manajemen transparansi dalam budaya jawa_0

Upload: velda-yanuar

Post on 18-Jul-2015

96 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MANAJEMEN TRANSPARANSI DALAM BUDAYA JAWA

Oleh: Purwadi*

Abstract This research describes about transparency management in Javanese culture which related with modern organization system. Historically Javanese society have colective experience in government management, since the ancient Mataram era untill contemporary now. Javanese people always use local wisdom in the form ethics or wulang wuruk. There are many symbolic values which has to understand by anyone in a recent community. This orientation is an equilibrium of life between traditional and global view. Javanese culture is a part of world community. A long time ago, Javanese culture had contributed to value of humanity and philosophy development. There are literatures and arts created by Pujangga Jawi that full good principles of life. Sastra piwulang such as Serat Sutasoma, Centhini, Wedhatama, Wulangreh, Kalatidha, Sabdatama, Sabdajati, Sasana Sunu, Wulangputri, give guidance to everyone, another to do harmony among social interaction .

Keyword: social interaction, harmony, traditional

A. Pendahuluan Reformasi telah berlangsung di Indonesia sejak runtuhnya Orde Baru. Buah dari gerakan tersebut telah kita rasakan hasilnya yakni masyarakat demokratis yang sadar akan Hak Azasi Manusia (HAM) dan pentingnya menjaga ekologi. Sumbu-sumbu dan saluran-saluran politik telah terbuka lebar bahkan tampak euforia di sana-sini. Masyarakat menuntut

kepemimpinan yang demokratis dengan ciri dipilih berdasar aspirasi

1

terbanyak, menjaga kepentingan mayoritas maupun minoritas dan manajemen yang transparan. Dalam hal manajerial, kepepimpinan harus dapat diaudit oleh publik dengan menerapkan pola manajemen yang transparan. Manajemen yang transparan artinya manajemen yang mengutamakan kejujuran, keterbukaan dan akuntabilitas publik.1 Namun, apakah sesungguhnya manajemen kepemimpinan yang transparan baru terjadi semenjak reformasi? Adakah sistem kepemimpinan tradisional di Indonesia yang telah menerapkan pola kepemimpinan yang terbuka, siap mendapat kritik dan koreksi dari publiknya? Untuk menjawab pertanyaan di atas, makalah ini akan mencoba menengok pengalaman historis-sosiologis masyarakat Jawa. Bagaimanakah sistem manajemen yang menyangkut aspek transparansi kepemimpinan tradisional masyarakat yang tinggal di bagian tengah dan timur pulau Jawa itu? Ungkapan-ungkapan Jawa yang terpantul dalam kehidupan sehari-hari merupakan kristalisasi dari kearifan lokal yang masih relevan bila digunakan untuk memahami konsep organisasi mutakhir. Dengan demikian pembahasan sistem manajemen transparansi ini berpijak pada akar nilai budaya tradisional.

B. Masyarakat Jawa Konsep masyarakat Jawa dalam tulisan ini mengacu pada pemikiran Magnis Suseno, bahwa masyarakat Jawa adalah mereka yang bahasa ibunya bahasa Jawa dan tidak terikat secara penuh secara geografis dengan Pulau

1

Lorent Bagus, 2000. Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia, hal : 233.

2

Jawa.2 Magnis Suseno menjelaskan bahwa di antara pemakai bahasa Jawa, dapat dibedakan antara mereka yang secara sadar hidup sebagai orang Jawa, dan mereka yang meskipun menamakan diri sebagai orang Jawa, namun secara kultural lebih ditentukan oleh budaya nasional. Di Pulau Jawa semula terdapat empat jenis bahasa yang berbeda. Penduduk asli Jakarta berbicara dalam suatu dialek bahasa Melayu yang biasa disebut Melayu-Betawi. Jawa Barat bagian tengah dan selatan digunakan bahasa Sunda, sedangkan Jawa Timur bagian utara dan timur digunakan oleh imigran dari Madura yang tetap menggunakan bahasa Madura. Adapun di bagian Jawa lainnya orang berbicara bahasa Jawa. Namun demikian, bahasa Jawa yang digunakan di daerah dataran rendah pesisir utara Jawa Barat dari Banten sampai Cirebon, bukanlah bahasa Jawa yang sebenarnya. Bahasa Jawa yang sebenarnya digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa, walaupun di wilayah-wilayah itu juga hidup bukan masyarakat Jawa.3 Dari aspek kebudayaan Jawa, masih dibedakan antara penduduk pesisir utara yang banyak dipengaruhi kebudayaan Islam, sehingga menghasilkan kebudayaan Jawa yang khas, yakni kebudayaan pesisir, dan daerah-daerah pedalaman, yang sering disebut kejawen, dengan pusat budaya dari kota kerajaan yakni Surakarta dan Yogyakarta, di samping karesidenan Banyumas, Kedu, Madiun, Kediri, dan Malang.

3

Pengalaman kolektif masyarakat Jawa dalam hidup berbangsa dan bernegara sudah berlangsung sangat lama. Sejak berdirinya kerajaan Mataram Hindu abad VII Masehi, kemudian disusul dengan munculnya Agama Buddha yang dipelopori Dinasti Syailendra, masyarakat Jawa semakin aktif dalam menjalin komunikasi, diplomasi dan interaksi dengan bangsa lain.4 Prinsipprinsip dasar tentang organisasi dan manajemen berarti juga telah dikenal, demi terciptanya tata kehidupan yang harmonis. Pada masa pemerintahan Empu Sindok, pusat pemerintahan Mataram Hindu berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur di sekitar aliran sungai Brantas.5 Dapat dipahami bahwa Kali Brantas merupakan sarana lalu lintas yang penting bagi pelayaran dan perdagangan. Empu Sindok merupakan pelopor dan peletak dasar bagi perkembangan sejarah kerajaan-kerajaan yang berdomisili di wilayah Jawa Timur. Kerajaan Medang, Kahuripan, Kediri, Singosari, dan Majapahit berhutang budi pada Empu Sindok atas jasa-jasanya yang telah membangun pondasi dan struktur sosial yang kokoh. Setelah riwayat kerajaan-kerajaan di Jawa Timur berakhir lantas peranannya dimainkan oleh Kasultanan Demak Bintara yang membawa misi dakwah Islamiyah.6 Dengan dukungan penuh Wali Sanga, Kasultanan Demak menyebarkan agama Islam dengan pendekatan akulturasi budaya.7 Budaya asli Jawa yang sudah mendapat pengaruh Hindu Buddha diolah sedemikian rupa, sehingga dakwah Islamiyah tersebut tidak menimbulkan kegoncangan di4

Dwiyanto, 2003. Kehidupan Sosial Politik di Jawa Tengah Pada abad VII-IX. Yogyakarta: Matapena, hal. 34 5 Zoetmulder, 1986. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta, Gramedia, hal. 18 6 Poerbatjaraka, 1952. Kapustakan Jawi. Jakarta: Djambatan, hal 58 7 Zarkasi, 1978. Nilai Islam dalam Seni Pewayangan. Jakarta, Depag, hal. 42

4

tengah masyarakat. Tradisi ini terus dilanjutkan oleh kerajaan Islam berikutnya yaitu Kasultanan Pajang, Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Pada masa itulah masyarakat Jawa mencapai titik-titik puncak kejayaannya. Istilah Jawa pada makalah ini mengacu pada komunitas manusia yang tinggal di pulau Jawa, menggunakan bahasa Jawa, dan kurun rentang waktu zaman kerajaan tersebut.

C. Konsep Kepemimpinan Dalam kitab Paramayoga karya R.Ng. Ranggawarsita, seorang pujangga istana Kraton Surakarta Hadiningrat, disebutkan konsep serta atribut yang melekat pada diri raja Jawa.8 Dijelaskan bahwa raja adalah narendra gung binathara, mbahu dhendha nyakrawati, ambeg adil paramarta, mamayu hayuning bawana. Artinya, raja besar laksana dewata dari kahyangan yang memegang hukum dan pemerintahan, senantiasa bersikap adil serta kasih sayang, dan membuat aman tenteram dunia.9 Pernyataan di atas sesungguhnya mengandung keseimbangan dalam tata kehidupan masyarakat. Memang raja dalam melaksanakan tugas diberi kekuasaan penuh, yaitu narendra gung binathara, mbahu dhendha nyakrawati. Begitu besar kekuasaannya seolah-olah dia mempunyai wewenang seperti dewa. Kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif semua berada dalam genggaman tunggal yang tidak terbagi. Kalau dipikir sampai di sini saja, maka akan ada tafsiran bahwa kekuasaan raja tampak otoriter,

8 9

Karhono, 1982. Serat Paramayoga. Jakarta, Balai Pustaka, hal 76 Darsiti, 1991. Kehidupan Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta, Taman Siswa, hal 4

5

absolut dan cenderung bisa menyalahgunakan wewenang. Akan tetapi, hak raja itu juga diimbangi dengan kewajiban yang tidak ringan agar terwujud sebuah tertib sosial.10 Raja mesti mempunyai sifat ambeg adil paramarta, yaitu menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, dengan pertimbangan akal sehat, belas kasih serta kejujuran dan terbuka terhadap kritik.11 Kepastian hukum dalam bernegara akan mendorong tiap-tiap individu untuk bertindak tertib sesuai dengan norma dan kaidah yang telah disepakati bersama. Dalam pepatah Melayu populer dengan ungkapan raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Dalam menegakkan keadilan itu pula raja wajib menggunakan hati nurani dan nilai kemanusiaan. Dari sinilah model keterbukaan dan kejujuran dalam kepemimpinan raja dapat dilacak asal-usulnya. Satu contoh, demi kejujuran dan keterbukaan ini, Sunan Paku Buwana IV di Kraton Surakarta memberi ajaran kepemimpinan melalui Serat Wulangreh.12

Narendra pan tan darbe garwa miwah sunu, bahwasanya raja

secara hakiki tidak memiliki istri dan anak. Secara eksplisit Sunan Paku Buwana IV membedakan antara raja sebagai institusi dan raja sebagai pribadi. Narendra sanyata kagungane wong sanagara, maksudnya raja itu sepenuhnya dimiliki oleh semua warga negara. Oleh karena itu anak istri para bangsawan harus diperlakukan sama dengan warga lainnya, sebagai manifestasi dari prinsip transparan-egalitarian.

10 11

Soemarsaid, 1984. Tata Negara dan Konsep Bina Negara di Jawa. Jakarta, Obor, hal 63 Moerdjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa dan Penerapannya oleh Raja Mataram. Yogyakarta, Kanisius, hal 124 12 Harsono, 2005. Tafsir Serat Wulangreh. Yogyakarta, Pura Pustaka, hal 136

6

Seni pedalangan wayang purwa pada awal pertunjukan senantiasa menceritakan hak dan kewajiban raja.13 Unsur keadilan mendapat perhatian yang cukup utama. Jangankan keluarga, anak, istri serta aparatnya, kalau sang raja sendiri melakukan kesalahan tentu akan dihukum juga, lamun nandhang cidra lan luput, sayekti den sempal-sempal bahu kanan keringe. Artinya jika raja bersalah maka tangan kiri kanannya akan dipenggal-penggal pula. Contohnya adalah Ratu Sima dari kerajaan Kalingga yang menghukum putra mahkota karena melakukan kesalahan mencuri emas.14 Narendra wenang paring pidana lan paring ganjaran, raja memang bertugas menghukum orang yang bersalah dan bagi yang berjasa pada negara diberi hadiah serta penghargaan. Berkaitan dengan konteks pergaulan internasional, raja Jawa

diamanatkan untuk ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi. Di sinilah makna dari mamayu hayuning bawana. Alinea terakhir UUD 1945 yang telah dipelopori oleh para founding fathers kita sesungguhnya merupakan kontinuitas dan kristalisasi nilai bangsa yang telah mengakar selama ribuan tahun.15 Cita-cita proklamasi yang memuat etika diplomasi tersebut bersifat historis dan kultural, sehingga tetap relevan dan mendapat dukungan yang luas.

13

Siswoharsoyo, 1957. Pakem Pedhalangan Lakon Wahyu Purba Sejati. Yogyakarta, Soedolayu, hal 17 14 Poesponegoro, 1982. Sejarah Nasional Jilid II. Jakarta, Depdikbud, hal 37 15 Notonagoro, 2003. Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta, Kinta, hal 47

7

D. Transparan : Konsistensi Perkataan dan Perbuatan Model kepemimpinan transparan dalam masyarakat Jawa ditandai dengan konsistennya antara perkataan dan perbuatan. Antara apa yang diucapkan dan yang dilakukan seorang raja harus dapat dicontoh oleh orang senegara. Masyarakat Jawa menyebut ajaran moral dengan istilah pepali, unggah-ungguh, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga prayoga, wewaler, dan pitungkas. Orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan papan, menempatkan diri dalam hal unggah-ungguhing basa, kasar alusing rasa, dan jugar genturing tapa. RMP Sosro Kartono, kakak kandung RA Kartini merumuskan ajaran moralnya dengan ungkapan anteng meneng sugeng jeneng.16 Pesan-pesan moral dalam masyarakat Jawa disampaikan lewat media seni, dongeng, tembang, pitutur, piweling para orang tua secara turuntemurun. Hal ini bisa dilacak dengan banyaknya sastra piwulang. Ungkapan tradisional seperti sing becik ketitik sing ala ketara, titenana wong cidra mangsa langgenga dan sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti menunjukkan bahwa eksistensi dan esensi moralitas dijunjung tinggi dalam budaya Jawa. Kebanyakan agama yang universal juga mengajarkan sikap hormat terhadap kehidupan manusia. Dalam Islam dianjurkan praktek agama dengan rahmatan lil alamin. Sedangkan dalam budaya Jawa dikenal memayu

16

Damardjati, 1993. Nawangsari, Yogyakarta, Manggala, hal 86

8

hayuning bawana, yang berarti ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian dan keadilan abadi. Dalam budaya Jawa pandangan hidup lazim disebut ilmu kejawen atau yang dalam kesusasteraan Jawa dikenal pula sebagai ngelmu kasampurnan. Wejangan tentang ngelmu kasampurnan Jawa ini termasuk ilmu kebatinan atau dalam filsafat Islam disebut dengan tasawuf atau sufisme. Orang Jawa sendiri menyebutkan suluk atau mistik. Kejawen itu sebenarnya bukan aliran agama, tetapi adat kepercayaan, karena di sana terdapat ajaran yang berdasarkan kepercayaan terhadap Tuhan, yang lebih tepat lagi disebut pandangan hidup atau filsafat hidup Jawa. Kalangan kasepuhan Jawa gemar sekali mendiskusikan makna yang terkandung dalam serat Witaradya.17 Moralitas kepemimpinan seorang raja disusun dalam bentuk metrum tembang gedhe yang penuh dengan nilai logika, etika dan estetika. Syair-syairnya mudah dihafalkan dan sering dijadikan suluk oleh para dhalang dalam pentas wayang purwa. Tidak mengherankan apabila penyebaran nilai-nilainya berhasil menerobos alam perkotaan, pedesaan dan pegunungan. Konsistensi antara perkataan dan perbuatan seorang raja menjadi suri tauladan serta rujukan bagi seluruh rakyatnya. Sabdane narendra warata sanagara, ucapan raja itu akan menyebar dan pasti menjadi referensi sekalian negeri. Ucapan seorang raja tidak boleh diobral di sembarang tempat. Secara

17

Damardjati, 2001. Mawas Diri. Yogyakarta, Philosophy Press, hal 205

9

utuh kutipan Serat Witaradya karya R.Ng. Ranggawarsita itu demikian bunyinya:18 Dene utamining nata Ber budi bawa laksana Lire ber budi mangkana Agung nggennya paring dana Anggeganjar saben dina Lire kang bawa laksana Anetepi pangandika

Terjemahan: Adapun keutamaan raja Adalah ber budi bawa laksana Makna ber budi tersebut Besar dalam memberi ganjaran Beramal setiap hari Sedangkan maksud bawa laksana Menepati janji perkataan

Prinsip ber budi berkait erat dengan aspek finansial, fasilitas dan kemurahan raja. Sebagai pemegang puncak eksekutif, raja dapat melakukan distribusi sumber daya alam. Sektor-sektor ekonomi harus dikelola dengan benar, supaya tidak ada monopoli. Raja berkewajiban menjaga keseimbangan ekonomi dalam negaranya. Pelaku ekonomi kuat jangan sampai mematikan pelaku ekonomi yang lemah. Maka segala bentuk penindasan dan pelanggaran harus dicegah oleh raja beserta aparatnya.19 Bagi para praktisi bisnis yang berprestasi sudah lumrah kalau mendapat reward dan penghargaan yang memadai. Bentuknya bisa bermacam-macam. Misalnya dengan menekan jumlah pembayaran pajak, pengucuran kredit lunak

18 19

Damardjati, Ibid. hal 28 Karhono, Ibid. hal 54

10

dan perlindungan usaha.

Semua bisa dilakukan raja,

tanpa harus

mengorbankan kelompok lain. Manifestasi dari konsep ber budi sebenarnya bisa dipraktekkan dengan lebih kreatif dan produktif. Untuk itu seorang raja diharuskan agar landhep panggraita, tanggap cipta sasmita, yaitu memiliki sensibilitas yang tinggi, kapasitas yang unggul serta responsibilitas atas segala perubahan yang terjadi dalam masyarakat.20 Konsep bawa laksana menyangkut konsistensi antara pikiran, ucapan dan perbuatan. Pikiran yang kritis dan analitis diperlukan raja sebagai pimpinan pemerintahan untuk memecahkan problematika sosial yang datang silih berganti, nuting jaman kelakone. Peta pemahaman yang benar atas situasi sosial pada diri sang raja sangat vital, karena disekitarnya terdapat berbagai kepentingan yang berbeda, bahkan kadangkala saling bertabrakan. Posisi sentral raja merupakan ekuilibrium antara pemimpin dengan rakyat, manunggaling kawula gusti.21 Sabda yang dititahkan oleh raja dinilai oleh bawahannya sebagai perintah. Ada lagi yang menganggapnya sebagai hukum yang tak terbantahkan. Oleh karena itu sebelum sabda raja menyebar ke ranah publik, maka sudah selayaknya kalau digodok dan dibicarakan terlebih dahulu bersama dengan para pujangga dan cerdik cendekia. Tujuannya agar masyarakat mendapat kepastian dan ketenangan.

20 21

Suyamto, 1992. Etika Bawa Laksana. Semarang, Dahara Prize Damardjati, Ibid. hal 86

11

E. Kearifan Lokal dalam Kepemimpinan Modern Modal kita sebagai bangsa tiada lain adalah nilai-nilai tradisi yang telah mengakar sejak nenek moyang kita. Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, kiranya bukanlah bangsa yang muncul tibatiba dari langit. Mereka bangkit dari kesadaran sejarah dan budaya para pendahulu yang telah mendiami tanah air ini berabad-abad lamanya. Oleh karena itu, dalam membangun Indonesia pada masa mendatang, jika tidak menengok kepada kearifan lokal, kita akan tercerabut dari akar budaya dan akan mengalami disorientasi. Demikian pula dalam mewujudkan

kepemimpinan bangsa masa depan yang memiliki kapabilitas, akuntabilitas dan kredibilitas. Masyarakat Jawa telah mengenal idiom kepemimpinan becik ketitik ala ketara. Artinya segala perbuatan seorang pemimpin yang baik pasti ketahuan dan yang jahat pasti terlihat. Hal ini merupakan pengakuan sosial terhadap kebenaran hukum sebab akibat. Oleh karena itu, siapapun yang menjadi pemimpin harus bertindak secara transparans dan terbuka dalam mengemban amanat rakyat, agar tidak terjebak dalam popularitas semu. Penghayatan atas idiom populer ini memudahkan serta mendorong seseorang untuk berbuat transparan dalam manajemen. Tanpa ada kontrol secara langsung, pihak-pihak yang akan melakukan pelanggaran pasti hatinya gelisah. Suara hatinya mencegah untuk berbuat yang kurang terpuji. Meskipun orang lain tidak mengetahui, tetapi hati sanubarinya tidak dapat ditipu. Maka dengan sendirinya niat baiklah yang akan dimenangkan serta dipraktekkan.

12

Nilai kearifan lokal Jawa lainnya yaitu ngundhuh wohing pakarti, orang akan memetik buah perbuatannya. Sing nandur becik bakal becik undhuhundhuhane, sing nandur ala bakal ala undhuh-undhuhane. Barang siapa menanam kebaikan maka kebaikan pula buahnya, barang siapa menanam keburukan maka keburukan pula buahnya. Seorang pemimpin yang selalu memikirkan kepentingan rakyatnya, pasti dicintai oleh orang banyak. Sebaliknya apabila pemimpin bertindak curang dan mengutamakan

kepentingan diri sendiri, pasti lambat laun akan terjadi pergolakan. Tidak jarang dari pergolakan yang sifatnya kecil dan spontanitas lantas menjadi pemberontakan yang banyak makan korban. Rakyat memang tajam pendengarannya, sehingga pasti tahu setiap gerak-gerik pemimpinnya.22 Pada level tertentu, penilaian masyarakat kepada pemimpin yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan saran yang baik, memunculkan ungkapan yang penuh dengan ancaman. Contohnya ungkapan titenana wong cidra mangsa langgenga, ketahuilah bahwa semua jenis pengkhianatan umurnya tidak akan lama. Sejarah banyak mencatat para pemimpin yang berkhianat sehingga akhirnya tidak selamat. Berbeda dengan tokoh berhati mulia, meskipun sudah tiada tetap dipuja sepanjang masa. Rakyatnya mikul dhuwur mendhem jero, mengenang terus segala kebaikan dan jasa-jasanya. Perlu diingat pula ajaran dhalang kondhang Ki Nartosabdo dalam lagunya Aja Lamis yang berarti jangan dusta.23 Dusta, bohong atau munafik adalah sikap yang kurang terpuji. Kepercayaan akan sirna bila sering dusta.22 23

Sunoto, 1982. Filsafat Nusantara. Yogyakarta, Liberty, hal 28 Bimaputra, 1995. Lagu Pilihan Karya Nartosabdo. Surakarta, Cendrawasih, hal 32

13

Pepatah mengatakan: sekali lancung ke ujian, Selamanya orang tak akan percaya. Begitu pentingnya menjaga amanat, Ki Nartosabdo memberi peringatan dalam tembang Aja Lamis : Aja sok gampang janji wong manis yen ta amung lamis becik aluwung prasaja nimas, ora agawe gela tansah ngugemi janjimu wingi jebul amung lamis kaya ngenteni thukule jamur ing mangsa ketiga aku iki prasasat lara tan antuk jampi mbok aja amung lamis kang uwis dadine banjur titis akeh tuladha kang dhemen cidra uripe rekasa milih sawiji endi kang suci kanggo bisa mukti Terjemahan : Jangan suka prasetia kalau hanya dusta terbuka saja daripada bikin kecewa senantiasa pegang janjimu ternyata bohong belaka ibarat menunggu cendawan di musim kemarau ibarat aku sedang sakit tiada dapat obat janganlah suka dusta yang sudah biarlah untuk belajar banyak teladan yang suka cidera hidupnya sengsara milih satu mana yang suci untuk bisa bahagia Kehormatan dan kepercayaan harus dijaga supaya orang lain tidak

merasa dikecewakan. Sekali orang berkhianat, orang lain sulit sekali memberi kepercayaan kembali. Orang yang suka lamis atau munafik lama-kelamaan

14

akan dijauhi relasi kerjanya. Sebuah manajemen organisasi akan rusak solidaritas para anggotanya manakala sudah terjadi lamis atau kemunafikan. Seseorang dalam melakukan kecurangan dan tidak transparan dalam manajemen kebanyakan disebabkan karena sifat munafik atau lamis. Diterangkan pula akeh tuladha kang dhemen cidra uripe rekasa, banyak contoh manusia yang berbuat tercela hidupnya menjadi sengsara. Pada akhir syair karangan Ki Nartosabdo itu tertera milih sawiji endi kang suci, tanggung bisa mukti, lebih baik satu tekad yang bulat dan berhati suci untuk memperoleh ketentraman hidup yang abadi.

F. Penutup Manajemen kepemimpinan yang transparan memiliki kapabilitas, kredibilitas dan akuntabilitas yang teruji di depan publik. Manajemen kepemimpinan ini telah maujud dalam masyarakat Jawa yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Kejujuran, keterbukaan dan kesiapan seorang pemimpin untuk menerima kritik dari rakyat, bukan barang baru bagi masyarakat Jawa. Kata-kata mutiara Jawa yang diciptakan oleh para pujangga merupakan kristalisasi nilai kearifan lokal yang sudah diuji dalam lintasan sejarah peradaban. Masyarakat pendukungnya menjadikan pitutur luhur, wulang wuruk dan wejangan wedharan sebagai tuntunan hidup.24 Tujuan utamanya adalah memperoleh keselarasan sosial yang membuat suasana sejuk, akrab,

24

Sunoto, Ibid. hal 63

15

bersahabat, aman dan damai lahir batin. Mereka lalu mengembangkan budaya sambang sambung srawung tulung tinulung dalam formula bebrayan agung atau keserasian dalam masyarakat. Tertib sosial yang dilandasi hukum agama dan negara dengan sendirinya memunculkan pola kepemimpinan yang berhubungan dengan aspek manajemen organisasi. Salah satu unsur yang menyebabkan sehatnya manajemen adalah tindakan transparan yang dilakukan oleh para

pengelolanya. Sikap transparan atau blak kotang terus terang, dapat menghindari salah paham atau saling curiga antara warga satu dengan warga lainnya. Dengan prinsip keterbukaan itu memungkinkan terjalinnya suasana kebersamaan yang menguntungkan semua pihak. Masing-masing individu merasa menjadi mitra kerja untuk mewujudkan cita-cita bersama.25 Budaya Jawa yang kaya dengan ajaran etis filosofis yang berkenaan dengan prinsip-prinsip dasar manajemen dapat digunakan sebagai kaca benggala atau refleksi dan referensi. Inventarisasi dan publikasi nilai kearifan lokal layak dilakukan untuk memperkaya perbendaharaan wacana manajemen mutakhir, sehingga tetap berpijak pada nilai-nilai tradisi yang telah mengakar dan menyejarah, yang masih dihayati oleh masyarakat Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

25

Damardjati, Ibid. hal 74

16

Bimaputra, 1995. Lagu Pilihan Karya Nartosabdo. Surakarta, Cendrawasih Ciptoprawiro, 1986, Filsafat Jawa, Jakarta, Balai Pustaka Damardjati, 1993. Nawangsari, Yogyakarta, Manggala _________, 2001. Mawas Diri. Yogyakarta, Philosophy Press Darsiti, 1991. Kehidupan Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta Dwiyanto, 2003. Kehidupan Sosial Politik di Jawa Tengah Pada abad VII-IX. Yogyakarta: Matapena Franz Magnis Suseno, 1988, Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. Harsono, 2005. Tafsir Serat Wulangreh. Yogyakarta, Pura Pustaka Karkono, 1982. Serat Paramayoga. Jakarta, Balai Pustaka Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Moerdjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa dan Penerapannya oleh Raja Mataram. Yogyakarta, Kanisius Notonagoro, 2003. Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta, Kinta Poerbatjaraka, 1952. Kapustakan Jawi. Jakarta: Djambatan Poesponegoro, 1982. Sejarah Nasional Jilid II. Jakarta, Depdikbud Siswoharsoyo, 1957. Pakem Pedhalangan Lakon Wahyu Purba Sejati. Yogyakarta, Soedolayu Soemarsaid, 1984. Tata Negara dan Konsep Bina Negara di Jawa. Jakarta, Obor Sunoto, 1982. Filsafat Nusantara. Yogyakarta, Liberty Zarkasi, 1978. Nilai Islam dalam Seni Pewayangan. Jakarta, Depag Zoetmulder, 1986. Kalagwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta, Gramedia.

BIOGRAFI PENULIS

17

DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra UGM yang ditempuh tahun 1990-1995, kemudian

melanjutkan pada Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh tahun 2001. Kini bekerja sebagai Dosen FBS Universitas Negeri Yogyakarta, Dosen Pasca Sarjana IAID Ciamis Jawa Barat, dan Dosen Universitas Widyagama Malang. Tinggal di Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta Telp 0274-881020.

18