manajemen

62
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Sepanjang tercatat dalam sejarah manusia, napza dipuja karena manfaatnya bagi manusia tetapi sekaligus dikutuk karena efek buruk yang diakibatkannya. napza alami sudah dikenal manusia sejak lebih dari lima ribu tahun Sebelum Masehi (opium di Asia Kecil, ganja di China, daun koka di Amerika Selatan, alkohol di Mesir dan Persia). Napza sintetik dan semisintetik baru dikenal dalam sejarah sekitar satu sampai dua abad yang lalu (barbiturate, 1903; benzodiazepine, 1957). Dalam bidang kedokteran sebagian besar golongan napza masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran di jalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda. Badan PBB UN, International Drug Control Program, menyatakan pada tahun 2009 jumlah pemakai napza di seluruh dunia telah mencapai 180 juta orang dan setidaknya 100.000 diantara mereka meninggal 1

Upload: penulismudantha-cuppa-cupps

Post on 22-Oct-2015

30 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepanjang tercatat dalam sejarah manusia, napza dipuja karena

manfaatnya bagi manusia tetapi sekaligus dikutuk karena efek buruk yang

diakibatkannya. napza alami sudah dikenal manusia sejak lebih dari lima

ribu tahun Sebelum Masehi (opium di Asia Kecil, ganja di China, daun

koka di Amerika Selatan, alkohol di Mesir dan Persia). Napza sintetik dan

semisintetik baru dikenal dalam sejarah sekitar satu sampai dua abad

yang lalu (barbiturate, 1903; benzodiazepine, 1957).

Dalam bidang kedokteran sebagian besar golongan napza masih

bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan

tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila

disertai peredaran di jalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi

individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.

Badan PBB UN, International Drug Control Program, menyatakan pada

tahun 2009 jumlah pemakai napza di seluruh dunia telah mencapai 180

juta orang dan setidaknya 100.000 diantara mereka meninggal setiap

tahun. Oleh karena itu penyalahgunaan napza ini sudah menjadi masalah

yang mengkhawatirkan bagi internasional.

Penyalahgunaan napza ini bukan hanya menjadi masalah internasional

melainkan juga telah menjadi masalah nasional, seperti pada Indonesia

penyalahgunaan napza telah mencapai situasi yang mengkhawatirkan,

dimana Indonesia bukan hanya menjadi “daerah transit” tetapi telah

menjadi “daerah pemasaran”, bahkan telah menjadi “daerah produsen”

bahan narkotika ini.2 Hal ini sangat memprihatinkan kita karena korban

penyalahgunaan napza di Indonesia semakin bertambah dari tahun ke

tahun, tidak hanya menyerang kaum muda saja tetapi juga golongan

1

setengah baya maupun golongan usia tua, tidak hanya di kota besar tetapi

sudah masuk kota-kota kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa,

tidak hanya oleh kalangan tertentu saja, tetapi sudah memasuki berbagai

profesi. Berdasarkan Badan Narkotika Nasional, pengguna narkoba tahun

2008-2009 jumlah pengguna narkoba tanah air mencapai 3,2 juta jiwa

atau sekitar 1,5% dari seluruh jumlah penduduk. Residen yang baru

diterapi hanya sekitar 7.000 orang terhitung sejak tahun 1985 – 2008 atau

rata-rata 300 orang per tahun.

Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta

tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu

masyarakat yang sedang dirawat di rumah sakit untuk meningkatkan

pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang perawatan dan

pencegahan kembali penyalahgunaan napza pada klien. Untuk itu

dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan

menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan

klien penyalahgunaan dan ketergantungan napza (sindroma putus zat).

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Tujuan Umum

Mahasiswa memahami dan mampu melakukan asuhan

keperawatan terhadap pasien dengan penyalahgunaan napza.

2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa memahapi konsep mengenai napza

b. Mahasiawa mampu memeparkan farmakologi untuk adiksi

penyalahgunaan napza

c. Mahasiswa mampu memeparkan manajemen nyeri pada

penyalahgunaan napza

d. Mahasiswa mampu memaparkan rencana tidakan

keperawatan untuk pasien dengan penyalahgunaan napza

2

e. Mahasiswa mampu melakukan kperawatan kepada pasien

dengan penyalahgunaan napza.

1.3 Manfaat Penulisan

1. Penulis

Penulis dapat lebih memahami apa itu napza, bagaimana

farmakologinya untuk adiksi napza dan penatalaksaan asuhan

keperawatan napza pada manajemen nyeri penyalahgunaan napza.

2. Pembaca

Mengetahui dan memahami apa itu napza, bagaimana

farmakologinya untuk adiksi napza dan penatalaksaan asuhan

keperawatan napza pada manajemen nyeri penyalahgunaan napza.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan yang kelompok gunakan dalam penyusunan makalah

ini adalah pola deskripsi, yakni menggambarkan, memaparkan serta

menjelaskan kembali apa yang telah kelompok dapat dan telah kelompok

pelajari sebelumnya dari berbagai sumber yang telah kelompok padukan

menjadi satu rangkaian berdasarkan pemahaman kelompok, berdasarkan

study literature dalam blok

Ada pula metode penulisan untuk bahan sumber yang kami dapatkan

adalah sebagai berikut:

1. Mencari bahan di perpustakaan berdasarkan sumber yang sesuai

dengan materi

2. Mencari buku sumber yang sesuai dengan materi yang dibutuhkan

3. Mencari jurnal yang berhubungan dengan pembahasan

4. Mencari ke internet , dll

3

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Napza

2.1.1 Definisi Napza dan Narkoba

Menurut Habib Rachmad (2009).

Napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah

bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan

mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat,sehingga

menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi

sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta

ketergantungan (dependensi) terhadap napza. Istilah napza

umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang

menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut

kesehatan fisik, psikis, dan sosial. napza sering disebut juga

sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga

menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.

Narkoba adalah singkatan Narkotika dan Obay/Bahan berbahaya.

Istilah ini sangat populer di masyarakat termasuk media massa

dan aparat penegak hukum yang sebetulnya mempunyai makna

yang sama dengan napza. Ada juga menggunakan istilah Madat

untuk napza Tetapi istilah Madat tidak disarankan karena hanya

berkaitan dengan satu jenis Narkotika saja, yaitu turunan Opium.

Napza adalah singkatan untuk narkotika,alkohol,psikotropika,

dan zat adiktif lain. Narkotika menurut farmakologi adalah zat

yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan membius

(opiat).Narkotika menurut UU RI no 22 tahun 1997 adalah

opiat,ganja dan kokain.

4

2.1.2 Rentan Respon Gangguan Penggunaan Napza

Menurrut Craven, Ruth (2005)Rentang respon gangguan

penggunaan NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang ringan

sampai yang berat, indikator rentang respon ini berdasarkan

perilaku yang ditampakan oleh remaja dengan ganggua

penggunaan zat adiktif sebagai berikut:

a. Respon adaptif

b. Respon maladaptive

c. Eksperimental Rekreasional Situasional Penyalahgunaan

ketergantungan

1) Eksperimental : Kondisi pengguna taraf awal,

yang disebabkan rasa ingin tahu dari remaja.

Sesuai kebutuhan pada masa tumbuh

kembangnya, ia biasanya ingin mencari

pengalaman yang baru atau sering pula dikatakan

taraf coba-coba.

2) Rekreasional : Penggunaan zat adiktif pada waktu

berkumpul dengan dengan teman sebaya.

Misalnya pada waktu pertemuan malam

mingguan, acara ulang tahun, Penggunaan ini

mempunyai tujuan rekreasi bersama teman-

temannya.

3) Situasional : Mempunyai tujuan secara individual,

sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri.

Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk

melarikan diri atau mengatasi masalah yang

dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat

pada saat sedang konflik stress dan frustasi.

4) Penyalahgunaan : Penggunaan zat yang sudah

cukup patologis, sudah mulai digunakan secara

5

rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi

penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam

peran di lingkungan sosial : pendidikan dan

pekerjaan.

5) Ketergantungan : Penggunaan zat yang sudah

cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan

psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan

adanya Toleransi dan Syndroma putus zat ; Suatu

kondisi dimana individu yang yang biasa

menggunakan zat adiktif secara rutin, pada dosis

tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan

atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan

kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang

digunakan, Sedangkan Toleransi ; suatu kondisi

dari individu yang mengalami peningkatan dosis

(jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang biasa

diinginkannya.

2.1.3 Penggolongan Napza

a. Narkotika (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun

1997 tentang Narkotika).

Narkotika : adalah zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun

semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan. Narkotika dibedakan kedalam golongan-

golongan :

1) Narkotika Golongan I : Narkotika yang hanya

dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan,

dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai

6

potensi sangat tinggi menimbulkan

ketergantungan, (Contoh : heroin/putauw, kokain,

ganja).

2) Narkotika Golongan II : Narkotika yang

berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan

terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi tinggi mengakibatkan

ketergantungan (Contoh : morfin, petidin).

3) Narkotika Golongan III : Narkotika yang

berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan

dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan

mengakibatkan ketergantungan (Contoh : kodein).

Narkotika yang sering disalahgunakan adalah Narkotika

Golongan I :

1) Opiat : morfin, herion (putauw), petidin, candu,

dan lain-lain

2) Ganja atau kanabis, marihuana, hashis

3) Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun

koka.

b. Psikotropika (Menurut Undang-undang RI No.5 tahun

1997 tentang Psikotropika).

Psikotropika : adalah zat atau obat, baik alamiah maupun

sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif

melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang

menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku. Psikotropika dibedakan dalam golongan-

golongan sebagai berikut :

1) Psikotropika golongan I : Psikotropika yang hanya

dapat digunakan untuk kepentingan ilmu

7

pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi

serta mempunyai potensi amat kuat

mengakibatkan sindroma ketergantungan. (Contoh

: ekstasi, shabu, LSD)

2) Psikotropika golongan II : Psikotropika yang

berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam

terapi, dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta

menpunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma

ketergantungan . ( Contoh amfetamin, metilfenidat

atau ritalin).

3) Psikotropika golongan III : Psikotropika yang

berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan

dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi sedang

mengakibatkan sindroma ketergantungan

(Contoh : pentobarbital, Flunitrazepam).

4) Psikotropika golongan IV : Psikotropika yang

berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan

dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan

mengakibatkan sindrom ketergantungan (Contoh :

diazepam, bromazepam, Fenobarbital,

klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti

pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG).

c. Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan

NAPZA dapat digolongkan menjadi tiga golongan :

1) Golongan Depresan (Downer)

Adalah jenis napza yang berfungsi mengurangi

aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini menbuat

pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan

bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan

8

diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin,

heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang),

hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas)

dan lain-lain.

2) Golongan Stimulan (Upper)

Adalah jenis napza yang dapat merangsang fungsi

tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis

ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan

bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini

adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein,

Kokain.

3) Golongan Halusinogen

Adalah jenis napza yang dapat menimbulkan efek

halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan

pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang

yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat

terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam

terapi medis.

2.1.4 Jenis Napza

Heroin : Serbuk putih seperti tepung yang bersifat opioid atau

menekan nyeri dan juga depresan SSP (Craven, Ruth 2005).

a. Kokain : Di olah dari pohon Coca yang punya sifat

halusinogenik..

b. Putau : golongan heroin, berbentuk bubuk. .

c. Ganja : berisi zat kimia delta-9-tetra hidrokanbinol,

berasal dari daun Cannabis yang dikeringkan, Konsumsi

dengan cara dihisap seperti rokok tetapi menggunakan

hidung.

9

d. Shabu-shabu: kristal yang berisi methamphetamine,

dikonsumsi dengan menggunakan alat khusus yang

disebut Bong kemudian dibakar.

e. Ekstasi: methylendioxy methamphetamine dalam bentuk

tablet atau kapsul, mampu meningkatkan ketahanan

seseorang (disalahgunakan untuk aktivitas seksual dan

aktivitas hiburan dimalam hari).

f. Diazepam,Nipam, Megadon : obat yang jika dikonsumsi

secara berlebih menimbulkan efek halusinogenik.

g. Alkohol : minuman yang berisi produk fermentasi

menghasilkan etanol, dengan kadar diatas 40 % mampu

menyebabkan depresi susunan saraf pusat, dalam kadar

tinggi bisa memicu Sirosis hepatic, hepatitis alkoholik

maupun gangguan system persarafan.

2.1.5 Tanda dan Gejala Pengguna Napza

a. Tanda-tanda di rumah:

1) Hilangnya minat dalam aktifitas keluarga.

2) Tidak patuh terhadap aturan keluarga.

3) Hilang/berkurangnya rasa tanggung jawab.

4) Bersikap kasar baik secara verbal maupun fisik.

5) Menurun/meningkatnya nafsu makan secara tiba-

tiba.

6) Mengaku sering kehilangan barang atau uang.

7) Tidak pernah pulang ke rumah tepat waktu.

8) Tidak mengatakan kepada siapapun kemana

mereka pergi.

9) Terus-menerus meminta maaf terhadap segala

perbuatannya.

10) Menghabiskan banyak waktunya berdiam diri di

dalam kamar bila sedang di rumah.

10

11) Sering berbohong mengenai aktifitas mereka.

Menemukan benda-benda, seperti kertas

pembungkus rokok, pipa hisap, gelas kecil, sisa-

sisa serbuk maupun jarum suntik dan lain-lainnya

yang mencurigakan.

b. Tanda-tanda di sekolah atau di tempat kerja

1) Sering tiba-tiba pingsan di sekolah/tempat kerja.

2) Acapkali bolos masuk sekolah/kerja.

3) Kehilangan minat dalam kegiatan belajar.

4) Tertidur di dalam kelas/saat bekerja.

5) Buruk dalam penampilan sehari-hari.

6) Tidak pernah mengerjakan tugas pekerjaan rumah.

7) Tidak mematuhi bahkan menentang aturan

sekolah/otoritas.

8) Perilaku yang buruk di setiap kegiatan

sekolah/pekerjaan.

9) Penurunan konsentrasi, perhatian dan memori.

10) Tidak pernah memberitahukan orang tua/wali jika

ada pemanggilan/pertemuan dengan guru.

c. Tanda-tanda kelaian fisik dan emosional

1) Teman/kelompok sering berganti-ganti.

2) Pasangan/pacar yang juga sering berganti-ganti.

3) Tercium bau-bauan aneh seperti bau alkohol,

mariyuana, dan rokok dari nafas atau badan.

4) Perubahan perilaku dan mood yang tidak dapat

dijelaskan.

5) Sering melawan aturan, bersikap negatif, paranoid

(ketakutan dan curiga), destruktif (merusak),

tampak cemas.

11

6) Tidak pernah tampak kegembiraan seperti yang

seharusnya.

7) Selalu tampak lelah/hiperaktif yang berlebihan.

8) Penurunan/peningkatan berat badan yang drastis.

9) Kadang tampak depresi, mudah sedih dan

tertekan.

10) Seringkali menipu, berbohong atau kedapatan

mencuri.

11) Mengaku memerlukan uang/sebaliknya merasa

punya uang lebih.

12) Umumnya penampilannya kotor dan tidak terurus.

13) Gejala yang timbul diantaranya : bicara cadel,

gerakan tidak terkoordinir, kesadaran menurun,

vertigo, dilatasi pupil, jalan sempoyongan,

konjungtiva merah, nafsu makan bertambah,

mullut kering, denyut jantung cepat, panik, curiga,

banyak keringat, mual muntah, halusinasi dan

mengantuk

Jika putus zat maka gejala yang terjadi sebagai berikut

gelisah, berkeringat, denyut jantung cepat, tremor

ditangan, mual muntah, kejang otot, cemas, agresif,

halusinasi, delirium, insomnia, pupil melebar, murung,

depresi berat dan ada tindakan bunuh diri

2.2 Farmakologi Untuk Aduksi Penyalahgunaan Napza

2.2.1. Definisi

Penyalahgunaan obat secara sekilas bukan merupakan

penyakit tetapi merupakan penyakit yang berkaitan dengan

psikis dan fisik. Definisi penyalahgunaan substansi dalam arti

luas meliputi penyalahgunaan obat obatan seperti alkohol,

kokain, heroin, nikotin yang terdapat dalam tembakau, kafein

yang terkandung dalam kopi, minuman ringan.

12

Franklin dan Frances (1999) mendefinisikan ketergantungan

substansi bila seseorang tergantung secara psikologis pada

substansi, membutuhkan lebih banyak lagi substansi untuk

mendapatkan efek yang sama (toleransi) dan fisiknya akan

merespons secara negatif ketika substansi tsb. tidak lagi

digunakan (withdrawal).

Adiksi ( Ketergantungan ) adalah suatu kondisi patologis

yang disebabkan karena penggunaan berulang suatu obat yang

jika dihentikan akan menyebabkan gejala-gejala tertentu.

Gangguan kekambuhan yang bersifat kronis, yang disebabkan

oleh karena:

1. Dorongan untuk mencari dan menggunakan obat

2. Kehilangan control terhadap pembatasan pengunaaan

obat

3. Munculnya emosi negative (dysphoria, anxiety,

irritability) jika tidak mendapatkan obat, walaupun

mengetahui efek buruk obat tersebut

Penyalahgunaan obat (drug abuse) : pengunaan obat yang

berlebihan tanpa tujuan medis. Drug mis use : salah

pengunaan obat-obat dengan tujuan medis (misal: cara

minum, cara memakai). Ada tiga golongan obat yang paling

sering disalahgunakan, yaitu :

1. Golongan Analgesik Opiat / Narkotika

Menurut UU RI No 22 tahun 1997 Narkotika adalah zat

atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman

baik sintesis maupun semi sintesis yang dapaqt

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Contohnya

adalah codein, oxycodon, morfin.

13

2. Golongan depressan sistem saraf pusat untuk mengatasi

kecemasan dan gangguan tidur.

Menurut UU RI No 5 tahun 1997 Psikotropika adalah

suatu zat atau obat baik alamiah atau sintesis, bukan

narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh

selektif pada SSP yang menyebabkan perubahan khas

pada aktivitas mental dan perilaku. Contohnya barbiturat

(luminal) dan golongan benzodiazepin (diazepam/valium,

klordiazepoksid, klonazepam, alprazolam, dll).

3. Golongan stimulan sistem saraf pusat.

Obat-obat ini bekerja pada sistem saraf, dan umumnya

menyebabkan ketergantungan atau kecanduan.

Franklin dan Frances (1999) Selain itu, ada pula golongan

obat lain yang digunakan dengan memanfaatkan efek

sampingnya, bukan berdasarkan indikasi yang resmi

dituliskan. Contohnya dekstroamfetamin, amfetamin.

Beberapa contoh diantaranya adalah :

1. Penggunaan misoprostol, suatu analog prostaglandin

untuk mencegah tukak peptik/gangguan lambung, sering

dipakai untuk menggugurkan kandungan karena bersifat

memicu kontraksi rahim.

2. Penggunaan Profilas (ketotifen), suatu anti histamin yang

diindikasikan untuk profilaksis asma, sering diresepkan

untuk meningkatkan nafsu makan anak-anak

3. Penggunaan Somadryl untuk “obat kuat” bagi wanita

pekerja seks komersial untuk mendukung pekerjaannya.

Obat ini berisi carisoprodol, suatu muscle relaxant, yang

digunakan untuk melemaskan ketegangan otot.

14

Obat-obat psikotropika beserta dosis sedative dan dosis yang

menyebabkan ketergantungan :

Nama Dosis sedatif (mg) Dosis ketergantungan dan waktu

untuk menimbulkan ketergantungan

Diazepam 5 – 10 40 – 100 mg x 42 – 120 hari

Klordiazepoksid 10 – 25 75 – 600 mg x 42 – 120 hari

Alprazolam 0,25 – 8 8 – 16 mg x 42 hari

Flunitrazepam 1 – 2 8 – 10 mg x 42 hari

Pentobarbital 100 800 – 2200 mg x 35 – 37 hari

Amobarbital 65 – 100 800 – 2200 mg x 35 – 37 hari

Meprobamat 400 1,6 – 3,2 g x 270 hari

2.2.2. Mekanisme Terjadinya Adiksi

Tim BC-CMHN FIK-UI bekerjasama dengan WHO dan

Direktorat Keperawatan (2005). Untuk menjelaskan tentang

adiksi, perlu dipahami dulu istilah system reward pada

manusia. Manusia, umumnya akan suka mengulangi perilaku

yang menghasilkan sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu

yang menyebabkan rasa menyenangkan tadi dikatakan

memiliki efek reinforcement positif. Reward bisa berasal

secara alami, seperti makanan, air, sex, kasih sayang, yang

membuat orang merasakan senang ketika makan, minum,

disayang, dll. Bisa juga berasal dari obat-obatan. Pengaturan

perasaan dan perilaku ini ada pada jalur tertentu di otak, yang

disebut reward pathway. Perilaku-perilaku yang didorong oleh

reward alami ini dibutuhkan oleh mahluk hidup untuk

survived (mempertahankan kehidupan).

Bagian penting dari reward pathway adalah bagian otak yang

disebut : ventral tegmental area (VTA), nucleus accumbens,

15

dan prefrontal cortex. VTA terhubung dengan nucleus

accumbens dan prefrontal cortex melalui jalur reward ini yang

akan mengirim informasi melalui saraf. Saraf di VTA

mengandung neurotransmitter dopamin, yang akan dilepaskan

menuju nucleus accumbens dan prefrontal cortex. Jalur reward

ini akan teraktivasi jika ada stimulus yang memicu pelepasan

dopamin, yang kemudian akan bekerja pada system reward.

Obat-obat yang dikenal menyebabkan adiksi/ketagihan seperti

kokain, misalnya, bekerja menghambat re-uptake dopamin,

sedangkan amfetamin, bekerja meningkatkan pelepasan

dopamin dari saraf dan menghambat re-uptake-nya, sehingga

menyebabkan kadar dopamin meningkat.

Pada obat golongan opiat, reseptor opiat terdapat sekitar

reward pathway (VTA, nucleus accumbens dan cortex), dan

juga pada pain pathway (jalur nyeri) yang meliputi thalamus,

brainstem, dan spinal cord. Ketika seseorang menggunakan

obat-obat golongan opiat seperti morfin, heroin, kodein, dll,

maka obat akan mengikat reseptornya di jalur reward, dan

juga jalur nyeri. Pada jalur nyeri, obat-obat opiat akan

memberikan efek analgesia, sedangkan pada jalur reward akan

memberikan reinforcement positif (rasa senang, euphoria),

yang menyebabkan orang ingin menggunakan lagi. Hal ini

karena ikatan obat opiat dengan reseptornya di nucleus

accumbens akan menyebabkan pelepasan dopamin yang

terlibat dalam system reward.

2.2.3. Alasan Penyalahgunaan Obat

Ada tiga kemungkinan seorang memulai penyalahgunaan obat,

yaitu :

1. Yang pertama, seseorang awalnya memang sakit,

misalnya nyeri kronis, kecemasan, insomnia, dll,

yang memang membutuhkan obat, dan mereka

16

mendapatkan obat secara legal dengan resep dokter.

Namun selanjutnya, obat-obat tersebut

menyebabkan toleransi, di mana pasien memerlukan

dosis yang semakin meningkat untuk mendapatkan

efek yang sama. Merekapun kemudian akan

meningkatkan penggunaannya, mungkin tanpa

berkonsultasi dengan dokter. Selanjutnya, mereka

akan mengalami gejala putus obat jika pengobatan

dihentikan, mereka akan menjadi kecanduan atau

ketergantungan terhadap obat tersebut, sehingga

mereka berusaha untuk memperoleh obat-obat

tersebut dengan segala cara (Wahyu W, et.all 2008).

2. Kemungkinan kedua, seseorang memulai

penyalahgunaan obat memang untuk tujuan

rekreasional. Artinya, sejak awal penggunaan obat

memang tanpa tujuan medis yang jelas, hanya untuk

memperoleh efek-efek menyenangkan yang

mungkin dapat diperoleh dari obat tersebut.

Kejadian ini umumnya erat kaitannya dengan

penyalahgunaan substance yang lain, termasuk yang

bukan obat diresepkan, seperti kokain, heroin,

ecstassy, alkohol, dll (Wahyu W, et.all 2008).

3. Yang ketiga, seseorang menyalahgunakan obat

dengan memanfaatkan efek samping seperti yang

telah disebutkan di atas. Bisa jadi penggunanya

sendiri tidak tahu, hanya mengikuti saja apa yang

diresepkan dokter. Obatnya bukan obat-obat yang

dapat menyebabkan toleransi dan ketagihan.

Penggunaannya juga mungkin tidak dalam jangka

waktu lama yang menyebabkan ketergantungan

(Wahyu W, et.all 2008).

17

2.2.4. Penatalaksanaan Farmakoterapi

(Guntoro Utamadi 2002). Sebagai bagian dari tenaga

kesehatan dan garda terdepan bagi akses masyarakat terhadap

obat, maka farmasis dapat berkontribusi secara signifikan

dalam mengidentifikasi dan mencegah penyalahgunaan obat.

Melihat berbagai kemungkinan akses masyarakat terhadap

obat yang bisa disalah-gunakan, ada beberapa hal yang dapat

dilakukan:

1. Aktif memberikan edukasi kepada masyarakat tentang

bahayanya penyalahgunaan obat, lebih baik dengan cara

yang sistematik dan terstruktur.

2. Mewaspadai adanya kemungkinan resep-resep yang palsu

dan ganjil, terutama resep - resep yang mengandung obat

psikotropika/narkotika. Hal ini memerlukan pengalaman

yang cukup dan pengamatan yang kuat. Jika terdapat hal-

hal mencurigakan, dapat berkomunikasi dengan dokter

penulis resep yang tertera dalam resep tersebut untuk

konfirmasi.

3. Mengedepankan etika profesi dan mengutamakan

keselamatan pasien dengan tidak memberikan kemudahan

akses terhadap obat-obat yang mudah disalah gunakan.

Kondisi yang perlu diatasi secara farmakoterapi pada keadaan

ketergantungan obat ada dua, yaitu kondisi intoksikasi dan

kejadian munculnya gejala putus obat (“sakaw”). Dengan

demikian, sasaran terapinya bervariasi tergantung tujuannya:

a. Terapi pada intoksikasi/over dosis tujuannya untuk

mengeliminasi obat dari tubuh, menjaga fungsi vital tubuh

b. Terapi pada gejala putus obat tujuannya untuk mencegah

perkembangan gejala supaya tidak semakin parah,

18

sehingga pasien tetap nyaman dalam menjalani program

penghentian obat

Masing-masing golongan obat memiliki cara penanganan yang

berbeda, sesuai dengan gejala klinis yang terjadi. Di bawah ini

disajikan tabel ringkasan terapi intoksikasi pada berbagai jenis

obat yang sering disalahgunakan.

Tabel 1. Ringkasan tentang terapi intoksikasi

Klas obat Terapi obat Terapi non-

obat

Komentar

Benzodiazepin Flumazenil 0,2

mg/min IV, ulangi

sampai max 3 mg

Support

fungsi vital

Kontraindikasi jika

ada penggunaan TCA

à resiko kejang

Alkohol,

barbiturat, sedatif

hipnotik non-

benzodiazepin

Tidak ada Support

fungsi vital

Opiat Naloxone 0,4-2,0

mg IV setiap 3 min

Support

fungsi vital

Jika pasien tidak

responsif sampai dosis

10 mg à mungkin ada

OD selain opiat

Kokain dan

stimulan CNS lain

þ Lorazepam 2-4 mg

IM setiap 30 min

sampai 6 jam jika

perlu

þ Haloperidol 2-5 mg

(atau antipsikotik

lain) setiap 30 min

sampai 6 jam

-Support

fungsi vital

- Monitor

fungsi

jantung

- digunakan jika pasien

agitasi

- digunakan jika pasien

psikotik

- komplikasi

kardiovaskuler diatasi

scr simptomatis

Halusinogen,

marijuana

Sama dgn di atas Support

fungsi vital,

„talk-down

therapy“

19

Tabel 2. Ringkasan tentang terapi untuk mengatasi gejala putus obat withdrawal

syndrome (DiPiro, 2008)

Obat Terapi obat Komentar

Benzodiazepin

(short acting)

Klordiazepoksid 50 mg 3 x sehari

atau lorazepam 2 mg 3 x sehari,

jaga dosis utk 5 hari, kmdtapering

Long acting BZD Sama, tapi tambah 5-7 hari

utktappering

Alprazolam paling sulit

dan butuh wkt lebih

lama

Opiat Methadon 20-80 mg

p.o, taperdengan 5-10 mg sehari,

atau klonidin 2 mg/kg tid x 7

hari,taper untuk 3 hari berikutnya

- jika metadon gagal à

metadon maintanance

program

- Klonidin menyebabkan

hipotensi à pantau BP

Barbiturat Test toleransi pentobarbital,

gunakan dosis pada batas atas test,

turunkan dosis 100 mg setiap 2-3

hari

Mixed-substance Lakukan spt pada long acting

BZD

Stimulan CNS Terapi supportif saja, bisa

gunakan bromokriptin 2,5 mg jika

pasien benar-benar kecanduan,

terutama pada kokain

2.3 Manajemen Nyeri

2.3.1 Stimulus

Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsang nyeri)

dan reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosiseptor, yaitu

ujung – ujung saraf bebas kulit yang berespon terhadap stimulus

yang kuat. Munculnya nyeri dimulai dengan adanya stimulus

tersebut dapat berupa biologis, zat kimia, panas, listrik serta

mekanik (Prasetyo, 2010).

20

2.3.2 Reseptor Nyeri

Reseptor merupakan sel-sel khusus yang mendeteksi perubahan -

perubahan partikular di sekitarnya, kaitannya dengan proses

terjadinya nyeri maka resepto-reseptor inilah yang menangkap

stimulus-stimulus nyeri (Prasetyo, 2010).

2.3.3 Beberapa Penggolongan Reseptor Sensori Dalam Prasetyo

(2010) :

a. Termoreseptor: reseptor yang menerima sensasi suhu

(panas atau dingin).

b. Mekanoreseptor; reseptor yang menerima stimulus-

stimulus mekanik.

c. Nosiseptor: reseptor yang menerima stimulus-stimulus

nyeri.

d. Kemoreseptor: reseptor yang menerima stimulus kimiawi.

Menurut Tamsuri (2007), berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat

dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh, yaitu :

a. Kulit (kutaneus)

Reseptor jarinagn kuit terbagi dalam dua komponen,

yaitu: Serabut A delta merupakan serabut komponen

cepat ( kecepatan transmisi 6-30m/det) yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat

hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan. Serabut C

merupakan komponen lambat 9kecepatan transmisi 0,5-

2m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam,

nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

b. Somatik Dalam

Stuktur reseptor nyeri somatic dalam meliputi reseptor

nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf,

otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur

21

reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan

nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

c. Viseral

Reseptor ini meliputi organ-organ visceral seperti

jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang

timbul pada reseptor ini biasanya difus (terus-menerus)

dan sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia, dan

inflamasi. Nyeri visceral dapat menyebabkan nyeri alih,

yaitu nyeri yang dapat timbul pada daerah yang

berbeda/jauh dari organ asal stimulus nyeri tersebut.

Nyeri pindah ini dapat terjadi karena adanya sinaps

jaringan visceral pada medulla spinalis dengan serabut

yang berasal dari jaringan subkutan tubuh.

2.3.4 Alur Nyeri

Menurut Prasetyo (2010), rangkaian proses terjadinya nyeri

diawali dengan tahap tranduksi, dimana hal ini terjadi ketika

nosiseptor yang terletak pada bagian perifer tubuh distimulasi

oleh berbagai stimulus, seperti faktor biologis, mekanis, listrik,

thermal, radiasi dan lainn-lain. Fast pain dicetuskan oleh reseptor

tipe mekanis atau thermal 9 yaitu serabut saraf A-Delta),

sedangkan slow pain biasanya dicertuskan oleh serabut saraf C.

Serabut saraf A-Delta mempunyai karakteristik menghantarkan

nyeri dengan cepat serta bermielinasi, dan serabut saraf C yang

tiidak bermielinasi, berukuran sangat kecil dan bersifat lambat

dalam menghantarkkan nyeri. Serabut A mengirim sensasi yang

tajam, terlokalisasi dan jelas dalam melokalisasi sumber nyeri

dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C menyampaikan

impuls yang tidak terlokalisasi, viseral dan terus-menerus.

Tahap selanjutnya adalah tranmisi, dimana impuls nyeri

kemudian ditranmisikanoleh serabut saraf efferen (A.-delta dan

22

C) ke medulla spinalis melalui dorsal horn, impuls akan

bersinapsis di substansia gelatinosa. Impuls kemudian

menyeberang ke atas melewati traktus sphinotalamus anterior

dan lateral, kemudian diteruskkan langsung ke thalamus tanpa

singgah di formatio retikularis membawa impuls fast pain.

Dibagian thalamus inilah individu kemudian dapat

mempersepsikan, menggambarkan, melokalisasi,

mengintrepetasikan dan mulai berespon terhadap nyeri.

Beberapa impuls nyeri ditranmisikan melalui traktus

paleospinothalamus pada bagian tengah medulla spinalis. Impuls

ini memasuki formation retikularis dan sistem limbik yang

mengatur perilaku emosi dan kognitif, serta integrasi dari sistem

otonom. Slow pain yang terjadi akan membangkitkan emosi,

sehinggatimbul respon terkejut, marah, cemas, tekanan darah

meningkat, keluar keringat dingin dan jantung berdebar-debar.

2.3.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri

a. Usia

Pengaruh usia pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri

tidak diketahui secara luas. Anak-anak yang belum

mempunyai kosakata yang banyak mempunyai kesulitan

mendeskripsikan secara verbal dan mengespresikan

secara nyeri kepada orangtua atau perawat. Pada masa

orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah

patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri,

2007). Pada lansia, mereka lebih untuk tidak melaporkan

nyeri karena persepsi nyeri yang harus mereka terima,

menyangkal merasakan nyeri karena takut akan

konsekuensi atau tindakan media yang dilakukan dan

takut akan penyakit dan rasa nyeri itu (Smeltzer & Bare,

2002).

23

b. Jenis Kelamin

Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara

signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Toleransi nyeri

sejak lama telah menjadi subjek penelitian yang

melibatkan pria dan wanita. Akan tetapi, toleransi

terhadap nyeri dipengaruhi oleh factor-faktor biokimia

dan merupakan hal yang unik pada setiap individu, tanpa

memperhatikan jenis kelamin (Potter & Perry, 2006).

c. Budaya

Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada

bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri

(bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku

dalam berespons terhadap nyeri). Pasien dengan latar

belakang budaya yang lain bisa berekspresi secara

berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang

mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri

karena perilaku berbeda dari satu pasien ke pasien yang

lain (Smeltzer & Bare, 2002).

d. Makna Nyeri

Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman

nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.

Seorang wanita yang merasakan nyeri saat bersalin akan

mempersepsikan nyeri secara berbeda dengan wanita

lainnya yang nyeri karena dipukul oleh suaminya

(Prasetyo, 2010).

e. Perhatian

Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan

mepengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat

terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri

sedangkan upaya pengalihan(distraksi0 dihubungkan

dengan penurunan respon nyeri. Konsep inilah yang

24

mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri,

seperti relaksasi, tehnik imajinasi terbimbing, dan

massase atau pijatan (Prasetyo, 2010).

f. Pengalaman Sebelumnya

Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari

banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya.

Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari

pengalaman sebelumnya menunjukkan pentingnya

perawat untuk waspada terhadap pengalaman masalalu

pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan tepat

dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan

terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu

mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).

g. Mekanisme Koping

Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang

membuat seseorang menjadi kesepian. Apabila klien

mengalami nyeri di keadaan perawatan kesehatan, klien

merasa tidak berdaya dengan rasa sepi itu. Hal yang

sering terjadi adalah klien merasa kehilangan control

terhadap lingkungan atau hasil akhir dari peristiwa-

peristiwa yang terjadi. Mekanisme koping empengaruhi

kemampuan individu untuk mengatasi rasa nyeri (Potter

& Perry, 2006).

h. Dukungan Keluarga dan Sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan

dukungan, bantuan, perlindungan dari anggota keluarga

lain, atau teman terdekat. Walaupun nyeri masih

dirasakan oleh klien, kehadiran orang terdekat akan

meminimalkan kesepian adan ketakutan (Prasetyo, 2010).

25

2.3.6 Manajemen Nyeri Non-Farmakologi

Keliat B.A & Akemat (2004), Keperawtan Jiwa Terapi Aktifitas

Kelompok, EGC Jakarta.

Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mengatasi nyeri, yaitu

salah satu nya dengan pemberian terapi nonfarmakologis. Terapi

nonfarmakologis yaitu terapi yang digunakan yakni tanpa

menggunakan obat-obatan, tetapi dengan memberikan berbagai

tehnik yang setidaknya dapat sedikit mengurangi rasa nyeri.

Diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Distraksi

Distraksi adalah memfokuskan perhatian pasien pada

sesuatu selain nyeri. Ada empat tipe distraksi, yaitu

distraksi visual, misalnya membaca atau menonton

televisi, Distraksi auditory, misalnya mendengarkan

musik, Distraksi taktil, misalnya menarik nafas dan

massase, Distraksi kognitif, misalnya bermain puzzle.

Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang

lain sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap

nyeri, bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri.

Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori

aktivasi retikuler, yaitu menghambat stimulus nyeri ketika

seseorang menerima masukan sensori yang cukup atau

berlebihan, sehingga menyebabkan terhambatnya impuls

nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh

klien). Stimulus sensori yang menyenangkan akan

merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri

yang dirasakan oleh klien menjadi berkurang.

Salah satu distraksi yang efektif adalah dengan Murottal

(mendengarkan bacaan Al-Qur’an), yang dapat

menurunkan hormon-hormon stres, mengaktifkan hormon

endorfin alami, meningkatkan perasaan rileks, dan

26

mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas dan tegang,

memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan

tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak

jantung, denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak. Laju

pernafasan yang lebih dalam atau lebih lambat tersebut

sangat baik menimbulkan ketenangan, kendali emosi,

pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme yang lebih

baik (Heru, 2008).

b. Stimulasi dan Massase kutaneus

Terapi stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang

dilakukan untuk menghilangkan nyeri massase, mandi air

hangat, kompres panas atau dingin dan stimulasi saraf 

elektrik transkutan (TENS) merupakan langkah-langkah

sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri. Cara

kerja khusus stimulasi kutaneus masih belum jelas. Salah

satu pemikiran adalah cara ini menyebabkan pelepasan

endorfin, sehingga memblog transmisi stimulasi

nyeri.Teori Gate-kontrol mengatakan bahwa stimulasi

kutaneus mengaktifkan transmisi tersebut saraf sensori A-

Beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini

menurunkan transmisi nyeri melalui serabut dan delta-A

berdiameterkecil. Gerbang sinaps menutup transmisi

impuls nyeri. Bahwa keuntungan stimulasi kutaneus

adalah tindakan ini dapat dilakkan dirumah, sehingga

memungkinkan klien dan keluarga melakukan upaya

kontrol gejala nyeri dan penanganannya. Penggunaan

yang benar dapat mengurangi persepsi nyeri dan

membantu mengurangi ketegangan otot. Stimulasi

kutaneus jangan digunakan secara langsung pada daerah

kulit yang sensitif (Mander,2004).

27

c. Terapi es dan panas

Terapi hangat dan dingin bekerja dengan menstimulasi

reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor). Terapi dingin dapat

menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitifitas

reseptor nyeri. Agar efektif es harus diletakkan di area

sekitar pembedahan. Penggunaan panas dapat

meningkatkan aliran darah yang dapat mempercepat

penyembuhan dan penurunan nyeri (Smeltzer &

Bare,2002).

d. Hipnosis

Hypnosis-diri dengan membantu merubah persepsi nyeri

melalui pengaruh sugesti positif. Hypnosis-diri

menggunakan sugesti dari dankesan tentang perasaan

yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks

dengan menggunakan bagian ide pikiran dan kemudian

kondisikondisi yang menghasilkan respons tertentu bagi

mereka (Edelman & Mandel, 1994).

Hypnosis-diri sama seperti dengan melamun. Konsentrasi

yang efektif mengurangi ketakutan dan sters karena

individu berkonsentrasi hanya pada satu pikiran. Selain

itu juga mengurangi persepsi nyeri merupakan salah satu

sederhana untuk meningkatkan rasa nyaman ialah

membuang atau mencegah stimulasi nyeri. Hal ini

terutama penting bagi klien yang imobilisasi atau tidak

mampu merasakan sensasi ketidaknyamanan. Nyeri juga

dapat dicegah dengan mengantisipasi kejadian yang

menyakitkan, misalnya seorang klien yang dibiarkan

mengalami konstipasi akan menderita distensi dan kram

abdomen. Upaya ini hanya klien alami dan sedikit waktu

ekstra dalam upaya menghindari situasi yang

menenyebabkan nyeri (Mander, 2003).

28

e. Tehnik Relaksasi

Relaksasi pernafasan yang merupakan suatu bentuk

asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat

mengajakan pada klien bagaimana cara melakukan

pernafasan, nafas lambat (menahan inspirasi secara

maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara

perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri,

teknik relaksasi pernafasan juga dapat meningkatkan

ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah

(Smeltzer & Bare2002).

Menurut kegunaanya teknik relaksasi pernafasan

dianggap mampu meredakan nyeri, prosesnya menarik

nafas lambat melalui hidung (menahan inspirasi secara

maksimal) dan menghembuskan nafas melalui mulut

secara perlahan-lahan.

2.4 Askep Pada Klien Penyalahgunaan Napza

Wahyu W, et.all (2008). Asuhan keperawtan pada klien dengan

gangguan system persyarafan. Trans Info Media : Jakarta.

2.4.1 Pengkajian

d. Fisik

Secara keseluruhan, efek masing-masing golongan

NAPZA pada fungsi fisiologis memiliki banyak

kesamaan. Data yang mungkin ditemukan pada klien

yang menggunakan NAPZA antara lain : nyeri, gangguan

pola tidur, menurunnya selera makan, konstipasi, diare,

perilaku seks melanggar norma, tidak merawat diri,

potensial komplikasi.

Tujuan : klien mampu untuk hidup teratur.

29

e. Emosional

Perasaan gelisah (takut diketahui), tidak percaya diri,

curiga dan tidak berdaya. Potensial mengalami gangguan

mental dan perilaku. Dengan tambahan gejala-gejala

emosional yang terdapat pada masing-masing NAPZA.

Tujuan : Klien dapat mengontrol dan mengendalikan

emosinya

f. Sosial

Lingkungan sosial yang biasa akrab dengan klien adalah

teman pengguna zat, anggota keluarga lain, pengguna zat

di lingkungan sekolah atau kampus.

g. Intelektual

Pikiran yang selalu ingin menggunakan zat adiktif,

perasaan ragu untuk berhenti, aktivitas sekolah atau

kuliah yang menurun sampai berhenti, pekerjaan terhenti.

Tujuan : klien mampu berkonsentrasi dan meningkatkan

daya pikir ke hal-hal positif.

d. Spiritual

Kegiatan keagamaan kurang atau tidak ada, nilai-nilai

kebaikan ditinggalkan karena perubahan perilaku mis.,

mencuri, berbohong.

Tujuan : klien mampu meningkatkan ibadah, pelaksanaan

nilai-nilai kebaikan.

e. Keluarga

Ketakutan akan perilaku klien, malu pada masyarakat,

penghamburan dan pengurasan ekonomi keluarga oleh

klien, komunikasi dan pola asuh tidak efektif, dukungan

moril terhadap klien tidak terpenuhi

Tujuan : keluarga mampu merawat klien sampai akhirnya

mampu mengantisipasi terjadinya kekambuhan (relapse).

30

2.4.2. Diagnosa Keperawatan

Tim Keperawatan Jiwa Depkes RI (2002). Keperawatan jiwa

teori dan tindakan keprawatan. Catatan-Catatan Depkes RI

Dirjen Tanmed Direktorak Keperawatan dan Keteknisian

Medik

a. Ancaman Kehidupan

1) Gangguan keseimbangan cairan: mual, muntah

berhubungan dengan pemutusan zat opioda

2) Resiko terhadap amuk berhubungan dengan

intoksikasi sedatif hipnotik

3) Resiko cidera diri berhubungan dengan intoksikasi

aklkohol, sedatif, hipnotik

4) Panik berhubungan dengan putus zat alkohol

b. Intoksinasi

1) Cemas berhubungan dengan intoksikasi ganja

2) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan

dengan intoksikasi sedatif hipnotik, alcohol,

opioda

c. Withdraw

1) Perubahan proses piker: waham berhubungan

dengan putus zat alcohol, sedatif, hipnotik

2) Nyeri berhubungan dengan putus zat opioda,

MDMA: extasy

3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

berhubungan dengan putus zat opioda

d. Pasca Detoksikasi

1) Gangguan pemusatan perhatian berhubungan

dengan dampak penggunaan zat adiktif

2) Gangguan konsep diri : harga diri rendah

berhubungan dengan tidak mampu mengenal

kualitas yang positif dari diri sendiri.

31

3) Resiko melarikan diri berhubungan dengan

ketergantungan tehadap zat adiktif

Dari pohon masalah, diagnosa yang mungkin timbul :

1) Resiko tinggi menciderai diri sendiri berhubungan

dengan intoksikasi

2) Intoksikasi berhubungan dengan menarik diri

3) Harga diri rendah berhubungan dengan gangguan

konsep diri

4) Harga diri rendah berhubungan dengan koping

mal adaptif

2.4.3. Rencana Tindakan Keperawatan

a. Kondisi Overdosis

Tujuan : Klien tidak mengalami ancaman kehidupan

Rencana tindakan:

1) Observasi tanda – tanda vital, kesadaran pada 15

menit pada 3 jam pertama, 30 menit pada 3 jam

kedua tiap 1 jam pada 24 jam berikutnya

2) Bekerja sama dengan dokter untuk pemberian

obat

3) Observasi keseimbangan cairan

4) Menjaga keselamatan diri klien

5) Menemani klien

6) Fiksasi bila perlu

b. Kondisi Intoksikasi

Tujuan: intoksikasi pada klien dapat diatasi, kecemasan

berkurang/hilang

Rencana tindakan:

1) Membentuk hubungan saling percaya

2) Mengkaji tingkat kecemasan klien

3) Bicaralah dengan bahasa yang sederhana, singkat

mudah dimengerti

32

4) Dengarkan klien berbicara

5) Sering gunakan komunikasi terapeutik

6) Hindari sikap yang menimbulkan rasa curiga,

tepatilah janji, memberi jawaban nyata, tidak

berbisik di depan klien, bersikap tegas, hangat dan

bersahabat

c. Kondisi Withdraw

1) Observasi tanda- tanda kejang

2) Berikan kompres hangat bila terdapat kejang pada

perut

3) Memberikan perawatan pada klien waham,

halusinasi: terutama untuk menuunkan perasaa

yang disebabkan masalah ini: takut, curiga, cemas,

gembira berlebihan, benarkan persepsi yang salah

4) Bekerja sama dengan dokter dalam memberikan

obat anti nyeri

d. Kondisi Detoksikasi

1) Melatih konsentrasi: mengadakan kelompok

diskusi pagi

2) Memberikan konselin untuk merubah moral dan

spiritual klien selama ini yang menyimpang,

ditujukan agar klien menjadi manusia yang

bertanggung jawab, sehat mental, rasa bersyukur,

dan optimis

3) Mempersiapkan klien untuk kembali ke

masyarakat, dengan bekerja sama dengan pekerja

social, psikolog.

33

BAB III

PEMBAHASAN

Menurut analisis jurnal yang berjudul “Novel drug-regulated transcriptional

networks in brain reveal pharmacological properties of psychotropic drugs” oleh

Michal Korostynski menjelaskan bahwa penggunaan obat akan lebih efektif bila

dilakukan dengan mekanisme biologis dan menggunakan desain rasional terapi.

Pendekatan Bioinformatika menyebabkan identifikasi dari tiga jaringan genomik

obat - responsif utama dan menunjukkan jalur neurobiologis yang menengahi

perubahan dalam transkripsi. Dalam jurnal ini , lebih mengupas perbandingan

gen perubahan dengan melihat ekspresi klien ,ketika klien memakai obat-obatan

senyawa psikoaktif yag berbeda. Penggunaan zat psikotropika mengatur seseorang

dalam berekspresi,bertingkah laku dan bersikap. Dalam jurnal ini mengupas

tetntang mekanisme melalui antidepresan yang diberikan kepada klien.

Sedangkan dalam jurnal “Predictors of Resolution of Aberrant Drug Behavior in

Chronic Pain Patients Treated in a Structured Opioid Risk Management Program”

oleh Salimah. Jurnal tersebut berisikan Untuk mengidentifikasi prediktor

demografi dan klinis dari resolusi menyimpang terkait obat perilaku ( ADRBs )

dalam kelompok pasien yang dirujuk ke Klinik Pembaruan Opioid ( ORC )

dengan mereka penyedia layanan kesehatan primer ( PCPs ) . ORC adalah

program yang mendukung penggunaan PCPs ' opioid untuk nyeri kronis pada

pasien dianggap beresiko karena melanggar opioid. Analgesik Opioid semakin

banyak digunakan dalam perawatan primer pengobatan nonkanker kronis. PCPs

digabungkan dengan cara pengobatan opioid yang aman kedalam praktek klinis.

Hasil yang di dapat di jurnal Dari 401 pasien dengan nyeri kronis dimaksud ORC

antara 17 Januari 2002 dan 27 Agustus 2004, 195 (48,6%) dirujuk karena ADRB

ketika opioid ditentukan (Tabel 1). Dari jumlah tersebut, 89 (45,6%) pasien

diselesaikan ADRB mereka, dan 106 (54,4%) dipulangkan dari program.

Berdasarkan pada analisis post power-hoc, ukuran sampel tersebut adalah cukup

untuk mendeteksi perbedaan sekitar 0,4 standar penyimpangan menggunakan t-

34

test berpasangan, dengan 80% kekuasaan. Untuk perbandingan persentase, ia

menyediakan Kekuatan 80% untuk mendeteksi perbedaan pada urutan 25% vs

10%, atau 50% vs 30%.

Penelitian ini juga menunjukkan hubungan langsung antara jumlah diagnosis rasa

sakit dan kemungkinan yang tersisa dalam program dan menyelesaikan ADRBs.

Temuan ini menunjukkan bahwa orang-orang dengan lebih diagnosa nyeri dapat

termotivasi untuk mematuhi struktur program untuk mendapatkan akses ke

konsisten nyeri dan menjelaskan perilaku menyimpang dalam penggunaan obat

dalam penelitian kami.

Harapan dan cita-cita dimiliki oleh hampir semua partisipan, adalah menjadi

pasien yang berhasil mengikuti setiap rehabilitasi dan penggunaan opioid

sehingga mengungkapkan kebutuhan lebih lanjut ke aman dan efektif cara untuk

mengatasi rasa sakit dalam subset kompleks terhadap penggunaan opioid untuk

pengobatan.

35

BAB IV

PENUTUP

4.1. Simpulan

Napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah

bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan

mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat,sehingga

menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi

sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta

ketergantungan (dependensi) terhadap napza. Istilah napza

umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang

menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut

kesehatan fisik, psikis, dan sosial. napza sering disebut juga

sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga

menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.

Ada beberapa tindakan pelaksanaan yang dapat dilakukan sebagai

pemulihan dapi penggunaan napza diantaranya dengan

farmakoterapi dan managemen nyeri untuk adiksi. Yang tentunya

dilakukan secara kerjasama antara tenaga kesehatan dan keluarga

agar asuhan keperawatan yang komperhensif dapat berjalan

dengan baik.

36

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan).

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

http://pedulinapza.blogspot.com/2009/02/pengertian-napza.html

www.anti.or.id

www.kapanlagi.com

Cokingting, P.S., Darst,E, dan Dancy, B, 1992, Mental Health and Psichiatric

Nursing, Philadelpia, J.B.,Lippincott Company, Chapter 8

Shults. Y.M. 1968,Manual of Psichiatric Nursing Care Plans, Boston,

Little.Brown and Company, Chapter 20,21,22.

Stuart, G.W.,dan Sundeen, S.J., 1991, Pocket Guide to Psichyatric Nursing,

(2nd,ed), St. Louis Mosby Year Book, Chapter 17.

Stuart, Gail W.,1998, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Alih bahasa Yani, Achir,

Edisi 3, Jakarta, EGC

Hawari, Dadang.,2003, Penyelahgunaan dan ketergantungan NAZA,FKUI,

Jakarta, gaya baru

37