materi+2+beberapa+persoalan+teoritis+dalam+kurikulum+13

17
Beberapa Persoalan Teoritis dan Praktis Dalam Pengembangan Kurikulum 2013 1 jimmy ph. paät 2 Pengantar Informasi kemendikbudnas tentang akan dilaksanakannya Kurikulum baru, yaitu yang dikenal dengan sebutan Kurikulum 2013, sejak akhir tahun lalu, telah menimbulkan perdebatan, baik ilmiah maupun non ilmiah (baca politis). Perdebatan tersebut tampak di berbagai tulisan yang mengeritik kurikulum tersebut, seperti yang terbaca di berbagai media tulis, seperti Kompas 3 , Koran Tempo, untuk hanya menyebut beberapa di 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema “Kesiapan Guru Dalam menghadapi Kurikulum baru dan problematika Yang Dihadapinya”, Minggu, 7 April 2013, jam 08.30-10.30 di Aula Perpustaakaan kampus A UNJ Rawamangun, Jakarta. 2 Pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa Prancis, FBS, UNJ; Aktivis Pendidikan di Sekolah Tanpa Batas dan Koalisi Pendidikan. 3 Untuk hanya menyebutkan beberapa tulisan yang mengritik Kurikulum 2013 yang dipublikasikan di Kompas, di antaranya: Acep, Iwan Saidi, “Petisi untuk Wapres”, 2/3/2013; L. Wilardjo, “Yang Indah dan Yang Absurd”, 22/2/2013; Mohammad Abduhzen, “Urgensi Kurikulum 2013”, 21/2/2013; Elin Driana,”Gawat darurat 1

Upload: tsauban-abqorie

Post on 27-Dec-2015

38 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: MATERI+2+Beberapa+Persoalan+Teoritis+Dalam+Kurikulum+13

Beberapa Persoalan Teoritis dan Praktis

Dalam

Pengembangan Kurikulum 20131

jimmy ph. paät2

Pengantar

Informasi kemendikbudnas tentang akan dilaksanakannya

Kurikulum baru, yaitu yang dikenal dengan sebutan Kurikulum

2013, sejak akhir tahun lalu, telah menimbulkan perdebatan,

baik ilmiah maupun non ilmiah (baca politis). Perdebatan

tersebut tampak di berbagai tulisan yang mengeritik kurikulum

tersebut, seperti yang terbaca di berbagai media tulis, seperti

Kompas3, Koran Tempo, untuk hanya menyebut beberapa di

antaranya, dan terdengar dan terlihat di media elektronik,

seperti Metro TV.

Diskusi-diskusi kusus baik yang formal maupun yang

informal mengenai kurikulum tersebut pun berlangsung di

beberapa perguruan tinggi. Saya sebutkan saja salah satu

1 Disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema “Kesiapan Guru Dalam menghadapi Kurikulum baru dan problematika Yang Dihadapinya”, Minggu, 7 April 2013, jam 08.30-10.30 di Aula Perpustaakaan kampus A UNJ Rawamangun, Jakarta.2 Pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa Prancis, FBS, UNJ; Aktivis Pendidikan di Sekolah Tanpa Batas dan Koalisi Pendidikan.3 Untuk hanya menyebutkan beberapa tulisan yang mengritik Kurikulum 2013 yang dipublikasikan di Kompas, di antaranya: Acep, Iwan Saidi, “Petisi untuk Wapres”, 2/3/2013; L. Wilardjo, “Yang Indah dan Yang Absurd”, 22/2/2013; Mohammad Abduhzen, “Urgensi Kurikulum 2013”, 21/2/2013; Elin Driana,”Gawat darurat Pendidikan”, 14/12/2012.

1

Page 2: MATERI+2+Beberapa+Persoalan+Teoritis+Dalam+Kurikulum+13

diskusi yang menjadi banyak perhatian masyarakat ilmiah

adalah diskusi kurikulum yang dilaksanakan Musyawarah Guru

Besar ITB pada 13 Maret 2013.4 Tanggapan-tanggapan politis

pun tertangkap oleh kami, seperti yang terlihat di rapat dengar

pendapat tentang Kurikulum 2013 di Komisi X DPR pada malam

hari 25 Maret 2013. Para anggota komisi tersebut dengan

pernyataan-pernyataan “politis”, seperti “saya belum mau

menandatangani anggaran kurikulum ini sebelum ada

penjelasan keuangan yang sebesar Rp 1 triliun lebih ini”,

memberi gambaran kepada kami kurikulum 2013 masih

dipersoalkan di gedung DPR.

Yang saya utarakan di atas adalah kritik terhadap

kurikulum 2013. Tentu kritik tersebut telah ditanggapi

kemendikbudnas. Tanggapan yang paling menarik tentu yang

dikemukakan Bapak menteri sendiri melalui koran Kompas, 7

Maret, 2013. Singkatnya Bapak Menteri, M. Nuh mengatakan

para pengeritik tidak paham apa yang dikritik. Perhatikan

4 Diskusi publik ITB ini bertopik “ Mempertanyakan Hakikat Pendidikan Science-Technology-Engineering-Art and Culture-Mathematics dalam Kurikulum 2013. Pembahas di dalam diskusi tersebut adalah Prof. Imam Buchori Zainuddin dari Fakultas Seni Rupa ITB; Prof. H.A.R. Tilaar dari Universitas Negri Jakarta; Prof. Iwan Pranoto dari Jurusan Matematik ITB. Diskusi di ITB memunculkan pernyataan yang secara halus “menolak” pelaksanaan kurikulum 2013. Sebelum didiskusikan, salah satu pernyatan hasil diskusi di ITB tersebut, secara dalam bersama para akhli dan kemudian diujicobakan, kurikulum 2013 tidak tepat dilaksanakan di saat sekarang. Diskusi-diskusi mengenai Kurikulum 2013 yang tidak kalah pentingnya dengan yang berlangsung di ITB, bisa dikemukakan di sini, seperti yang dilakukan Komunitas Filsafat UI pada 27 Maret 2013 yaitu dengan judul “Seminar Pro-Kontra Kurikulum 2013”. Diskusi yang menurut saya merupakan tinjauan filsafat terhadap Kurikulum 2013. Di dalam diskusi tersebut Hery Widiastono dari Puskurbuk Balitbang kemendibudnas dihadapkan dengan Rocky Gerung, pengajar filsafat UI. Diskusi lain yang menurut saya perlu diperhatikan juga yaitu diskusi yang berlangsung di Partai Nasdem, pada 20 Maret 2013. Para pembahasnya adalah Prof. Conny Semiawan, Prof. Soedijarto, dan Ibu Retno, guru PKN SMAN 13 Jakarta. Kedua pembahas pertama pernah menjadi Ketua Pusat Kurikulum di Balitbang. Pak Soedijarto di tahun 70-an dan Ibu Conny di tahun 80-an. Hasil diskusi di Partai Nasdem adalah menyarankan untuk menunda pelaksanaan Kurikulum 2013.

2

Page 3: MATERI+2+Beberapa+Persoalan+Teoritis+Dalam+Kurikulum+13

pernyataannya : “ Untuk itu ada baiknya memahami lebih

dahulu konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor

yang telah digariskan UUD Sisdiknas sebelum mengeritik

(kami yang menggarisbawahi). Apa yang terbaca di paragraf

terakhir tulisan orang nomor satu di Jalan Jendral Sudirman Kav

4-5 menunjukkan para pengeritik tidak paham kurikulum

2013.

Saya diundang panitia seminar ini untuk ikut

membahas secara kritis Kurikulum 2013. Karena sudah cukup

banyak yang telah mengeritik kurikulum tersebut, seperti saya

kemukakan di paragraf di atas, saya bisa jadi menjadi bagian

penambah jumlah daftar kritik terhadap Kurikulum 2013 yang,

menurut apa yang saya tangkap, telah mengganggu atau

bahkan meresahkan para guru baik di tingkat dasar, menegah

dan perguruan tinggi. Teman terdekat saya, ketika mengetahui

saya akan berdiskusi dengan para guru dan mahasiswi-a

mengenai Kurikulum 2013 di hari Minggu ini, melontarkan

pertanyaan kepada saya, “Apakah saya tidak hawatir ‘dilabel”

oleh para petinggi di Jalan Jendral Sudirman Kav 4-5 sebagai

guru yang tidak paham kurikulum 2013 tetapi mau mngeritik?”

Jawaban saya ”kita lihat saja”.

Agar tidak dianggap tidak mengenal atau memahami

kurikulum 2013 oleh para petinggi kemendikbudnas, maka saya

mendiskusikan kurikulum yang telah memunculkan perdebatan

ini dengan bertumpu pada “Naskah Akademik Pengembangan

Kurikulum 2013” (selanjutnya saya sebut saja naskah

akademik) yang telah dikeluarkan Badan Penelitian dan

Pengembangan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.5

5 Naskah Akademik Pengembanagan Kurikulum 2013 ini kami peroleh dari salah satu anggota Komisi X DPR. Untuk itu kami mengucap terima kasih kepada beliau yang telah memberi naskah tersebut kepada kami untuk

3

Page 4: MATERI+2+Beberapa+Persoalan+Teoritis+Dalam+Kurikulum+13

Untuk itu diskusi saya ini saya mulai dari mengkaji naskah

akademik tersebut. Kemudian, karena saya sebagai guru

Bahasa Prancis sebagai bahasa asing, saya akan mengajak para

peserta diskusi untuk melihat secara kritis “kompetensi inti dan

kompetensi dasar Bahasa dan sastra Prancis”.

Isi naskah akademik

Raut wajah naskah akademik

Saya mengajak pertama-tama peserta diskusi untuk

melihat ”fisik” atau ‘raut wajah” naskah akademik, sebelum kita

membahas lebih jauh isi naskah tersebut.

Naskah akademik yang berjumlah 109 halaman terdiri

dari Kata Pengantar yang ditulis Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan, Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro (dua

halaman); Daftar Isi (2 halaman); Isi yang terdiri dari 8 bab (99

halaman); Daftar Pustaka (6 halaman dengan jumlah buku 46

dan 10 Dokumen Peraturan perundang-undangan; dari 46 buku

yang menjadi daftar pustaka, 17 buku yang memiliki kata

curriculum pada judul buku. Dari tujuhbelas buku yang

berkaitan dengan kurikulum, empat buku terbitan tahun 2000-

an: satu terbitan tahun 2010; satu terbitan tahun 2008, satu

terbitan tahun 2006, dan satu terbitan tahun 2000; selebihnya

terbitan tahun 1990-an, 1980-an

Jika kita melihat lebih jauh “raut wajah” naskah akademik,

khususnya yang berkaitan dengan buku-buku yang menjadi

rujukannya, kita hanya menemukan tiga buku yang tampak

jelas berisi pembahasan teori-teori kurikulum, yaitu, Scchiro, M.

dikaji.

4

Page 5: MATERI+2+Beberapa+Persoalan+Teoritis+Dalam+Kurikulum+13

S, Curriculum Theory: Conflicting Vision and Enduring Concerns

(2008), Tanner, Daniel & Laurel N. Tanner, Curriculum

Development: Theory into Practice (1980), Schubert, W. H.,

Curriculum Perspective, Paradigm, and Possibility (1986).

Melihat “raut wajah” naskah akademik, tampak pembuatnya

tidak memperhatikan referensi yang mutakhir. Perhatikan saja

tahun terbitan buku rujukan. Yang menarik diperhatikan di

halaman daftar pustaka, saya tidak membaca buku-buku acuan

dengan perspektif tertentu. Misalnya buku-buku yang khusus

membahas perspektif progresif, rekonstruksionis tidak menjadi

acuan atau bacaan para penulis naskah akademik.

Pembacaan saya terhadap naskah akademik tentu tidak

akan berhenti di tataran “raut wajah”, tetapi dilanjutkan ke “isi”

naskah tersebut.

Tulang dan daging naskah akademik

Asumsi yang dipegang para petinggi kemendikbudnas

dari Menteri hingga Wakil menteri, ketua Balitbang dan

beberapa dari mereka di Puskurbuk adalah kurikulum yang

dipakai hingga akhir tahun ajaran 2012-2013 tidak lagi sesuai

dengan zaman sekarang atau saat sekarang yang sudah

berubah. Asumsi ini bisa juga dibaca lebih spesifik, kurikulum

yang ada sekarang sudah tidak lagi berlandaskan mengikuti

teori kurikulum yang mutahir. Dengan kata lain kita sebagai

guru di tahun ajaran baru 2013-2014 akan disuguhkan

Kurikulum 2013 yang berlandaskan teori baru, perpektif teoritik

baru. Pertanyaannya apakah benar Kurikulum 2013

berlandaskan perspektif teoritik yang baru. Pertanyaan lain

adalah apa filsafat pendidikan dan pendekatan kurikulum yang

5

Page 6: MATERI+2+Beberapa+Persoalan+Teoritis+Dalam+Kurikulum+13

menjadi landasan Kurikulum 2013. Pertanyaan yang terakhir ini

menjadi perhatian saya.

Landasan Filsafat Kurikulum (Pendidikan)

Di dalam naskah akademik, tertulis lima nama aliran

filsafat pendidikan : filosofi eksperimentalisme, rekonstruksi

sosial, esensialisme, perenialisme, dan eksistensialisme. Kelima

filsafat ini menjadi landasan Kurikulum 2013. Penggunaan

kelima filsafat ini dilakukan para pembuat kurikulum 2013

karena mereka berpenganut apa yang disebut pendekatan

eklektik6 atau yang saya sebut “pendekatan campur-campur”.

Pendekatan ekletik ini telah dikritik Doni Koesoema. Koesoema

“pilihan filsafat eklektik merupakan wujud kemalasan bepikir,

simplifikasi persoalan dan pilihan jalan pintas yang paling

gampang”.7 Ini yang menyebabkan Kurikulum 2013 terasa

aneh.

Sebelum saya membahas Kompetensi Inti dan

Kompetensi Dasar Bahasa dan Sastra Prancis, saya mengajak

untuk melihat sedikit lebih rinci uraian landasan filosofi poin1 di

dalam naskah akademik.8 Ki Dajar Dewantara dirujuk untuk

menunjukkan bahwa kurikulum harus berakar pada budaya

lokal dan bangsa. Tentu ini tidak ada yang keliru. Pertanyaan

yang muncul adalah “mengapa hanya unsur tersebut yang

diambil dari falsafah Tokoh Kemerdekaan kita? Apa alasan tidak

menarik unsur lain dari sang Tokoh Nasional Pendidikan kita,

yang besar kemungkinan santat relevan juga untuk kehidupan

berbangsa saat kini?

6 Lihat naskah akademik, hal. 47-48 7 Doni Koesoema A, “Eklektisisme Kurikulum 2013”, Kompas, 5 April 2013.8 Lihat Naskah Akademik, hal. 44.

6

Page 7: MATERI+2+Beberapa+Persoalan+Teoritis+Dalam+Kurikulum+13

Seperti kita ketahui salah satu ciri landasan filsafat

pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah prinsip kemerdekaan9.

Karena itu pendidikan bagi Bapak Pendidikan Nasional kita

tersebut adalah pendidikan (yang) memerdekakan. Pendidikan

yang memerdekakan tersebut tidak saja merupakan ciri khas

pendidikan Indonesia sebelum kemerdekaan, khususnya di

lembaga pendidikan non kolonial, tetapi juga pendidikan yang

telah mampu “membakar” semangat para putri-a bangsa

Indonesia untuk melawan kolonialisme.

Pendidikan yang memerdekakan menurut Ki Hajar

Dewantara berpangkal kemerdekaan. Yaitu pertama,

pendidikan yang berdasarkan pada tidak hidup terperintah;

kedua, pendidikan yang membawa anak didik berdiri tegak

karena kekuatan sendiri; dan ketiga, pendidikan yang

mengantar anak didik cakap mengatur hidupnya dengan tertib.

Pendidikan merdeka yang merupakan falsafah pendidikan

à la Ki Hajar Dewantara mengantar guru untuk sanggup

“berhamba kepada Sang Anak”10 Falsafah pendidikan semacam

ini barangkali tampak berbau “radikal”. Besar kemungkinan

aroma “keradikalan” falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara ini

yang menyebabkan pendidikan yang memerdekakan tidak

hadir menjadi pilihan landasan naskah akademik.

Kemerdekaan yang sesungguhnya telah menjadi

landasan pendidikan kita jauh sebelum proklamasi

kemerdekaan sudah sepatutnya menjadi pangkal kurikulum

pendidikan nasional.

9 Ki Hajar Dewantara, “Ketertiban, perintah dan paksaan” Wasita, Mei 1929, Jilid 1 no. 8 in Ki Hajar Dewantara, Karja Ki Hajar Dewantara, Yogyakarta, Percetakan Taman Siswa, 1962, hal. 399-403.10 “Berhamba kepada Sang Anak” merupakan fasal ketujuh Azas Taman siswa 1922.

7

Page 8: MATERI+2+Beberapa+Persoalan+Teoritis+Dalam+Kurikulum+13

Unsur ketiadaan-kemerdekaan di dalam Kurikulum 2013

telah dipaparkan Iwan Pranoto11. Guru Besar Matematika ITB

tersebut mengutip Kompetensi Dasar matematika Kelas 1 poin

2.1: “Menunjukkan perilaku patuh pada aturan dalam

melakukan penjumlahan dan pengurangan sesuai

prosedur/aturan dengan memperhatikan nilai tempat puluhan

dan satuan”.

Sikap patuh dalam matematik menurut Iwan Pranoto

sangat bertolak-belakang dengan hakikat bermatematika yang

prinsipnya membebaskan. Lebih lanjut Guru Besar Matematik

ITB tersebut mengutarakan bahwa “matematik adalah sebuah

semesta tempat kita semua dapat mempertanyakan,

meragukan, dan mengembangkan pemikiran, tanpa takut untuk

berbeda dengan mahluk yang bernama ‘kebiasaan”.12 Dalam

konteks ini saya dapat mengatakan kembali bahwa prinsip

pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu kemerdekaan tidak saja

menjadi prinsip kehidupan tetapi juga prinsip bermatematika

dan berpikir. Dan ini jelas tidak hadir di dalam Kurikulum 2013.

Pendekatan Kurikulum

Penganalisaan pendekatan kurikulum merupakan

sesuatu yang lazim di dalam kajian kurikulum. Di dalam

naskah akademik tidak secara eksplisit menyebutkan

pendekatan yang dipakai. Ini berbeda dengan filosofi

11 Apa yang ditemukan Iwan Pranoto dipaparkan di dalam diskusi yang diselenggarakan Musyawarah Guru Besar ITB, 13 Maret 2013, Balai Pertemuan Ilmiah (BPI) ITB, Jalan Surapati 1 Bandung. Lihat juga Iwan Pranoto, “Guru Merdeka”, Kompas, Rabu, 20 Februari 2013, lihat juga makalah dengan judul yang sama dengan versi panjang. 12 Iwan Pranoto, Ibid.

8

Page 9: MATERI+2+Beberapa+Persoalan+Teoritis+Dalam+Kurikulum+13

kurikulum yang secara jelas dinyatakan dalam naskah

akademik, yaitu filsafat eklektik. Sekalipun begitu tidaklah

terlalu sulit untuk menangkap pendekatan yang menjadi

tumpuan Kurikulum 2013.

Di dalam uraian penjelasan Kurikulum Berbasis

Kompetensi13 dikemukakan bahwa kurikulum berdasarkan

kompetensi secara historis mengacu kepada Ralph W. Tyler.

Tokoh dalam ranah kurikulum dikenal dengan rasional Tyler

(Tyler rationale). Mengikuti Allan C. Ornstein dan Francis

Hunkins14, pendekatan kurikulum yang menempel pada Tyler

adalah pendekatan behavioristik (behavioral approach).

Suatu pendekatan kurikulum yang berkembang sejak awal

abad lalu. Pendekatan yang menekankan pada ide efisiensi

sehingga pendekatan ini disebut oleh Raymond Callahan

“pengkultusan efisiensi” (the cult of efficiency)15.

Pengkultusan terhadap efisiensi merasuk ke sekolah-sekolah

dengan tujuan dapat lebih mudah mengontrol sekolah.

Melihat tumpuan pendekatan Kurikulum 2013 yang

behavioristik, pada prinsipnya tidak berbeda dengan

kurikulum 1975 yang berdasarkan tujuan atau outcomes.16

Dengan demikan tidak dapat dibenarkan jika

kemendikbudnas menggembar-gemborkan Kurikulum 2013

dilakukan untuk mengikuti perubahan yang terjadi di dunia.

Kurikulum Bahasa dan Sastra Prancis

13 Naskah akademik, hal.67-14 Allan C. Ornstein dan Francis Hunkins, Curriculum. Foundations, Principles, and Theory, Boston, Allyn and Bacon, 1998, hal. 2-315 Dikutip dari Ornstein dan Hunkins, op cit., hal. 2. 16 Lihat Anwar Jasin, Pembaharuan Kurikulum Sekolah Dasar. Sejak Proklamasi Kemerdekaan, Jakarta, Balai Pustaka, 1987.

9

Page 10: MATERI+2+Beberapa+Persoalan+Teoritis+Dalam+Kurikulum+13

Sebagai guru bahasa Prancis sebagai bahasa asing,

membaca judul “Kompetensi Inti dan Kompetensi dasar

Bahasa dan Sastra Prancis”, mata terhenti beberapa detik di

konsep “sastra Prancis”. Pertanyaan yang muncul: apakah

yang dimaksud dengan sastra?; apakah memang diperlukan

mengajarkan sastra Prancis di tingkat SMA yang kira-kira

perkiraan saya tidak lebih dari 350 jam belajar bahasa

Prancis dari kelas X sampai dengan kelas XII?

Pertanyaan saya pindahkan ke persoalan perumusan

kompetensi dasar. Saya mengajak peserta diskusi untuk

memperhatikan beberapa perumusan kompetensi dasar dari

poin 2.1 sd 4.4. Saya pribadi bertanya-tanya ketika

membaca 11 poin kompetensi dasar untuk kelas X.

Perhatikan poin 2.2

“mencerminkan perilaku kerja sama responsive, dan

proaktif dengan melakukan komunikasi/dialog

berinteraksi dengan guru dan teman, dalam bentuk

memberi informasi, bertanya, menjawab, memberi dan

melaksanakan instruksi terkait dengann pembelajaran

teks fungsional tentang identitas diri dan kehidupan

sekolah”

Apa yang dimaksud dengan “mencerminkan …..” Bukankah

siswi-a kelas X merupakan pelajar pemula murni (faux

déboutants)? Dengan demikian bukankah “tujuan dan

ketrampilan komunikatif kemampuan yang diharapkan dimiliki

siswi-a” pemula murni (untuk menggunakan konsep didaktik

bahasa Prancis sebagai bahasa asing “objectif et savoir-faire

communicative) “memperkenalkan diri” dengan tidak lebih dari

5 kata, seperti Je m’appelle Salman atau Je suis Pras.

10

Page 11: MATERI+2+Beberapa+Persoalan+Teoritis+Dalam+Kurikulum+13

Coba perhatikan kembali poin 4.1 “ Mengolah informasi

lisan berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang

identitas diri dan kehidupan sekolah”, dan 4.2 “Menyajikan

informasi secara lisan dalam bentuk paparan atau dialog

sederhan secara nalar tentang identitas diri dan kehidupan

sekolah”. Bukankah ini perumusan yang dipersulit dan

akhirnya tidak jelas ? saya sebagai guru dengan sederhana

akan merumuskan dua poin tersebut menjadi satu, yaitu

“objectif et savoir-faire communicatifs” : se présenter dan

presenter quelqu’un et quelquechose (“memperkenalkan diri

sendiri” dan “memperkenalkan seseorang dan sesuatu”).

Perhatikan point 3.1 sd 3.4 yang perumusannya diawali

dengan kata kerja “memahami”. Mari kita lihat lebih dekat 3.1

“memahami bunyi ujaran (kata, frasa atau kalimat)”.

Perumusan ini, searah dengan yang telah dibahas Bambang

kaswanti Purwo,17 menunjukkan guru harus menjelaskan lebih

dahulu karakteristik bunyi dalam bahasa Prancis. Ini bisa

menjadikan kelas bahasa Prancis di kelas X seperti kelas mata

kuliah Fonetik dan Fonologi di Jurusan Pendidikan Bahasa

Prancis semester 2 yang berisi para calon guru Bahasa Prancis

di SMA.

Keanehan perumusan kompetensi dasar ini tidak lepas dari

filsafat pendidikan dan pendekatan kurikulum yang dipegang

Kurikulum 2013, seperti juga yang telah dikemukakan Doni

Koesoema.

Untuk menutup diskusi ini saya mengajak untuk

memperhatikan Rancangan Kurikulum Nasional Inggris 2014.18

17 Bambang Kaswanti Purwo, “Kurikulum Bahasa Indonesia”, Kompas, Rabu, 20 Maret 2013.18 Departemen for Education, The National Curriculum England. Framework document for consultation, February 2013. Dokumen kurikulum Inggris ini

11

Page 12: MATERI+2+Beberapa+Persoalan+Teoritis+Dalam+Kurikulum+13

Teching should focus on enabling pupils to make substantials progress ini one of the following languages: French, German, Italian, Mandarin, Spanish, Latin or Ancient Greek […] The focus of study in modern languages will be on practical communication […] Pupils should be taught to :

- listen attentively to spoken language and show understanding by joining in and responding

- explore the patterns and sounds of language through songs and rhymes and link the spelling, sound and meaning of words

- engage in conversation; ask and answer questions; express opinions and respond to those of others; seek clarification and help

- speak in sentences, using familiar vocabulary, phrases and basic language structures

- develop accurate pronunciation and intonation so that others understand when they are reading aloud or using familiar words and phrases

- present ideas and information orally to a range of audiences

- read carefully and show understanding of words, phrases and simple writing

- appreciate stories, songs, poems and rhymes in the language

- broaden their vocabulary and develop their ability to understand new words that are introduces into familiar written material, including through using a dictionary

- write phrases from memory, and adapt these to create new sentences, to express ideas clearly

- describe people, places, things and actions orally and in writing

- understand basic grammar appropriate to the language being studies, such as (where relevant): feminine, masculine and neuter forms and conjugation of high-frequency verbs; key features and patterns of the language; how to apply these,

telah “disebar ke masyarakat” sejak tahun 201, dan akan diputuskan 2014. Bandingkan dengan yang dilakukan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional kita.

12

Page 13: MATERI+2+Beberapa+Persoalan+Teoritis+Dalam+Kurikulum+13

for instance, to build sentences; and how these differ from or are similar to English.

Betapa bedanya perumusan tujuan atau kemampuan yang

diharapkan diperoleh siswi-a Inggris dan di Indonesia. Jelas

tampak kurikulum nasional Inggris jauh lebih sederhana dan

mudah dipahami tidak saja guru tetapi juga orang tua murid

disbanding kurikulum 2013 yang akan dipaksakan pemerintah

untuk dijalankan para guru.

Tentu kita sebagai guru tidak bisa begitu saja

menerima pemaksaan pelaksanaan kurikulum yang seperti

saya kemukakan di atas jauh dari yang seharusnya.

Terima kasih untuk teman-teman guru telah bersedia

menyediakan waktu untuk mendengar paparan saya.

13