mengawali ramadhan

Upload: stella-oktavia

Post on 09-Jan-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mengawali pada bulan Ramadhan

TRANSCRIPT

Mengawali Ramadhan(Artikel untuk memenuhi tugas kuliah PAI)Dosen Pengampu: Mokhamad. Rohma. Rozikin Spd., Mpd

Disusun Oleh :Nama: Stella OktaviaNIM: 135040101111247Kelas : D

PRORAM STUDI AGRIBISNISFAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG2015

Mengawali Ramadhan Bulan Ramadhan adalah bulan agung (Syahrun Azim) yang penuh berkah (Syahrun Mubarak) yang mempunyai bobot lebih dibanding sebelas bulan lainnya dan disebut sebagai penghulu segala bulan (Sayidus Syuhur). Di dalam keagungan bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang paling bernilai bagi umat manusia yaitu lailatul qadr (malam kemuliaan yang nilainya lebih baik dari 1000 bulan, sekitar 83 tahun 4 bulan) Bulan Ramadhan merupakan bulan suci umat Islam. Dikatakan suci karena bulan Ramadhan adalah bulan penuh rakhmat, dan penuh ampun. Bulan Ramadhan merupakan bulan setelah syakban dimana untuk menentukan apakah bulan ramadhan itu telah datang atau belum dengan menggunakan metode hilal. Rasulullah bersabda : Satu bulan itu tidak lain dari 29 hari. Maka jangan lah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya. Dan jangan lah kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Jika di tutupi atas kalian maka perkirakanlah untuknya.Penjelasan dari dalil ini adalah dimana kita kaum muslimin tidak diperbolehkan untuk berpuasa sampai kita melihat hilal tersebut dan kita tidak diperbolehkan untuk berbuka sampai kita sudah melihat hilal itu kembali. Berbuka disini yaitu adalah hari raya idul fitri. Tetapi apabila pada hari 29 syakban tersebut kita tidak bisa melihat hilal tersebut karena tertutup awan atau debu atau sampai kita benar-benar tidak bisa melihat maka kita harus menyempurnakan 30 hari syakban. Dalam memulai dan menentukan awal ramadhan yaitu dengan menggunakan metode hiilal. Menentukan awal Ramadhan dengan hilal ini adalah syari yaitu dengan ruyatul hilal. Pada hadist Al-Bukhori yang mengatakan Berpuasalah kalau kalian melihatnya. Kita tahu bawasannya bulan itu akan terbit mulai dari bentuk yang kecil seperti sabit sampai menjadi purnama lalu mengecil kembali sampai menghilang. Dan terbit kembali ketika matahari terbenam. Maka dari itu Rasul memerintahkan dengan melihat hilal ini menunjukkan satu-satunya metode syari yaitu ruyatul hilal. vJika sudah berlalu tanggal 29 Ramadhan, lalu malamnya kalian berusaha melihat hilal di ufuk barat. Lalu setelah maghrib sudah terlihat hilal tersebut. Itu artinya sudah masuk tanggal 1 syawal yang artinya sudah diperbolehkan untuk berbuka yaitu hari raya. Sehingga li ruyatihi hilal yang pertama adalah untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan untuk li riuiyatihi hilal yang kedua adalah menentukan akhir dari bulan ramadhan yaitu 1 Syawal. Karena hilal tersebut merupakan suatu teknik dengan mengendalikan penglihatan. Bagaimana apabila ketika kita berusaha melihat hilal tetapi ditutupi oleh benda-benda langit atau cuaca yang tidak mendukung maka sempurnakanlah bilangan Syakban hingga 30 hari. Lalu dipastikan itu sudah Ramadhan.Memulai Ramadhan pada tanggal 28-29 syakban berpuasa itu hukumnya haram atau tidak diperbolehkan kecuali apabila dia telah terbiasa melaksanakan puasa. Melihat hilal itu merupakan perintah Rasulullah yang wajib karena ini merupakan satu aktivitas yang mengantarkan untuk melakukan suatu kewajiban. Apabila seluruh kaum muslimiin bersepakat tidak melihat hilal maka ini merupakan perbuatan dosa. Teknik mengukur perhitungan dalam menentukan Ramadhan merupakan hal yang tidak direkomendasikan oleh Rasulullah dan ulama-ulama terdahulu. Kecuali ulama yang di zaman sekarang. Di dalam ibadah itu mengikuti berdasarkan nas bukan dari pertiimbangan. Sehingga melihat hilal merupakan metode yang diterima secara syari. Tetapi meskipun bawasannya ulama terdahulu tidak pernah berpendapat mengenai pertimbangan itu, argumentasi yang dikemukakan cukup banyak. Rata-rata tidak layak untuk dibahas. Satu topik yang layak untuk dibahas adalah penafsiran terhadap lafadz yang artinya mengira-ngira kan. Sebagai dalil untuk mengabsahkan teknik men hisab dalam menentukan awal ramadhan maka perkirakanlah yaitu penfasiran yang tidak bisa dibenarkan, dahulu tidak ada yang menafsirkan fadzurulah itu adalah hisab. Pada dasarnya memperkirakan tersebut bermaksud dengan bilangan Syakban yang menjadi 30 hari.Penafsiran suatu hadis itu masih bersifat samar yaitu tidak bisa bermakna hisab dengan alasan memperkirakan yang sifatnya diarahkan ke orang-orang khusus atau orang-orang tertentu untuk menghisab. Hisab itu berifat umum bukan khusus orang-orang tertentu. Maka dari itu tidak bisa digunakan menjadi dasar, penafsiran lafadz fadzurulah yang menjadikan hisab merupakan metode yang diajarkan oleh Rasulullah. Seperti contohnya adalah Syiah Kaummiyah atau kaum Syiah melenceng dari syaf. Mereka mempertuhankan seorang khalifah yang kekufurannya mengatas namakan Islam. Mereka memaksakan kepercayaan mereka. Dalam iqomat solat ditambahi lafadz yang berbunyi Hayya alakhairilamal maka wajib seluruh negeri tersebut wajib melafazkannya. Suatu kasus terdapat seorang muazin tidak melafazkan dengan lafadz tersebut sehingga pria ituu ditangkap dan lidahnya dipotong. Al-Ghazali memperbaiki ruh-ruh mafiah kaum muslimin sehingga tidak ada penyimpangan lagi meskipun riawayatnya lemah. Kaum muslimin dipimpin lagi ke-khalifahan yang syari. Perintah yang memaksa menggunakan hisab tersebut juga diperintahkan oleh alhakim yang kufur tersebut. Penggunaan hisab tersbeut sifatnya adalah tidak haram tetapi bukan bersifat syari. Dapat digunakan sebagai alat pembantu seperti berapa detik hilal tersebut muncul atau ketika kapan hilal itu muncul dan sebagainya. Tetapi tidak dijadikan sebagai metode.Adapun terkait hukum akal persaksian hisab tersebut minimal adalah 2 orang. Tetapi ada 2 persaksian hisab yang dapat dikecualikan yaitu persaksian persusuan itu bisa dilakukan oleh satu orang. Apabila kasus perzinahan itu saksi butuh 4 orang dan melihat kejadinnya juga harus jelas. Li ruyatihi hilal didizinkan dalam syariat adalah seorang muslim maka dia boleh dan diterima. Orang-orang berusaha melihat Hilal. Kemudian Ibnu Umar melihat hilal. Persaksian hilal diperbolehkan hanya satu orang dimana Rasulullah berpuasa dan memerintahkan yang lain untuk berpuasa dengan satu syarat yang melihat hilal atau yang bersaksi adalah seorang Muslim. Apabila bukan muslim maka tidak sah persaksian tersebut.Didalam suatu kisah pada orang Arab Badui yang tempat tinggalnya adalah nomaden, profesi nya sebagai peternak menjadikan dia selalu mencari tempat yang subur dan merupakan orang-orang yang jauh dari peradaban, jauh dari kemajuan dan terkenal dengan persahajaannya. Beliau datang kepada Rasulullah dan berkata bahwa dia melihat hilal. Lalu Rasulullah bertanya Apakah orang ini bersaksi dengan dua kalimat syahadat. Tujuannya menanyakan itu adalah ingin melihat bahwa orang tersebut muslim atau bukan. Maka dari itu persaksian hilal tersebut disyaratkan bagi orang muslim. Dan ketika semua telah bersaksi melihat hilal berarti berlalu untuk kaum muslim seluruh dunia tanpa adanya perbedaan. Dalam penentuan ruiyatihi hilal ini dibedakan menjadi dua yaitu secara lokal dan secara gobal, karena terdapat suatu kisah yang menggambarkan adanya perbedaan pendapat yaitu Diriwayatkan dari Kuraib bahwa Ummu Fadl telah mengutusnya menemui Muawiyah di Syam. Kuraib berkata Lalu aku pergi ke Syam dan menyelesaikan urusan Ummu Fadl trnyata bulan Ramadhan telah tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat bulan pada hari Jumat, kemudian aku kembali ke kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Saat itu Ibnu Abbas bertanya padaku tentang hilal. Ia bertanya, Kapan kamu lihat bulan ? Aku menjawab, Kami melihatnya pada malam Jumat. Ia bertanya lagi, Apakah kau melihatnya ? aku menjawab, Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka pun berpuasa begitu pula Muawiyah. Dia berkata lagi, Tapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga sempurna bilangan 30 hari, dan hingga kami melihatnya. Aku lalu bertanya, Tidak cukupkah kita berpedoman pada ruyat dan puasa Muawiyah ? dia menjawab, Tidak, (sebab) demikianlah Rasullullah saw memerintahkan pada kami. (HR Jamaah, kecuali Bukhari dan Ibnu Majjah)Bagaimana apabila terjadi hal seperti ini ? Melihat perbedaan pendapat tersebut makan pendapat yang menejlaskan ruiyatihi hilal dilakukan secara global itu lebih kuat argumentasinya dengan alasan berikut ini :1. Alasan pertama adalah :Allah berfirman, barang siapa dianatara kalian menyaksikan bulan tersebut maka maka hendaklah dia berpuasa di dalamnya Maksud firman Allah dalam ayat ini adalah bersifat umum bagi kaum muslimin. Karena ketika ada satu orang yang bersaksi maka sudah bisa dipastikan masuk tanggal 1 Ramadhan maka ini berlaku untuk kaum muslimin berpuasa. 2. Alasan kedua adalah ketika seorang laki-laki bertanya pada Rasullah Puasa apa yang diwajibkan pada Kaum Muslimin ? Maka Rasullullah menjawab syakhrul Ramadhan atau Bulan Ramadhan. Sehingga siapapun yang telah menyatakan bawsannya hari tersebut sudah masuk ramadhan di wajb berpuasa bulan Ramadhan. Ketika sudah dibuktikan bawasannya seseorang melihat hilal maka sudah dipastikan sudah masuk tanggal 1 Ramadhan.3. Rasulullah ketika memerintahkan untuk melihat hilal tersebut menggunakan ikhrot jamak yaitu hadist ini bisa menguatkan bahwa hilal tersbeut berlaku untuk global pbagi kaum muslimin. 4. Nabi menggunakan lafadz ruiyatihi yang artinya kembali pada hilal. Satu orang yang melihat hilal maka berlaku bagi semuanya.Adapun ruiyat lokal in bisa di kritik dalam dua sisi yaitu dari segi istinbat dalil dan fakta. Dari istinbat dalil meskipun diriwayatkan oleh Muslim itu masih belum bisa dinyatakan kebenarnya karena itu hanya merupakan pemahaman dari sahabat mengenai suatu perintah atau larangan. Dan ini disebut dengan hadist Maquf dan bukan merupakan dalil. Yang merupakan dalil adalah hadist Marfu yaitu disandarkan oleh Rasulullah. Dan hadist lainnya adalah hadist Maqthu yaitu hadist yang disandarkan oleh nabi. Ketiga hadist ini merupakan hadist berdasarkan sandaran bukan berdasarkan kualitas. Apabila kualitas hadist dibedakan menjadi tiga yaitu hadist shahih, hasan dan dhoif. Maka kita tidak bisa menentukan hadist marfu itu bisa shahih atau hasan atau dhoif.Mengapa hadist yang didasarkan oleh pemahaman sahabat Rasulullah belum tentu benar karena terdapat satu kisah mengenai sahabat rasulullah dimana Amar Bin Yasir ketika beliau melakukan perjalanan kemudian beliau mimpi basah. Sehingga apabila mimpi basah diharuskan untuk mandi wajib. Tetapi dalam keadannya pada saat itu tidak terdapat air sehingga sahabat nabi tersebut ingin menggantikannya dengan tayamum dimana tayamum itu dilaukan ketika menggantikan wudhu tetapi disini belum terdapat penjelasan bagaiaman apabila mandi besar atau mandi wajib ? apakah ketika tidak ada air mandi besar atau mandi wajib tersebut dapat digantikan dengan tayamum. Diamana apabila menggantikan wudhu dengan tayamum dengan cara mengusap wajah dan tangan dengan menggunakan debu, maka disini sahabat nabi tersebut berguling-guling di pasir untuk menggantikan dari mandi besar tersebut. Ini menunjukkan bahwa ijtihad sahabat Rasulullah tersebut adalah dapat keliru.Selain dari Muslim, pendapat Imam Syafii mengenai hilal juga kurang tepat karena terdapat dua alasan yaitu :1. Pendapat itu berdasarkan ijtihad Ibnu Abbas dalam hal diperbolehkannya berpuasa tersebut hanya pada tiap daerah terentu dan tidak berlaku dengan daerah lain2. . Belum jelasnya manathul ( fakta yang menjadi obyek penetapan hukum ) pada zaman itu. Dengan fakta lain pemahaman mengenai fakta kedudukan atau posisi tempat terbitnya bulan belum sempurna seperti saat sekarang. Imam Syafii menyandarkan pendapatnya pada Ibnu Abbas. Hadits yang menjelaskan ijtihad Ibnu Abbas itu adalah diriwayatkan dari Kuraib pada seperti yang telah diceritakan di atas. Maka dari itu konsep mathla (tempat munculnya bulan) tersebut tidak sesuai dengan fakta. Kalau konsep itu berdasarkan mathla maka akan menimbulkan ribuat mathla karena jarak mathla tersebut itu tidak jauh. Ini menunjukkan bawasannya ijtihad ruiyat lokal itu lemah. Tetapi tetap menjadi pendapat Islam yang dihargai. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana apabila hanya satu orang yang melihat hilal inii? Dan ketika dia melihat hilal dan melaporkannya tidak ada orang yang mempercayai kesaksiannya. Dalam kasus ini maka dia tetap berpuasa berdasarkan ruiyatihi hilal nya. Ini bersifat umum dan berlaku bagi individu. Selanjutnya bagaimana dengan ruiyatihi pada keputusan imam ? Ada seseorang yang merasa melihat hilal kemudian disisi lain imam telah memutuskan bawasannya hari Ramadhan dimulai berbeda hari dengan hari ketika orang itu melihat hilal. Apabila kasusnya seperti itu maka ini perlu dirinci, apabila imamnya itu syari menjadi seorang khalifah atau yang mewakilinya , imam yang menjalankan al quran dan as-sunnah, lalu dia telah mengadopsi, memutuskan, menetapkan keputusan tertentu yaitu tanggal mengenai 1 Ramadhan maka kaum muslimin wajib menaati keputusan trsebut walalupun dalam keputusannya dengan meggunakan ijtihad yang lemah. Karena ijtihad khalifah itu sifatnya adalah mengikat suatu kaum. Tetapi apabila pemimpinnya bukan dari kaum muslimin dan bukan merupakan imam yang syari maka keputusan pemimpin ini tidak bersifat mengikat. Selain itu juga terdapat pendapat Imam Ahmad bin Hambal yang wajib hukumnya berpuasa di 29 syakban. Tetapi disini Imam Syafei tidak memperbolehkan untuk berpuasa di tanggal tersebut dengan argumentasi berupa bawasannya Nabi merekomendasikan jika tidak terlihat untuk menempurnakan menjaid 30 hari. Dan tidak terlihatnya ini bersifat mutlak. Tanpa membedakan tertutup oleh awan atau tidak terlihat sama sekali. Orang yang berpuasa karena tidak melihat hilal maka dia berpuasa di hari yang meragukan. Tindakan yang benar adalah dengan menggenapkan 30 hari syakban.