materi+2+beberapa+persoalan+teoritis+dalam+kurikulum+13
TRANSCRIPT
Beberapa Persoalan Teoritis dan Praktis
Dalam
Pengembangan Kurikulum 20131
jimmy ph. paät2
Pengantar
Informasi kemendikbudnas tentang akan dilaksanakannya
Kurikulum baru, yaitu yang dikenal dengan sebutan Kurikulum
2013, sejak akhir tahun lalu, telah menimbulkan perdebatan,
baik ilmiah maupun non ilmiah (baca politis). Perdebatan
tersebut tampak di berbagai tulisan yang mengeritik kurikulum
tersebut, seperti yang terbaca di berbagai media tulis, seperti
Kompas3, Koran Tempo, untuk hanya menyebut beberapa di
antaranya, dan terdengar dan terlihat di media elektronik,
seperti Metro TV.
Diskusi-diskusi kusus baik yang formal maupun yang
informal mengenai kurikulum tersebut pun berlangsung di
beberapa perguruan tinggi. Saya sebutkan saja salah satu
1 Disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema “Kesiapan Guru Dalam menghadapi Kurikulum baru dan problematika Yang Dihadapinya”, Minggu, 7 April 2013, jam 08.30-10.30 di Aula Perpustaakaan kampus A UNJ Rawamangun, Jakarta.2 Pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa Prancis, FBS, UNJ; Aktivis Pendidikan di Sekolah Tanpa Batas dan Koalisi Pendidikan.3 Untuk hanya menyebutkan beberapa tulisan yang mengritik Kurikulum 2013 yang dipublikasikan di Kompas, di antaranya: Acep, Iwan Saidi, “Petisi untuk Wapres”, 2/3/2013; L. Wilardjo, “Yang Indah dan Yang Absurd”, 22/2/2013; Mohammad Abduhzen, “Urgensi Kurikulum 2013”, 21/2/2013; Elin Driana,”Gawat darurat Pendidikan”, 14/12/2012.
1
diskusi yang menjadi banyak perhatian masyarakat ilmiah
adalah diskusi kurikulum yang dilaksanakan Musyawarah Guru
Besar ITB pada 13 Maret 2013.4 Tanggapan-tanggapan politis
pun tertangkap oleh kami, seperti yang terlihat di rapat dengar
pendapat tentang Kurikulum 2013 di Komisi X DPR pada malam
hari 25 Maret 2013. Para anggota komisi tersebut dengan
pernyataan-pernyataan “politis”, seperti “saya belum mau
menandatangani anggaran kurikulum ini sebelum ada
penjelasan keuangan yang sebesar Rp 1 triliun lebih ini”,
memberi gambaran kepada kami kurikulum 2013 masih
dipersoalkan di gedung DPR.
Yang saya utarakan di atas adalah kritik terhadap
kurikulum 2013. Tentu kritik tersebut telah ditanggapi
kemendikbudnas. Tanggapan yang paling menarik tentu yang
dikemukakan Bapak menteri sendiri melalui koran Kompas, 7
Maret, 2013. Singkatnya Bapak Menteri, M. Nuh mengatakan
para pengeritik tidak paham apa yang dikritik. Perhatikan
4 Diskusi publik ITB ini bertopik “ Mempertanyakan Hakikat Pendidikan Science-Technology-Engineering-Art and Culture-Mathematics dalam Kurikulum 2013. Pembahas di dalam diskusi tersebut adalah Prof. Imam Buchori Zainuddin dari Fakultas Seni Rupa ITB; Prof. H.A.R. Tilaar dari Universitas Negri Jakarta; Prof. Iwan Pranoto dari Jurusan Matematik ITB. Diskusi di ITB memunculkan pernyataan yang secara halus “menolak” pelaksanaan kurikulum 2013. Sebelum didiskusikan, salah satu pernyatan hasil diskusi di ITB tersebut, secara dalam bersama para akhli dan kemudian diujicobakan, kurikulum 2013 tidak tepat dilaksanakan di saat sekarang. Diskusi-diskusi mengenai Kurikulum 2013 yang tidak kalah pentingnya dengan yang berlangsung di ITB, bisa dikemukakan di sini, seperti yang dilakukan Komunitas Filsafat UI pada 27 Maret 2013 yaitu dengan judul “Seminar Pro-Kontra Kurikulum 2013”. Diskusi yang menurut saya merupakan tinjauan filsafat terhadap Kurikulum 2013. Di dalam diskusi tersebut Hery Widiastono dari Puskurbuk Balitbang kemendibudnas dihadapkan dengan Rocky Gerung, pengajar filsafat UI. Diskusi lain yang menurut saya perlu diperhatikan juga yaitu diskusi yang berlangsung di Partai Nasdem, pada 20 Maret 2013. Para pembahasnya adalah Prof. Conny Semiawan, Prof. Soedijarto, dan Ibu Retno, guru PKN SMAN 13 Jakarta. Kedua pembahas pertama pernah menjadi Ketua Pusat Kurikulum di Balitbang. Pak Soedijarto di tahun 70-an dan Ibu Conny di tahun 80-an. Hasil diskusi di Partai Nasdem adalah menyarankan untuk menunda pelaksanaan Kurikulum 2013.
2
pernyataannya : “ Untuk itu ada baiknya memahami lebih
dahulu konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor
yang telah digariskan UUD Sisdiknas sebelum mengeritik
(kami yang menggarisbawahi). Apa yang terbaca di paragraf
terakhir tulisan orang nomor satu di Jalan Jendral Sudirman Kav
4-5 menunjukkan para pengeritik tidak paham kurikulum
2013.
Saya diundang panitia seminar ini untuk ikut
membahas secara kritis Kurikulum 2013. Karena sudah cukup
banyak yang telah mengeritik kurikulum tersebut, seperti saya
kemukakan di paragraf di atas, saya bisa jadi menjadi bagian
penambah jumlah daftar kritik terhadap Kurikulum 2013 yang,
menurut apa yang saya tangkap, telah mengganggu atau
bahkan meresahkan para guru baik di tingkat dasar, menegah
dan perguruan tinggi. Teman terdekat saya, ketika mengetahui
saya akan berdiskusi dengan para guru dan mahasiswi-a
mengenai Kurikulum 2013 di hari Minggu ini, melontarkan
pertanyaan kepada saya, “Apakah saya tidak hawatir ‘dilabel”
oleh para petinggi di Jalan Jendral Sudirman Kav 4-5 sebagai
guru yang tidak paham kurikulum 2013 tetapi mau mngeritik?”
Jawaban saya ”kita lihat saja”.
Agar tidak dianggap tidak mengenal atau memahami
kurikulum 2013 oleh para petinggi kemendikbudnas, maka saya
mendiskusikan kurikulum yang telah memunculkan perdebatan
ini dengan bertumpu pada “Naskah Akademik Pengembangan
Kurikulum 2013” (selanjutnya saya sebut saja naskah
akademik) yang telah dikeluarkan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.5
5 Naskah Akademik Pengembanagan Kurikulum 2013 ini kami peroleh dari salah satu anggota Komisi X DPR. Untuk itu kami mengucap terima kasih kepada beliau yang telah memberi naskah tersebut kepada kami untuk
3
Untuk itu diskusi saya ini saya mulai dari mengkaji naskah
akademik tersebut. Kemudian, karena saya sebagai guru
Bahasa Prancis sebagai bahasa asing, saya akan mengajak para
peserta diskusi untuk melihat secara kritis “kompetensi inti dan
kompetensi dasar Bahasa dan sastra Prancis”.
Isi naskah akademik
Raut wajah naskah akademik
Saya mengajak pertama-tama peserta diskusi untuk
melihat ”fisik” atau ‘raut wajah” naskah akademik, sebelum kita
membahas lebih jauh isi naskah tersebut.
Naskah akademik yang berjumlah 109 halaman terdiri
dari Kata Pengantar yang ditulis Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan, Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro (dua
halaman); Daftar Isi (2 halaman); Isi yang terdiri dari 8 bab (99
halaman); Daftar Pustaka (6 halaman dengan jumlah buku 46
dan 10 Dokumen Peraturan perundang-undangan; dari 46 buku
yang menjadi daftar pustaka, 17 buku yang memiliki kata
curriculum pada judul buku. Dari tujuhbelas buku yang
berkaitan dengan kurikulum, empat buku terbitan tahun 2000-
an: satu terbitan tahun 2010; satu terbitan tahun 2008, satu
terbitan tahun 2006, dan satu terbitan tahun 2000; selebihnya
terbitan tahun 1990-an, 1980-an
Jika kita melihat lebih jauh “raut wajah” naskah akademik,
khususnya yang berkaitan dengan buku-buku yang menjadi
rujukannya, kita hanya menemukan tiga buku yang tampak
jelas berisi pembahasan teori-teori kurikulum, yaitu, Scchiro, M.
dikaji.
4
S, Curriculum Theory: Conflicting Vision and Enduring Concerns
(2008), Tanner, Daniel & Laurel N. Tanner, Curriculum
Development: Theory into Practice (1980), Schubert, W. H.,
Curriculum Perspective, Paradigm, and Possibility (1986).
Melihat “raut wajah” naskah akademik, tampak pembuatnya
tidak memperhatikan referensi yang mutakhir. Perhatikan saja
tahun terbitan buku rujukan. Yang menarik diperhatikan di
halaman daftar pustaka, saya tidak membaca buku-buku acuan
dengan perspektif tertentu. Misalnya buku-buku yang khusus
membahas perspektif progresif, rekonstruksionis tidak menjadi
acuan atau bacaan para penulis naskah akademik.
Pembacaan saya terhadap naskah akademik tentu tidak
akan berhenti di tataran “raut wajah”, tetapi dilanjutkan ke “isi”
naskah tersebut.
Tulang dan daging naskah akademik
Asumsi yang dipegang para petinggi kemendikbudnas
dari Menteri hingga Wakil menteri, ketua Balitbang dan
beberapa dari mereka di Puskurbuk adalah kurikulum yang
dipakai hingga akhir tahun ajaran 2012-2013 tidak lagi sesuai
dengan zaman sekarang atau saat sekarang yang sudah
berubah. Asumsi ini bisa juga dibaca lebih spesifik, kurikulum
yang ada sekarang sudah tidak lagi berlandaskan mengikuti
teori kurikulum yang mutahir. Dengan kata lain kita sebagai
guru di tahun ajaran baru 2013-2014 akan disuguhkan
Kurikulum 2013 yang berlandaskan teori baru, perpektif teoritik
baru. Pertanyaannya apakah benar Kurikulum 2013
berlandaskan perspektif teoritik yang baru. Pertanyaan lain
adalah apa filsafat pendidikan dan pendekatan kurikulum yang
5
menjadi landasan Kurikulum 2013. Pertanyaan yang terakhir ini
menjadi perhatian saya.
Landasan Filsafat Kurikulum (Pendidikan)
Di dalam naskah akademik, tertulis lima nama aliran
filsafat pendidikan : filosofi eksperimentalisme, rekonstruksi
sosial, esensialisme, perenialisme, dan eksistensialisme. Kelima
filsafat ini menjadi landasan Kurikulum 2013. Penggunaan
kelima filsafat ini dilakukan para pembuat kurikulum 2013
karena mereka berpenganut apa yang disebut pendekatan
eklektik6 atau yang saya sebut “pendekatan campur-campur”.
Pendekatan ekletik ini telah dikritik Doni Koesoema. Koesoema
“pilihan filsafat eklektik merupakan wujud kemalasan bepikir,
simplifikasi persoalan dan pilihan jalan pintas yang paling
gampang”.7 Ini yang menyebabkan Kurikulum 2013 terasa
aneh.
Sebelum saya membahas Kompetensi Inti dan
Kompetensi Dasar Bahasa dan Sastra Prancis, saya mengajak
untuk melihat sedikit lebih rinci uraian landasan filosofi poin1 di
dalam naskah akademik.8 Ki Dajar Dewantara dirujuk untuk
menunjukkan bahwa kurikulum harus berakar pada budaya
lokal dan bangsa. Tentu ini tidak ada yang keliru. Pertanyaan
yang muncul adalah “mengapa hanya unsur tersebut yang
diambil dari falsafah Tokoh Kemerdekaan kita? Apa alasan tidak
menarik unsur lain dari sang Tokoh Nasional Pendidikan kita,
yang besar kemungkinan santat relevan juga untuk kehidupan
berbangsa saat kini?
6 Lihat naskah akademik, hal. 47-48 7 Doni Koesoema A, “Eklektisisme Kurikulum 2013”, Kompas, 5 April 2013.8 Lihat Naskah Akademik, hal. 44.
6
Seperti kita ketahui salah satu ciri landasan filsafat
pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah prinsip kemerdekaan9.
Karena itu pendidikan bagi Bapak Pendidikan Nasional kita
tersebut adalah pendidikan (yang) memerdekakan. Pendidikan
yang memerdekakan tersebut tidak saja merupakan ciri khas
pendidikan Indonesia sebelum kemerdekaan, khususnya di
lembaga pendidikan non kolonial, tetapi juga pendidikan yang
telah mampu “membakar” semangat para putri-a bangsa
Indonesia untuk melawan kolonialisme.
Pendidikan yang memerdekakan menurut Ki Hajar
Dewantara berpangkal kemerdekaan. Yaitu pertama,
pendidikan yang berdasarkan pada tidak hidup terperintah;
kedua, pendidikan yang membawa anak didik berdiri tegak
karena kekuatan sendiri; dan ketiga, pendidikan yang
mengantar anak didik cakap mengatur hidupnya dengan tertib.
Pendidikan merdeka yang merupakan falsafah pendidikan
à la Ki Hajar Dewantara mengantar guru untuk sanggup
“berhamba kepada Sang Anak”10 Falsafah pendidikan semacam
ini barangkali tampak berbau “radikal”. Besar kemungkinan
aroma “keradikalan” falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara ini
yang menyebabkan pendidikan yang memerdekakan tidak
hadir menjadi pilihan landasan naskah akademik.
Kemerdekaan yang sesungguhnya telah menjadi
landasan pendidikan kita jauh sebelum proklamasi
kemerdekaan sudah sepatutnya menjadi pangkal kurikulum
pendidikan nasional.
9 Ki Hajar Dewantara, “Ketertiban, perintah dan paksaan” Wasita, Mei 1929, Jilid 1 no. 8 in Ki Hajar Dewantara, Karja Ki Hajar Dewantara, Yogyakarta, Percetakan Taman Siswa, 1962, hal. 399-403.10 “Berhamba kepada Sang Anak” merupakan fasal ketujuh Azas Taman siswa 1922.
7
Unsur ketiadaan-kemerdekaan di dalam Kurikulum 2013
telah dipaparkan Iwan Pranoto11. Guru Besar Matematika ITB
tersebut mengutip Kompetensi Dasar matematika Kelas 1 poin
2.1: “Menunjukkan perilaku patuh pada aturan dalam
melakukan penjumlahan dan pengurangan sesuai
prosedur/aturan dengan memperhatikan nilai tempat puluhan
dan satuan”.
Sikap patuh dalam matematik menurut Iwan Pranoto
sangat bertolak-belakang dengan hakikat bermatematika yang
prinsipnya membebaskan. Lebih lanjut Guru Besar Matematik
ITB tersebut mengutarakan bahwa “matematik adalah sebuah
semesta tempat kita semua dapat mempertanyakan,
meragukan, dan mengembangkan pemikiran, tanpa takut untuk
berbeda dengan mahluk yang bernama ‘kebiasaan”.12 Dalam
konteks ini saya dapat mengatakan kembali bahwa prinsip
pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu kemerdekaan tidak saja
menjadi prinsip kehidupan tetapi juga prinsip bermatematika
dan berpikir. Dan ini jelas tidak hadir di dalam Kurikulum 2013.
Pendekatan Kurikulum
Penganalisaan pendekatan kurikulum merupakan
sesuatu yang lazim di dalam kajian kurikulum. Di dalam
naskah akademik tidak secara eksplisit menyebutkan
pendekatan yang dipakai. Ini berbeda dengan filosofi
11 Apa yang ditemukan Iwan Pranoto dipaparkan di dalam diskusi yang diselenggarakan Musyawarah Guru Besar ITB, 13 Maret 2013, Balai Pertemuan Ilmiah (BPI) ITB, Jalan Surapati 1 Bandung. Lihat juga Iwan Pranoto, “Guru Merdeka”, Kompas, Rabu, 20 Februari 2013, lihat juga makalah dengan judul yang sama dengan versi panjang. 12 Iwan Pranoto, Ibid.
8
kurikulum yang secara jelas dinyatakan dalam naskah
akademik, yaitu filsafat eklektik. Sekalipun begitu tidaklah
terlalu sulit untuk menangkap pendekatan yang menjadi
tumpuan Kurikulum 2013.
Di dalam uraian penjelasan Kurikulum Berbasis
Kompetensi13 dikemukakan bahwa kurikulum berdasarkan
kompetensi secara historis mengacu kepada Ralph W. Tyler.
Tokoh dalam ranah kurikulum dikenal dengan rasional Tyler
(Tyler rationale). Mengikuti Allan C. Ornstein dan Francis
Hunkins14, pendekatan kurikulum yang menempel pada Tyler
adalah pendekatan behavioristik (behavioral approach).
Suatu pendekatan kurikulum yang berkembang sejak awal
abad lalu. Pendekatan yang menekankan pada ide efisiensi
sehingga pendekatan ini disebut oleh Raymond Callahan
“pengkultusan efisiensi” (the cult of efficiency)15.
Pengkultusan terhadap efisiensi merasuk ke sekolah-sekolah
dengan tujuan dapat lebih mudah mengontrol sekolah.
Melihat tumpuan pendekatan Kurikulum 2013 yang
behavioristik, pada prinsipnya tidak berbeda dengan
kurikulum 1975 yang berdasarkan tujuan atau outcomes.16
Dengan demikan tidak dapat dibenarkan jika
kemendikbudnas menggembar-gemborkan Kurikulum 2013
dilakukan untuk mengikuti perubahan yang terjadi di dunia.
Kurikulum Bahasa dan Sastra Prancis
13 Naskah akademik, hal.67-14 Allan C. Ornstein dan Francis Hunkins, Curriculum. Foundations, Principles, and Theory, Boston, Allyn and Bacon, 1998, hal. 2-315 Dikutip dari Ornstein dan Hunkins, op cit., hal. 2. 16 Lihat Anwar Jasin, Pembaharuan Kurikulum Sekolah Dasar. Sejak Proklamasi Kemerdekaan, Jakarta, Balai Pustaka, 1987.
9
Sebagai guru bahasa Prancis sebagai bahasa asing,
membaca judul “Kompetensi Inti dan Kompetensi dasar
Bahasa dan Sastra Prancis”, mata terhenti beberapa detik di
konsep “sastra Prancis”. Pertanyaan yang muncul: apakah
yang dimaksud dengan sastra?; apakah memang diperlukan
mengajarkan sastra Prancis di tingkat SMA yang kira-kira
perkiraan saya tidak lebih dari 350 jam belajar bahasa
Prancis dari kelas X sampai dengan kelas XII?
Pertanyaan saya pindahkan ke persoalan perumusan
kompetensi dasar. Saya mengajak peserta diskusi untuk
memperhatikan beberapa perumusan kompetensi dasar dari
poin 2.1 sd 4.4. Saya pribadi bertanya-tanya ketika
membaca 11 poin kompetensi dasar untuk kelas X.
Perhatikan poin 2.2
“mencerminkan perilaku kerja sama responsive, dan
proaktif dengan melakukan komunikasi/dialog
berinteraksi dengan guru dan teman, dalam bentuk
memberi informasi, bertanya, menjawab, memberi dan
melaksanakan instruksi terkait dengann pembelajaran
teks fungsional tentang identitas diri dan kehidupan
sekolah”
Apa yang dimaksud dengan “mencerminkan …..” Bukankah
siswi-a kelas X merupakan pelajar pemula murni (faux
déboutants)? Dengan demikian bukankah “tujuan dan
ketrampilan komunikatif kemampuan yang diharapkan dimiliki
siswi-a” pemula murni (untuk menggunakan konsep didaktik
bahasa Prancis sebagai bahasa asing “objectif et savoir-faire
communicative) “memperkenalkan diri” dengan tidak lebih dari
5 kata, seperti Je m’appelle Salman atau Je suis Pras.
10
Coba perhatikan kembali poin 4.1 “ Mengolah informasi
lisan berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang
identitas diri dan kehidupan sekolah”, dan 4.2 “Menyajikan
informasi secara lisan dalam bentuk paparan atau dialog
sederhan secara nalar tentang identitas diri dan kehidupan
sekolah”. Bukankah ini perumusan yang dipersulit dan
akhirnya tidak jelas ? saya sebagai guru dengan sederhana
akan merumuskan dua poin tersebut menjadi satu, yaitu
“objectif et savoir-faire communicatifs” : se présenter dan
presenter quelqu’un et quelquechose (“memperkenalkan diri
sendiri” dan “memperkenalkan seseorang dan sesuatu”).
Perhatikan point 3.1 sd 3.4 yang perumusannya diawali
dengan kata kerja “memahami”. Mari kita lihat lebih dekat 3.1
“memahami bunyi ujaran (kata, frasa atau kalimat)”.
Perumusan ini, searah dengan yang telah dibahas Bambang
kaswanti Purwo,17 menunjukkan guru harus menjelaskan lebih
dahulu karakteristik bunyi dalam bahasa Prancis. Ini bisa
menjadikan kelas bahasa Prancis di kelas X seperti kelas mata
kuliah Fonetik dan Fonologi di Jurusan Pendidikan Bahasa
Prancis semester 2 yang berisi para calon guru Bahasa Prancis
di SMA.
Keanehan perumusan kompetensi dasar ini tidak lepas dari
filsafat pendidikan dan pendekatan kurikulum yang dipegang
Kurikulum 2013, seperti juga yang telah dikemukakan Doni
Koesoema.
Untuk menutup diskusi ini saya mengajak untuk
memperhatikan Rancangan Kurikulum Nasional Inggris 2014.18
17 Bambang Kaswanti Purwo, “Kurikulum Bahasa Indonesia”, Kompas, Rabu, 20 Maret 2013.18 Departemen for Education, The National Curriculum England. Framework document for consultation, February 2013. Dokumen kurikulum Inggris ini
11
Teching should focus on enabling pupils to make substantials progress ini one of the following languages: French, German, Italian, Mandarin, Spanish, Latin or Ancient Greek […] The focus of study in modern languages will be on practical communication […] Pupils should be taught to :
- listen attentively to spoken language and show understanding by joining in and responding
- explore the patterns and sounds of language through songs and rhymes and link the spelling, sound and meaning of words
- engage in conversation; ask and answer questions; express opinions and respond to those of others; seek clarification and help
- speak in sentences, using familiar vocabulary, phrases and basic language structures
- develop accurate pronunciation and intonation so that others understand when they are reading aloud or using familiar words and phrases
- present ideas and information orally to a range of audiences
- read carefully and show understanding of words, phrases and simple writing
- appreciate stories, songs, poems and rhymes in the language
- broaden their vocabulary and develop their ability to understand new words that are introduces into familiar written material, including through using a dictionary
- write phrases from memory, and adapt these to create new sentences, to express ideas clearly
- describe people, places, things and actions orally and in writing
- understand basic grammar appropriate to the language being studies, such as (where relevant): feminine, masculine and neuter forms and conjugation of high-frequency verbs; key features and patterns of the language; how to apply these,
telah “disebar ke masyarakat” sejak tahun 201, dan akan diputuskan 2014. Bandingkan dengan yang dilakukan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional kita.
12
for instance, to build sentences; and how these differ from or are similar to English.
Betapa bedanya perumusan tujuan atau kemampuan yang
diharapkan diperoleh siswi-a Inggris dan di Indonesia. Jelas
tampak kurikulum nasional Inggris jauh lebih sederhana dan
mudah dipahami tidak saja guru tetapi juga orang tua murid
disbanding kurikulum 2013 yang akan dipaksakan pemerintah
untuk dijalankan para guru.
Tentu kita sebagai guru tidak bisa begitu saja
menerima pemaksaan pelaksanaan kurikulum yang seperti
saya kemukakan di atas jauh dari yang seharusnya.
Terima kasih untuk teman-teman guru telah bersedia
menyediakan waktu untuk mendengar paparan saya.
13