menataulang - kopertis1sumut.or.id · tidak pada penelitian atau pengembangan ilmu dengan ......
TRANSCRIPT
1
MENATA ULANG
PENDIDIKAN TINGGI
INDONESIA
Oleh:
Djoko Santoso
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Oktober 2014
i
Kisah kata dalam pengelolaan pendidikan tinggi -‐ Kilas balik Dirjen Pendidikan Tinggi 2009-‐2014
Pendidikan sepanjang hayat adalah proses yang akan dijalani semua individu dalam kehidupan. Mengelola pendidikan tinggi menjadi tugas yang tidak terhindarkan untuk menciptakan sumber daya manusia yang memiliki kapabilitas meningkatkan derajat hidup masyarakat luas. Di pertengahan tahun 2009, amanah menjalankan tugas sebagai Dirjen Pendidikan Tinggi saya terima dan berbagai hal perlu dilanjutkan pelaksanaan dan banyak hal harus diselesaikan persoalannya. Kita melihat bahwa akses masyarakat untuk dididik di perguruan tinggi masih menjadi hambatan di berbagai daerah di Indonesia, belum lagi kalau kita melihat golongan masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi kurang, akses terhadap pendidikan apalagi pendidikan tinggi menjadi kendala besar. Mutu dari proses pembelajaran di banyak perguruan tinggi masih perlu ditingkatkan lagi agar lulusan yang dihasilkan menjadi relevan dengan kebutuhan di masyarakat untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat dan dapat meningkatkan derajat kehidupan masyarakat luas. Kebutuhan meningkatkan daya saing bangsa menjadi tugas kita semua. Kita patut bersyukur, dalam kurun waktu 4 (empat) tahun lebih, banyak hal telah dapat dilakukan untuk menangani persoalan-‐persoalan dalam kapasitas saya sebagai Dirjen Pendidikan Tinggi. Keluarnya UU no. 20 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi merupakan satu langkah penting untuk menyelesaikan persoalan Pendidikan Tinggi Indonesia dan untuk menata kembali konstruksi Pendidikan Tinggi Indonesia dalam menghadapi tantangan masa depan bangsa. Walaupun banyak hal telah dilakukan, namun tidak berarti persoalan sudah selesai karena kita masih harus terus melengkapi dan menyempurnakan langkah-‐langkah yang sudah dilakukan. Dalam menjalankan itu semua, saya menyampaikan terima kasih kepada Menteri
ii
Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan kepercayaan untuk menangani berbagai aspek pendidikan tinggi kita. Saya juga menyampaikan penghargaan yang setinggi-‐tingginya kepada para mitra kerja saya yang saya hormati dan saya banggakan di lingkungan Ditjen Dikti mulai dari Sekretaris Ditjen Dikti, Bp. Patdono Suwignjo; Direktur Belmawa, Ibu Illah Sailah; Direktur P2M, Bapak Agus Subekti; Direktur PTK, Bapak Supriadi Rustad; Direktur Lemkerma, Bapak Hermawan K. Dipojono, beserta seluruh stafnya yang telah mendukung dan melaksanakan berbagai hal yang diperlukan dalam pengaturan di Pendidikan Tinggi kita. Berbagai masukan, analisis, pandangan terkait pendidikan tinggi banyak diberikan oleh Dewan Pendidikan Tinggi (DPT), sehingga saya tak lupa juga menyampaikan terima kasih saya kepada Sekretaris DPT, Bapak Nizam, yang kemudian digantikan di tahun 2014 oleh Bapak Widijanto S. Nugroho. Semoga sumbangsih tenaga, pemikiran, dan komitmen Bapak/Ibu sekalian mendapatkan rahmat dan ridho dari Tuhan YME. Pemikiran dan langkah-‐langkah yang telah dilakukan untuk Pendidikan Tinggi Indonesia dalam periode 2009-‐2014 yang saya sampaikan dalam tulisan ini menjadi wawasan buat kita semua untuk meneruskan apa yang sudah dilaksanakan, memerbaiki kekurangan yang ada, dan melengkapi berbagai hal yang masih diperlukan untuk menciptakan Pendidikan Tinggi Indonesia yang kita inginkan bersama. Semoga Tuhan YME memberikan rahmat dan ridhoNya kepada kita semua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab kita bersama untuk kemajuan Pendidikan Tinggi Indonesia. Jakarta, 20 Oktober 2014 Djoko Santoso Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
iii
DAFTAR ISI
I. TANTANGAN BAGI PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA KINI DAN MASA YANG AKAN DATANG ..................................................................................................................... 1 a. Pemahaman Filosofis ....................................................................................................... 2 b. Akses .......................................................................................................................................... 7 c. Mutu ......................................................................................................................................... 11 d. Relevansi ............................................................................................................................... 17
II. STATUS PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA HINGGA 2010 .............................. 25 a. Bentuk Perguruan Tinggi, Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi, dan Jumlah Perguruan Tinggi ........................................................................... 25 b. Dosen dan Mahasiswa ................................................................................................... 27 c. Daya saing perguruan tinggi Indonesia .............................................................. 29 d. Status tenaga kerja terhadap lulusan perguruan tinggi ............................ 42
III. MENATA ULANG PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA ................................ 44 a. Pola pikir umum pendidikan tinggi di Indonesia .......................................... 44 b. Pengelolaan akses diperguruan tinggi ................................................................ 49 c. Pengelolaan untuk mutu perguruan tinggi ....................................................... 58 d. Pengelolaan relevansi perguruan tinggi ............................................................ 72 e. Pengelolaan perguruan tinggi .................................................................................. 77
IV. WAJAH PERGURUAN TINGGI KITA TAHUN 2013 ........................................... 89 a. Bentuk, jumlah Perguruan Tinggi dan Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi .................................................................................................................... 89 b. Dosen ....................................................................................................................................... 91 c. Mahasiswa ............................................................................................................................ 94 d. Daya saing perguruan tinggi Indonesia .............................................................. 95 e. Status tenaga kerja terhadap lulusan perguruan tinggi ......................... 100
PENUTUP .......................................................................................................................................... 102 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 104
1
.....Persoalan pendidikan termasuk pendidikan tinggi merupakan
tantangan tersendiri yang akan kita hadapi terus menerus .......
I. TANTANGAN BAGI PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA KINI DAN
MASA YANG AKAN DATANG
Pendidikan tinggi yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi
merupakan kegiatan sangat penting karena akan menentukan
keberlanjutan kehidupan masyarakat, bangsa, bahkan kemanusiaan.
Persoalan pendidikan termasuk pendidikan tinggi merupakan
tantangan tersendiri yang akan kita hadapi terus menerus baik dari
sisi jumlah maupun dari sisi derajat tantangan yang selalu akan
meningkat sejalan dengan jamannya. Hal ini dapat difahami
mengingat jumlah penduduk dunia yang akan meningkat terus
sementara bumi kita sebagai sumber kehidupan adalah benda statik
yang tidak akan bertambah,
bahkan sumberdaya yang tersedia
di bumi ini selalu akan berkurang
karena digunakan oleh manusia.
Selain itu, kita semua merasakan
bahwa kualitas lingkungan bumi
kita juga senantiasa menurun dari
waktu ke waktu.
Secara garis besar tantangan pendidikan tinggi tersebut dapat kita
kelompokkan ke dalam empat aspek, yaitu, (a) pemahaman filosofis
pendidikan tinggi, (b) akses, (c) mutu, dan (d) relevansi hasil
pendidikan tinggi Indonesia. Dengan memerhatikan tantangan-‐
tantangan tersebut dan pemikiran yang terkait maka diperlukan
usaha-‐usaha khusus untuk mengantisipasi persoalan-‐persoalan yang
akan muncul di pendidikan tinggi kita. Usaha yang telah dan harus
kita lakukan di pendidikan tinggi, antara lain, meletakkan landasan
legal pengelolaan pendidikan tinggi yang mapan melalui Undang-‐
undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
2
a. Pemahaman Filosofis
i. Hakekat Pendidikan Tinggi
Jika kita mempelajari kriteria tentang universitas kelas
dunia, maka universitas tersebut pasti memenuhi
persyaratan sebagai universitas riset. Namun demikian
sebagai sebuah universitas, dengan sendirinya universitas
juga diharapkan dapat menghasilkan modal insani yang akan
memenuhi kebutuhan modal insani (yang professional) di
masyarakat. Tuntutan yang ditujukan kepada universitas
tersebut memerlukan adanya suatu peta jalan (road map)
untuk mewujudkan jati diri universitas yang sebenarnya
dalam keberadaannya di masyarakat.
Pengertian tentang perguruan tinggi atau universitas pada
mulanya adalah kegiatan yang memiliki fokus utama paling
tidak pada penelitian atau pengembangan ilmu dengan
tujuan untuk mencari kebenaran. Jika ditinjau dari orientasi
pendidikan, hal ini sering disebut berorientasi skolastik yang
dipelopori oleh Aristoteles (384-‐322 SM). Namun
perkembangan berikutnya menjadi mengarah pula kepada
kebutuhan masyarakat akan tenaga profesional atau
menyejahterakan masyarakat sehingga pada akhirnya
disebut berorientasi pada humanisme yang dipelopori oleh
Cicero (106-‐43 SM) (Tjaya, 2004).
Pengertian saat ini tentang perguruan tinggi telah
berubah menjadi sebuah institusi yang mengajar mahasiswa
menjadi orang yang berbudaya dan anggota masyarakat yang
baik dalam keprofesiaannya (Gasset, 1964). Dengan
demikian, perguruan tinggi menjadi cenderung memberikan
kebutuhan mahasiswa, agar yang bersangkutan tidak hanya
menghabiskan sebagian dari usianya untuk menjadi ilmuwan
(scientist), namun juga tentang bagaimana ia berperan di
masyarakat. Akibatnya, bentuk rasional pendidikan di
3
perguruan tinggi menjadi terarah sebagai sistematika dan
sintesa untuk permasalahan-‐permasalahan yang khas. Oleh
karena itu tata kerja disiplin keilmuan di perguruan tinggi
semacam ini menjadi tidak perlu seperti yang dikehendaki
dalam pengembangan ilmu pengetahuan secara utuh.
Konsekuensinya, sering dalam hal pengangkatan dosen tidak
lagi bertumpu kepada kemampuannya sebagai peneliti
namun lebih kepada kemampuannya untuk memberikan
sistematika, sintesa dan proses pengajaran.
Akhir-‐akhir ini terjadi perubahan penting proses transfer
ilmu, yaitu dari pengajaran kepada pembelajaran (Santoso,
2004). Dengan demikian peran profesional dosen dalam
pengajaran maupun kompetensi keilmuannya menjadi sangat
penting. Suatu hal penting yang harus diperhatikan pula ialah
globalisasi ekonomi, artinya akan berdampak pula bahwa
seorang dosen harus mampu pula berperan secara global.
Artinya di manapun berada kompetensinya memiliki standar
global. Kruth (1998) mengatakan bahwa globalisasi ekonomi
ini sangat kuat, karena ia memapankan sistem hirarki yang
dapat mengungguli tindakan pada tingkat masyarakat luas.
Sesuai dengan kemajuan jaman dosen juga harus mampu
berkiprah sesuai dengan perkembangan yang pesat dalam
ilmu/teknologi informasi dan telekomunikasi atau dalam era
ilmu pengetahuan dan ekonomi ilmu pengetahuan. Santoso
(2004) mengajukan beberapa pegangan untuk membuat
paradigma baru bagi pembelajaran di perguruan tinggi, yaitu
pembelajaran untuk orang dewasa atau pendidikan
berkelanjutan, mahasiswa sebagai subyek pemeran utama
(Santoso, 2003), kerjasama kelompok, kegiatan multidisiplin
dan penggunaan teknologi informasi.
Namun demikian perlu dicermati bahwa pendidikan
tinggi harus mampu membentuk suatu masyarakat jujur dan
cerdas (Santoso, 2004). Masyarakat jujur dan cerdas dapat
4
dibentuk melalui pendidikan yang memberikan proses
pembelajaran bagi pemahaman dan penguasaan tata nilai,
kejujuran, demokrasi, kamandirian, tanggap perubahan dan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika masyarakat yang
terbentuk sesuai dengan pola ini, kita akan mencapai
kemerdekaan sebagai manusia, yaitu yang mengarah kepada
kemerdekaan/kemampuan berfikir, berinovasi, sehingga
dapat menentukan strategi secara benar untuk menentukan
orientasi pembangunan bangsa secara benar. Masyarakat
yang jujur dan cerdas niscaya akan mampu membawa suatu
bangsa menjadi bangsa yang bermakna bagi umat manusia.
Jika kita memperhatikan uraian diatas, nampaknya
bahwa universitas yang benar pengertiannya ialah
perwujudan dari ”science center”, artinya mendirikan
universitas seharusnya berfikir mendirikan pusat ilmu
pengetahuan. Mengapa? Karena di universitas yang dikelola
adalah ilmu pengetahuan. Untuk menjaga kelestarian ilmu
pengetahuan hanya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
pertama, dengan mendokumentasikannya melalui publikasi
tertulis dan kedua, melalui pendidikan untuk menciptakan
ahli-‐ahli baru atau profesional baru atau pakar baru melalui
pendidikan.
ii. Pendidikan Tinggi di Indonesia
Pasal 31, ayat 3 Undang-‐Undang Dasar 1945 menyatakan
bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-‐undang. Pengaturan ini mengarahkan kepada kita
bahwa setidaknya ada dua makna penting dalam pasal ini
yang dapat kita pahami.
5
Pertama, bahwa sistem pendidikan kita ada dalam satu
sistem. Pemahaman secara praktis seharusnya diatur secara
menyeluruh oleh satu sektor. Sektor tersebut secara
eksekutif dilaksanakan oleh satu kementerian. Kenyataan di
lapangan, beberapa sektor juga telah turut
menyelenggarakan pendidikan. Oleh karenanya diperlukan
pengaturan yang khas agar semua tetap dapat berjalan
dengan baik namun bersinergi dalam satu kesatuan dan satu
koordinasi terutama dalam hal fungsi akademik. Fungsi
akademik merupakan hal penting karena roh dari perguruan
tinggi adalah atmosfer akademik (semua orang yang ada di
dalamnya berfikir dan berbuat sesuai dengan kaidah saintifik
atau akademik);
Kedua, bahwa kita tidak cukup hanya menghasilkan
orang yang cerdas saja, namun kehidupannya juga harus
cerdas. Ini dapat diartikan bahwa karena cerdas maka orang
Indonesia menjadi bangsa yang taat (comply) dan
bertanggunggugat terhadap perundangan.
Pasal 31, ayat 5 Undang Undang Dasar 1945 menyatakan
bahwa Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-‐nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia. Pengaturan ini memiliki makna
bahwa institusi perguruan tinggi sebagai tempat para dosen
yang memiliki tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebar-‐luaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat (UU No. 14/2005 tentang
Guru dan Dosen). Dengan demikian dosen wajib turut serta
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita juga
melihat bahwa Perguruan Tinggi memerlukan jaminan
Pemerintah untuk memajukan iptek secara terintegrasi
6
dalam sistem pendidikan nasional sekaligus sebagai wadah
bagi dosen menjalankan tugas utamanya.
Tata kelola pendidikan tinggi dan perguruan tinggi di
Indonesia perlu ditingkatkan terus agar cukup memadai
untuk mengantisipasi kebutuhan sumberdaya insani secara
vokasional maupun akademis (filosofis). Pelaksanaan sistem
otonomi untuk perguruan tinggi harus diwujudkan agar
mampu mendukung pemikiran-‐pemikiran kristis, yang
inovatif dan kreatif. Dengan demikian, diperlukan bentuk
kelembagaan yang memadai untuk mendukung otonomi
perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS. Undang-‐undang No.
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan
bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola
sendiri lembaganya sehingga aturan tentang bentuk
kelembagaan perguruan tinggi dan prinsip penyelenggaraan
pendidikan tinggi sebagai rambu-‐rambu perlu ditetapkan.
Tata kelola yang baik bagi semua perguruan tinggi dalam
mengelola sumberdaya juga perlu ditetapkan dengan tetap
berpegang pada pemikiran otonomi. Di samping itu, standar
pendidikan tinggi yang mencakup pengembangan dan
pemanfaatan iptek beserta penjaminan kepatuhannya juga
perlu diadakan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa landasan yuridis
formal untuk penyelenggaraan pendidikan termasuk
pendidikan tinggi di Indonesia sudah tercantum dengan
nyata dalam UUD 1945 dan sangat selaras dengan hekekat
perguruan tinggi. Kita juga telah melihat bahwa landasan
yang kokoh untuk pelaksanaannya telah diwujudkan sebagai
Undang-‐undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi
7
b. Akses
i. Ketersediaan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di
dunia. Jumlah pulau-‐pulaunya lebih dari 17 ribu, di mana
hanya kurang lebih 6 ribu pulau berpenghuni. Luas
daratannya lebih dari 1,9 juta km2 dengan sekitar dua per
tiganya merupakan laut. Kondisi geografis ini dihuni oleh
1.340 suku bangsa dan selain menggunakan satu bahasa
nasional Bahasa Indonesia, mereka juga menggunakan 546
bahasa daerah atau lokal.
Indonesia memiliki sumberdaya bumi seperti minyak
bumi, gas alam, panas bumi, hidrat metan, gas serpih,
tembaga, nikel, alumunium, dll. Sumber daya alamnya juga
cukup banyak, seperti lebih dari 25 ribu spesies tanaman,
ditambah dengan sejumlah besar spesies hewan.
Penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 237 juta jiwa
(berdasarkan data sensus penduduk di tahun 2010)1 dan
diperkirakan sudah akan mencapai 250 juta jiwa di tahun
2014. Kondisi alamiah maupun kondisi geografis Indonesia
ini menyebabkan adanya berbagai ragam keberadaan
sumberdaya sehingga menimbulkan berbagai disparitas
budaya, termasuk kuantitas maupun kualitas pendidikan.
Kita dapat melihat disparitas ketersediaan pendidikan tinggi
di berbagai daerah Indonesia yang diperlihatkan
berdasarkan pola penyebaran Angka Partisipasi Kasar (APK)
di pendidikan tinggi berdasarkan geografis untuk setiap
provinsi (Gambar I.1).
Pengelolaan kondisi negara Indonesia yang demikian
beragam dan dalam jumlah yang sangat besar ini tentu
merupakan tantangan tersendiri. Keterbatasan akses karena
kondisi geografis yang ada dan ketersediaan sumber daya
1 http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12¬ab=1, diakses 1 September 2014
8
menjadi persoalan nyata yang harus dicarikan jalan
keluarnya. Untuk mengatasi masalah ini, di satu sisi,
diperlukan pengaturan untuk program-‐program afirmasi
yang dibutuhkan oleh berbagai daerah, namun di sisi yang
lain, kita juga memerlukan aturan yang kokoh mengenai
standar pelaksanaan pendidikan tinggi itu sendiri.
Gambar I.1 APK Pendidikan Tinggi (2011) secara geografis
ii. Keterjangkauan
Pendidikan tinggi memerlukan masukan sumberdaya
yang memadai, yaitu sumberdaya insani (dosen dan tenaga
pendidikan sebagai pendukung) dan infrastruktur yang
memadai sesuai dengan bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dikelola. Dengan demikian, untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan tinggi yang dilaksanakan oleh
perguruan tinggi dengan memerlukan biaya yang mahal.
Menjadi kenyataan pula bahwa tidak semua bagian dari
masyarakat kita dapat menjangkau masuk menjadi
mahasiswa di perguruan tinggi. Dalam kurun lima tahun ke
belakang sebelum tahun 2011, terlihat adanya penurunan
menerus (lihat Tabel I.1). Namun perlu diperhatikan bahwa
negara kita adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar
keempat di dunia. Karena jumlah penduduk Indonesia yang
0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0% 60.0% 70.0% 80.0% 90.0% 100.0%
9
sangat besar maka angka persentase tersebut secara absolut
merupakan jumlah yang cukup besar pula (satu persen setara
dengan sekitar 2,4 juta orang).
Tabel I.1 Tingkat Kemiskinan dan Pengangguran
Tahun Tingkat
kemiskinan (%)
Tingkat
pengangguran (%)
2007 16,6 9,1
2008 15,4 8,4
2009 14,2 7,9
2010 13,3 7,4
2011 11,5-‐12,5 7
Secara nyata angka kemiskinan akan menurun seiring
dengan menurunnya pengangguran (Tabel I.1).
Kesenjangan akses dari kelompok masyarakat kurang
mampu hingga kelompok kaya tergambarkan oleh hasil studi
Bank Dunia (2010) sebagai berikut:
Tabel I.2 Kemampuan berbagai kelompok sosial untuk
menjangkau pendidikan tinggi Tingkat
kemiskinan
Persentase akses ke PTN dan PTS
PTN PTS
Termiskin
(Q1)-‐(Q2)
0,35-‐1,06 0,75-‐1,66
(Q2)-‐(Q3)
1,06-‐2,35 1,66-‐3.29
(Q3)-‐(Q4)
2,35-‐6,06 3,29-‐12,19
(Q4)-‐Terkaya 6,06-‐22,53 12,19-‐38,89
Pola penyebaran perguruan tinggi di setiap provinsi
Indonesia hingga tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar I.2.
10
Gambar I.2 Penyebaran PTN di setiap Provinsi di Indonesia
Jika melihat pola penyebaran perguruan tinggi di
Indonesia, maka setidaknya ada dua hal yang harus
diperhatikan. Pertama, di daerah luar Jawa terutama di
daerah yang berbatasan dengan negara atau wilayah lain
belum secara merata ada PTN. Padahal PTN dapat
menunjukkan kehadiran negara secara langsung. Kedua,
ternyata meskipun banyak PTN di Jawa, namun kecuali
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI) dan (Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), Angka Partisipasi Kasar (APK) di Jawa
masih sangat rendah jauh di bawah rata-‐rata. Bahkan untuk
Wilayah Kopertis IV (Jawa barat dan Banten) memiliki APK
yang terendah di Indonesia.
Dengan mencermati kedua data pada Tabel I.1 dan I.2,
serta Gambar I.2, maka salah satu usaha penting yang harus
dilakukan adalah meningkatkan jumlah mahasiswa.
Peningkatannya dapat dilakukan baik dengan cara
menambah perguruan tinggi baru maupun melakukan
distribusi yang baik terhadap perguruan tinggi-‐perguruan
tinggi kita di tanah air. Landasan legal yang kokoh dalam
11
bentuk perundangan amat diperlukan dalam hal ini. Dengan
pengaturan yang baik dan kokoh maka kita mengharapkan
adanya jalan keluar dari sisi ketersediaan pendidikan tinggi
yang diperlukan masyarakat kita.
c. Mutu
i. Karakter bangsa
Mutu pendidikan tinggi ditentukan oleh mutu perguruan
tinggi dan mutu keluaran perguruan tinggi, yaitu derajat
penguasan perguruan tinggi terhadap ilmu pengtahuan dan
teknologi (innovasi) baru dan derajat kompetensi lulusannya
yang berperan sebagai ahli/pakar atau para profesional.
Biasanya mutu perguruan tinggi dapat ditentukan dengan
melihat standar tertentu yang telah ditetapkan. Untuk
perguruan tinggi di Indonesia, standar perguruan tinggi pada
saat ini baru ditentukan berdasarkan faktor Tridharma
Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan diwujudkan
dalam 8 standar pendidikan (Undang-‐undang No. 20 tahun
2003), sementara penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat belum ditetapkan. Oleh karena itu Undang-‐
undang tersebut harus dilengkapi dengan Undang-‐undang
lain yang menegaskan tentang standar penelitian dan standar
pengabdian kepada masyarakat.
Mutu lulusan perguruan tinggi biasanya tidak ditentukan
hanya berdasarkan kompetensi keilmuan saja namun juga
ditentukan dari perilakunya (attitude). Penegasan tentang
diperlukannya mutu perilaku ini perlu dilakukan. Walaupun
disadari bahwa wujud nyata dari mutu perilaku ini yang
merupakan kemanfaatan (outcome) untuk masyarakat,
bangsa, dan kemanusiaan, biasanya baru akan terlihat dari
rekam jejak setelah mahasiswa menyelesaikan
pendidikannya dan berkiprah di masyarakat. Meningkatkan
12
mutu perguruan tinggi dilakukan dengan cara meningkatkan
jumlah dosen yang berkualitas doktor dari magister atau
yang lebih rendah (Tabel I.3).
Tabel I.3. Kualitas dosen Perguruan Tinggi.
Tahun
Dosen dan statusnya 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Dosen Tetap 157.222 157.556
158.891
160.349
161.358
161.692
162.510
Persentase Dosen S3 10,98% 10,99% 10,89% 10,77% 10,83% 10,96% 11,06%
-‐ PTN 15,28% 15,28% 15,13% 14,94% 15,01% 15,16% 15,31%
-‐ PNS 15,28% 15,28% 15,13% 14,94% 15,01% 15,16% 15,31%
-‐ PTS 6,68% 6,69% 6,64% 6,59% 6,66% 6,76% 6,81%
-‐ PNS 9,55% 9,55% 9,45% 9,32% 9,36% 9,46% 9,50%
-‐ NON PNS 3,81% 3,82% 3,83% 3,87% 3,95% 4,05% 4,13%
Persentase Dosen S2 50,58% 50,88% 51,75% 53,43% 54,37% 55,07% 55,87%
-‐ PTN 55,36% 55,65% 56,52% 58,15% 59,02% 59,63% 60,23%
-‐ PNS 55,36% 55,65% 56,52% 58,15% 59,02% 59,63% 60,23%
-‐ PTS 45,80% 46,11% 46,98% 48,71% 49,72% 50,50% 51,51%
-‐ PNS 59,57% 59,87% 60,75% 62,44% 63,37% 64,06% 64,96%
-‐ NON PNS 32,03% 32,34% 33,21% 34,98% 36,07% 36,94% 38,06% Persentase Dosen belum S2 38,44% 38,14% 37,36% 35,80% 34,79% 33,98% 33,07%
-‐ PTN 29,36% 29,07% 28,35% 26,91% 25,97% 25,21% 24,46%
-‐ PNS 29,36% 29,07% 28,35% 26,91% 25,97% 25,21% 24,46%
-‐ PTS 47,52% 47,20% 46,38% 44,70% 43,62% 42,74% 41,68%
-‐ PNS 30,88% 30,58% 29,80% 28,24% 27,26% 26,48% 25,54%
-‐ NON PNS 64,17% 63,83% 62,96% 61,15% 59,98% 59,01% 57,81%
Jumlah Guru Besar 1.880 2.178 2.723 3.310 3.962 4.370 4.606
Jumlah doktor per satu juta penduduk untuk Indonesia
sangatlah rendah yaitu hanya 0,07% sehingga pengaturan
yang tegas perlu ditetapkan untuk mengatasi kekurangan ini
secara terencana.
ii. Globalisasi dan world class university
Globalisasi merupakan pengertian yang terkait dengan
peningkatan hubungan secara global, terintegrasi, dan saling
terikat dalam berbagai bidang, yaitu ekonomi, sosial,
teknologi, kultur, politik dan ekologi. Sistem global ini
membuat manusia berada dalam satu sistem. Contoh
13
sederhana tentang globalisasi dalam teknologi ialah
pemanfaatan telepon dan internet. Kenyataan yang ada
sekarang, pada umumnya definisi globalisasi dikaitkan
dengan pengembangan hubungan ekonomi dan gaya hidup di
seluruh dunia. Sementara itu Encyclopedia Britannica
mendefinisikannya sebagai proses di mana kehidupan sehari-‐
hari dibuat standar untuk seluruh dunia. Oleh karena itu
dalam bidang ekonomi globalisasi menjadi mengarah kepada
penyatuan harga, produk, upah, bunga dan keuntungan
dengan norma dari negara-‐negara maju. Jika kita membahas
tentang globalisasi ekonomi, maka akan terkait dengan peran
mobilitas manusia, perdagangan secara internasional,
mobilitas permodalan dan integrasi pasar. Salah satu
organisasi dunia, IMF (International Monetary Fund)
mencatat bahwa pertumbuhan saling ketergantungan
ekonomi antar negara terjadi oleh peningkatan jumlah dan
variasi transaksi antar negara, aliran modal internasional dan
laju perluasan teknologi.
Globalisasi mencakup beberapa aspek sesuai dengan cara
pandang yang dipakai untuk melihatnya. Aspek industri,
sesuai dengan sifatnya, melihatnya sebagai peningkatan
pasar dan perluasan akses antara konsumen dan produsen.
Aspek ekonomi memandangnya sebagai realisasi pasar global
berbasis kepada kebebasan pertukaran barang dan modal.
Aspek finansial melihatnya sebagai peningkatan pasar dan
akses yang lebih baik untuk memperoleh pendanaan dari
luar bagi perusahaan, maupun secara nasional dan
subnasional. Aspek politik memandangnya sebagai
pengenalan pengaturan dunia yang menghubungkan antara
kebangsaan dan penjaminan kebenaran yang tumbuh secara
sosial dan ekonomi. Aspek informasi memandangnya sebagai
peningkatan arus informasi ke daerah sulit dicapai atau
terpencil. Aspek budaya memandangnya dari segi terjadinya
14
peningkatan silang budaya menuju budaya dunia. Aspek
ekologi atau lingkungan memandangnya sebagai peningkatan
penyelesaian masalah ekologi atau lingkungan global, sebagai
contoh misalnya masalah perubahan iklim, pemanasan
global, pencemaran, pemanfaatan sumberdaya berlebihan,
penangkapan ikan berlebihan, dst. Aspek sosial
memandangnya sebagai peningkatan mobilitas manusia
secara bebas. Aspek transportasi melihatnya sebagai
penyederhanaan dominasi alat transport dari satu negara.
Dampak secara internasionalnya akan membuat
perkembangan multibudaya, perjalanan warga dunia dan
turisme, imigrasi, pangan, olahraga dan selanjutnya menjadi
mengarah kepada tata nilai universal atau global. Aspek
teknis/legal memandangnya sebagai suatu pertumbuhan
infrastruktur telekomunikasi, misalnya internet, satelit, serat
optik, nirkabel, dst. Selain itu juga meningkatkan standar
global seperti HaKI, paten, dan perjanjian dagang
internasional, termasuk pula tentang peningkatan peradilan
internasional, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan.
Sekarang ini dengan telah diadakannya perjanjian
tentang tarif (General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT)) membuat rintangan perdagangan internasional
semakin mengecil. GATT pada dasarnya mencakup tentang
beberapa hal, yaitu tentang promosi perdagangan bebas,
yaitu pengurangan tarif dengan membuat zona perdagangan
bebas dengan tarif rendah atau tanpa tarif, pengurangan
ongkos transport dengan penggunaan peti kemas,
pengurangan atau penghapusan kontrol terhadap
permodalan, dan pengurangan atau penghapusan atau
penyesuaian subsidi untuk bisnis lokal. Pembatasan
perdagangan bebas, yaitu penyesuaian perundangan
kekayaan intelektual lintas batas, pengakuan pembatasan
kekayaan intelektual. Definisi lain dari globalisasi ialah
15
internasionalisasi dari segala sesuatu yang berkaitan dengan
negara lain atau antar negara.
Dalam kaitan perkembangan perguruan tinggi,
globalisasi menggambarkan kekuatan daya saing perguruan
tinggi. Contoh yang mudah kita kenali ialah pengelompokan
universitas berdasarkan pemeringkatan sebagai universitas
kelas dunia (UKD) (world class university), berdasarkan
akreditasi internasional (semula akreditasi lokal),
berdasarkan kerangka kualifikasi (kompetensi) yang dimiliki,
transfer kredit, gelar ganda (double degree), gelar bersama
(joint degree), dan banyak faktor lainnya.
iii. Masalah lingkungan
Kita menghadapi masalah penting pada masa sekarang
dan akan datang, yaitu masalah lingkungan. Pemahaman
lingkungan memerlukan derajat moralitas dan kompetensi
tertentu, sehingga kita semua dapat berpola fikir
keberlanjutan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat.
Dalam praktiknya, hasil dari pendidikan tinggi kita
menghasilkan dua jalur besar kompetensi. Pertama, adalah
jalur vokasi dan kedua, adalah jalur akademik atau filosofi.
Jalur vokasi merupakan kompetensi yang diharapkan dapat
langsung dapat diterapkan pada kebutuhan keseharian
kemanusiaan untuk kesejahteraan hidupnya.
Jalur vokasi sejatinya merupakan tulang punggung dalam
keseharian kehidupan masyarakat kita. Namun,
kenyataannya pendidikan tinggi dalam jalur ini masih kurang
diminati. Hal ini terbukti dengan jumlah perguruan tinggi
dalam bentuk politeknik dan akademi pada tahun 2010
hanya berkisar kurang dari 30%. Contoh-‐contoh pendidikan
vokasi yang harus segera dikembangkan antara lain untuk
mengantisipasi pengembangan lingkungan perkotaan di
mana pengelolaan harus dilakukan untuk drainase yang tidak
16
berfungsi karena tidak dibuat dengan tepat atau tidak
terpelihara. Jika terjadi hujan, banyak kota mengalami banjir,
karena buruknya pembuatan drainase atau pemeliharaannya
yang tidak dilakukan. Di daerah pedesaan sulit untuk
mempertahankan pertumbuhan produksi pertanian, karena
minimnya jumlah penyuluh pertanian. Di daerah
pertambangan, karena penggalian yang semena-‐mena
menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Sarana
transportasi jalan dan jembatan kita juga kurang terpelihara
sehingga cepat rusak. Dengan demikian penguatan
pendidikan vokasi di perguruan tinggi untuk jenjang Diploma
1, Diploma 2 dan Diploma 3 sangat dibutuhkan segera. Jalur
akademik bertugas untuk mendesain dan mengembangkan,
sedangkan jalur vokasi bertugas untuk membuat dan
memelihara.
iv. Standar pendidikan tinggi (dinamis)
Standar adalah suatu norma atau persyaratan formal
yang menciptakan kriteria, metoda, proses, dan praktik
rekayasa atau teknis yang seragam.
Perguruan tinggi berbeda dengan sekolah yang
melaksanakan pendidikan menengah dan pendidikan dasar.
Perguruan tinggi melaksanakan misi Tridharma Perguruan
Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, bahkan di samping berfungsi sebagai pusat
pendidikan juga menjadi pusat riset. Dengan demikian,
standar untuk pendidikan tinggi tidak cukup hanya meliputi
standar pendidikan saja, namun juga harus mencakup
penelitian maupun pengabdian kepada masyarakat. Undang-‐
undang Pendidikan Tinggi termasuk mengatur tentang
standar penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
17
Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat
merupakan tulang punggung untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (pasal 8 UU Dikti).
v. Pemantauan dan evaluasi mutu PT
Pemantauan yang dilakukan perguruan tinggi dilakukan
dengan penyampaian laporan dari setiap perguruan tinggi
yang dilakukan setiap semester. Sistem pelaporan ini
diusahakan diperbaiki terus menerus dengan menerapkan
sistem online. Sistem ini akan memberikan kemudahan bagi
perguruan tinggi untuk melakukan pelaporan kemajuan
perguruan tingginya dalam bentuk berbagai data dan
informasi, misalnya status sumber daya (dosen, mahasiswa,
dan aset) maupun karya-‐karya yang dilakukan dan dihasilkan
oleh perguruan tinggi. Secara ideal data yang tersedia yang
harus dipantau harus sesuai dengan standar yang ada. Jika
hanya berbasis kepada Undang-‐undang No. 20 tahun 2003,
maka data dan informasi tersebut hanya akan terkait dengan
standar pendidikan. Sehubungan dengan hal itu wajib
dikembangkan standar tentang penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat.
Evaluasi perguruan tinggi dapat dilakukan melalui semua
data yang telah dimasukkan ke dalam pangkalan data.
Evaluasi dapat dilakukan oleh perguruan tinggi untuk
kebutuhan internal mulai dari kebijakan penentuan tujuan
perguruan tinggi ke depan, perencanaan, pelaksanaan
kegiatan maupun penilaian hasil dan dampaknya.
d. Relevansi
Relevansi dimaksudkan sebagai ketepatan atau
kesesuaian antara hasil lulusan perguruan tinggi dengan
kebutuhan lapangan kerja. Kita memahami bahwa lulusan
perguruan tinggi berdasarkan kepada maksud pembelajaran
18
yang diberikan dapat dibagi dua, yaitu lulusan pendidikan
akademik dan lulusan pendidikan vokasi. Pendidikan
akademik atau juga dikenal sebagai pendidikan yang bersifat
filosofis dimaksudkan untuk mengembangkan keilmuannya.
Hasil dari pendidikan ini adalah para pemikir atau “pemimpi”
untuk keberlanjutan ilmu, sedangkan pendidikan vokasi
dimaksudkan untuk menghasilkan tenaga kerja yang
langsung dapat menerapkan ilmunya untuk berbagai bidang
kegiatan di masyarakat. Keduanya dibutuhkan, namun
semestinya proporsi untuk pendidikan vokasi jumlahnya
lebih besar. Kebutuhan ketenagakerjaan di Indonesia
menunjukkan bahwa lulusan pendidikan vokasi masih sangat
dibutuhkan di berbagai bidang. Data tahun 2013 untuk
sektor industri menunjukkan bahwa baru sekitar 8% dari
total pekerja yang ada yang memiliki pendidikan diploma
atau sarjana. Sekitar 50% dari total pekerja yang ada masih
berpendidikan SD atau bahkan tidak tamat SD2. Di beberapa
jenis pekerjaan di sektor industri, kebutuhan untuk tenaga
terampil dengan latar belakang pendidikan diploma atau
sarjana bisa mencapai sekitar 20% dari total pekerja yang
diperlukan.
Kelompok akademik dibutuhkan untuk meningkatkan
daya saing dalam pengembangan iptek sementara kelompok
vokasi dibutuhkan untuk meningkatkan produk industri
(termasuk infrastruktur, jasa (services) dan lingkungan)
secara luas, sehingga secara nyata memberikan sumbangan
dalam pertumbuhan ekonomi. Secara praktis dapat
digambarkan bahwa jalur akademik menghasilkan para
“penggagas” dan jalur vokasi menghasilkan para “pewujud”.
Status proporsi jumlah lembaga pendidikan vokasi
dibandingkan dengan pendidikan akademik hingga tahun
2 Perencanaan Kebutuhan SDM Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi Tahun 2012-‐2014, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, 2012
19
2010 adalah kurang dari 30% : 70%. Proporsi maupun
jumlah perguruan tinggi maupun jumlah mahasiswa dan
lulusan harus diusahakan untuk diubah lebih banyak kepada
pendidikan vokasi. Perubahan ini akan sesuai dengan
kebutuhan ketenagakerjaan di lapangan dan kebutuhan
peningkatan pendapatan tenaga kerja sesuai dengan tingkat
pendidikan vokasi yang diterimanya.
i. Perbaikan pendapatan masyarakat dan Corporate Social
Responsibility (CSR)
Hingga tahun 2011, berdasarkan data dari BPS (2011),
sekitar 50% dari tenaga kerja kita ditopang oleh lulusan SD
atau tidak lulus SD. Lulusan perguruan tinggi kira-‐kira
berkontribusi 7%. Sebanyak 3% diantaranya adalah lulusan
pendidikan vokasi yaitu D1 hingga D3. Tentu saja pada saat
itu jumlahnya sebagian besar adalah lulusan D3.
Tabel IV Persentase Tenaga Kerja sesuai Pendidikan pada Agustus
2011 (Diolah dari data Pusdatinaker, 2013)
Pendidikan Jumlah Persentase (%)
< SD 56.179.020 48
SMP 22.587.360 19
SMA 29.048.471 25
D1-‐D3 3.418.203 3
> S1 6.142.431 5
Dari calon tenaga kerja lulusan SMA atau sederajat,
jumlah yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya sekitar
50% dari sekitar 2,1 juta orang. Meilihat perkembangan yang
seperti itu, perlu dipikirkan suatu bentuk perguruan tinggi
yang didesain sedemikian rupa pada tingkat D1 dan D2 untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang terampil. Dengan
mengembangkan bentuk perguruan tinggi ini, sebagian dari
20
sisa sekitar 50% lulusan SMA yang tidak dapat meneruskan
ke perguruan tinggi dapat mengakses ke perguruan tinggi
tersebut.
Dengan pendidikan yang lebih tinggi ini, mereka
tentunya akan mendapat penghasilan yang lebih baik. Agar
masyarakat dan pengusaha dapat segera memperoleh
manfaat yang saling mendukung, sebaiknya skema
pengembangan seperti ini dibiayai dalam skema corporate
social responsibility. Cara ini tentunya juga akan memberikan
dampak keserasian antara pusat pengembangan ekonomi di
daerah dengan masyarakat sekitarnya sehingga stabilitas
sosial terjamin.
ii. Ketenagakerjaan
Kesesuaian antara kompetensi lulusan perguruan tinggi
dan kebutuhan industri dan masyarakat dalam arti luas
menjadi sebuah diskusi yang panjang. Salah satu jalan keluar
yang penting dikemukakan ialah memilih lokasi di mana
tempat kompetensi itu dibutuhkan agar juga menjadi lokasi
tempat berlangsungnya proses pendidikan. Cara ini akan
langsung menyatukan antara pemasok dan pengguna dalam
satu kesatuan.
Keterampilan/keahlian dari mahasiswa yang dididik
disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan perekonomian
setempat atau jenis bidang yang dibutuhkan secara lokal
maupun regional. Jika perguruan tinggi tersebut didirikan
oleh pemerintah/pemerintah daerah, maka disesuaikan
dengan perencanaan pertumbuhan perekonomian di daerah
dalam sektor industri maupun jasa. Apabila perguruan tinggi
ini didirikan oleh masyarakat maka dikaitkan dengan
kegiatan perekonomian masyarakat terutama secara lokal,
meskipun produknya dapat untuk kebutuhan regional
maupun global. Sering pada pusat-‐pusat pertumbuhan
21
perekonomian masyarakat tenaga kerja pada tingkat
perguruan tinggi diisi oleh tenaga berasal dari luar daerah
tersebut, yang dapat menimbulkan kesenjangan. Kadang-‐
kadang juga pendidikannya diisi oleh tenaga kerja pada
tingkat yang lebih rendah atau lebih tinggi. Jika lebih rendah
sering secara teknis bisa merusak lingkungan dan jika lebih
tinggi beban industri menjadi mahal. Kesesuaian hasil
pendidikan akan dapat segera dicapai karena lokasi
kampus/pendidikan ada di lokasi pusat pertumbuhan
perekonomian itu (pabrik, tambang perkebunan, perikanan,
pertanian, sanggar seni, pengolahan makanan, dst.). Dengan
demikian bentuk perguruan tinggi baru D1 dan D2 ini akan
memecahkan masalah kesenjangan asal ketenagakerjaan,
keseuaian kebutuhan ketenagaan, dan kesenjangan beban
pembiayaan bagi pengusaha.
Sebelumnya, pendidikan vokasi yang biasanya telah
dilaksanakan oleh akademi dan politeknik diposisikan lebih
lemah dibandingkan dengan jalur akademik. Pertama, karena
jenjangnya hanya sampai D3 dan jika melanjutkan harus
pindah ke progran studi sarjana (akademik). Kedua,
penghargaannya memang dianggap lebih rendah. Ketiga,
jenjang akademik dosennyapun dibatasi tidak dapat sampai
gurubesar (profesor) dan jika dosen tersebut berstatus
Pegawai Negeri Sipil, maka dosen tersebut tidak bisa
mencapai pangkat tertinggi (pangkat IVE). Degan demikian
mekanisme sistem pendidikan yang sama/sederajat namun
beda jalur kompetensinya (vokasi/akademik) harus bisa
dibangun.
22
Tabel IV Persentase Pengangguran Terbuka sesuai Pendidikan pada
Agustus 2013
(Diolah dari data Pusdatinaker, Agustus 2013)
Pendidikan Jumlah Persentase
< SD 1.893.678 26
SMP 1.681.945 23
SMA 3.185.007 43
D1-‐D3 187.059 2
> S1 441.048 6
iii. Masalah lingkungan
Kota-‐kota kita berkembang terus sesuai dengan
peningkatan jumlah penduduk. Seiring dengan
perkembangan tersebut dibutuhkan para pemikir yang
mampu berusaha untuk mengatasi kebutuhan akan
infrastruktur yang memadai, untuk memerbaiki pengelolaan
lingkungannya maupun dukungan sumberdaya alamnya, baik
yang konvensional, baru, mupun terbarukan, dan juga untuk
meningkatkan kemampuan pengelolaan sosial yang handal.
Mereka adalah para lulusan perguruan tinggi jalur akademik
yang ditopang dan bekerjasama dalam pelaksanaan di
lapangan dengan para lulusan perguruan tinggi jalur vokasi.
Kita menyadari bahwa hal ini memerlukan peningkatan mutu
yang dilakukan secara terus menerus.
Desa-‐desa kita juga berkembang terus. Penyesuaian
tatakelola hingga pengelolaan sumberdaya, infrastruktur dan
lingkungan memerlukan pendekatan yang dinamis.
Sebagaimana mengelola perkotaan, secara identik mutu
lulusan pendidikan vokasi dan akademik harus mampu
mendukungnya.
23
Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman
sumberdaya alam yang luar biasa. Hingga saat ini banyak
sumberdaya alam kita yang diekspor dalam bentuk bahan
mentah. Hal ini sangat merugikan kita, karena tidak ada nilai
tambah. Kita membutuhkan para ahli hasil pendidikan
akademik dan vokasi yang mampu memberikan nilai tambah
dari sumberdaya alam kita. Kebutuhan dasar kita akan
makanan, energi dan air semestinya mampu kita penuhi
sendiri melalui pemikiran para ahli yang dihasilkan oleh
perguruan tinggi kita.
iv. Daya saing kepakaran insan Indonesia
Kepakaran dalam iptek hanya mungkin ditumbuhkan
melalui penelitian dan pengembangan. Bidang ini hingga
sekarang masih kurang mendapat perhatian karena hasilnya
memang tidak berdampak langsung. Padahal, kita memahami
bahwa misi perguruan tinggi adalah Tridharma Perguruan
Tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Sehubungan dengan itu sistem yang memaksa
agar sivitas akademik melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat harus diciptakan. Lingkungan akademik
atau atmosfer akademik hanya mungkin terjadi jika di
kampus Tridharma Perguruan Tinggi dilaksanakan dengan
kuat. Harus diakui bahwa banyak kampus masih sangat
lemah untuk pemahaman dan pelaksanaan dharma kedua
dan ketiga kita (lihat data Scopus 2010).
Penelitian dapat berjalan dengan baik jika kita dapat
memberikan komitmen terhadap terlaksananya penelitian.
Syarat yang pertama ialah kapasitas peneliti. Kita harus bisa
membuat semua dosen yang kita miliki berpendidikan doktor
(S3). Mereka yang berpendidikan doktor sewajarnya secara
umum menjadi peneliti, karena merekalah yang telah
menyelesaikan pendidikan sebagai peneliti secara paripurna.
24
Dalam pelaksanaan penelitian komitmen tentang pendanaan
dapat dilakukan melalui penciptaan mekanisme pendanaan
yang tidak terpisahkan dalam sistem operasional perguruan
tinggi. Sistem penghargaan (reward) untuk peneliti perlu
dibuat. Sebenarnya pengakuan bahwa perguruan tinggi juga
merupakan lembaga riset sebaiknya juga dilakukan. Bahkan
untuk perguruan tinggi tertentu dapat pula diberi sebutan
sebagai universitas riset.
Dalam hal tugas perguruan tinggi, semua perguruan
tinggi secara institusi maupun para dosennya harus bertugas
sebagai pelaksana Tridharma Perguruan Tinggi. Dosen wajib
melalukan ketiga dharma tersebut, dan khusus untuk
penelitian dan pengabdian masyarakat harus merupakan
tugas utama dosen di samping pendidikan. Wujud ukurannya
ialah publikasi ilmiah secara nasional maupun internasional.
25
II. STATUS PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA HINGGA 2010
Pendidikan tinggi di Indonesia tumbuh terus berkaitan dengan
pertumbuhan jumlah lulusan pendidikan menengah. Meskipun
demikian, pendidikan tinggi kita juga terus berkembang seiring
dengan kebutuhan tenaga ahli dengan kompetensi yang terus
meningkat seiring dengan kemajuan iptek dan peningkatan
kebutuhan masyarakat.
a. Bentuk Perguruan Tinggi, Angka Partisipasi Kasar (APK)
Pendidikan Tinggi, dan Jumlah Perguruan Tinggi
Bentuk perguruan tinggi di Indonesia terdiri dari Akademi,
Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas. Jika
dikelompokkan sesuai dengan tugas utamanya, maka Akademi dan
Politeknik menyelenggarakan pendidikan vokasi, sedangkan
Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas, terutama,
menyelenggarakan pendidikan akademik.
Sesuai dengan filosofinya, kebutuhan akan tenaga kerja di
masyarakat semestinya sebagian besar dipenuhi dari hasil
pendidikan akademi dan politeknik. Namun kenyataannya, jumlah
mahasiswa dari pendidikan vokasi jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah mahasiswa program pendidikan akademik
(perbandingan anatara jumlah mahasiswa pendidikan vokasi :
mahasiswa pendidikan akademik adalah 20% : 80%). Dengan
melihat data ini, perlu diusahakan agar ada landasan yang mapan
untuk memperbesar pendidikan vokasi, antara lain dengan
memperkuat/menambah jumlah bentuk pendidikan vokasi yang
melakukan proses pendidikan pada tingkat Diploma 1 dan
Diploma 2. Di samping itu ada beberapa permasalahan
ketenagakerjaan yang memerlukan hasil pendidikan Diploma 1
dan Diploma 2 dalam jumlah yang besar yang dapat dilaksanakan
melalui bentuk perguruan tinggi baru yang khas. Bentuk
perguruan tinggi baru ini juga diharapkan dapat menyambungkan
26
antara lokasi pertumbuhan ekonomi/industri dengan masyarakat
sekitarnya. Bentuk yang dipikirkan adalah Akademi Komunitas.
APK pendidikan tinggi pada tahun 2004 hanya 14,62% , sedangkan
pada tahun 2010 naik menjadi 26,34%. Kenaikan secara bermakna
terjadi sesudah tahun 2013. Jika tanpa percepatan dari proyeksi
APK pendidikan tinggi di tahun 2009, maka tahun 2050 APK
pendidikan tinggi hanya akan mencapai angka 53,5%. Namun, jika
menggunakan proyeksi hasil dengan percepatan, tahun 2051 baru
mencapai 75,0%. Jika ingin mempercepat hingga 2030 telah
mencapai angka 75%, maka diperlukan percepatan yang lebih
tinggi lagi.
Tabel II.1 Bentuk Perguruan Tinggi, APK Pendidikan Tinggi dan
Jumlah Perguruan Tinggi Bentuk dan jenis Perguruan Tinggi 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
APK 14,62% 15,26% 16,91% 17,26% 17,75% 18,36% 26,34%
a. Jumlah PTS 2,347 2,435 2,756 2,556 2,598 2,892 2,928
-‐ Universitas 350 356 375 371 375 393 412
-‐ Institut 44 43 43 37 37 49 47
-‐ Sekolah Tinggi 1,076 1,130 1,248 1,164 1,186 1,391 1,314
-‐ Akademi 773 794 964 869 884 955 1,015
-‐ Politeknik 104 112 126 115 116 104 140
b. Jumlah PTN 81 81 82 82 82 83 83
-‐ Universitas 46 46 46 48 48 48 48
-‐ Institut 6 6 6 6 6 6 6
-‐ Sekolah Tinggi 4 4 4 2 2 2 2
-‐ Akademi -‐ -‐ -‐ -‐ -‐ -‐ -‐
-‐ Politeknik 25 25 26 26 26 27 27
396 402 421 419 423 441 460
50 49 49 43 43 55 53
1,080 1,134 1,252 1,166 1,188 1,393 1,316
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mempercepat
pertumbuhan APK, misalnya dengan memberikan pelaksanaan
mandat program studi kepada perguruan tinggi yang ada baik
program studi vokasi maupun akademik, perubahan maupun
perluasan PTN maupun PTS di berbagai daerah terutama daerah
3T, penyelenggaraan pendidikan jarak jauh (PJJ), penyelenggaraan
pendidikan di luar domisili (PDD), peningkatan kualitas PTS,
27
kerjasama yang berkualitas antar perguruan tinggi secara luas, dan
masih banyak lagi.
b. Dosen dan Mahasiswa
Tabel II.2 Jumlah dosen, status dan Beasiswa Dosen
Tahun
Dosen dan statusnya 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Dosen Tetap 157,222
157,556 158,891
160,349 161,358
161,692 162,510
-‐ PTN
-‐ PNS 55,918 56,192 57,041 58,354 59,273 59,867 60,485
-‐ PTS
-‐ PNS 7,662 7,700 7,823 8,012 8,138 8,215 8,351
-‐ NON PNS 93,642 93,664 94,027 93,983 93,947 93,610 93,674
Persentase Dosen S3 10.98% 10.99% 10.89% 10.77% 10.83% 10.96% 11.06%
-‐ PTN 15.28% 15.28% 15.13% 14.94% 15.01% 15.16% 15.31%
-‐ PNS 15.28% 15.28% 15.13% 14.94% 15.01% 15.16% 15.31%
-‐ PTS 6.68% 6.69% 6.64% 6.59% 6.66% 6.76% 6.81%
-‐ PNS 9.55% 9.55% 9.45% 9.32% 9.36% 9.46% 9.50%
-‐ NON PNS 3.81% 3.82% 3.83% 3.87% 3.95% 4.05% 4.13%
Persentase Dosen S2 50.58% 50.88% 51.75% 53.43% 54.37% 55.07% 55.87%
-‐ PTN 55.36% 55.65% 56.52% 58.15% 59.02% 59.63% 60.23%
-‐ PNS 55.36% 55.65% 56.52% 58.15% 59.02% 59.63% 60.23%
-‐ PTS 45.80% 46.11% 46.98% 48.71% 49.72% 50.50% 51.51%
-‐ PNS 59.57% 59.87% 60.75% 62.44% 63.37% 64.06% 64.96%
-‐ NON PNS 32.03% 32.34% 33.21% 34.98% 36.07% 36.94% 38.06%
Persentase Dosen belum S2 38.44% 38.14% 37.36% 35.80% 34.79% 33.98% 33.07%
-‐ PTN 29.36% 29.07% 28.35% 26.91% 25.97% 25.21% 24.46%
-‐ PNS 29.36% 29.07% 28.35% 26.91% 25.97% 25.21% 24.46%
-‐ PTS 47.52% 47.20% 46.38% 44.70% 43.62% 42.74% 41.68%
-‐ PNS 30.88% 30.58% 29.80% 28.24% 27.26% 26.48% 25.54%
-‐ NON PNS 64.17% 63.83% 62.96% 61.15% 59.98% 59.01% 57.81%
Jumlah Dosen Tersertifikasi -‐ -‐ -‐ -‐ 8,197 11,522 11,690
-‐ PTN -‐ -‐ -‐ -‐ 4,997 8,273 8,755
-‐ PTS -‐ -‐ -‐ -‐ 3,200 3,249 2,935
-‐ Persentase PTN 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 8.43% 13.82% 14.47%
-‐ Persentase PTS 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 3.13% 3.19% 2.88%
Jumlah Guru Besar 1,880 2,178 2,723 3,310 3,962 4,370 4,606 Beasiswa Dosen Dalam Negeri 3,591 3,317 3,687 4,272 4,982 4,925 5,972
-‐ S2 2,740 2,331 2,585 2,770 3,117 2,813 3,543
-‐ S3 851 986 1,102 1,502 1,865 2,112 2,429 Beasiswa Dosen Luar Negeri -‐ -‐ -‐ -‐ 1,103 590 480
-‐ S2 -‐ -‐ -‐ -‐ 182 91 36
-‐ S3 -‐ -‐ -‐ -‐ 921 499 444
28
Jumlah perguruan tinggi di Indonesia akan terus bertambah
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, karena harus
mengantisipasi jumlah kenaikan lulusan sekolah menengah atas
sebagai calon mahasiswa. Selain itu kebutuhan akan tenaga ahli
maupun tenaga terampil yang ahli juga terus meningkat seiring
dengan kemajuan jaman untuk kesejahteraan manusia. Dengan
demikian, jumlah dosen dan jumlah kursi baru untuk perguruan
tinggi (masukan) terus meningkatkan.
Data dosen dalam beberapa tahun terakhir yang ada di Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi menunjukkan pertumbuhan
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel II.2.
Data yang ada di Ditjen Dikti menunjukkan pertumbuhan
jumlah mahasiswa sekitar 230.000 orang pada tahun 1975,
1.100.000 tahun 1985, 2.500.000 tahun 1995, dan pertumbuhan
selanjutnya dengan data yang lebih baik yang ditunjukkan pada
Tabel II.3.
Sementara itu APK perguruan tinggi tercatat 18,3% pada
tahun 2005 dan 26,3% pada tahun 2010. Jumlah perguruan tinggi
negeri pada tahun 1961 baru 23 buah sementara itu pada tahun
2010 tumbuh menjadi 83 perguruan tinggi. Kenaikan ini harus
terus dipacu, karena PTN menunjukkan kehadiran negara dalam
pendidikan tinggi di suatu tempat di negara kita.
Di sisi yang lain, kontribusi perguruan tinggi swasta juga penting.
Jumlahnya juga meningkat dengan tajam yaitu 2347 pada tahun
2004 menjadi 2928 pada tahun 2010. Berikutnya perlu
diperhatikan mekanisme pengaturan agar jumlah mahasiswa
maupun jumlah perguruan tinggi dapat dilakukan terkelola secara
baik dan akuntabel, sehingga memerlukan aturan yang mantap.
29
Tabel II.3. Jumlah mahasiswa, beasiswa dan pendaftaran Selesksi nasional
Masuk PTN (SNMPTN)
Tahun Jumlah Mahasiswa 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Mahasiswa 3,797,266
2,790,39
1
2,691,81
0
2,583,18
7
3,805,28
7
4,281,69
5
4,337,03
9
-‐ PTN 880,154 910,910 718,355 825,876
1,237,40
8
1,748,20
1
1,804,76
1 -‐ laki-‐laki 416,577 420,048 340,259 398,537 570,236 780,078 811,645 -‐ Perempuan 463,577 490,862 378,096 427,339 667,172 968,123 993,116
-‐ PTS 2,917,112
1,879,48
1
1,973,45
5
1,757,31
1
2,567,87
9
2,533,49
4
2,532,27
8
-‐ laki-‐laki 1,444,233
1,015,68
3
1,066,46
7 900,961
1,316,67
8
1,304,95
9
1,370,05
4
-‐ Perempuan 1,472,879 863,798 906,988 856,350
1,251,20
1
1,228,53
5
1,162,22
4 Beasiswa 163,448 159,485 240,000 242,241
-‐ PPA -‐ -‐ -‐ 72,464 74,700 113,389 98,746 -‐ BBM -‐ -‐ -‐ 90,984 84,785 126,611 125,375 -‐ Bidik Misi -‐ -‐ -‐ -‐ -‐ -‐ 18,120 -‐ Afirmasi
Papua -‐ -‐ -‐ -‐ -‐ -‐ -‐
Jumlah Pendaftar SNMPTN 412,248 449,727 Jumlah Mhs diterima pada SNMPTN 92,511 88,551
c. Daya saing perguruan tinggi Indonesia
Kita telah menyadari bahwa sekarang ini kita telah berada
pada era global, sehingga ukuran-‐ukuran atau standar yang
bersifat global atau internasional harus diterapkan. Ujud yang bisa
diacu antara lain melalui parameter yang dikenal sebagai
“universitas kelas dunia (UKD)” atau “world class university”
(dalam hal ini “universitas” dapat diartikan sebagai perguruan
tinggi). Selain itu yang termudah untuk mengukur daya saing
perguruan tinggi adalah melalui karya ilmiah internasional hasil
karya dari anggota sivitas akademik perguruan tinggi. Biasanya
30
jika karya ilmiah internasionalnya tinggi maka perguruan tinggi
tersebut memiliki kualitas yang baik artinya berdaya saing tinggi.
i. Universitas Kelas Dunia (UKD)
Akhir-‐akhir ini, Universitas Kelas Dunia (World Class
University) menjadi dambaan yang dapat diartikan sebagai
tantangan bagi perguruan tinggi di berbagai negara. Di
Indonesia banyak universitas yang mulai berusaha untuk
mendudukkan dirinya ke dalam daftar nama universitas yang
dianggap unggul ini. Namun demikian, disadari bahwa agar
masuk dalam daftar UKD tidaklah sedemikian mudah dan
cepat, tapi telah diketahui memerlukan proses yang panjang
dan berliku-‐liku. Dengan demikian pemahaman tentang
kriteria-‐kriteria untuk penilaian yang digunakan untuk
pemeringkatan perlu difahami. Dengan pemahaman ini,
dapat dibuat perencanaan dan pelaksanaan program agar
perguruan tinggi-‐perguruan tinggi kita memenuhi kriteria
dan berdaya saing untuk berkompetisi dengan perguruan
tinggi lain. UKD menjadi menarik karena semua perguruan
tinggi di Indonesia dan dunia, semuanya berusaha
meningkatkan pemenuhan kriteria yang disyaratkan.
Hingga saat ini jika kita mengacu kepada salah satu
kriteria yang paling popular di dunia yaitu Times Higher
Education (THE) dan QS, 3 universitas kita dengan urutan
yang teratas dari tahun 2005 hingga 2010 masuk dalam
daftar 500 besar dunia sebagaimana tercantum dalam Tabel
II.3.
Levin dkk. (2006), menerangkan tentang tolok ukur UKD
sebagai peringkat terdepan di dunia dari standar
internasional yang unggul sehingga beberapa kriteria harus
dipenuhi oleh universitas tersebut, yaitu: keunggulan dalam
riset; kebebasan akademik dan atmosfer intelektual yang
menarik;
31
Tabel II.3 Publikasi ilmiah dan daya saing Perguruan Tinggi
Indonesia
Kriteria keunggulan Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah Publikasi Ilmiah 6,020 7,518 9,384 11,591 14,477 17,541 20,607
-‐ Internasional 1,378 1,722 2,152 2,688 3,360 4,250 5,833 -‐ Nasional 4,585 5,731 7,163 8,828 11,035 13,194 14,661 -‐ HAKI 57 65 69 75 82 97 113
Peringkat Perguruan Tinggi -‐ Webomatric(3 terbaik)
-‐ UGM -‐ -‐ -‐ -‐ -‐ 572 562 -‐ ITB -‐ -‐ -‐ -‐ -‐ 727 661 -‐ UI -‐ -‐ -‐ -‐ -‐ 1010 815
QS World(3 terbaik) -‐ UI -‐ 420 250 395 287 201 236 -‐ UGM -‐ 341 270 360 316 250 321 -‐ ITB -‐ 408 258 369 315 351 401+
Asian University Rangkings(3 terbaik)
-‐ UI -‐ -‐ -‐ -‐ -‐ 50 50 -‐ UGM -‐ -‐ -‐ -‐ -‐ 63 85 -‐ ITB -‐ -‐ -‐ -‐ -‐ 80 113
Jumlah Keseluruhan Program Studi 11,258 11,801
12,550 13,426 14,601 15,599 15,957
-‐ PTN 3,146 3,231 3,401 3,672 3,929 4,185 4,358 -‐ PTS 8,112 8,570 9,149 9,754 10,672 11,414 11,599
Jumlah Program Studi Terakreditasi 1,054 1,577 2,092 1,443 784 1,603 1,781
-‐ PTN 398 523 731 415 177 289 402 -‐ PTS 656 1,054 1,361 1,028 607 1,314 1,379
Akreditasi Institusi 55 25
kemandirian dalam tata pamong perguruan tinggi; fasilitas
dan dana yang memadai; suasana diversitas di perguruan
tinggi; internasionalisasi para anggota civitas akademika
(kehadiran mahasiswa, pakar, dan dosen asing);
kepemimpinan perguruan tinggi yang demokratis; jenjang
pendidikan sarjana yang berbakat; penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi, manajemen yang efisien, dan
sumber pembelajaran yang memadai; pembelajaran yang
berkualitas; keterikatan dengan masyarakat/komunitas yang
berkepentingan; keberadaannya pada jejaring kerjasama.
32
Kemudian beberapa lembaga pemeringkatan mencoba
menerapkan beberapa kriteria tersebut, yang sekarang ini
kita kenal antara lain: Shanghai Jiao Tong University
Rankings atau yang juga dikenal sebagai World University
Ranking. Times Higher Education Rankings (THE).
Webometrics Ranking of World Universities . Namun
demikian kita perlu memperhatikan peringatan Philip G.
Altbach: “Putting to much stress on attaining WCU status may
harm an academic system. It may divert energy and resources
from more important and perhaps more realistic goals. It may
focus too much on building a research – oriented and elite
university at the expence of expanding access or serving
national needs”
Jika kita melihat criteria tersebut, maka nampaknya erat
kaitannya antara UKD dengan Universitas Riset, memang
kalau dicermati, semua universitas selain lembaga
pendidikan tinggi juga merupakan lembaga riset. Kita fahami
bahwa yang membedakan antara universitas dan sekolah
(menengah dan sebelumnya) ialah universitas juga lembaga
riset. Dengan demikian jika ingin memperkuat posisinya
sebagai UKD,tidak ada cara lain selain memperkuat dirinya
sebagai universitas riset.
Jika kita mengacu kepada Tridharma Perguruan Tinggi di
Indonesia, maka sebenarnya semua universitas di Indonesia
memiliki misi untuk melakukan riset (ingat Tridharma
Perguruan Tinggi). Namun demikian tentu ada gradasi antara
kegiatan tiga dharma. Di satu sisi ada universitas yang bobot
risetnya sangat kuat, di sisi lain ada yang lebih ke arah
pendidikan untuk menghasilkan sumber daya insani
professional berifat vokasional bagi kepentingan masyarakat.
Hal ini nampaknya bersifat universal termasuk di negara-‐
negara maju. Dengan demikian sering sifat universitas riset
dikaitkan dengan jumlah mahasiswa pancasarjana yang lebih
33
banyak, karena kegiatan pendidikan pada jenjang ini sangat
terkait dengan riset.
Jika kita membicarakan tentang riset, maka beberapa
persyaratan harus dipenuhi, antara lain budaya dan
lingkungan riset dalam cakupan atmosfer akademik. Hal ini
misalnya terkait dengan kemauan dan kebiasaan orang
melakukan riset dan melengkapi infrastrukturnya seperti,
sumber kepustakaan yang mencukupi, lobaratorium riset
yang memadai, fasilitas teknologi informasi dan komunikasi
yang memadai, penerbitan, temasuk kewajiban dari
universitas kepada stafnya untuk mendorong keinginan
melaksanakan riset.
Jejaring yang kuat merupakan hal yang penting bagi
universitas riset, karena riset harus dikomunikasikan secara
global. Dengan demikian internasionalisasi merupakan ciri
universitas riset sehingga universitas riset merupakan daya
tarik bagi para mahasiswa asing maupun dosen asing untuk
belajar dan bekerja di universitas tersebut. Selain itu
mahasiswa asing juga berperan sebagi asisten, sehingga
kehadirannnya juga memberikan nuansa internasional.
Diversitas menjadi salah satu ciri universitas riset. Karena
berada dalam jejaring masyarakat yang luas universiitas riset
banyak memiliki program-‐program interdisiplin.
Untuk mendefisikan universitas riset perangkat yang
dapat dirujuk antara lain ialah Carnegie Classification (2005).
Klasifikasi ini mengkaitkan antara kegiatan riset dengan
penganugerahan gelar doktor. Hal ini mudah dimengerti,
karena kegiatan pembuatan disertasi doktor merupakan
kegiatan riset yang intensif dengan tujuan untuk
membuahkan pengetahuan atau inovasi baru dalam iptek.
Dengan menggunakan klasifikasi tersebut universitas
dikelompokkan sebagai berikut:
34
Klasifikasi Carnegie (2005) Universitas riset dengan ciri-‐ciri sebagaimana diuraikan
diatas sedikitnya memberikan 20 gelar doctor setiap tahun.
Universitas Pemberi Gelar Akademik Doktor (“Doctorate-‐
granting Universities”) dikelompokkan menjadi:
• Universitas Riset dengan kegiatan riset sangat tinggi;
• Universitas Riset dengan kegiatan riset tinggi;
• Uiversitas Riset atau Universitas Doktor.
Pengelompokan di atas dilakukan dengan cara mengukur
kegiatan penelitian yang dilakukan perguruan tinggi
dengan melihat data yang terkait dengan:
1. Jumlah dana yang dikeluarkan untuk penelitian dan
pengembangan bidang ilmu sains (termasuk ilmu
sosial) dan teknik.
2. Jumlah dana yang dikeluarkan untuk penelitian dan
pengembangan di luar bidang ilmu sains dan teknik.
3. Jumlah peneliti yang bergelar doktor yang berstatus
bukan dosen.
4. Jumlah doktor yang dihasilkan.
Komisi Boyer (1990) Komisi Boyer memberikan ciri-‐ciri dari universitas riset
sebagai berikut:
• Universitas tersebut memiliki motivasi tinggi untuk
menciptakan pengetahuan baru;
• Kemampuan dalam penelitian digunakan sebagai
kriteria utama untuk penerimaan maupun kenaikan
jabatan dosen;
• Pendidikan pada jenjang pascasarjana merupakan
komponen utama dari universitas tersebut;
• Memiliki lingkungan yang kondusif untuk penelitian
termasuk infrastruktur yang memadai seperti
35
perpustakaan, laboratorium, komputer, penerbitan
universitas yang kesemuanya memenuhi standar.
• Universitas tersebut berorientasi internasional;
• Universitas tersebut menjadi menarik bagi mahasiswa
asing terutama pada program pascasarjana, sehingga
terjadi heterogenitas dengan berbagai bahasa, budaya
maupun kebangsaan;
• Universitas tersebut menyediakan program antar-‐
disiplin.
• Universitas juga mendukung berbagai program kegiatan
kesenian;
Selanjutnya Komisi Boyer merekomendasikan bahwa:
• Universitas riset perlu melakukan integrasi antara
kekayaan intelektual dan sumberdaya untuk
memperkaya pengalaman dalam mendidik mahasiswa
pada jenjang sarjana;
• Proses pendidikan dilaksanakan dengan metoda
pembelajaran berbasis riset atau “pembelajaran yang
berdasarkan kepada penemuan-‐penemuan yang
terbimbing ketimbang merupakan penerusan
informasi”.
Jika kita melihat hakekat universitas tersebut, maka ada
dua sisi bentuk universitas, yang pertama ialah universitas
yang cenderung lebih banyak kegiatannya untuk
menghasilkan berbagai inovasi iptek, di sisi yang lain ada
universitas yang lebih kepada menghasilkan modal insani
yang profesional untuk mengisi kebutuhan lapangan kerja
dan kebutuhan masyarakat lainnya. Jika ada universitas di
dua sisi tersebut tentunya ada pula universitas yang memiliki
misinya ada di antara kedua sisi tersebut.
Dengan mengacu kepada uraian tentang daya saing, kita
di Indonesia memerlukan cara yang tepat untuk mengelola
36
perguruan tinggi sebaik mungkin, sehingga dapat memenuhi
kesertaan kita, tidak saja, dalam turut serta berkontribusi
kepada kelestarian iptek, namun untuk juga memenuhi
kebutuhan modal insani bagi Indonesia. Jika kita melihat
jumlah penduduk Indonesia yang sudah berjumlah lebih dari
237 juta jiwa di tahun 2010 dan terbesar keempat di dunia,
maka tidak dipungkiri bahwa kebutuhan akan tenaga kerja
dalam ujud sebagai modal insani sangatlah besar. Oleh
karena itu perlu dicatat bahwa perguruan tinggi yang
mencetak tenaga professional dan berbudaya diperlukan
dalam jumlah yang sangat besar. Universitas dalam kelompok
ini lebih cenderung kepada pendidikan atau ada yang
menyebut sebagai “teaching based university” atau vocational.
ii. Karya ilmiah dan arsitektur pengelolaan perguruan
tinggi
Kita harus memahami bahwa persaingan dalam
pengembangan iptek berjalan sangat ketat. Dengan demikian
perguruan tinggi yang kita posisikan dalam kelompok ini
jumlahnya harus terseleksi (mungkin tidak banyak?), karena
harus mampu bersaing ketat dan arena sifatnya berada pada
area riset yang sangat canggih, maka biayanya juga tidak
kecil. Dengan demikian jumlah universitas dalam kelompok
ini tidak perlu banyak, namun dengan tugas harus mampu
bersaing secara universal. Perguruan tinggi dalam kelompok
ini adalah perguruan tinggi yang harus dapat menjadi
perguruan tinggi riset.
Kelompok perguruan tinggi yang jumlahnya menengah
adalah kelompok perguruan tinggi yang berada di antara ke
duanya. Jumlahnya juga moderat sesusai dengan jatidirinya.
Di Indonesia perguruan tinggi belum dikelola dalam
arsitektur pengelompokan perguruan tinggi semacam ini.
Meskipun demikian, sebenarnya pendekatan seperti ini mulai
37
dapat kita lakukan. Sebagai rujukan jika kita lihat dalam
Tabel II.4, maka setidaknya ada empat perguruan tinggi yang
di posisikan sebagai universitas yang mengarah kepada
universitas riset.
Tabel II.4 Peringkat 5 besar jumlah karya yang dipublikasikan secara
internasional menurut Scopus sesuai posisi 6 April 2009.
Peringkat Nama Lembaga Jumlah makalah
1 Institut Teknologi Bandung 1160
2 Universitas Indonesia 1151
3 Universitas Gadjah Mada 710
4 Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia 512
5 Institut Pertanian Bogor 503
Tiga universitas teratas dalam tabel di atas merupakan
universitas yang selalu muncul dalam peringkat universitas
kelas dunia (WCU) versi Times Higher Education maupun QS
Asia yang secara berkala dikeluarkan dalam kelompok 200
universitas Top di Asia. Peringkat dalam universitas kelas
dunia tahun 2008, Universitas Indonesia pada peringkat 287,
Institut Teknologi Bandung ada pada peringkat 315 dan
Universitas Gadjah Mada pada peringkat 316. Sementara itu
pada peringkat Top 200 Asia 2009, Universitas Indonesia
pada peringkat 50, Universitas Gadjah Mada di posisi 63 dan
Institut Teknologi Bandung di posisi 80. Ada beberapa
universitas lain yang masuk dalam 200 besar Asia ini, yaitu
Institut Pertanian Bogor pada peringkat 118, Universitas
Airlangga peringkat 130, Universitas Diponegoro peringkat
171 dan Universitas Sebelas Maret pada peringkat 171.
Tiga universitas tersebut nampaknya memiliki
keunggulan sesuai bidang khusus yang dimilikinya. Sebagai
contoh, misalnya, Institut Teknologi Bandung yang dalam
bidang teknologi (Engineering & IT) peringkat ITB ada pada
38
posisi 90 besar dunia (2008) atau 21 besar Asia (2009).
Posisi tersebut jika dibandingkan dengan berbagai negara di
Asia, Australia maupun Eropa kedudukannya dapat dilihat
pada Tabel II.5 s/d II.15.
Tabel II.5 Peringkat dalam bidang Engineering dan IT untuk ITB
terhadap universitas yang berada pada posisi lebih tinggi dari ITB di
negara-‐negara Asean
Peringkat
Asean
Peringkat
dunia (2008)
Peringkat
Asia (2009)
Universitas Negara
1 11 3 NUS Singapura
2 26 7 NTU Singapura
3 86 24 Chula. Univ. Thailand
4 90 21 ITB Indonesia
Tabel II.6 Peringkat dalam bidang Engineering dan IT untuk ITB
terhadap universitas yang berada pada posisi lebih tinggi dari ITB di
China
Peringkat
China
Peringkat
Dunia
(2008)
Peringkat Asia
(2009)
Universitas
1 12 2 Tsinghua University
2 38 9 Peking University
3 48 13 Shanghai Jiao Tong Univ.
4 49 13 Univ. of SCI. & Tech. of
China
90 21 ITB
39
Tabel II.7 Peringkat dalam bidang Engineering dan IT untuk ITB
terhadap universitas yang berada pada posisi lebih tinggi dari ITB di
India
Peringkat
India
Peringkat
Dunia
(2008)
Peringkat Asia
(2009)
Universitas
1 36 10 Indian Inst. Of Tech.
Bombay
2 42 11 Indian Inst. Of Tech.
Delhi
3 70 18 Indian Inst. Of Tech.
Kanpur
4 74 19 Indian Inst. Of Tech.
Madras
90 21 ITB
Tabel II.8 Peringkat dalam bidang Engineering dan IT untuk ITB
terhadap universitas yang berada pada posisi lebih tinggi dari ITB di
Korea Selatan
Peringkat
Korsel
Peringkat
Dunia
(2008)
Peringkat Asia
(2009)
Universitas
1 34 8 Kaist
2 43 12 Seoul National
University
90 21 ITB
40
Tabel II.9 Peringkat dalam bidang Engineering dan IT untuk ITB
terhadap universitas yang berada pada posisi lebih tinggi dari ITB di
Jepang
Peringkat
Jepang
Peringkat
Dunia
(2008)
Peringkat Asia
(2009)
Universitas
1 9 1 University of Tokyo
2 21 5 Tokyo Institute of
Technology
3 22 4 Kyoto University
4 49 15 Osaka University
90 21 ITB
Tabel II.10 Peringkat dalam bidang Engineering dan IT untuk ITB
terhadap universitas yang berada pada posisi lebih tinggi dari ITB di
Australia
Peringkat Australia Peringkat Dunia Universitas
1 27 University of New South Wales
2 28 University Of Melbourne
3 41 University of Sydney
4 47 Monash University
5 61 University of Queesland
90 ITB
Tabel II.11 Peringkat dalam bidang Engineering dan IT untuk ITB
terhadap universitas yang berada pada posisi lebih tinggi dari ITB di
Perancis
Peringkat Perancis Peringkat Dunia Universitas
1 31 Ecole Politechnique
90 ITB
41
Tabel II.12 Peringkat dalam bidang Engineering dan IT untuk ITB
terhadap universitas yang berada pada posisi lebih tinggi dari ITB di
Russia
Peringkat Russia Peringkat Dunia Universitas
90 ITB
1 104 Lumanosov Moscow State University
Tabel II.13 Peringkat dalam bidang Engineering dan IT untuk ITB
terhadap universitas yang berada pada posisi lebih tinggi dari ITB di
Belanda
Peringkat Belanda Peringkat Dunia Universitas
1 17 Delft Univ. Technology
2 49 Eindhoven Univ. of Tech.
90 ITB
Tabel II.14 Peringkat dalam bidang Engineering dan IT untuk ITB
terhadap universitas yang berada pada posisi lebih tinggi dari ITB di
Jerman
Peringkat Jerman Peringkat Dunia Universitas
1 40 Technische Universitat Munchen
2 65 Technische Universitat Berlin
3 70 RW. Technische Hochschule Aachen
4 72 Universitat Karlsruhe
90 ITB
42
Tabel II.15 Peringkat dalam bidang Engineering dan IT untuk ITB
terhadap universitas yang berada pada posisi lebih tinggi dari ITB di
Inggeris
Peringkat Inggeris Peringkat Dunia Universitas
1 5 University of Cambridge
2 7 Imperial College London
3 14 University of Oxford
4 45 University of Manchester
5 60 University of Edinburg
90 ITB
d. Status tenaga kerja terhadap lulusan perguruan tinggi
Kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup
mengesankan, namun ternyata hingga tahun 2010 proporsi tenaga
kerja lulusan perguruan tinggi hanya 7,2%, yaitu 2,7% lulusan
Diploma I hingga III dan 4,6% lulusan sarjana atau lebih tinggi.
Komposisi tenaga kerja yang terbesar berlatar belakang lulusan SD
bahkan tidak lulus SD, yaitu 51,5%.
Data ini tentu harus kita ubah dengan menaikkan terus jumlah
tenaga kerja yang berasal dari lulusan perguruan tinggi. Sebagai
contoh pembanding Malaysia telah memiliki jumlah tenaga kerja
lulusan perguruan tinggi sejumlah 20,3%, sedangkan lulusan
sekolah dasar hanya 24,3% dan sudah didominasi oleh lulusan
sekolah menengah 56,3%. Data-‐data negara-‐negara OECD (The
Organization for Economic Co-‐operation and Development) jauh
lebih baik, yaitu 40,3% lulusan perguruan tinggi, 39,3% sekolah
menengah dan hanya 20,4% lulusan sekolah dasar.
Dengan mengacu kepada data-‐data diatas kita harus terus
memperluas akses ke perguruan tinggi. Artinya kita harus
membuat ketersediaan tempat pembelajaran perguruan tinggi,
dan membuat terjangkau untuk semua lapisan masyarakat. Di sisi
yang lain agar lulusan perguruan tinggi terserap dengan baik di
masayarakat pembelajaran yang dilakukan harus relevan dengan
43
kebutuhan masyarakat yaitu antara lain dengan memerkuat dan
memerluas pendidikan vokasi. Selain itu kualitas pendidikan juga
menjadi faktor penting sehingga pendidikan tinggi yang dijalankan
oleh perguruan tinggi harus memenuhi standar yang ditetapkan.
44
UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi: undang-‐undang ini menjadi desain, cita-‐cita dan rujukan dasar bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi di
Indonesia....
III. MENATA ULANG PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA
Dengan mengacu kepada status pendidikan tinggi dan perguruan
tinggi pada tahun 2010, maka dirasakan perlu untuk membuat dasar
legal yang kokoh untuk pengembangan pendidikan tinggi di
Indonesia. Dasar legal yang kokoh tersebut haruslah berupa undang-‐
undang. Undang-‐undang ini menjadi desain, cita-‐cita dan rujukan
dasar bagi penyelenggaraan
pendidikan tinggi di Indonesia.
Setelah melalui komunikasi yang
panjang antara Kementerian
Pendidikan Nasional (nama
kementerian pada saat itu) dengan
Komisi X DPR-‐RI, dipersiapkanlah
naskah RUU disertai naskah
akademik yang kemudian diajukan
sebagai inisiatif DPR. Naskah RUU ini kemudian dibahas bersama
Pemerintah yang dipenjurui oleh Kementerian Pendidikan Nasional
yang kemudian bernama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Akhirnya RUU Pendidikan Tinggi ini disetujui dalam Sidang Pleno
DPR-‐RI menjadi Undang-‐undang pada tanggal 13 Juli 2012 dan
diundangkan menjadi secara resmi oleh Presiden pada tanggal 10
Agustus 2012.
a. Pola pikir umum pendidikan tinggi di Indonesia
i. Penegasan fungsi dan tujuan serta prinsip pendidikan
tinggi di Indonesia
Agar fungsi pendidikan tinggi menjadi lebih jelas sesuai
dengan amanat Undang-‐undang Dasar 1945 sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 3, yang menyatakan bahwa tugas
pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tugas
untuk melaksanakannya jelas sangat relevan untuk
45
perguruan tinggi. Rumusan ini kemudian diatur melalui pasal
4 Undang-‐Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang intinya
menjadikan bangsa Indonesia menjadi beradab, bermartabat,
berdaya saing, mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Wahana untuk pelaksanaannya melalui
implementasi Tridharma Perguruan Tinggi. Karena harus
berkaitan dengan watak, maka nilai-‐nilai humaniora menjadi
landasan untuk pelaksanaannya.
Mengacu kepada fungsinya tersebut maka selanjutnya
tujuan perguruan tinggi diatur lebih lanjut pada pasal 6 UU
Dikti. Pasal tersebut antara lain menegaskan hal-‐hal yang
terkait dengan profil lulusan perguruan tinggi. Selain itu juga
diatur hasil dari proses kegiatan perguruan tinggi yaitu ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat secara universal
untuk peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Hal ini
dilakukan melalui penelitian. Selain itu dengan
dilaksanakannya kegiatan pengabdian kepada masyarakat
beserta kegiatan penelitian maka manfaat dari kegiatan-‐
kegiatan tersebut akan diperoleh oleh masyarakat secara
luas.
Sebagai suatu lembaga akademik, perguruan tinggi harus
menegakkan atmosfer budaya akademik, prinsip kebenaran
akademik, demokrasi yang berkeadilan dalam pendidikan
sebagai landasan kerja dalam menjalankan proses
pendidikan. Hal lain yang penting diperhatikan ialah hal-‐hal
yang terkait dalam pemahaman kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yaitu masalah hak asasi manusia
(HAM), kemajemukan, agama dan humaniora. Sebagai
masyarakat akademik kegiatan baca tulis harus
dikembangkan. Pembelajaran sepanjang hayat, pembelajaran
yang berpusat kepada mahasiswa, pengembangan kreativitas
mahasiswa, kebebasan bagi mahasiswa untuk memilih obyek
pembelajaran dan keteladanan diatur untuk dilaksanakan di
46
perguruan tinggi. Pengaturan keberpihakan terhadap
kelompok masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi
sewajarnya dilakukan. Untuk menuju kepada tujuan
pendidikan tinggi ini seluruh komponen masyarakat harus
berperan serta. Berbagai hal yang terkait dengan tujuan
pendidikan tinggi ini diatur prinsip-‐prinsipnya dalam pasal 6
UU Dikti.
ii. Kejelasan Kewenangan Penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi
Pengaturan tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi
diatur dalam pasal 7 UU Dikti. Penyelenggaraan pendidikan
tinggi yang diatur Pemerintah pada dasarnya harus
dilaksanakan melalui satu kewenangan. Kewenangan
tersebut ada pada Menteri yang bertanggung jawab kepada
sektor pendidikan. Namun kenyataannya, beberapa
kementerian sektor lain juga menyelenggarakan pendidikan
tinggi, bahkan sekarang ini Menteri yang bertanggung jawab
tentang masalah agama juga menyelenggarakan pendidikan
termasuk pendidikan tinggi. UU Dikti dirancang untuk
mengatur kewenangan masing-‐masing, yang perlu
dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Menteri yang bertanggung jawab tentang pendidikan
tinggi memiliki kewenangan penyelenggaraan untuk semua
aspek pendidikan kecuali pendidikan keagamaan.
iii. Penegasan tentang civitas akademika, budaya akademik
dan kebebasan akademik
Mereka yang bekerja di kampus terdiri atas dosen,
mahasiswa dan tenaga kependidikan. Pemeran utama tradisi
ilmiah di kampus adalah dosen dan mahasiswa. Pasal 11
hingga 14 UU Dikti mengatur tentang hal-‐hal penting yang
harus dilakukan oleh dosen dan mahasiswa anggota civitas
47
akademika untuk mengembangkan budaya akademik secara
utuh, secara adil, dan tanpa pandang bulu. Landasannya
sudah tentu adalah pencarian kebenaran ilmiah. Kegiatan
yang dilakukannya mencakup tanggungjawab moral maupun
material. Hubungan akademik antara dosen dan mahasiswa
diatur sedemikian rupa sehingga mahasiswa menjadi
termotivasi untuk mengembangkan potensinya secara aktif.
Dengan demikian dosen dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan juga melestarikannya melalui produk
penelitian maupun melalui mahasiswanya sebagai hasil
proses pembelajaran. Agar lestari, produk kegiatan
Tridharma Perguruan Tinggi oleh dosen wajib ditulis sebagai
makalah terpublikasi maupun buku ajar.
Mahasiswa menurut UU Dikti dikembalikan kepada
posisi yang seharusnya yaitu sebagai insan dewasa atau
orang dewasa sehingga dibuat agar memiliki kesadaran
sendiri untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi yang
profesional dan berbudaya. Dengan mengacu kepada
landasan budaya akademik, mahasiswa memiliki kebebasan
akademik yang bertanggungjawab. Layanan yang diperoleh
mahasiswa sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya
dalam kerangka pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi,
khususnya terkait dengan proses pendidikan. Di sisi yang lain
mahasiswa diatur untuk melakukan kegiatan ekstrakurikuler
dan kokurikuler melalui organisasi kemahasiswaan yang
diatur oleh masing-‐masing perguruan tinggi.
Kebebasan akademik sering diartikan bahwa kampus
seolah-‐olah sebagai wilayah otonom yang bebas melakukan
apa saja, oleh siapa saja tanpa ada batasannya. Pasal 9 UU
Dikti mengatur tentang pemahaman yang benar. Kebebasan
akademik merupakan kebebasan Sivitas Akademika untuk
mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi melalui Tridharma Perguruan Tinggi. Kebebasan
48
mimbar akademik Dosen yang memiliki otoritas dan wibawa
ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung
jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun
ilmu dan cabang ilmunya. Di samping itu, otonomi keilmuan
adalah otonomi Sivitas Akademika pada suatu cabang Ilmu
Pengetahuan dan/atau Teknologi dalam menemukan,
mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau
memertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode
keilmuan, dan budaya akademik.
iv. Penataan rumpun keilmuan untuk memermudah
pengelolaan sumber daya manusia dan institusi
Pengembangan karir seorang dosen yang juga adalah
seorang peneliti maupun praktisi profesional sering diartikan
sangat sempit sehingga sering dianggap setara dengan
bidang keilmuan dari sebuah program studi. Dalam bahasa
keseharian dikatakan sebagai linieritas. Padahal kenyataan di
lapangan menunjukkan dasar keahlian yang mencukupi
memungkinkan seseorang untuk mendalami ilmu dengan
“nyaman” dalam kelompok bidang yang berdekatanan. Pasal
10 UU Dikti dengan mengacu kepada pengelompokan yang
dilakukan UNESCO (United Nations Educational, Scientific,
and Cultural Organization) membaginya dalam 6 rumpun
ilmu, yaitu ilmu-‐ilmu agama, humaniora, sosial, alam, formal
dan terapan. Rumpun ilmu difahami sebagai kumpulan
sejumlah pohon, cabang, dan ranting Ilmu Pengetahuan yang
disusun secara sistematis. Tugas untuk mengembangkan
rumpun ilmu ada pada civitas akademik dengan
melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi.
49
b. Pengelolaan akses diperguruan tinggi
i. Perluasan akses dengan perluasan jenis dan jenjang
perguruan tinggi
Agar akses ke perguruan tinggi menjadi lebih luwes dan
sesuai dengan kebutuhan di berbagai wilayah Indonesia yang
luas, dilakukan tata ulang atau penegasan ulang tentang
beberapa aspek terkait pendidikan tinggi. Aspek-‐aspek
tersebut ialah berbagai jenis, jenjang, sektor penyelenggara,
kerangka kualifikasi nasional, moda pembelajaran,
kekhususan, program studi dan lulusan, pendidikan tinggi.
Jenis-‐jenis pendidikan tinggi (pasal 15 – 17 UU Dikti)
meliputi pendidikan akademik, vokasi dan profesi.
Pendidikan akademik merupakan pendidikan pada jenjang
sarjana hingga pasca sarjana untuk pengembangan iptek.
Sebagai contoh, pada pendidikan akademik kita mengenal
Program Studi Teknik Sipil. Untuk pendidikan vokasi,
pendidikan ini merupakan pendidikan agar seseorang dapat
bekerja dengan keahlian terapan tertentu, dan pendidikan
vokasi ini memiliki jenjang diploma hingga sarjana terapan,
magister terapan, dan doktor terapan. Sebagai contoh yang
terkait dengan Teknik Sipil, program vokasinya menjadi
Program Studi Teknik Jalan Raya. Pendidikan akademik dan
pendidikan vokasi dilaksanakan oleh perguruan tinggi
dengan pembinaan, koordinasi, dan pengawasan dilakukan
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pendidikan profesi adalah pendidikan setelah sarjana
agar seseorang dapat bekerja pada pekerjaan dengan
persyaratan keahlian khusus. Pendidikan profesi
dilaksanakan oleh perguruan tinggi bekerjasama dengan
Kementerian/LPNK dan/atau organisasi profesi. Sebagai
contoh adalah pendidikan apoteker, dokter, insinyur, arsitek,
akuntan, dst.
50
Sebagai program, kita pahami ada penjenjangan untuk
program akademik, yaitu Program Sarjana, Program
Magister, dan Program Doktor. Program-‐Program ini
diarahkan kepada pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diatur dalam pasal 18 – 20 UU Dikti, termasuk
di dalamnya tentang siapa yang berhak mengajar pada
program-‐program tersebut. Dengan modal yang kokoh di
bidangnya ini maka didesain para lulusannya menjadi para
profesional yang selain mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, juga dapat bekerja dengan baik
dan menciptakan lapangan kerja. Tingkat kemandirian makin
tinggi pada jenjang yang tertinggi (doktor atau doktor
terapan).
Dengan maksud untuk memerkuat pendidikan vokasi,
tata ulang terkait dilakukan melalui pengaturan dalam pasal
17 – 23 UU Dikti. Pasal-‐pasal tersebut mengatur bahwa
pendidikan vokasi dilakukan dalam bentuk Program Diploma
(yang terdiri dari Diploma Satu, Program Diploma Dua,
Program Diploma Tiga dan Program Diploma Empat atau
Sarjana Terapan), Program Magister Terapan dan Program
Doktor Terapan. Terobosan baru yang dilakukan melalui UU
Dikti ialah pada pengajarnya, di mana dikenal kesetaraan
melalui kesederajatan yang diatur dalam Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia 3 . Seperti halnya program
akademik, semakin tinggi jenjangnya, semakin canggih dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan semakin
mandiri dan bersifat semakin universal.
Setelah seseorang menyelesaikan pendidikan pada
jenjang sarjana atau sederajat, ia dapat melanjutkan pada
program pendidikan profesi seperti akuntan, dokter,
apoteker, dst. Lulusan program profesi dapat melanjutkan
3 Peraturan Presiden Republik Indonesia no. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, 17 Januari 2012
51
pada pendidikan program spesialis, sebagai contoh program
dokter spesialis. Pengaturan mengenai hal-‐hal tersebut
dimuat dalam pasal 24 dan 25 UU Dikti.
Pendidikan akademik dan vokasi pada berbagai jenjang,
pendidikan spesialis dan profesi diberi hak untuk
menggunakan gelar yaitu gelar sesuai dengan jenis
pendidikannya (akademik atau vokasi) dan tentunya sesuai
dengan jenjangnya, serta gelar profesi dan spesialis.
Ketentuan tentang gelar ini diatur dalam pasal 26 – 28 UU
Dikti. Gelar terendah program pendidikan akademik adalah
sarjana dan doktor sebagai gelar yang tertinggi. Gelar untuk
pendidikan vokasi adalah ahli pratama yang terendah dan
doktor terapan yang tertinggi.
Terobosan penting yang juga diatur dalamUU Dikti ialah
yang berkaitan dengan penyetaraan kompetensi seseorang
sebagai hasil dari pendidikan formal, nonformal, informal
atau pengalaman kerja termasuk mandiri pada jenjang
tertentu (pasal 29 UU Dikti). Penyetaraan ini penggunaannya
dapat dimanfaatkan dalam memperkuat proses pendidikan
formal, sehingga relevansi dalam pendidikan formal menjadi
lebih kokoh. Pengaturan penyetaraan dikelola sesuai dengan
Kerangka Kualifikasi Nasional4.
Mangacu kepada sejarah pendidikan tinggi di Indonesia,
pendidikan tinggi juga diselenggarakan oleh Kementerian
Agama. Sesuai dengan variasi program studi yang di kelola
bentuk-‐bentuk perguruan tingginya dapat berupa
universitas, institut, sekolah tinggi, akademi dan dapat
berbentuk ma’had aly, pasraman, seminari, dan bentuk lain
yang sejenis (pasal 30 UU Dikti).
Sesuai dengan kemajuan jaman, penggunaan teknologi
informasi dalam pembelajaran menjadi alat penting yang
4 Peraturan Presiden Republik Indonesia no. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, 17 Januari 2012
52
dalam mendukung proses pembelajaran tersebut.
Penggunaan teknologi ini jelas akan memperluas akses
kepada pendidikan tinggi. Pengendalian yang baik terhadap
penyelenggaraan pendidikan dengan menggunakan teknologi
informasi agar seluruh kegiatan dapat berjalan dengan baik
dan proporsional diatur dalam pasal 31 UU Dikti.
Perluasan akses perlu diatur sedemikian rupa sehingga
juga mencakup kepada kelompok masyarakat penyandang
cacat. Potensi mereka yang ternyata memiliki kecerdasan
dan bakat istimewa harus dapat terwadahi. Sehubungan
dengan itu pasal 32 UU Dikti mengatur tentang pendidikan
khusus dan layanan khusus.
Program Studi merupakan pelaksana program
pendidikan. Program studi merupakan ujung tombak sebagai
sarana pembelajaran di perguruan tinggi. Sehubungan
dengan itu untuk pengendalian secara utuh dari aspek
kualitas maupun kuantitasnya maka diperlukan ijin
pembukaan program studi dari Pemerintah. Melalui perijinan
ini Pemerintah dapat melindungi masyarakat agar
memperoleh pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu Pemerintah juga dapat memantau kinerja dari
setiap program studi secara periodik dengan mengacu
kepada hasil akreditasinya. Ketentuan-‐ketentuan ini diatur
dalam pasal 33 UU Dikti.
Kebutuhan masyarakat akan pendidikan tinggi maupun
inovasi senantiasa tumbuh seiring dengan kemajuan
kebutuhan hidup dan kompleksitas kehidupannya.
Sehubungan dengan itu pertumbuhan metode pembelajaran
harus terjadi. Cara yang pertama dapat dilakukan dengan
memerluas kampus yaitu dengan kampus utama dan
beberapa kampus lainnya. Pola kampus utama dan kampus
lainnya di kelola dalam satu provinsi. Hal ini dimaksudkan
agar pertumbuhan keunggulan di setiap provinsi dapat
53
terjadi. Pemikiran penting yang harus dipahami ialah bahwa
program studi tersebut dilakukan di suatu kampus artinya
ada atmosfer akademik. Atmosfer akademik hanya dapat
tumbuh jika dipenuhi syarat adanya sarana dan prasarana
kampus yang memadai, adanya dosen maupun tenaga
kependidikan yang mumpuni. Cara pengelolaan perguruan
tinggi ini saat sekarang dikenal sebagai pembelajaran diluar
domisili (PDD). Pasal 34 UU Dikti mengatur tentang hal ini.
Selain itu, jika diperlukan untuk penyebaran akses yang
berkaitan dengan ciri unggulan tertentu dimungkinkan
membuka kampus lain di luar kampus utama di luar provinsi.
Untuk melaksanakannya agar terjadi saling mendukung
antara satu perguruan tinggi dengan kampus lainnya
dilakukan dengan bekerja dengan perguruan tinggi setempat.
Dalam rangka perluasan akses secara bertahap
perguruan tinggi dikembangkan sebagai pusat unggulan.
Cara yang dilakukan dengan mengembangkan satu PTN
berbentuk universitas, institut atau politeknik disetiap
provinsi (pasal 80 UU Dikti). Pengembangan suatu negara
untuk kesejahteraan syaratnya memerlukan pertumbuhan
ekonomi secara maksimal melalui berbagai potensi unggulan
daerah. Pusat-‐pusat pertumbuhan ekonomi ini memerlukan
tenaga terdidik pada tingkat pendidikan tinggi yang memadai
pada jenjang yang lebih tinggi setelah lulusan sekolah
menengah atas. Dalam UU Dikti (Pasal 81) bentuk perguruan
tinggi ini di kenal sebagai Akademi Komunitas (AK). Contoh
pusat unggulan daerah yang berpotensi ekonomi misalnya
perikanan, perkebunan, pertanian, kelautan, kelompok
industri kreatif seperti seni, tari, musik, pertambangan,
pabrik, dst. AK diharapkan dapat dibangun di seluruh
kabupaten/kota maupun di daerah perbatasan.
54
ii. Keberpihakan kepada golongan ekonomi lemah
Pemerintah melakukan pengaturan untuk mengusahakan
agar semua lapisan masyarakat dapat mengikuti seleksi
untuk masuk ke perguruan tinggi yang dilakukan secara
nasional (pasal 73 UU Dikti). Cara yang dilakukan ialah
dengan menanggung biaya seleksi tersebut yang dilakukan
oleh PTN. Dengan cara ini para calon mahasiswa yang
memenuhi persyaratan akademik namun kondisi
ekonominya lemah dapat terbantu untuk masuk keperguruan
tinggi. Selain langkah tersebut, juga diatur bahwa perguruan
tinggi dilarang mengkaitkan penerimaan mahasiswa untuk
tujuan komersial.
Ketentuan yang lebih tajam tentang keberpihakan
Pemerintah terhadap masyarakat ekonomi lemah tercantum
dalam pasal 74 UU Dikti. PTN wajib mencari dan menjaring
calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi,
tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa
dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh
Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua
Program Studi. Agar dukungan terhadap mereka yang
memiliki ekonomi lemah menjadi kenyataan Pemerintah
menyediakan alokasi dana melalui APBN maupun APBD
(pasal 76 UU Dikti).
iii. Pengelolaan biaya di perguruan tinggi
Jika seseorang telah diterima sebagai mahasiswa dan
memiliki kemampuan secara akademik, maka kita harus
mengusahakan agar dapat menyelesaikan studinya tanpa
dihalangi masalah ekonomi. Cara-‐cara yang ditempuh dapat
dilakukan melalui beasiswa, bantuan pembebasan biaya
pendidikan, maupun pinjaman tanpa bunga. Mekanisme agar
mahasiswa dapat mendapatkan bantuan ini diatur oleh
55
masing-‐masing perguruan tinggi dengan Pemerintah maupun
Pemerintah daerah (Pasal 76 UU Dikti).
Penyelenggaraan perguruan tinggi tentu memerlukan
dukungan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah.
Pemerintah sebagaimana biasa mengalokasikan pendanaan
melalui APBN. Untuk itu diharapkan Pemerintah Daerah
mengalokasikan dana untuk pendidikan tinggi melalui APBD.
Masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan dalam
pendidikan tinggi tentu dapat berperan penting. Dengan
demikian, dalam berbagai bentuk yang syah masyarakat
tentu dapat memberikan bantuan pembiayaan kepada
pendidikan tinggi (pasal 84 UU Dikti).
Sebagai lembaga riset dalam kerangka Tridharma
Perguruan Tinggi, perguruan tinggi diharapkan dapat
melakukan layanan dalam rangka penggalian dana.
Penggalian dana dapat dilakukan dengan cara memberikan
layanan profesi yang diwujudkan dalam berbagai kerjasama
riset secara profesional. Kerjasama ini dapat dilakukan
dengan pihak pemeran pertumbuhan ekonomi atau industri
yang memerlukan. Ke depan tentu diinginkan perguruan
tinggi menjadi pusat inovasi bagi berbagai institusi. Cara ini
akan menghasilkan dana untuk pengembangan perguruan
tinggi. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 85 UU Dikti.
Perguruan Tinggi diharapkan tidak mengandalkan uang
kuliah mahasiwa sebagai sumber pendanaan.
Dunia usaha maupun dunia industry (DUDI) serta pihak
masyarakat yang memberikan bantuan kepada
penyelenggaraan pendidikan tinggi perlu mendapatkan
dukungan. Wujud-‐wujud yang dapat dikaitkan dengan
bantuan penyelenggaraan pendidikan tinggi misalnya saja
dana Corporate Social Responsibility. Sehubungan dengan itu
Pemerintah memfasilitasinya (pasal 86 UU Dikti). Suatu
terobosan penting dalam UU Dikti ini yaitu pengaturan
56
kekayaan negara yang hak pengelolaannya dapat diberikan
kepada perguruan tinggi. Sebagai contoh kehutanan, lahan
pertanian, perikanan, industri, pertambangan, dst. (pasal 87
UU Dikti).
Pada saat RUU Dikti ini dibuat banyak keluhan
mahasiswa terhadap tingginya uang kuliah, terutama di PTN.
Pengendalian uang kuliah (atau sejak lama kita kenal sebagai
SPP) menjadi salah satu pemikiran penting yang harus
diselesaikan dengan undang-‐undang ini. Oleh karena itu
standar biaya perlu ditetapkan. Dengan telah ditetapkan
standar satuan biaya, Pemerintah dapat mengendalikan uang
kuliah dengan cara memberikan alokasi untuk membiayai
PTN melalui APBN. Perguruan Tinggi wajib mengacu kepada
satuan biaya yang ditetapkan ini untuk menentukan uang
kuliah yang dibayar oleh mahasiswa. Cara seperti ini
membuka kemungkinan untuk menerapkan sistem uang
kuliah yang berjenjang dapat menjadi kenyataan, karena
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mereka dan tidak
boleh melampaui satuan biaya yang ditentukan. Ketentuam
tentang hal ini diatur dalam pasal 88 UU Dikti.
Secara seksama UU Dikti ini juga mengatur
pengalokasiannya, yaitu sebagai biaya bagi PTN yang
meliputi biaya operasional, dosen dan tenaga kependidikan,
investasi dan pengembangan. Bantuan pembiayaan untuk
PTS sebagai tunjangan profesi dosen, kehormatan profesor
serta investasi dan pengembangan, dan bantuan untuk
mahasiswa. Secara berbeda untuk Perguruan Tinggi Negeri
badan hukum (PTN-‐bh) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sumber pendanaan lainnya dapat diatur melalui APBD sesuai
kemampuan Pemerintah Daerah.
Penelitian merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
perguruan tinggi, sehingga terobosan baru yang dilakukan
untuk meningkatkan dana penelitian yaitu pendanaan
57
melalui Biaya Operasional PTN (BOPTN), di mana 30%
dialokasikan untuk penelitian di perguruan tinggi.
Pengelolaan dana penelitian ini diatur sedemikian rupa oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar terpantau
dengan baik dan terukur capaian hasilnya. Ketentuan tentang
hal ini diatur dalam pasal 89 UU Dikti.
iv. Penguatan kesertaan masyarakat (DUDI) pada pendirian
perguruan tinggi (vokasi)
Kita memahami bahwa sementara ini banyak lulusan
pendidikan tinggi pada jalur akademik yaitu S1 (mungkin S2)
yang tidak terserap oleh pasar sesuai dengan bidang keahlian
yang diperoleh dalam pendidikannya. Hal ini perlu kita
mengerti bahwa tujuan pendidikan akademik adalah untuk
mengembangkan keilmuannya, dengan demikian memang
tidak disiapkan secara langsung masuk ke dunia kerja. Sistem
pendidikan yang diharapkan langsung terkait dengan dunia
kerja adalah pendidikan tinggi pada jalur vokasi. Peran dunia
usaha dan dunia industry (DUDI), masyarakat lainnya
termasuk organisasi sosial maupun organisasi
kemasyarakatan, Pemerintah maupun Pemerintah daerah
harus di tingkatkan terus menerus dalam pendirian dan
penguatan pendidikan vokasi (pasal 79 UU Dikti). Cara ini
akan memercepat kenaikan APK pendidikan tinggi,
memerluas lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat termasuk indeks pembangunannya.
Agar para pemangku kepentingan pendidikan vokasi
yaitu dunia usaha dan dunia industri aktif membantu
pelaksanaannya, sewajarnya Pemerintah dapat memberikan
fasilitasi berupa insentif tertentu. Misalnya terkait dengan
pajak, perijinan atau lainnya yang dapat mendukung
perkembangan pendidikan vokasi. Ketentuan ini
dicantumkan pada pasal 86 UU Dikti.
58
Pendidikan vokasi tentu dibutuhkan oleh masyarakat,
sehingga kompetensinya harus disesuaikan dengan kondisi
nyata di masyarakat. Dengan demikian masyarakat dapat
turut menentukan kompetensi lulusannya melalui dunia
usaha dan dunia industri. Peran lain yang dapat dilakukan
adalah pemberian beasiswa atau bantuan kepada mahasiswa,
mengontrol mutunya melalui organisasi profesi,
menyediakan tempat praktek kerja, membantu
pengembangan karakter mahasiswa. Pengaturan tentang
peran serta masyarakat dicantumkan dalam pasal 91 UU
Dikti.
c. Pengelolaan untuk mutu perguruan tinggi
i. Membangun lingkungan akademik sesuai Tridharma
Perguruan Tinggi
Tridharma Perguruan Tinggi memiliki makna kegiatan
secara ilmiah atau mengikuti metoda ilmiah. Artinya semua
pihak jika melakukan sesuai dengan kaidah-‐kaidah keilmuan
yang terkait pasti bertemu pada kesimpulan yang sama
meskipun melalui diskursus ilmiah. Masyarakat yang
mengacu kepada atmosfer akademik senantiasa akan
menjunjung tinggi derajat keilmuan untuk menuju kebenaran
ilmiah.
Dalam kerangka pembelajaran yang dilakukan melalui
Program Studi (pasal 33 UU Dikti) sesuai dengan metoda
pembelajaran masing-‐masing program studi maka acuan
lengkap proses pembelajaran dijabarkan dalam kurikulum
(pasal 35 UU Dikti) yang dilandasi untuk menghasilkan
standar kompetensi lulusan yang mencakup tiga aspek yaitu
sikap/norma/budi pekerti (pasal 35 dan 37 UU Dikti),
keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge).
Kenyataan di lapangan menunjukkan adanya mobilitas
mahasiwa, di mana mahasiswa berpindah dari satu kampus
59
ke kampus yang lain. Sehubungan dengan hal itu agar
suasana akademik tetap terjaga, perpindahan mahasiswa
dimungkinkan untuk terjadi fleksibilitas yaitu antar program
studi, antar jenis pendidikan tinggi maupun antar perguruan
tinggi (pasal 38 UU Dikti). Kita menganut azas “multientry”
dan “multiexit”, yang berarti lulusan dari jalur vokasi maupun
akademik dapat saling berpindah jalur (pasal 39 UU Dikti).
Bahkan lulusan negara lain dimungkinkan untuk mengikuti
pendidikan di Indonesia dengan mekanisme tertentu (pasal
40 UU Dikti). Sumber belajar merupakan sarana penting untk
menumbuhkan atmosfer akademik. Ujud sumber belajar
mulai dari dosen yang kompeten, berbagai karya ilmiah yang
dapat diakses sebagai barang nyata atau maya, dst. (pasal 41
UU Dikti).
Mutu universitas akan terkait dengan tingkat atmosfer
akademik yang dimiliki suatu perguruan tinggi. Agar
peningkatan mutu dapat terbina, terpantau dan terkendali
untuk peningkatan kualitasnya, Pemerintah membentuk
satuan kerja sebagai Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi
yang berfungsi membantu peningkatan mutu
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di berbagai wilayah
Indonesia (pasal 57 UU Dikti). Unsur terpenting untuk
menciptakan atmosfer akademik ialah dosen. Dengan
demikian keahlian atau kepakaran merupakan syarat sangat
penting bagi para dosen agar dapat menciptakan atmosfer
akademik serta menjamin keberlanjutannya (pasal 69 UU
Dikti).
ii. Penegasan kepentingan karakter
Sebagai makhluk sosial manusia menggunakan bahasa
untuk berkomunikasi yang mengekspresikan tingkah laku
atau karakternya. Sebagai bangsa Indonesia bahasa yang
digunakan sebagai pengantar di Perguruan Tinggi adalah
60
Bahasa Indonesia. Selain itu di Indonesia kita mengenal
ratusan bahasa daerah, sehingga pada progran studi bahasa
dan sastra daerah tadi dimungkinkan menggunakan bahasa
daerah yang sesuai. Di sisi yang lain telah dimulai ada
mahasiswa asing yang belajar diperguruan tinggi kita.
Kemudian berdasarkan kebutuhan tertentu, bahasa asing
tertentu juga harus difahami. Sehubungan dengan dua hal
tersebut penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar
di perguruan tinggi dimungkinkan. Aturan mengenai hal
bahasa ini sesuai dengan karakter kita diatur dalam pasal 37
UU Dikti.
Kita semua menyadari bahwa melalui perguruan tinggi,
kita diharapkan dapat membangun peradaban bangsa yang
luhur. Mengapa? Karena Perguruan Tinggi berfungsi sebagai
wadah pembelajaran mahasiswa dan masyarakat, yang
hasilnya diharapkan menghasilkan para pemimpin bangsa,
pengembangan iptek, kajian kebajikan dan moral dalam
rangka mencari kebenaran ilmiah. Kesemuanya tersebut
dilakukan melalui implementasi Tridharma Perguruan Tinggi
(pasal 58 UU Dikti).
Pada saat seseorang sebagai mahasiswa, mereka sebagai
makhluk sosial diharapkan mulai belajar dalam organisasi
yang dikenal sebagai organisasi kemahasiswaan. Pengalaman
dari organisasi kemahasiswaan ini diharapkan akan dapat
menjadi bekal jika kemudan hari bekerja di berbagai institusi
pemerintah maupun swasta. Selain itu juga mempertajam
karakter pribadinya karena mereka dapat menyesuaikan
dengan minat, bakat dan potensinya. Ke depan diharapkan
dapat menumbuhkan kreativitas, kepekaan, daya kritis,
keberanian dan kepemimpinan serta membangun rasa
kebangsaan. Termasuk didalamnya agar kesejahteraan dan
kepentingan mereka terwadahi serta memiliki tanggung
jawab sosial. Kegiatan yang dilakukannya melalui berbagai
61
pengabdian kepada masyarakat seperti bimbingan dan
penyuluhan untuk masyarakat di pedesaan, perkotaan dalam
kerangkan pengelolaan kebersihan, pertanian, administrasi
desa, pemenuhan energi ramah lingkungan dst. Ketentuan
dalam hal ini diatur dalam pasal 77 UU Dikti.
Dalam kondisi global kerjasama internasional harus
dilakukan. Maksudnya agar terjadi tukar menukar
pengalaman dan tukar menukar ilmu pengetahuan. Sebagai
negara dan bangsa yang besar dan bermartabat landasan
kesetaraan dalam bekerjasama harus menjadi titik tolak kita.
Kita tidak harus dapat menjadi bangsa yang superior. Oleh
karena itu kita bersikap memiliki karakter yang senantiasa
setara dengan bangsa manapun juga jika melakukan
kerjasama internasional (pasal 50 UU Dikti).
iii. Peningkatan daya ungkit dan daya saing perguruan
tinggi dengan membuat lembaga yang bermutu, untuk
inovasi dan kreasi bagi penyelesaian masalah sains,
teknologi, dan lingkungan
Masyarakat berharap bahwa lulusan perguruan tinggi
sebagai keluaran perguruan tinggi akan menghasilkan para
pakar dan pengetahuan baru atau inovasi dalam ilmu
penegetahuan dan teknologi melalui pelaksanaan Tridharma
Perguruan Tinggi. Untuk menghasilkan pakar (sumberdaya
ahli), dilakukan melalui kurikulum pendidikan tinggi.
Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar
serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan Pendidikan Tinggi (pasal 35 UU Dikti). Sebagai
lembaga pendidikan tinggi, maka perguruan tinggi secara
otonom mengembangkan kurikulumnya, namun harus
mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan Tinggi untuk
62
setiap program studi yang merujuk kepada kompetensi
akhlak mulia (attitude), keterampilan (skill) dan kecerdasan
intelektual (knowledge). Agar menjadi pribadi yang
berkebangsaan Indonesia yang tangguh namun berdaya saing
disyaratkan memuat matakuliah agama, kewarganegaraan
dan bahasa Indonesia. Ketentuan tentang kurikulum antara
lain diatur pada pasal 35 UU Dikti.
Selanjutnya ke depan peran para profesional akan sangat
penting, karena akan berperan langsung secra nasional
maupun global. Sesuai dengan sektor masing-‐masing,
kementerian-‐kementerian menyusun kompetensi profesi di
dalam sektor kewenangannya yang harus berdaya saing. Hal
serupa juga dipastikan oleh organisasi profesi karena mereka
harus bersaing di kancah global. Penjabaran pelaksanaannya
diwujudkan dalam bentuk kurikulum yang mengacu kepada
Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Perguruan Tinggi yang
baik adalah yang menyusun kurikulumnya diatas standar
tersebut. Ketentuan tentang hal ini ada dalam pasal 36 UU
Dikti.
Ke depan Perguruan Tinggi kita diproyeksikan menjadi
ajang pembelajaran bagi mahasiswa asing pula. Hal ini
dicanangkan senagai bukti kekuatan daya saing perguruan
tinggi kita (pasal 75 UU Dikti).
Sebagai lembaga yang maju, Perguruan Tinggi kita selain
bersaing dengan semua perguruan tinggi di dunia, juga
secara bersamaan harus melakukan kerjasama. Satu-‐satunya
cara yang harus dilakukan ialah meningkatkan daya saing,
yaitu mengacu kepada tolok ukur tetentu yang mencukupi
relatif terhadap kemanjuan jaman. Sebagai contoh dalam
kemampuan inovasi untuk mempublikasikan pada jurnal
internasional, paten internasional maupun prototipe produk
berkelas internasiona. Dengan cara ini kegiatan akademik
yang dilakukan akan mampu berperan secara internasional
63
namun tetap bernilai ke-‐Indonesia-‐an. Sifat kesetaraan dan
tidak inferior perlu di tanamkan dalam sanubari kita,
sehingga kerjasama dilakukan dengan prinsip kesetaraan dan
saling menghormati untuk memajukan iptek dan nilai
kemanusiaan melalui Tridharma Perguruan Tinggi. Cakupan
kerjasama ialah penyelenggaraan pendidikan tinggi yang
bermutu, pengembangan pusat kajian budaya Indonesia dan
daerah, dan pembentukan komunitas ilmiah. Ketentuan
tentang kerjasama internasional diatur pada pasal 50 UU
Dikti.
Indonesia tidak dapat lepas dari masyarakat global.
Biasanya jika negara memiliki pendidikan tinggi yang
bermutu, banyak para mahasiswa dari negara-‐negara lain
belajar di perguruan tinggi-‐perguruan tinggi di negara
tersebut. Pada saat sekarang ini telah kita lihat banyak para
mahasiswa asing menuntut ilmu di negara kita, dengan
demikian kita harus melakukan pengaturan. Jika mahasiswa
asing akan belajar di Indonesia mereka harus memiliki
kualifikasi akademik yang cukup, program studinya siap
menerima mahasiswa, tidak mengganggu proporsi
mahasiswa terhadap jumlah mahasiswa dan dosen, dan
lokasi perguruan tinggi dinilai telah memungkinkan untuk
menerima mahasiswa asing. Dengan mengacu kepada
pemikiran tersebut, persyaratan selanjutnya ditentukan
dengan Peraturan Menteri (pasal 75 UU Dikti)
iv. Standar Nasional Pendidikan Tinggi dan pengendalian
mutu perguruan tinggi
Kita sering membicarakan tentang perguruan tinggi yang
baik dan buruk. Perguruan tinggi adalah wujud pelaksanaan
pendidikan tinggi. Pemahaman tentang perguruan tinggi
yang baik maksudnya adalah baik mutunya. Perguruan tinggi
yang bermutu baik adalah yang telah melampaui standar
64
yang telah ditetapkan. Standar yang ditetapkan dikenal
sebagai Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Agar
standar yang ditetapkan ini bersifat obyektif dan
berpandangan jauh ke depan disusun oleh suatu badan yang
diberi tugas oleh Menteri dan selanjutnya ditetapkan oleh
Menteri. Karena untuk pendidikan tinggi maka standar yang
dibuat harus meliputi standar pendidikan, standar penelitian
dan standar pengabdian kepada masyarakat. Perguruan
tinggi merupakan lembaga otonom secara akademik,
sehingga memiliki kebebasan akademik dalam mencapai
tujuan pendidikan tinggi. Oleh karena itu standar yang dibuat
tetap memerhatikan landasan pengelolaan perguruan tinggi
tersebut. Standar pendidikan tinggi secara utuh selain
menetapkan standar akademik juga standar nonakademik.
Selanjutnya strategi maupun cara dan pelaksanaan untuk
mencapai standar secara nasional itu, masing-‐masing
perguruan tinggi menetapkan standar internal sebagai
Standar Perguruan Tinggi (SPT) untuk memenuhi standar
nasional. Penjaminan mutu kemudian dilakukan oleh
Pemerintah dengan melakukan evaluasi periodik dan
hasilnya diumumkan kepada masyarakat. Tatacara yang
dilakukan dengan praktis melalui Pangkalan Data Perguruan
Tinggi (PD Dikti) yang bersifat terbuka yang mencantumkan
hasil akreditasi masing-‐masing perguruan tinggi. Ketentuan
standar pendidikan tinggi ini diatur dalam pasal 54 UU Dikti.
Pendidikan Tinggi yang bermutu yang dilaksanakan oleh
perguruan tinggi sewajarnya adalah perguruan tinggi yang
menghasilkan pakar yang secara aktif mengembangkan iptek
yang berguna bagi kemanusiaan termasuk masyarakat,
bangsa, dan negara. Dengan demikian Pemerintah
menyelenggarakan sistem penjaminan mutu pendidikan
tinggi (pasal 51 UU Dikti).
65
Penjaminan mutu adalah kegiatan yang tersistem dengan
tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara
terencana dan berkelanjutan. Sistem penjaminan mutu
pendidikan tinggi dilakukan dengan cara semua perguruan
tinggi diwajibkan untuk selalu memperbaiki data kemajuan
pelaksanaan kegiatan perguruan tinggi melalui Pangkalan
Data Pendidikan Tinggi. Dengan ketersediaan data yang
lengkap dapat dilakukan pengendalian dan peningkatan
standar secara berkelanjutan. Tahapan penjaminan mutu
dilakukan dengan penetapan standar sesuai dengan
Tridharma Perguruan Tinggi, pelaksanaan kegiatan, dan
evaluasi yang dilanjutkan dengan pengendalian dan
peningkatan standar. Jika cara ini dilakukan terus menerus,
maka mutu pendidikan tinggi kita menjadi berdaya saing dan
berkelanjutan. Ketentuan tentang hal-‐hal tersebut termuat
pada pasal 52 UU Dikti.
Pelaksanaan sistem penjaminan mutu ada dua tahap
yaitu oleh perguruan tinggi sebagai penjaminan mutu
internal dan akreditasi yang merupakan penjaminan mutu
eksternal (pasal 53 UU Dikti). Penjaminan mutu internal
dilaksanakan oleh masing-‐masing perguruan tinggi dengan
cara mengacu kepada SN Dikti untuk membuat perencanaan
kerja atau standar masing masing. Perguruan tinggi
kemudian melakukan pemantauan capaian-‐capaian dari
kinerja yang telah ditetapkan. Jika standar yang ditetapkan
oleh perguruan tinggi tercapai dengan baik, diharapkan
akreditasi yang merupakan sistem penjaminan mutu
eksternal hasilnya akan baik pula.
Salah satu hasil penting dari pendidikan tinggi ialah
lulusan perguruan tinggi. Jika perguruan tinggi itu bermutu
dia akan menghadilkan para pakar yang mumpuni
keilmuannya dan ditandai dengan ijazah (maupun gelar)
yang diterimanya. Ijazah diberikan kepada lulusan
66
pendidikan akademik dan pendidikan vokasi sebagai
pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian
suatu program studi terakreditasi yang diselenggarakan
oleh Perguruan Tinggi (pasal 42 UU Dikti). Selain itu untuk
pendidikan profesi ditandai dengan sertifikat profesi (pasal
44 UU Dikti). Jika seseorang akan berpraktek, maka
diperlukan sertifikat kompetensi yaitu pengakuan
kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan
keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki prestasi
di luar program studinya (pasal 45 UU Dikti). Pendidikan
profesi dilakukan oleh Perguruan Tinggi berkoordinasi
dengan organisasi profesi.
v. Pengelolaan SDM perguruan tinggi
1. Dosen
Dosen merupakan anggota perguruan tinggi yang
sangat penting. Tugas dosen yang terutama ialah
melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi. Dosen
akan menjadi otak dan tulang punggung untuk
penyelenggaraan perguruan tinggi. Sumber pertumbuhan
atmosfer akademik berasal dari dosen. Dosen harus
memenuhi standar maupun syarat tertentu sebagaimana
diatur dalam pasal 45 UU no. 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, maupun UU Dikti ini. Pengangkatan dosen
dilakukan oleh Pemerintah maupun badan penyelenggara
(pasal 69 UU Dikti). Dosen adalah ilmuwan, dan juga
sebagai pendidik, sehingga harus mampu
mengekspresikan diriya sebagai akademisi. Artinya, dosen
pada dasarnya adalah seorang pakar atau ilmuwan,
sehingga dia harus menunjukkan kepakarannya. Dengan
demikian dosen sewajarnya harus mampu menghasilkan
karya-‐karya sebagai ilmuwan, antara lain menghasilkan
karya ilmiah. Cara termudah untuk melihat kepakaran
67
seseorang ialah dengan melihat hasil-‐hasil karya ilmiah
yang dipublikasikannya. Karya ilmiah yang akhir-‐akhir ini
digunakan sebagai rujukan derajat keilmuwanan
seseorang ialah publikasi dalam jurnal ilmiah. Beberapa
institusi melakukan pengindeksan jurnal ilmiah, salah satu
diantaranya ialah “Scopus” yang berafiliasi dengan
penerbit ternama Elsevier.
Selanjutnya agar jelas rujukan untuk pengelolaan
dosen, tata cara pengangkatan dan penempatan dosen
diatur dalam pasal 70 UU Dikti. Agar dosen dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik maka harus didukung
oleh kesejahteraan yang sesuai (pasal 51 dan 52 UU Guru
dan Dosen).
Kita memahami bahwa pertumbuhan penduduk
Indonesia masih akan meningkat terus. Dengan demikian,
kebutuhan akan pendidikan tinggi juga pasti terus akan
meningkat. Di sisi yang lain kebutuhan kesejahteraan juga
akan semakin meningkat yang tentu membutuhkan
inovasi-‐inovasi yang sesuai untuk menumbuhkan semuan
sektor industri yang harus ditopang oleh perguruan tinggi.
Kebutuhan pertumbuhan ekonomi melalui industri itu
juga memerlukan tumbuhnya program studi baru baik
akademik maupun vokasi. Alasan-‐alasan utama ini
mensyaratkan bahwa kebutuhan dosen akan terus
meningkat. Sehubungan dengan Pimpinan PTN dengan
persetujuan Pemerintah maupun PTS dapat mengangkat
dosen tetap yang bukan PNS. Karena dosen tetap itu akan
memperoleh tunjungan profesi dari pemerintah, maka
perlu diatur mekanismenya. Ketentuan tentang hal ini
diatur dalam pasal 71 UU Dikti.
Ke depan harus ada pengaturan tentang dosen yang
tegas. Karena dosen adalah seseorang yang melaksanakan
tugasnya di perguruan tinggi, maka tentu harus
68
melaksanakan tugasnya sesuai standar yaitu pendidikan,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Jika yang
dilaksanakan hanya pendidikan saja tentu belum
memenuhi syarat sebagai dosen. Dosen yang memenuhi
persyaratan untuk dan atas nama perguruan tingginya
sebagai satuan administrasi pangkalan (home base)
disebut sebagai dosen tetap. Sesuai dengan tugas dan
minatnya dosen memiliki jenjang jabatan akademik, yaitu
asisten ahli, lektor, lektor kepala dan profesor. Untuk
promosi pada jenjang jabatan akademik tertinggi
(profesor/gurubesar) diwajibkan telah terbukti
menghasilkan karya nyata sebagai pendidik. Mereka harus
telah 10 tahun bekerja sebagai dosen tetap sehingga
memiliki publikasi ilmiah sesuai dengan derajatnya
sebagai doktor atau sederajat yaitu karya ilmiah bersifat
internasional serta syarat-‐syarat lain yang ditentukan
menurut perundangan. Batas usia pensiun untuk profesor
diatur tersendiri, yaitu 70 tahun. Selain dosen tetap
seseorang dapat diangkat sebagai dosen tidak tetap yang
biasanya tugasnya hanya di bidang pendidikan atau
mengajar. Pengaturan untuk dosen tidak tetap
kewenangannya diatur oleh masing-‐masing perguruan
tinggi (pasal 48 UU Guru dan Dosen ), sedangkan
jenjangnya oleh penyelenggara perguruan tinggi (pasal 72
UU Dikti). Suatu hal yang penting diatur dalam UU Dikti ini
ialah mereka yang bukan akademisi namun memiliki
kompetensi luar biasa yaitu memiliki “tacid knowledge”
atau “implicit knowledge” yang dapat diterjemahkan
menjadi “explisit knowledge” (yang kemudian diajarkan di
perguruan tinggi) dapat diangkat oleh Menteri sebagai
profesor. Dengan demikian untuk status Profesor sebagai
Dosen Tidak Tetap ini tidak tergantung apakah seseorang
mengajar atau tidak di perguruan tinggi sebelumnya,
69
namun “knowledge” yang dimilikinya istimewa. Suatu hal
yang penting di sini bahwa harus ada keterbukaan
perguruan tinggi untuk dapat menyerap kemajuan ilmu
pengetahuan dari dunia luar yang memang memiliki
makna akademik. Contoh-‐contohnya misalnya Bill Gates
dan Steve Job untuk bidang teknologi informasi, Gus Dur
untuk bidang demokrasi, Romo Mangun untuk bidang
pengelolaan perumahan masyarakat ekonomi lemah, dst.
Sehubungan dengan itu pengaturan maupun
mekanismenya perlu ditentukan. Pengaturan tentang
jabatan akademik ini diatur dalam pasal 72 UU Dikti.
2. Mahasiswa
Sebagai institusi yang menjalankan Tridharma
Perguruan Tinggi, perguruan tinggi harus memperoleh
input insan-‐insan yang potensial untuk berbagai bidang
yang menjadi area masing-‐masing perguruan tinggi.
Dengan demikian, penerimaan mahasiswa sebagai para
calon pakar dan pengembang keberlanjutan iptek perlu
diatur (pasal 73 UU Dikti). Di dalam penerimaan
mahasiswa beberapa faktor harus diperhatikan antara lain
pertama, tatacara penerimaan yang bisa dilakukan secara
nasional maupun bentuk yang lain misalnya mandiri,
berkelompok secara nasional atau berkelompok terbatas.
Penerimaan mahasiswa secara nasional akan
memermudah akses dari para pelajar yang akan masuk ke
PTN dari seluruh wilayah Indonesia secara silang. Mereka
cukup melakukan pendaftaran di lokasi mereka
menempuh pendidikan SMA, namun dapat mendaftar ke
semua perguruan tinggi yang diminatinya di seluruh
Indonesia. Kedua, faktor biaya pendaftaran, yang harus
diatur sedemikian rupa agar para lulusan SMA yang
berpotensi dapat mendaftar untuk turut berkompetisi
70
pada pola penerimaan tersebut. Agar semua lulusan SMA
diberi kesempatan untuk mendaftar ke PTN, Pemerintah
menanggung biaya pola penerimaan mahasiswa secara
nasional (pasal 73 UU Dikti). Ketiga persyaratan akademik,
di mana para pengelola PTN mengatur cara seleksi dengan
memperhatikan semua rekam jejak para lulusan SMA
maupun sekolah di mana mereka belajar. Keempat
kapasitas masing-‐masing program studi di perguruan
tinggi sesuai dengan jumlah dosen dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, kemampuan untuk
dapat melaksanakan layanan prima, maupun berbagai
faktor pendukung lainnya. Kelima pengaturan agar konsep
nirlaba, efektif dan efisien tetap menjadi pegangan
sehingga beban mahasiswa tetap teratasi dan tidak
mengarah kepada mencari laba atau komersialisasi. Bagi
PTS diatur sedemikian rupa oleh masing-‐masing PTS jika
telah dimungkinkan dapat pula bergabung bersama PTN
untuk melakukan penerimaan secara nasional (pasal 74
UU Dikti).
Mahasiswa adalah insan yang berkesempatan untuk
memperoleh pendidikan tinggi sehingga kemampuan
akademik merupakan persyaratan utama. Khusus untuk
PTN diatur melalui seleksi nasional yang mengutamakan
rekam jejak mahasiswa tersebut selama mengikuti
pendidikan di sekolah menengah maupun seleksi tertentu
yang dilakukan oleh masing-‐masing perguruan tinggi.
Karena berbasis utama kepada kemampuan akademik,
PTN diwajibkan menerima 20% mahasiswanya dari
mereka yang tidak mampu. Karena pemerintah dapat
membantu maka dialokasikanlah beasiswa atau bantuan
melalui APBN maupun APBD dan berbagai usaha lain oleh
Perguruan tinggi dan masyarakat (pasal 74 UU Dikti).
71
Berbagai skema globalisasi akan berlangsung dalam
wujud AFTA hingga WTO, tidak terkecuali untuk
pendidikan tinggi, sehingga kita harus menyiapkan diri.
Kita melakukannnya antara lain dalam pengaturan
mahasiswa asing. Mereka dapat belajar di Indonesia,
namun harus memenuhi persyaratan akademik, yaitu
kualifikasi, program studi, jumlah dan lokasi perguruan
tinggi (pasal 75 UU Dikti).
Keberpihakan kepada mereka yang memiliki ekonomi
lemah harus dilakukan oleh semua pihak, sehingga dalam
rangka menyelesaikan studinya, Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan Perguruan Tinggi wajib mendukung secara
ekonomi (pasal 76 UU Dikti).
Mahasiswa harus mempunyai kemampuan masa depan
sehingga mereka harus di didik pula melalui organisasi
kemahasiswaan yang dapat membangun karakter
pembangun masa depan bangsa. Perguruan Tinggi
memiliki tugas untuk menyusun statuta yang mendukung
kearah terbentuknya warga masa depan ini yang bermutu
dan berdaya saing (pasal 77 UU Dikti). Organisasi-‐
organisasi tersebut sifatnya di dalam perguruan tinggi,
sehingga tidak terbuka untuk masyarakat luas, karenanya
sarana dan prasarananya disediakan oleh perguruan tinggi
sesuai dengan yang diatur oleh statuta perguruan tinggi.
vi. Evaluasi pendidik, program dan institusi perguruan
tinggi
Semua kegiatan agar dapat diukur capaiannya harus
dilakukan melalui pengumpulan data berbagai parameter
perguruan tinggi yang diatur dengan baik. Pusat data yang
dimaksud ini telah kita kenal senagai Pangkalan Data
Pendidikan Tinggi (PD Dikti). Sifatnya mengintegrasikan
semua data pendidikan tinggi secara nasional yang berasal
72
dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Sebaiknya PD
Dikti akan memuat semua data tentang kedudukan dan legal
perguruan tinggi, SDM, termasuk mahasiswa, infra struktur
tertentu, beberapa capaian penting dari pelaksanaan
Tridharma Perguruan Tinggi maupun data-‐data lain yang
selalu berkembang untuk ditambahkan. Data yang ada ini
diharapkan dapat digunakan untuk mengevaluasi capaian
perguruan tinggi sesuai standar. Dalam hal pendidikan tinggi
maka ini terkait dengan standar pendidikan, standar
penelitian maupun standar pengabdian kepada masyarakat.
Data-‐data yang termuat dalam PD Dikti dapat digunakan
untuk kebutuhan pengendalian sistem penjaminan mutu
internal perguruan tinggi maupun sistem penjaminan mutu
eksternal perguruan tinggi melalui akreditasi. Dari sisi
pemerintah dapat digunakan untuk melakukan pengaturan,
perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi
serta pembinaan dan koordinasi Program Studi dan institusi
Perguruan Tinggi. Dari sisi lain, masyarakat dapat
menggunakannya untuk melakukan evaluasi tersendiri baik
mutu maupun kinerja suatu perguruan tinggi. Dengan
demikian, agar data selalu mutakhir perguruan tinggi wajib
untuk selalu menyampaikan laporan datanya secara periodik
dan disiplin. Ketentuan-‐ketentuan tentang hal ini
dicantumkan dalam pasal 56 UU Dikti.
d. Pengelolaan relevansi perguruan tinggi
i. Penguatan pendidikan vokasi
Dengan maksud untuk memerkuat pendidikan vokasi,
tata ulang terkait dilakukan melalui aturan pada pasal 17 –
23 UU Dikti. Pendidikan vokasi dilakukan dalam bentuk
Program Diploma (yang terdiri dari Diploma Satu, Program
Diploma Dua, Program Diploma Tiga dan Program Diploma
Empat atau Sarjana Terapan), Program Magister Terapan dan
73
Program Doktor Terapan. Terobosan baru yang dilakukan
ialah pada pengajarnya, di mana dilakukan melalui
kesederajatan yang diatur melalui Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia. Seperti halnya program akademik
semakin tinggi jenjangnya, maka semakin canggih dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan semakin
mandiri dan bersifat semakin universal.
Setelah seseorang menyelesaikan pendidikan pada
jenjang sarjana atau sederajat, ia dapat melanjutkan pada
proram pendidikan profesi seperti akuntan, dokter, apoteker,
insinyur, arsitek, dst. Lulusan program profesi dapat
melanjutkan pada pendidikan program spesialis contoh
dokter spesialis. Aturan-‐aturan tersebut dimuat dalam pasal
24 dan 25 UU Dikti.
Terobosan penting yang dilakukan dalam UU Dikti ini
ialah yang berkaitan dengan penyetaraan kompetensi
seseorang sebagai hasil dari pendidikan formal, nonformal,
informal atau pengalaman kerja termasuk mandiri pada
jenjang tertentu (pasal 29 UU Dikti). Penyetaraan ini
penggunaannya dapat dimanfaatkan dalam memerkuat
proses pendidikan formal, sehingga relevansi dalam
pendidikan formal menjadi lebih kokoh.
ii. Penguatan kelembagaan institusi perguruan tinggi
sebagai lembaga riset dan sumber inovasi masyarakat
Kita harus menyadari bahwa perguruan tinggi dalam
pengertian universal termasuk di Indonesia harus juga
menjadi lembaga di samping fungsinya sebagai lembaga
pendidikan tinggi. Di Indonesia perguruan tinggi dikenal
sebagai lembaga pelaksana Tridharma Perguruan Tinggi. Jati
diri sebagai lembaga riset harus diperjelas dan menjadi
kewajiban untuk melaksanakannya. Indonesia memerlukan
lembaga riset jenis ini yang handal dan secara berkelanjutan
74
melakukan riset, sehingga menghasilkan para pakar yang
terus menerus diremajakan seiring dengan keberlanjutan
iptek baru dan inovasi baru yang dihasilkan melalui riset.
Hanya dengan cara inilah Indonesia mampu menghasilkan
berbagai produk industri keras hingga industri jasa yang
bermutu dan berdaya saing global. Biasanya perguruan tinggi
yang bermutu dan unggul memiliki kuntitas dan kualitas
riset yang tinggi pula.
Sebagai lembaga riset, penelitian di perguruan tinggi
diarahkan untuk pengembangan iptek dalam kerangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan daya saing
bangsa Indonesia. Pelaku untuk riset ialah seluruh sivitas
akademika baik secara kelembagaan maupun individu yang
dilakukan sesuai kompetensinya. Agar menghasilkan mutu
yang tinggi pola pengelolaan riset yang kompetitif dilakukan
(pasal 45 UU Dikti). Pemikiran tentang berbagai aspek yaitu
pemanfaatan hasil riset bagi iptek dan pembelajaran,
peningkatan mutu pendidikan tinggi dan kemajuan
peradaban bangsa, pemenuhan kebutuhan strategis
pembangunan nasional dan perubahan menuju masyarakat
kita yang berbasis internasional tercantum dalam pasal 46
UU Dikti. Di dalam pasal tersebut ditegaskan pula
penyebarluasan hasil penelitian melalui publikasi kecuali
yang bersifat rahasia dan dapat mengganggu kepentingan
umum. Hasil-‐hasil penelitian tersebut juga ditegaskan
sebagai sumber belajar. Hasil riset akan menjadi sumer
belajar jika dipublikasikan. Mudah dimengerti bahwa
semakin luas publikasinya semakin bermanfaat. Perisetnya
sendiri akan meningkatkan kemampuannya menjadi mampu
berfikir pada orde tinggi. Hanya mereka yang mampu berfikir
dalam ranah orde tinggi akan menjadi insan yang produktif
dan tidak memikirkan individunya saja. Di sisi yang lain pasal
75
ini juga mengatur agar Pemerintah memberikan
penghargaan untuk karya penelitian yang tinggi nilainya.
Sebenarnya sisi lain dari riset adalah pengabdian kepada
masyarakat jika itu merupakan penerapan dari
keprofesionalannya, sehingga menjadi riset dalam lingkup
pengembangan. Berbagai kompetensi harus diterapkan
untuk iptek atau untuk masyarakat. Sisi yang diterapkan
kepada masyarakat inilah yang harus disebut sebagai
pengabdian kepada masyarakat oleh civitas akademik
perguruan tinggi. Dampaknya pasti mengarah kepada
pembentukan masyarakat yang cerdas, berbudaya dan
kesejahteraan. Sebagaimana hasil penelitian, karya
pengabdian masyarakat ini juga harus dipublikasikan,
sebagai sumber belajar maupun proses pematangan para
civitas akademika untuk menjadi profesional yang handal.
Serupa dengan riset, Pemerintah juga diatur untuk
memberikan penghargaan bagi karya yang bermutu. Uraian
di atas diatur dalam pasal 48 UU Dikti.
Dengan berbagai karyanya tersebut, perguruan tinggi
senantiasa diatur untuk terus meningkatkan kerjasama
dengan semua pemangku kepentingan yang membutuhkan
misalnya dunia usaha dan dunia industri, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, berbagai yayasan atau lembaga yang
terkait, dst. Pada prinsipnya perguruan tinggi harus menjadi
pusat atau lembaga riset dan pengabdian kepada masyarakat.
Dalam aturan UU Dikti ini dinyatakan pula bahwa
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat
mendayagunakan Perguruan Tinggi sebagai pusat Penelitian
atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Pengaturannya tercantum dalam pasal 48 UU Dikti.
Untuk memerluas jejaring bagi kepentingan keduabelah
fihak, perguruan tinggi melakukan kerjasama. Berbagai
kerjasama dengan pihak lain dilaksanakan tergantung
76
kepada karakteristik perguruan tingginya, sehingga perlu
diatur tersendiri (pasal 49 UU Dikti).
Makna penting dalam Undang-‐undang ini berkaitan
dengan pengembangan pusat-‐pusat unggulan. Pusat
unggulan termasuk kapasitas riset di dalammnya harus
dibangun di perguruan tinggi. Dalam hal ini Pemerintah
diatur untuk memfasilitasinya (pasal 80 UU Dikti).
iii. Akademi Komunitas (AK)
Sebagaimana telah dibahas terdahulu pendirian AK
sebagai Perguruan Tinggi akan sangat terkait secara lansung
dengan pertumbuhan sentra ekonomi. Keahlian yang
diperoleh lulusannya bersifat terapan sehingga dalam
kelompok pendidikan tinggi vokasi. Penyelenggaraannya
dapat dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta.
Pengalaman menunjukkan sering terjadi konflik antara
masyarakat sekitar daerah sentra pertumbuhan ekonomi
dengan masyarakat sekitarnya. Dengan demikian perlu
dibuat bentuk perguruan tinggi yang dapat menjembatani
antara pusat-‐pusat pertumbuhan ekonomi tersebut dengan
masyarakat sekitarnya. Karena AK adalah pendidikan tinggi
setelah pendidikan menengah, maka sangat terbuka
masyarakat dapat dididik pada pusat-‐pusat pertumbuhan
ekonomi, tersebut untuk selanjutnya dipekerjakan. Jika
skalanya terlalu kecil dapat dididik pada gabungan industri
yang sejenis, sehingga skalanya menjadi lebih besar.
Kemudian lulusannya dapat dipekerjakan tersebar pada
inustri-‐industri yang sejenis dalam berbagai skala. Cara ini
menjadikan para lulusannya dapat memperoleh penghasilan
yang lebih baik, sedangkan pengelola sentra pertumbuhan
akan langsung memeroleh jumlah besar tenaga kerja
terampil yang siap kerja, dan memberikan imbalan yang
sesuai. Mereka menjadi lebih efisien dalam menggunakan
77
modalnya, karena tidak perlu merekrut tenaga terampil yang
tingkat pendidikannya lebih tinggi. Hasil lulusan AK juga
langsung menyentuh kepada aktivitas ekonomi di lapangan,
sehingga jumlah yang dibutuhkan akan berjumlah besar,
mencakup bidangnya yang sangat luas seperti pertanian,
kehutanan, perikanan, kelautan, industri makanan,
manufaktur, pertambangan, seni musik, seni tari, tata boga,
tata busana, penyiaran, industri manufaktur industri pakaian,
dll.
Sehubungan dengan itu diharapkan akademi komunitas
ini tersebar diseluruh Pemerintah Kota maupun Pemerintah
Kabupaten termasuk di daerah perbatasan (pasal 81 UU
Dikti).
e. Pengelolaan perguruan tinggi
Perguruan tinggi sesuai dengan kegiatannya harus bisa
mempertangungjawabkan hasil keluarannya sesuai dengan
standar minimum (pasal 60 UU Dikti) yang diinginkan dan
dibutuhkan secara intelektual maupun keahlian. Pemerintah tentu
memiliki tugas untuk melindungi masyarakat agar memperoleh
hasil pendidikan sesuai dengan yang diharapkannya. Cara untuk
mengendalikannya, dilakukan dengan mengatur bahwa semua
perguruan tinggi yang didirikan, diubah atau ditutup harus dengan
ijin atau legalitas dari Pemerintah (Pasal 60 UU Dikti). Perguruan
tinggi sesuai dengan bentuk maupun karakter masing-‐masing,
tidak dapat diatur secara seragam. Statuta Perguruan Tinggi
merupakan rujukan bagi semua perguruan tinggi untuk mengatur
organisasinya dalam menyelenggarakan Tridharma dan tatakelola
sumberdaya (pasal 60 dan 61 UU Dikti). Sesuai dengan hekekatnya
yaitu melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, perguruan tinggi
tentu melaksanakan kebijakan yang bersifat akademik maupun
nonakademik, sehingga dalam organisasinya ada unsur yang
berperan sebagai penyusun kebijakan. Semua kebijakan yang telah
78
dirumuskan harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan.
Tugas ini dilakukan oleh pelaksana kebijakan akademik. Di dalam
melaksanakan kebijakan-‐kebijakan yang ada, diperlukan
monitoring dan evaluasi agar semuanya dilakukan secara
akuntabel. Tugas ini dilakukan oleh unsur pengawas dan
penjaminan mutu. Seluruh kegiatan yang dilakukan perguruan
tinggi wajib diadministrasikan dengan baik, sehingga diperlukan
unsur pelaksana administrasi.
Sebagai lembaga yang ditugaskan untuk bekerja pada garis
terdepan dari inovasi dan kreasi untuk kemanusiaan dan ilmu
pengetahuan, perguruan tinggi harus diatur agar dapat bekerja
sebagai lembaga budaya yang otonom (pasal 62 UU Dikti).
Perguruan tinggi harus mampu menyajikan hasil dari otonomi
yang dimilikinya dari waktu ke waktu sebagai bentuk pencerminan
dari prinsip-‐prinsip yang harus dipegang secara teguh, yaitu
akuntabilitas transparansi, nirlaba, penjaminan mutu, efektivitas
dan efisiensi (pasal 63 UU Dikti). Otonomi yang dimiliki oleh
perguruan tinggi diharapkan dapat menghasilkan kelincahan
dalam mengelola kegiatan akademik dan non akademik untuk
melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi (pasal 64 UU Dikti).
Cara untuk melaksanakannya ialah dengan menetapkan norma dan
kebijakan operasional. Bidang-‐bidang yang merupakan cakupan
kegiatan nonakademik ialah organisasi, keuangan, kemahasiswaan,
ketenagaan dan sarana dan prasarana.
i. Bentuk-‐bentuk perguruan tinggi dan kekhasan dalam
pengelolaan
Kita fahami bahwa bentuk perguruan tinggi di indonesia
harus tidak seragam, namun menyesuaikan kepada alur
kekhususannya (vokasi atau akademik), jenjang atau tingkat
(level) kompetensi yang akan dikelola, cakupan keilmuan
atau disiplin, tingkat kemampuan untuk mengelola,
kecocokan atau relevansi kepada kebutuhan masyarakat,
79
serta kemampuan dukungan manajemen dan keuangan.
Dengan mengacu kepada berbagai faktor tersebut, dalam
pasal 59 UU Dikti bentuk-‐bentuk perguruan tinggi diatur
sebagai universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik,
akademi, dan akademi komunitas.
Disebut universitas jika suatu perguruan tinggi
menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat
menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai
rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan jika
memenuhi syarat, universitas dapat menyelenggarakan
pendidikan profesi. Institut merupakan Perguruan
Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan
dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah
rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu dan
jika memenuhi syarat, institut dapat menyelenggarakan
pendidikan profesi. Sekolah Tinggi merupakan Perguruan
Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan
dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu
rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu dan
jika memenuhi syarat, sekolah tinggi dapat
menyelenggarakan pendidikan profesi. Politeknik
merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun Ilmu Pengetahuan
dan/atau Teknologi dan jika memenuhi syarat, politeknik
dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Akademi
merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan vokasi dalam satu atau beberapa cabang Ilmu
Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu. Akademi
Komunitas merupakan Perguruan Tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diploma satu
dan/atau diploma dua dalam satu atau beberapa cabang Ilmu
Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu yang berbasis
keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus.
80
Dengan mengacu kepada penyelenggara dan kekhasan
pengelolaan kita mengenal ada perguruan tinggi yang
diselenggarakan Pemerintah dan perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh masyarakat. Sesuai dengan pengaturan
dalam UU Dikti ini, kekhasan maupun cara pengelolaan akan
dibahas pada bagian selanjutnya.
ii. PTN (Perguruan Tinggi Negeri)
Sesuai dengan undang-‐undang dasar, salah satu tanggung
jawab negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Cara
yang dilakukan oleh Pemerintah ialah melaksanakan
pendidikan formal termasuk pendidikan tinggi. Jika
Pemerintah secara langsung menyelenggarakan pendidikan
tinggi melalui perguruan tinggi, maka perguruan tinggi yang
langsung diselenggarakan oleh Pemerintah disebut
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) (pasal 60 UU Dikti). PTN
secara administratif dikelola Pemerintah secara utuh, dengan
demikian statuta PTN ditetapkan dengan Peraturan Menteri
(pasal 66 UU Dikti). Sebagai jati diri perguruan tinggi ,
meskipun PTN secara utuh merupakan bagian dari
pemerintah, namun ada pengelolaan yang dilakukan secara
otonom. Secara umum rambu-‐rambu untuk pengelolaan
perguruan tinggi secara otonom diatur dalam Peraturan
Pemerintah (pasal 68 UU Dikti).
Pelaksanaan PTN tidak dapat diberikan kepada
sumberdaya manusia (SDM) tanpa kualifikasi yang memadai.
Kualifikasi SDM yang akan mengelola perguruan tinggi perlu
diatur agar mampu melaksanakan kegiatan Tridharma secara
utuh, bahkan kegiatan-‐kegiatan yang mendukung untuk
pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. SDM tersebut
adalah dosen dan tenaga kependidikan yang
pengangkatannya dilakukan oleh penyelenggaranya. Dengan
demikian kapasitas sumberdaya insani harus menjadi
81
persyaratan terutama dan terbuka untuk setiap orang (pasal
69 UU Dikti). Pada dasarnya dosen yang bekerja di
perguruan tinggi sesuai dengan kaitan pada saat diangkat
memiliki status kepegawaian yang mengacu pada kedudukan
masing perguruan tinggi. Dosen pada PTN dapat diangkat
sebagai PNS maupun dosen dengan perjanjian kerja (pasal 70
UU Dikti). Jika seseorang telah diangkat sebagai dosen
maupun tenaga kependidikan pada perguruan tinggi, maka
perguruan tinggi tersebut memiliki kewajiban untuk
memenuhi hak-‐hak pendapatan pendapatan keuangannya.
iii. PTN-‐BLU (Perguruan Tinggi Negeri – Badan Layanan
Umum)
PTN diwajibkan melaporkan semua capaian kinerjanya
kepada Pemerintah (Menteri). Pengelolaan keuangan
merupakan bagian yang sangat vital dalam semua organisasi
termasuk pengelolaan PTN. Jika perguruan tinggi
menunjukkan kinerja yang baik dalam bidang akademik
maupun nonakademik, seperti kelulusan yang lebih tinggi
dan bermutu dalam pengelolaan keuangannya dapat
diberikan dalam bentuk pengelolaan keuangan yang lebih
leluasa, yaitu dengan diterapkannya sebagai Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) (pasal
65 UU Dikti). Meskipun PTN-‐BLU memiliki keluwesan yang
lebih dalam pengelolaan keuangan akan terkait dengan
ketenagaan dan aset. Meskipun demikian PTN-‐BLU pada
dasarnya tetap di dalam organ pemerintah secara penuh.
Dengan demikian, instrumen pengelolaannya yaitu statuta
ditetapkan oleh Menteri (pasal 66 UU Dikti).
PTN-‐BLU dalam melakukan pengangkatan maupun
penempatan dosennya mengacu kepada ketentuan
sebagaimana PTN, yaitu sebagai dosen PNS maupun dosen
dengan perjanjian kerja (pasal 70 UU Dikti). Dengan
82
demikian hak-‐hak keuangannya juga wajib dipenuhi oleh
perguruan tinggi tersebut. Sesuai ketentuan BLU, dosen
maupun tenaga kependidikan dengan perjanjian kerja dapat
merupakan pegawai dalam sistem BLU.
iv. PTN-‐bh (Perguruan Tinggi Negeri – badan hukum)
Jika PTN-‐BLU ternyata secara operasional menghasilkan
keluaran Tridharma Perguruan Tinggi yang lebih tinggi lagi
mutunya, maka dimungkinkan Pemerintah mengubah
tatakelola perguruan tinggi tersebut menjadi PTN badan
hukum (PTN-‐bh) (pasal 65 UU Dikti). PTN-‐bh sifatnya mirip
sebagai badan hukum sehingga memiliki kekayaan awal yang
dipisahkan dari negara kecuali tanah, sedangkan tatakelola
maupun pengambilan keputusannya dilakukan secara
mandiri. Artinya penetapan norma maupun aturan
operasionalnya ditetapkan secara mandiri sesuai layaknya
badan hukum. Dengan demikian di PTN-‐bh harus ada unit
yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi.
Dalam hal ini transparansi diartikan sebagai transparansi
kepada semua pemangku kepentingan, yaitu Pemerintah
maupun masyarakat. Sebagai badan hukum perguruan tinggi
ini dimungkinkan mengangkat dosen maupun tenaga
kependidikan secara mandiri dengan konsekuensi mampu
melakukan pembayaran sesuai dengan pendanaan yang
sudah terkelola secara mandiri. Kebutuhan ketenagaan yang
dilakukan secara mandiri tentu akan sangat terkait dengan
kegiatan yang dilakukannya yang juga terkait dengan
membuka dan menutup program studi.
Pada dasarnya keterkaitan antara PTN-‐bh dengan pucuk
Pimpinan negara adalah secara langsung, namun karena
sistem kenegaraan kita, maka secara keseharian
berkoordinasi dengan kementerian yang terkait dengan
83
pendidikan (tinggi). Dengan demikian Statuta PTN-‐bh
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (pasal 66 UU Dikti).
Sebagai PTN-‐bh pengelolaannya menjadi tidak
sederhana. Disatu sisi mereka harus mampu melakukan
penggalian dana masyarakat dan dikelola secara akuntabel,
disamping itu mereka juga wajib mengelola dana yang
diberikan oleh pemerintah dengan misi tertentu secara
akuntabel. Akuntabilitasnya tidak hanya sekedar terkait
dengan keuangan, namun juga akuntabilitas secara akademik
dimana hasilnya merupakan kinerja dari organisasi PTN-‐bh
secara utuh dalam pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi.
Ketentuan pengelolaan Perguruan Tinggi selanjutnya karena
langsung dikoordinasi Pemerintah, maka diatur dalam
Peraturan Pemerintah (pasal 67 UU Dikti). Pelaksanaan
otonomi memerlukan rambu-‐rambu tersendiri yang
selanjutnya diatur dalam pasal 68 UU Dikti, melalui
peraturan pemerintah.
Dosen maupun tenaga kependidikan pada PTN-‐bh dapat
merupakan dosen PNS yang ditempatkan pada PTN-‐bh atau
dosen PTN-‐bh yang diinginkan dan ditempatkan sesuai
dengan perjanjian kerja yang dibuat oleh masing-‐masing
perguruan tinggi (pasal 70 UU Dikti). Pendapatan dosen
maupun tenaga kependidikan pada PTN-‐bh diatur secara
mandiri oleh masing-‐masing PTN-‐bh.
v. PTS (Perguruan Tinggi Swasta)
Sebagai negara yang besar dari sisi wilayah maupun
jumlah penduduk, peran masyarakat dalam pendidikan tinggi
sangat dibutuhkan. Masyarakat dengan demikian dapat turut
berperan dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi melalui
Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Agar penyelenggaraan
perguruan tinggi memenuhi azas akuntabilitas dan nirlaba,
penyelenggaraan perguruan tinggi dilaksanakan oleh badan
84
penyelenggara sebagai badan hukum yang pada umumnya
berbentuk yayasan, perkumpulan, atau bentuk lain yang
sifatnya badan hukum nirlaba (pasal 60 UU Dikti).
Peran badan penyelenggara dalam pelasanaan PTS
sebagai sutradara. Dalam hal ini tetap rambu-‐rambu atau
kerangka kebijakan pendidikan tinggi yang ditetapkan
negara secara umum tetap berlaku, sedangkan selebihnya
ditetapkan oleh Badan Penyelenggara. PTS memiliki tatacara
mengatur organisasi internalnya sendiri yang merujuk
kepada norma yang diatur oleh badan penyelenggara. Agar
terjadi keserasian antara norma dan pelaksanaan di
lapangan, maka Statuta PTS ditetapkan oleh Badan
Penyelenggara (pasal 66 UU Dikti). Ketentuann-‐ketentuan ini
melandasi pelaksanaan otonomi akademik maupun
nonakademik untuk penyelenggaraan PTS (pasal 67 UU
Dikti).
Dosen pada PTS pada dasarnya sebagai pegawai badan
hukum yang terpisah dari pemerintah diangkat dan
ditempatkan oleh masing-‐masing PTS sebagai pegawai tetap
atau pegawai dengan perjanjian kerja. Namun jika
pengangkatan sebagai pegawai tetap kemudian dikaitkan
dengan sertifikasi dosen yang kemudian akan mendapat
tunjangan profesi dari Pemerintah, maka dilakukan dengan
persetujuan Pemerintah. Cara yang dilakukan dengan
memberikan nomor identitas dosen setelah melalui
kualifikasi tertentu. Dosen PNS pada dasarnya dapat
ditempatkan pada PTS. Ketentuan mengenai pengangkatan
dan penempatan dosen pada PTS diatur dalam pasal 69,70
dan 71 UU Dikti).
vi. PTN-‐KEMENTERIAN/LEMBAGA LAIN
Sesuai dengan kebutuhan masing-‐masing Kementerian
/Lembaga, mereka telah mendirikan atau perlu mendirikan
85
perguruan tinggi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Sesuai dengan butuhan institusinya, keilmuan yang
diperlukannya biasanya berupa ilmu terapan atau vokasi. Jika
yang dihasilkan dari lulusan pendidikan tinggi vokasi dalam
jenjang D1, D2, D3, D4, Magister Terapan dan Doktor Terapan
dipastikan akan sesuai dengan kebutuhannya. Semuanya
pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan internal. Bentuk
perguruan tinggi yang paling sesuai dengan keadaan ini ialah
Politeknik. Selanjutnya Pemerintah mengaturnya melalui
Peraturan Pemerintah (pasal 94 UU Dikti).
vii. PTA (Perguruan Tinggi Asing)
Kita telah masuk pada era global, sehingga tidak mungkin
kita menghalangi perguruan tinggi asing (PTA) untuk masuk
ke negara kita. Hal ini harus dimungkinkan, namun
manfaatnya harus diperhatikan. Artinya perguruan tinggi
yang beraktivitas di Indonesia sewajarnya bermutu baik,
sehingga harus telah memiliki pengakuan atau terakreditasi
di negaranya. Agar terjadi perbaikan kualitas dari sisi
perguruan tinggi kita tanpa menyebabkan persaingan yang
tidak sehat kepada perguruan tinggi kita, maka kta perlu
menetapkan lokasi, jenis maupun program studi yang sesuai
diselenggarakan oleh mereka di negara kita. Semua
perguruan tinggi di negara kita harus dapat dikendalikan
oleh negara. Dengan demikian jika akan diselenggarakan
harus memperoleh ijin dari Pemerintah, tetap memegang
prinsip nirlaba, bekerjasama dengan perguruan tinggi
Indonesia atas ijin Pemerintah dan untuk dosen dan tenaga
kependidikannya harus mengutamakan warga negara
Indonesia. Sesuai dengan misi umum pendidikan tinggi kita,
mereka harus mendukung kepentingan nasional. Selanjutnya
Pemerintah melalui Peraturan Menteri mengatur ketentuan
lebih lanjut (pasal 90 UU Dikti).
86
viii. Akuntabilitas Lembaga
Perguruan Tinggi yang baik akan menunjukkan
akuntabilitas yang baik pula. Akuntabilitas diwujudkan
sebagai kesesuaian (compliance) antara aturan dan
pelaksanaannya yang diwujudkan dalam laporan kegiatan
atau pertanggungjawaban yang dilakukan secara periodik.
Akuntabilitas untuk perguruan tinggi diwujudkan dalam dua
hal, yaitu akuntabilitas di bidang akademik dan
nonakademik. Akuntabilitas akademik termasuk legalitas
perguruan tinggi, pemenuhan standar pendidikan, penelitian
maupun pengabdian masyarakat. Sebagai contoh Perguruan
Tinggi yang baik telah menerapkan sistem akuntabilitas,
transparansi, nirlaba, penjaminan mutu, serta pengelolaan
yang efektif dan efisien (pasal 63 UU Dikti) secara praktis
antara antara lain akan memiliki ijin sesuai aturan,
terakreditasi, dijalankan sesuai statuta (pasal 60 dan 61 UU
Dikti), melaksanakan evaluasi terhadap otonomi yang
dilaksanakannya (pasal 62 UU Dikti) termasuk memenuhi
jumlah dosen, memiliki infrastruktur yang memadai dan
menerima mahasiswa sesuai ketentuan, dst. Di samping itu
juga melaksanakan penelitian yang menghasilkan karya
seperti publikasi ilmiah nasional maupun internasional. Hal
yang serupa juga untuk pelaksanaan dharma ketiga yaitu
pengabdian kepada masyarakat. Laporan nonakademik akan
mencakup laporan yang akuntabel yang dapat dievaluasi
anatara lain mencup keuangan, aset, dst.
Pertanggungjawaban yang nantinya dievaluasi ini harus
memenuhi ketentuan yang berlaku. Sebagai contoh, harus
memenuhi perundangan tentang keuangan negara untuk
PTN, perundangan tentang pertanggungjawaban keuangan
untuk PTN-‐bh maupun perundangan tentang
pertanggungjawaban lembaga privat untuk PTS. Perguruan
87
Tinggi yang baik sewajarnya memiliki akuntabilitas yang baik
seiring dengan peningkatan mutunya. Pengaturan tentang
akuntabilitas ini harus sesuai dengan pasal 78 UU Dikti.
Sebagai lembaga yang menjalankan tugas Tridharma
Perguruan Tinggi, dimungkinkan terjadi pelanggaran-‐
pelanggaran. Pelanggaran yang sifatnya administratif dikenai
sanksi yang sifatnya administrasi pula. Sanksi tersebut
berupa peringatan tertulis, penghentian bantuan biaya dari
Pemerintah, penghentian penyelenggaraan kegiatan
pendidikan, penghentian pembinaan hingga pencabutan ijin
(pasal 92 UU Dikti). Namun demikian ada pelanggaran yang
dikategorikan tindakan pidana, karena terkait dengan
pemalsuan, dengan demikian sanksinya berupa sanksi pidana
(pasal 93 UU Dikti).
ix. Pengelolaan masa transisi
Sebelum UU Dikti ini dilaksanakan, penyelenggaraan
pendidikan tinggi telah dijalankan, sehingga diperlukan
aturan aturan yang mengatur peralihannya. Contoh
peralihannya ialah tentang akreditasi, yaitu pengalihan
akreditasi program studi dari Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi (BANPT) kepada Lembaga Akreditasi
Mandiri (LAM). Jika LAM belum terbentuk, maka tugas-‐tugas
dari LAM masih dilakukan oleh BANPT (pasal 95 UU Dikti).
Mutu perguruan tinggi harus mendapat perhatian secara
khusus dan terus ditingkatkan, sehingga UU Dikti juga
memerintahkan agar Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi
telah dibentuk selambat-‐lambatnya dalam waktu dua tahun
sesudah Undang-‐undang ini diterbitkan (pasal 96 UU Dikti).
Pengaturan tentang institusi perguruan tinggi, program
Studi, penyesuaian, dan perubahan Perguruan Tinggi Badan
Hukum Milik Negara (PT-‐BHMN) maupun PT-‐BHMN yang
telah berubah menjadi PTN dengan pengelolaan keuangan
88
BLU menjadi PTN-‐bh dilakukan paling lambat 2 tahun sejak
UU Dikti ini diterbitkan. Agar terjadi kesinambungan tentang
pengelolaan perguruan tinggi, maka ijin yang berupa ijin
instutusi maupun Program Studi yang telah diterbitkan
namun masih berlaku dinyatakan tetap berlaku, dan
penyesuaian terhadap Undang-‐undang ini dilakukan dalam
waktu dua tahun sesudah diundangkannya. Di aspek
keuangan, pengelolaan keuangan baru berubah sesuai
dengan pengaturan pada peraturan pelaksanaan dari pasal
98 UU Dikti. Aturan-‐aturan pelaksanaannya harus
diselesaikan dalam waktu 2 tahun, sedangkan untuk bentuk
dan mekanisme pendanaan PTN-‐bh harus ditetapkan dalam
waktu satu tahun.
89
IV. WAJAH PERGURUAN TINGGI KITA TAHUN 2013
Undang-‐undang tentang Pendidikan Tinggi ini diterbitkan pada
tahun 2012, namun pemikiran tentang makna dari Undang-‐undang
ini telah mulai diterapkan pada pengelolaan sebelum Undang-‐undang
ini diterbitkan meskipun mengacu kepada perundangan yang lama.
Dengan demikian terjadi percepatan perubahan wajah perguruan
tinggi kita hingga tahun 2013.
Seiring dengan diundangkannya Undang-‐undang 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi, data yang digunakan adalah data yang
tercantum dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi yang istilahnya
dikenal sebagai PDPT yang seharusnya PD Dikti (catatan: Pendidikan
Dikti disingkat Dikti, sedangkan Perguruan Tinggi disingkat PT). Jika
mengacu kepada data tersebut beberapa perguruan tinggi menjadi
tidak tercantum. Beberapa hal yang menyebabkan belum atau tidak
tercantum adalah telah tidak beroperasi lagi, tidak memasukkan data
atau tidak memenuhi persyaratan lagi. PD Dikti dapat digunakan
masyarakat untuk melihat apakah suatu Peruruan Tinggi memenuhi
perundangan atau kriteria yang berlaku di negara kita atau tidak,
sehingga ijazah yang dikeluarkannya memenuhi keabsyahan.
a. Bentuk, jumlah Perguruan Tinggi dan Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi
Data pada PTS menunjukkan bahwa kenaikan jumlah PTS
relatif tidak mencolok. Meskipun seolah-‐olah terjadi banyak
pembukaan program studi baru, namun ternyata banyak terjadi
penggabungan beberapa sekolah tinggi maupun akademi menjadi
universitas. Sejalan dengan pemikiran yang tercantumdalam
Undang-‐undang Pendidikan Tinggi yaitu penguatan pendidikan
vokasi, penguatan pusat-‐pusa perekonomian di berbagai daerah
dan penguatan hubungan antara pusat pengembangan
perekonomian dengan masyarakat di sekitarnya, maka telah di
bentuk beberapa cikal bakal maupun akademi komunitas yang
90
mandiri. Jumlah berbagai Perguruan Tinggi kita hingga kwartal
pertama tahun 2014 sebagaimana terlihat pada Tabel IV.1.
Perlu disampaikan bahwa dalam strategi pengembangan
PTN (universitas, institut maupun politeknik) dapat dilakukan
dengan empat cara, yaitu:
1. Menegerikan PTS, yaitu PTS yang telah ada dibuat menjadi
negeri melelui penyerahan selurut aset dan sumberdaya lain
yang dimilikinya kepeda pemerintah (kementerian yang
mengelola pendidikan tinggi), kemudian dijadikan satuan kerja
pemerintah, contoh Universitas Samudera, Universitas Maritim
Raja Ali Haji, Universitas Siliwangi, Universitas Tidar Magelang,
Universitas, Universitas Sulawesi Barat, Universitas Musamus,
dst. Selain itu, untuk Politeknik ada Politeknik Negeri Bangka
Belitung, Politeknik Negeri Sambas, Politeknik Nusa Utara, dst.
Cara ini sudah sejak dahulu dilakukan contoh yang sekarang
telah menjadi PTN besar ialah Universitas Padjajaran yang
semula Universitas Merdeka, dan Institut Sepuluh November
Surabaya (ITS).
2. Mendirikan PTN baru dengan cara langsung mendirikan PTN
baru sebagai satuan kerja pemerintah misalnya Polteknik
Negeri Fakfak.
3. Mendirikan PTN baru melalui pengampuan dengan cara
melakukan embrio dengan program di luar domisili (PDD),
contoh Institut Teknologi Sumatra dengan ITB, Institut
Teknologi Kalimantan dengan ITS, Institut Seni dan Budaya
Aceh dengan ISI Padang Panjang, Institut Seni dan Budaya
Papua dengan ISI Denpasar, Akademi Komunitas Negeri
Yogyakarta dengan ISI Yogyakarta dst.
4. Membagi PTN yang telah ada menjadi dua PTN. Sebagai contoh
pembentukan ITB dan IPB, dan banyak Politeknik Seperti
Politeknik Negeri Bandung (dari ITB) Politeknik Manufaktur
(dari ITB), Politeknik Negeri Jakarta (dari UI), Polteknik
Elektronika Surabaya (dari ITS), dst. Pada saat mulai
91
didiskusikan Universitas Hasanudin yang memiliki Fakultas
Teknik di Gowa dibuat menjadi satker tersendiri sebagai
Institut Teknologi. Ini penting mengingat di Pulau Sulawesi kta
belum memiliki institut teknologi.
Tabel IV.1 Bentuk dan Jumlah Perguruan Tinggi dan APK Dikti
Bentuk dan Jumlah PTS/PTN Tahun
2011 2012 2013 04-‐2014 APK 27.10% 28.57% 29.87%
Jumlah PTS 3,097 3,078 3,120 3,078 -‐ Universitas 468 426 433 437 -‐ Institut 53 50 52 53 -‐ Sekolah Tinggi 1,382 1,365 1,395 1,378 -‐ Akademi 1,030 1,094 1,102 1,074 -‐ Politeknik 164 143 138 136
Jumlah PTN 88 92 99 99 -‐ Universitas 51 52 53 53 -‐ Institut 6 7 7 7 -‐ Sekolah Tinggi 2 1 1 1 -‐ Akademi -‐ -‐ -‐ -‐ -‐ Politeknik 29 32 38 38 -‐ Akademi Komunitas
b. Dosen
Jumlah dosen tetap kita hingga tahun 2013 lebih dari 175
ribu, mereka memiliki induk pangkalan di PTN maupun di PTS
(dibawah koordinasi Kopertis). Di PTN jumlahnya mendekati 64
ribu pada tahun 2013 dan lebih dari 110 ribu di PTS. Meskipun di
PTS ada sekitar hampir 9 ribu adalah dosen dengan status PNS
yang memiliki induk pangkalan di PTS. Jumlah dosen tetap dari
tahun 2011 ke 2013 meningkat 3,96%. Peingkatan jumlah dosen
ini jauh lebih lambat jika dibandingkan dengan peningkatan
jumlah mahasiswa yang meningkat hingga 23%. Dengan demikian
kebijakan khusus untuk meningkatkan jumlah dosen harus
dilakukan.
Kebijakan khusus yang telah mulai dilakukan ialah dengan
peningkatan jumlah dosen tetap dengan status non PNS di PTN.
92
Cara ini selaras dengan Undang-‐undang tantang Aparat Sipil
Negara untuk PTN. Sedangkan untuk PTS dengan meningkatkan
jumlah dosen tetap.
Idealnya semua dosen bergelar doktor atau sederajat. Pada
tahun 2013 jumlah dosen yang berpendidikan doktor telah
meningkat menjadi 13,34%. Sesuai dengan Undang-‐undang guru
dan dosen, maka ada sisa pekerjaan rumah yang harus segera
diselesaikan, yaitu julah dosen tetap yang jumlahnya masih
21.11%. Menurut Undang-‐undang Guru dan dosen mereka tidak
boleh mengajar sejak bulan Agustus tahun 2014. Mereka hanya
dapat dimanfaatkan sebagai asisten yang sifatnya betul-‐betul
hanya membantu tidak dalam jabatan akademik.
Semua dosen pada dasarnya harus berpendidikan doktot
sehingga berbagai upaya harus dilakukan untuk meningkatkan
pendidikan mereka yang belum doktor. Selanjutnya, semua dosen
pada dasarnya harus profesional, sehingga yang telah lulus
program sertifikasi dosen akan memperoleh sertifikat dan
memperoleh tujangan profesi. Disamping untuk kesejahteraannya
juga untuk menjamin kualitas pembelajaran bagi para mahasiswa
yanga diampunya.
93
Tabel IV.2. Jumlah dosen Perguruan Tinggi 2013-‐2014
2011 2012 2013 Jumlah Dosen Tetap 168,341 174,875 175,021
-‐ PTN -‐ PNS 61,077 63,256 63,817
-‐ PTS -‐ PNS 8,191 8,702 8,765 -‐ NON PNS 99,073 102,917 102,439
Persentase Dosen S3 11.60% 13.26% 13.34%
-‐ PTN 16.02% 18.25% 18.37% -‐ PNS 16.02% 18.25% 18.37%
-‐ PTS 7.17% 8.27% 8.31% -‐ PNS 10.23% 11.71% 11.72% -‐ NON PNS 4.12% 4.84% 4.90%
Persentase Dosen S2 57.62% 64.02% 65.55%
-‐ PTN 62.35% 68.91% 69.67% -‐ PNS 62.35% 68.91% 69.67%
-‐ PTS 52.89% 59.14% 61.44% -‐ PNS 67.57% 71.57% 72.04% -‐ NON PNS 38.21% 46.71% 50.84%
Persentase Dosen belum S2 30.79% 22.72% 21.11%
-‐ PTN 21.64% 12.85% 11.97% -‐ PNS 21.64% 12.85% 11.97%
-‐ PTS 39.93% 32.59% 30.25% -‐ PNS 22.20% 16.72% 16.25% -‐ NON PNS 57.67% 48.46% 44.26%
Jumlah Dosen Tersertifikasi 18,432 13,963 6,374
-‐ PTN 11,684 8,774 3,103 -‐ PTS 6,748 5,189 3,271 -‐ Persentase PTN 19.13% 13.87% 4.86% -‐ Persentase PTS 6.29% 4.65% 2.94%
Jumlah Guru Besar 4,786 4,969 Beasiswa Dosen Dalam Negeri 5,549 3,554 3,226
-‐ S2 3,107 2,034 1,446 -‐ S3 2,442 1,520 1,780
Beasiswa Dosen Luar Negeri 882 685 540 -‐ S2 367 226 202 -‐ S3 515 459 338
94
c. Mahasiswa
Hingga tahun 2013 APK Perguruan Tinggi kita telah
mendekati angka 30% (Tabel IV.2). Perubahan bermakna terjadi
pada kurun waktu 2010 hingga 2014, yaitu dari 22,8% menjadi
29,87%. Perubahan ini tentu akan mengubah kebijakan dalam
pelaksanaan pendidikan tinggi di Indonesia. Semula yang
didahulukan adalah akses dimana diusahakan agar sebanyak
mungkin anak-‐anak kita dapat masuk keperguruan tinggi, namun
sekarang sudah harus mulai berubah cara berfikirnya, yaitu
semula yang dikedepankan akses menjadi mutu atau kualitas dan
relevansi menjadi kebijakan yang pertama.
Jika dilihat dari gender sudah terjadi perimbangan, bahkan
di PTN jumlah perempuan melampaui jumlah laki-‐laki (Tabel IV.2).
Ynag menarik justru di PTS jumlah laki-‐laki masih lebih banyak.
Kemungkinan hal ini terjadi karena karakteristik program studi
yang dikelola oleh perguruan tinggi – perguruan tinggi tersebut.
Jumlah penerima beasiswa juga sudah cenderung stabil. Jika
diambil patokan angka 20% dari populasi mahasiswa, maka
jumlah beasisiwa sudah di atas angka tersebut. Namun jika
diperhatikan dengan seksama jumlah penerima beasiswa bidik
misi meningkat terus hingga untuk tahun 2013 mencapai angka
58.900 artinya jika diasumsikan jumalah mahasiswa PTN pada
angkatan tersebut berjumlah 400.000, maka sudah mendekati 15%
dari populasi mahasiswa yang diterima pada tahun 2013
merupakan penerima bidik misi. Kewajiben sesuai dengan undang-‐
undang ialah 20%, artinya bisa dipenuhi dari beasiswa Program
Prestasi Akademik (PPA) dan Bantuan Beasiswa Miskin (BBM).
95
Tabel IV.2 Profil Mahasiswa Perguruan Tinggi Indonesia hingga tahun
2013
Mahasiswa 2011 2012 2013 Jumlah 4.787.785 5.616.670 5.822.143 APK DIKTI 27.01% 28.60% 29.87%
-‐ PTN 1.812.637 1.816.391 1.812.427 -‐ laki-‐laki 841.882 852.820 781.271 -‐ Perempuan 970.755 963.571 1.031.156
-‐ PTS 2.975.148 3.800.279 4.009.716 -‐ laki-‐laki 1.521.300 1.936.137 2.019.028 -‐ Perempuan 1.453.848 1.864.142 1.990.688
Beasiswa 247.818 390.313 238.900 -‐ PPA 94.437 257.339
180.000 -‐ BBM 125.563 92.760 -‐ Bidik Misi 27.818 40.214 58.900 -‐ Afirmasi Papua -‐ 499 431
d. Daya saing perguruan tinggi Indonesia
i. Dosen berkualifikasi doktor
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa mutu perguruan
tinggi tidak dapat lepas dari mutu dosen yang dimilikinya.
Mutu perguruan tinggi akan menentukan daya saing yang
dimilikinya baik dalam tataran nasional maupun
internasional. Peningkatan mutu perguruan tinggi harus
dilakukan dengan meningkatkan jumlah dosen yang
berkualifikasi doktor. Data di tabel I.3 menunjukkan bahwa
jumlah doktor yang dimiliki perguruan tinggi kita masih
sangat sedikit di tahun 2010, yaitu sekitar 11% dari seluruh
dosen yang ada di perguruan tinggi Indonesia. Pada tahun
2013, data yang ada menunjukkan (Tabel IV.2) bahwa
13,34% dari dosen yang kita miliki telah memiliki kualifikasi
doktor. Peningkatan di aspek ini harus terus dilakukan secara
berkelanjutan sebagai bagian dari peningkatan daya saing
yang harus dimiliki perguruan tinggi Indonesia.
ii. Universitas Kelas Dunia (UKD -‐ World Class University)
Beberapa lembaga melakukan pemeringkatan karya
ilmiah. Hasilnya berbeda antara yang satu dengan lainnya.
96
Lembaga-‐lembaga tersebut yaitu QS, Webometrics dan 4ICU.
Jika kita mengamati apa yang tercantum dalam peringkat
tersebut, maka ada empat perguruan tinggi yang selalu
tersebut, yaitu Universitas Indonesia, Institut Teknologi
Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor.
Tabel IV.3 Peringkat Perguruan Tinggi Indonesia
menurut QS 2013
No Peringkat Perguruan Tinggi
1 309 Universitas Indonesia
2 461 Institut Teknologi Bandung
3 501 Universitas Gadjah Mada
4 701+ Universitas Airlangga
5 701+ Institut Pertanian Bogor
6 701+ Universitas Diponegoro
7 701+ Institut Teknologi Sepuluh
8 701+ Universitas Brawijaya
Tabel IV.4 Peringkat Perguruan Tinggi versi
Webometrics 2013
No Peringkat Perguruan Tinggi
1 600 Institut Teknologi Bandung
2 640 Universitas Gadjah Mada
3 653 Universitas Indonesia
4 1084 Universitas Pajajaran
5 1165 Universitas Gunadarma
6 1254 Universitas Brawijaya
7 1290 Institut Pertanian Bogor
8 1360 Universitas Kristen Petra
97
Tabel IV.5 Tabel Peringkat Perguruan Tinggi versi 4ICU
2013
No Peringkat Perguruan Tinggi
1 1 National University of Singapore
2 2 Keio University
3 3 Tsinghua University
4 4 Peking University
5 5 Shanghai Jiao Tong University
6 6 Fudan University
7 7 Seoul University
8 8 Nanyang Technological University
9 9 Korea Advance Institute of
Technology
10 10 Tokyo University
11 27 Institut Teknologi Tenologi
Bandung
12 42 Universitas Gadjah Mada
13 92 Universitas Indonesia
iii. Karya ilmiah
Tolok ukur yang termudah untuk mengukur
produktivitas perguruan tinggi ialah dengan melihat jumlah
karya ilmiah yang dihasilkannya. Karya ilmiah dalam bentuk
publikasi internasional merupakan gambaran kehidupan
atmosfer akademik di perguruan tinggi. Artinya di perguruan
tinggi tersebut para warganya khususnya dosennya pasti
melakukan penelitian, selanjutnya pengajarann yang
dilakukan juga berbasis kepada pengalaman dalam penelitian
atau mempraktekan keahliannya, sehingga inovasi senantiasa
berjalan berkelanjutan dalam budaya akademik terbarukan.
Karya ilmiah dan produktivitas beberapa kampus kita
dibandingkan dengan beberapa kampus terkenal dapat
dilihat pada Tabel IV.7, di mana terlihat bahwa ITB, UGM, dan
98
UI merupakan unggulan kita. Namun secara internasional
kita masih perlu terus meningkatkan kemampuan kita.
Tabel IV.7 Data jumlah publikasi internasional di Scopus
per Januari 2013 dan produktivitas dosen
Universitas/
Institusi
Total Januari
2013
Perolehan
2012
Perolehan
2011
Jumlah
dosen
Rata-‐rata/
dosen/tahun
ITB 2554 338 492 1100 0,4
UI 2289 254 275 2300 0,12
UGM 1369 172 191 1700 0,11
UNPAD 410 56 46 1800 0,03
U of Malaya 18914 2681 2879 2600 1
U Sains Malaysia 14953 2421 2726 1500 1,6
U of Tokyo 174143 7126 8367 2700 3
MIT 129392 5057 6120 1100 5,4
TSINGHUA UNIV 100795 8465 9546 4000 2,3
KAIST 41301 2735 3354 700 4,6
Univ of Tehran 22000 2900 3511 3679 0,9
NUS 70162 5335 5519 2402 2,25
Indian Institute of
Tech Delhi
14484 1005 1192 450 2,2
National Taiwan
University
56912 4411 5167 2900 1,7
Dhaka University
Bangladesh
3254 319 360 3400 0,1
Sementara itu pada skala nasional, jika dilihat secara
produktivitas maka terjadi pergeseran peringkat. Dari jumlah
karya ilmiah peringkat kita ialah (Tabel IV.8) pertama ITB
(3321), kedua UI (2917), ketiga UGM (1679) dan keempat
IPB (1237), namun produktivitas dalam bentuk rasio per
99
dosen berubah menjadi pertama ITB (2,90), kedua UI (1,23),
ketiga ITS (0,9) dan keempat UGM (0,8). Kampus-‐kampus
tersebut perlu kita kelola sebagai pusat-‐pusat daya saing kita,
sehingga kualitasnya harus ditingkatkan secara
berkelanjutan.
Tabel IV.8 Data jumlah publikasi internasional di Scopus per
Februari 2014
Universitas/Institusi Jumlah
publikasi
Jumlah
dosen/
peneliti
Rata-‐rata (total)/
Dosen (peneliti)
ITB 3321 1147 2,90
UI 2917 2379 1,23
UGM 1679 2120 0,80
IPB 1237 1885 0,67
LIPI 1031 1528 0,67
ITS 847 939 0,9
CiFor-‐Jawa Barat 743
UNDIP 588 1707 0,34
UNPAD 555 1883 0,29
UNAIR 534 1571 0,34
100
Tabel IV.9 Profil Perguruan Tinggi Indonesia 2011-‐2013
2011 2012 2013 Jumlah Publikasi Ilmiah 22.897 25.425 27.247
-‐ Internasional 6.481 7.190 8.100 -‐ Nasional 16.290 18.100 19.000 -‐ HAKI 126 135 147
Peringkat Perguruan Tinggi -‐ Webomatric (3 terbaik)
-‐ UGM 583 331 640 -‐ ITB 444 323 600 -‐ UI 438 433 653
-‐ QS World(3 terbaik) -‐ UI 217 273 309 -‐ UGM 342 401+ 501+ -‐ ITB 451+ 451+ 461+
-‐ Asian Univ. (3 terbaik) -‐ UI 50 59 64 -‐ UGM 80 118 133 -‐ ITB 98 113 129
Jumlah Keseluruhan Program Studi 16.532 17.206 17.503
-‐ PTN 4.569 4.872 4.963 -‐ PTS 11.963 12.334 12.540
Jumlah Program Studi Terakreditasi 2.543 2.296 2.095
-‐ PTN 640 395 304 -‐ PTS 1.903 1.901 1.791
Akreditasi Institusi 14 47
e. Status tenaga kerja terhadap lulusan perguruan tinggi
Dari data Pusdatinaker untuk Agustus 2013 (diakses 2014),
terlihat ada perubahan komposisi ketenagakerjaan lulusan
perguruan tinggi. Jumlah tenaga kerja yang lulusan perguruan
tinggi dari jenjang perguruan tinggi naik dari kita-‐kira 7,3% pada
tahun 2010 menjadi 10,9 % pada tahun 2013. Kenaikan jumlah
tenaga kerja ini ternyata selaras dengan peningkatan
perekonomian kita di mana GDP/kapita kita naik dari 2.984 dollar
(US) pada tahun 2010 menjadi 3.468 dollar (US) pada tahun 20135.
5 http://www.indonesia-‐investments.com/finance/macroeconomic-‐indicators/gross-‐domestic-‐product-‐of-‐indonesia/item253, diakses 1 September 2014.
101
Meskipun tidak dipungkiri bahwa kenaikan perekonomian kita itu
juga dipengaruhi oleh kontribusi tenaga kerja kita dari lulusan
SMA atau sederajat dari sekitar 22% di tahun 2010 menjadi sekitar
32% di tahun 2013, namun kita juga menyadari bahwa kenaikan
jumlah lulusan perguruan tinggi akan berpengaruh penting pada
peningkatan perekonomian.
Jika dikaitkan dengan jumlah produktivitas karya ilmiah
internasional kita, maka akan terlihat juga korelasi yang positif.
Artinya akan ada kaitan erat antara jumlah hasil penelitian dan
inovasi yang telah terbukti bayak dilakukan oleh perguruan tinggi
(Tabel IV.9). Dengan demikian usaha untuk terus meningkatkan
jumlah lulusan perguruan tinggi maupun hasil riset dan inovasi di
perguruan tinggi harus ditingkatkan.
Tabel IV.10 Persentase Tenaga Kerja sesuai Pendidikan
pada Agustus 2013 (Diolah dari data Pusdatinaker, 2014)
Pendidikan Jumlah Persentase (%)
< SD 52.020.936 47
SMP 20.457.287 18
SMA 27.829.872 25
D1-‐D3 2.924.520 3
> S1 7.571.426 7
Tabel IV.11 Persentase Pengangguran Terbuka sesuai Pendidikan
pada Agustus 2013 (Diolah dari data Pusdatinaker, 2014)
Pendidikan Jumlah Persentase (%)
< SD 1.893.678 26
SMP 1.681.945 23
SMA 3.185.007 43
D1-‐D3 187.059 2
> S1 441.048 6
102
PENUTUP Melalui penetapan legal yang diwujudkan dalam UU no. 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi, beberapa isu
pokok terkait dengan pendidikan tinggi yang
telah dapat diselesaikan dapat dikemukakan
dalam pandangan berikut ini:
1. Undang-‐undang Pendidikan Tinggi
berusaha membuat konstruksi nyata dari
seluruh aspek yang terkait dengan
pencetakan sumberdaya insani yang
mampu berfikir dalam orde tinggi sesuai
dengan cita-‐cita Undang-‐Undang Dasar
1945 untuk kemakmuran dan
kesejahteraan bangsa.
2. Pandangan bahwa belum ada bentuk kelembagaan yang memadai untuk
mendukung otonomi perguruan tinggi secara penuh, baik PTN maupun
PTS. UU Dikti telah memunculkan pengaturan bentuk kelembagaan
perguruan tinggi dan prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi untuk
mendukung otonomi perguruan tinggi sepenuhnya.
3. Pandangan bahwa belum ada kerangka tata kelola yang baik bagi semua
perguruan tinggi dalam mengelola sumberdaya yang dimilikinya baik itu
sumberdaya keuangan, sumberdaya manusia, sumberdaya aset,
sumberdaya informasi, maupun sumberdaya lainnya. UU Dikti telah
merumuskan pengaturan tata kelola perguruan tinggi beserta prinsip
otonomi pengelolaan perguruan tinggi sehingga perguruan tinggi
memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi.
4. Persoalan ketidaksetaraan pengakuan di berbagai aspek antara
pendidikan yang mengutamakan pengetahuan (akademik) dengan
pendidikan yang mengutamakan keterampilan (vokasi) serta profesi. UU
Dikti memberikan pengakuan kesetaraan baik dari sisi jenis dan jenjang
pendidikan tinggi dan kesetaraan hak dosennya
!!!!!!!!!! .......APK kita untuk pendidikan tinggi telah mencapai 30%, meskipun masih perlu ditingkatkan terus, namun sudah waktunya mutu, relevansi dan daya saing menjadi prioritas...... !!!!!!!!!!
103
5. Persoalan yang masih dirasakan masyarakat kita mengenai besarnya
hambatan memperoleh pendidikan tinggi, baik dari segi ekonomi,
geografi, maupun sosial. Secara tegas dan berpihak kepada masyarakat,
UU Dikti mengatur aspek penerimaan calon mahasiswa dan aspek
pemerataan pembangunan perguruan tinggi di seluruh wilayah
Indonesia.
6. Persoalan yang terkait dengan belum adanya standar pendidikan tinggi
yang mencakup baik itu aspek pengembangan maupun aspek
pemanfaatan iptek dengan nilai-‐nilai humanioranya, beserta aspek
penjaminan kepatuhannya. UU Dikti memberikan ruang pengaturan
tersendiri tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti)
sebagai perluasan dari Standar Nasional Pendidikan dan juga
pengaturan tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi
Indonesia.
7. Pandangan masyarakat dan juga perguruan tinggi bahwa penelitian
belum dianggap penting sehingga komitmen pendanaan, pengaturan
pengelolaan pendanaan, dan penghargaan kepada para dosen sebagai
peneliti belum di kedepankan. Hal ini telah diperhatikan pengaturannya
dalam UU Dikti sehingga komitmen dana penelitian yang diatur dalam
undang-‐undang ini dapat mendukung penelitian di perguruan tinggi
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa.
8. Kita telah memiliki desain Pendidikan Tinggi kita untuk masadepan
bangsa yang lebih baik. Implementasi pengaturan lebih lanjut dari
desain pengaturan di UU Dikti perlu disusun untuk meraih masa depan
bangsa yang lebih baik tersebut.
9. Angka Partisipasi Kasar (APK) kita untuk pendidikan tinggi telah
mencapai 30%. Walaupun kita sadari bahwa APK ini masih perlu
ditingkatkan terus, namun sudah waktunya mutu, relevansi dan daya
saing menjadi prioritas. Dengan demikian pengelolaan pendidikan
tinggi yang semula berdasarkan prioritas, urutannya adalah akses, mutu
dan relevansi serta daya saing, sudah waktunya untuk diubah urutan
prioritasnya menjadi mutu dan relevansi, akses dan daya saing.
104
DAFTAR PUSTAKA Elias, D, 1987, Implications of the Postmodern World View for Design in Higher
Education, California Institute for Integral Studies, San Francisco, CA.
Gasset, J., 1964, Mission of the University.
Henry M. Levin, H.M., Jeong, D.W. & Ou, D., 2006, What is a world class university?,
Conference of the Comparative & International Education Society, Honolulu,
Hawaii, March 2006.
Kruth, J., 1996, Sustainable Communities, Globalization and Increasing
Complexity, Future Research Quartely, v.14, n.2, p.23-‐40.
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti), Ditjen Dikti, Kemendikbud, 2014
Pusdatinaker, http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/, 2014
QS, http://www.topuniversities.com/university-rankings, 2014
Santoso, D., 2003, Masyarakat Akademik ITB yang Sehat dalam Tatanan ITB
BHMN, Pidato Ketua Senat Akademik ITB pada Dies Natalis ITB 2003,
ITB
Santoso, D., 2004, Pendidikan tinggi,kompetisi dan globalisasi, Makalah
disampaikan pada Seminar memajukan Kualitas SDM Propinsi Jambi
dalam Kerangka Sisdiknas dan Globalisasi.
Santoso, D., 2004, Penerapan paradigma baru pembelajaran di Pendidikan tinggi
menghadapi proses globalisasi, Seminar Nasional Pendikan, UGM, Juni
2004.
Santoso, D., 2007, Kemitraan Perguruan Tinggi, Makalah disampaikan pada
Acara Penandatanganan Naskah Kesepahaman antara ITB dan
Politeknik Makasar, Makasar, 25 Juni 2007.
Santoso, D., 2007, Kemandirian Industri dan Perguruan Tinggi (Pemikiran
kebijakan riset dalam siklus industri), Makalah pada Konvensi Kampus
IV dan Temu Tahunan Forum Rektor Indonesia ke X tahun 2007 di
Bandung.
Tjaya, T.H., 2004, Mencari Orientasi pendidikan, Kompas 4 Desember 2004.
Undang-‐Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-‐Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
105
Undang-‐Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
Scopus, http://www.elsevier.com/online-‐tools/scopus, 2014
Webometrics, http://www.webometrics.info/en/Asia, 2014