memahami dinamika kebakaran lahan gambut di

146

Upload: truongcong

Post on 12-Jan-2017

296 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI
Page 2: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

S U R V E I

1Leo Agustino, Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 2014

Pengantar

L ahan gambut di Indonesia merupakan ekosistem yang paling sensitif dan terancamdi bumi. Kawasan gambut mengandung stok karbon tinggi dan terbagi secaratidak merata, dibandingkan hutan pada tanah mineral. Karenanya perlindungan

lahan gambut merupakan suatu keniscayaan bagi Pemerintah Indonesia jika mengharapkanadanya penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dibawah skenario business-as-usual,atau 41% dengan dukungan internasional. Hutan-hutan rawa gambut di Sumatra misalnya,merupakan kawasan yang cukup cepat dan ektensif tingkat konversinya menjadi lahanperkebunan. Sehingga nilai keanekaragaman hayati yang tinggi termasuk satwa terancampunah (critically endangered) seperti orangutan dan harimau berada dibawah ancaman.Kesemua ini secara langsung berpengaruh terhadap perubahan iklim utamanya dalammasalah pemanasan global.

Jurnal LESTARI merupakan media komunikasi, pertukaran pemikiran dan pengalamanberkenaan dengan pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan yang merupakan bagiandari upaya mitigasi perubahan iklim. Jurnal ini direncanakan terbit dua kali dalam setahundan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan pengetahuan dari pelaksanaan ProyekUSAID LESTARI. Dengan adanya jurnal ini diharapkan dapat memperkaya wawasan danpengetahuan bagi semua pihak baik untuk acuan dalam pengambilan keputusan maupunkebijakan serta program tentang pengelolaan sumberdaya alam dan perubahan iklim.

Dalam edisi perdana ini mengambil topik bahasan kebakaran dan pengelolaan gambut.Ada 8 artikel yang dimuat yang mencakup 7 artikel utama dan 1 artikel pendukung.Penyajian artikel utama dimulai dari analisis Prof. Susan Page tentang dinamika kebakaranlahan gambut di Indonesia, dilanjutkan dengan Herry Purnomo yang menganalisis ekonomipolitik dan jaringan aktor terkait peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.Kemudian artikel dimensi manusia dalam kebakaran hutan (Cifor) yang ditulis oleh RachelCarmenta dan Bejo Slamet yang mengkaji masalah hidrologi di lahan gambut. Selain ituterdapat tiga artikel yang merupakan hasil survei tentang dampak kebakaran tahun 2015dari sisi sosial ekonomi dengan kasus di bentang alam Katingan-Kahayan, PropinsiKalimantan Tengah dan Pengelolaan Lahan Gambut di Rawa Singkil Aceh. Sementarauntuk 1 artikel pendukung adalah kajian dari Aidy Halimanjaya dan Smita Nakhoodayang menulis mengenai alternatif kebijakan pendanaan untuk perubahan iklim

Semoga artikel-artikel yang tersaji dalam Jurnal LESTARI ini bermanfaat bagi semuapihak yang membacanya. Redaksi sangat berharap masukan dan kritikan dari semuapembaca guna perbaikan pengelolaan dan penerbitan jurnal nomor selanjutnya. Termasukmengharapkan sumbangan artikel yang relevan dengan topik yang dibahas.

Akhirnya ucapan terima kasih disampaikan khususnya bagi para penulis yangmemberikan artikelnya untuk nomor perdana ini dan pihak-pihak lain yang membantuterbitnya edisi perdana ini•

Reed Merrill

B E R A N D A

Page 3: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

MEMAHAMI DINAMIKAKEBAKARAN LAHAN

GAMBUT DI INDONESIA

Oleh Susan Pagehlm 4

Daftar Isi

KEBAKARANHUTAN DAN LAHAN:STUDI ATAS DAMPAK

DI KATINGAN-KAHAYAN

Oleh Erlinda Ekaputrihlm 16

RAWA SINGKILSUAKA LAHAN GAMBUT

PENJAGA EKOSISTEM

Oleh Matthew Linkie et al.hlm 39

Penerbitan Jurnal Lestari dimaksudkan sebagai media informasi dan pertukaran pemikiran dan pengalaman berkenaandengan masalah pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan berbasis lanskap yang merupakan bagian dari upayamitigasi perubahan iklim di Indonesia. Jurnal ini diterbitkan oleh Proyek USAID LESTARI berisikan tulisan ilmiahpopuler, ringkasan hasil penelitian, survei, dan ide-ide kritis bagi perbaikan kebijakan pembangunan lingkungan hidup.Redaksi mengundang berbagai individu ahli baik sebagai praktisi, akademisi dan birokrasi yang memiliki minat untukberdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif seraya berkomunikasi dengan masyarakat luas. Setiap tulisan yangdisajikan dalam Jurnal Lestari tidak selalu selaras atau mencerminkan pendapat Jurnal Lestari. Karenanya, Redaksiberhak untuk menyingkat dan memperbaiki setiap tulisan yang dikirimkan dan dimuat tanpa mengubah maksud danisinya. Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi.© Hak cipta dilindungi Undang-undang.

SITUS PURBAKALA DILAHAN GAMBUT

Oleh Erlinda Ekaputrihlm 14

JARINGAN AKTOR DANREGULASI KEBAKARAN

HUTAN DAN LAHAN

Oleh Herry Purnomo et al.hlm 55

Page 4: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

MANUSIA DANKEBAKARAN HUTAN

Oleh Agung Wahyu Nugrohohlm 90

MANAJEMEN HIDROLOGIDI LAHAN GAMBUT

Oleh Bejo Slamethlm 101

• Penanggungjawab: Reed Merrill • Pemimpin Redaksi: Erlinda Ekaputri • Managing Editor: AnomAstika • Dewan Redaksi: Chris Bennet, Neville Kemp, Suhardi Suryadi, Ufroz Ayyub, Ni Made ChitraAnggraini • Sekretaris Redaksi: Rezki Mulyadi • Produksi: Awan Dewangga.

Diterbitkan oleh Proyek USAID LESTARI, Alamat : Wisma GKBI Lantai 12, Suite 1210 Jl. Jendral SudirmanKav 28, Jakarta, Indonesia. Tlp./Faks 021-5740565/ 021-5740566Email : [email protected]; Website: www.lestari-indonesia.org

DIMENSI MANUSIA PADALAHAN GAMBUT:

MENENTUKAN PERSPEKTIFPEMANGKU KEPENTINGANDALAM BERBAGAI SKALA

Oleh Rachel Carmenta et al.hlm 74

PENDANAAN ALTERNATIFPROYEK PERUBAHAN IKLIM

DI INDONESIA: ULASANUNTUK DANA PERWALIAN

Oleh Aidy Halimanjaya et al.hlm 116

Page 5: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

J E N D E L A

4 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

MEMAHAMI DINAMIKAKEBAKARAN LAHANGAMBUT DI INDONESIAOleh Susan Page

PENDAHULUANTanah Gambut adalah suatu tipe tanahyang terdiri dari material organik yangterdekomposisi sebagian. Materialorganik itu sebagian besar berasal daritumbuhan, yang terakumulasi di bawahkondisi jenuh air dan kurang oksigen. Dibelahan bumi bagian utara, di mana suhurendah mengurangi laju dekomposisi,gambut dibentuk dari sisa-sisa berbagailumut, rumput, dan semak atau tanamanperdu (Gambar 1). Di daerah beriklimtropis, gambut kebanyakan terbentuk daripohon-pohon di hutan hujan di bawahkondisi kelembaban, curah hujan dansuhu yang hampir konstan (Gambar 2).

Di Indonesia, dinamika kebakaran lahan gambut pada masa ini merupakan konsekuensidari eksploitasi lahan yang diakibatkan oleh kegiatan pertanian dan perkebunan berskalaluas. Keduanya membawa serta aktivitas pembersihan kawasan hutan dan drainase lahangambut dengan cakupan yang sama, sehingga kawasan gambut yang lembab dan basahmenjadi kering. Ketika situasi ini bercampur dengan iklim musim kering yang panjangmelanda, semuanya melahirkan peningkatan kualitas kebakaran sepanjang lima tahunterakhir. Peningkatan intensitas kebakaran juga disebabkan oleh absennya inisiatif-inisiatifkebijakan pemerintah di dalam pengendalian kebakaran (misal, kebijakan larangandrainase dan larangan membakar). Termasuk juga lemahnya penegakan hukum terhadappelaku kebakaran yang telah mendorong terjadinya peningkatan kerentanan dariperubahan lanskap terhadap kebakaran.

Kata kunci: Lahan gambut, drainase, api, kebakaran

J E N D E L A

Page 6: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

J E N D E L A

5Susan Page, Memahami Dinamika Kebakaran Lahan Gambut

Lahan gambut adalah bentang alamyang memiliki lapisan-lapisan gambutyang terakumulasi secara alamiah dipermukaan tanah. Mengingat gambutmemiliki kandungan karbon tinggi, iamerupakan penyimpan karbon (carbonpool) yang penting secara global. Walau-pun secara keseluruhan, luas lahangambut hanya mencakup sekitar 3% daripermukaan lahan di bumi, namun lahanitu mengandung simpanan karbon yangbesar dan terkonsentrasi. Jumlahnyadiperkirakan antara 500 dan 700 Gt(milyar ton=Pg). Simpanan karbon inikemungkinan melebihi jumlah yangterkandung dalam vegetasi di bumi (500Gt) dan mendekati kandungan simpanankarbon di atmosfer (750 Gt). Secarawilayah (3,6 juta km2) dan simpanankarbon (400-600 Gt), lahan gambutpaling ekstensif ditemukan di belahanbumi bagian utara (seperti di Eropa danAsia bagian utara dan Amerika Utara),

meskipun juga terdapat deposit yangsignifikan di wilayah beriklim tropis.Area ini secara keseluruhan mencakup0,4 juta km2 dengan total simpanankarbon berkisar antara 80 hingga 100Gt. Bagian terbesar berada di AsiaTenggara, dengan 57 Gt karbon di lahangambut Indonesia dan 9 Gt karbon diMalaysia (Page et al., 2011). Kebanyakandari karbon gambut ini telahterakumulasi dalam jangka waktu lama,yakni ribuan tahun. Tetapi terlepas dariperan lahan gambut sebagai penyerapkarbon (carbon sink) selama periodewaktu tersebut, karbon yang tersimpandi lahan-lahan gambut di dunia semakinrentan terhadap destabilisasi akibatperubahan tata guna lahan, kebakarandan perubahan iklim. Hal ini berakibatpada hilangnya simpanan karbon dalamjumlah besar ke atmosfer dalam bentukgas rumah kaca (khususnya karbondioksida), yang berkontribusi padaperubahan iklim global. Tidak adatempat di belahan bumi ini dimanaperubahan lahan gambut sebagaipenyerap menjadi sumber karbon terjadibegitu cepat selain di Asia Tenggara,dimana terdapat kombinasi antaratekanan perubahan tata guna lahan dankebakaran pada ekosistem lahan gambut.

Lahan gambut merupakan tipeekosistem lahan basah, dan olehkarenanya hidrologi (posisi tinggi mukaair relatif terhadap tinggi permukaan

Gambar 1: Pemandangan lahan gambut di bagianutara yang didominasi oleh lumut, rerumputan dan teki-tekian. Forsinard Bog, Scotlandia bagian utara, UK.(Sumber foto: Susan Page)

Page 7: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

J E N D E L A

6 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Gambar 2: Hutan rawa gambut Sebangau, Kalimantan Tengah Indonesia, Berbeda dengan lahan gambut di wilayahutara, gambut di wilayah tropis dibentuk oleh sisa-sisa pepohonan hutan hujan. (Sumber Foto: Sara Thornton)

Page 8: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

J E N D E L A

7Susan Page, Memahami Dinamika Kebakaran Lahan Gambut

gambut) memainkan peran kritikal dalamfungsi lahan gambut dan siklus karbon.Ini karena posisi tinggi muka airmengontrol laju dimana gambut danakumulasi karbon dapat berproses. Padakondisi alamiah, tanpa gangguan, lahangambut mengakumulasikan bahan orga-nik mati (yaitu, gambut) ketika produksimaterial tanaman mati (serasah, yaitudaun, tangkai, batang, akar) melebihi lajupembusukan gambut. Di bawah kondisijenuh air yang bersifat sering atau terus-menerus, maka pembusukan serasahterjadi secara terbatas, dengan demikianlapis demi lapis material organik kayakarbon akan terakumulasi seiringberjalannya waktu untuk membentukdeposit gambut yang semakin tebal.

Tetapi pada lahan gambut yang sudahmengalami gangguan aktivitas manusia,dan khususnya pembuatan drainase,tinggi muka air mengalami penurunan,seringkali jauh di bawah tinggi permu-kaan gambut. Kondisi ini memungkinkanoksigen untuk memasuki kolom gambut,mengganggu keseimbangan antaraakumulusi gambut dan pembusukan, danberakibat pada degradasi mikrobagambut dan pelepasan simpanan karbonke atmosfer, terutama dalam bentukkarbon dioksida (Gambar 3).Diperkirakan bahwa drainase pada lahangambut tropis bertanggung jawab ataskontribusi hampir 70% (~200 Mt C)emisi gas rumah kaca yang berasal daridrainase dan kebakaran global pada

Gambar 3: Lanskap yang tertutup gambut di Sumatra. Di sebelah kiri gambar, lahan gambut telah dikeringkan untukproduksi tanaman perkebunan. Lahan gambut yang dikeringkan merupakan sumber emisi gas rumah kaca daridegradasi gambut (sebagai hasil dari dekomposisi mikroba oksidatif pada gambut) dan juga berada pada risiko tinggikebakaran. (Sumber foto: Agata Hoscilo)

Page 9: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

J E N D E L A

8 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

tanah organik, dengan 30% berasal daripengeringan lahan gambut di bagianutara (Biancalani & Avagyan 2014).Selain bahwa drainase menyebabkandegradasi gambut, kondisi ini jugabertanggung jawab atas meningkatnyarisiko kebakaran.

MASALAH KEBAKARANGAMBUT

Di Indonesia, dinamika kebakarangambut pada masa ini merupakan konse-kuensi dari melimpahnya bahan bakardan sumber api. Ketika pembersihankawasan hutan skala lanskap dandrainase gambut dikombinasikan denganpenggunaan api yang meluas, akibat yangtidak dapat dihindari adalah peningkatankebakaran yang tak terkendali. Lahangambut yang mengalami deforestasi danpengeringan berada pada tingkat risikokebakaran tertinggi karena permukaankering dari lahan gambut terdrainasesangat mudah terbakar, menempatkan-nya pada tingkat risiko signifikan daripembakaran yang disengaja maupuntidak disengaja. Api mungkin digunakansebagai alat yang murah, cepat danefektif untuk membersihkan area hutanyang luas tetapi api ini juga dapat terje-bak ke dalam hutan rawa gambut.Apabila vegetasi hutan dibakar sekali,akan mengalami suksesi sekunder dankembali menjadi hutan tertutup. Tetapipada kenyataannya, tegakan kayu matiyang tersisa dari kebakaran pertamaakan meningkatkan peluang terjadinyakebakaran kedua, menempatkan ekosis-tem pada suatu trajektori kearah kondisisemak-belukar rentan terbakar dengan

peluang yang sangat kecil untuk pemu-lihan hutan dan risiko tinggi untukkejadian kebakaran selanjutnya (Gambar4).

Meskipun kebakaran paling parahpada tahun-tahun belakangan dapatdikaitkan dengan kemarau yang dipicuoleh anomali iklim ENSO (El Niño) (e.g.Page et al. 2002), kondisi cuaca yangabnormal bukan merupakan prasyaratdari kebakaran gambut. Malahan keba-karan sekarang menjadi penampakanyang regular setiap musim kemarau,meskipun kemarau berlangsung dalam

Page 10: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

J E N D E L A

9Susan Page, Memahami Dinamika Kebakaran Lahan Gambut

periode yang singkat (Gaveau et al.2014), dan lebih merupakan produk daricepatnya alih fungsi lahan (e.g. Field etal. 2009) dibandingkan dengan varia-bilitas iklim. Dengan adanya dinamikakebakaran yang baru ini berarti keba-karan gambut di Indonesia tidak bisa lagidianggap sebagai kejadian yang sesekaliterjadi. Pada tiap musim kebakaran,terdapat masalah lingkungan yang inten-sif dengan implikasi besar pada emisi gasrumah kaca, kualitas udara, kesehatanmanusia, mata pencaharian lokal danekonomi regional. Masalah berikutnya

yaitu banyak kebakaran gambut terjadi dilokasi terpencil sehingga sulit dikendali-kan dan dipadamkan. Kebakaran dapatberlangsung selama beberapa hari dankadangkala beberapa minggu, bahkanmuncul kembali setelah periode singkathujan.

Kebakaran gambut dapat terdiri darikobaran api dan bara api. Kobaran apiterjadi pada dan diatas permukaangambut, membakar vegetasi dan serasahtanaman. Sebaliknya, bara api membakarkedalam dan bawah permukaan danmengonsumsi gambut itu sendiri sebagaisumber bahan bakarnya. Kobaran apidapat menyebar secara cepat melaluivegetasi, tetapi bara api cenderungmembakar dengan lambat dan bertahanuntuk periode waktu yang lama. Karenabara api terjadi dibawah permukaantanah di gambut yang telah dikeringkantetapi masih agak lembab, merekamenerima suplai oksigen yang terbatas.Sebagai akibatnya, mereka bertanggungjawab atas dampak atmosferik dankualitas udara yang lebih substansialdibandingkan kebakaran vegetasi,termasuk emisi tinggi gas rumah kaca(khususnya karbon dioksida dan metan)dan partikel-partikel kecil menyebabkanasap yang pekat dan beracun (Gambar

Gambar 4: Lahan gambut di bekas areaProyek Lahan Gambut Sejuta Hektar diKalimantan Tengah. Lahan gambut yangtelah dikeringkan ini sangat rentan terbakar,dimana beberapa lokasi telah terbakar tujuhatau delapan kali berturut-turut.Vegetasi aslidari hutan rawa gambut saat ini telahbanyak digantikan oleh pakis dan semakbelukar. (Sumber foto: Susan Page)

Page 11: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

J E N D E L A

10 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

5). Hal ini menimbulkan risiko yangbesar atas kesehatan manusia baik dalamjarak yang dekat dengan kebakaranmaupun jarak yang lebih jauh karenaasap dapat menyebar dalam jarak lebihdari puluhan atau ratusan kilometer darilokasi kebakaran, menimbulkan masalahkesehatan manusia (misal, pernapasandan jantung) dan berbagai dampak sosialdan ekonomi (misal, penutupan sekolahdan pembatalan penerbangan).

BERGERAK MENUJUSOLUSI KEBAKARAN

Kebakaran gambut di Asia Tenggaramelibatkan interaksi antara berbagaibentuk kepemilikan lahan yang berbeda,pengelolaan lahan dan tutupan lahan. Di

lanskap yang belum mengalami gang-guan, terdapat risiko terbatas untukterjadinya pembakaran yang tidak di-sengaja atau penyebaran api karenalanskap yang basah dan tertutup gambutresisten terhadap api. Sebaliknya,lanskap-lanskap baru dari hutan yangtelah terfragmentasi dan lahan gambutyang telah dikeringkan sangat rawankebakaran, tetapi perilaku manusia dankebijakan perencanaan lahan telah gagalmengenali risiko kebakaran yang tinggiini. Meningkatnya kejadian kebakarangambut reguler di wilayah ini selamalebih dari 20 tahun dapat digambarkansebagai konsekuensi dari aktivitasmanusia (misal, alih fungsi lahan,drainase lahan gambut dan meningkatnyaakses manusia) dan absennya inisiatif-

Gambar 5: Pemandangan di pusat Kota Palangka Raya pada bulan Oktober 2015. Kualitas udara sangatmembahayakan sebagai akibat dari campuran gas-gas beracun dan partikel-partikel halus yang datang dari kebakarangambut di sekitarnya. Banyak anak-anak dan orang dewasa dirawat di rumah sakit karena mengalami masalahpernapasan dan jantung akibat menghirup asap. (Sumber foto: Suzanne Turnock/OuTrop)

Page 12: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

J E N D E L A

11Susan Page, Memahami Dinamika Kebakaran Lahan Gambut

inisiatif kebijakan yang kuat (misal,kebijakan larangan drainase dan laranganmembakar), serta implementasi kebi-jakan yang efektif yang mengenali pe-ningkatan kerentanan dari perubahanlanskap terhadap kebakaran. Tentu saja,kejadian kemarau panjang yang dikaitkandengan peristiwa El Niño telah memper-parah intensitas kebakaran gambut, akantetapi peristiwa ini bukanlah akar masa-lahnya. Hal ini dicontohkan oleh suatustudi peristiwa kebakaran yang baru-baru ini terjadi di Indonesia (Page et al.,2016) yang menunjukkan bahwa adaarea di lahan gambut yang terbakar padatahun 2014 (bukan tahun El Niño) yangluasnya sama dengan yang terbakar padatahun El Niño berikutnya yaitu tahun2015. Hasil ini sesuai dengan studi yangdilakukan oleh Gaveau et al. (2014)terhadap keparahan kebakaran dan emisiyang terkait pada tahun 2013, yang sekalilagi bukan tahun El Niño. Antara tahun2014 dan 2015, lokasi kebakaran, danpopulasi yang terkena dampak polusiudara, berbeda. Sementara perhatiannasional dan internasional difokuskanpada kebakaran tahun 2015, dampakkebakaran tahun 2014 dan 2013 sesung-guhnya juga sangat signifikan. Fakta-faktatersebut merupakan temuan yang pen-ting yang menggarisbawahi perlunyaperubahan fundamental dalam praktik-praktik pengelolaan lahan gambut diIndonesia, terlepas dari variabilitas iklimdari tahun ke tahun. Hasil-hasil tersebutjuga menekankan bahwa menanganidinamika kebakaran saat ini akanmemerlukan perubahan yang radikal dariperilaku dan praktik-praktik manusiadalam pengelolaan hutan dan lahan

gambut.Banyak aktor yang berperan di dalam

dinamika kebakaran Indonesia saat ini:mulai dari perusahaan perkebunan besarsampai petani kecil, dari pembuat kebi-jakan di Jakarta sampai masyarakat lokaldi provinsi-provinsi lahan gambut diSumatra dan Kalimantan. Tapi denganpenurunan terus-menerus hutan rawagambut yang tersisa dari tahun ke tahundan seiring dengan peningkatan risikodan keparahan kebakaran gambut,semua aktor perlu dilibatkan tidak hanyadalam upaya pemadaman, tetapi yangpaling penting, dalam pencegahan keba-karan. Sementara beberapa perusahaanperkebunan besar telah membuatkomitmen untuk ‘zero burning’ (nolkebakaran), ‘no deforestation’ (tidak adadeforestasi), ‘no planting on peatland’(tidak menanam di lahan gambut), sertabekerja dengan masyarakat lokal untukmengurangi kejadian kebakaran (Padfieldet al. 2016), masih banyak hal yang perludilakukan untuk memusnahkan keba-karan dari lanskap-lanskap yang palingrentan. Sebagian besar lahan gambut diSumatra dan Kalimantan saat ini menga-lami deforestasi besar-besaran, dikering-kan dan rawan kebakaran. Akan tetapiada perbedaan-perbedaan besar dalamhal skala dan kondisi fragmentasi darihutan rawa gambut yang tersisa, berikutkondisi dan pengelolaan kawasan nonhutan. Kebakaran pertama dan kedua dihutan rawa gambut adalah sumber-sumber terbesar asap dan emisi gasrumah kaca per unit area. Dengandemikian, upaya kuat untuk menyatukanseluruh pihak yang terlibat dalammengelola lanskap-lanskap rawan keba-

Page 13: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

J E N D E L A

12 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

karan dan melindungi blok-blok hutanyang tersisa dapat memperbaiki perenca-naan dan imlementasi kegiatan-kegiatanmitigasi kebakaran. Mungkin tindakanyang paling efektif yang dapat diterapkanoleh Indonesia untuk memitigasi keber-langsungan atau bahkan peningkatanlebih lanjut dari emisi gas rumah kacayang dipicu oleh kebakaran di lahangambut, adalah dengan mencegahkebakaran di fragmen-fragmen hutanrawa gambut yang tersisa. Namundemikian juga diperlukan upaya-upayaterpadu untuk merestorasi hidrologi dariarea lahan gambut yang terdegradasikarena skala yang besar dari lahangambut yang dikeringkan menjadikontribusi utama atas tingginya angkaemisi gas rumah kaca tahunan darikebakaran serta dari degradasi gambut(oksidasi). Solusi-solusi yang berhasilharus difokuskan pada gambut itu sendiri– yakni upaya untuk membuat gambuttetap basah. Ini akan memerlukan inter-vensi hidrologis pada lahan gambut yangtelah dikeringkan, yaitu meningkatkantinggi muka air, dalam rangka mengu-rangi risiko kebakaran. Tetapi upaya iniakan memiliki konsekuensi ekonomiyang tidak dapat dihindari bagi parapihak yang terlibat dalam produksipertanian, karena tingginya muka airakan menurunkan atau bahkan mengu-rangi hingga separuh produktivitas dariberbagai spesies tanaman perkebunan(misalnya kelapa sawit). Bagaimanapunpeluang tetap ada, untuk mengidentifi-kasi dan mengembangkan spesiestanaman perkebunan alternatif yangtahan terhadap level muka air yang lebihtinggi dan tetap menjanjikan keuntungan

ekonomi: satu contoh mungkin tanamansagu dan beberapa perusahaan saat inisedang mengeksplorasi opsi-opsi lain,misalnya spesies pohon akasia yangtoleran terhadap level muka air yangtinggi dan masih tetap memproduksikayu yang sesuai untuk produksi buburkertas. Meskipun demikian, lebih banyakyang harus dilakukan dalam hal ini,khususnya untuk mendukung para petanikecil yang seringkali tidak memilikimetode lain selain membakar untukmembersihkan lahan agar siap ditanami.

KesimpulanSaat ini ada sekitar 140.000 km2 lahan

gambut kering di seluruh semenanjungMalaysia, Sumatra dan Borneo (Miettinenet al. 2016); dengan demikian skalageografis untuk mengelola lanskap yangsangat berisiko terbakar dan beremisitinggi tersebut menakutkan. Terdapattantangan-tantangan teknis dan ekonomiyang harus diatasi untuk menyampaikanpada para pengambil keputusan danpengelola lahan bahwa tinggi muka airgambut harus dijaga pada level yangcukup tinggi guna mengurangi risikokebakaran dan emisi oksidatif, jugatantangan-tantangan tata kelola danpolitik yang substansial, termasuk imple-mentasi kebijakan yang lemah. Mengatasidinamika kebakaran Indonesia saat iniakan memerlukan perubahan yang radikalatas perilaku dan praktik-praktik yangdilakukan manusia, dan juga pemahamanyang fundamental bahwa berbagaiintervensi akan memerlukan kepemim-pinan politis yang kuat dan efektif,investasi finansial, dan komitmen yang

Page 14: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

J E N D E L A

13Susan Page, Memahami Dinamika Kebakaran Lahan Gambut

jujur serta transparan dari tiap orang yangterlibat dalam pengelolaan lahan gambut.

Daftar PustakaBiancalani, R. & Avagyan, A. (eds) (2014).

Towards climate responsible peatland ma-nagement practices: Part 1. FAO, Rome.

Gaveau, D.L.A.et al.(2014). Major atmos-pheric emissions from peat fires inSoutheast Asia during non-droughtyears: evidence from the 2013 Sumatranfires. Scientific Reports, 4: 6112 doi:10.1038/srep06112

Miettinen et al. (2016). Land cover distribut-ion in the peatlands of Peninsular Malay-sia, Borneo and Sumatra in 2015 withchanges since 1990. Global Ecology and

Conservation, 6: 67-78.Padfield, R. et al. (2016) Landscapes in

transition: An analysis of sustainablepolicy initiatives and emerging corporatecommitments in the palm oil industry.Landscape Research. Doi: 10.1080/01426397.2016.1173660

Page, S.E. et al. (2002). The amount of carbonreleased from peat and forest fires inIndonesia in 1997. Nature 420: 61-65.

Page, S.E. et al. (2011) Global and regionalimportance of the tropical peatlandcarbon pool. Global Change Biology 17:798-818

Page, S.E. et al. (2016 – in press) The ring offire: tackling Indonesia’s peatland firedynamic. Proceedings of the InternationalPeat Congress, Kuching, August 2016.

Page 15: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

S U R V E I

14 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

SITUSPURBAKALA

DI LAHAN GAMBUT

Bumi Indonesia memang sudah sejaklama terkenal oleh karena panoramapemandangan alamnya. Tetapi bukan itusaja, Indonesia pun dikenal sebagaitempat dari situs-situs bersejarah masalalu. Bahkan situs-situs itu laluditemukan di tempat yang tak diduga. Initerkait dengan cerita tentang lahangambut yang ternyata tidak selalu identikdengan kebakaran hutan.

Jarak setahun berselang di wilayahkebakaran lahan gambut di SumateraSelatan, ditemukan sebuah situspurbakala. Tepatnya sebuah situsSriwijaya di Desa Ulak Kendodong,Kecamatan Cengal, Kabupaten OganKomering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Situs yang ditemukan warga di lokasiterbakarnya lahan gambut tersebutberada di Kanal 12. Lokasi ini masukdalam konsesi sebuah perusahaan hutantanaman industri (HTI) di Distrik SungaiKetupak, yang berdasarkan informasiluasnya sekitar 41.067,56 hektar.

Bekerja sama dengan Balai ArkeologiSumatera Selatan, warga setempat

memandu para arkeolog menuju ke situsdi Kanal 12. Di sana ditemukankemudian sejumlah pecahan gerabah dankeramik kuno, fragmen-fragmen kacaimpor, kepingan papan perahu kuno danbeberapa butir manik-manik kuno.

Tiang-tiang kayu kuno bagian daribangunan rumah panggung yang awetribuan tahun dalam tanah rawa gambut.Para arkeolog dari Pusat PenelitianArkeologi Nasional dan Balai ArkeologiPalembang telah mengidentifikasi umurtiang-tiang kayu di situs-situs lahan basahdi Karangagung Tengah (KabupatenMusi Banyuasin) kawasan Air SugihanKiri (Kabupaten Banyuasin) dan AirSugihan Kanan (Kabupaten OganKomering Ilir). Tiang-tiang kayu dibuatdari pohon meranti dan ulin.Berdasarkan analisis carbon dating (C14)tiang-tiang kayu di kawasan situstersebut berasal dari awal Masehi, jauhsebelum munculnya Kerajaan Sriwijayapada abad ke-7 di Palembang.

Namun arkeolog Nurhadi Rangkutikemudian menegaskan bahwa, “Dari

R E H A T

Page 16: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

S U R V E I

15Erlinda Ekaputri, Situs Purbakala di Lahan Gambut

sebaran penemuan benda purbakala dilahan konsensi yang terbakar ini, kamisangat yakin dulunya wilayah inimerupakan sebuah pemukiman kuno,dari masa Kerajaan Sriwijaya”. Nurhadipun berkesimpulan pemukiman di lokasiini cukup ramai di era Sriwijaya danmenjadi bagian penting dari Jalur SuteraMaritim.

Bukti ramainya kehidupanpemukiman kuno ini, dapat dijumpaipula dari banyaknya tiang rumahpanggung dari kayu nibung di lokasisitus, kemudian perahu, serta berbagaikeramik dari Tiongkok di masa DinastiTang, seperti guci, mangkuk, manik-manik kaca, manik-manik batu,manik-manik kaca lapis, kemudiankoin-koin Sriwijaya, pin perunggubergambar burung, cincin emas,termasuk pula alat penumbuk darikayu, serta batu pipisan (grinding stone)yang digunakan melumat bahan jamuatau obat-obatan. Bahkan ditemukanprasasti pendek berjangka tarikhmasehi abad ke-7.

Bukan tidak mungkin ada banyaksitus purbakala lainnya yang berada dilahan gambut di wilayah Sumatera.Apabila realitas bersejarah ini tidakdiperhatikan boleh jadi situs purbakalalainnya akan ikut terbakar bersamalahan gambut.

Itu sebabnya menjadi pentingkemudian untuk melihat lahan gambutsebagai bagian dari ekosistem yanglebih luas, ekosistem kebudayaan.Mengapa? karena temuan situspurbakala di muka menunjukkankedekatan masyarakat masa lalu denganlahan gambut. Bukan tidak mungkinnantinya ditemukan lagi bukti-buktiyang menunjukkan kemampuanmasyarakat masa lalu di dalammengelola lahan gambut, tanpa harusmembakar lahan. Keterikatan manusiadengan alam, dengan segala kearifanmasyarakat lokalnya, pada akhirnyaakan berbuah menjadi sesuatu yangbermanfaat secara berkelanjutan.

Erlinda Ekaputri

Page 17: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

16 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Kebakaran Hutan dan LahanStudi atas Dampak di Katingan-Kahayan

Oleh Erlinda Ekaputri

Pendahuluan

Hampir setiap tahun semenjaktahun 1996 masyarakat Indo-nesia dihadapkan pada bencana

kebakaran hutan dan lahan menjadisemakin meluas daripada tahun-tahunsebelumnya. Berbagai upaya telahdilakukan Pemerintah Republik Indo-nesia (RI) untuk mencegah bencanatersebut dan salah satunya adalah pem-bentukan Badan Restorasi Gambut(BRG). Dalam 5 tahun kedepan, BRGdiberi mandat untuk memulihkan keru-sakan lahan gambut seluas 2 juta hektaryang tersebar di 7 propinsi. Sehinggadapat mewujudkan komitmen Indonesiapada dunia Internasional untuk menu-runkan emisi gas rumah kaca 26% mela-lui usaha sendiri dan 41% dengan

bantuan Internasional sampai tahun2020.

LESTARI1—yang merupakankelanjutan dari proyek USAID IFACS—dirancang untuk membantu pemerintahIndonesia menurunkan emisi GRK,dengan mengintegrasikan aksikonservasi hutan dan lahan gambut danstrategi pembangunan rendah emisi(LEDS) di lahan lain yang sudah

1 Proyek LESTARI diimplementasikan oleh TetraTech bersama mitra konsorsium yang terdiridari WWF-Indonesia, Winrock International,Wildlife Conservation Society (WCS), Blue Fo-rests, Yayasan Sahabat Cipta, PT Hydro SouthPole Carbon, Sustainable Travel International(STI), Michigan State University, dan FIELDFoundation. Proyek LESTARI berlangsung dariAgustus 2015 hingga Juli 2020.

Kalimantan Tengah mengalami perubahan ekologis dan sosial yang dramatis selamabeberapa dasawarsa terakhir. Jutaan hektar kawasan telah dikeringkan dan diubah darihutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit. Khususnya di lanskapKatingan-Kahayan kawasan ini memiliki risiko lebih besar untuk mengalami kebakaran takterkendali, terutama jika curah hujan berada dibawah normal. Sejauh kebakaran iniberlangsung melanda wilayah Kalimantan dari tahun ke tahun belum terdapat sebuahupaya untuk melihat dampak sosial ekonomi dari kebakaran hutan. Melalui kombinasimetode survei kuantitatif dan diskusi kelompok kualitatif, artikel ini berusaha memetakandampak ekonomi dan kesehatan dari masyarakat di wilayah tersebut.

Kata Kunci: Kebakaran hutan dan lahan, titik panas, kabut asap

D E N G A R P E N D A P A T

Page 18: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

17Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan

terdegradasi. Proyek LESTARI yangberbasis lanskap diharapkan dapatdicapai melalui perbaikan tata gunalahan, tata kelola hutan lindung,perlindungan spesies kunci dan praktiksektor swasta dan industri yang ramahlingkungan.

Lokasi Proyek LESTARI inimengambil enam lanskap strategis ditiga pulau terbesar Indonesia yangmemiliki sebagian tutupan hutan primeryang masih utuh dan memiliki simpanankarbon terbesar yaitu di Sumatera diLanskap Leuser yang mencakup TamanNasional Gunung Leuser dan SuakaMargasatwa Rawa Singkil. DiKalimantan Tengah, di LanskapKatingan-Kahayan, yang mencakupTaman Nasional Sebangau dan TamanNasional Bukit Baka Bukit Raya.Sementara di Papua mencakup LanskapSarmi dan Cyclops terletak sepanjangpesisir utara dan Lanskap LorentzLowlands dan Taman Nasional Lorentz,serta Lanskap Mappi-Bouven Digoelyang terletak di pesisir selatan Papua.

Kebakaran Hutan danLahan di Katingan-Kahayan

Lanskap Katingan-Kahayan bertem-pat di Kalimantan Tengah, provinsiterluas ketiga di Indonesia. Provinsi inidibagi menjadi tiga kawasan biofisika:hutan mangrove pantai dan lahan gambutyang didominasi oleh rawa-rawa dibagian selatan; dataran dan perbukitanrendah yang sebelumnya tertutup hutanhujan tropis namun sudah diubah menja-di lahan pertanian; serta kawasan bukitdan pegunungan tinggi yang secara

umum masih tertutup hutan dan sulitdilalui. Untuk tujuan proyek LESTARI,implementasi program mengambil lokasiKabupaten Katingan, Pulang Pisau, danGunung Mas serta Kota Palangka Raya.Hampir 31% kawasan Lanskap Katingan-Kahayan ini tertutup oleh lahan gambutyang kaya akan kandungan karbon.Meskipun tanpa perubahan penutupanlahan, emisi dari lahan gambut yangdihitung dengan metodologi R AN/D-GRK mencapai 62% (24,5 juta t.CO2-eq) dari seluruh emisi berbasis lahan.2

Lahan gambut di Kalimantan Tengahpada dasarnya telah mengalamiperubahan ekologis dan sosial yangdramatis selama beberapa dasawarsaterakhir. Jutaan hektar kawasan telahkering dan diubah dari hutan menjadilahan pertanian dan perkebunan kelapasawit. Padahal kawasan semacam inimemiliki risiko lebih besar untukmengalami kebakaran yang sulitterkendali, terutama jika curah hujanberada dibawah normal.

Di Lanskap Katingan-Kahayan danwilayah lain di Indonesia, penggunaanapi telah lama menjadi bagian terpadudari praktik-praktik pertanian danproduksi pangan, yang memberikankesuburan tanah sekaligus membantupembukaan lahan untuk ditanami. Pem-bukaan lahan dengan cara membakarjuga dilakukan untuk perkebunan kelapasawit dan industri kayu. Meskipundemikian, kebakaran yang meluas tanpaterkendali merupakan ancaman seriusbagi kesehatan dan penghidupan masya-

2 LESTARI Landscape Baseline Analysis (LBA),September 2015.

Page 19: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

18 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

rakat serta bagi upaya-upaya konservasidi Indonesia. Selama berlangsungnya ElNiño di Indonesia pada tahun 1997-1998, kebakaran hutan dan lahan gambutberskala besar menyebabkan kabut asapdi berbagai wilayah, ribuan orang harusmenjalani perawatan, dan kerugianekonomi di tingkat nasional sebesar 5sampai 10 milyar dollar AS.3

Pada bulan Juni sampai Oktobertahun 2015, yang juga tercatat sebagaitahun El Niño, lanskap ini kembalimengalami kebakaran hutan dan lahanyang menghasilkan masalah kabut asap.Tacconi4 mencatat bahwa, dalam tahun-tahun El Niño, lahan gambut yang terde-gradasi bisa jadi merupakan faktor risikopaling signifikan sebagai penghasil kabutasap. Hal ini kemudian berdampakmerugikan terhadap kesehatan dankesejahteraan masyarakat, melumpuh-kan perekonomian daerah, serta meng-hancurkan kawasan hutan serta keane-karagaman hayati yang ada di dalamnya,sekaligus memperparah perubahan iklimdalam skala global.

Khususnya, di provinsi KalimantanTengah, Bank Indonesia mengemukakangambaran dampak perekonomian daribencana tersebut pada bulan September2015:• Dari total kawasan yang mengalami

kebakaran seluas 10.015 hektar,3,21% atau 321,55 hektar diperkira-

kan merupakan perkebunan karetdan 2,23% atau 223,52 hektar diper-kirakan merupakan perkebunankelapa sawit. Kerugian ekonomiyang diderita oleh petani kecil danperusahaan perkebunan mencapai680.000 dollar AS (9,3 milyarrupiah).

• Tingkat hunian hotel turun sebesar10-15%, menyebabkan hilangnyapendapatan hingga 152.000 dollar AS(2,07 milyar rupiah).

• Pada bulan September 2015, jumlahpenerbangan dari dan ke KalimantanTengah menurun hingga 43,68% atau358 penerbangan. Kerugian totalbagi industri ini mencapai 50%.

• BI memperkirakan bahwa polusikabut asap selama bulan September2015 menyebabkan penurunanpertumbuhan ekonomi tahunan bagiProvinsi Kalimantan Tengah sampaisebesar 0,04 – 0,10%.

• Dampak lain mencakup 21.905 orangmenderita infeksi saluran pernafasan,8.165 orang menderita diare, danditutupnya sekolah-sekolah selamasatu setengah bulan.

• Kejadian kebakaran hutan dan lahanserta polusi kabut asap di KalimantanTengah yang terus berulang menga-kibatkan penurunan kepercayaanpublik terhadap pemerintah daerah.Meskipun telah ada beberapa publi-kasi mengenai kebakaran hutan danlahan di Indonesia sepanjang tahun2015, termasuk laporan yang baru-baru ini diterbitkan oleh BI untukProvinsi Kalimantan Tengah, proyekLESTARI masih menganggap pentinguntuk melakukan studi tambahan

3 Early Warning and Response to Peatland Fires inCentral Kalimantan, Erica Allis, InternationalResearch Institute for Climate and Society,Columbia University, USA.

4 Fires in Indonesia: Causes, Costs and PolicyImplications, Luca Tacconi, Occasional PaperNo. 38, CIFOR, 2003.

Page 20: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

19Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan

karena beberapa alasan berikut:• Laporan BI mengenai dampak keba-

karan dan kabut asap terbatas padadata dan informasi yang dikumpulkanselama bulan September 2015.Sementara itu, kejadian kebakarandan kabut asap memburuk selamabulan Oktober 2015. Informasiumum yang dikumpulkan sebelumpelaksanaan studi lapangan mengindi-kasikan dampak yang lebih besar dariapa yang sebelumnya dilaporkan.

• Meskipun banyak penelitian yangdipublikasikan mengungkapkandampak di level makro (nasional,provinsi), belum ada penelitian yangdilakukan untuk memahami dampaknegatif di level mikro (pedesaan,rumah tangga).

• Analisis Data Dasar Lanskap (Lands-cape Baseline Analysis atau LBA)mendapati bahwa emisi yang dipro-yeksikan untuk Lanskap Katingan-Kahayan mencapai 58% dari semuanilai baseline emisi di seluruhlanskap LESTARI. Hal iniberdampak signifikan bagi desainLESTARI di lanskap Katingan-Kahayan, karena upaya maksimalharus ditempatkan di wilayahdengan proyeksi emisi tertinggi.Dengan demikian, pengelolaanlahan gambut menjadi kunci danharus mencakup seluruh aspek.Perbaikan pengelolaan lahan gambutmelibatkan advokasi kebijakansebagai sarana untuk mewujudkanperubahan transformatif yang ber-kelanjutan. Oleh karena itu, me-ngumpulkan berbagai bukti tentangdampak kebakaran hutan dan lahan

di lanskap ini menjadi sangat pentingagar proyek mampu berkomunikasidengan para pembuat kebijakandengan cara yang konstruktif danmeyakinkan.

Tujuan utama studi ini adalah mem-perkirakan besaran dampak kebakaranhutan dan lahan di Lanskap Katingan-Kahayan, baik di tingkat lanskapmaupun desa/rumah tangga. Meskipuntelah dipahami bahwa kebakaran hutandan lahan memiliki dampak luasterhadap emisi GRK, keanekaragamanhayati, kesehatan, dan perekonomian,studi ini berfokus pada dampakterhadap penghidupan dari perspektifrumah tangga. Namun demikian,laporan ini juga menyajikan data daninformasi yang terkait dengan dampakkesehatan dan dampak-dampak lain(misalnya, pendidikan, kecelakaan lalu-lintas, pembatalan penerbangan, danlain sebagainya) yang diperoleh daripengumpulan data primer dansekunder.

MetodologiMetodologi yang digunakan dalam

studi ini melibatkan pendekatan kuan-titatif dan kualitatif. Kombinasi pende-katan seperti ini biasanya lebih disukaidaripada metode tunggal mengingatkekayaan analisis yang dapat dihasilkanatas suatu fenomena yang diteliti. Untukitu, studi ini didekati dengan: 1) SurveiKuantitatif dan 2) Diskusi KelompokTerfokus (Focus Group Discussion).Masing-masing pendekatan dijelaskan dibawah ini.

Page 21: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

20 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Glover dan Jessup5 mengklasifikasi-kan dampak kebakaran hutan dan lahanmenjadi dua kategori: 1) Kerusakan yangterkait langsung dengan kebakaran(misalnya kehilangan kayu, kerusakanproduk pertanian, biaya pemadaman,emisi karbon, kehilangan keanekara-gaman hayati, kehilangan manfaat lang-sung dari hutan, kehilangan berbagaimanfaat tidak langsung dari hutan) dan 2)Kerusakan yang terkait dengan kabutasap (misalnya kesehatan, pariwisata,transportasi, kerugian industri, penu-runan hasil perikanan). Mengingatbeberapa keterbatasan seperti waktu,sumber daya, dan keahlian, maka studiini membatasi ruang lingkupnya padadampak terhadap penghidupan yangdilihat dari sudut pandang rumah tangga(level mikro). Tim peneliti mengem-bangkan hipotesis bahwa rumah tanggamenderita kerugian jauh lebih besarakibat kejadian kebakaran hutan danlahan jika dibandingkan denganinformasi yang telah dipublikasikan.Asumsi ini didasarkan pada informasiyang didapatkan oleh staf lapanganLESTARI di Kalimantan Tengah dari parapetani karet di Desa Buntoi (KabupatenPulang Pisau), yang melaporkan bahwa90% perkebunan karet mereka telahterbakar pada saat kejadian kebakaranbaru-baru ini.

Meskipun berfokus pada dampakkebakaran hutan dan lahan di tingkatrumah tangga atau desa, studi ini jugamengumpulkan informasi dan data

sekunder dari kabupaten dan provinsiuntuk mendapatkan perspektif yanglebih luas mengenai dampak yang terjadi.Berbagai lembaga yang relevan telahdikunjungi. Data yang dikumpulkan diantaranya mencakup informasitentang kesehatan, pembatalanpenerbangan, total lahan terbakar,kecelakaan lalu-lintas, harga pasaruntuk kebutuhan pangan, dan produksikaret.

Survei Rumah TanggaStudi dampak kebakaran hutan dan

lahan ini dilakukan di dua kabupaten dansatu kota di Lanskap Katingan-Kahayan,terdiri dari Kabupaten Pulang Pisau,Katingan, dan Kota Palangka Raya. Perludicatat bahwa unit analisis yang diguna-kan untuk studi ini adalah lanskap.Dengan demikian interpretasi dampak ditingkat provinsi harus dilakukan denganhati-hati mengingat sampel kabupaten/kota tidak dipilih untuk mewakili (secarastatistik) Provinsi Kalimantan Tengah

Beberapa langkah diambil untukmendapatkan sampel rumah tangga bagikeperluan studi. Pertama, ukuran sampelditentukan menggunakan data kependu-dukan. Menurut data Badan PusatStatistik (BPS), pada tahun 2013, totalpopulasi di kabupaten/kota sasaranadalah 522.900 orang. Besarnya sampelkemudian dihitung dengan mengacu padatingkat kepercayaan 95% dan tingkatkesalahan (margin of error) 5%.Kalkulasi ini menghasilkan jumlahsampel sebanyak 390 responden.

Pemilihan Desa: Langkah keduaadalah memilih desa sasaran. Mengingat

5 Indonesia’s Fires and Haze: The Cost ofCatastrophe, D Glover and T Jessup, Institute ofSoutheast Asian Studies, InternationalDevelopment Research Centre, Singapore.

Page 22: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

21Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan LahanGambar 1: Distribusi Titik Panas Di Desa-desa Target

Page 23: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

22 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

terdampak oleh kebakaran hutan danlahan. Gambar 2 menunjukkan pem-bagian wilayah tersebut.

3. HasilHasil survei kuantitatif dan diskusi

kelompok kualitatif dipaparkan dalamurut-urutan pembahasan. Pertama-tama,pembahasan atas temuan mengenaidampak ekonomi. Hal ini kemudiandiikuti dengan analisis mengenai dampakterhadap kesehatan dan indikator-indikator lain. Terakhir, disajikan satubagian mengenai penyebab kebakarandan upaya-upaya penanggulangannya.

3.1. Dampak EkonomiTotal Lahan yang TerbakarMasyarakat setempat melaporkan

bahwa kejadian kebakaran dan kabutasap pada tahun 2015 adalah yang terbu-ruk dibandingkan dengan kejadianserupa pada tahun-tahun sebelumnya.Laporan masyarakat ini sesuai denganhasil analisis terhadap data titik panasyang dihasilkan melalui studi ini.Temuan-temuan tersebut menunjukkanpeningkatan signifikan dalam jumlah titikpanas pada tahun 2015 dibandingkandengan data yang berhasil diidentifikasipada tahun 2012-2014. Gambar 3menunjukkan situasi tersebut

Meskipun kejadian kebakaran terse-but luar biasa, tidak mudah untuk me-ngetahui angka pasti dari total luaswilayah yang mengalami kebakaran.Berbagai kantor pemerintah melaporkanangka yang berbeda-beda. Contohnya,pemerintah provinsi melaporkan bahwatotal luas kawasan perkebunan karet

Gambar 2: Clustering BerdasarkanJumlah Titik Panas

Wilayah Kabupaten/Kota

Wilayah dengan jumlahtitik panas sedang

Wilayah denganjumlah titik panas

tinggi/pusatkebakaran

Tidak ada titik panas yang teridentifikasi di wilayahhijau, namun wilayah ini terdampak kebakaranhutan dan lahan

perbedaaan tingkat kejadian kebakarandi tiga kabupaten/kota, tim penelitimemutuskan untuk membentuk clusteryang didasarkan pada peta titik panas.6

Diidentifikasi terdapat 157 desa dengantitik panas di tiga kabupaten/kota, ataulebih dari 50% dari total 290 desa yangterdapat di ketiga wilayah tersebut.

Analisis K-Means Cluster7 kemudiandigunakan untuk membagi semua desakedalam tiga cluster: 1) Merah–desadengan jumlah titik panas tinggi; 2)Kuning–desa dengan jumlahtitik panassedang; dan 3) Hijau– desa yang tidakmemiliki titik panas, namun wilayahnya

6 Data titik panas diperoleh dari MODIS danmenunjukkan jumlah titik panas sampai bulanOktober 2015

7 Analisis cluster atau clustering adalah pengelom-pokkan sekumpulan obyek sehingga obyek-obyek yang berada dalam kelompok yang sama(disebut cluster) memiliki banyak kemiripan(dalam satu atau lain hal) dibandingkan denganobyek- obyek dalam kelompok (cluster) lain.

Page 24: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

23Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan

Gambar 3: Jumlah Titik Panas Pada Tahun 2012-2015

Page 25: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

24 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

yang mengalami kebakaran di KabupatenPulang Pisau selama kejadian kebakaranbaru-baru ini adalah seluas 428,40hektar. Namun dinas pertanian di PulangPisau melaporkan bahwa luas perke-bunan karet rakyat yang mengalamikebakaran pada tahun 2015 adalah 4.364hektar.

Laporan BI yang menggunakan datadari Badan Penanggulangan BencanaDaerah (BPBD), menyatakan bahwatotal luas wilayah yang mengalamikebakaran di Provinsi KalimantanTengah adalah 10.015 hektar, dengan3,21% merupakan areal perkebunankaret dan 2,23% areal perkebunankelapa sawit. Namun, informasi yangdirilis oleh Pemerintah DaerahKabupaten Pulang Pisau menunjukkanbahwa luas wilayah yang mengalamikebakaran di kabupaten ini adalah15.326 hektar (Tabel 1).

Memang, studi ini tidak ditujukanuntuk mengkalkulasi berapa angka pasti

total lahan terbakar di kabupaten/kota,melainkan pada sejauh mana kejadiankebakaran hutan dan lahan berdampakterhadap penghidupan di tingkat rumahtangga. Tetapi, kurangnya data spasialyang berkualitas nantinya dapat mem-batasi efektivitas dari suatu intervensikebijakan dan program-program penang-gulangan kebakaran. Karenanya, diperlu-kan adanya koordinasi yang lebih baikantar instansi pemerintah demi kepastianpenggunaan metode pengumpulan datayang terstandarisasi dan berkualitastinggi, serta hanya data konsisten yangdigunakan dan disebarluaskan.

Data kualitatif dari Desa Gohong diKabupaten Pulang Pisau mengungkapfakta tentang kebakaran perkebunankaret rakyat seluas 243 hektar yangterjadi baru-baru ini. Kerugian ekonomidiperkirakan sebesar 250.000 dollar AS(3,4 milyar rupiah). Lembaga PengelolaHutan Desa (LPHD) di Gohong jugamelaporkan bahwa 30% dari 3.155

Tabel 1: Total Lahan Terbakar Di Kabupaten Pulang Pisau

Page 26: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

25Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan

hektar Hutan Desa di daerah merekaterbakar.

Karenanya diperlukan analisis lebihlanjut untuk memperkirakan luas wi-layah yang mengalami kebakaran. Daridata burnscar yang disediakan olehKementerian Lingkungan Hidup danKehutanan, terungkap bahwa total luaskawasan terbakar di Lanskap Katingan-Kahayan adalah 304.113 hektar. Angkatersebut jauh lebih besar daripadainformasi yang dipublikasikan. Dariangka tersebut, seluas 290.666 hektarterbagi di 3 kabupaten/kota wilayahstudi. Kondisi ini ditunjukkan dalamGambar 4. Lebih lanjut, data menun-jukkan bahwa total luas lahan terbakardi Blok C (bekas Proyek Lahan GambutSejuta Hektar) mencapai 157.311hektar.

Data di muka kian diperkuat denganlaporan dari masyarakat yang tinggal didesa-desa berkategori merah yangmenyatakan bahwa sekitar 80 sampai

95% lahan mereka terbakar.Lepas dari perbedaanperkiraan luas lahan yangmengalami kebakaran, inimenunjukkan bahwa keba-karan hutan dan lahan diLanskap Katingan-Kahayanmemang menimbulkankerusakan parah.

Lalu bagaimana situasiini mempengaruhi rumahtangga di lokasi penelitian?Tentunya diperlukan pe-mahaman akan situasirumah tangga sebelum dansesudah kejadian kebakarandan kabut asap.

Situasi Rumah TanggaKondisi kesejahteraan rumah tangga

pada masa sebelum terjadi kebakarandapat dipahami dengan pendekatan gariskemiskinan. Ini mencakup penghitunganpengeluaran bulanan rata-rata perkapita. Hasilnya kemudian dibandingkandengan garis kemiskinan resmi yangdirilis oleh BPS Kalimantan Tengah.

Pada bulan September 2015, gariskemiskinan untuk provinsi ini ditetapkansebesar 26,59 dollar AS (362.729 rupiah)per kapita per bulan (http://kalteng.bps.go.id/Brs/view/id/529). Namun daristudi ini terungkap bahwa dalam situasinormal (tanpa insiden kebakaran),mereka yang tinggal di wilayah berkate-gori hijau memiliki kesejahteraan yanglebih baik dibandingkan mereka yangtinggal di wilayah berkategori merah dankuning. Ini tampak dalam Tabel 2

Rasio Ketergantungan: Selain itu,pemahaman tentang situasi rumah tangga

Gambar 4: Total Lahan Terbakar di 3 Kabupaten/Kota

Page 27: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

26 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

juga didekati dengan melihat rasioketergantungan di wilayah terkait. Rasioketergantungan adalah suatu angka yangmenunjukkanbesar beban tanggungankelompok usia produktif atas pendudukusia non produktif. Dalam studi ini,analisis dilakukan untuk mengidentifikasiwilayah-wilayah yang memiliki rasioketergantungan tinggi, dan karenanya

diasumsikan lebih rentanterhadap bencana. Dalamberbagai publikasi inter-nasional, penduduk usianon produktif biasanyamencakup mereka yangberusia dibawah 15 tahundan diatas 64 tahun.Sementara usia produktifmencakup pendudukberusia 15 sampai 64 tahun.Tabel 3 menunjukkan rasioketergantungan untukmasing-masing cluster.

Rata-rata, satu rumahtangga di lokasi penelitianmemiliki empat anggotarumah tangga. Seiringdengan kenaikan rasioketergantungan, bebanekonomi yang harusditanggung oleh populasiusia produktif jugameningkat. Data di atasmenunjukkan bahwawilayah berkategori merahmemiliki rasioketergantungan palingtinggi. Lebih jauh lagi, jikadibandingkan dengancluster lainnya, wilayahberkategori merah

memiliki persentase siswa tertinggidan persentase angkatan kerjaterendah (Tabel 4). Kesimpulannya,penduduk yang tinggal di wilayahkategori merah lebih rentan daripadamereka yang tinggal di wilayah lainnya.Kerentanan ini meningkat seiringdengan dampak kebakaran hutan danlahan yang semakin parah.

Tabel 2: Kesejahteraan Rumah Tanggadi Lokasi Penelitian

Tabel 3: Rasio Ketergantungan Di Tiap Cluster

Tabel 4: Persentase Murid Vs Penduduk Bekerja

Page 28: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

27Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan

Dampak Terhadap PenghidupanDari hasil wawancara terhadap 390

rumah tangga, —yang mencakup 40%rumah tangga di wilayah berkategorimerah, 30% di wilayah berkategorikuning, dan 30% di wilayah berkategorihijau— Lebih dari dua pertiga respon-den memiliki lahan pertanian atauperkebunan. Luas kepemilikan lahanberagam, namun sebagian besar rumahtangga di wilayah berkategori merah dankuning memiliki lebih dari lima hektarlahan pertanian atau perkebunan.Komoditas utama yang ditanam olehpara petani ini adalah karet (51%), padi(29%), dan kelapa sawit (13%). Perke-bunan karet mendominasi wilayahberkategori merah dan kuning. Meskipadi adalah komoditas utama bagi rumahtangga di wilayah berkategori hijau,beberapa di antara mereka juga mena-nam karet untuk sumber penghidupan.

Dari total 303 hektar perkebunankaret rakyat yang dimiliki oleh rumahtangga sampel, dilaporkan bahwa 77%atau 143 hektar di antaranya mengalamikebakaran –75 hektar di wilayah berka-tegori merah, 42 hektar di wilayahberkategori kuning, dan 27 hektar diwilayah berkategori hijau. Seluruh areayang terbakar dilaporkan memilikipohon karet produktif.

Dari olahan data nilai usaha tani,biaya produksi, dan pendapatan bersih,maka potensi kerugian diperkirakansebesar 60.243 dollar AS (821,65 jutarupiah) atau 220 sampai 550 dollar AS (3sampai 7,5 juta rupiah) per hektar.Gambar 5 menunjukkan estimasi keru-gian kebun karet di masing-masingwilayah. Selain kerugian yang dideritapetani kecil, GAPKINDO (GabunganPerusahaan Karet Indonesia) jugamelaporkan penurunan produktivitassampai 30%.

Selain itu, masyarakat di wilayahberkategori merah di Katingan melapor-kan bahwa 75% kebun rotan juga terba-kar. Komoditas lain yang terbakarmeliputi sengon (Albaziafalcataria), petai(Parkiaspeciosa), rambutan(Nepheliumlappaceum), dan kelapasawit.

Temuan lain menunjukkan bahwadampak kebakaran tidak hanya diderita

Gambar 5: Estimasi Kerugian KebunKaret Di Tiap Wilayah (dalam rupiah)

Page 29: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

28 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

oleh mereka yang lahan perkebunankaret ataupun lahan pertaniannya me-ngalami kebakaran. Para petani kecilyang lahannya tidak terbakar turutmelaporkan adanya penurunanproduktivitas yang signifikan. Rata-rata,penurunan produksi di lahan yang tidakterbakar mencapai 40%. Meskipundemikian, kebakaran bukanlah satu-satunya penyebab situasi ini. Musimkemarau yang berkepanjangan dianggapsebagai penyebab utama rendahnyaproduktivitas tersebut.

Hal ini diperburuk oleh terganggunyaproses fotosintesis tumbuhan yangdisebabkan oleh kabut asap dan berku-rangnya jam kerja karena jarak pandangyang rendah. Gambar 6 menunjukkanpersentase penurunan produksi dimasing-masing wilayah.

Diskusi kelompok yang dilakukan disejumlah desa juga mengungkapkandampak-dampak kebakaran lain terhadappenghidupan, seperti penurunan hasiltangkapan ikan, penurunan produksi

sarang burung walet sebesar 25%, sertatingginya tingkat kematian unggas.

Pendapatan Menurun, PengeluaranMeningkat: Tidak ada wilayah yangbebas dari dampak, baik akibat terbakarsecara langsung, kabut asap, maupunakibat masalah-masalah lain yang ditim-bulkan oleh kebakaran.

Meskipun titik panas diidentifikasi diwilayah berkategori merah dan kuningdimana lahan pertanian dan perkebunanmendominasi, dampak kebakaran dankabut asap terhadap pendapatan rumahtangga tersebar hampir merata di selu-ruh wilayah.

Sebagai contoh, 73,5% rumah tanggadi wilayah berkategori hijau—dimanatitik panas tidak teridentifikasi—mela-porkan bahwa pendapatan merekamengalami penurunan. Secara rata-rata,lebih dari 75% responden yang diwa-wancarai sepakat bahwa kejadian keba-karan dan kabut asap memengaruhipendapatan rumah tangga mereka.Gambar 7 menunjukkan bahwa ada lebih

Gambar 6: Penurunan Produksi DiLahan Yang Tidak Terbakar

Gambar 7: Persentase Rumah TanggaYang Melaporkan Penurunan Pendapatan

Page 30: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

29Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan

banyak rumah tangga di wilayah berkate-gori kuning yang melaporkan penurunanpendapatan dibandingkan dengan mere-ka yang tinggal di wilayah lain. Situasi inidiperburuk oleh kenyataan bahwa 100%dari mereka yang hidup dibawah gariskemiskinan di wilayah berkategorikuning mengalami penurunan penda-patan, sebagaimana ditunjukkan dalamTabel 5.

Temuan awal ini tidak berarti bahwarumah tangga yang hidup diatas garis

kemiskinan memiliki situasi yang lebihbaik. Analisis lebih lanjut menunjukkanbahwa rumah tangga dengan pendapatanbulanan rata-rata mulai dari 73 sampai147 dollar AS (1 sampai 2 juta rupiah),baik di wilayah berkategori merahmaupun kuning, mengalami penurunanpendapatan lebih dari 75%. Dengan katalain, rumah tangga tersebut berpotensijatuh dibawah garis kemiskinan. Denganrasio ketergantungan yang tinggi dikedua wilayah, penurunan pendapatan

Tabel 5: Penurunan Pendapatan vs Garis Kemiskinan

Gambar 8: Kenaikan Pengeluaran Rumah Tanggauntuk Kesehatan

Page 31: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

30 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

ini sangat mengkhawatirkan. Melaluidiskusi kelompok, tim peneliti mempe-lajari bahwa orang akan melakukanapapun agar dapat bertahan hidup,termasuk menjual perabotan rumahtangga mereka.

Meskipun rata-rata penurunanpendapatan di seluruh wilayah mencapaikurang dari 50%, situasi ini tidak bolehdiabaikan karena mungkin butuh ber-bulan-bulan sampai bertahun-tahun agarrumah tangga kembali berada dalamkondisi stabil. Lebih lanjut, studi inimendapati bahwa persentase penurunanpendapatan yang lebih tinggi dialamioleh rumah tangga yang bekerja disektor pertanian/perkebunan.

Seiring dengan penurunanpendapatan, rumah tanggadibebani pula dengan kenaikanpengeluaran. Ini terjadi tidakhanya karena kenaikan harga-harga barang di pasar yangdisebabkan oleh terganggunyadistribusi barang dan jasa, namunjuga karena rumah tangga harusmengeluarkan biaya lebih banyakuntuk kesehatan.

Menurut data survei, rumahtangga mencatat pengeluaranlebih tinggi untuk keperluankesehatan, makanan, dan airselama kejadian kebakaran dankabut asap. Pengeluaran yangberkaitan dengan kesehatanrata-rata mengalami pening-katan sebesar 206,59% diseluruh wilayah, atau tiga kalilebih besar dibandingkanpengeluaran dalam situasinormal. Kenaikan pengeluaran

untuk kesehatan hingga lebih dari 300%dialami oleh rumah tangga yang beradadi wilayah berkategori kuning, yaknimereka yang mengalami penurunanpendapatan paling besar.

3.2.Dampak Kesehatan

Dampak kesehatan dari polusi udarayang disebabkan oleh kebakaran hutantelah ditelaah melalui sejumlah penelitiandi seluruh dunia, baik secara langsung saatkejadian maupun dengan jeda waktuuntuk menilai dimensi waktunya. Kabutasap terdiri dari zat partikulat yang dapatdilihat, baik yang padat (PM10) maupunyang halus (PM2.5), jenis partikulat

Gambar 9: Indeks Pencemaran Udara

Page 32: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

31Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan

terakhir ini dapat diserap dengan mudaholeh tubuh manusia, masuk ke dalamparu-paru dan sistem pernafasan. Gas-gasutama yang dihasilkan selama prosesterbakarnya biomassa meliputi karbondioksida (CO2), karbon monoksida(CO), metana (CH4), nitrogen oksida(NO), nitrogen dioksida (NO2), danamoniak (NH3). Dampak langsung bagikesehatan dari gas-gas beracun inikemungkinan rendah karenakonsentrasinya tersebar di udara terbuka.Meskipun demikian, dampak bagikesehatan dalam jangka panjang karenaterpapar karsinogen dari asap yangdisebabkan karena kebakaran dapatsangat mengkhawatirkan. WHO mem-

perkirakan bahwa 3,1 juta kematian diluar ruangan terkait polusi udara diseluruh dunia setiap tahunnya disebabkankarena penyakit jantung iskemik danstroke (80), penyakit paru obstruktifkronik dan infeksi saluran pernafasan akut(14%), serta kanker paru (6%). Darijumlah ini, 340.000 di antaranya disebab-kan oleh asap kebakaran hutan dan lahan.

Lebih lanjut, PM10 dari kebakaranhutan tampaknya memiliki dampak yangberbeda-beda terhadap kesehatandibandingkan dengan PM10 di perko-taan. Sebuah penelitian selama 8 tahunyang menelaah tingkat polusi udara,termasuk dari kebakaran semak, dantingkat hunian rumah sakit menunjukkan

Gambar 10: Jumlah Kasus Infeksi Saluran Pernafasan

Page 33: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

32 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

bahwa kenaikan PM10 sebesar 10 µg/m3karena kebakaran di hutan (bukan dikawasan perkotaan) berhubungan eratdengan peningkatan signifikan jumlahpasien yang dirawat di rumah sakitkarena penyakit yang berkaitan denganpernafasan.

Badan Meteorologi, Klimatologi danGeofisika (BMKG) Indonesia telahmenyatakan nilai di atas 350 PM berba-haya. Pada tanggal 16 Oktober 2015,nilai PM10 di Kota Palangka Raya terca-tat sebesar 1,759 µg/m3. Nilai ini me-ningkat signifikan hingga 3,700 µg/m3pada akhir bulan Oktober 2015. Kabutasap begitu tebalnya hingga udara ber-ubah menguning, dan tingkat polusimencapai 10 kali batas minimal yangdianggap “berbahaya.”

Statistik resmi menunjukkan bahwasejak bulan Juli sampai November

2015, ditemukan 67.582 kasus infeksipernafasan akut yang tercatat diKalimantan Tengah. Dari jumlah ini21.296 kasus tercatat di LanskapKatingan-Kahayan (Katingan, PulangPisau dan Palangka Raya). Gambar 10menunjukkan bahwa jumlah kasusmengalami peningkatan signifikan padaminggu ke-42 bulan Oktober 2015,terutama di Palangka Raya. Selamadiskusi kelompok, masyarakatmelaporkan bahwa kaum lanjut usia dananak-anak lebih rentan terhadappaparan kabut asap. Satu kasuskematian karena infeksi saluranpernafasan juga dilaporkan dalam salahsatu diskusi. Kebanyakan orangmenyatakan bahwa mereka tidak sukamenggunakan masker karena merasatidak nyaman atau iritasi. Lebih lanjut,data survei rumah tangga menunjukkan

Gambar 11: Jumlah Kasus Diare

Page 34: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

33Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan

bahwa kasus infeksi saluran pernafasantertinggi didapati di wilayah berkategorihijau, dimana rata-rata orang mengalamihari sakit selama 117 hari.

Selain infeksi saluran pernafasan,studi ini juga mendapati peningkatanjumlah kasus diare dalam periode yangsama dari bulan Juli-November 2015.Statistik resmi mencatat ada 22.206kasus diare di Provinsi KalimantanTengah. Dari jumlah tersebut, 4.377kasus ditemukan terutama di LanskapKatingan-Kahayan, terdiri dari 1.843kasus di Katingan, 1.287 kasus di PulangPisau, dan 1.247 kasus di Palangka Raya.Diasumsikan bahwa kabut asap me-nyebabkan penurunan kualitas air.Sebagaimana halnya dengan infeksisaluran pernafasan, data survei jugamengungkapkan bahwa kasus diaredidapati lebih tinggi di wilayah berka-tegori hijau. Rata-rata orang mengalamihari sakit karena diare selama 6 hari.Gambar 11 menunjukkan data kasusdiare di lokasi studi per kabupaten/kota.

Secara khusus, keterpaparan terha-dap kebakaran hutan memiliki implikasilebih serius terhadap kesehatan bayi dananak-anak karena secara fisiologismereka masih berkembang. Implikasi iniberpotensi memengaruhi masa dewasamereka.

Lebih lanjut, banyak orang jugamelaporkan kasus iritasi mata, tenggo-rokan, dan kulit. Data survei menun-jukkan bahwa jumlah kasus tertinggiuntuk gangguan kesehatan ini didapatidi wilayah berkategori merah.

Peningkatan kecelakaan lalu lintasyang disebabkan oleh penurunan jarakpandang juga dicatat. Sayangnya, timpeneliti hanya dapat mengumpulkandata dari kantor kepolisian daerah diPalangka Raya. Dari bulan Agustussampai Oktober 2015, kecelakaan lalulintas menimbulkan 59 korban luka-luka dan 8 kematian. Kantorkepolisian di Palangka Rayamemperkirakan potensi kerugiansebesar 7.504,20 dollar AS (102,35juta rupiah).

Gambar 12: Jumlah Kasus Kecelakaan Lalu Lintas

Page 35: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

34 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

3.3. Dampak LainAktivitas Belajar Mengajar

Aktivitas sekolah di seluruh wilayahsurvei sangat terpengaruh oleh kabutasap yang dihasilkan dari kebakaranhutan dan lahan. Sekolah-sekolahditutup sampai hampir dua bulan. Saatdibuka kembali, jam belajardiperpanjang untuk mengganti waktu

yang hilang. Situasi ini sangatmengganggu siswa, bukan hanya karenaterpapar polusi tetapi juga karenakelelahan fisik akibat jam belajar yanglebih lama.

Dampak terhadap Industri PenerbanganIndustri penerbangan diketahui

sangat terpengaruh dengan rendahnya

Gambar 13: Status Penerbangan

Page 36: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

35Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan

jarak pandang yang disebabkan olehkabut asap di Kalimantan Tengah. Timpeneliti mengumpulkan data dari oto-ritas Bandar Udara Tjilik Riwut diPalangka Raya. Data tersebut menunjuk-kan bahwa dari bulan Agustus sampaiOktober 2015, hanya 279 dari 1.698penerbangan yang beroperasi tepatwaktu. Situasi ini menyebabkan hilang-nya pemasukan sebesar 42% bagi otori-tas bandara. Gambar 13 menunjukkanstatus penerbangan yang dioperasikanoleh Bandara Tjilik Riwut dari bulanAgustus sampai Oktober 2015.

3.4.Penyebab danPenanggulangan Kebakaran

Memahami sikap dan perspektifmasyarakat terhadap kebakaran hutandan lahan di lanskap mereka merupakandasar untuk merancang danmelaksanakan suatu strategipenanggulangan kebakaran yang efektifdan berkelanjutan. Melalui pemahaman

itu dimungkinkan adanya pengembanganstrategi kampanye guna memobilisasimasyarakat dan memastikan keterlibatanmereka.

Ada tiga pertanyaan kunci yangdiajukan kepada masyarakat terkaitpenyebab kebakaran dan upaya-upayapenanggulangannya. Pertama, pararesponden diminta memilih semuafaktor yang berperan terhadap kejadiankebakaran hutan dan lahan. 70% dariresponden survei dengan tepatmenyatakan kondisi kekeringan, yangdisebabkan oleh fenomena cuaca ElNiño. Perlu dicatat bahwa hanya 35%responden yang memilih pembukaanlahan yang dilakukan oleh perusahaansebagai penyebab utama kebakaran. Initampak pada Gambar 14.

Kedua, responden survei dimintauntuk menyusun daftar semua pihak yangdianggap paling bertanggung jawab ataskejadian kebakaran lahan dan hutan.Hasilnya tampak pada Gambar 15.

Gambar 14: Penyebab Kebakaran

Page 37: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

36 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Sebagian besar responden menudingmasyarakat (88%) dan pemerintahdaerah (74%) sebagai pihak palingbertanggung jawab. Kurang darisetengah responden yang disurvei (48%)menganggap perusahaan swasta sebagaipihak yang bertanggung jawab.

Terakhir, responden survei dimintamengusulkan teknik penanggulangankebakaran yang paling efektif. Jawabanpaling umum adalah melalui kegiatansosialisasi yang ditujukan untuk mening-katkan pengetahuan dan kesadaran diantara para pemangku kepentinganutama.

Hasil-hasil survei ini memiliki impli-kasi penting bagi pendekatan IFMLESTARI di Lanskap Katingan-Kahayan.Masyarakat umumnya sadar bahwakondisi kekeringan memperburuk keba-karan, dan bahwa institusi pemerintahgagal mengembangkan dan menerapkankebijakan yang efektif. Meski demikian,masyarakat juga harus menyadari bahwa

perusahaan-perusahaan swasta telahmelakukan praktek-praktek konversilahan yang tidak berkelanjutan, yangberkontribusi secara signifikan terhadapkejadian kebakaran dan krisis kabut asap.Maka dari itu, LESTARI dapat membantumemfasilitasi pemahaman masyarakatterhadap pentingnya pendekatan“pembagian beban” dalam melaksanakanIFM, mengingat masing-masing pemangkukepentingan (masyarakat, pemerintah,sektor swasta) memiliki peranan dantanggung jawab dalam mengelola danmenanggulangi kebakaran. Sebagaimanadinyatakan oleh masyarakat yang disurveibahwa sosialisasi merupakan upayapenanggulangan yang utama, hal inimencerminkan keterbukaan mereka akandialog dan dapat menjadi titik masukutama bagi pekerjaan IFM LESTARI.Dengan memberdayakan masyarakatlewat pengetahuan, LESTARI dapatmembantu membangun konsensus danmeningkatkan keterlibatan masyarakatdengan para pemangku kepentinganlainnya untuk mendukungpenanggulangan kebakaran dan praktik-praktik pencegahan yang efektif.

4. KesimpulanHasil Studi Dampak Kebakaran

Hutan dan Lahan ini menunjukkanbahwa dampak kebakaran dan krisiskabut asap sangat merugikan bagi peng-hidupan, kesehatan, kesejahteraan danpendidikan rumah tangga di LanskapLESTARI Katingan-Kahayan di Kali-mantan Tengah. Lebih lanjut, hasil-hasilini mendukung hipotesis tim penelitibahwa kerugian yang diderita rumah

Gambar 15: Pihak-pihak yangBertanggung Jawab

Page 38: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

37Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan

tangga akibat kejadian kebakaran hutandan lahan lebih besar daripada informasiyang dimuat dalam berbagai bahanpublikasi.

Penyebab utama dari kebakaranhutan yang merusak ini bukan rahasialagi. Pembukaan dan pembakaran lahansecara tidak berkelanjutan oleh parapetani kecil maupun perusahaan kelapasawit berskala besar, pengeringan lahangambut, serta kurangnya kemampuanpemerintah dalam merespon danmencegah terjadinya kebakaran, sedikitbanyak turut bertanggung jawab. Hal inimenekankan bahwa diperlukan adanyarespon berskala luas yang menyatukansemua pemangku kepentingan danmemahami kompleksitas dan kebera-gaman sifat kebakaran.

Untuk menjawab tantangan tersebutdan menanggulangi dampak lebih lanjutterhadap kesejahteraan masyarakat,pendekatan IFM menjadi penting. IFMLESTARI terdiri dari empat pilar:Pencegahan, Kesiapsiagaan, Respon,

dan Pemulihan. Pencegahan adalah pilarterpenting, karena ini melibatkanterbangunnya basis dukungan luas darimasyarakat melalui peningkatankesadaran, pendidikan dan pelatihan,serta pelibatan pemangku kepentingan.Kebanyakan di antara para respondensurvei dalam studi ini menyarankandilakukannya kegiatan sosialisasisebagai salah satu cara penanggulangankebakaran. Hal ini menunjukkan bahwatitik masuk utama bagi LESTARI adalahmenyatukan para pemangkukepentingan, berbagi pengetahuanberbasis bukti, dan memupuk kerjasama dengan cara yang mendukungpendekatan “berbagi beban” bagi IFM.Forum Multi Pihak LESTARI, di tingkatprovinsi maupun kabupaten, dapatmenyajikan suatu platform ideal melaluidialog terbuka yang membahas masalahkebakaran guna memperoleh komitmendari para pemangku kepentinganterhadap pemanfaatan lahan secaraberkelanjutan.

Gambar 16: Upaya Penanggulangan Yang Diusulkan oleh Masyarakat

Page 39: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

38 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Secara keseluruhan, studi ini akandigunakan sebagai alat pelibatan yangmemberikan bukti-bukti mengenaidampak kebakaran hutan dan lahan diLanskap Katingan-Kahayan dan me-mungkinkan proyek LESTARI untukberkomunikasi dengan para pemangkukepentingan utama dengan cara yang

konstruktif dan meyakinkan. Studi inidiharapkan dapat memberikankontribusi bagi kerja-kerja advokasikebijakan LESTARI dimana tujuanakhirnya adalah peningkatan penghi-dupan masyarakat serta merealisasikanperubahan yang transformatif danberkelanjutan•

Page 40: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

39Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem

RAWA SINGKIL -SUAKA LAHAN GAMBUTPENJAGA EKOSISTEMOleh Matthew Linkie, Muhamad Muslich, Matthew Leggettdan Willy Marthy

Pendahuluan

Lahan gambut di Indonesiamerupakan ekosistem yang palingsensitif dan terancam di bumi.

Kawasan 22 juta hektar ini menyimpan132 gigaton karbon dioksida yangterbagi secara tidak merata,dibandingkan hutan pada tanah mineral.Simpanan karbon di balik lahan gambutyang sangat asam, berpori, dan terbanjirisecara rutin ini dimungkinkan untukterlepas ke udara dan memanaskan

bumi, ketika lahan gambut yangsebenarnya tidak sesuai untuk pertanian,dibuka-paksa dan dimanfaatkan untukperkebunan kelapa sawit, industri pulpdan kertas dengan kecepatan yang tidakproporsional. Metode pengeringan(drainase) lahan gambut yang biasadipergunakan untuk pembukaan lahanperkebunan berkontribusi hingga 3%pada emisi global karbon dioksida.Lebih-lebih ketika pembersihan lahangambut terdrainase dilakukan dengan

D E N G A R P E N D A P A T

Kawasan hutan rawa gambut Singkil adalah salah satu dari tiga hutan di Aceh yangmengalami degradasi dan konversi lahan berskala luas dan cepat melalui perluasan kebunKelapa sawit dan eksploitasi oleh para pembalak liar (Singkil dan Kluet). Peningkatan risikokebakaran berskala luas di sebagian besar kawasan barat dari Ekosistem Leuser telahmenyebabkan kerusakan hutan rawa gambut yang kaya karbon Artikel ini berusahamembuat satu model komprehensif untuk melihat valuasi ekonomi dari jasa ekosistemyang disediakan oleh hutan. Terdapat dua skenario yang dievaluasi: i) Skenario konservasi– dimana seluruh aktivitas ekstraktif dihentikan dan jasa ekosistem hutan dipelihara; dan,ii) Skenario deforestasi –dimana seluruh aktivitas berlangsung seperti biasa (business-as-usual) dengan laju deforestasi 1,3% per tahun yang menghasilkan perluasan lahan pertaniantetapi diiringi penurunan hasil pertanian selaras dengan penyusutan jasa ekosistem.

Kata kunci: Kebakaran hutan, valuasi ekonomi, jasa ekosistem.

Page 41: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

40 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

cara dibakar, lahan ini melepaskansejumlah besar kabut asap beracun.Selain itu drainase juga menyebabkandekomposisi, penyusutan dan subsidensikarena sifat tanah gambut yang tidakstabil. Di Indonesia, subsidensi lahangambut sebesar 1-2 meter biasanyaterjadi setelah lima tahun pertamadrainase dilakukan, diikuti dengansubsidensi sebesar 0.3-0.5 cm per tahunsesudahnya. Karena lahan gambutmemiliki tinggi muka air yang dekatdengan permukaan, penurunan permu-kaan tanah tidak hanya menyebabkanpeningkatan risiko banjir, tetapi jugamenurunkan produktivitas pertanian danmeningkatkan risiko kehilangan lahanakibat perendaman.

Kebakaran hutan yang terjadi padabulan Agustus-November 2015 di berbagaiwilayah di Indonesia bukanlah fenomenabaru. Selama lebih dari dua puluh tahun,negara-negara di Asia Tenggara menderitaakibat asap beracun yang dihasilkan darikebakaran besar di Indonesia khususnyadari hutan tanah mineral dan lahan gambutdi Sumatra dan Kalimantan. Pembakarandilakukan dengan sengaja selama musimkemarau oleh petani kecil dan perusahaansebagai teknik pembersihan dan perluasanlahan pertanian, khususnya kelapa sawit.Pada tahun 2015, musim kemarauberkepanjangan yang disertai badai ElNino menghasilkan peristiwa kebakaranhutan terburuk yang diakibatkan oleh ulahmanusia. Diukur dengan metode apapun,angka statistik tentang dampak kebakaranhutan pada tahun 2015 sangatmengkhawatirkan,• Ekosistem dan keanekaragaman

hayati: 5,7 juta hektar hutan dan

lahan terbuka rusak terbakar1.Meskipun sulit menghitung dampakkeanekaragaman hayati, adanyakehilangan habitat hutan secara luasdan asap beracun mengindikasikanbahwa dampak tersebut signifikan,terutama untuk spesies terancamseperti harimau dan orang-utan.Selain itu juga terdapat sejumlahdampak turunan yang potensial.Sebagai contoh, kebakaran yangterjadi pada tahun 1997/1998menyebabkan kerusakan parah padapopulasi serangga dan lebah, sebagaipenyerbuk utama, yang kemudianberdampak besar pada suplai ma-kanan dan regenerasi hutan alam2.Asap dan abu kebakaran jugadiketahui berdampak signifikan padaekosistem laut yang rapuh sepertirumput laut dan terumbu karang3.

• Emisi gas rumah kaca: Dalam dua bulanpertama kebakaran, emisi karbonIndonesia melebihi total output karbontahunan Jerman dan ketika kebakaranmencapai puncaknya, emisi yangdihasilkan melebihi karbon harian dariseluruh aktivitas ekonomi Amerika(dimana skalanya lebih dari 20 kaliaktivitas ekonomi Indonesia).

1 http://www.nytimes.com/2015/10/31/world/asia/indonesia-forest-fires-wildlife.html?_r=0

2 Meijaard, E., pers comm (2015) Borneo FuturesInitiative. dan Nasi, R., Dennis, R., Meijaard, E.,Applegate, G. and Moore, P. (2001) Forest fireand biological diversity. FAO. [http://www.fao.org/docrep/004/y3582e/y3582e08.htm]

3 Abrams, J.F., Hohn, S., Rixen, T., Baum, A. andMerico, A. (2016) The impact of Indonesian peat-land degradation on downstream marine ecosy-stems and the global carbon cycle. Global ChangeBiology, 22:325-337.

Page 42: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

41Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem

• Kesehatan manusia:kebakaran memi-liki dampak yang merusak terhadapkesehatan 28 dan 43 juta pendudukIndonesia4, dengan 500.000 kasusinfeksi pernapasan akut5 dilaporkankurang dari dua bulan.

• Ekonomi: Kebakaran hutan dankejadian asap tahun ini menghambatpertumbuhan ekonomi di Indonesia,dengan estimasi kerugian mencapai221 triliun rupiah (atau sekitar 16,8milyar US dolar) yang merepre-sentasikan 1,9% dari GDP6. Nilaitersebut lebih dari dua kali biayarekonstruksi untuk Aceh dan Niassetelah kejadian tsunami tahun 2004.Kerugian akibat kebakaran hutan ditingkat regional diperkirakan men-capai kurang lebih $14bn7.

Pemerintah Republik Indonesiabukannya abai terhadap realitas dimuka. Pelbagai regulasi telah diupa-yakan sebagaimana yang terdapat dalamUU No 32/2009 tentang Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup,penggunaan api untuk membersihkan

lahan dan membuka lahan gambutdengan kedalaman lebih dari tiga metertidak diperbolehkan. Ini berartisebagian besar lahan gambut diIndonesia harus diberi perlindungankarena kedalamannya, tetapi situasi inijarang terjadi di lapangan sepertiditunjukkan oleh pola kebakarantahunan. Oleh karena itu, PemerintahIndonesia telah memperbaharuikomitmennya untuk memerangi keba-karan d masa depan, khususnya padalahan gambut, dengan cara menang-gulangi faktor penyebabnya dan bebe-rapa aksi pendukung telah diidentifikasi,termasuk:• Pembentukan Badan Restorasi Gam-

but nasional –Peraturan Presiden No.1/2016 untuk mencegah kebakaranhutan, khususnya pada lahan gambut,dan untuk merestorasi kawasan yangrusak karena kebakaran.

• Komitmen untuk mengintegrasikandata nasional terkait pemanfaatanlahan gambut dan perijinan yang adasaat ini sebagai referensi bagi tatakelola lahan gambut, melalui inisiatifyang sedang berjalan yaitu Satu Peta(One Map) untuk Indonesia.

• Menghentikan penerbitan ijin dilahan gambut, dan mengevaluasi ijinyang saat ini berlaku.

• Restorasi dan rehabilitasi lahangambut kritis dengan teknik restorasihidrologi.

• Melarang penanaman pada lahangambut yang terbakar dan mem-berikan mandate untuk restorasi,dengan penekanan pada upayamengembalikan kawasan terbakardibawah pengelolaan negara.

4 Sutopo Puro Nugroho, the spokesperson forthe Meteorology, Climatology and GeophysicsAgency (BMKG) quoted in http://www.theguardian.com/world/2015/oct/26/indonesias-fires-crime-against-humanity-hundreds-of-thousands-suffer

5 http://www.theguardian.com/world/2015/oct/26/indonesias-fires-crime-against-humanity-hundreds-of-thousands-suffer

6 http://www.worldbank.org/en/news/feature/2015/12/15/indonesia-economic-quarterly-december-2015

7 Hery Purnomo, CIFOR, quoted in http://www.nytimes.com/2015/10/31/world/asia/indonesia-forest-fires-wildlife.html?_r=0

Page 43: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

42 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Lebih lanjut, Undang-Undang tentangPemerintahan Aceh memberikan otono-mi yang lebih tinggi kepada pemerintahpropinsi untuk pengelolaan sumber dayaalam, yang memungkinkan penerbitanperaturan daerah (qanun). Hal ini ber-dampak baik, contohnya melalui pene-rapan moratorium industri kayu komer-sil di level propinsi. Meskipun demikian,kebijakan itu juga mengarah pada inkon-sistensi antara regulasi nasional danpropinsi, seperti yang dapat ditemukanpada rencana tata ruang Aceh. Untukmencapai pengelolaan hutan gambutyang efektif, dan juga hutan tanahmineral, menjadi sangat penting bagirencana tata ruang Aceh untuk sepe-nuhnya mengakui jasa lingkungan yangdisediakan oleh berbagai tipe ekosistemhutan ini. Satu cara untuk mencapai halini adalah melalui periode review limatahunan atas rencana tata ruang yangberlaku. Periode ini memungkinkanpenyesuaian terhadap rencana tata ruangmelalui zonasi beresolusi tinggi mulaidari kawasan lahan negara, swastasampai ke kawasan perdesaan. Pende-katan yang lebih bertanggung jawabsecara sosial dan lingkungan juga harusdilakukan, sehingga pada waktu bersa-maan, berkontribusi terhadap pertum-buhan regional yang berkelanjutan.Efektivitas zonasi kawasan perdesaanakan dapat dicapai ketika hak dan kewa-jiban masyarakat yang diklarifikasimelalui penataan batas partisipatif diakuisecara hukum, sesuai dengan SuratKeputusan Menteri Dalam Negeri No28 Tahun 2006. Zonasi tata ruang, yangpartisipatif, dapat disahkan melaluiperaturan daerah (qanun) - Peraturan

Zonasi–seperti diatur dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentangPenataan Ruang dan PP No 15 Tahun2010. Delineasi dan definisi zonasidiperlukan dalam proses ini. Olehkarena itu, penghargaan dan pengakuanatas jasa ekosistem hutan dapat dimasuk-kan kedalam zona peruntukkan diselu-ruh kawasan hutan negara dan swasta.

Nilai ekonomi dari Pelesta-rian ekosistem hutan Aceh

Hutan-hutan rawa gambut di Acehterletak di pesisir bagian barat propinsitersebut. Dalam skala konektivitas yangbervariasi, lahan gambut ini berdam-pingan dengan hutan tanah mineraldimana sungai-sungai bermuara. Secarakeseluruhan, nilai penting jasa ling-kungan yang disediakan baik oleh hutangambut maupun hutan tanah mineral diAceh diilustrasikan dengan Total ValuasiEkonomi8. Pada studi ini, satu modelkomprehensif dibangun menggunakandata tutupan hutan, indikator sosio-ekonomi dan berbagai jasa ekosistemyang disediakan oleh hutan. Terdapatdua skenario yang dievaluasi: i) Skenariokonservasi – dimana seluruh aktivitasekstraktif dihentikan dan jasa ekosistemhutan dipelihara; dan, ii) Skenariodeforestasi –dimana seluruh aktivitasberlangsung seperti biasa (business-as-usual) dengan laju deforestasi 1,3% per

8 van Beukering, P., Grogan, K., Hansfort, S.L.and Seager, D. (2008) An economic valuationof Aceh’s forests: the road towards sustainabledevelopment. Technical report for the Govern-ment of Aceh, Aceh, Indonesia.

Page 44: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

43Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem

tahun yang menghasilkan perluasan lahanpertanian tetapi diiringi penurunan hasilpertanian selaras dengan penyusutan jasaekosistem. Secara singkat, studi inimenemukan perubahan penting padakomposisi Total Valuasi Ekonomi darikedua skenario tersebut. Sementaradeforestasi mungkin dianggap sebagaicara mudah dan cepat untuk menda-patkan penghasilan, sekali lahan dikon-versi menjadi perkebunan, erosi tanahakan segera terjadi dan produksi perta-nian pun menurun. Penjualan kayu jugamengalami penurunan seiring denganpembukaan hutan dan efek dari degra-dasi jasa ekosistem pun akan mengambilalih. Dalam kerangka waktu lebih dari30 tahun, skenario konservasi meng-hasilkan manfaat bersih yang lebih tinggi

(12,9 milyar US dolar) dibandingkanskenario deforestasi (11,6 milyar USdolar; Tabel 1).

Kajian ini tidak menginvestigasisecara detil bagaimana manfaat dari jasalingkungan yang berbeda didistribusikankepada kelompok-kelompok penerima.Sebagai contoh, skenario deforestasiakan sangat menguntungkan perusahaan-perusahaan kayu skala besar. Perusahaanini akan membayar pajak kepada peme-rintah nasional dan/atau propinsi yangkemudian mungkin diterjemahkan dalambentuk bantuan dana bagi masyarakatpinggiran hutan. Namun, industri kayuakan beroperasi di kawasan hutandengan elevasi rendah yang juga menjadiwilayah adat bagi masyarakat pinggiranhutan. Sebaliknya, skenario konservasi

Sumber: Data diambil dari van Beukering et al. 2008.

Tabel 1.Total nilai dan distribusi manfaat diantara sektor untuk kedua skenario,dengan diskonto 3,5%.

Page 45: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

44 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

akan memastikan bahwa jasa lingkunganpaling bermanfaat bagi masyarakat desa(menyediakan suplai air bersih,perikanan dan produk-produk hutan nonkayu)dalam jangka panjang.

Hutan rawa gambut di AcehAceh memiliki tiga hutan rawa

gambut utama. Pertama, Tripa yangmenunjukkan bagaimana cepatnya lahangambut dalam terdegradasi olehperambahan liar kelapa sawit danpenggunaan api yang sistematis untukpembersihan lahan berhutan. Fenomenaini juga menunjukkan bagaimana sulitnyamenegakkan aturan untuk mencegahaktivitas ilegal tersebut. Malahan,penerbitan surat perintah pengadilanuntuk menghentikan pembersihan lahanmemacu perusahaan perkebunan untukmempercepat kegiatan pembersihanlahan. Hal ini menyebabkan beberapakejadian kebakaran terburuk di Sumatra

pada tahun 2012. Terdapat dua hutangambut dalam yang tersisa di kawasanEkosistem Leuser, yakni Singkil (82.374ha) dan Kluet (18.000ha; Gambar 1).

Singkil dan Kluet keduanya masihrelatif utuh, akan tetapi mengalamikonversi cepat secara ilegal menjadikebun kelapa sawit (Singkil) dandieksploitasi oleh para pembalak liar(Singkil dan Kluet). Drainase ilegal yangterus berlangsung, degradasi dankonversi yang terjadi di Singkil danKluet meningkatkan risiko kebakaranskala luas di sebagian besar kawasanbagian barat dari Ekosistem Leusersehingga kerusakan hutan rawa gambutyang kaya karbon dan hutan tanahmineral di sekitarnya, tidakterhindarkan. Emisi karbon yangdihasilkan dari kebakaran di duakawasan ini saja dapat mencapai 7%dari total emisi tahunan Indonesia. Inisituasi yang membahayakan komitmenIndonesia yang tertuang dalam Rencana

Gambar 1. Rangkaian citra sejaktahun2005-2014 dari Global ForestWatch menunjukkan kehilangan yanghampir menyeluruh dari hutan rawagambut di Tripa dan laju kehilanganyang tinggi di perbatasan hutan rawagambut Aceh yang tersisa, Kluet danSingkil. Kehilangan hutan di sekitarSingkil telah memecah kawasan hutanyang dalam prosesnya memutus koneksikawasan tersebut dengan LanskapLeuser. Pola-pola deforestasi ini diprediksiberdampak signifikan terhadap spesiespenjelajah seperti harimau dan lebihlanjut, menurunkan daya hidup populasidari spesies terancam seperti populasiorang-utan.

Page 46: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

45Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem

Kontribusi Nasional (IntendedNationally Determined Contribution)di bawah UNFCCC, dan mengarah padapotensi kehilangan keanekaragamanhayati yang signifikan, belum lagi keru-gian yang dialami sektor ekonomi dankesehatan di Indonesia dan kawasanregional9. Pengalaman dari Tripa me-nunjukkan bahwa pendekatan proaktifdan preemptive menjadi penting diterap-kan untuk menghindari kebakaran. Dibawah ini, disajikan analisis situasiSingkil sebagai informasi bagi penyu-sunan strategi guna membantu Peme-rintah Aceh membangun suatu praktikterbaik (best practice) dan model yangdapat direplikasi untuk melindungilahan gambut, menghindari emisi gasrumah kaca beracun danmempertahankan keanekaragamanhayati.

Analisis Situasi Dari SuakaMargasatwa Rawa Singkil

Bagian ini mengkaji status SuakaMargasatwa Rawa Singkil, dengan fokusutama pada jasa lingkungan (untukserapan karbon dan keanekaragamanhayati), ancaman-ancaman utama, statuspengelolaan dan inisiatif konservasiyang ada saat ini. Sebagian analisisdigunakan untuk mengidentifikasikesenjangan dan hambatan pengelolaankawasan, yang kemudian digunakanuntuk menyusun suatu kerangka kerjaaksi.

Nilai serapan karbonPeta gambut dalam untuk Singkil yang

dibuat oleh Wetlands International(2004) dan RePPProT (1988) memper-kirakan rata-rata kedalaman masing-masing 1,2 dan 1,9 m. Naumn, perkiraankasar yang dihasilkan oleh kedua surveitersebut memerlukan studi lapanganyang lebih detil. Untuk itu, pada tahun2012, Badan Pengelola KawasanEkosistem Leuser (BPKEL) menugaskanDeltares (perusahaan konsultan) untukmelakukan kajian cepat atas depositgambut di Singkil, Tripa dan Kluet10.Dari kajian tersebut ditemukan bahwarata-rata kedalaman gambut di Singkiladalah 3,8 m atau setidaknya dua kalilebih dalam dari perkiraan sebelumnya(Gambar 2). Meskipun demikian, bebe-rapa titik sampel di suatu kubah gambutberukuran 10 x 15 km di dalam kawasanSingkil merekam kedalaman gambuthingga 10 m. Hal ini menunjukkanbahwa berbagai estimasi saat ini bersifatkonservatif dan rata-rata kedalamanlahan gambut Singkil masih lebih dalam,tetapi survei lapangan lanjutan diper-lukan untuk mengukur hal ini secarakomprehensif. Temuan tentang keda-laman lahan gambut ini signifikan karenamenguatkan kebutuhan akan adanyadukungan kebijakan untuk melindungiSuaka Margasatwa Rawa Singkil sebagai-mana dinyatakan dalam Undang-Undang

9 Gaveau D., et al. (2014) Major atmosphericemissions from peat fires in Southeast Asiaduring non-drought years: evidence from the2013 Sumatran fires. Scientific Reports, 4:6112.

10 Deltares (2012). Rapid assessment of peat de-posits, carbon stock, CO2 emission reduction/avoidance quantities and hydrologicalrehabilitation cost for three peatlands in Aceh.A technical report for Floresta and BPKEL;Deltares project number: 1205000.

Page 47: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

46 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

32/2009 tentang larangan pembukaangambut dengan kedalaman >3 m. StudiDeltares memperkirakan bahwa Singkilmengandung volume gambut sebesar3.584 M m3dan simpanan karbon gambutsebesar 541 M t CO2.

Studi Deltares menggunakan pende-katan kajian cepat (rapid assessment).Oleh karena itu, kehati-hatian perluditerapkan karena hasil studi bersifatsangat tentatif dan mengandung ketidak-pastian karena keterbatasan data yangdigunakan dan keterbatasan waktupelaksanaan studi. Laporan studi mere-komendasikan kebutuhan studi lapanganyang lebih detil untuk mengumpulkandata ketebalan gambut dan elevasi agarpemodelan kedalaman gambut dapatdibuat untuk wilayah Singkil dan, darisini, proyeksi perubahan yang lebihakurat dapat dihasilkan untuk periodewaktu lebih dari 30 tahun.

Nilai keanekaragamanhayati

Singkil adalah rumah bagi dua dariempat spesies mamalia utama - orang-utan dan harimau (gajah dan badakmerupakan dua spesies lainnya). Satwaterancam punah orang-utan sumatra(Pongo abelii) yang diperkirakanberjumlah 14.613 individu liar, sejumlah11.701 individu berada di EkosistemLeuser11. Dari jumlah tersebut, 1.269individu hidup di Suaka MargasatwaRawa Singkil. Suaka margasatwa inipenting karena memiliki satu dari wila-

Gambar 2. Perbandingan dari tigakajian kedalaman gambut yangdilakukan oleh RePPProt, WetlandsInternational (WI) dan Deltares(warna merah muda dan hijaumenunjukkan kontur ketebalangambut). Metode kajian cepat yangditerapkan oleh Deltaresmemperkirakan kedalamangambut di sebagian besar wilayahSingkil adalah 2-4 meter, akantetapi angka ini mungkin masihmewakili estimasi yang bersifatkonservatif [Petadisalin dariDeltares, laporan tahun 2012].

11 Wich, S.A., Singleton,I., Nowak, M.G., UtamiAtmoko, S.S., Nisam, G., Arif, S.M., Putra, R.H.,Ardi, R., Fredriksson, G., Usher, G., Gaveau,D.L.A. and Kühl, H.S. (2016). Land-coverchanges predict steep declines for the Sumatranorangutan (Pongo abelii). Science Advances,2:e1500789.

Page 48: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

47Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem

yah dengan kepadatan populasi orang-utan tertinggi (1,75 individu/km2), yangdimungkinkan karena periode keku-rangan makanan yang lebih pendek,jarang dan kurang ekstrim di hutan rawagambut dibandingkan dengan hutan padatanah mineral.

Sebaliknya, hutan rawa gambut tidakmewakili habitat yang optimal bagi satwaterancam punah harimau sumatra(Panthera tigris sumatrae) karena kondisihutan berawa menyebabkan rendahnyaketersediaan sumber makanan yangberada di tanah (on-the-ground)untukmangsa harimau, seperti rusa sumatera(Rusa unicolor), muncak (Muntiacusmuntjak), beruk (Macaca nemestrina)dan babi hutan (Sus scrofa). Hutan rawagambut yang terletak di bagian timurSumatra tercatat memiliki kepadatanpopulasi harimau yang rendah (0,5individu/100km2)13tetapi mengingatukuran populasi yang hanya 500-600hewan, setiap individu menjadi sangatpenting keberadaannya untuk bertahanhidup dalam jangka panjang. Jebakankamera (camera trapping) yangdilakukan di Singkil pada tahun 2014oleh LSM Fauna & Flora Internationalmengonfirmasi keberadaan satu darikucing paling langka di dunia, yaitukucing hutan kepala datar (Prionailurusplaniceps). Dari jebakan kamera yangdilakukan hutan rawa gambut di seluruhSumatra, Singkil kemungkinan menjadi

rumah bagi populasi beruang madu(Helarctos malayanus), macan dahan(Neofelis diardi), kucing batu (Pardofelismarmorata) dan kucing hutan(Prionailurus bengalensis).

Singkil, dan koridor hutan yangdikenal sebagai Trumon, diklasifikasikansebagai “Important Bird Areas” olehBirdLife International14, karena memiliki‘Spesies Terancam Punah Global’,khususnya bangau storm (Ciconia stormi),bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus)danmentok rimba (Cairina scutulata)15,dan ‘Biome-restricted species’.

Pembersihan lahanpertanian dan kebakaran

Suaka Margasatwa Rawa Singkilterancam oleh deforestasi yang disebab-kan aktivitas kelapa sawit yang terjadi diperbatasan dan di lokasi-lokasi dimanaperambahan ke dalam kawasan terjadi16

(Foto 1). Citra satelit mengungkapkanbahwa saluran-saluran kanal gambutilegal dan jalur akses meluas ke dalamkawasan, dari perkebunan legal yangberada di luar kawasan. Jalur ini jugadigunakan sebagai akses bagi pembalakliar. Pembangunan ini terkait erat de-

13 Sunarto, S., Kelly, M.J., Vaughan, M., Klenzen-dorf, S., Zulfahmi, Z., Maju, H. and Parakkasi K.(2013) Threatened tigers on the equator: multi-point abundance estimates in central Sumatra.Oryx, 47:211-220.

14 BirdLife International (2016) Important Birdand Biodiversity Area factsheet: Trumon-Singkil.Downloaded from http://www.birdlife.org on09/02/2016

15 Giesen, W. and van Balen, S. (1992) Severalshort surveys of Sumatran wetlands. Notes andobservation. PHPA/AWB Sumatra WetlandProject Report No. 26. Bogor.

16 http://news.mongabay.com/2015/06/illegal-forest-clearing-spotted-in-acehs-biggest-peat-swamp/

Page 49: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

48 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Foto 1. Hutan rawa gambut yang terbakar berlokasi di perbatasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil diDesa Oboh, Kecamatan Runding, Kota Subulussalam. Lahan terdegradasi ini akan ditanami kembalidengan kelapa sawit oleh masyarakat setempat. Batas hutan di latar belakang berlokasi di dalam SuakaMargasatwa Rawa Singkil, dimana suara gergaji mesin dari pembalakan liar terdengar [foto WCS, 2015].

Gambar 3. Analisis sejarahkebakaran hutan di hutan rawagambut Aceh berdasarkan titikpanas MODIS dari tahun 2005sampai 2016. Peta inimenunjukkan kawasan belukardari hutan rawa gambut yangrentan terbakar, denganintensitas api yang tinggi.

Page 50: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

49Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem

Gambar 4. Peta titik panaskebakaran yang diperolehdari MODIS dihitung sejaktahun 2005-2016. Mayoritaskebakaran di wilayah Singkilterjadi di luar kawasan,meskipun tepat di batasnya.Pengalaman dari Propinsi Riau,Jambi dan Sumatra Selatanmenunjukkan bahwa anginmembuat kebakaran yangterjadi di suatu area dengancepat menyebar ke area laindi sekitarnya, terutama lahangambut yang telahdikeringkan yang sangatmudah terbakar.Kebakaranbesar di sepanjang daerahselatan menunjukkankerentanan dari kawasanbelukar dan hutan rawagambut yang tidak terlindung.

Gambar 5. Tren titikpanas kebakarantahunan di seluruhPropinsi Aceh (diambildari MODIS kebakarandihitung sejak tahun2005-2014). Dari 608titik panas yangterdeteksi, 81%ditemukan terjadi dihutan rawa gambut,karenanya menggaris-bawahi status risiko tinggidari lahan gambut jikapembersihan lahandilakukan dengan api.

Page 51: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

50 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

ngan kebijakan pemerintah daerah yangmendukung pengembangan kelapa sawit,dikombinasikan dengan buruknya pene-gakan hukum di lapangan. Luas kawasanyang dikonversi ke perkebunan kelapasawit atau terdegradasi oleh pembalakanliar diperkirakan antara 1000 dan 2000hektar, tetapi angka ini mungkin jauhlebih tinggi. Studi penginderaan jauhyang dilengkapi dengan cek lapangansangat diperlukan untuk menghitungtingkat ancaman ini dan memverifikasipeta batas Suaka Margasatwa RawaSingkil dan batas-batas konsesiperkebunan kelapa sawit.

Pembakaran adalah metode umumyang biasa digunakan untukmembersihkan lahan gambut gunapenanaman tanaman eksotis, khususnyakelapa sawit, begitu pula akasia daneucalyptus (untuk industri pulp dankertas). Kebakaran hutan yang terjadisejak tahun 2005 sampai 2016 jelasmenggambarkan tekanan terhadap hutanrawa gambut Aceh, dengan hampirseluruh dari hutan rawa gambut di pantaibarat terdegradasi parah karena keba-karan, termasuk kerusakan kawasanTripa (Gambar 3).

Pada tahun 2007, kebakaran pertamadi Kluet terjadi dan kejadian ini menga-lami peningkatan setiap tahun, tetapitidak mencapai level keparahan sepertiyang dialami kawasan Tripa. Tingkatkebakaran di wilayah Singkil lebihrendah dan tampaknya hampir tidak adadi dalam kawasan suaka margasatwa(Gambar 4). Namun, kebakaran dikawasan penyangga hutan rawa gambutterjadi tepat di batas suaka margasatwa,yang mungkin akan segera menyusut.

Lebih jauh, kanal-kanal drainase baik didalam dan luar (tetapi tepat di bataskawasan) Suaka Margasatwa merupakanpertanda buruk dimulainya kebakarandan penyebaran kebakaran yangdisengaja.

Analisis spasial dari titik panasmenyediakan ilustrasi yang jelas tentangpentingnya Suaka Margasatwa RawaSingkil sebagai ekosistem hutan rawagambut utama. Meskipun demikian, polatemporal dari kebakaran hutan di Acehmengungkapkan peningkatan laju keba-karan hutan rawa gambut (Gambar 5).

Pembalakan liarTingkat pembalakan liar, untuk kayu

keras berkualitas tinggi, di Suaka Marga-satwa Rawa Singkil belum pernah di-ukur. Meskipun demikian, dapatdikonfirmasi saat ini dan selanjutnyabahwa skalanya luas berdasarkan kajianlapangan cepat yang dilakukan olehWCS pada tahun 2015. Kunjunganlapang ini menemukan sejumlah buktiadanya pembalakan liar untuk spesieskayu bernilai tinggi, dan terdapat banyaktitik-titik akses ilegal, dimana pembalakmenggunakan konstruksi kayu gelon-dongan (mengambang dan semimengambang) yang memanjang lebih darisepuluh kilometer ke dalam kawasan.Temuan ini didukung oleh studipenginderaan jauh yang dilakukan olehGreenomics pada tahun 201417dankunjungan lapang WCS lainnya yangmerekam pembalak sedang

17 http://news.mongabay.com/2014/08/acehs-largest-peat-swamp-at-risk-from-palm-oil/

Page 52: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

51Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem

menggunakan kanal besar yang dibangundi area Soraya dan dibentuk oleh SungaiSoraya.

Status pengelolaanSuaka Margasatwa Rawa

Singkildidirikan pada tahun 1998 untukmelindungi hidupan liar, kemungkinanbesarditujukan untuk orang-utan danharimau sumatra, sebagai bagian darikeputusan Lanskap Leuser (KeputusanMenteri Kehutanan No. 166/Kpts-II/1998). Suaka Margasatwa Rawa Singkilpada awalnya mencakup area seluas102.500 hektar, tetapi diturunkanmenjadi 82.374 hektar (SK No. 865/Menhut-II/2014) karena perubahanrencana tata ruang. Suaka margasatwa inimeliputi Kabupaten Aceh Singkil, AcehSelatan, dan Subulussalam, tetapipengelolaannya berada dibawah BadanKonservasi Sumber Daya Alam PropinsiAceh (BKSDA-Aceh).

Batas Suaka Margasatwa RawaSingkil belum ditetapkan di lapangan.Oleh karena itu, inkonsistensi terjadidalam penentuan lokasi batas yang tepatdan ada sejumlah klaim masyarakat atashak tenurial dan akses di area ini, yangmenjadi sumber konflik dengan BKSDA/KPHK Rawa Singkil. Sebagai contoh,masyarakat lokal di Buluh Seuma, AcehSelatan, secara tradisional memanenmadu dari dalam SWR, dengan hasiltahunan berkisar dari 18.000 sampai540.000 liter18. Dalam kasus ini, peren-

canaan tata ruang dengan zonasi yangmengakomodir, lebih dari segalanya,pemanfaatan tradisional dari produkhutan non-kayu akan menyediakanpeluang untuk mengatasi konflik, khu-susnya melalui pelibatan masyarakatdalam kemitraan konservasi denganotoritas pengelola, dimana hal ini jugaakan berkontribusi dalam perbaikan nilaiMETT bagi Suaka Margasatwa RawaSingkil.

Proses penataan batas saat ini dimu-lai di lapangan dibawah hibah TFCAyang diberikan untuk Yayasan LeuserInternasional (YLI) bekerja sama denganBKSDA-Aceh. Penting untuk diingatbahwa proses ini memerlukan koor-dinasi yang baik antara berbagai institusiseperti yang dimandatkan dalam Per-aturan Menteri Lingkungan Hidup danKehutanan tentang Panitia Tata BatasKawasan Hutan (P25/Menhut-II/2014).Proses penataan batas harus dipimpinoleh kepala BPKH melibatkan peme-rintah tiga kabupaten dan kota, termasukDinas Kehutanan Propinsi, Bappeda,Badan Pertanahan, perwakilan darikepala daerah dan lainnya. Tanpa keter-libatan semua pihak dan proses yangsesuai dengan peraturan, legitimasi daripenetapan batas akan mengundangpertanyaan.

Kajian atas Suaka Margasatwa RawaSingkil yang dilakukan oleh KLHK padatahun 2015 menggunakan PerangkatPemantauan Efektivitas Pengelolaan(Management Effectiveness TrackingTool/METT) mencatat poin sebesar55%. Nilai ini termasuk rendah,mengingat kementerian telahmenetapkan target poin sebesar 70%

18 USAID LESTARI. (2016) Buluh SeumaAssessment. Unpublished report for the USAIDLESTARI project, Aceh

Page 53: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

52 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

untuk seluruh kawasan konservasi, poinyang dianggap memuaskan bagiefektivitas pengelolaan. Namundemikian, skor yang rendah ini tidakmengejutkan mengingat suakamargasatwa ini dikelola oleh SeksiWilayah IIyang juga mengelola kawasanseluas 227.500 hektar yaitu TamanWisata Alam Laut Kepulauan Banyak.Kantor Seksi Wilayah II hanya memilikistaf 11 orang (lima diantaranya pegawainegeri dan sisanya pegawai kontrak) danini jelas tidak mencukupi untukmengelola satu kawasan secara efektif,apalagi dua kawasan. Kantor SuakaMargasatwa Rawa Singkil hampir tidakberfungsi dengan tiga orang staf berbasisdi lapangan dan patroli lapangan padatahun 2015 sebesar 22.000 US dolar,yang dapat mendukung hingga enampatroli, tetapi staf lapangan kekuranganperahu untuk menavigasi sungai dankanal yang ada di hutan rawa gambut19.

Pada tahun 2013, Suaka MargasatwaRawa Singkil diajukan oleh KLHK (SK980/Menhut-II/2013) sebagai KesatuanPengelolaan Hutan Konservasi(atauKPHK). KPHK terdiri dari tigaresort, dimana kantor-kantor perludibangun atau ditemukan di kota Singkil,Subulussalam dan Tapak Tuan. Kantor-kantor ini kekurangan anggaran dankendaraan, jelas menjadi hambatanutama bagi operasi mereka. Hal inisebagian terkait dengan fakta bahwaKPHK belum menyelesaikanpenyusunan Rencana Pengelolaan JangkaPanjang(RPJP) mereka.

Suaka Margasatwa Rawa Singkil akandidirikan sebagai KPHK tipe B, yangakan dikepalai oleh staf Eselon IV yangakan mengoordinasikan fungsi ini denganBKSDA-Aceh.Struktur organisasiKPHKSingkil direncanakan terdiri darisatu Kepala Seksi, tiga Kepala Resort,empat Polisi Hutan, satu PPNS, enamnon-PNS dan tiga mitra ranger darimasyarakat. Namun demikian, KPHKdiprediksi akan menghadapi kesulitandalam meningkatkan jumlah sumber dayamereka dengan adanya moratoriumnasional tentang perekrutan pegawainegeri sipil.

Hutan rawa gambut Singkilmembentuk sebagian dari sub-DASSingkil, yang mencakup 1.388.488 hektar(atau 44%) dari DAS utama Wampu SeiUlar (BPDAS 2015). Sub-DAS Singkilmembentang di Propinsi Aceh danSumatra Utara, tetapi untukmenyederhanakan koordinasi antarpropinsi wilayah ini sepenuhnya dikelolaoleh BPDAS Wampu Sei Ular.Sepertiyang diatur dalam PP 37/2012 tentangPengelolaan Daerah Aliran Sungai, DASmasih harus dikelola melalui kolaborasiantar institusi di lapangan, seperti antardua propinsi, kondisi yang cukupmenantang.

Suaka Margasatwa Rawa Singkilterletak di Kabupaten Aceh Singkil(2185 km2) dengan populasi 110.706jiwa dan kepadatan 50,7 jiwa/km2 (BPS,2014). Kawasan ini dikelilingi olehKabupaten Aceh Selatan (3.841 km2;210.071 jiwa, 54,7 jiwa/km2) dan KotaSubulussalam (1.206 km2; 72.103 jiwa;59,8 jiwa/km2). Akhirnya, berdasarkanrencana tata ruang yang diajukan oleh

19 http://news.mongabay.com/2014/08/acehs-largest-peat-swamp-at-risk-from-palm-oil/

Page 54: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

53Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem

Pemerintah Aceh Selatan, kawasan dibagian utara Singkil akan dialokasikansebagai pemukiman transmigrasi. Disini,pembukaan hutan dimulai dankonektivitas antara Singkil dan TNGLvia Koridor Trumon yang berhutansemakin tergerus. Rencana tata ruangmengindikasikan bahwa infrastrukturenergi (tenaga listrik bertekanan tinggi)akan dibangun melalui SuakaMargasatwa Rawa Singkil, dimanaperbaikan akses jalan diperlukan dan halini memungkinkan terjadinya deforestasilebih lanjut.

Inisiatif nasional dan daerahLSM lokal Yayasan Leuser Indonesia

(YLI) dengan dukungan dari TFCA-Sumatra menempatkan tanda batas disepanjang Suaka Margasatwa RawaSingkil sejauh 233 kilometer dan 2kilometer di Koridor Trumon, yang saatini dipisahkan oleh jalan aspal. Meskipundemikian, untuk sejumlah alasankegiatan ini dilakukan tanpa keterlibatanpenuh dari BKSDA, selaku otoritaspengelola, yang akhirnya menimbulkanisu apakah tanda batas tersebutakandiakui oleh berbagai stakeholderpemerintah. Keakuratan penempatantanda batas juga memerlukan verifikasi.

Selanjutnya, upaya yang sedangberjalan yang memiliki keterkaitandengan perlindungan Kluet dan Singkildari perambahan oleh agribisnis skalabesar adalah tuntutan yang diajukan olehKementerian Lingkungan Hidup danKehutanan terhadap lima perusahaanterbesar yang terlibat dalam pember-sihan ilegal di Tripa. Hasilnya, untuk

pertama kali dan belum pernah terjadisebelumnya, Mahkamah Agung Indone-sia memerintahkan PT Kalistra Alammembayar denda Rp366 milyar (kuranglebih 28 juta US dolar) dan memperbaikikerusakan yang ditimbulkan pada hutanrawa gambut Tripa. Upaya lain untukmemulihkan kerusakan di kawasan Tripatermasuk: Dinas Kehutanan Acehmembangun zona perlindungan di bekaskawasan konsesi PT Kalistra Alam,membendung 18 kanal yang dibangunoleh perusahaan untuk mengeringkangambut, dan penanaman lebih dari100.000 pohon. Berkaitan dengan halini, Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh(HAkA) memberikan dukungan dan adviskepada kelompok-kelompok masyarakatdibawah “Gerakan Rakyat MenggugatRencana Tata Ruang Aceh” untukmendaftarkan gugatan terhadap peme-rintah nasional. Gugatan ini memperta-nyakan legalitas dari peraturan zonasiyang disahkan oleh dewan perwakilanrakyat Aceh pada akhir tahun 2013.

Dukungan internasionalTerdapat beberapa proyek penting

yang didanai secara internasional, yangberoperasi di lanskap target. Masing-masing menawarkan pendekatan yangsaling melengkapi melalui dukunganuntuk,• Pembentukan Kesatuan Pengelolaan

Hutan (KPH) dan restorasi hutan dibagian selatan Aceh (GFA-KfW –German Development Bank, 2013-2019, 8,5 juta Euro)

• Perbaikan tata kelola pemanfaatanlahan, membangun konstituen multi-

Page 55: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

54 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

pihak dan memperkuat upaya-upayapenegakan hukum (USAID-LESTARI,Agustus 2015 sampai Juli 2020, 5-10juta US Dolar dialokasikan hanyauntuk Lanskap Leuser)

• Dukungan bagi perencanaan ruang(termasuk Satu Peta atau One Map),melaksanakan analisis dampak pem-bangunan jalan dan membentuk unitpengelolaan proyek di tingkat pro-pinsi untuk isu-isu lingkungan (UniEropa, 2015-2018, 2-4 juta Euro)

• Membangun kapasitas institusipenegak hukum untuk perlindunganhidupan liar dan habitat hutan yanglebih efektif (WCS, 2007-sampaisekarang, 300.000 US Dolar/tahun)

• Analisis peluang integrasi Air-Pangan-Energi (Water-Energy-Foodnexus)kedalam perencanaan gunamendukung pendekatanpembangunan berkelanjutan di Aceh,dan dukungan untuk membangunkonstituen konservasi di dewanperwakilan rakyat Aceh (Climate andDevelopment Knowledge Network-WCS, April 2015 sampai Desember2016, £78,953).

KesimpulanPentingnya Suaka Margasatwa Rawa

Singkil sebagai prioritas konservasinasional dapat dilihat dari begitubanyaknya jasa ekosistem yang disedia-kan oleh hutan rawa gambut. Sebagaicontoh: i) untuk keanekaragaman hayati,

Singkil adalah rumah bagi populasispesies penting dunia yakni orang-utan;ii) untuk serapan karbon, Singkil adalahlahan gambut dalam dengan ketebalanrata-rata 3,8m; dan, iii) untuk penghi-dupan masyarakat desa, banyaknyasungai dan muara menyediakan sumberprotein penting berupa cadangan ikan.Sebagai upaya untuk melestarikan Singkildan jasa ekosistemnya, diperlukanberbagai aksi yang melibatkan mitrapemerintah di berbagai tingkatan. Secaranasional, adalah sangat penting untukterlibat dengan Badan Restorasi Gambutyang baru didirikan untuk meningkatkanstatus prioritas dari. Aksi dukungan daripemerintah nasional yang diperlukanuntuk Singkil dan hutan rawa gambutlainnya, termasuk: membuat peta detillahan gambut Indonesia; peta detilwilayah konsesi bagi kabupaten dankecamatan berisiko tinggi; memperbaikipanduan teknis untuk tata kelola lahangambut dan restorasi ekosistem; danmemperkuat sistem monitoring keba-karan berbasis masyarakat. Untukmenjamin keberhasilan di lapangan,upaya-upaya ini harus diikuti denganaksi-aksi di tingkat sub-nasional yangmelibatkan berbagai pendekatan utama,seperti pengelolaan kawasan lindung dankonservasi yang efektif, yang digabung-kan dengan skema insentif berbasismasyarakat, seperti penghargaan bagidesa-desa bebas kebakaran dan, khu-susnya untuk Singkil, mencegah peram-bahan kedalam batas kawasan•

Page 56: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

55Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan

JARINGAN AKTOR DANREGULASI KEBAKARANHUTAN DAN LAHAN*

Oleh Herry Purnomo, Ade Ayu Dewayani, RamadhaniAchdiawan, Made Ali, Samsul Komar dan Beni Okarda

PENDAHULUAN

Kebakaran hutan dan lahan(Karhutla) adalah masalah lokal,nasional dan global. Gangguan

kesehatan dan ekonomi akibat asap darikebakaran hutan dan lahan sangat besar.Kerugian total kebakaran dan asapsepanjang tahun 2015 di seluruh Indo-nesia diperkirakan 230 trilyun rupiah

(The World Bank 2015). Lebih dari 43juta orang terpapar oleh asap. Singapuradan Malaysia telah lama mengeluhkangangguan kesehatan dan asap dari Indo-nesia yang menurunkan pariwisata,kesehatan dan ekonomi. Namun demi-kian keuntungan dari pembakaran inimencapai lebih dari 100 trilyun rupiahyang dinikmati korporasi, cukong/elitdan masyarakat petani.

Kementerian Lingkungan Hidup danKehutanan(KLHK) menyatakan bahwaKarhutla merupakan kejadian yangdisengaja.1 Pernyataan senada disam-

* Studi ini didukung oleh DFID-UK ProgramKNOWFOR 2, dan Pusat Studi BencanaUniversitas Riau dan sejumlah pihak yangtergabung dalam FORSIBU (Forum NegeriBersih Jerebu) Riau.

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) telah mengakibatkan kematian, penyakit dan kerugianekonomi ratusan trilyun rupiah. Namun ada pihak-pihak tertentu yang mendapat keuntungansangat besar dengan pembakaran yang dilakukan baik di kawasan hutan maupun areal penggunaanlain (APL). Pembakar ini berbentuk jaringan yang tidak mudah terdeteksi oleh regulasi yang ada.Tulisan ini bertujuan mengungkap jaringan Karhutla yang berbentuk organisasi kriminal (organizedcrime) dan mengaitkan dengan regulasi pada bidang lingkungan, perkebunan dan kehutanan.Penelitian dilakukan dengan metode tinjauan (review) atas penelitian sebelumnya, diskusi kelompokterfokus, tinjauan lapangan yaitu di Provinsi Riau dan analisis komponen utama (principlecomponent analysis) hubungan jaringan Karhutla dan regulasi. Hasil penelitian menunjukkanbahwa ada tiga tipe jaringan Karhutla yaitu Korporasi, Cukong dan Individual. Pada tipe JaringanKorporasi ada tiga sub-tipe yaitu Perusahaan sebagai aktor terpenting, kemudian sub-tipe Koperasidan Perseorangan. Regulasi-regulasi tertentu bisa dipakai secara lebih spesifik membidik jaringanKarhutla tertentu. Implementasi sungguh-sunguh regulasi-regulasi tersebut dapat mengurangiKarhutla dan menyelamatkan sumber daya alam Indonesia.

Kata kunci: kebakaran hutan dan lahan, jaringan, korporasi, cukong, regulasi

Page 57: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

56 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

paikan oleh aparat keamanan untukkebakaran yang terjadi di Riau padabulan Juni 2016.2 Penggunaan api dalampengelolaan lahan baik hutan tanamanindustri (HTI) maupun kelapa sawitsawit secara legal sudah dilarang. Namunkebakaran tetap terjadi di kawasantersebut. Beberapa perusahaan diantara-nya RPP di Sumatra Selatan, BMH diSumsel, RPS di Sumsel, LIH di Riau, GAPdi Kalimantan Tengah, MBA di Kali-mantan Tengah, dan ASP di Kaltengdijadikan tersangka oleh KepolisianRepublik Indonesia.3 Penggunaan api diareal konsesi bisa juga terjadi olehpemain non-korporat yaitu ketika arealkonsesi tersebut tidak bisa diamankanoleh pihak korporasi. Lahan-lahan yangterlantar ini mudah terbakar.4 Konflik-konflik lahan juga bisa menjadi sumberatau alasan pembakaran. Dengan katalain, tidak serta merta jika aturan dila-rang membakar ada maka aturan ter-sebut akan terlaksana dengan baik.

Pemerintah dan masyarakat Indo-nesia telah mencoba mengatasi Karhutlaini. Presiden Jokowi pada tanggal 16Januari 2016 telah mengultimatumtentara dan kepolisian Indonesia diseluruh daerah untuk mengatasi keba-

karan ini, kalau tidak mereka akandicopot dari jabatannya, baik sebagaiPangdam (Panglima Daerah Militer) atauKapolda (Kepala Kepolisian Daerah)maupun jajaran dibawahnya dimanalokasi kebakaran terjadi.5 KLHK memas-tikan kebijakan dan aksi penanggulangankebakaran lewat jajaran birokrasi dipusat maupun daerah, serta mengeluar-kan surat edaran pada bulan November2015 yang melarang membuka lahangambut.6 Badan Restorasi Gambut(BRG) didirikan lewat Peraturan Presi-den No. 1 tahun 20167 untuk mencegahkebakaran dan merestorasi kerusakanlahan gambut seluas 2,2 juta ha.

Sektor swasta telah mengumumkanaksi mereka untuk mencegah kebakaranpada tahun 2016. Grup Asia PacificResources International Holdings Ltd.(APRIL) menekankan keberhasilanprogam Desa Bebas Api (Fire Free Village)yang telah meliputi 20 desa disekitarkonsesi HTI mereka.8Asia Pulp and Paper(APP), anak perusahaan Grup Sinarmas,menggandeng Yayasan Belantara, menga-barkan kegiatan pencegahan kebakarandan pembuatan sekat kanal di SumatraSelatan.9 Gabungan Pengusaha Kelapa

1 http://industri.bisnis.com/read/20151006/99/479488/kebakaran-hutan-dan-lahan-klhk-teliti-420-perusahaan

2 http://news.detik.com/berita/3232476/dansatgas-udara-ada-unsur-kesengajaan-dalam-kebakaran-lahan-di-riau

3 http://www.bbc.com/indonesia/berita_indo-nesia/2015/09/150916_indonesia_tersang-ka_asap

4 http://www.kompasiana.com/achmadsiddikthoha/mengapa-hutan-dan-lahan-terus-terbakar_ 551744c0a33311b906b65d54

5 https://m.tempo.co/read/news/2016/01/18/063737254/kebakaran-hutan-jokowi-ancam-copot-kapolda-dan-pangdam

6 http://industri.kontan.co.id/news/klhk-resmi-melarang-pembukaan-lahan-gambut

7 http://175.184.234.138/p3es/uploads/unduhan/Perpres_Nomor_1_Tahun_2016.pdf

8 http://www.republika.co.id/berita/koran/industri/16/02/01/o1v2ce7-april-kembali-luncurkan-program-desa-bebas-api

9 http://www.mongabay.co.id/tag/kebakaran-hutan/

Page 58: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

57Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan

Sawit Indonesia (GAPKI) berkomitmenuntuk mencegah kebakaran.10

Namun demikian apakah kegiatan-kegiatan tersebut bisa menghentikanKarhutla yang dilakukan oleh beragamaktor.11 Dapatkah program-program daripihak pemerintah maupun sektor swastamengurangi api? Artikel ini akan mengu-raikan tiga hal pokok (a) Tipologi ja-ringan aktor Karhutla; (b) Regulasibidang kehutanan, pertanian dan ling-kungan dalam mencegah dan menanggu-langi Karhutla; dan (c) Efektivitas regu-lasi tersebut dalam mencegah jaringanaktor Karhutla. Artikel ini diharapkanmenjadi masukan untuk peningkatankapasitas dalam mencegah dan menang-gulangi Karhutla. Aktor-aktor harusdibidik secara khusus untuk mencegahkerusakan lingkungan (Purnomo et al.2013). Perusak lingkungan mempunyaiakses terhadap pemegang kekuasaan(Purnomo et al. 2012a).

METODE PENELITIANPenelitian ini dilakukan dengan cara

(a) Peninjauan (review) hasil penelitiandan investigasi sebelumnya; (b) Diskusikelompok terfokus (Focus GroupDiscussion atau FGD) dengan parapihakdi Provinsi Riau dan kunjungan lapangan;(c) Analisis jaringan sosial (SNA); dan (d)Analisis keterkaitan regulasi dan jaringanaktor Karhutla.

FGD dilakukan pada tanggal 9 Mei2016 yang dihadiri 20 perwakilan daripemerintah, lembaga swadaya masya-rakat (LSM), pebisnis, masyarakat desa,akademisi dan mahasiswa relawanpencegah kebakaran. Partisipan FGDdisajikan temuan-temuan yang telahdilakukan oleh CIFOR, WWF dan Eyeson the Forest tentang tipologi jaringankebakaran dalam diskusi pleno. Parti-sipan kemudian dibagi menjadi tigakelompok yang masing-masing men-dalami tipe jaringan pembakaran yaitukorporasi, cukong dan invidual. Masing-masing kelompok kemudian menyam-paikan kembali dalam rapat pleno danmendapat masukan dari kelompoklainnya.

Tinjauan lapangan dilakukan padatanggal 10-12 Mei 2016 oleh empatorang, 1 dari CIFOR/IPB, 1 orangCIFOR, 1 orang WWF dan 1 orangJIKALAHARI. Tinjauan lapangan dila-kukan di Kabupaten Indragiri Hulu yaitudi Hutan Lindung Bukit Betabuh danKabupaten Pelelawan yaitu KompleksHutan Tesso Nilo yang meliputi TamanNasional Tesso Nilio, PT Sola HutaniLestari dan PT Siak Raya Timber. Tin-jauan lapangan dilakukan disertai diskusidengan pekerja traktor land clearing,tokoh masyarakat setempat dan aparatdesa.

Wawancara dengan grup responden1 (SLH) ada di KM 102 Koridor RAPPBaserah. Koridor atau jalan logging inidibangun PT RAPP dengan totalsepanjang 54,1 kilometer, membelahkawasan Tesso Nilo dari Utara keSelatan, terbagi atas jaringan jalansepanjang 30 km di sebelah barat

10 http://www.antaranews.com/berita/560475/perusahaan-kelapa-sawit-komitmen-cegah-karhutla

11 http://theconversation.com/playing-with-fire-the-economics-and-network-of-fire-and-haze-47284

Page 59: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

58 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

(Koridor Sektor Baserah), dan sepanjang24,1 km disebelah timur (KoridorSektor Ukui-Gondai). Kedua koridorlogging ini membuka wilayah yangsebelumnya terisolasi.12Wawancaradengan grup responden 2 (STM) yangsedang membuka lahan di Hutan LindungBukit Batabuh. Wawancara dengan grupresponden 3 (MKL) tokoh masyarakatSungai Santan, kecamatan BatangCebaku, Kab Indragiri Hulu. Gambar 1menyajikan peta situasi penelitian danlokasi wawancara.

Peran aktor Karhutla bisa dipahamisecara independen atau dalam relasinyadengan aktor lain. Analisis JaringanSosial (Social Network Analysis atau SNA)memahami peran aktor dalam konteksbagaimana aktor tersebut berrelasi danterkoneksi dengan aktor-aktor yang lain

(Borgatti et al. 2013). Bisa jadiseorang aktor mempunyaikemampuan tinggi dalam analisisatau praksis penanggulangankebakaran hutan, namun karenadia tidak terkoneksi (terisolasi)dalam jaringan penanggulanandan pencegahan Karhutla, makadia tidak punya peran siginifikan.Pemburu rente (rent seeker)sering berada dalam posisipenting dari jaringan aktor yangmengakibatkan Karhutla.

SNA dilakukan denganmembuat matriks biner bujursangkar berpasangan antar aktor.Matriks ini berisi relasi informasi

aktor yaitu ‘1’ jika ada relasi informasiyang signifikan dan ‘0’ jika tidak adarelasi informasi yang signifikan. AnalisisSNA dilakukan dengan menggunakanperangkat lunak UCINET 6.559 danNetDraw 2.148. Analisis SNA dilakukandengan melihat derajad sentralitas(centrality degree). Simpul atau node yangmempunyai konektivitas terbanyakdalam suatu jaringan akan memilikiderajad sentralitas tertinggi yangdirepresentasikan dengan gambar simpulterbesar (Borgattiet al. 2013).

Langkah terakhir adalah mencariketerkaitan antara jaringan aktorKarhutla dengan regulasi bidang kehu-tanan, lingkungan dan perkebunan.Metode statistik Principle ComponentAnalysis (PCA) diterapkan untuk menen-tukan bagaimana ragam regulasi inibersesuaian dengan tipe jaringan aktorKarhutla. PCA ini digunakan untuktransformasi data hubungan jaringan danregulasi secara linier sehingga terbentuk

Gambar 1. Peta situasi Kompleks Hutan Tesso Nilo andHutan Lindung Bukit Betabuh dan lokasi wawancara

12 http://www.wwf.or.id/?5420/PT-RAPP-Cut-Logging-Access-to-Tesso-Nilo

Page 60: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

59Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan

sistem koordinat baru komponen 1 dan2 dengan keragaman maksimum.

HASIL DAN PEMBAHASANKebakaran Hutan dan Lahan

Tranformasi bentang lahan (land-scape) dari hutan menjadi perkebunansedang terjadi. Karhutla menjadi caramurah, buruk dan liar (illegal) untuktransformasi ini. Karhutla terjadi diwilayah konsesi korporasi hutan alam,hutan tanaman industri (HTI) dan kebunkelapa sawit. Titik-titik panas dipakaisebagai perkiraan terjadinya Karhutladengan tingkat kepercayaan 80% sepertidipakai oleh KLHK. Titik-titik panasselama 15 tahun rata-rata terakhirterjadi pada konsesi korporasi HPH,HTI dan kebun kelapa sawit (KKS) dandi luar konsesi. Rata-rata titik panassebanyak 45% ada di wilayah izin kon-sesi (4% di IUPHHK-HA, 23% di HTI,16% di KKS dan 2% di areal yang tum-pang tindih (overlapped) dan 55% di luarwilayah izin konsesi (34% di kawasanhutan dan 21% di APL). Demikin jugapada tahun 2015, titik panas 45% terda-pat di wilayah izin konsesi (14% KKS,25% HTI, 4% HPH dan 2% tumpangtindih) dan 55% di luar wilayah izinkonsesi (Purnomo et al. 2015a).

Ali (2015) melaporkan bahwa pada2013 Polda Riau menetapkan API seba-gai tersangka pembakaran hutan danlahan sawit seluas 40 ha di Desa BatangNilo Kecil, Kecamatan Pelalawan,Kabupaten Pelalawan. Perkara inidilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN)Pelalawan. Pada 2014, Polda Riau mene-tapkan NSP sebagai tersangka pemba-

karan hutan dan lahan sagu seluas 3.000ha di Kepulauan Meranti. Perkara inidilimpahkan di PN Bengkalis. Pada tahun2015, JJP didakwa naik ke persidangan diPN Rokan Hilir karena kasus Karhutla.

Kebakaran di luar izin konsesi baikdi hutan yang dikelola pemerintahseperti taman nasional, hutan lindungdan kawasan konservasi lainnyadisebabkan oleh aktor individual cukongdan pengguna lahan serta korporasi.Sebanyak 230 aktor individual baikcukong maupun pengguna lahan menjaditersangka dalam Karhutla pada bulanOktober 2015.13Pada akhir tahun 2015,PN Palembang memenangkan PT BMH,grup Sinarmas, yang dituntut 7,8 trilyunrupiah karena kasus kebakaran 20.000ha HTI di Kabupaten Okan KomeringIlir (OKI) tahun 2014.14

JIKALAHARI bekerja sama denganCIFOR melakukan studi lapangan padatahun 2015 di Hutan Lindung BukitBetabuh, Kabupaten Indragiri Hulu,Riau. Ali (2015) menemukan bahwabeberapa bagian dari hutan yang menjadikoridor harimau dan gajah ini telahdibakar dan diubah menjadi kebunkelapa sawit baik oleh korporasimaupun individual secara ilegal. Laporaninvestigasi WWF tahun 2013 diKompleks Hutan Tesso Nilo Riau(WWF 2013) dan laporan investigasiEyes on the Forest (EOF) di Bukit Beta-buh dan Tesso Nilo Riau (EOF 2016)

13 https://m.tempo.co/read/news/2015/10/27/063713557/247-orang- j ad i - tersangka-pembakaran-lahan-dan-hutan

14 http://print.kompas.com/baca/2015/12/30/Hakim-Menangkan-PT-Bumi-Mekar-Hijau

Page 61: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

60 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

menyajikan perubahan bentang alamhutan menjadi kebun sawit secara ilegal.

Rente Ekonomi dan Jaringan AktorKarhutla

• Rente Ekonomi KarhutlaPembakaran hutan dan lahan ber-

tujuan untuk mendapatkan rente ekono-mi. Rente ekonomi didefinisikan sebagaikeuntungan yang luar biasa yang didapatdengan cara yang merugikan pihak lain,publik dan lingkungan. Rente ekonomisesungguhnya tidak hanya didapat ketikamembakar hutan dan lahan untukdijadikan kebun, tetapi sejak dari klaimilegal hutan dan lahan. Klaim ilegal initerjadi pada lahan yang dikelolapemerintah seperti hutan lindung dan

taman nasional maupun lahan konsesiyang dikelola korporasi. Klaim inidilandasi oleh kebutuhan pokok ataslahan yang dipunyai petani skala 2-10 ha,maupun ketamakan para cukong yangbisa mengklaim puluhan bahkan ratusanhektar. Klaim lahan sepihak ini karenarencana tata ruang wilayah (RTRW)yang belum disepakati atau disetujuisemua pihak. Sebagai contoh, walaupunRTRW Riau sudah disetujui lewat suratkeputusan (SK) Kemenhut nomorSK.673/Menhut-II/2014 tanggal 8Agustus 2014. Namun ada lebih dari satujuta hektar yang masih dituntut olehPemerintah Provinsi Riau untuk dilepasdari kawasan hutan menjadi kebunsehingga SK tersebut tidak

terimplementasi.15 Ini berakibatpada ketidakpastian tata ruang ditingkat tapak.

Klaim hutan dan lahan secarailegal dan transaksi lahan padakawasan hutan yang harusnyadikuasai negara marak dilakukan.Hutan lindung yang sudah diklaimdijual seharga Rp 1,5 juta/ha(Responden STM). RespondenMKL juga menawarkan lahanyang telah ditebas dengan hargaRp. 8 juta/ha. Harga ini akan naikmenjadi Rp 26 juta/ha kalaulahan yang diinginkan dekatdengan jalan utama transportasitandan buah segar.

Purnomo et al. (2015b),dalam studi kasus di Provinsi

Gambar 2. Rente ekonomi Karhutla (Purnomoet al. 2015b)

15 http://globalriau.com/nasional/Sudah-Selesai—Berikut-Penuturan-Menteri-LHK-yang-Blak-blakan-Soal-RTRW-Riau

Page 62: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

61Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan

Riau, mendapatkan bawah klaim hutanini kemudian diikuti pembabatan danpenebasan tanaman. Lahan ini bisa dijuallewat pasar gelap dengan harga Rp 8,7juta/ha. Ketika lahan ini dibakar makaharga lahan menjadi Rp 11,2 juta/ha.Lahan ini kemudian ketika ditanamisawit berumur tiga tahun mempunyaiharga Rp 40,0 juta/ha. Gambar 2menyajikan rente ekonomi Karhutla.

• Tipe Jaringan Aktor KarhutlaFGD mendiskusikan keterlibatan

aktor dalam Karhutla berdasarkantemuan-temuan yang ada. Disepakatibahwa pada umumnya ada tiga tipejaringan aktor Karhutla yaitu korporasi,cukong dan individual. Korporasimempunyai badan hukum yang jelas danskala operasi yang besar. Sedangkancukong atau elit mempunyai anak buahdan jaringan yang kuat dengan atau tanpabadan hukum seperti korporasi, ko-perasi maupun perkumpulan. Individualadalah petani pemilik atau penggaraplahan yang menggunakan api dalammengolah lahannya.

Jaringan Karhutla berbentuk orga-nisasi kriminal (organized crime) yangsecara sengaja membakar hutan danlahan untuk mengambil keuntungansebesarnya-sebesarnya dengan meru-gikan orang kebanyakan. Umumnyajaringan ini berisi para pemburu renteekonomi dari berbagai kalangantermasuk oknum-oknum pemerintah.Jaringan ini juga memanfaatkanketidaktahuan beberapa pelaku formaluntuk kepentingan mereka.

Kebakaran dan dampak asap mulaiintensif terjadi sejalan dengan mulaidibukanya lahan gambut pada tahun1990 oleh korporasi. Cukong padaumumnya membiarkan lahan dalamkeadaan kosong sehingga ketika terjadikebakaran tidak ada yang mengakuisiapa yang menyebabkan kebakaran.Padahal berdasarkan peraturanpemerintah, siapapun pemilik lahanmemiliki tanggung jawab untuk menjagalahan tersebut dari bahaya kebakaran.Unsur penyebab kebakaran padadasarnya adalah kesengajaan dankelalaian.

Gambar 3. Jaringan kebakaran korporasi 1 (Perusahaan)

Page 63: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

62 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Jaringan Kebakaran KorporasiDalam korporasi ada tiga sub-tipe

yang didiskusikan. Pertama,tata kelolaperusahaan buruk.Tipe ini terjadi karenajeleknya manajemen internal korporasiyang berakibat pada kebakaran yangdilakukan oleh staf dan kontraktor kerjamereka. Contoh dari tipe ini adalahkebakaran yang terjadi di KabupatenKepulauan Meranti. Kontraktormendapatkan kontrak dari perusahaan.Untuk menurunkan biaya pengolahanlahan, maka kontraktor membakar lahantersebut. Karyawan perusahaan jugamembakar lahan untuk mendapatkanlembur pemadaman kebakaran. Gambar3 menunjukkan tipe 1 kebakarankorporasi. Simpul (node) perusahaanmempunyai ukuran terbesar yangmenandakan jumlah koneksi terbanyakdalam jaringan tersebut. Perusahaanmempunyai sentralitas derajad tertinggidalam tipe ini. Dengan kata lainperusahaan yang paling bertanggungjawab atas tipe jaringan ini.

Kedua, kebakaran yang terjadidengan melibatkan masyarakat, makelar,koperasi, kepala desa dan perusahaanseperti yang terjadi di KabupatenPalelawan dan Bengkalis. Makelarmembujuk masyarakat lokal atau adatmemberikan lahan yang mereka kuasaidalam izin konsesi untuk ditanami sawitatau akasia lewat kerjasama denganperusahaan. Lahan yang dikuasaimasyarakat bisa merupakan area untukkonservasi maupun areal produksinamun tidak mampu dikuasai olehperusahaan. Makelar dengan kepala desadan masyarakat membentuk koperasi.Koperasi ini kemudian bekerja samadengan perusahaan untuk mengolahtanah untuk ditanami sawit atau akasia.Namun demikian koperasi ini bukankoperasi yang didambakan olehmasyarakat. Koperasi ini lebih melayanikepentingan perusahaan dan makelar.Pembakaran dilakukan di lahankerjasama koperasi dan perusahaanuntuk menurunkan biaya pengolahan

Gambar 4. Jaringan kebakaran korporasi 2 (Koperasi)

Page 64: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

63Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan

kebun. Gambar 4 menunjukkan bahwakoperasi dan makelar memegangperanan penting dalam Tipe 2 kebakarankorporasi.

Ketiga, adalah kebakaran lahanperseorangan yang secara ilegal ada diareal izin konsesi dan di perbatasanantara izin konsesi dan APL (Gambar 5).Lahan perseorangan disini sebenarnyatidak sesuai dengan aturan formal yangada, karena lahan tersebut sudahdialokasikan pada korporasi. Secara defacto beberapa bagian lahan yang ada didalam izin konsesi dikuasai dan dikuasaiperseorangan. Kebakaran lahan inidipicu oleh konflik dan kesenjangansosial. Konflik muncul antara lain karenamasyarakat meminta pekerjaan namunperusahaan tidak menyediakan. Kesen-jangan upah juga menjadi pimicu konflik,sebagai contoh di masyarakat,upahmenanam satu pokok sawit adalahRp3.000 sedangkan upah yang diberikanperusahaan hanya Rp1.200.Kebakaranini diperparah dengan ketidaktersediaansarana pemadaman baik oleh masyarakatmaupun perusahaan.

Jaringan Kebakaran CukongCukong menyasar lahan-lahan di

hutan lindung, taman nasional dan arealkonsesi yang tidak terurus atau openaccess untuk diperjual-belikan. Tidaksedikit hutan lindung yang tidak dilin-dungi, ataupun taman nasional yang tidakterjaga dengan baik. Jika pemerintahtidak mampu melindungi hutan lindungdan taman nasional maka areal inimenjadi sasaran pembukaan atau per-luasan kebun baik dilakukan olehperusahaan skala menengah, kelompoktani maupun individual. Demikian jugayang terjadi dengan areal konsesi HPHatau HTI yang tidak terurus dengan baik.Misalnya, secara nasional luas izin HTIadalah 11 juta ha, namun yang tertanamihanya 4,9 juta ha. Sisanya bisa tidakterurus, termasuk 30% areal arealkonservasi.

Kasus tipikal cukong terjadi di hutanlindung Kabupaten Indragiri Hulu.Dalam kasus ini seorang cukong meng-koordinir kelompok tani. Cukongtersebut mendapat otoritas dari kepaladesa. Berbekal izin tersebut hutan

Gambar 5. Jaringan kebakaran korporasi 3 (Perseorangan)

Page 65: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

64 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

lindung dirubah menjadi lahan perke-bunan. Cukong juga mendapat ‘restu’dari para tokoh masyarakat yang inginmengambil keuntungan. Cukong kemu-dian menjual lahan tersebut padaperusahaan, kelompok tani pendatangdan pemilik individual. Investor,umumnya klas menengah, menanamkanuangnya pada kelompok tani maupunpemilik individual ini. Gambar 6menyajikan jaringan sosial cukong.Berbeda dengan makelar yang hanyamenjadi perantara bagi pihak laindengan mengharapkan keuntungan,cukong mempunyai modal uang dankekuasaan untuk menguasai lahan danmenjualnya. Keikutsertaan cukong-cukong di tingkat provinsi maupuntingkat nasional terdeteksi. Keuntungancukong jauh lebih besar daripadamakelar. Lahan tidak legal yangdiusahakan menjadi kebun sawit inidiolah secara cepat dan murah yaitudengan membakar. Ketidakpastian

hukum pada lahan tidak legal inimembuat pembakaran sulit dihindari.Pembakaran lahan dilakukan olehkelompok tani dan pemilik lahanindividual yang membeli dari penjuallahan.

Kasus cukong terjadi juga diKabupaten Pelalawan di mana adaketerlibatan batin (kepala suku)dengan ketua RT dalam prosespenerbitan izin usaha pada lahan.Kasus cukong terjadi juga diKabupaten Rokan Hilir dan Dumai.Pada kasus ini cukong menjual lahanpada oknum polisi, oknum DPRD,oknum pengacara dan oknum KantorUrusan Agama dengan back-up oknumkeamanan. Cukong lokal dalamjaringan ini mempunyai derajadsentralitas yang tertinggi yang diikutioleh penjual lahan. Cukong bisadiperankan oleh tokoh masyarakat,elit lokal, pegawai pemerintah danpolisi, kepala desa, kepala dusun dll.

Gambar 6. Tipe kebakaran cukong

Page 66: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

65Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan

Tipe Kebakaran IndividualKebakaran individual terjadi di APL.

Kebakaran ini terjadi karena masyarakatsudah melakukan kegiatan pertaniandengan menggunakan api sejak dari dulu,namun keadaan sekarang lahan sudahsemakin mengering karena berbagaifaktor sehingga menjadi lebih rawanterhadap api. Kasus terbagi menjadi (a)Petani kecil melakukan kegiatanpertanian dengn luas lahan umumnya 2ha; (b) Pemilik lahan melakukanpembakaran secara bersama-samadengan luas lahan mencapai 10 ha; dan(c) Pemilik lahan mengupah pekerjauntuk membersihkan lahan, apidigunakan oleh pekerja untukmeningkatkan keuntungan bagi pekerjadengan luas lahan bisa mencapai ratusanhektar. Kebakaran tipe individual yangdilakukan sendiri dan bersama-samaterjadi di Kabupaten Rokan Hilir padakasus SH, SG, HM dan AW. Setiapkasusnya berkisar 2-100 ha. Terpidanapada setiap kasus tersebut dihukum

kurang dari 1tahun dan denda kurangdari 100 juta rupiah.

Gambar 7 menyajikan tipe jaringankebakaran individual yang terdiri daritiga sub-jaringan. Pertama adalah pemiliklahan kecil membakar sendiri. Kedua,pemilik lahan kecil ke-1, 2, dan ke-nbersama-sama membakar lahan. Ketiga,mandor yang bekerja pada pemilik lahanbesar mengupah para pekerjanya untukmembakar lahan.

3.3. Regulasi dan Jaringan AktorPerundang-undangan yang banyak

terkait dengan kebakaran hutan danlahan adalah UU 41/1999 tentang kehu-tanan, UU 32/2009 tentang perlindungandan pengelolaan lingkungan hidup(UUPLH), UU 39/2014 tentang perke-bunan, UU 18/2013 pencegahan danpemberantasan perusakan hutandan UU26/2014 tentang ratifikasi persetujuanASEAN terhadap polusi asap lintas batas(Tabel 1). UU 41/1999 jelas melarangpembakaran hutan. UU 39/2014

Gambar 7. Tipe kebakaran individual

Page 67: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

66 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Tabel 1. Undang-Undang melarang pembakaran hutan dan lahan

16http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-41-1999.pdf17http://prokum.esdm.go.id/uu/2009/UU%2032%20Tahun%202009%20(PPLH).pdf18http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2013_18.pdf19https://www.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/produkhukum/UU%20Nomor%2039%20Tahun

%202014.pdf20http://sipongi.menlhk.go.id/cms/images/files/10257.PDF21http://haze.asean.org/?wpfb_dl=32

Page 68: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

67Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan

melarang pembakaran lahan, yang diaturlagi oleh peraturan menteri. SedangkanUU 32/2009 memberi celah padapemerintah daerah untuk memberikankelonggaran untuk pembakaran skalakecil dan tradisional.

Menurut Undang-Undang 41/1999tentang Kehutanan, pada pasal 49disampaikan bahwa pemegang hak atauizin bertanggung jawab atas terjadinyakebakaran hutan di areal kerjanya.Peraturan Pemerintah No. 4/2001tentang ’Pengendalian kerusakan danatau pencemaran lingkungan hidup yangberkaitan dengan kebakaran hutan danatau lahan’ Pasal 13 menyatakan bahwasetiap pemegang izin wajib mencegahterjadinya kebakaran hutan atau ataulahan di lokasi usahanya. Dari keduaregulasi ini Karhutla di wilayah izinkonsesi merupakan tanggung jawabpemegang izin. Di Indonesia pada tahun2015, ada 58 korporasi dilaporkanmembakar hutan dan lahan22 dan 16korporasi dibekukan izinnya pada akhirtahun 2015 karena Karhutla.23

Walaupun UU 39/2014 tentangperkebunan jelas dilarang membakar,tetapi Peraturan Menteri Pertanian No.47/2014 tentang ‘Brigade dan PedomanPelaksanaan Pencegahan SertaPengendalian Kebakaran Lahan danKebun’24 dimungkinkan penggunaan api

dalam pemanfaatan limbah pembukaanlahan untuk arang. Pembakaran untukpembuatan arang ini bisa tidakterkendali, tidak sengaja ataudisalahgunakan dalam praktiknya. Kasuskebakaran di Gunung Sindoro,Temanggung terjadi karena pembuatanarang.25 Membuat arang di hutanmerupakan salah satu penyebabkebakaran.26

Pembukaan gambut untuk pertaniandapat dilakukan lewat Peraturan MenteriPertanian No. 14/2009 tentang‘Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambutuntuk Budidaya Kelapa Sawit’.27 Gambutbisa di-drain dan kanalisasi untukperkebunan sawit. Dengan kata lain,walaupun UU kehutanan danperkebunan menyatakan dilarangmembakar di hutan dan lahan, namunkegiatan baik membakar di lahan limbahpembukaan lahan maupun kanalisasigambut sangat dimungkinkan dariperaturan menteri pertanian. Peraturanmenteri ini jauh lebih operasionaldaripada undang-undang.

Dilain pihak gambut dilindungi olehPeraturan Pemerintah No. 71/2014tentang Perlindungan dan PengelolaanEkosistem Gambut.29 Peraturan

22https://m.tempo.co/read/news/2015/10/27/063713557/247-orang-jadi-tersangka-pemba-karan-lahan-dan-hutan

23https://m.tempo.co/read/news/2015/12/07/206725713/kebakaran-hutan-16-perusahaan-akan-dibekukan

24http://perundangan.pertanian.go.id/admin/file/Per mentan%20No.47%20Tahun%202014.pdf

25http://jogja.tribunnews.com/2015/06/17/warga-bikin-arang-diduga-picu-kebakaran-hutan-di-lereng-sindoro

26http://www.artikellingkunganhidup.com/5-penyebab-kebakaran-hutan-penanganannya.html

27http://sawitwatch.or.id/download/Peraturan%20Menteri/129_PERMEN_Pertanian%20No%2014%20Th%202009_Pembukaan %20Kebun%20sawit%20Dilahan%20 Gambut.pdf

28http://www.kemendagri.go.id/media/documents/2014/11/13/p/p/pp_no.71-2014.pdf

Page 69: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

68 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Tabel 2. Matriks hubungan keberadaan regulasi dan jaringan aktor Karhutla(0=tidak ada hubungan, 1=lemah; 2=sedang; 3=kuat)

Page 70: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

69Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan

pemerintah ini merupakan penjabaranlebih lanjut dari UU 32/2009 Perlin-dungan dan Pengelolaan LingkunganHidup. Namun dalam UU 32/2009 inipasa pasal 69 ayat 2 mengatakan peme-rintah daerah bisa berinisiatif untukmembuat aturan yang sesuai dengankearifan lokal di daerahnya masing-masing. Dalam penjelasannya disam-paikan bahwa pembakaran lahan bisadilakukan seluar 2 hektar per kepalakeluarga dengan jenis lokal dan sekatbakar.

Inpres No 16/2011 tentangPeningkatan Pengendalian KebakaranHutan dan Lahan29yang diperbaruidengan Inpres No. 11/2015 tertanggal24 Oktober 2015 tentang ‘PeningkatanPengendalian Kebakaran Hutan danLahan’30 memerkuat koordinasiantarkementerian dan aksi pengendalianKarhutla di lapangan. Sedangkan InpresNo. 8 Tahun 2015 tentang ‘PenundaanPemberian Izin Baru dan PenyempurnaanTata Kelola Hutan Alam Primer danLahan Gambut’ atau bisa disebut InpesMoratorium banyak membidikpenundaan pemberian izin formal bagiperusahaan.

Surat edaran No S.494/MENLHK-PHPL/2015 tertanggal 3 November 2015tentang ‘Larangan Pembukaan LahanGambut’ dikeluarkan untuk

menghentikan konversi gambut olehkorporasi31. BRG dibentuk denganPeraturan Presiden No. 1 tahun 201632

untuk mencegah kebakaran danmerestorasi kerusakan lahan gambutseluas 2,2 juta ha dalam kurun waktulima tahun sejak 2016. Surat edaran BRGSE.01/BRG-KB/6/2016 tertanggal 1 Juni2016 tentang ‘Kesiapsiagaan MenghadapiMusim Kemarau’ bermaksudmemastikan bahwa musim kemarau2016 tidak terjadi kebakaran lagi.

Tabel 2 menyajikan sebuah matrikshubungan antara jaringan aktor Karhutla(baris) dan regulasi (kolom). Tiap regu-lasi membidik (addressing) tipe yangberbeda dari jaringan. Jika bidikannyalemah diskor ‘1’, sedang ‘2’ dan ‘kuat’ 3.Jika tidak ada hubungannya di skor ‘0’.

Regulasi yang ada secara rata-rata,dalam hal ini diambil nilai mediannyayang bernilai ‘1’, tidak cukup kuat untukmembidik jaringan aktor kebakarankorporasi, cukong dan individual. Keba-karan tipe korporasi yang dilakukan olehperusahaan, maka regulasi yang adapunya tingkat ‘sedang (2)’ untuk menang-gulanginya. Namun bila itu dilakukandengan kerjasama lewat kelembagaankoperasi maupun perseorangan makakeberadaan regulasi tidak banyak bisamembidiknya. Sedangkan jaringankebakaran tipe ‘cukong’ yang seringterjadi di hutan lindung, taman nasionaldan areal open access lainnya, keber-adaan regulasi ‘lemah (1)’. Demikian

29https://www.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/produkhukum/Inpres%2016% 20Tahun%202011%20Peningkatan%20 Pengendalian%20Kebakaran% 20Hutan.pdf

30http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt56a0ab463252d/node/lt511a13750665b/inpres-no-11-tahun-2015-peningkatan-pengen-dalian-kebakaran-hutan-dan-lahan

31http://agroindonesia.co.id/index.php/2015/11/17/cegah-kebakaran-gambut-pun-terlarang/

32http://175.184.234.138/p3es/uploads/unduhan/Perpres_Nomor_1_Tahun_2016.pdf

Page 71: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

70 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

juga untuk kebakaran lahan individual,banyak regulasi yang tidakmenyentuhnya. Sehingga secara umum,median dari semua nilai median jaringankebakaran, dapat dikatakan bahwakeberadaaan semua regulasi untukmembidik semua tipe jaringan kebakaranadalah ‘lemah (1)’.

Namun demikian, kalau dilihat nilaimaksimum untuk tiap tipe jaringankebakaran maka semua mendapatkannilai ‘kuat (3)’ kecuali tipe individualdengan nilai ‘sedang (2)’. Ini bermaknabahwa ada regulasi, paling tidak ada satu,yang kuat (3) untuk membidik jaringankebakaran itu. Sebagai contoh UU 18/2013 tentang‘Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan’ kuatmembidik kebakaran di tipe jaringankorporasi dan cukong. Sedangkan UU32/2009 tentang‘Perlindungan danPengelolaan Lingkungan Hidup’ cukupatau sedang (2) untuk membidik tipekebakaran di lahan individual. Mediandari nilai maksimum untuk semua tipekebakaran adalah kuat (3). Ini berartibahwa ada regulasi tertentu yang mema-dai untuk membidiksetiap tipe jaringanKarhutla.

Gambar 8 menyajikan hasil analisisPCA terhadap jaringan Karhutla ber-basiskan regulasi yang ada. Tampakbahwa UU 32/2009 tentang Perlin-dungan dan Pengelolaan Lingkungan

Gambar 8. Hasil analisis PCA terhadap jaringan kebakaran dan regulasi (keragamantotal 78%)

Page 72: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

71Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan

Hidup membidik kuat, tapi tidak spesifikke jaringan tertentu. Namun bila dilihatbagi Jaringan Individual di APL, hanyaUU 32/2009 yang cenderung dekatuntuk membidiknya. Sementara JaringanKorporasi Perseorangan dan KorporasiKoperasi memiliki ciri yang mirip,dimana keduanya dibidik oleh aturanyang sama, seperti UU 32/ 2009 dan UU18/ 2013 tentang Pencegahan danPemberantasan Perusakan Hutan. Selainitu UU 18/2013 juga membidik JaringanCukong dan Korporasi Perusahaan,ditambah lagi PP No. 71/2014 tentangPerlindungan dan Pengelolaan EkosistemGambut dan UU 41/1999 tentangKehutanan juga membidik kuat keduajaringan ini. Secara umum maka JaringanKorporasi Perusahaan dan Cukongdibidik kuat oleh tiga instrumen regulasi,kontras dengan Individual di APL yangtidak terlalu kuat dibidik oleh instrumenregulasi tertentu.

Tentu saja adanya regulasi tidakmenjamin terlaksana dan tegaknyaregulasi tersebut.Pelaksana dan penegakregulasi adalah institusi pemerintah(eksekutif) seperti kementerian danpemerintah daerah serta penegak hukumyang meliputi kepolisian dan kejaksaanserta lembaga yudikatif kehakiman.Sedangkan pembuat aturan adalahlembaga legislatif (DPR dan DPRD)dengan pemerintah. Keseluruhan inidisebut dengan istilah ‘tata kelola’(governance) yang mengupas bagaimanakeputusan dan kebijakan dibuat dandiimplementasikan. Tata kelola hutandan lahan yang lemah akan mudahterpengaruhi oleh aktor-aktor dalamjaringan kebakaran tersebut.

Keterpengaruhan ini akan melemahkankemampuan pihak eksekutif danyudikatif dalam memastikan regulasi ituberjalan. Keterpengaruhan ini terjadilewat jaringan patronase (patronagenetwork) dimana aktor-aktor Karhutlapunya patron di lembaga eksekutif,legistalif dan yudikatif (Varkkey 2013;2016)

Jaringan patronase juga terjadi ditingkat yang lebih tinggi (supra-jaringan).Supra-jaringan menghubungkanperusahaan-perusahaan dengan pejabattinggi dan mantan pejabat tinggi yangberpengaruh di Indonesia, bahkan diMalaysia dan Singapura. Berberapaperusahaan yang lahannya terbakarseperti SPA dan SGP di Riau dan BMH diSumatra Selatan terhubung dengan grupraksasa yang mempunyai anggotakomisaris elit pemerintah di tingkatnasional dan regional.

Masyarakat yang betul-betulmembutuhkan lahan untuk bertani,bukan cukong yang menjual lahan, perluperlakuan khusus dari pemerintah.Akses terhadap lahan disertai dengankelembagaan yang baik akanmeningkatkan ekonomi masyarakat(Purnomo dan Mendoza 2011; Purnomoet al. 2012b). Masalah legalitas lahanharus diselesaikan dengan baik secaraspasial maupun temporal. Secara spasialartinya, petani kecil harus mempunyailahan yang secara legal bisa dijadikankebun. Petani kecil ini harus mendapatkeuntungan dari hutan-hutan produksikonversi, reforma agraria dan rencanapemerintah untuk alokasi 9 juta ha.Secara temporal berati bahwa bisa jadipetani kecil ini yang lahannya sekarang

Page 73: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

72 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

ilegal diberi jangka waktu tertentu, satudaur tanaman sawit misalnya, untukberkebun disitu kemudian harusdikembalikan ke pemerintah untukdihutankan kembali. Selama periode satudaur tersebut petani harus diberikankepastian hukum agar bisa meningkatkanproduktivitas kebunnya (Reponden 1SLH). Kolaborasi dengan pihak swastadalam bentuk plasma juga dimungkinkanuntuk meningkatkan pendapatan petani(Purnomo et al. 2013a; 2013b). Legalitasmerupan prinsip ke-1 dari ISPO (Indone-sian Sustainable Palm Oil) yang sedangdiperjuangkan oleh pemerintah untukmendunia bersanding dengan RSPO(Rountable on Sustainable Palm Oil).

KESIMPULANKarhutla yang terjadi setiap tahun

mengakibatkan kerugian ekonomi,lingkungan dan korban jiwa yang besar.Namun pada saat yang samamenguntungkan beberapa pihak yangterlibat dalam jaringan aktor Karhutla.Penelitian ini menyimpulkan sebagaiberikut:1. Kebakaran hutan dan lahan dilakukan

oleh sekelompok orang yangberbentuk jaringan.

2. Jaringan aktor Karhutla beroperasipada tingkat korporasi, cukong danindividual. Jaringan ini melibatkanaktor ekonomi, oknumpemerintahan dan oknum tokohmasyarakat.

3. Ada regulasi lingkungan, perkebunandan kehutanan yang memadai untukmembidik tokoh kunci jaringanKarhutla.

4. Eksekusi dari regulasi dengan kon-sisten menjadi kunci memerangijaringan Karhutla.

PUSTAKAAli M. 2015. Kebakaran Hutan dan Lahan di

Riau: Cerita dari ruang sidang hinggareportase lapangan. Laporan internalproyek ‘Ekonomi Politik Kebakaran danAsap’. CIFOR. Tidak dipublikasikan.

Borgatti SP, Everett MG and Johnson JC.2013. Analyzing Social Networks. SagePublications UK.

Eyes on the Fores (EOF). 2016. Tidak adayang aman: Kelapa sawit ilegal menyebarmelalui rantai pasokan dunia kendati adakomitmen dan sertifikasi kelestarian glo-bal http://www.eyesontheforest.or.id/attachLaporan%20 EoF%20April2016%20Tak%20ada%20yang%20aman_FINAL.pdf (19 Juni 2016)

Purnomo H, Okarda B, Shantiko B, Achdia-wan R, Kartodiharjo H, Dewayani AA.2015a. Kabut Asap, Penggunaan Lahandan Politik Lokal. Makalah dipresen-tasikan pada ‘Diskusi Pakar KebakaranHutan dan Lahan dan Bencana Asap diProvinsi Jambi’, Pusat Penelitian Kepen-dudukan - Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia (LIPI), Jakarta, 3 November2015. https://www.researchgate.net/publication/294721462_Kabut_Asap_Penggunaan_Lahan_dan_Politik_ Lokal

Purnomo H, Shantiko B, Gunawan H, SitorusA, Salim MA, Achdiawan R. 2015b. Eko-nomi Politik Kebakaran Hutan dan Lahan:Sebuah pendekatan analitis. Disajikanpada diskusi terbatas “Mencegah Keba-karan Lahan dan Hutan” yang diseleng-garakan oleh Yayasan Sarana Wana Jaya,tgl 11 Juni 2015, di Gedung ManggalaWana Bakti, Jakarta. https://www.researchgate.net/publication/294721273_Ekonomi_Politik_Kebakaran_Hutan

Page 74: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

73Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan

_dan_Lahan_Sebuah_pendekatan_analitis

Purnomo H, Suyamto D, Irawati RH 2013.Harnessing the climate commons: anagent-based modelling approach to ma-king reducing emission from deforestat-ion and degradation (REDD) + work.Mitigation and Adaptation Strategies forGlobal Change 18: 471–489.

Purnomo H, Suyamto D, Abdullah L, IrawatiRH 2012a. REDD+ actor analysis andpolitical mapping: an Indonesian casestudy. International Forestry Review. Vol.14(1): 74-89

Purnomo H, Arum GS, Achdiawan R, IrawatiRH. 2012b. Rights and wellbeing: ananalytical approach to global case compa-rison of community forestry. SustainableDevelopment 5(6): 35.

Purnomo H, Mendoza G. 2011. A systemdynamics model for evaluating collabo-rative forest management: a case studyin Indonesia. International Journal ofSustainable Development & World Ecology18(2): 164–176.

Purnomo H, Yasmi Y, Prabhu R, Hakim S,

Jafar A, Suprihatin. 2003a. Collaborativemodeling to support forest management:Qualitative systems analysis at LumutMountain Indonesia. Small-scale ForestEconomics, Management and Policy 2(2):259–275.

Purnomo H, Yasmi Y, Prabhu R, Yuliani L,Priyadi H, Vanclay JK. 2003b. Multi-agentsimulation of alternative scenarios ofcollaborative forest management. Small-scale Forest Economics, Management andPolicy 2 (2): 277–292.

Varkkey H. 2013. Oil palm plantations andtrans-boundary haze: Patronage net-works and land licensing in Indonesia’speatland. Wetlands 33:679–90.

Varkkey H. 2016. The Haze Problem inSoutheast Asia: Palm oil and Patronage.London: Routledge Taylor & FrancisGroup.

World Wildlife Fund (WWF). 2013. Sawitdari taman nasional: Menelusuri TBS ilegaldi Riau. http://awsassets.wwf.or.id/down-loads/wwf_indonesia__2013__mene-lusuri_sawit_illegal_di_riau_ final.pdf (19Juni 2016)

Page 75: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

74 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

DIMENSI MANUSIA PADAKEBAKARAN LAHAN GAMBUTMenentukan Perspektif Pemangku Kepentingandalam Berbagai Skala

Oleh Rachel Carmenta, Aiora Zabala, Willy Daeli,Jacob Phelps

PENDAHULUAN

Kebakaran hutan dan lahan gambutdi Indonesia, termasuk yang me-landa provinsi Riau di Sumatera,

adalah salah satu sumber utama emisigas rumah kaca global, penebanganhutan, dan kabut asap lintas negara,serta menjadi pemicu keteganganregional di bidang kesehatanmasyarakat, ekonomi, lingkungan, danhubungan internasional [1-4]. Sejakkebakaran besar-besaran terkait ElNiño pada periode 1997-98,

kebakaran lahan gambut berskala luasdi Indonesia terus berulang, termasukdi luar tahun-tahun terjadinya anomaliiklim, dan kini menjadi peristiwatahunan [1, 3, 5]. Kebakaran hutan danlahan pada tahun 2015 disebut-sebutsebagai kejahatan lingkungan terburukabad ini [2]. Karenanya, kebakaranlahan gambut merupakan wujudpergulatan modern untuk memahamidan menanggulangi perubahan pesatlingkungan yang dipicu oleh manusiadan terjadi secara global.

Menghadapi bencana kebakaran yang melanda di sejumlah wilayah, terdapat berbagai macamInisiatif Penanggulangan Kebakaran (IPK) yang bertujuan mencegah dan menanggulangikebakaran, serta untuk menghukum pelaku kebakaran. IPK memiliki variasi yang signifikandalam skala geografis, pemangku kepentingan yang ditargetkan, jangka waktu dan ruang lingkupintervensi berikut keseluruhan pendekatan yang menyertainya. Namun, kebakaran lahan gambutmemberikan tantangan tersendiri bagi pengelola sumber daya alam dan IPK yang efektif masihbelum ditemukan. Penting kemudian memperhatikan keberhasilan dan kegagalan IPK yangjuga akibat dari perbedaan motivasi para pemangku kepentingan terkait pembakaran lahan,dan pilihan solusi yang lebih disukai oleh para pemangku kepentingan tersebut. Artikel ini mengujipersepsi dan preferensi yang beragam mengenai kebakaran lahan gambut, termasuk daripenduduk yang sudah lama menetap dan komunitas baru, serta pelaku kebakaran maupunpembuat kebijakan di tingkat daerah, nasional, dan internasional.

Kata kunci: inisiatif penanggulangan kebakaran (IPK), respon kebijakan

D E N G A R P E N D A P A T

Page 76: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

75Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut

Ketika dihadapkan pada bencanatersebut, berbagai inisiatif penanggu-langan kebakaran (IPK) muncul untukmencegah dan menanggulangi keba-karan, serta untuk menghukum pelakukebakaran. IPK memiliki variasi yangsignifikan dalam skala geografis, pemang-ku kepentingan yang ditargetkan, jangkawaktu dan ruang lingkup intervensi,serta pendekatan keseluruhan (misalnyafokus pada pemadaman daripada pence-gahan, ketergantungan pada sanksi,peran insentif). Namun, kebakaran lahangambut (Gambar 1) memberikan tan-tangan tersendiri bagi pengelola sumberdaya alam [6-13] dan IPK yang efektifmasih belum ditemukan. Kesenjanganyang cukup besar antara kebijakan (dejure) dan praktik (de facto) dalam penge-lolaan lahan gambut, seperti halnya dibidang lain dalam pengelolaan hutan dansumber daya alam, menunjukkan perlu-

nya pemahaman yang lebih baik tentangmengapa IPK belum berhasil [8, 14-19].Meski kurang dipahami, kemungkinanIPK belum berhasil karena sejumlahfaktor yang saling berhubungan, terma-suk lemahnya tata kelola dan kapasitaskelembagaan, ketidaksetaraan kekua-saan dan gagalnya intervensi untukmemanfaatkan norma, praktik, dankapasitas lokal secara memadai [14, 18-20]. Yang tak kalah penting, keberha-silan dan kegagalan IPK juga akibat darimotivasi para pemangku kepentinganyang berbeda terkait pembakaran lahan,dan pilihan solusi yang lebih disukai olehpara pemangku kepentingan tersebut[21].

Oleh karenanya, menjadi pentingkemudian untuk menelaah secara khususpersepsi pemangku kepentingan padaranah lahan gambut Indonesia. Komplek-sitasnya terkait dengan perubahan peng-

Gambar 1. Lahan gambut terbakar di dekat Kota Palangka Raya, Indonesia. Foto oleh Björn Vaughn.

Page 77: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

76 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

gunaan tanah yang cukup signifikandewasa ini dan melibatkan banyakpelaku. Contohnya, lahan gambut Suma-tera bukan hanya telah dilanda keba-karan hebat melainkan juga perubahandrastis dalam penggunaan tanah selama20 tahun terakhir, yang didorong olehmeluasnya perkebunan akasia dan kelapasawit [22-24]. Perubahan penggunaantanah juga terkait dengan perpindahanpenduduk yang signifikan ke daerahtersebut (baik secara spontan maupundidukung pemerintah), yang membawaberagam pemangku kepentingan sertapola baru investasi dan pengambilanlahan [25]. Berbagai kelompok pemang-ku kepentingan (contohnya termasukpemilik yang tidak menempati tanah,pelaku agrobisnis, dan petani skala kecil)memperoleh keuntungan dan kerugianakibat kebakaran dengan cara berbeda-beda. Penting untuk memahami orientasidan preferensi nilai masyarakat karenahal tersebut pada akhirnya membentukperilaku pengelolaan tanah [26-30].Solusi efektif untuk mengatasi kebakaranlahan gambut kemungkinan akan meli-batkan pergeseran dari praktik yang adasekarang ini dan mau tidak mau merekayang terlibat harus berkompromi.

Di tengah usaha untuk menerapkansolusi teknokratik [20, 31, 32], kamiberpendapat bahwa evaluasi kritisterhadap belum berhasilnya IPK harusberfokus pada memahami persepsi yangberagam mengenai kebakaran lahangambut, termasuk dari penduduk yangsudah lama menetap dan komunitasbaru, serta pelaku kebakaran maupunpembuat kebijakan di tingkat daerah,nasional, dan internasional [28]. Selain

itu, dengan menganalisis cara-caraberpikir yang berbeda mengenai keun-tungan, kerugian, dan solusi untukkebakaran lahan gambut, dapat dilihathal apa saja yang disepakati maupundipertentangkan para pemangku kepen-tingan, sehingga dapat ditemukan titikdimana adanya kemungkinan penolakanpaling sedikit. Analisis semacam ini jugamenyoroti kapan dialog diperlukanuntuk menyepakati kompromi yang takterelakkan, menghasilkan legitimasi danpersetujuan, serta bergerak menuju“ruang solusi” bersama.

Penelitian kami memberi wawasanbaru mengenai ragam persepsi danpreferensi terkait kebakaran lahangambut di Riau, Sumatera. Kami mene-mukan adanya kumpulan pendapatserupa di antara kelompok pemangkukepentingan yang berbeda, dan menyo-roti poin-poin perselisihan. Analisistersebut dapat membantu mengenalipreferensi untuk solusi, mendiagnosisisu yang dikhawatirkan, dan memanduagar upaya di masa depan lebih fokus. Ditengah perdebatan kebijakan yang panasdan berlarut-larut, data ini juga akanmembantu memfasilitasi negosiasi dandiskusi kebijakan yang lebih konstruktifdan terarah, serta membantu memas-tikan bahwa intervensi yang dilakukantetap memerhatikan realitas masyarakatdi lapangan. Laporan ini menyuguhkanhasil awal yaitu peringkat rata-ratamasing-masing pernyataan dari semuaresponden terkait i) pentingnya keun-tungan dan kerugian akibat kebakaranlahan gambut dan ii) keefektifan solusipotensial untuk mengatasi kebakaranlahan gambut. Kami menyajikan ikhtisar

Page 78: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

77Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut

singkat berbagai perspektif berbedamengenai kedua dimensi tersebut. Kamimengaitkan hasil tersebut dengan upayapenanganan kebakaran saat ini danmembahas implikasi temuan kamiterhadap kebijakan.

METODEUntuk memahami perspektif yang

berbeda di ranah kebakaran dan kabutasap, kami menggunakan metode Q.Dalam pendekatan ini dipilih serang-kaian pernyataan yang mewakiliseluruh pendapat yang ada mengenaitopik tertentu. Responden diminta

memberi peringkat pada pernyataan-pernyataan tersebut dalam sistemdistribusi paksa (Gambar 2). Datadicatat dan dianalisis menggunakanfaktor untuk mengungkapkanperspektifnya secara kolektif (disebut“faktor”) tentang topik tersebut.Penelitian kami melibatkan duakelompok pernyataan yang masing-masing terdiri dari 30–40 pernyataan.Masing-masing kelompok mencakupsatu dari dua isu berikut: 1. Sejumlahkerugian dan keuntungan yangmungkin diperoleh orang terkaitkebakaran dan kabut asap, yangdiurutkan berdasarkan skala

Gambar 2. Contoh pengurutan Q yang telah selesai, dimana semua pernyataan solusi telah diurutkanberdasarkan skala keefektifan. Penempatan setiap kartu berhubungan dengan semua kartu lainnya.

Page 79: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

78 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

“kepentingan”. Ini termasukkeuntungan dan kerugian langsungmaupun tidak langsung, yang diperolehpada skala lokal, regional, nasional,dan global (Tabel 1). 2. Berbagai solusiyang memungkinkan untuk menang-gulangi kebakaran lahan gambut, mulaidari pemadaman, penegakan hukum,insentif ekonomi, hingga pengelolaan

lahan gambut yang lebih baik (Tabel 2).Diurutkan berdasarkan skala keefek-tifan. Responden berasal dari berbagaikelompok pemangku kepentingan darikancah lokal, nasional, dan interna-sional, dan dimaksudkan untukmenangkap secara penuh beragamnyapemikiran mengenai kebakaran lahangambut. Secara spesifik para

Tabel 1. Daftar lengkap pernyataan keuntungan dan kerugian (himpunan) yangdiurutkan berdasarkan skala kepentingan.

Pernyataan Keuntungan dan Kerugian

Kebakaran mengurangi gulma dan hama yang merusak tanamanKebakaran melemahkan reputasi industri kelapa sawit IndonesiaKebakaran meningkatkan risiko tanah seseorang dapat diduduki karena lahan yang terbakar tampak kosongKebakaran menyebabkan kabut asap yang membuat transportasi lebih berbahayaKebakaran digunakan untuk membuka lahan demi memudahkan akses ke lokasi memancing dan berburuKebakaran mengurangi produksi tanaman pangan untuk menghidupi rumah tanggaPemilik tanah skala kecil kehilangan penghasilan saat kebakaran menghanguskan lahan merekaPerusahaan perkebunan meningkatkan laba saat mereka membuka lahan dengan cara membakarPemerintah pusat memberikan dana kepada pemangku kepentingan di Riau untuk menanggulangi kebakaranKebakaran di Indonesia menimbulkan kabut asap yang menyebar ke Singapura dan Malaysia danmenyebabkan gangguan kesehatan di sanaKebakaran di Indonesia menimbulkan kabut asap yang menyebar ke Singapuradan Malaysia danmenyebabkan kerugian ekonomi di sanaKebakaran adalah cara tradisional masyarakat untuk membuka lahanPemilik tanah skala kecil bisa ikut bercocok tanam karena mereka dapat membuka lahan dengan biaya murahdengan cara membakarKebakaran menyulitkan untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab saat pembukaan lahan dilakukansecara ilegalKebakaran menimbulkan kabut asap yang membuat orang harus tetap di dalam rumahKebakaran menimbulkan konflik antarkelompok tentang siapa yang bertanggung jawab atas pembakaranKebakaran mengakibatkan petani skala kecil dipersalahkan dan dipaksa mengikuti kebijakanKabut asap akibat kebakaran menyebar hingga ke Singapuradan Malaysia dan menyebabkan ketegangandiplomatikKebakaran mengakibatkan kerugian pada seluruh perekonomian RiauKebakaran menimbulkan kabut asap yang menyebabkan gangguan kesehatan di RiauKebakaran mengurangi keanekaragaman hayatiKebakaran menyulitkan bisnis pertanian karena meningkatnya birokrasi, peraturan, dan penegakan hukumKonflik menyebabkan orang membakar tanah orang lain atau perusahaanKebakaran membantu orang menunjukkan klaimnya atas tanahKebakaran menimbulkan risiko merusak tanaman sehingga orang tidak ingin bercocok tanam di tanahmerekaKebakaran mengurangi kenikmatan berekreasiPemilik tanah skala besar kehilangan penghasilan saat kebakaran menghanguskan lahan merekaKebakaran mengurangi keasaman lahan gambut dan membuatnya lebih baik untuk bercocok tanamKebakaran menyebabkan emisi gas rumah kaca yang berdampak pada iklim globalKebakaran memungkinkan pembangunan pertanian yang pesat sehingga rumah sakit, jalan, dan sekolah

No.

12345678910

11

1213

14

15161718

19202122232425

2627282930

Page 80: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

79Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut

responden terdiri dari: i) pembuatkebijakan di Singapura (n 8); ii) Jakarta(n 9); dan iii) Riau (n 11); iv) tokohmasyarakat setempat (n 15); v) pemiliktanah skala besar (n 15); vi) investormenengah yang tidak menempati tanah(n 15); vii) pelaku pertanian industri (n30); viii) petani skala kecil (n 42); viiii)pemilik tanah skala menengah (n 34);x) buruh/petani penggarap (Share, n15) dan xi) warga non-pemilik tanahyang tak berdaya (n 15) dan vii)lembaga swadaya masyarakat (n 10).Untuk keterangan lengkap mengenaimetode, lihat Carmenta et al.[33].

Gambar 2. Contoh pengurutan Qyang telah selesai, dimana semuapernyataan solusi telah diurutkanberdasarkan skala keefektifan.Penempatan setiap kartu berhubungandengan semua kartu lainnya.

KEUNTUNGAN DANKERUGIAN AKIBATKEBAKARAN LAHAN

Kami menemukan empat faktoryang menangkap cara berbeda dalammemandang keuntungan dan kerugianakibat kebakaran lahan gambut.Penting untuk dicatat bahwa faktor-faktor ini tidak hanya mencerminkankerugian akibat kebakaran, melainkanjuga pengakuan atas kenyataan bahwasejumlah keuntungan didapatkan darikebakaran lahan gambut. Pernyataanyang menggambarkan faktor tertentuditunjukkan dengan tanda kurung,dimana tanda * menunjukkanpernyataan pembeda. Lihat Tabel 1untuk daftar pernyataan selengkapnya.

Empat faktor yangmenggambarkan perspektifmengenai keuntungan dankerugian terkait kebakaran

KK1: Kebakaran merugikan perusahaanPerspektif ini adalah satu-satunya

yang memerhatikan kerugian ekonomi(P27*) dan memburuknya reputasi(P02*) yang dialami perusahaan akibatkebakaran. Namun, perspektif ini tidakmenganggap pembakaran sebagai caramurah untuk membuka lahan, baik olehperusahaan (P08) maupun petani skalakecil (P13*). Perspektif ini pun tidakmenganggap penting ketidakjelasantentang pihak yang bertanggung jawabatas kebakaran (P14*) atau konflikantarpelaku yang timbul karena perse-lisihan mengenai siapa yang menjadisumber/bertanggung jawab atas keba-karan (P16*). Perspektif ini tidak mem-prioritaskan pentingnya kebakaransebagai hasil dari perselisihan antar-pelaku (misalnya tentang hak atas tanah,P23*). Perspektif ini juga memerhatikandampak negatif kebakaran pada kesejah-teraan di daerah, termasuk pada kesela-matan transportasi (P04*), rekreasi(P26*), dan ekonomi Riau (P19*).

KK2: Kebakaran merugikan petani skalakecil

Perspektif ini memerhatikan dampaknegatif kebakaran secara langsungmaupun tidak langsung pada petani skalakecil, termasuk hilangnya penghasilan(P07) dan tuduhan melakukanpembakaran (P17). Perspektif ini jugasangat memandang penting bagaimanakebakaran berisiko mengurangi manfaat

Page 81: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

80 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

pertanian, melalui meningkatnyabirokrasi(P22*) dan berkurangnyakeinginan orang untuk bercocok tanam(karena terus merugi, P25*). Namun,perspektif ini tidak mementingkanmanfaat pembakaran dalam pertanianskala kecil. Yang dianggap paling tidakpenting adalah peran pembakaransebagai cara murah (P13*) dantradisional (P12*) untuk membuka lahandan sebagai sarana pengendalian hama(P01*). Perspektif ini relatif tidakmenganggap kebakaran sebagai carauntuk meningkatkan kualitas tanah(P28*).

KK3: Kebakaran menguntungkansekaligus merugikan petani skala kecil

Perspektif ini berbeda karena meng-anggap penting manfaat pembakaransebagai metode pertanian skala kecilyang murah (P13*) dan tradisional (P12*)yang meningkatkan kualitas tanah (P28*)serta mengendalikan hama (P01*).Namun, perspektif ini juga memerhati-kan dampak negatif kebakaran padapetani skala kecil, termasuk hilangnyapenghasilan (P07) dan tuduhan menye-babkan kebakaran (P17). Perspektif inipun memerhatikan bagaimana kebakaranmemicu konflik antarpelaku mengenaitanggung jawab atas kebakaran (P16*).Perspektif ini paling tidak mementingkandampak kebakaran di luar negeri, ter-masuk dalam hal kesehatan (P10*),ekonomi (P11*),dan hubungan bilateral(P18*), serta dampaknya pada pemiliktanah skala besar, termasuk dalam risikoreputasi (P02*) dan kerugian ekonomi(P27*). Perspektif ini menganggap bahwapembakaran sebagai cara murah bagi

perusahaan untuk membuka lahan (P08*)relatif tidak penting. Demikian pula,perspektif ini paling tidak menganggappenting penerimaan dana pemerintahuntuk penanggulangan kebakaran (P09*).

KK4: Kebakaran memicu konflik lokal dandampak di luar negeri

Perspektif ini paling memerhatikandampak negatif kebakaran di luarnegeri, termasuk dalam kerugianekonomi (P11*) dan isu kesehatan(P10*). Perspektif ini pun amatmementingkan dampak pada gas rumahkaca (P29*). Sebaliknya, perspektif initidak memprioritaskan risiko yangditimbulkan kebakaran pada jenis-jenispemilik tanah yang berbeda.Contohnya, perspektif ini relatif tidakmementingkan kerugian langsung yangditimbulkan pada penghasilanperusahaan (P27), produksi panganuntuk bertahan hidup (P06*),dan peng-hasilan petani skala kecil (P07*). Per-spektif ini paling tidak mementingkanbagaimana kebakaran berisiko mengu-rangi manfaat pertanian, melaluimeningkatnya birokrasi (P22*) danberkurangnya keinginan orang untukbercocok tanam (karena terus merugi,P25*). Namun, perspektif inimenganggap penting pembakaransebagai cara murah untuk membukalahan, terutama oleh pemilik tanahskala besar (P08*), dan juga oleh petaniskala kecil (P13*). Perspektif ini punmemerhatikan bagaimana pembakaranterkait dengan konflik di antara parapelaku, termasuk sebagai bagian darikonflik yang sudah ada (misalnyatentang hak atas tanah, P23*) dan

Page 82: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

81Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut

Tabel 2. Daftar lengkap pernyataan solusi inisiatif penanggulangan kebakaran atauIPK (himpunan) yang diurutkan berdasarkan skala keefektifan.

No. Pernyataan Solusi

1 Meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan daerah2 Melarang memancing dan berburu3 Mendukung kelompok masyarakat untuk menciptakan peraturan dan sanksi setempat sendiri terkait kebakaran4 Meningkatkan penegakan hukum terhadap elit daerah yang memperbolehkan pembakaran5 Memberikan insentif, misalnya uang, bibit, atau layanan kesehatan dan pendidikan, kepada pemilik tanah secara

individu demi mendorong mereka agar mencegah pembakaran6 Memperbolehkan pembakaran yang berhati-hati dan mematuhi aturan, misalnya dengan tidak membakar saat

cuaca sangat kering dan berangin7 Memperkuat kesepakatan politik dengan negara-negara tetangga terkait pengurangan kebakaran dan kabut asap8 Melakukan lebih banyak penelitian untuk meningkatkan pengetahuan mengenai pengelolaan lahan gambut dan

penanggulangan kebakaran9 Meningkatkan penegakan hukum terhadap investor mandiri (bukan perusahaan) dari luar Riau yang memper-

bolehkan pembakaran di tanah mereka10 Memperkuat standar lingkungan perusahaan untuk memastikan mereka tidak melakukan, mempromosikan atau

memfasilitasi pembakaran11 Memperkuat upaya pemadaman yang dipimpin pemerintah12 Membangun kesadaran mengenai berbagai dampak negatif kebakaran13 RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) memberikan sanksi kepada anggotanya yang melakukan pembakaran14 Memperkuat upaya anti korupsi terhadap orang yang memperoleh tanah secara ilegal di Riau dengan cara

korupsi15 Menanami lahan segera setelah dibuka daripada membiarkannya kosong, supaya mengurangi kerentanan

terhadap kebakaran16 Meningkatkan penggunaan kanal dangkal sebagai pencegah kebakaran17 Pemerintah pusat harus memfasilitasi proses pengalihan kawasan hutan menjadi Area Penggunaan Lain (APL),

supaya orang tidak melakukan pembakaran sebagai alasan demi mendapatkan izin ini18 Memperkuat kontrol pemerintah pusat atas isu penggunaan lahan dan kebakaran di Riau19 Perusahaan besar memberikan dukungan kepada kelompok petani plasma untuk membuka lahan tanpa membakar20 Menggerakkan masyarakat sipil / LSM untuk bertindak dalam penanggulangan kebakaran21 Meningkatkan penegakan hukum terhadap perusahaan besar yang memperbolehkan pembakaran22 Pemerintah memberikan dukungan kepada pemilik tanah skala kecil untuk membuka lahan tanpa membakar23 Meningkatkan penegakan hukum terhadap petani skala kecil yang melakukan pembakaran24 Pemerintah mencabut izin perusahaan yang melakukan pembakaran secara ilegal25 Memberikan insentif, misalnya uang dan dukungan teknis, kepada pemerintah daerah Riau demi mendorong

mereka agar mencegah pembakaran26 Memperkuat upaya pemadaman oleh perusahaan27 Meningkatkan penegakan hukum terhadap buruh yang diupah orang lain untuk membuka lahan dengan cara

membakar28 Membangun kesadaran bahwa membuka lahan dengan cara membakar adalah ilegal29 Mengairi kembali lahan gambut yang kering30 Meningkatkan penggunaan teknik pertanian tradisional dan tanaman seperti sagu dan kelapa yang tidak terlalu

rentan terhadap kebakaran dibandingkan perkebunan kelapa sawit31 Memperkuat standar bank agar tidak memberikan pelayanan atau pinjaman kepada orang atau perusahaan yang

melakukan pembakaran32 Menyempurnakan penggunaan teknologi berbasis satelit, pesawat, dan pesawat tanpa awak (drone) untuk

mendeteksi kebakaran33 Menyempurnakan peralatan prediksi kebakaran34 Mengurangi perpindahan penduduk dari provinsi lain ke Riau35 Membangun dan memperbanyak staf menara pengawas kebakaran hutan36 Meningkatkan kualitas peta lahan gambut demi pengelolaan lahan dan pencegahan kebakaran yang lebih baik37 Membangun kesadaran untuk mengurangi kebakaran yang tidak disengaja karena kompor atau puntung rokok38 Memperkuat upaya pemadaman di tingkat lokal (misalnya di tingkat kelompok Masyarakat Peduli Api atau MPA)39 Melarang perluasan kawasan pertanian baru ke hutan pada lahan gambut40 Meningkatkan kejelasan batas kepemilikan tanah untuk mencegah orang melakukan pembakaran demi menguasai tanah

Page 83: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

82 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

sebagai sumber konflik baru (tentangsiapa yang bertanggung jawab, P16*).

Menemukan kesepakatan danketidaksepakatan secarakeseluruhan

Beberapa pernyataan dapat didefini-sikan sebagai pernyataan konsensus,yang berarti disepakati sebagai positifatau negatif pada semua faktor.Pernyataan ini meliputi kekhawatiransecara umum tentang dampak burukkebakaran pada kesehatan dan keane-karagaman hayati serta kecenderunganmengkhawatirkan kerugian ekonomi diRiau. Tidak ada kekhawatiran dalampengambilalihan lahan, akses ke lokasimemancing dan berburu, atau penye-diaan pendapatan yang menghasilkan danmemungkinkan pembangunan infrastruk-tur publik. Beberapa kerugian dan keun-tungan cukup kontroversial, contohnya:pemilik tanah skala besar kehilanganpendapatan karena kebakaran, pem-bakaran adalah cara murah pembukaanlahan yang memungkinkan pemilik tanahskala kecil untuk ikut bercocok tanam,dan kebakaran menimbulkan ketegangandiplomatik.

SOLUSI UNTUKKEBAKARAN LAHAN

Kami menemukan lima faktor yangmenangkap cara berbeda dalam meman-dang keefektifan solusi potensial untukmenanggulangi kebakaran lahan gambut.Penting dicatat bahwa faktor-faktor inimencerminkan perbedaan pilihan antaramemadamkan atau mencegah kebakaran,serta antara solusi yang mengharuskan

transformasi signifikan pada praktikmodern pertanian lahan gambut diIndonesia atau yang mengharuskanpraktik seperti adanya sekarang inidilanjutkan. Pernyataan yang menggam-barkan faktor tertentu ditunjukkandengan tanda kurung, di mana tanda *menunjukkan pernyataan pembeda.Lihat Tabel 2 untuk daftar pernyataanselengkapnya.

Lima faktor yang menggambarkanperspektif mengenai solusi IPK

S1: Perkuat upaya pemadamanFaktor ini sangat berfokus pada pe-ningkatan upaya pemadaman olehinstansi pemerintah (P11*) dan di tingkatlokal (P38*). Seiring dengan itu,perspektif ini terutama menyorotikeefektifan peningkatan penggunaanmenara pengawas kebakaran hutan(P35*), penyempurnaan teknologiprediksi kebakaran (P33*) dan pening-katan penggunaan kanal dangkal (P16*).Perspektif ini menganggap bahwa usahauntuk membatasi ekspansi pertaniantidak efektif, terutama jika memengaruhimata pencaharian petani skala kecil.Contohnya, usaha untuk membatasiperluasan kawasan pertanian pada lahangambut (P39) atau membatasi meman-cing dan berburu (P02*) dipandang tidakefektif, sementara dukungan pemerintahkepada petani skala kecil untuk berco-cok tanam tanpa membakar (P22) diang-gap efektif. Perspektif ini menganggapsemua solusi berbasis penegakan hukumtidak terlalu efektif, termasuk penegakanhukum terhadap investor (P09*), buruh(P27), petani skala kecil (P23),dan

Page 84: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

83Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut

perusahaan (P21*). Namun, perspektifini memandang bahwa usaha untukmencabut izin perusahaan yangmelakukan pembakaran (P24*)kemungkinan akan efektif.

S2: Terapkan tindakan tegas terhadappelaku skala besar

Perspektif ini dicirikan olehpenekanannya pada tindakan tegasterhadap pelaku skala besar, termasukpenegakan hukum terhadap perusahaan(P21*) dan investor eksternal (P09),sertapencabutan izin perusahaan yangmelakukan pembakaran (P24*).Perspektif ini juga menyoroti keefektifanstandar lingkungan perusahaan (P10) danpembatasan pinjaman bank untukperusahaan yang memperbolehkanpembakaran (P31*). Perspektif ini punmemandang positif perlunyamenghentikan perluasan kawasanpertanian pada lahan gambut(P39*).Yang dianggap sangat tidak efektif adalahupaya untuk menggalakkan pembakaransecara legal dan berhati-hati(P06*),memfasilitasi proses pengalihan kawasanhutan secara legal menjadi lahanpertanian (P17*), atau meningkatkanpenggunaan kanal dangkal untukpertanian sekaligus untuk mengurangirisiko kebakaran (P16*). Sebaliknya,perspektif ini memandang penegakanhukum terhadap buruh (P27) dan petaniskala kecil (P23) tidak efektif. Selain itu,usaha untuk membatasi memancing danberburu (yang dapat mengakibatkankebakaran) (P02*) atau membangunkesadaran tentang risiko kebakaran yangtidak disengaja (P37*) dianggap sangattidak efektif.

S3: Bangun kesadaran untuk mencegahkebakaran

Perspektif ini dicirikan olehanggapan bahwa solusi yangmembangun kesadaran adalah yangpaling efektif. Ini termasuk kesadaranmengenai potensi dampak negatifkebakaran (P12*), kesadaran bahwapembakaranitu ilegal (P28*), dankesadaran untukmencegahmenyebarnya api secara tidaksengaja(P37). Perspektif ini amatmenyoroti tidak efektifnya intervensiyang menargetkan masalah mendasaryang umumnya dianggap memicukebakaran, misalnya tentangkepemilikan tanah (P40*), korupsi(P14*), pengairan kembali lahan gambut(P29*), dan migrasi (sering kalidikaitkan dengan pembakaran) (P34*).Perspektif ini cenderung lebih memilihsolusi yang dapat lebih segeradilakukan, termasuk peningkatanpenggunaan kanal dangkal (P16*) danpenegakan hukum terhadap perusahaan(P21*). Tidak ada kelompok pemangkukepentingan yang jelas terkait denganperspektif ini.

S4: Terapkan tindakan tegas terhadapsemua pelaku

Perspektif ini terutama dicirikandengan fokus pada penegakan hukumterhadap semua pelaku pembakaran,termasuk perusahaan (P21*), elit daerah(P04*), buruh (P27*), petani skala kecil(P23*),dan investor (P09) dan jugatermasuk keefektifan pencabutan izinperusahaan yang melakukan pembakaran(P24*). Perspektif ini menganggap upayamemperjelas batas-batas kepemilikan

Page 85: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

84 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

tanah sangat efektif (P40*). Perspektif inimenyoroti keefektifan solusi yangmenggerakkan masyarakat sipil (P20*)serta memberikan insentif bagipemerintah daerah untuk mencegahkebakaran (P25*). Upaya untukmerombak model pertanian sepertiadanya sekarang ini dipandang tidakefektif, termasuk usaha untuk membatasiperluasan kawasan pertanian pada lahangambut(P39), intervensi untuk mengairikembali lahan gambut (P29*), atau untukmenggalakkan penggunaan teknikpertanian tradisional daripada kelapasawit (P30*). Solusi yang mengandalkankemajuan teknologi dianggap amat tidakefektif, di antaranya penyempurnaanprediksi kebakaran(P33*) dan deteksititik api melalui pengawasan udara dansatelit (P32*).

S5: Gunakan cara halus untukmeningkatkan kualitas pertanian skala kecil

Perspektif ini dicirikan oleh keefek-tifan solusi berbasis insentif untukmengurangi kebakaran melalui peru-bahan praktik pertanian (P05*). Du-kungan baik dari pemerintah (P22)maupun perusahaan (P19) kepada petaniskala kecil, dan perlunya beralih keteknik pertanian tradisional (P30*)dipandang efektif. Perspektif ini me-nganggap upaya untuk melegalkanpembakaran yang berhati-hati sangatlahefektif (P06*). Perspektif ini memandangbanyak usaha pemadaman api tidakefektif, terutama peningkatan peng-gunaan menara pengawas kebakaran(P35*) serta upaya yang dipimpinperusahaan (P26), masyarakat lokal(P38*),dan pemerintah (P11).

Menemukan kesepakatan danketidaksepakatan secara keselu-ruhan mengenai keefektifan solusi

Beberapa pernyataan dapatdidefinisikan sebagai pernyataankonsensus, yang berarti disepakatisebagai efektif atau tidak efektif padasemua faktor. Pernyataan-pernyataan inimeliputi perspektif yang sama mengenaikeefektifan cara halus (baik olehperusahaan maupun (P19) pemerintah(P22)) kepada pemilik tanah skala keciluntuk memungkinkan pertanian tanpapembakaran, dan keefektifan pening-katan penegakan hukum terhadap elitdaerah (P04). Posisi yang sama tentangsolusi yang tidak efektif terdapat padaupaya mengurangi perpindahan pendu-duk ke Riau (P34) dan memberikaninsentifkepada pemerintah daerah untukmendorong penanggulangan kebakaranyang lebih baik (P25). Sejumlah solusiyang dipandang paling efektif juga meru-pakan yang paling kontroversial.Contohnya, mencabut izin perusahaanyang melakukan pembakaran (P21),meningkatkan penggunaan kanal dangkal(P16), mengairi kembali lahan gambut(P29), dan melarang perluasan lebihlanjut kawasan pertanian pada lahangambut (P39), sangat didukung olehsebagian responden, tetapi ditolakmentah-mentah oleh sebagian yang lain.Solusi yang secara aktif digunakanpemerintah sebagai upaya jangka pendekuntuk mengatasi krisis saat ini jugatermasuk yang paling kontroversial.Tidak ada kesepakatan mengenai pe-mangku kepentingan mana (misalnyaagroindustri, investor eksternal, pemiliktanah skala kecil) yang mungkin dapat

Page 86: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

85Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut

menjadi target paling efektif secarakeseluruhan untuk meningkatkan ke-efektifan solusi.

PEMBAHASANKebakaran hutan dan lahan gambut

di Indonesia kini menjadi peristiwatahunan, yang diperburuk oleh anomaliiklim namun tidak terbatas pada tahun-tahun terjadinya El Niño. Api dan kabutasap yang ditimbulkan oleh kebakaranlahan gambut memicu berbagai dampakkesehatan, sosiopolitik, ekonomi sertalingkungan, dan diperlukan penilaianefektif atas dampak-dampak tersebut.Kebakaran lahan gambut ini memilikikarakteristik masalah lingkungan yangamat pelik, yaitu melibatkan berbagaiskala dan beragam pelaku serta meru-pakan hasil dari gabungan beberapafaktor pendorong. Masalah tata kelolayang pelik semacam ini merupakan salahsatu tantangan utama keberlanjutanlingkungan dan menuntut model tatakelola yang tidak sederhana dan jugabukan satu solusi mujarab. Solusi untukmasalah ini kemungkinan berupapendekatan lanskap yang kompleks danditargetkan serta membutuhkankesepakatan sejumlah pelaku yangmemiliki beragam kepentingan danketidaksetaraan kekuasaan [34]. Dalampendekatan semacam ini, persepsi parapemangku kepentingan pertama-tamaharus diterangkan dan dipahami secarajelas supaya koalisi dapat dilihat, areakonsensus ditentukan, isu perselisihanditangani dan dialog untuk mencapaikesepakatan dipandu dengan informasiyang cukup [35, 36].

Keragaman perspektif, pemangkukepentingan dan motivasi

Meskipun kebakaran lahan gambutsering digambarkan sebagai bencanayang sepenuhnya negatif, berbagaiperkembangan menunjukkan bahwaserangkaian dampak positif sekaligusnegatif dapat dikaitkan dengankebakaran. Bencana tersebut dapatdisebabkan oleh salah satu dari berbagaialasan orang melakukan pembakaran,mulai dari membakar lahan untukbertani, untuk mengklaim hak atas tanah,atau untuk membalas dendam masa lalu.Hasil penelitian kami juga menyanggahpendapat umum bahwa kebakaran lahangambut dapat dihubungkan dengan salahsatu dari dua kelompok tertentu, yaitupemilik tanah skala kecil atau agrobisnis.Sebaliknya, penelitian kami mendukungstudi-studi lain [37-39] yang menun-jukkan bahwa timbulnya kebakaranlahan gambut terkait dengan kegiatanberagam kelompok pemangku kepen-tingan, termasuk misalnya investor yangtidak menempati tanah dan elit daerah.

Keuntungan dan kerugian akibatkebakaran lahan gambut muncul sebagai4 perspektif berbeda dan berorientasipreferensi pada jenis pelaku dan skala.Misalnya saja, kekhawatiran tentangkerugian petani skala kecil, atau keru-gian agrobisnis, atau dampak negatif diluar negeri. Hanya satu faktor yangmengakui manfaat pembakaran dalampertanian skala kecil. Keuntungan dankerugian yang skalanya bervariasi, yangdisebabkan oleh sifat asap akibat keba-karan lahan gambut yang dapat menye-bar lintas negara, menyuguhkan tan-tangan tersendiri bagi pihak pengelola.

Page 87: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

86 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Menemukan cara untuk majubersama

Kami menemukan beberapa carapandang berbeda dari para pemangkukepentingan tentang kebakaran lahangambut serta menyoroti pula poin-poinkesepakatan dan pertentangan yangtampak antarperspektif. Perbedaan inipenting untuk ditangani dan dikeloladengan tepat dalam langkah ke depannyauntuk meningkatkan kinerja IPK. Pen-tingnya negosiasi dan dialog antara parapemangku kepentingan untuk menentu-kan kompromi yang cocok dan dapatditerima telah diakui oleh komunitaspraktisi dan akademik [36, 40, 41].Konsensus dapat menunjukkan titik awalyang produktif untuk dialog, dapatmenghasilkan kesepakatan tentangperlunya tindakan dan perubahan, sertadapat memengaruhi komunikasi gunamendorong perubahan perilaku.

Hasil penelitian kami menunjukkanbahwa konsensus lintas faktor tentangkeuntungan/kerugian akibat kebakaranberpusat pada tiga dampak negatifutama: kerusakan lingkungan (keaneka-ragaman hayati, emisi gas rumah kaca),kerugian pada perekonomian daerahRiau, dan –yang paling utama –kesehatanmasyarakat lokal. Ini menandakan bahwaketiga poin ini dapat memberi pengaruhpaling efektif pada kampanye komunikasiyang berfokus pada perubahan perilaku.Ketiga poin penting inilah yang sama-sama disetujui para pemangku kepen-tingan, yang barangkali nyaris tidakmemiliki kesamaan dalam hal lainnya. Inidapat memfasilitasi momentum untukperubahan dan memberi legitimasi padastrategi yang mengusulkan untuk mengu-

rangi kerugian tersebut, termasuk diantara para pelaku yang memiliki sedikitsekali kepentingan bersama selain ketigapoin di atas.

Ada pula opsi-opsi IPK yang lebihmemungkinkan pencapaian konsensusantara pemangku kepentingan yangberbeda. Data menunjukkan bahwaterdapat konsensus pada 3 intervensiutama, dua di antaranya menargetkanpetani skala kecil melalui pemberiandukungan (misalnya pendidikan danmesin pertanian) untuk bertani tanpamembakar, khususnya dari pemerintah.Di tengah pertentangan yang luasmengenai keefektifan pendekatanberbasis penegakan hukum untukmenanggulangi kebakaran, tindakantegas umumnya lebih disukai saatditujukan pada pemilik tanah skala besar.Tindakan semacam ini, yang sebagiansudah dilakukan berbagai kelompokpemangku kepentingan, kemungkinandapat menjadi titik awal gunamendapatkan dukungan kebijakankarena keefektifannya diakui semuapihak.

Di antara perspektif IPK yang adaditemukan sejumlah perbedaan funda-mental, contohnya dalam preferensipada:• Pemadaman titik api vs.IPK yang

berusaha mencegah kebakarandengan berbagai cara;

• Transformasi besar-besaran di sektorpertanian vs.IPK yang mengatasirisiko kebakaran namun tetapmeneruskan praktik pertanianseperti adanya sekarang ini

• Tindakan “keras”, terutamapenegakan hukum atas pembakaran

Page 88: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

87Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut

ilegal dan pembatasan pada sektorpertanian vs.cara “halus” sepertipeningkatan kesadaran, sertapenggunaan insentif dan/atau layananpendidikan untuk menggalakkanpraktik pertanian tanpa membakar.

• Menargetkan perubahan perilaku diantara pelaku berskala besar/industrivs.IPK yang menargetkan petani skalakecil.

IMPLIKASI TERHADAPKEBIJAKAN SAAT INI

Inisiatif penanggulangan kebakaranyang paling diperdebatkan, yakni men-cabut izin perusahaan yang melakukanpembakaran, meningkatkan penggunaankanal dangkal, mengairi kembali lahangambut, dan melarang perluasan ka-wasan pertanian pada lahan gambut,adalah solusi yang digunakan saat ini.Strategi-strategi tersebut tengah diguna-kan secara aktif untuk menanggapikebakaran hutan dan lahan gambutbesar-besaran yang terjadi di Indonesiapada tahun 2015. Hasil penelitian kamimengantisipasi tantangan besar pada IPKutama ini, yang termasuk KeputusanPresiden untuk mengairi kembali lahangambut yang kering/terdegradasi, mora-torium lebih ketat yang membatasikonsesi pertanian dan kehutanan barupada lahan gambut, dan melarang per-luasan perkebunan kelapa sawit sertamencabut izin perusahaan nakal yangdidapati melakukan pembakaran.Penelitian kami menunjukkan bahwadibutuhkan rencana implementasi,kampanye komunikasi, serta strategiyang tepat untuk meningkatkan

perubahan perilaku, legitimasi, danpersetujuan agar tindakan-tindakan diatas dapat dilakukan pada skala yangdiperlukan guna mencegah bencanakebakaran hebat serupa di masa depan.

REFERENSI1. Gaveau, D., et al., Major atmospheric

emissions from peat fires in SoutheastAsia during non-drought years: evidencefrom the 2013 Sumatran fires. ScientificReports, 2014. 4.

2. Meijaard, E., Indonesia’s Fire Crisis —The Biggest Environmental Crime of the21st Century, in Jakarta Globe. 2015,Jakarta Globe: Jakarta.

3. Page, S.E., et al., The amount of carbonreleased from peat and forest fires inIndonesia during 1997. Nature, 2002.420(6911): p. 61-65.

4. Van Der Werf, G. Indonesian fire seasonprogression. Global Fire Data updates2015 October 25 2015 [cited 2015October 25 2015]; Available from:http://www.globalfiredata.org/updates.html.

5. Tacconi, L., Fires in Indonesia: causes,costs and policy implications. 2003,CIFOR: Bogor, Indonesia. p. vi, 24p.

6. Barlow, J., et al., The critical importanceof considering fire in REDD+ programs.Biological Conservation, 2012. 03(34).

7. Dennis, R.A., et al., Fire, people andpixels: Linking social science and remotesensing to understand underlying causesand impacts of fires in Indonesia. HumanEcology, 2005. 33(4): p. 465-504.

8. Friess, D.A., et al., Payments for Ecosys-tem Services (PES) in the face of externalbiophysical stressors. Global Environ-mental Change, 2015. 30: p. 31-42.

9. Gaveau, D., New maps reveal morecomplex picture of Sumatran fires, in blog.cifor. org. 2014.

Page 89: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

88 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

10. Gaveau, D., et al., Satellites can mislead:Who is responsible for Indonesia’speatland fires? . [forthcoming].

11. Kull, C.A., Isle of fire: the politicalecology of landscape burning inMadagascar. 2004, Chicago, USA:University of Chicago Press.

12. Dilworth, A., Indonesia on fire: worstenvironmental disaster this century?, F.o.t.Earth, Editor. 2015, Friends of theEarth: Indonesia.

13. Gaveau, D.L.A., et al., Overlapping landclaims limit the use of satellites to monitorNo-Deforestation commitments and No-Burning compliance. ConservationLetters, 2016: p. n/a-n/a.

14. Carmenta, R., et al., Shifting cultivationand fire policy: insights from the BrazilianAmazon. . Human Ecology, 2013. 41(4):p. 603-614.

15. Galudra, G., et al., Hot spots of confusion:contested policies and competing carbonclaims in the peatlands of CentralKalimantan, Indonesia. InternationalForestry Review, 2011. 13(4): p. 431-441.

16. Jewitt, S.L., et al., Indonesia’s contesteddomains. Deforestation, rehabilitation andconservation-with-development in CentralKalimantan’s tropical peatlands.International Forestry Review, 2014.16(4): p. 405-420.

17. Pascual, U., et al., Social Equity Mattersin Payments for Ecosystem Services.BioScience, 2014.

18. Vasan, S., Ethnography of the forestguard: Contrasting discourses, conflictingroles and policy implementation. .Economic and Political Weekly, 2002:p. 4125-4133.

19. Chokkalingam, U., I. Kurniawan, and Y.Ruchiat, Fire, livelihoods, andenvironmental change in the MiddleMahakam peatlands, East Kalimantan.Ecology and Society, 2005. 10(1).

20. Harwell, E., Remote sensibilities:discourses of technology and the makingof Indonesia’s natural disaster.Development and Change, 2000.31(1): p. 307-340.

21. Carmenta, R., et al., Benefits, burdensand solutions of the Sumatran peatlandfires: A Q method enquiry intostakeholder subjectivity. in preparation.

22. Miettinen, J., C. Shi, and S.C. Liew, Twodecades of destruction in Southeast Asia’speat swamp forests. Frontiers in Ecologyand the Environmen, 2011. 10(3): p.124-128.

23. Susanti, A. and P. Burgers, Oil palmexpansion in Riau province, Indonesia:Serving people, planet, profit? 2011.

24. Miettinen, J., C. Shi, and S.C. Liew, Landcover distribution in the peatlands ofPeninsular Malaysia, Sumatra and Borneoin 2015 with changes since 1990. GlobalEcology and Conservation, 2016. 6: p.67-78.

25. McCarthy, J.F., Processes of inclusion andadverse incorporation: oil palm andagrarian change in Sumatra, Indonesia.The Journal of Peasant Studies, 2010.37(4): p. 821-850.

26. Berkes, F., Evolution of co-management:Role of knowledge generation, bridgingorganizations and social learning. Journalof Environmental Management, 2009.90: p. 1692-1702.

27. Bott, S., J.G. Cantrill, and O.E. Myers,Place and the promise of conservationpsychology. Research in Human Ecology,2003. 10(2): p. 100-112.

28. Cheng, A.A., L.E. Kruger, and D.S. E,“Place” as an integrating concept innatural resource politics: Propositions fora social science research agenda. Societyand Natural Resources, 2003. 16: p.87-104.

29. Clement, J.M. and A.S. Cheng, Usinganalysis of public value orientations,

Page 90: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

89Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut

attitudes and preferences to informnational forest planning in Colorado andWyoming. Applied Geography, 2010.31: p. 393-400.

30. Smith, J.W., et al., The effects of placemeanings and social capital on desiredforest management outcomes: A statedpreference experiment. Landscape andUrban Planning, 2012. 106(2): p. 207-218.

31. Carmenta, R., et al., Understandinghuman-fire interactions in tropical forestregions: a case for interdisciplinaryresearch across the natural and socialsciences. . Ecology and Society, 2011.16(1).

32. Rajão, R., Representations and discourses:the role of local accounts and remotesensing in the formulation of Amazonia’senvironmental policy. EnvironmentalScience & Policy, 2013. 30: p. 60-71.

33. Carmenta, R., et al., Thinking aboutenvironmental challenges from acrossscales: Perspectives on the benefits,burdens and solutions to Indonesianpeatland fires. in preparation.

34. Game, E.T., et al., Conservation in aWicked Complex World; Challenges andSolutions. Conservation Letters, 2014.7(3): p. 271-277.

35. Bennett, N.J., Using perceptions asevidence to improve conservation andenvironmental management.

Conservation Biology, 2016: p. n/a-n/a.36. Biggs, D., et al., The implementation crisis

in conservation planning: could “mentalmodels” help? Conservation Letters,2011. 4(3): p. 169-183.

37. McCarthy, J.F., J. A.C. Vel, and S. Afiff,Trajectories of land acquisition andenclosure: development schemes, virtualland grabs, and green acquisitions inIndonesia’s Outer Islands. The Journal ofPeasant Studies, 2012. 39(2): p. 521-549.

38. Varkkey, H., Patronage politics as adriver of economic regionalisation: TheIndonesian oil palm sector andtransboundary haze. Asia PacificViewpoint, 2012. 53(3): p. 314-329.

39. Purnomo, H., The Political Economy ofFire and Haze, in Asia Pacific ForestryWeek. 2016: Clark, Philipines.

40. Reed, J., Van Vianen, J., Deakin, E. L.,Barlow, J., Sunderland, T, Integratedlandscape approaches to managing socialand environmental issues in the tropics:learning from the past to guide the future.Glob Change Biol, 2016. 22: p. 2540–2554.

41. Sayer, J., et al., Ten principles for alandscape approach to reconcilingagriculture, conservation, and othercompeting land uses. Proceedings of theNational Academy of Sciences, 2013.110(21): p. 8349-8356.

Page 91: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

90 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

MANUSIA DANKEBAKARAN HUTAN

Oleh Agung Wahyu Nugroho

Pendahuluan

K ebakaran lahan dan hutanmerupakan permasalahan yangrutin terjadi di Indonesia setiap

musim kemarau. Sebagian besar (70%)kebakaran lahan terjadi di luar kawasanhutan dan hanya 30% yang terjadi didalam kawasan hutan. Kebakaran hutandan lahan sebagian besar disebabkankarena ulah manusia yang bersumberdari kelalaian, kecelakaan, dan keja-hatan. Ketika jumlah penduduk dankemampuan teknologi meningkat,

pemanfaatan hutan mulai melebihikemampuan hutan untuk meremajakandiri dan kerusakan pun tidak dapatdihindarkan. Praktek-praktek kegiatanseperti perladangan berpindah, pem-bukaan hutan oleh HTI/HPH, danpenyebab struktural (kemiskinan, kebi-jakan) merupakan awal dari terjadinyakebakaran hutan dan lahan. Dampaknegatif yang ditimbulkan kebakaranhutan cukup besar, mencakup kerusakanekologis, menurunnya keanekaragamanhayati, merosotnya nilai ekonomi hutandan produktivitas tanah, perubahan iklim

Kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah tahunan yang terjadi di Indonesia.Penyebab utamanya adalah faktor manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkanoleh kejadian alam. Kebakaran hutan akibat intervensi manusia (pembakaran hutan)muncul karena adanya penyebab tindakan ilegal situasional yang meliputi: cara-cara,dorongan/motivasi, dan peluang. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangidampak kebakaran diantaranya adalah: penerapan sistem pembakaran terencana(prescribed burning), mengurangi intensitas pembakaran yang terlalu sering, mengadakansistem peringatan dini (early warning system), pembukaan lahan dengan teknik tanpabakar (slash and mulch), perubahan pola pandang tentang api. Manajemen yang adaptifberlandaskan ekologi dan diarahkan untuk menekan potensi penyebab-penyebabkebakaran diperlukan untuk menjamin keberhasilan di dalam perencanaan pengelolaanhutan.

Kata kunci: pembakaran, manusia, strategi pencegahan

D E N G A R P E N D A P A T

Page 92: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

91Agung W Nugroho, Manusia dan Kebakaran Hutan

mikro maupun global, dan asapnyamengganggu kesehatan masyakarakatserta mengganggu transportasi baikdarat, sungai, laut dan udara.

Berbagai upaya pencegahan danperlindungan kebakaran hutan telahdilakukan pemerintah, namun belummemberikan hasil yang diharapkan.Upaya tersebut diantaranya: pemben-tukan Brigade Pengendalian KebakaranLahan dan Hutan (Brigdalkar) di provinsirawan kebakaran hutan sebanyak 1.560personil, 150 di antaranya adalah SatuanManggala Agni Reaksi Cepat (SMART);pembentukan Masyarakat Peduli Api(MPA) yang telah melatih 4.500 orang di150 desa rawan kebakaran lahan danhutan; pembuatan percontohanPenyiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB).Di samping itu melakukan kerjasamadengan JICA (Japan International Coope-ration Agency) dalam pengembangandeteksi dini (early warning system)dengan Uni Eropa dalam pengembanganMPA, dan dengan Jerman dalam pemba-ngunan pusat pengendalian kebakaran diKalimantan Timur.

Api Sebagai Bagian Dari‘Rezim Gangguan’

Kebakaran terjadi bila ada interaksiantara 3 komponen yaitu bahan bakar,oksigen, dan panas yang tinggi. Apiterjadi ketika bahan yang mudahterbakar dengan suatu persediaanoksigen dan panas yang cukup kemudianbisa menopang suatu reaksi berantai(Gambar 1).

Manusia telah memodifikasi rezimapi secara signifikan baik melalui per-

luasan kebakaran di suatu tempat atau-pun memperkecil peluang terjadinyakebakaran di tempat yang lain. Dalambanyak kasus; pertanian sistem tebas danbakar (skala kecil dan besar), logging,dan proyek pembangunan berskala besar(misalnya: proyek transmigrasi danproyek pembukaan lahan sejuta hektar);saling berhubungan satu dengan lainnyadalam menciptakan peluang terjadinyakebakaran. Lebih jauh lagi kegiatan-kegiatan itu menciptakan situasi pendu-kung bagi peningkatan kejadian dankerawanan kebakaran, sebagai yangmenciptakan siklus umpan balik positifdimana hutan yang pernah terbakarmenjadi lebih rawan terhadap kebakaranhutan berulang (Goldammer, 2006;Tacconi et al., 2006 dalam Darmawan,2008).

Penyalaan api (ignition) yang umum-nya berasal dari api larian akibat pemba-karan tidak terkendali untuk pertanian,

Gambar 1. Kompenen kebakaran

Sumber: www.wikipedia.com)

Page 93: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

92 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

dalam lingkungan yang mendukung, akanmenjalar ke arah bahan bakar yang lebihbesar, dalam hal ini hutan. Hutan hujantropis dalam keadaan tidak tergangguadalah mendekati kondisi ‘tahan keba-karan’. Multistrata dalam lapisan vegetasihutan menjaga kelembaban lingkungan didalamnya dan mengeluarkan udara panasdari dalam. Dalam lingkungan ini, kon-disi yang mendukung untuk terjadinyakebakaran tidak terjadi. Akan tetapi,ketika tajuk hutan terbuka, misalnyakarena kegiatan logging atau pembuatanjalan, sinar matahari dan udara panasakan memasuki hutan, kelembabanmenurun, dan biomassa hutan akanmengering. Dalam keadaan yang sama,hutan tidak hanya kehilangan ketahananalaminya terhadap kebakaran, akantetapi residu kayu dari logging ataupembukaan hutan akan tertinggalsehingga menjadi bahan bakar potensialuntuk kebakaran mendatang. Setelahhutan terbakar, cahaya masuk dan ruanguntuk tumbuhnya semak atau alang-alangakan semakin banyak tersedia. Vegetasiini akan sangat cepat mengering danterbakar saat musim kemarau,menciptakan suatu siklus dimana hutanakan lebih mudah terbakar.

Walaupun peristiwa kebakaran lebihsering dilihat sebagai suatu masalah, apimerupakan alat paling efektif dalamteknik perladangan berpindah yangsudah dilakukan beratus-ratus tahunyang lalu oleh suku Dayak dan suku-sukulain di sekitar hutan. Api jelasmerupakan cara yang paling murah untukpembersihan dan penyiapan lahanperkebunan berskala besar. Sepanjangpenggunaan api dikendalikan secara

baik, api seharusnya diterima sebagaicara yang paling sederhana dan palingefektif serta efisien dalam prosesmanajemen sumberdaya lahan. Punselama kurun waktu berjalan api adalahbagian dari upaya perubahan penggunaanlahan daripada dianggap sebagai masalahyang harus dicegah, diberantas, ataupundiantisipasi.

Perladangan berpindah adalah salahsatu contoh dari bagaimana kegiatanpertanian dapat dilakukan secara ber-kesinambungan dan lestari di sekitarlingkungan hutan. Teknik ini didefinisi-kan sebagai teknik pembersihan danpenyiapan sepenggal lahan hutan dengancara penebangan dan pembakaran lahanyang kemudian menanami lahan inidengan tanaman pangan selama satu ataudua tahun sebelum meninggalkan(membera)-nya untuk mencari lahan lainyang sudah tersuksesi sekunder. Setelahpanen, setiap lahan akan kembali menja-di hutan sekunder dalam beberapa puluhtahun, sebelum kemudian dibersihkandan dipersiapkan lagi untuk bercocoktanam di rotasi selanjutnya. Dalamteknik ini hanya tenaga manusia yangdigunakan untuk memproduksi pangantanpa adanya pupuk tambahan untuktanah.

Pada kasus lain, pembakaran lahan(land-clearing) untuk pembukaan perke-bunan atau daerah transmigrasi seharus-nya bukan menjadi suatu masalah kecualijika aktifitas ini menghasilkan asap yangmengganggu dan api larian yang bisamenjadi sumber kebakaran hutan,semisal land-clearing di lahan gambut.Pembakaran untuk keperluan perke-bunan merupakan contoh yang paling

Page 94: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

93Agung W Nugroho, Manusia dan Kebakaran Hutan

nyata dari perlunya mempertimbangkanisu api dalam konteks proses penggu-naan lahan. Api digunakan untuk mem-bersihkan lahan yang teralokasikansebagai kawasan hutan konversi, dimanasecara hukum hutan dapat dikonversiuntuk peruntukan lain. Dalam kasus ini,api bukanlah merupakan penyebab darideforestasi melainkan sebagai bagianyang terintegrasi dari manajemensumberdaya lahan.

Seperti halnya kebakaranmembutuhkan 3 komponen (bahanbakar, udara, panas tinggi), lingkungankebakaran juga mempunyai 3 bagianyang menentukan bagaimana perilakukebakaran (bagaimana terbakar, sebera-pa cepat penyebarannya, dan intensitas-nya). Ketiga bagian itu ialah (1) bahanbakar, (2) cuaca dan (3) kelerenganlahan, membentuk segitiga perilakukebakaran (Gambar 2).

Bahan bakar (fuel)Bahan bakar adalah semua

komponen yang terbakar dalam

kebakaran hutan. Bahan bakar yangpaling penting ialah yang berada di atasdan di dekat tanah, tetapi perdu danbahkan tajuk pohon-pohon dapat men-dukung bahan bakar untuk menjadikebakaran hutan berintensitas tinggi.Karakteristik bahan bakar penting yangmenentukan perilaku kebakaran adalahkehalusan ukuran bahan bakar, strukturtumpukan bahan bakar (misalnya tinggi,kepadatan, dan kontinuitas sebarannya),jumlah yang siap terbakar (fuel load) dankadar kelembaban bahan bakar.

Jumlah bahan bakar dan ketebalannyamempengaruhi intensitas kebakaran dantinggi nyala api. Semakin sedikit bahanbakar tertumpuk, semakin kecil peluangterjadinya kebakaran dan semakin kecilintensitas kabakaran. Semakin tipisketebalan bahan bakar, semakin rendahjuga nyala api yang terjadi.

Kelembaban bahan bakar meliputikelembaban, baik bagian tumbuhan yangmati dalam seresah (dead fuel moisture)dan di dalam daun-daun dan batang-batang kecil tumbuhan yang hidup (livefuel moisture). Kelembaban bahan bakarmati menentukan bagaimana mudah/tidaknya penyalaan terjadi danbagaimana kebakaran berakhir.Kelembaban bahan bakar mati berubah-ubah dalam satu hari tergantung dariperubahan suhu dan kelembaban udara.Kelembaban bahan bakar hidup tinggi(biasanya lebih besar 100%) dan harusmenjadi kering terlebih dulu oleh nyalaapi sebelum terbakar.

CuacaChandler et al. (1983) dalam Thoha

(2001) menyatakan bahwa cuaca dan

Gambar 2. Lingkungan kebakaran

Page 95: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

94 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

iklim mempengaruhi kebakaran hutandengan berbagai cara yang salingberhubungan yaitu:1. Iklim menentukan jumlah total bahan

bakar yang tersedia.2. Iklim menentukan jangka waktu dan

kekerasan musim kebakaran.3. Cuaca mengatur kadar air dan kemu-

dahan bahan bakar hutan untukterbakar.

4. Cuaca mempengaruhi proses penya-laan dan penjalaran kebakaran hutan.

Variabel-variabel cuaca yang mem-pengaruhi sifat (watak) kebakaran hutanadalah radiasi matahari, suhu udara,kelembaban udara, presipitasi dan angin.

Kelerengan lahan (terrain)Posisi dan kemiringan lahan menentu-

kan banyaknya radiasi sinar mataharimencapai bahan bakar, yang selanjutnyamenentukan kecepatan bahan bakarmengering pada waktu yang berbedadalam satu tahun. Kemiringan dapatmempengaruhi baik kecepatan dan arahangin. Derajad kemiringan akan mempe-ngaruhi laju kecepatan kebakaran hutandan intensitasnya dengan jalan memperke-cil sudut antara nyala api dan bahan bakar.

Menurut Walhi (2003), kebakaranhutan akan memberikan akibat yang luarbiasa bagi manusia sendiri maupunlingkungan, diantaranya: 1) dampakterhadap sosial, budaya, dan ekonomiseperti: hilangnya sejumlah mata penca-harian masyarakat di dan sekitar hutan,terganggunya aktivitas sehari-hari,peningkatan jumlah hama, terganggunyakesehatan, produktivitas menurun, 2)dampak terhadap ekologis dan

kerusakan lingkungan seperti: hilangnyasejumlah spesies, ancaman erosi,perubahan fungsi pemanfaatan danperuntukan lahan, penurunan kualitasair, terganggunya ekosistem terumbukarang, menurunnya devisa negara,sedimentasi di aliran sungai, 3) dampakterhadap hubungan antar negara, dan 4)dampak terhadap perhubungan danpariwisata.

Manusia Sebagai PenyebabKebakaran Hutan

Pada banyak ekosistem hutan,kerusakan hutan (kebakaran) diperlukankarena berperanan untukmempertahankan tingkat perkembangandan fungsi ekosistem atau biodiversitas.Kematian satu atau beberapa pohondalam hutan alam memberikan peluangpergantian pohon atau regenerasimelalui dinamika rumpang (Pickett danWhite, 1985 dalam Sumardi, 2006).Kebakaran pada hutan-hutan Eukaliptusdi daerah basah di Australia, walaupunterjadi dalam frekuensi yang jarang,dapat menjaga komposisi hutan danmencegah introduksi jenis tumbuhan lain(Gill, 1975 dalam Sumardi, 2006). Kon-disi ekosistem hutan yang didalamnyaterdapat tingkat kerusakan tertentuseperti itu disebut hutan yang sehat.Sebaliknya apabila frekuensi, tipe, dantingkat keparahan kerusakan(kebakaran) melampaui bataskemampuan ekosistem hutan untukmemulihkan diri, maka disebut hutanyang tidak sehat.

Kebakaran hutan di Indonesia terjadihampir setiap tahun dan selalu saja

Page 96: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

95Agung W Nugroho, Manusia dan Kebakaran Hutan

terulang setiap tahunnya. Diawali de-ngan musim kemarau pendek (Pebruari-Maret) dan terus bersambung padakemarau panjang (Juni-September).Intensitasnya juga semakin bertambah.Bila pada tahun 1992, ketika kebakaranpertama kali dapat terdeteksi, titik apiyang muncul masih dalam bilanganpuluhan, saat ini titik api serupa sudahmuncul di segala tempat yang masihmemiliki hutan asli. Jumlahnyapun sudahmencapai angka ratusan. Singapura danMalaysia pernah melayangkan suratprotes bernada keras agar Indonesiamengambil sikap yang tegas terhadappelaku pembakaran. Brunei Darussalamsepertinya hanya tinggal menungguwaktu untuk marah karena kebakaranhutan sudah muncul di Kalimantan.

Penyebab utama kebakaran hutanadalah faktor manusia dan hanya seba-gian kecil yang disebabkan oleh kejadianalam (Surjohadikusumo, 1997; Danny,2001). Proses kebakaran alami, bisaterjadi karena sambaran petir, benturanlongsoran batu, singkapan batu bara, dantumpukan seresah (Soeriaatmadja,1997). Namun menurut Saharjo danHusaeni (1998), kebakaran karenaproses alam tersebut sangat kecil danuntuk kasus Kalimatan kurang dari satupersen (1%).

Sekitar 90-99 % penyebab kebakaranhutan dan lahan di Sumatera dan Kali-mantan disebabkan oleh kelalaian ataukesengajaan yang dilakukan manusia,baik itu sengaja dibakar atau karena apilompat yang terjadi akibat kelalaian padasaat penyiapan lahan (Labay, 2002; Hadi,2002; Suharjo (1999) dalam WahanaBumi Hijau (2007)). Kebakaran hutan di

Sumatera dan Kalimantan menjadi seriusakibat kegiatan pembukaan lahan danpembalakan hutan dan bukannyafenomena El Nino, El Nino hanyamemicu dan memperburuk keadaankebakaran (Kusumaatmadja, 1997).

Kebakaran hutan akibat intervensimanusia (‘pembakaran hutan’) munculkarena adanya penyebab tindakan ilegalsituasional yang meliputi: cara-cara,dorongan/motivasi, dan peluang(Gambar 3).

Tindakan ilegal dimotivasi olehketamakan, kebutuhan, keberanian, dandilakukan menggunakan cara atau alatyang tersedia bagi pelaku untukmemanfaatkan peluang. Cara yangdigunakan untuk melakukan tindakanilegal sangat luas dan tidak hanyamenyangkut peralatan teknik tetapi jugameliputi kebijakan, jenis-jenis subsidi,dan lain-lain. Hal-hal yang berkaitandengan kebijakan seperti perlindunganpasar, subsidi industri, perbankan dapatberkontribusi sebagai instrumen

Gambar 3. Tiga elemen tindakan ilegal

Page 97: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

96 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

tindakan ilegal. Dorongan melakukantindakan ilegal terhadap aset sumberdaya hutan juga sangat bervariasi, danbahkan dapat timbul oleh pengaruhinsentif-insentif yang diberikan kepadapengelolaan hutan. Kebutuhan danketamakan merupakan dorongan eko-nomi dalam laku tindakan ilegal terhadapsumber daya hutan. Dalam kaitan dengandorongan tindakan ilegal perlu dibeda-kan antara yang didasarkan atas kondisikemiskinan dan yang dilakukan olehkelompok orang kaya dan berkuasa, ataugabungan antara keduanya (Sumardi,2008).

Penyebab kebakaran hutan karenaintervensi manusia dapat berawal darikegiatan sebagai berikut:1. Sistem perladangan tradisional dari

penduduk setempat yang berpindah-pindah. Perladangan berpindah(swidden cultivation/slash and burnagriculture/shifting cultivation) meru-pakan upaya pertanian tradisional dikawasan hutan dimana pembukaanlahannya selalu dilakukan dengancara pembakaran karena cepat,

murah, dan praktis. Setelah pemba-karan, lahan yang relatif bersihkemudian ditanami tanaman per-tanian selama kurang lebih tigatahun. Kemudian peladang mening-galkan lahan tersebut karena kesu-buran tanahnya yang sudah menurundan mencari lokasi baru yang masihsubur untuk berladang. Setelahsepuluh tahun, peladang akan kem-bali ke tempat semula yang sudahmengalami perbaikan kesuburantanah (Gambar 4).Pembukaan lahan untuk perladanganberpindah dengan cara membakartersebut umumnya relatif terbatasdan lebih terkendali, karena parapetani juga mengerti akan arti pen-ting hutan dan mereka telah mengi-kuti aturan pembakaran hutan secaraturun-temurun (Dove, 1988). Dahulusistem perladangan berpindah meru-pakan sistem budidaya lahan yangsesuai dengan asas-asas kelestariandengan jumlah cukup waktu bagilahan mengembalikan kondisinyasecara alami sebelum mendapat

Gambar 4. Sistem Perladangan Berpindah

Page 98: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

97Agung W Nugroho, Manusia dan Kebakaran Hutan

giliran lagi untuk diusahakan. Tetapidalam perkembangannya, ketikajumlah peladang bertambah danmelebihi daya dukung lahan, carabudidaya lahan ini menjadi bersifatdestruktif dan memberikan kontri-busi yang cukup signifikan terhadapkerusakan hutan. Aktifitas perla-dangan berpindah sering dijadikankedok para penebang liar yangmemanfaatkan hak pengusahaanhutan (HPH). Mereka bisa darikalangan pemegang HPH untukindustri kayu maupun perkebunankelapa sawit.

2. Pembukaan hutan oleh para peme-gang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)untuk industri kayu maupun perke-bunan kelapa sawit.Pembukaan hutan oleh pemegangHPH dan perusahaan perkebunanuntuk pengembangan tanamanindustri dan perkebunan umumnyamencakup areal yang cukup luas.Metoda pembukaan lahan dengancara tebang habis dan pembakaranmerupakan alternatif pembukaanlahan yang paling murah, mudah, dancepat. Selain itu, perkebunan besarmelakukan pembakaran lahan untukmenaikkan derajat keasaman (pH)tanah. Pembakaran dilakukan padamusim kemarau yang kering, sehing-ga kebakaran tidak hanya terbataspada areal yang disiapkan untukpengembangan tanaman industri atauperkebunan, tetapi meluas ke hutanlindung, hutan produksi, dan lahanlainnya. Pencegahan kebakaranmenggunakan ilaran api juga tidakbanyak dilakukan oleh sebagian

pengusaha hutan tanaman.3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi

antara kemiskinan, kebijakan pemba-ngunan, dan tata pemerintahan,sehingga menimbulkan konflik antarhukum adat dan hukum positifnegara.Penyebab struktural, umumnyaberawal dari suatu konflik antarapara pemilik modal industri perka-yuan maupun pertambangan, denganpenduduk asli yang merasa kepemi-likan tradisional (adat) mereka ataslahan, hutan, dan tanah dikuasai olehpara investor yang diberi pengesahanmelalui hukum positif negara.Akibatnya, kekesalan masyarakatdilampiaskan dengan melakukanpembakaran demi mempertahankanlahan yang telah mereka miliki secaraturun temurun. Disini kemiskinandan ketidakadilan menjadi pemicukebakaran hutan dan masyarakattidak akan mau berpartisipasi untukmemadamkannya.Selanjutnya, di sisi lain ditemukankebakaran hutan tidak terlepas darikebijakan pemerintah. Misalnyamemberikan izin atau bekerjasamadengan kontraktor untuk berbuatcurang dalam kegiatan reboisasi. Polayang dipakai yaitu pohon yang dita-nam dalam reboisasi usianya dipilihlebih muda dari yang disyaratkan,yang berarti harganya lebih murahserta jarak penanaman pohon jugarenggang. Kecurangan ini akan sulitterlacak jika areal tersebut telahterbakar. Tak jarang jika telah terjadikebakaran hutan ini, antara peme-rintah di daerah saling lempar tang-

Page 99: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

98 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

gung jawab. Pemerintah daerahmenyalahkan pembakar lahan,pembakar lahan menyalahkan penge-lola hutan, pengelola hutan menya-lahkan balik masyarakat atau instansitertentu, begitu seterusnya berputarsetiap tahun.

4. Kerusakan lingkungan hidup padaumumnya dan hutan khususnyadisebabkan Indonesia adalah tergo-long negara lunak (soft state). Artinyaposisi negara sangat lemah dalammenindak penyebab-penyebabkerusakan hutan. Menurut GunnarMyrdal (peraih nobel untuk ekonomitahun 1974), negara lunak adalahnegara yang pemerintahannya (baikpusat maupun daerah) seolah-olahsegan membebani rakyatnya dengankewajiban melalui peraturan(hukum) atau kebijakan (beleid)umum. Banyak hal dibiarkan begitusaja dan tidak diatur dengan pera-turan yang jelas. Kalaupun adaperaturan, pelaksanaannya tidakditegakkan. Di negara-negara lunaksangat rendah disiplin sosialnya.Artinya, masyarakat negara-negaratersebut kurang sadar untuk mema-tuhi peraturan dan menjalankankebijakan yang telah ditetapkan.Relevan dengan teori GunnarMyrdal, prakteknya di Indonesiaadalah lemahnya sanksi hukumterhadap pelaku atau perusaklingkungan hidup (illegal logging,pembakar hutan) yang tidak sajamerusak ekosistem hutan, tetapi juganegara mengalami kerugian materialyang bernilai triliunan rupiah. Yangmengecewakan adalah

ketidakseimbangan antara banyaknyapelaku pengrusakan yang ditangkapaparat penegak hukum dengankeberhasilan dalam menindaklanjutiproses hukum pelaku perusakanhutan. Umumnya, yang berhasilditangkap adalah pelaku-pelakulapangan dan jarang menangkappelaku utamanya (intellectual actor).Disamping faktor lemahnya lawenforcement, juga keterlibatan aparatpenegak hukum itu sendiri daninstansi terkait yang seharusnyabertanggung jawab terhadap keles-tarian hutan (Suhardin, 2008).

5. Kurangnya koordinasi antar instansi,jumlah personil, dan peralatan yangtersedia. Kebakaran akan semakinmeluas disebabkan tidak adanyakoordinasi antar instansi terkait(Dinas Kehutanan, Pemda, perusa-haan dan lain-lain) dan bahkan timbulsaling menyalahkan. Selain itu diper-parah dengan jumlah personil danperalatan pemadam kebakaran yangminim dan kurang terlatih. Jarak yangjauh dari pusat/markas ManggalaAgni ke tempat terjadinya kebakaranakan semakin menambah sulitnyatindakan pemadaman kebakaran.

6. Ketidakpekaan tatanan dan aturanpengelolaan hutan.Tatanan dan aturan pemanfaatanhutan yang dibuat pada bentuk-bentuk pengelolaan hutan sebe-narnya merupakan upaya untukmemperkecil peluang terjadinyakebakaran hutan. Ketidakpekaantatanan dan aturan pengelolaanterhadap ragam ekosistem yangdikelola merupakan penyebab

Page 100: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

99Agung W Nugroho, Manusia dan Kebakaran Hutan

kegagalan mencapai tujuan keles-tarian dan perlindungan hutan.Pengelolaan hutan yang diterapkantidak mendasarkan keberlanjutanproses-proses fungsional ekosistemdan kelestarian hasil, artinya penge-lolaan tidak diarahkan untuk mene-kan potensi penyebab-penyebabkebakaran hutan.

PenutupApi memiliki peran yang signifikan

dalam hubungannya dengan perubahanpenggunaan/penutupan lahan di kawasantropis yang terkait erat dengan isudeforestasi. Kebakaran kerap kali terjadisetiap tahun meskipun dana dan usahatelah terkuras cukup besar untukmengantisipasinya. Beberapa strategiyang dapat dilakukan untuk mengurangidampak kebakaran yang berlebihandiantaranya adalah: penerapan sistempembakaran terencana (prescribedburning) dimana pembakaran dilakukandengan mengontrol semua kemungkinanperilaku api yang berbahaya, mengurangiintensitas pembakaran yang terlalusering, mengadakan sistem peringatandini (early warning system) yang dapatmemberi petunjuk kapan pembakaranyang terjadi akan sangat berbahaya dankapan tidak, pembukaan lahan denganteknik tanpa bakar (slash and mulch).

Selain itu, melakukan perubahan polapandang tentang api. Selama ini, apidilihat sebagai komponen yang dianggapsebagai masalah yang harus dicegah,diberantas ataupun diantisipasi. Polapandang ini harus diubah dengan caramenjadikan api sebagai komponen dari

proses manajemen lahan dan seiringdengan perjalanan waktu sebagai bagiandari perubahan penggunaan/penutupanlahan. Oleh karenanya, konsepmanajemen api yang menyeimbangkanantara pencegahan, persiapan,pemadaman api, dan restorasi kerusakanakibat kebakaran termasuk di dalamnyaperanan personil pemadam kebakaran,pembangunan kapasitas yang berbasismasyarakat, penelitian yang mendukung,pengurangan asap dan kabut kebakaran,perbaikan praktek logging, danperbaikan fungsi kontrol pemerintahperlu satu persatu diimplementasikan.

Pengelolaan hutan yang berlandaskanekologi dan diarahkan untuk menekanpotensi penyebab-penyebab kebakaranharus diterapkan sejak awal. Untukmenjamin keberhasilan, manajemen yangadaptif (adaptive management) perludimasukkan dalam perencanaanpengelolaan hutan. Artinya, pengelolaanharus tanggap terhadap perubahanlingkungan operasional dengandidasarkan pada prinsip: memfasilitasi,memantau, menelaah dan merivisi.Perencanaan harus menyediakan suatukerangka dimana ancaman kebakarandapat diintegrasikan dan dikoordinasikanuntuk pemanfaatan pengelolaan hutandan menghasilkan keluaran yangdiinginkan.

Daftar PustakaDanny, W., 2001. Interaksi ekologi dan

social ekonomi dengan kebakaran dihutan Propinsi Kalimantan TimurIndonesia. Paper Presentasi padaPusdiklat Kehutanan. Bogor.

Page 101: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

D E N G A R P E N D A P A T

100 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Darmawan, A., 2008. Menelaah kebakaranhutan serta penggunaan/penutupanlahan: Sebuah kajian untuk Kutai BaratKalimantan Timur. www.beritaiptek.com. Diakses tanggal 16 Juni 2008.

Dove, M.R., 1988. Sistem perladangan diIndonesia. Suatu studi kasus dariKalimantan Barat. Gadjah Mada Univer-sity Press. Yogyakarta.

Hadi, T.S., 2007. 99 persen kebakaranhutan di Kaltim karena ulah manusia.www. antaranews.com. Diakses tanggal16 Juni 2008.

Kusumaatmadja, S., 1997. Kebakaran hutanangkara manusia. Berita Harian Online.

Labay, F., 2002. 90 persen kebakaranhutan di Riau disebabkan manusia.www.kompas.com. Diakses tanggal 16Juni 2008

Saharjo dan Husaeni, 1998. East Kali-mantan Burns. Wildfire 7(7):19-21.

Soeriaatmadja, R.E., 1997. Dampak keba-karan hutan serta daya tanggap penge-lolaan lingkungan hidup dan sumber-daya alam terhadapnya. ProsidingSimposium: Dampak kebakaran hutanterhadap sumberdaya alam dan ling-kungan. Yogyakarta, 16 Desember1997.

Suhardin, Y., 2008. Negara lunak dankerusakan hutan. Kedaulatan Rakyat.25 Juni 2008. Yogyakarta.

Sumardi, 2006. Perubahan orientasiperlindungan hutan dalam perkem-bangan pengelolaan hutan. Pidatopengukuhan jabatan guru besar padaFakultas Kehutanan UGM. Tanggal 12Juni 2006. Yogyakarta.

______, 2008. Kerusakan antropogenik.Bahan Kuliah. Sekolah pasca sarjanaprogram studi ilmu kehutanan. FakultasKehutanan UGM.

Surjohadikusumo, D., 1997. Manusiapenyebab kebakaran [email protected]. Diaksestanggal 16 Juni 2008.

Thoha, A.S., 2001. Cuaca kebakaran hutankaitannya dengan upaya pencegahankebakaran hutan di Indonesia.Universitas Sumatera Utara.

Wahana Bumi Hijau, 2007. Brigadekebakaran hutan desa (BKHD).

Walhi, 2003. Kebakaran hutan dan lahanRiau: Kebijakan dan dampaknya bagikehidupan manusia.

www.wikipedia.com. Fire. Diakses tanggal 6Juni 2008.

Page 102: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

101Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut

MANAJEMEN HIDROLOGIDI LAHAN GAMBUT*

Oleh Bejo Slamet

Pendahuluan

Indonesia memiliki kawasan gambutdan lahan basah air tawar yang sangatluas, yaitu sekitar 19 juta hektar atau

10 persen dari luas wilayah Negara.Delapan puluh sembilan persen dian-taranya berupa lahan gambut, yangsebagian besar terletak di Papua Barat,Sumatra dan Kalimantan. Lahan-lahanbasah tropis ini secara alami tertutuprapat oleh vegetasi hutan dan seringkalimemiliki jenis-jenis kayu bernilai tinggi.Hutan-hutan ini memainkan perananpenting sebagai tempat penyimpankarbon, konservasi keanekaragamanhayati, dan sebagai pengatur hidrologi.

Hutan-hutan ini juga berfungsi sebagaitempat pemuliaan untuk ikan-ikan yangdipasarkan di dalam negeri maupununtuk ekspor. Banyak orang yang ber-gantung kepada lahan-lahan basah iniuntuk mendukung kehidupannya, umum-nya dalam kegiatan perikanan, pem-balakan dan pertanian (Chokkalingamdan Suyanto, 2004)

Tanah gambut telah banyak mengala-mi perubahan dengan cara direklamasiuntuk dimanfaatkan sebagai lahan perke-bunan khususnya lahan-lahan gambutyang terdapat di Malaysia dan Indonesia.Seiring dengan semakin menurunnyalahan-lahan yang baik untuk kegiatanbudidaya pertanian, maka tekananterhadap lahan gambut menjadi tidakterelakkan lagi.

Lee (2004) mengemukakan bahwamasalah umum yang dihadapi dalam

Fenomena kebakaran dan pembakaran lahan gambut mempercepat rusaknya lingkunganyang unik dan jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya (misalnya pengaturan air danpencegahan banjir). Salah pengelolaan kawasan-kawasan rawa-gambut serta perencanaantata-guna lahan yang memungkinkan terjadinya pengkonversian kawasan-kawasantersebut adalah sumber masalahnya. Kebakaran mengikuti dan memperbesar dampak-dampak negatif dari drainase (pengeringan air) dan mempercepat degradasi kawasan-kawasan rawa-gambut. Karenanya diperlukan upaya untuk mengkonservasi mereka dalamkeadaan alaminya dan memberikan perhatian khusus terhadap aspek-aspek pengelolaanair yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari.

Kata kunci: Kebakaran, sistem drainase, manajemen air, konservasi gambut

* Dengan sejumlah perbaikan redaksional dandengan seijin penulis, tulisan ini adalah arsipkarya ilmiah Universitas Sumatera Utara(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/971/1/bejo%20slamet%20132259569.pdf)

Page 103: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

102 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

pengembangan perkebunan dan perta-nian lainnya di lahan gambut adalah:

a. Tahap Persiapan Lahan• Tidak punya aksesibilitas yang baik

untuk transportasi alat-alat berat• Batang-batang pohon menghalangi

penanaman secara mekanis• Membutuhkan Kapur yang banyak

(kondisi tanah sangat asam)• Membutuhkan input pemupukan

yang tinggi (kekurangan nutrisi)• Dasarnya adalah tanah sulfat yang

masam• Manajemen hidrologinya yang

komplek

b. Tahap Pembangunan Kebun Sawit• Mid-Crown Chlorosis (defisiensi

tembaga)• Gambut kuning/peat yellow

(kekurangan seng)• Pertumbuhan sawit yang lebih lambat

mencapai tua (mature) dibandingkandengan sawit yang ditanam di tanah-tanah mineral, selain itu produksinyajuga akan terus menerus mengalamipenurunan sampai pada tingkat yangtidak ekonomis

• Sawit juga akan condong (leaning).

c. Ancaman terhadap pengembangangambut

• Pengeringan adalah sesuatu yangtidak bisa dihindarkan untuk pena-naman sawit pada lahan gambut

• Akan mempengaruhi regim hidrologidari kubah gambut (peat dome) danekosistemnya

• Drainase akan menurunkan air tanah(water table), sehingga tanah

• gambut akan menjadi kering danakan mudah terbakar.

Hal yang sama juga dikemukakanoleh Jamaludin (2002) yang mengemu-kakan bahwa hambatan utama dalampengembangan gambut tropis seperti diSerawak Malaysia dapat disarikan seba-gai berikut:• Pemborosan sumberdaya alam

gambut sebagai akibat drainase.Dalam hal ini termasuk subsidenselama penyusutan, pemadatan,dekomposisi, leaching, pengeringanyang tak dapat balik/irreversible dryingserta kehilangan materi gambutselama proses reklamasi.

• Banjir dan bahaya air permukaanyang dangkal oleh karena elevasinyayang rendah, situasi topografi danhujan yang lebat.

• Kapasitas-bawa tanah (soil bearingcapacity) yang rendah (hanya 7,7 KN/m2 di permukaan) dan mempunyaitrafficability rendah oleh karenakeberadaan dari kayu-kayu yangtidak terdekomposisi atau terdekom-posisi sebagaian di dalam tanah,sehingga akan menghambat prosespertanian dengan cara mekanisasi.

• Mempunyai kesuburan yang rendah,kondisi kemasaman yang tinggi (pH-nya rendah) dan juga masalah sisa-sisa akar yang tertinggal dari tana-man-tanaman keras musiman.

Di Serawak, satu tubuh individugambut berkisar antara beberapa sampai100.000 hektar dan pada umumnyamempunyai permukaan yang berbentukkubah/gundukan (dome-shape). Gambut

Page 104: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

103Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut

pada umumnya diklasifikasikan sebagaigambut ombrogen atau gambut pene-rima hujan dimana gambut tipe ini akanmempunyai kandungan nutrisi yangrendah. Dikarenakan oleh geomorfologipesisir dan endapan alluvial sering kaligambut ini bentuknya akan memanjangdan irregular/tidak teratur daripada yangberbentuk membulat. Kedalaman gam-but akan lebih rendah di daerah dekatpantai/pesisir dan akan semakin mening-kat kearah dalam, dan pada lokasi-lokasitertentu dapat mencapai 20 meter. Airakan memegang peranan yang sangatpenting dalam pengembangan danpemeliharaan gambut tropis (Huat,2003).

Lebih lanjut (Huat, 2003) mengemu-kakan bahwa keseimbangan antara hujandan evapotranspirasi adalah hal yangkritis bagi kelestarian gambut. Hujan dantopografi permukaan akan mengaturkarakteristik dari keseluruhan hidrologidari lahan gambut/peat land. Lahangambut/peatland juga sering dikenaldengan istilah lahan basah/wetlanddikarenakan oleh kondisi air tanahnya(water table) yang mendekati atau beradadiatas dari permukaan gambut sepanjangtahun dan berfluktuasi seiring denganintensitas dan frekuensi curah hujan.Dari kacamata sifat-sifat fisikanya,gambut di wilayah tropis pada umumnyaadalah non homogen bila dibandingkandengan gambut dari wilayah temperate.Sifat-sifat fisikanya tergantung daribanyak faktor seperti kandungan kayu,derajat pembusukan/humification, bulkdensity, porositas, sifat menahan air/water holding properties, dan hidrologinya(Huat, 2003).

Jinu (2002) mengemukakan bahwapersoalan di tanah gambut yang rata-ratakedalaman 20 meter ke dalam bumisangat sulit ditumbuhi komoditas keras.Di samping sulit hidup karena kadartanah sangat asam, juga tanah lemah.Ditiup angin berkecepatan 15 km perjam saja, dipastikan banyak tumbang.Pengalaman pengusaha perkebunan yangberoperasi di Kotawaringin Barat danKotawaringin Timur, mereka mengeluh-kan areal tanah gambut. Sawitnya sulithidup dan sangat rawan tumbang. Bah-kan ada perusahaan perkebunan yangsampai tiga kali merehab kebunnyakarena tumbang.

Mengapa Lahan Gambutyang Biasanya Tahan-ApiBisa Terbakar?

Lahan-lahan gambut yang digenangiair tidak terbakar secara alami, kecualipada tahun-tahun yang luar biasa kering-nya. Hal ini ditunjukkan secara tragisselama terjadinya perang Vietnam,dimana hutan-hutan rawa gambut disem-prot oleh bahan-bahan kimia dan dibakaroleh bom napalm. Kebakaran-kebakaranyang terjadi kemudian di’tahan’ olehrawa-rawa gambut alami yang basah(Burning Issues, 2003).

Walaupun tanahnya miskin hara dansangat sulit digunakan untuk usahapertanian skala besar, namun semakinbanyak kawasan-kawasan gambut yangdibalak dan dikeringkan. Dalam melaku-kan kegiatan-kegiatan ini, di kawasan-kawasan tersebut digali kanal-kanaluntuk mengeringkannya, menyediakanakses untuk pembalakan, dan untuk

Page 105: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

104 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

meyiapkan lahan bagi usaha-usahapertanian. Langkah pertama ini bermasa-lah karena mengakibatkan turunnyapermukaan air tanah dan menghilangkanair di permukaan tanah. Irigasi/pengairandi lahan-lahan pertanian sekitarnya jugadapat menyebabkan turunnya permuka-an air tanah. Setelah kering, makagambut akan kehilangan sifat-sifatalaminya yang seperti spon dan dengandemikian juga kemampuannya untukmengatur keluar-masuknya air. Lahan-lahan gambut yang kering secara tidakalami sangat mudah menjadi kering.Kebakaran, baik yang disengaja maupuntidak, akan diikuti dengan kerusakan dankerugian yang proporsional terhadapkegiatan manusia dan tingkat gangguanyang terjadi (Burning Issues, 2003).

Saharjo (2003) mengemukakanbahwa karena gambut merupakan bahanbakar yang terdapat di bawah permuka-an, maka gambut juga merupakan salahsatu bahan bakar yang menyusun bahanbakar bawah. Bahan bakar bawah memi-liki kadar air yang tinggi daripada bahanbakar permukaan (serasah, ranting, log)dan bahan bakar tajuk (tajuk pohon,daun, lumut, dan efifit). Bila terjadikebakaran pada bahan bakar bawah ini,yang biasa dikenal dengan istilah keba-karan bawah (ground fire), maka kebaka-rannya akan terjadi perlahan-lahankarena tidak dipengaruhi angin (beradadi bawah permukaan) sehingga polapenyebarannya tidak menentu sertasukar pula untuk menentukan di manakebakaran itu sesungguhnya terjadikarena yang tampak adalah hanya asapberwarna putih yang terdapat di ataspermukaan. Pola pembakaran ini biasa

dikenal dengan istilah smoldering com-bustion, pembakaran yang tanpa dibantuoleh oksigen (angin).

Tentu saja kebakaran bawah ini tidakterjadi dengan sendirinya, tetapi berawaldari kebakaran yang biasanya terjadi dipermukaan. Penetrasi panas akibat darikebakaran yang terjadi di permukaanakan dialirkan ke bawah permukaanmelalui pori-pori gambut, log tertimbunyang terbakar, juga dapat melalui akarsemak belukar yang bagian atasnyaterbakar. Penetrasi panas bisa dialirkanke bawah permukaan bila kadar airgambut cukup rendah sehinggamemungkinkan combustion terjadi,namun bila kadar airnya tinggi makapenetrasi panas akan terhambat(Saharjo, 2003).

Kebakaran permukaan akan berubahmenjadi kebakaran bawah bila tingkatpermukaan air di bawah permukaansemakin turun akibat berkurangnyacadangan air yang terdapat di gambut.Sehingga bisa dimengerti pada beberapamasyarakat tradisional, mereka engganmembakar di lahan gambut ketika musimkemarau tiba sebab ketebalan gambutyang terbakar akan makin besar diban-dingkan dengan kalau mereka bakarpada saat masih turun hujan (namuntidak lebat). Adapun bagi perusahaanperkebunan (sawit) tinggi muka air dapatdiatur melalui kanal yang mereka buat(Saharjo, 2003).

Untuk memudahkan pemahamantentang bagaimana pengaruh pembuatankanal-kanal terhadap kebakaran dapatdilihat dalam beberapa gambar:

Gambar 1 menunjukkan bahwa padakondisi alamiah yang tidak terganggu,

Page 106: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

105Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut

Gambar 1. Struktur Hipothetis Dari Peat Dome

maka aliran air di Peat dome akan beradapada kondisi yang setimbang (Equilibrium).Kondisi ini memungkinkan sistemhidrologi lahan gambut untuk dapatmempertahankan kondisi kadar airnyapada tingkatan dimana api sulit untuk bisamembakarnya. Kadar air gambut padamusim kemarau yang cukup panjang punsebenarnya masih bisa dipertahankan,sebab kehilangan air karena evapotrans-pirasi dari lahan gambut tidak secepat lajukehilangan air akibat drainase. Olehkarenanya kebakaran yang ada sekaranglebih banyak diakibatkan oleh karenaperubahan struktur gambut dan tergang-gunya sistem hidrologi.

Adapun pengaruh dari pembuatandrainase dan penanaman kelapa sawitterhadap sistem hidrologi gambut dapatdilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 menunjukkan bahwaketika tejadi kanalisasi di bagian bawahkubah maka air akan tertarik keluar darisistem gambut, gambut akan mengalami

subsidence, selain itu juga akan tergang-gunya regim hidrologi. Sedangkan jikapembuatan kanal dilakukan di bagianlereng dome maka dampak negatifnyaakan lebih buruk yaitu air akan dengancepat keluar dari sistem gambut, domeakan mengalami keruntuhan/collapse,dan hilangnya fungsi gambut sebagaipengatur tata air. Oleh karena itu penge-ringan lahan gambut dengan pembuatankanal maupun pembuatan sekat bakardengan pembuatan parit-parit akanberisiko menimbulkan kebakaran hutanmanakala pengaturan airnya tidak dilaku-kan dengan baik. Pembuatan parit dankanal pada dasarnya merupakan manaje-men yang tepat agar lahan gambut bisadimanfaatkan untuk budidaya pertaniandan perkebunan.

Namun skala usaha yang bisa diusa-hakan seharusnya tidak boleh terlaluluas dan lahan gambutnya masih terpe-ngaruh oleh pasang surut air sungai,sehingga pada kondisi tertentu ketika air

Page 107: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

106 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

sungai pasang air bisa dibendung untukbisa dimanfaatkan pada saat musimkemarau, selain itu tingkat kesuburannyajuga relatif lebih baik dibandingkangambut di daerah pedalaman sebagaiakibat adanya suplai hara dari endapansungai. Oleh karena itu bisa dimengertikenapa pembuatan kanal-kanal di lahan

gambut Proyek Lahan Gambut (PLG)Sejuta hektar di Kalimantan Tengahmengalami kegagalan dan arealnya seringterjadi kebakaran dikarenakan manaje-men hidrologinya yang tidak tepat.

Sedangkan gambaran bagaimanadrainase yang tidak terkontrol menye-babkan terjadinya kebakaran hutan di

Gambar 2. Pengaruh Drainase Terhadap Lahan Gambut

• Air akan tertarik keluar dari sistemgambut

• Gambut akan mengalamaisubsidence

• Terganggunya regim hidrologi

• Air akan dengan cepat tertarikkeluar dari sistem gambut

• Peat dome akan runtuh (collapse)• Hilangnya fungsi alami dari lahan

gambut (sebagai pengatur tata air)

Page 108: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

107Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut

lahan gambut, dapat dilihat pada ilustrasiseperti pada Gambar 3.

Terlihat bahwa aspek utama yangmenyebabkan kebakaran hutan adalahkeluarnya air dari suatu sistem gambut,kemudian terjadi pengeringan dan penu-runan kadar air yang pada akhirnya akanmemudahkan gambut untuk terbakar.

Selain itu kanal-kanal yang digalimemberikan akses terhadap kawasan-kawasan gambut yang dulu tidak tersen-tuh. Meningkatnya akses manusia me-mungkinkan terjadinya kebakaran dankegiatan pembalakan, yang akan meng-ganggu keseimbangan alami dari ekosis-tem rawa gambut. Jinu (2002) mengemu-kakan contoh tentang pengaruh daripembukaan lahan gambut sejuta hektardan pembuatan kanal-kanal di lahantersebut, yaitu Sungai Barito (sepanjang900 km), Sungai Kapuas (600 km), danKahayan (600 km), mulai kehilangan

fungsi ekonomisnya. Masalahnya,permukaan air ketiga sungai tersebutberfluktuasi hanya dengan hitungan jamatau hari. Sungai Kahayan, misalnya,dalam kurun waktu 10 tahun terakhir,belum pernah terjadi air kering hanyadalam hitungan hari. Biasanya, kalauterjadi kekeringan ada proses dalambeberapa minggu, tetapi sekarang hanyadalam dua hari, air Sungai Kahayanseperti hilang tersedot. Sebaliknya, airSungai Kahayan bisa meluap dalamhitungan jam atau hari sehingga mem-buat porak-poranda warga yang bermu-kim di tepian sungai tersebut. Tidakramahnya Sungai Kahayan tersebutsangat boleh jadi akibat pembukaanlahan gambut sejuta hektar di sampingeksploitasi hutan secara besar-besaran dibagian hulu sungai. Perubahan itu dirasa-kan masyarakat setelah mega proyek itudibuka mulai tahun 1997. Persoalan yang

Gambar 3. Skenario yang umum terjadi dimana drainase yang tidak terkontrol akanmenyebabkan terjadinya kebakaran di lahan gambut (Lee, 2004).

Page 109: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

108 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

terjadi di Sungai Kahayan mewakilipersoalan yang terjadi di Sungai Baritodan Kapuas.

Dampak lingkungan lainnya, dikawasan PLG itu sendiri sering terjadibanjir besar. Sawah petani yang siappanen, mendadak berubah jadi danaukarena banjir. Biasanya, banjir datangsekali dalam setahun, terutama musimhujan. Sekarang kasus bencana banjirbisa terjadi sampai lima kali dalamsetahun, seperti yang dialami pada tahun2001 (Jinu, 2002).

Pemadaman Kebakaran diLahan Gambut

Pemadaman kebakaran di arealgambut sangat sulit, mahal dan dapatmenyebabkan kerusakan ekologi dalamjangka panjang. Gambut terbakar diatasdan dibawah permukaan, dan karena itusulit untuk dipadamkan. Metode-metodepemadaman kebakaran yang mungkinditerapkan juga mahal. Untuk mengen-dalikan kebakaran di lahan gambutsecara efektif, orang harus menggaligambut yang terbakar atau menggena-nginya dengan air. Akan tetapi, dalammusim-musim kering (yaitu ketikakebakaran terjadi), air jarang tersediadan karena itu menggenangi lahangambut bukanlah suatu opsi yang dapatdilakukan.

Untuk mengatasi kebakaran lahandan bencana asap tebal yang setiap tahunterjadi di Kalimantan Tengah, kanal-kanal pada Proyek Lahan Gambut (PLG)Sejuta Hektar di Kabupaten KualaKapuas dibendung. Pembukaan kanal-kanal pada masa Orde Baru yang lebar-

nya 10-30 meter dan panjangnya telahmencapai 4.500 kilometer tersebut,diyakini telah menyebabkan lahangambut terkelupas, cadangan air padalahan gambut terkuras dan akhirnyamenyebabkan kebakaran. Bendunganatau tabat dalam bahasa Dayak, dilaku-kan secara tradisional dengan menggu-nakan kayu dan ribuan karung tanah.Meski demikian, penabatan yang meli-batkan masyarakat lokal ini berjalanefektif karena bendungan atau tabatmampu menahan terkurasnya cadanganair pada lahan gambut agar tidak menga-lir ke Sungai Mentangai dan terus keSungai Kapuas. Berkat bendung tradi-sional ini, pada kanal-kanal terbentuksemacam kolam yang panjangnya bisamencapai enam kilometer dengankedalaman sekitar satu sampai empatmeter itu berfungsi sebagai sekat bakaragar api tidak menjalar dari satu areal keareal lain (Kompas-Online, 2004).

Beberapa teknik yang lain untukpemadaman kebakaran di kawasangambut memerlukan adanya penggaliankanal tambahan (sebagai akses ke lokasikebakaran). Kadang-kadang, air asin jugadipompa masuk untuk menggenangikawasan tersebut. Kedua teknik terse-but tampaknya menyebabkan degradasilebih lanjut dari kawasan gambut. Apa-bila api di lahan gambut tidak dapatdipadamkan, api tersebut dapat tetapmenyala dibawah permukaan dalamwaktu yang lama (bahkan tahunan) danmenyebabkan kebakaran baru apabilacuaca menjadi lebih kering lagi. Api yangmenyala dibawah permukaan merusaksistem perakaran pohon. Pohon-pohontersebut akan menjadi tidak stabil dan

Page 110: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

109Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut

kemudian tumbang atau mati. Hal iniakan menghasilkan sejumlah besarpohon mati atau sisa tanaman, yang akanmenjadi bahan bakar yang potensial bagikebakaran berikutnya.

Oleh karena itu, pengaturan air dilahan gambut harus bisa benar-benardilakukan dan dijaga keseimbangannya.Kelalaian dalam pengaturan kadar airakan dapat menimbulkan bencana yangsangat merugikan baik berupa kebakarangambut maupun banjir. Banjir bisa terjadisebagai akibat terbuka dan terbakarnyalahan gambut sehingga siklus hidrologi dilahan gambut menjadi terganggu dimanapada saat musim hujan air tidak bisadisimpan karena ketebalan gambut yangsemakin tipis maupun telah hilangsedangkan pada musim kemarau tidakbanyak cadangan air tanah yang bisadimanfaatkan untuk menjaga kondisigambut supaya tahan terhadapkebakaran.

Menjadikan lahan gambuttahan kebakaran

Secara ekologi, pembakaran rawa-gambut mempercepat rusaknyalingkungan yang unik dan jasa-jasaekologi yang dihasilkannya (misalnyapengaturan air dan pencegahan banjir).Dalam hal ini, pemilahan antara sebabdan akibat harus dilakukan secara hati-hati. Sebab-sebab dasar dari reduksikeanekaragaman jenis hayati adalahsalah pengelolaan dari kawasan-kawasanrawa-gambut serta perencanaan tata-guna lahan yang memungkinkanterjadinya pengkonversian kawasan-kawasan tersebut. Kebakaran mengikuti

dan memperbesar dampak-dampaknegatif dari drainase (pengeringan air)dan mempercepat degradasi kawasan-kawasan rawa-gambut.

Cara terbaik untuk mencegahkebakaran di lahan-lahan gambut adalahdengan cara mengkonservasi merekadalam keadaan alaminya danmemberikan perhatian khusus terhadapaspek-aspek pengelolaan air yang baik,pemanfaatan lahan yang sesuai, danpengelolaan hutan yang lestari. Artinya,drainase/pengeringan dan konversikawasan rawa-gambut harus dicegah.Apabila gambut menjadi kering secaraberlebihan, mereka akan kehilangansecara permanen sifat-sifat alaminya yangmenyerupai spon dan tidak dapatdirehabilitasi kembali. Lahan-lahangambut yang terdegradasi ini harusdikelola untuk mencegah merekamenjadi padang rumput atau semak-belukar yang mudah terbakar secarateratur dan karenanya menjadi sumberkebakaran untuk daerah-daerahsekitarnya. Penggunaan api di kawasangambut oleh masyarakat lokal hanyadapat dicegah apabila sumberpenghidupan alternatif dapat disediakan.Saat ini masih belum jelas apa bentuksumber penghidupan alternatif tersebut(Burning Issues, 2003).

Beberapa negara telah menyadaridan memperhatikan berbagai komplikasisehubungan dengan kebakaran di lahangambut. Mereka secara khusus telahmelarang segala macam bentukpenggunaan api di kawasan-kawasangambut, namun anehnya tetapmengijinkan pengkonversian danpegembangan kawasan-kawasan

Page 111: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

110 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

tersebut. Malaysia dan Indonesia adalahnegara-negara dimana hukum yangberlaku melarang sepenuhnyapenggunaan api di kawasan-kawasangambut, namun kegiatan-kegiatanpengeringan/drainasi dan pengembanganmasih diijinkan. Oleh karena adanyakontradiksi kepentingan tersebut jalanyang terbaik adalah dengan Win-WinSolution antara kepentingan ekonomidengan kepentingan lingkungan. Dariaspek hidrologi hal ini bisa dilakukandengan manajemen hidrologi yang baik.

Praktek-PraktekPengelolaan yang LestariMelalui ManajemenHidrologi

Ambak dan Melling (2000)mengemukakan bahwa sebenarnyaistilah pertanian yang lestari (sustainableagriculture) kemungkinan tidak akan bisaditerapkan untuk kegiatan pertanian dilahan gambut oleh karena lahan akanmenyusut dan mengalami subsiden padasaat kegiatan pertanian dikembangkan.Namun demikian, sebaiknya di bangunsuatu cara untuk memperpanjang umurpakai dari gambut dengan meminimalkanlaju subsiden yang dapat dilakukandengan mengadopsi strategi yang tepatmelalui manajemen air, tanah dantanaman.

Menjadi sesuatu yang sangat pentinguntuk mengetahui kondisi dari air tanah(groundwater) dan juga air permukaan,bentuk dan ksaran fluktuasinya,pengaruh dari saluran terhadap daerah disekitarnya di lahan gambut. Kondisihidrologi akan memainkan peranan

penting dalam pergerakan banyaksubstansi, kelestarian dari gambut itusendiri dan produktifitas pertanian(Inoue, 2000).

Berkaitan dengan manajemenhidrologi di kawasan gambut untukkegiatan pertanian, maka berikut adalahbeberapa strategi tentang manajemen airyang bisa dilakukan (Ambak and Melling,2000):

Manajemen AirManajemen air adalah faktor yang

paling penting dan kritis bagipertumbuhan dan produksi tanaman dilahan gambut. Hal ini tidak hanya sebataspada tinggi rendahnya permukaan airtanah namun juga mempunyai pengaruhyang nyata terhadap manajementanaman, subsiden gambut danirreversible drying dari gambut tersebut.Manajemen air yang tidak efisien padasaat ketersediaan air sangat terbatas ataupada saat air berlimpah adalah salah satudari faktor utama yang membatasi hasilpertanian. Oleh karena itu sistem mana-jemen air yang baik memerlukan sistemdrainase yang berfungsi dengan baik.

1. Drainase dan DrainabilityDrainase adalah merupakan

prasyarat untuk berbagai penggunaanbagi kegiatan pertanian di lahan gambut.Tanpa drainase yang mapan, makapenanaman dengan tanaman yang biasadi tanam di lahan kering akan sulitdilakukan, sebagaimana gambut yangterdapat di Malaysia yang terbentuk didaerah dataran rendah dengan kondisipermukaan air tanah normalnya lebihtinggi dari permukaan tanah serta

Page 112: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

111Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut

berfluktuasi tergantung pada hujan.Drainase merupakan aspek yang

penting dari manajemen air untukpengembangan kegiatan pertanian dilahan gambut. Jaringan drainase untukpertanian di lahan gambut harus bisalebih rendah dari muka air tanah yangjuga bisa dipergunakan untukmengalirkan air pada saat hujan lebatyang biasanya menimbulkan banjir/genangan. Hal ini penting untuk menjagaagar tanaman pertanian tidak rusak,karena sebagian besar dari tanaman-tanaman tersebut tidak bisa terlalu lamatergenang air. Jaringan drainase jugaharus bisa dipergunakan untukmengeringkan air-air genangan denganwaktu yang cepat, sebab keterlabatanpengeringan akan menyebabkanproduksi pertanian menurun atautanaman mengalami sekarat.

Sistem drainase terdiri dari jaringanyang menghubungkan antara berbagaipetak, saluran pengumpul dan saluranutama (main drains). Intensitasnyatergantung pada kondisi alamiah tanahdan hujan. Sistem drainase harusdidesain untuk mengatasi kondisi hujanlebat yang tidak umum yaitu hujan yangbisa mencapai 4000-5000 mm/tahununtuk meminimalisasi efek dari banjirsesaat. Hujan yang demikian tidaktersebar secara merata sepanjang tahun.Karena terdapat musim hujan dan musimkering/kemarau, oleh karena itu sistemdrainase juga harus didesain untuk bisamengatasi hal ini.

Sistem drainase juga harus terdiridari saluran-saluran yang dangkal danjuga dengan jarak yang lebih sempitdaripada saluran yang dalam dan

jaraknya lebar (Ritzema et al, 1988dalam Ambak dan Melling, 2000),sehingga akan lebih mudah untukmembangun bangunan pengatur tinggimuka air yang melintas saluran. Untukmengatur tinggi muka air dan menjagamasuknya air pasang dari sungai, yangdibeberapa tempat adalah berupa airpayau, maka pintu air juga harus dibuatdi ujung dari saluran utama menuju kesungai.

Penghilangan lumpur juga perludilakukan. Gulma juga merupakan pro-blem utama. Jika gulma-gulma tersebuttidak diperiksa, maka dapat menghambatsistem drainase, yang tentunya akanmempengaruhi kapasitas maupun lajualiran. Oleh karena itu pembabatanrumput diperlukan untuk menjaga salurantetap dalam kondisi baik.

Konsekuensi dari drainase adalahmengeluarkan air dari hutan rawagambut yang mana air ini merupakandasar dari keberadaannya. Drainaseakan memicu suatu proses yang tidakbisa dielakkan yaitu irreversiblesubsidence, yang mana hal ini akanbertentangan dan menjadi penghambatbagi kegiatan pengembangan danpenggunaan lahan gambut untukpertanian (Andriesse, 1988 dalamAmbak and Melling, 2000). Olehkarena itu menjadi sangat penting untukmenghindari kondisi gambut yangterlampau kering. Pengeringan yangberlebihan akan mengakibatkansubsiden dan banjir, menurunkan waterholding capacity, meningkatkankeberadaan tanah-tanah sulfat masam,kebakaran hutan, irreversible drying,serangan hama dan penyakit,

Page 113: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

112 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

ketidakseimbangan nutrisi danpenurunan hasil tanaman. Fenomena inimempunyai dampak terhadap peng-gunaan yang lestari dari tanah gambutuntuk pertanian dan secara nyata akanmemperpendek nilai ekononis darilahan.

Dalam perencanaan pembuatandrainase di lahan gambut, penting jugauntuk mempertimbangkan potensidrainability dari suatu areal tertentu yangdapat lestari. Dalam konteks ini,drainability yang lestari mengacu padadrainase gravitasi, yang mana hanya akanmungkin dan ekonomis jika lapisan tanahmineral subsoil-nya berada diatas rata-rata tinggi muka air dari badan airterdekat dimana air drainase dilewatkan(discharge). Hal ini disebakan olehkarena permukaan tanah masih akanberada diatas ketinggian tersebut meski-pun seluruh gambut hilang terdekompo-sisi. Oleh karena itu drainase dengangravitasi (gravity drainage) dapat lestarihampir untuk jangka waktu yang tidaktertentu. Namun demikian hal ini bisamenjadi sulit dan tidak ekonomis ataubahkan menjadi tidak mungkin untukdikembangkan jika gambutnya beradadibawah rata-rata tinggi muka air. Graviydrainage juga akan menjadi sulit mana-kala lokasinya jauh dari badan-badan airdikarenakan oleh adanya tambahanhydraulic head sekitar 20 cm per kilome-ter. Jika hal ini terjadi, maka arealtersebut akan tergenang dan pengem-bangan areal pertanian di tempat terse-but akan gagal kecuali pengukuran danperhitungan yang mahal terhadap ke-mungkinan bunding dan pemompaandilakukan.

2. Water-Table ControlJika drainase merupakan hal penting,

maka perawatan agar tinggi air tanahtetap konstan dengan kisaran yangoptimal untuk produksi tanaman jugapenting. Tinggi air tanah harus dijagasupaya setinggi mungkin dengan menggu-nakan struktur pengatur tinggi air yangmemadai. Sejumlah weirs dibuatmelintang saluran penampung (collectiondrain) di posisi-posisi yang strategisuntuk menjaga kebutuhan tinggi air danjuga dapat mengatur tinggi air lebihtinggi selama periode hujan yang rendahyaitu dalam rangka menjaga supaya tidakterjadi over drainage. Sebagai contoh darisistem manajemen air, didasarkan padaprinsip desain yang sama dapat ditemu-kan di United Plantation di Perak (Singhet al., 1986 dalam Ambak and Melling,2000). Di kebun kelapa sawit merekayang di tanam di lahan gambut, merekamembangun sejumlah bangunan disaluran penampung untuk mengontroltinggi air dalam blok seluas 50 Ha. Didalam blok, sistem drainase tersier yangintensif, dengan jarak 30 meter, dijagakedalaman air tanahnya pada 0,6 sampai0,9 dibawah permukaan tanah.

Kebutuhan akan tinggi muka airberbeda tergantung jenis tanaman yangdibudidayakan. Tinggi muka air yangoptimal bervariasi seiring dengan keda-laman dari zona perakaran tanaman.Selain itu juga mempunyai kebutuhanyang bervariasi secara temporal tergan-tung pada fase pertumbuhan tanamandan juga aktifitas pengolahan tanahseperti penugalan dan pemanenan.Idealnya, muka air sebaiknya didesainsupaya berada sekitar 20 cm dibawah

Page 114: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

113Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut

zona perakaran tanaman setelah mem-pertimbangkan laju dari capillary rise(perambatan air kapiler keatas) danCapillary fringe (perambatan air kapilerke samping/pinggir) di lahan gambuttersebut. Beberapa rata-rata muka airoptimum untuk keragaan terbaik daribeberapa tanaman pertanian dapatdilihat pada Tabel 1.

Jatuhnya muka air terlalu rendah dibawah zona perakaran karena subsidenjuga akan berdampak pada hasil perta-nian yang diusahakan, khususnya selamamusim kering. Rendahnya konduktansialiran air keatas dari gambut juga akanberdampak pada terhambatnyapengisian air di zona perakarantanaman melalui capillary rise, hal iniakan mengakibatkan tanaman menjadistress air. Muka air perlu dijaga padakondisi yang setinggi mungkin namunkonsisten dengan pertumbuhantanaman. Selama musim kering, muka

air sebaiknya lebih tinggi lagi untukmencegah terjadinya kebakarangambut.

Pemilihan jenis tanaman yang akandi kembangkan pada suatu lahan gambutyang khusus menjadi sangat penting.Pemilihan ini tentunya akanmenentukan kebutuhan dari kedalamandrainasenya. Menjadi sesuatu yang tidakbijaksana manakala mengembangkantanaman pada lokasi gambut yang samadengan kedalaman perakaran tanamanakan muka air sedalam 75 cm (misalnyauntuk kelapa sawit), jika di perkebunansekitarnya sedang dicoba untukmenjaga agar tinggi muka air padakedalaman 30 cm (misalnya untuk sagu).Hal ini tentunya akan menimbulkankonflik tentang kebutuhan air. Pemiihantanaman dalam hubungannya denganlokasi daerah tangkapan juga harusdipertimbangkan dengan baik supayatidak mempengaruhi fungsi dari rawa

Tabel 1. Kebutuhan Tinggi Muka Air Tanaman Yang ditanam di Lahan Gambut(Ambak and Melling, 2000)

Page 115: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

114 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

gambut sebagai sumber pasokan air.Hama seperti tikus (utamanya Rattustiomanicus) dan rayap (Coptotermescurvignatus) dapat dikurangi ataudicegah dengan muka air yang tinggiserta manajemen air yang baik.

Penjagaan muka air setinggi mungkinjuga dapat mendorong pertumbuhanNephrolepsis dengan cepat, yang akanmenutup permukaan gambut sehinggapermukaan gambut tidak terbuka, selainitu juga akan menjaga lingkunganmenjadi lebih dingin. Pemamaparanpermukaan gambut di bawah mataharilangsung akan mcenderung membentukorganic crusting yang mana hal ini akanberakibat pada semakin menurunnyainfiltrasi dan meningkatkan aliranpermukaan dan juga tentunya akanmeningkatkan erosi gambut. Tanamanpenutup legum tidak dianjurkan sebabdapat meningkatkan laju mineralisasigambut, yang pada akhirnya akanmeningkatkan laju subsiden.

3. IrigasiManakala tinggi muka air tidak bisa

dikontrol dan selalu berada jauh dibawah dari kedalaman yang dibutuhkan,maka irigasi perlu dilakukan, khususnyabagi pertanaman yang berdaur pendek(tanaman semusim). Hal ini pentinguntuk menjaga suplai air bagi pertum-buhan tanaman sebagaimana juga untukmenjaga pengeringan yang berlebihan dilapisan top soil.

Untuk tanaman tahunan, makaperhitungan irigasi harus dipertimbang-kan. Jadwal penanaman dan sistemirigasi yang dibutuhkan harusmemperhitungkan jumlah air tanah yang

tersedia di atas tinggi muka air, jumlahair hujan beserta distribusinya danevapotranspirasi dari areal tersebut.Harus terdapat pengatur perhitunganyang memadai terhadap suplai air darisumber-sumber yang ada untuk irigasibalik khususnya pada saat musimkering.

4. Banjir (Flooding)Dalam rangka meminimalkan

terjadinya subsiden tanah, makapendekatan yang paling baik adalahdengan cara membanjiri tanah danmengadopsi penggunaan akuatik darilahan gambut seperti penanamandengan tanaman yang Hidrofilik (suka-air) atau tanaman yang tolerantterhadap air dan secara ekonomis jugapenting, misalnya Chinese waterchestnuts (Eleocharis tuberosa), Chinesespinach (Amaranthus hybridus),Kangkung (Ipomoea aquatica), watercress dan lain-lain.

PenutupManajemen air di kawasan gambut

memegang peranan yang sangat pentingbaik bagi pertumbuhan tanamanmaupun bagi usaha pencegahankebakaran hutan. Semakin baikmanajemen air yang diterapkan makaproduktifitas hasil pertanian danperkebunan juga akan semakin baikdisamping bahaya kebakaran lahangambut bisa dihindari. Sebaliknya jikamanajemen airnya jelek makaproduktifitas pertanian juga akanmenurun dan kemungkinan bahayakebakaran gambut bisa terjadi•

Page 116: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

A R T I K E L

115Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut

Daftar Pustaka

Ambak, K and Melling, J. 2000. ManagementPractices for Sustainable Cultivation ofCrop Plants on Tropical Peatland. InProceedings of the International Sympo-sium on TROPICAL PEATLANDS. Bo-gor, Indonesia, 22-23 November 1999.Hokkaido University & Indonesian Insti-tute of Sciences. pp. 119-134 (2000)

Burning Issues. 2003. Membakar lahan gam-but sama artinya dengan membuat polusiasap. Project Officer, Project Fire FightSouth East Asia N0. 7 Mei 2003.

Chokkalingam, U dan Suyanto. 2004. Keba-karan, mata pencaharian, dan kerusakanlingkungan pada lahan basah di Indonesia:lingkaran yang tiada berujung pangkal.Fire Brief. Nomor 4. Oktober 2004.

Huat, B. K. 2003. An Integrated ApproachNeeded For Peatland Development.Sunday Tribune (9 March 2003). http://www.eng.upm.edu.my/asset2/archives/12.Anintegrated approach.htm

Inoue, K. Discussion on Rural Developmentof Peat Swamp Area of Central Kaliman-tan from Hydrological Aspect. In Pro-ceedings of the International Symposium

on TROPICAL PEATLANDS. Bogor,Indonesia, 22-23 November 1999. Hok-kaido University & Indonesian Instituteof Sciences. pp. 145-149 (2000)

Jamaludin B. J. 2002. Sarawak: Peat Agri-cultural Use. STRAPEAT. March 2002.MARDI. Malaysia..

Jinu, A. 2002. Proyek PLG Sejuta Hektar Dari“Lumbung Beras” Berubah Jadi LumbungMasalah. Kompas-Online, Rabu 20 Pe-bruari 2002. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0202/20/daerah/dari28.htm

Kompas-Online, 14 Oktober 2004. AtasiKebakaran Lahan Gambut, DibendungSejuta Hektar Kanal. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/14/daerah/1325305.htm.

Lee, D. 2004. Concept Proposal : ReducingImpacts and Enhancing SustainableManagement of Oil Palm. PresentationMatter on 2nd Round Table Meeting onSustainable Palm Oil. 5-6th October2004 – Grand Hyatt Jakarta, Indonesia.

Saharjo, B. H. 2003. Kebakaran Gambut.Kompas-Online, 21 Juli 2003. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/21/ilpeng/440416.htm

Page 117: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

116 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

PENDANAAN ALTERNATIFPROYEK PERUBAHAN IKLIMDI INDONESIAUlasan untuk Dana Perwalian

Oleh Aidy Halimanjaya & Smita Nakhooda

Pendahuluan

Dana Perwalian Perubahan IklimIndonesia (ICCTF) –selanjutnyaditulis Dana Perwalian— adalah

lembaga nasional dana perwalian milikpemerintah Indonesia, dan merupakansalah satu model percontohan di duniauntuk mekanisme negara berkembang didalam mendanai respon terhadap peru-bahan iklim. Lembaga ini didirikan tahun2009 dengan tujuan mendukung responperubahan iklim di Indonesia, dalamkonteks munculnya komitmen-komit-men kebijakan untuk mitigasi perubahaniklim terkait UNFCCC Bali COP padatahun 2007. Sampai dengan tahun 2014,

ICCTF dikelola oleh KementerianBappenas, bersama dengan UNDPsebagai pimpinan sementara. ICCTFberusaha memobilisasi, mengelola, danmengalokasikan pendanaan seiringdengan prioritas-prioritas pembangunanIndonesia untuk secara efektif danefisien berkontribusi pada: 1)implementasi dari tindakan mitigasiemisi GHG dan aktivitas-aktivitaspenyesuaian perubahan iklim; dan 2)pengarusutamaan isu perubahan iklim kedalam perencanaan di tingkat nasional,provinsi, dan kota/kabupaten.

Kapitalisasi ICCTF sampai dengantahun 2014 sebesar US$ 11.400.000. Ini-

Upaya-upaya untuk menghadapi masalah-masalah perubahan iklim di dalam beberapatahun terakhir telah berkembang menjadi sebuah ranah kebijakan negara yang bersifatjangka panjang. Indonesia sejak tahun 2007 telah berusaha mempersiapkan sebuahmekanisme pendanaan untuk respon terhadap perubahan iklim. Mekanisme tersebut padatahun 2009 dilembagakan menjadi Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia (ICCTF),yang juga merupakan bentuk kerjasama Indonesia dengan dunia internasional terkaitrespon perubahan iklim. Tulisan ini berusaha memberikan penjelasan dan evaluasi terhadaplembaga Dana Perwalian tersebut.

Kata kunci: Dana Perwalian, mitigasi, manajemen

P E M B A N D I N G

Page 118: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

117Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif

sumber yang relatif kecil bagi keuangandi negara yang dapat mengakses ratusanjuta dolar yang berasal dari dukunganlunak berbagai donor untuk tujuanperubahan iklim. Pemahaman tentang halini penting terkait proses dan konteksevolusi ICCTF, karena memberikanwawasan utama tentang realitas praktispendirian lembaga dana nasional peru-bahan iklim. Seiring dengan fase pem-bentukan ICCTF pada akhir 2014, kamiberharap bahwa analisis ini dapat men-dukung upaya untuk memperkuat dam-pak dan efektivitas mekanisme keuanganperubahan iklim.

Ketika masyarakat internasionalberupaya meningkatkan penyampaianide tentang pendanaan untuk perubahaniklim, terdapat minat untuk memahamibagaimana cara memanfaatkan secaraefektif dana untuk perubahan iklim.Karenanya diperlukan sebuah penilaianyang bertujuan memberikan gambaranfaktual dari pelaksanaan dan pencapaianlembaga Dana Perwalian, mengiden-tifikasi tantangan utama yang dihadapi,dan menggarisbawahi pembelajaranuntuk penyampaian ide tentang efekti-vitas pendanaan perubahan iklim. Maka-lah ini menyajikan analisis kualitatifmengenai prestasi ICCTF dilengkapidengan data kuantitatif yang relevan,yang sesuai dengan konteks Dana Per-walian dan berbagai kendala yang di-hadapi.

LATAR BELAKANGPembentukan Dana Perwalian untuk

Perubahan Iklim di Indonesia (ICCTF),mendemonstrasikan upaya Pemerintah

Indonesia untuk menempatkan peru-bahan iklim dalam konteks prioritaspembangunan nasional, dengan mengak-ses keuangan internasional melaluilembaga-lembaga milik nasional. Adadua proses besar yang mendukungpendiriannya. Pertama, Indonesia seba-gai negara penyelenggara konferensiUNFCCC COP 13 di Bali pada tahun2007, berusaha mempertimbangkanpeluang-peluang untuk mengatasi peru-bahan iklim. Rencana Aksi Bali mem-perkenalkan gagasan bahwa negara-negara berkembang akan melakukantindakan mitigasi yang tepat secaranasional dengan dukungan internasional,dalam upaya untuk mengembangkanstrategi mitigasi nasional. Pada G20Summit 2009 di Pittsburgh, PresidenIndonesia dari tahun 2004-2014, SusiloBambang Yudhoyono (SBY),mengumumkan bahwa Indonesia“merancang ... kebijakan ... yang akanmengurangi emisi sebesar 26 persenpada tahun 2020 dari BAU (Business AsUsual). Dengan dukungan internasional... kita dapat mengurangi emisi sebanyak41 persen”. Pada tahun 2011, Indonesiamengadopsi Rencana Aksi NasionalPenurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RANGRK) yang mengusulkan sebuahpendekatan untuk mewujudkan tujuantersebut (GOI, 2011). Rencana AksiDaerah Pengurangan Emisi Gas RumahKaca (RAD GRK) melengkapi RANGRK dalam rangka membangun tindakanmitigasi terpadu di seluruh wilayahIndonesia. Upaya memproyeksikanberapa banyak biaya yang dibutuhkanoleh Indonesia untuk mendanai kegiatanyang bertujuan mengurangi 26% emisi

Page 119: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

118 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

gas rumah kaca itu menunjukkan bahwaIndonesia memerlukan US$81,300,000,000, dan dua kali lipat jumlahini untuk mengurangi emisi gas rumahkaca sebesar 41% di semua sektor(Tabel 1). Sejak tahun 1998, Indonesiatelah menjadi salah satu penerimaterbesar bantuan pembangunan iklimterkait (Halimanjaya, 2013).

Proses besar kedua yang mendukungpendirian ICCTF adalah KomitmenJakarta pada ‘Bantuan EfektivitasPembangunan - Peta Jalan Indonesia2014’, yang mengartikulasikan niatPemerintah Indonesia untukmemperkuat kepemilikan negara ataspembangunan; membangun kemitraanpembangunan yang efektif dan inklusif;serta memberikan penjelasan tentanghasil pembangunan (GOI, 2009).Komitmen Jakarta diadopsi pada tahun2009 dalam konteks upaya memperkuatefektivitas bantuan untuk pembangunandengan memberikan kepemilikan yanglebih besar kepada lembaga nasionalsebagai hasil dari kerja samapembangunan. Kontributor jugamengakui perlunya mekanisme yang

akan memperkuat koherensi dukunganuntuk agenda perubahan iklim, danmengurangi fragmentasi (DFID, 2010).

TUJUANDari penjelasan di atas, dapat

dipahami bahwa ICCTF merupakanperkembangan dari pertemuanperubahan iklim nasional dan agendaefektivitas pembangunan. Bappenas,sebagai badan perencanaanpembangunan Indonesia menjadiinisiator kelembagaan untuk danaperwalian tersebut. Bappenas juga telahdipercaya untuk mengemban danmengelaborasi strategi untuk meresponmasalah perubahan iklim di Indonesia.ICCTF yang diluncurkan bersama olehBappenas dan Kementerian Keuangan,dimaksudkan untuk menyelaraskan danmenyatukan sumber daya keuanganinternasional dengan strategi investasinasional dan anggaran dana dalam negerisecara inovatif, transparan danakuntabel. Hal ini juga bertujuan untukmemprioritaskan perubahan iklim didalam perencanaan dan kebijakan

Tabel 1 Perkiraaan Dana yang dibutuhkan untuk mencapai target Pengurangan Emisi

Page 120: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

119Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif

pembangunan nasional dan daerah, danmelaksanakan GRK langkah-langkahmitigasi emisi dan adaptasi inisiatifperubahan iklim. Secara garis besar,ICCTF memiliki tiga jendela tematik:energi; mitigasi berbasis lahan; danadaptasi dan ketahanan. Ketiga jendelatematik ini mencakup hampir semuaprioritas mitigasi Indonesia yang tercan-tum di dalam dokumen RAN GRK.

EVOLUSI DANADana perwalian dioperasionalkan

dalam dua tahap untuk memungkinkaninvestasi awal yang diperlukan dalampengaturan manajemen fidusia yang kuatdan pengembangan strategi jangkapanjang yang efektif. Selama fase PREP-ICCTF, UNDP berperan sebagai waliamanat untuk ICCTF dan terdapatmekanisme sementara untuk menya-lurkan dana kepada kegiatan-kegiatanyang dipimpin oleh pemerintah

Indonesia. Tahap awal ini juga akanmelibatkan investasi jangka panjangdalam operasionalisasi Dana dan kapa-sitas terkait (UNDP Indonesia, 2009).Tujuannya adalah untuk membentukdana nasional yang berfungsi, yangmelalui prosedur manajemen opera-sional dan keuangan akan mendapatkankepercayaan dari negara-negara donor.Prosedur manajemen operasional dankeuangan ini didukung oleh peraturanpemerintah tahun 2011, KeputusanMenteri yang menetapkan dasar hukumICCTF sebagai Trust Fund Indonesia(GOI-BAPPENAS, 2013). Pada tahapkedua dan ketiga, perangkat modalitasyang lebih luas dieksplorasi melaluiinovasi dan transformasi terfokus untukmengatur strategi pendanaan (lihatGambar 1).

Tahap PREP-ICCTF juga memilikidimensi pembelajaran praktis. Tahap initelah menghabiskan dana yang diterimasebagai hibah untuk proyek-proyek

Gambar 1. ICCTF Saat Ini dan Strategi Pendanaan di Masa Depan

Page 121: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

120 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Gambar 2. Jumlah Deposit yang Dicairkan Per Maret 2014

Tabel. 2 Dana Hibah untuk ICCTF sejak Tahun 2009

percontohan, yang diusulkan dan dikelo-la oleh lima kementerian pemerintah,dengan tujuan mendapatkan pengalamankerja sama antar-lembaga, dan proyekpembangunan kapasitas manajemendalam pelayanan ini (BAPPENAS-ICCTF,2011a; ICCTF, 2013c).

Ini mengingat ICCTF adalah salahsatu dari banyak aktor dan lembaga yangmengakses dan memberikan pembiayaan

perubahan iklim di Indonesia. Sebuahtinjauan baru tentang pendanaan peru-bahan iklim di Indonesia menemukansejumlah US$ 324.000.000 dukunganinternasional yang diarahkan untukIndonesia (CPI 2014). Dengan kapi-talisasi saat ini yang berjumlah US$11.400.000, ICCTF tetap salah satuaktor yang paling kecil di lanskap pem-biayaan perubahan iklim dalam negeri.

Page 122: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

121Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif

A. Pengeluaran

InstrumenSelama dua fase pertama yang dian-

tisipasi, ICCTF hanya dapat menawarkanbantuan keuangan dalam bentuk hibahkepada penerima. Secara hukum, ICCTFhanya berhak menerima hibah. Akibat-nya, ICCTF belum bisa mengakomodasipembiayaan dari donor yang mungkiningin menawarkan pinjaman atau modal.Penerima diharapkan menerima hibahdari dana perwalian dengan tambahandana dari sumber yang berbeda, tapi inibukanlah persyaratan untuk mengaksespendanaan dari ICCTF. Walaupunterbatas secara hukum, visi jangka danaperwalian ini adalah untuk mengakomo-dasi berbagai jenis instrumen keuangan,termasuk pinjaman, dan melibatkanragam aktor yang lebih luas, termasuksektor swasta (Gruning et al. 2012;Thamrin, 2011).

1 Mobilisasi sumberdayaTiga donor - Inggris, Australia, dan

Swedia - telah memberi hibah dengantotal sebesar $ 11.400.000 untuk ICCTFsejak tahun 2009. Inggris berkontribusi86% dari jumlah keseluruhan (LihatTabel 2). Semua dana ini ($ 11.400.000)telah diendapkan dan 78% dari totaljumlah deposit telah dicairkan per Maret2014 (Gambar 2). Pemerintah Jermantelah memberikan bantuan teknis untukoperasionalisasi Dana Perwalian melaluiagen kerjasama teknis GIZ. Donorlainnya, termasuk Denmark dan Ame-rika Serikat, telah menyatakan minatnyadalam mendukung ICCTF (Budiarjo,2013), tetapi pada saat penulisan, rea-

lisasi dari kelanjutan minat tersebutbelum terjadi (ICCTF, 2014a).

AkreditasiICCTF juga telah diposisikan sebagai

entitas pelaksana untuk dana iklimmultilateral. Pada tahun 2011, ICCTFPemerintah menominasikan dana per-walian untuk diakreditasi sebagai Pelak-sana Badan Nasional (NIE) untuk Adap-tation Fund. Hal ini dilakukan denganharapan Dana Perwalian bisa mengaksessumber daya tambahan internasionaluntuk mendukung portofolio luas pro-gram adaptasi. Namun, penilaian Adap-tation Fund menemukan bahwa per-baikan lebih lanjut diperlukan untuksistem pengelolaan dana, transparansidan manajemen keuangan, serta ke-rangka kerja pengendalian internal. Saatini, sebagian besar dana yang ada inter-nasional, termasuk Global EnvironmentFacility (GEF), Dana Investasi Iklim(CIF), dan lain-lain yang memiliki pro-gram aktif di Indonesia, belum bekerjamelalui ICCTF. ICCTF terus menerusmemperbaiki sistem untuk memenuhipersyaratan untuk mengakses Adap-tation Fund dan juga GEF (ICCTF,2014a).

Pengaturan pendanaan di masa depanPemerintah Indonesia (GOI) telah

berkomitmen untuk membiayai ICCTFlangsung dari APBN (ICCTF, 2014). Halini juga mungkin karena badan REDD+Indonesia yang didirikan pada bulanAgustus 2013 melalui keputusan pre-siden (GOI, 2013), akan menyalurkansebagian dana melalui ICCTF. BadanREDD+ yang memiliki status sebagai

Page 123: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

122 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

badan di bawah kementerian Indonesia,dipercaya untuk mengelola keuangankegiatan REDD+ (ibid). Karenanya,Bappenas berupaya agar ICCTF menjadipenyalur keuangan internasional diIndonesia: misalnya, potensi ICCTFdalam penyaluran dana bagi NationallyAppropriate Mitigation Actions(NAMA) (ICCTF, 2014a).

Dari gambaran di atas tampak jelasbahwa semua instansi pemerintahmenyadari akan pentingnya kapitalisasiICCTF di skala yang memadai. Badan-badan koordinasi pendanaan iklim jugatelah mengamati bahwa hibah saat initersebar di beberapa instansi, dan bahwaada kebutuhan untuk pendekatan yanglebih terintegrasi dan strategis untukmengakses pembiayaan hibah. ICCTFberpotensi memfasilitasi pendekatanyang solid untuk mengelola pendanaanberbentuk hibah.

2 Suara dan administrasiTata pengambilan keputusan mem-

pengaruhi kepercayaan dalam operasidana ini (Nakhooda, 2013). Sebagaimanadicatat, tujuan utama pembentukanICCTF adalah untuk menjadi pedomanpendanaan perubahan iklim bagi lem-baga-lembaga nasional dan beradasejajar dengan prioritas pemangkukepentingan. Kementerian PerencanaanPembangunan Nasional (Bappenas) yangdiberi mandat mengkoordinasikanlembaga-lembaga lain dalam kaitannyadengan strategi pembangunan nasional,telah membimbing dan memberikanbantuan strategis, serta mendukungkegiatan koordinasi pengembanganDana Perwalian. Karenanya, struktur

ICCTF (Gambar 4) akan menjadisemakin berkembang dan inklusif.

ManajemenICCTF menetapkan pengambilan

keputusan-keputusan dalam sebuahpleno komite pengarah yang dipimpinoleh Pemerintah Indonesia dan jugamelibatkan mitra-mitra pembangunandan organisasi masyarakat sipil yangterpercaya. Perwakilan lembaga-lembagainternasional, pemerintah daerah, danbadan-badan antar pemerintah bertindaksebagai peninjau. Wakil MenteriBappenas Pemerintah Indonesia adalahketua komite pengarah dana perwalian,sedang Wakil Menteri Sumber DayaAlam dan Lingkungan Hidup Bappenasberfungsi sebagai sekretaris. Anggotanyameliputi Deputi Bidang PengembanganKeuangan Bappenas, dan perwakilandari Kementerian Keuangan, Kemen-terian Koordinator Bidang Pereko-nomian, dan Kementerian Kesejah-teraan Rakyat, kepala Dewan NasionalPerubahan Iklim (DNPI). Selain itu,perwakilan organisasi masyarakat sipil,sektor swasta, dan akademisi atau yangditunjuk juga duduk di badan danaperwalian. Akhirnya, ada peran untuktiga pemerintah donor yang berkon-tribusi pada dana perwalian, yaitu Ing-gris, Denmark dan Jerman. Dua dari tigakontributor dana memilih untuk tidakberpartisipasi dalam pleno pemerintah(ICCTF 2014). Penataan baru ini resmididirikan melalui KEP.33/M.PPN/HK/2014 di bulan Maret 2014. PanitiaTeknis yang dipimpin oleh SekretarisKepala Bappenas dan perwakilan dariKementerian Keuangan

Page 124: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

123Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif

mengembangkan proposal untukpendanaan, dengan masukan darianggota Pleno dan Sekretariat ICCTF.

AdministrasiSelama tahap pertama dari ICCTF,

UNDP ditunjuk untuk berfungsisebagai sebagai manajer keuangansementara, sebagian sebagai jaminanuntuk pemenuhan standar minimumfidusia. Dalam hal ini UNDPmenetapkan biaya pengelolaan dansebesar 7%. Sejak awal perhatiandiarahkan pada apakah kantor UNDPdi negara setempat akanmemprioritaskan ICCTF; namun ulasandonor kemudian telah menekankanperlunya lebih besar perhatianmanajemen senior untuk prosesmanajemen dana dan operasionalisasi.

Strategi ICCTF pada fase berikutnyaselalu mempertimbangkan manajemensepenuhnya berada di tangan insitusinasional. Untuk tujuan ini, Bank Mandiridipilih sebagai wali amanat nasional danaperwalian. Selama tahap PREP-ICCTF,UNDP dan Bank Mandiri bersama-samamelayani peran pengelola dana, untukmengantisipasi transisi penuh ke fasemanajemen nasional.

Desember 2013, 5% dari dana yangdicairkan telah mendukungpembangunan kapasitas di SekretariatICCTF. Biaya overhead SekretariatICCTF diperkirakan meningkat di tahun2014 terkait perluasan strukturmanajemen ICCTF yang memasukkandirektur eksekutif, dua wakil direktur,manajer keuangan, serta manajerevaluasi dan pemantauan (ICCTF,2013c).

Prosedur PelaporanPada fase PREP-ICCTF, Dana Per-

walian menggunakan sistem pelaporanganda sesuai dengan persyaratan peme-rintah Indonesia, serta standar persya-ratan manajemen UNDP. Penerima danalembaga-lembaga publik melengkapiprotokol pelaporan keuangan sesuaisistem UNDP dan juga sesuai sistemkeuangan pemerintah yang dikenalsebagai DIPA, atau dihitung sebagai ‘onbudget on treasury’ (Brown dan Peskett2011, p 14.). Sistem ganda ini mening-katkan biaya transaksi dan beban terkaitdengan mengakses sumber daya ICCTF.Mereka yang diwawancarai mengemu-kakan bahwa penyederhanaan terhadappengaturan ini akan membawa pening-katan efisiensi.

Transparansi dan PartisipasiSampai saat ini, keterlibatan

organisasi masyarakat sipil (OMS),sektor swasta, dan lembaga subnasionaldalam pengaturan ICCTF sebagian besarmasih diskresioner. Namun, pihak DanaPerwalian telah menyelenggarakansejumlah acara untuk meningkatkankesadaran berkegiatan dan mencarimasukan dari akademisi, instansipemerintah dan perwakilan CSO(ICCTF, 2010). Selain itu, ICCTF jugaberpartisipasi dalam forum-forumkebijakan yang diselenggarakan olehLSM lokal dan internasional (ICCTFCalendar - website). Upaya sedangdilakukan untuk memperkuatkomunikasi publik tentang DanaPerwalian, dengan website khusus yangmempublikasi aktivitas utama danprestasi (http://www.icctf.or.id). Ini

Page 125: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

124 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

termasuk juga memutakhirkan informasiICCTF agar publik dapat mengaksesinformasi lebih lanjut tentang programdan prioritas tersedia dalam BahasaIndonesia dan Inggris (DFID, 2013).Ulasan Adaptation Fund terhadap ICCTFmenyoroti kebutuhan untuk mem-perkuat transparansi, terutama padamanajemen keuangan. Memang kebi-jakan akuntabilitas ICCTF relatif dis-kresioner. Kejelasan mengenai langkahmeningkatkan akuntabilitas Dana Per-walian ini bisa membantu mendukungpemerintahan yang efektif di sampingmembangun kepercayaan yang lebihbesar dari lembaga-lembaga donor dandana iklim internasional.

Struktur tata kelola di masa datangSebuah tata kelola baru yang

menggabungkan Komite Teknis (TC)dan Komite Pengarah (SC), yang dikenalsebagai Majelis Wali Amanah (MWA),diantisipasi dapat meningkatkan tatakelola Dana Perwalian (GOI-Bappenas,2013 ). Menurut PPN3/2013, MWAakan memiliki struktur voting formal,yang akan digunakan jika keputusantidak dapat dicapai dengan konsensus.Bappenas sebagai ketua, sekretaris, dananggota dari ICCTF akan memiliki tigasuara. Kementerian Koordinator Kese-jahteraan Rakyat, KementerianKoordinator Bidang Perekonomian danKementerian Keuangan semua akan

Gambar 3. Struktur tata kelola yang diharapkan dari ICCTF

Page 126: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

125Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif

memiliki satu suara. DNPI (DewanNasional Perubahan Iklim) akanmendapatkan satu suara, sebagaimanajuga perwakilan Kamar Dagang atasnama sektor swasta, perwakilanakademisi, dan perwakilan CSO. Merekadapat memberi tanggapan sekaligusmemberikan manfaat koordinasi berupahubungan yang lebih erat antara DNPI,badan kepemimpinan yang dibentukuntuk mengkoordinasikan tindakanterhadap perubahan iklim, dan ICCTF(DFID, 2013)

Perwakilan MWA dari kalanganakademisi akan dipilih oleh ForumRektor Indonesia (FRI) dan Bappenas,sedangkan Indonesia Climate AllianceNetwork (ICAN) menjadi wakil dariCSO. Representasi langsung danketerlibatan CSO dalam keputusanmengenai alokasi sumber dayadipandang sebagai aspek penting dariupaya mempromosikan kepercayaanmasyarakat terhadap integritasoperasinya. Selain itu tiga donorterbesar dari ICCTF juga akanmendapatkan masing-masing satu suara.Pengaturan ini pada dasarnya akanmembatasi pengaruh donor di dalammenentukan prioritas pengeluaran.

Namun dari struktur yang demikianterdapat masalah proses operasionalisasidana, dan kesepakatan tentang prosedurdan pedoman. Ini berakibat pada prosespengambilan keputusan yang kurangefisien. Keterlibatan perwakilan seniorkementerian untuk menandatanganikeputusan penting operasional jugamengakibatkan penundaan. Kemampuandana untuk berfungsi secara efektifdalam jangka panjang akan bergantung

pada peningkatan kapasitas sekretariatICCTF, yang sejauh pengalamanberbicara telah terhambat olehsumberdaya yang melampaui batas danpergantian staf pimpinan. Langkah telahdiambil untuk memperkuat Sekretariatmelalui perekrutan direktur eksekutif,ahli internasional dalam pengelolaandana, dan pengenalan struktur tatakelola baru. Dampak praktis dariperubahan ini masih harus dilihatkembali.

3 Strategi Investasi dan alokasiICCTF menetapkan prioritas

pengeluaran didasarkan pada kombinasidari pedoman kerangka kebijakannasional dan regional (RAN / RADGRK), yang ada pada RoadmapPerubahan Iklim sektoral Indonesia(ICCSR), studi terbaru dan pendapatpakar (Bappenas-ICCTF, 2011c) -seperti digambarkan dalam Gambar 4.ICCSR mengidentifikasi sumber daya air,kelautan dan perikanan, pertanian dankesehatan sebagai sektor prioritas untukadaptasi; dan kehutanan, energi, industri,transportasi dan limbah sebagai prioritasuntuk mitigasi. Semua program yangdidanai harus memberikan manfaat sosialekonomi bagi masyarakat lokal;mendorong adanya pelatihan meluas danatau yang terkait dengan pembangunankapasitas bagi pemerintah daerah dan /atau fasilitator lokal; untuk membantumenghilangkan hambatan keuangan danteknologi bagi praktek/teknologi lokalinovatif; serta menjamin integritas dankeberlanjutan lingkungan (Bappenas-ICCTF, 2011c; ICCTF, 2013c). ICCTFjuga berusaha memprioritaskan

Page 127: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

126 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

program-program yang berpotensi untukdikembangkan atau direplikasi di daerahlain; dan yang bisa memobilisasi kon-tribusi keuangan tambahan dari sektorswasta, pemerintah daerah atau ma-syarakat.

Prioritas StrategisDokumen pertama ICCTF tentang

strategi investasi dirancang di tahun2010 dan telah direvisi dua kali, padatahun 2012 dan 2013. Perkembanganterakhir pada periode 2013-15 (ICCTF,2013c) ICCTF memprioritaskan padastrategi pengelolaan berkelanjutan tanahgambut dan pengembangan energi untukrangka tematik tanah. Rangka tematikenergi akan mendukung pengembanganproposal NAMA,terkait efisiensi energidi kota-kota, transportasi darat yangberkelanjutan dan energi terbarukan

biomassa. Adaptasi rangka tematikberfokus pada perikanan dan akuakultur.

Pemilihan ProgramStrategi investasi ICCTF memiliki

perangkat prioritas yang relatif organidan seleksi program didasarkan atasperangkat pedoman yang cukup flek-sibel. Untuk saat ini, hanya proyek‘percontohan’ yang telah disetujui olehDana Perwalian. Sebagai bentuk trans-paransi, program-program yang sebagianbesar terlihat memiliki nilai tambah,telah dicatat sebagai prioritas diantarainvestasi-investasi potensial (DFID,2013). Tentu saja ini akan menjadipersyaratan penting karena di dalam halini Dana Perwalian bergerak di luarprogram percontohan. Perlu ada pene-kanan pada kepatuhan proyek denganKeputusan Presiden PP No. 10/2011,

Gambar 4. Prinsip-prinsip strategi investasi ICCTF

Page 128: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

127Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif

yang mengharuskan pelaksana untukmemiliki rekam jejak yang lengkap, dananggaran yang rasional dan efisien.Sebagai manajer investasi interim,UNDP memberikan masukan strategisdan kualitatif untuk meningkatkankualitas pemilihan proyek dan anggaranterkait pada awal operasi ICCTF diperiode 2010-2011.

Siklus proyek ICCTF seharusnyamemakan waktu sekitar 13 minggu sejakundangan pengajuan proposal diumum-kan, sampai ke titik ketika proyekdisetujui (Gambar 5C). Namun, dalamprakteknya, persetujuan dapat memakanwaktu lebih lama. Hal ini dikarenakanpemilihan proyek terkait penjadwalanpertemuan komite pengarah dan komiteteknis ICCTF, dan kemudian menungguanggota untuk berkomentar dan menye-tujui program. (Tabel 3).

Proyek normal membutuhkan pen-danaan lebih dari US$ 50.000. Padatahun 2014, Dana juga mendukungproyek-proyek skala kecil (kurang dari

US$ 50.000), yang memungkinkan untukmendukung penelitian universitas ber-basis dan kegiatan CSO. Proyek hibahkecil (Small Grant Program [SGP])memiliki mekanisme seleksi khusus yangterdiri dari dua tahap (Gambar 5B).Tahap pertama merupakan penilaiansemua proposal berdasarkan persyaratanadministrasi. Tahap kedua melibatkanpenilaian mendalam dengan berdasarkankriteria tertentu dan membutuhkanwaktu dua minggu. Penerapan kriteriaseleksi SGP bisa dianggap agak ketatmengingat proyek-proyek itu tidakberlaku dalam kasus program hibahbesar.

PengamatanFaktor kelembagaan telah berperan

membentuk portofolio ICCTF, sepertikapasitas Sekretariat untuk mengiden-tifikasi dan memantau proyek yangdidanai. Selain itu, portofolio padadasarnya dibatasi oleh sumber daya yangtersedia dari donor dan anggaran rumah

Gambar 5A. Proses seleksi Proyek

Page 129: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

128 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

tangga, yang telah disederhanakansampai saat ini. Pemangku kepentingandalam Dana Perwalian juga mengamatibahwa ada peluang Sekretariat ICCTFdan Komite Teknis untuk bekerjasamalebih dekat dengan Sekretariat RANGRK, yang bertanggung jawab untukmengembangkan strategi pelaksanaanperubahan iklim nasional, menyetujui

prioritas investasi dan mengidentifikasiproyek-proyek potensial. MeskipunBappenas menyelenggarakan inisiatif-inisiatif tersebut, namun tampaknyaBappenas belum secara eksplisit mem-bentuk kerja sama tersebut. Beberapakontributor telah mengusulkan bahwa“Bentuk yang tepat dari kerjasamaantara RAN GRK dan Sekretariat

Gambar 5B. Kecil-hibah proses seleksi Program

Gambar 5C. Proyek matrik ICCTF terkait dengan kebijakan iklim nasional

Page 130: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

129Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif

ICCTF harus diklarifikasi dan ditulis kedalam rencana bisnis yang direvisi”(DFID, 2013, p. 4). GIZ mendukungICCTF untuk memperbarui rencanabisnis dan mengembangkan kerangkainvestasi baru yang menghubungkanRAN/RAD GRK dan RAN API dengantiga rangka strategis ICCTF (ICCTF,2014a). Gambar 7 menunjukkan ba-gaimana rencana aksi nasional ini terkaitdengan rangka strategis ICCTF dalammenaungi proyek yang didukung DanaPerwalian.

4 Pencairan dan Manajemen RisikoDalam tahap awal operasi ICCTFmengandalkan sistem UNDP untukpengelolaan dana, termasuk pencairandan manajemen risiko terkait portofolio.Mengingat ketersediaan sumber dayarelatif kecil, dan ICCTF saat ini hanyamenawarkan hibah, manajemen risikosebagian besar dikonsentrasikan dalampemilihan proyek, pemantauan yangmemadai dan pelaporan. Daftar risikodipertahankan untuk setiap proyek.Sekretariat melaporkan tentang mening-katnya jumlah waktu yang dihabiskanuntuk mengidentifikasi pemimpin proyekdengan rekam jejak yang baik, danmelakukan pemetaan pemangku kepen-tingan di tingkat proyek untuk meng-identifikasi peluang bekerja denganlembaga-lembaga lokal dan tokohmasyarakat terhormat, seperti koperasilokal dan ulama (pemimpin agama) yangmemiliki pengaruh langsung atas masya-rakat di lokasi intervensi (Budiarjo,2013; Asycarya, 2013). Namun, jikaICCTF berencana untuk mendanaiprogram inovatif dan kemitraan swasta

publik, dengan mengakses dan mena-warkan jangkauan yang lebih luas dariinstrumen, maka ICCTF memerlukanpendekatan yang lebih canggih danproaktif untuk manajemen risikonya.

Transparansi dan efisiensi pencairanMeskipun ICCTF dikelola sebagai

salah satu dana perwalian UNDP,website ICCTF belum menyertakanpemutakhiran data pengeluaran untukumum . Namun, saat dihubungi secaralangsung, kantor ICCTF menyediakandata-data mutakhir status persetujuanproyek dan pencairan. Data mutakhirDana Perubahan Iklim menunjukkanbahwa pada 10 Maret 2014, ICCTF telahmencairkan $ 8.400.000 atau 88% daridana yang disimpan. 78% dari totaljumlah yang dikeluarkan telah diserappada periode 2010-2013 (CFU 2014).Artinya, kecepatan pencairan telahmeningkat secara signifikan. Mayoritasdana ini telah dialokasikan untuk mem-berikan hibah kepada enam proyekpercontohan yang bertujuan membangunkapasitas pemerintah terkait tiga rangkatematik ICCTF.

Menurut pemimpin proyek (projectmanagement unit [PMU]), pencairanuang relatif cepat setelah persyaratanproyek sudah terpenuhi. BerdasarkanProsedur Operasi Standar ICCTF, PMUharus menunjukkan bahwa mereka telahmenghabiskan 90% dari tahap sebelum-nya dan menyampaikan laporan programdan keuangan triwulanan, termasukbukti-bukti keuangan seperti kuitansidan faktur. Pimpinan proyek berpen-dapat bahwa persyaratan pelaporanICCTF menjadi lebih ketat dari yang

Page 131: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

130 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

dibutuhkan oleh donor lain, atau untukpengeluaran domestik. Semua penge-luaran diaudit oleh Badan Keuangan danPembangunan Pengawas (BPKP), sebuahbadan independen yang melapor lang-sung kepada Presiden Indonesia.Laporan audit BPKP tahunan diterbitkandi situs ICCTF (BPKP, 2010; 2011;2012), termasuk di dalamnya daftarterinci pencairan dan belanja. Namuninformasi itu hanya tersedia dalamBahasa Indonesia, sehingga kurangberguna untuk donor internasional.

Auditor eksternal, selain BPKP, akanberperan penting ketika CSO mengambilperan sebagai badan pelaksana bawahICCTF. ICCTF juga mengontrak sebuahperusahaan audit independen untukmemberikan saran terutama untukkepatuhan pada manajemen dan prose-dur administratif. Auditor eksternal inibertanggung jawab kepada Ketua Ko-mite Teknis dan Komite Pengarah.Dalam fase PREP-ICCTF, semua badanpelaksana berbasis pemerintah danbelum ada kebutuhan untuk audit eks-ternal non-BPKP. Namun demikian,Komite Pengarah - termasuk donor -memiliki hak untuk meminta proyektambahan audit oleh auditor eksternaljika diperlukan (Bappenas-ICCTF,2011c). Memang, fokus utama darisistem dan prosedur ICCTF sejauh iniadalah pada pelacakan pengeluaranaktual keuangan yang dilakukan sesuaidengan kepatuhan pada beberapa ke-rangka kerja akuntansi. Seperti yangakan dibahas dalam Bagian 5, ada kebu-tuhan untuk berkembang di luar fokusmanajemen keuangan menuju fokus padadampak dan hasil dari Dana Perwalian.

PerlindunganProsedur Standar Operasi ICCTF

berusaha untuk menjamin kualitasoperasi. Terkait tanggung jawab fidusiadan uji tuntas maka ICCTF mengharus-kan semua staf dan pihak terkait, terma-suk PMU, untuk menandatangani PaktaAnti-Korupsi dan Pakta Integritas(Bappenas-ICCTF, 2011c). Dana jugamelakukan pemeriksaan di tempat biasadan secara rutin melakukan komunikasidengan PMU. Ketika MWA sudahberoperasi, maka pimpinan yang akanbertanggung jawab untuk memastikanbahwa baik Sekretariat dan PMU menin-daklanjuti hasil audit dan temuan.Inspektorat masing-masing instansipelaksana juga melakukan internal auditsetiap tahunnya, yang berguna untuktujuan pemantauan dan evaluasi. Namun,efektivitas kegiatan ini dalam mengu-rangi risiko penipuan dan korupsi, ataudalam meningkatkan akuntabilitas,kurang jelas. Memang kurangnya trans-paransi dalam pengelolaan keuangan dankurangnya kejelasan tentang prosesuntuk menangani insiden potensi peni-puan adalah salah satu bidang yangmenjadi perhatian ditandai oleh komiteakreditasi Adaptation Fund.

Manajemen resikoAudit internal ICCTF memberikan

kesempatan untuk penilaian risiko.Selain itu, kerangka perencanaan ICCTFadalah untuk secara teratur diperbaruidengan menilai faktor-faktor lingkunganeksternal yang dapat mempengaruhipelaksanaan proyek (Budiarjo, 2013). Initermasuk menempatkan risiko sosial,ekonomi atau politik potensial terkait

Page 132: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

131Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif

dengan pelaksanaan proyek, termasuktata kelola dan hak asasi manusia, se-perti akses masyarakat adat untukkawasan lindung alami. Namun, ke-rangka itu berhenti menjadi sistempenuh untuk mendukung identifikasi ex-ante terhadap dampak lingkungan dansosial. Selain itu, pengamat menyorotikebutuhan ICCTF untuk memperhitung-kan dampak lingkungan dalam pengelo-laan keuangan dan proses administrasi,seperti pengadaan karbon rendah(Primasari, 2014).

PengamatanUntuk saat ini, program yang didanai

melalui ICCTF relatif kecil dan dam-paknya cenderung terbatas. Namun,seiring waktu, jika aspirasi masa depanstrategi operasionalisasi ICCTF dire-alisasikan, dampak yang lebih tinggidimungkinkan. ICCTF perlu menun-jukkan kebijakan perlindungan yangmemadai jika ingin mengakses danainternasional seperti Adaptation Fund,GEF, atau Green Climate Fund, karenasemua badan itu sekarang memerlukanbadan pelaksana untuk memenuhistandar kebijakan upaya perlindunganminimum.

Indikator ICCTF berpedoman padaproses dan cenderung input driven.Indikator-indikator ICCTF justru beradadi luar dari komitmen kebijakan peru-bahan Iklim Indonesia yang relatif am-bisius dan berorientasi pada hasil dimana Dana Perwalian dimaksudkanuntuk membantu mewujudkannya.Proses pengembangan RAN / RAD GRKtelah menghasilkan hal yang jauh lebihrinci dan teknis untuk potensi mitigasi di

Indonesia. Sejak itu, Bappenas telahmulai bekerja dengan berbagai instansipemerintah untuk mengembangkansistem pemerintahan nasional, provinsidan daerah untuk memantau dan mela-porkan pengeluaran aksi mitigasi kons-tituen dan pada berikutnya penguranganemisi. Sistem untuk melacak penge-luaran RAN / RAD GRK mempertim-bangkan alokasi anggaran, tindakananggaran, dan pinjaman internasionaldan hibah. Namun, fakta menunjukkanbahwa pengeluaran ICCTF disertakandalam sistem penganggaran nasional danharus memungkinkan pelacakan. Inimerupakan perkembangan baru yangmenjanjikan di tingkat nasional.

B. HasilSebagaimana dicatat, lebih dari 80%

dari dana yang disalurkan melalui ICCTFtelah mendanai enam proyek percon-tohan. Ini adalah portofolio kecil danterbatas untuk merefleksikan dampakICCTF. Namun demikian, mengingatbahwa ICCTF sekarang telah ada sebagaikonsep untuk lebih dari lima tahun,maka institusi ini dapat memberikanwawasan ke dalam dimensi kunci untukmeningkatkan efektivitasnya.

Portofolio ICCTFSejak berdirinya ICCTF pada tahun

2009, PREP-ICCTF telah mendanai enamproyek percontohan, mulai durasi dari16 bulan sampai 2 tahun: dua proyekpercontohan pengelolaan lahan gambutberkelanjutan, satu proyek energiefisiensi, satu proyek energi alternatif,satu proyek kampanye kesadaran publik

Page 133: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

132 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

dan satu proyek pemetaan kesehatandan kesadaran (Gambar 6A). Telah adapenekanan kuat pada peningkatankapasitas pemerintah (39% dari penge-luaran); pengumpulan data, pemodelandan pengembangan strategi (30%);penyusunan dan penyebaran pedomandan kebijakan (24%); dan peningkatanpemetaan dan sistem informasi (7%)(Gambar 6B). Sisa dana telah dialo-

kasikan untuk biaya operasional. Selamafase awal, siklus proyek berjalan relatiflambat (DFID, 2012).

5 SkalaDalam mempertimbangkan pende-

katan ICCTF untuk mendukung inter-vensi skala kecil dan besar, makalah inimenganalisa bagaimana ICCTF telahterlibat lembaga sub-nasional dan be-

Gambar 6A. Proyek Percontohan ICCTF

Gambar 6B. Alokasi Anggaran ICCTF

Page 134: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

133Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif

kerja pada skala yang berbeda daripemerintah. Hal ini menjadi sangatpenting mengingat keragaman kepulauanIndonesia dan respon pemerintah daerahterhadap perubahan iklim.

Lembaga sub-nasional dan lokal yangterlibat dalam enam proyek pilot yangdidanai ICCTF. Proyek-proyek tersebutmelibatkan 15 dari 33 provinsi di Indo-nesia. ICCTF PMU telah membangunkemitraan dengan lembaga-lembaga sub-nasional dan lokal di lebih dari 30kabupaten, terutama di barat dan tengahIndonesia (Gambar 7 dan Tabel 3).

ICCTF tampaknya mendukungkolaborasi pada perubahan iklim diberbagai tingkat pemerintahan danpemangku kepentingan Indonesia.Misalnya, ICCTF yang didukung Kemen-terian Kehutanan untuk melakukanproyek real energi biomassa: programbekerja dengan para pemimpin agamauntuk membangun unit pengelolaanhutan dan untuk menghidupkan kembali

lahan kritis (MOF, 2010). Pengalaman initelah menggambarkan peran penting jurubicara dan pemimpin lokal yang dihor-mati, berikut kabupaten bermain diefektif memobilisasi anggota masyarakatuntuk mendukung pelaksanaan program.Namun, telah diamati bahwa dalambeberapa tahun terakhir ICCTF telahmenghabiskan lebih sedikit waktu untukmenjangkau pemangku kepentingan diIndonesia dan juga terus menginves-tasikan waktu dan usaha dalam proseskebijakan internasional (DFID, 2013).Pada tahun 2014, ICCTF melakukanMedia Fellowship Award dalam bentukpelatihan 10 wartawan guna meliput isuperubahan iklim. Harapannya, ini akanmeningkatkan pemahaman dan cakupanICCTF melalui media dan jejaring sosial(ICCTF, 2014a).

Proyek adaptasi di sektor kesehatantelah memberi kesempatan untuk pe-ningkatan komunikasi dan koordinasiantara Kementerian Kesehatan di

Gambar 7. Lokasi Intervensi ICCTF diseluruh Indonesia

Page 135: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

134 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Tabel 3. Proyek-proyek ICCTF dan Para Pemangku Kepentingan

Page 136: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

135Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif

tingkat nasional dan unit kesehatanmasyarakat di tingkat sub-nasional dankabupaten di lima provinsi (Tjahjono,2013). Komisi Nasional Meteorologi,Geofisika dan Meteorologi (BMKG) jugabekerja sama dengan DepartemenPendidikan untuk peningkatan kesadarandan pemahaman tentang dampak peru-bahan iklim dengan aktor lokal, sepertistasiun radio dan kelompok di wilayahpesisir dan pertanian (BAPPENAS-ICCTF, 2011b).

Menyediakan dana pada skala yangberbeda

Sejauh ini, Dana Perwalian telahmengarahkan dana untuk intervensi padaskala yang lebih besar, dengan anggaranmulai dari US$ 900.000 - US$ 1,5 juta,dengan kerangka waktu proyek dibatasidari 12-24 bulan (Bappenas-ICCTF,2011b; MOF 2010; GOI-UNDP, 2010a,2010b, 2010c, 2010d, 2010e). Ini meru-pakan jumalh yang besar dari sumberdaya yang tersedia untuk Dana Per-walian. Terdapat kesempatan bagiICCTF untuk memiliki dampak tam-bahan dengan mendukung program yanglebih kecil dan bekerja secara langsungdengan jangkauan yang lebih luas, ICCTFdapat bekerja secara langsung denganLSM dan universitas pada inisiatif-insiatifuntuk merespon perubahan iklim.

6 Mengaktifkan lingkunganKebijakan, peraturan dan kerangka

kerja tata kelola adalah dasar pentinguntuk membuat investasi yang rendahkarbon. ICCTF merupakan bagian darikerangka kebijakan tingkat tinggi yangdirancang untuk mendukung kegiatan

perubahan iklim. Dengan demikian,desain dan struktur ICCTF untuk menya-lurkan dan merekam belanja merupakanupaya pembangunan institusi yangsignifikan.

Peraturan pemerintah yang mendasariICCTF didirikan melalui dua Kepu-

tusan Menteri Perencanaan Pemba-ngunan Nasional, yaitu Keputusan No.KEP. 44/M.PPN/HK/09/2009 dan No.KEP. 59/M.PPN/HK/09/20I0 (UNDPIndonesia, 2012b). Selain KeputusanMenteri ini, Pemerintah Indonesiamengeluarkan Peraturan PresidenNomor 80/2011 untuk memberikanpanduan lebih lanjut tentang dana per-walian. Peraturan Presiden ini ditanda-tangani dua tahun setelah pembentukanICCTF pada tahun 2009; PeraturanPresiden ini juga telah membuka pintubagi pembentukan Dana Perwalianlainnya di Indonesia (DFID, 2013).Peraturan Presiden ini diharapkan dapatmeningkatkan kecepatan, volume,keragaman dan transparansi dari keduatransfer keuangan ke Indonesia danpengeluaran keuangan iklim interna-sional dan domestik dalam negeri.Namun nyatanya, Peraturan Presiden initidak mengatasi kebutuhan untuk mem-percepat pengambilan keputusan ataspengadaan. Proses pengambilan kepu-tusan tetap lambat. Surat KeputusanMenteri BAPPENAS resmi membentukstruktur Dewan ICCTF untuk Trustee(MWA) pada 2013 melalui PPN3 / 2013.Sebuah keputusan menteri dariBappenas merinci semua Dewan yangdicalonkan sebagai anggota WaliAmanat yang menerima tawaran dan

Page 137: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

136 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

pemilihan harus diselesaikan sebelumakhir tahun 2014.

Adaptasi dari pedoman nasional untukpengembangan iklim

Sebagaimana dicatat, tujuan utamadari program ICCTF sejauh ini untukmemperkuat kapasitas kementerian diseluruh negeri untuk mengatasi peru-bahan iklim. Administrator dana perwa-lian dan pelaksana proyek melaporkanbahwa proyek percontohan ICCTFtelah mengadaptasi peraturan nasionaldemi mendukung pelaksanaan pem-bangunan yang selaras dengan kebu-tuhan nasional dan dengan kebutuhandalam merespon perubahan iklim.Departemen Pertanian, misalnya,berencana mengembangkan seperang-kat pedoman nasional tentang penge-lolaan lahan gambut di Indonesia,berdasarkan penemuan dari dua proyekyang didanai oleh ICCTF. Demikianpula, Kementerian Kesehatan mela-kukan penelitian tentang distribusipenyakit terkait perubahan iklim

(vector-borne disease), sebagai panduanuntuk perencanaan adaptasi nasionaldan untuk membantu masyarakat Indo-nesia yang paling berisiko terkenapenyakit tersebut dalam beradaptasiterhadap dalam perubahan iklim. Untuksaat ini, ICCTF mendanai proyek-proyek percontohan yang belum meng-hasilkan peraturan nasional yang baru.

Mengkoordinasikan respon terhadapperubahan iklim

ICCTF merupakan salah satu aktordalam perangkat dinamis pengaturankelembagaan yang mencoba untukbergulat dengan perubahan iklim diIndonesia. Pelayanan utama ICCTF,melalui Bappenas, telah berperansentral dalam pengembangan kebijakaniklim terkait. Tapi seperti dicatat,hubungan antara RAN / RAD GRK danRAN API dan Sekretariat ICCTF, yangsemuanya diselenggarakan olehBappenas, perlu diperkuat. Selain itu,penyaluran dan pelaksanaan inisiatif inimembutuhkan kebijakan yang subs-

Gambar 8. ICCTF mekanisme penyaluran dana berdasarkan pedoman nasionalpada dana perwalian

Page 138: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

137Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif

tansial, termasuk harmonisasi peraturandan tata kelembagaan.

Bappenas adalah salah satu daribeberapa lembaga di Indonesia yangmemiliki mandat untuk melaksanakanperan koordinasi perencanaan pemba-ngunan. Oleh karena itu, potensi penda-naan ICCTF dapat digunakan lebihstrategis untuk membantu lembaga-lembaga pemerintah untuk bersama-sama mencari peluang untuk mencarijalan keluar dari masalah politis kelem-bagaan. Namun, jika sumber pendanaanICCTF relatif insignifikan, maka ICCTFmungkin terbatas dalam memberikaninsentif untuk membawa pelaku utamake dalam jejaring ICCTF.

7 Hasil PengungkitHasil pengungkit yang dibayangkan

dalam desain ICCTF adalah yang menga-kui keragaman cara di mana kapasitasinvestasi dan implementasi dapat diman-faatkan untuk mendukung pembangunanyang rendah karbon dan ramah ling-kungan. Sayangnya, kemajuan operasio-nalisasi dana inovasi dan program danatransformasi berjalan lambat.

Dana pendamping dan tindak lanjutProgram percontohan yang dibiayai

dengan dana hibah telah mengambilpendekatan yang berbeda untukmendorong aksi investasi yang lebih luasterhadap para pemangku kepentinganprogram. Banyak program yang dikelolaoleh departemen pemerintah menerimalangsung dana APBN. KementerianKesehatan, Kementerian Perindustriandan Kementerian Pertanian semuanyatelah mulai mengembangkan program

untuk mendapatkan pendanaan dariICCTF (Asycarya, 2013; Tjahjono, 2013;Mahardika, 2013 ; ICCTF, 2013b).

ICCTF mendukung KementerianKehutanan dalam mengembangkanprogram produksi pelet kayu yangberkelanjutan. Ini telah menarik minatdari investor dan pembeli yang mencaridan mengeksplorasi penggunaan peletkayu sebagai solusi energi alternatifskala besar. Kementerian Kehutanansendiri dikabarkan mengeksplorasipendanaan dengan proyek serupa diskala yang lebih besar (Asycarya, 2013).

Keterlibatan sektor swastaBeberapa program telah berusaha

melibatkan sektor swasta secara lang-sung: misalnya ICCTF mendanai Kemen-terian Perindustrian (MOI) dalam me-ngembangkan sistem informasi auditpenggunaan energi dalam mengem-bangkan dan menerapkan praktik hematenergi. Proyek ini menghasilkan pedo-man teknis untuk efisiensi dan konser-vasi energi untuk industri baja danpengolahan kertas (GOI-UNDP, 2010b).Beberapa perusahaan yang berpartisipasidalam program ini, seperti produsenbaja PINDAD, mempertimbangkanmengadopsi pedoman yang dihasilkansebagai bagian dari rencana upgradefasilitas mereka, dalam rangka mening-katkan efisiensi dan juga keuntunganperusahaan (ICCTF, 2013b).

Membuka investasi skala yang lebih besarPelajaran penting yang dapat diambil

yaitu perlunya koordinasi antara kemen-terian dalam rangka memperkuat kebi-jakan mendasar dan dibutuhkannya

Page 139: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

138 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

harmonisasi peraturan yang akanmembuka investasi skala yang lebihbesar. Sebagaimana dicatat, keterlibatanlebih besar dengan investor sektorpublik dan swasta akan menjadi kunciutama ICCTF di masa depan. Penekananpada pendekatan tersebut diantisipasidalam konsep Program ICCTF, setelahberkembang menjadi stadium III dana“transformasi”. Upaya yang sudah dilaku-kan adalah untuk mengikutsertakan BankMandiri sebagai administrator keuangan.ICCTF, perlu mencari peluang untukmemanfaatkan keahlian Bank Mandiripada keuangan swasta di Indonesiadalam mencapai tujuannya. Tentu saja,inisiatif tersebut perlu ditangani hati-hati, dan dilakukan sebagai bagian dariupaya menjangkau dan berdialog denganinvestor kunci dan lembaga keuangan diIndonesia.

8 InovasiPembentukan ICCTF ini sendiri

merupakan inovasi yang signifikan dalampembiayaan iklim internasional. Elemenkunci dari inovasi ini telah dibahasterinci secara mendalam di bagian awaltulisan ini. Pada gilirannya, ini telahmembantu mendukung pengembangandua dana lainnya yang terkait denganperubahan iklim; yaitu, MillenniumChallenge Trust Fund dan dana REDD +(FREDDI), yang penetapannya tertunda.Namun, seperti yang akan kita bahasdalam bagian 10, ini menimbulkanbeberapa tantangan dalam hal visi asliICCTF.

Inovasi lain dari ICCTF yaitu penge-nalan kerangka tata kelola yang memba-wa pemerintah, pemerintah daerah,

lembaga donor, masyarakat sipil, danpara ahli bersama untuk membicarakantentang bagaimana berinvestasi dalamsolusi perubahan iklim. Beberapa hasildari inovasi ini adalah pengaturan yangbaru mengenai tata kelola multi pihak,sayangnya inovasi ini kurang diman-faatkan oleh para pemangku kepen-tingan.

Ada beberapa bukti bahwa ICCTFtelah berupaya mendukung pendekataninovatif oleh pemerintah melalui pro-gram percontohan yang dipilih. Proyekenergi alternatif DepartemenKehutanan menyajikan modelpenyampaian yang inovatif, yangbekerja melalui kelompok agama yangdapat berfungsi untuk membantumemperkuat hubungan pemerintahdengan masyarakat. Karenanya masihharus dilihat apakah portofolio programskala yang lebih kecil yang didanai olehICCTF melalui LSM dan lembagapenelitian akan memiliki fitur yanginovatif.

Transisi ke model yang secaraeksplisit menekankan pada inovasi jugamerupakan bagian dari visi Dana Per-walian untuk masa depan. Maka dari itupenentuan pendekatan yang tepat harusmendapat prioritas selain ditelaah dandicermati dampaknya.

9 Kepemilikan Nasional dankeberlanjutan

Tujuan utama pendirian ICCTFadalah untuk mendukung kepemilikansecara nasional dan berkelanjutan untukmembiayai respon perubahan iklim diIndonesia. Karenanya, pendekatan inimenjadi penting untuk merefleksikan

Page 140: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

139Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif

pengalaman Dana Perwalian terkaitperkembangan positif dan tantanganyang telah dialami.

Di satu sisi, proses operasionalisasiICCTF merupakan pengalaman belajaryang penting bagi seluruh pemangkukepentingan yang telah terlibat dalamkonseptualisasi dan pelaksanaannya,terutama Kementerian Bappenas, yangmemiliki pengalaman sebelumnya didalam mengelola sumber dayainternasional. Pengembangan sistemyang memungkinkan pendanaan melaluiICCTF, dilaporkan sebagai bagian darisistem manajemen keuangan publikdomestik, serta memenuhi standarinternasional , telah menghabiskanbanyak waktu dan usaha. Keberlanjutanpendekatan yang “hybrid”, dengansistem pelaporan ganda dan inefisiensiyang dihasilkan, masih harusdipertimbangkan.

Kepercayaan pemerintah Indonesiaterhadap ICCTF ditunjukkan melaluikeputusan untuk mencalonkan ICCTFsebagai Pelaksana Badan Nasional (NIE)untuk Adaptation Fund di Indonesia.Walaupun peran ICCTF di dalammenyalurkan pembiayaan ikliminternasional dan mendukung prioritaspendanaan iklim di Indonesia telahsecara resmi diakui oleh badanpemerintah, hal-hal yang harus dipenuhiuntuk keperluan akreditasi sebagai NIEAdaptation Fund masih harusdiselesaikan.

Bersama ICCTF, Bappenas telahmengembangkan pedoman yang lebihrinci untuk menerapkan respon terhadapperubahan iklim dalam bentuk RAN/RAD GRK dan RAN API. Investasi

Bappenas dalam dalam RAN GRK danSekretariat ICCTF, memberikankesempatan untuk memperkuatkepemilikan nasional dan sinergitasinisiatif nasional. kepemilikan nasionaldari ICCTF ini juga bergantung padakeberhasilan Bappenas dalammenciptakan platform praktis untukpelaksanaan kebijakan tersebut. ICCTFberpotensi memberikan ruang strategispendanaan yang memfasilitasi danmendukung berbagi informasi daninteraksi aktor- aktor kunci dalam halini.

Namun operasionalisasi landasanhukum ICCTF telah menjadi proses yangcenderung lambat daripada yangdiantisipasi. Jaminan bahwa DanaPerwalian dapat memenuhi standarinternasional untuk manajemen fidusia,perlindungan lingkungan dan sosial, danmanajemen hasil merupakan tantanganDana Perwalian. Dalam prakteknya,sangat sedikit jumlah dana internasionaluntuk mendukung Indonesia terhadapperubahan iklim yang telah disalurkanmelalui ICCTF. Memang programmultilateral terbesar di Indonesia sampaisaat makalah ini ditulis dilaksanakan olehlembaga-lembaga multilateral sepertiADB dan Bank Dunia, dengan partisipasisedikit atau tanpa keterlibatan dariICCTF.

Ini tidak diragukan lagi merupakantanggung jawab ganda: di satu sisi, donordan dana iklim internasional yang inginterlibat di Indonesia memiliki tanggungjawab untuk menemukan cara untukterlibat dengan mekanisme, yangmenurut kebijakan resmi pemerintah,diposisikan untuk memainkan peran

Page 141: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

140 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

penting dalam internasional pembiayaaniklim. Di sisi lain, para pemangkukepentingan Indonesia, khususnya dalampemerintahan, juga memikul tanggungjawab untuk mendukungoperasionalisasi cepat ICCTF, dan harusmenunjukkan kesediaan untukbekerjasama agar Dana Perwalianmencapai standar internasional yangdiakui seluruh pihak.

Peran Perubahan Iklim dalam ArsitekturKeuangan Global

Model ICCTF telah menjadi sebuahperintis dan pelopor mekanismekeuangan perubahan iklim di Indonesia.Indonesia adalah salah satu negarapertama yang mendirikan lembaganasional yang didedikasikan untukmerespon perubahan iklim. Model initelah menarik perhatian internasional.ICCTF telah berusaha untuk meresponberbagai tantangan terkait denganpenyaluran biaya perubahan iklim,termasuk kebutuhan untukmenempatkan multi pihak dalammemimpin dan mengelola keuangannya.Hal ini dilakukan sebagai bentuk responterhadap perubahan iklim dan dalammenjawab kebutuhan untukmenciptakan sistem yang memperkuatkoordinasi lintas lembaga danmengurangi fragmentasi.

Tata kelola dengan partisipasi multi-pihak akan memfasilitasi akses ke danaiklim internasional yang ada. Walaupunmodel dana perwalian nasional sudahbanyak diterapkan, ICCTF adalahmodel pertama dimana dana perwaliandikhususkan untuk isu perubahan iklimdan pendiriannya mendapat perhatian

politik di negara berkembang sepertiIndonesia. Banyak negara-negara lainyang berkaca pada Indonesia dalammendirikan lembaga-lembaga sejenisuntuk mengakses dan mengelolapendanaan iklim internasional dannasional.

Namun pengalaman praktis ICCTFini menunjukkan banyaknya tantangandalam mendirikan lembaga danaperwalian untuk isu perubahan iklim.Tantangan ini mencerminkan hubungantak terpisahkan antara pemerintahan,iklim dalam negeri, dan keuangan.Strategi investasi dana perwalian harusfleksibel dalam menanggapi rencanaIndonesia untuk mengurangi emisi danberadaptasi terhadap dampakperubahan iklim. Selain itu, prosespendirian ICCTF juga menunjukkankompleksitas koordinasi lembaga-lembaga nasional sekitar masalahkebijakan terkait perubahan iklim yangmelibatkan beberapa pelaku di semuatingkat pemerintahan, serta beragampemangku kepentingan non-pemerintah. Proses pendirian ICCTF initelah memakan waktu yang tidak sedikitterutama untuk mengembangkanstrategi yang melibatkan aktor-aktornasional kunci dalam kebijakan iklimpada tingkat implementasi praktis, danmembangun ICCTF sebagai simpulkunci bagi upaya internasional untukmendukung aksi iklim dalam negeri.

Dengan tata kelola yang baru,komunikasi akademik masih harusmenelaah apakah ICCTF yangsepenuhnya operasional akan dapatmemainkan peran yang lebih sentraldalam mendukung pelaksanaan upaya

Page 142: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

P E M B A N D I N G

141Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif

perubahan respon iklim nasional dimasa depan. Fokus ICCTF sampai titikini menekakan pada manajemen fidusia.Perlu adanya hasil kontribusi nyata dankonkret untuk proses ini. Analisis kamimenegaskan bahwa menciptakan dana

iklim nasional yang efektif merupakanproses yang kompleks yangmemerlukan komitmen dari pemangkukepentingan nasional maupunkontributor keuangan dan penyandangdana internasional.•

Page 143: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

B I O D A T A

142 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

Biodata Penulis

Ade Ayu Dewayani, adalah penelitikehutanan dari Institut Pertanian Bogor,dengan spesialisasi pada bidang biotekno-logi kehutanan dan sekarang bekerja diCIFOR.

Agung Wahyu Nugroho, Menempuhpendidikan S1 di Fakultas KehutananUniversitas Gajah Mada, Yogyakarta.Pendidikan S2 ditempuh di universitas yangsama dengan bidang keahlian silvikultur.Kini beliau bekerja sebagai peneliti di BalaiPenelitian dan Pengembangan LingkunganHidup dan Kehutanan Palembang.

Aidy Halimanjaya, peneliti dan konsul-tan di bidang keuangan mitigasi perubahaniklim. Beliau menempuh pendidikan S1 diUniversitas Parahyangan bidang BusinessAdministration, dan Universitas Padja-jaran bidang Ekonomi pada periode tahun2002-2007. Pendidikan S2 ditempuh be-liau di Erasmus University, Rotterdam,Belanda, di periode 2009-2010. Terakhirjenjang S3 ditempuh beliau di Universityof East Anglia, Norwich, Inggris. Selain itubeliau juga menulis sejumlah publikasiartikel, dan berlibat di berbagai organisasiinternasional.

Aiora Zabala, Seorang ilmuwan sosialdan lingkungan yang sedang melakukananalisis dan evaluasi terhadap kebijakanlingkungan yang berkelanjutan. Beliaumeraih gelar S1 di bidang ilmu lingkungandi Autonomous University of Barcelona,kemudian S2 di bidang kebijakan ling-kungan di University of Oxford, dan S3 dibidang kebijakan lingkungan di Universityof Cambridge

Bejo Slamet, dilahirkan di Temanggung9 Juli 1975. Penulis adalah dosen diFakultas Kehutanan USU dengan bidangkeahlian Hidrologi Hutan dan PengelolaanDaerah Aliran Sungai sejak tahun 1999.Pendidikan terakhir adalah Doktor dariProgram Studi Ilmu Pengelolaan HutanSekolah Pascasarjana IPB. Aktifitas saat iniselain mengajar di Fakultas KehutananUSU, penulis juga terlibat dalam ForumDAS di Sumatera Utara. Penulis jugaterlibat dalam penulisan buku tentangpengelolaan DAS terpadu khususnya DASyang ada di wilayah Sumatera Utara.

Benny Okarda, adalah peneliti CIFORdengan spesialisasi penginderaan jarakjauh dan GIS.

Page 144: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

B I O D A T A

143Biodata Penulis

Erlinda Ekaputri, yang dilahirkan diBandung 16 Juli 1978 menyelesaikan pen-didikan S1 di Institut Pertanian Bogor.Beliau memiliki pengalaman panjang dibidang penelitian terkait tema-tema kese-jahteraan sosial, baik kuantitatif maupunkualitatif. Selain itu pengalamannya jugamencakup perancangan dan pengimple-mentasian kerangka dan evaluasi hasilprogram, termasuk sebagai spesialis dibidang pemantauan dan evaluasi program.Kini beliau bekerja sebagai KoordinatorPemantauan, Evaluasi, dan PembelajaranUSAID LESTARI, sebuah proyek yangdidanai pemerintah Amerika Serikat yangberkonsentrasi pada isu Perubahan Iklimdan Kehutanan.

Herry Purnomo, dilahirkan di Lumajangpada tanggal 21 April 1964 menyelesaikanjenjang pendidikan S1 di FMIPA InstitutPertanian Bogor (IPB), bidang Agrome-teorologi, jenjang S2 di bidang Ilmu Kom-puter melalui sandwich program Univer-sitas Indonesia dan University of Mary-land, dan jenjang S3 di bidang Ilmu Kehu-tanan di IPB. Puluhan karya tulisnya terkaitbidang kehutanan tersebar di berbagaijurnal internasional, dan banyak melaku-kan riset di bidang tersebut. Kini beliaubekerja di Center for International Fores-try Research, dan sebagai guru besar IPB.

Jacob Phelps, Seorang peneliti ling-kungan dalam Tata Kelola Kehutanan,namun memiliki perhatian luas pada isupenegakan hukum kehutanan, perda-gangan kayu/satwa illegal, dan desainpembiayaan layanan ekosistem. Studi S1nya diselesaikan di Michigan State Univer-sity, S2 bidang Geografi di University of

Cambridge, dan S3 di bidang biologi me-lalui University of Singapore.

Made Ali adalah wakil koordinator Ja-ringan Kerja Penyelamat Hutan Riau(Jikalahari), yang belakangan melakukanadvokasi terhadap kebakaran hutan gam-but di wilayah Riau.

Matthew Leggett, Regional TechnicalAdvisor untuk Wildlife ConservationSociety. Matthew Leggett memiliki lebihdari 10 tahun pengalaman bekerja di kon-servasi hutan tropis, terutama di AmerikaLatin dan Asia Pasifik, terkait desain daninisiatif implementasi untuk pengurangandeforestasi. Selain itu beliau juga berfokuspada pengembangan inisiatif konservasitingkat masyarakat, dan intervensi kebi-jakan tingkat tinggi, pembiayaan proyek-proyek jasa ekosistem/REDD+, pembia-yaan inovatif, dan pengurangan dampakdari produksi komoditas sektor swasta dihutan tropis. Matt meraih gelar MSc dariUniversitas Edinburgh, dan juga saat iniasosiasi peneliti tamu di University ofOxford.

Muhamad Muslich, Koordinator Pro-gram Konservasi di Sumatra untukWildlife Conservation Society. Muslichmenyelesaikan Master di Biologi Konser-vasi di Universitas Indonesia. Sejak lulusdari jurusan Konservasi Sumberdaya Hu-tan, Fakultas Kehutanan, Institut PertanianBogor pada tahun 2004 beliau memulaikariernya dengan bekerja profesionaluntuk Lembaga Alam Tropika Indonesia,LSM Nasional, yang bekerja sama denganmasyarakat hutan untuk meningkatkankapasitas mereka melalui pengembangan

Page 145: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI

B I O D A T A

144 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

pendekatan manajemen kolaboratif. Sejaktahun 2006, beliau bekerja sama denganAsosiasi BirdLife Indonesia. Selama ham-pir tujuh tahun, beliau telah melakukanberbagai hal untuk konservasi. Tahun2013, oleh karena baktinya dalam bidangkonservasi beliau mendapat pengarhataanPemimpin Muda Lingkungan dari BothEnds, Belanda.

Rachel Carmenta, Seorang ilmuwanlingkungan interdisipliner terkait dimensidimensi pemerintah dan kelembagaandalam konservasi hutan tropis. Di CIFORbeliau memimpin riset yang berfokus padadimensi dimensi sosiopolitik dan kelem-bagaan pada kebakaran lahan gambut diRiau. Rachel menyelesaikan studi S1 nyadalam bidang lingkungan di UniversitasEast Anglia, Inggris dan meraih doktoral-nya di bidang ilmu lingkungan interdisi-pliner dari Lancaster EnvironmentalCenter.

Ramadhani Achdiawan, adalah ahlistatistik untuk bidang kehutanan dan matapencaharian dan sedang melanjutkan studiS2 di Royal Roads University, Victoria,British Columbia, Canada.

Samsul Komar, petugas WWF untukprogram Riau.

Susan Page, adalah seorang ilmuwangeografi fisik yang bekerja di Universitas

Leicester, Inggris. Bidang penelitiannyamencakup ekologi lahan gambut dan rawagambut, karbon gambut, lahan gambuttropis, degradasi hutan, kebakaran lahangambut, dan restorasi gambut khususnyadi wilayah Asia Tenggara. Tetapi beliaujuga memberikan supervisi untuk se-jumlah penelitian lahan gambut di wilayahAmerika Latin, Afrika Tengah, danInggris.

William Marthy, bekerja di bidangkonservasi keanekaragaman hayati diIndonesia sejak tahun 1998 dan bekerjadi beberapa LSM yang bergerak dalambidang konservasi di Indonesia sebelumakhirnya bergabung Indonesia Masya-rakat Program Wildlife Conservationpada pertengahan 2014. Saat ini beliaumengelola kegiatan konservasi WCSIP diSumatera yang meliputi pemantauan ke-anekaragaman hayati, Response UnitTaman yang berkaitan dengan Human-Wildlife Konflik (harimau, gajah, orang-utan, dan satwa liar lainnya), dan mening-katkan pengelolaan kawasan lindungmelalui sistem patroli yang efektif danefisien (SMART). Program SumateraWCSIP dilaksanakan di tiga taman nasio-nal yang penting di Sumatera-Indonesia:Leuser, Bukit Barisan Selatan, dan TamanNasional Way Kambas. William menyele-saikan PhD-nya di komunitas burung dihutan dataran rendah sekunder Sumateradi Goettingen University- Jerman.

Page 146: MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI