medulla spinalis

26
ANATOMI MEDULA SPINALIS Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak dalam kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput pembungkus yang disebut meningen. Lapisan- lapisan dan struktur yang mengelilingi medula spinalis dari luar ke dalam antara lain : 1. dinding kanalis vertebralis (terdiri atas vertebrae dan ligamen) 2. lapisan jaringan lemak (ekstradura) yang mengandung anyaman pembuluh pembuluh darah vena 3. duramater 4. arachnoid 5. ruangan subaraknoid (cavitas subarachnoidealis) yang berisi liquor cerebrospinalis 6. piamater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung membungkus permukaan sebelah luar medula spinalis Lapisan meningen terdiri atas pachymeninx (duramater) dan leptomeninx (arachnoid dan piamater). Pada masa kehidupan intrauterin usia 3 bulan, panjang medula spinalis sama dengan panjang kanalis vertebralis, sedang dalam masa masa berikutnya kanalis vertebralis tumbuh lebih cepat dibandingkan medula spinalis sehingga ujung kaudal medula

Upload: lucky-arie-sandi

Post on 13-Dec-2015

32 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tt

TRANSCRIPT

Page 1: Medulla Spinalis

ANATOMI MEDULA SPINALIS

Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak dalam

kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput pembungkus yang disebut meningen.

Lapisan-lapisan dan struktur yang mengelilingi medula spinalis dari luar ke dalam antara lain :

1. dinding kanalis vertebralis (terdiri atas vertebrae dan ligamen)

2. lapisan jaringan lemak (ekstradura) yang mengandung anyaman pembuluh pembuluh

darah vena

3. duramater

4. arachnoid

5. ruangan subaraknoid (cavitas subarachnoidealis) yang berisi liquor cerebrospinalis

6. piamater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung membungkus

permukaan sebelah luar medula spinalis Lapisan meningen terdiri atas pachymeninx

(duramater) dan leptomeninx (arachnoid dan piamater). Pada masa kehidupan intrauterin

usia 3 bulan, panjang medula spinalis sama dengan panjang kanalis vertebralis, sedang

dalam masa masa berikutnya kanalis vertebralis tumbuh lebih cepat dibandingkan medula

spinalis sehingga ujung kaudal medula spinalis berangsur-angsur terletak pada tingkat

yang lebih tinggi. Pada saat lahir, ujung kaudal medula spinalis terletak setinggi tepi

kaudal corpus vertebrae lumbalis II. Pada usia dewasa, ujung kaudal medula spinalis

umumnya terletak setinggi tepi kranial corpus vertebrae lumbalis II atau setinggi discus

intervertebralis antara corpus vertebrae lumbalis I dan II. Terdapat banyak jalur saraf

(tractus) di dalam medula spinalis. Jalur saraf tersebut dapat dilihat pada gambar di

berikut.

Page 2: Medulla Spinalis

Gambar 1. Berbagai jalur saraf dalam medula spinalis

Medula Spinalis merupakan kelanjutan dari otak dimulai setinggi foramen occipitalis

magnum melanjutkan ke bawah di dalam canalis spinalis dan beakhir pada conus medullaris

setinggi V.Lumbalis I. Kemudian hanya berupa serabutserabut saraf yang disebut caudal aquina.

Medulla spinalis ini mempunyai bentuk seperti tabung silindris dan didalamnya terdapat lubang

atau canalis centralis. Bagian tepi atau cortex mengandung serat-serat saraf (white matter) dan

bagian tengahnya berwarna gelap (grey matter) yang mengandung sel-sel body dan bentuknya

seperti kupu-kupu. Dari medulla spinalis ini keluar masuk serabut saraf sebanyak 31 pasang yang

melalui foramen intervertebralis. Sebagaimana otak medulla spinalis juga dilapisi oleh selaput

meningen dan mengandung cairan otak. Pada medulla spinalis terdapat rute utama pada setiap

ketiga columna alba. Pada tractus asendens terdiri atas tiga tractus yaitu:

1. Tractus spinothalamicus anterior atau ventralis

Meneruskan impuls taktil dan tekanan dari medulla ke thalamus. Serabutnya dimulai pada

collumna posterior substantia grisea dari sisi berseberangan dan melintas diatas commisura alba

anterior sebelum naik pada columna alba anterior.

2. Tractus spinothalamicus lateralis

Page 3: Medulla Spinalis

Membawa impuls sakit dan temperatur ke thalamus. Serabutnya bergabung pada medulla dengan

serabut dari tractus spinothalamicus anterior untuk membentuk lemnicus spinalis. Serabut keluar

dari sel yang terletak pada cornu posterior subatantia grisea sisi seberangannya dan terutama

berjalan naik pada columna lateralis.

3. Tractus spinothalamicus anterior posterior atau ventralis dorsalis

Meneruskan informasi ke cerebellum yang dapat membantu koordinasi otot (aktivitas sinergik)

dan tonus otot juga sentuhan dan tekanan. Serabutserabut saraf mulai keluar pada cornu posterius

dari sisi yang sama dan berjalan menuju columna alba lateralis.

Tractus desendens terdiri atas:

1. Tractus corticospinalis atau cerebrospinalis anterior atau ventralis atau

disebut juga tractus pyramidalis direk

Tersusun atas serabut-serabut yang berjalan turun melalui otak dari cortex cerebri. Medulla

terletak didekat fissura antero-media dan berhubungan dengan kontrol voluntaris dari otot

skeletal. Tractus menjadi lebih kecil ketika berjalan naik dan hampir hilang pada regio thoracis

media karena pada ketinggian ini sebagian besar serabut pembentuknya sudah menyeberang ke

sisi berlawanan untuk berakhir dengan cara membentuk sinaps di sekitar cornu anterior dari

neuron motoris inferior. Beberapa serabut yang masih tersisa akan berakhir pada columna

anterior substantia grisea pada sisi chorda yang sama.

2. Tractus lateralis atau tractus pyramidalis transverse

Mengandung sejumlah besar serabut untuk mengontrol gerak otot volunter. Serabutnya keluar

pada cortex motoris dan melintang diatas atau bergabung dengan tractus sisi seberangnya pada

medulla.

3. Tractus vestibulospinalis

Juga berjalan turun pada columna anterior substantia alba. Tractus ini mempunyai hubungan

dengan fungsi keseimbangan dan postur. Serabut saraf mulai keluar pada medulla di sisi yang

sama dari gabungan sel-sel yang disebut nucleus vestibularis.

4. Tractus rubrospinalis

Terletak tepat di depan tractus corticospinalis lateralis, serabutnya dimulai pada mesenchepalon

dan berjalan turun untuk berakhir di sekitar sel-sel cornu anterius. Berhubungan dengan kontrol

aksi otot dan merupakan bagian utama dari sistem extrapyramidal. Tractus motoris dan sensoris

merupakan tractus yang paling penting di dalam otak dan medulla spinalis dan mempunyai

Page 4: Medulla Spinalis

hubungan yang erat untuk gerakan motoris voluntaris, sensasi rasa sakit, temperatur dan

sentuhan dari organorgan indera pada kulit dan impuls propioseptif dari otot dan sendi. Tractus

corticospinalis atau pyramidalis atau motoris berasal dari cortex motoriius precentralis,

serabutnya berjalan turun melalui capsula interna pada genu dan duapertiga anterior limbus

posterior. Tractus cortico ventralis mengendalikan neuron-neuron motorik yang melayani otot-

otot pada truncus termasuk mm.intercostalis dan abdominalis. Semua neuron yang menyalurkan

impul-impuls motorik ke nuclei motorii di dalam batang otak dan medulla spinalis dapat disebut

sebagai neuron motor atas (upper motor neuron). Impuls-impuls motorik ini dapat disalurkan

melalui jalurjalur saraf yang termasuk dalam susunan pyramidal dan susunan ekstrapyramidal

oleh karena itu dalam area yang luas sel-sel neuron yang membentuk jalur

desendens pyramidal (tractus corticobulbaris dan corticospinalis) dan ekstrapyramidal (tractus

reticulospinalis dan rubrospinalis) dapat disebut sebagai neuron motor atas sedangkan neuron-

neuron motorik di dalam nuclei motorii di dalam batang otak dan medulla spinalis dapat disebut

neuron motor bawah (lower motor neuron).

Page 5: Medulla Spinalis

OBAT ANALGESIK POST OPERASI

Dalam penatalaksanaan nyeri, WHO menganjurkan tiga langkah bertahap dalam

penggunaan analgesik.

Langkah 1 digunakan untuk nyeri ringan dan sedang seperti obat golongan nonopioid seperti

aspirin, asetaminofen, atau AINS, obat ini diberikan tanpa obat tambahan lain. Jika nyeri masih

menetap atau meningkat,

Page 6: Medulla Spinalis

Langkah 2 ditambah opioid, untuk non opioid diberikan dengan atau tanpa obat tambahan lain.

Jika nyeri terus menerus atau intensif, langkah 3 meningkatkan dosis potensi opioid atau

dosisnya sementara dilanjutkan non opioid dan obat tambahan lain. Dosis tambahan yang

onsetnya cepat dan durasinya pendek digunakan untuk nyeri yang menyerang tiba-tiba. VAS

nyeri 1-3 disebut nyeri ringan, 4-7 disebut nyeri sedang, dan di atas 7 dianggap nyeri hebat.3

Klasifikasi obat analgesik menurut intensitas nyeri yang menjadi sasarannya, terbagi dalam 2

kelompok:4

1) Analgetika non-narkotik (non-opioid) dengan kerja perifer

2) Analgetika narkotik dengan kerja sentral

Obat-obatan untuk Nyeri Ringan Sampai Sedang

Banyak orang yang mengelola sakit dan nyeri dengan analgesik, termasuk aspirin, asetaminofen,

dan ibuprofen atau naprokes pada dosis 200 mg dosis formulasi. Untuk nyeri sedang, salisilat,

AINS, atau asetaminofen dosis yang lebih tinggi sering sudah memadai, jika tidak, dokter dapat

meresepkan obat-obatan seperti kodein atau oksidon.3

Analgetika non-narkotik

Obat-obat ini dinamakan juga sebagai analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi Sistem

Saraf Pusat, tidak menurunkan kesadaran atau ketagihan.

1. Aspirin3,4

Aspirin merupakan obat analgesik-antipiretik, antiinflamasi sekaligus antirombotik. Indikasi

penggunaannya selain untuk nyeri ringan sampai sedang, aspirin dapat dikombinasikan dengan

analgesik opioid untuk nyeri kanker. Farmakokinetiknya, aspirin cepat di absorpsi dalam

lambung dan usus kecil bagian atas. Kadar puncak dalam plasma dalam 1-2 jam kemudian

mengalami hidrolisis menjadi asam asetat dan salisilat. Dalam metabolismenya sebagian

dihidrolisa rnenjadi asarn salisilat selarna absorbsi dan didistribusikan ke seluruh jaringan dan

cairan tubuh dengan kadar tertinggi pada plasma, hati, korteks ginjal, jantung dan paru-paru.

Dalam darah aspirin akan terikat pada albumin. Mekanisme kerja aspirin dalam antiinflamasi

adalah sebagai penghambat non selektif COX-1 dan COX-2. Aspirin menghambat COX secara

irreversibel, menstabilkan lisosom dan menghambat kemotaksis leukosit PMN dan makrofag.

Efek analgesiknya dicapai dengan menghambat rangsang nyeri pada tingkat subkorteks. Efek

Page 7: Medulla Spinalis

analgesiknya dapat dicapai pada dosis yang lebih rendah daripada dosis antiinflamasinya. Efek

antipiretik dari aspirin adalah dengan menghambat IL-1 yang dilepas makrofag selama inflamasi.

Selain efek analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Aspirin juga memiliki efek antitrombotik

pada dosis 80 mg/hari. Pada dosis tepat, obat ini akan menurukan pembentukan prostaglandin

maupun tromboksan A2 dengan cara menghambat sintesa tromboksan A-2 (TXA-2) di dalam

trombosit, sehingga akhirnya menghambat agregasi trombosit.

Aspirin tidak efektis untuk nyeri viseral yang hebat. Untuk artritis reumatoid, demam rematik,

dan inflamasi sendi lain aspirin akan memberikan hasil pada dosis tinggi. Aspirin tersedia dalam

bentuk sediaan oral yaitu 81; 325; dan 500 mg. Biasanya penggunaan 1 atau 2 tablet (325-650

mg) setiap 4 jam diperlukan, diminum dengan air minum. Iritasi gastrointestinal dapat dikurangi

dengan makanan dan antasida. Efek utama aspirin terutama pada dosis tinggi atau pemberian

jangka panjang adalah iritasi lambung dan pada pemeriksaan mikroskopik, dapat terjadi

pendarahan pada usus. Alergi terhadap aspirin jarang terjadi, dan mungkin bermanisfetasi

sebagai rinorhea, polip nasal, asma, dan sangat jarang terjadi anafilaksis. Aspirin pada dosis

tinggi dapat menghasilkan zat yang mempengaruhi vitamin K sehingga memperpanjang waktu

penggumpalan. Karena efek sampingnya yang cukup tinggi, aspirin jarang digunakan sebagai

antiinflamasi.

2. Asetaminofen

Asetaminofen pada dosis yang sama (650 mg oral per 4 jam) mempunyai efek analgetik dan

antipiretik yang sebanding tetapi efek antiinflamasinya lebih rendah dibanding aspirin. Obat ini

sangat berguna untuk penderita yang tidak mampu mentoleransi aspirin atau pada gangguan

pendarahan dan pada pasien yang mempunyai resiko reye’s syndrome. Asetaminofen

mempunyai waktu paruh yang pendek, sehingga harus diberikan setidak-tidaknya tiap 4 jam

supaya dapat memperbaiki nyeri yang adekuat. Efek sampingnya lebih ringan, khususnya tidak

menimbulkan nefrotoksis dan tidak menimbulkan euforia dan ketergantungan fisik.3,4

Page 8: Medulla Spinalis

Farmakokinetik dari asetamifen oral adalah mencapai kadar puncak pada waktu 30-60 menit.

Asetaminofen ini di metabolisme di hati, sebagian kecil metabolitnya merupakan metabolit aktif

dan toksik. Dosis tinggi pada pemakaian asetaminofen ini bersifat toksik pada hati dan ginjal.

Masa paruhnya sekitar 2-3 jam. Gangguan saluran cerna akibat asetaminofen jarang terjadi.

Dosis lebih dari 15 g dapat berakibat fatal, kematian karena hepatotoksisitas berat dengan

nekrosis sentrioblaris dan kadang disertai nekrosis akut tubuli ginjal.1

3. Anti Inflamasi Non Steroid1,2

Semua obat AINS adalah analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi yang kerjanya tergantung

dosis. Prinsipnya, obat-obatan tersebut digunakan untuk mengontrol nyeri tingkat sedang pada

beberapa gangguan muskuloskeletal, seperti artritis, osteoartritis, terkilir, nyeri menstruasi dan

lainnya teutama keadaan yang bisa sembuh sendiri atau ketidaknyamanan pascaoperasi. AINS

mempunyai keefektifan analgesik yang sesuai atau lebih kuat dari aspirin. Aktivitas AINS

menghambat biosintesis prostaglandin. AINS juga bekerja dengan menghambat kemotaksis,

menurunkan produksi IL-1 serta mengurangi pembentukan radikal bebas. Berdasarkan

mekanisme kerjanya, AINS ada yang bersifat non selektif yang berarti menghambat COX-1 dan

COX-2 seperti diklofenak, ketoprofen, piroxicam, dan ketorolak.

AINS secara umum tidak diberikan pada pasien yang menerima antikoagulan oral. Keuntungan

AINS dibanding aspirin adalah durasi kerjanya yang lebih lama sehingga frekuensi pemberian

lebih rendah dan kepatuhan pasien lebih baik. Selain itu, efek samping pada gastrointestinal lebih

rendah. Penghambat selektif COX-2 dpat meningkatkan insidens edema dan hipertensi.

Obat-Obatan untuk nyeri sedang sampai berat

Analgesik opioid 1,3

Page 9: Medulla Spinalis

Jika dosis analgesik non opioid cukup adekuat dan telah diberikan secara reguler, namun

perbaikan nyerinya minimal; atau pasien yang mengalami efek samping berlebihan, maka

pendekatan pengobatan yang terpilih adalah kombinasi obat opioid lemah dengan obat non

opioid. Opioid analgesik diindikasikan untuk nyeri sedang sampai berat. Zat-zat ini memiliki

daya menghalang nyeri yang kuat sekali dengan titik kerja yang terletak di sistem saraf pusat.

Umumnya bersifat mengurangi kesadaran dan menimbulkan perasaan nyaman. Analgesik

narkotik atau opioid merupakan tulang punggung pengobatan nyeri kanker, perbaikan nyeri

dicapai pada lebih dari 95% pasien, namun penggunaannya harus dipertimbangkan dengan efek

sampingnya. Pemberian opioid dalam dosis terapi secara berulang terus menerus dapat

mengakibatkan toleransi dan ketergantungan fisik. Toleransi yang dimaksud adalah peningkatan

dosis opioid yang dibutuhkan untuk dapat menghasilkan sifat analgesik yang sama. Obat opioid

menurut interaksinya dengan reseptor opioid di sistim saraf pusat yang multipel, digolongkan

sebagai :

1. Obat opioid agonis, yang morphine like

2. Obat opioid antagonis

3. Obat campuran opioid agonis - antagonis.

Opioid agonis yang morphine like, membentuk ikatan dengan reseptor opiat yang diskret,

sehingga menghasilkan analgesia. Opioid antagonis juga membentuk ikatan dengan reseptor

opioid, tapi memblok efek agonis morphine-like, sehingga tidak mempunyai sifat analgesik dari

dirinya sendiri. Opioid campuran agonis-antagonis, tergantung lingkungannya dapat bersifat

agonis atau antagonis. Analgesik opioid sanggup menghasilkan analgesia dalam rentangan dosis

yang lebar. Pada opioid bila dosis ditingkatkan dalam skala logaritmik, akan terjadi peningkatan

analgesia yang linear, sampai titik hilangnya kesadaran. Empat pereparat analgesik narkotik yang

terpenting di Asia Tenggara yaitu kodein, morfin, bruprenorfin dan methadon

Page 10: Medulla Spinalis

Opioid lemah2,4,5

Pasien kanker dengan nyeri ringan sampai sedang, yang tidak memberi respons terhadap

analgesik non opioid, atau tidak dapat mentolerir analgesik non opioid, maka pilihan pertama

adalah analgesik opioid lemah per oral, misalnya kodein atau oksikodon, dengan dosis yang

adekuat dalam pemberian yang reguler.

Agonis ringan sampai sedang:

1. Fenantren: Kodein, oksaikodon, dihidrokodein, hidrokodon

2. Fenilheptilamin: Propoksifen

3. Fenilperidin: Difenoksilat, difenoksin, untuk diare bukan analgesik, loperamid untuk diare

Kodein paling baik untuk nyeri ringan sampai sedang. Ia dikonversi menjadi morfin sehingga

mempunyai efek terapetik. Kodein sering digunakan bersama dengan aspirin atau asetaminofen

untuk memperkuat efek analgesiknya. Dosis 30 mg kodein sebanding kekuatan analgesiknya

dengan 650 mg aspirin. Kodein harus diberikan tiap 46 jam untuk mencapai perbaikan nyeri

yang terus menerus. Komplikasi utamanya adalah konstipasi. Oksidoson dan Hidrokodon, obat

ini diberikan secara oral dan diresepkan bersama analgesik lain. Dosisnya 5-7,5 mg setiap 4-6

jam pada tablet yang mengandung aspirin 325 mg atau 500 mg.

Jika opioid lemah tidak (berhasil, dapat diberikan kombinasi dengan obat non opioid, misalnya

parasetamol, atau dikombinasi dengan ajuvan misalnya antidepresan dan fenothiazin.

Keuntungan pokok kombinasi obat opioid lemah dengan analgesik non opioid adalah

meningkatkan dan menambah analgesia. Obat opioid bekerja pada reseptor opiat di sistim saraf

pusat, sedangkan analgesik non opioid menginhibisi biosintesis prostaglandin pada reseptor

perifer. Aspirin atau parasetamol yang digunakan dalam kombinasi hendaknya diberikan dalam

dosis penuh : 650 mg.

Page 11: Medulla Spinalis

Opioid kuat4,5,8

Jika opioid lemah tidak efektif, langkah berikutnya adalah morfin oral. Morfin oral merupakan

obat pilihan garis pertama pada pengelolaan pasien dengan nyeri kanker stadium lanjut karena

beberapa alasan; waktu paruh morfin singkat, farmakokinetiknya tetap linear pada pemberian

yang berulang. Pada sebagian besar pasien nyeri kanker stadium lanjut, morfin dapat diberikan

per oral. Morfin oral diberikan tiap 4 jam, namun sesuai kebutuhan kadang-kadang diberikan tiap

3 jam. Efek samping pada awal pemberian adalah drowsiness, akan menghilang dalam beberapa

hari. Dosis morfin dapat dinaikkan pelan-pelan sesuai kebutuhan pasien.Dosis permulaan morfin

biasanya 10 mg tiap 4 jam setelah menggantikan narkotik lemah. Dosis ini dinaikkan jika nyeri

tidak terkontrol setelah pemberian dosis pertama, atau perbaikan nyeri tidak 90% setelah 24 jam.

Pada malam hari dapat diberikan dosis ganda, untuk mencapai durasi 68 jam, sehingga dapat

memberi kesempatan tidur malam yang baik.

Methadon merupakan altematif yang berguna untuk morfin, namun untuk penggunaan klinis

memerlukan kecanggihan yang lebih besar. Methadon paling berguna untuk pasien yang telah

mengembangkan toleransi terhadap morfin, atau yang telah mempunyai pengalaman opioid

sebelumnya. Methadon merupakan analgesik opioid garis kedua pada pengelolaan nyeri kanker.

Walaupun waktu paruhnya panjang tapi durasi analgesianya hanya 4--8 jam. Dosis repetitif dapat

menimbulkan akumulasi obat, khususnya pada gagal hati atau ginjal. Methadon tidak

direkomendasikan pada usia lanjut dan keadaan lemah. Pada orang yang tak terlalu lemah,

penggunaan methadon diawasi atau diubah ke morfin. Selain morfin dan methadon, alternatif

lain adalah hidromorfon dan levorfanol.

Obat ajuvan dan kombinasi3,5

Termasuk dalam obat analgesik ajuvan adalah obat-obat yang digunakan sebagai koanalgesik

pada jenis nyeri yang spesifik atau obat yang digunakan untuk melawan efek samping analgesik

opioid. Obat koanalgesik tidak mempunyai aktivitas anti nosiseptif spesifik, namun dalam

kombinasi dengan analgesik akan meningkatkan sifat menyembuhkan nyeri dari analgesiknya.

Page 12: Medulla Spinalis

Kombinasi obat analgesik dan obat ajuvan dapat memberikan tambahan analgesia, mengurangi

efek samping dan mengurangi kecepatan eskalasi dosis opioid. Kombinasi dapat dilakukan juga

antara opioid dengan non opioid (aspirin, asetaminofen, ibuprofen).

Kortikosteroid digunakan untuk nyeri kanker akut dan khronik, dapat menghasilkan keuntungan

spesifik dan non spesifik. Kortikosteroid menimbulkan euphoria, nafsu makan meningkat dan

dapat menambah berat badan, sehingga dengan demikian akan menambah sense of well being

pada pasien kanker. Kortikosteroid juga mengurangi nyeri tulang yang berasal dari metastasis,

dan bekerja sebagai agen onkolitik untuk tumor-tumor jenis tertentu. Pada pasien kanker stadium

lanjut penggunaan kortikosteroid akan memperpanjang waktu survival dan kebutuhan dosis

opioid dapat dikurangi. Kortikosteroid berperanan memberikan analgesia yang sementara pada

pasien dengan metastasis tulang yang tersebar luas atau pada pasien dengan infiltrasi tumor ke

saraf perifer atau pleksus. Namun maintenance kortikosteroid tidak memberikan perbaikan nyeri

dalam derajat yang kontinu. Dosis kortikosteroid yang diberikan tergantung situasi klinisnya.

Pada pasien yang menerima kortikosteroid, AINS hendaknya dihindarkan, karena bersama AINS

risiko efek samping gastrointestinal menjadi lebih besar, khususnya ulserasi dan perdarahan

gastrointestinal.

PENATALAKSANAAN NYERI NON-FARMAKO3

Blok Saraf. Blok saraf sederhana dengan anestetik lokal jangka panjang ditambah suntikan

steroid dapat meringankan nyeri bahu, nyeri dada, dan nyeri paha. Blok pada saraf simpatik dpat

membantu untuk mengurangi nyeri abdomen kronik, nyeri pelvis kronik, dan angina kronik.

Injeksi pada sendi. Injeksi pada sendi menggunakan steroid dan anestesi lokal dapat mengurangi

nyeri dan radang sendi spinal. Prosedur ini kalau perlu dilakukan dnegan bimbingan sinar X.

Prosedur ini juga dapat meredakan nyeri kronik pada sendi panggul dan sendi bahu.

Terapi Stimulasi

Page 13: Medulla Spinalis

· ENS (Trans Cutaneus Electrical Stimulation) menggunakan bantal khusus yang dihubungkan

dengan mesin kecil yang menghantarkan aliran listrik lemah ke permukaan kulit dari area nyeri.

· Akupuntur

Pembedahan. Pada beberapa kasus, terapi bedah diperlukan untuk mengurangi nyeri kronik.

Terapi ini merupakan lini terakhir yang dilakukan bila semua usaha untuk mengurangi nyeri

gagal.

Pengelolaan nyeri pasca bedah dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Profilaktik

Incidance, derajat dan lamanya nyeri pasca bedah dapat dikurangi dengan persiapan operasi

dengan baik, dan perawatan pasca bedah optimal.

2. Terapi Aktif

Penanggulangan nyeri pasca bedah dapat dikurangi partial atau total (tanpa nyeri) dengan cara-

cara berbagai berikut :

a. Obat-2 sistemik analgesik dan ajuvant

b. Analgesik regional (Intra spinsi opiat)

c. Analgesik regional dengan obat lokal anestesi.

d. Analgesik dengan rangsangan litrik (transcutancus electrical nerve

stimulation = TENS), atau dengan electroacupuncture.

e. Analgesik psykologik dengan Hypnosis dan Sugesti.

Obat Analgesik Sistemik & Adjuvan

Golongan opiat

Obat opiat setelah bergabung dengan reseptor dalam susunan saraf pusat dan bagian lain dari

tubuh akan menimbulkan khasiat analgesik, kontraksi otot polos, depresi pernafasan dan lain-

lain.

a. Opioid Intra Muskular

Page 14: Medulla Spinalis

Cara ini adalah cara yang paling sering dipakai, walaupun sering berhasil mencapai efek

anelgesia yang diinginkan karena pemberian intramuskular (im) absorpsinya tidak sempurna,

terutama pada pasien dengan perfusi perifer yang buruk. Karena absorpsi melalui otot relatif

lambat, meka harus diperhatikan kapan anelgesia dibutuhkan dan kapan pemberian ulangan

harus di suntik

b. Opioid Intravena

Walaupun pemberiannya kurang menyenangkan bila dibandingkan dengan pemberian 1 M cara

ini memiliki sejumlah keunggulan. Pada umumnya diberikan sejumlah dosis tertentu (infus

dipercepat) untuk mendapatkan konsentrasi efektif analgesia, kemudian dilanjutkan dengan infus

yang lambat dengan alat yang akurat seperti pompa infus

c. Pasien Mengontrol Pemberian Analgesia Opioid

Saat ini sudah dikembangkan cara/alat agar pasien dapat memberikan sendiri anelgesia opioid

yang diinginkan melalui pompa infus yang sudah diatur terlebih dahulu dosisnya, yang aman

untuk pasien.

d. Opioid Subligual

Cara ini makin populer penggunaannya, karena mudah dan menyenangkan. Obat yang paling

sering dipakai adalah biprenorfin yang bersifat agonis antagonis sehingga efik samping depresi

nafas sangat jarang dijumpai, keuntungan lain adalah masa kerja yang lama (lebih dari 8 jam).

e. Opioid Oral

Opioid oral dapat diberikan pada pasien yang dapat menelan. Morfin sulfat dapat memberikan

analgesia yang adekuat selama 6-8 jam.

Obat opiat yang paling sering dan mudah diperoleh :

1. Morphine

Morphine merupakan obat narkotik analgesik yang sampai saat ini tetap dipakai sebagai standard

dalam penanggulangan nyeri pasca bedah, karena alasan sebagai berikut :

1. Mudah didapat

2. Murah

Pemberiannya mudah dan efektif

Cara pemberian dapat :

Intra muskuler, onset lama dicapai, mudah cara pemberiannya.

Page 15: Medulla Spinalis

Intra venous, cara ini mempunyai beberapa keuntungan a.l : onset obat cepat, hasilnya cepat

terlihat dengan demikian efek emosi penderita akibat dapat dikurangi. Selain itu, kebutuhan

individu akan obat mudah dikontrol dengan titrasi. Konsentrasi obat di darah cepat menurun,

sehingga perlu pemantauan selama 15-20 menit setelah injeksi untuk menilai hilangnya rasa

nyeri dan efek samping obat.

2. Pethidine

Untuk mendapatkan analgesik yang efektif, dan mengurangi efek samping dari cara pemberian

iv, dosis obat diberikan dalam jumlah yang kecil dan diberikan pelan-pelan

Untuk Morphine : 2-3 minggu diencerkan dalam PZ.

Untuk Petidhine : 20-30 minggu diencerkan dalam PZ.

Cara memberikan dengan titrasi interfal 15-20 menit, sampai analgesik tercapai, interfal dapat

ditingkatkan menjadi 45-60 menit sampai steady state.

Infusi (continuous infusion)

Perlu monitoring yang lebih ketat.

Bahaya overdosis mudah terjadi.

Morphin :

Kecepatan pemberian (rate) 0,1 mg/menit (6 mg/jam)

Pethidine :

Rate 1,0 mg/menit (60 mg/jam). Terjadinya analgesi lebih cepat dicapai dan berlangsung dalam

15 – 20 jam. Pethidine mempunyai efek lokal anestesi, dengan akibat menghambat atau blok

saraf simpatik, sensorik, motorik.

Patient Cotrolled Analgesik adalah salah satu cara penggunaan analgesik. Cara ini dimulai pada

th 1970 an. Caranya dapat dilakukan oleh penderita dengan alat yang sudah di program sesuai

kebutuhan penderita (on demand). Hasilnya sangat memuaskan ± 88% penderita bebas nyeri,

dengan alat ini konsentrasi obat narkotik di plasma hampir mendekati minimal effective

analgesic concentration (MEAC). Yang harus diperhatikan pada pemakaian narkotik adalah

keadaan sebagai berikut:

1. Penderita sakit berat

2. Manula (Geriatric)

3. Status hidrasi penderita (Hypovolemik)

4. C.O.P.D (cronic obstructive pulmonary disease)

Page 16: Medulla Spinalis

5. Trauma kepala

6. Advance liver disease

Selain pada golongan tersebut terdapat golongan Non Narkotik Analgesia yaitu : NSAIDS (Non

steroidal anti inflammatory drugs). Cara kerja obat adalah menghambat bahan-bahan Algogenic.

Yang termasuk golongan ini adalah :

Golongan Salisilat

Acetyl salicylic acid (Aspirin)

Dosis obat 500-600 mg tiap 4 jam. Dosis maksimal 4000 mg sehari. Efek samping : perdarahan

lambung, reaksi hipersentitif.

Acetaminophen (Parasetamol)

Mempunyai khasiat analgesik dan antipiretik seperti asam asetil salisilat,  tetapi tidak

mempunyai efek antiinflamasi. Tidak mengadakan iritasi mukosa lambung. Dosis 500-1000 mg

setiap 4 jam. Dosis max 4000 mg sehari.

Antiinflamasi nonsteroid Dibanding dengan asam salisilat khasiat analgesik bervariasi, ada yang

sama dan ada yang lebih kuat. Obat golongan antiinflamasi non steroid memberikan efek

samping pada darah, gastrointestinal, ginjal dan saraf pusat.

1. Proprionic acid derivat

Ibuprofen : dosis 200-400 mg, setiap 4-6 jam per os. Dosis max 2400 mg sehari (Brufen)

Ketiprofen (profenid): Dosis 25 – 50 mg, setiap 6 – 8 jam p.o dosis max 300 mg sehari

2. Benzothiazine deriv. : Piroxicain (feldene). Dosis 20 mg setiap 12-24 jam.

3. Pyrazole deciv.

o  Phenylbutazone. Dosis 100-200 mg setiap 6 jam.

o Oxyphenbutazone (Tanderil). Dosis 100-200 mg setiap 6 jam.

4. Fenmates : Mefanamic acid (Ponstan). Dosis 500 mg setiap 6-8 jam

Epidural / Intrathecal Narkotik

Tehnik epidural & intrathecal narkotik mulai populer pada akhir-2 ini. Namun cara ini

memerlukan keahlian khusus dan harus dipantau dengan ketat, serta dipersiapkan tenaga

paramedik yang sudah terdidik, karena ada penyulit depresi nafas yang lambat. Pemakaian

narkotik epidural lebih menguntungkan dibanding obat anestesi lokal, karena tidak

mempengaruhi sistim somatomotor dan sympatik.

Page 17: Medulla Spinalis

Intrathecal narkotik mengurangi refleks-refleks pascabedah, sehingga membantu hemodinamik

penderita tetap stabil.

Dosis : 0,5 – 1 mg Marphine. Analgesi timbul 15 – 30 menit, dan berakhir 8 – 24 jam. Epidural

narkotik. Dosis : 2 – 10 mg, Morphine, onset 5 – 10 menit, lamanya 6 – 24 jam.

Komplikasi :

Pruritus 15 – 20 %

Retensi urinae 15 – 20 %

Nausea 15 – 25 %

Depresi nafas (delayed)

Regional anestesi dengan lokal anastesi

Kerugian pemakaian obat lokal anestesi terutama adanya gangguan/ blok pada afferent dan

efferent pada segmentasi maupun supra segmental. Keuntungannya menghilangkan nyerinya

sangat efektif, dan spasmus otot tidak terjadi.

Intercostal block

Cara ini efektif untuk nyeri pasca bedah cholecystectomy, thoraco tomy, gatrectomy dan

mastectomy. Keuntungannya tidak terjadi hypotensi.

TENS (Transcutancus Electrical nerve stimulation)

Dilaporkan bahwa cara ini dapat menghilangkan nyeri pasca bedah laporotomy, thoracotomy

maupun laminec tomy. Namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa tens tidak

memperbaiki faal paru pasca bedah. Akan tetapi Tens dapat dipakai sebagai cara alternatip untuk

mengurangi kebutuhan narkotik.

Hipnosis dan sugesti. Dalam upaya menghilangkan rasa nyeri, rasa takut perlu perlu dihilangkan

untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi pelaksanaan pembedahan. Oleh karena hal tersebut

maka hypnosis dan sugesti dapat membantu menghilangkan komplikasi nyeri pasca bedah.

Pedoman Pemberian analgetik pasca bedah

Awal, diberikan obat dengan potensi dan dosis yang sangat kuat (2 hari)

Selanjutnya diturunkan potensi dan dosisnya

DAFTAR PUSTAKA

Page 18: Medulla Spinalis

1. Dewoto HR. Slide kuliah Nyeri Pada Muskuloskeletal. 2006

2. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease.

Philadelphia: Elsevier Saunders. 2005.

3. Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan

Ilmu Penyakit Dalam. 2006. h.1182-1183

4. Tan, Rahardja K. Obat-Obat Penting Khasiat dan Penggunaannya. Jakarta: 2000

5. Cherry DA, Gourlay GK. Pain relief in tenninal care. Med Progr 1986. 13(9).p. 29-36.

6. Lee E, Merriman A. Management of pain in the terminal cancer patient. Med Progr. 1988;

15(5). p.16-23

7. Foley KM, Inturissi CE. Pharmacologic approaches to cancer pain. In : KM Foley, RM

Payne (eds.). Current Therapy of Pain. Toronto : BC Decker Inc. 1989 : 303-31

8. Adams RD, Martin JB. Harrison's Principles of Internal Medicine. Acute and chronic pain :

pathophysiology and management.New York; McGraw Hill, 1983 :14.

9. Tsao Jennie CI. Effectiveness of massage therapy for chroni, non-malignat pain. 2007.

Diunduh dari http://www.medscape.com/viewarticle/559775 pada tanggal 28 Desember

2009