media indonesia 15 maret - un
TRANSCRIPT
-
7/28/2019 Media Indonesia 15 Maret - UN
1/1
PELAKSANAAN ujian
nasional (UN) ting-
kat sekolah dasar (SD/
MI) hingga menengah
(SMA/MA) dalam hitungan
hari. Anak didik mulai disi-
bukkan berbagai kegiatan per-
siapan UN, seperti pendalaman
materi/les, latihan mengerja-
kan soal UN di sekolah, hingga
mengikuti berbagai bimbingan
belajar (bimbel). Akibat padat-
nya kegiatan menyongsong UN
itu, waktu anak didik untuk
bermain, mengembangkan
kreativitas melalui seni, olah-
raga, kewirausahaan, dan ka-
rakter mulia lain sama sekali
tidak mendapat porsi. Sing-
katnya, seluruh waktu anak
didik habis digunakan untuk
mempersiapkan diri, dengan
harapan kelak bisa menjawab
soal dan lulus UN.
Karena anak didik disibuk-
kan persiapan menghadapi
UN itu, ujung-ujungnya kon-
sentrasi mereka mengikuti
pendidikan menjadi berubaharah. Bagaimana tidak? Awal-
nya, tujuan utama belajar ialah
memperoleh ilmu pengeta-
huan, keterampilan, di sam-
ping menempa karakter dan
kepribadian anak. Namun, tu-
juan itu bergeser--atau sengaja
digeser--sekadar lulus UN. Ke-
pentingan itu sangat pragmatis
dan jelas tidak sesuai dengan
tujuan pendidikan bangsa se-
bagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
Dari fenomena kesibukan
anak didik menghadapi UN
itu, terlihat sekali bahwa sebe-
narnya UN telah menjadi alat
pereduksi makna pendidikan,
yang semula sebagai wahana
pengembangan potensi, men-
jadi instrumen p engukur ke-
cerdasan kognitif semata. Alih-alih memberikan anak ruang
kreativitas dan berimaji, itu
justru menjadi monster yang
merampas kebebasan serta
hakim penentu nasib anak
didik. Itulah yang ditengarai
Prof Hamid Hasan (2008) seba-
gai proses pereduksian makna
pendidikan, dari wahana pe-
ngembangan potensi menjadi
instrumen pengukur kecer-
dasan kognitif semata.
Anehnya, pemerintah mela-
lui Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendik-
bud) tetap ngotot memper-
tahankan monster itu walau
dalam bentuk yang berbeda.
Beban psikologis?Tampaknya, pemerintah
melalui Kemendikbud tidak
pernah belajar--atau memang
tidak mau tahu--fenomena di
lapangan. Berbagai kasus yang
dilaporkan orangtua kepada
Komisi Nasional (Komnas)
Perlindungan Anak sebagian
besar disebabkan pelaksanaan
UN, seperti anak yang stres,
bahkan depresi, gara-gara se-
harian penuh mengikuti pen-
dalaman materi menyambut
UN. Bahkan ada anak yang rela
menghabisi hidupnya karena
merasa malu teramat sangat
tidak lulus UN.
Kemendikbud rupanya jugatidak mengkaji dengan bijak,
bahwa dampak kegagalan
UN itu mencakup kawasan
yang amat luas. Bukan ha-
nya pada institusi pendidikan
semata, melainkan juga pada
aspek yang lain, seperti sistem-
struktur, persoalan sosiolo-
gis, hingga psike konsumen
pendidikan. Bagi orangtua
misalnya, kegagalan putra-
putri mereka menempuh UN
menjadi semacam aib yang
mencoreng nama baik. Mereka
juga akan mendapat sebutan
sebagai orangtua yang gagal
mendidik anak.
Pun begitu pengaruhnya
pada anak didik. Selain me-
munculkan perasaan-perasaan
negatif seperti anak didik
merasa sebagai orang yang ga-gal, tidak berguna, dan bodoh,
kegagalan menempuh UN
menimbulkan luka psikologis
yang amat dalam. Luka itu
akan terus terbawa hingga
anak didik dewasa kelak. Luka
itu teramat sakit, yang menye-
babkan mereka melenceng
dari alur potensi atau fitrah-
nya.
Penderitaan rutin yang me-
nimpa anak didik, sepertinya
tidak mendapat respons serius
dari pemerintah. Buktinya,
sampai saat ini pemerintah
masih saja mempertahankan
UN sebagai alat evaluasi hasil
pendidikan. Alasannya selalu
sama; demi kemajuan pendi-
dikan dan peningkatan hu-
man development index
(HDI). Alasan
demikian
s e p i n -
tas me-
m a n g
masuk
a k a l .
N a -
m u n ,
s e j at i -
nya, itu
sekadar
a l a s a nu n t u k
menutupi
k e t i d a k -
berhasilan-
-untuk me-
n g a t a k a n
kegagalan--pe-
merintah dalam
menciptakan in-
strumen evaluasi
hasil pendidikan
nasional.
Benar pemerintah
telah menciptakan format
penilaian terbaru, yang diang-
gap lebih adil dan holistis (ra-
nah afektif, psikomotorik, dan
kognitif). Namun, pada pelak-
sanaannya, format penilaian
itu tetap hanya berkutat pada
satu aspek (kognitif), sebagai
akibat ketidaksiapan segenapaspek pendukungnya; seperti
banyaknya tenaga pendidik
yang tidak lolos ujian serti-
fikasi alias tidak kompeten,
sarana prasarana yang tidak
menunjang, serta keterbatasan
akses geografis.
Selain itu, pemerintah me-
mang sudah menetapkan stan-
dar nilai UN, dengan harapan
terjadi pemerataan mutu dan
kualitas pendidikan secara na-
sional. Namun, fakta di lapang-
an berbicara lain. Ketidakju-
juran merebak sehingga begitu
mudahnya sekolah memenuhi
standar itu lantaran terjalin-
nya kolusi yang demikian rapi;
antara pengawas, siswa,
dan seko-
lah. Akibatnya,
di atas kertas memang lulusan
sebuah sekolah memenuhi
standar UN, tetapi yang se-
nyatanya tidak demikian. Bu-
kankah itu justru merugikan
tidak saja yang bersangkutan,tetapi juga dunia pendidikan
kita pada umumnya?
Kondisi yang karut-marut
itu masih diperparah adanya
budaya buruk pendidikan
kita; ganti menteri ganti pula
kebijakan. Akibatnya, model
evaluasi pendidikan tidak se-
makin sempurna, tetapi justru
semakin runyam. Siapa lagi
yang menanggung dampaknya
jika bukan anak didik? Setiap
tahun ribuan bahkan jutaan
anak didik yang gagal menem-
puh UN tersudut pada beban
psikologis yang amat berat.
Benar rupanya apa yang dika-
takan R Tagore (2000), Pen-
didikan itu tak lebih siksaan
yang disengaja. Dalam hal ini,
pemerintah melalui UN telah
menyiksa generasi muda
calon ahli waris negeri ini
di masa depan. Alangkah
kejamnya.
Bukan solusiAkibat takut tidak
lulus UN, para orang-
tua lantas menyu-
ruh anak mereka
mengikuti program
kegiatan
b i m -bingan
b e l a -
j a r .
F e n o -
mena itu
jelas meng-
un tun gkan
penyelenggara
bi mbel ; yan g
ditandai men-
ja mu rny a pr o-
g r a m b i m b e l
bak cendawan di
musim hujan; de-
ngan beragam nama,
jenis pelayana n, dan
lamanya. Seperti iklan tukang
sulap saja, banyak lembaga
bimbingan belajar yang meng-
garansi jika peserta didik tidak
lulus UN, uang kembali!
Kegiatan bimbel sejatinyadilematis. Di satu sisi mengun-
tungkan, tetapi di sisi lain jus-
tru merugikan. Menguntung-
kan karena secara psikologis
anak didik sudah siap untuk
mengerjakan berbagai macam
bentuk soal UN. Berbeda ten-
tunya bagi mereka yang tidak
pernah mengikuti bimbel,
selain asing dengan berbagai
bentuk dan jebakan soal UN,
mereka tidak menguasai trik-
trik dan jalan pintas menger-
jakannya. Penelitian para ahli
pendidikan setidaknya mene-
mukan adanya korelasi yang
signifikan antara kegiatan
bimbel dan kesiapan anak
didik mengerjakan soal.
Kegiatan bimbel merugikan
lantaran sifatnya yang ser-
badarurat dan instan. Itulah
yang sering luput dari perha-
tian para orangtua. Memang
dalam bimbel terjadi interaksi
dan relasi yang dekat antara
tutor dan anak didik. Akan
tetapi, sifatnya instan dalam
rangka berlatih mengerjakan
soal, bukan bimbingan untuk
mengembangkan kreativitas,
pola berpikir, rasa ingin tahu,
wawasan, dan sikap anak
didik. Karena potensi-potensi
anak tidak terbina selama
bimbel, yang timbul justru
dampak negatif, yakni keya-
kinan memakai jalan pintasguna mencapai tujuan--dalam
hal ini tujuan lulus menjawab
soal. Tanpa disadari, anak
didik diperkenalkan kepada
mental-mental menerabas,
yang picik dan kerdil.
Ironisnya, dalam rangka
mengejar target lulus UN 100%,
sekolah kita beralih haluan
menjadi lembaga bimbel mela-
lui kegiatan pelatihan soal-soal
ujian, seperti program penda-
laman dan pengayaan materi.
Kondisi itu tentunya sangat
memprihatinkan. Pasalnya,
tatkala tujuan sekolah sekadar
lulus UN dengan mengabai-
kan pembentukan karakter
anak didik, muaranya pasti
mereduksi makna dan tujuan
pendidikan sebagai pemba-
ngun manusia yang utuh dancerdas.
Sudah saatnya semua pihak,
entah orangtua, pendidik, dan
pemerintah menyadari pende-
ritaan yang dialami anak didik
ketika menghadapi UN. Kritik
membangun terhadap pelaksa-
naan UN memang harus terus
digulirkan. Tujuannya agar pe-
merintah terus berbenah dan
menemukan format instrumen
yang tepat guna mengukur ha-
sil sistem pendidikan nasional.
Bagaimanapun, pengukuran
hasil atau evaluasi sangat
diperlukan guna mengetahui
keberhasilan dan kemajuan
sebuah program.
Namun, tidak arif tentu-
nya jika para petinggi pendi-
dikan yang terbiasa dengan
pengukuran secara kuantitatif
(angka/nilai) memaksakan
kecenderungan tersebut--de-
ngan tetap mempertahankan
UN format saat ini. Mereka
lupa bahwa dalam kawasan
ontologi dan epistemologi
keilmuan, baik kuantitatif
maupun kualitatif memiliki
derajat kebenaran, validitas,
dan reliabilitas yang sama. Ti-
dak ada yang unggul melebihi
yang lain, saling melengkapi
dan mengisi titik cela.
Oleh karena itu, perlu kira-
nya dipikirkan sistem evaluasi
dengan unjuk kinerja (psiko-motorik), melalui standar ke-
lulusan yang ditetapkan secara
kualitatif. Unjuk kinerja dalam
hal ini berdasar pada stan-
dar kompetensi yang sudah
ditetapkan. Ujian seperti itu
justru lebih relevan dengan
konteks kekinian karena lebih
berorientasi pada keteram-
pilan nyata.
Anak didik tentunya me-
rindukan pendidikan tanpa
model evaluasi seperti UN.
Beban mereka sudah teramat
berat, mulai mencari biaya
untuk sekolah (bagi anak ti-
dak mampu), beban selama
kegiatan pembelajaran, beban
menghadapi UN, hingga be-
ban ketika bukti kelulusannya
(STTB dulu) tidak laku untuk
melamar kerja. Pertanyaanyang patut diajukan adalah,
apakah pendidikan kita ha-
nya untuk membebani anak
dengan berbagai problem
atau hendak mencerdaskan
mereka? Pertanyaan ini patut
dikajirenungkan para pemang-
ku kepentingan pendidikan
kita. Walahualam.
EBET
HARI ini ujian na-
sional (UN) dimu-
lai lagi. Dalam dua
minggu terakhir
ada begitu banyak foto dan
gambar, baik di media cetak
maupun internet, yang menun-
jukkan adanya kecemasan luar
biasa dari siswa-siswi kita yangakan mengikuti UN. Meskipun
intinya berdoa, ditampakkan
oleh raut kesedihan anak-anak
yang seolah akan ada bencana.
Pendidikan kita yang kurang
menghargai dan memercayai
pentingnya proses dan lebih
berharap pada hasil akhir se-
olah mereduksi makna penting
pendidikan yang dapat menja-
min keadaban.
Jika pendidi kan dimakna i
sebagai sebuah proses, jangan
terlalu banyak berharap akan
ada sebuah akhir. Sebagaimana
maksim Arab yang mengatakan
bahwa menuntut ilmu ada-
lah sebuah proses pencarian
seumur hidup (min al-mahdi
ila al-lahdi), maka common be-
lievesdan energi para pendidik
seharusnya lebih berorientasi
dan mencintai prosesnya. Akan
tetapi, karena ada ilmu ukur,
pendidikan pun menjadi sumir
karena tak jarang para pendi-
dik lebih mengejar hasil (result
oriented) tinimbang mencintai
prosesnya.
Tujuan, hakikat, dan pemak-
naan pendidikan yang serbaha-
sil itu memperlihatkan lemah-
nya sistem pendidikan yang
dibangun sehingga elan dasar
pendidikan kita seakan tak
pernah bertemu dengan jiwaatau roh yang selalu menjadi
batang tubuh pendidikan na-
sional. Yaitu, berkembangnya
potensi peserta didik agar men-
jadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (UU No
20/2003 tentang Sisdiknas).
Sangat tidak mungkin rasa-
nya jika pembuktian seluruh
agenda pendidikan nasional
seperti tertera dari tujuan di
atas diselesaikan oleh ujung
mata rantai yang bernama
ujian nasional (UN) sebagai
bentuk pertanggungjawaban-
nya. Hampir semua indikator
dan tujuan pendidikan nasio-
nal di atas adalah sebuah napas
panjang dari sebuah usaha dan
proses yang tidak akan pernah
berakhir (never ending process)
karena hampir semua pilihan
kata yang digunakan ialah kata
sifat (adjective) yang menuntutusaha secara terus-menerus.
Kesadaran terhadap proses
pendidikan dan proses belajar
mengajar yang benar harus
bersinergi secara positif dengan
keyakinan setiap pendidik.
Bahwa, untuk menjadikan anak
bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, tak cukup hanya
dengan, misalnya, mengujinya
dengan secarik kertas ujian
tentang sifat Tuhan. Proses
yang benar ialah upaya untuk
memastikan bahwa interaksi
personal dan interpersonal
seorang anak dengan guru,
orangtua, dan l ingkungannya
tumbuh dari pengetahuan
yang dia peroleh secara be-
nar. Membiasakannya secara
terus-menerus dalam konteks
budaya sekolah yang sehat
memperoleh teladan yang tiada
henti dari guru, orangtua, dan
lingkungannya, serta adanya
kendali moral yang akan tum-
buh secara bersamaan dari
dalam dan luar diri mereka
sendiri.
Jika dihitung secara kalku-
latif, seharusnya ujian nasional
(UN) ditiadakan di tahun de-
pan. Mengapa? Jika pemerintah
jadi me-launchingkurikulum
baru bagi semua level dan
jenjang pendidikan, konsekue-
nsi logisnya ialah akan terjadi
perubahan signifikan pada tiga
aspek, yaitu proses, evaluasi,
dan manajerial pengelolaan
sekolah. Hal itu merupakan
konsekuensi yang tidak mung-
kin dihindari ketika pilihan
orientasi pendidikan kita akan
lebih banyak menekankankompetensi sikap (attitude)
tinimbangpengetahuan (know-
ledge/cognitive).
Pada aspek proses, penting
bagi otoritas pendidikan kita un-
tuk menggali sebanyak mung-
kinpedagogical toolsyang akan
memperkaya wawasan dan
kreativitas guru dalam melaku-
kan proses belajar mengajar. Di
aspek manajerial, sekolah harus
lebih siap dalam menghadapi
perubahan pola rekrutmen
siswa sekaligus rekrutmen guru
agar lebih siap dalam mengha-
dapi perubahan kurikulum. Se-
bagai contoh, peminatan siswa
SMA yang akan dimulai sejak
mereka di kelas 10 jelas harus
disikapi dengan instrumen pola
penerimaan siswa yang meng-
hargai bakat dan minat siswa
sejak dini.
Pada aspek evaluasi, peng-
gunaan polapaper-test seperti
yang saat ini sering digunakan
jelas harus ditambah dengan
kemampuan guru dan manaje-
men sekolah dalam membuat
jenis dan ragam penilaian me-
lalui mekanisme portofolio.
Mengapa portofolio penting?
Kesadaran tentang pentingnya
penilaian secara komprehensif
terhadap perkembangan siswa
dimulai oleh Howard Gard-ner (1983) yang menulis buku
Frames of Mind: The Theory of
Multiple Intelligences. Dalam
buku itu kemampuan siswa
diakui sangat beragam, dan
karena itu harus dinilai secara
berkesinambungan sesuai de-
ngan tingkat pencapaian kog-
nitif, afektif, dan psikomotorik
yang dialaminya. Adapun guru
memiliki tanggung jawab un-
tuk merevisi kurikulum yang
dikembangkan dalam proses be-
lajar mengajar, atau semacam
curriculum revision check list.
DalamPortfolios Assessment
Resources Kit, Forster Margaret
& Masters Geoff (1996) mem-
berikan pengertian portofolio
sebagai kumpulan hasil kerja
siswa yang sering disebut se-
bagai artefak. Artefak-artefak
tersebut dihasilkan dari penga-
laman belajar atau proses pem-
belajaran siswa dalam periode
tertentu, untuk kemudian dise-
leksi dan disusun menjadi satu
portofolio. Dengan kata lain,
portofolio merupakan koleksi
pribadi hasil pekerjaan seorang
siswa (bersifat individual) yang
menggambarkan sekaligus
merefleksikan taraf pencapai-
an, kegiatan belajar, kekuatan,
dan pekerjaan terbaik siswa
tersebut. Karena itu, sifat darikumpulan koleksi artefak itu
memiliki ciri yang dinamis dan
berubah sesuai dengan tingkat
pemahaman siswa.
Jika semua guru dan sekolah
memiliki pandangan yang sama
tentang portofolio, masa depan
UN jelas harus segera diakhiri.
UN sesungguhnya laksana jang-
kar kapal untuk bersandar,
yang dihempaskan ke laut dan
membuat kapal tak bisa ber-
gerak maju kecuali bergoyang
di tempat. Padahal jika jangkar
dilepas dan mesin dihidupkan,
kapal dan seluruh isinya akan
tersadar betapa luasnya laut
biru dengan gelombang dan
ombak yang akan selalu meng-
uji seluruh isi kapal. Menikmati
dentum dan deburan ombak
sesungguhnya sebuah proses
alamiah yang seharusnya bisa
dinikmati oleh seluruh awak
kapal. Itulah makna sejati pen-
didikan sebagai sebuah proses
yang tiada akhir.
CALAK EDU
Kapan UN akan Berakhir?
DOK PRIBADI
Ahmad Baedowi
Direktur PendidikanYayasan Sukma, Jakarta
Monster itu Bernama Ujian NasionalAgus Wibowo
Pemerhati pendidikan, penulis buku Malpraktik Pendidikan (2008)
PARTISIPASI OPINI Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] ataufax: (021) 5812105, (Maksimal 6.000 karakter tanpa spasi. Sertakan nama, alamat lengkap, nomor telepon, foto kopi KTP, nomor rekening, dan NPWP)
Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm)Direktur Utama: Lestari MoerdijatDirektur Pemberitaan/Penanggung Jawab: Usman Kan-songDewan Redaksi Media Group: Saur M. Hutabarat (Ketua),Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Djafar H. Assegaff,Elman Saragih, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni LowhurSchad, Suryopratomo, Toeti P. Adhitama, Usman KansongRedaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato
Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden SubanKepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius SuhardiDeputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul KoharSekretaris Redaksi: Teguh NirwahyudiAsisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Haryo Prase-tyo, Jaka Budisantosa, Ono Sarwono, Rosmery C. SihombingAsisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto
Tri Febrianto (031) 5667359; Yogyakarta: Andi Yudhanto(0274) 523167.Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Tele-pon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirku-lasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077,Telepon Percetakan: (021) 5812086, Harga Langganan:Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkoskirim, No. Rekening Bank: a.n. PT Citra Media Nusa PurnamaBank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098;BCA - Cab. Sudirman: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PTCitra Media Nusa Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/TataUsaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar RayaKav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520,Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812105
(Redaksi) e-mail: [email protected], Percetakan: Media Indonesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Website: www.mediaindonesia.com,
DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WAR-TAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERSDAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU ME-MINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN
Redaktur: Agus Mulyawan, Ahmad Punto, Anton Kustedja, CriQanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro,Ida Farida, Iis Zatnika, Irana Shalindra, Jerome E. Wirawan, M. Soleh,Mathias S. Brahmana, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelisti-
jono, Wendy Mehari Utami, Widhoroso, Windy Dyah IndriantariStaf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana,Akhmad Mustain, Anata Syah Fitri, Andreas Timothy, Arief HulwanMuzayyin, Aries Wijaksena, Asep Toha, Asni Harismi, Bintang Kri-santi, Bunga Pertiwi, Cornelius Eko, Daniel Wesly Rudolf, DennyParsaulian Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dika Dania Kardi, Din-ny Mutiah, Dwi Tupani Gunarwati, Edna Agitta Meryynanda, EmirChairullah, Eni Kartinah, Fardiansah Noor, Fidel Ali Permana, Gaya-tri Suroyo, Gino F. Hadi, Hafizd Mukti Ahmad, Heru Prih mantoro,Heryadi, Hillarius U. Gani, Iwan Kurniawan, Jajang Sumantri, Jonggi
Pangihutan M, Marchelo, Mirza Andreas, Mohamad Irfan, MuhamadFauzi, Nesty Trioka Pamungkas, Nurulia Juwita, Panca Syurkani,Permana Pandega Jaya, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Rommy Puji-anto, Rudy Polycarpus, Sabam Sinaga, Selamat Saragih, Sidik Pra-mono, Siswantini Suryandari, Sitriah Hamid, Siska Nurifah, Su gengSumariyadi, Sulaiman Basri, Sumaryanto, Susanto, Syarief Oebaid-illah, Thalatie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskandar, Vini MariyaneRosya, Zubaedah Hanum
Biro Redaksi: Dede Susianti (Bogor) Eriez M. Rizal (Bandung);Kisar Rajagukguk(Depok); Firman Saragih (Karawang); Sumantri
Handoyo (Tangerang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman (Palem-bang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Semarang); Wi-djajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya)
METROTVNEWS.COMHead of Metrotvnews.com: Asep SetiawanAssistant to Head: Jemmy BagotaNews: Tjahyo Utomo, KhudoriKanal/Social Media: Victor JP NababanRedaksi: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Basuki Eka P, DendiSuharyana, Deni Fauzan, Edwin Tirani, Heni Rahayu, Henri Salomo,Irvan Sihombing, Laila B, Patna Budi Utami, Rizky Yanuardi, Sjai-chul, Wily Haryono, Wisnu AS, Retno Hemawati, Rina Garmina,Nurtjahyadi, Afwan A, Andhini, Andrie, Donny Andhika, Fario Un-
tung, Gita, Kesturi, Mufti S, Prita Daneswari, Rita Ayuningtyas,Satwika, Timmi
DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING)Asisten Kepala Divisi: Budiana Indrastuti, Mochamad AnwarSurahmanRedaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe
CONTENT ENRICHMENTPeriset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S, Devi Asriana,Gurit Adi Suryo
Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Aam Firdaus, AdangIskandar, Henry Bachtiar, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso,Suprianto
ARTISTIKAsisten Kepala Divisi: Rio Okto WaasRedaktur: Annette Natalia, Donatus Ola Pereda, Gatot Purnomo,Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata AreadiStaf Redaksi: Ali Firdaus, Ami Luhur, Ananto Prabowo, AndiNursandi, Bayu Aditya Ramadhani, Bayu Wicaksono, Briyan BodoHendro, Budi Setyo Widodo, Catherine Siahaan, Dedy, DharmaSoleh, Endang Mawardi, Fredy Wijaya, Gugun Per mana, Hari Syahri-ar, Haris Imron Armani, Haryadi, Marionsandez G, M. Rusli, MuhamadNasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania
Ismono, Putra Adji, Rugadi Tjahjono, Seno Aditya, Tutik Sunarsih,Warta SantosiOlah Foto: Saut Budiman Marpaung, Sutarman
PENGEMBANGAN BISNISSenior Kepala Divisi Sales & Marketing:Amdoni Nuzhaki ZakirKepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful BachriKepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Su-
jiyonoAsisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard RPerwakilan Bandung: Ahmad Harun (022) 4210500; Surabaya:
SENIN, 15 APRIL 2013 PENDIDIKAN 27