mengenal-pemikiran comte

40
Mengenal Pemikiran Herbert Spencer Herbert Spencer adalah seorang filsuf, sosiolog pengikut aliran sosiologi organis, dan ilmuwan pada era Victorian yang juga mempunyai kemampuan di bidang mesin. Pemuda Spencer pada usia 17 tahun diterima kerja di bagian mesin untuk perusahaan kereta api London dan Birmingham. Kariernya bagus sehingga dipercaya sebagai wakil kepala bagian mesin. Setelah beberapa waktu lamanya bekerja di perusahaan kereta api, kemudian pindah pekerjaan menjadi redaktur majalah The Economist yang saat itu terkenal. Spencer mempunyai sebuah kemampuan yang luar biasa dalam hal mekanik. Hal ini akan ikut serta mewarnai seluruh imajinasinya tentang biologi dan sosial di masa yang akan datang. Spencer adalah seorang pembaca yang luar biasa, kolektor yang tekun mengumpulkan fakta-fakta mengenai masyarakat di manapun di dunia ini, dan penulis yang produktif. Ia mengembangkan sistem filsafat dengan aspek-aspek utiliter dan evolusioner. Spencer membangun utiliterisme jeremy Bentham. Spencerlah yang menggunakan istilah Survival of the fittest pertama kali dalam karyanya Social Static (1850) yang kemudian dipopulerkan oleh Charles Darwin. Spencer selain menerbitkan buku lepas, juga menerbitkan buku dan artikel berseri. Beberapa diantaranya adalah Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-1896) yang meliputi biologi, psikologi, dan etika. Spencer mempopulerkan konsep ‘yang kuatlah yang akan menang’ (Survival of the fittest) terhadap masyarakat. Pandangan Spencer ini kemudian dikenal sebagai ‘Darwinisme sosial’ dan banyak dianut oleh golongan kaya (Paul B Horton dan Chester L. Hunt, Jilid 2 1989: 208). Terbitnya buku Principles of Sociology karya Herbert Spencer yang berisi pengembangan suatu sistematika penelitian masyarakat telah menjadikan sosiologi menjadi populer di masyarakat dan berkembang pesat. Sosiologi berkembang pesat pada abad 20, terutama di Perancis, Jerman, dan Amerika Pandangan Herbert Spencer tentang Sosiologi Spencer adalah orang yang pertama kali menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkret. Tindakan ini kemudian diikuti oleh para sosiolog sesudahnya, baik secara sadar atau tidak sadar. Spencer memperkenalkan pendekatan baru sosiologi yaitu merekonsiliasi antara ilmu pengetahuan dengan agama dalam bukunya First Prinsciple. Dalam bukunya ini Spencer membedakan fenomena tersebut dalam 2 fenomena yaitu fenomena yang dapat diketahui dan fenomena yang tidak dapat diketahui. Di sini Spencer kemudian mencoba menjembatani antara ilham dengan ilmu pengetahuan. Selanjutnya Spencer memulai dengan 3 garis besar teorinya yang disebut dengan tiga kebenaran universal, yaitu adanya materi yang tidak dapat dirusak, adanya kesinambungan gerak, dan adanya tenaga dan kekuatan yang terus menerus. Di samping tiga kebenaran universal tersebut di atas, menurut Spencer ada 4 dalil yang berasal dari kebenaran universal, yaitu kesatuan hukum dan kesinambungan, transformasi, bergerak sepanjang garis, dan ada sesuatu irama dari gerakan. Spencer lebih lanjut mengatakan bahwa harus ada hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor-faktor yang berbeda di dalam proses evolusioner. Sedang sistem evolusi umum yang pokok menurut Spencer seperti yang dikutip

Upload: defa-efa

Post on 30-Jun-2015

440 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mengenal-Pemikiran COMTE

Mengenal Pemikiran Herbert SpencerHerbert Spencer adalah seorang filsuf, sosiolog pengikut aliran sosiologi organis, dan ilmuwan pada era Victorian yang juga mempunyai kemampuan di bidang mesin. Pemuda Spencer pada usia 17 tahun diterima kerja di bagian mesin untuk perusahaan kereta api London dan Birmingham. Kariernya bagus sehingga dipercaya sebagai wakil kepala bagian mesin. Setelah beberapa waktu lamanya bekerja di perusahaan kereta api, kemudian pindah pekerjaan menjadi redaktur majalah The Economist yang saat itu terkenal. Spencer mempunyai sebuah kemampuan yang luar biasa dalam hal mekanik. Hal ini akan ikut serta mewarnai seluruh imajinasinya tentang biologi dan sosial di masa yang akan datang. Spencer adalah seorang pembaca yang luar biasa, kolektor yang tekun mengumpulkan fakta-fakta mengenai masyarakat di manapun di dunia ini, dan penulis yang produktif. Ia mengembangkan sistem filsafat dengan aspek-aspek utiliter dan evolusioner. Spencer membangun utiliterisme jeremy Bentham. Spencerlah yang menggunakan istilah Survival of the fittest pertama kali dalam karyanya Social Static (1850) yang kemudian dipopulerkan oleh Charles Darwin. Spencer selain menerbitkan buku lepas, juga menerbitkan buku dan artikel berseri. Beberapa diantaranya adalah Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-1896) yang meliputi biologi, psikologi, dan etika.Spencer mempopulerkan konsep ‘yang kuatlah yang akan menang’ (Survival of the fittest) terhadap masyarakat. Pandangan Spencer ini kemudian dikenal sebagai ‘Darwinisme sosial’ dan banyak dianut oleh golongan kaya (Paul B Horton dan Chester L. Hunt, Jilid 2 1989: 208).Terbitnya buku Principles of Sociology karya Herbert Spencer yang berisi pengembangan suatu sistematika penelitian masyarakat telah menjadikan sosiologi menjadi populer di masyarakat dan berkembang pesat. Sosiologi berkembang pesat pada abad 20, terutama di Perancis, Jerman, dan Amerika

Pandangan Herbert Spencer tentang SosiologiSpencer adalah orang yang pertama kali menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkret. Tindakan ini kemudian diikuti oleh para sosiolog sesudahnya, baik secara sadar atau tidak sadar.Spencer memperkenalkan pendekatan baru sosiologi yaitu merekonsiliasi antara ilmu pengetahuan dengan agama dalam bukunya First Prinsciple. Dalam bukunya ini Spencer membedakan fenomena tersebut dalam 2 fenomena yaitu fenomena yang dapat diketahui dan fenomena yang tidak dapat diketahui. Di sini Spencer kemudian mencoba menjembatani antara ilham dengan ilmu pengetahuan.Selanjutnya Spencer memulai dengan 3 garis besar teorinya yang disebut dengan tiga kebenaran universal, yaitu adanya materi yang tidak dapat dirusak, adanya kesinambungan gerak, dan adanya tenaga dan kekuatan yang terus menerus.Di samping tiga kebenaran universal tersebut di atas, menurut Spencer ada 4 dalil yang berasal dari kebenaran universal, yaitu kesatuan hukum dan kesinambungan, transformasi, bergerak sepanjang garis, dan ada sesuatu irama dari gerakan.Spencer lebih lanjut mengatakan bahwa harus ada hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor-faktor yang berbeda di dalam proses evolusioner. Sedang sistem evolusi umum yang pokok menurut Spencer seperti yang dikutip Siahaan, ada 4 yaitu ketidakstabilan yang homogen, berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam ratio geometris, kecenderungan terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk pengelompokan atau segregasi, dan adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.Spencer memandang sosiologi sebagai suatu studi evolusi di dalam bentuknya yang paling kompleks. Di dalam karyanya, Prinsip-prinsip Sosiologi, Spencer membagi pandangan sosiologinya menjadi 3 bagian yaitu faktor-faktor ekstrinsik asli, faktor intrinsik asli, faktor

Page 2: Mengenal-Pemikiran COMTE

asal muasal seperti modifikasi masyarakat, bahasa, pengetahuan, kebiasaan, hukum dan lembaga-lembaga.Giddings pada tahun 1890 meringkas ajaran sistem sosial yang telah disepakati oleh Spencer sendiri adalah sebagai berikut:

1.  Masyarakat adalah organisme atau superorganis yang hidup berpencar-pencar.2.  Antara masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu equilibrasi

tenaga agar kekuatannya seimbang.3.  Konflik menjadi suatu kegiatan masyarakat yang sudah lazim.4.  Rasa takut mati dalam perjuangan menjadi pangkal kontrol terhadap agama.5.  Kebiasaan konflik kemudian diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dan agama

menjadi militerisme.6.  Militerisme menggabungkan kelompok-kelompok sosial kecil menjadi kelompok sosial

lebih besar dan kelompok-kelompok tersebut memerlukan integrasi sosial.7. Kebiasaan berdamai dan rasa kegotongroyongan membentuk sifat, tingkah laku serta

organisasi sosial yang suka hidup tenteram dan penuh rasa setia kawan.

Teori Herbert Spencer tenang Evolusi Masyarakat, Etika, dan PolitikEvolusi secara umum adalah serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan, kumulatif, terjadi dengan sendirinya, dan memerlukan waktu lama. Sedang evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.Perspektif evolusioner adalah perspektif teoretis paling awal dalam sosiologi. Perspektif evolusioner pada umumnya berdasarkan pada karya August Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903).Menurut Spencer, pribadi mempunyai kedudukan yang dominan terhadap masyarakat. Secara generik perubahan alamiah di dalam diri manusia mempengaruhi struktur masyarakat sekitarnya. Kumpulan pribadi dalam kelompok/masyarakat merupakan faktor penentu bagi terjadinya proses kemasyarakatan yang pada hakikatnya merupakan struktur sosial dalam menentukan kualifikasi.Spencer menempatkan individu pada derajat otonomi tertentu dan masyarakat sebagai benda material yang tunduk pada hukum umum/universal evolusi. Masyarakat mempunyai hubungan fisik dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk tertentu dalam masyarakat.Darwinisme sosial populer setelah Charles Darwin menerbitkan buku Origin of Species (1859), 9 tahun setelah Spencer memperkenalkan teori evolusi universalnya. Ia memandang evolusi sosial sebagai serangkaian tingkatan yang harus dilalui oleh semua masyarakat yang bergerak dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih rumit dan dari tingkat homogen ke tingkat heterogen.Semua teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang dilalui oleh semua masyarakat. Perubahan sosial ditentukan dari dalam (endogen). Evolusi terjadi pada tingkat organis, anorganis, dan superorganis.Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk perbaikan hidupnya. Pandangan-pandangan sosiologi Spencer sangat dipengaruhi oleh pesatnya kemajuan ilmu biologi, terutama beberapa ahli biologi berikut ini dan pandangannya:

1.  Pelajaran tentang sifat keturunan (descension) Lamarck (1909).2.  Teori seleksi dari Darwin (1859).3. Teori tentang penemuan sel.

Membandingkan masyarakat dengan organisme, Spencer mengelaborasi ide besarnya secara detil pada semua masyarakat sebelum dan sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada 3 kecenderungan perkembangan masyarakat dan organisme:

Page 3: Mengenal-Pemikiran COMTE

1.  pertumbuhan dalam ukurannya,2.  meningkatnya kompleksitas struktur, dan3. diferensiasi fungsi.

Teori tentang evolusi dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori yaitu:1.  Unilinear theories of evolution.2.  Universal theory of evolution.3. Multilined theories of evolution.

Spencer telah menggabungkan secara konsisten tentang etika, moral dan pekerjaan, terutama dalam bukunya The Principles of Ethics (1897/1898). Isu pokoknya adalah apakah etika dan politik menguntungkan atau merugikan sosiologi. Idenya adalah untuk memperluas metodologi individunya dan memfokuskan diri pada fernomena level makro berdasarkan pada fenomena individu sebagai unit.Karakteristik orang dalam asosiasi negara diperoleh dari yang melekat pada tubuh, hukum, dan lingkungannya. Kedekatan individu adalah pada moral sosial dan yang lebih jauh adalah ketuhanan. Oleh karena itu orang melihat moral sebagai jalan hidup kebenaran yang hebat.

EVOLUSI AKAL BUDI AUGUSTE COMTE

Positivisme

Auguste Comte (1798-1857) dikenal sebagai pelopor positivisme.  Positivisme adalah

paham dan gerakan pemikiran yang menekankan sains dan ilmu positif sebagai puncak

perkembangan pengetahuan manusia dan bahwa metode kerja ilmu positif merupakan satu-

satunya metode yang dapat memberikan pengetahuan yang objektif benar tentang

kenyataan yang ada.

 

Hukum Tiga Tahap Pemikiran

Titik awal pemikiran filsafat Comte adalah apa yang disebut “Les trios ages de la raison” (hukum tiga tahap pemikiran).  Menurut Comte, pemikiran manusia, baik individual

maupun kolektif sebagai suatu bangsa, kebudayaan dan sejarah pemikiran pada

umumnyas, berkembang melalui tiga tahap, yaitu: tahap teologis, metafisis dan positif-ilmiah

 

Tahap Teologis

Tahap ini, oleh Comte, dirinci menjadi tiga tahap lagi, yaitu: tahap animisme, politeisme dan

monoteisme.  Dasar pemikiran pada tahap pemikiran ini adalah bahwa gejala-gejala alam

merupakan hasil tindakan langsung dari Yang Ilahi.  Pada tahap animisme, semua benda

dianggap berjiwa, khususnya benda-benda yang diangap sakral (suci atau keramat).  Dalam

tahap politeisme dipercayai adanya banyak dewa di balik gejala-gejala alam. Akhirnya, pada

tahap monoteisme meyakini bahwa ada satu kekuatan atau actor Ilahi tunggal di balik

semua- gejala alam.

 

Tahap Metafisis

Page 4: Mengenal-Pemikiran COMTE

Pelaku Ilahi pada tahap teologis diganti dengan daya kekuatan abstrak yang dipercayai

sebagai penyebab gejala-gejala yang teramati.

 

Tahap Positif-Ilmiah

Manusia mulai menolak untuk berspekulasi mencari arche (asal-muasal)

realitas.  Pemikiran manusia mulai terarah pada usaha menemukan hukum alam yang

dapat menjelaskan gejala-gejala alam berdasarkan pengamatan inderawi dan

penalaran.  Metode ilmiah digunakan untuk menggali dan menemukan fakta-fakta empiris,

serta membuat prediksi berdasarkan hukum kausalitas (sebab-akibat).  Menurut Comte,

manusia mengetahui supaya siap untuk bertindak (savoir pour prevoir).  Sains

memunculkan prediksi, dan prediksi memunculkan aksi.  

Sosiologi Klasik:Auguste Comte versus Pitirim A Sorokhin

 December 3rd, 2010 |   Author: wijaykhaldun

I. Riwayat Hidup

Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Prancis tahun 1798, keluarganya beragama khatolik dan berdarah bangsawan. Dia mendapatkan pendidikan di Ecole Polytechnique di Prancis, namun tidak sempat menyelesaikan sekolahnya karena banyak ketidakpuasan didalam dirinya, dan sekaligus ia adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak.

Comte akhirnya memulia karir profesinalnya dengan memberi les privat bidang matematika. Namun selain matematika ia juga tertarik memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat terutama minat ini tumbuh dengan suburnya setelah ia berteman dengan Saint Simon yang mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya.

Kehidupan ekonominya pas-pasan, hampir dapat dipastikan hidupa dalam kemiskinan karena ia tidak pernah dibayar sebagaimana mestinya dalam memberikan les privat, dimana pada waktu itu biaya pendidikan di Prancis sangat mahal. Pada tahun 1842 ia menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Course of Positive Philosophy dalam 6 jilid, dan juga karya besar yang cukup terkenal adalah System of Positive Politics yang merupakan persembahan Comte bagi pujaan hatinya Clothilde de Vaux, yang begitu banyak mempengaruhi pemikiran Comte di karya besar keduanya itu. Dan dari karyanya yang satu ini ia mengusulkan adanya agama humanitas, yang sangat menekankan pentingnya sisi kemanusiaan dalam mencapai suatu masyarakat positifis.

Page 5: Mengenal-Pemikiran COMTE

Comte hidup pada masa akhir revolusi Prancis termasuk didalamnya serangkaian pergolakan yang terus berkesinambungan sehingga Comte sangat menekankan arti pentingnya Keteraturan Sosial. Pada tahun 1857 ia mengakhiri hidupnya dalam kesengsaraan dan kemiskinan namun demikian namanya tetap kita kenang hingga sekarang karena kegemilangan pikiran serta gagasannya. Konteks Sosial dan Lingkungan Intelektual Untuk memahami pemikiran Auguste Comte, kita harus mengkaitkan dia dengan faktor lingkungan kebudayaan dan lingkungan intelektual Perancis. Comte hidup pada masa revolusi Perancis yang telah menimbulkan perubahan yang sangat besar pada semua aspek kehidupan masyarakat Perancis. Revolusi ini telah melahirkan dua sikap yang saling berlawanan yaitu sikap optimis akan masa depan yang lebih baik dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebaliknya sikap konservatif atau skeptis terhadap perubahan yang menimbulkan anarki dan sikap individualis.

Lingkungan intelektual Perancis diwarnai oleh dua kelompok intelektual yaitu para peminat filsafat sejarah yang memberi bentuk pada gagasan tentang kemajuan dan para penulis yang lebih berminat kepada masalah-masalah penataan masyarakat. Para peminat filsafat sejarah menaruh perhatian besar pada pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah sejarah memiliki tujuan, apakah dalam proses historis diungkapkan suatu rencana yang dapat diketahui berkat wahyu atau akal pikiran manusia, apakah sejarah memiliki makna atau hanyalah merupakan serangkaian kejadian yang kebetulan. Beberapa tokoh dapat disebut dari Fontenelle, Abbe de St Pierre, Bossuet, Voltaire, Turgot, dan Condorcet. Para peminat masalah-masalah penataan masyarakat menaruh perhatian pada masalah integrasi dan ketidaksamaan. Tokoh-tokohnya antara lain Montesquieu, Rousseau, De Bonald.

Dua tokoh filusuf sejarah yang mempengaruhi Comte adalah turgot dan Condorcet. Turgot merumuskan dua hukum yang berkaitan dengan kemajuan. Yang pertama berisi dalil bahwa setiap langkah berarti percepatan. Yang kedua adalah hukum tiga tahap perkembangan intelektual, pertama, orang pertama menemukan sebab-sebab adanya gejala-gejala dijelaskan dalam kegiatan mahluk-mahluk rohaniah, kedua, gejala-gejala dijelaskan dengan bantuan abstraksi dan pada tahap ketiga orang menggunakan matematika dan eksperimen.

Menurut Condorcet, Studi sejarah mempunyai dua tujua, pertama, adanya keyakinan bahwa sejarah dapat diramalkan asal saja hukum-hukumnya dapat diketahui (yang diperlukan adalah Newton-nya Sejarah). Tujuan kedau adalah untuk menggantikan harapan masa depan yang ditentukan oleh wahyu dengan harapan masa depan yang bersifat sekuler. Menurut Condorcet ada tiga tahap perkembangan manusia yaitu membongkar perbedaan antar negara, perkembangan persamaan negara, dan ketiga kemajuan manusia sesungguhnya.

Dan Condorcet juga mengemukakan bahwa belajar sejarah itu dapat melalui, pengalaman masa lalu, pengamatan pada kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan peradaban manusia, da menganalisa kemajuan pemahaman manusia terhadap

Page 6: Mengenal-Pemikiran COMTE

alamnya. Dan penulis yang meminati masalah penataan masyarakat, Comte dipengaruhi oleh de Bonald, dimana ia mempunyai pandangan skeptis dalam memandang dampak yang ditimbulkan revolusi Perancis. Baginya revolusi ini hanya menghasilkan keadaan masyarakat yang anarkis dan individualis.

II. PERSEPTIF POSITIVISME COMTE TENTANG MASYARAKAT

Comte percaya bahwa penemuan hukum-hukum alam itu akan membukakan batas-batas yang pasti yang melekat (inherent) dalam kenyataan social, dan melampaui batas-batas itu usaha pembaruan akan merusakkan dan menghasilkan yang sebaliknya. Skeptisisme Comte yang berhubungan dengan usaha-usaha pembaruan besar-besaran serta penghargaannya terhadap tonggak-tonggak keteraturan social tradisional menyebabkan dia dimasukkan ke dalam kategori orang konservatif.

Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organic yang kenyataannya lebih daripada sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Andreski berpendapat, pendirian Comte bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa memperoleh pengetahuan tentang masyarakat menuntut penggunaan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya, merupakan sumbangannya yang tak terhingga nilainya terhadap perkembangan sosiologi.

Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah ini sebagai puncak suatu process kemajuan intelektual yang logis melalui mana semua ilmu-ilmu lainnya sudah melewatinya. Kemajuan ini mencakup perkembangan mulai dari bentuk-bentuk pemikiran teologis purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai ke terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif.

Kesatuan ilmu juga diperlihatkan menurut Comte semua ilmu itu memperlihatkan hukum perkembangan intelektual yang sama, seperti Nampak dalam perkembangan melalui tiga tahap pemikiran teologis, metalistik, dan positif. Sedangkan gagasan dasar bahwa manusia dan gejala social merupakan bagian dari alam dan dapat dianalisa dengan metode-metode ilmu alam, bukan dari Comte aslinya; sumbangan Comte metodologis yang menjadi dasar antara apa yang disebut ilmu-ilmu alam dan ilmu social.

1. Hukum Tiga Tahap

Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitive sampai ke peradaban Prancis abad kesembilan belas yang sangat maju. Hukum ini, yang mungkin paling terkenal dari gagasan-gagasan teoritis pokok Comte, tidak lagi diterima sebagai suatu penjelasan mengenai perubahan sejarah secara memadai. Juga terlalu luas dan umum sehingga

Page 7: Mengenal-Pemikiran COMTE

tidak dapat benar-benar tunduk pada pengujian empiris secara teliti, yang menurut Comte harus ada untuk membentuk hukum-hukum sosiologi.

Singkatnya, hukum itu menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat (atau umat manusia) berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan: teolitis, metafisik, dan positif.

Tahap teolitis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa yang lebih terperinci, Comte membaginya ke dalam periode fetisisme, politisme dan monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitive, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Akhirnya fetisisme ini diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak dewa itu diganti dengan kepercayaan akan satu yang tertinggi. Katolisisme di abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap monoteisme.

Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Protestantisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang berturut-turut dan semangat teologis ke munculnya semangat metafisik yang mantap. Satu manifestasi yang serupa dari semangat ini dinyatakan dalam Declaration of Independence: “Kita menganggap kebenaran ini jelas dari dirinya sendiri….” Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik.

Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivism memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris lebih daripada kemutlakan metafisik.

2. Hubungan antara Tahap – Tahap Intelektual dan Organisasi Sosial

Dalam melengkapi penelusuran akan perkembangan intelektual manusia, Comte mau memperlihatkan sumbangan masing-masing tahap terhadap atau dalam hubungannya dengan kehidupan social. Kalau membaca bukunya Course of Positive Philosophy, orang tidak bisa lain kecuali mencatat pandangan Comte yang meskipun cara-cara berfikir prapositif lebih rendah daripada cara-cara berpikir positif modern, di zamannya itu tahap-tahap yang terdahulu ini memperlihatkan

Page 8: Mengenal-Pemikiran COMTE

sumbangan yang bernilai terhadap keteraturan social dimana cara-cara berpikir itu dominan, dan dalam jangka panjang menyumbang perkembangan umat manusia yang terus menerus. Dalam penilaian ini, Comte sama dengan kelompok progresif yang nampaknya siap untuk menghapuskan sebagian besar sejarah pemikiran manusia sebagai suatu cerita dongeng bohong yang menyedihkan, atau takhayul demi takhayul yang pengaruh kumulatifnya menghalangi perkembangan manusia.

Selain sumbangan tahap-tahap sebelumnya terhadap evolusi social, masing-masing tahap juga memiliki hubungan afinitas yang khas dengan jenis organisasi social dimana cara berfikir itu dominan. Dengan kata lain, dalam setiap tahap itu, pola organisasi intelektualnya. Khususnya Comte merasa bahwa tahap teologis mendukung tipe organisasi social militer, sedangkan tahap positif yang terakhir mendukung tipe keteraturan social yang bersifat industrial. Tahap metafisik peralihan berhubungan dengna dominasi social dari “ahli hukum”, istilah Comte untuk menunjukkan mereka yang berusaha menarik doktrin-doktrin social dan politik dari pemahaman tentang hukum-hukum alam.

Munculnya suatu suatu masyarakat industry dirangsang oleh pertumbuhan filsafat dan ilmu pengetahuan positif, dan pada gilirannya merangsang pertumbuhan ilmu selanjutnya. Pengetahuan Ilmiah merupakan dasar kemajuan teknologi yang memungkinkan perkembangan industry. Selain itu, mentalitas positif dan mentalitas industrial bukan sesuatu yang bersifat dogmatis, melainkan suatu hal yang dapat diuji dan terus menerus mengusahakan kemajuan manusia. Pergantian dari dominasi militer ke dominasi industry tidak lain berarti bahwa masyarakat-masyarakat membelokkan perhatiannya, dari mengeksploitasi masyarakat lainnya ke mengeksploitasi alam. Sumbangan yang berarti secara social dari periode metafisik adalah dukungan ideologynya terhadap munculnya Negara bangsa.

Selama periode teologis, keluarga merupakan satuan social yang dominan (meskipun ada kelompok-kelompok yang lebih besar yang didirikan untuk kegiatan militer, atau sebagai hasil dari penguasaan militer). Dalam periode metafisik Negara bangsa menjadi suatu organisasi yang dominan. Comte optimis bahwa dengan munculnya tahap positif, nasionalisme akan digantikan dengan keteraturan social yang meliputi humanitas seluruhnya. Terkandung dalam diskusi mengenai arti social dari ketiga ini, adalah pengaruhnya terhadap perasaan manusia. Sehubungan dengan evolusi intelektual, ada suatu evolusi perasaan yang dibatasi oleh lingkaran yang makin lama makin luas dengan mana individu membentuk ikatan-ikatan emosionalnya. Pada tahap awal manusia dikenal terutama dengan keluarganya; kemudian ikatan emosional meluas ke Negara-bangsa; akhirnya manusia terasa terikat dengan humanitas keseluruhannya.

Comte mengakui bahwa perubahan dari satu tahap ke tahap berikutnya tidak pernah terjadi secara tiba-tiba, sehingga memperlihatkan sutau garis pemisah yang jelas dengan yang sebelumnya, serta memperlihatkan suatu awal tahap yang baru sama sekali. Sebaliknya, dalam semua periode sejarah, semua ketiga cara berpikir

Page 9: Mengenal-Pemikiran COMTE

itu sekarang ini ada dalam suatu derajat tertentu. Perbedaan antara tahap-tahap adalah sekarang ini ada dalam suatu derajat tertentu. Perbedaan antara tahap-tahap adalah dalam dominasi dari suatu bentuk atas dua lainnya secara relative. Juga di masa-masa awal tahap teologis, dasar-dasar pemikiran metafisik dan positif sehari-hari, yang positivism primitive sebagiannya terlihat dalam pengetahuan praktis sehari-hari, yang diperoleh orang-orang primitive dalam menghadapi lingkungannya.

Cepatnya perubahan dari satu tahap intelektual ke yang berikutnya, berlainan dalam periode sejarah yang berbeda-beda. Beberapa periode ditandai dengan stabilitas yang agak tinggi, apabila consensus atas dasar kepercayaan dan pandangan-pandangan adalah relative tinggi, dan organisasi social, struktur politik, cita-cita moral, dan kondisi-kondisi materil memperlihatkan suatu tingkat saling ketergantungan harmonis yang tinggi. Sebaliknya periode-periode di mana perubahan yang pesat dari satu tahap (tahap kecil) ke tahap berikutnya sedang terjadi, ditandai oleh kekacauan intelektual dan social. Makin besar kekacauan dalam masa peralihan dan makin lama berlangsungnya, makin menunjukkan terjadinya pergeseran dari satu tahap evolusi ke tahap berikutnya.

Meskipun hukum kemajuan menjamin evolusi jangka panjang satu tahap ke tahap berikutnya, berbagai factor sekunder dapat mempercepat prose situ, sebagiannya dengan meningkatkan pengaruh yang bertambah dari kehidupan intelektual dan moral, yang perlu untuk mengontrol ancaman individualism yang semakin bertambah, dan sebagiannya dengan merangsang meningkatnya pembagian pekerjaan. Proses evolusi dapat dihambat oleh dominasi filsafat kolot yang berkepanjangan, yang merupakan akibat dari usaha-usaha kelompok konservatif untuk mengatasi kekacauan suatu periode transisi dengan mengemukakan kembali tipe yang cocok dengan periode sebelumnya.

3. Prinsip – prinsip Keteraturan Sosial

Analisa Comte mengenai keteraturan social dapat dibagi dalam dua fase. Pertama usaha untuk menjelaskan keteraturan social secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan social sebagai suatu cita-cita yang normative dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan dan juga intelek. Karena kebanyakan sejarah manusia berada dibawah dominasi cara berpikir teologis, tidak mengherankan kalau agama dilihat sebagai sumber utama solidaritas social dan consensus. Selain ini isi kepercayaan agama mendorong individu untuk berdisiplin dalam mencapai tujuan yang mengatasi kepentingan individu dan meningkatkan perkembangan ikatan emosional yang mempersatukan individu dalam keteraturan social. Ikatan emosional ini didukung oleh kepercayaan bersama dan oleh partisipasi bersama dalam kegiatan-kegiatan pemujaan. Secara tradisional agama sudah merupakan institusi pokok yang mementingkan altruism lebih daripada egoism. Pengaruh pada masa lampau dalam membentuk opini

Page 10: Mengenal-Pemikiran COMTE

merangsang individu untuk bertindak spontan menurut cara-cara yang perlu untuk mempertahankan keteraturan social.

Sesungguhnya dalam pandangan Comte, individu sedemikian besarnya dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan social, sehingga satuan masyarakat yang asasi adalah bukan individu-individu, melainkan keluarga-keluarga. Dalam keluargalah individu itu diperkenalkan kepada masyarakat. Karena tingkat keakraban dalam keluarga demikian tingginya, insting-insting dasar individu dibentuk oleh perasaan social yang dominan dalam keluarga itu. Keluarga dalam bentuk mikrokosmik memberikan pengalaman akan dominasi dan ketaatan, kerja sama, serta munculnya perasaan-perasaan altruistic. Hubungan antara orang tua dan anak-anak menghubungkan masa lampau dengan masa yang akan datang, sedangkan hubungan ketaatan antara pasangan suami-istri merupakan salah satu dari insting alamiah yang paling kuat kaitannya dengan konvensi social dan kode moral. Kecuali dalam situasi yang jarang muncul, tak seorangpun terlepas dari pengaruh yang besar dari sosialisasi keluarga. Karena alas an inilah Comte merasa yakin untuk melihat keluarga dan bukan individu sebagai satuan masyarakat yang asasi dan sebagai suatu dasar utama keteraturan social.

Keteraturan social juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama ekonomi. Individu menjalankan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individunya. Tetapi, begitu pembagian pekerjaan muncul partisipasi individu dalam kegiatan ekonomi menghasilkan kerja sama, kesadaran akan saling ketergantungan dan muncul ikatan-ikatan social baru atas dasar itu. Pembagian pekerjaan meningkat bersama industrialisasi dan bertambahnya spesialisasi yang berhubungan dengan itu mendorong individualism. Sekaligus derajat saling kompleks, berbeda dengan masyarakat primitive yang berstruktur longgar dan berdiri sendiri, bersandar pada saling ketergantungan itu yang perkembangannya dibantu oleh pembagian pekerjaan yang sangat tinggi.

4. Agama Humanitas

Agama Humanitas Comte merupakan satu gagasan utopis untuk mereorganisasi masyarakat secara sempurna. Sosiologis akan menjadi ratu ilmu pengetahuan (seperti teologi di abad-abad pertengahan); hal itu memungkinkan satu penjelasan tentang kemajuan pengetahuan manusia secara komprehensif (termasuk semua ilmu lainnya) dan mengenai hukum-hukum keteraturan dan kemajuan social. Tambahan pula, hal itu mendorong suatu system moral yang merangkul semuanya, yang akan mempersatukan semua orang dalam penyembahan terhadap humanitas dan menjamin keteraturan social yang perlu untuk kemajuan selanjutnya.

Ahli-ahli sosiologi akan menjadi penjaga moral dan intelektual dalam tata baru itu, dan peranannya akan mencakup bimbingan bagi industriawan serta pemimpin-pemimpin pemerintahan untuk meyakinkan bahwa tindakan mereka dibimbing oleh pengetahuan ilmiah dan prinsip-prinsip moral. Singkatnya, para ahli sosiologi

Page 11: Mengenal-Pemikiran COMTE

akan menjadi imam-imam spiritual dalam tata social yang baru itu; di bawah pimpinannya yang bijaksana itu, anggota masyarakat akan belajar bahwa kebahagiaan serta kesejahteraan mereka, dan kemajuan social yang mantap tergantung pada perkembangan perasaan altruistic serta pelaksanaan tugas dalam meningkatkan kemanusiaan.

Gagasan Comte mengenai satu masyarakat positivis dibawah bimbingan moral agama Humanitas makin lama makin terperinc. Misalnya dia menyusun satu kalender baru dengan hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuwan-ilmuwan besar dan beberapa ritus dan doa yang disusun untuk menyalurkan hasrat-hasrat individu dan memasukkannya ke dalam the great being of humanity. Ada juga kultus terhadap sebagai imam agungnya berlutut di depan altarnya sendiri (sebuah kursi mewah sambil memegang seikat rambut kepala Clothilde de Vaux dan dia mengusulkan supaya kuburnya merupakan tempat ziarah.

Hal-hal yang terperinci ini memperlihatkan kepribadian Comte yang suka memaksa dan otoriter. Tetapi ingatlah bahwa dia melihat suasana social dan intelektual dimana hidupnya sebagai terancam anarki; dan seperti banyak kaum intelektual lainnya dengan perspektif organic, dia benci dan takut akan anarki. Juga seperti banyak kelompok konservatif lainnya, Comte mengagumi kesatuan dan sintesa serta keharmonisan social dan intelektual yang diketahuinya ada di dunia abad pertengahan. Meskipun pandangan konservatif dalam sejarah abad pertengahan adalah tidak murni karena mencerminkan kerinduan nostalgic akan masa lampau yang harmonis dan berarti, yang sebetulnya belum pernah ada, gambaran ini merupakan dasar perbandingan dengan kekacauan masa sekarang.

III. TEORI KEMAJUAN MILIK COMTE VERSUS TEORI SIKLUS PERUBAHAN BUDAYA MENURUT SOROKIN

Orang dapat berargumentasi bahwa pelbagai gagasan reorganisasi social yang dibuat Comte pada bagian kedua dari karirnya, mencerminkan hilangnya kepercayaan akan tidak terhindarnya kemajuan evolusi yang dijamin oleh hukum-hukum ilmiah dari dinamika social. Nampaknya dia beralih ke pandangan bahwa proses evolusi harus dibantu terus oleh usaha manusia. Walaupun begitu, kepercayaan Comte bahwa perkembangan positivism akan mengakibatkan kemajuan yang terus menerus adalah pasti. Teorinya mengandung implikasi bahwa sejarah bergerak ke tujuan akhir, dan bahwa tahap-tahap sejarah sebelumnya penting, terutama karena sumbangannya terhadap tujuan akhir ini. Tahap terakhir akan merupakan satu masyarakat dimana bimbingan intelektual dan moral yang diberikan oleh imam-imam sosiologi akan memungkinkan pemimpin-pemimpin politik untuk menentukan kebijaksanaan yang menjamin bahwa orang akan hidup bersama secara harmonis dan dimana industriawan yang berperikemanusian akan menyediakan alat-alat bagi menusia untuk memenuhi kebutuhan meteriilnya secara mencukupi. Bersama dengan pemikir-pemikir. Pencerahan abad kedelapan belas,

Page 12: Mengenal-Pemikiran COMTE

Comte mengambil model kemajuan linier (garis bujur) ini yang menuju kesatu tujuan akhir.

Kalau Comte mengusulkan suatu model linier yang berkulminasi pada munculnya masyarakat positivis, Sorokin mengembangkan model siklus perubahan social artinya, dia yakin bahwa tahap-tahap sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan mentalitas budaya yang dominan, tanpa membayangkan satu tahap akhir yang final. Tetapi siklus-siklus ini tidak sekedar pelipat gandaan saja sebaliknya ada banyak variasi dalam bentuk-bentuknya yang khusus dimana tema-tema budaya yang luas dinyatakan.

1. Pandangan Sorokin Mengenai Intregasi Sosial dan Budaya

Satu alaasan yang memungkinkan martindale melihat Sorokin sebagai seorang organisis, dapat dilihat pada tekanan Sorokin pada pemahaman system sosio-budaya secara keseluruhan. Prespektif organis menekannkan kenyataan masyarakat yang independen dan tradisi-tradisi budayanya sebagai suatu system yang intregritas. Analisa Sorokin mengenai dinamika system-sistem sosio budaya yang terintregitas secara luas dalam empat karangan utamanya, Social and Culture Dynamic, sejalan dengan pendekatan ini. Alasan penting lainnya untuk melihat Sorokin sebagai seorang ahli teori organis tanpa asumsi-asumsi positivis adalah penolakan Sorokin untuk membatasi konsepsinya mengenai kebenaran pada data empiris, sebaliknya dia menunjukkan suatu kerelaan untuk menerima suatu konsep mengenai kebenaran dan pengetahuan yang bersifat multidimensi, dengan data empiris memberikan sebagian pengetahuan. Sejalan dengan penekanan Sorokin pada arti-arti subyektif, hal itu memisahkan dia dari kelompok-kelompok positivis yang menekankan pada empiris sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sahih.

Sorokin sendiri menilai tidak tepat klasifikasi Martindale yang memasukkan pendekatannya kedalam suatu prespektif organis. Bukan mengasumsikan integrasi menyeluruh yang ditekankan Sorokin. Dia menekankan pentingnya mengetahui tingkat integrasi yang berbeda, dan mengkhususkan tingkat dimana aspek-aspek yang berbeda dalam kenyataan sosio-budaya itu dapat dikatakan terintegrasikan.

Juga berbeda sekali dengan penekanan kelompok organis pada pola-pola pertumbuhan dan kemunduran yang tidak berubah yang dilalui system-sistem budaya. Sorokin menekankan tingkat variabilitas yang tinggi yang diperlihatkannya. Tema-tema budaya dasar mungkin terulang, tetapi  pengulangan itu menunjukkan pola-pola yang berubah. Setiap tahap sejarah masyarakat memperlihatkan beberapa unsur yang kembali berulang (artinya, pengulangan tahap yang terdahulu) dan ada beberapa daripadanya yang unik. Sorokin mengacu pada pola-pola perubahan budaya jangka panjang yang bersifat “berulang-berubah” (Varyingly Recurrent ).

Page 13: Mengenal-Pemikiran COMTE

Penekanan Sorokin pada berulangnya tema-tema dasar dimaksudkan untuk menolak gagasan bahwa perubahan sejarah dapat dilihat sebagai suatu proses linear yang meliputi gerak dalam satu arah saja dalam hal ini Sorokin berbeda dari Comte yang percaya akan kemajuan yang mantap dalam perkembangan intelektual manusia.

Pendekatan Sorokin yang bersifat “integralis” itu memungkinkan dia untuk mengkritik dengan keras gagasan bahwa semua pengetahuan kita akhirnya berasal dari data empiris. Sebaliknya dia mengemukakan bahwa data empiris hanya memperlihatkan satu tipe kebenaran. Yakni kebenaran indrawi. Juga ada kebenaran akal budi dan yang ketiga adalah kebenaran kepercayaan atau intuisi,yang melampaui data indrawi dan rasionalitas.

2. Tipe – tipe mentalitas Budaya

Kunci untuk memahami suatu supersistem budaya yang terintegrasi adalah mentalitas budayanya. Ada tiga jawaban logis yang mungkin terhadap pertanyaan filosofis dasar itu. Pertama adalah bahwa kenyataan akhir itu seluruhnya terdiri dari dunia meteriil yang kita alami dengan indra. Yang lainnya adalah bahwa kenyataan akhir itu terdiri dari suatu dunia atau tingkat keberadaan yang melampaui dunia materiil ini, artinya kenyataan akhir itu bersifat transenden dan tidak dapat ditangkap sepenuhnya dengan indra kita. Jawaban ketiga yang mungkin adalah antara kedua ekstrim dan keadan itu,yang secara sederhana berarti bahwa kenyataan itu mencakup dunia materiil dan dunia transenden.

Atas dasar itu, Sorokin menyebutkan 3 mentalitas budaya dan beberapa tipe – tipe kecil yang merupakan dasar untuk ke 3 supersistem sosio – budaya yang berbeda – beda.

1.  Kebudayaan Ideasional.

Tipe ini mempunyai dasar berpikir ( premis ) bahwa kenyataan ahkir itu bersifat nonmateriil, transeden, dan tidak dapat ditangkap oleh indera. Dunia ini dilihat sebagai suatu illusi, sementara, dan tergantung pada dunia transeden, atau sebagai aspek kenyataan yang tidak sempurna dan tidak lengkap. Kenyataan ahkir merupakan dunia Allah atau nirwana, atau suatu konsepsi lainnya mengenai ada yang kekal dan tidak materil. Tingkat ini dipecah menjadi beberapa bagian:

a.                            Kebudayaan Ideasional Asketik. Mentalitas ini memperlihatkan suatu ikatan tanggung jawab untuk mengurangi sebanyak mungkin kebutuhan materil manusia supaya mudah diserap ke dunia transeden.

b.                           Kebudayaan Ideasional Aktif. Selain untuk mengurangi kebutuhan inderawi, tipe ini berusaha mengubah dunia materil supaya selaras dengan dunia transeden.

Page 14: Mengenal-Pemikiran COMTE

2. Kebudayaan Inderawi ( Sentase Culture )

Tipe ini didasarkan pada pemikiran pokok bahwa dunia materil yang kita alami dengan dunia kita merupakan satu – satunya yang ada. Eksistensi kenyataan adi – inderawi atau transendan disangkal. Mentalitas ini dapat dibagi sebagai berikut :

a.                          Kebudayaan Inderawi Aktif. Kebudayaan ini mendorong usaha aktif dan giat untuk meningkatkan sebanyak mungkin pemenuhan kebutuhan materil dengan mengubah dunia fisik ini sedemikian, sehingga menghasilkan sumber – sumber keputusan dan kesenangan manusia. Mentalitas ini mendasari pertumbuhan teknologi dan kemajuan – kemajuan ilmiah serta kedokteran.

b.                          Kebudayaan Indrawi Pasif. Mentalitas inderawi pasif meliputi hastrat untuk mengalami kesenangan – kesenangan hidup inderawi setinggi – tingginya. Sorokin menggambarkan pendekatan ini sebagai suatu “ eksploitasi parasit “ dengan motto “ makan, minum, dan kawinlah karena besok kita mati “. Mengejar kenikmatan tidak dipengaruhi oleh suatu tujuan jangka panjang apa pun.

c.                          Kebudayaan Inderawi Sinis. Dalam hal tujuan – tujuan utama, mentalitas ini serupa dengan kebudayaan inderawi pasif, kecuali bahwa mengejar tujuan – tujuan inderawi / jasmaniah dibenarkan oleh rasionalisasi ideasional. Dengan kata lain, mentalitas ini memperlihatkan secara mendasar usaha yang bersifat munafik untuk membenarkan pencapaian tujuan materialistis atau inderawi dengan menunjukkan sistem nilai transenden yang pada dasarnya tidak diterimanya.

3. Kebudayaan Campuran

Kategori ini mengandung penegasan terhadap dasar berpikir ( empiris ) mentalitas ideasional dan inderawi. Ada 2 tipe dasar yang terdapat dalam mentalitas kebudayaan campuran ini:

a.                             Kebudayaan Idealistis. Kebudayaan ini terdiri dari suatu campuran organis dari mentalitas ideasional dan inderawi sedimikian, sehingga keduanya dapat dilihat sebagai pengertian – pengartian yang sahih mengenai aspek – aspek tertentu dari kenyataan ahkir. Dengan kata lain, dasar berpikir kedua mentalitas itu secara sistematis dan logis sangat berhubungan.

b.                            Kebudayaan Ideasional Tiruan. Tipe ini khususnya didominasi oleh pendekatan inderawi, tetapi unsur – unsur ideasional hidup secara berdampingan dengan yang inderawi, sebagai suatu perspektif yang saling berlawanan ini tidak terintegrasi secara sistematis, kecuali sekedar hidup berdampingan sejajar satu sama lain.

Page 15: Mengenal-Pemikiran COMTE

Analisa Sorokin mengenai pelbagai mentalitas budaya dapat dibandingkan dan dikontraskan dengan gambaran comte mengenai tiga tahap dalam evolusi perkembangan intelektual manusia. Seperti sudah kita lihat di depan, kedua teori ini sangat bercorak “ mentalitas ” artinya keduanya melihat gagasan – gagasan dasar yang terkandung dalam pandangan – pandangan dunia yang dominan atau gaya berpikir sebagai kunci untuk memahami kenyataan sosio – budaya. Tetapi kalau Comte mengemukakan bahwa sejarah manusia memperlihatkan kemajuan uni linier, yang didasarkan pada perkembangan ilmu, yang bergerak maju tak terbatas kemasa depan, Sorokin mempertahankan bahwa ketiga tipe mentalitas budaya yang asasi itu dapat berulang dalam satu bentuk siklus. Daripada meramalkan perkembangan ilmu yang terus menerus didasarkan pada suatu pandangan dunia materialistis, Sorokin secara profetis meramalkan suatu ahkir dari periode inderawi dan pada ahkirnya kelahiran kembali suatu tahap baru mentalitas ideasional.

Salah satu ahli yang mengkritik Comte adalah Sorokin.

Dia berpendapat, Kalau Comte mengusulkan suatu model linier yang berkulminasi pada munculnya masyarakat positivis, Sorokin mengembangkan model siklus perubahan social artinya, dia yakin bahwa tahap-tahap sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan mentalitas budaya yang dominan, tanpa membayangkan satu tahap akhir yang final. Tetapi siklus-siklus ini tidak sekedar pelipat gandaan saja sebaliknya ada banyak variasi dalam bentuk-bentuknya yang khusus dimana tema-tema budaya yang luas dinyatakan.

PERKEMBANGAN SOSIOLOGI DI INDONESIA

BAB IPENDAHULUAN

Latar Belakang MasalahSeorang manusia akan memiliki perilaku yang berbeda dengan manusia lainnya

walaupun orang tersebut kembar siam. Ada yang baik hati suka menolong serta rajin menabung dan ada pula yang prilakunya jahat yang suka berbuat kriminal menyakitkan hati. Manusia juga saling berhubungan satu sama lainnya dengan melakukan interaksi dan membuat kelompok dalam masyarakat.

Perkembangan masyarakat pada abad 20 ini tidak dapat lepas dari berbagai macam pengaruh masuknya tata nilai budaya yang baru. Perubahan struktur masyarakat menyebabkan lahirnya berbagai topik kajian sosiologi. Sosiologi berasal dari bahasa yunani yaitu kata socius dan logos, di mana socius memiliki arti kawan / teman dan logos berarti kata atau berbicara. Menurut Bapak Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.

Dalam makalah ini akan dituliskan tentang perkembangan Sosiologi sebagai ilmu di indonesia beserta penjelasan tokoh Sosiologi Indonesia atau Bapak Sosiologi Selo Soemardjan.

Page 16: Mengenal-Pemikiran COMTE

Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka masalah dalam makalah ini dirumuskan

sebagai berikut :1. Bagaimana perkembangan Sosiologi secara umum?2. Bagaimana perkembangan Sosiologi di Indonesia?3. Siapa sajakah tokoh Sosiologi di Indonesia?

Tujuan PenulisanDalam makalah ini, tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui perkembangan Sosiologi secara umum.2. Mengetahui perkembangan Sosiologi di Indonesia.3. Mendeskripsikan tokoh Sosiologi di Indonesia.

BAB IIPEMBAHASAN

Perkembangan Sosiologi Secara GlobalSebagai suatu disiplin akademis yang mandiri, sosiologi masih berumur relatif

muda yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy, yang diterbitkan dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Menurut Comte ilmu sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Hal ini merupakan pandangan baru pada saat itu. Di Inggris Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology dalam tahun 1876. Ia menerapkan teeori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang “evolusi sosial” yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.

Seorang Amerika Lester F. Ward yang menerbitkan bukunya “Dynamic Sociology” dalam tahun 1883, menghimbau kemajuan sosial melalui tindakan-tindakan sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog.

Seorang Perancis, Emile Durkheim menunjukkan pentingnya metodologi ilmiah dalam sosiologi. Dalam bukunya Rules of Sociological Method yang diterbitkan tahun 1895, menggambarkan metodologi yang kemudian ia teruskan penelaahannya dalam bukunya berjudul Suicide yang diterbitkan pada tahun 1897. Buku itu memuat tentang sebab-sebab bunuh diri, pertama-tama ia merencanakan disain risetnya dan kemudian mengumpulkan sejumlah besar data tentang ciri-ciri orang yang melakukan bunuh diri dan dari data tersebut ia menarik suatu teori tentang bunuh diri.

Kuliah-kuliah sosiologi muncul di berbagai universitas sekitar tahun 1890-an. The American Journal of Sociology memulai publikasinya pada tahun 1895 dan The American Sociological Society (sekarang bernama American Sociological Association) diorganisasikan dalam tahun 1905. Sosiolog Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka kebanyakan pula berasal dari para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal dari bidang-bidang sejarah, ekonomi politik atau filsafat.

Urbanisasi dan industrialisasi di Amerika pada tahun 1900-an telah menciptakan masalah sosial. Hal ini mendorong para sosiolog Amerika untuk mencari solusinya. Mereka melihat sosiologi sebagai pedoman ilmiah untuk kemajuan sosial. Sehingga kemudian ketika terbitnya edisi awal American Journal of Sociology isinya hanya sedikit yang mengandung artikel atau riset ilmiah, tetapi banyak berisi tentang peringatan dan nasihat akibat urbanisasi dan industrialisasi. Sebagai contoh suatu artikel yang terbit di tahun 1903 berjudul “The Social Effect of The Eight Hour Day” tidak mengandung data

Page 17: Mengenal-Pemikiran COMTE

faktual atau eksperimental. Tetapi lebih berisi pada manfaat sosial dari hari kerja yang lebih pendek.

Namun pada tahun 1930-an beberapa jurnal sosiologi yang ada lebih berisi artikel riset dan deskripsi ilmiah. Sosilogi kemudian menjadi suatu pengetahuan ilmiah dengan teorinya yang didasarkan pada obeservasi ilmiah, bukan pada spekulasi-spekulasi.

Para sosiolog tersebut pada dasarnya merupakan ahli filsafat sosial. Mereka mengajak agar para sosiolog yang lain mengumpulkan, menyusun, dan mengklasifikasikan data yang nyata, dan dari kenyataan itu disusun teori sosial yang baik.

Bapak Pendiri Sosiologi (The Founding Fathers Of Sosiology) yang sampai kini pikirannya masih dipakai dalam teori sosiologi, yaitu Auguste Comte, Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim. Pandangan mereka telah memberi stimulan diskusi panjang tentang pelbagai persoalan terkait dgn kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pandangan mereka juga digunakan dalam disiplin ilmu social lain seperti ilmu politik, ekonomi, antropologi, dan sejarah.

Perkembangan Sosiologi di IndonesiaSejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di

Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri PAduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).

Ki Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia, memberikan sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan kekeluargaan di Indonesia yang dengan nyata di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.

Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.

Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Perang Dunia ke dua diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah Sosiologi masih sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi yang dikuliahkan sebagin besar bersifat filsafat Sosial dan Teoritis, berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese, Bierens de Haan, Steinmetz dan sebagainya.

Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum tersebut malah ditiadakan. Para Guru Besar yang bertaggung jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga

Page 18: Mengenal-Pemikiran COMTE

dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.

Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai Filsafat.

Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.

Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan terjemahan buku-bukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer dan Sociologie, bergrippen en problemen serta buku Lysen yang berjudul Individu en Maatschapppij.

Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi terbit tahun 1964.

Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.

Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang sewajarnya, oleh karena masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative mutlak, sementara sosiologi tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku mutlak disebkan masing-masing manusia memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai merupakan masyarakat majemuk yang mencakup berates suku.

Tokoh Sosiologi di IndonesiaBanyak nama atau orang Indonesia yang menjadi ahli atau sosiolog besar dalam

perkembangan sosiologi di Indonesi. Diantaranya adalah Prof. Dr. Selo Soemardjan, Prof Dr Paulus Wirutomo dan Arief Budiman. Berikut biografi singkat dan peran – peran tokoh tersebut dalam perkembangan sosiologi di Indonesia :Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan atau Bapak Sosiologi

IndonesiaKanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan (lahir di Yogyakarta, 23

Mei 1915 – meninggal di Jakarta, 11 Juni 2003 pada umur 88 tahun) adalah seorang tokoh pendidikan dan pemerintahan Indonesia. Beliau juga disebut sebagai Bapak Sosiologi Indonesia.

Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).

Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar

Page 19: Mengenal-Pemikiran COMTE

dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.

Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.

Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pantas karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang bersih yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat.

Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto.

Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -- seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.

Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan sampai akhir hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI. Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat pendidikan Belanda.

Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. "Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali," tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas.

Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain.

Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, "Pak Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama." Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. "Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah," tulis Lopa.

Page 20: Mengenal-Pemikiran COMTE

Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka "mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat," kenang Baharuddin Lopa.

Dalam tulisan Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya.

Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya.

Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.

Pendidikan yang ditempuh oleh Selo Soemardjan adalah HIS, Yogyakarta (1921-1928), MULO, Yogyakarta (1928-1931), MOSVIA, Magelang (1931-1934), kemudian dilanjutkan di Universitas Cornell, Ithaca, New York, AS (Sarjana, 1959 Doktor, 1959)

Perjalanan karirnya meningkat setahap demi setahap sebagai berikut Pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1935-1949)Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya (1949-1950)Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri (1950-1956)Sekretaris Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (1959- 1961)Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK)Sekretaris Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri (1966-1973)Sekretaris Wakil Presiden RI (1973-1978)Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978- 1983)Staf Ahli Presiden RI (1983-sekarang)Guru Besar Universitas IndonesiaKarya yang dihasilkan semasa hidupnya antara lain :Social Changes in Yogyakarta (1962)Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963)Desentralisasi PemerintahanPenghargaan yang diterima antara lain Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah 17 Agustus 1994Gelar ilmuwan utama sosiologi 30 Agustus 1994Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada

puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002Prof Dr Paulus Wirutomo sang Sosiolog Pendidikan

Prof Dr Paulus Wirutomo sosiolog dan guru besar FISIP Universitas Indonesia. Pria kelahiran Solo, 29 Mei 1949, ini menamatkan sarjana sosiologi dari Universitas Indonesia, 1976. Meraih S2 bidang Perencanaan Sosial dari University College of Swansea Wales, Inggris, 1978 dan S3 bidang Sosiologi Pendidikan dari State University of New York at Albany, USA, 1986.

Page 21: Mengenal-Pemikiran COMTE

Dia menjabat Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI, 2005-2009 dan Ketua Program Magister Manajemen Pembangunan Sosial Pascasarjana UI, 1997-sekarang.

Dalam wawancara dengan Kompas di ruang kerjanya di Kampus FISIP UI Depok, beberapa hari menjelang Idul Fitri 1427 H, Prof Dr Paulus Wirutomo melihat sosial saat ini masih disalahpahami. Menurutnya, pembangunan sosial saat ini masih disalahpahami. Bagi pemerintah, pembangunan sosial hanya dianggap sebagai sektor pembangunan saja. Meskipun hal ini tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak bisa dibenarkan.

Pasalnya, kata Paulus, pengertian pembangunan sosial yang benar itu lebih dari sekadar pembangunan sektor. Dalam pembangunan sosial, harus termuat peningkatan interaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat. Tanpa terjadi kualitas hubungan sosial dari langkah pembangunan sosial yang diambil, sulit mengatakan adanya pembangunan sosial.

Menurutnya, bukan hanya pemerintah, tetapi sebagian besar kita masih memahami pembangunan sosial itu sekadar charity yang tidak menghasilkan uang. "Mengikuti logika pembangunan sosial sebagai sektor, maka pembangunan sosial ini membutuhkan masukan berupa penyediaan anggaran, perlu pembiayaan. Dan mengikuti pemahaman pembangunan sosial sebagai charity, maka pembangunan sosial itu dianggap sebagai sebuah langkah yang tidak menghasilkan apa pun. Atau paling tidak output-nya dinyatakan tidak menghasilkan uang," jelasnya.

Bahkan, menurut ahli sosiologi pendidikan itu, pendidikan, sama halnya dengan kesehatan dan agama yang juga dianggap pembangunan sosial, terkadang dianggap sebagai anggaran yang habis terpakai tanpa menghasilkan uang. Padahal, ujarnya, pembangunan pendidikan itu akan menghasilkan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang meningkat inilah yang nantinya diharapkan akan menjadi pendorong terjadinya peningkatan kualitas hubungan sosial.

Ditanya tentang adakah usaha yang sudah dilakukan untuk memberikan pemahaman yang betul? Paulus mengatakan bahwa Departemen Sosiologi UI sudah lebih dari 10 tahun terakhir sebenarnya sudah memberikan pemahaman yang betul, melalui pembukaan program manajemen pembangunan sosial. Bahkan, menurutnya, sebenarnya Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault dan Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadharma Ali merupakan sebagian kecil dari orang Indonesia yang pernah mendapatkan pendidikan manajemen pembangunan sosial di pascasarjana UI.

"Dulu kita membuka program manajemen pembangunan sosial ini karena kita di UI merasakan kok Sosiologi sebagai ilmu enggak punya sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Kami membuat program lanjutan S2, terutama pada pekerja sosial, pembangunan sosial, LSM, dan Bappeda. Ketika itu, kami melihat tenaga Bappeda yang ada, SDM-nya seadanya. Ada yang diambil dengan latar belakang ekonomi, hukum, pertanian, ataupun pakar teknik. Mestinya orang sosial budaya yang punya ilmu untuk pembangunan sosial bisa menyumbangkan pengetahuannya. Dengan membuka program manajemen pembangunan sosial ini diharapkan akan lahir kader manusia Indonesia yang memahami pembangunan sosial dan punya sumbangan besar bagi pembangunan bangsa," jelasnya.

Hasilnya? "Sesudah 10 tahun, kok hasilnya masih kurang dirasakan. Saya berpikir, persoalannya terletak pada inti pembangunan sosial yang ternyata memang belum bisa ditangkap secara baik oleh masyarakat dan terutama oleh pemerintah. Sekali lagi saya tegaskan, inti dari adanya pembangunan sosial adalah kualitas interaksi sosial, dan kualitas hubungan sosial di masyarakat. Interaksi sosial itu sifatnya lebih kasat mata. Misalnya orang berkonflik dengan saling lempar batu, tetapi

Page 22: Mengenal-Pemikiran COMTE

ada yang lebih mendalam dari interaksi sosial, misalnya hubungan itu antara buruh dan majikan, guru dan murid, rakyat dan pemerintah. Yang menyangkut hubungan kekuasaan, bagaimana kekuasaan yang Anda punya dan yang saya punya, bagaimana kekuasaan yang senjang bisa menghasilkan eksploitasi. Ini yang disebut hubungan sosial," jels Paulus.

Paulus sangat risau dengan perjalanan bangsa yang kualitas hubungan sosialnya sepertinya hanya jalan di tempat. Menurut Paulus, banyak bibit kreatif sumber daya manusia yang telah dimatikan oleh kebijakan nasional yang tidak berpihak pada usaha kreatif. Padahal, usaha kreatif ini mampu memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan bangsa.

Dia memisalkan: Si A baru lulus kuliah dari teknik industri dan berhasil memproduksi ataupun menciptakan alat pertanian, katakanlah pacul. Persoalan pertama yang dihadapi si A, dia tidak punya dana untuk memproduksi ciptaannya. Sistem perbankan yang ada tidak memungkin-kannya meminjam dari bank karena tidak punya jaminan. Solusi yang mungkin si A lakukan jika tetap ingin memproduksi idenya adalah meminjam uang dari saudara, kenalan, atau dari rentenir. Katakanlah dia berhasil mendapatkan pinjaman dana, lantas dia memulai produksi pacul ciptaannya. Apa yang terjadi kemudian, pemerintah mengimpor pacul dalam jumlah banyak dan dijual dengan harga lebih murah dari harga jual buatan si A. Jelas produksi si A tidak laku, kalah bersaing, dan akhirnya terpaksa menutup usaha produksinya yang menjadi produk kreatif anak bangsa. Karena tutup usaha pada saat belum berkembang, si A meninggalkan utang, hidupnya terbelit utang. Cita-citanya pupus dan tidak banyak yang bisa dilakukannya.

Dia berharap pemerintah sebagai pengambil kebijakan memberikan dukungan pada usaha-usaha anak bangsa yang kreatif untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. "Persoalan ini tidak sulit kalau memang pemerintah mau dan punya keberpihakan pada usaha kreatif. Inilah yang harus dilakukan sekarang, yaitu membuat kebijakan nasional yang berpihak pada usaha kreatif. Tanpa ini, saya kira, bangsa ini akan tetap seperti sekarang, kualitas hubungan sosialnya tidak meningkat," katanya.

Arief Budiman Sosiolog Lokal yang Melangkah ke Dunia InternasionalDoktor sosiologi yang terlahir dengan nama Soe Hok Djin ini meninggalkan

status sebagai dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah, pasca kerusuhan Mei 1998. Kemudian bersama istri Leila Ch. Budiman bermukim dan mengajar di Universitas Melbourne, Australia. Dia agaknya belum mau menghentikan sedikitpun suara kritisnya. Sejak masih muda lelaki keturunan Tionghoa ini sudah berani mengkritisi kebijakan Presiden Soekarno bahkan turut turun ke jalanan berdemosntrasi bersama mahasiswa menumbangkan Orde Lama.

Dia adalah kakak kandung Soe Hok Gie yang meninggal dunia sebagai tokoh pergerakan mahasiswa. Kendati turut menumbangkan Orde Lama namun justru di masa Soeharto sepak terjang dan sikap kritisnya semakin menjadi-jadi terlebih setelah berstatus dosen Program Studi Pembangunan di UKSW, Salatiga. Pemerintahan yang diwariskan kepada B.J. Habibie pun tak luput dari kekritisannya yang dia sebut tak lebih sebagai perpanjangan Orde Baru.

Bahkan hingga pemerintahan sudah jatuh ke tangan koleganya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, suara kritisnya tetap nyaring terdengar. Media massa pada suatu masa pernah ramai memuat kritiknya kepada Gus Dur ketika menjelang di ujung tanduk kekuasaan. Arief ketika itu menyarankan sebagai upaya untuk bisa bertahan Gus Dur jangan lebih banyak membuat musuh melainkan harus berkoalisi.

Page 23: Mengenal-Pemikiran COMTE

Akhirnya dia merelakan diri dihujani kritik bahkan makian tatkala kritik pedas terbarunya disampaikan tentang kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri dan PDI Perjuangan yang dianggapnya sebagai partai yang rusak dan kacau. Banyak simpatisan partai berlambang kepala banteng bulat dalam lingkaran putih itu menyebutkan pakar sosiologi lulusan Harvard University itu sebagai tidak nasionalis karena banyak bicara di luar dan mengkritik namun memilih bermukim di luar negeri.

Dia lalu menjelaskan makna dan pengertian nasionalisme sesungguhnya yang menurutnya dalam praktek sangat rentan terhadap manipulasi. Jadi tentang nasionalisme harus dilihat siapa yang menggunakan dan untuk kepentingan apa.

Namun secara teoritis kata Arief nasionalisme adalah persatuan secara kelompok dari suatu bangsa yang mempunyai sejarah yang sama, bahasa yang sama, dan pengalaman bersama. Tetapi definisi seperti itu jarang terjadi. Yang biasa terjadi adalah pemakaian pengertian nasionalisme secara spesifik sehingga rentan terhadap manipulasi. Karena nasionalisme terkadang dipakai untuk bermacam-macam hal maka pengertiannya harus pula dilihat kasus per kasus.

Mengatasnamakan nasionalisme untuk dikaitkan dengan amandemen dan penolakannya oleh sejumlah kalangan, misalnya, menurut Arief bisa relevan tetapi bisa juga tidak. Disebutkan, diartikan seakan-akan nasionalisme adalah negara kesatuan tetapi dalam negara kesatuan itu terdapat eksploitasi. Terhadap Jakarta yang mengambil terlalu banyak oleh daerah yang tidak kebagian meminta jatah dan tetap pula tidak dipedulikan yang berarti tidak ada nasionalisme di situ. Oleh mereka yang memperjuangkan nasionalisme kemudian berpendapat, “justru mungkin Republik Indonesia akan lebih dipersatukan bila menjadi negara serikat atau federal state.”

Dicontohkan, negara Australia tempatnya bermukim sekarang kuat sekali nasionalismenya sebab tiap negara bagian mempunyai pemerintahan masing-masing seperti juga di Amerika Serikat. Jadi, menurutnya, sama sekali tidak benar jika Republik Indonesia dipertahankan hanya kalau berbentuk negara kesatuan. Karena masalah sebenarnya adalah kepentingan, apakah kepentingan dari banyak orang terpelihara atau tidak. Dalam banyak kasus ternyata kepentingan lebih banyak orang akan semakin terpelihara jika negara berbentuk federal di mana kesatuan yang berpusat di Jakarta tidak diperlukan lagi.

Penyederhanaan nasionalisme menjadi sebentuk negara kesatuan adalah bermotif keinginan Jakarta mempertahankan hegemoni terhadap daerah. Lalu, mereka yang seakan-akan mau bebas dan tidak mau tunduk kepada Jakarta dianggap melawan nasionalisme. Padahal itu hanyalah pengatasnamaan seakan-akan Jakarta adalah seluruh Republik Indonesia dan dimaksudkan untuk mendapatkan untung bagi sebagian elit di Jakarta.

Amandemen Undang-undang Dasar 1945 dalam kacamata Arief Budiman umumnya adalah memperbaiki yang lama. Seperti pemilihan presiden langsung suatu hal yang baik masalahnya presiden hanya bisa dicalonkan oleh partai sehingga beresiko menimbulkan oligarki. Harusnya ada juga peluang untuk pencalonan presiden, gubernur, dan bupati secara independen. Adalah kemajuan bahwa presiden dipilih oleh rakyat secara langsung tetapi buntutnya masih dipegang oleh orang-orang yang punya vested interest dalam partai.

Kemajuan lain amandemen adalah dihapuskannya wakil militer di parlemen sejak tahun 2004. Militer yang seharusnya profesional itu jika ingin berpolitik maka berpolitiklah secara pribadi. Piagam Jakarta terutama Pasal 29 UUD 1945 tentang agama dalam pengertian yang sesungguhnya adalah tidak terjadi kemunduran karena

Page 24: Mengenal-Pemikiran COMTE

yang dipertahankan adalah yang lama. Arief menyimpilkan secara keseluruhan terjadi progresi dalam amandemen sehingga bisa memberikan tambahan optimisme.

Dia menyebutkan pada dasarnya konstitusi harus selalu diperbaharui dan yang berhak menentukan perubahan itu harus rakyat sendiri misalnya melalui semacam referendum khusus untuk hal-hal yang kontroversial. Konstitusi merupakan sesuatu yang dinamis dan mencerminkan kepentingan rakyat pada kurun waktu tertentu. Kepentingan bisa berubah karena waktu dan tempat juga berubah demikian pula lingkungan ikut berubah.

UUD 45 yang dibuat oleh para pendiri bangsa belum tentu cocok untuk keadaan selanjutnya. UUD 45 dibuat masih dalam keadaan kacau dan darurat sehingga sangat dibutuhkan pemerintahan yang kuat. Demikian pula soal hal asasi manusia belum dimasukkan karena sesungguhnya deklarasi HAM baru keluar tahun 1948 sehingga baru masuk dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang sudah tidak digunakan.

Arief menilai penolakan terhadap negara federal dahulu terjadi pada zaman Republik Indonesia Serikat (RIS) sebab ide federal dipakai oleh Belanda hanya sebagai alat pemecah-belah berbeda dengan jika sekarang yang dibuat oleh bangsa sendiri Belanda-nya saja sudah tidak ada lagi. Tentang federal, menurut Arief antara Megawati dengan militer setara punya mitos-mitos yang tidak bisa ditawar tanpa penjelasan yang baik.

Arief Budiman berpendapat bahwa rumusan umum nasionalisme adalah tatkala semua pihak mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya. Dalam definisi demikian apapun bisa masuk, semisal, jika negara kesatuan adalah sesuatu yang penting untuk mengembangkan bangsa maka itu adalah nasionalisme.

Demikian pula jika ada orang yang mengatakan bahwa negara federal akan lebih baik bagi kepentingan meningkatkan kesejahteraan semua sebagai bangsa maka itu juga nasionalisme. Seandainya harus berperang pun dengan Australia jika itu berguna untuk memperbaiki bangsa adalah nasionalisme juga. Tetapi jika semuanya tidak berguna maka menjadi tidak nasionalis. Nasionalisme adalah tujuan yang bisa dicapai dengan bermacam cara termasuk dalam hal amandemen konstitusi apakah perubahan itu baik bagi bangsa ini atau tidak.

Posisi nasionalisme dalam kasus pengusiran TKI dari negeri Malaysia, misalnya, menurut Arief Budiman kasusnya lebih banyak disebabkan karena kesalahan diplomasi serta kesemrawutan Departemen Luar Negeri dan pemerintah Indonesia mengurus warganya di luar negeri. Tanpa kata nasionalisme pun adalah kewajiban membela warga negara yang pergi sebagai orang miskin sebab tidak bisa hidup di negeri sendiri. Mestinya yang dipersoalkan kenapa orang-orang TKI itu cari makan di luar negeri yang lalu secara menyakitkan diusir oleh negara yang juga sama-sama mengalami kesulitan oleh karena kedatangan TKI itu. Kepada TKI itu kenapa tidak bisa diberikan pekerjaan.

Seiring dengan itu sebagai orang Salatiga Arief Budiman ikut pula merasakan sentimentil sejenis milik para TKI yang ingin pulang ke kampung halaman sebab merasa sudah capek berbicara bahasa Inggris terus-menerus bahkan hingga bermimpi pun memakai bahasa Inggris. Bagi dia Salatiga adalah tetap sebagai tanah air. Meskipun dia merasa bukan patriot bahkan jika harus merasa bukan Indonesia sekalipun bagi dia pun bukan masalah yang penting Salatiga adalah tetap sebagai tanah air.

Dia tetap ingin pulang ke Indonesia. Selain karena teman-temannya ada di Indonesia dia kalau ngomong berbahasa Indonesia dia rasakan lebih puas termasuk kalau ngomong lelucon atau ngomong jorok lebih plong rasanya sebab emosi keluar

Page 25: Mengenal-Pemikiran COMTE

semua. Semua itu telah membuat dia rindu selalu terhadap Indonesia walau dia anggap itu bukanlah sebagai patriotisme atau nasionalisme. Tetapi karena dilahirkan di Indonesia, kecil diIndonesia, teman-temannya di Indonesia termasuk bahasa yang dia pakai ketika pertama kali menyatakan emosi adalah bahasa Indonesia memberi dia alasan untuk rindu Indonesia. Karenanya pada hari tua Arief Budiman akan lebih senang berada di Indonesia. Dia mempersilakan kalau sikapnya itu bisa disebut sebagai nasionalisme..

Perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia dilihat oleh Arief Budiman sebagai sebuah pergerakan sejarah yang tetap memberi harapan. Arief pernah mengalami hidup di zaman Soekarno demikian pula Soeharto termasuk masa reformasi. Jika pada zaman Soeharto saja dia masih punya harapan maka harapan itu menjadi lebih setelah sekarang Soeharto jatuh. Progresi yang terjadi dia lihat banyak sekali sehingga memberi harapan yang lebih besar daripada di masa Soeharto. Progresi yang terjadi itu misalnya pers yang bebas serta demokrasi yang mulai ada meskipun masih kacau. Sekarang segala sesuatunya menjadi lebih mungkin untuk terjadi hanya saja bangsa ini masih berada di tengah-tengah masalah yang masih segudang

BAB IIIPENUTUP

KesimpulanIstilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh

karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy, yang diterbitkan dalam tahun 1838.

Di Indonesia sendiri, sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM .

Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.

Banyak nama atau orang Indonesia yang menjadi ahli atau sosiolog besar dalam perkembangan sosiologi di Indonesi. Diantaranya adalah Prof. Dr. Selo Soemardjan, Prof Dr Paulus Wirutomo dan Arief Budiman

DAFTAR PUSTAKAhttp://pengantar-sosiologi.blogspot.com/2009/04/bab-1-sejarah-perkembangan-sosiologi.html

diakses tanggal 02 Februari 2010http://id.wikipedia.org/wiki/Selo_Soemardjan diakses tanggal 02 Februari 2010http://learning-of.slametwidodo.com/2008/02/01/struktur-ketergantungan-dan-moda-

produksi/#more-70 diakses tanggal 02 Februari 2010http://organisasi.org/definisi-pengertian-sosiologi-objek-tujuan-pokok-bahasan-dan-bapak-

ilmu-sosiologi diakses tanggal 03 Februari 2010

Page 26: Mengenal-Pemikiran COMTE

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/p/paulus-wirutomo/index.shtml diakses tanggal 03 Februari 2010

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/arief-budiman/index.shtml diakses tanggal 03 Februari 2010