media indonesia 15 maret - un

Upload: kreshna-aditya

Post on 03-Apr-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/28/2019 Media Indonesia 15 Maret - UN

    1/1

    PELAKSANAAN ujian

    nasional (UN) ting-

    kat sekolah dasar (SD/

    MI) hingga menengah

    (SMA/MA) dalam hitungan

    hari. Anak didik mulai disi-

    bukkan berbagai kegiatan per-

    siapan UN, seperti pendalaman

    materi/les, latihan mengerja-

    kan soal UN di sekolah, hingga

    mengikuti berbagai bimbingan

    belajar (bimbel). Akibat padat-

    nya kegiatan menyongsong UN

    itu, waktu anak didik untuk

    bermain, mengembangkan

    kreativitas melalui seni, olah-

    raga, kewirausahaan, dan ka-

    rakter mulia lain sama sekali

    tidak mendapat porsi. Sing-

    katnya, seluruh waktu anak

    didik habis digunakan untuk

    mempersiapkan diri, dengan

    harapan kelak bisa menjawab

    soal dan lulus UN.

    Karena anak didik disibuk-

    kan persiapan menghadapi

    UN itu, ujung-ujungnya kon-

    sentrasi mereka mengikuti

    pendidikan menjadi berubaharah. Bagaimana tidak? Awal-

    nya, tujuan utama belajar ialah

    memperoleh ilmu pengeta-

    huan, keterampilan, di sam-

    ping menempa karakter dan

    kepribadian anak. Namun, tu-

    juan itu bergeser--atau sengaja

    digeser--sekadar lulus UN. Ke-

    pentingan itu sangat pragmatis

    dan jelas tidak sesuai dengan

    tujuan pendidikan bangsa se-

    bagaimana tercantum dalam

    Undang-Undang Dasar 1945.

    Dari fenomena kesibukan

    anak didik menghadapi UN

    itu, terlihat sekali bahwa sebe-

    narnya UN telah menjadi alat

    pereduksi makna pendidikan,

    yang semula sebagai wahana

    pengembangan potensi, men-

    jadi instrumen p engukur ke-

    cerdasan kognitif semata. Alih-alih memberikan anak ruang

    kreativitas dan berimaji, itu

    justru menjadi monster yang

    merampas kebebasan serta

    hakim penentu nasib anak

    didik. Itulah yang ditengarai

    Prof Hamid Hasan (2008) seba-

    gai proses pereduksian makna

    pendidikan, dari wahana pe-

    ngembangan potensi menjadi

    instrumen pengukur kecer-

    dasan kognitif semata.

    Anehnya, pemerintah mela-

    lui Kementerian Pendidikan

    dan Kebudayaan (Kemendik-

    bud) tetap ngotot memper-

    tahankan monster itu walau

    dalam bentuk yang berbeda.

    Beban psikologis?Tampaknya, pemerintah

    melalui Kemendikbud tidak

    pernah belajar--atau memang

    tidak mau tahu--fenomena di

    lapangan. Berbagai kasus yang

    dilaporkan orangtua kepada

    Komisi Nasional (Komnas)

    Perlindungan Anak sebagian

    besar disebabkan pelaksanaan

    UN, seperti anak yang stres,

    bahkan depresi, gara-gara se-

    harian penuh mengikuti pen-

    dalaman materi menyambut

    UN. Bahkan ada anak yang rela

    menghabisi hidupnya karena

    merasa malu teramat sangat

    tidak lulus UN.

    Kemendikbud rupanya jugatidak mengkaji dengan bijak,

    bahwa dampak kegagalan

    UN itu mencakup kawasan

    yang amat luas. Bukan ha-

    nya pada institusi pendidikan

    semata, melainkan juga pada

    aspek yang lain, seperti sistem-

    struktur, persoalan sosiolo-

    gis, hingga psike konsumen

    pendidikan. Bagi orangtua

    misalnya, kegagalan putra-

    putri mereka menempuh UN

    menjadi semacam aib yang

    mencoreng nama baik. Mereka

    juga akan mendapat sebutan

    sebagai orangtua yang gagal

    mendidik anak.

    Pun begitu pengaruhnya

    pada anak didik. Selain me-

    munculkan perasaan-perasaan

    negatif seperti anak didik

    merasa sebagai orang yang ga-gal, tidak berguna, dan bodoh,

    kegagalan menempuh UN

    menimbulkan luka psikologis

    yang amat dalam. Luka itu

    akan terus terbawa hingga

    anak didik dewasa kelak. Luka

    itu teramat sakit, yang menye-

    babkan mereka melenceng

    dari alur potensi atau fitrah-

    nya.

    Penderitaan rutin yang me-

    nimpa anak didik, sepertinya

    tidak mendapat respons serius

    dari pemerintah. Buktinya,

    sampai saat ini pemerintah

    masih saja mempertahankan

    UN sebagai alat evaluasi hasil

    pendidikan. Alasannya selalu

    sama; demi kemajuan pendi-

    dikan dan peningkatan hu-

    man development index

    (HDI). Alasan

    demikian

    s e p i n -

    tas me-

    m a n g

    masuk

    a k a l .

    N a -

    m u n ,

    s e j at i -

    nya, itu

    sekadar

    a l a s a nu n t u k

    menutupi

    k e t i d a k -

    berhasilan-

    -untuk me-

    n g a t a k a n

    kegagalan--pe-

    merintah dalam

    menciptakan in-

    strumen evaluasi

    hasil pendidikan

    nasional.

    Benar pemerintah

    telah menciptakan format

    penilaian terbaru, yang diang-

    gap lebih adil dan holistis (ra-

    nah afektif, psikomotorik, dan

    kognitif). Namun, pada pelak-

    sanaannya, format penilaian

    itu tetap hanya berkutat pada

    satu aspek (kognitif), sebagai

    akibat ketidaksiapan segenapaspek pendukungnya; seperti

    banyaknya tenaga pendidik

    yang tidak lolos ujian serti-

    fikasi alias tidak kompeten,

    sarana prasarana yang tidak

    menunjang, serta keterbatasan

    akses geografis.

    Selain itu, pemerintah me-

    mang sudah menetapkan stan-

    dar nilai UN, dengan harapan

    terjadi pemerataan mutu dan

    kualitas pendidikan secara na-

    sional. Namun, fakta di lapang-

    an berbicara lain. Ketidakju-

    juran merebak sehingga begitu

    mudahnya sekolah memenuhi

    standar itu lantaran terjalin-

    nya kolusi yang demikian rapi;

    antara pengawas, siswa,

    dan seko-

    lah. Akibatnya,

    di atas kertas memang lulusan

    sebuah sekolah memenuhi

    standar UN, tetapi yang se-

    nyatanya tidak demikian. Bu-

    kankah itu justru merugikan

    tidak saja yang bersangkutan,tetapi juga dunia pendidikan

    kita pada umumnya?

    Kondisi yang karut-marut

    itu masih diperparah adanya

    budaya buruk pendidikan

    kita; ganti menteri ganti pula

    kebijakan. Akibatnya, model

    evaluasi pendidikan tidak se-

    makin sempurna, tetapi justru

    semakin runyam. Siapa lagi

    yang menanggung dampaknya

    jika bukan anak didik? Setiap

    tahun ribuan bahkan jutaan

    anak didik yang gagal menem-

    puh UN tersudut pada beban

    psikologis yang amat berat.

    Benar rupanya apa yang dika-

    takan R Tagore (2000), Pen-

    didikan itu tak lebih siksaan

    yang disengaja. Dalam hal ini,

    pemerintah melalui UN telah

    menyiksa generasi muda

    calon ahli waris negeri ini

    di masa depan. Alangkah

    kejamnya.

    Bukan solusiAkibat takut tidak

    lulus UN, para orang-

    tua lantas menyu-

    ruh anak mereka

    mengikuti program

    kegiatan

    b i m -bingan

    b e l a -

    j a r .

    F e n o -

    mena itu

    jelas meng-

    un tun gkan

    penyelenggara

    bi mbel ; yan g

    ditandai men-

    ja mu rny a pr o-

    g r a m b i m b e l

    bak cendawan di

    musim hujan; de-

    ngan beragam nama,

    jenis pelayana n, dan

    lamanya. Seperti iklan tukang

    sulap saja, banyak lembaga

    bimbingan belajar yang meng-

    garansi jika peserta didik tidak

    lulus UN, uang kembali!

    Kegiatan bimbel sejatinyadilematis. Di satu sisi mengun-

    tungkan, tetapi di sisi lain jus-

    tru merugikan. Menguntung-

    kan karena secara psikologis

    anak didik sudah siap untuk

    mengerjakan berbagai macam

    bentuk soal UN. Berbeda ten-

    tunya bagi mereka yang tidak

    pernah mengikuti bimbel,

    selain asing dengan berbagai

    bentuk dan jebakan soal UN,

    mereka tidak menguasai trik-

    trik dan jalan pintas menger-

    jakannya. Penelitian para ahli

    pendidikan setidaknya mene-

    mukan adanya korelasi yang

    signifikan antara kegiatan

    bimbel dan kesiapan anak

    didik mengerjakan soal.

    Kegiatan bimbel merugikan

    lantaran sifatnya yang ser-

    badarurat dan instan. Itulah

    yang sering luput dari perha-

    tian para orangtua. Memang

    dalam bimbel terjadi interaksi

    dan relasi yang dekat antara

    tutor dan anak didik. Akan

    tetapi, sifatnya instan dalam

    rangka berlatih mengerjakan

    soal, bukan bimbingan untuk

    mengembangkan kreativitas,

    pola berpikir, rasa ingin tahu,

    wawasan, dan sikap anak

    didik. Karena potensi-potensi

    anak tidak terbina selama

    bimbel, yang timbul justru

    dampak negatif, yakni keya-

    kinan memakai jalan pintasguna mencapai tujuan--dalam

    hal ini tujuan lulus menjawab

    soal. Tanpa disadari, anak

    didik diperkenalkan kepada

    mental-mental menerabas,

    yang picik dan kerdil.

    Ironisnya, dalam rangka

    mengejar target lulus UN 100%,

    sekolah kita beralih haluan

    menjadi lembaga bimbel mela-

    lui kegiatan pelatihan soal-soal

    ujian, seperti program penda-

    laman dan pengayaan materi.

    Kondisi itu tentunya sangat

    memprihatinkan. Pasalnya,

    tatkala tujuan sekolah sekadar

    lulus UN dengan mengabai-

    kan pembentukan karakter

    anak didik, muaranya pasti

    mereduksi makna dan tujuan

    pendidikan sebagai pemba-

    ngun manusia yang utuh dancerdas.

    Sudah saatnya semua pihak,

    entah orangtua, pendidik, dan

    pemerintah menyadari pende-

    ritaan yang dialami anak didik

    ketika menghadapi UN. Kritik

    membangun terhadap pelaksa-

    naan UN memang harus terus

    digulirkan. Tujuannya agar pe-

    merintah terus berbenah dan

    menemukan format instrumen

    yang tepat guna mengukur ha-

    sil sistem pendidikan nasional.

    Bagaimanapun, pengukuran

    hasil atau evaluasi sangat

    diperlukan guna mengetahui

    keberhasilan dan kemajuan

    sebuah program.

    Namun, tidak arif tentu-

    nya jika para petinggi pendi-

    dikan yang terbiasa dengan

    pengukuran secara kuantitatif

    (angka/nilai) memaksakan

    kecenderungan tersebut--de-

    ngan tetap mempertahankan

    UN format saat ini. Mereka

    lupa bahwa dalam kawasan

    ontologi dan epistemologi

    keilmuan, baik kuantitatif

    maupun kualitatif memiliki

    derajat kebenaran, validitas,

    dan reliabilitas yang sama. Ti-

    dak ada yang unggul melebihi

    yang lain, saling melengkapi

    dan mengisi titik cela.

    Oleh karena itu, perlu kira-

    nya dipikirkan sistem evaluasi

    dengan unjuk kinerja (psiko-motorik), melalui standar ke-

    lulusan yang ditetapkan secara

    kualitatif. Unjuk kinerja dalam

    hal ini berdasar pada stan-

    dar kompetensi yang sudah

    ditetapkan. Ujian seperti itu

    justru lebih relevan dengan

    konteks kekinian karena lebih

    berorientasi pada keteram-

    pilan nyata.

    Anak didik tentunya me-

    rindukan pendidikan tanpa

    model evaluasi seperti UN.

    Beban mereka sudah teramat

    berat, mulai mencari biaya

    untuk sekolah (bagi anak ti-

    dak mampu), beban selama

    kegiatan pembelajaran, beban

    menghadapi UN, hingga be-

    ban ketika bukti kelulusannya

    (STTB dulu) tidak laku untuk

    melamar kerja. Pertanyaanyang patut diajukan adalah,

    apakah pendidikan kita ha-

    nya untuk membebani anak

    dengan berbagai problem

    atau hendak mencerdaskan

    mereka? Pertanyaan ini patut

    dikajirenungkan para pemang-

    ku kepentingan pendidikan

    kita. Walahualam.

    EBET

    HARI ini ujian na-

    sional (UN) dimu-

    lai lagi. Dalam dua

    minggu terakhir

    ada begitu banyak foto dan

    gambar, baik di media cetak

    maupun internet, yang menun-

    jukkan adanya kecemasan luar

    biasa dari siswa-siswi kita yangakan mengikuti UN. Meskipun

    intinya berdoa, ditampakkan

    oleh raut kesedihan anak-anak

    yang seolah akan ada bencana.

    Pendidikan kita yang kurang

    menghargai dan memercayai

    pentingnya proses dan lebih

    berharap pada hasil akhir se-

    olah mereduksi makna penting

    pendidikan yang dapat menja-

    min keadaban.

    Jika pendidi kan dimakna i

    sebagai sebuah proses, jangan

    terlalu banyak berharap akan

    ada sebuah akhir. Sebagaimana

    maksim Arab yang mengatakan

    bahwa menuntut ilmu ada-

    lah sebuah proses pencarian

    seumur hidup (min al-mahdi

    ila al-lahdi), maka common be-

    lievesdan energi para pendidik

    seharusnya lebih berorientasi

    dan mencintai prosesnya. Akan

    tetapi, karena ada ilmu ukur,

    pendidikan pun menjadi sumir

    karena tak jarang para pendi-

    dik lebih mengejar hasil (result

    oriented) tinimbang mencintai

    prosesnya.

    Tujuan, hakikat, dan pemak-

    naan pendidikan yang serbaha-

    sil itu memperlihatkan lemah-

    nya sistem pendidikan yang

    dibangun sehingga elan dasar

    pendidikan kita seakan tak

    pernah bertemu dengan jiwaatau roh yang selalu menjadi

    batang tubuh pendidikan na-

    sional. Yaitu, berkembangnya

    potensi peserta didik agar men-

    jadi manusia yang beriman dan

    bertakwa kepada Tuhan Yang

    Maha Esa, berakhlak mulia,

    sehat, berilmu, cakap, kreatif,

    mandiri, dan menjadi warga

    negara yang demokratis serta

    bertanggung jawab (UU No

    20/2003 tentang Sisdiknas).

    Sangat tidak mungkin rasa-

    nya jika pembuktian seluruh

    agenda pendidikan nasional

    seperti tertera dari tujuan di

    atas diselesaikan oleh ujung

    mata rantai yang bernama

    ujian nasional (UN) sebagai

    bentuk pertanggungjawaban-

    nya. Hampir semua indikator

    dan tujuan pendidikan nasio-

    nal di atas adalah sebuah napas

    panjang dari sebuah usaha dan

    proses yang tidak akan pernah

    berakhir (never ending process)

    karena hampir semua pilihan

    kata yang digunakan ialah kata

    sifat (adjective) yang menuntutusaha secara terus-menerus.

    Kesadaran terhadap proses

    pendidikan dan proses belajar

    mengajar yang benar harus

    bersinergi secara positif dengan

    keyakinan setiap pendidik.

    Bahwa, untuk menjadikan anak

    bertakwa kepada Tuhan Yang

    Maha Esa, tak cukup hanya

    dengan, misalnya, mengujinya

    dengan secarik kertas ujian

    tentang sifat Tuhan. Proses

    yang benar ialah upaya untuk

    memastikan bahwa interaksi

    personal dan interpersonal

    seorang anak dengan guru,

    orangtua, dan l ingkungannya

    tumbuh dari pengetahuan

    yang dia peroleh secara be-

    nar. Membiasakannya secara

    terus-menerus dalam konteks

    budaya sekolah yang sehat

    memperoleh teladan yang tiada

    henti dari guru, orangtua, dan

    lingkungannya, serta adanya

    kendali moral yang akan tum-

    buh secara bersamaan dari

    dalam dan luar diri mereka

    sendiri.

    Jika dihitung secara kalku-

    latif, seharusnya ujian nasional

    (UN) ditiadakan di tahun de-

    pan. Mengapa? Jika pemerintah

    jadi me-launchingkurikulum

    baru bagi semua level dan

    jenjang pendidikan, konsekue-

    nsi logisnya ialah akan terjadi

    perubahan signifikan pada tiga

    aspek, yaitu proses, evaluasi,

    dan manajerial pengelolaan

    sekolah. Hal itu merupakan

    konsekuensi yang tidak mung-

    kin dihindari ketika pilihan

    orientasi pendidikan kita akan

    lebih banyak menekankankompetensi sikap (attitude)

    tinimbangpengetahuan (know-

    ledge/cognitive).

    Pada aspek proses, penting

    bagi otoritas pendidikan kita un-

    tuk menggali sebanyak mung-

    kinpedagogical toolsyang akan

    memperkaya wawasan dan

    kreativitas guru dalam melaku-

    kan proses belajar mengajar. Di

    aspek manajerial, sekolah harus

    lebih siap dalam menghadapi

    perubahan pola rekrutmen

    siswa sekaligus rekrutmen guru

    agar lebih siap dalam mengha-

    dapi perubahan kurikulum. Se-

    bagai contoh, peminatan siswa

    SMA yang akan dimulai sejak

    mereka di kelas 10 jelas harus

    disikapi dengan instrumen pola

    penerimaan siswa yang meng-

    hargai bakat dan minat siswa

    sejak dini.

    Pada aspek evaluasi, peng-

    gunaan polapaper-test seperti

    yang saat ini sering digunakan

    jelas harus ditambah dengan

    kemampuan guru dan manaje-

    men sekolah dalam membuat

    jenis dan ragam penilaian me-

    lalui mekanisme portofolio.

    Mengapa portofolio penting?

    Kesadaran tentang pentingnya

    penilaian secara komprehensif

    terhadap perkembangan siswa

    dimulai oleh Howard Gard-ner (1983) yang menulis buku

    Frames of Mind: The Theory of

    Multiple Intelligences. Dalam

    buku itu kemampuan siswa

    diakui sangat beragam, dan

    karena itu harus dinilai secara

    berkesinambungan sesuai de-

    ngan tingkat pencapaian kog-

    nitif, afektif, dan psikomotorik

    yang dialaminya. Adapun guru

    memiliki tanggung jawab un-

    tuk merevisi kurikulum yang

    dikembangkan dalam proses be-

    lajar mengajar, atau semacam

    curriculum revision check list.

    DalamPortfolios Assessment

    Resources Kit, Forster Margaret

    & Masters Geoff (1996) mem-

    berikan pengertian portofolio

    sebagai kumpulan hasil kerja

    siswa yang sering disebut se-

    bagai artefak. Artefak-artefak

    tersebut dihasilkan dari penga-

    laman belajar atau proses pem-

    belajaran siswa dalam periode

    tertentu, untuk kemudian dise-

    leksi dan disusun menjadi satu

    portofolio. Dengan kata lain,

    portofolio merupakan koleksi

    pribadi hasil pekerjaan seorang

    siswa (bersifat individual) yang

    menggambarkan sekaligus

    merefleksikan taraf pencapai-

    an, kegiatan belajar, kekuatan,

    dan pekerjaan terbaik siswa

    tersebut. Karena itu, sifat darikumpulan koleksi artefak itu

    memiliki ciri yang dinamis dan

    berubah sesuai dengan tingkat

    pemahaman siswa.

    Jika semua guru dan sekolah

    memiliki pandangan yang sama

    tentang portofolio, masa depan

    UN jelas harus segera diakhiri.

    UN sesungguhnya laksana jang-

    kar kapal untuk bersandar,

    yang dihempaskan ke laut dan

    membuat kapal tak bisa ber-

    gerak maju kecuali bergoyang

    di tempat. Padahal jika jangkar

    dilepas dan mesin dihidupkan,

    kapal dan seluruh isinya akan

    tersadar betapa luasnya laut

    biru dengan gelombang dan

    ombak yang akan selalu meng-

    uji seluruh isi kapal. Menikmati

    dentum dan deburan ombak

    sesungguhnya sebuah proses

    alamiah yang seharusnya bisa

    dinikmati oleh seluruh awak

    kapal. Itulah makna sejati pen-

    didikan sebagai sebuah proses

    yang tiada akhir.

    CALAK EDU

    Kapan UN akan Berakhir?

    DOK PRIBADI

    Ahmad Baedowi

    Direktur PendidikanYayasan Sukma, Jakarta

    Monster itu Bernama Ujian NasionalAgus Wibowo

    Pemerhati pendidikan, penulis buku Malpraktik Pendidikan (2008)

    PARTISIPASI OPINI Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] ataufax: (021) 5812105, (Maksimal 6.000 karakter tanpa spasi. Sertakan nama, alamat lengkap, nomor telepon, foto kopi KTP, nomor rekening, dan NPWP)

    Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm)Direktur Utama: Lestari MoerdijatDirektur Pemberitaan/Penanggung Jawab: Usman Kan-songDewan Redaksi Media Group: Saur M. Hutabarat (Ketua),Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Djafar H. Assegaff,Elman Saragih, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni LowhurSchad, Suryopratomo, Toeti P. Adhitama, Usman KansongRedaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato

    Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden SubanKepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius SuhardiDeputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul KoharSekretaris Redaksi: Teguh NirwahyudiAsisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Haryo Prase-tyo, Jaka Budisantosa, Ono Sarwono, Rosmery C. SihombingAsisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto

    Tri Febrianto (031) 5667359; Yogyakarta: Andi Yudhanto(0274) 523167.Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Tele-pon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirku-lasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077,Telepon Percetakan: (021) 5812086, Harga Langganan:Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkoskirim, No. Rekening Bank: a.n. PT Citra Media Nusa PurnamaBank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098;BCA - Cab. Sudirman: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PTCitra Media Nusa Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/TataUsaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar RayaKav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520,Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812105

    (Redaksi) e-mail: [email protected], Percetakan: Media Indonesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Website: www.mediaindonesia.com,

    DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WAR-TAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERSDAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU ME-MINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN

    Redaktur: Agus Mulyawan, Ahmad Punto, Anton Kustedja, CriQanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro,Ida Farida, Iis Zatnika, Irana Shalindra, Jerome E. Wirawan, M. Soleh,Mathias S. Brahmana, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelisti-

    jono, Wendy Mehari Utami, Widhoroso, Windy Dyah IndriantariStaf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana,Akhmad Mustain, Anata Syah Fitri, Andreas Timothy, Arief HulwanMuzayyin, Aries Wijaksena, Asep Toha, Asni Harismi, Bintang Kri-santi, Bunga Pertiwi, Cornelius Eko, Daniel Wesly Rudolf, DennyParsaulian Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dika Dania Kardi, Din-ny Mutiah, Dwi Tupani Gunarwati, Edna Agitta Meryynanda, EmirChairullah, Eni Kartinah, Fardiansah Noor, Fidel Ali Permana, Gaya-tri Suroyo, Gino F. Hadi, Hafizd Mukti Ahmad, Heru Prih mantoro,Heryadi, Hillarius U. Gani, Iwan Kurniawan, Jajang Sumantri, Jonggi

    Pangihutan M, Marchelo, Mirza Andreas, Mohamad Irfan, MuhamadFauzi, Nesty Trioka Pamungkas, Nurulia Juwita, Panca Syurkani,Permana Pandega Jaya, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Rommy Puji-anto, Rudy Polycarpus, Sabam Sinaga, Selamat Saragih, Sidik Pra-mono, Siswantini Suryandari, Sitriah Hamid, Siska Nurifah, Su gengSumariyadi, Sulaiman Basri, Sumaryanto, Susanto, Syarief Oebaid-illah, Thalatie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskandar, Vini MariyaneRosya, Zubaedah Hanum

    Biro Redaksi: Dede Susianti (Bogor) Eriez M. Rizal (Bandung);Kisar Rajagukguk(Depok); Firman Saragih (Karawang); Sumantri

    Handoyo (Tangerang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman (Palem-bang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Semarang); Wi-djajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya)

    METROTVNEWS.COMHead of Metrotvnews.com: Asep SetiawanAssistant to Head: Jemmy BagotaNews: Tjahyo Utomo, KhudoriKanal/Social Media: Victor JP NababanRedaksi: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Basuki Eka P, DendiSuharyana, Deni Fauzan, Edwin Tirani, Heni Rahayu, Henri Salomo,Irvan Sihombing, Laila B, Patna Budi Utami, Rizky Yanuardi, Sjai-chul, Wily Haryono, Wisnu AS, Retno Hemawati, Rina Garmina,Nurtjahyadi, Afwan A, Andhini, Andrie, Donny Andhika, Fario Un-

    tung, Gita, Kesturi, Mufti S, Prita Daneswari, Rita Ayuningtyas,Satwika, Timmi

    DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING)Asisten Kepala Divisi: Budiana Indrastuti, Mochamad AnwarSurahmanRedaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe

    CONTENT ENRICHMENTPeriset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S, Devi Asriana,Gurit Adi Suryo

    Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Aam Firdaus, AdangIskandar, Henry Bachtiar, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso,Suprianto

    ARTISTIKAsisten Kepala Divisi: Rio Okto WaasRedaktur: Annette Natalia, Donatus Ola Pereda, Gatot Purnomo,Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata AreadiStaf Redaksi: Ali Firdaus, Ami Luhur, Ananto Prabowo, AndiNursandi, Bayu Aditya Ramadhani, Bayu Wicaksono, Briyan BodoHendro, Budi Setyo Widodo, Catherine Siahaan, Dedy, DharmaSoleh, Endang Mawardi, Fredy Wijaya, Gugun Per mana, Hari Syahri-ar, Haris Imron Armani, Haryadi, Marionsandez G, M. Rusli, MuhamadNasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania

    Ismono, Putra Adji, Rugadi Tjahjono, Seno Aditya, Tutik Sunarsih,Warta SantosiOlah Foto: Saut Budiman Marpaung, Sutarman

    PENGEMBANGAN BISNISSenior Kepala Divisi Sales & Marketing:Amdoni Nuzhaki ZakirKepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful BachriKepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Su-

    jiyonoAsisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard RPerwakilan Bandung: Ahmad Harun (022) 4210500; Surabaya:

    SENIN, 15 APRIL 2013 PENDIDIKAN 27