mega colon

22
TINJAUAN PUSTAKA MEGACOLON CONGENITAL Pendahuluan Megacolon congenital merupakan kelainan yang sering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada kelainan ini pleksus mienterikus (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) tidak ada, sehingga bagian usus yang bersangkutan tidak dapat mengembang. Keadaan ini bisa muncul sesaat setelah kelahiran, dan menyebabkan konstipasi yang hebat, distensi abdomen, kadang muntah, serta gangguan pertumbuhan pada keadaan yang berat. Megacolon congenital juga dikenal sebagai congenital aganglionesis, aganglionic megacolon, atau Hirschsprung’s disease (Wylie, 2007). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. Insidens penyakit Hirschsprung adalah satu dalam 5000 kelahiran hidup, dan laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding perempuan (Kartono, 2004). 1

Upload: nia-disini

Post on 13-Aug-2015

101 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

megacolon refrat

TRANSCRIPT

Page 1: Mega Colon

TINJAUAN PUSTAKA

MEGACOLON CONGENITAL

Pendahuluan

Megacolon congenital merupakan kelainan yang sering dijumpai sebagai

penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada kelainan ini pleksus mienterikus

(Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) tidak ada, sehingga bagian usus

yang bersangkutan tidak dapat mengembang. Keadaan ini bisa muncul sesaat

setelah kelahiran, dan menyebabkan konstipasi yang hebat, distensi abdomen,

kadang muntah, serta gangguan pertumbuhan pada keadaan yang berat. Megacolon

congenital juga dikenal sebagai congenital aganglionesis, aganglionic megacolon,

atau Hirschsprung’s disease (Wylie, 2007).

Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886,

namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga

tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang

dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal

usus akibat defisiensi ganglion. Insidens penyakit Hirschsprung adalah satu dalam

5000 kelahiran hidup, dan laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding perempuan

(Kartono, 2004).

Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi

terjadinya Penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat

keluarga Penyakit hirschprung dan pada pasien penderita Down Syndrome (Ziegler,

2003). Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis atau

colon transversum pada 17% kasus (Warner, 2004). Insidensi penyakit

Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara

5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat

kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan

penyakit Hirschsprung (Kartono, 2004).

Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko terjadinya

penyakit hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5 sampai

1

Page 2: Mega Colon

17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih tinggi pada

anak perempuan. Penyakit hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh

ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien

mengalami aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu

laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena

yang kebanyakan mengalami long segment aganglionosis (Warner, 2004).

Anatomi dan Fisiologi Colon

Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior

kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi, sedangkan 1/3

bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini

dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang

dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari

usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi

oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi

rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan

depan.

2

Page 3: Mega Colon

Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis

(N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf parasimpatis

(N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini

membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh N.

sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sphincter ani eksterna dan

m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi

sepenuhnya dikontrol oleh N. N. splanknikus (parasimpatis). Akibatnya kontinensia

sepenuhnya dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N. splanknikus pelvik (saraf

parasimpatis).

Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :

1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal

2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler

3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa

Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ketiga

pleksus tersebut.

Definisi

Megacolon congenital (Hirschsprung’s disease) adalah dilatasi kolon yang

abnormal yang disebabkan tidak adanya sel ganglion mienterik pada segmen distal

usus besar secara kongenital. Kehilangan fungsi motorik pada segmen ini akan

menyebabkan dilatasi hipertrofik massif pada kolon proksimal yang normal.

Segmen yang aganglioner biasanya tetap menyempit, tetapi bisa berdilatasi secara

pasif (Dorland, 2002).

3

Page 4: Mega Colon

Gambar 1. Ilustrasi megacolon congenital

Etiologi

Secara genetis, megacolon congenital bersifat heterogen, dan diketahui

terdapat beberapa defek yang berlainan serta menimbulkan akibat yang sama.

Sekitar 50% kasus terjadi akibat mutasi di gen RET dan ligan RET, karena

merupakan jalur sinyal yang diperlukan untuk membentuk pleksus saraf

mienterikus. Banyak kasus sisanya terjadi akibat mutasi endotelin 3 dan reseptor

endotelin (Kumar, 2007).

Teori lain mengenai etiologi yang mendasari megacolon congenital ini

adalah defek pada migrasi dari neuroblast menuju usus bagian distal yang

menyebabkan terbentuknya segmen aganglionik. Namun, ada yang menyatakan

bahwa neuroblast dapat bermigrasi dengan normal, tetapi gagal untuk bertahan,

berproliferasi, atau berkembang di segmen tersebut (Lee, 2009).

Patofisiologi

Penyakit Hirschsprung (megacolon congenital) merupakan penyakit

kongenital. Kelainan yang ada pada megacolon congenital yaitu ketiadaan ganglion

atau aganglionosis saraf intrinsik usus, mulai dari muskulus sfingter ani internum

sampai ke arah proksimal dengan panjang segmen tertentu. Paling banyak, yaitu

80% dari keadaan aganglionosis ini terjadi pada segmen rektosigmoid. Selain

aganglionosis, kelainan yang ditemui pada penyakit ini adalah hipertrofi persarafan

usus eksterna terutama saraf kolinergik.

4

Page 5: Mega Colon

Tidak adanya pleksus mienterikus (Auerbach) dan pleksus submukosa

(Meisner) menyebabkan berkurangnya fungsi usus dan peristaltik. Sel ganglion

usus berkembang dari neural crest. Pada perkembangan normal, neuroblast dapat

ditemukan pada usus kecil pada usia gestasi 7 minggu dan mencapai kolon pada

usia 12 minggu. Defek pada migrasi dari neuroblast menuju usus bagian distal yang

menyebabkan terbentuknya segmen aganglionik. Teori lain menyatakan bahwa

neuroblast dapat bermigrasi dengan normal, tetapi terjadi kegagalan dari neuroblast

untuk bertahan, berproliferasi, atau berkembang di segmen tersebut. Teori ini dapat

disebabkan karena kurangnya komponen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan

perkembangan sel neuron seperti fibronektin, laminin, neural cell adhesion

molecule (NCAM), dan faktor neurotropik.

Ada dua pleksus yang mempersarafi usus, yaitu pleksus submukosa

(Meisner) dan pleksus mienterikus (Auerbach) serta pleksus mukosa yang kecil.

Pleksus-pleksus ini terintegrasi dan terlibat dalam berbagai aspek dari fungsi usus

meliputi absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas normal terutama

dikontrol oleh neuron interinsik. Ganglion sebagai neuron interinsik berfungsi

mengontrol kontraksi dan relaksasi dari usus halus. Kontrol eksterinsik terutama

melalui persarafan kolinergik dan adrenergik. Kolinergik menyebabkan kontraksi

dan adrenergik menyebabkan inhibisi. Pada pasien megacolon congenital, sel

ganglion tidak ada sehingga menyebabkan meningkatnya inervasi ekstrinsik.

Inervasi dari sistem kolinergik maupun adrenergik meningkat 2-3 kali dari inervasi

normal sehingga menyebabkan meningkatnya tonus usus halus. Dengan hilangnya

inervasi intrinsik dan meningkatnya tonus usus halus yang tidak dihambat,

menyebabkan terjadinya kontraksi otot tidak seimbang, peristaltik yang tidak

terkoordinasi, dan obstruksi fungsional. Obstruksi ini mengakibatkan usus tidak

mampu meneruskan gerakan peristaltik ke bagian yang lebih distal yang tidak

mengandung sel ganglion dan juga tidak ada reflek membuka pada muskulus

sfingter ani internum (Lee, 2009).

Secara umum, patogenesis penyakit ini terjadi karena beberapa faktor berikut :

Hipoganglionosis

Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis. Area

5

Page 6: Mega Colon

tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis adalah keadaan dimana

jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan sel

berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus

berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang

colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon (Holschneider, 2000).

Imaturitas dari sel ganglion

Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan pemeriksaan

LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki sitoplasma yang dapat

menghasilkan dehidrogenase. Sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi sel

Schwann’s dan sel saraf lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui

dipengaruhi oleh reaksi succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah

pada minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh

reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2 sampai 4 tahun.

Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan hipoganglionosis

(Holschneider, 2000)..

Kerusakan sel ganglion

Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari vaskular

atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah infeksi

Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi kronis seperti

Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran darah yang

inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through secara

Swenson, Duhamel, atau Soave (Holschneider, 2000)..

Tipe Penyakit Hirschsprung

Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang terkena. Tipe

Hirschsprung disease meliputi (Hackam, 2005) :

Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil

dari rectum.

Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari

colon.

Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.

6

Page 7: Mega Colon

Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum dan

kadang sebagian usus kecil.

Manifestasi Klinis

Tiga tanda khas dari megacolon congenital, yaitu:

1. Keterlambatan evakuasi mekoneum lebih dari 24-48 jam pertama

Pada 99% bayi yang lahir cukup bulan (aterm) mekoneum keluar dalam 48 jam

pertama setelah kelahiran. Megacolon congenital perlu dicurigai pada bayi yang

lahir cukup bulan yang mengalami keterlambatan evakuasi mekoneum.

Meskipun pada beberapa bayi dapat mengeluarkan mekoneum secara normal,

tetapi pada akhirnya akan berlanjut menjadi konstipasi kronik. Gejala lain yang

mungkin terjadi pada neonatus lainnya seperti konstipasi yang diikuti diare

berlebih yang sering teridentifikasi sebagai enterokolitis, abdomen yang

meregang, dan kegagalan perkembangan.

2. Distensi abdomen

Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah. Tanda-

tanda edema, bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung, dan

sekitar genitalia ditemukan bila terjadi komplikasi peritonitis. Gambaran

abdomen tersebut mirip dengan gambaran abdomen pada penyakit lain seperti

enterokolitis nekrotikans neonatal, atresia ileum dengan komplikasi perforasi,

atau peritonitis intrauterin.

3. Muntah yang berwarna hijau

Muntah berwarna hijau disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat terjadi pula

karena gangguan pasase usus, seperti atresia ileum, enterokolitis nekrotikans

neonatal, atau peritonitis intrauterine (Kartono, 2004).

Diagnosis

A. Anamnesis

Anamnesis (alloanamnesis) didapatkan riwayat keterlambatan evakuasi

mekoneum. Mekoneum normal berwarna hijau, sedikit lengket, dan dalam

jumlah yang cukup. Selain itu, didapatkan keluhan lainnya seperti distensi

7

Page 8: Mega Colon

abdomen (kembung) dan muntah hijau sebagai akibat dari obstruksi usus letak

rendah. Megacolon congenital dengan komplikasi enterokolitis menampilkan

distensi abdomen disertai diare dengan fases cair becampur mucus dan berbau

busuk, dengan atau tanpa darah, dan umumnya berwarna kecoklatan. Pada anak

yang sudah besar terdapat keluhan konstipasi kronik sejak lahir dan

menunjukkan kesan gizi kurang. Biasanya pasien mempunyai riwayat keluarga

dengan penyakit yang sama.

B. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen yang membuncit,

kembung, dan tampak pergerakan usus. Pada Pemeriksaan rectal toucher ketika

jari ditarik keluar diikuti keluarnya fases yang menyemprot.

C. Pemeriksaan penunjang

Untuk mendeteksi megacolon congenital secara dini pada neonatus dapat

dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema

barium.

1. Foto polos abdomen

Megacolon congenital pada neonatus cenderung menampilkan gambaran

obstruksi usus letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara.

Jarang terlihat udara bebas intraperitonial yang menginisiasi adanya

perforasi usus proksimal karena megacolon congenital. Gambaran obstruksi

letak rendah seperti pada atresia ileum, sindrom sumbatan mekoneum, atau

sepsis. Pada foto polos abdomen neonatus, distensi ileum dan distensi kolon

sulit dibedakan. Pada pasien bayi dan anak, gambaran distensi kolon dan

massa fases lebih terlihat jelas (Andrassy, 2000).

2. Foto enema barium

Enema barium berisi kontras cairan yang larut dalam air dan memiliki

reliabilitas yang tinggi. Gambaran yang karakteristik pada aganglionosis

kolon adalah barium akan masuk ke dalam rectum yang tidak mengembang,

kemudian masuk ke area yang berbentuk corong, dan selanjutnya masuk ke

dalam kolon yang melebar (megakolon), ini adalah gambaran dari

aganglionosis segmen pendek. Pada aganglionosis segmen panjang akan

8

Page 9: Mega Colon

tampak seluruh kolon menyempit sehingga tidak dapat dilihat area

berbentuk corong (Hasmija, 2007).

3. Pemeriksaan Patologi Anatomi

Biopsi rektal merupakan gold standar untuk diagnosis megacolon

congenital. Swenson pada tahun 1955 mengeksisi seluruh tebal dinding

muskulus rectum sehingga pleksus meinterikus dan bagian submukosa dapat

diperiksa. Terdapatnya ganglion dalam specimen biopsi menyingkirkan

diagnosis megacolon congenital, begitu juga sebaliknya (Kartono, 2004).

Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi untuk megacolon congenital adalah pembedahan

dengan mengangkat segmen usus yang aganglioner, diikuti dengan pengembalian

kontinuitas usus. Terapi medis hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur

bedah pada megacolon congenital berupa bedah sementara dan bedah definitif.

A. Tindakan bedah sementara

Tindakan dekompresi dengan pembuatan kolostomi di kolon berganglion

normal yang paling distal merupakan tindakan bedah pertama yang harus

dilakukan. Tindakan ini dilakukan untuk menghilangkan obstruksi usus dan

mencegah enterokolitis yang dikenal sebagai penyebab utama kematian.

Kolostomi tidak dilakukan bila tindakan dekompresi secara medik berhasil dan

langsung direncanakan bedah definitif. Kolostomi dilakukan pada pasien

neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis, dan pasien

dengan enterokolitis yang berat disertai keadaan umum yang memburuk

(Kartono, 2004).

B. Tindakan bedah definitif

Ada beberapa cara pembedahan untuk tindakan bedah definitif, antara lain:

1. Prosedur Swenson

Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi megacolon congenital

dengan metode “pull-through”. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh

Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan

puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian

9

Page 10: Mega Colon

dilakukan anastomosis  langsung diluar rongga peritoneal. Pada prosedur ini

enterokolitis masih dapat terjadi sebagai akibat spasme puntung rektum

yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini Swenson melakukan

sfingterektomi parsial posterior. Prosedur ini disebut prosedur Swenson I.

Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II dimana setelah

dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik, puntung rektum

ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior

kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung. Ternyata

prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani dan tidak

mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah dan bahkan pada prosedur

Swenson II kebocoran anastomosis lebih tinggi dibanding dengan prosedur

Swenson I (Kartono , 2004).

2. Prosedur Duhamel.

Prosedur ini diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi prosedur

Swenson oleh karena pada metode Swenson dapat terjadi kerusakan nervi

erigentes yang memberi persarafan pada viscera daerah pelvis. Duhamel

melakukan diseksi retrorektal untuk menghindari kerusakan tersebut dengan

cara melakukan penarikan kolon proksimal yang ganglionik melalui bagian

posterior rektum. Penderita ditidurkan dalam posisi litotomi, dipasang

kateter sehingga vesika urinaria kosong dengan maksud agar visualisasi

rongga abdomen lebih jelas. Irisan kulit abdomen dilakukan secara

paramedian atau transversal. Arteria hemorrhoidalis superior dipotong

diikuti pemotongan mesorektum dan rektum. Kolon proksimal dimobilisir

sehingga panjang kolon akan mencapai anus. Perhatian khusus ditujukan

pada viabilitas pembuluh darah dan kolon proksimal dengan cara

menghindari regangan yang berlebihan. Setelah segmen kolon yang

aganglionik direseksi, puntung rektum dipotong sekitar 2-3 cm diatas dasar

refleksi peritonium dan ditutup dengan jahitan dua lapis. Rongga retrorektal

dibuka sehingga seluruh permukaan dinding belakang rektum dibebaskan.

Pada dinding belakang rektum 0,5 cm dari linea dentata dibuat sayatan

endoanal setengah lingkaran dan dari lubang sayatan ini segmen kolon

10

Page 11: Mega Colon

proksimal yang berganglion ditarik ke distal keluar melewati lubang anus

dan dibiarkan bebas menggelantung kemudian dilakukan anastomosis “end

to side” setinggi sfingter ani internus. Anastomosis dilakukan dengan

pemasangan 2 buah klem Kocher dimana dalam jangka waktu 6-8 hari

anastomosis telah terjadi. Stenosis dapat terjadi akibat pemotongan septum

yang tidak sempurna (Holschneider, 2005).

3. Prosedur ENDORECTAL PULL THROUGH ( SOAVE ).

Prinsip teknik ini adalah diseksi ekstramukosa rektosigmoid yang mula-

mula dipergunakan untuk operasi atresia ani letak tinggi. Persiapan

preoperasi yang harus dilakukan adalah irigasi rektum, dilatasi anorektal

manual serta pemberian antibiotik. Tahun 1960 Soave melakukan

pendekatan abdominoperineal, dengan membuang lapisan mukosa

rektosigmoid. Posisi pasien terlentang dengan fleksi pelvis 30 derajat, irisan

kulit abdomen pararektal kiri melewati lubang kolostomi dan dipasang

kateter. Dinding abdomen dibuka perlapis sampai mencapai peritonium

kemudian dilakukan preparasi kolon kiri. Kolon distal dimobilisasi dan

direseksi 4 cm diatas refleksi peritoneum. Dibuat jahitan traksi pada kolon

distal yang telah direseksi kemudian mukosa dipisahkan dari muskularis

kearah distal. Lapisan otot secara tumpul didorong kedistal hingga 1-2 cm

diatas linea dentata. Lewat anus dibuat insisi melingkar 1 cm diatas linea

dentata. Kolon yang berganglion kemudian ditarik ke distal melewati

cerobong endorektal. Sisa kolon yang diprolapskan lewat anus dipotong

setelah 21 hari. (Kartono, 2004 ).

4. Prosedur Boley.

Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi

anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon terlebih

dulu ( Kartono, 2004 ).

5. Prosedur Rehbein.

Setelah dilakukan reseksi segmen yang aganglionik kemudian dilakukan

anastomosis “end to end” antara kolon yang berganglion dengan sisa

rektum, yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Teknik ini sering

11

Page 12: Mega Colon

menimbulkan obstipasi akibat sisa rektum yang aganglionik masih panjang

(Holschneider dan Ure, 2005).

6. Prosedur miomektomi anorektal.

Pada pasien-pasien dengan megacolon congenital segmen ultra pendek,

pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior rektum

dapat dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi anorektal, dimana

dengan lebar 1 cm satu strip dinding rektum ekstramukosa diangkat, mulai

dari proksimal linea dentata sampai daerah yang berganglion ( Teitelbaum

at al, 2006 ).

7. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through.

Teknik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah dilakukan

dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan povidone-iodine,

mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas linea dentata.

Dengan diseksi tumpul rongga submukosa yang terjadi diperluas hingga 6

sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari muskularis

ditarik ke distal sampai melewati anus sehingga terbentuk cerobong otot

rektum tanpa mukosa. Keuntungan prosedur ini antara lain lama

pemondokan dan operasi lebih singkat, waktu operasi lebih singkat,

perdarahan minimal, feeding dapat diberikan lebih awal, biaya lebih rendah,

skar abdomen tidak ada. Akan tetapi masih didapatkan komplikasi

enterokolitis, konstipasi dan striktur anastomosis (Langer, 2004).

Komplikasi

Komplikasi bedah pasca operasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan,

infeksi, perlukaan pada organ sekitar serta risiko anaestesi. Pada penderita yang

dilakukan kolostomi dapat terjadi komplikasi retraksi stoma, striktur, prolaps dan

ekskoriasis kulit. Komplikasi kebocoran usus, striktur dan retraksi setelah tindakan

anastomosis dapat dicegah dengan cara pengamatan yang teliti pada keadaan

vaskularisasi kolon yang akan dilakukan pull-through serta menjaga agar

anastomosis usus tidak dalam keadaan teregang. Komplikasi-komplikasi lain dapat

12

Page 13: Mega Colon

muncul terlambat antara lain obstruksi, inkontinensi serta enterokolitis yang dapat

terjadi pada 50% kasus (Langer, 2004).

13

Page 14: Mega Colon

DAFTAR PUSTAKA

Andrassy RJ, Isaacs H, Weitzman JJ. 2000. Rectal Suction Biopsy for the Diagnosis

of Hirschsprung’s Disease.

http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=13450

Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in:

Schwartz’s PRINCIPLES OF SURGERY. 8th edition. McGraw-Hill. New

York. Page 1496-1498

Hasmija MH, Nunik A. 2007. Total Megacolon Congenital Aganglionesis Colon/

Penyakit Hirschsprung. Berkala Kesehatan Klinik. 13: 118-122

Holschneider A, Ure BM. 2005. Pediatric Surgery: Hirschsprung’s Disease.

Philadelphia: Elsevier Saunders

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto

Kumar V, James M C. 2007. Buku Ajar Patologi: Penyakit

Hirschsprung/Megakolon Kongenital. Jakarta: EGC

Langer JC. 2004. Persistent obstructive symptoms after surgery for Hirschsprung's

disease: development of a diagnostic and therapeutic algorithm. J Pediatr

Surg. 39:1458.

Lee SL, Shekerdimian S, DuBois. 2009. Hirschsprung’s Disease.

http://www.emedicine.medscape.com

Teitelbaum DH and Coran AG. Pediatric Surgery: Hirschsprung’s Disease and

Related Muscular Disorders of the Intestine. Philadelphia: Mosby Elsivier

Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON

TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia.

Page 2113-2114

Wylie R. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics: Motility Disorder and

Hirschsprung’s Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders

14

Page 15: Mega Colon

Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease

In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-

640

15