marsel

18
PROSES LITIGASI DI PENGADILAN AGAMA ANALISA TERHADAP UU NO 7 / 1989 PASAL 57 (3) (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA PANYABUNGAN) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbedaan kepentingan atar manusia, sebagai manifestasi dari sikap “Zoon Politicon”nya sudah terjadi sejak zaman Nabi Adam AS. Fenomena ini juga terjadi di negeri tercinta Indonesia, di awal abad XIX, yang pada saat itu diajah oleh kolonial Belanda. Saat itu, mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam. 1 Maka bagi mereka berlaku hokum Islam, dalam menyelesaikan perkara-perkara perdata diantara sesama umat Islam, bentuk perdilannya disesuaikan dengan hukum Islam, yaitu hakim tunggal atau Qadi (Alleensrekende Recher). 2 1 William Christian Van den Berg, Reception in Complexa, lihat Sajuti Thalib, Receptio Acontario Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1985) h. 3-8 2 R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta :PT. Pradnya Paramita, 1978), h. 101 1

Upload: asrul-hamid-al-fachrezy-nasution

Post on 05-Jul-2015

39 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: marsel

PROSES LITIGASI DI PENGADILAN AGAMA ANALISA TERHADAP

UU NO 7 / 1989 PASAL 57 (3)

(STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA PANYABUNGAN)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perbedaan kepentingan atar manusia, sebagai manifestasi dari sikap “Zoon

Politicon”nya sudah terjadi sejak zaman Nabi Adam AS. Fenomena ini juga terjadi di

negeri tercinta Indonesia, di awal abad XIX, yang pada saat itu diajah oleh kolonial

Belanda. Saat itu, mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam.1 Maka bagi

mereka berlaku hokum Islam, dalam menyelesaikan perkara-perkara perdata diantara

sesama umat Islam, bentuk perdilannya disesuaikan dengan hukum Islam, yaitu hakim

tunggal atau Qadi (Alleensrekende Recher).2

Seiring perjalanan waktu, kopetensi absolute Pengadilan Agama Islam tersebut

mengalami proses reduksi, karena dikaitkan dengan hokum adapt Cornelis Van

Vollenhoven. Teori “Receptie” Van Vollenhoven yang controversial ini, juga didukung

oleh perkara hukum adat seperti Christian Snouck Hugronje yang dikenal juga dengan

nama Abdul Gaffar.

Interversi pihak Kolonial Belanda terhadap Peradilan Agama Islam semakin jelas

dengan keluarnya Staatblad Nomor 152 Tahun 1882, yang melegitimasi peradilan agama

Islam sebagai sebuah Institusi. Sayangnya, legitimsi ini tidak disertai dengan penyediaan

1 William Christian Van den Berg, Reception in Complexa, lihat Sajuti Thalib, Receptio Acontario Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1985) h. 3-8

2 R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta :PT. Pradnya Paramita, 1978), h. 101

1

Page 2: marsel

2

prasarana dan sarana yang mendukung. Hal ini tampak dengan tidak digajinya para

Hakim, yang mengakibatkan terjadinya tindakan, berupa pemungutan biaya tambahan,

yang tidak ada dalam peraturan Di lain pihak, Staablad ini juga menimbulkan dualisme

peradilan, sebab sejak tahun 1882-1883, pengadilan agama memerlukan pengukuhan

putusnya dari Pengadilan Negeri (Landraad), agar memiliki kekuatan eksekutorial.

Realita inilah yang menggugah hati sekelompok pakar hukum yang simpati

tehadap pengadilan agama, untuk menciptakan hukum acaranya secara hierarki berstatus

undang-undang, disamping Hukum Acara yang digunakan oleh peradilan perdata umum.3

Keinginan ini juga di dukung oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

tentang Pokok-Pokok kekuasaan Kehakiman, Pasal 12, yang berbunyi: “susunan

kekuasaan serta acara dari badan-badan peradilan seperti tersebut dalam Pasal 10 ayat 1

diatur dalam undang-undang tersendiri”.4 Pasal ini pada dasarnya mensinyalir tentang

perlunya pembuatan Undang-Undang khusus yang mengatur tentang keberadaan hukum

acara yang berlaku di Pengadilan Agama secara khusus setelah melalui proses

penggodokan yang cukup lama di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akhirnya pada

tanggal 29 Desember 1989 disahkan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Pengadilan Agama di Jakarta.

Dari sekian banyak pasal yang termasuk dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989, penulis tertarik untuk meneliti pasal 57 ayat 3, yang berbunyi: “Peradilan

dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”.5 Hal ini disebabkan asumsi penulis

bahwa pasal ini belum terimplementasi secara baik dalam realita proses beracara di

Pengadilan Agama. Yang dimaksud dengan sederhaa adalah acara yang jelas, mudah 3 Sudikno Metokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1993), h. 6-104 Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Peradilan Agama di Indonesia, (Medan :

IAIN Press, 1995), h. 125 Ibid, h. 258

Page 3: marsel

3

dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas-formalitas yang

diwajibkan atau diperlukan dalam beracara dimuka pengadilan, makin baik.

Kata “cepat” menunjukkan kepada jalannya persidangan di Pengadilan. Dalam hal

ini bukan hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan dipersidangan sampai ada

penandatanganan putusan oleh hakim dan pelaksanaannya.

Tidak jarang suatu perkara ditunda-tunda sampai bertahun-tahun karena saksi

tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang atau meminta mundur. Bahkan

perkaranya sampai dilanjutkan oleh ahli warisnya.

Ditentukan biaya ringan agar terpikul oleh rakyat, biaya perkara yang tinggi

kebanyakan menyebabkan pihak yang berkepentingan enggan untuk mengajukan tuntutan

hak kepada pengadilan.

Dari penjelasan tentang asas sederhana, cepat dan biaya ringan yang telah penulis

paparkan diatas, maka semestinya tidak ada lagi perkara-perkara yang berlarut-larut di

pengadilan, khususnya Pengadilan Agama Panyabungan.

Realita ini merupakan sebuah fenomena kontradiktif antara konsep ideal Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan realita di lapangan. Idealnya suatu kasus memerlukan

waktu maksimal 2 bulan untuk penyelesaiannya, kecuali kasus-kasus yang bersifat

komplek, seperti kasus warisan. Pernyataan ini juga didukung oleh Instruksi Mahkamah

Agung Nomor 1 Tahun 1969, untuk menyelesaikan sebuah kasus. Apabila melewati limit

waktu tersebut, maka hakim harus menjelaskan perihal keterlambatan penyelesaian kasus

tersebut.

Namun, realitanya masih banyak kasus yang diselesaikan dalam kurun waktu

yang cukup panjang, sehingga merugikan kepentingan hukum para pencari keadilan.

Page 4: marsel

4

Padahal, di tahun 1970-an, E.M. Weseling Van Gent, telah mengemukakan perihal

“algemene begisleven van behoorlijk processrecht”6, yang salah satu pokok pikirannya

adalah bahwa suatu proses peradilan harus menganut asas “beslissing redelijk termijk”.7

Maksud asas beslissing binnen redelijk termijk, adalah bahwa putusan terhadap

sebuah kasus harus diberikan dalam tenggang waktu yang pantas. Kata dalam tenggang

waktu yang panttas harus dapat diinterpretasikan secara proporsional, agar tidak

menimbulkan pemahaman yang pluralistic. Secara sederhana mugkin dapat dikatakan,

bahwa tenggang waktu yang pantas tersebut identik dengan batas maksimal penyelesaian

suatu perkara, tentunya dengan mempertimbangkan kompleksitas perkara yang diperiksa.

Konsekuensinya, keterlambatan penyelesaian suatu kasus, tidak dikatakan hanya

merupakan kesalahan aparat terkait. Keterlambatan tersebut bisa saja terjadi karena

kurangnya fasilitas yang tersedia di institusi tersebut, atau tidak sebandingnya jumlah

majelis hakim dengan perkara atau kasus di Pengadilan Agama, atau kerana faktor

lainnya.

Untuk itu, penulis merasa berkepentingan untuk mengadakan penelitian terhadap

permasalahan tersebut, dalam sebuah karya ilmiah dengan judul: “PROSES LITIGASI

DI PENGADILAN AGAMA ANALISA TERHADAP UU NO 7 / 1989 PASAL 57 (3)”

(STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA PANYABUNGAN).

B. Rumusan Masalah

6 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), h. 2417 Ibid, h. 422

Page 5: marsel

5

Dalam menganalisa permasalahan yang dipaparkan terdahulu, penulis mermuskan

permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi objektif Pengadilan Agama Panyabungan?

2. Bagaimana panduan ideal beracara di Pengadilan Agama, sesuai dengan tuntutan

pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (yaitu Peradilan dilakukan

dengan sederhana, cepat dan biaya ringan)?

3. Apakah pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sudah diterapkan

di Pengadilan Agama Panyabungan?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitan

Adapun tujuan utama penulis meneliti permasalahan ini, adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana kondisi objektif Pengadilan Agama Panyabungan.

2. Untuk mengetahui bagaimana panduan ideal beracara di Pengadilan Agama,

sesuai dengan tuntutan pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.

(yaitu Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan)

3. Untuk mengetahui apakah pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

sudah diterapkan di Pengadilan Agama Panyabungan.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian adalah:

1. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar SHI di Badan Layana Umum Sekolah

Tinggi Agama Islam (BLU-STAI) Mandailing Natal.

2. Untuk memberikan pemahaman baru terhdap permsalahan mengenai hak asuh

anak akibat pembatalan perkawinan menurut perspektif hukum islam.

Page 6: marsel

6

3. Untuk menembah sumbangan pemikiran pada khasanah ilmu pengetahuan dalam

hukum islam.

D. Kerangka Pemikiran

Sebagaiman diungkapkan sebelumnya, bahwa kelahiran Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, merupakan tindak lanjut dari pasal 12 Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.8 Namun

bukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970-an yang menghendaki sebuah hukum

acara khusus bagi Pengadilan Agama. Jauh sebelumnya, para pendiri Negara tercinta ini

(founding fathers) telah menggariskannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai

landasan konstitusional bangsa.

Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi:

“Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang”,9

mensinyalir perlunya dibuat Undang-Undang khusus yang mengatur tentang hukum acara

badan-badan kehakiman tersebut, dalam konteks ini Pengadilan Agama.

Setalah melalui perjuangan yang keras dan proses penggodokan yang cukup lama di

DPR, akhirnya disyahkan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pada

tanggal 29 Desember di Jakarta mengenai proses pemerikasaan di Pengadilan Agama.

Meskipun demikian, ironisnya masih saja terjadi pelanggaran terhadap hukum

formil Pengadilan Agama yang dilakukan oleh para populasi di Pengadilan Agama.

Sebagai contoh, sebuah kasus pernah diperiksa hanya oleh dua orang Hakim saja.

Menurut hukum formil peradilan manapun, tindakan ini telah melanggar dan menodai

asas-asas beracara di Pengadilan.

8 W.J.S. Purwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka), h. 39-409 Peter Salim dan Yenni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Modern English

Press, 1991), h. 61

Page 7: marsel

7

Mengapa fenomena ini masih terjadi dalam lingkungan peradilan yang dikawal oleh

undang-undang yang megatur tentang proses beracara di Pengadilan? Inilah pertanyaan

besar yang perlu dijawab secarra akurat.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilihat kembali pendaat para pakar

hukum yang menjelaskan tentang kelemahan-kelemahan proses litigasi, sehingga

membuka peluang terjadinya pelanggaran hukum formil yang diterapkan di lembaga-

lembaga peradilan termsuk Peradilan Agama.

John J. Cound, seorang pakar hukum dari Amerika Serikat mengatakan bahwa:

Court of highly structured institution trained representatives (lawyers) present arguments

for their clients vefore a factfindign (judge) and of course, a xourt’s decisions are

enforced by the state. But the formality that’s characteristic have led some to conclude

that in manya cases court are not the best available dispute resolution forum.10

Artinya, pengadilan merupakan lembaga yang sangat tertata rapi yang secara tehnis

melatih para wakil (pengacara) untuk mempresentasikan argumen-argumen bagi klien

mereka sebelum penemuan fakta oleh hakim. Dan tentunya keputusan-keputusan

pengadilan tersebut ditegakkan oleh Negara. Namun formalitas yang merupakan

karakteristik dari pengadilan dapat menimbulkan kerugian. Kerugian-kerugian ini

mengarahkan sebagian masyarakat untuk menyimpulka bahwa pengadilan bukan

merupakan forum penyelesaian perkara yang terbaik dalam banyak kasus.

Pokok pikiran pendapat John J. Cound tersebut terletak pada kalimat “namun

formalitas yang merupakan karakteristik pengadilan, terkadang dappat menimbulkan

kerugian”. Dalam konteks ini, maksud formalitas adalah proses penyelesaian perkara

10 Amir Syarifuddin dan Harun Al-Rasyid, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Pemerintah Tentang Badan-Badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989), h. 162

Page 8: marsel

8

berlangsung. Formalitas terssebut dilaksanakan dimulai dari cara mengajukan tuntutan

hak, bagaimana bersikap selama proses pemerisaan perkara berlangsung sampai tahap

akhir pelaksanaan putusan. Efek yang ditimbulkan oleh realita tersebut langsung

bermuara pada panjangnya jangka waktu yang diperlukan untuk melaksanakan formalitas

tersebut, dan juga sekaligus berppengaruh pada besarnya dana yang harus dikeluarkan

selama proses tersebut berlangsung.

M. Yahya Harahap, seorang pakar hukum Indonesia, memiliki perspektif yang

berada dalam memafarkan kelemahan-kelemahan proses litigasi. Ia berpendapat bahwa

sistem litigasi sangat potennsial dalam memperlambat penyelesaian perkara. Potensi

tersebut terletak pada ketidakmampuan sitem litigasi untuk memperkecil, apalagi

melenyapkann penggunaan upaya hukum yang diselimuti oleh I’tikat buruk.

Hal ini terlihat dalam pengajuan banding dan kasasi bahkan peninjauan kembali

yang telah menjadi trend. Akibatnya, masyarakat pencari keadilan dijangkiti sikap

irasional. Mereka tidak lagi mempersoalkan apakah ptutusan yang dijatuhkan benar dan

adil, kekalahan dianggap sebagai ketidak adilan. Oleh karena itu, segala itu upaya hukum

yang dibenarkan undang-undang dimanfaatkan.11

F. Hipotesis

Berdasarkan data awal penulis tentang masalah ini, penulis berhipotesis bahwa

pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menghendaki terlaksananya

11 Ibid, h. 20

Page 9: marsel

9

peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan belum terlaksana secara baik di

Pengadilan Agama Panyabungan.

G. Metode Penelitian

1. Objek dan Bidang keilmuan

Objek penelitia ini adalah hukum Acara Pengadilan Agama yang tertuang dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, khususnya pasal 57 ayat 3 dan aplikasinya di

Peradilan Agama.

2. Jenis dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan, dalam penyelesaian proposal ini adalah penelitian

lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan empirik (empirical

approach).

3. Data dan Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data yang berkaitan dengan kondisi

objektif Pengadilan Agama Panyabungan dan panduan ideal proses litigasi sesuai

denan pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.

Adapun sumber data kahian ini adalah sebagai berikut:

a. Sumber data primer, dokumentasi data perkara yang disidangkan dan yang

diputus di Pengadilan Agama Panyabungan Tahun 2010/2011 (pertama karena

dianggap sudah bisa mewakili tahun sebelumnya, kedua karena mudah untuk

didapatkan juga memudahkan ingatan bagi para hakim, panitera terhadap kasus

yang mereka tangani).

b. Sumber data skunder, panduan proses pemeriksaan perkara Pengadilan.

Page 10: marsel

10

c. Sumber data tertier, berupa Kamus dan Ensiklopedia.

4. Instrumen Pengumpulan Data

Teknis analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

(interview), observasi dan literatur pendukung yang relevan.

5. Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis

deskriptif dan kualitatif.

6. Penyajian Data

Data yang telah dikumpulkan untuk menyelesaikan proposal ini disajikan secara

deskriptif analitis.

7. Metode Penulisan

Dalam konteks metode penulisan, penulis berpedoman pada pedoman penulisan

proposal yang dianjurkan oleh Jurusan Muamalat STAIM Panyabungan.

G. Sistematika Pembahasan

Page 11: marsel

11

Untuk membahas penyajian ini secara sistematis, penulis akan membaginya

menjadi beberapa bab, yang dalam tiap babnya terdiri dari beberapa sub bab. Adapun

sistematika pembahasan kajian ini adalah sebagai berikut:

Bab I merupakan bagian pendahuluan yang menguraikan mengenai latar

belakang, perumusan masalah, batasan istilah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran,

hipotesis, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II, merupakan Kajian Teori, yang meliputi; pengertian litigasi, dasar hukum

litigasi, kondisi objektif di Pengadilan Agama, pengertian beracara dengan sederhana,

cepat dan biaya ringan.

Bab III, merupakan Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang meliputi; Proses

beracara di Pengadilan Agama Panyabungan, Analisis terhadap litigasi dalam

menyelesaikan suatu perkara di Pengadilan Agama Panyabungan apakah sudah sesuai

dengan Pasal 57 Ayat 3 UU NO 7 Tahun 1989

Bab IV, merupakan Penutup, yang berisi tentang kesimpulan mengenai masalah

litigasi di Pengadilan Agama Panyabungan, serta saran yang berguna untuk masukan

kepada penulis.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Page 12: marsel

12

Amir Syarifuddin dan Harun Al-Rasyid, Himpunan Perundang-Undangan Dan

Peraturan Pemerintah Tentang Badan-Badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta :

Ghalia Indonesia, 1989)

Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Peradilan Agama di Indonesia,

(Medan : IAIN Press, 1995)

Peter Salim dan Yenni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Modern

English Press, 1991),

R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta :PT. Pradnya Paramita,

1978)

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1992),

Sudikno Metokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1993),

W.J.S. Purwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka),

William Christian Van den Berg, Reception in Complexa, lihat Sajuti Thalib, Receptio

Acontario Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Bina

Aksara, 1985)