaran, salah satu indikasi yang diangkat, di mana

hampir 100% luas pulau yang ada telah bertambah. Salah satu contoh

kasus dimana kuatnya kepentingan modal dalam melakukan penetrasi

dalam wilayah-wilayah kehidupan masyarakat langsung, khususnya

wilayah-wilayah kehidupan masyarakat nelayan dan pesisir. Contoh ini

banyak terjadi juga di beberapa daerah lain.

! Sama seperti kasus yang disebutkan oleh saksi dari Pemohon, Pak

Masnun, hal itu juga banyak terjadi di daerah lain, diakibatkan oleh konflik

119

kepentingan dan tidak adanya peraturan perundang-undangan yang

mengatur masalah pengelola pesisir. Sehingga setiap sektor yang bermain

di sektor, di wilayah pesisir dan laut menggunakan dan me-refer kepada

Undang-Undang sektoral masing-masing. Berangkat dari permasalahan dan

kasus-kasus ini, selaku praktisi yang bekerja di lapangan, mencoba,

melihat peluang-peluang yang ada. Kebetulan di awal tahun 1990-an,

almarhum Presiden Abdurrahman Wahid membentuk sebuah Kementerian

Perikanan yang saat itu masih bernama Departemen Eksplorasi Laut,

adalah sebuah peluang, bagaimana wilayah pesisir dan laut dapat dikelola

melalui satu pintu, artinya ada koordinasi, sehingga tumpang tindih antara

sektor di pemerintahan sendiri yang bekerja di isu pesisir dan laut, dapat

diminimalisir.

! Dalam proses pembuatannya, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007,

yang saat itu belum keluar, dari pihak civil society juga memfasilitasi

beberapa pertemuan, baik konsultasi publik terbatas maupun diskusi-diskusi

fokus terhadap kelompok-kelompok dampingan kami maupun teman-teman

sejawat yang bekerja di isu-isu perikanan kelautan maupun di isu-isu

nelayan dan masyarakat adat. Terhitung ada tiga kali konsultasi publik

terbatas, di mana pada saat itu mengundang beberapa pihak, yang juga

disaksikan oleh Pemerintah dengan harapan kasus-kasus di lapangan dan

Isu-isu permasalahan yang terjadi, bisa diakomodir dan bisa dicarikan

peluang penyelesaiannya dan pengaturannya di dalam Undang-Undang

Wilayah Pesisir. Karena selama sebelum Undang-Undang ini lahir, konflik

itu tidak akan pernah selesai dan harapannya adalah Undang-Undang yang

diupayakan saat ini dapat menyelesaikan dan meminimalisir segala

permasalahan yang terjadi di tingkat masyarakat.

! Pada saat konsultasi publik, banyak pihak yang menentang Undang-

Undang khususnya dari sektor-sektor terkait, karena banyak yang melihat

dengan lahirnya Undang-Undang ini maka Kementerian mengambil

sebagian wewenang dari Kementerian sektor terkait. Salah satunya adalah

Departemen Pertambangan adalah salah satu pihak yang sangat-sangat

menolak adanya Undang-Undang ini. Artinya, bahwa penolakan itu bagian

dari dukungan terhadap status quo dimana masih ingin menetapkan

pengelolaan wilayah pesisir tidak boleh berada di satu pintu.

Page 112: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

180 181

120

! Terkait degan Pasal HP3, esensi dari HP3 adalah terlepas dari nama dari

HP3. Selama ini orang melakukan eksploitasi pesisir dan pulau-pulau kecil

dilakukan dengan seenaknya. Sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2007 lahir, tanpa ada tanggung jawab terhadap lingkungan, apalagi dengan

masyarakat lokal. Contoh kasus kegiatan eksploitasi terumbu karang untuk

tujuan perdagangan jarang sekali perusahaan diberi tanggung jawab

setelah mereka mengambil karang di suatu wilayah, untuk melakukan

rehabilitasi dan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat lokal. Karena

tidak ada aturan buat pengusaha untuk melakukan hal tersebut, agar para

pengusaha tidak seenaknya melakukan dan membuka atau melakukan

eksploitasi terhadap sumber daya alam pesisir, sehingga wilayah pesisir

yang ada dapat dipertanggungjawabkan. Esensi HP-3 adalah sebagai alat

agar masyarakat bisa memanfaatkan mekanisme atau alat ini sebagai

penyaring, pelindung bagi masyarakat lokal agar segala sesuatu yang

berasal dari pihak luar masyarakat, misalnya pengusaha atau ada program-

program pembangunan dari Pemerintah, atau dengan alat ini masyarakat

bisa menolak. Dengan alat ini masyarakat punya hak, punya wewenang

untuk mengatakan tidak terhadap pembangunan itu atau terhadap usaha-

usaha yang masuk.

! Selama ini tidak pernah ada yang bisa dilakukan, masih untuk wilayah-

wilayah yang punya hukum adat, karena mereka masih bisa menggunakan

hukum adat untuk melakukan penolakan. Bagaimana dengan wilayah-

wilayah atau masyarakat yang tidak sama sekali tidak punya instrumen

yang bisa dipakai. Di Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, disebutkan

sebagai HP-3 esensinya adalah melakukan penyaringan, yang bisa dipakai

oleh masyarakat untuk menjadi alat untuk menolak atau pun mengatakan ya

terhadap sebuah program pembangunan atau program eksploitasi yang ada

di daerahnya. Masalah implementasinya perlu diturunkan dalam peraturan

yang lebih rinci, sehingga hak-hak yang sudah melekat kepada masyarakat

bisa dikuatkan lagi, tidak perlu ada tumpang tindih di dalamnya.

! Dalam kasus penggusuran nelayan di Pulau Serangan, seharusnya

penggusuran sudah sukses besar sampai saat ini, setelah terjadi reklamasi

Undang-Undang ini keluar, undang-undang dipakai menjadi bargaining

kepada pihak investor di sana dan saat ini proses penggusuran terhenti. Ini

121

salah satu bukti bahwa dengan adanya Undang-Undang ini, kita jadikan

alat untuk memperkuat posisi masyarakat bahwa masyarakat, sebagai

stakeholder yang utama yang perlu dipertimbangkan dan perlu di akomodir

kepentingannya.

[2.4] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan keterangan

tertulis tanpa tanggal, bulan April 2010 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah

pada tanggal 16 April 2010 sebagai berikut:

A. Ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dimohonkan

Pengujian Materiil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan permohonan

pengujian atas Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18, Pasal 14 ayat (1),

Pasal 16 ayat (1) dan (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), ayat (4), ayat

(5), dan ayat (6), serta Pasal 60 ayat (1) UU Wilayah Pesisir terhadap UUD

1945 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18:

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah suatu proses

perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan

Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu

pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.

4. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati,

sumber daya nonhayati, sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan;

sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun,

mangrove, dan biota laut lainnya; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air

laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang

terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa

keindahan alam, permukaan, dasar laut tempat instalasi bawah air yang

Page 113: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

182 183

122

terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang yang

terdapat di wilayah pesisir.

7. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi

perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan

yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan

dangkal, rawa payau, dan laguna.

18. Hak pengusahaan perairan pesisir, selanjutnya disebut HP-3 adalah hak

atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan

perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan

kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan

tertentu.

Pasal 14 ayat (1) :(1) Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K,

dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah serta dunia usaha.

Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2):

(1) Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP-3.

(2) HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengusahaan atas

permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut”

Pasal 20 ayat (1) :(1) HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan

utang dengan dibebankan hak tanggungan.

Pasal 23 ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6):

(2) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan

untuk salah satu atau lebih kepentingan konservasi; pendidikan dan

pelatihan; penelitian dan pengembangan; budi daya laut; pariwisata; usaha

perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; pertanian

organik; dan/atau peternakan.

(4)Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dan memenuhi persyaratan pada ayat (3) wajib

mempunyai HP-3 yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah

sesuai dengan kewenangannya.

(5) Untuk pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya yang telah

digunakan untuk kepentingan kehidupan Masyarakat, Pemerintah atau

Pemerintah Daerah menerbitkan HP-3 setelah melakukan musyawarah

dengan Masyarakat yang bersangkutan.

123

(6)Bupati/walikota memfasilitasi mekanisme musyawarah sebagaimana

dimaksud pada ayat (5).

Pasal 60 ayat (1) huruf b:

(1) Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat

mempunyai hak untuk:

b. memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber

Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk

memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan

perundang-undangan;

B. Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional Yang Dianggap Para Pemohon

Dirugikan Oleh Berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam permohonan a quo dikemukakan, bahwa dengan berlakunya

Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18, Pasal 14 ayat (1), Pasal 16 ayat (1)

dan (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6),

serta Pasal 60 ayat (1) huruf b UU 27/2007, menurut para Pemohon hak

konstitusionalnya dirugikan dengan alasan sebagai berikut:

1. Bahwa menurut para Pemohon pengaturan Hak Pengusahaan Perairan

Pesisir (HP-3) yang terdapat dalam Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka

18, Pasal 16 ayat (1), Pasal 23 ayat (2) dan ayat (4), jika dicermati terdapat

kerancuan atau tumpang tindih antara HP-3 tersebut dengan objek perijinan

di bidang kehutanan, pertambangan, dan pariwisata, di antaranya yaitu:

a. antara HP-3 dengan perijinan bidang kehutanan yaitu tentang

pemanfaatan hutan mangrove, fauna/flora yang terdapat dikawasan

perairan pantai, dan menggunakan jasa lingkungan di kawasan hutan

mangrove tersebut;

b. antara HP-3 dengan perijinan bidang pertambangan yaitu pemanfaatan

pasir sebagai sumber daya di kawasan pantai dan mineral dalam laut;

c. antara HP-3 dengan perijinan bidang pariwisata yaitu pengembangan

wisata pantai;

Karena itu para Pemohon beranggapan adanya tumpang tindih dan

benturan peraturan tersebut, pada akhirnya mereduksi bahkan

menghilangkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi warga

negara, masyarakat, utamanya nelayan dan warga pesisir.

Page 114: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

184 185

124

2. Bahwa para Pemohon mengemukakan dalam permohonan a quo konsep

HP-3 sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 18 UU Pengelolaan

Wilayah Pesisir tidak sejalan dengan pengertian Pasal 33 ayat (2) dan ayat

(3) UUD 1945, mengingat penyebutan HP-3 sebagai “Hak” tidak tepat, lebih

tepat digunakan istilah “ijin” untuk memanfaatkan (dalam hal ini

mengusahakan) perairan pesisir. Sebagai ijin pemanfaatan/pengusahaan,

HP-3 selayaknya tidak dilekati dengan sifat-sifat sebagai berikut: dapat

dialihkan, dihibahkan, ditukarkan, disertakan sebagai modal perusahaan,

dijadikan objek hak tanggungan maupun diwariskan.

3. Bahwa menurut para Pemohon Pasal 14 ayat (1) UU Pengelolaan Wilayah

Pesisir telah memotong hak masyarakat untuk bersama-sama dalam

kedudukannya sebagai subjek hukum lainnya bersama-sama mempunyai

hak mengusulkan penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil (RSWP-3-K) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau kecil (RZWP–3– K). Penutupan akses masyarakat untuk ikut

serta dalam penyusunan rencana tersebut adalah salah satu bentuk

perbuatan perbedaan perlakuan (diskriminatis treatment), sehingga

berakibat hak konstitusional warga negara (terutama nelayan kecil sangat

dirugikan atas ketentuan pasal tersebut. Menurut para Pemohon proses

usulan yang hanya melibatkan Pemerintah Daerah dan dunia usaha telah

menutup akses keterlibatan masyarakat, khususnya masyarakat lokal.

4. Bahwa para Pemohon mengemukakan berdasarkan Pasal 16 ayat (1) dan

ayat (2) untuk memanfaatkan perairan pesisir harus mempunyai sertifikat

HP-3, akibatnya masyarakat adat, masyarakat lokal dan tradisional yang

tidak memiliki HP-3 tidak boleh memanfaatkan perairan Pesisir. Para

Pemohon juga beranggapan HP-3 yang dapat beralih, dialihkan, dan

dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan sebagaimana

diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UU Pengelolaan Wilayah Pesisir mendorong

komersialisasi perairan pesisir karena konsep HP-3 dalam Undang-Undang

a quo merupakan hak kebendaan yang mengakibatkan HP-3 dapat beralih,

dialihkan bahkan dapat dijaminkan utang dan dibebankan hak tanggungan.

5. Bahwa menurut para Pemohon Pasal 23 ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan

ayat (6) UU 27/2007 telah memberikan kewenangan yang luas dan absolut

bagi Pemerintah/pemerintah daerah melalui suatu mekanisme musyawarah

125

tanpa adanya suatu ketentuan yang menyatakan atau menyebutkan tentang

adanya hak tolak bagi masyarakat. Hal tersebut menurut para Pemohon

mengingkari hak-hak asasi warga negara/masyarakat hukum adat untuk

mempertahankan hak-hak konstitusionalnya termasuk juga hak untuk

memperoleh persamaan dan keadilan.

6. Bahwa para Pemohon beranggapan kata “kompensasi” pada Pasal 60 ayat

(1) huruf b lebih mengarah pada strategi pengusiran masyarakat lokal agar

wilayahnya bisa dimanfaatkan untuk HP-3. Potensi pengusiran masyarakat

lokal ini sangat mungkin terjadi, dikarenakan dalam UU 27/2007 tidak

dinyatakan bahwa masyarakat berhak menolak penetapan wilayah sebagai

lokasi HP-3.

Para Pemohon beranggapan ketentuan pasal tersebut bertentangan

dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2),

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal

28H ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2), serta Pasal 33 ayat (1), ayat (2),

dan ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945:“Negara Indonesia adalah negara hukum”

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945:“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Pasal 28A UUD 1945:“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak

mempertahankan hidup dan kehidupannya”

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945:“setiap orang berhak untuk memajukan dirinya

dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,

bangsa dan negaranya”

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum”

Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945:

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,

memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih

kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali.

Page 115: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

186 187

126

(2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan menyatakan pikiran

dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Pasal 28G ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri

pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah

kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman

ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak

asasi.”

Pasal 28H ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945:

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai

persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan

pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

Pasal 28I ayat (2) UUD 1945: (2) Setiap orang berhak bebas atas peraturan

yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminasi itu.

Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas

kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

C. KETERANGAN DPR RI

Bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon a quo, DPR menyampaikan

keterangan yang didahului dengan uraian tentang kedudukan hukum (legal

standing) sebagai berikut:

1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK),

menyatakan bahwa Pemohon adalah Pihak yang menganggap hak

dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-

Undang, yaitu

127

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat ; atau

d. lembaga negara.

Dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) dinyatakan bahwa yang

dimaksud dengan Hak Konstitusional adalah hak–hak yang diatur dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini

berarti bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945

yang termasuk “hak konstitusional”.

Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak

dapat diterima sebagai Pihak Pemohon yang memiliki kedudukan hukum

(legal standing) dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap

UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana

dimaksud “Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi”

yang dianggapnya telah dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-

Undang yang dimohonkan pengujian;

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai

akibat dari berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Bahwa mengenai batasan tentang kerugian konstitusional,

Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang

kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-

Undang berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, harus memenuhi 5 (lima)

syarat (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor

011/PUU-V/2007), yaitu sebagai berikut:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah

dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;

c. kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik

(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut

penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

Page 116: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

188 189

128

d. adanya hubungan sebab-akibat (casual verband) antara kerugian dan

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon maka

Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing)

sebagai Pihak Pemohon.

Atas dasar hal-hal tersebut, DPR berpandangan bahwa para

Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah para Pemohon

sudah memenuhi sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Undang-Undang yang

dimohonkan pengujian, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas

berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut.

Bahwa terkait dengan uraian kedudukan hukum (legal standing) para

Pemohon tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim

Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan, menilai dan memutuskan

kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon berdasarkan Pasal 51

ayat (1) UU MK dan Penjelasan Pasal tersebut serta persyaratan menurut

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan

Nomor 011/PUU-V/2007.

Selanjutnya, apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang

mulya berpendapat lain, dengan ini disampaikan Keterangan DPR atas

pokok perkara pengujian materiil atas UU Pengelolaan Wilayah Pesisir.

2. Pengujian Materi Atas Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir.

Para Pemohon dalam permohonan a quo, mengemukakan bahwa

hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar, atau setidak-tidaknya

bersifat potensial akan menimbulkan kerugian oleh berlakunya Pasal 1

angka 4, angka 7, dan angka 18, Pasal 14 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) dan

ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat

(6), serta Pasal 60 ayat (1) huruf b UU 27/2007 yang secara garis besarnya

menyatakan:

129

a. bahwa UU Pengelolaan Wilayah Pesisir meimbulkan kerancuan dengan

Undang-Undang lainnya sehingga menyebabkan timbulnya

ketidakpastian hukum.

b. peran masyarakat lokal dan masyarakat adat sangat dirugikan dalam

turut serta untuk pengelolaan wilayah pesisir (HP-3).

Terhadap hal-hal yang dikemukakan para Pemohon tersebut, DPR

memberi keterangan sebagai berikut:

1. Bahwa para Pemohon telah keliru dalam memahami pengertian

berwawasan global sebagaimana ditentukan dalam pertimbangan huruf

b Undang-Undang a quo yang menyatakan: “Bahwa wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang

tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya,

lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu

dikelola secara berkelanjutan dan berwawasan global, dengan

memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai

bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional”.

2. Bahwa menurut DPR frase “berwawasan global” dimaksudkan bahwa

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia mempunyai

keterkaitan dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di negara-

negara lain, karena jika pemanfaatan pesisir di Indonesia tidak

memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, maka akan berpengaruh

pada kehidupan global, begitupun sebaliknya. Selain itu, dalam

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di negara termasuk

Indonesia, tunduk pada berbagai konvensi Internasional antara lain:

United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS);

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF); International Plan of

Action to Combat Prevent and Deter Illegal, Unreported, and

Unregulated Fishing (IUU Fishing); Convention Bio Diversity (CBD); dan

United Nation for Climate Change (UNFCC). Hal demikian sangatlah

perlu untuk mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan dan

pemanasan global (global warming).

3. Bahwa DPR tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang

menyatakan bahwa Undang-Undang a quo dapat menciptakan

privatisasi dalam ranah yang seharusnya dikuasai oleh negara. Sesuai

Page 117: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

190 191

130

dengan amanat UUD 1945, pada dasarnya pemanfaatan wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan

dan kemakmuran masyarakat. Atas dasar hal ini maka Pemerintah

(pusat/daerah) menguasai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui

pengalokasian ruang dalam 4 (empat) kawasan yaitu Kawasan

Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional

Tertentu, dan Alur Laut. Sedangkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir

(HP-3) diberikan terbatas pada kawasan pemanfaatan umum (kecuali

pantai umum dan kawasan pelabuhan) dan Kawasan Strategis Nasional

Tertentu (vide Pasal 10, Pasal 22 Undang-Undang a quo).

4. Bahwa anggapan para Pemohon yang menyatakan Undang-Undang

a quo tidak memberikan perlindungan kelompok rentan di pedesaan

pesisir, menurut DPR tidak berdasar dan hanya dilandasi adanya

asumsi-asumsi semata, karena pada kenyataannya Undang-Undang

a quo justru memberikan perlindungan kepada masyarakat pesisir,

antara lain dalam Undang-Undang a quo diatur tentang ketentuan

pemberdayaan masyarakat, peran serta masyarakat dalam pemanfaatan

wilayah pesisir (vide Pasal 60 s.d. Pasal 63 Undang-Undang a quo).

Peran serta masyarakat tersebut antara lain diwujudkan dalam proses

penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

(RSWP-3-K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

(RZWP-3-K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil (RPWP-3-K), dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K). Bahkan menurut Undang-Undang

a quo masyarakat didorong untuk mengelola pesisir dengan memberikan

insentif kepada masyarakat yang mengelola dengan baik dan sebaliknya

memberikan sanksi kepada yang merusak (reward and punishment, vide

Pasal 40, Pasal 71 s.d. Pasal 76 Undang-Undang a quo).

5. Bahwa DPR tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang

menyatakan bahwa Undang-Undang a quo dapat menimbulkan

persoalan kemiskinan dan dapat membahayakan kedaulatan negara di

pulau-pulau kecil. Menurut DPR anggapan para Pemohon tersebut

berlebihan dan mengada-ada, karena persoalan kemiskinan tidak hanya

terkait dan tidak hanya terjadi di wilayah pesisir maupun di pulau-pulau

131

kecil saja (vide Penjelasan Umum angka 3 huruf b Undang-Undang

a quo). Bahwa Undang-Undang a quo justru dimaksudkan untuk

memberdayakan masyarakat, menjaga dan memperkuat kedaulatan

negara di pulau-pulau kecil, karena setiap pemanfaatan pulau-pulau

kecil dan perairan di sekitarnya yang dilakukan oleh orang asing harus

mendapat persetujuan Menteri [vide Pasal 23 ayat (7) Undang-Undang

a quo]. Dalam hal pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar, karena pulau-

pulau kecil terluar merupakan kawasan strategis nasional tertentu, maka

salah satu aspek penting dalam pengelolaan tersebut adalah

dipergunakan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan, lingkungan

hidup, dan kesejahteraan masyarakat (vide Pasal 27 Undang-Undang

a quo).

6. Bahwa perlu dipahami oleh para Pemohon, bahwa untuk

mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang

tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan, serta untuk

memberikan kepastian hukum, maka dibentuklah UU 27/2007 yang

tujuannya adalah sebagai berikut:

a. menyiapkan Undang-Undang mengenai pengelolaan wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil, khususnya yang menyangkut perencanaan,

pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan konflik,

konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi

kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional

terkait;

b. membangun sinergi dan saling memperkuat antar lembaga

pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan

pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja sama antar

lembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik

pemanfaatan dan konflik kewenangan di wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil;

c. memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki

tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui

pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak

masyarakat pesisir seeta masyarakat yang berkepentingan lain,

termasuk pihak pengusaha.

Page 118: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

192 193

132

7. Bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang

menyatakan Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18, Pasal 16 ayat (1),

Pasal 23 ayat (2) dan ayat (4), terdapat kerancuan atau tumpang tindih

dengan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang kehutanan,

pertambangan, dan pariwisata yang menghilangkan jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum bagi warga negara, masyarakat,

utamanya nelayan dan warga pesisir. Terhadap dalil-dalil para Pemohon

tersebut, DPR berpandangan Undang-Undang tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini merupakan landasan

penyesuaian dengan ketentuan yang tercantum dalam peraturan

perundang-undangan yang lain. Undang-Undang ini mempunyai

hubungan saling melengkapi dengan Undang-Undang lain seperti:

a. Undang-Undang yang mengatur perikanan;

b. Undang-Undang yang mengatur pemerintahan daerah;

c. Undang-Undang yang mengatur kehutanan;

d. Undang-Undang yang mengatur pertambangan umum, minyak, dan

gas bumi;

e. Undang-Undang yang mengatur penataan ruang;

f. Undang-Undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup;

g. Undang-Undang yang mengatur pelayaran;

h. Undang-Undang yang mengatur konservasi sumber daya alam dan

ekosistem;

i. Undang-Undang yang mengatur peraturan dasar pokok agraria;

j. Undang-Undang yang mengatur perairan;

k. Undang-Undang yang mengatur kepariwisataan;

l. Undang-Undang yang mengatur perindustrian dan perdagangan;

m. Undang-Undang yang mengatur sumber daya air;

n. Undang-Undang yang mengatur sistem perencanaan pembangunan

nasional; dan

o. Undang-Undang yang mengatur arbitrase dan alternatif penyelesaian

sengketa.

8. Bahwa UU 27/2007 diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan

pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilaksanakan

oleh berbagai sektor terkait. Dengan demikian, dapat dihindarkan

133

terjadinya tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan yang

pada akhirnya ada kepastian hukum dalam pengelolaan wilayah

perairan pesisir pada masyarakat setempat dan masyarakat lokal/adat.

9. Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan peran

masyarakat lokal dan masyarakat adat tersingkirkan akibat berlakunya

UU 27/2007, DPR berpandangan bahwa Ketentuan UU 27/2007 telah

mengakomodir kepentingan masyarakat adat, demikian pula dalam

kaitannya dalam pemberian HP-3, dalam Ketentuan Pasal 18 Undang-

Undang a quo disebutkan bahwa HP-3 dapat diberikan kepada:

a. Orang perseorangan warga negara Indonesia;

b. Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau

c. Masyarakat Adat.

10. Bahwa selain itu terkait dengan pemberian HP-3 sudah diatur dalam

ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang a quo yang pada

pokoknya mengatur bahwa untuk pemberian HP-3 wajib

mempertimbangkan kepentingan kelestarian ekosistem pesisir dan

pulau-pulau kecil, masyarakat adat, dan kepentingan nasional serta hak

lintas damai bagi kapal asing. Bahwa selanjutnya pengelolaan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang

a quo yang meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan,

dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan

sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta proses alamiah secara

berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat

dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dilakukan

secara terintegrasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 Undang-

Undang a quo dengan cara mengintegrasikan kegiatan:

a. antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah;

b. antar-Pemerintah Daerah;

c. antarsektor;

d. antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat;

e. antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan

f. antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.

11. Bahwa demikian pula dalam ketentuan Pasal 60 ayat (1) hururf b

Undang-Undang a quo telah memberikan hak, kewajiban, dan peran

Page 119: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

194 195

134

serta kepada masyarakat untuk memperoleh akses terhadap perairan

yang telah ditetapkan HP-3, termasuk memperoleh manfaat atas

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan beberapa hak-

hak lainnya yang sebenarnya merupakan pengakuan dan perwujudan

terhadap perlindungan kepada masyarakat atas kegiatan pengelolaan

sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Bahwa lebih tegas lagi

pengakuan pemerintah atas penghormatan dan perlindungan

masyarakat adat dalam Undang-Undang a quo dapat dilihat pada

ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) yang mengatur bahwa:

(1) Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak

masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara

turun-temurun.

(2) Pengakuan hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan

kearifan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan

dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang

berkelanjutan.

12. Bahwa selain itu, masyarakat setempat baik masyarakat adat, dan

masyarakat tradisional mempunyai kesempatan yang sama dalam

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur

dalam ketentuan Pasal 62 Undang-Undang a quo.

13. Bahkan dalam Ketentuan Pasal 63 Undang-Undang a quo mengatur

mengenai kewajiban pemerintah baik pusat maupun daerah untuk

memberdayakan masyarakat dan wajib mendorong kegiatan usaha

masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang pengelolaan sumber

daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang berdaya guna dan berhasil

guna, serta mewujudkan, menumbuhkan, dan meningkatkan kesadaran

dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan

pengelolaan, kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan

Pemerintah/Pemerintah Daerah, pengembangan dan penerapan

kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup, pengembangan dan

penerapan upaya preventif dan proaktif untuk mencegah penurunan

daya dukung dan daya tampung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,

pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan,

135

penyediaan dan penyebarluasan informasi lingkungan, serta pemberian

penghargaan kepada orang yang berjasa di bidang pengelolaan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil.

14. Bahwa berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, DPR berpandangan

bahwa ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18, Pasal 14

ayat (1), Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23

ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), serta Pasal 60 ayat (1) huruf b

UU 27/2007 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3),

Pasal 18B ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1),

Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2)

dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2), serta Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan

ayat (3) UUD 1945

Dengan demikian DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim

Mahkamah Konstitusi yang mulya dapat memberikan amar putusan sebagai

berikut:

1. Menyatakan para Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal

standing), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat

diterima (niet ontvankelijk verklaard);

2. Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-

tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;

3. Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;

4. Menyatakan Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18, Pasal 14 ayat (1),

Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), ayat

(4), ayat (5), dan ayat (6), serta Pasal 60 ayat (1) huruf b UU Nomor 27

Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2),

Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan

ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28I ayat

(2), serta Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945;

5. Menyatakan Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18, Pasal 14 ayat (1),

Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), ayat

(4), ayat (5), dan ayat (6), serta Pasal 60 ayat (1) huruf b UU Wilayah Pesisir

tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.

Page 120: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

196 197

136

Apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, kami

mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.5] Menimbang bahwa Pemerintah menyampaikan kesimpulan tertulis yang

diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Juni 2010, yang pada

pokoknya tetap pada pendiriannya;

[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala

sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara

Persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan

Putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah

mengenai pengujian materiil Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18, Pasal 14 ayat

(1), Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), ayat (4), ayat

(5), dan ayat (6), Pasal 60 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4739, selanjutnya disebut UU 27/2007) terhadap Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan

terlebih dahulu hal-hal berikut:

a. kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

permohonan a quo;

b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang

disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003

137

Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316,

selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional

Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

[3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian

Undang-Undang in casu UU 27/2007 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah

berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.

Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta

Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu

Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak

dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-

Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang

mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUUIII/

2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20

September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal

51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh

UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

Page 121: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

198 199

138

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat

spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran

yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud

dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak

akan atau tidak lagi terjadi.

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada

paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan

mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan

a quo sebagai berikut:

Bahwa para Pemohon terdiri dari berbagai organisasi non pemerintah

(badan privat) maupun perorangan (individu) yang dikenal telah memperjuangkan

hak asasi manusia, khususnya dalam sektor kelautan, masyarakat pesisir, dan

ketimpangan akses agraria serta hak-hak masyarakat adat di Indonesia di mana

hal tersebut tercermin dalam AD/ART dan aktivitas sehari-hari para Pemohon;

Bahwa para Pemohon menganggap sebagai pihak yang memiliki hubungan

sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional dengan berlakunya

Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji karena UU 27/2007 khususnya Bab

V (Pemanfaatan) Pasal 16 sampai dengan 21 yang di dalamnya memuat soal Hak

Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan

(3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 28C UUD 1945. Menurut para

Pemohon keberadaan UU 27/2007 hanya memberikan peluang dan hak-hak

istimewa kepada para investor kaya dan mematikan hak-hak konstitusional para

Pemohon yang dalam hal ini berbicara untuk dan atas nama rakyat kecil yang

semakin termarjinalkan dengan diberlakukannya pasal-pasal yang tersebut di atas;

Bahwa dilihat dari fakta hukum di beberapa daerah kepulauan di Indonesia

telah terjadi privatisasi pulau-pulau dan pesisir sehingga sangat berpotensi

menggerus keberadaan nelayan-nelayan lokal serta budaya kebaharian nelayan.

Para Pemohon berpendapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai

pihak dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945

sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.

139

[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan dalil para Pemohon tersebut di atas

dikaitkan dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK, serta yurisprudensi Mahkamah

sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.6], Mahkamah menilai bahwa kerugian

konstitusional para Pemohon belumlah bersifat aktual, melainkan potensial.

Namun demikian, sekalipun kerugian konstitusional para Pemohon tersebut belum

bersifat aktual, Mahkamah berpendapat bahwa pasal-pasal a quo berpotensi

merugikan hak konstitusional para Pemohon;

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa

para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan

permohonan pengujian pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo.

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa,

mengadili, dan memutus permohonan a quo, serta para Pemohon memiliki

kedudukan hukum (legal standing), maka Mahkamah selanjutnya akan

mempertimbangkan pokok permohonan;

Pokok Permohonan

1. Para Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18, Pasal 16

ayat (1), Pasal 23 ayat (2) dan ayat (4) UU 27/2007 bertentangan dengan Pasal

28D ayat (1) UUD 1945 karena terdapat potensi tumpang tindih Hak

Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) dengan pemberian hak atau perijinan

oleh instansi/sektor lain. Tumpang-tindih objek tersebut di antaranya adalah: (1)

antara HP-3 dengan perijinan bidang kehutanan yaitu tentang pemanfaatan

hutan mangrove, fauna/flora yang terdapat di kawasan perairan pantai, dan

penggunaan jasa lingkungan di kawasan hutan mangrove tersebut; (2) antara

HP-3 dengan perijinan bidang pertambangan yaitu pemanfaatan pasir sebagai

sumber daya di kawasan pantai dan mineral dalam laut; (3) antara HP-3

dengan perijinan bidang pariwisata yaitu pengembangan wisata pantai;

Bahwa potensi tumpang tindih HP-3 dengan pemberian hak atau perijinan oleh

instansi/sektor lain yang secara nyata bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)

UUD 1945, dalam hal ini Pasal 1 angka 4, angka 7, dan angka 18, Pasal 16

ayat (1), Pasal 23 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang a quo justru melakukan

pengaturan terhadap hal-hal yang telah diatur dalam peraturan perundang-

undangan lainnya, sehingga apabila pasal-pasal tersebut diberlakukan akan

Page 122: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

200 201

140

sangat berpotensi tumpang tindih yang pada akhirnya justru mereduksi bahkan

menghilangkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi warga

negara, masyarakat, utamanya nelayan dan warga pesisir;

2. Para Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 18 UU 27/2007 bertentangan

dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena konsep HP-3 tidak

sejalan dengan pengertian Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dalam

diskursus tentang hubungan hukum antara orang (termasuk orang perorangan

dan badan hukum) dengan objek dikenal konsep tentang hak kebendaan

(zakelijk recht) dan hak perorangan (persoonlijk recht);

Sesuai dengan konsep Penguasaan Negara di dalam pertimbangan hukum

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang

Minyak dan Gas, Undang-Undang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang

Sumber Daya Alam, Mahkamah menafsirkan “hak menguasai negara/HMN”

bukan dalam makna negara memiliki [sic.], tetapi dalam pengertian bahwa

negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad),

melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad),

dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad) yang semuanya ditujukan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Fungsi pengaturan/bestuurdaad

meliputi pemberian dan pencabutan ijin dan konsesi. Oleh karena HP-3 lebih

cenderung kepada hak perorangan, negara lebih tepat memberikan konsep

HP-3 sebagai ijin. Berdasarkan hal tersebut di atas telah terbukti bahwa Pasal

1 ayat (18) bertentangan dengan prinsip dikuasai oleh negara dalam arti

bestuurdaad.

3. Para Pemohon mendalilkan Pasal 14 ayat (1) UU 27/2007 bertentangan

dengan Pasal 28A dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 karena keberpihakan

kepada pengusaha terlihat menonjol pada pengaturan pemanfaatan perairan

pesisir melalui hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3), yang mana hanya

melibatkan Pemerintah Daerah dan dunia usaha. Keistimewaan ini bukan

hanya terkait pada usulan penyusunan rencana strategis, melainkan juga pada

luas wilayah pemanfaatan yang menyebutkan bahwa, HP-3 meliputi

pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan

dasar laut [Pasal 16 ayat (2) UU 27/2007]. Selanjutnya, HP-3 diberikan untuk

luasan dan waktu tertentu yaitu 20 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun

(Pasal 19 UU 27/2007). Pemberiannya wajib mempertimbangkan kepentingan

141

kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat adat, dan

kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing (Pasal 17 UU

27/2007);

Bahwa Pasal 18 UU 27/2007 memang memberikan kesempatan kepada

masyarakat adat untuk memperoleh HP-3, namun posisinya terkesan hanya

sebagai “pelengkap” saja. Pengusaha, baik berupa orang perseorangan WNI

mau pun badan hukum Indonesia tetap yang lebih diutamakan dalam

pemberian HP-3. Lagi pula, proses pengurusan dan syarat-syarat yang

diwajibkan dalam pemberian HP-3 belum tentu mudah bagi masyarakat adat

untuk memenuhinya;

4. Para Pemohon mendalilkan Pasal 14 ayat (1) UU 27/2007 bertentangan

dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena pasal a quo telah memotong hak

masyarakat untuk bersama-sama dalam kedudukannya sebagai subjek hukum

lainnya bersama-sama mempunyai hak mengusulkan penyusunan Rencana

Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K), Rencana Zonasi

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K), Rencana Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K) serta Rencana Aksi

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K);

Bahwa penutupan akses masyarakat untuk ikut serta dalam penyusunan

rencana tersebut di atas adalah salah satu bentuk perbuatan perbedaan

perlakuan, sehingga berakibat hak konstitusional warga negara (terutama

nelayan kecil) sangat dirugikan atas ketentuan pasal tersebut;

Bahwa usulan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, RPWP-3-K, RAPWP-3-K

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai Pasal 14 UU 27/2007 memang

sangat berpengaruh kepada kehidupan nelayan setempat (user). Pelibatan

masyarakat berdasarkan norma-norma, standar, dan pedoman, yang hanya

diperoleh dalam ruang-ruang melalui konsultasi publik dan atau masyarakat

adat, baik formal atau musyawarah adat, baik formal maupun non formal

adalah upaya melemahkan perlawanan nelayan maupun masyarakat adat

wilayah pesisir;

Bahwa tidak tercantumnya masyarakat atau nelayan dalam usulan rencana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU 27/2007 menimbulkan

konsekuensi luar biasa terhadap keberadaan nelayan seluruh Indonesia. Di

mana usulan atas wilayah pesisir yang meliputi wilayah laut yang berbatasan

Page 123: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

202 203

142

dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari

garis pantai yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau adalah kawasan

yang selama ini menjadi sumber penghidupan nelayan;

Bahwa usulan rencana pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana diatur dalam

Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU 27/2007 adalah upaya strategi awal

dalam penataan wilayah pesisir karena di dalamnya terdapat kegiatan

perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi

manusia dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil;

Bahwa pembatasan akses nelayan baik yang berkaitan dengan hak nelayan

untuk ikut serta dalam usulan rencana strategis pengelolaan wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil adalah wujud pelanggaran terhadap asas-asas negara

hukum. Asas-asas negara hukum di antaranya pertama, asas pengakuan dan

perlindungan martabat manusia, kebebasan individu, kelompok, masyarakat

etnis dan masyarakat nasional. Kedua, asas kepastian hukum yaitu warga

negara bebas dari tindakan pemerintah dan pejabat yang tidak dapat diprediksi

dan sewenang-wenang;

5. Para Pemohon mendalilkan Pasal 14 ayat (1) UU 27/2007 bertentangan

dengan Pasal 28A UUD 1945 karena tidak diikutsertakannya masyarakat

dalam melakukan usulan penyusunan rencana strategis tersebut, jelas

merupakan suatu upaya marginalisasi masyarakat yang secara nyata

bergantung dan memenuhi kebutuhan hidup di daerah atau wilayah yang

menjadi objek HP-3;

Bahwa kerugian dan potensi kerugian yang sudah nyata terjadi seperti

penguasaan pulau dan Taman Nasional oleh sektor swasta, termasuk asing

sehingga kebijakan tersebut mengancam keberadaan kelangsungan hidup

nelayan tradisional;

6. Para Pemohon mendalilkan Pasal 14 ayat (1) UU 27/2007 bertentangan

dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena proses

usulan yang hanya melibatkan pemerintah dan dunia usaha ini telah menutup

akses keterlibatan masyarakat, khususnya masyarakat lokal;

7. Para Pemohon mendalilkan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UU 27/2007

bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 karena untuk

memanfaatkan perairan pesisir harus mempunyai sertifikat HP-3;

143

8. Para Pemohon mendalilkan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UU 27/2007

bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945 karena keberadaan HP-3

berpotensi untuk menghilangkan hak hidup dan hak untuk mempertahankan

hidup/kehidupan masyarakat adat, lokal dan tradisional yang tinggal di wilayah

pesisir;

9. Para Pemohon mendalilkan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UU 27/2007

bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 karena adanya HP-3

memunculkan praktik privatisasi perairan dan pesisir, sehingga perekonomian

di wilayah tersebut tidak mungkin disusun sebagai usaha bersama berdasarkan

atas asas kekeluargaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat (1) UUD

1945;

10. Bahwa Hak Pengusahaan Perairan Pesisir berpotensi akan mengusir secara

hukum, masyarakat adat dan masyarakat tradisional yang ruang hidupnya ada

di ruang pesisir. Sementara itu konsep Penguasaan Negara berdasarkan

pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Undang-Undang

Minyak dan Gas, Undang-Undang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang

Sumber Daya Alam, menafsirkan mengenai “hak menguasai negara/HMN”

bukan dalam makna negara memiliki [sic.], tetapi dalam pengertian bahwa

negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad),

melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan

(beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad) yang

semuanya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Fungsi

pengaturan (bestuursdaad) meliputi pemberian dan pencabutan ijin dan

konsesi;

Bahwa dikarenakan HP-3 lebih berpihak kepada pengusaha, maka tujuan

penguasaan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat tidak

akan tercapai;

Bahwa Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang dilakukan oleh

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/kota)

mengubah rezim pengelolaan laut di Indonesia, perubahan dari open acces

dan common property right menjadi property right ini berarti bahwa kawasan

pesisir dan pulau-pulau kecil lebih eksklusif. Menurut Andre Groz (2005), dalam

bukunya Ecology as Politics mengkritik pemberian hak eksklusif pada pemilik

modal, karena pemberian hak tersebut menimbulkan ketidakadilan sehingga

Page 124: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

204 205

144

memicu tingginya angka kemiskinan pada masyarakat pesisir khususnya

nelayan tradisional;

11. Para Pemohon mendalilkan Pasal 20 ayat (1) UU 27/2007 bertentangan

dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 karena mekanisme HP-3 mendorong

komersialisasi perairan pesisir karena konsep HP-3 dalam Undang-Undang ini

merupakan hak kebendaan yang mengakibatkan HP-3 dapat beralih, dialihkan

bahkan dapat dijadikan jaminan utang dan dibebani hak tanggungan;

Bahwa dengan adanya HP-3, yang dapat dialihkan dan diagunkan akan

berakibat hilangnya kedaulatan efektif negara untuk mengelola wilayah

perairan dan pesisir untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;

12. Para Pemohon mendalilkan Pasal 23 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU 27/2007

bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28H

ayat (2) UUD 1945 karena keberpihakan kepada pengusaha. Pemberian HP-3

kepada pengusaha tidak terhalangi walaupun masyarakat telah menggunakan

kawasan tersebut untuk kepentingan kehidupan mereka. Pemerintah atau

Pemerintah Daerah tetap akan mengeluarkan HP-3 setelah melakukan

musyawarah dengan masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu bupati/walikota

(wajib) memfasilitasi musyawarah dimaksud. Ketentuan ini rancu karena dalam

Pasal 23 ayat (5) UU 27/2007 mengesankan bahwa Pemerintah atau

Pemerintah Daerah yang melakukan musyawarah dengan masyarakat yang

bersangkutan, tetapi dalam Pasal 23 ayat (6) UU 27/2007 disebutkan bahwa

Bupati/Walikota-lah yang memfasilitasi musyawarah tersebut;

13. Para Pemohon mendalilkan Pasal 60 ayat (1) huruf b UU 27/2007 bertentangan

dengan Pasal 28A UUD 1945 karena kata “kompensasi” ini lebih mengarah

pada strategi pengusiran masyarakat lokal agar wilayahnya bisa dimanfaatkan

untuk HP-3;

14. Para Pemohon mendalilkan Pasal 60 ayat (1) huruf b UU 27/2007 bertentangan

dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena konstitusi Republik Indonesia

yang sudah tegas menyatakan perlindungannya dan jaminan pemenuhan

kehidupan rakyat, justru dilanggar oleh UU 27/2007 karena telah mengabaikan

kepentingan rakyat kecil. Masyarakat yang menggantungkan kehidupan

ekonominya akan berpotensi diusir dengan dalih bahwa masyarakat telah

diberikan kompensasi;

145

[3.10] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya para Pemohon

disamping mengajukan bukti tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan

Bukti P-23, juga mengajukan 5 (lima) orang Ahli yakni Ronald Z. Titahelu,

Nurhasan Ismail, Supriadi Adhuri, Henry Thomas Simarmata, dan I Nyoman

Nurjaya serta 3 (tiga) orang saksi yakni Masnun, Karyono, dan Bona Beding

yang selengkapnya telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini dan

telah didengar keterangannya pada persidangan tanggal 27 April 2010 dan tanggal

8 Juni 2010, yang pada pokoknya sebagai berikut;

1. Ahli Ronald Z. Titahelu

! Ada dua hal mengenai eksistensi masyarakat hukum adat di dalam UUD

1945, Pertama, terdapat di dalam Pasal 18B UUD 1945, yang memberikan

pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, walaupun ditambahkan di

dalamnya sepanjang masih ada dan sesuai dengan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Kedua, disebutkan di dalam Pasal 28I ayat (3) dari

UUD 1945 yang menyebutkan tentang perlindungan.

! Perencanaan Pemerintah, bahwa wewenang itu not base and the giving

found the state, but base by nature of the traditional society it self.

Sehingga secara alami sudah melekat sebagai hak mereka dan karenanya

bagian Pasal 18B UUD 1945 tepat. Pemerintah mengakui (to recognize)

hak mereka. Pengakuan hukum lewat peraturan perundangan baru berupa

penyebutan kolektif, akan tetapi secara substansial tidak nampak. Bahkan

berbagai peraturan perundangan masih melihat masyarakat adat dari aspek

pertumbuhan ekonomi, sehingga cenderung mengabaikan hak masyarakat

adat.

2. Ahli Nurhasan Ismail

! Tiga hal berkaitan dengan pengujian UU 27/2007 terhadap substansi dan

semangat UUD 1945 yakni Pertama, bahwa pengaturan tentang objek HP-3

mengandung disharmoni, inkonsistensi, baik yang bersifat internal maupun

yang bersifat horizontal dengan ketentuan di dalam Pasal 28H ayat (1) UUD

1945. Wujud disharmoni dan inkonsistensinya adalah bahwa pengaturan

objek HP-3 tidak memberikan jaminan kepastian hukum seperti yang

dinyatakan atau ditentukan di dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Secara

internal, ada tiga benda berbeda yang dapat menjadi objek dari HP-3,

Page 125: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

206 207

146

karena berbeda, tentu prinsip spesialitas yang selalu harus ada di dalam

pelekatan hak pada satu objek benda tertentu tidak akan terpenuhi. Di

dalam UU 27/2007, contohnya; objek yang dapat dilekati dengan hak

pengusahaan perairan pesisir adalah perairan pesisirnya sendiri. Di dalam

UU 27/2007, dinyatakan perairan pesisir adalah permukaan air termasuk

kolomnya sampai pada batas tanah di laut. pertama yang menjadi benda

yang dapat menjadi objek yang dapat dilekati HP-3.

! Di dalam UU 27/2007, terdapat disharmoni. Pasal 61 UU 27/2007 jelas

memberikan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap

masyarakat hukum adat. Sebagai suatu wujud yang paling baik ada pada

Pasal 61 UU 27/2007, tetapi di dalam Pasal 18 UU 27/2007, masyarakat

hukum adat ditempatkan sebagai salah satu subjek dari HP-3. Artinya,

masyarakat hukum adat kedudukannya sama dengan badan-badan hukum

sama dengan orang perseorangan. Artinya, pada Pasal 61 UU 27/2007

Pemerintah menghormati dan melindungi masyarakat hukum adat, tetapi

Pasal 18 UU 27/2007 justru menempatkan masyarakat hukum adat bukan

dalam konteks sebagai badan pemerintahan, tetapi ditempatkan sejajar

dengan perorangan, dengan badan-badan hukum yang lain. Bahkan perlu

dicermati lebih lanjut, Pasal 21 ayat (4) huruf b dari UU 27/2007, justru

keberadaan masyarakat hukum adat disubordinasikan kepada pemegang

HP-3 karena dinyatakan pemegang HP-3 harus membina, harus

memberdayakan masyarakat hukum adat. Satu kondisi pengaturan yang

sangat bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

3. Ahli Supriadi Adhuri

! Pasal 16 ayat (1) UU 27/2007 bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2)

UUD 1945 karena secara implisit pasal ini mengangap praktik-praktik hak

ulayat laut dan pengelolaan pesisir laut tradisional yang objeknya sama

dengan Pasal 16 ayat (2) UU 27/2007 sebagai tidak ada dan digantikan

oleh HP-3. Pihak pembuat UU 27/2007 mungkin akan berargumen bahwa

pasal ini hanya menihilkan tradisi sementara, sampai masyarakat adat

mengajukan permohonan HP-3. Hal ini tidak logis karena tidak ada syarat

yang diajukan konstitusi untuk pengakuan terhadap hak adat dan tradisinya.

Jadi persyaratan HP-3 dengan demikian bertentangan dengan konstitusi.

147

! Menyimak HP-3 Pasal 18 huruf a, huruf b, dan huruf c UU 27/2007, tidak

terlihat adanya perlakuan khusus terhadap nelayan dalam berhadapan

dengan orang-perorangan warga negara Indonesia, badan hukum yang

didirikan berdasarkan hukum Indonesia, atau masyarakat adat. Hampir bisa

dipastikan tanpa perlakuan yang khusus, nelayan tidak akan bisa

berkompetisi dengan pihak-pihak yang lain yang mungkin mengajukan HP-3

seperti disebutkan Pasal 18 huruf a, huruf b, dan huruf c UU 27/2007.

Dengan tatanan hidup dan keterbatasan sumber daya yang telah

teridentifikasi di atas, masyarakat adat hampir tidak mungkin dapat

memenuhi syarat-syarat pengajuan HP-3 seperti tertuang dalam Pasal 21

ayat (1) sampai ayat (5) UU 27/2007. Sehingga HP-3 bertentangan dengan

Konstitusi dan cenderung akan memarginalkan masyarakat nelayan pada

umumnya.

4. Ahli Henry Thomas Simarmata

! UU 27/2007 juga menciptakan kategori hukum baru, dalam hal ini membuka

komersialisasi tanah, termasuk juga spekulasi tanah. Untuk Indonesia,

negeri dengan garis pantai terpanjang di dunia dan juga dengan pulau pulau

kecil, komersialisasi jenis akan membuka komersialisasi, korporasi dengan

skala yang luas. Dapat dicermati bahwa HP-3 menerapkan pola single

ownership atau closed ownership, artinya sekali ditetapkan HP-3 menuntut

peran serta ekonomi dan ekologi dari pihak lain. Hal ini bukan saja

membahayakan ketahanan negara, secara ekologi bahkan secara ekonomi.

Secara khusus ilmu-ilmu lain membantu mengidentifikasi mengapa closed

ownership ini merugikan. Yang juga penting adalah bahwa komersialisasi

sumber daya akan menjadikan pola pengelolaan, menjadi profit making atau

bahkan land grabbing atau penyerobotan tanah.

! Masalah pertama di tingkat negara adanya pelemahan atau pengaburan, di

wilayah-wilayah yang jauh dari konsentrik negara, apalagi dengan karakter

kepulauan. Kewajiban negara bisa menjadi sangat kabur dengan adanya

HP-3, sekaligus bertentangan dengan pondasi dan tanggung jawab negara

sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 33, Pasal 27, Pasal 28, Pasal

28A sampai 28H dan Pasal 18B UUD 1945. Masalah yang kedua, di tingkat

struktural, ketentuan ini serba hipotetis dengan kemungkinan spekulasi

ekonomi yang amat besar, sehingga sangat tergantung pada kondisi,

Page 126: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

208 209

148

bahkan juga kapital dan kekuatan. Masalah yang lainnya adanya

pelemahan hak gugat dan hak akses masyarakat, kaitannya dengan closed

ownership. Sekali ditetapkan, peran serta masyarakat yang tidak mendapat

lisensi menjadi sangat lemah dan bisa jadi mereka justru yang paling lemah,

dalam kondisi sosial, budaya dan ekonomi.

5. Ahli I Nyoman Nurjaya

! Implikasi yang dapat ditimbulkan kalau orientasi pembangunan ditujukan

semata-mata untuk mengejar target pembangunan yaitu: Yang pertama,

untuk mengejar target, eksploitasi use oriented bukan resource, lebih pada

pengelolaan. Yang kedua, mau tidak mau dominasi atau keberpihakkan

pada pelaku usaha, high capital oriented, dominasi pemodal besar. Yang

ketiga, dalam manajemen pengelolaan ada nuansa sektoral seperti yang

dianut di Indonesia. Ada implikasi-implikasi hukum yang disebut dengan

conflict of norms, ada konflik norma antara Undang-Undang yang sederajat,

yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, horizontal conflict.

Secara vertikal, peraturan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah (lex

superior derogat leggy inferiori) dan seterusnya. Yang kemudian ada limitasi

ruang akses informasi, transparansi, partisipasi publik, akuntabilitas publik,

juga menjadi bagian dari implikasi. Ada kecenderungan yang disebut

sebagai political of ignores, politik pengabaian dalam hubungan dengan

pemanfaatan sumber daya alam. Pengabaian terhadap hak-hak masyarakat

adat atas akses dan pemanfaatan sumber daya alam.

! Ada dua hal penting memang di dalam Bab V dan di dalam Bab XI yang

disoroti oleh Pemohon, yang pertama, kaitan dengan pemberian hak

pengusahaan perairan pesisir, HP-3, Ada pengalaman di masa lalu, tentang

hak pengusahaan hutan, apakah harus menggunakan Hak pengusahaan

perairan pesisir atau berupa Ijin usaha. Kemudian HP-3 dapat dialihkan,

ditukar, dihibahkan, disertakan dalam modal perusahaan, dan diagunkan

sebagai objek hak tanggungan, apakah termasuk dalam ranah publik atau

ranah privat? Masalah yang lain seperti hak pengusahaan hutan tanpa

diawali dengan prasyarat Amdal dengan berdasarkan prinsip keberhati-

hatian, karena harus dibedakan antara usaha dan kegiatan. Kalau usaha,

jelas berorientasi provit oriented, sedangkan Pemerintah melakukan

kegiatan pembangunan, program-program pembangunan adalah kegiatan

149

untuk infrastruktur. Oleh karena itu untuk usaha, seharusnya adalah ijin

bukan hak;

6. Saksi Masnun

! PT. KLI mulai beroperasi tahun 1990 dan dampaknya mulai dirasakan mulai

tahun 1997 yaitu terjadi abrasi yang mengakibatkan tambak-tambak banyak

yang hilang dan rusak, yang hilang menurut data yang dikumpulkan dari

masyarakat seluas 152,48 hektar, sedangkan tambak yang rusak ringan,

artinya rusak dan bisa diperbaiki, tetapi kalau ditabur benih, kadang-kadang

jebol karena kurang besar, seluas 55 hektar setengah. Sedangkan tambak

yang rusak berat bisa ditanami ikan tetapi menggunakan jaring, atau jala

seluas 37 hektar. Adanya pencemaran limbah yaitu limbah padat, limbah

cair maupun limbah dari udara. Limbah padat serpihan-serpihan kayu-kayu,

limbah cairnya berupa zat kimia sangat berbahaya, namanya runti

digunakan agar kayu tidak mudah rusak. Sedangkan pencemaran udara

berupa serbuk gergaji, sehingga sangat mengganggu masyarakat.

7. Saksi Karyono

! Pada tahun 1995 dan tahun 2007 PT. Purna Taru Murni datang ke daerah

tempat tinggal saksi Desa Tanjung Pakis. Secara serempak masyarakat

menolak keberadaan perusahaan yang ingin mengeruk pasir dari Desa

Tanjung Pakis. Akibat adanya pengerukan pasir tersebut nelayan menjadi

berkurang penghasilannya karena tempat mereka memanen rusak yang

disebabkan lingkungan di dasar laut rusak dan tidak bisa dipanen lagi.

Bahkan perumahan nelayan yang ada di pesisir pantai Dusun Bumin dan

tiga pelelangan ikan habis terbawa oleh laut, ditambah lagi dengan tambak-

tambak nelayan yang sampai saat ini di sekitar Karawang dan Bekasi yang

berjumlah ratusan hektar juga rusak.

8. Saksi Bona Beding

! Bagi orang Lamalera, laut selalu identik dengan pola pikir dan kebudayaan.

Akan tetapi bukan soal beralih dari penangkapan yang tradisional ke cara

penangkapan modern tetapi justru mempertahankan tradisi, oleh karena

tradisi tersebut mencakup segala macam aspek; pendidikan, moral, budi

pekerti, tata nilai bahkan religiusitas. Bukan semata-mata aspek ekonomi

karena semuanya harus dimulai dengan ritual adat, dari membuat perahu,

Page 127: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

210 211

150

hingga mendapat ikan, semuanya dilakukan dalam ritual dan tradisi, apalagi

setelah masuknya gereja Katolik, semua melebur di dalam inkulturasi gereja

Katolik. Tradisi ini berlangsung sejak belasan abad yang lalu. Sedikit

gambaran mengenai kelekatan adat istiadat di laut, terutama berkaitan

dengan penangkapan ikan paus, yakni ritual mengajarkan bahwa kalau

melakukan sesuatu harus jujur, harus bijaksana.

[3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon a quo,

Pemerintah menyampaikan keterangan lisan dan tertulis yang selengkapnya telah

tercantum dalam bagian Duduk Perkara putusan ini, pada pokoknya menyatakan

sebagai berikut:

1. Para Pemohon telah keliru dalam memahami pengertian berwawasan global

sebagaimana ditentukan dalam pertimbangan huruf b Undang-Undang a quo

yang menyatakan: "Bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki

keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi

pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga

kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan

berwawasan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi

masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional";

Menurut Pemerintah, frasa "berwawasan global" dimaksudkan bahwa

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia mempunyai

keterkaitan dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di negara-negara

lain, karena jika pemanfaatan pesisir di Indonesia tidak memperhatikan

aspek kelestarian lingkungan, maka akan berpengaruh pada kehidupan

global, begitupun sebaliknya;

2. Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang

menyatakan bahwa Undang-Undang a quo dapat menciptakan privatisasi

dalam ranah yang seharusnya dikuasai oleh negara. Sesuai dengan amanat

konstitusi, pada dasarnya pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran

masyarakat. Sebagai tindak lanjutnya adalah negara dalam hal ini Pemerintah

(pusat/daerah) menguasai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui

pengalokasian ruang dalam 4 (empat) kawasan yaitu Kawasan Pemanfaatan

Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan Alur

151

Laut. Sedangkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan terbatas

pada Kawasan Pemanfaatan Umum (kecuali pantai umum dan kawasan

pelabuhan) dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu (vide Pasal 10 dan

Pasal 22 Undang-Undang a quo);

3. Bahwa anggapan para Pemohon yang menyatakan Undang-Undang a quo

tidak memberikan perlindungan kelompok rentan di pedesaan pesisir, menurut

Pemerintah anggapan para Pemohon tersebut tidak berdasar dan hanya

dilandasi adanya asumsi-asumsi semata, karena pada kenyataannya

Undang-Undang a quo justru memberikan perlindungan kepada masyarakat

pesisir (kelompok rentan pedesaan pesisir menurut hemat Pemerintah tidak

dikenal/tidak ada, dan bukan ranah pengaturan Undang-Undang a quo),

antara lain dalam Undang-Undang a quo diatur tentang ketentuan

pemberdayaan masyarakat, peran serta masyarakat dalam pemanfaatan

wilayah pesisir (vide Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 Undang-Undang a

quo);

4. Pemerintah tidak sepakat dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan

bahwa Undang-Undang a quo dapat menimbulkan persoalan kemiskinan dan

dapat membahayakan kedaulatan negara di pulau-pulau kecil. Menurut

Pemerintah anggapan para Pemohon tersebut berlebihan dan mengada-ada,

karena persoalan kemiskinan tidak hanya terkait dan tidak hanya terjadi di

wilayah pesisir maupun di pulau-pulau kecil saja (Penjelasan Umum angka 3

huruf b Undang-Undang a quo);

Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang

menyatakan Undang-Undang a quo tidak sinkron dengan peraturan

perundang-undangan Iainnya, menurut Pemerintah Undang-Undang a quo

bersifat saling melengkapi dengan Undang-Undang sektoral lainnya,

misalnya yang berkaitan dengan pertambangan umum, minyak dan gas

bumi, penataan ruang, perikanan, kehutanan, pengelolaan lingkungan

hidup, pelayaran, konservasi sumber daya alam, Undang-Undang Pokok

Agraria, perairan, pariwisata, perdagangan, sumber daya air, sistem

perencanaan dan pembangunan nasional, arbitrase dan alternatif

penyelesaian sengketa. Lebih lanjut menurut Pemerintah, jikalaupun

anggapan para Pemohon itu benar adanya maka ketidaksinkronan antara

Undang-Undang a quo dengan peraturan perundang-undangan Iainnya

Page 128: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

212 213

152

bukan berarti Undang-Undang a quo menjadi inkonstitusional atau dengan

perkataan lain hal demikian bukanlah masalah konstitusionalitas

keberlakuan Undang-Undang a quo;

[3.12] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Pemerintah

mengajukan 3 (tiga) orang Ahli yakni Ir. Abdon Nababan, Ir. Dietriech G.

Bengen, dan Budi Wiryawan, serta seorang saksi bernama Much Imran Amin

yang telah didengar keterangannya pada persidangan tanggal 8 Juni 2010 dan

selengkapnya telah tercantum pada bagian Duduk Perkara putusan ini pada

pokoknya sebagai berikut:

1. Ahli Ir. Abdon Nababan

! Masalah utama dalam pengelolaan pesisir laut dan pulau-pulau kecil adalah

tragedy of open access. Tragedi di pesisir dan di lautan adalah karena open

acces, yang dibiarkan menjadi rezim yang mengatur laut. Inilah yang

sesungguhnya ingin di-address oleh UU 27/2007. Salah satu caranya

adalah mengakui hak-hak masyarakat adat, tidak hanya soal pendekatan

hak di dalam pengelolaan wilayah, tetapi juga untuk memastikan bahwa

Pemerintah punya kaki di bawah, karena kapal-kapal asing dapat masuk

tanpa ada yang mengawasi seperti masa lalu.

2. Ahli Ir. Dietriech G. Bengen,

! Masalah yang muncul adalah adanya sifat common property dan rezim

open access dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga tidak

memungkinkan untuk mengkapling wilayah pesisir atau laut yang ada.

Masalah yang lain adalah kebijakan yang ada masih bersifat sektoral,

kurangnya keperpaduan antara para pemangku kepentingan menimbulkan

banyak sekali ketidakefektifan dalam upaya pemanfaatan wilayah pesisir.

Untuk mereduksi masalah-masalah di atas dan mengoptimalkan sumber

daya yang ada, perlu adanya suatu pengelolaan. Untuk melakukan

pengelolaan ini UU 27/2007 menyebutkan bahwa pengelolaan wilayah

pesisir pulau-pulau kecil bertujuan untuk melindungi, mengonversi,

merehabilitasi memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil

secara berkelanjutan. UU 27/2007 mencoba mengharmonisasi, berbagai

pemanfaatan yang ada. Kemudian menguatkan peran serta masyarakat dan

lembaga Pemerintah dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil.

153

3. Ahli Budi Wiryawan

! Implikasi negatif akan muncul apabila daerah berlomba-lomba

mengeksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan kaidah pembangunan

berkelanjutan. Oleh karena itu perlu adanya Undang-Undang yang

mengatur tentang pengolaan wilayah pesisir Republik Indonesia untuk

mengelola sumber daya alam dan jasa lingkungan di wilayah pesisir.

Secara kelembagaan, terbentuknya Departemen Eksplorasi Laut

memberikan tonggak sejarah bagi pengelolaan sumber daya pesisir.

! Kata kunci dari kebijakan review terhadap UU 27/2007 yaitu pengelolaan,

bagaimana mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan

dilakukan beradasar pada program berkelanjutan, konsistensi, keterpaduan,

kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, prasta masyarakat, keterbukaan,

desentralisasi, akuntabilitas dan keadilan.

4. Saksi Much Imran Amin

! Selama ini orang melakukan eksploitasi pesisir dan pulau-pulau kecil

dengan seenaknya, sebelum UU 27/2007 lahir, tanpa ada tanggung jawab

terhadap lingkungan, apalagi dengan masyarakat lokal. Contoh kasus

kegiatan eksploitasi terumbu karang untuk tujuan perdagangan jarang sekali

perusahaan diberi tanggung jawab setelah mereka mengambil karang di

suatu wilayah, untuk melakukan rehabilitasi dan tanggung jawab sosial

terhadap masyarakat lokal. Karena tidak ada aturan buat pengusaha untuk

melakukan hal tersebut, agar para pengusaha tidak seenaknya melakukan

dan membuka atau melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam

pesisir, sehingga wilayah pesisir yang ada dapat dipertanggungjawabkan.

Esensi HP-3 adalah sebagai alat agar masyarakat dapat memanfaatkan

mekanisme atau alat ini sebagai penyaring, pelindung bagi masyarakat lokal

agar segala sesuatu yang berasal dari pihak luar masyarakat, dengan

peraturan ini masyarakat dapat menolak.

[3.13] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan

Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan tertulis yang selengkapnya telah

tercantum pada bagian Duduk Perkara putusan ini, pada pokoknya sebagai

berikut:

Page 129: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

214 215

154

1. Bahwa para Pemohon telah keliru dalam memahami pengertian berwawasan

global sebagaimana ditentukan dalam pertimbangan huruf b Undang-Undang

a quo yang menyatakan, “Bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki

keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi

pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga

kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan

berwawasan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi

masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional”;

2. Bahwa menurut DPR, frasa “berwawasan global” dimaksudkan bahwa

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia mempunyai

keterkaitan dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di negara-negara lain,

karena jika pemanfaatan pesisir di Indonesia tidak memperhatikan aspek

kelestarian lingkungan, maka akan berpengaruh pada kehidupan global,

begitupun sebaliknya;

3. Bahwa DPR tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang

menyatakan bahwa Undang-Undang a quo dapat menciptakan privatisasi

dalam ranah yang seharusnya dikuasai oleh negara;

4. Bahwa anggapan para Pemohon yang menyatakan Undang-Undang a quo

tidak memberikan perlindungan kelompok rentan di pedesaan pesisir, menurut

DPR, tidak berdasar dan hanya dilandasi adanya asumsi-asumsi semata,

karena pada kenyataannya Undang-Undang a quo justru memberikan

perlindungan kepada masyarakat pesisir, antara lain dalam Undang-Undang

a quo diatur tentang ketentuan pemberdayaan masyarakat, peran serta

masyarakat dalam pemanfaatan wilayah pesisir (vide Pasal 60 sampai dengan

Pasal 63 Undang-Undang a quo);

5. Bahwa DPR tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang

menyatakan bahwa Undang-Undang a quo dapat menimbulkan persoalan

kemiskinan dan dapat membahayakan kedaulatan negara di pulau-pulau kecil.

Menurut DPR, anggapan para Pemohon tersebut berlebihan dan mengada-

ada, karena persoalan kemiskinan tidak hanya terkait dan tidak hanya terjadi di

wilayah pesisir maupun di pulau-pulau kecil saja (vide Penjelasan Umum angka

3 huruf b Undang-Undang a quo);

6. Bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang menyatakan

Pasal 1 angka 4, Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 18, Pasal 16 ayat (1), Pasal

155

23 ayat (2), dan ayat (4) UU 27/2007, terdapat kerancuan atau tumpang tindih

dengan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang kehutanan,

pertambangan, dan pariwisata yang menghilangkan jaminan, perlindungan dan

kepastian hukum bagi warga negara, masyarakat, utamanya nelayan dan

warga pesisir;

7. Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan peran masyarakat lokal

dan masyarakat adat tersingkirkan akibat berlakunya UU 27/2007, DPR

berpandangan bahwa ketentuan UU 27/2007 telah mengakomodir kepentingan

masyarakat adat;

8. Bahwa selain itu terkait dengan pemberian HP-3 sudah diatur dalam ketentuan

Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang a quo yang pada pokoknya mengatur

bahwa untuk pemberian HP-3 wajib mempertimbangkan kepentingan

kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat adat, dan

kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing;

9. Bahwa demikian pula dalam ketentuan Pasal 60 ayat (1) huruf b Undang-

Undang a quo telah memberikan hak, kewajiban, dan peran serta kepada

masyarakat untuk memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan

HP-3, termasuk memperoleh manfaat atas pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil, dan beberapa hak-hak lainnya yang sebenarnya merupakan

pengakuan dan perwujudan terhadap perlindungan kepada masyarakat atas

kegiatan pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil;

10. Bahwa berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, DPR berpandangan bahwa

ketentuan Pasal 1 angka 4, Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 18, Pasal 14 ayat

(1), Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), ayat

(4), ayat (5), dan ayat (6), serta Pasal 60 ayat (1) huruf b UU 27/2007 tidak

bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal

28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2),

Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2), serta

Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945;

[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon dan Pemerintah telah menyerahkan

kesimpulan tertulis yang pada pokoknya masing-masing tetap dengan

pendiriannya;

Page 130: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

216 217

156

Pendapat Mahkamah

[3.15] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama

permohonan para Pemohon, keterangan Pemerintah dan keterangan Dewan

Perwakilan Rakyat, bukti-bukti surat dari para Pemohon (Bukti P-1 sampai dengan

Bukti P-24), keterangan para ahli serta keterangan saksi-saksi, kesimpulan tertulis

dari para Pemohon dan Pemerintah, sebagaimana telah diuraikan di atas,

Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

[3.15.1] Menimbang bahwa masalah utama yang harus dipertimbangkan dan

diputuskan oleh Mahkamah dalam perkara ini adalah mengenai konstitusionalitas

Pasal 1 angka 4, angka 7, angka 18, Pasal 16 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal

18, Pasal 20, Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 23

ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) serta Pasal 60 ayat (1) UU

27/2007 yang didalilkan bertentangan dengan dua belas norma konstitusional

dalam UUD 1945;

[3.15.2] Menimbang bahwa dari uraian dalil-dalil permohonan para Pemohon,

keterangan Pemerintah dan DPR serta fakta-fakta hukum yang terungkap dalam

persidangan, ada dua persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh

Mahkamah, yaitu:

1. Apakah pemberian HP-3 bertentangan prinsip penguasaan negara atas sumber

daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, jaminan konstitusi

terhadap hak hidup dan mempertahankan kehidupan bagi masyarakat pesisir,

prinsip non-diskrimansi serta prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana

didalilkan para Pemohon;

2. Apakah penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, RAPWP-3-K yang

tidak mendudukkan masyarakat sebagai peserta musyawarah melanggar hak-

hak konstitusional para Pemohon sehingga bertentangan dengan konstitusi;

[3.15.3] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah memberikan pertimbangan

hukum dan penilaian terhadap kedua masalah konstitusional tersebut pada

paragraf [3.15.2], Mahkamah terlebih dahulu akan mengemukakan hal-hal sebagai

berikut:

Mahkamah perlu merujuk putusan Mahkamah Nomor 001, 021, 022/PUU-I/2003

bertanggal 15 Desember 2004 yang pada pokoknya mempertimbangkan bahwa

157

jika pengertian kata "dikuasai oleh negara" hanya diartikan sebagai pemilikan

dalam arti perdata (privat) oleh negara, maka tidaklah mencukupi untuk mencapai

tujuan "sebesar-besar kemakmuran rakyat", sehingga amanat untuk "memajukan

kesejahteraan umum" dan "mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia" dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin dapat diwujudkan. Dengan

demikian, perkataan dikuasai oleh negara haruslah diartikan mencakup makna

penguasaaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari

konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya

kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan

dimaksud. Rakyat secara kolektif itu, dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan

mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid), melakukan

pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan

pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad)

untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Fungsi kepengurusan oleh

negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk menerbitkan dan

mencabut fasilitas perijinan, lisensi, dan konsesi. Fungsi pengaturan oleh negara

dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan pemerintah

dan regulasi oleh pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan dilakukan melalui

mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung badan usaha

milik negara, termasuk di dalamnya badan usaha milik daerah atau badan hukum

milik negara/daerah sebagai instrumen kelembagaan di mana pemerintah

mendayagunakan kekuasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk

digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan

oleh negara dilakukan oleh negara c.q. pemerintah dalam rangka mengawasi dan

mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas kekayaan alam

atas bumi, air, dan kekayaan alam benar-benar digunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat;

[3.15.4] Menimbang bahwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa

bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara. Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Mahkamah, wilayah perairan

pesisir dan pulau-pulau kecil serta sumber-sumber kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya adalah termasuk wilayah dan sumber kekayaan alam

yang dikuasai oleh negara. Dalam makna yang lain, menurut Mahkamah, negara

Page 131: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

218 219

158

merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan

pengawasan terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

termasuk dalam wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang kesemuanya

ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan adanya anak kalimat

“dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945, maka sebesar-besar kemakmuran rakyat-lah yang menjadi ukuran

utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan

atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di samping itu,

penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu

maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak

masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh

masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak

atas lingkungan yang sehat dan lain-lain;

[3.15.5] Menimbang bahwa menurut Mahkamah dalam wilayah perairan pesisir

dan pulau-pulau kecil telah terdapat hak-hak perseorangan, hak masyarakat

hukum adat serta hak masyarakat nelayan tradisional, hak badan usaha, atau hak

masyarakat lainnya serta berlakunya kearifan lokal yaitu nilai-nilai luhur yang

masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Pada satu sisi Pasal 61 Undang-

Undang a quo mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat,

masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil yang telah dimanfaatkan secara turun temurun dan menjadi acuan dalam

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, akan tetapi pada sisi lain hak-

hak masyarakat adat/tradisional dan kearifan lokal tersebut potensial dapat

dialihkan dalam bentuk HP-3 atau diserahkan kepada swasta dengan pembayaran

ganti kerugian. Hal itu akan mengakibatkan hilangnya hak-hak masyarakat

adat/tradisional yang bersifat turun temurun, padahal hak-hak masyarakat tersebut

mempunyai karakteristik tertentu, yaitu tidak dapat dihilangkan selama masyarakat

adat itu masih ada. Selain itu, akan mengakibatkan pula tereliminasinya

masyarakat adat/tradisional dalam memperoleh HP-3, karena kekurangan modal,

teknologi serta pengetahuan. Padahal, negara dalam hal ini pemerintah

berkewajiban memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia [vide Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dan Pasal 34 ayat

(2) UUD 1945]. Pasal 10 Undang-Undang a quo juga telah mengatur

159

pengalokasian ruang perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dalam empat kawasan,

yaitu kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis

nasional tertentu dan alur laut. Menurut Mahkamah pengalokasian kawasan

perarian pesisir dan pulau-pulau kecil dalam beberapa kawasan dengan maksud

untuk memberikan jaminan dan perlindungan atas kawasan tertentu yang harus

dilindungi merupakan hal yang perlu diatur sebagaimana telah dinyatakan dalam

Undang-Undang a quo. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus

dilakukan dengan pendekatan terpadu (Integrated Coastal Zone Management),

yang meliputi antara lain sektor perikanan, perhubungan, pariwisata, mineral,

lingkungan, dan lain-lain;

[3.15.6] Menimbang bahwa Mahkamah dapat memahami tujuan ideal dari

pembentukan Undang-Undang a quo sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 yaitu

untuk: (i) melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan

memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya

secara berkelanjutan, (ii) menciptakan keharmonisan dan sinergi antara

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir

dan pulau-pulau kecil, serta (iii) memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga

pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya

pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan dan

keberlanjutan. Mahkamah juga dapat menerima penjelasan Pemerintah bahwa

pembentukan Undang-Undang a quo, dilatarbelakangi kesadaran perlunya

mengintegrasikan dan membangun sinergi berbagai perencanaan sektoral,

mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan

serta memberikan kepastian hukum. Akan tetapi, Mahkamah memberi perhatian

khusus terhadap keterangan ahli Abdon Nababan dan Dietrich G Bengen (Ahli

dari Pemerintah), yang berpendapat bahwa masalah utama dari pengelolaan

pesisir laut dan pulau-pulau kecil adalah tragedy of open acces yaitu tragedi yang

diakibatkan oleh penggunaan prinsip open acces terhadap wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil serta prinsip common property atas wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil yang mengakibatkan tidak memungkinkan pengkaplingan wilayah

pesisir atau laut yang ada. Menurut Mahkamah jika pendapat kedua ahli tersebut

benar, dapat disimpulkan bahwa maksud pembentukan undang-undang ini adalah

dalam rangka melegalisasi pengkaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

untuk dijadikan private ownership dan close ownership kepada perseorangan,

Page 132: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

220 221

160

badan hukum atau masyarakat tertentu, sehingga bagian terbesar dari

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diserahkan kepada

perseorangan, badan hukum, dan kelompok masyarakat yang dikonstruksikan

menurut Undang-Undang a quo dengan pemberian HP-3. Hal ini berarti bahwa

terdapat semangat privatisasi pengelolaan dan pemanfaatan perairan pesisir dan

pulau-pulau kecil kepada usaha perseorangan dan swasta.

[3.15.7] Menimbang bahwa menurut Mahkamah konstruksi Undang-Undang a

quo, menempatkan HP-3 sebagai hak kebendaan. Hal itu tergambar pada ciri-ciri

HP-3 yang terkandung dalam Undang-Undang a quo, yaitu HP-3: (i) diberikan

dalam jangka waktu tertentu yaitu 20 tahun dan terus dapat diperpanjang, (ii)

diberikan dengan luas tertentu, (iii) dapat beralih, dialihkan dan dijadikan jaminan

utang dengan dibebankan hak tanggungan, (iv) diberikan sertifikat hak.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut pemberian HP-3 atas wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil mengakibatkan adanya pengalihan kepemilikan dan penguasaan oleh negara

dalam bentuk single ownership dan close ownership kepada seseorang, kelompok

masyarakat atau badan hukum atas wilayah tertentu dari wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil, yang dapat menutup akses bagi setiap orang atas wilayah yang

diberikan HP-3. Akibat selanjutnya dari pemberian HP-3, adalah adanya

pengkaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia kecuali

pada kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan

dan pantai umum, sehingga negara mengalihkan tanggung jawab, penguasaan

dan pengelolaan wilayah tersebut kepada pemilik HP-3. Dengan rentang kendali

pemerintahan yang sangat luas, mencakup seluruh wilayah Indonesia, pengalihan

tanggung jawab yang demikian, akan sulit bagi negara mengontrol secara efektif,

baik terhadap pengelolaan wilayah pesisir maupun pulau-pulau kecil. Terlebih lagi

dalam soal pengawasan tersebut kemampuan daerah berbeda-beda. Memang

benar, menurut Undang-Undang a quo, pemberian HP-3 hanya terbatas pada

zona tertentu yaitu di luar kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran,

kawasan pelabuhan dan pantai umum, akan tetapi persoalannya adalah sejauh

mana porsentase pembagian antar berbagai kawasan tersebut, tidaklah

ditegaskan dalam Undang-Undang a quo, sehingga sangat potensial bagian

terbesar wilayah Indonesia akan menjadi kawasan HP-3. Pemberian HP-3 juga

akan potensial mengancam posisi masyarakat adat dan nelayan tradisional yang

menggantungkan hidupnya secara turun temurun dari sumber daya yang ada pada

161

perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, karena keterbatasan mereka untuk

memperoleh HP-3 dibanding pengusaha swasta yang memiliki segala-galanya.

Ditambah lagi dengan tidak adanya perlakuan khusus bagi masyarakat adat serta

masyarakat tradisional untuk memperoleh HP-3 sehingga terancam kehilangan

sumber daya yang menjadi sumber kehidupannya;

[3.15.8] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas,

selanjutnya Mahkamah akan menilai konstitusionalitas HP-3 berdasarkan ukuran

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Menurut Mahkamah, penguasaan oleh negara atas

bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, berarti bahwa

negara berwenang dan diberi kebebasan untuk mengatur, membuat kebijakan,

mengelola serta mengawasi pemanfaatan bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dengan ukuran konstitusional yaitu “untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 a quo,

kebebasan negara untuk mengatur dan membuat kebijakan atas bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dibatasi dengan ukuran “untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Oleh karena itu, Mahkamah perlu menilai

sejauh mana pemberian HP-3 akan memberikan sebesar-besar kemakmuran

rakyat dengan mempergunakan empat tolok ukur yaitu: (i) kemanfaatan sumber

daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi

rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya

alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam

memanfaatkan sumber daya alam;

(i) Jika atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diberikan HP-3 kepada swasta

menurut konstruksi Undang-Undang a quo, menurut Mahkamah hal itu potensial

bahkan dapat dipastikan bagian terbesar wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau

kecil akan dikuasai oleh perseorangan atau perusahaan swasta dengan usaha

padat modal dan teknologi tinggi. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya akses dan

keleluasaan serta hilangnya pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia

yang bekerja sebagai nelayan untuk mencari nafkah di perairan pesisir. Walaupun

Undang-Undang a quo, mengatur tentang partisipasi masyarakat untuk ikut

menentukan pengalokasian wilayah perairan, perencanaan pemanfaatan wilayah

perairan dan pulau-pulau kecil, pemberian HP-3 kepada masyarakat dengan

syarat-syarat tertentu serta pengawasan oleh masyarakat atas pengelolaan HP-3,

namun menurut Mahkamah dengan penguasaan perairan pesisir dan pulau-pulau

Page 133: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

222 223

162

kecil oleh swasta akan tetap lebih menguntungkan pemegang HP-3 dibanding

kemanfaatan yang diperolah masyarakat nelayan yang rata-rata memiliki tingkat

pendidikan yang rendah dan dengan modal yang terbatas;

(ii) Demikian juga tingkat pemerataan pemanfaatan perairan pesisir dan pulau-

pulau kecil di kalangan nelayan yang menggantungkan kehidupannya pada

pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil akan semakin

berkurang karena dipastikan pemanfaatan itu akan semakin terkonsentrasi pada

kelompok kecil masyarakat pemilik HP-3. Menurut Mahkamah, pemberian HP-3

dapat menimbulkan diskriminasi secara tidak langsung (indirect discrimination).

Bila suatu ketentuan hukum yang nampaknya netral, baik kriteria maupun secara

praktisnya, tetapi hal itu akan menimbulkan kerugian bagi orang-orang tertentu

yaitu masyarakat nelayan dibandingkan pemilik modal kuat. Oleh karena

kemampuan dan keadaan para nelayan tradisional tidak seimbang dibandingkan

dengan kemampuan dan keadaan pemilik modal besar dalam persaingan

memperoleh hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka akan

terjadi indirect discrimination yang berakibat merugikan para nelayan tradisional;

(iii) Dengan pemberian HP-3 kepada swasta, maka tingkat partisipasi rakyat dalam

menentukan manfaat sumber daya alam akan semakin berkurang, karena kontrol

terhadap HP-3 menjadi di bawah penguasaan pemegang HP-3. Walaupun

Undang-Undang a quo, memberikan jaminan pelibatan masyarakat dalam

perencanaan zonasi wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, pemberian HP-

3 kepada kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah pantai serta pelibatan

masyarakat dalam mengawasi pengelolaan wilayah pesisir, menurut Mahkamah

partisipasi masyarakat tersebut tidak memadai untuk menjamin, melindungi, dan

memenuhi hak-hak masyarakat, malahan justru potensial menyingkirkan hak-hak

dan partisipasi aktif masyarakat dalam pemanfaatan perairan pesisir dan pulau-

pulau kecil;

(iv) Pemberian HP-3 juga mengancam keberadaan hak-hak masyarakat tradisional

dan kearifan masyarakat lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, karena

menurut konsepsi Undang-Undang a quo, masyarakat tradisional yang secara

turun temurun memiliki hak atas pemanfaatan perairan pesisir dan pulau-pulau

kecil akan diberikan HP-3, dan dapat menerima ganti rugi atas pemberian HP-3

kepada swasta berdasarkan kesepakatan musyawarah. Menurut Mahkamah

163

konsep demikian, akan membatasi hak-hak tradisional masyarakat dalam batasan

waktu tertentu menurut ketentuan pemberian HP-3 yaitu 20 tahun dan dapat

diperpanjang. Konsep ini bertentangan dengan konsep hak ulayat dan hak-hak

tradisional rakyat yang tidak bisa dibatasi karena dapat dinikmati secara turun

temurun. Demikian juga mengenai konsep ganti kerugian terhadap masyarakat

yang memiliki hak-hak tradisional atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, akan

menghilangkan hak-hak tradisional rakyat yang seharusnya dinikmati secara turun

temurun (just saving principle), karena dengan pemberian ganti kerugian maka hak

tersebut hanya dinikmati oleh masyarakat penerima ganti kerugian pada saat itu.

Hal itu juga bertentangan dengan prinsip hak-hak tradisional yang berlaku secara

turun temurun, yang menurut Mahkamah bertentangan dengan jiwa Pasal 18B

UUD 1945 yang mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Di samping itu, dengan konsep HP-3

dapat menghilangkan kesempatan bagi masyarakat adat dan masyarakat

tradisional yang menggantungkan kehidupannya pada wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil, sehingga bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945;

[3.15.9] Menimbang bahwa Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan

“perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan ekonomi nasional”. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

sebagai sumber daya ekonomi bagi kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia

adalah bagian dari penyelenggaraan ekonomi nasional yang harus memperhatikan

amanat dan semangat konstitusi. Menurut Mahkamah pemberian HP-3 melanggar

prinsip demokrasi eknomi yang berdasar atas prinsip kebersamaan dan prinsip

efisiensi berkeadilan. Prinsip kebersamaan harus dimaknai bahwa dalam

penyelenggaraan ekonomi termasuk pengelolaan sumber daya alam bagi

keuntungan ekonomi, harus melibatkan rakyat seluas-luasnya dan menguntungkan

bagi kesejahteraan rakyat banyak. Pengelolaan sumber daya alam tidak boleh

semata-mata memperhatikan prinsip efisiensi untuk memperoleh hasil sebanyak-

banyaknya yang dapat menguntungkan kelompok kecil pemilik modal, tetapi harus

dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pemanfaatan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan memberikan HP-3 sebagaimana

telah diuraikan di atas, akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dan pulau-

Page 134: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

224 225

164

pulau kecil menjadi wilayah HP-3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar.

Sebaliknya bagi masyarakat nelayan tradisional yang sebagian besar berdiam di

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan menggantungkan hidup dan

kehidupannya pada sumber daya pesisir akan tersingkir. Dalam kondisi yang

demikian, negara telah lalai menyelenggarakan tanggung jawabnya untuk

melaksanakan perekonomian nasional yang memberikan perlindungan dan

keadilan kepada rakyat. Lebih dari itu, menurut Mahkamah, pemberian HP-3 akan

melanggar prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945;

[3.15.10] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana di atas, menurut

Mahkamah, pemberian HP-3 sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 18, Pasal

16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4)

dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 UU

27/2007 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah pengelolaan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tujuan untuk: (i) melindungi,

mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya

pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan, (ii)

menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintahan

Daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta (iii)

memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong

inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil

agar tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan, tidak dapat dilakukan

dengan pemberian HP-3 dengan alasan sebagaimana telah diuraikan di atas.

Menurut Mahkamah untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan

negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak

swasta, maka negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui

mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak swasta tersebut tidak dapat

diartikan mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid),

melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad),

melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan

(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di

samping itu, negara tetap dimungkinkan menguasai dan mengawasi secara utuh

seluruh pengelolaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Melalui

mekanisme perizinan, pemberian hak pengelolaan kepada swasta tidak

165

merupakan pemberian hak kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara

secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian,

wilayah perairan pesisir dan pulau-pulai kecil tetap dapat dikelola secara

terintegrasi dan membangun sinergi berbagai perencanaan sektoral, mengatasi

tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan serta

memberikan kepastian hukum;

[3.15.11] Menimbang bahwa meskipun para Pemohon hanya mengajukan

pengujian terhadap Pasal 1 angka 4, angka 7 dan angka 18, Pasal 16 ayat (1),

Pasal 23 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 14 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2),

Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 60 ayat (1) huruf b

Undang-Undang a quo, namun oleh karena tentang HP-3 tersebut telah diberikan

penilaian hukum sebagaimana diuraikan di atas, maka penilaian hukum tersebut

berlaku pula terhadap ketentuan lain yang terkait dengan HP-3, walaupun tidak

diajukan permohonan pengujian oleh para Pemohon;

[3.15.12] Menimbang bahwa Mahkamah selanjutnya akan menilai lebih lanjut

pasal-pasal lain dari Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian oleh para

Pemohon, yaitu sebagai berikut :

1. Terhadap pengujian ketentuan Pasal 1 angka 4, dan angka 7 UU 27/2007,

menurut Mahkamah norma tersebut diatur dalam Ketentuan Umum, yang

memuat tentang batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang

digunakan dalam peraturan, dan hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku

bagi pasal-pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas,

maksud, dan tujuan [vide lampiran C.1. 74 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4389)]. Ketentuan Umum dalam suatu

peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar batas pengertian atau

definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna

suatu kata atau istilah memang harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga

tidak menimbulkan pengertian ganda (vide Lampiran C.1. 81 Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

Menurut Mahkamah rumusan Pasal 1 angka 4, dan angka 7 UU 27/2007

adalah rumusan pengertian yang netral sehingga tidak memiliki makna hukum

tanpa dihubungkan dengan ketentuan pasal-pasal yang terkait. Oleh karena itu,

Page 135: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

226 227

166

tidak ada persoalan konstitusionalitas dalam ketentuan a quo. Ketentuan Pasal

1 angka 18 telah dipertimbangkan bersamaan dengan pertimbangan

Mahkamah terhadap pengujian mengenai HP-3;

2. Mengenai pengujian Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang a quo, yang menurut

para Pemohon ketentuan tersebut mengandung pembedaan perlakuan yang

melemahkan posisi tawar masyarakat yang berimplikasi buruk dalam

penghidupan masyarakat, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Norma pasal a quo menunjukkan bahwa dalam penyusunan rencana

strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi pengelolaan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hanya dilakukan oleh Pemerintah Daerah

dan dunia usaha, sehingga mengurangi akses keterlibatan masyarakat,

khususnya masyarakat lokal dan tradisional. Walaupun masyarakat diikutkan

dalam sosialisasi dan dengar pendapat (public hearing), akan tetapi posisi

demikian akan sangat melemahkan posisi masyarakat dibanding Pemerintah

Daerah dan dunia usaha. Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang a quo setidaknya

akan memunculkan dua masalah. Pertama, terjadi pembungkaman hak

masyarakat untuk turut serta menyampaikan usulan, sehingga masyarakat

tidak memiliki pilihan untuk menolak atau menerima rencana tersebut; Kedua,

ketika sebuah kebijakan tidak didasarkan pada partisipasi publik, berpotensi

besar terjadinya pelanggaran hak publik di kemudian hari yaitu diabaikannya

hak-hak masyarakat yang melekat pada wilayah yang bersangkutan, padahal

masyarakat setempatlah yang mengetahui dan memahami kondisi wilayah.

Menurut Mahkamah penyampaian usulan yang hanya melibatkan pemerintah

dan dunia usaha ini merupakan sebuah bentuk perlakuan berbeda antar warga

negara (unequal treatment) dan mengabaikan hak-hak masyarakat untuk

memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk

membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya yang bertentangan dengan

Pasal 27, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

[3.15.13] Bahwa guna mencegah timbulnya kesalahpahaman dan keragu-raguan

yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum atas pengaturan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58 UU

MK, Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum sejak diucapkan

dan berlaku ke depan (prospective) dan tidak berlaku surut (retroactive). Dengan

demikian, semua perjanjian atau kontrak dan izin usaha di bidang pengelolaan

167

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ditandatangani dan dikeluarkan

berdasarkan UU 27/2007 tetap berlaku sampai perjanjian atau kontrak dan izin

usaha tersebut habis atau tidak berlaku lagi;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di

atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Permohonan para Pemohon sepanjang mengenai HP-3 dan proses

perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak

melibatkan masyarakat sebagai pihak dalam musyawarah, beralasan

hukum;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dan mengingat Pasal 57 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4316) dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN,

Mengadili

Menyatakan:

- Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

- Menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19,

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50,

Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang

Page 136: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

228 229

168

Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

- Menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19,

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50,

Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) tidak

mempunyai kekuatan mengikat;

- Memerintahkan agar Putusan ini dimuat dalam Berita Negara selambat-

lambatnya 30 hari kerja sejak Putusan ini diucapkan;

- Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan

selebihnya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri

oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Kamis tanggal sembilan bulan Juni tahun

dua ribu sebelas, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota,

Achmad Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Anwar Usman, Harjono,

Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai

Anggota, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk

umum pada hari Kamis tanggal enam belas bulan Juni tahun dua ribu sebelas, oleh

tujuh Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota,

Achmad Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Anwar Usman, Maria Farida

Indrati, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi

oleh Fadzlun Budi SN. sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para

Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan

Rakyat atau yang mewakili.

169

KETUA,

ttd.

Moh. Mahfud MD.

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd.

Achmad Sodiki

ttd.

Ahmad Fadlil Sumadi

ttd.

Hamdan Zoelva

ttd.

Anwar Usman

ttd.

Maria Farida Indrati

ttd.

Muhammad Alim

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Fadzlun Budi S.N.

Page 137: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

Biodata PenulisM. Riza Damanik dilahirkan di “Kota Kerang” Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara, 17 Oktober 1980. Untuk pertama kali menempuh pendidikan formal di bidang kelautan dan perikanan pada program S1 jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin Makassar dan tamat S1 pada jurusan yang sama di Universitas Diponegoro Semarang. Selanjutnya, ia menyelesaikan program S2 pada Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saat ini, ia sedang menyelesaikan

Program Doktoral di Universitas Sains Malaysia.

Mulai bergabung di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada tahun 2005-2008 sebagai Pengkampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional WALHI. Aktif menulis di berbagai media lokal dan nasional, di antaranya Kompas, GATRA, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Samudera, Forum Keadilan, dan berbagai media lain, dengan topik pengelolaan lingkungan hidup dan kelautan, serta terbuka untuk topik-topik sosial terkini. Demikian halnya menjadi narasumber diberbagai media dan forum nasional hingga internasional.

Buku ini adalah buku keenam yang sempat ditulis bersama penulis lainnya. Buku sebelumnya masing-masing berjudul: Konservasi Laut yang Pro Rakyat dan Pro Lingkungan. WALHI. 2006; Ada Apa Di Balik Udang. WALHI. 2007; Menjala Ikan Terakhir. WALHI. 2008; Gerak Mundur Kelautan Kita. KIARA. 2009; Indonesia Dijarah Jepang. KIARA. 2011.

Kini, ia dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal KIARA; Ketua Pokja Perikanan dan Pangan, Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS); Direktur Pendidikan Strategis, Institut Hijau Indonesia (IHI); Anggota SEAFish (Southeast Asia for Fisheries Justice), Koordinator Kampanye ASIA (Asia Solidarity against Industrial Aquaculture), serta Dewan Pakar Sarekat Hijau Indonesia (SHI).

Author BiographyRiza Damanik was born in”the city of shells” Tanjung Balai, Asahan, North Sumatra, October 17th, 1980. For the first time he has obtained formal education in the field of marine and fisheries of undergraduate degree programs in Marine Science of Hasanuddin University, Makassar and finished the study in the University of Diponegoro, Semarang. Subsequently, he has completed the master program in the Environmental Science Program, in Gadjah Mada University, Yogyakarta. Currently, he is completing Doctoral

Program at the University Sains of Malaysia.

He began to join in the Friends of The Earth Indonesia (WALHI) in 2005-2008 as a Coastal and Marine Campaigner of The National Executive of WALHI. Nowadays, actively writing in various of local and national media, including Kompas, GATRA, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Samudera, Forum Keadilan, and various other medias with topic of environmental and marine management, and been open for many social issues. Moreover, he becomes resource person in various media, national as well as international forum.

This book is the sixth book which has been written by Riza with other authors. Previous books respectively entitled: The Pro People and Pro Environment of Marine Conservation. WALHI. 2006; What’s Behind the Shrimp. WALHI. 2007; Catching The Last Fish. WALHI. 2008; Backward Motion of Our Marine. KIARA. 2009; IJEPA: Indonesia Fisheries, Plundered by Japan. KIARA. 2011.

Currently Riza has been trusted to be the General Secretary of KIARA; Chairman of Fisheries and Food Working Group under The Alliance for Prosperous Village (ADS); Director of Strategic Education of Green Indonesia Institute (IHI); SEAFish members (Southeast Asia Fish for Justice); Campaign Coordinator for ASIA (Asia Solidarity against Industrial Aquaculture), and Expert Board of the Indonesia Green Union (SHI).

Page 138: Menghidupkan Konstitusi Kepulauan

232