masalah toyota
TRANSCRIPT
Mengambil Sisi Positif dari Masalah yang dihadapi Perusahaan Toyota
Banyak hal yang dapat diambil dari perusahaan Toyota, sebuah perusahaan mobil ternama di dunia. Produknya yang banyak digunakan di berbagai Negara di seluruh dunia menarik minat banyak kalangan, terutama untuk mengulas tentang kesuksesan Toyota dalam memasarkan produk mobil mereka. Kinerja yang tinggi dan kontrol kualitas yang sangat baik merupakan salah satu kunci sukses bagi perusahaan ini. Salah satu kinerja yang digunakan oleh beberapa perusahaan lain, dinamakan “Toyota Ways”. Jelas saja ini menjadi sebuah tolak ukur penting bagi kesuksesan sebuah perusahaan ketika cara dan kinerja dari perusahaan tersebut coba digunakan dan diterapkan dalam perusahaan lain.
Meskipun demikian, perusahaan sebesar Toyota pun tidak lepas dari masalah. Di bulan Februari 2010, Toyota melakukan kesalahan produksi pada pedal gas dan sistem rem. Tentunya ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi perusahaan ini. Penarikan mobil dari seluruh dunia menjadi jalan keluar yang diambil oleh Toyota demi mempertahankan kepercayaan pelanggan kepada produk mereka. Setelah didiskusikan, ternyata ada beberapa hal yang mendasari kejadian ini.
Perusahaan Toyota yang ingin mendominasi pasar mobil dunia, mencoba inisiasi ke wilayah Eropa dan Amerika. Runtuhnya United Motors menjadi salah satu gerbang masuk yang paling ampuh untuk mengambil alih pasar perusahaan otomotif nomor satu di dunia tersebut. Demi suksesnya produk mobil di wilayah Amerika dan Eropa, Toyota mengganti namanya menjadi Lexus dengan menyesuaikan design dan karakteristik mobil-mobil yang diminati masyarakat Amerika dan Eropa.
Rencana inisiasi ke dua benua yang sangat berpengauh di dunia tersebut ternyata tidak semulus apa yang dibayangkan. Banyak tuntutan yang harus dipenuhi oleh perusahaan Toyota termasuk harus membangun pabrik di wilayah Amerika. Tentunya pembangunan pabrik ini mengalami kendala di mana-mana. Kendala yang paling mendominasi adalah masalah budaya kerja. Budaya kerja Toyota yang sangat disiplin dan ketat dalam kualitas ternyata tidak dapat dengan mudah diterapkan di dataran Amerika dan Eropa. Perbedaan budaya kerja ini ternyata menjadi mata pisau tajam bagi perusahaan yang sewaktu-waktu dapat menjadi masalah besar. Ini terbukti dengan adanya masalah pada pedal gas dan sistem rem yang terjadi di bulan Februuari 2010 tersebut.
Penurunan kualitas dan kinerja dijadikan satu-satunya alasan yang mendasari masalah ini. Ternyata bila dilihat secara mendalam, budaya kerja yang tidak sesuai yang menjadi penyebab utamanya. Ketidaknyamanan para pegawai menjadi salah satu penyebab penurunan kontrol kualitas yang terjadi di dalam perusahaan. Terlebih lagi bagi pasar Amerika dan Eropa kualitas produk menjadi nomor satu. “Walaupun demikian, kita tidak bisa menutup mata dengan semua yang telah dilakukan Toyota dalam menanggapi maslah ini. Presiden Direktur Toyota rela membungkukkan badannya dan meminta maaf kepada dunia mengenai kesalahan produksi yang telah dilakukan perusahaannya. Ini adalah satu contoh sikap baik pemimpin yang patut kita teladani.” Demikian ungkap Rino Andias Anugraha, Kepala Program Studi Fakultas Rekayasa Teknik Industri Institut Teknologi Telkom menutup diskusi mengenai studi kasus Toyota di kelas Manajemen Mutu 22 Februari 2012 yang lalu.
Diposkan oleh Fransiska Janette Wibowo di 21.25 http://fransiskajanette.blogspot.com/2012/03/mengambil-sisi-positif-dari-masalah.html
The Toyota Way: Konsistensi Toyota dalam Mencapai SuksesJun 18, 2012
3 Comments
235 Views
Toyota Production System (Lean Manufacturing) adalah ‘rahasia’ sukses manufaktur mobil terbesar di dunia tersebut.
Toyota Group telah berkembang menjadi salah satu korporasi konglomerat multinasional sejak organisasi tersebut berkembang dan melebarkan sayap di pasar dunia. Toyota menggantikan posisi General Motors (GM) menduduki posisi perusahaan produsen kendaraan bermotor terbesar di dunia pada tahun 2008. Mereka juga memegang titel perusahaan produsen mobil dengan pendapatan terbesar seiring dengan perkembangan angka penjualan yang terus meningkat di AS dan seluruh dunia. Kali ini pembaca diajak untuk mengamati faktor-faktor sukses yang menjadi ciri khas Toyota.
Penghargaan Tinggi untuk Kreatifitas
“Belajarlah seakan Anda akan hidup selamanya, itulah filosofi yang diinginkan perusahaan sekaliber Toyota untuk seluruh karyawannya”. Toyota menjalankan bisnisnya dengan konsentrasi penuh mengejar yang terbaik; bagi mereka hari ini harus lebih baik dari kemarin. Karena itulah knowledge management merupakan faktor penting di Toyota. Dominasi pasar hanyalah sebagian dari seluruh perjalanan panjang. Lebih dari itu, Toyota telah membuktikan
kepada dunia bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menulis ulang aturan-aturan dalam industri dan bisnis.
Taiichi Ohno, mantan executive vice president di Toyota Corporation, seorang tokoh kunci yang merumuskan Toyota Production System (Lean Manufacturing), mengatakan bahwa: “Ada yang salah kalau karyawan tidak memperhatikan apa yang ada di sekelilingnya, menemukan hal-hal yang monoton atau membosankan, kemudian menulis ulang prosedur yang ada. Manual bulan lalu pun seharusnya sudah usang”. Karena itulah seluruh manajemen dan eksekutif di Toyota menyadari bahwa elemen penting yang harus diperhatikan demi menjaga utuhnya budaya yang telah berlangsung bertahun-tahun di Toyota adalah mendorong karyawan mencari cara-cara baru yang berbeda dalam berkontribusi.
Toyota mendidik karyawannya agar mereka menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging); tujuannya adalah karyawan merasa bahwa mereka sedang menjalankan perusahaan milik sendiri dan karena itulah akan melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati dan terus berimprovisasi. Dengan demikian, karyawan didorong untuk memahami bahwa produksi adalah sebuah sistem alih-alih serangkaian urutan kejadian yang terpisah, serta menggambarkan standardisasi sebagai gerakan spiral yang terus bergerak ke atas. Dengan knowledge management ability dan sense of belonging yang tinggi makan efisiensi dan efektifitas produksi tertinggi akan tercapai. Inti filosofi Toyota adalah singkirkanlah proses dan aktivitas tanpa nilai tambah.
“Jika karyawan hanya melakukan apa yang diperintahkan, Anda akan terus menemukan cacat di akhir proses produksi,” Mitsuo Kinoshita, mantan executive vice president Toyota. “Kami ingin karyawan punya inisiatif dan berpikir kreatif dan mengedepankan kualitas selama proses produksi berlangsung”.
“Jajaran manajemen dan eksekutif di Toyota menaruh minat khusus pada pengembangan sumber daya manusia. Mereka yakin bahwa hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab, bahkan takdir mereka sebagai perusahaan yang berambisi untuk selalu berimprovisasi”. Individu dengan pola pikir pemberontak dan mudah puas tidak punya tempat di Toyota; dimana setiap aspek bisnis yang paling baik sekalipun masih bisa diperbaiki dan dikembangkan. Mereka menganggap pikiran yang mengatakan bahwa suatu proses atau fungsi yang tidak dapat diperbaiki lagi (karena sudah cukup baik) sebagai suatu bentuk pengkhianatan kepada perusahaan. Sisi ekstrem yang dimiliki Toyota inilah yang menempatkan mereka di posisi terdepan dalam kancah bisnis dunia.
Prinsip Rendah Hati dan Saling Menghormati
Kebangkitan Toyota diwarnai stabilitas, pertumbuhan, dan evolusi yang terus berlanjut di atas dasar struktur manajemen yang memberdayakan karyawan, menempatkan manajer dan pemimpin sebagai fasilitator dan pelatih, bukan diktator. Mereka menjunjung tinggi prinsip persamaan derajat. Dalam berbagai rapat yang melibatkan manajemen dan karyawan, pertanyaan dilontarkan secara profesional namun tetap rendah hati sesuai dengan filosofi Toyota. Dalam beropini atau bertanya, karyawan diharapkan untuk menghindari dugaan atau gosip yang tidak berdasar serta harus memberikan fakta untuk melakukan lebih banyak riset.
Jika terjadi masalah, karyawan harus mengkomunikasikannya kepada para superior sambil mencari peluang dan solusi untuk menyelesaikannya. Dalam setiap pembahasan, perlu dilakukan penekanan terus-menerus untuk kembali ke sumber permasalahan dan memaksa manajer atau eksekutif turun untuk mencari fakta dan membantu menemukan solusi. Ramuan ajaib Toyota tidak hanya mengenai pendapatan dan turnover per-kuartal, tapi juga tentang mengembangkan karyawan dalam aktivitas sehari-hari mereka. Bagi perusahaan, sistem penanganan karyawan baru sama pentingnya dengan sistem perakitan komponen di pabrik-pabrik Toyota. Rahasia suksesnya terletak kepada cara mereka menjalankan bisnis yang berdasar kepada rasa hormat kepada karyawan.
Walaupun mendapat bayaran tinggi, para eksekutif Toyota tidak digaji setinggi atlet profesional, apalagi gaji eksekutif di perusahaan kompetitor. Sesuai dengan prinsip ketika peusahaan tersebut baru berdiri: kerendahan hati, berhemat, dan rasa hormat. Mereka menghindari manajer dan karyawan yang hanya berambisi mengejar bayaran tinggi dan profit jangka pendek, yang hanya fokus kepada keuntungan pribadi, karena orang-orang seperti itu hanya akan menghambat perusahaan untuk berkembang. “Toyota menghindari elitisme dan kepemimpinan yang otoriter; kami menawarkan pengajaran langsung dalam lingkungan yang demokratis,” kata Tatusro Toyoda. Dengan ini, Toyota menerapkan budaya yang tidak mementingkan jajaran manajemen semata, namun juga seluruh karyawan. Itulah yang membedakan Toyota dengan perusahaan lain: mereka memperlakukan orang lain dengan penuh hormat dan menghargai setiap usaha yang diberikan untuk melestarikan budaya tersebut.
Prinsip Anti Boros
“Toyota amat mementingkan efisiensi dan melakukan perencanaan bisnis yang matang demi mencapainya. Motto mereka adalah ‘tidak kurang dan tidak lebih’. Produk, misalnya mobil, hanya dibuat berdasarkan permintaan saja”. Seluruh hal yang menyangkut produksi secara otomatis juga mengikuti prinsip ini. Suplai komponen dilakukan jika ada rencana produksi barang saja, dan produksi barang dilakukan jika ada demand dari pasar. Hal ini bertujuan meminimalisir pemborosan atau waste ( muda ) dalam sistem produksi Toyota.
Prinsip zero waste juga selalu diusung dalam setiap detil kegiatan di perusahaan. Jika mereka bisa menghemat 1 detik pada lead time, atau mungkin satu langkah kaki karyawan dalam proses produksi, mereka akan benar-benar melakukannya. Cara berpikir efisien ini tidak hanya berlaku di pabrik; bahkan hingga ke kafetarianya, dimana semua sampah harus didaur ulang. Hal ini terbukti berlangsung secara konstan, karena Toyota juga dikenal sebagai salah satu perusahaan yang nyaris tidak pernah mengeluarkan limbah di pembuangan akhir.
Sebagai perusahaan, Toyota bukan tidak pernah berbuat salah. Dalam setiap proses pasti ada saja hal-hal yang luput dari kesempurnaan. Namun bedanya, di Toyota, percikan-percikan yang berpotensi menimbulkan masalah harus ditangani sedini mungkin, agar tidak sempat membesar menjadi problema. Dalam pemenuhan prinsip ‘hari ini lebih baik dari hari kemarin’ Toyota menekankan kepada seluruh aspek bisnisnya untuk mendahulukan penanganan masalah. Jika masalah sudah tertangani dengan baik, proses akan dapat kembali stabil.
Pemasaran yang Berbasis Kepada Kepuasan Pelanggan
Dalam memasarkan produk, Toyota bukan tipe perusahaan yang berambisi mengejar penjualan tertinggi. Tidak seperti beberapa perusahaan manufaktur mobil lainnya yang mendefinisikan sukses sebagai pencapaian angka penjualan tinggi__yang berbuntut kepada diskon besar-besaran__Toyota selalu berusaha menjaga eksklusifitas produknya di mata publik dengan cara mempertahankan harga. Fokus Toyota lebih kepada kepuasan pelanggan. Harapannya pelanggan akan rela membayar harga yang reasonable untuk produk yang berkelas dan berkualitas prima.
“Tujuan kami bukanlah menjual mobil sebanyak-banyaknya,” ungkap Jim Press, COO dari Toyota Motor Corporation.“Yang paling penting adalah memberi kualitas kepada pelanggan. Kalau kami melakukan pekerjaan dengan baik, penjualan akan meningkat, tetapi tujuan kami bukanlah penjualan dan keuntungan yang lebih besar. Kami bekerja untuk pelanggan. Kami berusaha memberi mereka ketenangan hati. Menang berarti mendengar dan menanggapi konsumen, bukan hanya mengatakan kepada mereka apa yang mereka butuhkan atau harus inginkan.”
Demi memuaskan konsumennya, Toyota rela menempuh jarak ekstra dan memberi lebih dari yang diharapkan pelanggan. Hal ini mereka lakukan dengan tetap memegang prinsip rendah hati; tanpa iklan besar-besaran dan janji-janji muluk. Mereka berpendapat, dengan sendirinya konsumen akan merasakan kualitas produk mereka dan kelebihan tersebut akan menyebar dari mulut ke mulut. Inilah sisi cerdiknya; ‘pemasaran’ yang dilakukan dari mulut ke mulut oleh pelanggan terbukti jauh lebih efektif dibandingkan pemasaran oleh perusahaan lewat cara konvensional.
Belajar dari Kesalahan
Namun Toyota bukanlah perusahaan tanpa cacat. Seperti diketahui, pada tahun 2010 lalu Toyota terkena kasus cacat produksi, dimana terjadi kesalahan yang terjadi pada sistem rem dan pedal gas pada mobil Toyota yang menyebabkan banyak kecelakaan dan cedera dialami oleh pengguna mobil. Awalnya Toyota menyangkal, namun akhirnya mereka mutuskan untuk melakukan recall terhadap lebih dari 8 juta unit mobil yang telah terjual, dan menunda penjualan delapan model mobilnya di AS, termasuk yang terlaris yaitu Camry.
Karena kesalahan tersebut tentu saja pangsa pasar mobil di AS segera berubah. Semula Toyota berada pada posisi kedua setelah GM, maka kini diprediksi Toyota akan turun ke posisi ketiga dengan GM tetap pada posisi tertinggi dengan penguasaan pangsa pasar sebesar 18,1%, Ford naik ke posisi kedua dengan pangsa pasar sebesar 16,6%, sedangkan Toyota menduduki posisi ketiga dengan 16,5%.
Sementara Toyota sedang terbelit masalah, pesaingnya yaitu GM yang merupakan produsen mobil terbesar di AS melakukan manuver ekstrim untuk menerkam pelanggan Toyota. GM menawarkan potongan harga sebesar US$1000 bagi pemilik mobil Toyota jika mereka ingin beralih kepada mobil produksi GM. Namun Toyota tidak mau tinggal diam begitu saja. Walaupun mengalami kerugian sebesar 2 milyar dolar AS dan denda sebanyak 16,4 juta dolar AS, Toyota segera melakukan identifikasi masalah yang ditemukan pada pedal gas dan rem.
Ketika akar masalah telah ditemukan, Toyota segera menjalankan gerakan kampanye global demi mempertahankan citra perusahaan. Ketika akhirnya dinyatakan bersalah, pihak Toyota meminta maaf kepada pelanggannya di AS, dimana presiden Toyota, Akio Toyoda sendiri yang menyampaikan rasa sesal; bahkan ia sampai menangis saat itu. Setelah itu Toyoda langsung membentuk panitia khusus yang bertugas untuk meninjau ulang dan memperbaiki sistem internal mereka, sambil menjalankan pengendalian mutu dengan ketat. Proyek ini dipimpin oleh Toyoda sendiri.
Para pengamat memperhatikan bahwa Toyota kini menjadi lebih agresif dalam menangkap kemungkinan cacat demi pelanggannya, walaupun mengakui bahwa kasus tersebut telah merusak branding-nya sebagai produsen mobil berkualitas. Sejak kasus tersebut, Toyota menunjuk pejabat khusus yang menangani kontrol kualitas di setiap tingkat regional, dan mereka telah menjalankan langkah-langkah baru untuk merespon lebih cepat terhadap laporan masalah pada kendaraan. Dengan ini, pengamat memandang bahwa Toyota sedang melakukan hansei (critical self reflection), dan sisi positifnya yaitu perusahaan tersebut bersedia melakukan pembelajaran tanpa akhir, sesuai dengan filosofi yang mereka usung.
Sumber:
HowToyotaBecame #1 : Menguak Rahasia Kesuksesan Perusahaan Mobil Terbesar Dunia (buku oleh David Magee)
www.mediaindonesia.com
www.matanews.com
www.rumahkecilkita.blogdetik.com
TEORI BUDAYA ORGANISASI
“Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh organisasi;
budaya adalah sesuatu yang merupakan organisasi itu sendiri”
(Pacanowsky & O’Donnel Trujillo)
APA ITU “BUDAYA”?
“Bukankah itu sesuatu yang aneh? Tengkorak dan bulan sabit? Rakyat Amerika jelas tidak terlalu suka mengetahui jika seseorang yang membuat regulasi di negara mereka, merenung di sebuah ruangan sempit dengan tengkorak dan bulan sabit di tangannya,” ucap Anderson. Langdon tersenyum kecut pada Anderson dan simbol-simbol Free Mason yang ada di hadapan mereka. Ia mendengus.
“Tidak lebih aneh dari umat Kristen yang berdoa di bawah kaki Seorang Pria terpaku di kayu salib, atau orang-orang Hindu yang merapal doa di depan seekor gajah bernama Ganesha yang berlengan enam. Salah paham terhadap simbol-simbol sebuah kebudayaan merupakan akar prasangka yang umum.”(Lost Symbol – Dan Brown)
Petikan dialog dari salah satu karya masterprice novelis Amerika Serikat, Dan Brown, di atas
menjadi sebuah ilustrasi yang cukup tepat untuk merepresentasikan keunikan budaya dalam
setiap organisasi yangmengusung basis apa pun, mulai dari agama sampai nirlaba.
Kata “budaya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefenisikan sebagai, “hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat dan
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya”.
Sedangkan secara etimologis, Koentjaraningrat dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi”
menyebutkan bahwa nenek moyang kata “budaya” berasal dari bahasa Latin “colore” yang
berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama dalam konteks pertanian. Bahasa Inggris kemudian
mengadaptasi kata dan defenisi tersebut ke dalam kosakata OED menjadi “culture” yang artinya
tidak jauh berbeda, yaitu “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan
mengubah alam.”
Dari hubungan terminologi dan etimologi tersebut bisa diinterpretasikan jika budaya dan
kegiatan bercocok tanam memiliki hubungansebagai “aksi mendukung terjadinya pertumbuhan.”
Koentjaraningrat lebih jauh menyebut “budaya” bukan sekadar pertumbuhan, namun budaya
merupakan (hampir) seluruh tindakan manusia karena hanya sedikit tindakan manusia dalam
kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, seperti tindakan naluri,
beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologis, atau kelakuan membabi buta.
Bahkan berbagai tinndakan manusia yang secara fundamental merupakan kemampuan naluriah
yang tersisip dalam gen (seperti makan, minum, atau berjalan dengan kedua kaki), dikatakan
Koentjaraningrat, juga dirombak oleh manusia menjadi tindakan “berkebudayaan”.
Koentjaraningrat memberikan contoh pada kebiasaan makan manusia yang umumnya didasarkan
pada konteks waktu, cara, atau protokol yang pantas, sopan dan sering kali rumit dan harus
dipelajari terlebih dahulu dalam waktu yang sangat lama. Begitu juga dengan cara berjalan yang
memang bukan hanya merupakan produk evolusi (Darwinisme), tetapi juga proses kebudayaan
membuat cara berjalan menjadi produk bervariasi sesuai dengan konteks individu yang
melakukannya. Baik itu berjalan a la prajurit, lemah gemulai seperti penari, atau tertata
rapihkhas model.
ORGANISASI SEBAGAI PRODUK KEBUDAYAAN
Teori Budaya Organisasi awalnya dikaji oleh duo Michael Pacanowsky dan Nick
O’Donnel Trujillo yang mendasarkan penelitiannya pada ide yang lebih dahulu dimiliki oleh
Clifford Geertz, seorang Antropolog, mengenai kebudayaan. Hal itulah yang menyebabkan teori
ini tak terlepas dari pengaruh etnografi.
Michael Pacanowsky dan Nick O’Donnel Trujillo bertujuan memahami organisasi—
termasuk nilai-nilai, kisah, tujuan, praktik, dan filosofi perusahan—pada periode waktu 1982
sampai tahun 1990 hingga tercetuslah organizational culture theory.
Seperti yang sudah dijabarkan di atas, duo Pacanowsky-Trujillo menyatakan bahwa
organisasi dapat lebih dipahami dengan menggunakan lensa budaya—sebuah ide yang pada
mulanya diinisiatifkan oleh seorang Antropolog ternama asal Amerika Serikat Clifford Geertz
(Geertz juga sempat melakukan penelitian di berbagai daerah di Indonesia).
“Musuh” utama Geertz pada masanya, Levi-Strauss, memandang budaya sebagai sistem
simbolik yang dimiliki bersama, dan merupakan ciptaan pikiran (creation of mind) secara
kumulatif. Sedangkan Geertz secara berlawanan memiliki pandangan yang jauh berbeda.Geertz
melihat pandangan kognitif Levi-Strausssebagai pandangan reduksionis dan formalistik yang
kabur.Ia berpendapat jika simbol dan makna dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, terletak
di antara mereka, bukan di dalam diri mereka. Simbol dan makna bersifat umum (public),
bukan pribadi (private). Sistem kultural adalah ideasional(rancangan yg tersusun di dalam
pikiran).Sama seperti ideasionalnya kuartet Beethoven. Sistem itu berada di luar atau di antara
manifestasinya dalam pikiran individu atau penampilan konkrit. Pola-pola kultural, katanya,
tidak metafisikal seperti mimpi—mereka adalah benda dalam dunia nyata.Geertz mengangggap
pandangannya tentang budaya adalah semiotik. Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan-
aturan makna yang dimiliki bersama.
Jika dikorelasikan antara organisasi dan budaya, kita bisa melihat asumsi Geertz
mengenai kebudayaan berhubungan dengan kohesifitas anggota dalammenginterpretasikan
simbol-simbol yang terdapat dan dihasilkan dalam sebuah organisasi, dan simbol-simbol itu
sendiri bersifat plural, dalam artian antara satu organisasi dengan organisasi lain, terdapat
keunikan simbolis yang jelas berbeda satu dengan yang lainnya.
Penelitian ini sendiri mendobrak sebuah rutinitas membosankan para peneliti yang hanya
berusaha mengkuantatifkan objek kajian—dalam hal ini organisasi—akibat sistematika
penelitian dengan metode ilmiah yang memasung inovasi baru. Dengan adanya teori ini, mereka
berdua beranggapan bahwa para peneliti menjadi lebih mampu masuk ke dalam sebuah
organisasi, lalu melihat dan memahami aspek berupa sistem kebudayaan yang merupakan bagian
absolut dari organisasi.
Geertz menyebutkan bahwa metode ilmiah yang positivistik (generalisasi) sangat
terbatas, stagnan dan kabur. Alih-alih melakukan pengukuran dan pengurain, seharusnya para
etnograf mencoba menginterpretasikan kebudayaan. Dan penafsiran harus dikembangkan
menjadi deskripsi mendalam (thick description) yang harus diikatkan secara mendalam ke dalam
kekayaan konteks kehidupan sosial.
Budaya di sini bukan membicarakan area SARA (Suku, Agama, Ras, dan
Antargolongan). Budaya organisasi juga bukan hanya mencakup aspek matrealistis, namun juga
emosionalitas dan kondisi psikologis partispan yang ada dalam sebuah kegiatan berorganisasi.
Budaya itu sendiri mencakup aspek-aspek mendasar seperti spirit anggota, sikap, kuantitas dan
kualitas produktifitas, simbol-simbol yang tentunya memiliki esensi baik dalam bentuk verbal
maupun nonverbal, yang mana keseluruhan hal tersebut akan merepresentasikan kondisi iklim
sebuah organisasi, “dingin”, “panas” atau “hangat.”
Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh organisasi; budaya adalah sesuatu yang
merupakan organisasi itu sendiri.
Simpulan dari kritik Geertz yang diteruskan oleh Pacanowsky-Trujillo adalah bahwa
memahami satu organisasi lebih penting daripada menggeneralisasi sekelompok perilaku atau
nilai dari banyak organisasi.
METAFORA BUDAYA JARING LABA-LABA
Analogi sederhana dari sebuah proses interaksi dalam organisasi adalah jalinan jejaring
laba-laba. Coba perhatikan seeokor laba-laba yang tak mengenal lelah memintal luas jejaringnya,
seperti halnya manusia yang giat memperlebar untaian jaringan relasi dalam interaksi. Jaring-
jaring ini terbentuk dengan berbagai komplektisitasnya masing-masing yang tidak similiar antara
yang satu dengan yang lain.
Geertz menyatakan bahwa orang-orang adalah “sekumpulan hewan yang tergantung di
dalam jaringan kepentingan”.
Pacanowsky-Trujillo memberikan komentar dan tambahan terhadap metafora Geertz itu.
Mereka menyatakan jika “jaring” itu tidak sekadar “ada”, melainkan sedang dipintal. Jaring ini
dipintal ketika orang sedang menjalankan bisnis mereka membuat dunia mereka menjadi dapat
dipahami—maksudya, ketika mereka berkomunikasi. Ketika mereka berbicara, menulis sebuah
naskah drama, menyanyi, menari, bahkan pura-pura sakit, mereka sedang berkomunikasi, dan
mereka sedang mengkonstruksi budaya mereka. Jaring ini merupakan residu dari proses
komunikasi.
Geertz memilih jejaring laba-laba sebagai analogi karena pengalamannya yang sangat
mendalam terhadap banyak kebudayaan di dunia yang pernah ditelitinya. “Setiap budaya berbeda
dan unik,” kata Geertz, “dan itu adalah hal yang patut dihargai.” Geertz percaya bahwa para
peneliti harus berfokus pada makna bersama yang melekat di dalamnya. Dan kepercayaan inilah
yang membuat Pacanowsky-Trujillo mulai melihat organisasi dari perspektif kultural. Karena
seperti halnya kebudayaan Australia atau Indonesia, setiap organisasi memiliki sistematika
kebudayaan yang khas untuk setiap bagiannya. Baik misalnya karyawan maupun manajer
memintal jaring mereka sendiri. Orang-oranglah yang memegang peranan penting dalam
organisasi, dan karenanya, sangatlah penting mempelajari perilaku mereka sehubungan dengan
kondisi keseluruhan organisasi. Mereka menambahkan bahwa anggota dari organisasi ini terlibat
di dalam banyak perilaku komunikasi yang memberikan kontribusi bagi budaya perusahaan.
Perspektif yang luas ini menggarisbawahi mengapa keduanya berargumen bahwa budaya
organisasi bukanlah sebuah potongan puzzle; budaya adalah puzzle itu sendiri.
ASUMSI TEORI BUDAYA ORGANISASI
Sebuah teori tak terlepas dari asumsi-asumsi, begitu juga Teori Budaya Organisasi.
Asumsi-asumsinya antara lain;
Anggota-anggota organisasi menciptakan dan mempertahankan perasaan yang dimiliki
bersama mengenai realitas organisasi, yang berakibat pada pemahaman yang lebih baik
mengenai nilai-nilai sebuah organisasi. Inti dari asumsi ini adalah nilai yang dimiliki
organisasi. Nilai merupakan standard dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam sebuah
budaya.
Penggunaan dan interpretasi simbol sangat penting dalam budaya organisasi. Ketika
seseorang dapat memahami simbol tersebut, maka seseorang akan mampu bertindak
menurut budaya organisasinya.
Budaya bervariasi dalam organisasi-organisasi yang berbeda, dan interpretasi tindakan
dalam budaya ini juga beragam. Setiap organisasi memiliki budaya yang berbeda-beda
dan setiap individu dalam organisasi tersebut menafsirkan budaya tersebut secara
berbeda.Terkadang, perbedaan budaya dalam organisasi justru menjadi kekuatan dari
organisasi sejenis lainnya.
Asumsi pertama mendeskripsikan bahwa manusia adalah faktor vital dalam kehidupan
berorgananisasi. Dengan hal tersebut diharapkan setiap individu mampu menjaga realitas yang
telah mengakar dalam sebuah organisasi agar tetap tertanam kuat. Realitas ini sendiri terbentuk
dari rangkaian nilai yang dipercayai dan dianggap berharga oleh setiap individu komponen
sebuah organisasi. Nilai juga bersifat “menjadi acuan standardisasi” segala hal yang dianggap
penting dan seharusnya dilakukan oleh setiap anggota. Dan tentunya juga “nilai” ini tidak
mungkin dengan ramah-tamah memperkenalkan diri secara pribadi, melainkan harus ada proses
pentransmisian dari setiap individu yang memegang nilai tersebut sebagai acuan kepada mereka
yang masih awam terhadap hal itu. Sosialisasi ini sendiri berlangsung dalam proses komunikasi
antar anggota dari segala hierarki, baik secara langsung maupun melalui pesan implisit.
Pada asumsi selanjutnya, simbol dan esensi di baliknya adalah sebuah hal yang diwajibkan
untuk mendapat interpretasi dari mereka-mereka yang menjadi anggota organisasi. Dari, oleh,
dan untuk mereka. Menciptakan, menggunakan dan memahami makna dari simbol-simbol adalah
rutinitas yang dilakukan sebagai proses adaptasi dan modal untuk tetapsurvive dalam jejaring
interaksi. Simbol dalam sebuah organisasi sendiri mampu mengkomunikasikan nilai yang telah
melekat dan terjaga dalam organisasi itu sendiri. Hal inilah yang disebutkan, bahwa begitu
pentingnya pemaknaan simbol-simbol oleh setiap anggota yang terlibat demi sebuah kejelasan
mendasar akan hal-hal yang telah, sedang dan akan selalu dijaga dalam sebuah kegiatan
berorganisasi.
Asumsi selanjutnya sekaligus menjadi asumsi yang terakhir, mendukung bahwa
multikulturalisme juga berlaku dalam ranah pengorganisasian, yang terlihat jelas saat kita
menyaksikan betapa heterogennya bentuk-bentuk budaya yang diaplikasikan dalam satu
organisasi dengan organisasi lainnnya. Bukan saja dalam aspek kemajemukan budaya antar
organisasi, namun juga secara internal, saat antar individu dalam sebuah organisasi memiliki
interpretasi yang warna-warni dalam melihat kebudayaan yang melekat pada institut dan pranata
yang mereka tempati.
Performa dalam mengkomunikasikan berbagai bentuk kebudayaan yang dibungkus dalam
format-format tertentu merupakan manifestasi dari pemahaman akan perilaku manusia dalam
sebuah organisasi, dalam artian pembagian peran dalam organisasi merupakan sebuah kewajaran
yang dari sana akan dibentuk berbagai interpretasi perilaku oleh seluruh individu komponen
organisasi.
Performa dalam organisasi, oleh para ahli, terbentuk dalam 5 bagian, yaitu;
a. Performa ritual
Seluruh performa yang secara konsisten dilakukan, tergolong dalam performa ini. Performa
ritual sendiri terbagi lagi dalam:
- Ritual personal
Mencakup segala aktifitas yang individu per individu rutin lakukan.Misalnya, banyak anggota
organisasi secara teratur mengecek pesan suara atau e-mail mereka ketika mereka bekerja tiap
hari.
- Ritual tugas
Menyangkut ritual yang berhubungan dengan progres proses sebuah pekerjaan. Misalnya, ritual
tugas seorang karyawan di Departemen Kendaraan Bermotor termasuk mengeluarkan ujian mata
dan tertulis, mengambil foto dari calon pengemudi, melaksanakan ujian mengemudi,
memverifikasi asuransi mobil, dan menerima pembayaran.
- Ritual sosial
Meliputi hubungan dengan kegiatan konsisten berulang-ulang antar satu individu dengan para
individu-individu lain dalam sebuah kelompok organisasinya.Misalnya, beberapa anggota
organisasi berkumpul bersama untuk menghabiskan waktu bersama di bar pada hari Jumat,
merayakan akhir pekan. Ritual sosial juga dapat mencakup perilaku nonverbal di dalam
organisasi, termasuk “jumat kasual dan penghargaan karyawan terbaikbulan ini.
- Ritual organisasi
Melingkupi cakupan yang lebih luas, kerena ritual ini diselenggarakan secara mengglobal dalam
sebuah organisasi. Misalnya, kegiatan perusahaan yang sering dilakukan seperti rapat divisi,
rapat fakultas, dan bahkan piknik perusahaan.
b. Performa hasrat.
Hasrat(passion) di sini menggambarkan keinginan berbagi, sharing, atau curhat mengenai
kondisi internal berlangsungnya sebuah kebijakan dalam sebuah perusahaan. Biasanya
kesempatan menumpahkan hasrat ini ditujukan dalam bentuk kritik terhadap objek yang
dianggap negatif oleh si pemilik hasrat tersebut.
c. Performa sosial
Performa sosial lebih menunjukkan kekooperatifan dalam mengkomunikasikan keadaan dan
berbagai simbiol-simbol yang telah ada dalam sebuah organisasi. Harapan sosial sangat
dijunjung tinggi untuk menghindari konflik dan menjadi pegangan nilai yang kokoh saat keadan
yang buruk sekalipun.
d. Performa politis
Performa ini mendeskripsikan secara jelas makna hierarki dalam sebuah birokrasi organisasi,
yang mana tingkatan kekuasaan atau stratifikasi diperlihatkan secara ekspilisit. Hal ini ditujukan
pada fungsi kontrol sebuah organisasi, yang memerlukan seseorang untuk mengkoordiansikan
seluruh komponen yang terlibat dalam sebuah proses berorganisasi.
e. Performa enkultursasi.
Organisasi memiliki fungsi untuk mentransformasikan kebudayaan kepada setiap individu dalam
sebuah organisasi agar terjadi kejelasan visi, misi dan peran yang diemban oleh individu
tersebut.
KRITIK DAN PENUTUP
Teori Budaya Organisasi yang dicetuskan oleh Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo,
merupakan teori yang memiliki pengaruh penting dalam teori dan penelitian di bidang
komunikasi organisasi. Untuk mengevaluasi efektivitas teori ini, akan didiskusikan tiga kriteria:
heurisme, kegunaan, dan konsistensi logis.
Heurisme
Daya tarik Teori Budaya Organisasi telah begitu luas dan jauh, sehingga menyebabkan
teori ini bersifat heuristik. Misalnya saja, teori ini telah membingkai penelitian yang mengkaji
karyawan Muslim, petugas penegak hukum, dan karyawan yang sedang mengandung. Teori ini
telah memengaruhi banyak ilmuwan untuk mempertimbangkan mengenai budaya organisasi dan
bagaimana mereka mengajarkan mengenai hal ini di dalam kelas. Dan relevan bagi kita yang
berada di dalam bidang pendidikan, teori ini telah digunakan untuk mempelajari cerita-cerita
mengenai mahasiswa dan persepsi mereka akan penyesuaian diri di kampus.
Kegunaan
Teori ini berguna karena informasinya dapat diterapkan pada hampir semua karyawan di dalam
sebuah organisasi. Pendekatan ini berguna karena banyak informasi dari teori (misalnya, simbol,
kisah, ritual) memiliki hubungan langsung pada bagaimana karyawan bekerja dan identifikasi
mereka terhadap lingkungan kerja mereka (Schrodt, 2002). Karena karya para teoretikus ini
didasarkan pada organisasi yang nyata dan karyawan yang benar-benar ada, para peneliti ini
telah membuat teori ini menjadi lebih berguna dan praktis.
Konsistensi Logis
Konsistensi. logis dari model ini juga tidak boleh dilewatkan. Konsistensi logis merujuk pada
pemikiran bahwa teori harus mengikuti pengaturan logis dan tetap konsisten. Pacanowsky dan
O'Donnell Trujillo berusaha untuk memegang teguh keyakinan mereka bahwa budaya organisasi
sangat kaya dan beragam; mereka merasa bahwa mendengarkan performa komunikatif dari
anggota organisasi adalah titik awal bagi kita untukmemahami "budaya korporat". Ini merupakan
dasar dari mana banyak bagian dari teori ini mendapatkan momentumnya.
Walaupun demikian, beberapa yakin bahwa teori ini kurang dalam hal konsistensi. Eric
Eisenberg dan H.L. Goodall misalnya, mengamati bahwa Teori Budaya Organisasi bergantung
sepenuhnya pada makna yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota organisasi. Mereka
menyatakan bahwa kisah, contohnya, tidak dimiliki secara mirip di antara karyawan: "cerita
yang berbeda mengenai organisasi diceritakan oleh narator yang berbeda pula". Maksudnya,
walaupun teori ini menyatakan bahwa kisah diceritakan dan diceritakan ulang dan memberikan
kontribusi pada budaya sebuah organisasi, kisah-kisah ini mungkin tidak akan memiliki makna
yang sama bagi semua orang.
Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo merupakan dua dari beberapa peneliti komunikasi yang
mempelajari mengenai kehidupan organisasi dengan melihat baik pada karyawan dan perilaku
mereka. Mungkin melihat budaya organisasi dengan cara ini akan membuat para peneliti mampu
menghargai pentingnya berhubungan dengan orang dan performa mereka di tempat kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Dan. The Lost Syimbol. Yogyakrata: PT. Bentang Pustaka. 2010
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi; Edisi Revisi.Jakarta: Rineka Cipta. 2009
West. Richard. Lynn H. Turner. Teori Komunikasi: Analsis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba
Humanika. 2009