manajemen
DESCRIPTION
jurnalTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepanjang tercatat dalam sejarah manusia, napza dipuja karena
manfaatnya bagi manusia tetapi sekaligus dikutuk karena efek buruk yang
diakibatkannya. napza alami sudah dikenal manusia sejak lebih dari lima
ribu tahun Sebelum Masehi (opium di Asia Kecil, ganja di China, daun
koka di Amerika Selatan, alkohol di Mesir dan Persia). Napza sintetik dan
semisintetik baru dikenal dalam sejarah sekitar satu sampai dua abad
yang lalu (barbiturate, 1903; benzodiazepine, 1957).
Dalam bidang kedokteran sebagian besar golongan napza masih
bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan
tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila
disertai peredaran di jalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi
individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.
Badan PBB UN, International Drug Control Program, menyatakan pada
tahun 2009 jumlah pemakai napza di seluruh dunia telah mencapai 180
juta orang dan setidaknya 100.000 diantara mereka meninggal setiap
tahun. Oleh karena itu penyalahgunaan napza ini sudah menjadi masalah
yang mengkhawatirkan bagi internasional.
Penyalahgunaan napza ini bukan hanya menjadi masalah internasional
melainkan juga telah menjadi masalah nasional, seperti pada Indonesia
penyalahgunaan napza telah mencapai situasi yang mengkhawatirkan,
dimana Indonesia bukan hanya menjadi “daerah transit” tetapi telah
menjadi “daerah pemasaran”, bahkan telah menjadi “daerah produsen”
bahan narkotika ini.2 Hal ini sangat memprihatinkan kita karena korban
penyalahgunaan napza di Indonesia semakin bertambah dari tahun ke
tahun, tidak hanya menyerang kaum muda saja tetapi juga golongan
1
setengah baya maupun golongan usia tua, tidak hanya di kota besar tetapi
sudah masuk kota-kota kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa,
tidak hanya oleh kalangan tertentu saja, tetapi sudah memasuki berbagai
profesi. Berdasarkan Badan Narkotika Nasional, pengguna narkoba tahun
2008-2009 jumlah pengguna narkoba tanah air mencapai 3,2 juta jiwa
atau sekitar 1,5% dari seluruh jumlah penduduk. Residen yang baru
diterapi hanya sekitar 7.000 orang terhitung sejak tahun 1985 – 2008 atau
rata-rata 300 orang per tahun.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta
tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu
masyarakat yang sedang dirawat di rumah sakit untuk meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang perawatan dan
pencegahan kembali penyalahgunaan napza pada klien. Untuk itu
dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan
klien penyalahgunaan dan ketergantungan napza (sindroma putus zat).
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Tujuan Umum
Mahasiswa memahami dan mampu melakukan asuhan
keperawatan terhadap pasien dengan penyalahgunaan napza.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa memahapi konsep mengenai napza
b. Mahasiawa mampu memeparkan farmakologi untuk adiksi
penyalahgunaan napza
c. Mahasiswa mampu memeparkan manajemen nyeri pada
penyalahgunaan napza
d. Mahasiswa mampu memaparkan rencana tidakan
keperawatan untuk pasien dengan penyalahgunaan napza
2
e. Mahasiswa mampu melakukan kperawatan kepada pasien
dengan penyalahgunaan napza.
1.3 Manfaat Penulisan
1. Penulis
Penulis dapat lebih memahami apa itu napza, bagaimana
farmakologinya untuk adiksi napza dan penatalaksaan asuhan
keperawatan napza pada manajemen nyeri penyalahgunaan napza.
2. Pembaca
Mengetahui dan memahami apa itu napza, bagaimana
farmakologinya untuk adiksi napza dan penatalaksaan asuhan
keperawatan napza pada manajemen nyeri penyalahgunaan napza.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan yang kelompok gunakan dalam penyusunan makalah
ini adalah pola deskripsi, yakni menggambarkan, memaparkan serta
menjelaskan kembali apa yang telah kelompok dapat dan telah kelompok
pelajari sebelumnya dari berbagai sumber yang telah kelompok padukan
menjadi satu rangkaian berdasarkan pemahaman kelompok, berdasarkan
study literature dalam blok
Ada pula metode penulisan untuk bahan sumber yang kami dapatkan
adalah sebagai berikut:
1. Mencari bahan di perpustakaan berdasarkan sumber yang sesuai
dengan materi
2. Mencari buku sumber yang sesuai dengan materi yang dibutuhkan
3. Mencari jurnal yang berhubungan dengan pembahasan
4. Mencari ke internet , dll
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Napza
2.1.1 Definisi Napza dan Narkoba
Menurut Habib Rachmad (2009).
Napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah
bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan
mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat,sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi
sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta
ketergantungan (dependensi) terhadap napza. Istilah napza
umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang
menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut
kesehatan fisik, psikis, dan sosial. napza sering disebut juga
sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga
menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.
Narkoba adalah singkatan Narkotika dan Obay/Bahan berbahaya.
Istilah ini sangat populer di masyarakat termasuk media massa
dan aparat penegak hukum yang sebetulnya mempunyai makna
yang sama dengan napza. Ada juga menggunakan istilah Madat
untuk napza Tetapi istilah Madat tidak disarankan karena hanya
berkaitan dengan satu jenis Narkotika saja, yaitu turunan Opium.
Napza adalah singkatan untuk narkotika,alkohol,psikotropika,
dan zat adiktif lain. Narkotika menurut farmakologi adalah zat
yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan membius
(opiat).Narkotika menurut UU RI no 22 tahun 1997 adalah
opiat,ganja dan kokain.
4
2.1.2 Rentan Respon Gangguan Penggunaan Napza
Menurrut Craven, Ruth (2005)Rentang respon gangguan
penggunaan NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang ringan
sampai yang berat, indikator rentang respon ini berdasarkan
perilaku yang ditampakan oleh remaja dengan ganggua
penggunaan zat adiktif sebagai berikut:
a. Respon adaptif
b. Respon maladaptive
c. Eksperimental Rekreasional Situasional Penyalahgunaan
ketergantungan
1) Eksperimental : Kondisi pengguna taraf awal,
yang disebabkan rasa ingin tahu dari remaja.
Sesuai kebutuhan pada masa tumbuh
kembangnya, ia biasanya ingin mencari
pengalaman yang baru atau sering pula dikatakan
taraf coba-coba.
2) Rekreasional : Penggunaan zat adiktif pada waktu
berkumpul dengan dengan teman sebaya.
Misalnya pada waktu pertemuan malam
mingguan, acara ulang tahun, Penggunaan ini
mempunyai tujuan rekreasi bersama teman-
temannya.
3) Situasional : Mempunyai tujuan secara individual,
sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri.
Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk
melarikan diri atau mengatasi masalah yang
dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat
pada saat sedang konflik stress dan frustasi.
4) Penyalahgunaan : Penggunaan zat yang sudah
cukup patologis, sudah mulai digunakan secara
5
rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi
penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam
peran di lingkungan sosial : pendidikan dan
pekerjaan.
5) Ketergantungan : Penggunaan zat yang sudah
cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan
psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan
adanya Toleransi dan Syndroma putus zat ; Suatu
kondisi dimana individu yang yang biasa
menggunakan zat adiktif secara rutin, pada dosis
tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan
atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan
kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang
digunakan, Sedangkan Toleransi ; suatu kondisi
dari individu yang mengalami peningkatan dosis
(jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang biasa
diinginkannya.
2.1.3 Penggolongan Napza
a. Narkotika (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun
1997 tentang Narkotika).
Narkotika : adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun
semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan. Narkotika dibedakan kedalam golongan-
golongan :
1) Narkotika Golongan I : Narkotika yang hanya
dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan,
dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai
6
potensi sangat tinggi menimbulkan
ketergantungan, (Contoh : heroin/putauw, kokain,
ganja).
2) Narkotika Golongan II : Narkotika yang
berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan
terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan (Contoh : morfin, petidin).
3) Narkotika Golongan III : Narkotika yang
berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan
dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan (Contoh : kodein).
Narkotika yang sering disalahgunakan adalah Narkotika
Golongan I :
1) Opiat : morfin, herion (putauw), petidin, candu,
dan lain-lain
2) Ganja atau kanabis, marihuana, hashis
3) Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun
koka.
b. Psikotropika (Menurut Undang-undang RI No.5 tahun
1997 tentang Psikotropika).
Psikotropika : adalah zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Psikotropika dibedakan dalam golongan-
golongan sebagai berikut :
1) Psikotropika golongan I : Psikotropika yang hanya
dapat digunakan untuk kepentingan ilmu
7
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi
serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. (Contoh
: ekstasi, shabu, LSD)
2) Psikotropika golongan II : Psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam
terapi, dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta
menpunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan . ( Contoh amfetamin, metilfenidat
atau ritalin).
3) Psikotropika golongan III : Psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan
dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan
(Contoh : pentobarbital, Flunitrazepam).
4) Psikotropika golongan IV : Psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan
dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindrom ketergantungan (Contoh :
diazepam, bromazepam, Fenobarbital,
klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti
pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG).
c. Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan
NAPZA dapat digolongkan menjadi tiga golongan :
1) Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis napza yang berfungsi mengurangi
aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini menbuat
pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan
bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan
8
diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin,
heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang),
hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas)
dan lain-lain.
2) Golongan Stimulan (Upper)
Adalah jenis napza yang dapat merangsang fungsi
tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis
ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan
bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini
adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein,
Kokain.
3) Golongan Halusinogen
Adalah jenis napza yang dapat menimbulkan efek
halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan
pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang
yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat
terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam
terapi medis.
2.1.4 Jenis Napza
Heroin : Serbuk putih seperti tepung yang bersifat opioid atau
menekan nyeri dan juga depresan SSP (Craven, Ruth 2005).
a. Kokain : Di olah dari pohon Coca yang punya sifat
halusinogenik..
b. Putau : golongan heroin, berbentuk bubuk. .
c. Ganja : berisi zat kimia delta-9-tetra hidrokanbinol,
berasal dari daun Cannabis yang dikeringkan, Konsumsi
dengan cara dihisap seperti rokok tetapi menggunakan
hidung.
9
d. Shabu-shabu: kristal yang berisi methamphetamine,
dikonsumsi dengan menggunakan alat khusus yang
disebut Bong kemudian dibakar.
e. Ekstasi: methylendioxy methamphetamine dalam bentuk
tablet atau kapsul, mampu meningkatkan ketahanan
seseorang (disalahgunakan untuk aktivitas seksual dan
aktivitas hiburan dimalam hari).
f. Diazepam,Nipam, Megadon : obat yang jika dikonsumsi
secara berlebih menimbulkan efek halusinogenik.
g. Alkohol : minuman yang berisi produk fermentasi
menghasilkan etanol, dengan kadar diatas 40 % mampu
menyebabkan depresi susunan saraf pusat, dalam kadar
tinggi bisa memicu Sirosis hepatic, hepatitis alkoholik
maupun gangguan system persarafan.
2.1.5 Tanda dan Gejala Pengguna Napza
a. Tanda-tanda di rumah:
1) Hilangnya minat dalam aktifitas keluarga.
2) Tidak patuh terhadap aturan keluarga.
3) Hilang/berkurangnya rasa tanggung jawab.
4) Bersikap kasar baik secara verbal maupun fisik.
5) Menurun/meningkatnya nafsu makan secara tiba-
tiba.
6) Mengaku sering kehilangan barang atau uang.
7) Tidak pernah pulang ke rumah tepat waktu.
8) Tidak mengatakan kepada siapapun kemana
mereka pergi.
9) Terus-menerus meminta maaf terhadap segala
perbuatannya.
10) Menghabiskan banyak waktunya berdiam diri di
dalam kamar bila sedang di rumah.
10
11) Sering berbohong mengenai aktifitas mereka.
Menemukan benda-benda, seperti kertas
pembungkus rokok, pipa hisap, gelas kecil, sisa-
sisa serbuk maupun jarum suntik dan lain-lainnya
yang mencurigakan.
b. Tanda-tanda di sekolah atau di tempat kerja
1) Sering tiba-tiba pingsan di sekolah/tempat kerja.
2) Acapkali bolos masuk sekolah/kerja.
3) Kehilangan minat dalam kegiatan belajar.
4) Tertidur di dalam kelas/saat bekerja.
5) Buruk dalam penampilan sehari-hari.
6) Tidak pernah mengerjakan tugas pekerjaan rumah.
7) Tidak mematuhi bahkan menentang aturan
sekolah/otoritas.
8) Perilaku yang buruk di setiap kegiatan
sekolah/pekerjaan.
9) Penurunan konsentrasi, perhatian dan memori.
10) Tidak pernah memberitahukan orang tua/wali jika
ada pemanggilan/pertemuan dengan guru.
c. Tanda-tanda kelaian fisik dan emosional
1) Teman/kelompok sering berganti-ganti.
2) Pasangan/pacar yang juga sering berganti-ganti.
3) Tercium bau-bauan aneh seperti bau alkohol,
mariyuana, dan rokok dari nafas atau badan.
4) Perubahan perilaku dan mood yang tidak dapat
dijelaskan.
5) Sering melawan aturan, bersikap negatif, paranoid
(ketakutan dan curiga), destruktif (merusak),
tampak cemas.
11
6) Tidak pernah tampak kegembiraan seperti yang
seharusnya.
7) Selalu tampak lelah/hiperaktif yang berlebihan.
8) Penurunan/peningkatan berat badan yang drastis.
9) Kadang tampak depresi, mudah sedih dan
tertekan.
10) Seringkali menipu, berbohong atau kedapatan
mencuri.
11) Mengaku memerlukan uang/sebaliknya merasa
punya uang lebih.
12) Umumnya penampilannya kotor dan tidak terurus.
13) Gejala yang timbul diantaranya : bicara cadel,
gerakan tidak terkoordinir, kesadaran menurun,
vertigo, dilatasi pupil, jalan sempoyongan,
konjungtiva merah, nafsu makan bertambah,
mullut kering, denyut jantung cepat, panik, curiga,
banyak keringat, mual muntah, halusinasi dan
mengantuk
Jika putus zat maka gejala yang terjadi sebagai berikut
gelisah, berkeringat, denyut jantung cepat, tremor
ditangan, mual muntah, kejang otot, cemas, agresif,
halusinasi, delirium, insomnia, pupil melebar, murung,
depresi berat dan ada tindakan bunuh diri
2.2 Farmakologi Untuk Aduksi Penyalahgunaan Napza
2.2.1. Definisi
Penyalahgunaan obat secara sekilas bukan merupakan
penyakit tetapi merupakan penyakit yang berkaitan dengan
psikis dan fisik. Definisi penyalahgunaan substansi dalam arti
luas meliputi penyalahgunaan obat obatan seperti alkohol,
kokain, heroin, nikotin yang terdapat dalam tembakau, kafein
yang terkandung dalam kopi, minuman ringan.
12
Franklin dan Frances (1999) mendefinisikan ketergantungan
substansi bila seseorang tergantung secara psikologis pada
substansi, membutuhkan lebih banyak lagi substansi untuk
mendapatkan efek yang sama (toleransi) dan fisiknya akan
merespons secara negatif ketika substansi tsb. tidak lagi
digunakan (withdrawal).
Adiksi ( Ketergantungan ) adalah suatu kondisi patologis
yang disebabkan karena penggunaan berulang suatu obat yang
jika dihentikan akan menyebabkan gejala-gejala tertentu.
Gangguan kekambuhan yang bersifat kronis, yang disebabkan
oleh karena:
1. Dorongan untuk mencari dan menggunakan obat
2. Kehilangan control terhadap pembatasan pengunaaan
obat
3. Munculnya emosi negative (dysphoria, anxiety,
irritability) jika tidak mendapatkan obat, walaupun
mengetahui efek buruk obat tersebut
Penyalahgunaan obat (drug abuse) : pengunaan obat yang
berlebihan tanpa tujuan medis. Drug mis use : salah
pengunaan obat-obat dengan tujuan medis (misal: cara
minum, cara memakai). Ada tiga golongan obat yang paling
sering disalahgunakan, yaitu :
1. Golongan Analgesik Opiat / Narkotika
Menurut UU RI No 22 tahun 1997 Narkotika adalah zat
atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintesis maupun semi sintesis yang dapaqt
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Contohnya
adalah codein, oxycodon, morfin.
13
2. Golongan depressan sistem saraf pusat untuk mengatasi
kecemasan dan gangguan tidur.
Menurut UU RI No 5 tahun 1997 Psikotropika adalah
suatu zat atau obat baik alamiah atau sintesis, bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada SSP yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku. Contohnya barbiturat
(luminal) dan golongan benzodiazepin (diazepam/valium,
klordiazepoksid, klonazepam, alprazolam, dll).
3. Golongan stimulan sistem saraf pusat.
Obat-obat ini bekerja pada sistem saraf, dan umumnya
menyebabkan ketergantungan atau kecanduan.
Franklin dan Frances (1999) Selain itu, ada pula golongan
obat lain yang digunakan dengan memanfaatkan efek
sampingnya, bukan berdasarkan indikasi yang resmi
dituliskan. Contohnya dekstroamfetamin, amfetamin.
Beberapa contoh diantaranya adalah :
1. Penggunaan misoprostol, suatu analog prostaglandin
untuk mencegah tukak peptik/gangguan lambung, sering
dipakai untuk menggugurkan kandungan karena bersifat
memicu kontraksi rahim.
2. Penggunaan Profilas (ketotifen), suatu anti histamin yang
diindikasikan untuk profilaksis asma, sering diresepkan
untuk meningkatkan nafsu makan anak-anak
3. Penggunaan Somadryl untuk “obat kuat” bagi wanita
pekerja seks komersial untuk mendukung pekerjaannya.
Obat ini berisi carisoprodol, suatu muscle relaxant, yang
digunakan untuk melemaskan ketegangan otot.
14
Obat-obat psikotropika beserta dosis sedative dan dosis yang
menyebabkan ketergantungan :
Nama Dosis sedatif (mg) Dosis ketergantungan dan waktu
untuk menimbulkan ketergantungan
Diazepam 5 – 10 40 – 100 mg x 42 – 120 hari
Klordiazepoksid 10 – 25 75 – 600 mg x 42 – 120 hari
Alprazolam 0,25 – 8 8 – 16 mg x 42 hari
Flunitrazepam 1 – 2 8 – 10 mg x 42 hari
Pentobarbital 100 800 – 2200 mg x 35 – 37 hari
Amobarbital 65 – 100 800 – 2200 mg x 35 – 37 hari
Meprobamat 400 1,6 – 3,2 g x 270 hari
2.2.2. Mekanisme Terjadinya Adiksi
Tim BC-CMHN FIK-UI bekerjasama dengan WHO dan
Direktorat Keperawatan (2005). Untuk menjelaskan tentang
adiksi, perlu dipahami dulu istilah system reward pada
manusia. Manusia, umumnya akan suka mengulangi perilaku
yang menghasilkan sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu
yang menyebabkan rasa menyenangkan tadi dikatakan
memiliki efek reinforcement positif. Reward bisa berasal
secara alami, seperti makanan, air, sex, kasih sayang, yang
membuat orang merasakan senang ketika makan, minum,
disayang, dll. Bisa juga berasal dari obat-obatan. Pengaturan
perasaan dan perilaku ini ada pada jalur tertentu di otak, yang
disebut reward pathway. Perilaku-perilaku yang didorong oleh
reward alami ini dibutuhkan oleh mahluk hidup untuk
survived (mempertahankan kehidupan).
Bagian penting dari reward pathway adalah bagian otak yang
disebut : ventral tegmental area (VTA), nucleus accumbens,
15
dan prefrontal cortex. VTA terhubung dengan nucleus
accumbens dan prefrontal cortex melalui jalur reward ini yang
akan mengirim informasi melalui saraf. Saraf di VTA
mengandung neurotransmitter dopamin, yang akan dilepaskan
menuju nucleus accumbens dan prefrontal cortex. Jalur reward
ini akan teraktivasi jika ada stimulus yang memicu pelepasan
dopamin, yang kemudian akan bekerja pada system reward.
Obat-obat yang dikenal menyebabkan adiksi/ketagihan seperti
kokain, misalnya, bekerja menghambat re-uptake dopamin,
sedangkan amfetamin, bekerja meningkatkan pelepasan
dopamin dari saraf dan menghambat re-uptake-nya, sehingga
menyebabkan kadar dopamin meningkat.
Pada obat golongan opiat, reseptor opiat terdapat sekitar
reward pathway (VTA, nucleus accumbens dan cortex), dan
juga pada pain pathway (jalur nyeri) yang meliputi thalamus,
brainstem, dan spinal cord. Ketika seseorang menggunakan
obat-obat golongan opiat seperti morfin, heroin, kodein, dll,
maka obat akan mengikat reseptornya di jalur reward, dan
juga jalur nyeri. Pada jalur nyeri, obat-obat opiat akan
memberikan efek analgesia, sedangkan pada jalur reward akan
memberikan reinforcement positif (rasa senang, euphoria),
yang menyebabkan orang ingin menggunakan lagi. Hal ini
karena ikatan obat opiat dengan reseptornya di nucleus
accumbens akan menyebabkan pelepasan dopamin yang
terlibat dalam system reward.
2.2.3. Alasan Penyalahgunaan Obat
Ada tiga kemungkinan seorang memulai penyalahgunaan obat,
yaitu :
1. Yang pertama, seseorang awalnya memang sakit,
misalnya nyeri kronis, kecemasan, insomnia, dll,
yang memang membutuhkan obat, dan mereka
16
mendapatkan obat secara legal dengan resep dokter.
Namun selanjutnya, obat-obat tersebut
menyebabkan toleransi, di mana pasien memerlukan
dosis yang semakin meningkat untuk mendapatkan
efek yang sama. Merekapun kemudian akan
meningkatkan penggunaannya, mungkin tanpa
berkonsultasi dengan dokter. Selanjutnya, mereka
akan mengalami gejala putus obat jika pengobatan
dihentikan, mereka akan menjadi kecanduan atau
ketergantungan terhadap obat tersebut, sehingga
mereka berusaha untuk memperoleh obat-obat
tersebut dengan segala cara (Wahyu W, et.all 2008).
2. Kemungkinan kedua, seseorang memulai
penyalahgunaan obat memang untuk tujuan
rekreasional. Artinya, sejak awal penggunaan obat
memang tanpa tujuan medis yang jelas, hanya untuk
memperoleh efek-efek menyenangkan yang
mungkin dapat diperoleh dari obat tersebut.
Kejadian ini umumnya erat kaitannya dengan
penyalahgunaan substance yang lain, termasuk yang
bukan obat diresepkan, seperti kokain, heroin,
ecstassy, alkohol, dll (Wahyu W, et.all 2008).
3. Yang ketiga, seseorang menyalahgunakan obat
dengan memanfaatkan efek samping seperti yang
telah disebutkan di atas. Bisa jadi penggunanya
sendiri tidak tahu, hanya mengikuti saja apa yang
diresepkan dokter. Obatnya bukan obat-obat yang
dapat menyebabkan toleransi dan ketagihan.
Penggunaannya juga mungkin tidak dalam jangka
waktu lama yang menyebabkan ketergantungan
(Wahyu W, et.all 2008).
17
2.2.4. Penatalaksanaan Farmakoterapi
(Guntoro Utamadi 2002). Sebagai bagian dari tenaga
kesehatan dan garda terdepan bagi akses masyarakat terhadap
obat, maka farmasis dapat berkontribusi secara signifikan
dalam mengidentifikasi dan mencegah penyalahgunaan obat.
Melihat berbagai kemungkinan akses masyarakat terhadap
obat yang bisa disalah-gunakan, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan:
1. Aktif memberikan edukasi kepada masyarakat tentang
bahayanya penyalahgunaan obat, lebih baik dengan cara
yang sistematik dan terstruktur.
2. Mewaspadai adanya kemungkinan resep-resep yang palsu
dan ganjil, terutama resep - resep yang mengandung obat
psikotropika/narkotika. Hal ini memerlukan pengalaman
yang cukup dan pengamatan yang kuat. Jika terdapat hal-
hal mencurigakan, dapat berkomunikasi dengan dokter
penulis resep yang tertera dalam resep tersebut untuk
konfirmasi.
3. Mengedepankan etika profesi dan mengutamakan
keselamatan pasien dengan tidak memberikan kemudahan
akses terhadap obat-obat yang mudah disalah gunakan.
Kondisi yang perlu diatasi secara farmakoterapi pada keadaan
ketergantungan obat ada dua, yaitu kondisi intoksikasi dan
kejadian munculnya gejala putus obat (“sakaw”). Dengan
demikian, sasaran terapinya bervariasi tergantung tujuannya:
a. Terapi pada intoksikasi/over dosis tujuannya untuk
mengeliminasi obat dari tubuh, menjaga fungsi vital tubuh
b. Terapi pada gejala putus obat tujuannya untuk mencegah
perkembangan gejala supaya tidak semakin parah,
18
sehingga pasien tetap nyaman dalam menjalani program
penghentian obat
Masing-masing golongan obat memiliki cara penanganan yang
berbeda, sesuai dengan gejala klinis yang terjadi. Di bawah ini
disajikan tabel ringkasan terapi intoksikasi pada berbagai jenis
obat yang sering disalahgunakan.
Tabel 1. Ringkasan tentang terapi intoksikasi
Klas obat Terapi obat Terapi non-
obat
Komentar
Benzodiazepin Flumazenil 0,2
mg/min IV, ulangi
sampai max 3 mg
Support
fungsi vital
Kontraindikasi jika
ada penggunaan TCA
à resiko kejang
Alkohol,
barbiturat, sedatif
hipnotik non-
benzodiazepin
Tidak ada Support
fungsi vital
Opiat Naloxone 0,4-2,0
mg IV setiap 3 min
Support
fungsi vital
Jika pasien tidak
responsif sampai dosis
10 mg à mungkin ada
OD selain opiat
Kokain dan
stimulan CNS lain
þ Lorazepam 2-4 mg
IM setiap 30 min
sampai 6 jam jika
perlu
þ Haloperidol 2-5 mg
(atau antipsikotik
lain) setiap 30 min
sampai 6 jam
-Support
fungsi vital
- Monitor
fungsi
jantung
- digunakan jika pasien
agitasi
- digunakan jika pasien
psikotik
- komplikasi
kardiovaskuler diatasi
scr simptomatis
Halusinogen,
marijuana
Sama dgn di atas Support
fungsi vital,
„talk-down
therapy“
19
Tabel 2. Ringkasan tentang terapi untuk mengatasi gejala putus obat withdrawal
syndrome (DiPiro, 2008)
Obat Terapi obat Komentar
Benzodiazepin
(short acting)
Klordiazepoksid 50 mg 3 x sehari
atau lorazepam 2 mg 3 x sehari,
jaga dosis utk 5 hari, kmdtapering
Long acting BZD Sama, tapi tambah 5-7 hari
utktappering
Alprazolam paling sulit
dan butuh wkt lebih
lama
Opiat Methadon 20-80 mg
p.o, taperdengan 5-10 mg sehari,
atau klonidin 2 mg/kg tid x 7
hari,taper untuk 3 hari berikutnya
- jika metadon gagal à
metadon maintanance
program
- Klonidin menyebabkan
hipotensi à pantau BP
Barbiturat Test toleransi pentobarbital,
gunakan dosis pada batas atas test,
turunkan dosis 100 mg setiap 2-3
hari
Mixed-substance Lakukan spt pada long acting
BZD
Stimulan CNS Terapi supportif saja, bisa
gunakan bromokriptin 2,5 mg jika
pasien benar-benar kecanduan,
terutama pada kokain
2.3 Manajemen Nyeri
2.3.1 Stimulus
Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsang nyeri)
dan reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosiseptor, yaitu
ujung – ujung saraf bebas kulit yang berespon terhadap stimulus
yang kuat. Munculnya nyeri dimulai dengan adanya stimulus
tersebut dapat berupa biologis, zat kimia, panas, listrik serta
mekanik (Prasetyo, 2010).
20
2.3.2 Reseptor Nyeri
Reseptor merupakan sel-sel khusus yang mendeteksi perubahan -
perubahan partikular di sekitarnya, kaitannya dengan proses
terjadinya nyeri maka resepto-reseptor inilah yang menangkap
stimulus-stimulus nyeri (Prasetyo, 2010).
2.3.3 Beberapa Penggolongan Reseptor Sensori Dalam Prasetyo
(2010) :
a. Termoreseptor: reseptor yang menerima sensasi suhu
(panas atau dingin).
b. Mekanoreseptor; reseptor yang menerima stimulus-
stimulus mekanik.
c. Nosiseptor: reseptor yang menerima stimulus-stimulus
nyeri.
d. Kemoreseptor: reseptor yang menerima stimulus kimiawi.
Menurut Tamsuri (2007), berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh, yaitu :
a. Kulit (kutaneus)
Reseptor jarinagn kuit terbagi dalam dua komponen,
yaitu: Serabut A delta merupakan serabut komponen
cepat ( kecepatan transmisi 6-30m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat
hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan. Serabut C
merupakan komponen lambat 9kecepatan transmisi 0,5-
2m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam,
nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
b. Somatik Dalam
Stuktur reseptor nyeri somatic dalam meliputi reseptor
nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf,
otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
21
reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan
nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
c. Viseral
Reseptor ini meliputi organ-organ visceral seperti
jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya difus (terus-menerus)
dan sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia, dan
inflamasi. Nyeri visceral dapat menyebabkan nyeri alih,
yaitu nyeri yang dapat timbul pada daerah yang
berbeda/jauh dari organ asal stimulus nyeri tersebut.
Nyeri pindah ini dapat terjadi karena adanya sinaps
jaringan visceral pada medulla spinalis dengan serabut
yang berasal dari jaringan subkutan tubuh.
2.3.4 Alur Nyeri
Menurut Prasetyo (2010), rangkaian proses terjadinya nyeri
diawali dengan tahap tranduksi, dimana hal ini terjadi ketika
nosiseptor yang terletak pada bagian perifer tubuh distimulasi
oleh berbagai stimulus, seperti faktor biologis, mekanis, listrik,
thermal, radiasi dan lainn-lain. Fast pain dicetuskan oleh reseptor
tipe mekanis atau thermal 9 yaitu serabut saraf A-Delta),
sedangkan slow pain biasanya dicertuskan oleh serabut saraf C.
Serabut saraf A-Delta mempunyai karakteristik menghantarkan
nyeri dengan cepat serta bermielinasi, dan serabut saraf C yang
tiidak bermielinasi, berukuran sangat kecil dan bersifat lambat
dalam menghantarkkan nyeri. Serabut A mengirim sensasi yang
tajam, terlokalisasi dan jelas dalam melokalisasi sumber nyeri
dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C menyampaikan
impuls yang tidak terlokalisasi, viseral dan terus-menerus.
Tahap selanjutnya adalah tranmisi, dimana impuls nyeri
kemudian ditranmisikanoleh serabut saraf efferen (A.-delta dan
22
C) ke medulla spinalis melalui dorsal horn, impuls akan
bersinapsis di substansia gelatinosa. Impuls kemudian
menyeberang ke atas melewati traktus sphinotalamus anterior
dan lateral, kemudian diteruskkan langsung ke thalamus tanpa
singgah di formatio retikularis membawa impuls fast pain.
Dibagian thalamus inilah individu kemudian dapat
mempersepsikan, menggambarkan, melokalisasi,
mengintrepetasikan dan mulai berespon terhadap nyeri.
Beberapa impuls nyeri ditranmisikan melalui traktus
paleospinothalamus pada bagian tengah medulla spinalis. Impuls
ini memasuki formation retikularis dan sistem limbik yang
mengatur perilaku emosi dan kognitif, serta integrasi dari sistem
otonom. Slow pain yang terjadi akan membangkitkan emosi,
sehinggatimbul respon terkejut, marah, cemas, tekanan darah
meningkat, keluar keringat dingin dan jantung berdebar-debar.
2.3.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
a. Usia
Pengaruh usia pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri
tidak diketahui secara luas. Anak-anak yang belum
mempunyai kosakata yang banyak mempunyai kesulitan
mendeskripsikan secara verbal dan mengespresikan
secara nyeri kepada orangtua atau perawat. Pada masa
orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah
patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri,
2007). Pada lansia, mereka lebih untuk tidak melaporkan
nyeri karena persepsi nyeri yang harus mereka terima,
menyangkal merasakan nyeri karena takut akan
konsekuensi atau tindakan media yang dilakukan dan
takut akan penyakit dan rasa nyeri itu (Smeltzer & Bare,
2002).
23
b. Jenis Kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara
signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Toleransi nyeri
sejak lama telah menjadi subjek penelitian yang
melibatkan pria dan wanita. Akan tetapi, toleransi
terhadap nyeri dipengaruhi oleh factor-faktor biokimia
dan merupakan hal yang unik pada setiap individu, tanpa
memperhatikan jenis kelamin (Potter & Perry, 2006).
c. Budaya
Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada
bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri
(bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku
dalam berespons terhadap nyeri). Pasien dengan latar
belakang budaya yang lain bisa berekspresi secara
berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang
mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri
karena perilaku berbeda dari satu pasien ke pasien yang
lain (Smeltzer & Bare, 2002).
d. Makna Nyeri
Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman
nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
Seorang wanita yang merasakan nyeri saat bersalin akan
mempersepsikan nyeri secara berbeda dengan wanita
lainnya yang nyeri karena dipukul oleh suaminya
(Prasetyo, 2010).
e. Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan
mepengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri
sedangkan upaya pengalihan(distraksi0 dihubungkan
dengan penurunan respon nyeri. Konsep inilah yang
24
mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri,
seperti relaksasi, tehnik imajinasi terbimbing, dan
massase atau pijatan (Prasetyo, 2010).
f. Pengalaman Sebelumnya
Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari
banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya.
Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari
pengalaman sebelumnya menunjukkan pentingnya
perawat untuk waspada terhadap pengalaman masalalu
pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan tepat
dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan
terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu
mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).
g. Mekanisme Koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang
membuat seseorang menjadi kesepian. Apabila klien
mengalami nyeri di keadaan perawatan kesehatan, klien
merasa tidak berdaya dengan rasa sepi itu. Hal yang
sering terjadi adalah klien merasa kehilangan control
terhadap lingkungan atau hasil akhir dari peristiwa-
peristiwa yang terjadi. Mekanisme koping empengaruhi
kemampuan individu untuk mengatasi rasa nyeri (Potter
& Perry, 2006).
h. Dukungan Keluarga dan Sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan
dukungan, bantuan, perlindungan dari anggota keluarga
lain, atau teman terdekat. Walaupun nyeri masih
dirasakan oleh klien, kehadiran orang terdekat akan
meminimalkan kesepian adan ketakutan (Prasetyo, 2010).
25
2.3.6 Manajemen Nyeri Non-Farmakologi
Keliat B.A & Akemat (2004), Keperawtan Jiwa Terapi Aktifitas
Kelompok, EGC Jakarta.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mengatasi nyeri, yaitu
salah satu nya dengan pemberian terapi nonfarmakologis. Terapi
nonfarmakologis yaitu terapi yang digunakan yakni tanpa
menggunakan obat-obatan, tetapi dengan memberikan berbagai
tehnik yang setidaknya dapat sedikit mengurangi rasa nyeri.
Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Distraksi
Distraksi adalah memfokuskan perhatian pasien pada
sesuatu selain nyeri. Ada empat tipe distraksi, yaitu
distraksi visual, misalnya membaca atau menonton
televisi, Distraksi auditory, misalnya mendengarkan
musik, Distraksi taktil, misalnya menarik nafas dan
massase, Distraksi kognitif, misalnya bermain puzzle.
Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang
lain sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap
nyeri, bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri.
Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori
aktivasi retikuler, yaitu menghambat stimulus nyeri ketika
seseorang menerima masukan sensori yang cukup atau
berlebihan, sehingga menyebabkan terhambatnya impuls
nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh
klien). Stimulus sensori yang menyenangkan akan
merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri
yang dirasakan oleh klien menjadi berkurang.
Salah satu distraksi yang efektif adalah dengan Murottal
(mendengarkan bacaan Al-Qur’an), yang dapat
menurunkan hormon-hormon stres, mengaktifkan hormon
endorfin alami, meningkatkan perasaan rileks, dan
26
mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas dan tegang,
memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan
tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak
jantung, denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak. Laju
pernafasan yang lebih dalam atau lebih lambat tersebut
sangat baik menimbulkan ketenangan, kendali emosi,
pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme yang lebih
baik (Heru, 2008).
b. Stimulasi dan Massase kutaneus
Terapi stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang
dilakukan untuk menghilangkan nyeri massase, mandi air
hangat, kompres panas atau dingin dan stimulasi saraf
elektrik transkutan (TENS) merupakan langkah-langkah
sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri. Cara
kerja khusus stimulasi kutaneus masih belum jelas. Salah
satu pemikiran adalah cara ini menyebabkan pelepasan
endorfin, sehingga memblog transmisi stimulasi
nyeri.Teori Gate-kontrol mengatakan bahwa stimulasi
kutaneus mengaktifkan transmisi tersebut saraf sensori A-
Beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini
menurunkan transmisi nyeri melalui serabut dan delta-A
berdiameterkecil. Gerbang sinaps menutup transmisi
impuls nyeri. Bahwa keuntungan stimulasi kutaneus
adalah tindakan ini dapat dilakkan dirumah, sehingga
memungkinkan klien dan keluarga melakukan upaya
kontrol gejala nyeri dan penanganannya. Penggunaan
yang benar dapat mengurangi persepsi nyeri dan
membantu mengurangi ketegangan otot. Stimulasi
kutaneus jangan digunakan secara langsung pada daerah
kulit yang sensitif (Mander,2004).
27
c. Terapi es dan panas
Terapi hangat dan dingin bekerja dengan menstimulasi
reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor). Terapi dingin dapat
menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitifitas
reseptor nyeri. Agar efektif es harus diletakkan di area
sekitar pembedahan. Penggunaan panas dapat
meningkatkan aliran darah yang dapat mempercepat
penyembuhan dan penurunan nyeri (Smeltzer &
Bare,2002).
d. Hipnosis
Hypnosis-diri dengan membantu merubah persepsi nyeri
melalui pengaruh sugesti positif. Hypnosis-diri
menggunakan sugesti dari dankesan tentang perasaan
yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks
dengan menggunakan bagian ide pikiran dan kemudian
kondisikondisi yang menghasilkan respons tertentu bagi
mereka (Edelman & Mandel, 1994).
Hypnosis-diri sama seperti dengan melamun. Konsentrasi
yang efektif mengurangi ketakutan dan sters karena
individu berkonsentrasi hanya pada satu pikiran. Selain
itu juga mengurangi persepsi nyeri merupakan salah satu
sederhana untuk meningkatkan rasa nyaman ialah
membuang atau mencegah stimulasi nyeri. Hal ini
terutama penting bagi klien yang imobilisasi atau tidak
mampu merasakan sensasi ketidaknyamanan. Nyeri juga
dapat dicegah dengan mengantisipasi kejadian yang
menyakitkan, misalnya seorang klien yang dibiarkan
mengalami konstipasi akan menderita distensi dan kram
abdomen. Upaya ini hanya klien alami dan sedikit waktu
ekstra dalam upaya menghindari situasi yang
menenyebabkan nyeri (Mander, 2003).
28
e. Tehnik Relaksasi
Relaksasi pernafasan yang merupakan suatu bentuk
asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat
mengajakan pada klien bagaimana cara melakukan
pernafasan, nafas lambat (menahan inspirasi secara
maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara
perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri,
teknik relaksasi pernafasan juga dapat meningkatkan
ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah
(Smeltzer & Bare2002).
Menurut kegunaanya teknik relaksasi pernafasan
dianggap mampu meredakan nyeri, prosesnya menarik
nafas lambat melalui hidung (menahan inspirasi secara
maksimal) dan menghembuskan nafas melalui mulut
secara perlahan-lahan.
2.4 Askep Pada Klien Penyalahgunaan Napza
Wahyu W, et.all (2008). Asuhan keperawtan pada klien dengan
gangguan system persyarafan. Trans Info Media : Jakarta.
2.4.1 Pengkajian
d. Fisik
Secara keseluruhan, efek masing-masing golongan
NAPZA pada fungsi fisiologis memiliki banyak
kesamaan. Data yang mungkin ditemukan pada klien
yang menggunakan NAPZA antara lain : nyeri, gangguan
pola tidur, menurunnya selera makan, konstipasi, diare,
perilaku seks melanggar norma, tidak merawat diri,
potensial komplikasi.
Tujuan : klien mampu untuk hidup teratur.
29
e. Emosional
Perasaan gelisah (takut diketahui), tidak percaya diri,
curiga dan tidak berdaya. Potensial mengalami gangguan
mental dan perilaku. Dengan tambahan gejala-gejala
emosional yang terdapat pada masing-masing NAPZA.
Tujuan : Klien dapat mengontrol dan mengendalikan
emosinya
f. Sosial
Lingkungan sosial yang biasa akrab dengan klien adalah
teman pengguna zat, anggota keluarga lain, pengguna zat
di lingkungan sekolah atau kampus.
g. Intelektual
Pikiran yang selalu ingin menggunakan zat adiktif,
perasaan ragu untuk berhenti, aktivitas sekolah atau
kuliah yang menurun sampai berhenti, pekerjaan terhenti.
Tujuan : klien mampu berkonsentrasi dan meningkatkan
daya pikir ke hal-hal positif.
d. Spiritual
Kegiatan keagamaan kurang atau tidak ada, nilai-nilai
kebaikan ditinggalkan karena perubahan perilaku mis.,
mencuri, berbohong.
Tujuan : klien mampu meningkatkan ibadah, pelaksanaan
nilai-nilai kebaikan.
e. Keluarga
Ketakutan akan perilaku klien, malu pada masyarakat,
penghamburan dan pengurasan ekonomi keluarga oleh
klien, komunikasi dan pola asuh tidak efektif, dukungan
moril terhadap klien tidak terpenuhi
Tujuan : keluarga mampu merawat klien sampai akhirnya
mampu mengantisipasi terjadinya kekambuhan (relapse).
30
2.4.2. Diagnosa Keperawatan
Tim Keperawatan Jiwa Depkes RI (2002). Keperawatan jiwa
teori dan tindakan keprawatan. Catatan-Catatan Depkes RI
Dirjen Tanmed Direktorak Keperawatan dan Keteknisian
Medik
a. Ancaman Kehidupan
1) Gangguan keseimbangan cairan: mual, muntah
berhubungan dengan pemutusan zat opioda
2) Resiko terhadap amuk berhubungan dengan
intoksikasi sedatif hipnotik
3) Resiko cidera diri berhubungan dengan intoksikasi
aklkohol, sedatif, hipnotik
4) Panik berhubungan dengan putus zat alkohol
b. Intoksinasi
1) Cemas berhubungan dengan intoksikasi ganja
2) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan
dengan intoksikasi sedatif hipnotik, alcohol,
opioda
c. Withdraw
1) Perubahan proses piker: waham berhubungan
dengan putus zat alcohol, sedatif, hipnotik
2) Nyeri berhubungan dengan putus zat opioda,
MDMA: extasy
3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan putus zat opioda
d. Pasca Detoksikasi
1) Gangguan pemusatan perhatian berhubungan
dengan dampak penggunaan zat adiktif
2) Gangguan konsep diri : harga diri rendah
berhubungan dengan tidak mampu mengenal
kualitas yang positif dari diri sendiri.
31
3) Resiko melarikan diri berhubungan dengan
ketergantungan tehadap zat adiktif
Dari pohon masalah, diagnosa yang mungkin timbul :
1) Resiko tinggi menciderai diri sendiri berhubungan
dengan intoksikasi
2) Intoksikasi berhubungan dengan menarik diri
3) Harga diri rendah berhubungan dengan gangguan
konsep diri
4) Harga diri rendah berhubungan dengan koping
mal adaptif
2.4.3. Rencana Tindakan Keperawatan
a. Kondisi Overdosis
Tujuan : Klien tidak mengalami ancaman kehidupan
Rencana tindakan:
1) Observasi tanda – tanda vital, kesadaran pada 15
menit pada 3 jam pertama, 30 menit pada 3 jam
kedua tiap 1 jam pada 24 jam berikutnya
2) Bekerja sama dengan dokter untuk pemberian
obat
3) Observasi keseimbangan cairan
4) Menjaga keselamatan diri klien
5) Menemani klien
6) Fiksasi bila perlu
b. Kondisi Intoksikasi
Tujuan: intoksikasi pada klien dapat diatasi, kecemasan
berkurang/hilang
Rencana tindakan:
1) Membentuk hubungan saling percaya
2) Mengkaji tingkat kecemasan klien
3) Bicaralah dengan bahasa yang sederhana, singkat
mudah dimengerti
32
4) Dengarkan klien berbicara
5) Sering gunakan komunikasi terapeutik
6) Hindari sikap yang menimbulkan rasa curiga,
tepatilah janji, memberi jawaban nyata, tidak
berbisik di depan klien, bersikap tegas, hangat dan
bersahabat
c. Kondisi Withdraw
1) Observasi tanda- tanda kejang
2) Berikan kompres hangat bila terdapat kejang pada
perut
3) Memberikan perawatan pada klien waham,
halusinasi: terutama untuk menuunkan perasaa
yang disebabkan masalah ini: takut, curiga, cemas,
gembira berlebihan, benarkan persepsi yang salah
4) Bekerja sama dengan dokter dalam memberikan
obat anti nyeri
d. Kondisi Detoksikasi
1) Melatih konsentrasi: mengadakan kelompok
diskusi pagi
2) Memberikan konselin untuk merubah moral dan
spiritual klien selama ini yang menyimpang,
ditujukan agar klien menjadi manusia yang
bertanggung jawab, sehat mental, rasa bersyukur,
dan optimis
3) Mempersiapkan klien untuk kembali ke
masyarakat, dengan bekerja sama dengan pekerja
social, psikolog.
33
BAB III
PEMBAHASAN
Menurut analisis jurnal yang berjudul “Novel drug-regulated transcriptional
networks in brain reveal pharmacological properties of psychotropic drugs” oleh
Michal Korostynski menjelaskan bahwa penggunaan obat akan lebih efektif bila
dilakukan dengan mekanisme biologis dan menggunakan desain rasional terapi.
Pendekatan Bioinformatika menyebabkan identifikasi dari tiga jaringan genomik
obat - responsif utama dan menunjukkan jalur neurobiologis yang menengahi
perubahan dalam transkripsi. Dalam jurnal ini , lebih mengupas perbandingan
gen perubahan dengan melihat ekspresi klien ,ketika klien memakai obat-obatan
senyawa psikoaktif yag berbeda. Penggunaan zat psikotropika mengatur seseorang
dalam berekspresi,bertingkah laku dan bersikap. Dalam jurnal ini mengupas
tetntang mekanisme melalui antidepresan yang diberikan kepada klien.
Sedangkan dalam jurnal “Predictors of Resolution of Aberrant Drug Behavior in
Chronic Pain Patients Treated in a Structured Opioid Risk Management Program”
oleh Salimah. Jurnal tersebut berisikan Untuk mengidentifikasi prediktor
demografi dan klinis dari resolusi menyimpang terkait obat perilaku ( ADRBs )
dalam kelompok pasien yang dirujuk ke Klinik Pembaruan Opioid ( ORC )
dengan mereka penyedia layanan kesehatan primer ( PCPs ) . ORC adalah
program yang mendukung penggunaan PCPs ' opioid untuk nyeri kronis pada
pasien dianggap beresiko karena melanggar opioid. Analgesik Opioid semakin
banyak digunakan dalam perawatan primer pengobatan nonkanker kronis. PCPs
digabungkan dengan cara pengobatan opioid yang aman kedalam praktek klinis.
Hasil yang di dapat di jurnal Dari 401 pasien dengan nyeri kronis dimaksud ORC
antara 17 Januari 2002 dan 27 Agustus 2004, 195 (48,6%) dirujuk karena ADRB
ketika opioid ditentukan (Tabel 1). Dari jumlah tersebut, 89 (45,6%) pasien
diselesaikan ADRB mereka, dan 106 (54,4%) dipulangkan dari program.
Berdasarkan pada analisis post power-hoc, ukuran sampel tersebut adalah cukup
untuk mendeteksi perbedaan sekitar 0,4 standar penyimpangan menggunakan t-
34
test berpasangan, dengan 80% kekuasaan. Untuk perbandingan persentase, ia
menyediakan Kekuatan 80% untuk mendeteksi perbedaan pada urutan 25% vs
10%, atau 50% vs 30%.
Penelitian ini juga menunjukkan hubungan langsung antara jumlah diagnosis rasa
sakit dan kemungkinan yang tersisa dalam program dan menyelesaikan ADRBs.
Temuan ini menunjukkan bahwa orang-orang dengan lebih diagnosa nyeri dapat
termotivasi untuk mematuhi struktur program untuk mendapatkan akses ke
konsisten nyeri dan menjelaskan perilaku menyimpang dalam penggunaan obat
dalam penelitian kami.
Harapan dan cita-cita dimiliki oleh hampir semua partisipan, adalah menjadi
pasien yang berhasil mengikuti setiap rehabilitasi dan penggunaan opioid
sehingga mengungkapkan kebutuhan lebih lanjut ke aman dan efektif cara untuk
mengatasi rasa sakit dalam subset kompleks terhadap penggunaan opioid untuk
pengobatan.
35
BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
Napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah
bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan
mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat,sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi
sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta
ketergantungan (dependensi) terhadap napza. Istilah napza
umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang
menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut
kesehatan fisik, psikis, dan sosial. napza sering disebut juga
sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga
menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.
Ada beberapa tindakan pelaksanaan yang dapat dilakukan sebagai
pemulihan dapi penggunaan napza diantaranya dengan
farmakoterapi dan managemen nyeri untuk adiksi. Yang tentunya
dilakukan secara kerjasama antara tenaga kesehatan dan keluarga
agar asuhan keperawatan yang komperhensif dapat berjalan
dengan baik.
36
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
http://pedulinapza.blogspot.com/2009/02/pengertian-napza.html
www.anti.or.id
www.kapanlagi.com
Cokingting, P.S., Darst,E, dan Dancy, B, 1992, Mental Health and Psichiatric
Nursing, Philadelpia, J.B.,Lippincott Company, Chapter 8
Shults. Y.M. 1968,Manual of Psichiatric Nursing Care Plans, Boston,
Little.Brown and Company, Chapter 20,21,22.
Stuart, G.W.,dan Sundeen, S.J., 1991, Pocket Guide to Psichyatric Nursing,
(2nd,ed), St. Louis Mosby Year Book, Chapter 17.
Stuart, Gail W.,1998, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Alih bahasa Yani, Achir,
Edisi 3, Jakarta, EGC
Hawari, Dadang.,2003, Penyelahgunaan dan ketergantungan NAZA,FKUI,
Jakarta, gaya baru
37