melihat allah dalam pandangan...

103
MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANG MU‘TAZILĪ: AL-QĀḌĪ ‘ABD AL-JABBĀR Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh: Ita Nurul Faizah 11140331000074 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/ 2018 M

Upload: dinhdieu

Post on 04-Apr-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANG

MU‘TAZILĪ: AL-QĀḌĪ ‘ABD AL-JABBĀR

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam

sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:

Ita Nurul Faizah

11140331000074

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/ 2018 M

Page 2: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan
Page 3: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan
Page 4: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan
Page 5: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

iv

MOTTO

Memulai dengan penuh keyakinan

Menjalankan dengan penuh keikhlasan

Menyelesaikan dengan penuh kebahagiaan

Page 6: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

v

ABSTRAK

Skripsi ini membahas mengenai teologi Mu‘tazilah, lebih khusus

mengenai tokoh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, seorang mantan Asy‘ariyyah yang

menjadi tokoh Mu‘tazilah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan

menjelaskan konsep melihat Allah menurut Mu‘tazilah.

Dalam pembahasan ini dijelaskan pemikiran Mu‘tazilah tentang melihat

Allah, khususnya dalam pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār. Baginya, melihat

Allah adalah suatu hal yang mustahil. Tuhan bersifat immateri, dan tidak akan

menjadi jasmani, oleh karena itu rasio mengatakan bahwa kapan pun dan dimana

pun Tuhan tidak akan dapat dilihat dengan mata fisik. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār

menolak sekaligus mengkritik Asy‘ariyyah mengenai kemungkinan melihat Allah

dengan dasar yang rasional.

Sumber primer dalam penelitian ini adalah salah satu karya Al-Qāḍī ‘Abd

al-Jabbār, yaitu Syarḥ Uṣūl al-Khamsah yang telah diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia oleh penulis.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis,

yaitu mendeskripsikan berbagai persoalan yang terkait dengan melihat Allah,

kemudian menganalisisnya dengan pendekatan teologis. Adapun teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan kajian pustaka

(library research).

Kata Kunci: Mu‘tazilah, Melihat Allah, Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Asy‘ariyyah.

Page 7: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

vi

KATA PENGANTAR

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.”

Segala Puji serta rasa syukur yang sangat mendalam penulis panjatkan

kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Menguasai segala sesuatu, di bumi

maupun di langit. Yang Maha Memudahkan segala urusan hamba-Nya. Karena

atas kuasa-Nya lah penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi

Muḥammad SAW. yang telah memberikan tauladan bagi umat manusia dengan

perilaku qur’ānī-nya. Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk

dapat memberikan syafaat kepada umatnya.

Pada dasarnya, penulisan skripsi ini merupakan suatu respon atas

perdebatan yang terjadi pada bidang Teologi. Aspek yang pertama kali

dipersoalkan adalah tentang Tuhan. Hal ini berkaitan dengan upaya manusia

dalam memahami Tuhannya, meliputi sifat-sifat dan zat-Nya. Tuhan adalah

immateri, bersifat rohani, dan tidak akan menjadi jasmani, karena itu logika

mengatakan bahwa Dia tidak dapat dilihat dengan mata fisik di dunia. Hampir

semua aliran sepakat dengan pernyataan ini. Akan tetapi, yang menjadi persoalan

adalah apakah Tuhan dapat dilihat dengan mata fisik di akhirat nanti? Kaum

tradisionalis berpendapat bahwa melihat Tuhan dengan mata fisik di akhirat

adalah suatu hal yang mungkin, adapun bagi kaum rasionalis melihat Tuhan

dengan mata fisik saat di akhirat merupakan suatu hal yang mustahil. Oleh karena

itu, penulis menulis skripsi yang berjudul “Melihat Allah dalam Pandangan

Seorang Mu‘tazilī: Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār”. Semoga skripsi ini dapat dijadikan

Page 8: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

vii

sebagai bahan pembelajaran dalam memahami sekaligus mendekatkan diri kepada

Tuhan.

Penulisan skripsi ini tentu melibatkan berbagai pihak yang turut membantu

dari awal proses penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena itu,

penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada:

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan

Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Lebih khusus, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Dra. Tien

Rohmatin, MA. selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dan Dr. Abdul

Hakim Wahid, MA. selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas

nasehat dan bimbingannya, akhirnya penulis tetap konsisten menyelesaikan judul

skripsi ini.

Dr. Arrazy Hasyim, MA. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi terbaik bagi

penulis. Terima kasih telah meluangkan banyak waktunya untuk membimbing,

menasehati, sekaligus memberikan gagasan-gagasannya kepada penulis. Sehingga

penulisan skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik.

Seluruh Dosen dan Guru Besar Fakultas Ushuluddin yang telah

memberikan begitu banyak pengetahuan sekaligus bimbingannya selama empat

tahun ini, khususnya kepada Prof. Zainun Kamaluddin Fakih, selaku Dosen

Pembimbing Akademik penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

para pimpinan dan segenap civitas akademik Fakultas Ushuluddin, segenap Staf

Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Utama Universitas Islam

Page 9: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

viii

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut membantu penulis dalam

menemukan buku-buku referensi untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Keluarga penulis, khususnya kedua orang tua penulis yang telah

membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih sayang, perjuangan, dan

pengorbanan yang begitu luar biasa. Teruntuk Ayahanda tercinta, Almarhum

Abdul Khalim yang telah menanamkan semangat berjuang, yang tak sempat

mendampingi penulis sampai akhir penulisan skripsi ini, doa terbaik selalu penulis

panjatkan agar beliau senantiasa dilapangkan kuburnya sekaligus dijauhkan dari

azab kubur. Semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya, āmīn.

Teruntuk Ibunda tercinta, Jami’atun, yang selalu memberikan doa terbaiknya di

setiap langkah penulis. Semoga Allah SWT. senantiasa memberikan umur

panjang, kesehatan, serta kekuatan untuk beliau dalam mendampingi dan

mendidik keempat puterinya. Kedua kakak penulis, Haniatul Mahfudhoh, S.Pd.I.

beserta suaminya Sumalik, S.Pd, dan Khumiyyatul Hikmah, S.Ag. Juga kepada

adik tersayang penulis, Roikhatus Sholikhah. Juga untuk kakak penulis, Choirur

Rozaq. Terima kasih untuk doa, semangat, dan dukungannya kepada penulis

selama proses penyelesaian skripsi ini.

Keluarga penulis di Jakarta, Bapak Roni dan Ibu Zahrotun Nikmah, Mas

Huda, dan Dek Lutfi. Terima kasih karena telah berkenan menjadi keluarga

sekaligus rumah kedua bagi penulis. Semoga Allāh SWT. senantiasa membalas

kebaikan demi kebaikan tersebut dengan balasan yang berlipat ganda.

Keluarga penulis di SIMAHARAJA (Silaturrahmi Mahasiswa Jepara di

Jakarta), para senior, kakak, adik, dan teman-teman yang tidak bisa penulis

Page 10: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

ix

sebutkan satu per satu. Terima kasih untuk kebersamaan, pengalaman, serta

dukungannya selama kurang lebih empat tahun ini kepada penulis.

Sahabat terbaik sekaligus teman seperjuangan penulis, Mashlihatuz

Zuhroh, Tutik Maesaroh, S.E. Siti Aminatun Nadlifah, S.Pd. dan Maya Maulina.

Terima kasih untuk kebersamaan dan segala hal positif yang telah diberikan

kepada penulis selama ini.

Teman-teman terbaik penulis di Aqidah dan Filsafat Islam Angkatan

2014-B, khususnya kepada Hidayanti Fadillah Tunnisa, Rostianti Soraya,

Fatmawatun, Ahmad Hujaeri, Renaldy Akbar, Dede Afrizal. Terimakasih karena

telah menjadi yang selalu ada bagi penulis selama kurang lebih empat tahun ini.

Keluarga penulis di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Al-Amaliyah,

Cirendeu. Ibu-ibu Majlis Taklim beserta adik-adik TPA Al-Amaliyah yang tidak

bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih untuk doa, ilmu, motivasi,

kebersamaan, serta kebaikan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

Teman-teman seperjuangan penulis di Himpunan Mahasiswa Jurusan

Aqidah dan Filsafat Islam (HMJ-AFI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

(PMII) Cabang Ciputat, Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ushuluddin

(DEMA-FU), Forum Lingkar Pena Cabang Ciputat (FLP-C), dan teman-teman

kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) BRINGIN082 Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017, yang tidak bisa penulis sebutkan

satu per satu. Terima kasih untuk semua ilmu dan pengalaman yang pernah

diberikan kepada penulis.

Selanjutnya, Penulis juga menyampaikan terima kasih banyak kepada

semua pihak yang telah membantu penulis dalam menerjemahkan kitab Syarḥ

Page 11: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

x

Uṣūl al-Khamsah untuk penulisan skripsi ini, khususnya kepada Hilman

Abdurrahman, Ahmad Iqbal Fahmi, dan Hilmi Firdaus.

Semoga Allah SWT. senantiasa membalas kebaikan demi kebaikan semua

pihak yang telah penulis sebutkan di atas, āmīn. Akhirnya, penulis berharap

skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca secara umum dan penulis khususnya.

Penulis juga berharap skripsi ini dapat memperkaya khazanah keilmuan

khususnya dalam Teologi. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih

jauh dari kata sempurna karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman

penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat

penulis harapkan.

Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT. selalu membimbing

langkah kita menuju jalan yang benar dan diridhai-Nya. Āmīn yā Rabb al-

‘ālamīn.

Jakarta, 18 September 2018

Penulis

Ita Nurul Faizah

NIM. 11140331000074

Page 12: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

xi

Pedoman Transliterasi

Arab Indonesia Arab Indonesia

ṭ ط a ا

ẓ ظ b ب

‘ ع t ت

gh غ ts ث

f ف j ج

q ق ḥ ح

k ك kh خ

l ل d د

m م dz ذ

n ن r ر

w و z ز

h ه s س

’ ء sy ش

y ي ṣ ص

h ة ḍ ض

Vokal Pendek

Arab Latin

a أ

i إ

u ا

Page 13: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

xii

Vokal Panjang

Arab Indonesia

ā آ

ī إِى

ū او

Diftong

Arab Indonesia

au أو

ai أي

Kata Sandang al- (ال)

Arab Indonesia

-al ال

-wa al وال

Page 14: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

xiii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................... iii

MOTTO ................................................................................................................... iv

ABSTRAK ............................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi

PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................................. xi

DAFTAR ISI ........................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................ 7

C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 7

E. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 8

F. Metode Penelitian..................................................................................... 11

G. Sistematika Penulisan .............................................................................. 13

BAB II SEJARAH SINGKAT ALIRAN MU‘TAZILAH

A. Lahirnya Aliran Mu‘tazilah...................................................................... 15

B. Tokoh-tokoh Aliran Mu‘tazilah ............................................................... 24

C. Lima Landasan Pokok Aliran Mu‘tazilah ................................................ 33

BAB III BIOGRAFI AL-QĀḌĪ ‘ABD AL-JABBĀR

A. Riwayat Hidup ......................................................................................... 46

B. Kedudukannya dalam Sejarah Aliran Mu‘tazilah .................................... 49

C. Karya-karya .............................................................................................. 54

BAB IV MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANG MU‘TAZILĪ:

AL-QĀḌĪ ‘ABD AL-JABBĀR

A. Definisi Melihat Allah.............................................................................. 59

B. Melihat Allah dalam Pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār ....................... 62

C. Kritik Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terhadap Asy‘ariyyah .............................. 69

Page 15: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

xiv

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................. 83

B. Saran ......................................................................................................... 84

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 85

Page 16: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah suatu sistem agama sekaligus sistem politik, karena persoalan

yang timbul dalam bidang politik pada akhirnya berimplikasi kepada persoalan

teologi.1 Nuansa politis dalam Islam mulai terlihat tidak lama setelah Rasulullah

Saw. wafat, yaitu pada tanggal 12 Rabī’ al Awwal tahun 11 H./ 632 M. Kaum

Anshar dan kaum Muhajirin berkumpul di suatu Balairung yang bernama Saqīfah

Banū Sa’īdah.2 Para sahabat berselisih pendapat perihal sosok yang pantas

menggantikan Nabi Muhammad Saw. sebagai khalifah (pengganti Nabi).

Dikarenakan Nabi Muhammad Saw. tidak pernah menunjuk sosok penggantinya.

Pada masa khalifah empat, perbedaan interpretasi atas teks ilāhiyyah yang

berkenaan dengan tiga aspek pokok Islam yang terdiri dari syarī’ah, aqīdah, dan

siyāsah mulai terjadi. Persoalan siyāsah (politik) menimbulkan multitafsir yang

berkembang dan bergeser ke persoalan teologi. Hal yang dipersoalkan seperti

persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, persoalan orang yang

berbuat dosa besar, masihkah ia bisa dipandang orang mukmin ataukah ia sudah

menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu?3 Sebagaimana pertanyaan pertama

yang diajukan dalam Islam adalah: Apakah seorang Muslim tetap menjadi Muslim

1 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan,

(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,1986), h. 5 2 Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,

1995), h. 29 3 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan, h. 8

Page 17: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

2

jika melakukan dosa besar? Atau, apakah iman sudah cukup atau harus dinyatakan

juga melalui perbuatan?4

Persoalan-persoalan teologi ini lah yang kemudian melahirkan aliran-

aliran teologi penting dalam Islam seperti Khawārij, Murji’ah, Mu‘tazilah,

Asy‘ariyyah, Mātūridīyah dan lain-lain.5 Kondisi tersebut menunjukkan bahwa

meskipun Nabi Muhammad Saw. telah mewariskan al-Qur’an dan al-Hadis

sebagai pegangan utama umat Islam, keragaman sikap atas teks-teks keagamaan

tetap tidak bisa dihindarkan.6

Firqah-firqah tersebut disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam soal-

soal akidah (teologi) atau masalah-masalah ushūliyyah. Akidah merupakan ajaran

Islam aspek teoritis yang harus dipahami dan wajib dipercayai atau diimani.

Secara terminologis, akidah berarti ikatan tali yang kuat. Dalam konteks agama,

kata akidah biasa diartikan “kepercayaan”.7 Ilmu yang membicarakan tentang

akidah disebut ilmu tauhid.

Ḥusain Affandī al-Jasr mengatakan ilmu tauhid adalah ilmu yang

membahas hal-hal yang menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang

meyakinkan. Sedangkan Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ilmu tauhid adalah

ilmu yang berisi alasan-alasan dari akidah keimanan dengan dalil-dalil aqliah dan

berisi pula alasan-alasan bantahan terhadap orang-orang yang menyelewengkan

akidah salaf dan ahl al-Sunnah.8

4 Fazlur Rahman, Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban, (Bandung: Mizan Pustaka,

2016), h. 122 5 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan, h.

11 6 Hilmy Muhammadiyah, Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, (Jakarta: Elsas,

2004), h. 8 7 Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h.39.

8 H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. RakaGrafindo Persada, cet. Ketiga,

1996), h. 3.

Page 18: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

3

Ilmu tauhid disebut juga ilmu kalam yaitu ilmu yang berbicara tentang

prinsip-prinsip agama (ushūl al-dīn) yang berkenaan dengan sistem kepercayaan

agama. Dalam Islam pilar keimanan dibagi menjadi enam, yaitu iman kepada

Allah, malaikat, kitab-kitab Allah, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan takdir. Tujuan

ilmu kalam adalah untuk mempertahankan keyakinan agama dengan argumen-

argumen yang bisa diterima akal manusia.9

Persoalan tentang Tuhan merupakan obyek kajian yang terpenting dalam

ilmu kalam. Dalam perkembangan teologi Islam, upaya untuk memahami Allah

bisa dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok tradisionalis dan

rasionalis. Pertama, adalah kaum tradisionalis (ahl al-ḥadīts). Dasar pertama

tradisionalisme pada masa Islam Abad Pertengahan adalah berpegang teguh

kepada ajaran-ajaran al-Qur’an, al-Hadis, dan ijma’. Al-Qur’an dan al-Hadis tidak

hanya menjadi sumber kebenaran, tetapi juga menjadi kriteria untuk menguji

segala apa yang telah dicapai oleh manusia melalui akalnya.10

Kelompok ini lebih

dekat dengan kaum Asy‘ariyyah.

Kedua, adalah kaum rasionalis yang sangat dekat dengan kaum

Mu‘tazilah. Dasar rasionalisme adalah kedudukan akal yang berada di atas wahyu.

Allah dan alam dapat diketahui dengan akal yang diciptakan oleh Allah dalam diri

manusia. Mereka berpendapat bahwa wujud Allah, keesaan-Nya, dan sifat-sifat-

Nya dapat diketahui dengan akal.11

9 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006),

h. 130. 10

Binyamin Abrahamov, Ilmu Kalam: Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam Teologi

Islam, terj. Nuruddin Hidayat (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 19. 11

Binyamin Abrahamov, Ilmu Kalam: Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam Teologi

Islam, h. 74.

Page 19: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

4

Inti perdebatan antara Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah adalah hubungan antara

sifat-sifat dan dzāt Allah. Berkaitan dengan kewajiban untuk mengetahui adanya

Tuhan, Mu‘tazilah berpendapat bahwa kewajiban itu berasal dari akal, sementara

Asy‘ariyyah berpendapat bahwa kewajiban itu berasal dari wahyu.

Tuhan adalah immateri, bersifat rohani, dan tidak akan menjadi jasmani,

maka logika mengatakan bahwa Dia tidak dapat dilihat dengan mata kepala di

dunia. Hampir semua aliran seperti Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah sepakat dengan

pendapat ini, tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah Tuhan dapat dilihat

dengan mata kepala di akhirat.

Asy‘ariyyah dalam membahas persoalan melihat Tuhan menggunakan

istilah Ru‘yah Allāh. Dimana Ru’yah berasal dari kata رؤية –رأي –يرى –رأى yang

berarti melihat, meyakinkan, mengira, menyangka.12

Kata Ru’yah bisa juga

diartikan dengan ”Annazar bil aini au bil-qalbi” (melihat dengan mata atau

dengan hati). Sehingga Ru‘yah Allāh berarti melihat Allah dengan penglihatan

mata atau penglihatan hati. Adapun Mu‘tazilah menggunakan kata idrāk.

Melihat Allah secara langsung di akhirat bagi kaum Mu‘tazilah yang

cenderung bercorak rasionalis merupakan suatu hal yang mustahil. Mayoritas

kaum Mu‘tazilah berpandangan bahwa Allah tidak dapat dilihat dengan mata (al-

Abshār) di akhirat, tetapi hanya akan diketahui melalui hati, sebab sebagaimana

pandangan Abū al-Huzail al-ru’yat bagi mereka berarti al-‘ilm.13

Pendapat ini

juga sejalan dengan Muḥammad ‘Abduh yang berpendapat bahwa Tuhan tidak

dapat dilihat dengan mata kepala. Dalam Ḥāsyiah ia jelaskan bahwa Tuhan akan

12

Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq (Arab – Jawa – Indonesia): Disertasi Istilah-istilah

Feqih, (Bangsri: Amtsilati, 2004), h. 205. 13

Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi Persamaan dan Perbedaannya

dengan Al-Asy’ari, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 73.

Page 20: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

5

dilihat kelak bukan dengan mata kepala, tetapi dengan suatu daya yang ada pada

manusia ataupun daya baru yang akan diciptakan dalam dirinya dan mungkin

dalam hatinya.14

Mereka yang berpegang pada akal berpendapat bahwa karena Tuhan

adalah immateri, tidak mengambil tempat dan tidak bercahaya, maka Tuhan tidak

dapat dilihat dengan mata kepala.15

Mereka berargumen bahwa suatu penglihatan

membutuhkan adanya cahaya atau sinar. Jarak antara Tuhan dan manusia juga

menentukan dapat atau tidaknya Ia dilihat. Tuhan berada jauh di belakang hijāb

(tirai) yang amat tebal, sedangkan manusia berada di depan tirai. Cahaya tidak

akan dapat menembus tirai yang amat tebal dan jauh, maka pasti manusia tidak

dapat melihat sesuatu yang berada di balik tirai yang amat tebal dan jauh. Atau

Tuhan berada amat dekat dengan manusia. Manusia tetap tidak akan dapat melihat

sesuatu yang berada amat dekat darinya.16

Adapun Asy‘ariyyah berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat di dunia,

tetapi dapat dilihat di akhirat. Sebagaimana pendapat al-Juwaini, ia mengatakan

bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, tetapi tidak sekarang sewaktu

manusia masih berada di dunia. Penglihatan itu akan menjadi kenyataan nanti di

akhirat, sewaktu manusia sudah berada di surga. Untuk melihat Tuhan di akhirat,

tidak memerlukan adanya cahaya. Meskipun misalnya tidak ada cahaya sama

14

Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Tradisional Mu’tazilah, (Jakarta:

Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), cetakan pertama, 1987), h. 81. 15

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan, h.

139. 16

Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2005), h. 105.

Page 21: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

6

sekali atau Tuhan berada amat jauh ataupun amat dekat di pelupuk mata,

semuanya tidak menjadi halangan bagi manusia untuk melihat Tuhannya.17

Dalam hal melihat Tuhan, Abū al-Hasan al-Asy’arī mengajukan argumen

bahwa yang tak dapat dilihat hanyalah sesuatu yang tak mempunyai wujud. Yang

mempunyai wujūd mesti dapat dilihat. Tuhan ber wujūd. Oleh karena itu Ia dapat

dilihat.18

Melihat Tuhan bukan merupakan hal yang mustahil, sebab melihat Allah

adalah kenikmatan yang paling utama dan hanya ada di akhirat. Pendapat ini

sesuai dengan al-Qur’an, al-Sunnah, dan ijma’ yang menunjukkan atas penetapan

orang mukmin melihat Rabb mereka di akhirat dengan mata mereka.19

Sebab

melihat Allah merupakan kenikmatan yang paling dicintai bagi penghuni Surga.

Pendapat tersebut menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār tidak dapat diterima

karena menyatakan bahwa melihat Allah itu merupakan kenikmatan, berarti

Tuhan termasuk kenikmatan dan kelezatan. Anggapan seperti itu menurut Al-Qāḍī

‘Abd al-Jabbār membuat orang keluar dari agama.20

Berdasarkan konsep al-Tanzīh (penyucian) kaum Mu‘tazilah menolak

pendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat, sedangkan kaum Asy‘ariyyah

berdasarkan konsep kemutlakan Tuhan dan kekuasaan-Nya, mengatakan bahwa

Tuhan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih

lanjut mengenai Melihat Allah dalam Pandangan Seorang Mu‘tazilī: Al-Qāḍī ‘Abd

Al-Jabbār.

17

Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 106. 18

Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 115. 19

Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais, Pokok-pokok Akidah Salaf: Yang

Diikrarkan Imam al-Asy’ari, Terj. Abdurrahman Nuryaman, (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 75 20

Machasin, al-Qadi Abd al-Jabbar: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 147.

Page 22: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

7

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini perlu dilakukan untuk

menghindari pembahasan yang terlalu luas. Yang dimaksud melihat Allah di sini

adalah melihat di akhirat bukan di dunia.

Dalam penelitian ini penulis membahas tentang melihat Allah dalam

perspektif Mu‘tazilah, lebih khusus dalam pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār.

Oleh karena itu, pokok perumusan masalah yang dijadikan obyek pembahasan

dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana melihat Allah dalam pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār?

2. Bagaimana kritik Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terhadap Asy‘ariyyah?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan

konsep melihat Allah dalam pandangan Mu‘tazilah. Sedangkan secara khusus

sebagaimana yang telah ditetapkan dalam rumusan masalah, maka penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan konsep melihat Allah dalam

Pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memperkenalkan pandangan

Mu‘tazilah kepada khalayak umum serta menambah khazanah kepustakaan atau

literatur di Indonesia khususnya dalam bidang teologi tentang konsep melihat

Allah. Penulis berharap dengan adanya penelitian ini dapat turut melengkapi

penelitian-penelitian sebelumnya.

Page 23: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

8

E. Tinjauan Pustaka

Dari hasil pengamatan penulis di Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, sudah ada beberapa penelitian sebelumnya yang menulis tentang

pemikiran Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah. Tetapi belum ada satu pun yang menulis

tentang Melihat Allah dalam Pandangan Seorang Mu‘tazilī: Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār.

Penelitian-penelitian tersebut antara lain:

Skripsi Nina Nurmala yang berjudul Perbuatan Baik dan Buruk menurut

Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah.21

Penelitian ini fokus pada penentuan perbuatan baik

dan buruk yang tidak hanya fokus pada pengertiannya saja, tetapi apakah benar-

benar menafikan wahyu dalam teologi Mu‘tazilah misalnya, atau menafikan akal

dalam teologi Asy‘ariyyah, serta bagaimana cara menentukan apakah perbuatan

tersebut baik ataukah buruk menurut kedua aliran tersebut.

Skripsi Saefullah yang berjudul Konsep Tuhan dalam Perspektif

Mu’tazilah.22

Penelitian ini fokus pada pembahasan tentang Tuhan dalam

pandangan Mu‘tazilah.

Skripsi Kusni yang berjudul Pemikiran Mu’tazilah tentang Etika.23

Penelitian ini fokus pada etika Mu‘tazilah tentang baik dan buruk, iman dan amal

saleh, kemampuan dan tanggung jawab manusia, serta amr ma’rūf nahī munkar.

Skripsi Khumaidi yang berjudul Peranan Konsep Doktrin Ushulul

Khamsah Mu’tazilah terhadap Peradaban Islam.24

Penelitian ini membahas lima

dasar ajaran Mu‘tazilah serta peranannya terhadap peradaban Islam.

21

Nina Nurmala, Perbuatan Baik dan Buruk menurut Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah,

(Skripsi Program Studi Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). 22

Saefullah, Konsep Tuhan dalam Perspektif Mu’tazilah, (Skripsi Program Studi Aqidah

Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002). 23

Kusni, Pemikiran Mu’tazilah tentang Etika, (Skripsi Program Studi Aqidah Filsafat

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005).

Page 24: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

9

Skripsi Ade Ismatillah yang berjudul Pandangan Ignaz Goldziher tentang

Relasi antara Tuhan dan Manusia dalam Teologi Mu’tazilah.25

Tesis Machasin yang berjudul Al Qadi 'Abd Al Jabar dan Ayat-ayat

Mutasabihat dalam Al-Qur’an: Pembahasan tentang Kitab Mutasabih Al-

Qur’an.26

Kesimpulan dari pembahasan dalam tulisan ini dapat dirumuskan

sebagai berikut: Dalam memecahkan persoalan ayat-ayat yang dianggapnya

mutasabihat, Abd al-Jabbar mendasarkan pada pengertian logis dari bentuk

lahiriah ayat itu dan penakwilan yang logis. Kelogisan dalam kedua hal itu diukur

dengan hukum-hukum kebahasaan dan logika. Kalau dikaitkan dengan kenyataan

bahwa hanya ada dua jenis dalil dalam ilmu kalam – dalil naqli dan dalil akal,

maka kedua hukum itu dapat disebut dengan dalil akal, walaupun orang dapat

mengatakan bahwa hanya logikalah yang disebut dengan itu.

Tesis Ermita Zakiyah yang berjudul Aspek Paham Mu’tazilah dalam

Tafsir Al-Kashshāf tentang Ayat-Ayat Teologi (Studi Pemikiran Al-

Zamakhshary).27

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa prinsip teologi

Mu’tazilah tentang al-Ushūl al-Khamsah tidak semua bisa tercover dalam tafsir

al-Kashshāf yang mempunyai naz’ah Mu’tazili, hal ini dikarenakan pendekatan

teologi Mu’tazilah berasal dari aviliasi filsafat barat walaupun terkadang al-

Zamakhsharī juga menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dalam menafsirinya.

24

Khumaidi, Peranan Konsep Doktrin Ushulul Khamsah Mu’tazilah terhadap Peradaban

Islam, (Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002). 25

Ade Ismatillah, Pandangan Ignaz Goldziher tentang Relasi antara Tuhan dan Manusia

dalam Teologi Mu’tazilah, (Program Studi Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2007). 26

Machasin, Al Qadi 'Abd Al Jabar dan Ayat-ayat Mutasabihat dalam Al-Qur'an:

Pembahasan tentang Kitab Mutasabih Al-Qur'an, (Tesis Program Studi Ilmu Agama Islam

Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). 27

Ermita Zakiyah, Aspek Paham Mu’tazilah dalam Tafsir Al-Kashshāf tentang Ayat-Ayat

Teologi (Studi Pemikiran Al-Zamakhshary), (Tesis Program Studi Tafsir Hadits Program

Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel)

Page 25: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

10

Penelitian Ikmal Fahad, Program Studi Magister Pemikiran Islam Program

Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta yang berjudul Pemikiran

Abū al-Hasan al-Asy’ari tentang Asma’ dan Sifat Allah. Yang menjadi fokus

dalam penelitian ini adalah pemikiran Abū al-Hasan al-Asy’arī dan Asy‘ariyyah

tentang Asmā’ dan Sifāt Allah serta apa yang melatarbelakangi dan membedakan

keduanya. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan adanya ketidaksesuaian dalam

penisbatan Asy‘ariyyah kepada Abū al-Hasan al-Asy’arī.

Skripsi Sutiknyo, Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas

Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul Al-Kasb dalam

Pandangan Abū Hasan al-Asy’ari. Pemikiran ini memfokuskan pada pemikiran

Asy’ari, yang dengan latar belakang Mu‘tazilah pendukung kebebasan kehendak

manusia, dan berganti dengan pemahaman bahwa manusia seluruhnya ditentukan

oleh nasb yang ditentukan oleh Allah.

Skripsi Wawan ‘Aunillah Kamil, Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Kejuruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Tauhid Perspektif al-

Qadhi Abd al-Jabbar. Fokus dalam penelitian ini adalah membahas salah satu

ajaran dasar Mu‘tazilah, yaitu Tauhid dari sudut pandang Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār.

Skripsi Fitrotul Azizah, Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat

Islam Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Konsep

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dan Abū Ḥasan al-Asy‘ari terhadap Sifat Tasybīh.

Penelitian ini menjelaskan konsep tasybīh dalam pandangan kedua tokoh tersebut.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār hendak

memurnikan ke-Esa-an Tuhan dengan menjauhkan segala persepsi bahwa Dia

memiliki sifat, yaitu Tuhan disamakan dengan manusia seperti mempunyai

Page 26: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

11

tempat, anggota tubuh, dan sifat lainnya. Adapun Abū Ḥasan al-Asy‘ari

mengatakan bahwa Tuhan memiliki sifat sebagaimana jelas termaktub dalam al-

Qur’an.28

F. Metode Penelitian

1. Sumber Data Penelitian

Penelitian ini merupakan Library Research (Studi Kepustakaan) yang

menggunakan sumber data primer dan sekunder. Adapun sumber data primer

dalam penelitian ini adalah buku yang ditulis oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār yaitu

kitab Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah. Adapun data sekunder yang akan digunakan

dalam penelitian ini yaitu buku-buku lain yang berkaitan dengan tema

pembahasan pada penelitian ini.

Penulisan skripsi ini pun mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya

Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2007 serta buku Pedoman Penulisan Skripsi yang

diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara

untuk penulisan transliterasi mengacu pada jurnal Ilmu Ushuluddin yang

diterbitkan oleh HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan), yaitu

penelitian yang didasarkan pada sumber-sumber yang tertulis. Bahan-bahan

pustaka tersebut diperlukan sebagai sumber ide dalam menggali suatu pemikiran

atau gagasan baru, sebagai bahan dasar untuk melakukan deduksi dari

28

Fitrotul Azizah, Konsep Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dan Abū Ḥasan al-Asy‘ari terhadap

Sifat Tasybīh, (Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2018).

Page 27: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

12

pengetahuan yang sudah ada, sehingga kerangka baru dapat dikembangkan.

Penelitian ini juga bersifat deskriptis-analisis yaitu dengan mendeskripsikan

secara terperinci terkait dengan masalah yang hendak diteliti kemudian

menganalisis setiap masalah untuk memperoleh pemahaman secara komprehensif.

Penelitian deskriptif dilakukan untuk tujuan mendeskripsikan apa adanya suatu

variabel, gejala, atau keadaan, bukan untuk menguji hipotesis.29

3. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini termasuk penelitiaan library research (Studi

Kepustakaan), maka teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah

dengan mencari literatur atau referensi yang ada di perpustakaan, baik

perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas

Ushuluddin, perpustakaan umum, maupun perpustakaan pribadi yang

menyediakan referensi yang berkaitan dengan tema yang diangkat pada penelitian

ini. Semua buku yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini dikumpulkan

dan diklarifikasi berdasarkan relevansi terhadap pembahasan penelitian ini.

Selanjutnya dibaca dan diteliti, dan dimasukkan pada pembahasan penelitian yang

diangkat.

4. Teknik Analisis Data

Setelah membaca dengan teliti semua buku yang berkaitan dengan tema

pembahasan, penulis memberikan tanda khusus pada bagian-bagian yang penting

untuk mempermudah dalam memahami data yang akan dipaparkan. Kemudian

penulis mulai menganalisis data yang telah terkumpul dengan menggunakan

29

Andi Prastowo, Memahami Metode-metode Penelitian, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,

cet. Pertama, 2011), h. 204.

Page 28: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

13

analisis kualitatif, yaitu sebuah prosedur penilaian yang menghasilkan data berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati.

Karena penelitian ini merupakan studi kepustakaan maka metode yang

digunakan adalah metode analisis dan sintesis. Metode analisis yaitu jalan yang

dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dengan mengadakan perincian

terhadap obyek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu obyek tertentu

dengan jalan memilah-milah antara pengertian satu dengan pengertian-pengertian

yang lainnya.30

Sedangkan metode sintesis merupakan metode yang dipakai untuk

mendapatkan ilmu pengetahuan dengan cara mengumpulkan atau

menggabungkan.

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar pembahasan dalam skripsi ini dibagi menjadi lima bab,

dengan uraian sebagai berikut:

Bab pertama: Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah,

batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Secara garis besar bab ini

bertujuan sebagai landasan teoritis metodologis dalam penelitian.

Bab kedua: Sejarah Singkat Aliran Mu‘tazilah. Bab ini berisi pembahasan

mengenai sejarah lahirnya aliran Mu‘tazilah, biografi tokoh-tokoh aliran

Mu‘tazilah dan lima landasan pokok aliran Mu‘tazilah.

Bab ketiga: Biografi Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār. Bab ini menjelaskan tentang

riwayat hidup Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Kedudukan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dalam

Sejarah Aliran Mu‘tazilah, serta karya-karyanya.

30 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1997), hlm. 59

Page 29: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

14

Bab keempat: Melihat Allah dalam Pandangan Seorang Mu‘tazilī: Al-Qāḍī

‘Abd Al-Jabbār. Merupakan bab inti yang berisi penjelasan tentang definisi

melihat Allah, konsep melihat Allah dalam pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār,

serta kritik Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terhadap Asy‘ariyyah yang dijelaskan di

dalam kitabnya, yaitu Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah.

Bab kelima: Kesimpulan dan Saran. Merupakan bab terakhir yang berisi

kesimpulan dari skripsi, serta saran untuk penulisan skripsi yang lebih baik di

masa yang akan datang.

Page 30: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

15

BAB II

SEJARAH SINGKAT ALIRAN MU‘TAZILAH

A. Lahirnya Aliran Mu‘tazilah

Kata Mu‘tazilī ( معتزلي ) dengan men-ḍammah-kan mim, men-sukun-kan

‘ain muhmalah, men-fatḥaḥ-kan ta’ dengan titik dua di atasnya, meng-kasrah-kan

za dan lam di akhir, merupakan penyandaran terhadap kata i‘tazala1ل يعتز –عتزل ا )

عتزالا ) yang berarti menyendiri, mengasingkan diri.2 Kata Mu‘tazilah di sini

maksudnya adalah golongan Mu‘tazilah (معتزلة : فرقة).

Term ini dapat dijumpai di dalam al-Qur’an:

“Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru

selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, Mudah-mudahan aku

tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.”3

Kata i‘tazala ( عتزالا ) pada ayat di atas diartikan dengan menjauhkan diri

atau mengasingkan diri.4

Kalimat, “Dan aku akan menjauhkan diri darimu” merupakan ucapan

Nabi Ibrāhīm kepada orang tuanya dan seluruh masyarakat penyembah berhala.

Nabi Ibrāhīm meninggalkan kaumnya dengan menegaskan bahwa beliau juga

akan meninggalkan “Apa yang kamu seru selain Allah”.5

1 Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2001), cet.1, h.

77. 2 Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq (Arab – Jawa – Indonesia): Disertasi Istilah-istilah

Feqih, (Bangsri: Amtsilati, 2004), h. 407. 3 Q.S. Maryam: 48.

4 Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq, h. 407.

5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, Vol. 8,

(Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002), h. 201.

Page 31: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

16

Di dalam surat yang lain, kata i‘tazala ( عتزالا ) juga diartikan dengan

dikeluarkan darinya.

“Dan jika kamu tidak beriman kepadaku Maka biarkanlah aku (memimpin

Bani Israil)".6

Dijelaskan dalam Tafsir Yūsuf ‘Alī, ayat tersebut diartikan dengan “Jika

kamu tidak beriman kepadaku, tinggalkanlah aku.” Sehingga dapat dipahami,

“Kalau kamu tidak percaya kepadaku, setidak-tidaknya pergilah menurut caramu

sendiri; jangan menambah-nambah dosa dengan berusaha menindas aku dan

wahyu kebenaran yang aku bawa. Biarkanlah aku.”7

Kata i‘tazala ( اعتزال ) artinya adalah pisah8 atau pemisahan (االنفصال) dan

dikeluarkan (التنحي).

Istilah Mu‘tazilah diberikan kepada kelompok yang muncul di awal abad

kedua dalam Islam yang bermanhaj atas dasar akal secara ekstrim dalam

membahas persoalan aqidah Islamiyah. Oleh karena itu, mereka disebut kaum

rasionalis Islam karena dalam pembahasan, mereka banyak menggunakan akal.9

Mereka adalah sahabat-sahabat Waṣīl bin ‘Aṭā’ al-Ghazāl (w. 131 H) yang

memisahkan diri dari majlis al-Ḥasan al-Baṣrī (w. 110 H). Kaum Mu‘tazilah

adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih

mendalam dan bersifat filosofis daripada kaum Khawārij dan Murji’ah.

6 Q.S. Ad-Dukhān: 21.

7 Abdullah Yūsuf ‘Alī, Tafsir Yūsuf ‘Alī: Tafsir Qur’ān 30 Juz: Teks, Terjemahan dan

Tafsir, Terj. ‘Alī Audah, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. 3, 2009), h. 1294. 8 Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq, h. 485.

9 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan,

(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,1986), h. 40.

Page 32: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

17

Aliran I‘tizal atau Mu‘tazilah awalnya lahir di Basrah (Irak).10

Kota

Basrah saat itu merupakan pusat ilmu dan peradaban Islam, sekaligus tempat

peraduan beragam kebudayaan asing dan tempat pertemuan dari berbagai agama.

Saat itu pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah di bawah kepemimpinan

Hisyām bin ‘Abd al Mālik (101-125 H.). Pada masa Bani Umayyah, aliran

Mu‘tazilah pada awalnya tidak mendapat dukungan maupun pertentangan dari

penguasa Bani Umayyah. Tetapi belakangan aliran Mu‘tazilah mendapat

dukungan dari Yazīd bin Wālid, salah seorang pemimpin Bani Umayyah yang

menganut ajaran Mu‘tazilah.

Aliran Mu‘tazilah mulai berkembang di Ibukota Baghdad, sebagai pusat

kedudukan Kekhalifahan, di bawah kepemimpinan Bisyr al Mu‘tamir (wafat 210

H./ 826 M.). Aliran Mu‘tazilah baru menghebohkan pemikiran keislamannya pada

masa Bani ‘Abbasiyyah dengan masa yang cukup panjang.11

Khalifahah al-

Ma’mūn bin Hārun al-Rāsyid (198-218 H./ 813-833 M.) mengangkat aliran

Mu‘tazilah sebagai madzhab resmi Negara untuk menggantikan aliran Sunni.12

Khalifahah al-Ma’mūn bin Hārūn al-Rāsyid bahkan memaksa para ahl al-Fiqh

dan ahl al-Ḥadīts untuk mengikuti ajarannya. Sebagian ulama mengikuti

ajarannya hanya sebagai taqiyyah (tindakan penyelamatan diri) karena takut,

bukan karena meyakininya.

Para ulama berbeda pendapat tentang awal kemunculan aliran Mu‘tazilah.

Sebagian berpendapat bahwa aliran Mu‘tazilah muncul sebagai respon dari

persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawārij dan Murji’ah.

10

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam

(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1982), h. 15. 11

Muḥammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos,

1996), h. 149. 12

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.16.

Page 33: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

18

Pendapat ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Waṣīl bin ‘Aṭā’ (80 H./

699 M. - 131 H./ 748 M.) serta temannya ‘Amr ibn Ubaid (w. 144 H.) dan al-

Ḥasan al-Baṣrī (w. 110 H./ 728 M.) di Basrah. Peristiwa tersebut bermula dalam

lingkungan halaqah13

seorang ulama terbesar dan sufi terkenal di Basrah, yaitu al-

Imām al-Ḥasan al-Baṣrī. Diantara muridnya yang terbesar dan tercakap ialah

Waṣīl bin ‘Aṭā’. Belakangan sang murid memisahkan diri (I‘tizal) dari halaqah

gurunya dan membangun halaqah sendiri.14

Pada suatu hari, seorang peserta pengajian bertanya kepada al-Ḥasan al-

Baṣrī mengenai pendapatnya tentang status mukmin yang berdosa besar.

Sebagaimana yang diketahui kaum Khawārij memandang mereka kafir.

Sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Di saat al-Ḥasan al-

Baṣrī masih berpikir untuk menjawab, secara spontan salah seorang peserta

pengajian yang bernama Waṣīl bin ‘Aṭā’ memberikan jawaban. Ia berpendapat

bahwa orang mukmin yang berbuat dosa besar maka statusnya tidak lagi mukmin

sempurna namun juga tidak kafir sempurna. Dia berada di antara dua posisi yang

disebutnya al-Manzilah bayn al-Manzilataīn (tempat di antara dua tempat).

Sesudah mengemukakan pendapat tersebut, Waṣīl bin ‘Aṭā’ langsung

meninggalkan forum pengajian al-Ḥasan al-Baṣrī dan diikuti oleh temannya yang

bernama ‘Amr ibn Ubaid. Mereka langsung menuju salah satu tempat lain di

dalam masjid tersebut. Melihat tindakan Waṣīl dan temannya itu, al-Ḥasan al-

Baṣrī pun berkata: I‘tazala ‘Anna Waṣīl (Waṣīl telah memisahkan diri dari kita).

Sejak saat itu, Waṣīl dan teman-temannya disebut kaum Mu‘tazilah. Peristiwa

13

Halaqah adalah suatu sistem belajar dalam dunia Islam sepanjang Zaman Tengah

dengan duduk berkelompok mengelilingi sang Guru-Besar. Lihat Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran

I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.15. 14

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.16.

Page 34: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

19

yang diceritakan di atas dinilai oleh banyak ahli sejarah sebagai faktor utama

penyebab lahirnya aliran Mu‘tazilah.15

Dalam versi yang lain, al-Baghdadi menjelaskan bahwa Waṣīl bin ‘Aṭā’

dan temannya ‘Amr ibn Ubaid diusir oleh al-Ḥasan al-Baṣrī dari majelisnya

karena mereka berbeda pendapat tentang masalah qadar dan orang mukmin yang

berdosa besar. Keduanya kemudian menjauhkan diri dari al-Ḥasan al-Baṣrī. Oleh

karena itu, mereka disebut sebagai kaum Mu‘tazilah sebab mereka memisahkan

diri dari pendapat umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang berdosa

besar.16

Tāsyī Kubrá Zādah menceritakan bahwa Qatādah Ibn Da’amah Al-Sadūsī

(w. 117/ 118 H.) pada suatu hari masuk ke Masjid Basrah dan menuju ke majelis

‘Amr ibn Ubaid. Ia mengira bahwa majelis tersebut adalah majelis al-Ḥasan al-

Baṣrī. Setelah mengetahui bahwa majelis tersebut bukan majelis al-Ḥasan al-

Baṣrī, ia bergegas berdiri meninggalkan tempat tersebut dan berkata: “Ini kaum

Mu‘tazilah.” Sejak saat itu, kata Tāsyī Kubrá Zādah, mereka disebut kaum

Mu‘tazilah.17

Adapun al-Mas’ūdī memberikan keterangan lain, bahwa mereka disebut

kaum Mu‘tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan

mukmin dan bukan pula kafir. Mereka mengambil posisi di antara kedua posisi itu

(al-Manzilah bayn al-Manzilataīn). Menurut versi ini, mereka disebut kaum

15

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Ilmu

Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, h. 88. 16

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 40. 17

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 90.

Page 35: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

20

Mu‘tazilah karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (tidak

masuk) golongan mukmin dan kafir.18

Ahmad Amin (1886-1954), seorang ahli pikir Mesir yang terkenal dengan

teori barunya memaparkan bahwa nama Mu‘tazilah sudah terdapat sebelum

adanya peristiwa Waṣīl dengan al-Ḥasan al-Baṣrī dan sebelum timbulnya

pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Sebutan Mu‘tazilah ketika itu

merupakan julukan bagi kelompok yang tidak mau terlibat dalam pertikaian-

pertikaian politik yang terjadi di zaman ‘Usman Ibn ‘Affan dan ‘Alī Ibn Abī

Ṭālib. Mereka menjauhkan diri dari kelompok yang saling bertikai, dan hanya

menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata. Secara khusus sebutan Mu‘tazilah

ditujukan kepada mereka yang tidak mau ikut peperangan, baik perang Jamal

antara pasukan ‘Alī Ibn Abī Ṭālib dengan pasukan Āisyah, maupun perang Siffīn

antara pasukan ‘Alī Ibn Abī Ṭālib melawan pasukan Mu’āwiyah. Kedua

peperangan ini terjadi karena persoalan politik.19

Al-Tabarī umpamanya menyebut

bahwa sewaktu Qais Ibn Sa’d sampai di Mesir sebagai Gubernur dari ‘Alī Ibn Abī

Ṭālib, ia menjumpai pertikaian di sana, satu golongan turut padanya dan satu

golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (i‘tazalat ilā Kharbita). Dalam

suratnya kepada khalīfah, Qais menamai mereka “mu’tazilīn”, al-Tabarī

menyebut nama “Mu‘tazilīn”, sedangkan Abū al-Fidā’ memakai kata “al-

Mu‘tazilah” sendiri.20

Kata i‘tazala dan Mu‘tazilah telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum

peristiwa Waṣīl dengan Ḥasan al-Baṣrī, yaitu oleh golongan yang tidak mau turut

campur dalam urusan politik yang terjadi di zaman mereka. Apabila Mu‘tazilah

18

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 41. 19

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 89. 20

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 42.

Page 36: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

21

pertama muncul berkaitan dengan masalah politik, maka Mu‘tazilah yang kedua,

yang muncul satu abad kemudian, lebih disebabkan karena persoalan agama

semata. Mu‘tazilah kedua menambahkan persoalan-persoalan teologi dan filsafat

ke dalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka.21

Menurut al-Nasysyār, golongan

Mu‘tazilah kedua timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu

pengetahuan dan ibadat, dan bukan dari golongan Mu‘tazilah yang dikatakan

merupakan aliran politik.22

Mu‘tazilah inilah yang kemudian menjadi salah satu

aliran Kalam dalam pemikiran Islam.23

C.A. Nallino, seorang orientalis Italia berpendapat bahwa golongan

Mu‘tazilah kedua mempunyai hubungan yang erat dengan golongan Mu‘tazilah

pertama. Golongan Mu‘tazilah kedua merupakan lanjutan dari golongan

Mu‘tazilah pertama.24

Ahmad Amin selanjutnya juga berpendapat bahwa sebab-sebab dinamakan

Mu‘tazilah yaitu:

1. Dinamakan Mu‘tazilah karena Waṣīl bin ‘Aṭā’ dan ‘Amr ibn Ubaid

memisahkan diri dari majelis taklim yang dipimpin oleh Ḥasan al-Baṣrī di

masjid Basrah. Waṣīl bin ‘Aṭā’ memisahkan diri secraa fisik (I‘tazala) dari

pengajian Ḥasan al-Baṣrī. Orang yang memisahkan diri dinamakan

Mu‘tazilah.

2. Dinamakan Mu‘tazilah karena pendapat mereka menjauhi pendapat lain yang

sedang berkembang waktu itu. Waṣīl bin ‘Aṭā’ berpendapat bahwa pelaku

dosa besar tidak lagi mukmin dan juga tidak kafir (al-Manzilah bayn al-

21

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 42 22

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 43. 23

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 89. 24

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 42

Page 37: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

22

Manzilataīn). Pendapat tersebut telah menjauhi atau memisahkan dengan

pendapat golongan lainnya. Jumhur ulama mengatakan tetap mukmin,

Khawārij mengatakan kafir, adapun Ḥasan al-Baṣrī berpendapat bahwa orang

tersebut tetap mukmin namun fasik.

3. Dinamakan Mu‘tazilah karena pelaku dosa besar berada antara mukmin dan

kafir, sama halnya memisahkan diri atau menjauhkan diri dari orang mukmin

yang sempurna.

Ketiga pendapat tersebut berdasarkan pada peristiwa Waṣīl bin ‘Aṭā’ dan

Ḥasan al-Baṣrī dalam pengajian di masjid Basrah. Peristiwa tersebut menurut

Ahmad Amin murni bertema agama, bukan politik.25

Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai siapakah yang memberi

nama Mu‘tazilah. Apakah nama tersebut diberikan oleh pihak luar atau oleh kaum

Mu‘tazilah sendiri. mereka yang berpendapat bahwa nama Mu‘tazilah diberikan

oleh pihak luar menggunakan peristiwa keluarnya Waṣīl dari pengajian al-Ḥasan

al-Baṣrī sebagai dasar atas pendapatnya. Di mana dari al-Ḥasan al-Baṣrī muncul

perkataan “i‘tazala ‘anna” (Waṣīl menjauhkan diri dari kita).26

Perkataan tersebut

menunjukkan bahwa nama Mu‘tazilah muncul atau diberikan oleh pihak lain,

bukan dari Waṣīl sendiri.

Kaum Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah menamakan mereka dengan kaum

Mu’attilah yaitu golongan yang menafikan sifat Tuhan. Mereka berpendapat

bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang berdiri sendiri pada zat. Selain itu,

ada pula yang menjuluki dengan istilah kaum al-Qadariyah, karena mereka

menganut paham free will dan free act, yaitu paham yang meyakini bahwa

25

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 92. 26

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 40.

Page 38: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

23

manusia memiliki kebebasan berkehendak dan kemampuan berbuat. Selain itu ada

pula yang menamakan dengan al-Wa’īdiyah, karena mereka mengajarkan paham

bahwa ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang tidak taat pasti berlaku.27

Kaum Mu‘tazilah sendiri selalu menyebut golongan mereka sebagai Ahl

al-‘Adl wa Ahl al-Tauḥīd, yaitu golongan yang mempertahankan keadilan dan

Keesaan Murni Tuhan. Sebutan ini lebih mereka sukai karena bersumber dari dua

ajaran pokok yaitu al-‘Adl dan al-Tauḥīd.28

Adapun jika melihat kembali ke ucapan-ucapan kaum Mu‘tazilah, dapat

dijumpai keterangan-keterangan yang menunjukkan bahwa mereka sendirilah

yang memberikan nama itu kepada golongan mereka. Al-Qāḍī Al-Qāḍī ‘Abd al-

Jabbār misalnya, yang mengatakan bahwa kata-kata i‘tazala yang terdapat di

dalam al-Qur’an mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar. Dengan

demikian, kata Mu‘tazilah mengandung arti pujian.29

Pada awalnya kaum Mu‘tazilah tidak suka dengan sebutan itu. Ahmad

Hanafi mengatakan bahwa nama Mu‘tazilah tidak mereka senangi karena bisa

disalahtafsirkan oleh lawan-lawan mereka untuk dijadikan bahan ejekan. Tapi

karena sebutan itu telah melekat pada mereka, mereka pun menerima sebutan

tersebut. Mereka mulai membuat alasan-alasan kebaikan atas sebutan itu untuk

menutup kelemahan yang dirasakan oleh mereka.30

Hal tersebut dilakukan dengan

maksud untuk menghalang-halangi lawannya yang menyalahgunakan sebutan

tersebut.

27

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 44. 28

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 90. 29

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 44. 30

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 91.

Page 39: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

24

Mengacu pada awal munculnya nama Mu‘tazilah, maka dapat disimpulkan

bahwa pemberian nama tersebut berasal dari pihak luar, yaitu berasal dari ucapan

Ḥasan al-Baṣrī, bukan dari kaum Mu‘tazilah sendiri.

B. Tokoh-tokoh Aliran Mu‘tazilah

Dari segi geografisnya, aliran Mu‘tazilah dibagi menjadi dua. Yaitu aliran

Mu‘tazilah yang berpusat di kota Basrah sebagai kota kelahirannya, dan aliran

Mu‘tazilah yang berpusat di kota Baghdad yang merupakan ibukota

pemerintahan. Oleh karena itu, berbicara mengenai tokoh-tokoh yang berpengaruh

terhadap aliran Mu‘tazilah harus melihat keduanya. Aliran Mu‘tazilah yang

berpusat di Basrah lebih dahulu muncul dibanding dengan aliran Mu‘tazilah yang

berpusat di Baghdad. Aliran Mu‘tazilah Basrah dianggap sebagai yang pertama-

tama mendirikan aliran Mu‘tazilah, adapun aliran Mu‘tazilah Baghdad lebih

banyak mengambil persoalan yang telah dibahas oleh aliran Basrah kemudian

diperluas pembahasannya dengan memanfaatkan pendapat para filsuf.31

Aliran

Mu‘tazilah Basrah lebih banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan,

sedangkan aliran Mu‘tazilah Baghdad lebih menekankan segi pelaksanaan ajaran

Mu‘tazilah dan banyak terpengaruh oleh kekuasaan Khalifahah-Khalifahah.

Tokoh-tokoh besar yang termasuk ke dalam aliran Basrah adalah: Waṣīl

bin ‘Aṭā’ (w. 131 H./ 748 M.), ‘Amr ibn Ubaid (w. 143 H./ 762 M.), Abu Abū al-

Hudzail al-‘Allāf (w. 235 H./ 850 M.), Mu’ammar ibn ‘Abbād (w. 286 H./ 900

M.), Abu Ishāq al-Naẓẓām (w. 220 H./ 835 M.), Abū Utsman al-Jāhidz (w. 252

31

Machasin, al-Qadi Abd al-Jabbar: Mutasyabih al-Qur’ān: Dalih Rasionalitas al-

Qur’ān, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 14.

Page 40: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

25

H./ 867 M.), Abū ‘Alī al-Jubbā’ī (w. 299 H./ 912 M.), dan muridnya Abū Ḥasan

al-Asy’arī (w. 322 H./ 935 M.)32

Adapun tokoh-tokoh besar pada aliran Baghdad adalah: Bisyr ibn

Mu’tamir (w. 210 H./ 826 M.), Abū Musá al-Mirdār, Aḥmad ibn Abī Dāwud,

Tsumāmat ibn al-Asyras, Ja’far ibn Ḥarb, Abū Ja’far al-Iskāfi, Isá ibn al-Haitsam,

dan Abū Hussain al-Khayyāṭ. Kemudian pada masa berikutnya, tokoh besar

lainnya yang tak kalah penting adalah Al-Qāḍī Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dan al-

Zamakhsyarī.

Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai tokoh-tokoh aliran

Mu‘tazilah:

1. Waṣīl bin ‘Aṭā’ (80-131 H./ 699-748 M.)

Nama lengkapnya adalah Abū Ḥudzaifah Waṣīl bin ‘Aṭā’ al-Ghazzāl al-

Atsagh.33

Ia adalah seorang mawla (bukan-Arab) berketurunan darah Iran yang

lahir di Madinah al Munawwarah dan menetap di Basrah. Di sana lah ia

mendalami agama Islam sejak kecil. Ia lahir pada masa pemerintahan Khalifahah

Abdul Malik ibn Marwan (65-86 H./ 684-705 M.) dari Daulah Umayyah dan

wafat pada masa pemerintahan Khalifahah Marwan II (127-132 H./ 744-750

M.).34

Ia dikenal sebagai pembangun aliran Mu‘tazilah yang mempelopori

perkembangan alam pikiran dalam dunia Islam. Karenanya, ia diberi gelar

kehormatan dengan sebutan Syaikh al-Mu‘tazilah wa Qadīmuhā, yang berarti

32

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.16. 33

Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: al-Husna Zikra, 1995), cet. VI, h.

69. 34

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.

191.

Page 41: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

26

pimpinan sekaligus orang tertua dalam Mu‘tazilah.35

Ia adalah salah seorang

murid al-Ḥasan al-Baṣrī. Karyanya yang masih bisa dijumpai sampai sekarang

adalah Rasāil (Himpunan Risalat) di dalam permasalahan Ilāhiyāt dan al-

Siyāsiyāt (Politika) yang menjadi tumpuan pembahasan ahli-ahli ilmu pada

zamannya.36

Para pengikut Waṣīl bin ‘Aṭā’ disebut al-Waṣīliyyah. Orang yang menjadi

pengikut Waṣīl bin ‘Aṭā’ di antaranya adalah ‘Amru ibn Ubaid. Ajaran al-

Waṣīliyyah terdiri dari empat pokok, yaitu:37

Pertama, menolak adanya sifat-sifat Allah seperti Ilmu, Qudrāt, Irādāt,

dan Hayāt. Menurutnya sifat itu tidak ada pada Allah seperti keadaan Allah Maha

Mengetahui dan Maha Kuasa, sifat tersebut sebenarnya adalah zat-Nya, keduanya

adalah istilah bagi zat yang qadim. Kedua, tentang takdir.Allah adalah hakim yang

adil, karenanya tidak mungkin dapat disandarkan kepada-Nya keburukan dan

kezaliman, tidak mungkin Allah menghendaki dari manusia sesuatu yang

bertentangan dengan apa yang diperintah-Nya. Mustahil Allah menyiksa manusia

terhadap perbuatan yang bukan dari manusia sendiri. Karena manusia itulah yang

melakukan perbuatannya sendiri, perbuatan baik maupun buruk.38

Ketiga, tentang manzilataīn (berada antara dua tempat). Waṣīl berpendapat

bahwa orang yang melakukan dosa besar masih dianggap beriman dan juga bukan

kafir. Keempat, tentang orang yang terlibat dalam peperangan Jamal dan Ṣiffīn.

Menurutnya salah satu kelompok jelas berbuat fasik demikian juga berlaku bagi

35

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 92. 36

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.

191. 37

Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat

Manusia, Terj. Asywadie Syukur, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), h. 40. 38

Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 40.

Page 42: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

27

orang yang saling mengutuk (li’an), namun tidak diketahui dengan persis

kelompok yang mana. Karena itu minimal hukuman yang dikenakan kepada

kedua kelompok itu adalah persaksiannya tidak diterima seperti tidak diterima

persaksian dua orang yang saling mengutuk.39

2. ‘Amru ibn Ubaid (90-140 H./ 699-757 M.)

‘Amru ibn Ubaid lahir pada masa pemerintahan Khalifahah Walid I (86-96

H./ 705-715 M.) dari Daulah Umayyah dan wafat pada masa pemerintahan

Khalifahah al-Manṣūr (136-158 H./ 754-775 M.) dari Daulah ‘Abbāsiyyah. Ia

adalah sahabat Waṣīl Ibn ‘Aṭā’. Bersama Waṣīl ia ikut ber-i’tizal (memisahkan

diri) dari halaqah gurunya, yaitu al-Ḥasan al-Baṣrī.40

Ia juga turut mendalami dan

mengembangkan lima prinsip ajaran Mu‘tazilah. Sehingga bisa dikatakan, bahwa

‘Amr dan Waṣīl adalah pembangun aliran Mu‘tazilah.

3. Abū al-Hudzail al-‘Allāf (135-236 H./ 753-850 M.)

Nama lengkapnya adalah Abū al-Hudzail al-‘Allāf atau Abū Hudzail

Muḥammad ibn Hudzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al-‘Allāf.41

Dalam sumber

lain ditulis nama lengkapnya adalah Abū Hudzail Hamdan ibn Hudzail al-‘Allāf.42

Lebih populer dengan sebutan al-‘Allāf karena rumahnya terletak di kampung

penjual makanan ternak (‘alāf: makanan binatang). Ia adalah seorang tokoh

Mu‘tazilah Basrah paling terkemuka pada zamannya. Ia lahir pada masa

pemerintahan Khalifah al-Saffah (132-136 H./ 750-754 M.).43

Ia masih berusia

39

Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 42. 40

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.

201. 41

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 92. 42

Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 42. 43

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.

212.

Page 43: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

28

lima tahun pada saat ‘Amr ibn Ubaid wafat. Ia pernah belajar kepada ‘Utsmān ibn

Khālid ibn Ṭawīl, salah seorang murid Waṣīl Ibn ‘Aṭā’.

Para pengikutnya disebut al-Hudzailiyyah. Pendukung Abū al-Hudzail di

antaranya adalah Abū Ya’kūb al-Syaham (267 H.) dan al-Adamī. Usia Abū al-

Hudzail diperkirakan mencapai seratus tahun, ia meninggal pada awal

pemerintahan khalifah al-Mutawakkil.44

4. Ibrāhīm al-Naẓẓām (185-221 H./ 801-836 M.)

Nama lengkapnya adalah Ibrāhīm bin Sayyār bin Hānī al-Naẓẓām. Lahir

dan dewasa di Bandar Basrah, oleh karena itu sering disebut al-Nazzhām al-Basri.

Kemudian wafat dalam usianya yang masih sedemikian baya, 36 tahun, pada

tahun 221 H./ 836 M. Ia dikenal sebagai tokoh Mu‘tazilah terkemuka yang

memiliki ketajaman ingatan, tinjauan yang luas, kebebasan berpikir, lancar bicara,

dan banyak mendalami filsafat. Sejarah hidupnya dikuasai oleh dua aspek, yaitu

aspek sastra dan aspek theologi.45

Ia adalah salah seorang murid dari Abū al-

Hudzail al-‘Allāf.

Al-Nazzhām banyak mempelajari buku-buku filsafat karena itu

pendapatnya mirip dengan pendapat Mu‘tazilah, hanya pada beberapa masalah

terdapat perbedaan. Para pengikut al-Nazzhām disebut al-Naẓẓāmiyyah. Di antara

para pengikutnya yaitu Muḥammad bin Syuhaib Abū Syamar, Musá bin ‘Utsmān,

al-Faḍāl al-Hadāī , dan Aḥmad bin Habiṭ.46

44

Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 45. 45

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.

225. 46

Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 50.

Page 44: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

29

5. Abū ‘Alī Muḥammad ibn ‘Alī al-Jubbā’ī (135-267 H.)

Nama lengkapnya adalah Abū ‘Alī Muḥammad bin ‘Abd al Wahhāb al-

Jubbā’i. Tokoh aliran Mu‘tazilah Basrah yang lahir di Jubbā, sebuah kota kecil di

Provinsi Chuzestan, Iran pada tahun 135 H dan wafat pada tahun 267 H. Ia akrab

dipanggil al-Jubbā’i yang dinisbahkan kepada tempat kelahirannya, yaitu Jubbā.

Ia adalah ayah tiri sekaligus guru dari Imam Abū Ḥasan al-‘Asy’arī, tokoh utama

aliran Ahl as-Sunnah wal Jamā’ah.47

Para pengikutnya disebut al-Jubbā’īyyah.

6. Abū Ḥasan al-‘Asy’arī (260-324 H./ 873-935 M.)

Nama lengkapnya adalah Abū al-Ḥasan ‘Alī Ibn Isma’īl al-‘Asy’arī. Lahir

di Basrah pada tahun 260 H./ 873 M. dan wafat di Baghdad pada tahun 324 H./

935 M. Ia adalah murid dari Abū ‘Alī Muḥammad ibn ‘Alī al-Jubbā’ī. Awalnya ia

adalah seorang tokoh terkemuka dalam aliran Mu‘tazilah. Namun setelah menjadi

pengikut Mu‘tazilah selama 40 tahun, ia keluar dari golongan Mu‘tazilah dan

membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan nama ‘Asy’ariyyah.48

7. Bisyr ibn al-Mu’tamir (w. 226 H./ 840 M.)

Bisyr ibn al-Mu’tamir adalah tokoh pendiri aliran Mu‘tazilah di Baghdad.

Dia termasuk tokoh madzhab Mu‘tazilah yang menganut ajaran tawwalud (gerak

tak langsung) dan sangat fanatik.49

Ia termasuk generasi keempat yaitu termasuk

angkatan Ibrāhīm al-Nazzhām (w. 221 H./836 M.). Saat di Basrah, ia belajar

kepada Abū al-Hudzail al-‘Allāf (w. 236 H./850 M.). Kemudian ia berangkat ke

Baghdad dan menetap di sana. Ia adalah seseorang pembicara yang tangkas,

sehingga ia dikenal sebagai pencipta sebuah cabang ilmu baru, yaitu Ilmu

Balaghah (seni bahasa) yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: ilmu Ma’anī

47

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 92. 48

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 65. 49

Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 55.

Page 45: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

30

(permasalahan pengertian), Ilmu al-Bayān (permasalahan pengungkapan), dan

Ilmu al-Badī (permasalahan bunyi).

Tiga muridnya yang terbesar dan memiliki peranan penting bagi

perkembangan aliran Mu‘tazilah di Baghdad adalah Abū Musā al-Mudār,

Tsumāmat ibn Asyras, dan Aḥmad ibn Abī Daūd.50

Pengikut Bisyr ibn al-

Mu’tamir disebut al-Bisyariyyah.

8. Abū al-Ḥusaīn al-Khayyāṭ (w. 229 H./ 844 M.)

Nama lengkapnya adalah Abū al-Ḥusaīn bin Abī ‘Amr al-Khaiyyāt.

Seorang tokoh Mu‘tazilah aliran Baghdad yang mengarang buku al-Intişār, yaitu

sebuah buku yang berisi pembelaan untuk aliran Mu‘tazilah terhadap serangan ibn

al-Rawandī.51

Abū al-Ḥusaīn bin Abī ‘Amr al-Khaiyyāt adalah guru dari Abū

Qasim bin Muḥammad al-Ka’bi, yang juga merupakan tokoh Mu‘tazilah aliran

Baghdad.52

Salah satu pemikirannya adalah tentang masalah ma’dum (sesuatu yang

tidak dapat dijangkau melalui indera). Al-Khaiyyāt berpendapat bahwa yang

dimaksud dengan materi adalah sesuatu yang dapat diketahui atau diberitahukan

adanya, sedangkan jauhar (atom) adalah bagian dari materi yang terdapat pada

sesuatu yang ma’dum (tidak ada). Dan sifat (araḍ) adalah sifat yang ada pada

sesuatu. Hal ini berlaku pada semua genus dan spesies. Katanya hitam adalah

hitam pada yang tidak ada, tidak ada sifat yang maujud atau sifat yang melekat

pada maujud yang baru. Dia menamakan yang ma’dum dengan istilah tsubūt

50

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.

267. 51

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 93. 52

Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 64.

Page 46: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

31

(tetap) yang dikemukakannya untuk menolak adanya sifat Allah seperti yang

dikemukakan oleh rekan-rekannya.53

9. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār

Dalam sumber-sumber Mu‘tazilah dikenal dengan nama ‘Imād al-Dīn Abū

al-Ḥasan Qāḍī al-Quḍāh al-Jabbār bin Aḥmad bin Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār al-

Hamażānī.54

Di kalangan Mu‘tazilah jika nama al-Qādhī disebut maka yang

dimaksud tidak lain adalah Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār. Diperkirakan al-Qādhī lahir

pada sekitar tahun 320 H./ 932 M. di Asabadad, sebuah kota kecil yang termasuk

daerah pegunungan Hamażānī di wilayah Khurasān, dan wafat di Ray, Teheran.

Meskipun ia hidup pada masa kemunduran Mu‘tazilah, ia tetap berusaha

mengembangkan dan menghidupkan paham-paham Mu‘tazilah melalui karya-

karyanya. Di antara karyanya yang cukup populer dan berpengaruh adalah Syarḥ

Uṣūl al-Khamsah dan Al-Mughnī fī Aḥwali Wa al-Tauḥīd, yang berisi tentang

pokok-pokok ajaran aliran Mu‘tazilah dan terdiri dari beberapa jilid.

10. Al-Zamakhsyarī (467-538 H./ 1075-1144 M.)

Nama lengkapnya adalah Jār Allāh Abū al-Qasīm Muḥammad ibn

‘Umar.55

Di dalam sumber yang lain disebutkan bahwa nama lengkapnya adalah

Abū al-Qasīm Maḥmud bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawarizm Jār Allāh. Lahir

pada hari Rabu, 27 Rajab tahun 467 H56

di Zamakhsyar, sebuah perkampungan

besar di kawasan Khawarizmi (Turkistan),57

sebelah selatan lautan Qazwen, Iran.

Sebutan Jār Allāh (tetangga Tuhan) dipakai karena ia telah lama tinggal di sebuah

53

Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 65. 54

Machasin, al-Qadi Abd al-Jabbar, h. 9. 55

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 93. 56

Dara Humaira dan Khairun Nisa, Unsur I’tizalī dalam Tafsir al-Kasysyāf: Kajian Kritis

Metodologi al-Zamakhsyarī, (Yogyakarta: Maghza Vol. 1 No. 1, Januari-Juni, 2016), h. 32. 57

Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS. (Bogor:

Pustaka Litera AntarNusa, 2013), h. 530.

Page 47: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

32

rumah dekat Ka’bah yang ada di Makkah. Tokoh yang lebih dikenal dengan

panggilan al-Zamakhsyarī ini telah melahirkan karya tulis monumentalnya yaitu

Tafsīr al-Kasysyāf.58

Adapun yang membedakan antara aliran Mu‘tazilah Basrah dengan aliran

Mu‘tazilah Baghdad diantaranya yaitu:

1. Tokoh-tokoh Mu‘tazilah aliran Basrah lebih cenderung menghindari

amakhsyarjabatan, baik di dalam suatu pemerintahan (al-wizārat) maupun

lembaga peradilan (al-Quddhāt). Sehingga mereka lebih fokus untuk

melakukan penyelidikan dan penelitian pada bidang agama dan keilmuan,

serta lebih leluasa dalam mengemukakan pendapat tanpa harus terikat

dengan kepentingan pemerintah atau pihak lainnya. Sebaliknya, tokoh-

tokoh Mu‘tazilah aliran Baghdad justru menggunakan kesempatan untuk

menduduki jabatan-jabatan tinggi untuk mendapatkan dukungan dan

perlindungan, sekaligus memaksakannya kepada umum.

2. Aliran Mu‘tazilah Basrah dalam pergerakannya tidak bergantung pada

kekuasaan apapun. Para pemukanya menyebarkan paham yang dianutnya

tanpa pemaksaan dan kekerasan, melainkan hanya dengan menunggu

keinsafan dan kesadaran umat untuk mengikutinya. Adapun aliran

Mu‘tazilah Baghdad dalam menyebarkan pahamnya, maka lebih

cenderung memaksa dengan kekuasaan yang dipegangnya. Bahkan para

pengusanya yang sangat ambisius tidak segan untuk melakukan kekerasan

agar masyarakat mengikuti pahamnya.59

58

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 93. 59

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.

265.

Page 48: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

33

3. Tokoh-tokoh aliran Mu‘tazilah Baghdad lebih banyak dipengaruhi oleh

filsafat dibandingkan dengan aliran Mu‘tazilah Basrah, sehingga

mempengaruhi pola pikir keduanya ke arah rasional dan liberal.60

Meskipun memiliki karakteristik yang berbeda, secara umum keduanya

tetap menggunakan corak rasional dan liberal dalam memahami serta

memecahkan persoalan-persoalan teologi.

C. Lima Landasan Pokok Aliran Mu‘tazilah

Kaum Mu‘tazilah dalam menetapkan akidah lebih berpegang pada logika,

mereka mempercayai kemampuan dan kekuatan akal. Mereka menghadapkan

semua masalah kepada akal. Mereka menerima apa yang dapat diterima oleh akal,

dan menolak apa yang tidak dapat diterima oleh akal. Mu‘tazilah menggunakan

metode logika murni yang tidak menyimpang dari naṣ al-Qur’an. Pemikiran kaum

Mu‘tazilah juga banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang dianggap memiliki

keserasian dengan pemikiran mereka. Kaum Mu‘tazilah mempelajari filsafat

untuk dijadikan senjata dalam mengalahkan serangan para filosof dan pihak

lainnya.61

Lima ajaran dasar yang menjadi landasan kaum Mu‘tazilah dikenal dengan

nama Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah (lima landasan pokok). Lima ajaran tersebut

diberi urutan sesuai dengan pentingnya kedudukan tiap dasar, yaitu: al-Tauḥīd, al-

‘Adl, Al-Wa‘d wa al-Wa‘īd, al-Manzilah bain al-Manzilataīn, dan al-‘Amr bi al-

Ma’rūf wa al-Nahī ‘an al-Munkar. Seseorang dianggap sebagai Mu‘tazilī

(pengikut atau penganut Mu‘tazilah) apabila sudah mengakui dan menerima

60

Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, h. 70. 61

Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 94.

Page 49: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

34

kelima dasar tersebut, tidak hanya sebagian saja.62

Kelima landasan pokok

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Al-Tauḥīd

Al-Tauḥīd (Kemahaesaan Tuhan) adalah dasar ajaran Islam yang pertama

dan yang paling utama yang menjadi ajaran terpenting bagi kaum Mu‘tazilah.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa mereka selalu menyebut

golongan mereka sendiri sebagai Ahl al-‘Adl wa Ahl al-Tauḥīd, yaitu golongan

yang mempertahankan keadilan dan Keesaan Murni Tuhan.

Tuhan menurut kaum Mu‘tazilah akan benar-benar Maha Esa hanya

apabila Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tiada satupun yang mirip atau

serupa dengan Dia. Oleh karena itu, kaum Mu‘tazilah menolak paham

anthropomorphisme, yaitu menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-

Nya.63

Atau, penggambaran ataupun konsepsi tentang Tuhan, atau tentang

kedewaan, dengan atribut-atribut kemanusiaan (representation or conception of

God, or of a god, with the human attributes).64

Dalam mengesakan Tuhan, kaum Mu‘tazilah juga menolak beatific vicion,

yaitu pandangan bahwa Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya.

Satu-satunya sifat Tuhan yang tidak mungkin ada pada makhluk-Nya adalah sifat

qadim, yang berarti tidak mempunyai permulaan. Oleh karena itu, tidak ada yang

lain selain dari Allah yang boleh bersifat qadim. Paham ini yang mendorong kaum

Mu‘tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan, yaitu sifat-sifat yang berdiri

62

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 53. 63

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 54. 64

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.

20.

Page 50: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

35

sendiri di luar zat Tuhan.65

Apa yang disebut sifat Tuhan menurut Waṣīl bin ‘Aṭā’

bukanlah sifat-sifat yang mempunyai wujud di luar zat Tuhan, tetapi sifat yang

merupakan esensi Tuhan.

Peniadaan sifat-sifat bagi Tuhan oleh kaum Mu‘tazilah bukan berarti

Tuhan tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup, tidak mendengar, tidak

melihat, dan lain sebagainya. Akan tetapi bagi mereka, Tuhan tetap Maha

Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan

sebagainya sebagai esensi Tuhan. Mereka memandang sebagian dari sifat-sifat

Tuhan sebagai esensi Tuhan (sifat zatiah), dan sebagian lagi sebagai perbuatan-

perbuatan Tuhan (sifat fi’liah). Dengan tauhid kaum Mu‘tazilah ingin menyucikan

diri Tuhan dari persamaan dengan makhluk (tanzih).66

Abū Ḥasan al-‘Asy’arī67

di dalam karyanya Maqalāt al-Islāmiyyīn

halaman 155 menjelaskan ke-Esa-an Allah menurut pendirian aliran Mu‘tazilah

sebagai berikut:68

“Allah itu Esa. Tiada satupun yang mirip dengan-Nya. Bukan tubuh dan

bukan bayangan. Bukan materi dan bukan bentuk. Bukan daging dan

bukan darah. Bukan diri dan bukan unsur. Tidak punya warna, rasa, bau,

panas, dingin, kering, basah, panjang, lebar, tinggi. Bukan paduan dan

bukan pisahan. Bukan bergerak dan bukan diam. Bukan terbagi, hingga

tidak punya paroh maupun bagian, tidak punya bagian tubuh maupun

anggota tubuh. Bukan punya jurusan, hingga bukan kanan, kiri, depan,

belakang, atas, bawah. Tidak dilingkung tempat dan tidak dibatasi tempo.

Tidak tertangkap oleh indera manusia. Tidak dapat dibandingkan dengan

manusia. Ia adalah azali dan terdahulu dari segala kebaruan. Ada sebelum

kejadian. Ia senantiasa tahu dan kuasa dan hidup dan tetap senantiasa

begitu. Ia tak dapat disaksikan biji mata dan tak dapat ditangkap oleh

pandangan, dan seterusnya...”

65

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 54. 66

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 55. 67

Awalnya merupakan seorang tokoh terkemuka pada aliran Mu‘tazilah, namun

belakangan ia memisahkan diri dan mendirikan aliran al-Kalām (Asy‘ariyyah), lihat Joesoef

Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 28. 68

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.

27.

Page 51: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

36

Pendirian aliran Mu‘tazilah tentang Al-Tauḥīd (Kemahaesaan Tuhan)

adalah filsafat yang berlandaskan keagamaan. Karena dalam menyusun

pemikirannya mereka tetap berpangkal pada ayat-ayat al-Qur’an. Menurut mereka

ayat-ayat yang mutasyābihāt itu wajib ditakwilkan.69

Dalam persoalan Tauḥīd,

pendapat mereka berpangkal pada Surah al-Ikhlās ayat 1 (Allah itu Esa) dan Surah

al-Syūrá ayat 11 (Tiada satupun yang mirip dengan-Nya).70

2. Al-‘Adl

Ajaran pokok yang kedua adalah al-‘Adl (Keadilan Tuhan). Dalam

pemikiran kalam pengertiannya bergantung pada pandangan tentang apakah

manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat atau tidak,

artinya manusia dalam keadaan terpaksa. Para teolog memiliki pandangan yang

berbeda-beda mengenai hal ini.

Al-Tauḥīd membahas tentang keunikan diri Tuhan, sedangkan al-‘Adl

membahas tentang keunikan perbuatan Tuhan. Dapat dipahami bahwa hubungan

tauhid dengan hakikat ketuhanan dari sisi Dia sebagai dzat mutlak, adapun

hubungan keadilan dengan perbuatan ketuhanan dari sisi hubungan-Nya dengan

manusia. Dengan al-Tauḥīd kaum Mu‘tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari

sifat-sifat makhluk, sedangkan dengan al-‘Adl kaum Mu‘tazilah ingin menyucikan

perbuatan Tuhan dari perbuatan makhluk.71

Aḥmad Hanafi menggambarkan prinsip keadilan Tuhan menurut

Mu‘tazilah sebagai berikut:

“Semua perbuatan Tuhan bersifat adil dan tidak ada satupun perbuatan

Tuhan yang dapat dikatakan salah atau zalim, Tuhan menurut mereka

69

Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 39. 70

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.

28. 71

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 55.

Page 52: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

37

tidak berbuat suatu perbuatan kecuali ada tujuan dan hikmahnya bagi

manusia, sebab perbuatan yang tidak ada tujuannya dan hikmahnya adalah

perbuatan yang ngawur, hal ini sama sekali tidak layak bagi Tuhan. Orang

yang bijak dapat mengambil manfaat perbuatannya untuk dirinya sendiri

atau memberi manfaat kepada orang lain.oleh karena Tuhan tidak perlu

mengambil manfaat untuk diri-Nya sendiri, maka perbuatan-perbuatan-

Nya dimaksudkan untuk memberi manfaat kepada manusia. Dengan

demikian alam semesta ini berjalan menurut tujuan yang telah ditentukan

Tuhan. Gerakan bintang, pergantian siang dan malam,gunung berapi, dan

bencana alam, semua mempunyai tujuan, yaitu untuk kebaikan manusia di

dunia. Timbulnya berbagai macam keburukan yang tidak dapat diketahui

tujuannya oleh manusia bukan berarti Tuhan menghendaki keburukan-

keburukan tersebut bagi manusia, melainkan disebabkan oleh

ketidakmampuan akal manusia itu sendiri untuk mengetahui tujuan-tujuan

tersebut.”72

Keadilan Tuhan menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār erat hubungannya

dengan hak. Sehingga keadilan diartikan dengan memberi seseorang akan haknya.

Tuhan Maha Adil, berarti bahwa segala perbuatan Tuhan adalah baik, Tuhan tidak

dapat berbuat buruk, dan tidak dapat melupakan kewajiban-kewajiban-Nya

terhadap manusia. Tuhan tidak akan memberi beban yang tidak dapat dipikul

manusia, oleh karena itu Tuhan memberi daya kepada manusia untuk memikul

beban-beban yang diberikan kepadanya, dan memberikan upah atau hukuman atas

perbuatan manusia. Tuhan wajib memberikan pahala bagi pelaku perbuatan baik,

dan wajib pula memberikan hukuman bagi pelaku perbuatan buruk. Tuhan

bersifat Maha Sempurna, oleh karena itu hanya Tuhan yang berbuat adil, Tuhan

tidak bisa berbuat zalim dalam memberi hukuman. Wajib bagi Tuhan

mendatangkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Keadilan

menghendaki Tuhan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap

manusia.73

72

Ahmad Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996), h. 143. 73

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 125.

Page 53: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

38

Keadilan Tuhan erat kaitannya dengan permasalahan Kodrat Ilahi.

Berkaitan dengan hal ini, Aliran Mu‘tazilah berpendirian: “Tidak semua gerak

laku manusia itu diciptakan Ilahi!.” Dr. Ahmad Amin dalam Ḍuhaul Islami Jilid

III Cetakan 1964 halaman 53-54 mengemukakan beberapa alaspikiran aliran

Mu‘tazilah, di antaranya yaitu:74

“Jika manusia itu bukan menciptakan sendiri setiap gerak-gerak sadar

niscaya gugur al-Taklīf (tanggung jawab) atas dirinya. Jika ia sendiri tidak

memiliki kekuasaan untuk berbuat dan tidak berbuat niscaya tidaklah

tertelan oleh akal bahwa kepadanya dijatuhkan perintah: Buat! atau

Jangan Buat!. Kemudian, jika ia sendiri tidak memiliki kekuasaan apapun

atas gerak-lakunya, niscaya terhadap dirinya tidaklah dapat dikenakan

pujian, celaan, pahala, siksa. Sehingga niscaya pengutusan seseorang Nabi

maupun Rasul tidak akan ada gunanya.”

Sejalan dengan alaspikiran itu, aliran Mu‘tazilah berpendirian bahwa: (1)

Allah mengarahkan makhluk-Nya kepada suatu tujuan dan berkehendakkan

kebajikan senantiasa bagi makhluk-Nya. (2) Allah tidak berkehendak kejahatan,

jangankan memerintahkannya. (3) Allah tidak menciptakan gerak-laku hamba-

Nya, yang baik maupun yang jahat. Kemauan manusia adalah bebas hingga

manusia itu sendiri yang menciptakan gerak-lakunya, sehingga mereka

bertanggungjawab atas setiap perbuatannya.75

Alaspikiran berdasarkan akal tersebut diperkuat dengan alaspikiran

berdasarkan Nash yang dapat dijumpai dalam al-Qur’an:

“Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga

mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”76

Di dalam surat yang lain disebutkan:

74

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.

83. 75

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.

63. 76

Q.S. Al-Ra‘du: 11.

Page 54: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

39

“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi

pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan

tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”77

Aliran Mu‘tazilah berpegang pada prinsip bebas pada manusia hingga

setiap gerak-sadar (harkat-ikhtiariat) yang dilakukannya adalah ciptaan kodratnya

sendiri, bukan langsung ciptaan kodrat Ilahi. Sebab kemauan bebas yang

dimilikinya itulah manusia dibebani al-Taklīf (tanggung jawab) atas setiap gerak-

laku dan sikap hidup. Di situlah terletak dan tercermin Keadilan Ilahi atas setiap

imbalan jasa dan dosa yang diperbuat manusia.78

3. Al-Wa‘d wa al-Wa‘īd

Ajaran dasar yang ketiga adalah Al-Wa‘d wa al-Wa‘īd (janji dan

ancaman). Ajaran ini memiliki hubungan dengan ajaran yang kedua. Tuhan

disebut adil karena Dia menjanjikan pahala kepada orang yang berbuat baik (taat).

Adapun sebaliknya, Tuhan mengancam orang yang berbuat buruk (maksiat)

dengan siksaan.79

Janji dan ancaman Tuhan bersifat pasti, Tuhan mustahil

mengingkari janji-Nya.

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār berpendapat bahwa ancaman dan siksa yang

ditetapkan Tuhan bagi orang yang berbuat buruk adalah benar, dan harus

dilaksanakan. Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa besar dan tidak

bertaubat akan masuk dan menetap di dalam neraka untuk selama-lamanya. Di

dalam Q.S. An-Nisā ayat 14 terdapat ungkapan mengenai hal ini:

77

Q.S. An-Nisā’: 123. 78

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.

85. 79

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 56.

Page 55: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

40

“Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar

ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api

neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang

menghinakan.”80

Ayat ini menjelaskan tentang kewarisan. Setelah menjelaskan rincian

bagian-bagian untuk masing-masing ahli waris (pada ayat-ayat sebelumnya),

Allah memberi dorongan, peringatan, serta janji dan ancaman dengan menegaskan

bahwa bagian-bagian yang ditetapkan di atas, itu adalah batas-batas Allah yakni

ketentuan-ketentuan-Nya yang tidak boleh dilanggar. Siapa taat kepada Allah dan

Rasul-Nya dengan mengindahkan batas-batas itu dan ketentuan-ketentuan-Nya

yang lain, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di

dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah

keberuntungan yang besar (ayat 13). Bukan keberuntungan yang semu atau

sementara seperti kemegahan duniawi. Dan siapa yang mendurhakai Allah dan

rasul-rasul-Nya dengan mempersekutukan-Nya dan melanggar ketentuan-

ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia

kekal di dalamnya, dan yang mendurhakai Allah tapi tidak mempersekutukan,

maka baginya siksa yang menghinakan, setimpal dengan sikap mereka

melecehkan ketentuan Allah dan meremehkan orang-orang yang mereka halangi

hak-haknya.81

80

Q.S. An-Nisā: 14 81

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, Vol. 2,

(Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002), h. 350.

Page 56: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

41

Adapun janji pemberian pahala bagi orang yang taat juga merupakan

sebuah kepastian yang tidak dapat diingkari. Dalam teks yang lain:

“Sesungguhnya Al-Qurān ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang

lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mukmin

yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang

besar.”82

Allah menganugerahkan manusia potensi untuk taat dan durhaka, dan

masing-masing akan memperoleh sesuai pilihannya. Jika baik maka kebaikannya

untuk pelakunya sendiri, dan jika buruk pun demikian. Ayat ini berfungsi sebagai

pelepasan kecemasan melalui pernyataannya bahwa kitab suci ini memberi

petunjuk yang lebih lurus dari kitab Banī Isrā’īl83

, selanjutnya pada ayat ini juga

disebutkan berita gembira bagi orang-orang beriman.

Kaum Mu‘tazilah sependapat apabila seorang mukmin meninggal dalam

keadaan berbuat taat dan bertobat ia memperoleh ganjaran pahala karena yang

dimaksud dengan hari akhirat ialah hari menerima ganjaran. Dan apabila seorang

yang meninggal tidak bertobat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya, ia akan

kekal di dalam neraka, namun siksaannya lebih ringan dari siksaan orang yang

kafir. Di dalam Mu‘tazilah masalah ini disebut Al-Wa‘d wa al-Wa‘īd.84

82

Q.S. Al-Isrā’: 9 83

Dikisahkan pada ayat-ayat sebelumnya tentang turunnya kitab suci kepada Nabi Mūsá,

untuk menjadi petunjuk bagi Banī Isrā’īl, akan tetapi mereka tidak mengindahkannya sehingga

terjadi bencana atas mereka sebagaimana digambarkan ayat-ayat sebelumnya, maka hal ini tentu

saja menjadi peringatan bagi umat Islam sekaligus menimbulkan kecemasan bagi umat Nabi

Muḥammad Saw. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-

Qur’ān, Vol. 7, (Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002), h. 418. 84

Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 39.

Page 57: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

42

4. Al-Manzilah bain al-Manzilataīn

Al-Manzilah bain al-Manzilataīn (posisi diantara dua posisi) adalah

landasan keempat yang merupakan ciri khas kaum Mu‘tazilah. Mereka

berpendapat bahwa posisi orang yang berbuat dosa besar berada di tengah-tengah

antara orang kafir dan mukmin. Ajaran keempat ini erat hubungannya dengan

keadilan Tuhan. Pelaku dosa besar dalam pandangan Mu‘tazilah tidak bisa disebut

kafir karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muḥammad. Tetapi tidak

juga disebut mukmin karena imannya tidak lagi sempurna.85

Iman dalam pandangan Mu‘tazilah tidak cukup hanya melalui pengakuan

(hati) dan ucapan (lisan) saja, tetapi juga harus dibuktikan dengan perbuatan-

perbuatan. Oleh karena itu, seorang pelaku dosa besar tidak bisa disebut beriman,

ia tidak bisa masuk Surga dan tidak mesti pula masuk Neraka. Mereka seharusnya

ditempatkan di luar surga dan neraka. Akan tetapi karena di akhirat tidak ada

tempat selain surga dan neraka, maka pelaku dosa besar harus dimasukkan ke

dalam salah satu tempat ini. Oleh karena itu, pelaku dosa besar dimasukkan ke

neraka, tetapi dengan siksaan yang lebih ringan dari orang kafir. Hal ini

menunjukkan bahwa ajaran Al-Manzilah bain al-Manzilataīn dalam paham

Mu‘tazilah merupakan suatu keadilan.86

Sejarah telah nenunjukkan bahwa landasan keempat ini merupakan ciri

kaum Mu‘tazilah. Mereka menganggap bahwa pelaku dosa besar bukanlah

mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mereka berada pada keadaan di antara dua

keadaan (antara kafir dan mukmin). Waṣīl bin ‘Aṭā’ mengatakan:

“Sesungguhnya iman adalah sifat kebaikan jika terkumpul dinamai orang

mukmin, berarti nama pujian. Adapun fasik tidak terkumpul padanya sifat-

85

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 56. 86

Harun Nasution, Teologi Islam, h.57.

Page 58: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

43

sifat kebaikan dan tidak berhak menyandang nama pujian maka tidak

dinamakan mukmin, namun juga tidak kafir. Karena persaksian dan

seluruh amal-amal kebaikan ada di dalamnya tidak ada sisi (alasan) untuk

mengingkarinya. Pelaku dosa besar menyerupai orang mukmin dalam

aqidahnya dan tidak menyerupainya dalam perbuatannya, dan menyerupai

orang kafir dalam perbuatannya dan tidak menyerupainya dalam

perbuatannya (maksudnya adalah aqidahnya, maka dia berada pada

keadaan di antara dua keadaan.”

Waṣīl bin ‘Aṭā’ berpendapat bahwa Pelaku dosa besar jika mati sebelum

bertaubat maka ia termasuk ahli neraka, ia kekal di dalamnya. Kelompok di

akhirat hanya ada dua, yaitu: sekelompok di surga dan sekelompok lainnya di

neraka. Akan tetapi azab mereka diringankan dan tingkatan mereka di atas

tingkatan orang-orang kafir.87

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār berpendapat seorang yang berbuat dosa besar

disebut fasik karena melihat bahwa Syariat Islam memposisikan mukallaf dalam

dua kategori. Pertama, mukallaf yang berhak menerima pahala yang terdiri

daridua kelompok; penerima pahala yang besar (al-Ṭawāb al-‘Aḍīm), baik dari

kalangan malaikat maupun manusia seperti para Nabi, dan penerima pahala yang

berada di bawah kelompok pertama, yaitu para mukmin yang bertaqwa dan

beramal ṣālih. Kedua, mukallaf yang menerima siksa dari Allah yang juga terdiri

dari dua kelompok; penerima siksaan berat (al-Iqāb al-‘Aḍīm) yaitu orang-orang

kafir (Munafik, Murtad, Yahudi, Majusi), dan penerima siksaan di bawah

kelompok mereka yaitu fasik.88

87

Ermita Zakiyah, Aspek Paham Mu‘tazilah dalam Tafsir Al-Kasyāf tentang Ayat-ayat

Teologi: Studi Pemikiran Al-Zamakhsharī, (Tesis Program Studi Tafsir Hadits: IAIN Sunan

Ampel, 2013), h. 50. 88

Ermita Zakiyah, Aspek Paham Mu‘tazilah dalam Tafsir Al-Kasyāf tentang Ayat-ayat

Teologi, h. 52.

Page 59: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

44

5. Al-Amr bi al-Ma’rūf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar

Landasan pokok aliran Mu‘tazilah yang terakhir yaitu Al-Amr bi al-Ma’rūf

wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (perintah berbuat baik dan melarang berbuat jahat).

Ajaran ini diungkapkan di dalam al-Qur’an:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru

kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‘rūf dan mencegah dari yang

munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”89

Ma‘rūf berarti segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah,

sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

Dalam sebuah tafsir dijelaskan, kalaulah tidak semua anggota masyarakat

dapat melaksanakan fungsi dakwah, maka hendaklah ada di antara kamu – wahai

orang-orang yang beriman – segolongan umat yakni kelompok yang pandangan

mengarah kepadanya untuk diteladani dan didengar nasehatnya, yang mengajak

orang lain secara terus menerus tanpa bosan dan lelah kepada kebajikan yakni

petunjuk-petunjuk Ilahī, menyuruh masyarakat kepada yang ma‘rūf yakni nilai-

nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik oleh masyarakat mereka, selama hal

itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ilāhiyah, dan mencegah mereka dari

yang munkar, yakni yang dinilai buruk dan diingkari oleh akal sehat masyarakat.

Mereka yang mengindahkan tuntunan ini dan yang sungguh tinggi lagi jauh

89

Q.S. Āli Imrān: 104

Page 60: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

45

martabat kedudukannya, itulah orang-orang yang beruntung, mendapatkan apa

yang mereka dambakan dalam kehidupan dunia dan akhirat.90

Ajaran kelima ini dianggap sebagai kewajiban bukan hanya bagi kaum

Mu‘tazilah, tetapi juga oleh seluruh golongan umat Islam lainnya. Yang

membedakan antar golongan tersebut adalah tentang pelaksanaannya. Apakah

perintah dan larangan tersebut cukup dijalankan dengan penjelasan dan seruan

saja, atau perlu juga diwujudkan dengan paksaan dan kekerasan? Kaum Khawārij

memandang bahwa untuk melaksanakan kewajiban tersebut perlu menggunakan

kekerasan. Sedangkan kaum Mu‘tazilah berpendapat bahwa cukup dengan seruan,

tetapi jika perlu dengan kekerasan. Sejarah mencatat bahwa mereka pernah

menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka.91

Mereka tidak

segan-segan menggunakan kekerasan terhadap golongan lain bahkan golongan

Islam sendiri yang dianggap menyeleweng. Menurut kaum Mu‘tazilah orang yang

dianggap menyalahi pendirian mereka adalah sesat dan harus dibenarkan.92

90

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, Vol. 2,

(Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002), h.162. 91

Harun Nasution, Teologi Islam, h.57. 92

Ahmad Hanafi, Theologi Islam, h. 45.

Page 61: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

46

BAB III

BIOGRAFI AL-QĀḌĪ ‘ABD AL-JABBĀR

A. Riwayat Hidup

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dalam sumber-sumber Mu‘tazilah dikenal dengan

nama ‘Imād al-Dīn Abū al-Ḥasan Qāḍī al-Quḍāh al-Jabbār bin Aḥmad bin ‘Abd

al-Jabbār al-Hamaẓānī.1 Ada juga yang mengatakan bahwa nama lengkapnya

adalah ‘Abd al-Jabbār bin Aḥmad bin al-Ḵalīl bin ‘Abd Allāh Abū al-Ḥasan al-

Hamazānī al-Asadābādī atau ‘Abd al-Jabbār bin Aḥmad bin al-Ḵalīl bin ‘Abd

Allāh saja.2 Tidak ada kesepakatan mengenai nama lengkapnya. Di kalangan

Mu‘tazilah jika nama al-Qāḍī disebut maka yang dimaksud tidak lain adalah Al-

Qāḍī ‘Abd al-Jabbār.

Diperkirakan al-Qāḍī lahir pada sekitar tahun 320 H./ 932 M. Tidak ada

juga keterangan yang pasti mengenai tahun kelahirannya. Perkiraan tersebut

didasarkan pada keterangan yang mengatakan bahwa ia meninggal pada tahun 415

H./ 1025 M. di usianya yang sudah lebih dari 90 tahun. Keterangan yang lain juga

menyebutkan bahwa ia mengaku sudah belajar hadis dari Muḥammad bin Aḥmad

bin ‘Umar al-Zi’baqī, seorang ulama hadis dari Basrah yang meninggal pada

tahun 333 H. Diperkirakan ia meninggal pada usia 95 Qamariyah atau 93

Syamsiyah.3

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār lahir di Asabadad, sebuah kota kecil yang

termasuk daerah pegunungan Hamażānī di wilayah Khurasān. Oleh karena itu, ia

1 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 9. 2 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār dan Ayat-ayat Mutaŝābihāt dalam al-Qur’ān:

Pembahasan tentang Kitab Mutaŝābih al-Qur’ān, Disertasi S3 Program Studi Ilmu Agama Islam

Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, (IAIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 1994), h. 11. 3 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 10.

Page 62: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

47

dinisbahi dengan al-Hamaẓānī dan al-Asadābādī. Al-Qāḍī mempunyai semangat

yang cukup tinggi meskipun ia lahir dari keluarga yang miskin. Machasin dalam

bukunya menyebutkan tidak kurang dari sepuluh nama guru Al-Qāḍī ‘Abd al-

Jabbār. Al-Qāḍī memulai pendidikan pertamanya di kota kelahirannya, kemudian

ia juga belajar di Qazwin, sebuah kota kecil yang terletak di dekat kota Asadabad.

Beberapa gurunya adalah seorang penghafal Hadis, al-Zubair bin ‘Abd al-Wāḥid

(w. 347 H./ 958 M.) dan Abū al-Ḥasan bin Salmah al-Qaṭṭān (w. 345 H./ 956

M.).4

Al-Qāḍī kemudian belajar ke Hamażān yang merupakan kota terbesar di

wilayah itu. Di sana ia belajar kepada beberapa gurunya, diantaranya adalah Abū

Muḥammad ‘Abd al-Raḥmān bin Ḥamdān al-Jallāb dan Abū Bakar Muḥammad

bin Zakariyyā. Keduanya adalah seorang ahli hadis. Setelah itu, ia melanjutkan

belajarnya ke Isfahan. Sejauh ini diketahui bahwa dalam bidang fiqih Al-Qāḍī

menganut mazhab Syafi’ī, sedangkan dalam bidang akidah ia menganut mazhab

Asy’arī.5

Sekitar tahun 346 H./ 957 M. al-Qāḍī pergi ke Basrah. Saat itu Basrah

merupakan salah satu pusat pengkajian keislaman yang besar, dengan aliran

Mu‘tazilah yang cukup dominan. Di situlah al-Qāḍī berpindah mazhab dari

Asy’arī ke I‘tizal. Pergantian madzhab ini turut dipengaruhi oleh kedekatannya

dengan gurunya yang bernama Abū Isḥāq ‘Alī bin ‘Ayyāsy, seorang murid

sekaligus penerus tokoh Mu‘tazilah aliran Basrah yang cukup terkenal, yaitu Abū

Hāsyim ‘Abd al-Salām bin Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb Muḥammad al-

4 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 11. 5 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 11.

Page 63: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

48

Jubbā’ī.6 Setelah itu, al-Qāḍī pergi ke Baghdad untuk belajar kepada Abū ‘Abd

Allāh al-Baṣrī, salah seorang murid Abū Hāsyim. Ia adalah tokoh Mu‘tazilah yang

digelari al-Mursyid dan terkenal dengan kezuhudannya.7

Al-Qāḍī meninggalkan Baghdad pada permulaan tahun 360 H dan menuju

Rāmahurmuz, Khuziztan. Di kota kecil yang menjadi salah satu kubu Mu‘tazilah

ini ia mengajar di masjid Abū Muḥammad al-Rāmahurmuzi. Ia juga mulai

mendiktekan bukunya yang terbesar yaitu al-Mugnī fī Abwāb al-Tauhīd wa al-

‘Adl.8

Setelah sekitar lima tahun, ia diangkat menjadi Qādhī al-Qudhāh oleh

wazir Bani Buwaih di Rayy, yaitu al-Sāḥib Ibn ‘Abbās.9 Dengan jabatan tersebut

ia berhak mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim di wilayahnya.

Awalnya, wilayah kekuasaannya adalah Rayy, Qazwin, Suhraward, Qum, Sāwah,

dan sekitarnya. Kemudian wilayah tersebut diperluas sehingga mencakup Jurjān,

Tabristān, dan sekitarnya. Ia tetap memegang jabatannya sampai diberhentikan

oleh Fakhr al-Daulah,10

tidak lama setelah Ibn ‘Abbād meninggal.

6 Putera Abū ‘Alī Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb Muḥammad al-Jubbā’i, tokoh

Mu‘tazilah paling utama pada generasi kedelapan. Lihat Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār:

Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-Qur’an, h. 11. 7 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 11. 8 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 12. 9 Yaitu Abū al-Qāsim Ismā’il bin ‘Abbād bin al-‘Abbās bin ‘Abbād bin Aḥmad bin

Idrīs,seorang wazir dan sastrawan. Lahir di Istakhr pada tahun 326 H./ 938 M. dan wafat di Rayy

pada 385 H./ 995 M. Lihat Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih

Rasionalitas al-Qur’an, h. 13. 10

Yaitu Abū al-Ḥasan ‘Alī bin al-Ḥasan, putera ketiga dari Rukn al-Daulah al-Buwaihī

(pendiri Daulah Buwaihī di Iran Tengah). Lahir pada tahun 341 H./ 952 M. dan wafat pada tahun

387 H./ 997 M. Lihat Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih

Rasionalitas al-Qur’an, h. 13.

Page 64: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

49

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār tinggal di Rayy dalam waktu yang cukup lama. Ia

menghabiskan waktunya untuk mengajar dan mendiktekan bukunya sampai

meninggal dunia pada tahun 415 H./1025 M.11

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa perpindahan madzhab Al-

Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, yaitu dari aliran Asy’ariyyah ke aliran Mu‘tazilah

kemungkinan besar disebabkan oleh dua faktor. Pertama, Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār

berpindah ke Basrah sekitar tahun 346 H./ 957 M, saat itu kondisi Basrah cukup

didominasi oleh aliran Mu‘tazilah. Mengingat aliran Mu‘tazilah pertama kali lahir

di Basrah. Setelah pada tahun 827 M. al-Ma’mun mengakui aliran Mu‘tazilah

sebagai madzhab resmi yang dianut negara. Agama raja adalah agama rakyat.

Dengan begitu, para penguasa dengan leluasa dapat menggunakan kekuasaannya

untuk memaksa orang-orang agar memakai prinsip-prinsip yang dianutnya.

Kedua, karena kedekatannya dengan gurunya yaitu Abū Isḥāq ‘Alī bin ‘Ayyāsy,

seorang murid sekaligus penerus tokoh Mu‘tazilah aliran Basrah yang cukup

terkenal, yaitu Abū Hāsyim ‘Abd al-Salām bin Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb

Muḥammad al-Jubbā’ī.

B. Kedudukannya dalam Sejarah Aliran Mu‘tazilah

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār merupakan tokoh yang sangat penting dalam

sejarah Mu‘tazilah dengan pemikirannya yang dituangkan dalam karya-karyanya.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Mu‘tazilah adalah sebuah

aliran yang lahir di Basrah dengan tokoh utamanya yaitu Waṣīl bin ‘Aṭā’ dan

‘Amr ibn ‘Ubaid.12

11

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 13. 12

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 14.

Page 65: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

50

Dalam perkembangannya, aliran ini terbagi menjadi dua cabang besar

yang dikenal dengan Mu‘tazilah aliran Basrah dan Mu‘tazilah aliran Baghdad.

Kedua cabang dari aliran Mu‘tazilah ini memiliki fokus perhatian yang berbeda.

Aliran Mu‘tazilah yang berpusat di Basrah lebih banyak menaruh perhatian pada

pemikiran dan pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan. Tokoh utama aliran

Mu‘tazilah cabang Basrah adalah Abū al-Hudzail al-‘Allāf. Adapun aliran

Mu‘tazilah yang berpusat di Baghdad dengan tokoh utama Bisyr bin al-Mu’tamir

lebih menaruh perhatian pada penyebaran dan penerapan prinsip-prinsip

kepercayaan tersebut dengan memanfaatkan hubungan yang dekat dengan

kekuasaan khalifah ‘Abbāsiyah. Aliran Mu‘tazilah Baghdad lebih memperluas

persoalan yang sudah pernah dibahas oleh aliran Basrah. Aliran ini juga lebih

banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani kuno.13

Aliran Mu‘tazilah cukup berkembang di bidang teori berkat jasa besar

khalifah al-Ma’mun yang mendirikan Baīt al-Ḥikmah untuk penerjemahan karya-

karya filsafat Yunani kuno.14

Al-Ma’mun menggunakan kekuasaannya untuk

memaksa orang-orang agar memakai prinsip-prinsip aliran Mu‘tazilah. Pada akhir

masa pemerintahannya ia melaksanakan miḥnah, yaitu pengujian atas para hakim,

apakah mereka percaya bahwa al-Qur’an diciptakan, sebagaimana ajaran

Mu‘tazilah. Bagi mereka yang tidak percaya bahwa al-Qur’an diciptakan dan

mempercayai akan kekadimannya akan dipecat. Karena bagi kaum Mu‘tazilah

tidak ada yang qādim selain Allah. Kepercayaan terhadap adanya yang qādim

selain Allah adalah syirik. Seorang hakim mestilah bebas dari syirik. Kepercayaan

13

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār dan Ayat-ayat Mutaŝābihāt dalam al-Qur’ān:

Pembahasan tentang Kitab Mutaŝābih al-Qur’ān, h. 17. 14

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 14.

Page 66: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

51

ini kemudian muncul ke ruang politik sehingga pada akhirnya diberlakukan tidak

hanya untuk para hakim, tetapi juga untuk para saksi di pengadilan dan juga para

pemimpin masyarakat.15

Kebijaksanaan tersebut kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu al-

Mu’taṣim (218 H./ 833 M. – 227 H./ 847 M.) dan lebih keras lagi oleh al-Wātsiq

(227 H./ 842 M. – 232 H./ 847 M.) Aḥmad bin Abī Du’ād adalah salah seorang

tokoh besar Mu‘tazilah aliran Baghdad yang memiliki peran yang cukup besar

dalam melaksanakan miḥnah ini. Ia adalah teman dekat al-Ma’mūn, pada tahun

217 ia memegang jabatan Qaḍī al-Quḍāh, menggantikan Yaḥyā bin Aktsam.

Jabatan tersebut ia pegang pada masa al-Mu’taṣim dan al-Wātsiq. Jatuhnya aliran

Mu‘tazilah ditandai dengan meninggalnya al-Wātsiq, yang kemudian digantikan

oleh al-Mutawakkil (232 H./ 847 M- 247 H./ 861 M.).16

Pada masa pemerintahannya, al-Mutawakkil menghentikan pelaksanaan

miḥnah dan tidak lagi menggunakan prinsip-prinsip aliran Mu‘tazilah sebagai

prinsip pemerintah. Ia menganggap bahwa pelaksanaan miḥnah telah membuat

para ahl al-Ḥadis, kaum ahli fiqih, dan kaum Syi’ah Rafiḍah menderita. Keadaan

ini mendorong Abū ‘Alī al-Jubbā’ī dan puteranya, Abū Hāsyim untuk melakukan

konsolidasi kekuatan Mu‘tazilah. Dalam keadaan sulit seperti ini, sudah pasti

hanya aliran Basrah yang dapat bertahan. Sedangkan aliran Baghdad tidak bisa

lagi bertahan karena kekuasaan tidak lagi akrab dengn mereka.17

15

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 15. 16

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār dan Ayat-ayat Mutaŝābihāt dalam al-Qur’ān:

Pembahasan tentang Kitab Mutaŝābih al-Qur’ān, h. 19. 17

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 16.

Page 67: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

52

Setelah mereka berdua berhasil melakukan konsolidasi, Abū Ḥasan al-

Asy’arī (269 H./ 873 M. – 324 H./ 935 M.) justru muncul sebagai musuh besar

aliran Mu‘tazilah. Sebelumnya ia adalah seorang tokoh terkemuka dalam aliran

Mu‘tazilah. Namun setelah menjadi pengikut Mu‘tazilah selama 40 tahun, ia

keluar dari golongan Mu‘tazilah dan mendirikan aliran ‘Asy’ariyyah.18

Sejak saat

itu, aliran Mu‘tazilah sempat menghilang dalam waktu yang cukup lama.

Pada abad keempat Hijriyah, dengan berkuasanya Bani Buwaih, aliran

Mu‘tazilah bangkit kembali khususnya di Persia. Dengan bergandengan tangan

dengan kaum Syi’ah, banyak pemikir Mu‘tazilah dari aliran Basrah yang muncul.

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār adalah tokoh Mu‘tazilah yang terbesar pada periode

kebangkitan kedua. Ia merupakan penerus aliran Basrah setelah Abū ‘Alī al-

Jubbā’ī dan Abū Hāsyim. Meskipun namanya tidak sebesar tokoh-tokoh

sebelumnya seperti Abū al-Hudzail bin al-‘Allāf, al-Jāḥiẓ, al-Naẓẓām, dan Bisyr

bin al-Mu’tamir, Al-Qāḍī sangat berjasa dalam memberikan pengetahuan yang

lengkap tentang Mu‘tazilah melalui karya-karyanya.19

Pemikiran Al-Qāḍī dalam buku-bukunya dianggap tidak lain adalah

pemikiran-pemikiran guru-gurunya. Tetapi, karena pemikiran guru-gurunya tidak

ada yang sampai kepada kita, kedudukan Al-Qāḍī menjadi sangat penting dalam

menyampaikan pemikiran-pemikiran tersebut. Murid-muridnya tidak ada yang

melebihinya baik dalam kemasyhuran maupun dalam kemampuan merumuskan

teologi Mu‘tazilah. Tetapi karya-karyanya tidak dapat dilupakan dalam sejarah

18

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan, h.

65. 19

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 17.

Page 68: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

53

aliran Mu‘tazilah, karena buku-buku mereka masih bisa kita baca sampai

sekarang.20

Di antara murid-muridnya tersebut yaitu Abū Rāsyid Sa’īd bin

Muḥammad al-Nīsābūrī. Ia adalah penerus kepemimpinan Mu‘tazilah di Rayy

setelah Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār meninggal yang semula menganut aliran Baghdad.

Tetapi ia kemudian menganut aliran Basrah setelah berguru kepada Al-Qāḍī. Ia

diperkirakan lahir pada sekitar pertengahan abad keempat Hijriah di Nisapur dan

meninggal setelah tahun 415 H. (Tahun meninggalnya Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār).

Beberapa karyanya adalah Ziyādat al-Syarh, al-Masā’il fī al-Khilāf bain al-

Baṣriyyīn wa al-Bagdādiyyīn, dan fragmen dari Dīwān al-Uṣūl.21

Muridnya yang lain yaitu Abū Muḥammad al-Ḥasan bin Aḥmad bin

Mattawaih (w. 469 H./1076 M.). Beberapa karyanya yang sampai kepada kita

adalah al-Tadzkirat fī Laṭīf al-Kalām. Selain itu, ia juga mengumpulkan apa yang

didiktekan oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dalam satu buku yang disebut al-Majmū’

fī al-Muḥiṭ bi al-Taklīf atau al-Muḥiṭ bi al-Taklīf saja.

Masih banyak lagi murid-muridnya yang lain, jumlahnya diperkirakan

lebih dari 30 orang. Ibn al-Murtadha dalam kitabnya yang berjudul Thabaqāt al-

Mu‘tazilah, menempatkan mereka pada generasi kesebelas dan keduabelas

(terakhir) pada aliran Mu‘tazilah.22

20

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār dan Ayat-ayat Mutaŝābihāt dalam al-Qur’ān:

Pembahasan tentang Kitab Mutaŝābih al-Qur’ān, h. 21. 21

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 18. 22

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 18.

Page 69: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

54

C. Karya-karya

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār telah melahirkan banyak tulisan dalam berbagai

bidang dari ilmu Kalām, Fiqih, Tafsīr, dan Hadis sampai cara berdebat dan

berbagai nasehat. Al-Ḥakīm al-Jusyamī dalam bukunya yang berjudul Syarḥ

‘Uyūn al-Masā’il menyatakan bahwa Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār telah menghasilkan

tulisan yang tidak kurang dari 400.000 lembar. Namun, sebagian besar tulisan itu

telah hilang. Hanya sedikit yang sampai kepada kita, dan lebih sedikit lagi yang

dapat kita baca sekarang baik secara utuh maupun sebagian.23

‘Abd al-Karīm ‘Utsmān dalam kata pengantar yang ditulisnya untuk buku

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār yang berjudul Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah (h. 20-23)

mengumpulkan 59 judul buku Al-Qāḍī yang didapatinya tersebut dalam berbagai

buku karya orang lain. Dalam buku lain, ia menambahkan lagi buku-buku lain

dari karya Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār sehingga jumlahnya menjadi 69 buah. Buku-

buku tersebut ia rincikan sebagai berikut: ilmu al-Qur’an, 2 judul buku dalam

bidang Hadis dan sejarah Nabi Muḥammad Saw, 2 judul buku dalam serba-serbi

nasehat, 6 judul buku dalam uṣūl al-fiqh, 1 judul buku dalam bidang fiqih mazhab

Syafi’ī, 2 judul buku dalam bidang bidang perbedaan paham dan cara berdebat, 1

judul buku biografi tokoh Mu‘tazilah, 45 judul buku dalam bidang ilmu Kalām

dan Uṣūl al-Dīn, dan 5 judul buku dalam bidang-bidang lain.24

Dari jumlah tersebut, sembilan judul buku sudah diterbitkan baik secara

utuh maupun sebagian, sedangkan empat judul buku ditemukan dalam bentuk

23

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 19. 24

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār dan Ayat-ayat Mutaŝābihāt dalam al-Qur’ān:

Pembahasan tentang Kitab Mutaŝābih al-Qur’ān, h. 25.

Page 70: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

55

manuskrip yang tersimpan di Vatikan dan British Museum. Empat naskah tersebut

yaitu:25

1. Amālin fī al-Ḥadīs atau Naẓm al-Fawā’id wa Taqrīb al-Murād lil Rā’id.

Naskah ini terdapat di Vatikan dengan nomor 1177 dan di British Museum

dengan nomor 577.

2. Al-Ikhtilāf fī Uṣūl al-Fiqh, naskah ini terdapat di Vatikan dengan nomor 1100.

3. Al-Khilāf bain al-Syaikhain Abī ‘Alī wa Abī Hāsyim, naskah ini terdapat di

Vatikan dengan nomor 1100.

4. Mas’alatun fī al-Ghaibah, naskah ini terdapat di Vatikan dengan nomor 1028.

Adapun buku-buku Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār yang sudah diterbitkan

diantaranya yaitu:26

1. Al-Mughnī fī Abwāb al-Tauḥīd wa al-‘Adl. Buku ini ditulis oleh Al-Qāḍī ‘Abd

al-Jabbār selama dua puluh tahun (360-380 H.)27

. terdiri dari 20 bagian yang

membahas tentang ajaran Mu‘tazilah yang terpenting yaitu Keesaan Allah (al-

Tauḥīd) dan Keadilan Allah (al-‘Adl). Kedua pokok tersebut dibahas Al-Qāḍī

secara lebih mendalam dan luas dibanding dengan tiga ajaran pokok lainnya:

al-Wa’d wa al-Wa’īd (Janji dan Ancaman Allah), al-Manzilah bain al-

Manzilataīn (Suatu tempat di antara dua tempat, atau antara Surga dan

Neraka), dan al-‘Amr bi al-Ma’rūf wa al-Nahī ‘an al-Munkar (Mengajak

kepada perbuatan baik dan mencegah perbuatan yang tidak baik). Ketiga

pokok ini dimasukkan ke dalam judul kumpulan yang membahas wahyu.

25

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 20. 26

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 20. 27

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 25.

Page 71: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

56

2. Faḍl al-I‘tizāl wa Ṭabaqāt al- Mu‘tazilat wa Mubāyanatuhum li Sā’ir al-

Mukhālifīn. Merupakan sebuah buku pengantar umum bagi paham Mu‘tazilah

yang berisi beberapa penjelasan mengenai beberapa ajarannya dan

kesalahpahaman lawan-lawannya. Buku ini juga berisi tentang biografi tokoh-

tokoh Mu‘tazilah yang dimulai dari generasi pertama, yaitu para sahabat Nabi

Muḥammad Saw. sampai generasi kesepuluh, yaitu generasi sebelum Al-Qāḍī

‘Abd al-Jabbār itu sendiri.

Buku ini diterbitkan dalam bentuk satu buku yang mengumpulkan dua karya

orang lain, yakni bab “Zikr al- Mu‘tazilah” dari buku Maqālāt al-Islāmiyyīn,

karya Abū al-Qāsim al-Balkhī dan bagian yang berisi biografi generasi

kesebelas dan keduabelas dari Mu‘tazilah yang diambil dari buku Syarḥ ‘Uyūn

al-Masā’il, karya al-Hākim al-Jusyamī. Buku ini diterbitkan pada tahun 1974

oleh al-Dār al-Tūnisiyyat li al-Nasyr.28

3. Al-Muḥīṭ bi at-Taklīf atau al-Majmū’ fī al-Muḥīṭ bi at-Taklīf. Buku ini

merupakan buku besar yang terdiri dari empat bagian. Buku ini ditemukan

bukan dalam versi yang dibuat oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār sendiri,

melainkan dalam versi yang dibuat oleh muridnya, yaitu al-Ḥasan al-

Mattawaih. Buku ini membahas tentang pokok Keesaan dan Keadilan Tuhan.

Bagian pertama dari buku ini diterbitkan di Kairo pada tahun 1965 oleh al-Dār

al-Misyriyyah li al-Ta’līf wa al-Tarjamah. Kemudian bagian kedua diterbitkan

pada tahun 1986 di Beirut oleh Dār al-Masyriq. Bagian ketiga sudah selesai

diedit namun belum diedit, sedangkan bagian keempat belum diedit.

28

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār dan Ayat-ayat Mutaŝābihāt dalam al-Qur’ān:

Pembahasan tentang Kitab Mutaŝābih al-Qur’ān, h. 28.

Page 72: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

57

4. Tanzīh al-Qur’ān ‘an al-Matā’in. Buku ini berisi penjelasan mengenai ayat-

ayat al-Qur’an yang dapat dianggap oleh lawan sebagai ayat yang

mengandung kelemahan. Di dalam buku ini Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār

mempertahankan beberapa ajaran Mu‘tazilah dengan mengambil argumentasi

dari al-Qur’an. Topik-topik dan cara pembahasan dalam buku ini tidak jauh

berbeda dari pembahasan yang terdapat dalam buku Mutasyābih al-Qur’ān.

Menurut Marie Bernand, Tanzīh al-Qur’ān ‘an al-Matā’in merupakan

semacam ringkasan saja dari Mutasyābih al-Qur’ān. Hal ini dikarenakan

sebagian besar dari topik-topik dalam Tanzīh al-Qur’ān sudah dibahas secara

lebih mendalam dalam Mutasyābih al-Qur’ān. Buku ini pertama kali

diterbitkan di Kairo oleh al-Mathba’at al-Jamāliyyah pada tahun 1329 H.29

5. Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah. Buku ini secara panjang lebar membahas tentang

lima ajaran pokok Mu‘tazilah. Kelima ajaran pokok tersebut yaitu: al-Tauḥīd

(Keesaan Allah), al-‘Adl (Keadilan Allah), al-Wa’d wa al-Wa’īd (Janji dan

Ancaman Allah), al-Manzilah bain al-Manzilataīn (Suatu tempat di antara dua

tempat, atau antara Surga dan Neraka), dan al-‘Amr bi al-Ma’rūf wa al-Nahī

‘an al-Munkar (Mengajak kepada perbuatan baik dan mencegah perbuatan

yang tidak baik). Maktabat Wahbah, Kairo menerbitkan satu versi dari buku

ini yang dibuat oleh seorang murid Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Qawām al-Dīn

Mankadīm Aḥmad bin al-Ḥusain bin Abī Hasyīm al-Ḥusainī Syasydīw, hasil

suntingan ‘Abd al-Karīm ‘Utsmān, pada tahun 1384 H./ 1965 M.30

29

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 23. 30

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 23.

Page 73: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

58

6. Tasbīt Dalā’il al-Nubuwwah. Buku ini berisi tentang pembuktian atas

kenabian Muḥammad Saw. Buku ini diterbitkan oleh Dār al-‘Arabiyyah,

Beirut, dalam dua jilid, hasil suntingan ‘Abd al-Karīm ‘Utsmān.

7. Mutasyābih al-Qur’ān. Buku ini telah diterbitkan dalam dua jilid oleh Dār al-

Turāts, Kairo, pada tahun 1969, hasil suntingan ‘Adnān M. Zarzūr. Buku ini

oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār disebut dengan dua nama. Pada al-Mughnī jilid

XVIII:94, ia menyebutnya Mutasyābih al-Qur’ān, sedangkan pada jilid XX/

2:258 ia menyebutnya dengan Bayān al-Mutasyābih fī al-Qur’ān. Buku ini

ditulis di sela-sela penulisan Al-Mughnī fī Abwāb al-Tauḥīd wa al-‘Adl. Buku

ini membahas ayat-ayat mutasyābihāt di dalam al-Qur’an yang berkenaan

dengan masalah-masalah keakidahan.31

8. Kitāb al-Uṣūl al-Khamsah. Risalah ringkas ini diedit dan diterbitkan oleh

Daniel Gimaret melalui artikelnya “Les Uṣūl al-Hamsa du Uṣūl ‘Abd al-

Ğabbār” dalam Annales Islamologique, no. 15/ 1979, halaman 47-96.

9. Al-Mukhtatsar fī Uṣūl al-Dīn. Risalah ini diedit dan diterbitkan oleh

Muḥammad ‘Ammārah dalam Rasā’il al-‘Adl wa al-Tauḥīd, halaman 197-

282.

31

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, h. 29.

Page 74: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

59

BAB IV

MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANG

MU‘TAZILĪ: AL-QĀḌĪ ‘ABD AL-JABBĀR

A. Definisi Melihat Allah

Melihat Allah bagi kaum Asy‘ariyah disebut dengan istilah Ru‘yah Allāh.

Ru’yah berasal dari kata رؤية –رأي –يرى –رأى yang berarti melihat, meyakinkan,

mengira, menyangka.1 Kata Ru’yah bisa juga diartikan dengan ”Annazar bil aini

au bil-qalbi” (melihat dengan mata atau dengan hati). Adapun Allah adalah nama

Tuhan yang paling banyak disebut di dalam al-Qur’an yaitu sebanyak 2799 kali.

Lafal jālālah (lafal kemahaagungan) itu berasal dari akar kata “ilāh” (yang

disembah), yang dihilangkan “jamzah” –nya dan diganti dengan “alif” dan

“lam” sehingga ditulis “Allāh”. Nama ini khusus sebagai nama al-Bārī Ta’ālā

(Tuhan Maha Pencipta Mahatinggi). Itulah nama Tuhan yang sesungguhnya dan

merupakan totalitas nama Tuhan yang mencakup segenap nama-Nya yang lain.2

Sehingga Ru‘yah Allāh bisa diartikan dengan melihat Tuhan dengan penglihatan

mata atau penglihatan hati. Adapun kaum Mu‘tazilah menggunakan istilah idrāk

(kemampuan melihat).

Kata rā’a (رأى) berarti naẓara (نظر), yaitu melihat.3 Term ini dapat

dijumpai di dalam al-Qur’an:

1 Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq (Arab – Jawa – Indonesia): Disertasi Istilah-istilah

Feqih, (Bangsri: Amtsilati, 2004), h. 205. 2 Muslim Rahmatullah, Kajian Tematik Al-Qur’ān tentang Ketuhanan, (Bandung:

Penerbit Angkasa, 2008), h. 4. 3 Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq, h. 643.

Page 75: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

60

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada

Tuhannyalah mereka melihat.”4

Kata naẓara ilā pada ayat tersebut menurut Al-Juwainī berarti melihat

dengan mata fisik. Adapun Mu‘tazilah mengartikannya dengan menunggu

(intiẓār) atau mendekat (taqarrub). Al-Juwainī menolak pendapat tersebut dengan

menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab, kata naẓara mempunyai beberapa arti.

Apabila kata naẓara dimaksudkan untuk menunggu atau mendekat, pemakaiannya

tanpa ṣilah (penghubung).5 Seperti yang disebutkan dalam salah satu surat:

"Tunggulah Kami supaya Kami dapat mengambil sebahagian dari

cahayamu.”6

Apabila arti kata naẓara yang dimaksudkan adalah berpikir, maka kalimat

harus menggunakan ṣilah (penghubung) dengan huruf fī. Selanjutnya apabila kata

naẓara dimaksudkan untuk penanda kasihan (taraḥḥum), maka ṣilah

(penghubung) yang digunakan adalah li. Akan tetapi, jika yang dimaksudkan arti

melihat dengan mata fisik, maka ṣilah (penghubung) yang digunakan adalah ilā,

sebagaimana disebutkan dalam Surah al-Qiyāmah ayat 22-23, kata naẓara harus

berarti melihat dengan mata fisik.7

Pendapat itu pun ditolak oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, dengan mengatakan

bagaimana mungkin mereka bisa mengatakan, bahwa naẓara harus berarti

melihat? Orang Arab membedakan antara naẓara dengan rā’a. Mereka

mengatakan, نظرت الى الهالل فلم أره (naẓartu ilā al-hilāli falam arahu) yang artinya

4 Q.S. Al-Qiyāmah: 22-23.

5 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2005), h. 106. 6 Q.S. Al-Ḥadīd: 13.

7 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 107.

Page 76: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

61

Aku memandang bulan, tetapi aku tidak melihatnya. Ucapan tersebut tidak bisa

berarti رأيت الهالل فما رأيته (ra’aitu al-hilāla famā ra’aitu) yaitu Aku melihat bulan,

tetapi aku tidak melihatnya. Mereka menjadikan ru’yah (melihat) sebagai tujuan

akhir dari memandang. Mereka juga mengatakan نظرت حتى رأيت Jika naẓara

berarti rā’a, maka kalimat di atas akan berarti رأيت حتى رأيت (Aku malihat sampai

aku bisa melihat). Hal ini menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār adalah tidak mungkin.

Kata naẓara ilā bisa diartikan menunggu atau menanti-nanti,8 seperti yang

disebutkan di dalam al-Qur’an:

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah

tangguh sampai Dia berkelapangan.”9

Dapat dipahami bahwa maksud ayat tersebut adalah, ketika ia menemukan

kesulitan, ia menunggu-nunggu kemudahan. Jadi yang dimaksud dalam Surat al-

Qiyāmah ayat 22-23 menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār adalah “Orang-orang yang

mempunyai wajah-wajah itu menanti-nanti nikmat Tuhannya.”10

Selanjutrnya, kaum Asy‘ariyah menanggapi pendapat tersebut dengan

mengatakan bahwa surga bukanlah tempat untuk menanti-nanti, karena menanti

merupakan siksaan batin dan penuh dengan ketidakpastian. Al-Qāḍī ‘Abd al-

Jabbār membantah pendapat ini dengan mengatakan bahwa hal itu bisa terjadi

apabila yang dinantikannya tidak pasti dan meragukan. Akan tetapi, nikmat Tuhan

di surga adalah sesuatu yang pasti datang dan meyakinkan, sebab itu tidak akan

menimbulkan siksaan batin.11

8 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 107.

9 Q.S. Al-Baqarah: 280.

10 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 108.

11 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 108.

Page 77: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

62

Sebagaimana Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Al-Zamakhsyarī dalam tafsir al-

Kasysyāf nya juga menafsirkan lafaẓ naẓirah (melihat) kepada makna al-

Tawaqqu’ wa al-Raja (menunggu/ mengharapkan). Surat al-Qiyāmah ayat 22-23

sebenarnya berbicara tentang kemampuan manusia untuk melihat Allah pada hari

kiamat. Akan tetapi, al-Zamakhsyarī dalam menafsirkan ayat ini dipengaruhi oleh

salah satu prinsip mazhab Mu‘tazilah yang dianutnya, yaitu prinsip al-Tauḥīd.

Dalam prinsip tersebut kaum Mu‘tazilah menolak adanya tajsīm (penyerupaan

terhadap sifat makhluk). Hal ini berimplikasi pada penafsiran bahwa melihat

Tuhan adalah suatu hal yang mustahil. Oleh sebab itu, kata naẓirah yang

bermakna melihat, ia palingkan maknanya kepada makna yang lain, yaitu

mengharap. Dengan penafsiran seperti ini, ia telah menafsirkan ayat al-Qur’an

tanpa menyalahi prinsip dasar mazhab mu‘tazilah. Metode ini digunakan untuk

melegitimasi madzhabnya dengan menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an agar sesuai

dengan madzhabnya.12

B. Melihat Allah dalam Pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār

Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang secara sepintas memberikan pengertian

bahwa Allah bertempat, yang mengisyaratkan bahwa Dia mempunyai mata,

wajah, dan tangan. Ini memberi konsekuensi bahwa Dia adalah jisim atau wujud

materi, karena yang dapat mengambil tempat hanyalah jisim. Dikatakan bahwa

setelah menciptakan untuk manusia semua yang ada di bumi, Allah استوى على السماء

yang berarti “duduk di atas langit”, sementara duduk hanya dapat berlaku untuk

jisim. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Dia berpindah dari bumi ke langit,

padahal pindah hanya dapat terjadi pada wujud materil. Pengertian seperti ini

12

Dara Humaira dan Khairun Nisa, Unsur I’tizalī dalam Tafsir al-Kasysyāf: Kajian Kritis

Metodologi al-Zamakhsyarī, (Yogyakarta: Maghza Vol. 1 No. 1, Januari-Juni, 2016), h. 38.

Page 78: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

63

tidak diterima oleh kaum Mu‘tazilah, dan karenanya Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār

menerangkan bahwa pengertian seperti itu salah. Hal ini terkait dengan

penolakannya terhadap kemungkinan melihat Tuhan.13

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menolak pemahaman seperti itu dan menjelaskan

bahwa ayat tersebut mestilah dipahami dengan: Allah menciptakan untuk kita apa-

apa yang ada di bumi, lalu Dia menciptakan untuk kita juga langit-langit dan

menjadikannya sama; sehingga dengan penciptaan-Nya, menjadi sempurnalah

nikmat-nikmat-Nya atas kita dari segi-segi yang tak terhitung banyaknya.14

Ayat lain yang menyatakan bahwa Allah ada di langit dan di bumi.15

Oleh

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dijelaskan bahwa secara harfiah ayat ini memberi

pengertian bahwa Allah ada di langit dan di bumi dalam waktu yang sama. Ayat

ini sebagai bukti bahwa Tuhan bukan jisim, karena mustahil jisim ada dalam dua

tempat yang berbeda pada waktu yang sama. Penyebutan bahwa Allah ada di

langit dan di bumi sekaligus, berarti bahwa Dia tidak menjadikan langit dan bumi

sebagai tempat bagi-Nya, karena hal itu mustahil bagi sesuatu yang bisa

bertempat. Oleh karena itu, ayat ini harus ditakwilkan dengan pengertian bahwa

Allah menjadikan langit-langit dan bumi sebagai wadah (zarf) bagi pengaturan

dan kekuasaan-Nya serta pengelolaan-Nya atas keduanya sesuai dengan

kehendak-Nya. Dia ada dimana-mana. Maksudnya, bahwa tak sesuatu pun yang

13

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 131. 14

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 132. 15

“dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui

apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu

usahakan.” Q.S. Al-An’ām: 3.

Page 79: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

64

lepas dari pengetahuan-Nya. Karena pengetahuan-Nya meliputi kedunya (di langit

dan di bumi).16

Dalam ayat lain juga disebutkan bahwa orang dapat bertemu dengan Allah

dan akan kembali kepada-Nya.

“(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya,

dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”17

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menolak jika ayat tersebut dipahami dengan Allah

berada dalam tempat tertentu untuk dapat terjadi pertemuan dengan-Nya dan

kembali kepada-Nya. Pemahaman seperti ini memberi konsekuensi bahwa Dia

tentu hanya dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan tempat itu, dan

hanya dapat berbuat di situ. Dia pun pasti membutuhkan tempat yang azali. Ini

semua merupakan ketidakbenaran pendapat lawan.18

Lalu, Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār mengajukan alasan dari penolakannya dari

segi kebahasaan, bahwa kata ظن -يظن –ظن (menduga, mengira, menyangka)19

yang dipakai tidak mengharuskan bahwa yang terjadi adalah seperti itu,

sebagaimana para penafsir al-Qur’an yang menakwilkannya dengan

“mengetahui”.20

Ayat tersebut bermaksud: mereka tahu bahwa mereka akan

bertemu dengan pahala yang dijanjikan kepada mereka dan bahwa mereka akan

kembali kepada suatu waktu yang di dalamnya tiada yang memiliki segala perkara

selain Allah. Pada yang terakhir ini Allah menyebutkan diri-Nya, sedangkan yang

dimaksudkan adalah perbuatan-Nya. Pertemuan bukanlah berdekatan sehingga

16

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 136. 17

Q.S. Al-Baqarah: 46. 18

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 134. 19

Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq, h. 383. 20

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 133.

Page 80: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

65

dapat melihat. Orang buta seringkali bertemu dengan orang lain, manakala dia

mendengar pembicaraannya, meskipun tidak melihatnya dan terkadang ia pun

berada dalam tempat yang jauh.21

Mengenai ayat-ayat yang menunjukkan penyerupaan Allah dengan

makhluk dengan adanya wajah, mata, dan tangan bagi Allah, Al-Qāḍī ‘Abd al-

Jabbār menjelaskan bahwa jika kata wajah dipakai sehubungan dengan sesuatu

yang tidak terbagi menjadi bagian-bagian, maka yang dimaksud adalah zatnya.

Mengenai penisbatan wajah kepada Tuhan, terdapat salah satu ayat yang

menyatakan bahwa: “dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun

kamu menghadap di situlah wajah Allah.”22

Kata wajah ditakwilkan dengan Zat-

Nya,23

sehingga yang dimaksud dengan wajah Allah adalah kekuasaan Allah yang

meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui

perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.

Adapun mengenai penisbatan mata dan tangan kepada Allah, Al-Qāḍī

‘Abd al-Jabbār menempuh cara yang sama untuk menolak penisbatan tersebut.

Mata Allah tidak dapat dipahami menurut pengertian lahiriah, yang dimaksud

dengan mata Allah adalah penglihatan batin dan pengetahuan yang diberikan

Allah. Sedangkan penisbatan tangan kepada Allah dapat diartikan dengan

pemberian atau nikmat. Terbukanya tangan Allah melambangkan bahwa Dia

Maha Pemurah. Selain itu, tangan Tuhan dapat juga dipahami dengan kekuasaan-

Nya24

21

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 134. 22

Q.S. Al-Baqarah: 115. 23

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 139. 24

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 143.

Page 81: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

66

Penolakan-penolakan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār di atas berkaitan dengan

penolakannya terhadap kemungkinan melihat Tuhan. Dia menolak pandangan

yang menyatakan bahwa di hari Kiamat nanti sebahagian wajah berseri-seri

melihat Tuhan mereka, sebagaimana yang dikatakan lawan Mu‘tazilah dengan

menggunakan ayat al-Qur’an sebagai dasar pemikirannya:

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri; kepada

Tuhannyalah mereka melihat.25

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menolak pendapat tersebut dengan beberapa

alasan. Pertama, kata نظر pada ayat tersebut tidak berarti melihat (رأى), karena

kata ini jika dikaitkan dengan العين (mata) berarti usaha untuk melihat (طلب الرؤية),

sebagaimana jika dikaitkan dengan القلب (hati) maka artinya adalah usaha untuk

tahu (طلب المعرفة). Seperti yang dikatakan orang Arab, "نظرت إلى شيء فلم أره النظر”

(Aku berusaha untuk melihat sesuatu tetapi aku tidak melihatnya). Hakekat النظر

adalah mengarahkan biji mata ke arah sesuatu untuk melihatnya, maka jika

demikian keadaannya, pastilah Tuhan yang dilihat itu berada pada suatu arah. Hal

ini menunjukkan bahwa Allah jisim, karena berada pada arah tertentu. Karena ini

tidak dapat diterima, maka pastilah kata ربها (Tuhan mereka) itu ditakwilkan

dengan pahala yang diberikan Tuhan.26

Selanjutnya, Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār memaparkan bahwa alasan kedua

dari penolakannya adalah, kata نظر kadang dipakai untuk pengertian ينتظر –انتظر-

,(berharap-harap, menunggu-nunggu, menanti) انتظار27

terkadang dipakai untuk

pengertian mengarahkan mata ke suatu obyek untuk melihatnya, selain itu kadang

25

Q.S. Al-Qiyāmah: 22-23 26

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 143. 27

Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq, h. 644.

Page 82: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

67

dipakai juga untuk pengertian berpikir dengan hati untuk memperoleh

pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa pengertian lahiriah dari ayat itu tidak

mesti menunjuk kepada apa yang dimaksudkan oleh lawan.28

Alasan ketiga, Allah menghendaki keseluruhan manusia, bukan bagian

tertentu darinya, ketika Dia menyebut kata وجوه. Dibuktikan dengan pernyataan

pada ayat sesudahnya yang menyatakan bahwa wajah-wajah yang lain mengira

akan ditimpakan kepada mereka malapetaka amat dahsyat.29

Pengaitan kata الظن

(mengira) dengan wajah tidak lazim, maka yang dimaksudkan adalah manusia

pemilik wajah itu. Sehingga ayat ini bersifat mujmal (global, tidak terperinci),

oleh karena itu, pengertian lahiriahnya tidak dapat dipakai sebagai dalil begitu

saja.30

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār juga menambahkan alasan penolakan melihat

Tuhan yang berkaitan dengan permintaan Nabi Musá kepada Tuhan untuk

melihat-Nya.31

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār mengatakan bahwa ayat ini tidak dapat

dijadikan dasar kemungkinan melihat Allah. Sebaliknya, oleh orang-orang

Mu‘tazilah ayat ini justru dijadikan alasan penolakan melihat Allah, karena

jawaban Allah terhadap permintaan Nabi Musá adalah bahwa dia tidak akan

melihat-Nya. Sebagaimana yang diceritakan pada ayat tersebut, bahwa Allah

28

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 144. 29

“dan Wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan

ditimpakan kepadanya malapetaka yang Amat dahsyat.” Q.S. Al-Qiyāmah: 24-25. 30

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 144. 31

“dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami

tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku,

nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman:

"Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di

tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya Menampakkan

diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka

setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan

aku orang yang pertama-tama beriman". Q.S. Al-A’rāf: 143.

Page 83: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

68

meminta Nabi Musá untuk melihat gunung, jika gunung itu tetap pada tempatnya,

barulah dia dapat melihat-Nya. Ternyata yang terjadi adalah gunung itu hancur

setelah Allah menampakkan Diri-Nya (تجلى) kepadanya. Allah menyatakan bahwa

Dia menghukum mereka dengan menurunkan petir ketika mereka mengatakan,

“Hai Musá, perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata”32

kepada Musá.

Allah menurunkan petir sebagai hukuman atas perkataan mereka yang salah,

karena Allah tidak menghukum atas kebenaran.33

Pada ayat yang lain disebutkan:

“bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan

tambahannya.”34

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār mengatakan bahwa jika yang dimaksud dengan

kata زيادة (tambahan) pada ayat tersebut adalah melihat Tuhan di akhirat, maka hal

ini tidak dapat diterima. Sebab jika tambahan yang dimaksudkan adalah melihat

Tuhan, maka tambahan ini justru lebih besar dari yang ditambahi. Selain itu,

menyatakan bahwa melihat Allah adalah merupakan sebuah kenikmatan, akan

memberi konsekuensi bahwa Tuhan termasuk obyek kesenangan dan keinginan;

Dia termasuk kenikmatan dan kelezatan. Pemahaman seperti ini menurut Al-Qāḍī

‘Abd al-Jabbār membuat orang keluar dari agama.35

32

“ahli kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab

dari langit. Maka Sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu.

mereka berkata: "Perlihatkanlah Allah kepada Kami dengan nyata". Maka mereka disambar petir

karena kezalimannya,”Q.S. An-Nisā’: 153. 33

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 146. 34

Q.S. Yūnus: 26. 35

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 147.

Page 84: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

69

Mengenai penolakan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terkait kemungkinan melihat

Allah, ada ayat yang jelas-jelas menyatakan bahwa Allah tidak dapat ditangkap

dengan penglihatan. Pernyataan ini dapat dijumpai di dalam al-Qur’an:

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat

segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha

mengetahui.”36

Ayat ini berarti bahwa Allah tidak dapat dilihat, karena kata اإلدراك disertai

penyebutan البصر menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah melihat dengan

penglihatan (mata fisik). Ayat ini bersifat umum tanpa ada pengecualian, maka

bagaimana pun dan kapan pun Allah tidak dapat dilihat dengan mata fisik atau

dengan penglihatan yang lain.37

C. Kritik Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terhadap Asy‘ariyyah

Bagi kaum Mu‘tazilah, yang wajib dinegasikan dari Allah Swt. adalah

melihat-Nya (Ru’yah). Ini merupakan masalah yang bertentangan di antara kaum

Mu‘tazilah dengan Asy‘ariyyah yang tidak meyakini takyīf (cara) dalam persoalan

ru’yah.38

Dalam memperdebatkan persoalan ini, baik kaum Mu‘tazilah maupun

kaum Asy‘ariyyah tidak hanya menggunakan dalil akal, tetapi juga menggunakan

dalil-dalil dari al-Qur’an untuk mempertahankan pendirian masing-masing.

Kaum Mu‘tazilah berpendapat bahwa Tuhan mustahil dapat dilihat dengan

mata fisik dan menolak argumen-argumen yang bertentangan sebagaimana yang

diyakini oleh kaum Asy‘ariyyah. Akan tetapi, dalam hal ini kaum Mu‘tazilah

tidak sampai mengkafirkan orang-orang yang berselisih dengannya. Pernyataan

36

Q.S. Al-An’ām: 103. 37

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 147. 38

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), h.

232.

Page 85: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

70

ini dapat dijumpai di dalam kitab Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, yaitu Syarḥ Uṣūl al-

Khamsah:

ولهذا لم نكفر من خالفنا فى هذه المسألة لما كان الجهل بأنه تعالى اليرى اليقتضى جهال بذاته وال

بشئ من صفاته39

“Dijelaskan di sini, bahwa salah satu di antara kita mungkin mengetahui

bahwasanya alam semesta ini mempunyai Pencipta yang bijak, tidak

terpikir olehnya apakah dia melihat-Nya atau tidak. Karena inilah kita

tidak mengkafirkan orang yang berselisih dengan kita dalam masalah ini,

karena ketidaktahuan bahwa Allah Swt. memang tidak terlihat dan Dia

tidak membutuhkan ketidaktahuan itu baik secara zat-Nya ataupun segala

sesuatu dari sifat-sifat-Nya. Inilah alasan kita, seperti yang disebutkan

dalam ayat ini (Ya Tuhanku, Tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku

dapat melihat-Mu) yang menjadi permintaan Nabi Musa kepada diri-Nya,

karena Dia tidak harus terlihat dalam keadaan apapun.”40

Tuhan bersifat immateri, oleh karena itu logika mengatakan bahwa Tuhan

tidak dapat dilihat dengan mata fisik. Ini adalah pendapat kaum Mu‘tazilah. Al-

Qāḍī ‘Abd al-Jabbār mengatakan bahwa Tuhan tidak mengambil tempat dan

dengan demikian tidak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang

mengambil tempat. Jika Tuhan dapat dilihat dengan mata fisik, Tuhan juga akan

dapat dilihat sekarang di alam ini. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat

melihat Tuhan di alam ini.41

Adapun sebaliknya, kaum Asy‘ariyyah berpendapat bahwa Tuhan akan

dapat dilihat oleh manusia dengan mata fisik di akhirat nanti. Tuhan berkuasa

mutlak dan dapat mengadakan apa saja. Adapun akal manusia lemah dan tidak

selamanya sanggup memahami perbuatan dan ciptaan Tuhan. Apa saja,-

sebagaimana dipahami oleh Harun Nasution,- sungguhpun itu bertentangan

39

Karena inilah kita tidak mengkafirkan orang yang berselisih dengan kita dalam masalah

ini, karena ketidaktahuan bahwa Allah Swt. memang tidak terlihat dan Dia tidak membutuhkan

ketidaktahuan itu baik secara dzat-Nya ataupun segala sesuatu dari sifat-sifat-Nya. Lihat Al-Qāḍī

‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 233. 40

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 233. 41

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan,

(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,1986), h. 139.

Page 86: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

71

dengan pendapat akal manusia, dapat dibuat dan diciptakan Tuhan. Dengan

demikian, melihat Tuhan yang bersifat immateri dengan mata fisik tidaklah

mustahil.42

Pendapat Harun Nasution tentang itu perlu dikritisi.

Asy‘ariyyah memperkuat pendapatnya dengan mengajukan argumen

bahwa yang tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud. Yang

mempunyai wujud pasti dapat dilihat. Tuhan berwujud, oleh karena itu pasti dapat

dilihat. Tuhan melihat apa yang ada dan dengan demikian melihat diri-Nya juga;

jika Tuhan melihat diri-Nya, maka ia juga akan dapat membuat manusia bisa

melihat-Nya.43

Adapun golongan yang sepaham dengan Asy‘ariyyah dalam hal ini

diantaranya adalah kaum Maturidiyah. Mereka berpendapat bahwa Tuhan dapat

dilihat karena Dia mempunyai wujud. Al-Bazdawī juga berpendapat bahwa Tuhan

dapat dilihat, sungguhpun tidak mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat dan

tidak terbatas.44

Di antara dalil al-Qur’an yang diajukan kaum Mu‘tazilah untuk

memperkuat argumennya adalah:

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat

segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha

Mengetahui.”45

Ayat ini telah membuktikan bahwa Allah Swt. menyangkal kemampuan

melihat terhadap diri-Nya sendiri. Ayat ini merupakan pujian untuk diri-Nya

sendiri. Penolakan untuk memuji diri-Nya merupakan sebuah bukti kekurangan,

42

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 139. 43

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140. 44

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140. 45

Q.S. Al-An‘ām: 103.

Page 87: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

72

dan kekurangan bagi Allah dalam keadaan apapun tidaklah diperbolehkan.46

Tegasnya, ayat ini menjelaskan bahwa Tuhan tidak akan dapat dilihat. Adapun

kaum Asy‘ariyyah memahami ayat ini dengan pengertian bahwa Tuhan tidak

dapat dilihat di dunia, tetapi dapat dilihat di akhirat.47

Karena melihat Allah

merupakan kenikmatan yang paling utama dan hanya ada di akhirat. Menurut

mereka, ayat ini juga mengandung makna bahwa Allah tidak dapat dilihat oleh

orang kafir.48

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menjelaskan terkait ayat ini bahwa kemampuan

melihat (idrāk) jika dikaitkan dengan baṣār tidak bisa kecuali ru’yah, karena yang

melihat itu tidaklah mampu melihat jika dia mendapati keadaannya sebagai

seorang yang mampu melihat (mudrik). Kata idrāk jika dikaitkan dengan

penglihatan maka dia tidak mampu kecuali penglihatan seperti apa yang telah

disebutkan.49

Konteks ayat ini secara keseluruhan adalah pujian-pujian bagi Allah Swt.

Sebagian berkata bahwa unsur pujiannya adalah yang Qadim tidak dapat dilihat di

dunia ataupun di akhirat, seperti apa yang dikatakan oleh orang-orang Mu‘tazilah.

Ada juga yang mengatakan bahwa unsur pujiannya adalah dia tidak terlihat di

dunia, dan sebagian yang lain juga mengatakan bahwa unsur pujiannya adalah

yang tidak disa dilihat dengan panca indera ini dan bisa dilihat dengan bantuan

indera yang lain. Sehingga benar bahwa ayat ini bertujuan untuk memuji Allah

Swt. sebagimana yang dikatakan kaum Mu‘tazilah. Penjelasan tentang ini lebih

lanjut dapat ditemukan di dalam kitab Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār:

46

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 233. 47

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 142. 48

Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, Pokok-pokok Ajaran Dien, Terj. Abū Fahmi, ( Jakarta: Gema

Insani Press, 1993), 41. 49

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 234.

Page 88: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

73

“Bila dikatakan: pujian seperti apa yang tidak melihat Zat yang Qadim,

padahal ia berisi sejumlah hal; kematian dan banyak yang lainnya dari

yang ada? maka kami menjawab: tidak akan ada pemujian jika hanya

berdasarkan bahwa Dia tidak terlihat, namun pemujian lahir karena adanya

yang melihat dan yang tidak, Dan tidaklah dilarang sesuatu untuk menjadi

pujian disandingkan dengan sesuatu yang lain agar menjadi pujian.

Demikian juga tidak ada pujian dalam proses penafian unsur teman dan

anak (bagi Allah) di samping kenyataan bahwa Allah adalah Zat tanpa

cela/ cacat yang hidup, maka itu menjadi pujian (bagi-Nya), demikian

pujian dalam kenyataan bahwa tidak ada sesuatu yang mendahului-Nya, di

samping kenyataan bahwa segala yang tidak ada itu menyertai-Nya, hal itu

kemudian menjadi pujian karena beberapa hal lainnya; yaitu bahwa Allah

Zat yang Maha Berkehendak, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha

Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Ada. Kesimpulannya, bahwasanya

pemujian bisa berlaku ketika terjadinya ikatan antara Dia dengan zat-zat

yang lain, sedangkan ikatan tidak akan terjadi kecuali dengan apa yang

sudah kami katakan. Karena zat-zat terbagi dalam beberapa bagian; ada

yang melihat dan yang dilihat seperti satu dari kita, ada juga yang tidak

melihat dan juga tidak terlihat seperti yang tidak ada, begitu juga ada yang

dilihat tapi tidak bisa melihat beserta benda-benda, ada juga yang tidak

terlihat namun dia melihat seperti yang Qadīm Swt. Maka dari itu benar

adanya pujian sebagaimana firman-Nya: dia memberi makanan namun

tidak diberi makanan.”50

Kaum Asy‘ariyyah mengatakan bagaimana mungkin sesuatu hal itu bisa

menjadi pujian jika sesuatu yang bukan terpuji itu digabungkan dengan yang

terpuji. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menjelaskan bahwa tidak ada larangan untuk hal

itu. Sebagai contoh, Allah Swt. berfirman: “Tidak mengantuk dan tidak tidur”.

Kalimat tersebut awalnya bukanlah kalimat yang mengandung pujian, kemudian

menjadi pujian ketika digabungkan dengan firman-Nya yang lain, “Allah, tidak

ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup, Yang terus-menerus mengurus

(makhluk-Nya).” Demikian juga jika dikatakan bahwa “Allah Swt itu ada”,

kalimat itu tidak mengandung pujian. Akan tetapi, ketika disandingkan dengan

kalimat yang lain seperti “Tidak ada yang mendahului-Nya”, hal ini menjadi

pujian bagi-Nya.51

50

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h.. 237. 51

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 237.

Page 89: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

74

Selanjutnya, jika dikatakan bahwa sesuatu yang bukan pujian dibolehkan

menjadi sebuah pujian dengan menyandingkan kepada selainnya, maka sama saja

tidak ada larangan yang bodoh menjadi hal yang dipuji karena disandingkan

dengan keberanian dan kekuatan hati, sehingga seseorang boleh memuji orang

lain bahwa ia bodoh, kuat hati, dan pemberani. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menjawab

ini di dalam kitabnya:

“Sesungguhnya posisi yang mencerminkan kekurangan dalam perkataan

kita, yaitu bodoh, cacat ataupun yang lainnya, tidak bertentangan

kegunaannya, tidak berubah pula keadaannya baik dengan sandingan

atapun tidak. Tapi, mengakibatkan kekurangan dengan segala keadaan

yang sama, baik digabungkan dengan yang lainnya ataupun tidak, dan

bukanlah seperti itu cara menilai mana yang bukan pujian dan

kekurangan, hanya saja hal itu tidak dilarang untuk menjadi sebab lahirnya

pujian dengan unsur yang lain sebagaimana yang telah kami sebutkan.”52

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menambahkan penjelasannya mengenai hal ini,

bahwa sesungguhnya sesuatu yang bukan pujian, jika disandingkan kepada

sesuatu yang terpuji, dan menghasilkan keterikatan, maka ia akan menjadi pujian.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan ikatan itu sendiri adalah dia melihat tetapi

tidak terlihat. Pujian ini merujuk kepada zat, karena pujian terbagi menjadi dua.

Pertama, merujuk kepada diri-Nya sendiri (zat-Nya), dan yang kedua merujuk

kepada perbuatan-Nya. Adapun yang merujuk kepada zat terbagi menjadi dua.

Pertama, merujuk kepada ketetapan-Nya, seperti: Maha Berkehendak, Maha

Mengetahui, Maha Hidup, Maha Mendengar, dan Maha Melihat. Yang kedua,

merujuk kepada penyangkalan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya

bahwa Dia tidak membutuhkan, tidak bergerak, dan tidak menetap. Sedangkan

yang merujuk kepada perbuatan juga terbagi menjadi dua. Pertama, merujuk

kepada ketetapan, seperti Allah Maha Memberi Rezeki, Maha Baik, dan Maha

52

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 238.

Page 90: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

75

Mulia. Kemudian yang kedua merujuk kepada penyangkalan seperti Dia tidak

mendzalimi dan tidak berbohong.53

Dengan demikian, menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, posisi firman Allah

yang berbunyi “Dia tidak bisa dicapai dengan penglihatan mata” wajib dilihat dari

dua bagian itu. Ayat ini tidak bisa menjadi bagian dari kelompok yang merujuk

pada perbuatan, karena Allah Swt. tidak berbuat apapun sehingga Dia tidak

terlihat. Dan suatu objek tidak perlu dikatakan tidak melihat hingga ada perbuatan

yang mendorongnya untuk tidak terlihat. Karena sesungguhnya banyak hal yang

tidak terlihat meskipun tidak melakukan sesuatu seperti tidak ada dan seperti

kebanyakan yang tidak esensial. Sesuatu tidak akan terlihat karena memang sebab

internal tidak terlihat karena zat-Nya, bukan karena Dia melakukan sesuatu. Jika

memang benar seperti itu, maka benar bahwa pemujian semacam ini merujuk

kepada zat internalnya seperti yang sudah dikatakan.54

Dikatakan bahwa, jika proses penyangkalan pujian merujuk kepada zat-

Nya, maka ketetapan-Nya adalah kekurangan. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār

menjelaskan, hal ini karena jika ketetapan-Nya bukan merupakan kekurangan,

maka penyangkalan-Nya juga bukan merupakan pujian. Sebagaimana

penyangkalan Mengantuk dan Tidur manakala menjadi pujian, itu merupakan

ketetapan cacat. Sampai ada yang mengatakan bahwa Allah Swt. Tidur, ini juga

menjadi kelemahan atau kekurangan-Nya. Selanjutnya, jika Allah Swt. belum

terlihat, maka Dia tidak terlihat dalam bentuk zat-Nya. Jika Dia terlihat, maka

Allah Swt. harus keluar dari zat-Nya dan ini merupakan sebuah kekurangan.

Mengenai hal ini, tidaklah lazim bagi kita untuk mengetahui secara rinci letak

53

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 238. 54

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 239.

Page 91: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

76

kekurangan jika melihat Allah, melainkan secara umum. Sesungguhnya Allah

Swt. dipuji karena adanya penyangkalan atas kemampuan melihat zat-Nya, dan

jika penyangkalan itu menjadi pujian pada zat, maka hal ini sama saja menjadi

kekurangan.55

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menolak jika yang dimaksud dari firman Allah

Swt. yang berbunyi “Dia tidak bisa dicapai dengan penglihatan mata” adalah

orang yang melihat, sehingga makna yang sama terkandung dalam firman Allah

Swt. “Sedangkan Dia bisa mencapai semua penglihatan itu” agar

penyangkalannya selaras dalam penetapannya. Hal ini meniscayakan Allah Swt.

melihat diri-Nya sendiri karena Dia termasuk dari yang mampu melihat. Setiap

orang yang berkata bahwa Dia melihat diri-Nya sendiri, maka yang lain pun bisa

melihat-Nya. Selanjutnya, Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menjelaskan mengenai hal ini

di dalam kitabnya:

“Sesungguhnya Allah Swt. sekalipun Dia mampu melihat, maka hanya

melihat apa yang layak dilihat, sedangkan diri-Nya tetap mustahil untuk

dilihat, sebagaimana yang sudah kami jelaskan sebelumnya, bahwa Allah

Swt. dipuji dengan sebuah pujian yang kembali pada Zat-Nya karena Dia

tidak mampu direngkuh oleh penglihatan, namun jika penyangkalan (nafi’)

tersebut dimaknai kembali kepada Zat-Nya, maka proses isbat (penetapan)

-Nya menjadi cacat (kurang). Kekurangan/ cacat dalam diri-Nya tidak

diperbolehkan. Maksud firman Allah Swt. “Dia tidak bisa dicapai dengan

penglihatan mata” adalah orang yang melihat dengan mata, demikian juga

dalam firman-Nya “Sedangkan dia mampu mencapai semua penglihatan

itu”, maka makna dalam maksud yang kamu sampaikan itu haruslah

selaras dengan ketetapannya, dan Allah bukan orang yang melihat dengan

mata (seperti manusia), maka apa yang kamu katakan itu tidaklah lazim.”56

Kaum Asy‘ariyyah memahami firman Allah “Dia tidak bisa dicapai

dengan penglihatan mata, sedangkan Dia mampu melihat semua penglihatan itu”

adalah umum untuk di dunia dan akhirat, maka firman-Nya “Wajah-wajah (orang-

55

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 239. 56

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 241.

Page 92: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

77

orang mukmin) pada hari itu berseri-seri; kepada Tuhannyalah mereka melihat”57

ini khusus saat di akhirat nanti, dan sebenarnya yang umum itu dibawa dari yang

khusus, seperti layaknya yang membatasi dibawa dari yang dibatasi juga. Mereka

berdalil dengan ayat ini sebagai pembukaan bahwa Allah memang dapat dilihat

dengan mata fisik saat di akhirat nanti. Maka Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menanggapi

ini dengan mengatakan:

“Bahwa sesuatu yang umum itu dibangun dari yang khusus jika

memungkinkan pengkhususannya, dan ayat ini tidak menghasilkan

pengkhususan, karena Allah Swt. menjadi terpuji karena penyangkalan

bahwa Dia terlihat dalam bentuk zat-Nya, jika hal ini disangkal maka

Allah ada kekurangan, dan kekurangan bagi Allah tidak diperbolehkan

dalam segi apapun. Selanjutnya, sesungguhnya ayat ini menjadi khusus

jika memang diinformasikan bahwa Allah memang terlihat dalam keadaan

apapun, dan ayat ini tidak menceritakan demikian, karena kata “al-Naẓar”

bukan bermakna melihat. Inilah jawaban atas hal ini jika mereka

mengkaitkannya dari segi ini.”58

Kemudian Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menambahkan bahwa dalam ayat ini

tidak terdapat bukti bahwasanya wajah-wajah itu melihat-Nya di hari kiamat

nanti, dan begitu juga dengan kata “al-Naẓar” yang bermakna “al-Ru’yah”, dalil

akan hal itu tidak ditemukan di dalam ayat ini. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār

mengatakan kepada mereka:

“Bagaimana bisa diketahui bahwa “al-Naẓar” bermakna “al-Ru’yah”?

dan diketahui bahwasanya mereka mengatakan: نظرت الى الهالل فلم أره (saya

memandang hilal, namun saya tidak melihatnya), jika salah satu di antara

dua hal tadi adalah final, maka kalam mereka tidak konsisten atau

bertentangan, dan turunlah posisi perkataan mereka: رأيت الهالل فما رأيته

(saya melihat hilal namun saya tidak melihatnya), ini konyol dan

merupakan ketidakkonsistenan yang parah. Selanjutnya, sesungguhnya

mereka menjadikan kata “al-Ru’yah”sebagai puncak dari “al-Naẓar”,

mereka mengatakan: saya memandang sampai saya melihat, jika ssalah

satu dari dua hal ini adalah final, maka salah satu darinya berada dalam

posisi yang menjadikan salah satunya sebagai tujuan bagi dirinya sendiri,

57

Q.S. Al-Qiyāmah: 22-23 58

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 242.

Page 93: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

78

dan ini tidak boleh, maka daripada ini tidak dibenarkan juga jika dia

berkata : saya melihat sampai saya melihat.”59

Kata al-Naẓar pada ayat ini menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār bermakna

“menunggu”, seakan-akan Allah Swt. berkata: wajah-wajah mereka di kala itu

berseri-seri karena hadiah yang diberikan Tuhan mereka yang sudah ditunggu-

tunggu. Kata al-Naẓar bermakna penantian atau menunggu telah diindikasikan di

dalam firman Allah Swt. “Maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh

kemudahan.” Disebutkan di sini bahwa kata al-Naẓar disambungkan dengan ilá,

yang dimaksudkan di sini adalah menunggu.60

Adapun menurut Kaum Asy‘ariyyah kata naẓara dalam ayat tersebut tidak

bisa berarti memikirkan, karena akhirat bukanlah tempat berpikir. Juga tidak bisa

berrati menunggu, karena wujuh (muka atau wajah) tidak dapat menunggu, yang

menunggu ialah manusia. Oleh karena itu kata naẓara pastilah berarti benar-benar

melihat dengan mata fisik,61

bukan dengan makna yang lain seperti; i’tibar

(menunjukkan tanda kebesaran-Nya), ta’aṭṭuf (melihat karena iba), atau intiẓār

(menunggu). Mereka menolak pengertian tersebut dengan menjelaskan bahwa;

Tidak mungkin Allah menghendaki makana naẓar dalam ayat tersebut dengan

makna i’tibar (menunjukkan tanda kebesaran-Nya), karena akhirat bukan lagi

tempat untuk melakukan i’tibar. Kata naẓar juga tidak dapat diberi makna ta’aṭṭaf

(melihat karena iba), karena tidak mungkin makhluk melihat Tuhannya dengan

iba. Kata naẓar tidak dapat diberi makna intiẓār (menunggu atau penantian),

karena jika kata naẓar itu dikaitkan dengan kata “wajah” maka maknanya adalah

59

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 243. 60

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 246. 61

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140.

Page 94: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

79

melihat dengan dua mata yang terletak pada wajah.62

Selain itu, kata naẓar dalam

arti menunggu tidak membutuhkan kata ilá. Penambahan kata ilá dalam konteks

kalimat yang mengandung pengertian “menunggu" tidak lazim dalam bahasa

Arab.63

Mereka berkata atas ta’wil ini, bahwa sesungguhnya ayat ini disebutkan

untuk ahli Surga, bagaimana bisa dia bermakna menunggu? Sedangkan menunggu

itu bagian dari kemurungan dan kesukaran, mengakibatkan keributan dan

kekacauan. Mengenai hal ini, mereka menyebutkan perumpamaan bahwa

menunggu itu mewariskan kepucatan, dan menunggu itu sama saja dengan

kematian yang menyedihkan, keadaan seperti ini tidak boleh bagi seorang

penghuni Surga. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menjawab:

“Bahwasanya menunggu tidaklah menghendaki keributan dalam hidup

dalam keadaan apapun, melainkan itu akan terjadi jika orang yang

menunggu terlalu fokus terhadap apa yang dia tunggu, dan dia menjadi

sebuah jenis yang dia tidak sadar kapan dia akan lepas dari hal itu, apakah

dia terlepas dari itu atau tidak, sesungguhnya dia dan keadaan ini berada

dalam kesedihan dan penyesalan, namun jika dia meyakini bisa

mencapainya, maka tidak akan ada kemurungan dan penyesalan itu,

khususnya ketika dalam penantiannya dia dalam hidup yang nyaman.

Tidakkah kalian melihat ketika orang berada di meja makan yang di

atasnya bermacam makanan yang lezat, dia memakannya dan merasakan

kelezatan itu karenanya? Dia memandang ke jenis makanan yang lain dan

yakin bisa mendapatkannya, maka sungguh dia tidak akan berada dalam

kemurungan dan kesukaran, akan tetapi dia dalam kondisi bahagia yang

berlipat-lipat, sampai disajikan kepadanya makanan dan tidak berselera

kepada makanan itu. Begitu pula keadaan penghuni surga, mereka tidak

akan berada dalam kemurungan dan kesedihan jika mereka yakin

mencapai apa yang mereka tunggu dalam keadaan apapun.”64

Dalil lain yang dikemukakan oleh Asy‘ariyyah untuk mendukung

kemungkinan melihat Tuhan adalah:

62

Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, Pokok-pokok Ajaran Dien, h. 36. 63

Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, Pokok-pokok Ajaran Dien, h. 37. 64

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 248.

Page 95: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

80

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang

telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya,

berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku

agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-

kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap

di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala

Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu

hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar

kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau

dan aku orang yang pertama-tama beriman".65

Ayat tersebut menceritakan Nabi Musá yang meminta supaya Tuhan

memperlihatkan diri-Nya. Jika Tuhan tidak dapat dilihat, menurut Asy‘ariyyah,

Nabi Musá tidak akan meminta supaya Tuhan memperlihatkan diri-Nya.

Seterusnya ayat ini mengatakan bahwa Nabi Musá akan melihat Tuhan, jika bukit

Sinai tetap pada tempatnya. Membuat bukit Sinai tetap pada tempatnya termasuk

dalam kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan menurut Asy‘ariyyah bisa

dilihat.66

Seandainya melihat Tuhan adalah sesuatu yang mustahil sebagaimana

anggapan Mu‘tazilah, dan Nabi Musá tidak mengetahui hal tersebut, sedangkan

para pengikut Mu‘tazilah mengetahui, berarti pengikut Mu‘tazilah lebih

mengetahui tentang hakikat Allah dibandingkan Nabi Musá. Anggapan seperti ini

telah keluar dari kaidah Islam.67

Kaum Mu‘tazilah menolak pendapat ini dengan mengajukan beberapa

alasan berikut. Permintaan melihat Tuhan sebenarnya bukan datang dari Nabi

65

Q.S. Al-A’rāf: 143. 66

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 141. 67

Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, Pokok-pokok Ajaran Dien, h. 39.

Page 96: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

81

Musá sendiri, akan tetapi dari para pengikutnya yang belum juga mau percaya.

Permintaan ini dimajukan Nabi Musá untuk mematahkan kekerasan kepala

mereka. Tuhan dalam ayat ini telah menegaskan lan tarānī (sekali-kali engkau

tidak akan dapat melihat-Ku). Dengan kata lain, Tuhan tidak akan dapat dilihat.68

Argumen Asy‘ariyyah yang lain adalah, Allah Swt. mampu menjadikan

bukit tersebut tetap pada tempatnya, artinya Dia mampu terhadap sesuatu perkara

yang seandainya Dia lakukan, maka Nabi Musá pasti akan dapat melihta-Nya. Hal

tersebut menunjukkan bahwa Allah Swt. mampu memperlihatkan diri-Nya pada

hamba-Nya. Seandainya Allah memustahilkan diri-Nya bisa dilihat, tentu ia akan

menghubungkan firman-Nya dengan sesuatu yang mustahil terjadi. Namun,

karena Dia menghubungkannya dengan “tetapnya bukit di tempatnya seperti sedia

kala,” dan hal itu adalah sesuatu yang mampu dilakukan Allah, maka melihat

Allah adalah suatu keniscayaan.69

Ayat ini justru dijadikan oleh Mu‘tazilah sebagai alasan penolakan melihat

Tuhan karena jawaban Allah terhadap permintaan Nabi Musá itu adalah bahwa ia

tidak akan melihatnya. Allah menyuruh Nabi Musá untuk melihat gunung, jika

gunung itu tetap pada tempatnya, barulah ia dapat melihat-Nya. Ternyata gunung

itu hancur setelah Allah menampakkan diri-Nya (تجلى) kepadanya. Dengan

demikian, Nabi Musá tidak akan dapat melihat-Nya. Karena kata yang dipakai

untuk menegasikan di sini adalah لن yang memberikan penafian di masa yang

akan datang, sehingga yang dimaksud bukan hanya pada saat itu saja Nabi Musá

tidak dapat melihat Tuhan, melainkan selamanya.70

68

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 141. 69

Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, Pokok-pokok Ajaran Dien, h. 40. 70

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 145.

Page 97: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

82

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menolak pendapat Asy‘ariyyah dengan

mengatakan bahwa permintaan tidak menunjukkan apakah yang diminta boleh

terjadi atau tidak, karena yang diminta itu berbeda-beda keadaannya. Ada jawaban

berupa perbuatan, ada yang berupa perkataan. Ada orang yang mengajukan

permintaan untuk membuktikan bahwa ia sudah mencurahkan tenaga agar orang

tempat ia meminta melakukan sesuatu, walaupun ia tahu orang itu tak akan

melakukannya. Bisa juga, orang mengajukan permintaan untuk meyakinkan orang

lain yang mendengarnya bahwa yang diminta itu tidak mungkin dilakukan.71

Apa yang tidak dilihat dibagi kepada yang tidak melihat karena larangan

dan kepada yang tidak melihat karena mustahil melihat-Nya. Allah Swt. ada

dalam posisi tidak bisa dilihat karena mustahil untuk melihat-Nya bukan karena

larangan. Larangan untuk melihat Allah Swt. adalah tinggi, dan Allah Swt. kalau

Dia terlihat Diri-Nya maka kita bisa melihat-Nya sekarang. Bagi Al-Qāḍī ‘Abd al-

Jabbār persoalan ini adalah larangan yang tidak mungkin bisa terbantah.72

Sehingga bagaimanapun dan kapanpun Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata

fisik maupun dengan penglihatan lain.73

71

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 145. 72

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 261. 73

Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 147.

Page 98: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

83

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaum Asy‘ariyah dalam membahas persoalan melihat Allah menggunakan

istilah Ru‘yah Allāh. Adapun kaum Mu‘tazilah menggunakan istilah idrāk

(kemampuan melihat). Akan tetapi yang dimaksud oleh keduanya adalah sama,

yaitu melihat Allah. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kemampuan

melihat Allah adalah melihat Allah menggunakan mata fisik saat di akhirat.

Melihat Allah menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār adalah suatu hal yang

mustahil, karena Tuhan bersifat immateri, oleh karena itu rasio mengatakan

bahwa Tuhan tidak akan dapat dilihat dengan mata fisik. Jika Tuhan dapat dilihat

dengan mata fisik saat di akhirat, Tuhan juga akan dapat dilihat sekarang di alam

ini. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat melihat Tuhan di alam ini.

Allah Swt. tidak bisa dilihat karena mustahil untuk melihat-Nya.

Bagi Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār persoalan melihat Tuhan adalah larangan

yang tidak mungkin bisa terbantah. Sehingga bagaimanapun dan kapanpun Tuhan

tidak akan dapat dilihat dengan mata fisik maupun dengan penglihatan lain. Allah

tidak akan terlihat karena memang sebab internal tidak terlihat karena zat-Nya,

bukan karena Dia melakukan sesuatu. Jika Allah terlihat, maka Dia harus keluar

dari zat-Nya dan ini merupakan sebuah kekurangan.

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menolak pendapat-pendapat kaum Asy‘ariyyah

yang mengatakan bahwa melihat Allah adalah suatu hal yang mungkin saat di

akhirat. Kritik Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terhadap Asy‘ariyyah

Page 99: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

84

mengenai persoalan ini terlihat relevan dengan menggunakan dalil naqli dan juga

dalil aqli. Sebagian kritik Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terhadap Asy‘ariyyah

mempunyai dasar yang cukup rasional seperti yang dijelaskan di dalam kitabnya

yang berjudul Syarḥ Uṣūl al-Khamsah. Akan tetapi, dalam menafsirkan ayat al-

Qur’an, tidak semua argumen yang diajukan oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār untuk

menolak pendapat Asy‘ariyyah terlihat masuk akal. Hal ini kemungkinan besar

karena seseorang dalam menafsirkan suatu ayat pasti dipengaruhi oleh

madzhabnya. Oleh karena itu, suatu aliran pasti akan menafsirkan ayat al-Qur’an

tanpa menyalahi prinsip dasar madzhab yang telah dianutnya. Seperti yang

dilakukan oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan

cara menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an agar sesuai dengan madzhab yang

dianutnya.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa dalam memahami pemikiran Al-Qāḍī ‘Abd al-

Jabbār dengan mengaji salah satu karyanya yang berjudul Syarḥ Uṣūl al-Khamsah

masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan

pengalaman penulis. Sehingga diperlukan kajian-kajian yang lebih mendalam

mengenai tema tersebut. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat

membangun sangat penulis harapkan.

Page 100: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

85

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin. I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka

Tarbiyah, 1995.

Abrahamov, Binyamin. Ilmu Kalam: Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam

Teologi Islam. Terj. Nuruddin Hidayat. Jakarta: PT. Serambi Ilmu

Semesta, 2002.

‘Alī, Abdullah Yūsuf. Tafsir Yūsuf ‘Alī: Tafsir Qur’ān 30 Juz: Teks, Terjemahan

dan Tafsir. Terj. ‘Alī Audah. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. 3,

2009.

Asmuni, H.M. Yusran. Ilmu Tauhid. Jakarta: PT. RakaGrafindo Persada, cet.

Ketiga, 1996.

Al-Asy’ari, Abul Hasan. Pokok-pokok Ajaran Dien, Terj. Abu Fahmi, Ibnu

Marjan. Jakarta: Gema Insani Press, 1993.

Hakim, Taufiqul. Kamus At-Taufiq (Arab – Jawa – Indonesia): Disertasi Istilah-

istilah Feqih. Bangsri: Amtsilati, 2004.

Hanafi, Ahmad. Pengantar Teologi Islam. cet. VI. Jakarta: al-Husna Zikra, 1995.

_____ Theologi Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996.

Hatta, Mawardy. Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam.

Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013.

Humaira, Dara dan Khairun Nisa. Unsur I’tizalī dalam Tafsir al-Kasysyāf: Kajian

Kritis Metodologi al-Zamakhsyarī. Yogyakarta: Maghza Vol. 1 No. 1,

Januari-Juni, 2016.

Page 101: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

86

Ilhamuddin. Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi Persamaan dan Perbedaannya

dengan Al-Asy’ari. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.

Ismatillah, Ade. Pandangan Ignaz Goldziher tentang Relasi antara Tuhan dan

Manusia dalam Teologi Mu’tazilah. Program Studi Aqidah Filsafat

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

Al-Jabbār, Al-Qāḍī ‘Abd. Syarḥ Uṣūl al-Khamsah. Kairo: Maktabah Wahbah,

1996.

Jamrah, Suryan A. Studi Ilmu Kalam. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2014.

Kartanegara, Mulyadhi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan,

2006.

Khumaidi. Peranan Konsep Doktrin Ushulul Khamsah Mu’tazilah terhadap

Peradaban Islam. Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.

Al-Khumais, Muhammad bin Abdurrahman. Pokok-pokok Akidah Salaf: Yang

Diikrarkan Imam al-Asy’ari. Terj. Abdurrahman Nuryaman. Jakarta: Darul

Haq, 2006.

Kiswati, Tsuroya. Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam.

Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.

Kusni. Pemikiran Mu’tazilah tentang Etika. Skripsi Program Studi Aqidah

Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

Machasin. al-Qadi Abd al-Jabbar: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-

Qur’an. Yogyakarta: LkiS, 2000.

Page 102: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

87

_____ Al Qadi 'Abd Al Jabar dan Ayat-ayat Mutasabihat dalam Al-Qur'an:

Pembahasan tentang Kitab Mutasabih Al-Qur'an. Tesis Program Studi Ilmu

Agama Islam Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Muhammadiyah, Hilmy Sulthan Fatoni. NU: Identitas Islam Indonesia. Jakarta:

Elsas, 2004.

Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan

Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Tradisional Mu‘tazilah. Jakarta:

Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). cetakan pertama, 1987.

_____ Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan. Jakarta:

Penerbit Universitas Indonesia,1986.

Nurmala, Nina. Perbuatan Baik dan Buruk menurut Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah.

Skripsi Program Studi Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Prastowo, Andi. Memahami Metode-metode Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media, cet. Pertama, 2011.

Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS. Bogor:

Pustaka Litera AntarNusa, 2013.

Rahman, Fazlur. Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban. Bandung: Mizan

Pustaka, 2016.

Rahmatullah, Muslim. Kajian Tematik Al-Qur’ān tentang Ketuhanan. Bandung:

Penerbit Angkasa, 2008.

Razak, Abdul dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Page 103: MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANGrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41922/1/SKRIPSI... · Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan

88

Saefullah. Konsep Tuhan dalam Perspektif Mu’tazilah. Skripsi Program Studi

Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2002.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.

Vol. 2. Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002.

_____ Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān. Vol. 7.

Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002.

_____ Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān. Vol. 8.

Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002.

Asy-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah

Umat Manusia,.Terj. Asywadie Syukur. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003.

Sou’yb, Joesoef. Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran

Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1982.

Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT Grafindo Persada, 1997.

Zahrah, Muḥammad Abu. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos,

1996.

Zakiyah, Ermita. Aspek Paham Mu’tazilah dalam Tafsir Al-Kashshāf tentang

Ayat-Ayat Teologi (Studi Pemikiran Al-Zamakhshary). Tesis Program

Studi Tafsir Hadits Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri

Sunan Ampel, 2013.