membangun keunggulan kompetitif dengan syariah...

35
Membangun Keunggulan Kompetitif Dengan Syariah Accounting Oleh: Srihadi Winarningsih [email protected] [email protected] Disampaikan pada: Kuliah Umum/ Studium Generale Mahasiswa Program DIII Akuntansi Fakultas Ekonomi UNPAD

Upload: lexuyen

Post on 02-Mar-2018

238 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Membangun Keunggulan Kompetitif Dengan Syariah Accounting

Oleh: Srihadi Winarningsih

[email protected] [email protected]

Disampaikan pada: Kuliah Umum/ Studium Generale

Mahasiswa Program DIII Akuntansi Fakultas Ekonomi UNPAD

PENDAHULUAN

Perkembangan ekonomi, keuangan dan perbankan syariah telah mendorong

insititusi akademik untuk lebih giat lagi menyiapkan sumber daya manusia yang

kompeten. Hal itu dikarenakan sumber daya manusia yang kompeten merupakan salah

satu faktor penting untuk dapat mempercepat perkembangan ekonomi Islam secara

nasional yang nantinya akan membantu meningkatkan ekonomi masyarakat keseluruhan.

Lebih dari itu Perguruan tinggi merupakan pemegang amanah pengajaran dan

pengembangan ilmu. “Ilmu itu ruhnya Islam dan tiangnya iman; barangsiapa yang

mengajarkan ilmu, maka Allah akan menyempurnakan pahalanya. Barangsiapa belajar

satu ilmu lalu mengamalkannya, maka Allah mengajarinya ilmu pengetahuan yang belum

ia ketahui sebelumnya.” (HR Abu Syaikh).

Agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan memuaskan segenap

stake holder maka sudah pasti dibutuhkan suatu sistem yang standar yang efektif dan

efisien. Stake hoder pendidikan Ekonomi Syariah adalah Mahasiswa, Orang Tua, Dosen,

Manajemen Perguruan Tinggi, DIKNAS, DEPAG, industri keuangan dan bisnis Syariah

serta masyarakat pada umumnya. Standarisasi seperti ISO 9001-2000 dan akreditasi di

perlukan untuk menjamin kepentingan semua stake holder yang terlibat.

Ada empat kata kunci untuk memastikan persyaratan sistem dalam ISO

9001:2000 dikenal sebagai PDCA (Plan, Do, Check, Action) atau Rencana-Lakukan-

Periksa-Tindaki. PDCA secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Rencanakan; tetapkan tujuan dan proses pendidikan yang diperlukan untuk

menyerahkan hasil sesuai dengan persyaratan pelanggan, pemerintah dan

kebijakan institusi

2. Lakukan; terapkan proses pendidikan

3. Periksa; pantau serta ukur proses dan hasil proses pendidikan terhadap kebijakan,

tujuan dan persyaratan untuk hasil sebuah proses pendidikan dan laporkan

hasilnya secara berkala (baiknya setiap semester)

4. Tindak Lanjut; lakukan tindakan untuk perbaikan berlanjut dari hasil kerja proses

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak

lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya

yang sesuai dengan syariah.

Bank Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan

prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

(UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan).

Kegiatan usaha Bank Syariah antara lain: Mudharabah; Musyarakah; Murabahah , Ijarah,

Ar-Rahnu, Hawalah, Istishna, Mudharabah al-Mutlaqah, Mudharabah Muqqayadah,

Wakalah.

Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

Dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya Bank Syariah Mandiri menganut

prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Prinsip Keadilan; Prinsip ini tercermin dari penerapan

imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati

bersama antara Bank dan Nasabah ; (2) Prinsip Kemitraan; Bank Syariah menempatkan

nasabah penyimpanan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukan

yang sama dan sederajat dengan mitra usaha. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban,

resiko dan keuntungan yang berimbang di antara nasabah penyimpan dana, nasabah

pengguna dana maupun Bank. Dalam hal ini bank berfungsi sebagai intermediary

institution lewat skim-skim pembiayaan yang dimilikinya. (3) Prinsip Keterbukaan

Melalui laporan keuangan bank yang terbuka secara berkesinambungan, nasabah dapat mengetahui tingkat keamanan dana dan kualitas manajemen bank ; (4) Univeralitas Bank dalam mendukung operasionalnya tidak membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan agama dalam masyarakat dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil'alamiin.

Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional

Bank Syariah:

1. Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah

SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai

ajaran Islam

2. Bank syariah mendorong nasabah untuk mengupayakan pengelolaan harta nasabah

(simpanan) sesuai ajaran Islam

3. Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelola bank pada

posisi yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap

dasar hubungan antara nasabah dan bank

4. Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip

kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan

Nasabah atas jalannya usaha bank syariah.

5. Prinsip bagi hasil:

a. Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman

pada kemungkinan untung dan rugi

b. Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh

c. Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah

pendapatan

d. Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil

e. Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu

tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh

kedua belah pihak

Bank Konvensional

1. Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh

imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham

adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan

suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan

pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah).

Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi

antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi

sebagai lembaga perantara saja

2. Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank

dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak

belakang.

3. Sistem bunga:

a. Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu

untung untuk pihak Bank

b. Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.

Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu

untung untuk pihak Bank

c. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat

ganda saat keadaan ekonomi sedang baik

d. Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama

Islam

e. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang

dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.

Bank Syariah sebagai bank yang beroperasi atas dasar prinsip syariah Islam menetapkan

budaya perusahaan yang mengacu kepada sikap akhlaqul karimah (budi pekerti mulia),

yang terangkum dalam lima pilar yang, yaitu :

1. Siddiq (Integritas)

Menjaga Martabat dengan Integritas. Awali dengan niat dan hati tulus, berpikir jernih,

bicara benar, sikap terpuji dan perilaku teladan.

2. Istiqomah (Konsistensi)

Konsisten adalah Kunci Menuju Sukses. Pegang teguh komitmen, sikap optimis,

pantang menyerah, kesabaran dan percaya diri.

3. Fathanah (Profesionalisme)

Profesional adalah Gaya Kerja Kami. Semangat belajar berkelanjutan, cerdas,

inovatif, terampil dan adil.

4. Amanah (Tanggung-jawab)

Terpercaya karena Penuh Tanggung Jawab. Menjadi terpercaya, cepat tanggap,

obyektif, akurat dan disiplin

5. Tabligh (Kepemimpinan)

Kepemimpinan Berlandaskan Kasih-Sayang. Selalu transparan, membimbing,

visioner, komunikatif dan memberdayakan.

Bank Syariah bergerak dalam bidang perbankan dengan prinsip Keseimbangan

Berekonomi dimana Bank Syariah mengkombinasikan antara idealisme usaha dengan

nilai-nilai rohani dalam operasinya. Bank Syariah merupakan pelopor dalam memberikan

layanan perbankan syariah modern di Indonesia. Bank Syariah senantiasa menjalin

kemitraan dengan semua kalangan, tanpa membedakan latarbelakang suku, agama dan

warna kulit dalam bingkai semangat Islam sebagai "rahmatan lil'alamiin".

Harmoni antara idealisme usaha dan nilai-nilai rohani inilah yang menjadi salah satu

keunggulan Bank Syariah sebagai alternatif jasa perbankan di Indonesia.

Kegiatan usaha yang dilakasanakan oleh Bank Syariah Mandiri adalah sebagai berikut:

1. Mudharabah

Adalah kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal (pihak pertama)

menyediakan modal sedangkan mudharib (pihak kedua) menjadi pengelola dana

dimana keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan dimuka.

2. Musyarakah

Adalah perjanjian pembiayaan antara Bank Syariah dengan nasabah yang

membutuhkan pembiayaan, dimana Bank dan nasabah secara bersama membiayai

suatu usaha atau proyek yang juga dikelola secara bersama atas prinsip bagi hasil

sesuai dengan penyertaan dimana keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan

dimuka.

3. Murabahah

Adalah suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana

Bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja

lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar

harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan.

4. Ijarah

Perjanjian sewa yang memberikan kepada penyewa untuk memanfaatkan barang yang

akan disewa dengan imbalan uang sewa sesuai dengan persetujuan dan setelah masa

sewa berakhir maka barang dikembalikan kepada pemilik, namun penyewa dapat juga

memiliki barang yang disewa dengan pilihan pemindahan kepemilikan atas barang

yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

5. Ar-Rahnu

Adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta (nilai ekonomis) sebagai

jaminan hutang, hingga pemilik barang yang bersangkutan boleh mengambil hutang.

Ar-Rahn berarti juga pledge atau pawn (gadai), yaitu kontrak atau akad penjaminan

dan mengikat saat hak penguasaan atas barang jaminan berpindah tangan.

6. Hawalah

Adalah akad pemindahan piutang nasabah kepada bank untuk membantu nasabah

mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya dan bank mendapat

imbalan atas jasa pemindahan piutang tersebut.

7. Istishna

Adalah pembiayaan jual beli yang dilakukan antara bank dan nasabah dimana penjual

(pihak bank) membuat barang yang dipesan oleh nasabah. Bank untuk memenuhi

pesanan nasabah dapat mensubkan pekerjaannya kepada pihak lain.

8. Mudharabah al-Mutlaqah

Adalah kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal (pihak pertama)

menyediakan modal dan memberikan kewenangan penuh kepada mudharib (pihak

kedua) dalam menentukan jenis dan tempat investasi, sedangkan keuntungan dan

kerugian dibagi menurut kesepakatan dimuka.

9. Mudharabah Muqqayadah

Adalah kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal menyediakan modal dan

memberikan kewenangan terbatas kepada mudharib dalam menentukan jenis dan

tempat investasi, dimana keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan

dimuka.

10. Wakalah

Adalah akad perwakilan antara kedua belah pihak (bank dan nasabah) dimana

nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan

pekerjaan atau jasa tertentu�

Prospek Bisnis Bank Syariah

Saat ini walaupun peranan bank syariah dalam perbankan nasional masih kecil namun

dari segi perkembangan dan peranannya dalam meningkatkan kesejahteraan nasional

cukup meyakinkan. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Syariah Mandiri banyak

yang mengarah pada usaha mikro, kecil dan menengah. Kegiatan usaha tersebut selain

membantu kelangsungan usaha-usaha mikro, kecil dan menengah juga memberikan

konstribusi laba terhadap Bank Syariah Mandiri.

Labapun terus meningkat. Selama masa krisis ekonomi, ternyata Bank Syariah Mandiri

memiliki kekuatan dan kinerja yang relatif lebih baik (NPHF yang rendah, tidak terjadi

negative spread, konsisten dalam fungsi intermediasi dan mampu untuk bertahan).

Namun demikian dalam operasional perbankan syariah selama ini ada beberapa masalah

yang perlu diperhatikan antara lain: kerangka pengaturan perbankan syariah yang belum

lengkap; jaringan kantor yang terbatas; kurangnya pengetahuan dan pemahaman

mengenai produk dan jasa perbankan syariah sehingga aplikasinya kadang

mengecewakan nasabah; institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif; dominasi

pembiayaan non-bagi hasil; dan kemampuan untuk memenuhi standar keuangan syariah

internasional yang telah ditetapkan oleh IFSB (Islamic Financial Service Board) dan

IAAOIFI (International Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial

Institution).

Dalam menghadapi era kompetisi dewasa ini maka yang pertama harus dihindari

adalah persaingan antar Bank Syariah. Persaingan perlu dieliminasi dalam

memperebutkan nasabah dengan jalan pemberian pelayanan yang terbaik dalam menarik

nasabah muslim maupun non-muslim.

Pemberian return atas dasar bagi hasil baik deposan maupun pembiayaan perlu

ada margin tertentu yang tidak saling mematikan. Menghadapi bank konvensional kinerja

bank syariah yang telah ditunjukkan menghadapi krisis merupakan modal dasar dalam

persaingan peran secara nasional.

Sistem pembiayaan berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang menunjukkan

kekuatannya dalam masa krisis, dan memiliki kinerja yang lebih baik dibanding sistem

perbankan konvensional yang terlihat pada non performing financing (NPF) yang lebih

rendah, tidak adanya negative spread dan konsisten dalam menjalankan fungsi

intermediasi harus dipertahankan bila perlu ditingkatkan.

Dalam mengembangkan strategi kebijakan, tentu yang memegang peran penting

adalah Bank Indonesia sendiri sebagai pengendali kehidupan perbankan nasional baik

dari segi market driven yang mengarahkan pertumbuhan berdasarkan kebutuhan dan

kondisi pasar, maupun dari segi fair treatment untuk membangun persaingan industri

perbankan yang sehat berdasarkan keunikan dan karakteristik masing-masing sebagai

aset nasional.

Selain itu pendekatan hendaknya berdasarkan situasi dan kondisi, secara bertahap

dan berkesinambungan (gradual and sustainable approach) di samping pengembangan

infra struktur sesuai dengan prinsip syariah.

Secara internal selain mengeliminasi persaingan antar bank syariah, maka pelayanan

bank syariah terhadap nasabah (muslim dan non muslim) perlu terus ditingkatkan

sekurang-kurangnya sama bahkan harus lebih baik dari bentuk pelayanan dari bank

konvensional terutama pada penggunaan information and communication technology

(ICT).

Para nasabah harus tahu membedakan dan mengetahui kelebihan dari bank

syariah terhadap bank konvensional terutama dari produk yang ditawarkan seperti sistem

mudharabah, musyarakah, murabahah, hawalah, ijarah, istishna, kafalah, dan lain-lain.

Selain istilah yang dirasakan asing, juga banyak yang menganggap prinsip ini sama saja

dengan sistem konvensional terutama prosedur pembiayaan bagi hasil dan murabahah.

Petugas bank jangan hanya pandai memberikan pengertian seolah-olah berfatwa

dengan ayat dan hadits, tetapi bagaimana secara inovatif menerangkan aplikasi dan

prosedur sehingga mereka tertarik untuk memilih menggunakan produk tersebut.

Kesiapan sumber daya insani yang mampu mengaplikasikan sistem syariah tersebut dan

rising demand atas kegiatan operasionalnya menghendaki tersedianya pusat-pusat

pendidikan yang mampu menelorkan tenaga untuk mengisi kebutuhan top, middle

maupun staff manajemen yang memiliki sifat STAF (Shiddiq/jujur,

Tabliqh/komunikatif/transparan, Amanah/accountable, Fathonah/ cerdas, terampil) dan

menjadikan duit (doa, usaha, ibadah, iman ikhlas, ihsan, IPTEK, istiqamah, islami,

introspeksi dan taqwa) sebagai prinsip dasar dalam berusaha.

Karena faktor kepercayaan (trust) merupakan indikator utama suatu bank maka

sebagai staf harus memiliki kemampuan mengkaji tentang manajemen risiko, prinsip

kehati-hatian (prudential) menjaga CAR, mengetahui SUKUK Malaysia dan lain-lain.

Salah satu peran yang sangat menentukan dalam mengembangkan Bank Syariah Mandiri

adalah fatwa ulama dari MUI, terutama yang bertugas sebagai anggota Dewan Syariah

Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Di samping keahliannya sebagai

ahli syariah mereka harus tahu dan perlu mengikuti perkembangan dan praktik produk

yang ditawarkan apakah sesuai syariah atau tidak sebagai hal yang lumrah terjadi dalam

kehidupan perbankan (bank habitness) seperti denda (ta'wida) fee dan lain-lain.

Akhirnya untuk mengatasi dan membuat kebijakan yang sesuai situasi perlu penelitian

yang teratur dan berkesinambungan untuk mengkaji penyebab timbulnya masalah,

menganalisis dan mencoba mencari pemecahan dari monitoring dan evaluasi instansi

terkait dan informasi dari masyarakat.

Perkembangan Perbankan Syariah Terasa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan dalam

mengembangkan industri perbankan syariah di Indonesia. Sudah banyak terobosan yang

telah dilakukan oleh pengembang konsep ekonomi Islam yang semuanya bermuara untuk

memajukan dunia perbankan syariah di Indonesia. Mulai dari MUI yang telah

mengeluarkan fatwa tentang bunga bank haram. Kemudian disusul dengan beberapa

kebijakan yang dikeluarkan BI, melalui Direktorat Perbankan Syariahnya, diantaranya

telah menelurkan kebijakan office chanelling bagi bank konvensional yang telah

membuka Unit Usaha syariah (UUS) untuk memberikan pelayanan transaksi syariah bagi

masyarakat luas.

Kondisi di atas merupakan bukti riil dukungan terhadap pengembangan industri

perbankan syariah di Indonesia. Tetapi, hasilnya masih dirasakan kurang memuaskan.

Sampai saat ini, tercatat market share industri perbankan syariah Indonesia masih 1,5%

dari total market share industri perbankan nasional. Artinya, 98,5% market share industri

perbankan nasional masih dikuasai oleh dunia perbankan konvensional. Satu hal yang

ironis. Pertama, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam merupakan potential

market yang dapat mendukung pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Hal ini

dapat difahami masih banyak umat Islam yang belum tergerak hatinya untuk bergabung

bersama merapatkan barisan dalam pengembangan ekonomi Islam, khususnya melakukan

transaksi pada perbankan syariah. Kedua, keberadaan industri perbankan syariah relatif

sudah berjalan hampir 15 tahun lebih. Berarti, eksistensi bank syariah sudah tidak lagi

seperti anak kecil yang geraknya tidak lincah, tetapi sudah menjadi pemuda yang

diharapkan dapat bergerak lebih lincah dan responsif terhadap kondisi perkembangan

zaman.

Sejak adanya Bank Muamalat pada tahun 1991 berarti menjadi tonggak awal

perkenalan umat Islam Indonesia dengan bank syariah. Sampai akhir tahun 2006 telah

ada 3 bank umum syariah, 19 Unit Usaha Syariah (UUS), 493 kantor cabang syariah dan

105 BPRS. Belum lagi lembaga keuangan mikro syariah atau Baitul Mal wa Tamwil

(BMT) yang tersebar hampir di setiap propinsi. Sebuah prestasi yang menggembirakan

bagi perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Tetapi, sekali lagi masih

kecilnya market share industri perbankan syariah di Indonesia menjadi pertanyaan besar,

ada masalah yang krusial dalam pengembangan perbankan syariah. Mengapa masih kecil

market share-nya?

Industri perbankan syariah di Indonesia saat ini, ibarat mobil yang melaju di jalan

tol tapi jalannya masih tetap lambat. Seharusnya, dengan beberapa terobosan yang ada

pergerakan laju perkembangan industri perbankan syariah dapat bergerak lebih cepat,

seperti mobil-mobil yang melaju cepat di jalan tol. Oleh karena itu, 2007 dapat dijadikan

momentum sebagai tahun percepatan dalam pengembangan industri perbankan syariah di

Indonesia. BI menargetkan pada tahun 2007 market share bank syariah sudah bergerak

menuju angka 5%. Sebuah program besar yang perlu didukung bersama oleh semua

partisipan pengembangan perbankan syariah. Ada beberapa langkah kongkrit yang dapat

mendukung pengembangan industri perbankan syariah ke depan.

Pertama, sosialisasi bank syariah ke masyarakat perlu ditingkatkan. Realita di

tengah masyarakat masih banyak yang belum mengerti dan memahami tentang bank

syariah. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) yang salah satu misinya melakukan

sosialisasi perbankan syariah ke masyarakat merasakan minimnya dana untuk kegiatan

edukasi. Beberapa program sudah dijalankan, termasuk program acara TV, dialog

interaktif di Radio dan kontak tanya jawab ekonomi syariah di 11 koran nasional.

Hasilnya, masih banyak masyarakat yang belum mengerti tentang ekonomi syariah,

khususnya mengenai perbankan syariah.

Kedua, inovasi produk perbankan syariah yang mengacu pada service

satisfaction. Produk yang dikembangkan industri perbankan syariah terkesan belum

mencerminkan keinginan yang dirasakan oleh customer. Pada kondisi seperti ini, akan

lebih baik jika perbankan syariah merubah orientasi dari product driven menjadi

customer driven. Produk yang dikembangkan mengikuti arus keinginan yang dibutuhkan

oleh nasabah atau customer. Disamping lebih efektif, orientasi customer driven akan

memberikan sentuhan pengurangan biaya operasional (operational cost).

Ketiga, terobosan kebijakan baru yang mendukung. Dalam hal ini, peran

Departemen Agama RI sebagai penyelenggara ritual tahunan ibadah haji perlu

dibangkitkan lagi untuk mendukung pengembangan industri perbankan syariah. Dana haji

merupakan himpunan dana yang besar. Saat ini, ongkos naik haji (ONH) dapat disetor

dihampir seluruh bank konvensional. Artinya, sementara ini banyak dana umat Islam

yang akan berangkat haji mengendap di bank-bank konvensional. Sudah saatnya,

Departemen Agama mengeluarkan kebijakan pengelolaan dana haji oleh industri

perbankan syariah. Kalau asuransi haji sudah dikelola oleh perusahaan asuransi syariah.

Maka, tidak masalah jika pengelolaan ongkos naik haji (ONH) dilakukan oleh industri

perbankan syariah. Wallahu ‘alam bis showab

Kadang kita mendengar orang berkata, “Bank syari’ah sama saja dengan bank

konvensional, bedanya cuma pegawai wanitanya memakai kerudung.”1 Ada juga yang

mengatakan bahwa bagi hasil tidak berbeda dengan bunga, sama-sama ada tambahannya.

Yang lain lagi mengatakan kalau kredit ke bank syari’ah cuma beda akadnya saja,

padahal sama-sama ada bunganya. Masih banyak lagi komentar-komentar bernada serupa

terhadap bank syari’ah.

Tentu akan logis kiranya jika orang yang berpandangan negatif terhadap bank

syari’ah adalah orang yang tidak mengetahui teori bank syari’ah.2 Namun, bagaimana

jika yang berpandangan negatif adalah praktisi bank syari’ah itu sendiri?3 Bagaimana

pula jika orang yang berpandangan negatif justru seorang ‘alim (ahli ilmu) dalam agama

dan seorang ‘abid (ahli ibadah)?4 Penulis mencoba mengidentifikasi jawaban atas

fenomena tersebut sebagai berikut:

1 Kebanyakan orang Indonesia suka menggunakan kata jilbab (�������� �) daripada kerudung (���� �� / �� ��).

Padahal, orang yang memakai kerudung belum tentu bisa disebut memakai jilbab sedangkan orang yang memakai jilbab pastilah memakai kerudung.

2 Pada tahun 2000-2001, Bank Indonesia bersama Insititut Pertanian Bogor, Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, Universitas Andalas, dan Universitas Jambi melakukan survai potensi dan preferensi konsumen terhadap bank syari’ah di enam propinsi, yaitu Sumatra Barat, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Hasilnya adalah sebanyak 42% responden paham bahwa bunga adalah haram dan hanya 11% responden yang mengetahui produk dan keuntungan bank syari’ah. Lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Lembaga Keuangan Syariah: Katalis Penguatan Ekonomi Ummat, power point yang disampaikan pada Temu Ilmiah Nasional Forum Silaturahmi Studi Ekonomi Islam IV di Universitas Mataram Lombok, 2005:19.

3 Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. pada pengajian Muamalah Maliyah dalam Konteks Fiqih Islam (Sabtu, 5 Mei 2007 di Mushola Fakultas Teknik UGM) ketika menjawab pertanyaan peserta pengajian tentang bank syari’ah mengatakan bahwa seorang temannya (teman Ustadz Kholid) bekerja di suatu Unit Usaha Syari’ah (UUS) (saya rahasiakan identitas banknya). Sebelumnya, temannya tersebut ikut pengajian mengenai bank syari’ah kemudian berkeinginan pindah ke bank syari’ah. Kemudian, dia berkorban pindah dari induknya (bank konvensional) ke UUS dengan segala konsekuensinya (misal pemotongan gaji, penundaan naik jabatan, dsb.). Namun, ternyata, dia merasa UUS sama saja dengan bank konvensional. Dia mengatakan, “Sama saja antara bank konvensional dan bank syari’ah, bedanya cuma kerudung/jilbab saja.” Apakah logis kiranya jika sang pegawai tersebut kurang memahami konsep perbankan syari’ah padahal dia bekerja di UUS? Terlebih lagi, sang pegawai tersebut pindah dari bank induk ke UUS atas keinginannya sendiri setelah mengikuti pengajian mengenai bank syari’ah. Saya berasumsi bahwa ada penyimpangan praktek akan teori bank syari’ah pada UUS tersebut. Hanya saja, saya belum mengetahui dimana letak penyimpangannya.

4 Saya mempunyai teman seorang penganut madzab Salafi yang ‘alim dalam agama dan ‘abid. Dia pernah mengatakan bahwa gurunya yang menimba ilmu di Madinah dan Yaman yang mengatakan

1. Yang pertama adalah bahwa praktek bank syari’ah menyimpang dari teori-teori bank

syari’ah. Dalam hal ini, teori-teorinya sudah benar dalam pandangan syari’at, namun

penyimpangan terjadi pada prakteknya. Meskipun bank syari’ah di Indonesia

memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS), namun fenomena yang penulis sebut

pada catatan kaki nomor 5 menjadi sebuah kenyataan bahwa ada kemungkinan

penyimpangan kesyari’an bank syari’ah dalam prakteknya.5 Saya tekankan bahwa

saya hanya mengatakan ada kemungkinan, bukan memastikan.

2. Yang kedua adalah permasalahan yang lebih esensial, yaitu yang dipermasalahkan

bukanlah sekedar prakteknya, namun teorinya. Mungkin masalah teorilah yang

dipermasalahkan oleh guru teman saya yang saya sebut pada catatan kaki nomor 6.

Setahu saya, ada seseorang lagi pengkritik teori bank syari’ah, dia adalah Zaim Saidi,

peneliti Lembaga Studi dan Implementasi Ekonomi Alternatif (ADINA) Jakarta.6

Adapun, saya membahas kritikan Zaim Saidi pada catatan kaki nomor 37 dan pada

subbab “Kebolehan Bagi Bank Menjual Barang dengan Harga Lebih Tinggi Daripada

Jika Dibeli Kontan”.

bahwa bank syari’ah sama saja dengan bank konvensional. Hanya saja, dia tidak berani menanyakan lebih lanjut dimana letak keharaman bank syari’ah menurut guru tersebut karena sang guru marah-marah ketika dia menanyakannya. Jadi, belum jelas bagi saya, apakah sang guru menganggap ketidaksyari’an bank syari’ah dari segi teori atau dari segi prakteknya.

5 Saya juga pernah bertanya kepada sebuah Bank Umum Syari’ah (BUS) mengenai pembiayaan murabahah pada Desember 2006 atau Januari 2007 (saya lupa tepatnya). Pegawai bank tersebut menjelaskan bahwa sang nasabah harus menyertakan bukti berupa kuitansi atau nota dari pembelian barang sehingga bank mengetahui bahwa dananya benar-benar digunakan nasabah untuk membeli barang yang diajukannya untuk pembiayaan. Meski bank menjadikan nasabah sebagai agennya untuk membeli barang, namun sistem seperti ini sangat mendekati sistem utang-piutang, bukan sistem jual-beli. Saya bahas pula masalah ini pada catatan kaki nomor 34.

6 Kritik Zaim Saidi terhadap teori bank syari’ah antara lain dapat dilihat dalam: 1. Zaim Saidi, Contradictio in Terminis: Kritik atas Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi Syariah

Muamalah, Vol. 2, No. 2, Yogyakarta: Shariah Economics Forum Universitas Gadjah Mada, 2003, hlm. 53-65.

2. Rubrik Wawancara pada situs Jaringan Islam Liberal berjudul Bebas Bunga, Tak Berarti Bebas Riba (http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=466). Saya merasa tidak heran ketika kritik atas fiqih perbankan syari’ah justru dibela oleh Jaringan Islam Liberal yang notabene suka membongkar kaedah-kaedah Islam yang ushul (pokok) dan qath’i (baku).

Pemaparan di atas untuk menunjukkan bahwa masih banyak keragu-raguan akan

teori perbankan syari’ah yang justru terjadi bukan sebatas orang awam namun juga

praktisinya sendiri, ‘alim, dan ‘abid. Supaya Anda tidak ragu, maka alangkah baiknya

kita pelajari konsep-konsep perbankan syari’ah. Tulisan ini akan menjabarkan secara

ringkas konsep-konsep dasar perbankan syari’ah. Tulisan akan dimulai dari permasalahan

pokok dunia perbankan, yaitu masalah riba dan bunga. Masalah ini akan dibahas agak

panjang karena inilah substansi permasalahan perbankan konvensional. Baru kemudian

mengarah pada sistem operasional, mudharabah, penjualan murabahah dengan harga

lebih tinggi daripada harga kontan, baru kemudian penjelasan singkat beberapa istilah

dalam bank syari’ah. Karena keterbatasan tempat, maka tulisan ini akan dipadatkan.

Apabila ingin menggali lebih dalam, maka dapat membaca berbagai referensi mengenai

bank syari’ah yang tersebar di toko-toko buku, perpustakaan, maupun internet.

Harapannya, kita semua dapat berperan dalam mengembangkan bank syari’ah di

Indonesia dalam dua ranah, yaitu teori dan prakteknya.

A. RIBA

1. Definisi Riba

Riba berasal dari kata rab� (��� ��) atau rib�an ( ������ �� ) yang berarti bertambah atau

tumbuh.7 Meski secara bahasa diartikan bertambah atau tumbuh, secara syara’ makna

riba bukan diartikan segala aktivitas yang membuat harta bertambah atau tumbuh.

Aktivitas-aktivitas ekonomi yang menambah atau menumbuhkan harta secara benar

7 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 2000, hlm. 137.

menurut syari’ah tentu bukan masuk kategori riba, misal jual-beli, berdagang, dan

berinvestasi. Sedangkan yang masuk kategori riba adalah pengambilan tambahan harta

dari harta pokok atau modal secara batil.8 Batil dalam hal ini tentulah batil secara syari’at,

berdasarkan nash-nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam

kitab Ahkam Al-Qur’an mengatakan:

� ������������������� !���"#�$%�&��#� �#'�����(�#�)�*��#�$%����#'�

“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam

ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi

pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah.”9

2. Jenis-Jenis Riba

Disebutkan oleh Sura’i Abdul Hadi (1999) bahwa ulama fiqih membagi riba

menjadi dua macam, yaitu riba fadhl dan riba nas+’ah.10 Diterangkan oleh Muhammad

bahwa riba fadhl merupakan riba jual beli sedangkan riba nasi’ah merupakan riba utang-

piutang.11 Sebagian pakar menambahkan satu jenis lagi, yaitu riba jahiliyah yang pada

dasarnya merupakan bagian dari riba nas+’ah. Sedangkan sebagian yang lain menambah

lagi, yaitu riba qardh. Muhammad Syafi’i Antonio misalnya, menyebutkan empat

pembagian riba, yaitu riba qardh dan riba jahiliyah untuk riba utang-piutang sedangkan

riba fadhl dan riba nas+’ah untuk riba jual beli.12 Dalam hal ini, riba nas+’ah dimaknai

oleh Antonio seperti halnya riba nas,’ (riba penundaan pada barang ribawi). Kemudian,

8 Lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2005,

hlm. 37. 9 Ibid., hlm. 38. 10 Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Edisi Revisi, Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP

YKPN, 2005, hlm. 42. 11 Lihat ibid., loc. it. 12 Lihat Antonio, op. cit., hlm. 41.

Antonio menambahkan riba qardh yang sebenarnya esensinya adalah riba nas+’ah.

Penulis akan memaparkan kerancuan pembagian jenis-jenis riba.

a. Riba nas+’ah �-�./�#���( )

Secara bahasa, nas+’ah (��-� �.�0) berarti tangguh; bayaran kemudian.13 Riba nas+’ah

disebut juga riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat utang-piutang yang tidak

memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al-ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha

muncul bersama biaya (al-kharaj bi dhaman).14 Pengertian dari kalimat tersebut adalah

bahwa keuntungan dan hasil usaha didapat tanpa resiko dan biaya. Jadi, perjalanan

waktulah yang menyebabkan tambahan pada utang-piutang. Itulah esensi dari riba

nas+’ah.15 Di sini, riba nas+’ah memiliki esensi yang sama dengan riba qardh (� ���#���)

yang disebutkan oleh Antonio. Adapun, Antonio mengartikan riba qardh sebagai suatu

manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang berutang

(muqtaridh).16

Sungguh sebuah kedzaliman apabila seseorang menginginkan keuntungan dan

hasil usaha tanpa adanya resiko dan biaya, kemudian dia meminjamkan barang ribawi

kepada orang lain untuk kemudian meminta tambahan atas barang yang dipinjamkan

tersebut. Padahal, orang yang meminjamkan tersebut tidaklah mengeluarkan suatu resiko

13 Yunus, op. cit., hlm. 449. 14 Anonim, Macam Riba: Riba Nasi-ah (2), (Online), (http://www.halalguide.info/content/view/690/46/),

2006. 15 Meski secara bahasa nas+’ah merupakan tangguh; bayaran kemudian, perlu dipahami bahwa penjualan

dengan angsuran atau pembayaran kemudian bukanlah termasuk jenis riba. Meski harga suatu barang misalkan lebih mahal dibandingkan harga barang jika dibayar dengan kontan, itu bukan riba. Itu adalah harga yang berbeda yang diterapkan dengan kondisi yang berbeda. Tidak ada dalil yang melarang penjualan dengan sistem angsuran. Justru, sistem angsuran memudahkan orang lain dalam membeli. Lihat subbab “Kebolehan Bagi Bank Menjual Barang dengan Harga Lebih Tinggi Daripada Jika Dibeli Kontan”.

16 Antonio, loc. it.

dan biaya apapun namun meminta tambahan. Misal saja seseorang memiliki uang seharga

Rp. 1.000.000.000. Jika dia menabung di bank konvensional dengan bunga 6% per tahun,

maka dalam setahun dia akan mendapatkan Rp. 60.000.000 tanpa berbuat apa-apa.

Hitung saja dalam sebulan dia akan mendapatkan Rp 5.000.000. Itu gaji yang sangat

banyak untuk ukuran Indonesia saat ini. Padahal, Rp. 5.000.000 tersebut dia dapat

misalnya hanya dengan tidur-tiduran atau bersenang-senang tanpa perlu berpikir resiko

dan biaya. Sungguh suatu kedzaliman. Maka, sungguh enak bagi orang kaya raya apabila

riba nas+’ah ini tidak dilarang oleh Islam.

Riba nasi’ah merupakan riba yang dilarang dalam Al-Qur’an dalam empat tahap.

Berikut ini merupakan tahapan larangan riba nas+’ah pada Al-Qur’an:

a. Tahap pertama adalah Q.S. ar-R1m (30): 39, ayat ini diturunkan di kota Mekkah

sebelum Hijriyah. Tafsir ayat ini menunjukkan bahwa riba masih merupakan indikasi

bukan keharusan. Namun jelas menolak bahwa riba seolah-olah dapat menolong

mereka yang membutuhkan perbuatan yang diridhai Allah.

b. Tahap kedua adalah turunnya Q.S. an-Nis, (4): 160-161. Ayat ini diturunkan di kota

Madinah setelah Hijriyah. Ayat ini juga belum secara tegas melarang perbuatan riba.

Ayat ini membicarakan tentang orang-orang Yahudi yang telah melanggar hukum

Taurat dengan memakan riba walaupun telah dilarang. Untuk itu Allah mengancam

orang-orang Yahudi dengan balasan yang keras.

c. Tahap ketiga adalah turunnya Q.S. 2li Imr,n (3): 130. Ayat ini turun setelah kaum

muslim mengalami kekalahan dalam perang Uhud pada tahun ketiga Hijriyah. Ayat

ini merupakan peraturan pertama yang melarang kaum muslim memakan riba. Selain

itu, ayat ini juga menjelaskan bahwa sifat umum riba adalah berlipat ganda.

d. Tahap keempat adalah turunnya Q.S. al-Baqarah (2): 275-279. Ayat ini diturunkan

ketika suku Thaq+f dari Arab menagih riba. Padahal suku ini telah memeluk Islam

pada bulan ramadhan pada tahun ke-9 Hijriyah. Perlu dicatat bahwa Mekkah sudah

dikuasai oleh Islam setahun sebelumnya. Ayat-ayat terakhir yang menyangkut riba

tersebut secara tegas mengharamkan segala bentuk riba, bahkan Allah dan rasul-Nya

menyatakan perang terhadap pengambil riba. Selain itu, ayat-ayat ini secara tegas

memberikan tuntutan bahwa: (1) jual beli tidak identik dengan riba dan karenanya

diperbolehkan; (2) bagi yang telah memakan riba harus segera berhenti menagih sisa

riba. 17

b. Riba Jahiliyah (����)�3�#���)

Riba jahiliyah merupakan utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam

tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.18 Adapun sebenarnya,

riba jahiliyah ini termasuk riba nas+’ah. Termasuk riba nas+’ah karena ada manfaat atau

tingkat kelebihan tertentu dari utang-piutang. Disebut jahiliyah karena riba inilah yang

dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat Arab jahiliyah sebelum Nabi Muhammad saw.

diutus. Tafsir Qurthuby menjelaskan:19 “Pada jaman jahiliyah para kreditur, apabila utang

sudah jatuh tempo, akan berkata kepada debitur, “Lunaskan hutang anda sekarang, atau

anda tunda pembayaran itu dengan tambahan.” Maka pihak debitur harus menambah

jumlah kewajiban pembayaran hutangnya dan kreditur menunggu waktu pembayaran

kewajiban tersebut sesuai ketentuan baru. 17 Muhammad, op. cit., hlm. 36-37. Muhammad mengutip dari Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono,

Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi, Edisi Pertama, Yogyakarta: BPFE, 2002, hlm. 588-590. 18 Antonio, loc. it. 19 Dalam Anonim, Macam Riba: Riba Jahiliyah (3), (Online),

(http://www.halalguide.info/content/view/691/46/), 2006.

c. Riba fadhl ( 45�#���) dan riba nas,’ (��./�#���)

Hukum riba fadhl berdasarkan pada banyak hadits, salah satunya:

��4�567������� �4�567�#�'� �8�)��9�#� �����7�:�'� �&��7���� ;� �<��:��� �<��=� >��6?�@67�#A?� �B�:� $���#� 6C�� ��

�#�?���A 67-� ����67D�E��F67�� 67�#�����F67�� 67�#�'��6 �7G�#���� ��6 �7G�#�'� ��� �B�H�#������ �B�H�#�'���I67���� ���I67�#'���#�(�7G6:#��'�#��#��� 6C� �7%�A?���7�

��#���:��&�7�%�$�J6B� 67�#�'��9��"#�K�7�6��#�6?�7��7%

Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Emas

hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung

dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan

ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan,

sesungguhnya dia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama

bersalah.” (H.R. Muslim)

Hadits seperti tersebut di atas menunjukkan larangan memperjualbelikan enam

bahan tersebut dalam dua bentuk:

1) Pertama, menjual sesuatu dengan jenisnya (barang ribawi – pen) dengan pelebihan

(tafadhul) diantara keduanya, yaitu salah satu dari pada kedua imbalannya lebih

banyak daripada yang lain. Ini adalah riba fadhl, yaitu riba penukaran lebih, karena di

dalamnya terdapat kelebihan bagi salah satu dari kedua imbalannya dari yang lain

dengan kesamaan dalam jenis dan manfaatnya (barang ribawi – pen).

2) Kedua, dalam penjualan (barang ribawi – pen) tidak terjadi saling terima (taqabudh)

di tempat penjualan. Yang demikian ini disebut riba nasa’ (penundaan). Riba ini

bukanlah riba nas+’ah. 20

Terdapat perbedaan di kalangan ulama terkait dua riba ini. Ada yang menganggap

tidak ada riba kecuali riba nas+’ah sedangkan yang lain menganggap dua hal tersebut

termasuk riba karena diterangkan oleh hadits-hadits. Ibnu Abbas r.a. termasuk orang yang

berpendapat bahwa tidak ada riba kecuali riba nas+’ah. Dia bersandar kepada apa yang

diriwayatkannya sendiri, Utsman bin Zaid dan Abdullah bin az-Zubair dari Nabi saw.,

bahwa beliau bersabda:21

�LK�%�L�#����� �#����-� �.�/

“Tidak ada riba kecuali pada riba nas�’ah.” (H.R. Bukhari)

Banyak sekali perbedaan pandangan di kalangan para ulama mengenai barang

ribawi. Kaum zhahiriyah yang tidak membuka pintu qiyas membatasi barang ribawi pada

enam hal tersebut sedangkan ulama lainnya menggunakan qiyas dan juga saling berbeda

pendapat. Secara ringkas disebutkan oleh Muhammad Syafi’i Antonio bahwa barang

ribawi meliputi:

1) emas dan perak, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya;

20 Abu Zahrah, Muhammad Abu Zahrah, Beberapa Pembahasan Mengenai Riba, diterjemahkan oleh

Abdullah Suhaili, Teluk Betung: Zaid Suhaili, 1974, hlm. 81. 21 Ibid., hlm. 82.

2) bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan

tambahan, seperti sayur-saturan dan buah-buahan. 22

3. Bunga = Riba?

Majelis Ulama Indonesia pada 16 Desember 2003 Masehi/22 Syawal 1424

Hijriyah telah memfatwakan bahwa bunga bank adalah riba. Demikian pula Sidang

Organisasi Islam (OKI) pada Desember 1970, keputusan kantor Mufti Negara Mesir

sejak 1900 s.d. 1989,23 Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) pada 1965, Akademi Fiqih

Liga Muslim Dunia, dan Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam, dan Fatwa

Kerajaan Saudi Arabia.24 Juga lembaga-lembaga seperti Majma’ul Buhuts al-Islamy di

al-Azhar Mesir pada 1965, Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-Negara OKI pada 1985,

Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy pada 1406 H, Keputusan Dar al-Itfa Kerajaan

Saudi Arabia 1979, dan Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan pada 1999.25

Kesemuanya secara tanpa ragu menetapkan bunga sebagai riba yang haram.

Sudah dijelaskan oleh penulis bahwa meskipun persentasenya sangat sedikit,

bunga bank tetap saja mendzalimi (lihat kembali pemaparan penulis mengenai riba

nas+’ah). Padahal, kata pendukung konsep bunga, bunga yang sangat sedikit dapat

dimaklumi. Jika diqiyaskan, apakah meminum khamr yang sangat sedikit asal tidak

22 Antonio, op. cit., hlm. 42. 23 Mufti adalah menteri yang mengurusi masalah-masalah fatwa. 24 Lebih lengkap mengenai fatwa lembaga-lembaga tersebut, lihat Antonio, op. cit., hlm. 65-66. 25 Untuk lembaga-lembaga ini, lihat pada konsideran Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun

2004 tentang Bunga (Intersat/Fa’idah), (Online), (http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=130).

memabukkan dihalalkan oleh Islam? Jawabannya adalah tidak dihalalkan. Demikian pula

halnya dengan bunga, meskipun sangat sedikit namanya tetap riba.26

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Berikut ini penulis kutipkan dua pendapat menarik mengenai makna berlipat

ganda dalam ayat tersebut:27

a. Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqih Islami di Paris tahun 1978,

menjelaskan bahwa secara linguistik (MBN) berarti “kelipatan”. Sesuatu yang

berlipat minimal dua kali lebih besar dari semula, sedangkan (O�BN#) adalah bentuk

jamak dalam kelipatan tadi. Minimal jamak adalah tiga.28 Dengan demikian, (�%�BN#)

berarti 3x2=6 kali. Adapun (�5��4E) dalam ayat adalah ta’kid (?�!�G��) untuk

penguatan. Dengan demikian, menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat

maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%.

Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan

maupun simpan pinjam.

b. Syekh Umar bin Abdul Aziz al-Matruk, penulis buku ar-Riba wal-Muamalat al-

Mashrafiyyah fi Nadzri ash-Shariah al-Islamiah, menegaskan: “Adapun yang 26 Perlu diperhatikan bahwa riba masuk kategori dosa besar. Banyak hadits-hadits menjelaskan mengenai

dosa riba, bahkan dosanya melebihi dosa zina meski hanya sebesar satu dirham. Ada sebuah anekdot, ini mengutip dari perkataan Muhammad – Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Yogyakarta – pada mata kuliah Manajemen Investasi Syari’ah Kuliah Non Kurikuler Ekonomi Islam 2007 Shariah Economics Forum UGM. Beliau mengatakan bahwa, “Padahal lebih enak zina daripada riba.” Ini hanya sebuah anekdot saja, bukan menyarankan melakukan zina. Na’udzubillahi min dzalik.

27 Dalam Antonio, op. cit., hlm. 56-57. 28 Saya coba jelaskan hal ini. Dalam bahasa Arab, jamak minimal adalah tiga. Bahasa Arab mengenal

penyebutan untuk dua buah dimana tidak disebut sebagai bentuk jamak. Setiap penyebutan memiliki perubahan kata. Misal, kata anta diperuntukkan untuk kata tunjuk kamu laki-laki tunggal (mufrad). Anta menjadi antum, untuk kata tunjuk kamu laki-laki/perempuan dua orang (tatsniyyah). Kemudian, anta menjadi antum untuk kata tunjuk kamu laki-laki/campuran laki-laki dan perempuan minimal tiga orang (jam’un). Contoh lain: akhun (satu saudara laki-laki), akhaw,n (dua saudara laki-laki), ikhwah (saudara laki-laki jamak), ukhtun (satu saudara perempuan), ukht,n (dua saudara perempuan), dan akhaw,t (saudara perempuan jamak).

dimaksud dengan ayat 130 surah 2li Imr,n, termasuk redaksi berlipat ganda dan

penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus

sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum

bahwa dia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat ganda sesuai

dengan berjalannya waktu. Dengan demikian, redaksi ini (berlipat ganda) menjadi

sifat umum dari riba dalam terminologi syara’ (Allah dan Rasul-Nya).”

B. SISTEM OPERASIONAL BANK SYARI’AH

Untuk menghindari riba, maka dikonseplah suatu sistem perbankan yang sesuai

dengan syari’ah. Maka, dihasilkan konsep perbankan syari’ah. Secara garis besar,

hubungan ekonomi berdasarkan syari’ah ditentukan oleh hubungan aqad yang terdiri dari

lima konsep dasar aqad.29 Muhammad menjelaskan kelima konsep tersebut sebagai

berikut:30

1. Prinsip simpanan murni (al-wadi’ah)

Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh bank syari’ah untuk

memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan

dananya dalam bentuk al-wadi’ah. Fasilitas al-wadi’ah biasa diberikan untuk tujuan

investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya giro dan tabungan. Dalam

dunia perbankan konvensional, al-wadi’ah identik dengan giro.

2. Bagi hasil (syirkah)

Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara

penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara

29 Muhammad, op. cit., hlm. 86. 30 Ibid., hlm. 87.

bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana.

Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah mudharabah dan musyarakah.

Lebih jauh prinsip mudharabah dapat dipergunakan sebagai dasar baik untuk produk

pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan,31 sedangkan musyarakah

lebih banyak untuk pembiayaan atau penyertaan.

3. Prinsip jual beli (at-tijarah)

Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank

akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah

sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank,32 kemudian bank

menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah

keuntungan (margin). Implikasinya dapat berupa murabahah, salam, dan istishna’.

4. Prinsip sewa (al-ijarah)

Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada dua jenis: (1) ijarah, sewa murni, seperti

halnya penyewaan traktor dan alat-alat produk lainnya (operating lease). Dalam

teknis perbankan, bank dapat membeli dahulu equipment yang dibutuhkan nasabah

kemudian menyewakan dalam waktu dan hanya yang telah disepakati kepada

nasabah. (2) Bai’ al-takjiri atau ijarah al-muntahiya bit-tamlik merupakan

31 Dalam perbankan konvensional, istilah pembiayaan identik dengan istilah kredit. Hal ini dikarenakan

tidak semua pembiayaan dikredit atau diangsur, misalnya pembiayaan mudharabah dan musyarakah. 32 Saya pribadi melihat kerancuan konsep pada hal ini. Ketika nasabah menginginkan suatu barang dan

mengatakan kepada bank bahwa dia menginginkan suatu barang, kemudian bank membelikan barang dengan mengangkat nasabah sebagai wakil bank untuk membeli. Kemudian nasabah membawa barang kepada bank dan bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan angsuran. Meski akadnya nasabah menjadi wakil bank saat membeli barang, namun proses ini hampir sama dengan utang-piutang karena yang membeli barang adalah sang nasabah sendiri. Akan lebih aman jika bank membeli barang namun didampingi oleh nasabah. Sistem murabahah merupakan sistem bank syari’ah yang hampir mirip sistem bank konvensional dan perlu diwaspadai.

penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki

barang pada akhir masa sewa (financial lease).33

5. Prinsip jasa/fee (al-ajr walumullah)

Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk

produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain bank garansi, kliring, inkaso, jasa,

transfer, dll. Secara syari’ah, prinsip ini didasarkan pada konsep al-ajr wal umulah.

C. MUDHARABAH: KARAKTERISTIK DASAR BANK SYARI’AH

Karakteristik dasar bank syari’ah adalah penggunaan sistem mudharabah sebagai

ganti sistem bunga. Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak yang salah satu

pihak menyerahkan harta (modal) kepada yang lain agar diperdagangkan, dengan

pembagian keuntungan di antara keduanya sesuai dengan kesepakatan.34 Saat

berhubungan dengan nasabah penyimpan dana maka bank bertindak sebagai pengelola

dana (mudharib) sedangkan saat berhubungan dengan nasabah penerima dana maka bank

bertindak sebagai penyandang dana (shahibul m�l).35 Dengan nasabahnya (baik

33 Dikatakan oleh Muhammad dalam salah satu sesi pada Short Course Perbankan Syari’ah Sekolah

Tinggi Ilmu Ekonomi Yogyakarta pada bulan Desember 2006 bahwa bai’ al-takjiri atau ijarah al-muntahiya bit-tamlik bukanlah seperti praktek leasing (sewa-beli) yang dikenal saat ini. Praktek leasing konvensional mengenal sistem sewa-beli sebagai berikut: A menjual barang kepada B. Dalam akad mereka, A berjanji menyewa barang yang dijualnya tadi kepada B. Hal ini dilarang dalam Islam karena ada dua akad dalam satu transaksi. Mengenai dua akad dalam satu transaksi lainnya yang tidak dibolehkan adalah jual-beli inai, yaitu contohnya A menjual barang kepada B namun dengan perjanjian suatu ketika A akan membeli lagi dari B.

34 Khalid Syamhudi, Hakikat Mudharabah, (Online), (http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more& article_id=2073&bagian=0), 2006.

35 Istilah inilah yang lazim dikenal saat ini di dunia perbankan syari’ah. Menurut saya, istilah ini selayaknya diperbaiki karena bagaimanapun juga bank bukanlah pemilik dana melainkan hanya perantara (wakil). Hal inilah yang dikritik oleh Zaim Saidi dalam Contradictio in Terminis: Kritik Atas Perbankan Syariah. Disebutkan olehnya pada halaman 60 bahwa bank menelikung dana umat karena kadang bank bertindak sebagai mudharib dan kadang sebagai shahibul m�l padahal yang dikelolanya adalah dana nasabah. Kritik Saidi ada benarnya, namun Saidi tampaknya tidak mengetahui bahwa nasabah penyimpan dana sudah sepakat dengan sistem mudharabah dan membagi keuntungan dengan bank sebagai mediator. Maka, hal itu adalah sah menurut pandangan Islam.

penyimpan maupun pengelola), bank membagi keuntungan dengan nisbah (rasio)

tertentu, misalnya 40:60, 50:50, 49:51, dsb.36

Mudharabah terdiri dari dua jenis, yaitu:37

1. Mudharabah mutlaqah (unrestricted)

Pemilik dana memberikan otoritas dan hak sepenuhnya kepada pengelola dana untuk

menginvestasikan atau memutar uangnya.

2. Mudharabah muqayyadah (restricted)

Pemilik dana memberi batasan kepada mudharib. Di antara batasan ini, misalnya,

adalah jenis investasi, tempat investasi, serta pihak-pihak yang dibolehkan terlibat

dalam investasi. Pada jenis ini, penyandang dana dapat pula mensyaratkan kepada

pengelola dana untuk tidak mencampurkan hartanya dengan dana al-mudharabah.

D. KEBOLEHAN BAGI BANK MENJUAL BARANG DENGAN HARGA LEBIH

TINGGI DARIPADA JIKA DIBELI KONTAN

Sebagian orang mengatakan bahwa menjual barang dengan harga tinggi untuk

pembelian angsuran daripada jika dibeli kontan tidak diperbolehkan. Hal itu seperti

dikatakan oleh Zaim Saidi sebagai berikut:38

Jadi, kalau ada nasabah yang ingin beli motor, karena tidak punya uang, bank akan membelikan lebih dulu. Jadi, pihak bank yang membelinya lebih dulu, katakanlah seharga 10 juta. Lantas, harga motor itu bisa menjadi 15 juta dari pihak bank nantinya. Maka, kalau si nasabah oke, dia harus membayar 15 juga atas dasar kesepakatan. Kuncinya kan bersepakat. Nah, di situ yang menjadi soal adalah: kenapa harga motor yang 10 juta dijual seharga 15 juta? Jawabannya, karena pembayarannya dengan cara

36 Keuntungan yang dibagi bisa dihitung berdasarkan keuntungan kotor (gross profit) maupun

keuntungan bersih (net profit). 37 Antonio, op. cit., hlm. 138-139. 38 Saidi, Bebas Bunga, Tak Berarti Bebas Riba, (Online),

(http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=466), 2003.

cicilan. Pertanyaaan berikutnya: kenapa kalau mencicil, harganya membengkak dari 10 juta menjadi 15 juta? Jawabannya, karena cicilannya memakan tempo 5 atau 10 tahun. Jadi, di situ waktu menjadi satu-satunya faktor yang membuat harga jadi berubah. Dan sebetulnya, waktu yang dihargakan dengan uang, atau time value of money itulah yang bisa disebut riba.

Jawabannya simpel. Apakah ada nash yang melarangnya? Bagaimanapun, masalah harga adalah negosiasi antara penjual dan pembeli. Ini adalah jual-beli, bukan utang-piutang.39 E. RAHN: PENGGANTI DENDA Jika denda merupakan riba jahiliyah, maka dapat digantikan oleh rahn. Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.40 Dalam bank syari’ah, apabila sang nasabah tidak dapat mengangsur, maka jaminan yang dia serahkan terlebih dahulu dapat dipaksakan dijual oleh bank. Sebuah nash Al-Qur’an mengatur hal ini dan banyak hadits yang mengaturnya. Saya akan kutip Q.S. al-Baqarah (2): 283:

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)....” F. PENJELASAN SINGKAT BEBERAPA ISTILAH DALAM BANK

SYARI’AH41 Al-qardh Pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali

atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.

Bai’ al-istishna’ Kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lian untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.

Bai’ as-salam Pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.

Hawalah Pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya (anjak piutang – pen).

39 Lebih lengkapnya, lihat Abu Zahrah, op. cit., hlm. 61-63 dan Muhammad, Manajemen Pembiayaan

Bank Syari’ah, Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN, 2005, hlm. 121-123. Lihat pula Q.S. al-Baqarah (2): 275 yang mengatakan bahwa orang-orang menganggap jual beli sama dengan riba padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

40 Antonio, op. cit., hlm. 128. 41 Seluruh penjelasan pada subbab ini mengutip pada Antonio, op. cit.

Ijarah Aad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.

Kafalah Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.

Murabahah Jual beli barang pada harga asal dengan tamnbahan keuntungan yang disepakati.

Musyarakah Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resik akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Salam paralel Melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara stimultan.

Wakalah Penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank

Syariah bukan hanya mencari solusi mengenai pembiayaan bagi hasil perbankan syariah

tetapi juga mengarah pada seluruh kegiatan perbankan yang mengacu pada sistem prinsip

bank syariah mandiri. Sistem Prinsip Bank Syariah tersebut sudah dapat dijadikan

sebagai solusi alternatif dalam era kompetisi pada dual banking system yang dianut

dewasa ini dalam menghidupkan sektor riil terutama sektor usaha mikro, kecil, koperasi,

dan menengah yang seharusnya menjadi pusat keberpihakan para perumus dan pengambil

kebijakan.

Untuk memelihara perkembangan tersebut secara teratur dan berkesinambungan

maka sasaran pengembangan perbankan syariah diarahkan pada beberapa hal. Pertama,

Meningkatkan manfaat perbankan syariah bagi kesejahteraan masyarakat.Kedua,

mewujudkan perbankan syariah yang sehat, kompetitif, dan efisien; Ketiga, menjamin

pemenuhan prinsip syariah secara konsisten berdasarkan mudharabah (partnership);

Keempat, menjamin penerapan prinsip kehati-hatian (prudential) dalam operasional

perbankan syariah; dan Kelima, sistem perbankan syariah tidak hanya memfokuskan diri

untuk menghindari praktik bunga tetapi harus pula mengimplementasikan semua prinsip

syariah dalam kegiatan ekonomi (islamisasi ekonomi).

Selain itu perlunya kesiapan sumberdaya insani yang bukan hanya untuk

keperluan perbankan syariah tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan institusi syariah non-

bank seperti asuransi, gadai, pasar modal dan lain-lain, yang merupakan institusi

komplemen dari bank syariah. Selain itu mereka harus menguasai dan mampu

mengaplikasikan standar administrasi dan pengelolaan prinsip syariah pada pengelolaan

keuangan yang telah ditetapkan oleh IFSB (International Financial Standards Board).

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. 1974. Beberapa Pembahasan Mengenai Riba, diterjemahkan oleh Abdullah Suhaili. Teluk Betung: Zaid Suhaili.

Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Macam Riba: Riba Nasi-ah (2), (Online), (http://www.halalguide.info/content/ view/690/46/).

Macam Riba: Riba Jahiliyah (3), (Online), (http://www.halalguide.info/content/view/691/46/).

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2005. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani.

_______________. 2005. Lembaga Keuangan Syariah: Katalis Penguatan Ekonomi Ummat. Power point yang disampaikan pada Temu Ilmiah Nasional Forum Silaturahmi Studi Ekonomi Islam IV di Universitas Mataram Lombok.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Intersat/Fa’idah), (Online), (http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=130).

Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syari’ah. Edisi Revisi. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.

_______________. 2005. Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah. Yogyakarta: Unit

Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.

Prinsip Dasar Perbankan Syariah Mandiri, oleh Achmad Baraba

Saidi, Zaim. 2003. Bebas Bunga, Tak Berarti Bebas Riba, (Online), (http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=466).

_______________. 2003. Contradictio in Terminis: Kritik atas Perbankan Syariah. Jurnal Ekonomi Syariah Muamalah, Vol. 2, No. 2. Yogyakarta: Shariah Economics Forum Universitas Gadjah Mada, hlm. 53-65.

Syamhudi, Hakikat Mudharabah, (Online), (http://www.almanhaj.or.id)

www. Tempointeraktif.com

Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.