memilih triase emergency severity index

14
Memilih Triase Emergency Severity Index (ESI) di Indonesia inShare Share Sebagai bagian persiapan akreditasi versi baru, rumah sakit memperbaiki sistem triase di instalasi gawat darurat (IGD). Kondisi IGD yang padat dan tidak terprediksi kerap menjadikan sumber daya yang ada terbenam dalam kepadatan pasien yang masuk (1). Kepadatan ini menurut Institute of Medicine (IOM) di Amerika Serikat dianggap sebagai krisis nasional. Kepadatan pasien IGD selain mengupayakan keselamatan pasien, juga mengancam privasi pasien, dan membuat frustasi staf IGD (2) sehingga proses triase dirasa sebagai kebutuhan dan bukan sekedar pemenuhan standar. Triase adalah tingkatan klasifikasi pasien berdasarkan penyakit, keparahan, prognosis, dan ketersediaan sumber daya (3). Definisi ini lebih tepat diaplikasikan pada keadaan bencana atau korban masal. Dalam kegawatdaruratan sehari-hari, triase lebih tepat dikatakan sebagai metode untuk secara cepat menilai keparahan kondisi, menetapkan prioritas, dan memindahkan pasien ke tempat yang paling tepat untuk perawatan (1). Sebagian besar rumah sakit di Indonesia masih menggunakan sistem triase "klasik". Sistem triase ini sebenarnya mengadaptasi sistem triase bencana, dengan membuat kategori cepat dengan warna hitam, merah, kuning, dan hijau. Hitam untuk pasien meninggal, merah untuk pasien gawat (ada gangguan jalan nafas, pernafasan, atau sirkulasi), kuning untuk pasien darurat, dan sisanya hijau. Sistem tiga level ini tidak cocok bagi IGD rumah sakit modern yang perlu mempertimbangkan evidence-based medicine atau kedokteran berbasis bukti. Sejauh penelusuran yang bisa dilakukan penulis, ada beberapa sistem triase berbasis bukti yang bisa diacu. Sistem tersebut

Upload: king-don

Post on 07-Dec-2015

195 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

Memilih Triase Emergency Severity Index

TRANSCRIPT

Page 1: Memilih Triase Emergency Severity Index

Memilih Triase Emergency Severity Index (ESI) di Indonesia inShare

Share

Sebagai bagian persiapan akreditasi versi baru, rumah sakit memperbaiki sistem triase di instalasi gawat darurat (IGD). Kondisi IGD yang padat dan tidak terprediksi kerap menjadikan sumber daya yang ada terbenam dalam kepadatan pasien yang masuk (1). Kepadatan ini menurut Institute of Medicine (IOM) di Amerika Serikat dianggap sebagai krisis nasional. Kepadatan pasien IGD selain mengupayakan keselamatan pasien, juga mengancam privasi pasien, dan membuat frustasi staf IGD (2) sehingga proses triase dirasa sebagai kebutuhan dan bukan sekedar pemenuhan standar.

Triase adalah tingkatan klasifikasi pasien berdasarkan penyakit, keparahan, prognosis, dan ketersediaan sumber daya (3). Definisi ini lebih tepat diaplikasikan pada keadaan bencana atau korban masal. Dalam kegawatdaruratan sehari-hari, triase lebih tepat dikatakan sebagai metode untuk secara cepat menilai keparahan kondisi, menetapkan prioritas, dan memindahkan pasien ke tempat yang paling tepat untuk perawatan (1).

Sebagian besar rumah sakit di Indonesia masih menggunakan sistem triase "klasik". Sistem triase ini sebenarnya mengadaptasi sistem triase bencana, dengan membuat kategori cepat dengan warna hitam, merah, kuning, dan hijau. Hitam untuk pasien meninggal, merah untuk pasien gawat (ada gangguan jalan nafas, pernafasan, atau sirkulasi), kuning untuk pasien darurat, dan sisanya hijau. Sistem tiga level ini tidak cocok bagi IGD rumah sakit modern yang perlu mempertimbangkan evidence-based medicine atau kedokteran berbasis bukti.

Sejauh penelusuran yang bisa dilakukan penulis, ada beberapa sistem triase berbasis bukti yang bisa diacu. Sistem tersebut antara lain Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS) dari Canada, Manchester Triage Scale (MTS) dari Inggris, Austraian Triage Scale (ATS) dari Australia, dan Emergency Severity Index (ESI) dari Amerika Serikat. Berbeda dengan sistem triase "klasik", sistem-sistem ini mengelompokkan pasien ke dalam lima level berjenjang. Sistem penjenjangan lima level ini lebih terpercaya dibanding dengan pengelompokan tiga level seperti pada sistem triase "klasik" (1,3).

Emergency Severity Index (ESI) dikembangkan sejak akhir tahun sembilan puluhan di Amerika Serikat. Sistem ESI bersandar pada perawat dengan pelatihan triase secara spesifik. Pasien yang masuk digolongkan dalam ESI 1 sampai ESI 5 sesuai pada kondisi pasien dan sumber daya rumah sakit yang diperlukan oleh pasien (1,3,4). ESI tidak secara spesifik mempertimbangkan diagnosis untuk penentuan level triase dan tidak memberikan batas waktu tegas kapan pasien harus ditemui dokter.

Menarik untuk membahas ESI dalam konteks IGD rumah sakit di Indonesia. Ada sedikitnya tiga alasan mengapa ESI lebih cocok diterapkan di sebagian besar IGD di Indonesia. Pertama, perawat triase dipandu untuk melihat kondisi dan keparahan tanpa harus menunggu intervensi dokter. Alasan kedua, pertimbangan pemakaian sumber daya memungkinkan IGD

Page 2: Memilih Triase Emergency Severity Index

memperkirakan utilisasi tempat tidur. Ketiga, sistem triase ESI menggunakan skala nyeri 1-10 dan pengukuran tanda vital yang secara umum dipakai di Indonesia.

Triase ESI bersandar pada empat pertanyaan dasar (4) algoritme pada gambar 1. Kategorisasi ESI 1, ESI 2, dan ESI 5 telah jelas. Kategori ESI 2 dan ESI 3 mensyaratkan perawat triase mengetahui secara tepat sumber daya yang diperlukan. Contoh sumber daya adalah pemeriksaan laboratorium, pencitraan, pemberian cairan intravena, nebulisasi, pemasangan kateter urine, dan penjahitan luka laserasi. Pemeriksaan darah, urine, dan sputum yang dilakukan bersamaan dihitung satu sumber daya. Demikian pula CT Scan kepala, foto polos thorax, dan foto polos ekstremitas bersamaan dihitung sebagai satu sumber daya.

Gambar 1 Algoritme Triase ESI (4)

Anak-anak adalah populasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam triase. Bila pada sistem yang lain belum jelas mengenai kriteria triase pasien pediatri, ESI mempunyai satu bagian tersendiri mengenai triase pada anak-anak. Bagian ini memberikan petunjuk yang jelas mengenai apa saja yang harus diperiksa ketika melakukan triase pasien anak-anak. Inilah yang tidak dijumpai pada sistem triase yang lain.

Aslinya, ESI dibuat dalam konteks IGD sebagai antar muka EMS dan pelayanan rumah sakit. Sebuah penelitian di Eropa (5) juga menambahkan fakta menarik mengenai ESI pada pasien yang datang sendiri ke IGD, kondisi yang lebih mirip dengan Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa sistem triase ESI ini dapat dipercaya dan diandalkan pada pasien-pasien yang datang sendiri ke IGD. Tidak ada modifikasi yang perlu dilakukan pada algoritme sistem triase ESI untuk pasien-pasien yang datang sendiri ke IGD.

Page 3: Memilih Triase Emergency Severity Index

Berbagai fakta di atas meyakinkan kita bahwa sistem triase ESI berpotensi diaplikasi di IGD rumah sakit di Indonesia untuk meningkatkan keselamatan pasien dan efisiensi pelayanan. Kepala IGD perlu merencanakan waktu dan strategi untuk dapat berpindah dari sistem triase "klasik" menjadi sistem triase ESI ini. Namun, alasan efisiensi sumber daya dan keselamatan pasien sudah cukup bagi IGD rumah sakit untuk merencanakan sistem yang lebih baik. Salam!

PenyusunRobertus Arian Datusananatyo (Kepala Instalasi Gawat Darurat RS Panti Rapih)Tulisan ini adalah opini pribadi.

Daftar Pustaka

1. Christ M, Grossmann F, Winter D, Bingisser R, Platz E. Modern triage in the emergency department. Dtsch Arztebl Int [Internet]. 2010 Dec [cited 2013 Aug 8];107(50):892–8. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3021905&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 

2. Oredsson S, Jonsson H, Rognes J, Lind L, Göransson KE, Ehrenberg A, et al. A systematic review of triage-related interventions to improve patient flow in emergency departments. Scand J Trauma Resusc Emerg Med [Internet]. 2011 Jan [cited 2013 Aug 16];19:43. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3152510&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 

3. Mace SE, Mayer TA. Chapter 155 Triage. In: Jill M. Baren, Rothrock SG, Brennan JA, Brown L, editors. Pediatric Emergency Medicine. 1st ed. Philadephia: Elsevier Health Sciences; 2008. p. 1087–96.

4. Gilboy N, Tanabe P, Debbie T, Rosenau AM. Emergency Severity Index (ESI): A Triage Tool for Emergency Department Care Version 4 Implementation Handbook 2012 Edition. AHRQ Publi. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality; 2011.

5. Elshove-Bolk J, Mencl F, van Rijswijck BTF, Simons MP, van Vugt AB. Validation of the Emergency Severity Index (ESI) in self-referred patients in a European emergency department. Emerg Med J [Internet]. 2007 Mar [cited 2013 Sep 12];24(3):170–4. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2660021&tool=pmcentrez&rendertype=abstract  

Page 4: Memilih Triase Emergency Severity Index

Senin, 13 Mei 2013Analisa Aplikasi ESI Triage dan METTS Triage

Analisa Aplikasi ESI Triage dan METTS Triage

Oleh: Anissa Cindy Nurul Afni

Magister Keperawatan Kegawatdaruratan

FK Universitas Brawijaya

Tujuan triage pada emergency department (ED) adalah memprioritaskan pasien yang

datang dengan mengidentifikasi dan menilai kondisi pasien yang membutuhkan penanganan

segera dan tidak memiliki waktu lama untuk menunggu. Perawat harus bertindak secara

cepat dalam melakukan pengkajian dan membuat laporan secara singkat mengenai

kebutuhan pasien akan penanganan dan berapa lama penanganan dapat ditunda pada

pasien lainnya. Menjadi sangat urgent bagi perawat untuk benar-benar memiliki kompetensi

dalam melakukan triage terutama perawat yang berdinas di emergency department (Bolk,

Mencl, Rijswijck, Simons, Vught, 2007).

Saat melakukan triage dibutuhkan pengkajian secara fokus dan komprehensif mengenai

kondisi pasien. Pengkajian atau triage fokus adalah pengkajian yang menjurus langsung

kepada konsep penyakit dan injury yang dialami oleh pasien. Pengkajian fokus dapat

digunakan untuk menskrining kondisi pasien dan kebutuhan akan penanganan berdasar

konsep ABC management. Sedangakan triage komprehensif adalah pengkajian pasien

secara lengkap terkait history, pengukuran tanda-tanda vital, riwayat alergi, dan penampilan

fisik pasien (Bolk, Mencl, Rijswijck, Simons, Vught, 2007).

Melihat tujuan dan fokus dalam pemberian penanganan, di dunia banyak sekali berkembang

penerapan berbagai model triage seperti Australian Triage Scale (ATS), National Triage

Scale, Menchester Triage Scale, Emergency Severity Index (ESI) (Farokhnia and

Gorransson, 2011). Sehingga, dalam analisa jurnal ini penulis akan membahas mengenai

triage yang selama ini diterapkan di luar negeri dan akan mencoba melihat kemungkinan

aplikasinya di Indonesia .

Page 5: Memilih Triase Emergency Severity Index

Di negara Swedan, mulai menerapkan penggunaan triage dengan 2 model triage baru yang

ditawarkan yaitu METTS (Medical and Emergency Triage and Treatment System) dan ADPT

(Adaptive Process Triage). Kedua model tersebut memiliki komponen logistic dan tujuan

untuk memperbaiki alur keluar masuk pasien dalam ED (Farokhnia and Gorransson, 2011).

METTS secara umum memberikan skala dalam memprioritaskan pasien yang masuk ke ED

dan planning dalam perawatan kepada pasien. METTS dan ADPT dikembangkan dari

pemikiran beberapa studi menunjukkan bahwa kegiatan triage berfokus pada tiga hal yaitu

skala triage, pengambilan keputusan triage dan triage keperawatan dan perpective pasien

terhadap triage (Farokhnia and Gorransson, 2011).

Jurnal penelitian yang disampaikan oleh Farokhnia dan Gorransson pada tahun 2011

mengenai “Swedish emergency department triage and interventions for improved patient

flows: a national update” melaporkan mengenai peningkatan penerapan kualitas triage pada

emergency department di Sweden dari tahun 2009 (73%) ke tahun 2010 (97%). Swedish

Council on Health Technology Assesment mencoba mengirimkan kuesioner kepada manajer

emergency department di seluruh rumah sakit di Swedan (74 rumah sakit). Kuesioner berisi

pertanyaan mencakup mengenai aspek dalam penerapan intervensi triage yang digunakan

selama ini dan perencanaan untuk tindakan kepada pasien yang akan diterapkan oleh

perawat (Farokhnia and Gorransson, 2011).

Emergency department di Swedan sebagian besar telah menggunakan sakala triage dalam

penerapan sehari-harinya. Terutama pada tahun 2009 dan baru 18 emergency department

yang mulai menerapkan METTS dan terdapat peningkatan menjadi 48 emergency

department yang mulai menerapkan METTS  di negara Swedan. Terdapat beberapa

planning yang dapat diberikan perawat kepada pasien sebagai treatment yang menjadi

kunci dalam triage METTS seperti pemeriksaan lab, x-ray, CT-scan dan konsultasi yang

dapat dirujuk terkait kondisi pasien (Farokhnia and Gorransson, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian ini, METTS sangat umum untuk dapat diaplikasikan dengan

kondisi geograpik yang berbeda. Perkembangan ini sangat mendukung pemberian

pelayanan kepada pasien karena parktisi klinik di Swedan pada akhirnya memiliki

persamaan persepsi dalam penanganan pasien. Bagaimanapun dalam METTS patient

Page 6: Memilih Triase Emergency Severity Index

safety merupakan kunci utama dalam penanganannya. Penerapan METTS yang

memfokuskan pada skala triage dan penerapan evidence based dalam pemberian intervensi

kepada pasien diharapkan dalam prosesnya dapat menurunkan waktu tunggu pasien dan

length of stay pasien di ruang emergency (Farokhnia and Gorransson, 2011).

METTS hampir memiliki kesamaan dengan ESI triage yang dilakukan di Eropa. Jurnal yang

berjudul “ Validation of the Emergency Severity Index (ESI) in Self Referred patients in a

European Emergency Department” ditulis oleh Jolande Francis, Bas, Maarten dan Arie 

pada tahun 2007 memberikan gambaran mengenai uji kevalidan algoritma ESI pada pasien

yang datang ke emergency department rumah sakit pendidikan dan non pendidikan di

Eropa. Dalam pelaksanaan studi ini, peneliti melakukan penelitian kepada 42000 pasien dari

beberapa rumah sakit.

Sebelum diterapkannya algoritma ESI triage, tidak ada triage secara formal yang digunakan

dalam ED tersebut dan biasanya pasien akan mendapatkan waktu tinggal yang lama hingga

dipindahkan. Sehingga pada penerapan pertama kali ESI triage ini, pada hari pertama

perawat dan dokter diajarkan mengenai penerapan ESI triage di ED. Penerapan dilihat

hingga hari ke 5 dan data kemudian diambil pertama kali dan dilanjutkan hingga hari ke 39

(Bolk, Mencl, Rijswijck, Simons, Vught, 2007).

Kesimpulan yang dapat dilihat dari penelitian ini, kategori triage ESI yang digunakan telah

reliable untuk memprediksi keparahan kondisi pasien. Dimana data yang diperoleh  dapat

digunakan sebagai sumber pengambilan keputusan apakah pasien dapat dipulangkan

setelah kondisi stabil, diputuskan untuk masuk rumah sakit dan mendapatkan perawatan

observasi di emergency department atau  untuk dipindahkan ke ruang perawatan.

Penerapan ESI ini awalnya dikembangkan di US emergency department dimana angka

hospitalisasi dapat diprediksi dengan jelas melalui ESI triage. Penerapan ESI triage juga

dapat melihat pemeriksaan diagnostic yang kemungkinan dibutuhkan oleh pasien. (Bolk,

Mencl, Rijswijck, Simons, Vught, 2007).

ESI merupakan konsep baru triage yang menggunakan lima skala dalam pengklasifikasian

pasien di emergency department. ESI terus dikembangkan dalam beberapa versi dan

penggunaan terakhir adalah ESI versi 4 yang telah disertai dengan algoritma. Dalam

Page 7: Memilih Triase Emergency Severity Index

mengaplikasikannya, saat perawat bertemu dengan pasien pertama kali, harus dapat segera

melakukan penilaian kondisi pasien dan memberikan keputusan akhir perawatan/observasi,

pemulangan atau pemindahan ke ruang perawatan (Bolk, Mencl, Rijswijck, Simons, Vught,

2007).

ESI memiliki kesamaan dengan Australian Triage, Canadian Triage dan United Kingdom

scale yang sama-sama menggunakan lima (5) skala dalam memprioritaskan pasien yang

datang ke emeregency department. Namun, ESI berbeda dengan beberapa triage yang

telah ada sebelumnya.   Dalam aplikasinya, Australian Triage, Canadian Triage dan United

Kingdom scale memiliki tujuan dalam triagenya untuk membedakan seberapa lama pasien

dapat menunggu untuk mendapatkan perawatan di emergency department sebagai evaluasi

keberhasilan. Sedangkan ESI tidak menggunakan ekspektasi interval waktu untuk

mengevaluasi perawatan (Gilboy, Tanabe, Travers, Rosenau,  2011).

Tabel 1: ESI Triage dan ATS Triage

ESI Triage

Level Respon Time perawat

1 = Unstable 0 (Immediate)

2 = Threatned Minutes

3 = Stable ≤ 60

4 = Stable Could be delayd

5 = Stable Could be delayd

Keuntungan penggunaan ESI adalah mengidentifikasi dengan cepat pasien yang

membutuhkan perawatan segera dengan fokus memberikan respon cepat setelah

penentuan level dari pengkajian. ESI triage merupakan pemilahan secara cepat dengan

membagi ke dalam lima kelompok dengan karakteristik klinik yang berbeda pada sumber

kebutuhan paien dan kebutuhan operasional atau penatalaksanaanya (Bolk, Mencl,

Rijswijck, Simons, Vught, 2007). Dalam aplikasi algoritma, terdapat empat kunci utama pada

ESI triage, yaitu:

Page 8: Memilih Triase Emergency Severity Index

a. Apakah pasien memerlukan intervensi penyelamatan kehidupan dengan segera?

b. Apakah pasien ini dapat menunggu?

c. Berapa banyak sumber data yang akan pasien butuhkan?

d. Bagaimana kondisi vital sign pasien?

Berdasar pada pertanyaan tersebut, kemudian pasien akan dirujuk berdasarkan level ESI

triage yang telah ada dari level 1-5. Setelah tertuju pada masing-masing level, pasien akan

segera dirujuk oleh perawat untuk mendapatkan intervensi sesuai dengan level yang telah

ditentukan. Melihat hal ini, kompetensi perawat dalam menilai kondisi pasien saat pertama

kali bertemu adalah hal yang sangat pokok untuk dapat dimilki. Dibawah ini terdapat

algoritma penentuan level triage ESI.

Page 9: Memilih Triase Emergency Severity Index

Gambar 1: Sumber (Bolk, Mencl, Rijswijck, Simons, Vught; Gilboy, Tanabe, Travers,

Rosenau, 2007, 2011)

Dalam algoritma tersebut, hanya digambarkan pemberian level pada kondisi pasien. Pada

panduan ESI triage secara detail, dijabarkan mengenai rujukan yang digunakan untuk

menentukan menentukan pelvelan seperti pada poin A dapat dijelaskan bahwa ketika pasien

telah ditentukan masuk dalam level 1 dimana membutuhkan resusitasi atau penyelamatan

nyawa segera, maka ada beberapa intervensi yang telah direkomendasikan untuk dapat

dilakukan baik tindakan invasive maupun tindakan non invasive. Tindakan tersebut dimulai

dari pengontrolan airway/breathing (intubasi, ventilasi, nasal kanul), electrical therapy

(defibrillation, kardioversi, external pacing, monitor jantung), procedure (open thoracotomy,

akses intraoseus), hemodinamik (kontrol perdarahan, IV akses), pengobatan ( Dopamine,

Atropine, ASA IV nitrogliserin, heparin). Dalam kondisi level 1, perawat dapat melakukan

pengkajian kepada pasien terkait kondisi selama diberikan perawatan dengan AVPU (alert,

verbal, pain dan unresponsive) (Gilboy, Tanabe, Travers, Rosenau,  2011).

Contoh berikutnya pada poin B sebelum menentukan level pasien, perawat harus

memahami kondisi atau situasi yang memungkinkan pada penyakit-penyakit tertentu

memiliki risiko tinggi untuk mengalami lethargic/disorientasi, dll. Sehingga dapat ditentukan

jika pasien memiliki faktor risiko tersebut, maka pasien dapat digolongkan dalam level 2.

Jika tidak, masuk dalam level 3, 4, atau 5 (Gilboy, Tanabe, Travers, Rosenau,  2011). 

Langkah kerja aplikasi ESI selama di emergency department telah dipandu menggunakan

algoritma yang kemudian dirujuk kepada intervensi yang harus dilakukan. Intervensi yang

diberikan kepada pasien pada masing-masing level telah dirujuk oleh ESI triage. Sehingga

dinilai cukup efektif untuk meningkatkan respon kepada pasien saat masuk ke UGD (Gilboy,

Tanabe, Travers, Rosenau,  2011).

Melihat konsep triage ESI dan METTS yang telah dijabarkan, penerapan triage ESI dan

METTS di Indonesia memungkinkan untuk dilakukan hanya jika kompetensi perawat, dokter,

peralatan, obat-obatan yang tersedia di emergency department rumah sakit kita telah

memenuhi standar. Namun, sebagi permulaan tidak menutup kemungkinan ESI triage untuk

dapat diterapkan di rumah sakit pusat atau provinsi yang peralatannya untuk mendukung

penanganan pasien segera telah cukup lengkap dibandingkan rumah sakit daerah.

Page 10: Memilih Triase Emergency Severity Index

Konsep triage ESI sesungguhnya sangat aplikatif untuk diterapkan karena penilaian yang

dilakukan tidak terlalu memakan waktu lama. Selain itu, kemudahan rujukan intervensi

sesuai dengan level klasifikasi ESI telah dipaparkan pada panduan penggunaan ESI triage.

Daftar Pustaka:

Bolk, J. E., Mencl, F., Rijswijck, B. T. F. V., Simons, M. P., Vught, A. B. V. (2007). Validation of

the emergency severity index (ESI) in self referred patients in a European emergency

department.  Emerg Med J. 24: 170-174

Farokhnia, N.n and Gorransson, K. E. (2011). Swedish emergency department triage and

interventions for improved patient flows: a national update. Scandinavian Journal of Trauma,

Resucitation and Emergency Medicine. 19: 72.

Gilboy, N., Tanabe, P., Travers, D., Rosenau, A. M. (2011). Emergency Severity Index (ESI); A

Triage Tool for Emetgency Department Care Version 4. AHRQ Publication. www.ahrq.gov.

Page 11: Memilih Triase Emergency Severity Index