memahami vbvbvparadigma transisi demokrasi di indonesia

25
MEMAHAMI PARADIGMA TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA Pendahuluan Dalam penghujung abad 20, beberapa fenomena yang berlangsung di beberapa wilayah telah mengubah lansekap politik dunia. Fenomena itu adalah : 1) Jatuhnya rejim otoriter sayap kanan di selatan Eropa pada pertengahan tahun 1970an 2) pergantian diktator militer oleh pemerintah sipil terpilih seantero Amerika Latin mulai akhir 1970 sampai akhir 1980 3) menurunnya aturan otoriter di Asia Selatan dan Timur yang dimulai pertengahan tahun 1980 4) hancurnya rejim komunis di eropa Timur pada akhir 1980 5) bubarnya Uni Sovyet dan berdirinya 15 republik paska Sovyet tahun 1991 6) menurunnya rejim satu partai di banyak negara di Afrika pada pertengahan tahun 1990an 7) trend liberalisasi di beberapa negara Timur Tengah dalam tahun 1990an (Carothers, 2002) 1

Upload: yudi-tyu

Post on 10-Nov-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dfdf

TRANSCRIPT

JEBAKAN PARADIGMA TRANSISI DEMOKRASI*)

MEMAHAMI PARADIGMATRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIAPendahuluan Dalam penghujung abad 20, beberapa fenomena yang berlangsung di beberapa wilayah telah mengubah lansekap politik dunia. Fenomena itu adalah : 1) Jatuhnya rejim otoriter sayap kanan di selatan Eropa pada pertengahan tahun 1970an 2) pergantian diktator militer oleh pemerintah sipil terpilih seantero Amerika Latin mulai akhir 1970 sampai akhir 1980 3) menurunnya aturan otoriter di Asia Selatan dan Timur yang dimulai pertengahan tahun 1980 4) hancurnya rejim komunis di eropa Timur pada akhir 1980 5) bubarnya Uni Sovyet dan berdirinya 15 republik paska Sovyet tahun 1991 6) menurunnya rejim satu partai di banyak negara di Afrika pada pertengahan tahun 1990an 7) trend liberalisasi di beberapa negara Timur Tengah dalam tahun 1990an (Carothers, 2002)Penyebab, bentuk dan langkah trend berbeda tersebut di atas bervariasi. Namun kesemuanya menunjukkan karakteristik gerakan simultan, yakni perubahan dari aturan diktatorial menjadi lebih liberal dan demokratisasi pemerintahan. Hasilnya seringkali dilihat oleh banyak pengamat, terutama pengamat barat, sebagai trend global demokrasi sebagaimana dipopulerkan oleh Samuel Huntington sebagai the third wave of democracy. Kerangka kerja analisa untuk mengkonseptualisasi dan merespon kejadian-kejadian politik ini pun dibentuk. Literatur demokratisasi berkembang pesat dalam dua dasawarsa terakhir, dengan hadirnya sejumlah pendekatan teoritis berbeda untuk mempelajari perubahan rejim. Pendekatan modernisasi pada demokratisasi, sebagai contoh, menekankan pada perlunya prasyarat sosial dan ekonomi tertentu dalam negara bagi keberhasilan transisi yang terjadi. Yakni, tingkat pembangunan sosio-ekonomi diimbuhkan untuk berkorelasi dengan potensialitasnya pada keberhasilan demokratisasi, dengan tingginya pembangunan yang mencirikan peluang terbaik bagi pencapaian demokrasi (Doorenspleet, 2005; Potter, 1997). Pendekatan modernisasi sangat populer dalam konteks paska perang dunia ke II. Konsepsi modernisasi yang linear, tidak berbalik (irreversible), dan proses teleologis dengan demokrasi liberal dan kapitalisme pada akhirnya dapat dilihat memiliki pengaruh yang sangat kuat pada studi berikutnya tentang demokratisasi dan konsolidasi. Terutama pada mereka yang menetapkan tiga atau empat tahap perjalanan pada transisi atau konsolidasi (seperti Walt Rostow, 1960).

Teori dependensi atau pendekatan sistem dunia pada transisi kemudian berkembang sebagai suatu respon dari menurunnya popularitas teori modernisasi. Teori ini menggantikan fokus penekanan pada pembangunan sosio-ekonomi dengan penilaian posisi historis dalam sistem politik ekonomi dunia suatu negara (Doorenspleet, 2005). Dependensi atau ketergantungan adalah hubungan tidak sama antara dua negara. Pemahaman ini digunakan untuk merepresentasikan kaitan antara negara kapitalis atau negara maju dan negara berkembang, dengan fokus pada dampak imperialisme dan neokolonialisme pada kondisi sosio-ekonomi negara berkembang (Ghosh 2001). Teori dependensi ini tidak berasumsi bahwa semua negara industrialis akan mengikuti jejak yang sama, mengalami meningkat sama, dan tidak menunjukkan satu model modernitas (Gilman, 2003). Bagaimanapun juga ide ini sebagaimana dipresentasikan model dasar, negara semi peripheral dan peripheral oleh Wallersteins (1974, 1980, 1989) dan model ekonomi dunia Braudel (1984), mempunyai fondasi deterministik yang mengasumsikan transisi demokrasi dimungkinkan terjadi hanya pada negara tertentu saja. Ini berimplikasi bahwa transisi demokrasi dan demokratisasi harus selalu menghadirkan jejak atau karakteristik yang sama terlepas dari keistimewaan khas negara bangsa tersebut. Seperti diungkapkan Gilman (2003), teori modernisasi dan sistem dunia berbagi cinta dari metanaratif, yakni keduanya mengkonstruksikan model yang diklaim tidak hanya untuk menjelaskan bagaimana setiap orang pergi ke tempat dimana mereka berada, tapi juga menyajikan kerangka kerja untuk memprediksikan masa depan.

Tinjauan Teori Transisi Demokrasi

Dengan dipengaruhi karya Rostow (1970) dalam mengidentifikasi apa yang dinamakan interval antara satu rejim politik dan yang lain Guillermo O.Donnell and Philippe Schmitter (1986) membuat gagasan transisi sebagai perhatian utama perbandingan politik. Para penganjur demokrasi kemudian memperluas model tersebut menjadi paradigma universal untuk memahami demokratisasi. Paradigma transisi sangat berguna semasa kejadian-kejadian berlaku. Namun secara meningkat jelas terlihat bahwa realita tidak lagi sesuai dengan model tersebut. Banyak negara yang disebut transisional tidak dalam transisi menuju demokrasi. Banyak pula negara-negara yang tidak mengikuti model tersebut saat transisi demokrasi berjalan. Carothers (2002) menguraikan lima asumsi dasar yang menjelaskan paradigma transisi. Pertama, yang merupakan payung dari kesemuanya, adalah sebuah negara yang bergerak menjauh dari aturan-aturan diktatorial dapat dipahami sebagai negara dalam transisi menuju demokrasi. Kedua, asumsi bahwa demokratisasi cenderung untuk dikemas dalam rangkaian urutan tahapan-tahapan. Diawali dengan pembukaan, sebuah periode dari gejolak demokrasi dan liberalisasi politik dimana tampak perpecahan dalam rejim diktator yang berkuasa. Kemudian diikuti penerobosan, hancurnya sebuah rejim dan kemunculan cepat sistem demokrasi baru dengan datangnya pemerintah baru melalui pemilihan nasional dan penguatan struktur kelembagaan demokrasi. Setelah transisi datanglah konsolidasi, proses lambat namun bertujuan dimana bentuk-bentuk demokrasi ditransformasikan menjadi demokrasi substansif melalui reformasi kelembagaan negara, regularisasi pemilihan, penguatan masyarakat sipil dan pembiasaan keseluruhan masyarakat pada aturan main baru yakni demokrasi.

Ketiga, asumsi yang mempercayai determinasi pentingnya sebuah pemilihan (elections). Keempat, asumsi bahwa kondisi yang melandasi transisi suatu negara seperti tingkat ekonomi, sejarah politik, warisan kelembagaan, etnis, tradisi sosiokultural dan jenis-jenis struktural lainnya tidak akan menjadi faktor utama pada saat atau pada hasil proses transisi.

Kelima, paradigma transisi bersandar pada asumsi bahwa transisi demokrasi yang membuat gelombang ketiga dibangun pada negara koherent. Proses demokratisasi diasumsikan melibatkan beberapa desain ulang kelembagaan negara seperti penciptaan institusi pemeilihan baru, reformasi parlemen, feromasi lembaga yudisisial, tapi hanya sebagai modifikasi dari fungsi negara yang telah ada sebelumnya.

Tampaknya, upaya-upaya untuk menilai kemajuan gelombang ketiga demokrasi terkadang ditolak sebagai hal yang prematur. Yang pasti, demokrasi itu tidak dibangun dalam hari dimana aktivis demokrasi menuntut hal tersebut. Terlampau dini untuk mencapai penilaian tentang hasil lusinan transisi demokrasi diutarakan dalam dua dekade terakhir (Carothers, 2002).

Dari 100 negara yang dipahami mengalami transisi demokrasi dalam tahun terakhir, kurang dari 20 negara yang secara jelas berada di rute untuk berhasil menuju demokrasi atau demokrasi yang berfungsi baik. Setidaknya telah membuat beberapa kemajuan demokratis dan masih menikmati posisi dinamis dari demokratisasi. Negara-negara tersebut utamanya dapat ditemukan di Eropa Tengah dan wilayah Baltik, Hungaria, Republik Ceko, Estonia, Slovenia. Kemudian sedikit di wilayah Amerika Selatan dan Asia Barat seperti Chili, Uruguay dan Taiwan. Negara-negara yang sedikit kemajuannya tapi tampak masih melaju adalah Slovakia, Romania, Bulgaria, Mexico, Brazil, Ghana, Filipina, dan Korea Selatan.

Mayoritas negara-negara gelombang ketiga secara relatif tidak mencapai keberfungsian demokrasi atau tidak tampak untuk mendalami atau melaju ke arah kemajuan demokrasi yang dilaksanakan. Dalam jumlah kecil, mulainya political openings jelas gagal dan rejim oyoriter kembali membuat solid dirinya, seperti di Uzbekistan, Turkmenistan, Belarus dan Tongo. Kebanyakan dari negara-negara transisional, bagaimana pun juga, tampak malah menjadi negara diktatorial atupun tidak jelas mengarah pada demokrasi. Mereka memasuki zona politik abu-abu (Carothers, 2002). Negara-negara itu memiliki beberapa atribut kehidupan demokratis, termasuk setidaknya ruang politik terbatas bagi partai oposisi dan masyarakat sipil (civil society) independen. Juga mereka menggelar pemilihan umum reguler dan memiliki konstitusi yang demokratis. Namun, negara-negara ini menderita defisit demokrasi seperti representasi dan ketertarikan buruk dari warganegara, tingkat partisipasi politik rendah dalam pemilihan umum, kerapkali terjadi penyalahgunaan hukum oleh pejabat pemerintah, ketidakpastian legitimasi sebuah pemilihan umum, tingkat kepercayaan publik yang rendah pada institusi negara, dan buruknya perfomance institusional negara secara terus menerus.

Para analis politik kemudian mensikapi variasi aktual tersebut dengan menyediakan sederet istilah kualifikasi demokrasi untuk mengkarakterisasi negara-negara tersebut seperti semi-democracy, formal democracy, electoral democracy, faade democracy, pseudo-democracy, weak democracy, partial democracy, illiberal democracy, and virtual democracy. Beberapa istilah tersebut yakni faade democracy dan pseudo-democracy hanya dapat digunakan pada kasus-kasus spesifik zona abu-abu (Carothers, 2002).

Dengan menggambarkan negara-negara dalam zona abu-abu sebagai tipe demokrasi, analis politik mencoba untuk menerapkan paradigma transisi pada negara-negara yang evolusi politiknya mempertanyakan paradigma tersebut ( O.Donnell, 1994). Banyak dari istilah kualifikasi demokrasi yang digunakan untuk mengkarakterisasi negara-negara menjadi terhenti pada asumsi sekuen demokratisasi, biasanya pada permulaan dari fase konsolidasi.

Carothers (2002) lebih lanjut menyimpulkan bahwa asumsi yang melandasi paradigma transisi telah hancur. Pertama, asumsi bahwa setiap negara yang bergerak menjauh dari kediktatoran adalah dalam transisi menuju demokrasi. Asumsi ini tidak akurat dan sering salah arah. Dalam kenyataannya beberapa negara menunjukkan kesukarannya untuk berdemokratisasi. Keberlanjutan penggunaan paradigma transisi membentuk kebiasaan berbahaya dengan berupaya untuk menentukan tatanan konseptual simplistis dan tidak tepat pada tabel empiris dari kompleksitas yang disadari.

Kedua, bukan saja label umum dan konsep negara tradisional yang tidak bermanfaat, namun asumsi sekuen dari tahapan demokratisasi yang dibagi atas rekaman pengalaman. Kasus demokratisasi dalam tahun terakhir semacam Taiwan, Korea Selatan, dan Mexico tidak berjalan melalui proses paragdimatis demokrasi penerobosan yang diikuti secara cepat oleh pemilu nasional dan kerangka kerja institusional demokratis yang baru.

Ketiga, asumsi bahwa pencapaian pemilihan umum yang tulen, regular tidak hanya akan menunjukkan legitimasi demokratis pada pemerintahan baru akan tetapi juga secara terus menerus memperdalam partisipasi politik dan akuntabilitas demokrasi seringkali tidak berjalan lama. Dalam banyak begara tradisional, pemilihan umum yang tulen, regular memang digelar namun partisipasi politik di hadapan pemilih dan akuntabilitas pemerintah tetap lemah. Jurang pemisah yang lebar antara elit politik dan warganegara di banyak negara berakar dari kondisi struktural seperti konsentrasi kesejahteraan atau tradisi sosiokuktural tertentu. Seringkali pula terjadi kompetisi pemilihan hanya sedikit menstimulasi pembenahan atau pembangunan partai politik. Patologi semacam partai personalistis, partai sementara dan partai bergeser atau politik berbasis patronase stagnan tampak dapat eksis untuk periode berlanjut dengan mendapatkan proses legitimasi pluralisme politis dan kompetisi ala kadarnya.

Keempat, prakondisi demokrasi yang dengan gegap gempita ditabukan pada masa awal gelombang ketiga, secara kontras berhadapan dengan realitas fakta yang menunjukkan bahwa kondisi struktural secara nyata memberikan bobot beban pada pembentukan keluaran politik. Sebagai contoh apa yang cenderung ditemukan di Eropa Tengah atau Asia Timur sangat jelas menunjukkan betapa kesejahtaraan ekonomi juga pengalaman lalu dengan pluralisme politik berkontribusi pada perubahan bagi keberhasilan demokrasi. Dan melihat secara komparatif dalam wilayah, apakah di dunia bekas komunis atau sub-Sahara Afrika, terdapat bukti bahwa warisan institusional tertentu dari rejim sebelumnya berpengaruh kuat pada hasil transisi yang diharapkan.

Kelima, state-building telah menjadi masalah yang sangat besar dan problematis ketimbang yang asalnya dibayangkan dalam paradigma transisi. Berlawanan dengan asumsi awal pradigma transisi, banyak negara gelombang ketiga menghadapi tantangan state-building yang fundamental. Kurang lebih 20 negara di bekas Uni Sovyet dan bekas Yugoslavia mencoba membangun institusi negara nasional yang belum pernah ada sebelumnya. Di beberapa bagian kawasan Amerika Latin, Timur Tengah dan Asia, perubahan politik dilakukan dalam konteks struktur negara stabil namun perfomance tak menentu dari negara-negara tersebut memperumit setiap langkah. Saat state-building dari keterpurukan harus dilakukan, inti dorongan dan kepentingan pemegang kekuasaan seperti dengan segera mengunci akses kekuasaan dan sumberdaya, langsung berlawanan dengan pembangunan demokrasi yang dibutuhkan. Perubahan Rejim di Indonesia Perubahan rejim Orde Baru ke orde Reformasi ditandai pemilihan umum 1999 di Indonesia pun kerap kali dilihat dan diterjemahkan atas bingkai yang sama yakni transisi demokrasi. Misalnya seperti yang diungkapkan oleh Ikrar Nusa Bakti (2002) bahwa secara teoritis transisi dari rejim otoriter pada demokrasi dipahami mengambil tempat dalam fase-fase berbeda. Sedikitnya ada empat fase yang seharusnya dijalani oleh politik Indonesia, yakni : pra-transisi, liberalisasi, transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi. Tahap utama dasi demokrasi (maturasi) diperkirakan terjadi dalam periode yang lama. Adapun pendapat Ikrar tersebut di atas didasarkan formulasi yang diajukan oleh Gerry Van Klinken (1999) yang membagi transisi pada empat tahap berbeda yakni : pembusukan sistem otoriter, transisi, konsolidasi dan akhirnya maturasi. Dengan menggunakan metode tersebut, Ikrar (2002) pun akhirnya harus menempatkan pada tulisannya ihwal zona abu-abu demokrasi khususnya di masa pemerintahan Presiden Megawati . Selanjutnya ia menyimpulkan bahwa transisi politik Indonesia tidak berjalan maju namun mundur dan tidak ada garansi transisi akan berjalan maju pada demokrasi per se. Akhirnya ia mengutip sebuah pendapat dari Harian Kompas 20 Juli 2002 yang menyatakan bahwa transisi demokrasi di Indonesia ditandai dengan situasi dimana prosedur demokrasi dijalankan tapi substansi demokrasi dihiraukan.

Dengan demikian realitas politik yang dialami oleh Indonesia pada perubahan rejim tampaknya sangat sulit bila dipahami dengan paradigma transisi yang cenderung linear dan deterministik Perlunya konsepsi yang lebih fleksibel dari demokratisasi terefleksikan dari teoritisi transisi baru-baru ini yang mengembangkan kategori penamaan bagi negara yang gagal untuk maju dalam model linear yang mereka prediksikan.

Ada upaya lain sebagaimana diajukan oleh Rachael Chadwick (2006) yakni melalui pendekatan yang dinamakan path-shaping. Pendekatan ini beranjak dari pemikiran historis-struktural. Pendekatan awal dari transisi demokrasi dan demokratisasi dalam pemikiran historis-struktural membagi ketertarikan pada struktur dalam negara, dan kontribusinya pada perubahan sebuah rejim. Struktur kekuasaan dipahami untuk membatasi dan menyusun perwakilan kelompok-kelompok dan individual, yang pada gilirannya mempengaruhi bagaimana kemampuan dan keinginan rakyat dipaksa untuk melakukan demokratisasi. Teori ini awalnya berfokus bukan pada perwakilan dari elit atau kelompok sipil saja, tapi pada bagaimana struktur kekuasaan dan jaringan membatasi pilihan-pilihan politik yang memungkinkan untuknya (Doorenspleet, 2005). Ini melibatkan pemahaman sejarah negara bangsa dan proses perubahan historis. Cara struktur ekonomi, sosial dan politik setiap saat bertransformasi dipelajari guna diketahui bagaimana batasan evolusinya, atau menyediakan opening bagi perubahan politik (Potter , 1997)

Bagaimanapun juga, para teoritisi memiliki perbedaan pada kepastian seberapa besar mereka percaya warisan sejarah mempengaruhi jejak demokratisasi. Sebagaimana diungkapkan oleh Hausener dkk (1995) bahwa dalam pendekatan historis-struktural terdapat kontinum posisi yang memungkinkan. Di sisi ekstrim akan terlihat transisi politik sebagai bentuk penolakan dan perubahan penuh sistem lama dan mengganti semuanya dengan institusi atau struktur baru. Spektrum sisi lain adalah pendekatan deterministik historis yang berasumsi bahwa pembangunan jejak terkunci dan tidak berbalik (irreversible) saat dimulai.

Pendekatan path-dependent mempelajari warisan struktural dan isntitusional dari rejim pra-transisi dan dampaknya pada paska-transisi, pemerintah demokratis. Pendekatan ini menegaskan bahwa warisan historis mendikte arah jejak demokrasi dan tidak mungkin terkalahkan. Mahoney (2001) contohnya, menegaskan bahwa keputusan kunci dari elit yang ia namakan critical juncture dalam sejarah bertanggung jawab bagi hasil keluaran selanjutnya dalam proses perkembangan politik. Keputusan historis membuat pola institusional menjadi lebih mengekalkan diri, dan kemudian beberapa aspek perkembangan politik dapat diprediksi. Pendekatan studi transisi dan demokratisasi semacam ini secara kuat membawa pada determinisme historis, dan tidak membolehkan bagi perkembangan tidak terduga yang dapat merusak proses pergantian rejim atau demokratisasi setelah critical juncture terjadi.

Asumsi bahwa negara bangsa terletak pada jejak yang satu, tidak berubah dan linear oleh kejadian-kejadian historis penting dan/ atau keputusan, dan kemudian jejak ini akan diikuti oleh hal yang dapat diprediksi, berimplikasi bahwa semua negara demokratis akan mengikuti, pada batas tertentu, pola perkembangan yang sama. Argumen bahwa penjenjangan politik negara dapat diprediksi sangat problematik. Ini mengabaikan kealamian kontekstual dari transisi politik dan demokratisasi. Sejarah memiliki jam tayang dan juga sistem politik tidak selalu stay the course pada demokratisasi.

Proses transisi rejim di Indonesia melalui pendekatan historis-struktural yang mulai sekarang dipahami sebagai path-shaping, istilah yang dipinjam dari Hausner dkk (1995). Berbeda dengan path-dependency yang berfokus pada satu jejak demokratisasi yang terbangun secara historis, dimana tidak dapat secara signifikan dihancurkan atau diarahkan kembali oleh kekuatan internal atau eksternal, pendekatan path-shaping menyadari bahwa tidak ada penjenjangan yang satu dan linear dari demokratisasi. Warisan dari rejim pra-transisi dipahami sebagai hal penting dalam membentuk, dan seringkali menghambat aspek-aspek berbeda dari demokratisasi, namun tidak dilihat sebagai penentu tunggal bagaimana demokratisasi dikemas. Saat limitasi terjadi, kelompok-kelompok atau elit dapat bertindak untuk mengalahkannya akan tetapi keinginan dan kapasitas ,ereka untuk melakukannya mungkin dibatasi oleh kesinambungan pengaruh dari praktek atau mentalitas pra-transisi tertentu (Hausner, Jessop, and Nielsen 1995). Pendekatan ini tidak mengasumsikan akan tetapi lebih pada menggarisbawahi ketidakpastian, non linear dan keberlanjutan jejak politik.

Kesimpulan Minimnya konsensus dalam pemahaman akademik tentang demokrasi, transisi dan konsolidasi bukanlah manifestasi dari inkompetensi konseptual melainkan lebih pada persoalan realita politik (Schedler, 2001a). Yakni demokratisasi secara inheren adalah proses yang tidak dapat diprediksikan, yang bergerak tidak hanya ke depan tapi juga ke belakang, ke pinggir dan secara diagonal berubah langkahnya. Demokratisasi di sini tidak dilihat secara tradisional sebagai yang biasa dan pasti melainkan pada mungkin dan tak terduga. Meminjam gagasan Whitehead (2002), diskusi demokrasi dalam makalah ini adalah pemahaman istilah demokratisasi sebagai a long-term and somewhat open-ended outcome, not just a feasible equilibrium but as a socially desirable and imaginary future.Konsekuensinya demokratisasi hendaknya dipahami secara cair. Sebuah process of moving towards this not entirely fixed future state open-ended in the sense that it always remains open to further reconsideration and revision in the light of experience (Whitehead 2002). Ini tidak berarti pula bahwa anything goes. Sangat memungkinkan untuk mengutilisasikan definisi demokrasi yang mengambang tapi menjangkar, yakni menjangkar dalam definisi prosedural, minimal dengan wilayah mengambang dugaan dan perenungan (Whitehead, 2002). Pemahaman open ended and ongoing nature of democratisation menyingkirkan perlunya penggunaan istilah konsolidasi yang menyebutkan bahwa demokratisasi memiliki titik akhir yang teridentifikasi dan mengabaikan fakta bahwa meski disebut negara demokrasi mapan, mereka dapat dan harus secara terus menerus meningkatkan kualitas sistem politiknya. ***Daftar PustakaBraudel, Fernand. 1984. The Perspective of the World. In Civilisation and Capitalism 15th-18th Century. New York: Harper & Row.

Carothers, Thomas. 2002. The End of the Transition Paradigm. Journal of Democracy 13 (1):5-21.

Chadwick, Rachael. 2006. The Quality of Democracy in Indonesia and Russia :A Path-Shaping Analysis of Two Fourth Wave Democracies. Department of Asian Studies. The University of Sydney

Doorenspleet, Renske. 2005. Democratic Transitions: Exploring the structural sources of the fourth wave. Boulder, Colorado and London: Lynne Reinner Publishers.

Ghosh, B. N. 2001. Dependency Theory Revisited. Aldershot, Hampshire: Ashgate.

Gilman, Nils. 2003. Mandarins of the Future: Modernisation Theory in Cold War America. Edited by H. Brick, New Studies in American Intellectual and Cultural History. Baltimore and London: Johns Hopkins University Press.

Hausner, Jerzy, Bob Jessop, and Klaus Nielsen. 1995. Institutional Change in Post-Socialism. In Strategic Choice and Path Dependency in Post Socialism: Institutional Dynamics in the Transformation Process, edited by J. Hausner, B. Jessop and K. Nielsen. Aldershot, Hants and Brookfield, Vermont: Edward Elgar Publishing.

Mahoney, James. 2001. Path-Dependent Explanations of Regime Change: Central America in Comparative Perspective. Studies in Comparative International Development 36 (1):111-141.

Nusa bakti, Ikrar. 2002. The Transition to Democracy In Indonesia : Some Outstanding Problems.O'Donnell, Guillermo, and Philippe C. Schmitter. 1986. Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore, MD and London: Johns Hopkins University Press.Potter, David. 1997. Explaining Democratization. In Democratization, edited by D. Potter, D. Goldblatt, M. Kiloh and P. Lewis. Cambridge and Malden: Polity Press and The Open University.

Rostow, Walt W. 1960. The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press.Rustow, Dankwart. 1970. Transitions to democracy. Comparative Politics 2:337-63.

Schedler, Andreas. 2001a. Taking Uncertainty Seriously: The Blurred Boundaries of Democratic Transition and Consolidation. Democratization 8 (4):1-22.Van Klinken, Gerry, How a democratic deal might be struck, in Arief Budiman , et al, Reformasi: Crisis and Change in Indonesia (Clayton: Monash Asia Institute Monash University, 1999), p.59

Wallerstein, Immanuel. 1974. The Modern World System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century. 3 vols. Vol. 1. New York and London: Academic Press.

. 1980. The Modern World System: Mercantilism and the Consolidation of the European World-Economy, 1600-1750. 3 vols. Vol. 2. New York: Academic Press.

. 1989. The Modern World System: The Second Great Expansion of the Capitalist World-Economy, 1730-1840's. 3 vols. Vol. 3. San Diego: Academic Press.

Whitehead, Laurence. 2002. Democratisation: Theory and Experience. New York: Oxford University Press.

PAGE 2