mekarkan nilai juang

6
Mekarkan nilai juang Bicara tentang bela, membela dan pembelaan terhadap Negara tentu tak lepas dari jiwa nasionalisme yang perlu dibangun oleh setiap elemen struktural masyarakat dalam ketata-negaraan, mulai dari golongan papan atas sampai pada kelas pinggiran alias tingkat terbawah. Pada gambaran umumnya logika konsepsi pembelaan terhadap Negara dimasa sekarang ini adalah pengembangan teologi tentang wawasan kejuangan dan pembangunan Nasional mulai dari pengimplemantasian teks sampai pada konteksnya, tanpa harus menabuh genderang perang atau agresi militer kesuatu Negara demi memperluas wilayah kekuasaan, karena sekarang ini bukan lagi jaman imperialisme. Jelas bagi kita, kenikmatan yang ada sekarang dikarenakan adanya jiwa kejuangan para pendahulu dan para veteran yang bukan hanya sekedar berkorban harta, waktu dan pikiran tetapi juga nyawa menjadi taruhan. Secara teknis, ketika bangsa ini berada dibawah bayang-bayang cengkeraman penjajah perlengkapan persenjataan kita jauh dari memadai mulai dari jumlah maupun kualitas. Menurut rasio kita, keberadaan persenjataan yang minim sangat mustahil bisa melepaskan diri dan mengusir penjajah dari negeri tercinta ini. Namun, berkat adanya jiwa kejuangan pada setiap warga Negara Indonesia, maka betapapun besar gelombang dan aral melintang tetap saja perjuangan demi terbebas dari belenggu penderitaan terwujudkan dengan meraih kemerdekaan mutlak secara de facto dan de jure. Ini menggambarkan bahwa pentingnya peranan jiwa kejuangan dalam perjuangan bangsa dan pembelaan Negara. Dengan jiwa kejuangan yang tinggi seyogyanya membuat kita tahan terhadap pelbagai tahapan proses sehingga tidak mengenal lelah sebelum cita-cita tercapai. Kejuangan juga merupakan emotional intelligence yang sedikit- banyak telah berperan pada masa lalu bangsa ini menuju gerbang kemerdekaan. Dari pengalaman sejarahnya bangsa ini banyak memberikan hikmah yang dapat diambil terutama mengenai bagaimana para pejuang kita bersatu padu untuk mencapai kemerdekaan Negara tercinta ini, Indonesia. Tentu kita semua tahu bahwa ketika awal- awal masa perjuangan para pejuang kita belum bahkan tidak terorganisir dengan baik sehingga kemerdekaan seperti jauh api dari panggang dan kegagalanpun membawa problematika tersendiri.

Upload: ferry-bee-yanu

Post on 12-Dec-2014

108 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

mekarkan nilai juang bangsa

TRANSCRIPT

Page 1: Mekarkan nilai juang

Mekarkan nilai juang

Bicara tentang bela, membela dan pembelaan terhadap Negara tentu tak lepas dari jiwa nasionalisme yang perlu dibangun oleh setiap elemen struktural masyarakat dalam ketata-negaraan, mulai dari golongan papan atas sampai pada kelas pinggiran alias tingkat terbawah. Pada gambaran umumnya logika konsepsi pembelaan terhadap Negara dimasa sekarang ini adalah pengembangan teologi tentang wawasan kejuangan dan pembangunan Nasional mulai dari pengimplemantasian teks sampai pada konteksnya, tanpa harus menabuh genderang perang atau agresi militer kesuatu Negara demi memperluas wilayah kekuasaan, karena sekarang ini bukan lagi jaman imperialisme.Jelas bagi kita, kenikmatan yang ada sekarang dikarenakan adanya jiwa kejuangan para pendahulu dan para veteran yang bukan hanya sekedar berkorban harta, waktu dan pikiran tetapi juga nyawa menjadi taruhan. Secara teknis, ketika bangsa ini berada dibawah bayang-bayang cengkeraman penjajah perlengkapan persenjataan kita jauh dari memadai mulai dari jumlah maupun kualitas. Menurut rasio kita, keberadaan persenjataan yang minim sangat mustahil bisa melepaskan diri dan mengusir penjajah dari negeri tercinta ini. Namun, berkat adanya jiwa kejuangan pada setiap warga Negara Indonesia, maka betapapun besar gelombang dan aral melintang tetap saja perjuangan demi terbebas dari belenggu penderitaan terwujudkan dengan meraih kemerdekaan mutlak secara de facto dan de jure. Ini menggambarkan bahwa pentingnya peranan jiwa kejuangan dalam perjuangan bangsa dan pembelaan Negara. Dengan jiwa kejuangan yang tinggi seyogyanya membuat kita tahan terhadap pelbagai tahapan proses sehingga tidak mengenal lelah sebelum cita-cita tercapai.Kejuangan juga merupakan emotional intelligence yang sedikit-banyak telah berperan pada masa lalu bangsa ini menuju gerbang kemerdekaan. Dari pengalaman sejarahnya bangsa ini banyak memberikan hikmah yang dapat diambil terutama mengenai bagaimana para pejuang kita bersatu padu untuk mencapai kemerdekaan Negara tercinta ini, Indonesia. Tentu kita semua tahu bahwa ketika awal-awal masa perjuangan para pejuang kita belum bahkan tidak terorganisir dengan baik sehingga kemerdekaan seperti jauh api dari panggang dan kegagalanpun membawa problematika tersendiri. Perjuangan demi kemerdekaan secara kolektif dipelopori oleh putra bangsa ini dengan didirikannya perkumpulan Budi Utomo pada tanggal 20 mei 1908, perkumpulan ini adalah suatu gerakan pemuda dari kalangan terdidik tanpa kesukuan sebagai perbedaan dalam perjuangannya, oleh karenanya tanggal itu dinamakan “Hari Kebangkitan Nasional”. Gerakan ini merupakan cerminan dari perjuangan Kartini, salah satu anak bangsa yang sadar bahwa untuk mensejahterakan semua warga Negara Indonesia adalah dengan menghilangkan perbedaan suku, agama, ras dan golongan.Perspektif umum Teologi kejuangan bagi bangsa ini adalah dapat membangun rasa cinta tanah air, spirit nasionalisme dan heroisme, terwujudnya pembangunan nasional yang merata, dan mampu menghadirkan kader-kader bangsa yang potensial. Prinsip nilai kejuangan ini juga didasarkan pada kultur dan jiwa bangsa Indonesia, seperti yang telah dilakukan oleh Kartini, Sudirman, Soekarno, Hatta dan lain-lain. Dimana perjuangan mereka tersesuaikan dengan realitas tuntutan dan tantangan zaman, bagaimana dengan kita para generasi penerus?Menyadari sepenuhnya nilai kejuangan tadi, maka perlu dikaji lebih dalam sekedar untuk menginternalisasikan nilai-nilai tersebut pada kondisi actual saat ini. Internalisasi (penghayatan) nilai-nilai juang penting dilakukan karena saat ini bangsa kita Negara kita Indonesia, sedang diambang kehancuran dengan mulai retaknya persatuan dan kesatuan, ini ditandai dengan perseteruan para elite dipanggung politik, eksploitasi habis-habisan para kapitalis terhadap rakyat

Page 2: Mekarkan nilai juang

jelata secara diskriminatif, serta menjalarnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme. Ironisnya, beragam polemic yang semakin hari semakin kompleks tak mampu membawa bangsa ini pada perubahan konkrit sebagai bentuk pembelajaran tapi malah menyeret bangsa ini pada krisis multidimensional, yang pada intinya krisis ini dikarenakan lunturnya semangat rasa kebangsaan dan kurangnya internalisasi nilai-nilai juang. Analogi dari kausalitas tadi sedikitnya menggambarkan tentang punahnya etika dan moral bangsa ini sehingga terjadi distorsi kekuasaan disetiap elemen masyarakat dan gejolak sosial yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan diatas kepentingan bangsa dan Negara. Akibatnya krisis moral bangsa ini mulai menimbulkan pertanyaan, apakah NKRI akan tetap utuh berdasarkan pancasila dan UUD 1945 dalam menghadapi krisis multidimensional yang mengarah kepada disintegrasi bangsa?.In principle, kita bangsa yang beragam suku tapi cita-cita harus satu, kita bermacam budaya tetapi gawang kehidupan harus satu, kita punya banyak agama, nilai, berbagai pilihan disegala sisi kehidupan tetapi sekali lagi obsesi kita harus satu, yaitu memerdekakan kemerdekaan. Junjung tinggi nilai kejuangan, teruskan tongkat estafet agar perjuangan pahlawan kita tak sia-sia dan satukan pikiran demi melangkah kemasa depan yang lebih baik agar bangsa ini menjadi bangsa yang kaya dalam berbagai dinamika kehidupannya. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi?.***

Page 3: Mekarkan nilai juang

Internalisasi

Oleh Adi Ekopriyono

OPEN your mind, and look at the great world outside. Buka pikiranmu, pandanglah dunia luas di luar. Kalimat itu mengawali brosur Sakichi Toyoda Memorial House, di Kota Kosai, Jepang. Sebuah museum, peninggalan tokoh besar dunia industri Jepang, Sakichi Toyoda, yang dilahirkan di kota itu. Salah seorang anaknya, Kiichiro Toyoda, adalah perintis industri otomotif raksasa, Toyota Motor Corporation.

Di museum itu terdapat mesin-mesin tenun temuan tahun 1890 sampai 1924. Itulah bisnis Sakichi pada awalnya, yang kemudian dikembangkan oleh Kiichiro menjadi industri otomotif. Dari temuan-temuan mesin tenun otomatis ke pengembangan industri otomotif.

Museum itu dibangun bukan sekadar untuk mengenang, melainkan menanamkan spirit penemuan-penemuan (the spirit of invention) kepada publik. ''Selamat datang dan selamat merasakan atmosfir yang menginspirasi Sakichi Toyoda mengembangkan dan merealisasikan ambisi dan tekad,'' kata pemandu, yang mengajak saya mengelilingi kompleks tersebut.

Di ruang tamu kantor wali kota Kosai, foto Sakichi Toyoda juga terpampang megah. Menurut beberapa orang yang saya temui di sana, foto itu juga dipasang di kantor-kantor pemerintahan yang lain. Bagi orang Jepang, Sakichi Toyoda adalah spirit untuk mengembangkan bangsanya lebih maju dan lebih maju lagi.

Di museum yang lain, di Osaka, anak-anak sekolah dasar dengan tekun menggambar lukisan-lukisan kuno dan mencontoh tulisan-tulisan dalam huruf kanji. Mereka sedang berusaha untuk memahami lukisan-lukisan itu, merasakan spirit yang ada di baliknya, dan mencoba untuk meresapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

***

ITULAH internalisasi. Proses transformasi spirit, nilai-nilai ke dalam hati seseorang. Spirit kewirausahaan, nilai-nilai budaya asli (local genius) bukan lagi milik Sakichi Toyoda, melainkan milik masyarakat. Maka, wajar kalau Jepang sekarang menjadi negara maju yang sejajar, atau bahkan leading, dibandingkan negara-negara industri lain.

Jepang hanyalah salah satu contoh dari proses internalisasi nilai-nilai dan semangat juang. Banyak bangsa yang lain juga berhasil menginternalisasikan spirit dan nilai-nilai budaya lokal mereka, sehingga menjadi semacam gerakan sosial yang hebat. Istilah lain yang mirip adalah rekayasa sosial (social engineering), sehingga spirit dan nilai-nilai itu tidak mandek pada retorika, melainkan teraplikasi dalam dinamika kehidupan sehari-hari.

Internalisasi kemudian melahirkan kebanggaan nasional (national pride). Itulah salah satu yang mendorong orang Jepang bangga mengatakan ''Saya orang Jepang'', begitu pula orang Amerika bangga dengan keamerikaannya, orang Singapura bangga sebagai orang Singapura, dan orang Malaysia bangga dengan kemalaysiaannya.

Page 4: Mekarkan nilai juang

Jadi, internalisasi spirit dan nilai-nilai itu penting. Maka dulu Bung Karno pun selalu menggelorakan semangat ''jasmerah'', jangan sekali-kali melupakan sejarah. Maknanya adalah, sebagai suatu bangsa kita jangan melupakan spirit dan nilai-nilai yang ada di balik peristiwa-peristiwa bersejarah. Termasuk di dalam konteks kesejarahan ini adalah nilai-nilai budaya lokal, yang oleh orang-orang Jepang diusahakan kelestariannya, sampai-sampai orang asing bingung kalau berkunjung ke sana karena sebagian besar huruf yang dipakai adalah kanji, bahasa yang digunakan bahasa Jepang. Sedikit sekali yang bisa berbahasa Inggris.

***

JEPANG adalah contoh bangsa yang berhasil mengembangkan negaranya berbasis kearifan lokal. Dalam konteks Jawa, mereka berhasil memadukan antara rasa dan rasio; hati dan otak; intention dan attention, serta krenteg dan karep. Krenteg itu dari hati, rasa, dan intention; rasio, otak, dan attention itu pikiran. Sinergi antara keduanya menghasilkan karya-karya nyata, seperti karya Sakichi dan Kiichiro Toyoda.

Bagaimana dengan bangsa kita? Maaf, kita lebih sering berhenti pada retorika, wacana; berhenti pada rasa, mandek di krenteg. Internalisasi menjadi barang langka, sehingga spirit dan nilai-nilai hanya menjadi hiasan yang tidak berwujud, atau menjadi romantisme yang hanya dibicarakan di seminar-seminar.

Itulah sebabnya visi, misi, dan nilai-nilai sebuah wilayah misalnya, alih-alih dipahami dan diresapi, dikenal pun tidak oleh masyarakatnya. Coba, pembaca yang budiman, apakah Anda tahu visi, misi, dan nilai-nilai yang dibangun oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota tempat Anda tinggal?

Internalisasi sangat jarang kita lakukan, sehingga kita tidak lagi mengenal dan memahami spirit dan nilai-nilai lokal yang sesungguhnya dahsyat kalau dikembangkan untuk menghadapi persaingan global sekarang ini. Jadi, ya tidak perlu heran kalau ada arca di museum dijual dan diganti dengan arca palsu. Ada slogan-slogan kota hanya berhenti sebagai judul event dan tidak berkelanjutan.

Saya kira, kita juga tidak bisa menjawab pertanyaan, siapa tokoh yang bisa kita jadikan ikon seperti Toyoda bagi masyarakat Jepang.(62)