menggagas forum literature for all yang mensinergikan sastra dan bahasa dalam ... ·  ·...

13
1 Menggagas Forum Literature for All yang Mensinergikan Sastra dan Bahasa dalam Membentuk Karakter Mahasiswa Rita Inderawati Rudy JPBS FKIP Universitas Sriwijaya Palembang Surel: [email protected] ABSTRAK Perbincangan mengenai pendidikan dan pengembangan karakter tampaknya tidak akan pernah berakhir. Seluruh elemen bangsa disodorkan pada masalah serupa yang hingga kini belum menemukan solusi yang tepat untuk membangun dan mengembangkan karakter bangsa ini. Semua disiplin ilmu merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu yang berdampak positif bagi pengembangan karakter. Seruan kemdiknas tentang pendidikan karakter melalui pidato-pidato kenegaraan beberapa tahun terakhir ini seperti menyadarkan kita semua dari mimpi buruk yang panjang. Dan kita semua telah mengetahui gagasan Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan sebagai sebuah usaha memajukan peserta didik dalam hal intelektual, budi pekerti dan tindakan yang selama ini hanya menjadi slogan dan logo pendidikan. Kini para pakar sastra menggugat peranan pendidikan yang mengabaikan sastra dalam membentuk karakter peserta didik. Teori- toeri pendidikan dan sastra sudah banyak dikemukakan oleh para pakar namun hanya sebatas tataran teoritis. Aplikasi yang simultan terhadap teori-teori tersebut seharusnya sudah dalam tataran praktis. Karya sastra sendiri masih menjadi media eksklusif bagi mahasiswa pendidikan bahasa. Sebagai perbandingan, karya sastra menjadi mata pelajaran wajib di mancanegara. Makalah ini membahas: (1) hasil penelitian mengenai persepsi mahasiswa Universitas Sriwijaya terhadap pentingnya pembelajaran sastra di perguruan tinggi yang didukung oleh pendapat mahasiswa di tiga fakultas bahasa dan sastra universitas yang berbeda di Indonesia setelah responden membaca, mengapresiasi karya sastra dengan menggunakan instrumen apresiasi sastra yang valid, dan merespons angket dan (2) gagasan forum Literature for All dalam membentuk karakter mahasiswa sebagai wadah bagi mahasiswa untuk membincangkan, menuliskan, dan melakukan tindakan setelah mereka memotret pikiran, perasaan, dan tindakan tokoh cerita yang berkarakter baik dalam cerita yang mereka baca. Kata kunci: forum Literature for All, sinergi bahasa dan sastra, pembentukan karakter, karya sastra Pendahuluan Gagasan konsep Literature for All dalam mengapresiasi karya sastra secara spontan penting dikemukakan setelah mendapatkan informasi baik secara lisan maupun tulisan bahwa masyarakat di mancanegara apapun kedudukannya dalam kehidupan bermasyarakat masih tetap membaca karya sastra untuk menumbuhkan sikap dan kepribadian yang berkarakter karena

Upload: truongkhuong

Post on 27-Apr-2018

216 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

Menggagas Forum Literature for All yang Mensinergikan Sastra dan Bahasa

dalam Membentuk Karakter Mahasiswa

Rita Inderawati Rudy

JPBS FKIP Universitas Sriwijaya Palembang

Surel: [email protected]

ABSTRAK

Perbincangan mengenai pendidikan dan pengembangan karakter tampaknya tidak akan pernah

berakhir. Seluruh elemen bangsa disodorkan pada masalah serupa yang hingga kini belum

menemukan solusi yang tepat untuk membangun dan mengembangkan karakter bangsa ini.

Semua disiplin ilmu merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu yang berdampak positif bagi

pengembangan karakter. Seruan kemdiknas tentang pendidikan karakter melalui pidato-pidato

kenegaraan beberapa tahun terakhir ini seperti menyadarkan kita semua dari mimpi buruk yang

panjang. Dan kita semua telah mengetahui gagasan Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan

sebagai sebuah usaha memajukan peserta didik dalam hal intelektual, budi pekerti dan tindakan

yang selama ini hanya menjadi slogan dan logo pendidikan. Kini para pakar sastra menggugat

peranan pendidikan yang mengabaikan sastra dalam membentuk karakter peserta didik. Teori-

toeri pendidikan dan sastra sudah banyak dikemukakan oleh para pakar namun hanya sebatas

tataran teoritis. Aplikasi yang simultan terhadap teori-teori tersebut seharusnya sudah dalam

tataran praktis. Karya sastra sendiri masih menjadi media eksklusif bagi mahasiswa pendidikan

bahasa. Sebagai perbandingan, karya sastra menjadi mata pelajaran wajib di mancanegara.

Makalah ini membahas: (1) hasil penelitian mengenai persepsi mahasiswa Universitas Sriwijaya

terhadap pentingnya pembelajaran sastra di perguruan tinggi yang didukung oleh pendapat

mahasiswa di tiga fakultas bahasa dan sastra universitas yang berbeda di Indonesia setelah

responden membaca, mengapresiasi karya sastra dengan menggunakan instrumen apresiasi sastra

yang valid, dan merespons angket dan (2) gagasan forum Literature for All dalam membentuk

karakter mahasiswa sebagai wadah bagi mahasiswa untuk membincangkan, menuliskan, dan

melakukan tindakan setelah mereka memotret pikiran, perasaan, dan tindakan tokoh cerita yang

berkarakter baik dalam cerita yang mereka baca.

Kata kunci: forum Literature for All, sinergi bahasa dan sastra, pembentukan karakter, karya

sastra

Pendahuluan

Gagasan konsep Literature for All dalam mengapresiasi karya sastra secara spontan

penting dikemukakan setelah mendapatkan informasi baik secara lisan maupun tulisan bahwa

masyarakat di mancanegara apapun kedudukannya dalam kehidupan bermasyarakat masih tetap

membaca karya sastra untuk menumbuhkan sikap dan kepribadian yang berkarakter karena

2

membaca karya sastra telah mereka peroleh sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Megawangi (2004) menyebutkan 9 pilar karakter yang mengandung nilai-nilai luhur universal

yaitu: 1) cinta tuhan dan alam semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan

kemandirian, 3) kejujuran, 4) hormat dan sopan santun, 5) kasih sayang, kepedulian, dan

kerjasama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, 7) keadilan dan

kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan. Nilai-nilai

ini harus dikembangkan dalam diri peserta didik melalui apresiasi karya sastra. Mereka akan

memotret tokoh cerita dan penokohannya untuk mengeksplorasi kemungkinan ditemukannya ke

sembilan pilar karakter bangsa yang tersembunyi di balik tindakan dan perilaku tokoh cerita.

Berkenaan dengan pembentukan karakter tersebut, psikiater James Masterson dalam

Amstrong (2002: 118) menyebut sejumlah komponen yang harus dimiliki diri sejati, yaitu: 1)

kemampuan mengalami perasaan secara mendalam, 2) kemampuan bersikap tegas, 3) pengakuan

terhadap harga diri, 4) kemampuan meredakan rasa sakit pada diri sendiri, 5) ulet, 6) kemampuan

berkreasi dan berhubungan, dan 7) kemampuan untuk menyendiri. Sementara itu, Schwartz

(2007) menguraikan dengan ilustrasi-ilustrasi menarik segala yang berkaitan dengan

pembentukan karakter yang mengandung nilai-nilai dengan memadukan ranah kognitif, antara

lain berpikir positif, berpikir kreatif, mengembangkan inisiatif, bertindak untuk mendapat

kepercayaan, menghindari keputusasaan, dan belajar memimpin. Di samping itu, Lewis (2004)

merinci 10 jenis karakter yaitu: peduli, sadar berkomunitas, bekerja sama, adil, rela memaafkan,

jujur, menjaga hubungan baik, hormat pada sesama, bertanggung jawab, dan mengutamakan

keselamatan disertai dengan deskripsi dan ilustrasi mengenai kesepuluh ciri karakter.

Pembentukan karakter juga dikemukakan oleh Santoso (2007) tentang bagaimana membangun

mental dan karakter melalui pemberdayaan kecerdasan emosional dan spiritual dalam mengubah

hidup dalam bukunya yang berjudul The Art of Life Revolution.

Dalam pengamatan penulis, selama ini apresiasi karya sastra hanya diberikan kepada

siswa di seluruh jenjang pendidikan dan mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra dengan

pendekatan struktural. Gejolak dan berbagai fenomena yang terjadi di kalangan pelajar

menyudutkan dunia pendidikan yang gagal menghantarkan peserta didik menjadi manusia yang

berkarakter. Saat ini percarian terhadap model pembelajaran yang mampu mengembangkan

3

kepribadian dan menajamkan afeksi siswa sedang digalakkan. Seluruh elemen bangsa berupaya

di bidangnya masing-masing menemukan cara yang efektif menghasilkan SDM yang bermental

dan bermoral baik. Merunut pada teori conditioning Pavlov bahwa pembiasaan (conditioning)

dapat memberi dampak positif dan negatif dari tingkah laku yang merupakan latihan-latihan atau

kebiasaan-kebiasaan untuk mereaksi perangsang-perangsang tertentu yang dialaminya dalam

kehidupan. Menurut Pavlov proses belajar yang digambarkan seperti itu terdiri atas pembentukan

asosiasi antara stimulus dan respons refleksif (Syah, 2006).

Penggalakan bentuk pembelajaran yang berkarakter memotivasi penulis untuk

menggagas forum bagi mahasiswa baik jurusan bahasa maupun non-bahasa. Forum tersebut

menjadi wadah pertemuan mahasiswa mengeksplorasi, mengapresiasi, dan menciptakan seni

pertunjukan versi bahasa Indonesia baik terhadap karya sastra Indonesia dan sastra lokal.

Makalah ini membahas: (1) hasil penelitian mengenai persepsi mahasiswa Universitas

Sriwijaya terhadap pentingnya pembelajaran sastra di perguruan tinggi yang didukung oleh

pendapat mahasiswa di tiga fakultas bahasa dan sastra universitas yang berbeda di Indonesia

setelah responden membaca, mengapresiasi karya sastra dengan menggunakan instrumen

apresiasi sastra yang valid, dan merespons angket dan (2) gagasan forum literature for all dalam

membentuk karakter mahasiswa sebagai wadah bagi mahasiswa untuk membincangkan,

menuliskan, dan melakukan tindakan setelah mereka memotret pikiran, perasaan, dan tindakan

tokoh cerita yang berkarakter baik dalam cerita yang mereka baca. Diharapkan makalah ini dapat

menunjukkan secara nyata sinergi antara sastra dan bahasa dalam forum literature for all dengan

cara membaca, menuliskan, mendiskusikan, menyimak, serta mengkreasikan karya sastra dalam

seni pertunjukan sastra.

Persepsi Mahasiswa tentang Pentingnya Pembelajaran Sastra di PT

Secara teoretis sastra dapat mengembangkan kepribadian pembaca. Berdasarkan hasil

penelitian Rudy, Shilvany, dan Erlina (2010), setelah membaca karya sastra, 438 mahasiswa

yang menjadi subjek penelitian menanggapi positif pertanyaan mengenai kemungkinan sastra

diajarkan di seluruh fakultas. Berikut ini disajikan tabel dan chart distribusi jawaban mereka

terhadap pertanyaan tersebut.

4

Tabel 1

Sikap Mahasiswa tentang Pembelajaran Sastra di PT

Fakultas Jurusan

Tanggapan

Positif

FISIP Administrasi Negara 28

Sosiologi 20

FMIPA Kimia 19

Fisika 25

Ekonomi

Ekonomi

Pembangunan 26

Management 23

Akuntansi 25

FKIP Pend Kimia 28

Pend Fisika 28

Pend Bhs Indonesia 30

FK PSIK 20

Kesehatan

Masyarakat

Kesehatan

Masyarakat 28

Teknik Teknik Elektro 24

Pertanian Tanah 29

Hukum Hukum 27

Tidak Setuju 48

Gambar 1 Sikap Mahasiswa terhadap Pembelajaran Sastra di PT

5

Berdasarkan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa proporsi antara responden yang

tidak setuju dan setuju terhadap pembelajaran sastra di setiap fakultas adalah1:15 bila ukurannya

adalah program studi dan 1:9 bila ukurannya adalah fakultas. Rasio perbandingan menunjukkan

besarnya proporsi responden yang menginginkan sastra di ajarkan di seluruh fakultas (89% dari

jumlah responden). Dari kalangan sastrawan yang diwakili oleh Putu Wijaya pun berharap

pembelajaran sastra harus dibelajarkan kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra,

tata bahasa hanya akan menjadi alat menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa

(Wijaya, 2007).

Karya sastra berfungsi untuk memberikan kenikmatan kepada pembacanya. Di Indonesia,

membaca karya sastra bukan sebuah kebutuhan atau keharusan. Namun, setelah membaca karya

sastra, responden penelitian diminta untuk menanggapi pertanyaan dalam angket mengenai

kemaniakan pembaca karya sastra di mancanegara untuk menumbuhkan sikap dan kepribadian

yang berkarakter. Gambar berikut merupakan gambaran secara utuh proporsi tanggapan positif

responden terhadap fungsi sastra yang sangat disadari oleh pembaca di mancanegara untuk

menumbuhkan kepribadian yang berkarakter baik.

Gambar 2 Persepsi Seluruh Mahasiswa terhadap Kegemaran Membaca Masyarakat Mancanegara

Gambar tersebut mengindikasikan bahwa 425 mahasiswa (97%) memiliki sikap yang

positif terhadap pernyataan tentang masyarakat di mancanegara rajin membaca karya sastra

untuk membangun karakter. Hal ini relevan dengan apa yang dikemukakan Kotller (1990) bahwa

majunya suatu bangsa ditentukan oleh nilai dan karakter yang menjadi modal kehidupan sosial

dan berbangsa dimana kualitas dan perilaku masyarakat sebagai faktor budaya yang menjadi

6

modal sosial (social capital). Nilai dan karakter menjadi kunci sukses keberhasilan sebuah

negara yang ditentukan oleh sejauh mana negara tersebut mempunyai budaya yang kondusif

untuk maju.

Berdasarkan hasil kuesioner dapat disimpulkan bahwa 95.1% responden sangat setuju

merespons karya sastra yang menggiring mereka ke arah pengembangan karakter. Untuk

mendukung hasil temuan berdasarkan tes apresiasi dan kuesioner, berikut ini merupakan tabel

persepsi mahasiswa di tiga universitas di luar Provinsi Sumatera Selatan yang terdiri atas 85

responden (30 dari UPI, 30 dari UNM, dan 25 dari Unsrat).

Setuju

0

20

40

60

80

100

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25

Setuju

Tidak Setuju

Column

Gambar 3

Persepsi Mahasiswa di 3 Universitas di Indonesia

Tabel tersebut mengindikasikan bahwa responden yang berasal dari fakultas bahasa dan sastra

memberikan pandangan positifnya terhadap apresiasi sastra yang mampu membawa peserta didik

ke arah pengembangan karakter melalui pembiasaan (conditioning) membaca dan mengapresiasi

karya sastra.

Sementara itu, tanggapan mahasiswa di tiga universitas tentang pentingnya sastra

diajarkan di setiap fakultas dapat diamati dalam bagan berikut.

Apresiasi Sastra di Semua Fakultas

UPI= 100%

UNM= 93.3%

Unsrat= 95.5%

Tidak setuju= 0.05%

7

Gambar 4 Pentingnya Sastra di Semua Fakultas

Bagan ini mengindikasikan bahwa 81 responden menghendaki agar sastra diajarkan di setiap

fakultas dengan cara membaca dan mengapresiasinya.

Forum Literature for All sebagai Wadah Pembentuk Karakter

Forum adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap

informasi tertentu. Forum yang digagas dalam makalah ini merupakan tempat berkumpulnya

mahasiswa untuk mendiskusikan, menciptakan, dan mengkreasikan karya sastra dan dinamai

forum literature for all. Gagasan konsep ini terinspirasi dari istilah education for all yang telah

dikumandangkan dalam satu dasawarsa oleh Kementrian Pendidikan Nasional, diikuti dengan

science for all yang digaungkan oleh Kementrian Riset dan Teknologi empat tahun terakhir.

Secara spesifik, konsep literature for all belum pernah dikedepankan dalam rangka

mengembangkan pendidikan yang berkarakter. Apalagi menggandengnya dengan istilah forum.

Forum literature for all bermakna tempat berdikusi dan berkarya sastra bagi mahasiswa baik dari

jurusan bahasa maupun non-bahasa.

Dalam dunia pendidikan bahasa, wadah tempat berkumpulnya mahasiswa telah lama ada

yaitu bengkel sastra. Berdasarkan hasil penelitian Abidin (2005), model bengkel sastra dapat

digunakan dalam pembelajaran menulis cerita pendek dan penggunaan model bengkel sastra

dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menulis cerita pendek. Bengkel sastra

dimanfaatkan mahasiswa untuk berkarya sastra.

Gagasan mendirikan forum literature for all tidak bermaksud untuk menandingi wadah

kreativitas yang telah ada. Forum tersebut lebih bersifat membantu mendiseminasikan kegiatan

apresiasi sastra yang tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa jurusan dan fakultas bahasa tetapi

oleh seluruh mahasiswa non-bahasa. Forum tersebut menyediakan berbagai perangkat yang

dibutuhkan untuk mengapresiasi karya sastra seperti karya sastra itu sendiri, instrumen apresiasi

sastra yang valid, contoh-contoh skenario seni pertunjukan, dan video yang berisikan tentang

model seni pertunjukan untuk memfasilitasi mahasiswa menduplikasi hal serupa. Pada akhirnya,

8

forum berkreasi sastra tersebut akan diunggah di situs internet agar penyebaran misi forum dapat

diduplikasi oleh universitas lainnya.

Perangkat pertama yang diperlukan adalah karya sastra. Karya sastra yang disiapkan

dalam forum berupa cerita pendek Indonesia, cerita rakyat, dan novel. Novel yang dibutuhkan

adalah novel dengan berbagai latar cerita sesuai dengan disiplin ilmu mahasiswa karena seperti

yang telah dikemukakan di awal bahwa mahasiswa di luar negeri wajib membaca karya sastra

dengan latar cerita yang sama dengan bidang ilmu mahasiswa. Tujuannya adalah mahasiswa

belajar intrik dan strategi yang dilakukan oleh para tokoh cerita dan mendiskusikannya.

Selanjutnya, setelah membaca karya sastra, mahasiswa membutuhkan instrumen apresiasi

agar hasil membacanya tidak hanya mencapai perspektif efferent (selintas) tetapi mencapai

perspektif estetik seperti yang diungkapkan oleh Rosenblatt (1978). Instrumen apresiasi yang

dimaksud adalah pertanyaan-pertanyaan pemandu yang tersusun atas teori respons pembaca,

teori simbol visual, psikosastra, teori pilar karakter bangsa dikembangkan oleh Rudy (2010).

Perangkat berikutnya adalah skenario seni pertunjukan yang terdiri atas monolog, diskusi

monolog, performansi tablo, diskusi tablo, dan performansi sosiogram (Rudy, 2009). Skenario

tersebut diatur untuk menjadi pertunjukan selama 30 menit diawali dengan menyampaikan isi

cerita dalam bentuk monolog. Kemudian, sekelompok mahasiswa yang menjadi audiens

mendiskusikan isi cerita dengan menerapkan strategi respons pembaca yang dikemukakan oleh

Beach dan Marshall (1990) dengan cara merinci isi cerita, memahami dan menerangkan perilaku

tokoh cerita, menafsirkan isi cerita, menyertakan perasaan, pikiran, dan imajinasi,

menghubungkan isi cerita dengan buku cerita lain, pengalaman, kehidupan sosial, budaya, dan

agama, serta menilai jalan cerita dan pengarangnya. Kegiatan berikut dalam skenario tersebut

adalah memperagakan tablo yaitu pertunjukan tanpa gerakan yang dilakukan oleh beberapa

mahasiswa, sedangkan mahasiswa lain menebak bagian mana dari cerita yang sedang

diperagakan. Setelah itu mereka mendiskusikan isi tablo yang tujuannya adalah untuk

mengidentifikasi apakah mereka sudah memahami isi cerita. Terakhir, mahasiswa membuat

sosiogram yang menghubungkan satu karakter dengan karakter lainnya dengan bantuan alat

peraga berupa kertas karton yang ditulisi nama tokoh cerita dan tanda panah yang dipegang oleh

masing-masing mahasiswa dan terjadilah tablo.

9

Untuk mempermudah mahasiswa membuat performansi seni pertunjukan, forum

menyediakan juga kepingan CD yang berisi seni pertunjukan sastra lokal. Beberapa CD yang

memuat seni pertunjukan seperti Legenda Pulau Kemarau, Putri Pinang Masak, Legenda Bidar,

Sumpah si Pahit Lidah, dan sebagainya, merupakan hasil penelitian sebelumnya dapat

dimanfaatkan mahasiswa untuk membuat performansi yang sama, tetapi dengan cerita yang

berbeda.Dengan demikian, sinergi antara sastra dan bahasa dapat terwujud.

Banyak kalangan yang menginginkan pendidikan yang berkarakter melalui pembelajaran

sastra. Di antaranya, forumpurworejo.blogspot.com (2010) mengungkapkan:

Kerinduan generasi muda akan karya sastra, memang tidak mengglobal, akan

tetapi justeru hal inilah kelemahan dunia sastra kita. Ia semakin dijauhi saja.

Padahal karya sastra dapat membentuk karakter generasi bangsa kita. Adalah

besar harapan pembentukan karakter generasi bangsa, karakter masyarakat

khususnya di Purworejo dapat terjembatani melalui Dewan Kesenian

Purworejo, sehingga dapatlah terkondisikan pementasan karya seni semisal

karya sastra dan ekspresi seni yang lain, seperti seni teater, seni pedalangan,

seni tari, seni karawitan. sampai seni-seni tradisional yang khas di Purworejo

dapat tetap eksis dan terbina.

Kutipan di atas diperkuat juga oleh pendapat Kotller (1990) bahwa majunya suatu bangsa

ditentukan oleh nilai dan karakter yang menjadi modal kehidupan sosial dan berbangsa dimana

kualitas dan perilaku masyarakat sebagai faktor budaya yang menjadi modal sosial (social

capital) merupakan kunci sukses keberhasilan sebuah negara yang ditentukan oleh sejauh mana

negara tersebut mempunyai budaya yang kondusif untuk maju. Sementara itu, kalangan

sastrawan yang diwakili oleh Putu Wijaya pun berharap pembelajaran sastra harus dibelajarkan

kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat

menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa (Wijaya, 2007).

Sementara itu, Broto (2010) mengungkapkan bahwa peradaban yang terus menuntut

penempatan sastra materi sosialisasi yang utama dalam lingkungan lembaga pendidikan di era

globalisasi ini karena karya sastra berkontribusi positif dalam pembentukan karakter dan

kepribadian individu. Senada dengan ungkapan tersebut, Kuncoro (2007) mengemukakan bahwa

kecanggihan teknologi menyebabkan pola komunikasi berubah dengan cepat menyebabkan

manusia enggan bertatap muka antar-sesama. Situasi demikian menurut Sayuti (2005:5) harus

diperbaiki dengan cara pemilihan strategi kebudayaan yang tepat yaitu kegiatan dan apresiasi

sastra. Berbagai pendapat tersebut pada akhirnya memfasilitasi penulis untuk memberdayakan

10

pembelajaran sastra berbasis respons pembaca dan simbol visual yang sudah teruji melalui

beberapa penelitian yang telah penulis lakukan dalam kurun waktu 12 tahun ini untuk

mengembangkan karakter bangsa sehingga sembilan pilar karakter bangsa dapat terwujud.

Muslimin Nasution, Ketua Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI),

mengemukakan bahwa pendidikan nasional telah dirancang dengan arsitektur pendidikan salah

yang hanya menciptakan siswa pandai, tetapi tidak membentuk peserta didik yang berkarakter.

Relevan dengan apa yang dikemukakan Nasution, Acep Zamzam Noor menyayangkan

pendidikan sekarang mengabaikan pembelajaran sastra. Padahal, sastra ikut mempengaruhi

pembentukan karakter siswa. Lebih jauh, sastrawan tersebut mengharapkan, “sistem pendidikan

nasional seharusnya didesain ulang karena kenyataannya telah melahirkan kesenjangan akses

pendidikan yang semakin lebar serta meninggalkan karakter bangsa.”

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai persepsi mahasiswa Universitas Sriwijaya

terhadap pentingnya pembelajaran sastra di perguruan tinggi yang didukung oleh pendapat

mahasiswa di tiga fakultas bahasa dan sastra universitas yang berbeda di Indonesia setelah

responden membaca, mengapresiasi karya sastra dengan menggunakan instrumen apresiasi sastra

yang valid, dan merespons angket instrumen apresiasi sastra menyadarkan mahasiswa tentang

pentingnya mengapresiasi karya sastra di setiap fakultas yang ditanggapi positif dapat

mengembangkan karakter mahasiswa sebesar 89% melalui kuesioner. Selain itu, hasil tes

apresiasi sastra dan hasil kuesioner terhadap sebanyak 85 mahasiswa dari tiga universitas di

Indonesia yaitu Unsrat, UNM, dan UPI dapat disimpulkan bahwa mereka juga memperoleh

rerata nilai apresiasi dalam kategori sangat baik dan sebesar 98% menunjukkan sikap positif

terhadap butir pertanyaan dalam instrumen apresiasi sastra.

Gagasan Forum Literature for All dalam membentuk karakter mahasiswa sebagai wadah

bagi mahasiswa untuk membincangkan, menuliskan, dan melakukan tindakan setelah mereka

memotret pikiran, perasaan, dan tindakan tokoh cerita yang berkarakter baik dalam cerita yang

mereka baca.

Referensi

11

Amstrong, Thomas. 2002. Seven Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan

Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka

Utama.

Broto, Anjrah Lelono. 2010. Pembelajaran Sastra Butuh Mak Erot

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Pembelajaran+Sastra+Butuh+Ma

k+Erot&dn=20100113085933. diakses 9 mei 2010

forumpurworejo.blogspot.com. Menggagas Pembentukan Karakter Generasi Muda melalui

Karya Sastra. http://bloggerpurworejo.com/2010/03/menggagas-pembentukan-karakter-

generasi-muda-melalui-karya-sastra/ diakses 9 mei 2010

Husniah, Rohmy danYudhi Arifani. 2008. Pendidikan Budi Pekerti Melalui Pendekatan Moral

dalam Pengajaran Sastra. Makalah disajikan dalam Konferensi Internasional

Kesusastraan XIX / HISKI, Batu, 12-14 Agustus 2008.

Kotller, Philip. 1990. “The Marketing of Nations”, dalam Sofyan Djalil dan Ratna Megawangi

(2006). Peningkatan Mutu dan Pendidikan di Acehmelalui Implementasi Model

Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Orasi pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka

Dies Natalis Universitas Syahkuala-Banda Aceh, 2 September 2006.

Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa.

Indonesia Heritage Foundation, dalam Sofyan Djalil dan Ratna Megawangi (2006).

Peningkatan Mutu dan Pendidikan di Acehmelalui Implementasi Model Pendidikan

Holistik Berbasis Karakter, Orasi pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis

Universitas Syahkuala-Banda Aceh, 2 September 2006.

Grose, Carolyn. 2010. Storytelling Across the Curriculum: From Margin to Center, from Clinic

to Classroom. Diunduh tanggal 12 Maret 2010.

http://www.youtube.com/watch?v=AgJXXo97D4c

Harmer, Jeremy. 2007. The Practice of English Language Teaching (4

th ed). London: Pearson

Education, Ltd.

Lewis, Barbara A. 2004. Character Building untuk Anak-anak. Batam: Kharisma Publishing

Group.

Pantaleo, Sylvia. 2002. Children’s Literature Across Curriculum. Canadian Journal of

Education.Vol. 27/2&3, p.211-230.

Rudy, Rita Inderawati, Dinar S., dan Zuraidah. 2007. Model Pembelajaran Sastra dalam

Pendidikan Bahasa Inggris. Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol 9/No.1.

12

Rudy, Rita Inderawati. 2009. Pembelajaran Berbasis Respons Pembaca dan Simbol Visual untuk

Mengembangkan Apresiasi Sastra dan Kemampuan Berbahasa Inggris. Forum

Kependidikan. Vol. 29/No. 1.

Rudy, Rita Inderawati. 2010a. Mengangkat Peran Sastra Lokal dengan Konsep Sastra untuk

Semua bagi Pembentukan Karakter Bangsa. Dalam Idiosinkrasi Pendidikan Karakter

melalui Bahasa dan Sastra.Editor: Novi Anoegrajekti, S. Macaryus, dan E. Boeriswati.

Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

Rudy, Rita Inderawati. 2010b. Mengangkat Peran Cerita Rakyat Sulawesi Utara dengan Konsep

Literature for All untuk Membentuk Karakter Mahasiswa. Dipresentasikan dalam

Seminar Bulan Bahasa di Fakultas Sastra Universitas Samratulangi, 29 Oktober 2010.

Rudy, Rita Inderawati. 2010c. Konsep Literature for All dan Literature across Curriculum

dalam Mengapresiasi Karya Sastra bagi Mahasiswa Calon Guru di FKIP Universitas

Sriwijaya untuk Mengembangkan Karakter Siswa. Laporan Hibah Kompetensi Tahun I.

Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan

Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Hibah

Kompetensi Nomor: 382/SP2H/PP/DP2M/VI/2010 tanggal 11 Juni 2010

Santoso, Eka Jalu. 2004. The Art of Life Revolution. Jakarta: Penerbit PT Elex Media

Komputindo.

Sayuti, Suminto. 2005. Taufiq Ismail: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo

Schwartz, David J. 2007. Berpikir dan Berjiwa Besar (The Magic of Thinking Big). Batam:

Binarupa Aksara.

Silvhiany, Sari. (2007). From Learning English to Building Academic Literacy: The Paths of

ESL Students Literacy Learning dalam Proceeding of TEFLIN International Conference,

Jakarta, December 2007.

Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Talib, Jihad. 2010. Pendidikan Bahasa dan Sastra Lokal dalam Masyarakat Posmodern.

Makalah. STKIP Muhammadiyah Bulukumba.

Tarigan, Henry Guntur. 1995. Dasar-dasar Psikosastra. Bandung: Penerbit Angkasa.

Van, Truong Thi My. 2009. The Relevance of Literary Analysis to Teaching Literature in EFL

Classroom. English Teaching Forum. Vol. 47/No. 3.

Vandergrift, Kay E. 2006. Linking Literature with Learning.

http://comminfo.rutgers.edu/professional-development /childlit/books /linkages.html.

Diunduh 26 Maret 2006

13

Wards, Robin A. 2009. Literature-Based Activities for Integrating Mathematics with Other

Content Areas. New York, NY: Pearson Education, Inc.

Wijaya, Putu. 2007. Pengajaran Sastra

http://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/03/pengajaran-sastra/ diakses 1 Juli 2008.

http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/2010/10/21/60262/desain-ulang-sistem-

pendidikan, diakses pada tanggal 5 Desember 2010.