melacak pembentukan tradisi kejawaraan di … · box 5.1 cerita heroik ayub dari teluknaga buah wan...

15
37 MELACAK PEMBENTUKAN TRADISI KEJAWARAAN DI TANGERANG: Dialektika Budaya Banten-Betawi-China Pengantar Melacak akar istilah jawara pesisir Teluk Naga, Tangerang secara historis bukan perkerjaan studi yang mudah. Tantangan terberatnya adalah peneliti harus mampu membongkar literasi “history” atau “geschiedenis” yang membutuhkan ketekunan dan ketelitian. Instrumen sejarah perlu dibentangkan agar satu demi satu informasi yang diharapkan dapat ditampilkan. Signifikansinya tentu bahwa penulisan sosio-historis jawara pesisir dapat menjadi khasanah di tengah kekosongan studi tentang jawara pesisiran. Untuk itu, pembahasan pada bagian ini menjadi parameter penting untuk diketengahkan sebagai ruang pengetahuan dan diskusi keilmuan sosial. Pada bagian ini akan dibahas mengenai (1) konteks sosio-historis jawara pesisir; (2) silat pesisir: Tjimande, Seliwa, dan Beksi; (3) tradisi-tradisi jawara pesisiran; dan (4) kedudukan dan jaringan sosial jawara pesisir pra otonomi desentralisasi. Konteks Sosio-Historis Jawara Pesisir Masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang adalah masyarakat yang multikultural. Setidaknya ada tiga kultur yang dominan yaitu pertautan antara kultur Banten, Betawi, dan China. Ketiga kultur tersebut memberi sumbangsih warna kejawaraan di pesisir Teluk Naga Tangerang hingga menyediakan cetak biru keturunan-keturunan jawara hari ini. Sketsa identitas sosial kejawaraan tersebut, bila ditelusuri kebelakang mulai terbentuk dan melembaga sejak awal abad ke-19. Pada masa ini di daerah Banten, Betawi, Tangerang dan sekitarnya terus-menerus dilanda perlawanan, kerusuhan sosial, dan pemberontakan rakyat terhadap penjajah Belanda. Dalam keadaan seperti itu, para pemimpin perlawanan secara mutlak harus memiliki kekuatan fisik, pandai bela diri “maenpukulan” atau pencak silat, dan memiliki ilmu kesaktian, mereka itulah para jawara 25 (Suhartono, 1995: 4; Sunatra, 1997: 180-181; Shahab, 2002: 1). 25 Menurut Abdur Rozaki (2004: 9) terdapat berbagai istilah dalam penyebutan orang kuat lokal, di Banten dikenal dengan istilah jawara-Banten, di Madura ada “Blater“,di Jawa pada umumnya disebut “Bandit“ atau “Kecu“,di Sumatera Utara dikenal dengan sebutan “preman”, di Jakarta ada jagoan-Betawi, dan di Bali dikenal dengan istilah pecalang . Semua istilah ini merujuk kepada satu kata yaitu “jagoan” atau “champion”. Menurut Ong Hok Ham (2002: 102) pada masa prakolonial organisasi jago merupakan satu-satunya alat penguasa. Bahkan seorang Raja seringkali dinisbatkan pada sosok seorang jago, meskipun ia harus memiliki wahyu kedaton sebagai legitimasi. Tapi dalam praktik kekuasaan politik seorang penguasa diukur dari jumlah kekuatan yang dimiliki dan raja tidak lain adalah seorang jago.

Upload: truongque

Post on 09-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

37

MELACAK PEMBENTUKAN TRADISI KEJAWARAAN DI

TANGERANG: Dialektika Budaya Banten-Betawi-China

Pengantar

Melacak akar istilah jawara pesisir Teluk Naga, Tangerang secara historis

bukan perkerjaan studi yang mudah. Tantangan terberatnya adalah peneliti harus

mampu membongkar literasi “history” atau “geschiedenis” yang membutuhkan

ketekunan dan ketelitian. Instrumen sejarah perlu dibentangkan agar satu demi

satu informasi yang diharapkan dapat ditampilkan. Signifikansinya tentu bahwa

penulisan sosio-historis jawara pesisir dapat menjadi khasanah di tengah

kekosongan studi tentang jawara pesisiran. Untuk itu, pembahasan pada bagian

ini menjadi parameter penting untuk diketengahkan sebagai ruang pengetahuan

dan diskusi keilmuan sosial. Pada bagian ini akan dibahas mengenai (1) konteks

sosio-historis jawara pesisir; (2) silat pesisir: Tjimande, Seliwa, dan Beksi; (3)

tradisi-tradisi jawara pesisiran; dan (4) kedudukan dan jaringan sosial jawara

pesisir pra otonomi – desentralisasi.

Konteks Sosio-Historis Jawara Pesisir

Masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang adalah masyarakat yang

multikultural. Setidaknya ada tiga kultur yang dominan yaitu pertautan antara

kultur Banten, Betawi, dan China. Ketiga kultur tersebut memberi sumbangsih

warna kejawaraan di pesisir Teluk Naga Tangerang hingga menyediakan cetak

biru keturunan-keturunan jawara hari ini. Sketsa identitas sosial kejawaraan

tersebut, bila ditelusuri kebelakang mulai terbentuk dan melembaga sejak awal

abad ke-19. Pada masa ini di daerah Banten, Betawi, Tangerang dan sekitarnya

terus-menerus dilanda perlawanan, kerusuhan sosial, dan pemberontakan rakyat

terhadap penjajah Belanda. Dalam keadaan seperti itu, para pemimpin perlawanan

secara mutlak harus memiliki kekuatan fisik, pandai bela diri “maenpukulan” atau

pencak silat, dan memiliki ilmu kesaktian, mereka itulah para jawara25

(Suhartono, 1995: 4; Sunatra, 1997: 180-181; Shahab, 2002: 1).

25

Menurut Abdur Rozaki (2004: 9) terdapat berbagai istilah dalam penyebutan orang kuat

lokal, di Banten dikenal dengan istilah jawara-Banten, di Madura ada “Blater“,di Jawa pada

umumnya disebut “Bandit“ atau “Kecu“,di Sumatera Utara dikenal dengan sebutan “preman”, di

Jakarta ada jagoan-Betawi, dan di Bali dikenal dengan istilah pecalang . Semua istilah ini merujuk

kepada satu kata yaitu “jagoan” atau “champion”. Menurut Ong Hok Ham (2002: 102) pada masa

prakolonial organisasi jago merupakan satu-satunya alat penguasa. Bahkan seorang Raja seringkali

dinisbatkan pada sosok seorang jago, meskipun ia harus memiliki wahyu kedaton sebagai

legitimasi. Tapi dalam praktik kekuasaan politik seorang penguasa diukur dari jumlah kekuatan

yang dimiliki dan raja tidak lain adalah seorang jago.

38

Istilah jawara bagi masyarakat pesisir Teluk Naga Tangerang berangkat

dari istilah potong letter26 lidah natif Betawi yaitu juware atau juara27 yang tidak

terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau pencak silat. Nama-nama

seperti Ki Puun dan Ayub bin Sa‟ari atau yang lebih populer dengan panggilan

Ayub dari Teluk Naga adalah dua legenda Jawara Pesisiran, Tangerang.

Keduanya mewakili prototipe jawara pejuang di garda terdepan bersama rakyat

dalam melawan Belanda dan Tuan Tanah.

Box 5.1 Cerita Heroik Ayub dari Teluknaga

Selain Ayub, nama jawara pembela rakyat yang juga cukup dikenal adalah

Kaiin bapak Kayah. Lahir pada 1884 di Kampung Pangkalan, Tangerang, sejak

kanak-kanak Kaiin termasuk pendiam dan taat kepada kedua orang tuanya. Dia

26

Varian dalam bahasa Betawi untuk mempercepat pengucapan atau penuturan suatu kata, dalam konteks ini kata jawara dituturkan menjadi juware atau juara.

27 Jika istilah jawara pesisir Teluk Naga Tangerang dipersamakan dengan istilah jagoan

“jago” yang menurut Ridwan Saidi (2007: 43) merupakan kata pinjaman (loanword) dari bahasa

Portugis “Jogo” berarti “champion” atau juara, maka istilah ini sudah dikenal sejak abad ke-16

ketika Portugis berkuasa di Malaka dan Sunda Kelapa (Shahab, 2002:1). Versi lain, menurut

Robert Bridson Cribb (1990: 30) sejak tahun 1620 belanda sangat rajin menghadiahkan tanah

kepada abdi, sahabat, dan pendukungnya. Dari sinilah kemudian lahir feodalisme, tuan tanah yang

berimbas kepada lahirnya para centeng/jawara atau jagoan yang menjadi abdi tuan tanah.

Sementara itu, menurut Irwan Sjafe‟i (dalam Sahab, 2002: 1) pada abad ke-19 yang disebut jago

betawi adalah semacam jawara kampung yang menjadi palang dada atau benteng penghalang

orang yang datang dari luar dan mencoba mengganggu keamanan kampung. Para jawara tersebut,

biasanya menggunakan senjata golok yaitu golok betok dan golok ujung turun.

Ayub dari Teluk Naga

Jero adalah jagoan Pasar Ikan yang sedang ngamuk hingga membuat seisi

kampung Teluk Naga dibuat kalang kabut. Jero dilaporkan kepada Meneer Marsose.

namun sebelum kaki tangan Meneer datang, Jero yang ingin mengganggu Nyi Dimah

berhasil dilumpuhkan terlebih dahulu oleh Ayub. Setelah Jero menyerah, datanglah anak

buah Wan Abud, Betok dan Kaisan. Keduanya menangkap Jero dan menyerahkannya

pada Tuan Fran De Break seorang Meneer Marsose. Betok dan Kaisan mengarang cerita

bahwa dirinyalah yang mampu melumpuhkan Jero sehingga Wan Abud (Tuan Tanah

Teluk Naga) dan Meneer Marsose merasa senang. Akhirnya Jero pun dimasukkan ke

dalam sel.

Sementara kalahnya Jero oleh membuat penasaran para jagoan di kampung

tersebut. Ayub adalah seorang yatim piatu yang sejak kecil ikut Koh Asiong, dan di

ajarkan ilmu silat Kun Tao hingga dewasa. Ketika Koh Asiong pulang ke negeri

leluhurnya di tanah Tiongkok, Ayub diserahkan ke saudara angkatnya Koh Asiong yaitu

Nyi Dimah dan dijadikan anak angkatnya. Ayub di ajarkan ilmu bela diri Seliwa, Beksi,

dan juga belajar mengaji oleh suami Nyi Dimah.

Suatu hari Ayub disuruh Nyi Dimah memetik kelapa di kebon, namun tiba-tiba

dikejutkan oleh teriakan seorang perempuan yang meminta tolong karena hendak di

perkosa oleh Tatang dan kawan-kawan jagoan dari Pintu Air. Ayub mampu

menyelamatkan perempuan tersebut dan mengantarkan ke pulang. Perempuan tersebut

adalah Rogayah. Sementara itu di penjara Marsose, Jero akhirnya bebas. Dalam

perjalanan pulang, Jero bertemu kembali dengan Ayub. Jero ingin membalas dendam,

namun sayang akhirnya ia juga kalah lagi.

Sumber: Sinopsis Film, 1979

39

belajar mengaji sambil belajar main pukulan (silat) dan kesaktian. Tanggal 10

Februari 1924 ia memimpin pemberontakan melawan Tuan Tanah28 Kampung

Pangkalan, Kampung Melayu, Teluk Naga dan Tanah Tinggi (Shahab, 2008).

Box 5.2 Beberapa Mantra Jawara

Sementara itu, Qosim ”Macan Sepatan” dan Tatang ”Jawara Pintu Air”,

menjadi protipe jawara yang menjadi pembela Tuan Tanah dan Belanda. Mereka

bekerja sebagai pengumpul pajak (debt collector), mengawasi kerja rodi, dan

menjadi kepanjangan tangan para Tuan Tanah (bandingkan dengan Onghokham,

1981). Citra negatif jawara tersebut terus terbawa dalam kehidupan sosial budaya

masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang. Umumnya, masyarakat memandang

bahwa jawara itu memiliki sifat yang buruk. Mereka selalu ingin menang sendiri

dan untuk mewujudkan keinginannya itu, mereka melakukannya dengan

kekerasan fisik, mereka juga dikenal tukang kawin, dan berperilaku destruktif.

Buruknya citra jawara mendorong sebagian besar jawara berupaya untuk

mengembalikan citra positif kaum jawara, seperti dengan membangun slogan

jawara pelindung masyarakat pedesaan, patuh kepada kaum ulama, dan

membangun kelembagaan afiliasi jawara dan santri. Contohnya, membentuk

ormas gabungan sejenis “Kaisar” (kiayi, santri, dan jawara) se-Pantura,

Tangerang.29

Konteks keberadaan jawara atau juware dalam natif betawi seperti

dijelaskan di atas, bila dikaji dari asal-usul sosialnya dengan mengacu pada sistem

28

Pada jaman partikelir, lahan persawahan mayoritas dimiliki Tuan Tanah Cina. Sampai awal

abad 20, tanah partikelir Tangerang dan daerah sekitar Batavia dikuasai oleh 304 tuan tanah.

Banyaknya jumlah Tuan Tanah itu, menurut Kartodirdjo (1984) menunjukkan bahwa daerah

Tangerang adalah salah satu daerah pusat pemilikan partikelir di tanah Jawa. Praktek tidak

manusiawi yang terjadi di tanah partikelir seperti cuke, contingenten (penyerahan hasil panen yang

berlebihan), termasuk heerendiensten (kerja bakti), dan hoofdgeld belasting (pajak kepala)

mengakibatkan makin buruknya kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sistem ini terus

berlangsung hingga tahun 1942 (Ekadjati, 2004). 29

Kaisar merupakan Ormas gabungan “kiayi, santri, dan jawara” yang didirikan tahun 2006

oleh KH. Zaki Mubarok. Kaisar bertempat di Desa Muara, Teluk Naga Tangerang. Selain sebagai

ormas kaisar juga mengajarkan silat sejenis Tjimande dan Seliwa.

Mantra kekebalan (senjata tajam)

Alloh ya Rosululloh terang hirup……. (sebutkan namanya)

Diraksa Alloh moga djauhkeun balai-balaina jangan sampai terjadi di mana-

mana

Alloh ya Rosulullah segala segali sakti bumi ……… (sebutkan namanya)

Minta saciduh metu seucap nyata asal rapet kudu rapet……. (sebutkan namanya)

Tetep lempeng nyembah ke Alloh sareng taat ke rasululloh

Mantra braja musti (pukulan berapi)

Golok tapel braja musti

Aku bernama sitengan besi guluntungan

Sing digenggam remek remuk

Remek remuk kulunapsin djaikotul maut

Sumber: Wawancara dengan Kong Sabu, 24 maret 2012

40

ekologis pesisir Teluk Naga, Tangerang, maka tak bisa dilepaskan dengan

ekosistem pesisir. Pesisir, dengan area lahan yang sangat sedikit, tandus, gersang,

dan tidak produktif untuk sistem pertanian.30 Kondisi ini diperparah pula oleh

adanya curah hujan yang sangat terbatas membuat masyarakat pesisir Teluk Naga,

Tangerang secara langsung maupun tidak langsung berada dalam kondisi

kemiskinan dan ketertinggalan.

Selain itu, karakter kolonial dan kehidupan jaman partikelir juga turut

andil dalam men-support sebagian kaum jawara untuk bekerja sebagai tukang

pukul, centeng, perampok, dan pemeras rakyat. Sebagai pembenaran, kondisi ini

ditengarai sebagai bagian dari strategi bertahan kaum jawara akibat kemiskinan

dan penjajahan yang telah berlangsung lama dan berurat-berakar. Dalam kondisi

ini, karakter religius masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang yang merupakan

bagian tak terpisahkan dari kultur keislaman Banten – Betawi yang kuat, seolah

“terbelah” oleh kondisi basis material ekologis ini. Sebab, dalam konteks sosio-

ekologis, tidak semua orang atau masyarakat di pesisir “terserap” ke dalam

wacana dan ritual keagamaan yang dibawa oleh kiai sebagai agen sosial di desa.

Jawara, yang menurut Tihami (dalam Hudaeri, 2002; lihat juga

Kartodirdjo, 1984). merupakan kelompok sosial yang dilahirkan dari pesantren

juga tak luput dari dinamika sosial ini.31 Dalam dinamika ini, struktur ekologi

pedesaan pesisir juga melahirkan proses sosiologis yang tidak selalu merujuk pada

keberagamaan yang dikembangkan oleh para kiai. Sebab, dalam realitas

berikutnya muncul proses sosial lain yang dibangun oleh basis sosial lainnya

yakni kaum jawara – di sinilah awal “perpisahan” jawara dan kiayi.

Bila di masa awal pembentukan identitas kejawaraan ini, dilatari oleh

ekspresi spontanitas untuk mengatasi problem hidup akibat kondisi kemiskinan

dan penjajahan, maka pada tahap perkembangan selanjutnya identitas kejawaraan

mengalami fase ideologisasi. Dalam arti, dengan menjadi jawara atau juware/juara

dapat memberi jalan guna mengatasi kesulitan hidup yang menghimpitnya.

Dengan menjadi jawara dan bergabung dengan kelembagaannya (peguron) dapat

membangun previlage diri sebagai „pendekar‟ atau jagoan yang disegani di

30

Gambaran tidak produktifnya lahan pertanian di pesisir Teluk Naga, Tangerang dapat

dilihat dari asal-usul penamaan Tegalangus yang berarti“tegalan yang hangus”, “kering

kerontang”. Tegalangus saat ini adalah salah satu desa di Kecamatan Teluk Naga. Dahulu desa

Tanjung Pasir merupakan bagian dari desa tersebut, sebelum akhirnya dimekarkan menjadi desa

mandiri. 31 Tihami mengungkapkan: “Kyai sejak zaman sultan dulu punya murid yang belajar ngaji

sama Kyai. Di antara muridnya itu ada yang punya angleh (bakat) pada ilmu pengetahuan agama.

Tapi, ada juga di antara murid Kyai yang punya bakat pada kecenderungan yang bernuansa

kejuangan. Lalu pada akhirnya yang cenderung pada ilmu agama itu namanya Santri, sedangkan

yang cenderung pada kekuatan fisik dan bernuansa hikmah (magi) adalah Jawara. Dua-duanya

murid Kyai. Oleh karena itu, Santri disebut pembela agama, kalau Jawara bertindak dalam

perjuangan kemerdekaan dan perjuangan lain. Jadi, Kyai mempunyai dua pasukan kekuatan, yaitu

Santri dan Jawara. Jawara ini, meskipun kecenderungannya mempunyai kekuatan fisik, tetapi

karena murid Kyai, maka diisi dengan yang disebut ilmu hikmah. Jadi Jawara itu bukan hanya

memiliki kekuatan lahir, tapi juga kekuatan batin. Santri, mengandalkan ilmu agama, tetapi ia juga

ikut berjuang bersama kiai. Karena itu, ia juga harus punya kemampuan mempertahankan fisik,

meskipun porsinya kecil dibandingkan Jawara, tetapi kekuatan hikmahnya besar. Jawara kekuatan

hikmahnya lebih kecil ketimbang santri. Kekompakan Santri dan Jawara di bawah pimpinan kyai

inilah sebetulnya kunci kemenangan dalam memperjuangkan masyarakat Banten. Pada waktu

dulu, kemudian pada kurun berikutnya, kalau saya baca di tulisan orang Belanda, ada semacam

perpecahan.” (Mansur, 2000: 269-270).

41

desanya. Pun demikian, hal ini pada gilirannya dapat membangun kualitas hidup

yang lebih baik dibandingkan dengan bekerja sebagai nelayan, buruh tambak,

buruh tani dan sejenisnya yang tidak memberikan penghasilan yang mencukupi.

Seperti dijelaskan sebelumnya, berbagai bentuk kesulitan dan keprihatinan

hidup masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang saat jaman penjajahan, tidak saja

karena kondisi sistem ekologis pesisiran yang kurang memberikan keuntungan

ekonomis. Akan tetapi, juga diakibatkan oleh struktur kekuasaan penjajah

Belanda dan Tuan Tanah yang tidak mempedulikan kondisi hidup masyarakatnya.

Masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang sejak masa lalu secara turun-temurun

mengalami eksploitasi oleh „kekuasaan bersaudara‟, yakni penjajah Belanda yang

menjalankan birokrasi kekuasaan dengan Tuan Tanah yang kerap kali memeras

secara ekonomi, fisik, dan psikologis masyarakat.

Proses feodalisasi yang berlangsung di Teluk Naga, Tangerang ini

semakin memarginalisasikan penduduk desa, sebaliknya memberikan keuntungan

pada pihak Belanda dan Tuan Tanah. Dalam kondisi demikian, tidak jarang

muncul pemberontakan sepihak dari golongan rakyat, melalui kaum jawara yang

memiliki jiwa kepahlawanan. Seiring berjalannya waktu pemberontakan,

kekerasan, bahkan pembunuhan, pencurian, perampokan dan pembakaran

terutama yang digerakkan oleh kaum jawara kepada Tuan-Tuan Tanah di

Tangerang mulai marak. Pemerintah kolonial tentu sangat gelisah dengan kondisi

tersebut, untuk mengatasinya Belanda memerintahkan para jawara yang bekerja

kepada mereka dan tuan tanah. Menangkap jawara dengan jawara, itulah strategi

yang paling sering digunakan pihak penjajah Belanda.

Hal itu dilakukan karena pemerintah kolonial tidak cukup mampu

menerapkan tertib hukum. Bahkan pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan

para jawara pendukungnya sebagai alat pengintai (informan) yang membuat

eksistensi “jawara” seolah terlindungi oleh kekuasaan formal yang ada. Saling

tukar menukar jasa untuk penguatan masing-masing kekuasaan yang dimiliki

secara tidak langsung merupakan bentuk saling mengakomodasi kekuasaan yang

dimilikinya. Dengan demikan, eksisnya entitas sosial jawara inheren dengan

lemahnya institusionalisasi dan penegakan hukum secara adil di masyarakat.

Bertemunya realitas sosio-kultural masyarakat dengan struktur kekuasaan negara

yang saling mengakomodasi unsur-unsur kejawaraan yang destruktif membuat

entitas kejawaraan memiliki elastisitas, kelenturan sehingga dapat hadir di

berbagai posisi kultural dan struktural.

Terkait konteks tersebut, asal usul sosial kejawaraan di Teluk Naga,

Tangerang ini, sangat terkait dengan struktur ekologis dan gerak sosiologis

masyarakat dalam merespon kondisi sosial yang dihadapinya. Tumbuhnya entitas

sosial jawara sebagai suatu kekuatan sosial masyarakat, terutama di kawasan

pedesaan dengan demikian merupakan produk dari pergumulan sosiologis

masyarakat tersebut.

Pada perkembangan dewasa ini, pemaknaan citra jawara dalam konstruksi

sosial masyarakat pesisiran Teluk Naga Tangerang mengalami pergeseran.

Pergeseran tersebut tak lepas dari dinamika politik dan konteks historis yang

melingkupinya. Bila dipetakan setidaknya ada lima konstruksi sosial jawara saat

ini, yaitu: (1) jawara struktural/bentukan, (2) status asli/kultur; (3) persepsi

subyektif; (4) simbol; dan (5) psikologi mitos.

42

Tabel 5.1 Konstruksi Jawara Struktural/Bentukan

Konsep Ada, karena diciptakan untuk menjaga stabilitas

wilayah

Posisi sosial Centeng, Keamanan atau security informal, bodigard

lurah/kepala desa

Kedudukan Kelas Bawah

Ideologi Pragmatis

Keberpihakan Mengikut kepada Boss/Tuan

Citra diri Negatif-Positif

Institusi yang melembagakan Negara dan corporate

Tabel 5.2 Konstruksi Jawara Kultural/Status Asli

Konsep Ada, karena equel dari sistem sosial budaya masyarakat

Posisi sosial Juara kampung/jago, jaro atau kepala dusun

Kedudukan Kelas Menengah

Ideologi Transformatif

Keberpihakan Memihak rakyat

Citra diri Positif

Institusi yang melembagakan Civil society

Tabel 5.3 Konstruksi Jawara Persepsi Subyektif

Konsep Ada, karena hadirnya atribut subyektif yang disematkan

kepada seorang jawara

Posisi sosial Orang yang ingin kesohor, berwatak sompral, gengsi

sosial tinggi, pandai bergaul dengan komunitas jawara.

Kedudukan Kelas Bawah-Menengah

Ideologi Pragmatis

Keberpihakan Memihak kepentingan

Citra diri Negatif

Institusi yang melembagakan Negara

Tabel 5.4 Konstruksi jawara atribut/simbol

Konsep Ada, karena hadirnya atribut/simbol yang menunjukkan

nilai kejawaraan

Posisi sosial Banyak istri, suka main judi dan sawer, bisa

berantem/silat, memiliki magic

Kedudukan Kelas Bawah-Menengah

Ideologi Pragmatis

Keberpihakan Memihak kepentingan

Citra diri Negatif

Institusi yang melembagakan Negara-Korporate

Tabel 5.5 Konstruksi jawara psikologi mitos

Konsep Ada, karena hadirnya mitos kejawaraan yang diturunkan

melalui kharisma kekuatan dari orangtua dan guru.

Posisi sosial Keturunan elite jawara, orang kuat lokal yang memiliki

status,

Kedudukan Kelas Menengah-Atas

Ideologi Pragmatis-Populis

Keberpihakan Memihak kepentingan, elitis

Citra diri Positif

Institusi yang melembagakan Negara-Korporate

Sumber: Diolah dari Data Lapangan, 2010-2012.

43

Kelima konstruksi jawara di atas merupakan pergeseran pemaknaan

jawara secara empirik dalam pandangan masyarakat pesisiran Teluk Naga

Tangerang. Seperti ditengarai diawal pergeseran tersebut, erat kaitannya dengan

dinamika politik, struktur ekologis, dan gerak sosiologis masyarakat pesisir dalam

merespon kondisi sosial yang dihadapinya.

Silat Pesisir: Tjimande, Seliwa, dan Beksi

Silat secara sosiologis adalah salah satu wujud identitas kejawaraan. Di

samping itu, silat juga menjadi simbol dokrin perjuangan jawara – “bela diri, bela

bangsa, dan bela negara”. Silat pesisiran Teluk Naga Tangerang memiliki karakter

yang khas, karena mengalami akulturasi dengan budaya Betawi dan China.

Budaya Banten tetap ada, walaupun tidak dominan. Setidaknya ada tiga aliran

silat yang cukup membumi di pesisir Teluk Naga yaitu Tjimande, Seliwa, dan

Beksi. Silat Tjimande berasal dari Kebon Djeruk Hilir, Bogor. Silat ini banyak

dikembangkan di daerah Bogor dan Banten. Tjimande memiliki 5 aspek dalam

maenpo (pencak silat Sunda) yaitu aspek olahraga, seni budaya (tradisi), bela diri,

spiritual dan pengobatan. Menurut Wahyudin (Wakil Sekjen TTKKDH)32,

Tjimande banyak dilatih di kampung-kampung. Tak terkecuali di pesisiran Teluk

Naga Tangerang (Wawancara, 24 April 2011).

Sementara itu, aliran seliwa mengandalkan ketangkasan bermain golok.33

Sebab, pelajaran untuk peguasaan golok adalah yang utama. Namun demikian,

pada tahap awal seorang pemula akan diajarkan terlebih dahulu ilmu tangan

kosong beberapa jurus, sebagai dasar dari permainan Golok Seliwa. Setelah

menguasai jurus tangan kosong, sang murid baru diperbolehkan memegang golok

dalam berlatih. Jurus Seliwa terdiri dari 6 pohon (pu’un), 6 jurus kembang, dan 1

jurus gabungan. Di dalam jurus-jurus tersebut terdapat cara memegang senjata

pada berbagai posisi, mencabut golok dari sarungnya, cara memutar, melipat,

menyerang, berpindah tangan, dan memulangkan kembali golok ke sarungnya

tanpa melihat proses ini dengan pandangan mata. Itulah silat golok seliwa.

Lain halnya dengan beksi34, silat khas China ini, gerakan dan jurusnya

murni kekuatan fisik dan kecepatan berpikir untuk melumpuhkan musuh. Menurut

Bapak Enyon (65), guru silat beksi, Tanjung Burung:

32

Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir, merupakan salah satu organisasi massa terbesar di

Banten, dan menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Ketua Umum TTKKDH saat ini adalah

H. Maman Rizal. Sementara kantor Pusat TTKKDH berada di Serang, Banten. 33 Secara historis silat aliran seliwa telah dipergunakan sejak lama oleh orang betawi. Guru

pertama seliwa adalah Satim dari Tigaraksa, Tangerang yang melarikan diri ke Jakarta dengan

menggunakan rakit melintasi saluran sungai mookervart (sungai buatan yg dibangun tahun 1681,

berupa sebuah kanal yg menghubungkan sungan cisadane dan kali angke). Lihat Irvan Setiawan,

“Silat Betawi Tempo Dulu dan Sekarang” dalam Jurnal Penelitian Vol. 40 No. 1 April 2008. 34 Silat Beksi merupakan hasil akulturasi budaya China dan Betawi pesisir. Silat Beksi

diciptakan Lie Cheng Oek, warga keturunan China yang tinggal di Kampung Dadap, Teluk Naga

Tangerang, Banten.

44

Istilah Beksi berasal dari bahasa China yaitu “bek” berarti pertahanan dan “si” berarti

empat. Sehingga Beksi berarti empat pertahanan. Dalam Beksi ada ada 9 formasi, 12

jurus dan 6 jurus kembangan yang harus dikuasai setiap jawara pesilat (Wawancara, 20

April 2012).

Lanjutnya, silat aliran Beksi ini adalah aliran silat yang paling berat dan

tertutup untuk umum. Latihannya pun dilakukan pada pukul 19.00 sampai 01.00

dini hari, setiap harinya. Aliran silat beksi memiliki 12 tingkatan, di mana tiap

tingkatan memiliki kerumitan gerakan tersendiri. Karena aliran ini merupakan

aliran silat yang cukup sulit, maka banyak murid dari Enyon (65) yang tidak

sampai pada tingkat 12. Jika ada 20 murid, hanya 2 sampai 3 orang yang bisa

sampai pada tingkat 12. Rata-rata muridnya hanya bertahan pada tingkat 1, 3 atau

5. Hal ini disebabkan mereka tidak serius dalam berlatih baik secara mental

maupun fisik.

Jurus-jurus dalam aliran silat beksi antara lain, janda berias (menyisir

rambut), jandu renda (menggunakan tenaga dalam), dan teripang (seperti hewan

laut teripang yang tak tahu ujungnya, antara kepala dan buntut serupa), bandrong

(gerakan yang menggunakan kaki), jurus tancep (untuk melawan musuh), rompes

(gerakan dengan menggunakan kepala, tangan, dan kaki), nunjang pisang

(pukulan yang paling keras). Selain menggunakan kekuatan fisik, silat juga

membutuhkan kekuatan magic untuk lebih melindungi pesilatnya, sang jawara.

Di samping ketiga aliran tersebut, di pesisir Teluk Naga juga terdapat

sebagian kecil jawara silat Trodon. Masing-masing aliran silat ini mempunyai ciri

gerak dan keampuhannya dalam memberikan dampak luka kepada lawannya.

Sejarah mencatat, bagaimana para jawara masa lalu dan kini disegani lantaran

kemampuan “maenpukulnya” dan kesaktian yang dimiliki. Artinya silat dan

jawara bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Silat merupakan salah

satu instrumen yang mengantarkan jawara sebagai entitas sosial yang mempunyai

pengaruh kuat di pesisir Teluk Naga, Tangerang. Epistemologi khas Jawara

seperti gertak ancaman, main pukul, perang urat syaraf, dan selesai oleh upeti, tak

akan berpengaruh, bagai “macan ompong”, tanpa kemampuan bermain silat dan

kesaktian. Di sinilah silat menjadi since quanon vision bagi jawara, atribut

kekuasaan, dan imagology yang, bahkan secara politis menjadi dimistifikasikan

sebagai simbol kharisma, politik pencitraan, dan identitas ketokohan yang

merujuk pada kedigdayaan dan kesaktian seorang jawara. Dialektika silat

kemudian menjadi penanda perilaku politik jawara, hingga jawara desa. Dikemas

secara menarik, tetapi sama sekali tak meninggalkan praktek-praktek pembenar

kekuasaan yang sudah lazim.

Tradisi-Tradisi Jawara Pesisiran

Eksistensi kejawaraan merupakan produk pergumulan sosiologis

masyarakat. Untuk melanggengkannya ia ditopang oleh tradisi-tradisi yang

dikembangkan. Selain silat, tradisi kejawaraan pesisiran Teluk Naga, Tangerang

45

ialah hiburan cokek.35 Cokek merupakan hiburan khas masyarakat pesisiran

perpaduan etnis China dan Betawi yang disukai para jawara sejak awal abad ke-19

hingga saat ini. Cokek berasal dari bahasa Hokkian, Cio Kek yang berarti penari

wanita. Para penari cokek berdiri berjejer sambil menari mengikuti irama

gambang kromong. Penari cokek mengajak tamu untuk menari bersama secara

berpasangan dengan berhadap-hadapan. Bila tamu tersebut bersedia ikut menari,

maka mulailah mereka ngibing. Ngibing inilah yang sangat disukai para jawara.

para jawara biasanya ngibing sambil minum tuak (dan sejenisnya) dan nyawer.

Gambar 5.1

Tarian cokek diiringi Musik Gambang Kromong

Sumber: Koleksi Pribadi

Sepintas, bila diamati lebih mendalam tarian cokek memiliki persamaan

dengan sintren dari Cirebon atau sejenis ronggeng di Jawa Tengah. Tarian ini

dalam beberapa aspek mengundang keerotisan para penarinya, hal inilah yang

kemudian masih dianggap tabu oleh masyarakat. Berikut ini beberapa grup musik

gambang kromong – tari cokek yang masih eksis di Teluk Naga, Tangerang.

Tabel 5.6 Grup Musik Gambang Kromong Pesisir Teluk Naga

No. Nama Grup Pemimpin/Pengurus

1. Naga Sakti Teng Suek (Alm)

2. Sinar Rembulan Mamat

3. Shinta Nara Koh Wie Tiang

4. Cahaya Mustika Picis dan Sabar

Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.

35 Dalam beberapa keterangan cokek berasal dari Teluk Naga, Tangerang. Menurut versi ini,

pada saat itu, daerah Tanjung Kait dikuasai oleh tuan tanah bernama Tan Sio Kek. Tan Sio Kek

mempunyai sebuah kelompok musik. Pada suatu hari, datang tiga orang bercocing, yaitu rambut

yang dikepang satu. Diduga berasal dari daratan China. Ketiga orang ini membawa tiga buah alat

musik yaitu, Tehiyan, Su Khong dan Khong ahyan. Ternyata ketiga orang itu juga mahir bermain

musik. Ketika malam tiba, ketiga orang tersebut berkenan memainkan alat-alat musiknya. Tiga

alat musik yang mereka bawa itu kemudian dimainkan bersama-sama alat musik kampung yang

dimiliki oleh grup musik milik tuan tanah Tan Sio Kek. Dari perpaduan bunyi berbagai alat musik

yang dimainkan oleh para pemusik tersebut, lahirlah musik Gambang Kromong. Sedangkan para

gadis yang menari dengan iringan irama musik itu, kemudian disebut sebagai cokek, yang

diartikan anak buah Tan Sio Kek (Ruchiyat, 2003).

46

Selain tarian cokek yang diiringi musik gambang kromong, tradisi hiburan

jawara pesisir Teluk Naga dewasa ini, ialah hiburan “Orgen Tunggal dan

“Dangdut”.36 Dalam penampilannya orgen tunggal maupun dangdut sering diikuti

dengan acara joget dan saweran oleh kaum keturunan jawara, tokoh masyarakat,

atau elit desa. Hal ini menjadi penanda bahwa hiburan cokek, dangdut, dan orgen

tunggal erat kaitannya dengan pesta-pesta hiburan yang erotis.

Dalam skala kecil hiburan “Layar Tancap” juga masih menjadi pilihan

alternatif sebagian kecil masyarakat pesisiran Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan

Muara. Semua tradisi dan hiburan tersebut ditampilkan dalam acara-acara besar

dan pesta hajatan/perkawinan yang sangat massif dilakukan oleh masyarakat

pesisiran Teluk Naga Tangerang. Menurut Lepai (salah satu ketua umum grup

kondangan di Teluk Naga) kegiatan pesta hajatan/perkawinan di tiga desa

penelitian massif dilakukan, terutama setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu.

Sedikitnya ada 15-20 keluarga yang melakukan pesta hajatan/perkawinan setiap

minggunya. Menurut Lepai, karena banyaknya jumlah keluarga yang

menyelenggarakan pesta hajatan/perkawinan, maka untuk memudahkan

menjangkau semuanya dibuatlah grup kondangan di setiap desa, sebagai bentuk

ikatan solidaritas grup dan mobilisasi massa.37 Berikut ini disajikan grup-grup

kondangan yang terdapat di Tanjung Burung, Tanjung Pasir, Muara dan desa

lainnya di Teluk Naga, Tangerang.

Tabel 5.7 Grup Kondangan

No. Nama Grup Pemimpin/Pengurus Alamat

1. Paguyuban Aristanada Calon Muara

2. Famili 2 Nisur Cs Muara

3. Muara Bersatu Naji Muara

4. Muara Awal Setia Sumarno Juta Muara

5. Putra Pantai Nasan Muara

6. Elang Laut Mdr. Masin Goak Tanjung Pasir

7. Putra Cisadane Kusum Tanjung Burung

Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.

Massifnya penyelenggaraan pesta hajatan tidak hanya semata wujud ikatan

tradisi, namun juga adanya kepentingan kapital. Tradisi hajatan memiliki

kepentingan uang. Untuk melaksanakan prosesi tersebut masyarakat rela

meminjam uang, menggadaikan apa yang dimiliki, serta menjual harta keluarga.

Timbulnya hutang, hidup dalam pas-pasan menjadi konsekuensi logis dari

penyelengaraan hajatan. Akhirnya terbangun image bahwa hajatan adalah sebuah

fiesta-extravagansa berlebihan yang lebih mengarah kepada tradisi hura-hura dan

pesta pora. Ironisnya, hal ini terjadinya di tengah realitas sosial-ekonomi

masyarakat pesisir yang senantiasa miskin dan marginal – the poorest on the poor.

36

Tradisi jawara yang memiliki ekses negatif dalam kehidupan sehari-hari di pedesaan

Banten, selain saweran dalam hiburan cokek dan dangdut, juga masih didapati ramainya sabung

ayam, ajang judi dadu dan main kartu. 37

Wawancara dengan Guru Lepai, di kediamannya pada tanggal 20 Maret 2012, pukul 13.00-15.00.

47

Gambar 5.2 Potret Pesta Hajatan di Pedesaan

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2012.

Kondisi ini secara sosiologis membuka ruang tumbuh suburnya eksistensi

kejawaraan pesisir. Tradisi hajatan menjadi lokomotif untuk menguatkan

kekuasaan, konsolidasi politik, dan membangun jaringan jawara pesisiran. Arena

hajatan mengukuhkan peran signifikan elit jawara dalam mengontrol dan

mengendalikan kondisi sosial masyarakat pesisir. Namun sebaliknya, menjadikan

masyarakat semakin terpuruk, marginal, dan tak berdaya. Selain itu, massifnya

hajatan di pesisir Teluk Naga, Tangerang menyebabkan tinggi angka putus

sekolah, pernikahan dini, dan perceraian. Kondisi ini dapat dianoligikan seperti

“sudah jatuh tertimpa tangga pula…..”, itulah frase yang tepat untuk

mengungkapkan keterpurukan masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang.

Meminjam bahasa Onghokham (2002: 102), dialektik problem kesejahteraan

masyarakat menisbatkan kekuasaan legitimit bagi jawara – dalam logika ini,

sosok jawara tidak lain adalah seorang superjago dalam teater kehidupan

masyarakat pesisir.

Kedudukan dan Jaringan Sosial Jawara Pesisir Pra Otonomi – Desentralisasi

Kedudukan dan peran sosial jawara tidak bisa dilepaskan dari adanya

jaringan sosial antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk dari adanya

hubungan emosional yang melekat, yakni melalui jalur kekerabatan38, hubungan

38

Relasi kekerabatan secara historis mengukuhkan dan menjadikan jawara memiliki modal

sosial yang besar. Dengan demikian modal-modal kekuasaan jawara dapat dikonversikan satu

dengan yang lainnya supaya tetap kompatibel dan adaptif dengan berbagai situasi dan kondisi

zaman. Selain itu, kuatnya jalur hubungan kekeluargaan/kekerabatan secara politik menjadi

penanda semakin menguatnya politik kekerabatan trah jawara. Menurut banyak kalangan hal ini

dikatakan sebagai gejala “neopatrimonialisme” (Varma, 2007). Benihnya sudah lama berakar

secara tradisional. yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik

berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Kini disebut

neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan

ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural," Anak atau keluarga para elit masuk

48

guru-murid (seguru; seelmu) dan berbagai lembaga-lembaga sosial lainnya.

Ketiganya turut membentuk kekuatan jawara pesisir Teluk Naga. Selain itu,

secara lokalitas kuatnya jaringan jawara pesisir Teluk Naga juga tak lepas dari

faktor pertautan nilai budaya Banten, Betawi, dan Cina; kepercayaan (trust); dan

eklektisisme39 yang muncul seiring perkembangan kejawaraan di pesisir Teluk

Naga. Ketiga ciri khas itulah yang belakang membuat jawara pesisiran menjadi

kekuatan baru sebagai elit formal dalam struktur sosial masyarakat Teluk Naga.

Gambar 5.3 Faktor-Faktor yang Mempersatukan

Jaringan Jawara Pesisir Teluk Naga dan Banten

Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.

Kedudukan dan kekuasaan jawara yang diperoleh saat ini, secara

sosiologis melalui berbagai proses periodeisasi sebagai penanda eksistensi

kejawaraan (lihat tabel 5.3. tentang kedudukan jawara).

Tabel 5.8 Kedudukan dan Peran Jawara di Pesisir Tangerang

Aspek Era Kolonial dan

Orde Lama

Era Orde Baru Era Reformasi

Status Sosial The rulled class The rulled class dan

sebagian kecil menjadi

ruling class (kepala

desa)

The rulling class

Peran Patron petani dan

nelayan; pejuang rakyat

bersama para santri-

kiayi; centeng-centeng

perkebunan, dan

pemimpin

tradisional/informal

(non governing elite) di

masyarakat pedesaan

Security informal; mitra

junior

swasta/pengusaha;

pedagang; dan

instrumen stabilitas

yang diciptakan oleh

Negara

Pemimpin lokal dan

daerah (governing

elite); pemodal dan

mitra pemodal

(swasta dan

Negara);

institusi yang disiapkan: partai politik, lembaga perwakilan, birokrasi, kelompok penekan, LSM,

Ormas, asosiasi profesional, paguyuban kedaerahan maupun etnis dan sebagainya. 39

Sifat lentur jawara, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan pergumulan zaman.

Kekerabatan

Seguru-Seelmu

Nilai Budaya

Eklektisisme

Organisasi Massa

Trust

49

Sumber power Legitimasi mitos,

magic, penguasaan

beladiri

Legitimasi mitos,

magic, penguasaan

beladiri, dan uang

Legitimasi mitos,

magic, uang,

jaringan dan org.

sosial

Tipe

Kepemimpinan

(sumber legitimasi)

Kharismatik-

Tradisional

Kharismatik-

Tradisional

Kombinasi antara

kharisma-tradisional

dan legal formal

Posisi terhadap

Negara

Independen Dependen Mempengaruhi

Negara

Pola Hubungan

dengan

Stakeholders

Idealis (membela

rakyat)

Fungsional dan

pragmatis

Fungsional-

pragmatis dan

monopolistik40

Persepsi

Masyarakat

Positif Negatif Awal positif,

sesudah berkuasa

cenderung negatif41

Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.

Periodeisasi fase orde lama, kedudukan sosial jawara tidaklah seberuntung

dan sebaik saat reformasi. Hingga kekuasaan Soekarno berakhir, jawara lebih

banyak memainkan “peran tradisional” dengan menjadi patron bagi petani dan

nelayan di pedesaan pesisir Teluk Naga. Ia bertindak sebagai pemimpin

tradisional/informal – non governing elite – karena anggapan masyarakat tentang

kesaktiannya dan kemampuan beladiri yang dikuasainya. Adapula jawara yang

menjadi centeng (keamanan) di pasar, menjadi pedagang, dan syahbandar.

Sebagai patron, jawara mengikat kliennya dengan nilai-nilai perlindungan,

kesetiaan, stabilitas, dan nasionalisme. Pada saat itu, jawara relatif independen

dari Negara. Ia tidak terlalu banyak bersentuhan dengan politik elit, jaringan

sosialnyapun terbatas.

Otoriterianisme Soeharto dan proyek-proyek pembangunannya

(industrialisasi) mengubah peran, pola hubungan, dan sifat jawara. Jawara

dikooptasi oleh rezim Orde Baru sebagai instrumen yang menjamin kepentingan

Soeharto di daerah dan di pedesaan. Pada era ini, jawara hanya dijadikan warga

Negara kelas bawah – the rulled class – yang memiliki peran sebagai security

informal. Keberadaan tersebut diciptakan untuk menjaga stabilitas Jakarta dan

wilayah satelit di sekitarnya. Pada saat Orde Baru konfigurasi politik lokal di

pesisir Teluk Naga, Tangerang didominasi oleh kepentingan otoriterianisme

Soeharto yang berkolaborasi dengan elit lokal dan elit ekonomi (pengusaha

China/Tionghoa).

Sepanjang sejarah politik Orde Baru masyarakat pesisir Teluk Naga selalu

berada dalam posisi yang lemah dan termarjinalisasi secara politis. Sementara itu,

40

Relasi elit jawara dengan stakeholder di tiga daerah penelitian bersifat ambigu, di mana

mereka ditakuti sekaligus dihormati. Hubungan yang ambigu ini ditandai dengan ambiguitas

makna “Jawara” itu sendiri. Jawara bisa berarti jahat-wani (berani) - rampog (rampok) – rampog

uang rakyat/korupsi, bisa juga berarti jago-wani-ramah. 41 Persepsi masyarakat tersebut didasarkan pada konteks bahwa elit jawara yang meminpin di

pedesaan – propinsi inkonsisten dalam menjalankan roda pembangunan, irrasional dalam

mengambil keputusan, cenderung mempertahankan trah kekuasaan (status qua) dan belum

mengakomodasi pertisipasi rakyat. Meminjam bahasa politik telah terjadi gejala Incrementalism.

Yaitu kondisi di mana keputusan ditetapkan tidak melalui proses rasional tetapi melalui

penyesuaian - penyesuaian kecil dalam status quo kenyataan politik.

50

kaum jawara tetap berada dalam posisi the rulled class. Namun demikian, dalam

skala yang sedikit, jawara tetap diberikan keleluasaan untuk terlibat dalam

proyek-proyek pemerintah dan mitra junior modal swasta yang berinvestasi di

pesisir Teluk Naga, Tangerang. Kooptasi rezim Orde Baru berhasil mengubah

jawara dari patron yang melindungi petani dan nelayan di pedesaan pesisir Teluk

Naga, Tangerang menjadi pelayan Orde Baru dan modal swasta. Pola hubungan

yang dibangun menjadi fungsional dan pragmatis.

Pada masa reformasi terjadi dinamika elit lokal yaitu memperebutkan

arena politik dan ekonomi lokal dalam rangka mempengaruhi kebijakan

pembangunan. Arena politik dan ekonomi didominasi oleh jawara (governing

elite) yang bertransformasi dari elit tradisional menjadi elit legal formal dalam

struktur sosial masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang pada khususnya dan

Banten pada umumnya. Kekuasaan jawara sebagai elit legal formal secara

substansial dapat diteropong dari penguasaan modal material terhadap

kepemilikan sumber daya alam lokal di antaranya adalah aset tanah dan

penguasaan pesisir. Kondisi sosial ini secara sistemik setidaknya ditopang oleh

kelembagaan jawara yang kian menguat di level pedesaan hingga propinsi, kultur

politik yang mendukung, penguasaan atas sumberdaya alama, dan posisi wilayah

yang strategis sebagai penyangga Ibukota.

Oleh karena itu, era reformasi menunjukkan perluasan arena politik

jawara, dari ranah kultural ke struktural. Dari tingkatan politik pedesaan – kepala

desa – hingga kepala daerah. Peristiwa politik ini ditandai dengan terpilihnya 13

kepala desa di pesisir Teluk Naga, yang merupakan keturunan jawara (termasuk

kepala desa Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan Muara). Hal ini semakin

menegaskan bahwa pola perkembangan dan jaringan jawara massif dan mapan

dari tingkat desa hingga propinsi. Hari ini, Banten yang tersisa adalah tanah untuk

para jawara. Mereka, elit jawara pesisir Teluk Naga berafiliasi dengan elit

ekonomi (pengusaha keturunan Tionghoa), elit militer, dan elit lokal lainnya

dalam mengukuhkan kekuasaannya.

Tabel 5.9 Kepemimpinan Tokoh Jawara dalam Ranah Kekuasaan Politik Formal

Komponen Propinsi Kabupaten/Kota Kecamatan

Teluk Naga

Tokoh Elit Hj. Ratu Atut (Gub

Banten/ putri alm. H.

Tb. Chasan Sochib)

Propinsi, Kab/Kota

masuk trah kekuasaan

Tb. Cs. dan 13 kepala

desa di Teluk Naga

masuk dalam jaringan

ini – Monarkhi Banten

Jayabaya (bupati

lebak)

Heryani (Wakil Bupati

Pandeglang)

Ismet Iskandar (Bupati

Tangerang/keturunan

jawara) – Zaki putra

Ismet menjadi bupati

pengganti Ismet yang

didukung oleh Ratu

Atut

Airin Rachmi D

(Walikota Tangsel)

Tb. Khaerul Zaman

(Wk. Walikota

Serang)

Ratu Tatu Chasanah

(Wk. Bupati Serang)

Seluruh kepala

desa dari 13

kecamatan di

Teluk Naga

merupakan para

Jawara

51

Sumber

Kekuasaan

Legitimasi mitos,

magic, org. silat, Uang,

dan jaringan

Legitimasi mitos,

magic, org. silat,

Uang, dan jaringan

Legitimasi mitos,

magic, uang, dan

jaringan

Tipe

Kepemimpinan

dari tradisional ke legal

formal

dari tradisional ke legal

formal

dari tradisional ke

legal formal

Saluran Politik Golongan Karya PDI-P

Golongan Karya

Golongan Karya

Golongan Karya

Golongan Karya

Golongan Karya

PDI-P, Golkar,

dan Demokrat

Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.

Ikhtisar

Setiap pergantian struktur kekuasaan pada level elit selalu berekses pada

perubahan-perubahan sosial, politik, bahkan perubahan budaya masyarakat yang

bersangkutan. Hal itu dapat dilihat dari realitas transformasi jawara di ranah

pedesaan – banten. Jawara yang dalam natif dialek betawi dikenal dengan sebutan

juware atau juara mengalami periodeisasi dan proses pergumulan sosialnya sejak

orde lama hingga era reformasi. Jawara tengah bermetamorfosa dan memainkan

peran yang signifikan dalam ruang demokratisasi banten. Realitas empirik ini

merupakan implikasi dari kebijakan otonomi daerah yang kemudian melahirkan

corak baru perpaduan antara nilai demokrasi universal dan lokal a la banten –

Bantenisasi demokrasi.

Gambar 5.4 Peta Kepemimpinan Jawara

dari Propinsi – Pedesaan

Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.

Propinsi

Kabupaten

Kecamatan

Desa

PEMUDA

Desa Desa