maksiat hati sebuah hijab hubungan manusia …
TRANSCRIPT
MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA DENGAN
TUHAN MENURUT AL-GHAZALI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)
Oleh:
Mohammad Mufid
1113033100035
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSASFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
i
MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA DENGAN
TUHAN MENURUT AL-GHAZALI
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk memenuhi
Persyaratan Meraih Gelar
Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Mohammad Mufid
NIM: 1113033100035
Dosen Pembimbing:
Dr. Edwin Syarif, M. Ag.
NIP. 196709181997031001
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H./2018 M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Maksiat Hati Sebuah Hijab Hubungan Manusia Dengan
Tuhan Menurut Al-Ghazali (Kajian Tentang Sebuah Maksiat Hati)” telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar
Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Aqidah Filsafat Islam.
Ciputat, 5 Februari 2018
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekertaris Merangkap Anggota,
................................
.................................
Anggota,
Penguji I,
Penguji II
.........................
..........................
Pembimbing,
Dr. Edwin Syarif, M. Ag.
iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi yang berjudul “Maksiat Hati Sebuah Hijab Hubungan Manusia
Dengan Tuhan menurut Al-Ghazâlî (Kajian tentang maksiat hati)” ini
merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memeroleh gelar Sarjana Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 5 Februari2018
Mohammad Mufid
iv
ABSTRAK
Mohammad Mufid
MaksiatHatiSebuah Hijab HubunganManusiadenganTuhanMenurut al-
Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang sufi besar yang namanya sudah tidak asing bagi
masyarakat dunia,terutama Indonesia. Ia bukan hanya seorang sufi saja, tetapi ia
juga seorang filsuf dan teolog. Sehingga tidaklah aneh kalau ia mempunyai
banyak karya yang membahas tentang filsafat dan ilmu kalam. Bahkan karya-
karyanya sudah menyebar luas dan menghiasi lemari-lemari yang ada diberbagai
perpustakaan dunia. Karyanya juga banyak dikaji oleh berbagai kalangan,
termasukpara akademisi.
Dari segitu banyak karya dan berbagai macam pembahsannya, penulis
merasa tertarik untuk mengkajinya. Namun penulis hanya membatasi
pembahasannya tentang maksiat hati. Karena, maksiat hati yang dibahas oleh al-
Ghazali menurut penulis sangat menarik. Oleh sebab itu, penulis merasa tertarik
untuk meneliti bahayanya tentang maksiat hati. Apabila manusia yang hatinya
masih menyimpan berbagai macam maksiat, maka ia tidak akan bisa berhubungan
dengan Tuhan. Tuhan tidak akan bisa masuk ke dalam hati manusia yang hatinya
masih dipenuhi oleh maksiat.
v
KATA PENGANTAR
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Alḥamdulillāh, puji syukur kepada Allah Swt. Yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini
tanpa kendala yang berarti. Ṣalawāh dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi
Muḥammad Saw. Beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag.selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
3. Dra. Tien Rohmatin, MA. Sebagai ketua Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam, yang tak henti-hentinya menyemangati, mengayomi,
dan memberikan masukan-masukan penulisan skripsi ini.
4. Kepada Dr. Abdul Hakim Wahid, MA. Selaku Sekretaris Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,yang tak pernah bosan
mendengarkan keluh kesah penulis, serta selalu memberikan saran
terbaik kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan ini.
5. Bapak Hanafi, S.Ag, MA, selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan nasehat-nasehat selagi saya sedang menyusun skripsi.
vi
6. Bapak Dr. Edwin Syarif, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah meluangkanbanyak waktunya untuk membimbing,
mengarahkan,memberikan pengoreksian, dan memberikan saran-saran
demi perbaikan skripsi ini.
7. Segenap Karyawan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan
semangat, dan selalu sabar menghadapi tingkah laku penulis selama
berada di perpustakaan.
8. Segenap Bapak dan Ibu dosen khususnya Aqidah dan Filsafat Islam,
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang sudah memberikan ilmu pengetahuannya selama penulis
belajar di Fakultas Ushuluddin.
9. Bapak, ibu, kakak, adik, dan keluarga saya yang tidak pernah letih
mendoakan dan memberikan biayah kuliah selagi sayamasih sedang
berjuang belajar agar saya dapat menimba ilmu setinggi dan sebaik
mungkin. Beserta keluarga besar lainnya yang selalu menyemangati
dan mengembalikan kepercayaan diri saya.
10. Teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2013, teman-teman
HMI, Hima-Cita, dan KMSGD yang selalu membantu penulis dan mau
berbagi ilmu,sehingga menambah imajinasi penulis dalam
menyelesaikan tugas akhir ini. Serta semua pihak yang telah
membantu, penulis ucapkan terimakasih.
vii
Penulis menyadari, masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Namun
sedikit banyaknya, semoga dapat bermanfaat kususnya bagi penulis dan
masyarakat pada umumnya.
Kepada Allah saya mohon ampun, yang benar datangnya dari Allah Swt dan
kesalahan atas kekhilafan penulis sendiri. Semoga dengan ini kita selalu
berpegang teguh pada Alquran yang telah Allah Swt turunkan untuk menjadi
pedoman dalam hidup manusia.
Wassalāmu`alaikum waraḥmatullāh wabarakātuh.
Jakarta, 5Februari 2018
Mohammad Mufid
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
PadananAksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidakdilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts tedanes ث
j je ج
ẖ h dengangarisbawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de danzet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy esdan ye ش
s esdengangaris di bawah ص
ḏ de dengangaris di bawah ض
ṯ tedengangaris di bawah ط
ẕ zetdengangarisdibawah ظ
komaterbalik di atashadapkanan ʹ ع
gh gedan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h wa ھ
apostrof ء
y ye ي
Vokal Tunggal
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
a fatẖah ـ
i kasrah ـ
u ḏammah ـ
ix
VokalRangkap
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ي ـ ai a dani
و ـ au a dan u
Vokal Panjang
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
â a dengantopi di atas آ
Î Idengantopi di atas إى
Û u dengantopi di atas أو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalamsistemaksaraarabdilambangkandenganhuruf,
yaituال, dialihaksarakanmenjadihuruf /l/,
baikdiikutihurufsyamsiyyahmaupunhurufqomariyyah. Contoh: al-
rijâlbukanar-rijâl, al-dîwânbukanad-dîwân.
Syaddah(Tasydȋd)
Syaddah atau tasdȋd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ـ), dalamalihaksarainidilambangkandenganhuruf,
yaitudenganmenggandakanhuruf yang diberitandasyaddahitu. Akan tetapi,
halinitidakberlakujikahuruf yang menerimatandasyaddahituterletaksetelah
kata sandang yang diikutiolehhuruf-hurufsyamsiyyah. Misalnya, kata
.tidakditulisaḏ-darûrahmelainkanal-darûrahالضرورۃ
Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯahterdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihatcontoh 1). Hal yang sama juga berlaku jika ta
marbûṯahtersebutdiikutioleh kata sifat (naʹt) (lihatcontoh 2). Namun,
jikahurufta marbûṯahtersebutdiikuti kata benda (ism),
makahuruftersebutdialihaksarakanmenjadihuruf /t/ (lihatcontoh 3).
No Kata Arab AlihAksara
ṯarîqah طريقة 1
al-jâmi’ah al-islâmiyyah الجامعة الإسلامية 2
دوحدۃالوجو 3 waẖdat al-wujûd
x
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................................. i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................... iii
ABSTRAK ...... .............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................................... viii
DAFTAR ISI ... .............................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 6
C. Batasan Masalah ............................................................................ 7
D. Rumusan Masalah ........................................................................... 7
E. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
F. Manfaat Penelitian .......................................................................... 8
G. Telaah Pustaka ................................................................................ 9
H. Metode Penelitian ............................................................................ 9
I. Sistematika Penulisan ...................................................................... 10
BAB II BIOGRAFI AL-GHAZALI .................................................................. 12
A. Riwayat Hidup ................................................................................ 12
B. Pendidikan Al-Ghazali ................................................................... 15
C. Pengaruhal-GhazaliTerhadapTasawuf ............................................ 20
D. Karya-karya ..................................................................................... 25
BAB III SUMBER DASAR TASAWUF ......................................................... 27
A. Al-Qur’an ............................................................................. 27
B. Hadis ................................................................................... 30
C. Tema Dasar Tasawuf ............................................................ 36
BAB IV PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG MAKSIAT HATI ... 40
A. Tuhan .................................................................................... 40
B. Manusia ................................................................................ 48
C. Pandangan al-Ghazali Tentang Maksiat Hati Dan Hijab Kepada
Tuhan .................................................................................... 66
BAB V PENUTUP .................................................................................... 74
A. Kesimpulan .......................................................................... 74
B. Saran .................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena modernisme telah menawarkan berbagai macam kemudahan
hidup. Perkembangan dan kemajuan sains dan teknologi yang begitu sangat pesat
telah menjadikan manusia sebagai penguasa alam raya secara global. Berbagai
macam produk teknologi telah menyempitkan dunia yang kita diami ini, kita
bagaikan berada dalam satu kapal besar yang bernama bumi, yang sekarang
sedang berlayar.
Begitu sangat sempitnya dunia kita ini bila diameter (diukur) dengan
kecanggihan dan kehebatan teknologi dan sains yang berkembang begitu sangat
cepat. Demikianlah, kita senantiasa berlomba dengan perkembangan sains dan
teknologi yang melaju cepat sehingga kita tidak sempat lagi untuk berpikir
tentang hal-hal yang gaib, kita sudah lupa dengan entitas-entitas (kenyataan-
kenyataan) yang kita anggap sebagai sebuah kesakralan dan berada di luar pikiran
kita.
Dalam dunia materalisme-hedonisme yang selalu menggoda nafsu-nafsu
terhadap perilaku kita, membuat kita merasa kehilangan ketajaman pandangan
spiritual. Keinginan nafsu kita hanya tertuju pada kesenangan-kesenangan fisik.
Mata batin kita telah dibuta oleh debu-debu sains dan teknologi yang sangat
berbahaya, sehingga sensitivitas qalbu (hati) kita pupus habis oleh kenikmatan
duniawi.
2
Dari satu sisi, keunggulan sains dan teknologi telah membuat manusia
sombong, merasa dirinyalah yang paling hebat dan kuat di alam raya ini. Pada
saat-saat seperti inilah Nietzsche melontarkan ucapan, “Tuhan telah mati”. Tuhan
telah dihabisi oleh produk teknologi canggih, sehingga penguasaan alam ada di
tangan manusia.
Apabilah hati manusia modern sudah lupa dengan Tuhan yang telah
menciptakannya, maka ia sudah tidak lagi mengakui Tuhan sebagai Sang Pencipta
dan yang mengatur alam ini. Ia merasa bahwa dirinyalah yang telah menciptakan
dan mengatur kehidupan di muka bumi ini. Karena itu, lihatlah manusia modern,
sisa hidupnya harus diisi dengan bekerja keras untuk mencari sesuatu yang ia
inginkan, malahan ia tidak disertai dengan berdoa dan berkontemplasi (renungan)
dalam bekerja.1
Zaman modern sudah dihembuskan di benua Eropa Barat Laut sekitar abad
ke-18 seiring dengan memuncaknya Revolusi Industri di bagian Negara Inggris
dan Revolusi Sosial di Prancis. Kelompok pemikiran Aufklarung (abad
pencerahan) yang tumbuh di Inggris dan Prancis dipandang sebagai pelopor
gerakan revolusi di masa modern. Filsafat empirisme (pengalaman) John Lucke
dan teori fisika Newton merupakan bahan yang telah membuka masyarakat Eropa
untuk memasuki gerbang abad modern.
Dari pemikiran dua tokoh tersebut dunia modern mengembangkan sains
yang diiringi dengan memakai penerapan teknologi. Pencapaian-pencapaian
gemilang dalam dunia sains telah mempermudah kehidupan yang sebelumnya
1Yunasir Ali, Mata Air Kehidupan Bekal Spiritual Menghadapi Tantangan Globalisasi,
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), h. 10-11.
3
dirasakan sulit dan memberikan banyak kemudahan dalam perkembangan
pengetahuan. Pengetahuan modern yang kita sering sebut sains telah
memperpendek jarak ruang dan mempersingkat perputaran waktu, sehingga dunia
yang kita tinggali ini hanya bagaikan kapal besar yang menjadi tempat tumpangan
milyaran manusia.2
Pencapaian-pencapain sains yang begitu sangat gemilang telah membawa
sifat-sifat maksiat hati di dalam diri manusia modern seperti mempunyai perasaan
sombong, dan membanggakan dirinya sehingga ia semakin percaya diri untuk
menatap masa depannya. Hal-hal yang bersifat metafisik dan yang bersifat
teologis tidak lagi dipikirkan dan sudah selayaknya untuk ditinggalkan. Kalau
manusia modern masih berpikir tentang masalah-masalah yang ghaib (tidak
kelihatan) bersifat metafisik dan teologis (keyakinan) berarti mengembalikan
kehidupan ke masa lalu, yang seharusnya ditinggalkan dan merupakan sebuah
kesia-siaan.3
Sudah tidak bisa diragukan lagi kalau manusia sudah jauh dari Tuhan dan
terhalang hubungannya dengan Tuhan adalah sebuah keguncangan yang akan
menerpa siapa saja yang mengalaminya. Dan inilah yang membuat manusia
memperoleh sebuah kerugian yang sangat besar karena sudah menjauhkan dirinya
dari Tuhan.4
2Yunasir Ali, Sufisme dan Pluralisme Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-
agama, (Jakarta: PT Gramedia , 2012). h. 215. 3Yunasir Ali, Sufisme dan Pluralisme Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-
agama, h. 215. 4Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Kita Semua, Penerjemah Fuad Syaifudin
Nur, (Jakarta: Republika Penerbit, 2014). h.256 & 257.
4
Oleh karena itu, sudah saatnya manusia modern untuk mempelajari ilmu
tasawuf, karena ilmu tasawuf begitu sangat penting di zaman modern ini. Ilmu ini
mengkaji tentang konsep yang mengatur tentang wilayah batin (jiwa dan hati)
dalam rangka untuk tazkiyatunnafsi (membersihkan hati) dari berbagai macam
dosa. Karena tujuan dari ilmu tasawuf ialah agar seorang hamba bisa wushul
(sampai) kepada Tuhan. Zat yang Maha tidak terbatas dan tidak bisa dibatasi.5
Oleh sebab itu, manusia modern harus bisa menjaga hatinya dari berbagai
macam dosa dan maksiat, terutama tentang gemerlapnya dunia yang bisa
membutakan hati manusia. Hati yang selalu diwarnai oleh berbagai persoalan
dunia menjadi buram dan gelap. Jika hakikat dunia disebut gelap, maka wujud
Tuhan diibaratkkan sumber cahaya yang menerangi hati. Tuhan berfirman di
dalam surat an-Nur, ayat 35.
الله نورالسماوات والارض
Artinya: “Tuhan (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”. Bagaimana
hati bisa memantulkan cahaya ketuhanan jika masih tertutup oleh keadaan dan
lukisan-lukisan dunia.
Tatkala hati tidak mampu melihat dengan bashiratul qolbi (penglihatan hati)
pasti ada sesuatu yang menjadi penyebab terhalangnya sumber cahaya tersebut,
sehingga hati tidak bisa memantulkan cahayanya. Yang menghalangi wujud
Tuhan ialah pandangan dan rasa kemanusiaan pada setiap wujud selain-Nya. Jika
hati orang yang menuju Tuhan ada rasa cinta dan ambisi untuk memiliki dan
menguasai sesuatu, maka rasa terhadap sesuatu itu juga sebagai penghalang atau
hijab.
5Tim Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, Jejak Sufi Membangun Moral berbasis Spiritual, (
Kediri: Lirboyo Press, 2011 ), h. 221.
5
Kemudian, bagaimana bisa seseorang akan sampai menuju Allah jika tidak
mampu melepaskan dirinya dari syahwat-syahwat yang timbul dari dalam hatinya.
Padahal Tuhan sudah memberikan jalan kepada hamba-hamba-Nya untuk
“berniaga ruhani”, dengan imbalan keuntungan berupa pembebasan diri (manusia)
dari keinginan syahwat dan maksiat yang ada di dalam hatinya.6
Al-Ghazali beranggapan bahwa hati bagaikan sebuah kaca. Pengetahuan tak
lain adalah terpancarnya hakikat-hakikat dalam cermin tersebut. Di saat kaca hati
tersebut tak mengkilap, maka tak mampu memantulkan hakikat-hakikat keilmuan
tersebut. Yang menjadikan kaca hati menjadi buram adalah hatinya dipenuhi
dengan syahwat dan penyakit-penyakit hati lainnya. “Melakukan ketaatan kepada
Tuhan, memalingkan diri dari tuntutan-tuntutan syahwat, adalah sesuatu yang bisa
mengkilapkan hati dan membersihkannya.”7 Oleh karena itu, jika seseorang ingin
hatinya dipenuhi dengan pengetahuan Tuhan, maka hatinya harus dibersihkan dari
macam-macam dosa dan maksiat. Ibnu „Atha‟illah secara tegas mengatakan:
“Dasar dari berbagai macam maksiat ialah manusia sudah lupa terhadap Tuhan
dan menuruti segala keinginannya karena mengikuti hawa nafsunya…”.8
Oleh sebab itu, jika manusia ingin terhindar dari berbagai macam maksiat, ia
harus bisa menjaga dirinya agar selalu dekat dengan Tuhan dan menjauhkan
dirinya dari bujukan hawa nafsunya.
Al-Ghazali adalah seorang tokoh Filsuf Islam, dan sufi yang mendalami
sesuatu ilmu secara terperinci. Beliau mendapkan gelar hujjatul Islam dan
6Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, (Jakarta: GP Press, 2012), h. 98-99.
7Abu Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya, Penerjemah Subkhan Anshori, (Jakarta: Gaya Media Pertama, 2008), h. 201. 8Lihat pendapat Ibnu „Atha‟illah tentang pangkal maksiat dalam buku Labib Mz, Kuliah
Ma‟rifat, (Surabaya: Tiga Dua, 1996), h. 60.
6
pembaharu dalam segala disiplin ilmu, yaitu beliau akan membuat pembaharuan
atau pemahaman yang lebih jelas mengenai sesuatu ilmu yang diterapkannya.
Beliau berbeda dengan ulama-ulama lain yang mana usaha mereka menghafal apa
yang diterimanya, mengulangi, dan menukilnya. Bahkan beliau seorang ulama
yang aktif, pengetahuan yang diterimanya diteliti dan diuji sejauh mana
kebenaran dan kebatilannya. Oleh sebab itu, ada kalanya beliau menolak,
mengubah atau menjelaskan dan menguraikan lalu membuat pembaharuan dalam
segala bidang ilmu.9
Alasan penulis memilih pembahasan tentang maksiat hati tidak memilih
maksiat-maksiat anggota badan lainnya karena hatilah yang menjadi penggerak
dan mendatangkan maksiat-maksiat anggota badan lainnya. Maksiat hati juga bisa
merusak segala macam amal ibadah manusia, malahan hati yang dipenuhi dengan
maksiat bisa mendatangkan sebuah kemusyrikan.
Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk memahami dan memperdalam lebih
tajam tentang masalah-masalah maksiat hati yang menjadi penyebab terhijabnya
manusia dengan Tuhan menurut pandangan al-Ghazali. Untuk itu, penulis tertarik
untuk mengkajinya melalui skripsi yang berjudul: “Maksiat Hati Sebuah Hijab
Hubungan Manusia dengan Tuhan Menurut al-Ghazali.”
B. Identifikasi Masalah
9Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, Pengenalan,
Pemahaman, dan Pengaplikasiannya disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013), h. 157-158
7
Dari latar belakang di atas, penulis akan mengidentifikasikan beberapa
masalah yang berkaitan dengan maksiat hati. Di antaranya:
1. Apa corak tasawuf al-Ghazali?
2. Bagaimana hati menurut al-Ghazali?
3. Ada berapa macam penyakit hati?
4. Kenapa maksiat hati menjadi sebuah hijab menurut al-Ghazali?
5. Apa akibat dari maksiat hati?
6. Bagaimana cara menghilangkan maksiat hati?
7. Apa penyebab dari maksiat hati?
8. Bagaimana Tuhan menurut al-Ghazali?
9. Bagaimana manusia menurut al-Ghazali?
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis hanya akan mengambil satu
tokoh saja, yaitu al-Ghazali. Ia adalah seorang sufi besar yang nama dan ajaran
tasawufnya sudah menyebar luas keseluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun,
ajaran tasawuf al-Ghazali yang akan dibahas oleh penulis ialah yang berkaitan
dengan maksiat hati. Penulis merasa sangat tertarik untuk membahas
permasalahan-permasalahan tentang maksiat hati, karena belum ada karya yang
meneliti secara khusus tentang bahaya besar akibat maksiat hati menurut
pandangan al-Ghazali. Oleh sebab itu, penulis perlu memberikan batasan pada
permasalahan yang akan dikaji dan diteliti agar pembahasannya tidak melebar
jauh. Adapun batasan yang akan dikaji oleh penulis ialah maksiat hati yang
8
menjadi sebuah penyebab terhijabnya hubungan manusia dengan Tuhan menurut
al-Ghazali.
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah dijelaskan di atas tadi, penulis hanya akan
merumuskan tentang tasawuf al-Ghazali yang berkaitan dengan maksiat hati.
Yaitu:
1. Bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan menurut al-Ghazali?
2. Bagaimana maksiat hati menjadi sebuah hijab hubungan manusia dengan
Tuhan menurut al-Ghazali?
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mendeskripsikan (menguraikan) maksiat hati sebagai sebuah hijab atau
penghalang hubungan Manusia dengan Tuhan menurut al-Ghazali.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan bisa memiliki nilai manfaat akademis
maupun praktis.
1. Manfaat Akademis
Memberikan kontribusi kepada para akademisi agar bisa menjaga hatinya
dari berbagai macam maksiat hati. Karena kehidupan di dalam dunia akademisi
9
tidak bisa terhindar dari persaingan yang membuat hatinya terdapat berbagai
macam penyakit.
2. Manfaat Praktis
a. Mampu menambah wawasan tentang bahayanya maksiat hati menurut al-
Ghazali.
b. Mampu menambah khazanah keilmuan, terutama yang berkaitan dengan
maksiat hati menurut pandangan al-Ghazali.
c. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana
Program Strata Satu (S1) dalam bidang Akidah dan Filsafat Islam (AFI).
G. Telaah Pustaka
Sejauh penulis ketahui tentang karya tulis yang membahas tentang al-
Ghazali yang sudah dijadikan sebuah skripsi, yakni Hubungan Syari‟at dan
Hakikat perspektif al-Ghazali yang ditulis oleh Amirul Muttaqin mahasiswa
Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2016. Skripsi ini menjelaskan hubungan keduanya untuk mendekatkan manusia
kepada Allah.
Skripsi yang lainnya yaitu Pengaruh Tasawuf al-Ghazali Terhadap Akhlak
Santri Putri Pondok Pesantren Dảr El-Hikam yang ditulis oleh Putriana Sallamah
mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2016. Skripsi ini menjelaskan tentang perilaku
ketaatan maupun sosial santri putri Dảr el-Hikam yang mengandung nilai-nilai
tasawuf al-Ghazali.
10
Oleh sebab itu, penulis yakin kalau pembahsan yang disajikan oleh penulis
dalam bentuk skripsi ini sebuah karya akademik yang baru dalam menganalis
maksiat hati al-Ghazali.
H. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research), yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai
literatur yang relevan. Data-data yang terkumpul diambil dari kitab Ihya
„Ulumuddin dan Minhảjul „Abidỉn dan karya lainnya imam al-Ghazali sebagai
referensi pokok dalam skripsi ini. Untuk referensi selebihnya dijadikan sebagai
penguat sekaligus pembanding.
Metode penelitian yang penulis gunakan pada skripsi ini bersifat kualitatif
dengan teknik pembahasan deskriptif-analitis, yaitu data yang dikumpulkan
pertama-tama disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa. Langkah ini diambil
sebagai awal yang penting karena akan menjadi dasar bagi metode pembahasan
selanjutnya. Mengingat bahwa pemikiran senantiasa dipengaruhi oleh kondisi
setempat. Metode ini relevan digunakan untuk menjelaskan maksiat hati menurut
al-Ghazali.
Sebagai pedoman teknik penulisan skripsi, penulis menggunakan buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan CeQda tahun 2013.
I. Sistem Penulisan
11
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menulis secara sistematis agar
pembahasannya teratur, maka penulis akan menguraikannya ke dalam lima bab
yang memuat beberapa sub-bab di dalamnya. Hal ini karena penulisannya bersifat
kepustakaan sehingga dibutuhkan analisis yang mendalam. Adapun uraian dalam
lima bab tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I, sebagai bab pendahuluan, bagian ini menjelaskan latar belakang
dengan rumusan masalah sebagai bingkai dan penentu arah dalam penelitian
skripsi ini, dengan ditunjang serta manfaat penelitian, tinjauan pustaka sebagai
penunjang penelitian dahulu yang relevan, disertai dengan metodologi penelitian.
Penelitian ilmiah harus memiliki jalan atau cara yang ditempuh guna
mendapatkan hasil yang optimal. Kemudian penulis mengakhiri bab ini dengan
sistematika penulisan.
Bab II, dalam bab ini membahas tentang biografi al-Ghazali, menjelaskan
mengenai riwayat hidup, pendidikan, pengaruh tasawuf al-Ghazali, dan karya-
karyanya.
Bab III, dalam bab ini membahas tentang dasar-dasar teori tasawuf yang
bersumberkan dari al-Qur‟an, al-Hadits, dan penulis juga akan menulis tema
tasawuf yang ada kaitannya dengan maksiat hati.
Bab VI, dalam bab ini membahas secara khusus ajaran tasawuf al-Ghazali
tentang manusia, Tuhan, dan maksiat hati yang menjadi sebuah hijab hubungan
manusia dengan Tuhannya menurut al-Ghazali.
Bab V, dalam bab ini berisi penutup. Adapun penutup ini hanya terbagi ke
dalam dua sub-bab. Pertama, kesimpulan. Kesimpulan ini berisi tentang sebuah
jawaban dari rumusan masalah yang sudah diuraikan di atas. Kedua, saran-saran.
12
Saran-saran ini diarahkan kepada para akademisi dan masyarakat. Penulis
berharap kepada para akademisi agar ada yang melanjutkan penelitian tentang
maksiat hati ini agar pembahasannya semakin jelas. Penulis juga berharap kepada
para masyarakat dengan adanya skripsi ini agar bisa menjaga hatinya dari
berbagai macam bentuk maksiat hati.
12
BAB II
BIOGRAFI AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup al-Ghazali
Di kalangan umat Islam, nama al-Ghazali tidak begitu asing bagi telinga
mereka. Mereka membicarakan al-Ghazali bagaikan mengunjungi orang tua yang
telah lama dikenal, namun tetap menyimpan segi kerahasiaan, jika tidak dapat
disebut sebuah misteri. Nama tokoh yang satu ini menjadi buah bibir
perbincangan harian di kalangan masyarakat Muslim.
Al-Ghazali memang tidak pernah terlepas dari siapa pun yang ingin
memahami tentang ilmu agama Islam yang secara luas dan dalam. Ia terkait erat
dengan proses pengukuhan paham yang berbasis Sunni. Di luar madzhab
Hambali. Dan karena di bidang fiqh al-Ghazali adalah seorang pengikut madzhab
Syảfi’i, maka nama pemikir besar itu lebih lagi tidak dapat dilepaskan dari dunia
pemikiran dan pemahaman Islam di Indonesia, sebab hampir kaum Muslim di
Indonesia itu bermadzhabkan imam Syảfi’i.1
Nama lengkap imam al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad al-Ghazali, beliau dilahirkan di tanah Thus (Khurasan) pada tahun 405 H
yang bertepatan dengan tahun 1058 M.2 Nama Muhammad yang ada di depannya
1Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997),
h.79-80. 2Moh. Syah Doa, Rahasia Alam Kebatinan, (Jakarta: AB. Sitti Syamsiyah, 1956). h.7.
13
ialah namanya sendiri, nama ayahnya, dan nama kakeknya, dan setelah itu
diatasnya lagi bernama Ahmad.3
Sebutan nama laqob (julukan nama) dalam kalangan umat Islam zaman
dahulu yang menghubungkan nama seseorang kepada nama keluarganya seperti
ayahnya, kakeknya itu sudah menjadi tradisi bagi kalangan umat Islam zaman
klasik. Nama seorang anak akan memakai kata “ibnu” dan diakhirnya akan
menyebutkan nama ayahnya atau nama kekeknya. Seperti nama ibnu Siena, ibnu
Rusyd, ibnu Khaldun, dan nama yang lainnya. Berbeda dengan al-Ghazali nama
yang dipakainya dari nama tempat kelahirannya, yakni al-Ghazalah.
Sama halnya seperti tokoh-tokoh Islam lainnya, seperti al-Kindi yang
berasal dari al-Kindah, al-Farabi yang berasal dari al-Farab. Dan ada pula yang
dihubungkannya kepada pekerjaan setiap harinya, misalnya al-Qaffal (tukang
kunci), al-Khayyam (pembuat khaimah) dan sebutan nama yang lainnya.
Nama-nama seorang tokoh besar yang dihubungkan kepada keturunannya,
pada pekerjaannya, atau pada tanah kelahirannya itu merupakan sebuah
kebanggan yang menaikkan derajat nama keluarga, keturanan, dan tanah
kelahirannya. Sehingga nama keluarga, pekerjaan, dan tanah kelahirannya
menjadi populer dikalangan dunia.4
Al-Ghazali lahir dari keluarga sangat miskin, ayahnya adalah seorang yang
sangat mencintai ilmu dan mempunyai cita-cita sangat besar. Ayah al-Ghazali
selalu berdoa kepada Allah agar dianugerahi seorang anak-anak yang alim,
3Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 27-
29. 4Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 28-29.
14
mempunyai wawasan luas, dan mempunyai banyak ilmu. Baik ilmu agama
maupun ilmu-ilmu yang lainnnya.
Alangkah bahagia hati ayah al-Ghazali ketika doanya dikabulkan oleh Allah.
Beliau dikaruniai dua anak laki-laki. Anak pertama diberi nama Muhammad yang
kemudian mendapat gelar “Abu Hamid”, dan dia adalah Imam al-Ghazali.
Kemudian anak kedua diberi nama Ahmad yang kemudian mendapatkan gelar
”Abu al-Futủh”, dan beliau ini adalah seorang ulama yang ahli dalam da’wah.
Yang di kemudian hari terkenal dengan sebuatan seorang “Mujidduddỉn”.5
Ayah al-Ghazali adalah seorang penenun bulu dan pedagang yang
mempunyai sebuah tokoh, beliau meninggalkan kedua puteranya, yakni ketika
Muhammad dan Ahmad masih dalam usia kanak-kanak. Kemiskinan keluara al-
Ghazali tidak bisa diragukan lagi.6 Oleh sebab itu kedua putranya dididik sendiri.
Pada masa kecilnya, ayahnya merasa mempunyai tanggung jawab yang
besar untuk memberikan sebuah pengajaran dan pendidikan kepada al-Ghazali
dan saudara kandungnya, yakni Akhmad. Namun, keinginannya tidak dapat
terwujudkan, karena belum beberapa lama, ayahnya wafat berpulang
kerahmatullah. Mungkin karena terlalu keras kerjanya demi untuk mencari nafkah
buat keluarganya sehingga ayahnya sering sakit-sakitan hingga akhirnya
meninggal dunia.
Sebelum meninggal, ayahnya berpesan kepada kedua anaknya supaya
mereka berdua meneruskan belajarnya kepada salah seorang sahabatnya (seorang
yang ahli dalam bidang tasawuf) yakni syaikh Ahmad Arrozakony. Ayah al-
5Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 29.
6Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 31.
15
Ghazali pernah berkata kepada sahabatnya itu, katanya: ,,, “Saya sangat menyesal
tentang pelajaran kedua anak saya dan saya ingin mewujudkankan apa yang
sudah menjadi pertanggung jawaban saya terhadap kedua anak saya ini. Ajarlah
dan didiklah mereka berdua dan laksanakan pertanggung jawaban saya terhadap
mereka berdua itu.” Itulah permohanan ayah al-Ghazali kepada sahabatnya agar
mau mendidik dan mengajari kedua anaknya tersebut.
Baru setelah ayahnya meninggal dunia, al-Ghazali dan Ahmad pergi kepada
guru sahabat ayahnya, mereka berdua menuruti wasiat ayahnya. Gurunya pun
sangat bahagia menyambut kedatangan al-Ghazali dan saudara kandungnya
dengan tangan terbuka. Mereka berdua belajar membaca dan menulis. Jadi, pada
masa kecilnya al-Ghazali belajar membaca dan menulis juga mempelajari ilmu
fikih di negerinya sendiri.7
Setelah beberapa lamanya mendidik dan mengasuh al-Ghazali dan
saudaranya, gurunya tersebut sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan
hidup al-Ghazali dan Ahmad, ia menganjurkan agar mereka berdua dimasukkan
kedalam madrasah untuk memperoleh sebuah pengetahuan yang baru, juga agar
bisa memperoleh sebuah santunan untuk kebutuhan hidupnya.8
B. Pendidikan al-Ghazali
Pada masa itu, madrasah-madrasah tidak ada yang memunguti biaya sepeser
pun. Oleh sebab itu para orang tua berbondong-bondong untuk menyekolahkan
anak-anaknya untuk belajar di madrasah-madrasah. Termasuk al-Ghazali dan
saudaranya ikut mendaftarkan diri di sebuah madrasah tempat kelahirannya. Dan
7Moh Syah Doa, Rahasia Alam Kebatinan, (Jakarta: AB. Sitti Syamsiyah, 1956), h.7.
8Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), h. 78.
16
kesempatan ini dimanfaatkan oleh al-Ghazali untuk belajar sampai ke perguruan
yang lebih tinggi.
Pada masa itu, di kota Thus banyak para ulama dan ilmuwan yang
memberikan beasiswa kepada setiap pelajar yang tidak mampu untuk membiayai
pendidikannya. Kesempatan emas ini tidak disia-siakan oleh al-Ghazali dan
saudaranya. Atas saran sahabat ayahnya, al-Ghazali menemui seorang ilmuwan
Muslim yang kaya raya bernama syaikh Ahmad bin Muhammad Razkafi untuk
mendapatkan beasiswa. Setelah memperoleh beasiswa, al-Ghazali belajar di kota
tersebut selama bertahun-tahun.9
Setelah diterima di madrasah yang ada di tanah kelahirannya, al-Ghazali
belajar ilmu fikih dan ilmu-ilmu dasar yang lain kepada Ahmad al-Radzkani di
Thus, juga al-Ghazali belajar kepada Abu Nashr al-Isma’ili di Jurjan. Setelah itu,
al-Ghazali kembali lagi ke thus, dan selama tiga tahun berada di tempat
kelahirannya, ia mengkaji ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar ilmu
kesufian kepada Yusuf al-Nassaj (w. 478 H).10
Al-Ghazali mulai belajarnya kepada seorang sufi besar yang memberikan
pelajaran tentang ilmu al-Qur’an dan al-Hadits, juga kepada gurunya ia belajar
tentang ilmu tasawuf. Ia kemudian belajar ilmu syariah kepada Syekh Ahmad at-
Tusi, lalu ia pergi lagi ke Jurjan untuk belajar kepada Syekh Abu Nasr.
Setelah pulang dari Jurjan, al-Ghazali kembali lagi ke Thus, ia mengabdikan
dirinya untuk mempelajari ilmu kesufian dan pada tahun 1078 M, ia diterima di
9Ikhwan Fauzi, Cendekiawan Muslim Klasik, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), h. 2-3.
10Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 78.
17
Madrasah Nizamiyyah di kota Nishapur dan menjadi murid kepala sekolahnya
sendiri, yakni Syeikh Abu al-Ma’ali, seorang syekh dari Harảmain.
Dibawah bimbingan Syaikh Ma’ali, al-Ghazali belajar ilmu agama, filsafat,
dan hukum alam. Semua orang yang ada di Madrasah Nizamiyyah merasa kagum
tentang pengetahuan al-Ghazali yang begitu mendalam ditambah lagi oleh
kejeniusan otak al-Ghazali. Tanpa ada rasa malu dan rasa iri, gurunya mengakui
kepandaian muridnya tersebut sambil berkata kepada al-Ghazali, “Engkau telah
mengalahkan aku selagi hidup, paling tidak engkau bisa menunggu aku sampai
meninggal”. 11
Itulah ucapan gurunya yang begitu sangat rendah diri mengakui
keunggulan ilmu muridnya.
Di sisi lain, gurunya merasa sangat bangga atas prestasi yang telah diperoleh
oleh al-Ghazali. Walaupun al-Ghazali sudah memperoleh kemasyhuran namanya,
namun ia tetap setia terhadap gurunya tersebut dan tidak mau meninggalkannya
sampai gurunya wafat pada tahun 478 H. Sebelum al-Juwaini wafat, ia sempat
memperkenalkan al-Ghazali kepada Nizham al-Mulk, seorang perdana menteri
Sultan Saljuk Maliksyah. Nizham al-Mulk adala pendiri madrasah-madrasah di
Nizhamiyah. 12
Nizham al-Mulk adalah sebuah gelar kehormatan yang diberikan oleh Bani
Saljuk. Nama aslinya ialah Abu Ali Hasan ibn Ali ibn Ishaq at-Thusi yang lahir di
Nauqan pada tahun 408 H. Di usianya yang masih sangat mudah, yakni 11 tahun,
11
M. Atique Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, Penerjemah Ira
Puspitorini, (Yogyakarta: Diglosia, 2013). h. 51. 12
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 78.
18
ia dibimbingan ayahnya sendiri tentang belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu
keagamaan. Ia juga belajar sastra Arab dan fiqh yang bermadzhab Syafi’i.13
Pada bulan Jumadil Awal tahun 484 H, al-Ghazali diperintah oleh Nizham
al-Mulk agar pergi ke Baghdad untuk menjadi seorang guru besar di Madrasah
Nizhamiyah. Pada saat itu usia al-Ghazali masih sangat mudah, 34 tahun. Tetapi
ia sudah memperoleh kedudukan yang sangat penting di Madrasah Nizhamiyah.
Hingga banyak muridnya dari berbagai kalangan yang mengikuti kajiannya,
hingga muridnya mencapai sekitar 300.14
Ketika al-Ghazali sudah menjabat sebagai seorang guru besar, ia mengalami
kekosongan jiwa di dalam dirinya yang menyebabkan dirinya tidak betah untuk
tinggal di Baghdad. Kemudian al-Ghazali melepaskan jabatannya dan pergi ke
Syiriah untuk mencari ketenangan batin dengan cara berkhalwat (menyendiri
sambil merenung) dan melakukan riyadhah (latihan kebatinan). Ia melakukan ini
setelah ia bergelut dengan keraguan di dalam dirinya yang tidak berkunjung
selesai. Dan konflik kejiwaan antara kesibukan urusan dunia dengan kepentingan
akhirat. Ia melepaskan jabatannya agar bisa khusủ’ menjalankan shalat dan
memerangi hawa nafsunya.
Al-Ghazali sendiri mengemukan corak mengapa ia menjauhkan dirinya dari
kegemerlapan dunia dan mengisahkan perjalanan spiritualnya tentang menjauhkan
dirinya dari orang lain kemudian memfokuskan dirinya untuk menjalankan
ibadah. Ketika al-Ghazali sedang menggeluti menjadi seorang guru, ia
13
Mahbub Djamaluddin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, (Jakarta: Senja Publshing,
2015), h. 41-41. 14
Mahbub, Djamaluddin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, h. 46.
19
mendapatkan keikhlasan kerja, bahkan ia sendiri terkecoh oleh kecintaan terhadap
harta dan tahta. Konflik batin yang terus –menerus menghantui dirinya. Ketika ia
ingin meninggalkan pekerjaannya sebagai guru besar, hasrat duniawi menariknya
pada sebuah jabatan.
Pada saat al-Ghazali sedang terjebak dalam keraguan terus-menerus, antara
keinginan duniawi dan kepentingan akhirat, sekitar enam bulan lamanya, saat itu
bertepatan dengan bulan rajab tahun 488 H. Pada saat itu keadaan al-Ghazali
semakin memburuk melampaui kemampuannya. Lida terasa kaku dan tidak bisa
menyampaikan matakuliah kepada para muridnya. Namun, ia terus berusaha
untuk tetap mengajar para muridnya, walaupun hanya sehari sekedar untuk
menghilangkan kegundahan hatinya. Namun lida tidak bisa mengeluarkan kata-
kata yang sesuai dengan perasaan di dalam hatinya. Keadaan yang seperti ini
membuat al-Ghazali semakin merasa sedih. Oleh sebab itu, al-Ghazali
memutuskan untuk meninggalkan Baghdad dan kepergiannya itu tidak ada
seorang pun yang mengetahuinya.15
Setelah berkelana ke semua kota-kota untuk mencari pengetahuan untuk
menenangkan batinnya, al-Ghazali dirundung rindu atas kampung halamannya. Ia
ingin kembali ke kota kelahirannya. Pada saat itu, para pejabat tinggi Khalifah
Abbasiyah dan pemerintahan Saljuk mengundangnya. Namun, ia tetap pada
pendiriannya untuk kembali ke Ghazalah.
Setelah berada di Ghazalah, al-Ghazali kemudian menikah dan dikaruniai
tiga orang anak perempuan dan satu anak laki-laki. Al-Ghazali mengisi kegitan
15
Victor Said Basil, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Penerjemah Ahmadie Thaha, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1990), h. 8-11.
20
sehari-harinya dengan mengajar dan menulis sebuah buku. Buku-buku yang ia
tulis mencapai 300 judul. Beliau pun mendirikan sebuah asrama bagi para pelajar
yang datang dari luar kota.
Adapun al-Ghazali wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau
bertepatan dengan tahun 1111 M. Sebelum ia wafat, al-Ghazali meminta kepada
para kerabatnya untuk dibawakan keranda yang biasa digunakan untuk
mengangkut jenazah. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, al-Ghazali
sempat menatap keranda jenazah itu sambil berkata, “apapun perintah Allah, aku
siap melaksanakannya.” Setelah berkata seperti itu, al-Ghazali menghembuskan
nafas terakhirnya. Dan ia disemayamkan di kota Thus, Iran.16
C. Pengaruh al-Ghazali Terhadap Tasawuf
Tidak dapat diragukan lagi yang menjadi permasalahan sasaran kritik al-
Ghazali adalah para filosof klasik. Dalam sebuah karyanya al-Munqidz min al-
Dlalảl, al-Ghazali mengatakan bahwa, setelah dirinya mengupas tuntas tentang
pemikiran para filosof, para teolog, dan golongan bathiniyah, ia masih belum puas
memperoleh jalan menuju keyakinan yang hakikat. Menurut al-Ghazali,
“kebenaran yang hakiki hanya bisa diperoleh melalui jalan tasawuf”. Di jalan
tasawuflah ia baru bisa mengenal sesuatu secara yakin, sebagaimana yang
dikatakannya sendiri. Kaum sufi adalah sosok seorang yang menempuh di jalan
Allah, dan itu adalah sebaik-baiknya jalan. Jalan yang mereka gunakan ialah jalan
yang benar, dan akhlak mereka ialah akhlak yang suci.17
16
Ikhwan Fauzi, Cendekiawan Muslim Klasik, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), h. 8- 9. 17
Yusuf Qordhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra,Penerjemah Hasan Abrori,
(Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997), h. 191.
21
Imam al-Ghazali bukanlah orang yang pertama kali mendapat gelar seorang
sufi. Ia juga bukan seorang perintis dan peletak dasar ilmu tentang tasawuf. Jauh
sebelum al-Ghazali menulis tentang kitab-kitab tasawuf, pada abad sebelumnya
sudah muncul beberapa ulama yang bergelut dengan ilmu tasawuf. Pada abad
kedua Hijriyah, para sufi muncul dari daerah-daerah seperti Kufa, Bashrah,
Madinah, Khurasan, dan Mesir.18
Namun, walaupun al-Ghazali bukan seorang perintis dan peletak dasar
dalam ilmu tasawuf, tetapi al-Ghazali sebenarnya sudah pernah menjalani
kehidupan tasawuf ketika ia masih berusia sangat muda, akan tetapi ia masih
belum yakin untuk menjalani kehidupan tasawufnya. Baru setelah ia pergi
meninggalkan Baghdad pada bulan dzulhijjah 488 H atau 1095 M, ia merasa
yakin untuk menjalani tasawuf. Namun, al-Ghazali baru menjalani dan
mempraktekkan ketasawufannya ketika ia berada di Syria.
Setelah berada di Syria selama dua tahun, ia menjalani dan mempraktekkan
tasawufnya di dalam Masjid Umaiyah, kemudian ia pindah lagi ke Yerussalem
untuk melakukan hal yang sama di Masjid Umar dan monument suci The Dome of
The Rock. Setelah menziarahi makam Nabi Ibrahim di Hebron, ia baru pergi untuk
menunaikan ibadah haji, kemudian ia kembali menjalani kehidupan sufinya di
Mekkah dan Madinah.19
Al-Ghazali mempunyai intelektualitas yang sangat luas dan mendalam. Ia
memiliki intelektualitas yang berbeda-beda pada masanya, dan mampu
18
Kautsar Azhari Noer,ed, Warisan agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi,
(Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 361. 19
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuh kembangkan Kepribadian dan
Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhana, 1994 ), h. 23.
22
menguasainya dengan sangat mengherankan. Itu semua tampak dari karya-karya
yang telah ditulisnya.
Al-Ghazali membangun sebuah tasawuf Sunni yang didirikan atas dasar
akidah Ahlussunnah wa al-Jama’ah, dan berusaha menjauhkannya dari pengaruh
Gnostis dari berbagai macam pemikiran yang telah mempengaruhi para filsuf
Muslim, Ismailiyyah (salah satu sekte dari Syiah), Ihwan ash-Shafa’, dan yang
lainnya. Ia juga menjauhkan wilayah tasawuf dan konsep ketuhanan Aristoteles,
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan teori emanasi dan penyatuan.
Sehingga bisa dikatakan bahwa tasawuf al-Ghazali beralirkan Islam murni.
Al-Ghazali sangat merasa kagum terhadap para sufi-sufi klasik, terutama
pada sufi abad ketiga dan keempat hijriyah yang beraliran Sunni. Ia mengambil
keilmuan kesufiannya dari Harits al-Muhasibi, dan sangat mengaguminya seperti
yang telah dikemukakan oleh Ibn Ibad Randi dalam kitab Syarakh Himak.
“Imam Abu Abdillah al-Harits al-Muhasibi, menulis sebuah kitab
yang berjudul Nasbaih, yang di dalamnya mengandung pemikiran-
pemikiran tentang hawa nafsu dan kejelekan-kejelekannya secara
menyeluruh, dan sekaligus mengkaji kesunnahan secara menyeluruh
sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulu kita, serta melakukan
penelitian dan melihat segala sesuatu yang yang bisa memperbaiki
perbuatan, kondisi, dan jiwa mereka, serta menjaga kesucian hati, dan
menekankan kehati-hatian agar tidak terjerumus dalam dosa.”20
Imam al-Ghazali memberikan pujian terhadap al-Muhasibi dalam salah satu
bab di kitabnya (Ihya’) dan bahkan mengemukakannya secara leterlek, setelah
memuji penulisannya, kemudian ia menjelaskan kepada orang-orang yang belum
mengetahuinya tentang keilmuan dan keutamaannya, ia mengatakan: “Al-
20
Lihat ucapan Ibn Ibad randi tentang pujian al-Ghazali kepada al-Muhasibi dalam buku
Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya,Penerjemah Subkhan Anshori, (Jakarta: Gaya Media Pertama), h. 192-193.
23
Muhasibi merupakan orang yang sangat memumpuni dalam bidang mu’ammalah.
Pembahasannya tentang cela-cela yang ada di dalam jiwa, penyakit-penyakit
dalam amal perbuatan, dan segala sesuatu yang bisa merusak amal ibadah, telah
mendahului orang-orang yang membahas permasalahan tersebut.”21
Pernyataan tersebut sekaligus menunjukkan dominasinya nuansa akhlak
dalam tasawuf al-Ghazali. Perhatiannya terhadap tasawuf sebagaimana al-
Muhasibi dan sufi-sufi kurun ketiga dan keempat, adalah tentang nafs (jiwa atau
hawa nafsu). Manusia, dan bahaya-bahayanya mekanisme melakukan pembinaan
terhadap akhlaknya. Secara keseluruhan, tasawufnya adalah berkenaan dengan
sebuah pembinaan akhlak.22
Sebelumnya al-Ghazali sangat tidak suka terhadap tasawuf. Ia tidak
mempercayai tentang maqam-maqam (tingkatan-tingkatan), kondisi-kondisi
spiritual, dan penyingkapan hijab (kasyf) yang banyak digunakan oleh kalangan
para sufi. Apalagi ia melihat sendiri bagaimana cara hidup golongan sufi pada
masa itu, yang tampak jelas anti intelektual. Namun, setelah mempelajari kitab-
kitab tasawuf dari berbagai para tokoh-tokohnya sendiri, al-Ghazali mengetahui
bahwa sebenarnya para sufi itu telah melenceng dari apa yang telah digariskan
oleh para sufi-sufi yang lurus.”Penempuh jalan Tuhan,” demikian menurut al-
Ghazali.
Selain itu, al-Ghazali juga mengkritisi para sufi di masa itu yang tidak mau
mempelajari ilmu lahiriah. Padahal ilmu lahiriah seperti fiqh dan syar’i lain sangat
21
Lihat pujian al-Ghazali dalam buku Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf
Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya, h. 193. 22
Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya, h. 193.
24
membantu meluruskan seorang salik (Pejalan menuju Tuhan) untuk menimbang
kelurusan jalan yang ia tempuhnya. Hal ini dibuktikan, di antaranya, ia
memulainya di dalam kitab ihya’ ‘Ulủmuddỉn dengan bab ilmu, yang berisi
anjuran dan sangat penting mempelajari berbagai macam ilmu.
Al-Ghzali mengatakan di dalam kitabnya tersebut: “Tipu daya di jalan
menuju Allah sedemikian begitu banyak macamnya, tidak bisa dihitung….”,
kemudian al-Ghazali melanjutkan sesudah beberapa uraian : “….Semua itu
disebabkan karena kekeliruan dan was-was yang diletakkan oleh setan, karena
mereka sibuk dengan bermujahadah sebelum menguasai ilmu; karena mereka
tidak mengikuti seorang guru yang bertakwa lagi berilmu, yang pantas untuk
dijadikan teladan.”23
Setelah mengkaji pemikiran teologi, filsafat, dan ajaran Batiniyyah, al-
Ghazali memberi sebuah kesimpulan bahwa tasawuflah sebuah jalan yang bisa
mengantarkan manusia untuk menuju ke jalan Tuhan, dan golongan para sufilah
yang paling nyata dalam mencari sebuah kebenaran. Jalan para sufi ialah
kombinasi (gabungan) antara ilmu dan amal, dan buahnya adalah sebuah
moralitas.
Dengan demikian, menurut pendapat al-Ghazali, mempelajari ilmu para sufi
melalui karya-karya mereka ternyata lebih mudah daripada mengamalkan
ilmunya. Kemudian al-Ghazali menyatakan bahwa keistimewahan dan kelebihan
khusus hanya milik para sufi tidak mungkin keistimewahan dan kelebihan khusus
tersebut dicapai hanya melalui belajar, tetapi harus melalui ketersingkapan batin
23
Mahbub Djamaluddin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, (Jakarta:Senja Publishing,
2015), h. 112-113.
25
(kasyf), keadaan rohaniah, serta pergantian tabiat-tabiat. Bagi al-Ghazali tasawuf
adalah sebuah pengalaman yang nyata.24
D. Karya-karya al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang ulama yang sangat menguasai dalam segala hal
bidang tentang ilmu agama. Begitu juga ia adalah seorang ulama yang sangat
produktif dalam hal tulis-menulis. Oleh sebab itu, beliau mempunyai beberapa
karya dalam segala bidang agama. Seperti dalam bidang tasawuf, filsafat, fikih,
dan bidang ilmu agama lainnya. Namun penulis hanya akan mencantumkan
beberapa karya beliau yang fenomenalnya saja.
Dalam bidang tasawuf beliau menulis kitab Ihyả’ ‘Ulủmuddỉn
(Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), Kitab ini terdiri dari empat jilid. Jilid yang
pertama menjelaskan tentang masalah ibadah (al-‘Ibảdah). Jilid yang kedua
menjelaskan tentang masalah yang berkaitan tentang perilaku (al-‘Ảdat). Jilid
yang ketiga menjelaskan tentang menjelaskan masalah yang membinasakan (al-
Muhlikah). Dan jilid yang keempat berisi tentang menjelaskan masalah yang
menyelamatkan (al-Munjiyah).
Kitab Minhảj al-‘Ảbidỉn (Jalan para Ahli Ibadah) membahas tentang
masalah ibadah, etika, dan masalah tentang tasawuf. Adapun kitab Kaimiyyah al-
Sa’ảdah (Metode Kebahagiaan) menjelaskan tentang manusia, Tuhan, dan
masalah pernikahan.
Dalam bidang filsafat, beliau menulis al-Tahảfut al-Falảsifah (Kerancauan
pemikiran para Filusuf). Kitab ini berisi tentang kritikan al-Ghazali terhadap para
24
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). h. 42.
26
filusuf Islam sesudahnya yang mengatakan tentang tidak adanya hari kebangkitan,
ketidaktahuan Tuhan tentang masalah juz’i, dan tentang masalah kekekalan alam.
Adapun kitab Munqỉdz min al-dlalảl (Pembebasan dari Kesesatan). Kitab ini
membicarakan tentang golongan yang mengingkari terhadap segala ilmu,
membicarakan tentang keberhasilan ilmu filsafat, dan pembahasan yang lainnya.
27
BAB III
SUMBER DASAR TASAWUF
A. Al-Qur’an
Seiring dengan maraknya kritikan-kritikan tajam yang diarahkan pada
tasawuf yang menyebabkan timbulnya ketegangan-ketegangan dalam dunia
pemikiran Islam. Tampaknya sudah mulai muncul argumentasi tentang apakah
tasawuf benar-benar ilmu keislaman atau ia hanya sekedar pengislamisasian
unsur-unsur non-Islam?1
Menurut para orientalis seperti Louis Massignon dan J. Spencer, tasawuf
berasal dari sumber murni Islam dan dampak terhadap tasawuf dari luar Islam itu
sangatlah terbatas.Lebih jauh lagi, perkembangan tasawuf yang sangat nyata
ialah mengikuti garis Islam.Massignom dalam kajian ilmiahnya tentang tasawuf
mempunyai kesimpulan kalau sumber yang terpenting dalam tasawuf ialah al-
Qur‟an.2
Al-Qur‟an merupakan kitab yang berisi tentang firman-firman-Nya.Yang di
dalamnya mengandung sebuah ajaran-ajaran tentang Islam. Baik berupa aqidah,
syari‟ah, maupun mu‟ammalah.Ketiganya banyak yang tercermin di dalam ayat-
ayat yang tertulis di dalam al-Qur‟an. Ayat-ayat al-Qur‟an itu, terkadang ada
yang dipahaminya melalui cara tekstual-lahiriah, dan adakalanya di pahaminya
melalui kontekstual-rohaniah. Oleh sebab itu, al-Qur‟an kalau hanya
dipahaminya secara lahiriah saja, maka ayat-ayat al-Qur‟an akan terasa kaku,
1A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999),h. 46. 2Lihat pendapat Massignom dan Spencer tentang sumber tasawuf dalam buku Syamsun
Ni‟am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), h. 61.
28
kurang dinamis, dan bukan tidak mustahil lagi akan ditemukannya persoalan
yang tidak dapat diterima secara psikis.3
Islam sudah mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah maupun kehidupan
yang sifatnya bathiniah.Pada unsur kehidupan bathiniahlah kehidupan tasawuf
muncul.Kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari
sumber ajaran agama Islam, yakni al-Qur‟an dan al-Hadits.Al-Qur‟an sendiri
berbicara tentang kemungkinan manusia bisa saling mencintai dengan Tuhannya,
memberikan perintah agar manusia senantiasa selalu bertaubat memohon
ampunan kepada Allah, dan membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang keji.4
Ada beberapa ayat al-Qur‟an yang bisa dijadikan sebagai sebuah sumber
dasar tasawuf, di antaranya terdapat di dalam surat al-Baqarah yang bunyinya:
رادػان فهسرجثان نؤمىت نؼهم إجة دػجانذاع أ و لشةئػى ف نك ػثادأاراس
ششذن
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah), bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran."(QS. al-Baqarah, ayat 186).
Ayat al-Qur‟an tersebut mengatakan bahwa manusia dekat sekali dengan
Tuhan.Tuhan di sini mengatakan kepada para hambanya, bahwa dirinya sangat
dekat sekali dengan hamba-hambanya dan mengabulkan segala permintaan yang
mereka inginkan.Dalam ayat lain juga Allah berfirman di dalam al-Qur‟an:
ان الله اسغ ػهمءىما ذنافثم ج اللهلله انمششق انمغشب ف
3Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 152.
4Abuddin, Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2015), h. 156.
29
Artinya: “Timur dan Barat adalah kepunyaan Tuhan, kemana saja kamu
berpaling di situ ada wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah ayat 115).
Ayat ini menjelaskan kepada para hambanya, kemanapun mereka
menghadap, manusia akan berjumpa dengan Tuhan. Demikianlah hubungan
manusia dengan Tuhannya sangatlah begitu dekat.5
Dan kalau kita memahami ayat al-Qur‟an yang lainnya, maka akan sangat
jelas kalau kitab suci ini juga menyeruhkan manusia agar hidup menjalani sebagai
seorang sufi, yakni untuk hidup berzuhud terhadap keduniawian dan memberi
peringatan terhadap berbagai macam kenikmatan hidup di dunia. Ayat-ayat yang
menjelaskan tentang masalah zuhud ini cukup banyak.Salah satu ayat yang
menjelaskan tentang gambaran Allah mengenai dunia sebagai sesuatu yang cepat
berubah.Artinya, dunia ini tidaklah kekal. Allah berfirman di dalam al-Qur‟an:
لاد كمثم غث لأمال اتىكم ذكاثش ف الأنؼة نصىح ذفاخش اػهما اوماانحاج انذوا
خشج ػزاب شذذ مغفشج مه الله سضان لأاػجة انكفاس وثاذ ثم ج فرشاي مصغشا ثم كن خطاما ف ا
اج انذوا الامراع غشسماانح
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara
kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti
hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman
itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.
Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu." (QS. Al-Hadỉd (57): 20).”
Kalau sifatnya dunia ini hanyalah sementara dan tidak kekal, maka seorang
jangan sampai berpegangan terhadap dunia.Dan keindahan dunia hanyalah
bersifatsemu belaka maka sepantasnya hati manusia jangan sampai terpikat dan
5Harun, Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2014),
h. 46.
30
menggemarinya hingga sampai pada sifat ketamakan (kerakusan) yang bisa
menjerumuskan manusia jauh dari Allah.6
Begitu juga terdapat surat lain yang bisa dijadikan sebuah dasar tasawuf
yang terdapat pada surat al-Anfảl yang bunyinya:
د نكه الله سمماسمد إرسم
Artinya: “Tidaklah engkau yang melempar ketika engkau melempar itu,
melainkan Allah-lah yang melempar”.(QS. al-Anfal, ayat 17).
Ayat ini adalah sebuah dasar yang paling kuat sekali dalam menjalani
kehidupan kerohanian dikalangan para sufi. Beberpa persosalan yang besar dalam
tingkatan-tingkatan perjuangan kehidupan bisa disimpulkan kedalam ayat
ini.Yang “melempar” bukanlah Muhammad, melainkan Allah.Gerak-gerik
sebenarnya tidak ada pada diri manusia, melainkan hanya dari Allah
semata.Gerakan manusia dalam kehidupan ini hanyalah pada lahirnya saja.7
Itulah beberapa ayat-ayat al-Qur‟an yang bisa dijadikan sebagai bukti
sumber dasarnya tasawuf.
B. Hadis
Hadis juga bisa dikatakan sebagai sebuah sumber dasar tasawuf.
Sebagaimana halnya al-Qur‟an menjadi sumber dasar tasawuf. Dalam hadis
Rasulullah SAW. Banyak ditemukan keterangan-keterangan yang membahas
tentang kehidupan kerohanian manusia.8
6Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, Penerjemah Kamaran As‟at
Irsyady dan Fakhri Ghazali, (Jakarta: Amzah, 2001), h. 27-28. 7Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994),
h. 37. 8Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, h, 158.
31
Menurut pendapat Ibnu al-Jauzi dan Ibnu Khaldun, kehidupan kerohanian
dalam Islam terbagi menjadi dua, yakni kehidupan zuhud dan kehidupan tasawuf.
Keduanya bahkan diakui sebagai istilah baru, sebab kedua istilah tersebut belum
ada pada masa Rasulullah, dan tidak ada di dalam al-Qur‟an, kecuali istilah zuhud
yang disebutkan sekali dalam al-Qur‟an surat Yusuf ayat 20.
Sebenarnya, cikal bakal munculnya kehidupan tasawuf bersamaan dengan
pertumbuhan dan perkembangan Islam itu sendiri, sebagai suatu agama yang
mengajarkan hidup dan berperilaku sederhana, sebagaimana yang dicontohkan
oleh Rasulullah yang dijadikan sebagai sumber tasawuf dari hadis.9
Sebelum Rasulullah memperoleh wahyu untuk pertama kalinya, beliau
sudah sering kali menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Beliau sering
beruzlah (menyendiri) di Gua Hira sampai beliau menerima wahyu untuk pertama
kalinya pada tanggal 17 Ramdhan.Dan beliau diangkat oleh Allah menjadi
seorang nabi dan rasul.
Kehidupan Rasulullah menjadi seorang sufi, pernah diceritakan oleh sahabat
beliau sendiri, yakni Ibnu Mas‟ud. Ibnu Mas‟ud menceritakan ketika ia pernah
masuk ke dalam rumah Rasulullah dan didapatinya beliau sedang berbaring di
atas sebuah potongan anyaman daun kurma yang membuat pipi rasulullah ada
bekas anyaman daun kurmanya.10
Begitu juga Nabi Muhammad saw ketika memulai membangun Islam
hingga menyebarkan agama Islam tidak bisa lepas dari kehidupan kerohanian atau
tasawuf. Pada zaman rasulullah sampai para Khulafaurrasyidỉn, tidak pernah
9Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 87.
10Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, h, 89.
32
terlepas dari kehidupan kerohanian. Penyebaran agama Islam dengan sendirinya
telah membawa akibat kekayaan yang sangat berlimpah.Walaupun kekayaanya
sudah melimpah, namun Rasulullah tetap menjalani kehidupannya dengan penuh
kesederhanaan.
Demikianlah kehidupan Rasulullah hidup sebagai seorang sufi, ia hidup di
tengah-tengah kemegahan yang berlimpah, namun beliau tetap menjalani
kehidupannya dengan kesederhanaan. Umar pun merasa kagum melihat cara
kehidupan Rasulullah. Karena banyak di antara para sahabatnya yang dahulunya
hidup sederhana menjadi kaya raya, seperti Utsman bin Affan dan sahabat yang
lainnya.11
Kehidupan sufi yang dijalani secara langsung oleh Rasulullah sangat
berpengaruh terhadap kehidupan para sahabatnya. Mereka mengikuti jejak
kehidupan Rasulullah dalam menjalani hidup yang serba kekurangan.Namun,
walaupun hidup dalam penuh kekurangan mereka tetap bersemangat dalam
menjalani ibadah kepada Allah.12
Adapun hadis yang menjadi dasar tentang tasawuf, yakni Hadis Qudsi.Yaitu
suatu hadis yang begitu sangat istimewa. Karena hadis yang diterimah oleh Nabi
Muhammad, seolah-olah Tuhan sendiri yang berbicara langsung dengan nabi.
Hadis Qudsi yang menjadi pegangan para ahli sufi yaitu,
ػشف فخهمد انخهك ف ػشفوأن أحثثد كىد كىضا مخفافأ
Artinya:“Aku suatu perbendaharaan yang tersembunyi, maka inginlah
kau supaya diketahui siapa Aku, maka Kujadikanlah makhluk-Ku. Maka
11
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2007, h. 6-7. 12
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, h. 91.
33
dengan aAkulah mereka mengenal Aku.”Hadits inilah yang menjadi pokok
dasar kecintaan para sufi terhadap Allah, Tuhan yang sejati.13
Hadis ini diambil dalam kitab al-Futủhảt karya Ibnu „Arabi halaman 167
dan kitab ath-Thabaqảt karya Asy-Sya‟rani halaman 309.14
Hadis tersebut memberikan sebuah petunjuk bahwa alam jagat raya ini
merupakan sebuah cerminan Tuhan.Termasuk diri kita ini adalah sebuah
bayangan Tuhan.Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya melalui penciptaan alam
semesta ini.Dengan demikian, dalam alam raya ini ada potensi ketuhanan yang
dapat dipergunakan untuk mengenal diri Tuhan. Dan apapun yang ada di alam
semesta ini, pada akhirnya akan kembali lagi kepada Tuhan.15
Adapun hadis lain
yang biasa dipandang sebagai yang mengilhami munculnya tasawuf dikalangan
dunia Islam ialah sabda nabi yang bunyinya:
مه ػشف وفس فمذ ػشف ست
Artinya: “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal
Tuhannya.”
Hadis ini diambil dalam kitab al-Futủhảt karya Ibnu „Arabi halaman 167
dan kitab ath-Thabaqảt karya Asy-Sya‟rani halaman 526.16
Walaupun hadis ini
dikritik oleh para ulama hadis karena tidak baik sanad penerimaannya, namun
hadis ini tetap dipegang oleh kaum sufi. Bagi kaum sufi yang paling terpenting
ialah isi yang terkandung dari hadisnya, bukan sanadnya.17
Hadis ini, disamping menjelaskan tentang kedekatan anatara manusia
dengan Tuhannya, juga mengisyaratkan sebuah arti kalau manusia dan Tuhan
13
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, h, 40. 14
Diambil dari buku Samsul Munir, ilmu tasawu,f (Jakarta: Amzah, 20140, h 20. 15
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, h. 157. 16
Diambil dari buku Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, h. 20. 17
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, h, 41.
34
ialah satu. Oleh karena itu, kalau manusia ingin mengenal Tuhannya, maka ia
harus merenungi dan mengenal siapa sebenarnya dirinya sendiri. Ada lagi sebuah
hadit Qudsi yang menerangkan tentang kehidupan tasawuf, hadits ini
diriwayatkan oleh sahabat beliau sendiri.
رور أمه ػاد ن نا فمذ ꞉ان الله لال ꞉لال سسل الله صه الله ػه سهم꞉ت ششج لالأػه
حة ان مماإفرشضد ػه ماضال ػثذ رمشب ان تانىافم حر أتانحشب ماذمشب ان ػثذ تشء
نر مش تا أنر ثطش تا سجه أنز ثصش ت ذي أحثثر كىد سمؼ انز سمغ ت تصشي أحث فئراأ
وافاػه ذشدد ػه وفس انمؤمه كشي أن سأنى لاػطى لإن اسرؼارو لأػزو ماذشددخ ػه شء إ
كشي مسأذأواأانمخ
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW. Bersabda bahwa
Allah SWT.Berfirman, „barang siapa memusuhi seseorang wali-Ku, maka
Aku mengumumkan permusuhan-Ku terhadapnya.Tidak ada sesuatu yang
mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Kusukai daripada
pengamalan segala yang Kufardlukan atasnya. Kemudian hamba-Ku yang
senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal
sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya. Bila Aku telah cinta
kepadanya, jadilah Aku pendengarnya yang dengannya ia mendengar, Aku
penglihatannya yang dengannya ia melihat, Aku tangannya yang dengannya
ia memukul, dan Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan. Jika ia memohon
kepada-Ku, Aku perkenankan permohonan, jika ia meminta perlindungan,
ia Kulindungi.”
Hadis ini menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan Tuhannya bisa
bersatu. Manusia bisa melebur di dalam diri Tuhan, yang biasa dikenal dengan
istilah fana‟, yakni manusia sebagai makhluk yang sangat mencintai Tuhan
sebagai yang dicintainya. Istilah melebur ini hanya sekedar menunjukkan
keakraban hubungan manusia dengan Tuhan.18
Istilah fana‟ (lebur menjadi satu) ini harus dipertegas. Bahwasannya antara
manusia dan Tuhan tetaplah terdapat jarak atau pemisah, sehingga antara manusia
18
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, h, 159-160.
35
dengan Tuhan itu tetap ada perbedaan.Istilah fana‟ di sini hanya ditunjukan
sebagai sebuah keakraban saja antara manusia dengan Sang Khaliknya.19
Ada pula hadis qudsi lain yang menjadi penguat sebagai sumber tasawuf.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah:
ػه سهم: إذما فشاسحانمؤمه فئو ىظش تىسالله )ساي أنثخاس(لال سسل الله صه الله
Artinya: Rasulullah SAW. Bersabda, “Takutlah terhadap firasat orang
beriman, karena ia memandang dengan cahaya Tuhan”.(HR. al-Bukhari).
Hadis qudsi ini menjelaskan tentang kebersihan hati seorang manusia yang
sangat mempengaruhi terhadap intuisinya dalam memecahkan persoalan-
persoalan manusia. Segala apa yang dipikirkan oleh manusia yang dekat dengan
Tuhan maka ia akan dibantu odengan cahaya Tuhan.20
Dasar-dasar al-Qur‟an dan Hadis, yang sekiranya sudah dijelaskan di atas,
sudah cukup kiranya untuk dijadikan sebagai sebuah petunjuk dasar terhadap ilmu
tasawuf, termasuk sebagai ilmu syariat.Karena tasawuf dan syariat tidak bisa
dipisahkan di antara keduanya. Menurut pendapat Imam Malik,
تغش ذصف فمذ ذفسك مه ذصف تغش فم فمذ ذضوذق مه جمغ تىما فمذ ذحمكمه ذفم
Artinya:“Barang siapa berfiqh saja tanpa tasawwuf niscaya menjadi
fasik. Dan barang siapa yang hanya bertasawuf saja, maka ia menjadi
orang yang zindi (menyeleweng dari agama). Dan barang siapa yang
menjalankan keduanya, maka ia menjani orang yang hakiki.”21
Oleh sebab itu, menjalani kehidupan tasawuf tidak boleh meninggalkan
kehidupan syari‟at.Begitu juga dengan sebaliknya.Tasawuf dan syari‟at harus
sejajar dan sebanding untuk dilakukan oleh manusia.
19
Samsul, Munir Amin, Ilmu Tasawuf, h, 21. 20
A. Bachrn Rif‟i dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf,(Bandung: CV. Pustaka Setia,
2010), h. 52. 21
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: PT Bina Ilmu, tt), h. 67.
36
Sudah jelas kiranya kalau tasawuf seperti yang sudah dikemukakan di atas,
pada permulaan pembentukan disiplinnya dalam kajian tasawuf ialah moral
keagamaan. Jadi sangat jelas sekali sumber pertamanya adalah ajaran-ajaran
Islam, oleh karena itu, tasawuf di ambil dari ajaran al-Qur‟an dan al-
Hadits.Dengan begitu, al-Qur‟an dan al-Hadits adalah dua sumber utama dalam
tasawuf.22
C. Tema Dasar Tasawuf
Dari berbagai macam tema dasar-dasar tasawuf yang terdapat di dalam
kajian ilmu tasawuf, penulis hanya akan menulis tema dasar tasawuf yang ada
kaitannya dengan pembahasannya. Oleh sebab itu, penulis memilih taubat sebagai
tema dasar tasawuf yang ada kaitannya dengan pembahasannya..
Istilah taubat diambil dari bahasa Arab, dari asal kata tảba yatủbu taubatan,
yang artinya “kembali”.Jadi, taubat ialah kembali dari sesuatu perbuatan
kesalahan yang dilarang oleh agama menuju ke jalan yang dipuji dan diperintah
oleh agama. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw. Yang
diriwayatkanoleh Imam Bukhari dan Imam Ahmad. Yang artinya: “Menyesali
kesalahan merupakan suatu taubat”.
Apabila seseorang merenungi dan menyesali segala perbuatan-perbuatan
yang jahatnya, maka ia akan mengetahui dan memahami perbuatan-perbuatan
jahatnya yang telah ia lakukan, dan rasa ingin taubat akan tumbuh di dalam
hatinya bersamaan dengan menahan diri dari tindakan-tindakan kejahatan
22
Syamsun Ni‟am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014), h. 62.
37
tersebut. Dan Allah akan membantu kepada setiap hambanya yang ingin bertaubat
dan kembali ke jalan Allah.23
Al-Tustari mengatakan, taubat yang paling rendah ialah manusia yang tidak
mengulur-ulur waktunya untuk menjauhi hal-hal yang sedang ia mengerjakan
kesalahan dan maksiat, sebab, manusia biasanya mempunyai berbagai macam
alasan untuk tidak meninggalkan kesalahan dan kemaksiatannya. Manusia
terkadang akan berkata, “saat ini saya akan meninggalkannya dan nanti saya
akan melakukannya lagi.”24
Itulah pendapat al-Tustari agar manusia kalau mau
bertaubata jangan ditunda-tunda, tetapi harus segera dikerjakan ketika ia
menyadari apa yang ia kerjakan adalah sebuah yang mengandung dosa. Adapun
al-Nawawi mengatakan:
“Taubat itu hukumnya wajib dari berbagai macam dosa (dosa kecil
dan dosa besar).Kalau kemaksiatan itu dilakukan oleh seorang hamba
terhadap Tuhannya yang tidak ada kaitannya dengan hak manusia, maka
taubat harus memenuhi tiga syarat. Yakni, melepaskan diri dari
kemaksiatan seketika itu juga, menyesali terhadap apa yang ia telah
kerjakan, dan mempunya keinginan yang kuat untuk tidak akan
mengulanginya lagi. Jika tiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka
taubatnya dianggap tidak sah.Jika kemaksiatan yang dilakukan
berhubungan dengan hak manusia, maka harus memenuhi empat syarat.
Yaitu: tiga syarat yang sudah disebutkan di atas, tinggal menambahi satu
syarat lagi, yakni harus membebaskan hak tersebut dari orang yang
bersangkutan.”25
Adapun al-Ghazali mengemukakan tentang wajibnya untuk bertaubat, yakni,
ia wajib bertaubat secara langsung, karena meninggalkan kemaksiatan adalah
sebuah kewajiban secara berkesinambungan. Demikian juga, ketaatan kepada
23
Lihat pendapat al-Tustari dan al-Nawawi dalam kitabAbu Qosim al-Qusyairy, Risalatul
Quyairiyah, Induk Ilmu TasawufPenerjemah Mohammad Luqman Hakiem, ( Surabaya: Risalah
Gusti, 1997 ), h. 79-80. 24
Amir, an-Najar,Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern Penerjemah Ija, suntana,
( Jakarta: Penerbit Hikmah, 2004 ), h. 55. 25
Saifuddin, Aman dan Abdul Qadir Isa, Tasawuf Revolusi Mental, Zikir Mengelolah
Jiwa dan raga, h. 179-180.
38
Allah juga sebuah kewajiban secara bersinambungan pula. Al-Ghazali mengutip
ayat al-Qur‟an:
…ذتاان الله
Artinya, “Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah….” (QS. al-Nur, ayat
31).Oleh sebab itu kita harus mengetahui kalau taubat adalah kewajiban bagi
seluruh manusia secara merata.
Dari sini, manusia bisa mengetahui bahwa taubat adalah sebuah kewajiban
bagi seluruh manusia pada umumnya. Hal ini disebabkan karena tidak ada
manusia pun yang luput dari yang namanya dosa yang telah dilakukannya, baik
dengan anggota-anggota tubuhnya atau dengan pikirannya..
Setidaknya, kelalaian dan lupa kepada Allah Swt. Dan bertaubat kepadanya.
Bertaubat adalah perilaku orang-orang yang mulia. Seperti para nabi, para orang-
orang yang jujur, orang-orang yang shaleh, dan orang yang tidak menyenangi
kehidupannya hanya berupa wujud tanpa ada manfaatnya.26
Adapun tingkatan macamnya taubat menurut al-Thủsi itu ada tiga, yaitu
taubat yang sifatnya umum, yakni dari kalangan orang awam, kemudian taubat
yang khusus bagi manusia- manusia yang sempurna, dan yang terakhir ialah
taubat yang sangat khusus bagi manusia yang ada di jalan tarikat. Taubat yang
pertama yaitu dari kalangan umat para pendosa.Taubat tingkatan yang kedua yaitu
taubatnya para nabi.Seperti nabi Adam as. dan para nabi lainnya. Sementara,
taubatnya nabi kita, Rasulullah saw, termasuk kategori taubat yang ketiga.27
26
Al-Ghazali,Mutiara Ihyả‟ „Ulủmuddỉn, Penerjemah Irwan Kurniawan,, ( Bandung:
Penerbit Mizan, 1997 ), h. 310-311. 27
Nasir al-Din al-Tusi,Sifat-sifat Kemuliaan Metode Para Salik dalam Mencapai
Kesempurnaan,Penerjemah Ahmad, Y Samantho, ( Jakarta: Pustaka Intermasa, 2004 ), h. 14.
39
Syaikh Abdul Qodir al-Jailani mengatakan, hal yang pertama sekali
perkataan taubat itu harus keluar dari dalam hati, kemudian dengan mulut kalian.
Karena pertaubatan itu akan mengguncangkan kekuasaan nafsu, sikap egois,
ajakan setan, dan teman yang jahat. Dengan bertaubat, manusia akan
menghilangkan kemaksiatan dan menggantinya dengan ketaatan.28
Intinya, manusia itu harus selalu meminta ampunan kepada Allah atas apa
yang telah ia kerjakan setiap harinya. Karena, manusia itu tidak akan bisa
terlepasa dari yang namanya dosa dan kesalahan. Oleh sebab itu manusia harus
memperbanyak meminta pengampunan kepada Allah agar segala dosanya bisa
diampuni oleh Allah.
28
Syaikh, abdul Qadir al-Jailani, Nasehat-nasehat Wali Allah Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani, Penerjemah Achmad Sunarto, ( Bandung: Husaini Bandung, 1995 ), h. 167.
40
BAB IV
PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG MAKSIAT HATI
A. Tuhan
Konsep tentang Tuhan menjadi sebuah pembahasan yang sangat
menarik dari berbagai golongan seperti para sufi, teolog, dan filusuf. Para
teolog dan filosof membahas Tuhan tentang masalah pengetahuan Tuhan.
Apakah Tuhan mengetahui suatu hal yang terperinci, misalnya Tuhan
mengetahui bahan-bahan dari alam semesta ini atau apakah Tuhan
mengetahui semut hitam berjalan di malam gelap di atas batu hitam.
Persoalannya adalah jika Tuhan mengetahui hal-hal yang juz‟i, maka
Tuhan amat sangat sibuk, dan apa gunanya Tuhan mengetahui semua
segala hal itu. Jika Tuhan tidak mengetahui, maka Tuhan terkesan tidak
mengetahui. Dan ini bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang
menjelaskan Tuhan Maha Mengetahui. Itulah yang menjadi persoalan para
teolog dan filusuf tentang Tuhan.1
Berbeda dengan ajaran para sufi, terutama sufi periode pertama.
Mereka tidak mengajarkan tentang pengetahuan Tuhan, tetapi mereka
mengajarkan sebuah ajaran kesufian tentang kezuhudan dan pengendalian
hawa nafsu.
Pada perkembangan selanjutnya terdapat sebuah kecenderungan
yang sangat kuat ke arah ajaran mistisisme, hal ini terlihat pada ajaran-
ajaran para tokoh sufi besar. Seperti yang terdapat di dalam sebuah ajaran
1Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). h. 165.
41
sistem mistisisme, maka boleh dikatakan bahwa sistem mistisisme yang
diajarkan oleh mereka lebih cenderung kepengembangan dari konsepsi
filosofis terhadap sifat ketauhidan Tuhan, hubungan antara jiwa manusia
dengan Tuhan, kemungkinan naiknya jiwa manusia kepada Tuhan dan
praktek-praktek yang digunakan untuk pendakian jiwa agar manusia bisa
bersatu dengan Tuhan.
Konsep ketauhidan Tuhan para sufi periode pertama, lebih kental
tentang sifat-sifat Tuhan yang terdapat di dalam al-Qur‟an dan keyakinan-
keyakinan yang dianut oleh kaum ortodok Islam. Tuhan adalah berdiri
sendiri sejak dahulu, tidak terbatas, dan tidak terikat oleh ruang dan waktu,
dzat dan sifat-sifatnya tidak berubah.2
Oleh karena itu, manusia harus merenungkan tentang wujud dan
sifat-sifat Tuhan, agar manusia bisa sampai pada sebagian pengetahuan
tentang Tuhan.Walaupun banyak manusia yang telah melakukan
perenungan tetapi masih belum juga bertemu Tuhan, berarti manusia harus
melakukan cara-cara agar manusia bisa bertemu dan menegetahui tentang
Tuhan.3 Jadi, manusia yang ingin dekat dengan Tuhan, maka ia harus
merenungi tentang wujud dan sifat-sifat Tuhan. Seperti yang dikatakan
oleh al-Ghazali:
Tuhan bukanlah terdiri dari sebuah jasad, subtansi atau aksiden. Dia
(Tuhan) tidak bisa diserupakan dengan segala sesuatu yang hidup maupun
2Margaret Smith,mistisisme Islam dan Kristen Sejarah Awal dan
Pertumbuhannya,Penerjemah Amroeni Dradjat, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 251. 3Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah
Haidar Bagir,( Bandung: Penerbit Mizan, 2014), h. 31.
42
dengan benda yang mati. Dia tidak bertempat tinggal di bumi maupun di
langit. Dia Yang Maha Dipuja oleh semua mahluk di atas muka bumi dan
dekat dengan segala wujud yang ada.Tuhan mengawasi segalanya.Tuhan
tidak terbatasi oleh waktu maupun bertempat disuatu rungan, karena
Tuhan ada sebelum adanya waktu dan ruang. Tuhan akan selamanya ada
dan akan tetap ada.
Al-Ghazali kemudian kembali menegaskan, manusia yang sudah
merenungkan dirinya tentang Tuhan, maka ia akan mengetahui kalau
dirinya sebelumnya tidak ada. Yang ada hanya Tuhan. Sebagaimana yang
tertulis di dalam al-Qur‟an yang artinya, “Tidakkah manusia tahu bahwa
sebelumnya ia bukan apa-apa?” (QS. Maryam: 67). Ia (manusia)
mengetahui bahwa ia terbuat dari satu tetes air yang tidak mengandung
intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki, dan yang lainnya. Dari sini
sudah jelas, setinggi apa pun tingkatan kesempurnaan manusia, ia tidak
bisa menciptakan dirinya dan ia sendiri tidak akan mampu menciptakan
sehelai rambut pun.4 Manusia harus berpikir tentang dirinya sendiri
sebelum berpikir tentang Tuhan. Ia sebelumnya tidak ada kemudian
diciptakan oleh Tuhan menjadi ada. Sedangkan Tuhan sudah ada sebelum
adanya manusia. Ia hanya makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dari
setetes air mani. Dan Ia (Tuhan) selamanya akan tetap ada.
Kemudian al-Ghazali melanjutkan, setelah manusia melakukan
perenungan mengetahui tentang esensi dan sifat-sifat kekuasaan Tuhan,
maka akan bisa dipahami metode kerja, pengaturan, dan pendelegasian
4Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, h. 32.
43
kekuasaan Tuhan kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan yang
lainnya, yakni dengan jalan mengamati bagaimana masing-masing
manusia mengatur kerajaan-kerajaan kecilnya sendiri.5
Sebenarnya, Tuhan sangat mudah dipahami oleh akal sehat manusia
dan keberadaan Tuhan bisa dilihat oleh manusia melalui pandangan mata
batinnya. Melalui pandangan batin itu, manusia bisa melihat tentang wujud
dan keindahan Tuhan. Manusia memperoleh sebuah keanugerahan
kesenangan yang sangat tinggi.6
Tuhan menurut al-Ghazali, Dia adalah transenden dan immanen. Dia
Penciptan dan Penyebab Pertama dari segala yang wujud. Penggerak
Pertama sekaligus wujud dan Hikmah Abadi. Dia juga Keindahan yang
tinggi melampaui keindahan yang ada dalam karya manusia, keindahan
penya‟ir ada di dalam bait-bait sya‟irnya, keindahan pelukis ada di dalam
sebuah lukisannya.Yang Indah tetap Indah ialah hanya Tuhan, Keindahan
yang paripurna, paling bercahaya, paling agung, dan Keindahan yang tidak
bisa dijelaskan. Karena Keindahan Tuhan berada di luar jangkauan konsep
pikiran manusia.7
Jadi, Tuhan itu tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia. Dan
Tuhan tidak bisa digambarkan oleh pikiran manusia, juga keindahan-
keindahannya tidak bisa diungkapkan oleh akal manusia. Yang
5Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, h. 36.
6Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali, Penerjemah
Amrouni, (Jakarta: riora Cipta, 2000), h. 151. 7Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali, Penerjemah
Amrouni, h. 156.
44
mengetahui tentang Tuhan dan keindahannya hanyalah Tuhan sendiri yang
mengetahuinya.
Al-Ghazali kembali melanjutkan, Dia (Tuhan) adalah Sang Pengatur
jagat raya dan Dia berada di luar ruang dan waktu, kualitas dan kuantitas.
Dia yang mengatur semua apa-apa yang sudah demikian terkondisikan.
Sebagaimana ruh mengatur jasad dan semua anggotanya dalam keadaan ia
tidak bisa dilihat oleh mata, tidak terbagi-bagi, dan tidak pula di tempatkan
di sebuah tempat manapun. Karena, bagaimana bisa sesuatu yang tidak
terbagi-bagi mau di tempatkan pada sesuatu yang bisa terbagi-bagi.8
Pendapat al-Ghazali ini menegaskan kalau yang mengatur jagat raya
ini ialah Tuhan. Al-Ghazali mengumpamakannya ruh yang ada di dalam
jasad manusia. Yang mengatur anggota tubuh manusia adalah ruh. Tanpa
adanya ruh jasad manusia tidak akan berfungsi. Begitu juga tentang
keberadaan Tuhan, Dia tidak membutuhkan ruang dan waktu. Dia ada tapi
tidak bertempat di suatu tempat dan tidak di lingkari oleh waktu. Tentang
memahami Tuhan, al-Ghazali mengatakan:
“Tidak ada seorang manusia pun yang bisa memahami seorang
raja, kecuali rajanya sendiri yang bisa memahaminya. Karena itu, Tuhan
sudah menjadikan masing-masing manusia, katakanlah sebagai raja
dalam miniatur, atas suatu kerajaan yang merupakan sebuah tiruan dari
kerajaan Tuhan yang telah disusunkan secara tidak terbatas.Tuhan telah
menggambarkan kerajaan di dalam diri manusia berupa ruh dan malaikat
(Jibril) oleh hati, kursyi (kursi) oleh otak, dan al-lauh al-mahfủzh oleh
ruang pikiran.Jiwa yang tidak ditempatkan dan tidak terbagi-bagi,
mengatur jasad sebagaimana halnya Tuhan mengatur jagat ini.Intinya,
8Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah
Haidar Bagir,h. 36.
45
kita diberi amanat oleh Tuhan yang berupa kerajaan kecil, dan kita
diwajibkan untuk tidak ceroboh ketika mengaturnya.”9
Jadi yang bisa mengetahui dan memahamiTuhan adalah Tuhan
sendiri. Sebagaimana yang mengetahui kekekuasaan manusia ialah
manusia itu sendiri. Manusia lain tidak akan bisa mengetahuinya. Oleh
sebab itu manusia harus bisa menjaga sendiri kekuasaannya.
Al-Ghazali juga mengungkapkan Tuhan sebagai Cahaya, yakni
sumbernya cahaya. Dalam alam nyata ini, cahaya mengandung sebuah
kemuliaan dan kehormatan, sedangkan di dalam tataran etika dan
intelektual cahaya merepresentasikan kemurnian, kesucian, dan kebenaran.
Oleh sebab itu, Tuhan diumpamakan sebagai cahaya itu sangat masuk
akal.10
Dia (Tuhan) sebenar-benarnya cahaya, sebagaimana yang ditegaskan
oleh al-Ghazali sendiri: “Dia (Tuhan) adalah cahaya, sebab segala
sesuatu bila tidak nampak dalam wujudnya sendiri maka wujud yang
lainnya juga tidak akan nampak pula.”11
Oleh sebab itu, Tuhan yang
diumpamakan cahaya oleh al-Ghazali ialah karena Tuhan menjadi sebuah
sumber dari wujudnya segala sesuatu tersebut. Tanpa adanya cahaya
Tuhan, maka sesuatu tersebut tidak akan kelihatan.
Mengenai Tuhan sebagai cahaya, para sufi juga mengatakan kalau
alam semesta ini adalah sebuah cerminan Tuhan, sebagaimana Tuhan
9Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, h. 36.
10Margaret Smith,mistisisme Islam dan Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhannya,
Penerjemah Amroeni Dradjat, h. 157. 11
Al-Ghazali, Misykat Cahaya-cahaya, Penerjemah Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan,
1991), h. 38.
46
melihat gambar diri-Nya. Setiap tingkat eksistensi makhluk mencerminkan
sifat-sifat tertentu Tuhan. Semakin tinggi tingkatan wujud , maka semakin
banyak pula sifat-sifat Tuhan yang terpantulkannya. Dan puncak yang
paling tinggi ada pada diri manusia, karena manusia adalah makhluk yang
terbaik bentuknya. Manusia akan mencapai tingkat kesempurnaan ketika
diri manusia terpantul seluruh sifat Tuhan. Kalau manusia sudah bisa
mencapai tingkatan tinggi tersebut, maka manusia bisa mencapai tingkat
“manusia paripurna” (insản kảmil).12
Dalam Islam ada tiga aliran besar dalam pemikiran, yaitu Ijảdiyyah,
Wujủdiyyah, dan Syuhủdiyyah. Golongan Ijảdiyyah ialah kaum
kemakhlukan atau keluhuran. Mereka mempunyai anggapan kalau Tuhan
itu terpisah daripada makhluk-Nya, juga Tuhan merupakan ekstra kosmos
yang telah menciptakan bumi dan langit dalam waktu enam hari,
kemudian istirahat pada hari ke tujuh.
Menurut Sir Sayyid Ahmad, “percaya kepada Tuhan Yang Esa, dan
Dia mengada dengan kesucian-Nya. Dia menciptakan segala sesuatu dari
ketiadaan kemudian menjadi sesuatu yang ada.Segala sesuatu agar
menjadi ada maka sangat bergantung kepada-Nya. Sedangkan Dia sendiri
tidak tergantung dan tidak membutuhakan pada sesuatu pun.”
Golongan yang kedua ialah kaum Wujủdiyyah, mereka mempunyai
doktrin kalau manusia (atau dunia) berasal dari pengetahuan Tuhan, dan
kemudian memperoleh sebuah pengalaman dari dunia, kemudian kembali
12
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 41-42.
47
menuju pada kenyataan. Dalam hal ini, kegandaan dapat memukul pada
bagian yang terdasar.
Sesungguhnya hanya ada satu esensi yang telah mewujudkan di luar
pengetahuannya sendiri.Yang mana, pengetahuan dalam tahap kedua ialah
emanasi itu sendiri. Setelah ia memperoleh pengalaman, maka ia akan
kembali pada keadaan sendiri di dalam pengetahuan Tuhan. Orang
menganggap ajaran ini sama dengan aliran panteisme.
Sedangkan aliran yang ketiga yaitu golongan Syhủdiyyah, mereka
mempunyai anggapan tentang adanya dua Zat, yang pertama ialah
nyata.Yang satu adalah Tuhan, dan yang lainnya hanyalah hamba. Pada
diri hamba di dalamnya terdapat sifat ketiadaan, dan yang ketiadaan ini
adalah berhubungan, tetapi bukanlah hal yang hakiki. Jadi, kalau ada satu
esensi yang bersifat tidak ada, maka akan ada dua Zat yang akan
mendatangkan kegandaan (dualisme).
Oleh karena itu, ketiadaan hanyalah sekedar sebagai sifat tambahan
dari pengetahuan Tuhan. Karena kesempurnaan hanya bisa melekat di
dalam Zat, maka Tuhan itu adalah kebaikan sendiri. Kesempurnaan hanya
akan melekat pada ketiadaan. Oleh sebab itu keburukan merupakan
perwujudan dari ketiadaan.13
13
Khan Sahib Khaja Khan, Tasawuf Apa dan Bagaimana, Penerjemah Achmad Nashir
Budiman, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),h. 9-12.
48
B. Manusia
Pada abad ke-19 (zaman modern) dunia Islam diserbu oleh ide-ide Barat
sekuler, sperti pada gerakan rasional dan gerakan antimistik, tasawuf pernah
dituduh sebagai biang keladi kemunduran dan dikutuk oleh kalangan kaum
modernis. Para orientalis sangat berperan sekali dalam menancapkan kedangkalan
dalam kajian dunia mistik dan tentang ajaran-ajaran Islam kepada para pelajar
Islam yang menimbah ilmu di Barat.14
Dalam dunia Barat, kedudukan manusia dalam Islam dan tasawuf menjadi
sebuah pokok kontradiksi di kalangan para sarjana Barat. Sebagian para sarjana
mengatakan bahwa manusia sebagai “hamba Tuhan” tidak ada artinya sama sekali
dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa; manusia hampir hilang kepribadiannya dan
manusia itu bukan apa-apa kecuali hanya sebagai alat belaka dalam takdir abadi.
Menurut kalangan sarjana Barat, konsepsi “humanisme” (kemanusiaan)
yang begitu sangat dibangga-banggakan oleh kebudayaan Eropa pada dasarnya
aneh bagi pemikir Islam. Para sarjana lainnya merasa sangat khawatir dengan
perkembangan tasawuf lebih lanjut, tentang subyektivisme yang mutlak, sebab,
keberadaan manusia yang seolah-olah “menggelembung” sedemikian rupa
sehingga dianggapnya sebagai makhluk mikrokosmos, suatu gambaran
kesempurnaan dari Tuhan.15
Orang-orang Barat hanya mempunyai pandangan
tentang kedudukan manusia saja, tetapi mereka tidak mempunya pandangan
tentang tujuan-tujuan manusia itu sendiri.
14
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, h. 100. 15
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam,Penerjemah sapardi Djoko
Damono dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), h. 237.
49
Al-Ghazali mengatakan, manusia seharusnya bisa mengetahui tentang siapa
sebenarnya dirinya, ada sebuah pengetahuan tentang hal-hal sebagai berikut ini:
Siapakah diri Anda, dan dari mana diri Anda datang? Kemanakah Anda akan
pergi, apa tujuan Anda datang dan tinggal sejenak di tempat ini, serta di manakah
kebahagiaan dan kesedihan Anda yang sebenarnya berada? 16
Pertanyaan-
pertanyaan seperti ini harus ada di dalam pikiran manusia, agar ia bisa mengetahui
tentang diri yang sebenarnya.
Oleh sebab itu, manusia modern di dalam nalurinya harus ditumbuhkan rasa
pentingnya melakukan meditasi dan kontemplasi (perenungan) dalam menjalani
kehidupan.17
Agar ia bisa mengetahui tentang dirinya sendiri, juga tujuan
hidupnya di dunia ini.
Tasawuf begitu sangat dibutuhkan oleh manusia modern, karena tasawuf di
dalam Islam memiliki semua unsur yang dapat dibutuhkan oleh manusia, semua
yang diperlukan bagi realisasi keruhanian yang luhur, bersistem dan tetap berada
di dalam koridor agama.18
Mengapa tasawuf begitu sangat penting bagi manusia?
Karena di dalam diri manusia terkandung berbagai macam sifat-sifat.
Sebagian dari sifat manusia adalah sifat-sifat binatang, sebagian yang lain
adalah sifat-sifat setan, dan sebagian yang lainnya adalah sifat malaikat. Manusia
harus bisa mengetahuinya, mana di antara sifat-sifat aksidental dan mana sifat
yang esensial (pokok). Sebelum manusia bisa mengetahui tentang bagian-bagian
sifat ini, maka manusia tidak akan bisa menemukan letak kebahagian dirinya yang
16
Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah
Haidar Bagir, (Bandung: Penerbit Mizan, 2014),h. 10. 17
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, h. 100. 18
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, h. 100.
50
sebenarnya.19
Oleh sebab itu, jika manusia ingin menemukan tempat kebahagiaan
dirinya, maka ia harus bisa mengetahui dulu sifat-sifat yang ada di dalam dirinya
itu.
Al-Ghazali menjelaskan, sifat-sifat hewan pekerjaannya hanya sekedar
makan, tidur, dan berkelahi. Oleh sebab itu, jika manusia merasa dirinya adalah
seekor hewan, maka sibukkanlah diri anda dengan melakukan pekerjaan-
pekerjaan tersebut. Begitu juga dengan sifat-sifat setan, pekerjaannya hanyalah
mengobarkan kejahatan, kelicikan, dan kebohongan. Kalau manusia termasuk ke
dalam kelompok mereka (setan), maka kerjakanlah pekerjaan-pekerjaan mereka.
Adapun sifat-sifat malaikat adalah pekerjaannya selalu merenungkan tentang
keindahan Tuhan dan sama sekali bebas dari kualitas-kualitas hewan. Jika
manusia mempunyai sifat-sifat malaikat, maka manusia harus berjuang untuk
memperoleh sifat-sifat asal manusia agar bisa mengenali dan merenungi Dia
(Tuhan) Yang Maha Tinggi, serta manusia bisa terbebas dari perbudakan nafsu
dan amarah.20
Jadi manusia bisa menentukan sendiri pekerjan sifat-sifat tersebut.
Apakah mau mengikuti pekerjaan hewan, setan, bahkan sifat malaikat. Kalau
manusia ingin bahagia, maka ia harus mengikuti sifat malaikat dan tidak
mengikuti sifat hewan dan setan.
Langkah yang harus dilakukan oleh manusia untuk mengetahui tentang
dirinya adalah menyadari kalau dirinya itu terdiri dari bentuk luar yang biasa
disebut sebagai jasad, dan wujud dalam yang disebut sebagai hati atau jiwa
19
Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah
Haidar Bagir, h. 10. 20
Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah
Haidar Bagir,h. 10.
51
(ruh).Yang dimaksud hati di sini bukanlah sepotong daging yang terletak di
sebelah kiri bagian badan, tetapi sesuatu yang menggunakan fakultas-fakultas
lainnya sebagai alat dan pelayannya.21
Pendapat al-Ghazali ini sesuai dengan apa yang ada di dalam ajaran Islam
tentang konsep manusia. Manusia tersusun dari jasmani dan ruhani. Manusia pada
kenyataanya adalah jiwanya. Jiwalah yang dapat membedakan manusia dengan
makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dengan jiwanya manusia bisa merasa, berpikir
dan dapat mengerjakan perbuatan-perbuatan baik.22
Terkait dengan masalah ini,bahwa ada tiga unsur di dalam diri manusia,
yaitu jiwa (ruh), akal, dan jasad. Oleh sebab itu manusia bisa memperoleh
kemuliaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya karena
manusia memiliki unsur ruh ilảhiyyah (ruh ketuhanan). Ruh yang disebutkan oleh
Tuhan dalam firman-Nya.
فإراسيت فخت في هي سحي فقعا ل سجذيي
Artinya: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan
sudah meniupkan ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud.”(QS. al-Hijr, ayat 29).
Ruh ilảhiyyah inilah yang menjadikan manusia sebagai manusia yang
memiliki kehidupan ruhani, di mana semua manusia dalam setiap agama memiliki
sebuah kecondongan untuk memilikinya. Karena perasaan seperti itu adalah fitrah
21
Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah
Haidar Bagir, h. 12. 22
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan
Kesehatan Mental,( Jakarta: CV Ruhama, 1993),h. 26.
52
manusia. Dengan demikian, yang menjadi objek dalam kajian tasawuf ialah
“jiwa” manusia.Tasawuf mengkaji tentang sikap jiwa manusia berhubungan
dengan Tuhan dan sikapnya berhubungan dengan sesama makhluk lainnya.23
Al-Qur‟an dan hadis pun membicarakan tentang jiwa, tetapi pengalaman
kejiwaan masyarakat Islam berbeda sekali dengan pengalaman kejiwaan
masyarakat Barat. Dalam sejarah Islam, perkembangan pengetahuan berjalan
dengan seiringnya agama dan bahkan ajaran agama pengetahuan. Misalnya
tentang jiwa, dalam keilmuan Islam tidak muncul ilmu jiwa sebagai ilmu yang
membahas perbuatan tentang gejala-gejala jiwa manusia, tetapi dalam khazana
Islam jiwa manusia dibahas dalam konteks keruhanian yang memiliki hubungan
lurus dengan Tuhan.24
Al-Ghazali mengatakan, pada hakikatnya, jiwa bukan termasuk dalam dunia
kasatmata, tetapi termasuk ke dalam dunia maya; ia datang ke dunia ini hanya
sebagai pelancong yang mengunjungi berbagai tempat asing untuk keperluan
perdagangan dan yang akhirnya akan kembali ke tempat asalnya, yakni tanah.
Pengetahuan tentang tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang menjadi kunci
untuk mengetahui tentang Tuhan.25
Jiwalah yang menjadi hakikat dari manusia, karena jiwa mempunyai sifat
ketuhanan dan akan kekal ketika manusia sudah meninggal. Keselamatan dan
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat banyak tergantung terhadap oleh
23
Syamsun Ni‟am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014), h. 73. 24
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, h. 99. 25
Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah
Haidar Bagirh. 12.
53
jiwanya.Sebab jiwa merupakan pokok bagi manusia yang sedang berjalan menuju
kepada Tuhan.26
Al-Ghazali memberikan sebuah perumpaan tentang diri manusia. Jasad
diibaratkan sebagai sebuah kerajaan, sedangkan jiwa sebagai rajanya, serta
berbagai indera dan fakultas lainnya sebagai wajir atau perdana menteri, nafsu
sebagai pemungut pajak, dan amarah sebagai polisi.
Berpura-pura sebagai pemungut pajak, nafsu terus-menerus cenderung untuk
melakukan perampasan demi kepentingannya sendiri, sementara, amarah lebih
cenderung untuk melakukan kekasaran dan kekerasan.Pemungut pajak dan
petugas polisi harus di tempatkan di bawah raja, tetapi keduanya tidak boleh
dibunuh atau di tempatkan yang lebih tinggi.Karena keduanya mempunyai fungsi-
fungsi sendiri yang harus dipenuhinya.Tapi nafsu dan amarah tidak boleh
menguasai nalar. Jika keduanya bisa menguasai nalar, maka jiwa akan merasakan
keruntuhan.27
Oleh sebab itu, manusia harus bisa menjaga dirinya dari keganasan
nafsu dan amarahnya yang bisa menghancurkan jiwanya.
Dalam sebuah kajian tasawuf, manusia bukan semata-mata fisiknya saja,
melainkan jati diri manusia ialah ruhaninya. Kalau manusia diidentifikasi dari
dimensi fisiknya, maka manusia tidak lebih dari sejenis hewan yang sama-sama
memiliki fisik yang hampir mirip.Yang menjadi pembeda antara manusia dengan
26
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan
Kesehatan Mental, h. 26. 27
Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah
Haidar Bagirh. 14.
54
hewan ialah manusia memiliki ruhani atau batin dan juga akal yang tidak dimiliki
oleh hewan.Inilah menjadi jati diri manusia.28
Al-Ghazali juga menyebut manusia sebagai „alammushshaghỉr atau biasa
disebut sebagai jagat kecil yang ada di dalam dirinya. Susunan jasadnya harus
dipelajari dan dipahami, bukan hanya dipelajari oleh orang-orang yang ingin
mejadi dokter saja, tetapi dipelajari juga oleh orang-orang yang memperoleh
pengetahuan yang lebih tinggi tentang Tuhan. Sebagaimana mempelajari tentang
sebuah keindahan dan corak bahasa di dalam puisi yang tinggi, sehingga kita akan
memahami tentang kepandaian pengarangnya.29
Manusia disebut jagat kecil
karena manusia berada di jagat besar, yakni alam semesta. Sehingga manusia
termasuk bagian dari jagat besar ini. Namun, manusia juga harus memahami
dirinya sendiri kalau hatinya bisa menampung tentang keberadaan Tuhan.
Ikhwản al-Shảfả juga mengatakan, bahwa manusia adalah sebuah makhluk
mikrokosmos, secara umum ia mengartikannya sebagai tubuh manusia. Ini
menunjukkan kalau tubuh manusia mengandung universum fenomenal, termasuk
matahari, bulan, bintang, binatang, dan sebagainya. Ini disebabkan karena
kebijaksanaan Tuhan bahwa. Ia menciptakan tubuh manusia sebagai
mikrokosmos, sehingga manusia memperoleh sebuah pengetahuan tentang
universum melalui pengetahuan tubuhnya.30
28
Yunasir Ali, Sufisme dan Pluralisme: Memahami Hakikat Agama, dan Relasi Agama-
agama, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012), h. 256. 29
Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah
Haidar Bagir, h. 26. 30
Mastaka Takeshita, Manusia Sempurna Menurut Ibn „Arabi,Penerjemah Moh, Hefni
MR, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). h. 123.
55
Kedudukan manusia sebagai jagat kecil (mikrokosmos) itu bukan sebagai
sebuah simbol, sedangkan alam semesta ini sebagai jagat besar (makrokosmos),
kedudukan antara jagat kecil dan jagat besar ini sebenarnya tidak ada
bedanya.Malahan, hakikatnya jagat kecil ini lebis luas dan besar dari pada jagat
besar, alam semesta ini berada di dalam diri manusia, yakni di hati manusia.
Inilah kehebatan manusia dibandingkan dengan makhluk yang lainnya.
Malahan bisa dikatakan kelebihan manusia dengan makhluk lainnya adalah
adanya akal yang dimiliki oleh manusia dan makhluk selain manusia tidak
memiliki akal.Tetapi ada yang lebih esensi lagi, yakni manusia mempunyai hati
yang bisa menampung seluruh alam semesta, bahkan hati manusia bisa
menampung keberadaan Tuhan di dalam hatinya.31
Kalau manusia sudah mendapatkan bimbingan risalah yang dibawah oleh
para nabi ataupun akal pikiran yang sehat, maka naluri bertuhan akan tambah
cemerlang. Oleh karena itu kerinduan manusia kepada Tuhan hakikatnya ialah
kerinduan yang tabi‟iyah yang berpijak pada fitranya. Kalau kerinduan manusia
sudah kuat maka manusia akan melakukan berbagai macam pengorbanan untuk
bisa berhubungan dengan Tuhan.32
Dalam dunia sufiisme ada sebuah istilah yang bernama al-Hulul yakni suatu
paham yang menyebutkan kalau Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu
untuk dijadikan tempat di dalamnya,setelah sifat-sifat kemanusiaannya sudah
dihilangkan atau dilenyapkan. Bagi golongan sufi, manusia adalah sebuah
penampakan lahir dari cinta Tuhan yang azali kepada zat dan esensi-Nya yang
31
Agus Wahyudi, Pesona Kearifan Jawa, (Yogyakarta: Dipta, 2014), h. 181. 32
Hamzah Ya‟qub, Ilmu Ma‟rifah Sumber Kekuatan dan Ketentraman Bathin,(Jakarta:
CV. Atisa, 1988), h. 41.
56
mutlak dan tidak mungkin untuk disifatkan. Oleh sebab itu, manusia diciptakan
oleh Tuhan dalam bentuk-Nya yang mencerminkan segala sifat dan nama-Nya,
sehingga “ia adalah Dia”.
Di dalam tubuh manusia terdapat sifat-sifat kemanusiaan, kalau menurut
para sufi diistilahkan dengan kata an-Nasut dan di dalam diri manusia juga
terdapat sifat-sifat ketuhanan yang sebut al-Lahut. Secara tegas, apabila manusia
sudah bisa menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dari dalam dirinya melalui
jalan fana‟ (melebur), maka yang hanya ada di dalam dirinya cuma sifat-sifat
ketuhanan. Saat itulah Tuhan akan masuk ke dalam diri manusia.33
Maqảmat-maqảmat yang bisa mengantarkan manusia menuju kepada
Tuhan
Tasawuf sebagaimana mistisme pada umumnya bertujuan untuk
membangun dorongan-dorongan terhadap manusia, yaitu sebuah dorongan untuk
merealisasikan diri secara menyeluruh sebagai makhluk yang secara hakiki adalah
makhluk yang bersifat kerohanian.Tasawuf mempunyai potensi besar untuk
menawarkan sebuah pembebasan spiritual untuk mengajak manusia mengenalkan
dirinya senidiri dan akhirnya bisa berhubungan dan mengenal Tuhannya.34
Manusia untuk bisa mencapai bertemu dengan Tuhan, maka manusia harus
melakukan sebuah kegiatan kebatinan, seperti melakukan riadloh dan
mujahadah.Kegiatan seperti ini disebut suluk dan manusia yang melakukan
kegiatan seperti ini dinamakan seorang salik. Manusia untuk bertemu langsung
33
Abdurrahman Abdul Khalik dan Ihsan Ilahi Zhair, (Jakarta: Amzah, 2000), h. 23. 34
Lihat dipendahuluan Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin dalam sebuah buku
Kamus Ilmu Tasawuf,(Jakarta: Amzah, 2012),h.21.
57
dengan Tuhan menjadi sebuah perhatian yang sangat penting dikalangan para
sufi. Di antaranya al-Ghazali. Tuhan berfirman di dalam al-Qur‟an:
فضشباعلى أران فى الكف سيي عذدا
“Maka barang siapa yang ingin berjumpa dengan Allah, maka hendaklah ia
mengerjakan amalan baik dan janganlah ia mempersekutukan dengan siapa pun
dalam beribadah kepada Allah”.(QS. al-Kahfi, ayat 11).Ayat tersebut menjadi
sebuah pegangan para sufi agar bisa bertemu dengan Allah.35
Manusia yang akan menempuh kehidupan rohani untuk bisa sampai kepada
Allah atau ingin bertemu dengan Tuhan, maka manusia harus menempuh stasiun-
stasiun (maqảmat-maqảmat) terlebih dahulu. Konsep maqảmat yang diterapkan
oleh para sufi tidak semuanya sama dengan maqảmat yang diterapkan oleh para
sufi lainnya.36
Maqảmat- maqảmatal-Ghazali yang terdapat di dalam buku Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam karya Harun Nasution ada delapan macam, di antaranya:
1. Taubat
Maqam taubat yang dimaksud oleh para sufi ialah taubat yang bersungguh-
sungguh, taubat yang tidak mengajak manusia lagi untuk melakukan dosa.
Terkadang taubat tidak bisa dikerjakan hanya satu kali saja, tetapi sampai
dikerjakan berulang-ulang kali. Ada yang mengatakan, bahwa seorang
sufimelakukan taubat hingga sampai tujuh puluh kali, baru ia bisa mencapai
tingkatan taubat yang sebenarnya. Dalam pandangan para sufi, taubat yang
sebenarnya ialah lupa atas segala hal kecuali Tuhan. Menurut al-Hujwỉri, orang
35
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Pt Bina Ilmu, 2007), h. 46. 36
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: Rosda, 2012),h. 20.
58
yang taubat adalah orang cinta kepada Allah senantiasa mengadakan perenungan
tentang Tuhan.37
Sedangkan taubat menurut al-Ghazali ialah yang termasuk dari sebuah arti
taubat yaitu meninggalkan segala perbuatan-perbuatan maksiat pada saat sekarng
dan berniat untuk meninggalkannya di masa yang akan datang dan memperbaiki
semua kesalahan yang sudah lewat di dalam keadaan-keadaan yang sudah lalu
yang demikian itu tidak diragukan mengenai wajibnya taubat.38
Jadi, taubat yang dimaksud oleh al-Ghazali itu, manusia ketika ingin
bertaubat maka harus dilakukan seketika itu dan mempunyai niat untuk tidak
mengulangi lagi perbuatan-perbuatan maksiat di masa yang akan datangnya.
Taubat yang seperti ini menurut pendapat al-Ghazali ialah sebuah kewajiban
bertaubat.
2. Sabar
Maqam sabar ialah sebuah sifat yang sangat dipuji oleh Tuhan dalam kitab
sucinya, yakni al-Qur‟an.Dan banyak pula yang terkandung di dalam sebuah
hadits nabi tentang keutamaan sifat sabar.Sifat sabar sangat berkaitan sekali
dengan manusia, tidak bagi hewan dan malaikat.Karena sabar adalah sebuah sifat
keutamaan, maka sangat tidak masuk akal kalau hewan juga mempunyai sifat
yang terpuji ini. Begitu juga dengan malaikat, ia tidak mempunyai sifat sabar
karena malaikat memiliki kesempurnaan dan tidak memiliki hawa nafsu. Oleh
37
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2014),
h. 52. 38
Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulủmuddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah, (Jakarta: Republika, 2013), h. 270.
59
sebab itu, malaikat tidak perlu untuk membutuhkan sifat sabar untuk
mengendalikannya.39
Al-Ghazali mengatakan, sabar itu ada dua macama.Pertama, sabar badaniah
seperti menanggung beban kesulitan anggota badan dan tetap tegar atas segala
kesulitan.Kesulitannya itu adakalanya berbentuk perbuatan seperti mengerjakan
pekerjana-pekerjaan yang berat dan adakalanya dari ibadah atau dari yang
lainnya.Kedua, sabar dalam jiwa seperti keinginan-keinginan tabiat dan tuntutan
hawa nafsu.40
Macam-macamnya sabar dalam buku Harun Nasution ada tiga:
a. Sabar dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan, dalam menjauhi segala
larangan-larangan-Nya dan sabar dalam segalam macam cobaan-cobaan
yang ditimpahkan oleh Tuhan kepada kita.
b. Sabar dalam menunggu pertolongan dari Tuhan.
c. Sabar dalam menderita kesabaran. Tidak menunggu-nunggu datangnya
pertolongan.41
3. Kefakiran
Maqam kefakiran merupakan suatu sikap yang timbul dari manusia yang
telah memilih hidup untuk zuhud. Yang dimaksud kefakiran dalam kajian tasawuf
bukan karena manusia itu memiliki harta yang sedikit, tetapi ia merupakansebuah
sikap batin yang berwujud tidak ada keinginan untuk menumpuk pada kekayaan
duniawi.
39
Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h. 58. 40
Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulủmuddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah, h. 22. 41
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 53.
60
Dalam dunia tasawuf, fakir itu bukan lagi dikatakan sebagai tidak memiliki
harta, tidak mempunyai makanan yang bisa untuk dimakan sehari-hari, tetapi
miskin itu ialah manusia yang selalu mempunyai kebutuhan di dalam hidupnya
hanya kepada Tuhan.42
Menurut al-Ghazali sendiri mengatakan kalau orang fakir ialah orang yang
membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya.Semua manusia adalah orang-orang
yang fakir (butuh) kepada Tuhan.Karena manusia membutuhkan-Nya dalam
kelangsungan eksistensinya.Permulaan eksistensi manusia adalah dari-
Nya.Manusia sebenarnya tidak memiliki eksistensi, melainkan Tuhan-lah yang
memilikinya.Dia (Tuhan) adalah yang memiliki Mahakaya secara mutlak.43
4. Zuhud
Maqam zuhud ialah meninggalkan keinginan pada sesuatu karena mengikuti
keinginan yang lain pada sesuatu yang lebih baik. Dalam hal ini, meninggalkan
kenikmatan kehidupan duniawi yang sifatnya sementara juga tidak abadi karena
menginginkan kenikmatan akhirat yang dianggapnya lebih baik dan kekal.
Dalam menempuh zuhud, manusia terbagi menjadi tiga tingkatan, pertama
orang yang pada lahirnya berzuhud terhadap dunia, sedangkan hatinya penuh
dengan kerinduan dan cinta terhadap dunia. Dalam hatinya masih ada rasa
keberatan untuk meninggalkan kenikmatan dunia, tetapi ia masih terus berjuang
sekuat tenaga untuk memperoleh tingkatan zuhud yang sebenarnya. Orang seperti
ini disebut sebagai manusia pejuang zuhud.Kedua, manusia yang meninggalkan
42
Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, h. 53-54. 43
Al-Ghazali, Mutiara Ihyả‟ „Ulủmuddỉn, Penerjemah Irwan Kurniawan, (Bandung:
Mizan, 1999), h. 334.
61
kenikmatan dunia dengan perasan senang hati karena ia menganggapnya sebagai
sesuatu yang hina dan tidak ada harganya jika dibandingkan dengan kenikmatan
di akhirat yang sifatnya berharga dan kekal. Namun ia sendiri masih ada rasa suka
terhadap kenikmatan dunia. Ketiga, zuhud tingkatan paling tinggi, yakni orang
yang melakukan kehidupan zuhud dengan sepenuh hatinya dan ia telah
melakukan zuhud di dalam zuhud, sehingga ia tidak melihat dirinya berzuhud,
yakni ia sudah tenggelam dalam kehidupan zuhud.44
Hakikatnya zuhud ialah tidak menyukai segala sesuatu dan menyerahkannya
kepada yang lain. Barang siapa yang bisa meninggalkan kelebihan dunia dan
membencinya, kemudiania mencintai akhirat, maka ia adalah tergolong yang
zuhud di dunia. Sedangkan tingkatan zuhud yang tertinggi ialah tidak menyukai
segala sesuatu selain Tuhan, bahkan terhadap akhirat.45
5. Tawakkal
Tawakkal ialah sebuah maqam yang diajarkan oleh syari‟at Islam ketika
manusia sudah mengerjakan sesuatu dengan mengerahkan segala daya upaya dan
ikhtiar. Tasawuf menjadikan maqam tawakkal sebagai perantara atau sebagai
tangga untuk memalingkan hati manusia agar tidak memikirkan keduniawian atau
apa saja yang selain Tuhan. Tawakkal merupakan sebuah keteguhan hati dalam
menggantungkan dirinya hanya kepada Tuhan semata, serta berhenti memikirkan
dirinya sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan.46
44
Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h. 52. 45
Al-Ghazali, Mutiara Ihyả‟ „Ulủmuddỉn, Penerjemah Irwan Kurniawan, h. 339. 46
Ahmada Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013),h. 51.
62
Tawakkal artinya menyerahkan segala urusan kepada seseorang, yang biasa
disebut sebagai wakil, dan memercayakan kepadanya dalam urusan tersebut.
Tentu saja seseorang tidak akan menyerahkan segala urusannya kepada orang lain
(wakil) kecuali di dalam dirinya ada rasa tenang dengannya dan percaya
kepadanya. Tawakkal yang di maksud di sini ialah tawakkal kepada Tuhan, wakil
kita yang paling dapat dipercaya, Mahakuasa dan mempunyai kecakapan yang
tidak ada batasnya.47
6. Cinta
Cinta ialah sebuah kata yang sangat indah untuk diucapkan dan enak
didengar oleh telinga manusia. Cinta ialah sebuah pemberian Tuhan yang cukup
mulia juga sangat berharga, karena adanya cintalah semua makhluk hidup bisa
saling memberi kasih sayang, dan dengan adanya cinta manusia manusia mau
melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan Tuhan.
Maqam cinta ialah sebagai penghubung atau pengikat antara manusia
dengan Tuhannya.Jadi cinta adalah pengikat, penghubung, dan sebagai tangga
untuk menuju Tuhan.Cinta bisa menjelaskan sekaligus menjadi sebuah petunjuk
bagi manusia untuk bisa sampai kepada Tuhan.48
Menurut al-Ghazali, orang yang mencintai sesuatu yang tidak mempunyai
keterkaitan kepada Tuhan, maka manusia tersebut melakukannya karena
kebodohan dan kurangnya dalam mengenal Tuhan.Cinta kepada selain Tuahn tapi
masih terkait dengan Tuhan, maka hal yang seperti ini masih dipandang
baik.Seperti mencintai Rasulullah adalah terpuji karena cinta ini merupakan hasil
47
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf,h. 200. 48
Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, h. 24.
63
dari kecintaan manusia kepada Tuhan. Intinya, mencintai siapa pun yang dicintai
Tuhan adalah baik, karena pencinta kekasih Tuhan berarti ia juga mencintai
Tuhan.49
7. Makrifat
Maqam ma‟rifat merupakan tangga yang paling tinggi dalam dunia tasawuf
dan suatu hal yang sanagt penting dalam membangun hubungan seorang hamba
dengan Tuhannya. Karena dengan mengenal tuhan, Manusia akan bisa mengenali
dirinya sendiri. Dengan mengenal Tuhan, manusia akan bisa memahami hakekat
keberadaan dirinya di dunia ini; untuk apa sebenarnya dirinya diciptakan, kemana
arah dan tujuan hidupnya, serta tanggung jawab yang dipikulnya manusia di muka
bumi.50
8. Kerelaan (Ridha)
Yang dimaksud ridha ialah hati kita merasa gembira atas segala yang sudah
Allah takdirkan kepada kita.Rabi‟ah al-„Adaiyah mengatakan, “Seseorang bisa
dikatakan ridha jika ia senang terhadap musibah yang menimpah dirinya
sebagaimana ia merasa bahagia terhadap nikmat yang telah ia peroleh”.51
Ridha ialah hati manusia tidak merasa tergoncang ketika ia terkena sebuah
musibah dan bisa menghadapinya dengan hati yang tenang. Dengan kata lain,
ridha ialah tetapnya organ hati dalam keadaan tenang dan tentram ketika
mengahadapi segala sesuatu yang akan membuat manusia merasa kesakitan ketika
49
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf,h. 200-201. 50
Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, h. 127. 51
Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h. 58-60.
64
terkena musibah. Ridha adalah ketenangan hati dan ketentraman jiwa terhadap
apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan.
Secara umum, ridha itu ada dua tingkatan.Pertama, ridha kepada Tuhan
sebagai Tuhannya. Yakni ridha dengan maqam rububiyah-Nya, dan akan
terwujud jika manusia menjadikan dirinya ada di dalam pemeliharaan tuhan,
mengeluarkan dirinya dari godaan setan, serta ridha dan senang ketika berada
dibawah pemeliharaan-Nya.
Jadi, tingkatan ridha yang perta ialah berada dibawah nayngan pemeliharaan
Tuhan dan merasa senang ketika berada di dalam bimbingan-Nya. Tanda manusia
yang ridha terhadap pemeliharaan Tuhan ialah ia tidak merasa keberatan dengan
perintah kewajiban Tuhan terhadap dirinya. Ia pun merasa senang menjalani
segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Ia menyambutnya dengan
perasaan senang hati.
Kedua Ridha terhadap qadha‟ dan Taqdir Tuhan.Yakni merasa senang atas
semua kejadian yang menimpah dirinya. Baik yang manis maupun yang pahit,
semuanya ia hadapi dengan perasaan senang atas apa yang telah diberikan
Tuhankepada dirinya. Baik berupa cobaan, sakit, kehilangan yang dicintainya,
maupun sebaliknya, yakni kebahagiaan. Bagi manusia yang mempunyai sifat
ridha, semuanya ialah sama. Semuanya adalah sebuah pemberian dari Tuhan. Dan
ia tetap merasa ridha dan senang denga semua pemberian dari Tuhan.52
Jadi, maqamat-maqmat ialah tanjakan seorang hamba dihadapan Tuhan
tidak lain merupakan sebuah kualitas kejiwaan manusia yang sifatnya tetap.
52
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT Grasindo Persada,
2016), h. 58.
65
Maqam ini mempunyai tujuan agar manusia bisa melihat seberapa besarnya amal
perbuatan ketika berada dihadapan Tuhan, Sehingga manusia bisa memperoleh
kesempurnaan ketika menjalankan beribadah dan beramal.53
C. Pandangan al-Ghazali Tentang Maksiat Hati
Hati manusia terdapat berbagai macam sifat-sifat yang tercela, dan jumlah
tidak bisa terhitung. Pada diri manusia terkumpul empat macam sifat, yakni sifat
sabu‟iyah (binatang buas), bahimiyah (binatang), syaithảniyyah (setan), dan
rabbảniyyah (ketuhanan).Semuanya itu terkumpul di dalam hati manusia.Maka
berkumpullah pada diri manusia sifat babi, anjing, setan, dan orang bijak.54
Kalau
hati manusia terpengaruhi oleh sifat-sifat tercela tersebut, maka hati manusia akan
terhijab dengan Tuhannya.55
Walaupun Tuhan berada di alam, tampak di alam, bahkan Tuhan nampak
lebih jelas dari alam itu sendiri, malahan Tuhan lebih dekat sekali kepada manusia
dibandingkan dengan kedekatannya dengan segala sesuatu yang lainnya.Tetapi
banyak sekali manusia yang terhijab (terhalang) untuk bisa dekat dengan Tuhan.56
Hijab dalam arti literalnya “penghalang” atau “pemisahan”.Sedangkan hijab
menurut arti secara tasawuf ialah menunjukkan pengertian sebuah penghalang
yang memisahkan hubungan manusia dengan Tuhan.Sebenarnya banyak sekali
hijab-hijab yang dapat menghalangi hubungan manusia dengan Tuhannya.Hijab-
53
Ahmada Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, h. 51. 54
Muhammad Nawawi,,Tarjamah Maroqil „Ubudiyah, Penerjemah Zaid Husein al-Hamid,
(Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), h. 191. 55
Muhammad Nawawi,,Tarjamah Maroqil „Ubudiyah, Penerjemah Zaid Husein al-Hamid,
(Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), h. 191. 56
Dimyati Sajari, Mengenal Allah: Paham Ma‟rifah Ibn „Atha‟illah dalam al-Hikam,
(Bandung: Fajar Media, 2012), h. 70.
66
hijab tersebut adakalanya berada pada dalam diri manusia sendiri dan ada pula
yang berada di luar diri manusia itu sendiri. Pada dasarnya setiap manusia sudah
mempunyai bakat semenjak mulai ia diciptakan, berupa bakat fujủr (kejahatan)
dan bakat ketaqwaan (kebaikan). Bakat fujur inilah yang paling dahsyat menjadi
sebuah hijab bagi manusia dengan Tuhannya.57
Hijab adalah sebuah penghalang yang menutupi manusia. Sedangkan yang
sedang dibicarakan di sini ialah hijab pada mata hati, apabila terselubung padanya
maka hatinya akan menjadi buta, sehingga hatinya tidak bisa melihat, atau secara
tegas hatinya tidak bisa mengenal hakikat yang sangat penting sekali untuk
diketahuinya, sehingga manusia bagaikan orang yang buta matanya. Sebagaimana
yang difirmankan oleh Tuhan dalam surat al-Isra‟ ayat 72.
هي كاى في ز أعوي ف فى الأ خشة أعوى أضل سبيلا
Artinya: Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula), dan lebih tersesat jalannya. (QS.
al-Isra‟ ayat 72).
Yang dimaksudkan buta di sini bukanlah buta matanya atau buta mata
zahirnya, tetapi yang dimaksud buta di sini ialah buta mata hatinya atau mata
batinnya. Kalau mata hati sudah buta, maka manusia tidak akan bisa melihat
cahaya yang membawa manusia memandang ke akhirat.
Penyebab yang paling utama tentang kebutaan mata hati ialah kebodohan
manusia sendiri tentang hakikat hukum-hukum dan peraturan Tuhan atau syari‟at
yang menjadi penyebab manusia itu berada di dalam kebodohan, yang mana
57
M. Abdul Mujieb, et el, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, (Jakarta: Hikmah,
2009), h. 144.
67
kebodohan itu ialah sebuah kegelapan yang menyelubungi hati manusia.58
Akibat
dari kebodohan tersebut hati manusia dipenuhi oleh berbagai macam maksiat-
makisat.
Maksiat hati itu sangatlah berbahaya terhadap diri manusia, karena ia tidak
bisa dilihat oleh pancaindera dan sangat susah untuk bisa dihilangkan. Maksiat
hati adalah sebuah penyebab dan pembangkit maksiat-maksiat anggota badan
lainnya. Maksiat hati akan membawa manusia ke jalan kejahatan dan
menjerumuskan manusia ke dalam jurang kecelakaan. Maksiat hatilah yang
menjadi penyebab hati menjadi kotor, sehingga manusia menjadi terhijab atau
terhalang hubungan dirinya dengan Tuhan.59
Al-Muhasibi mengatakan:
“Kenalilah identitas jiwa dan kondisi batinmu dengan baik.
Bersihkanlah ia dari macam-macam maksiat hati seperti hasud, sombong,
kebencian berburuk sangka dan bermusuhan, karena sesungguhnya kami
telah mendengar bahwa rasa dendam dan dengki bisa menghancurkan amal
kebaikan. Periksalah kembali kondisi jiwa di setiap saat. Mungkin saja ia
telah melakukan sebagian maksiat secara terus-menerus tanpa ia sadari.
Lihatlah, apakah di dalam diri kalian ada rasa cinta terhadap dunia secara
berlebihan dan hati kalian hanyut dalam menuruti keinginan
syahwatnya.”60
Banyak sekali maksiat-maksiat hati yang menjadi penyebab penghalang
bagi manusia untuk bisa berhubungan dengan Tuhan. Seperti sifat sombong, riya
(pamer), iri hati (hasud), terlalu mencintai dunia, dan masih banyak lagi maksiat-
maksiat hati yang lainnya. Namun penulis hanya akan membahasnya cuma
sebagian saja. Penulis memulainya dari sifat riya atau pamer.
58
Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi, Penerjemah Syed Ahmad Semait, (Singapura:
Pustaka Nasional PTE LTD, 2004), h. 113-114. 59
Mustafa, Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, ( Surabaya: PT. Bina Ilmu, tt ), h. 74-
75. 60
Al-Muhasibi, Renungan Suci Bekal Menuju Taqwa, Penerjemah Wawan Djunaedi
Soffandi,( Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 107.
68
Al-Ghazali mengatakan, “perbuatan pamer (riya) merupakan syirik yang
tersembunyi (asy-syirkul khafi)”.61
Hal ini merupakan salah satu bentuk
kesyirikan.Syirik merupakan perbuatan dosa yang tidak bisa diampuni oleh
Tuhan. Oleh karena itu riya merupakan penghalang hubungan manusia dengan
Tuhan. Karena dengan riya manusia ingin menyamai Tuhan dalam hal kekayaan,
kehebatan, dan kelebihan-kelebihan yang lainnya. Seolah-olah yang ia dapatkan
hasil dari usahanya sendiri. Dan manusia seperti ini adalah manusia yang hatinya
sudah terhijab dengan Tuhan.
Pokok dari riya ialah mencari tempat atau kedudukan di dalam hati manusia,
dengan memperlihatkan kepada manusia lainnya, dalam hal-hal kebaikan. Selain
bahwa kemegahan dan kedudukan itu yang dicari di dalam hati manusia dengan
perbuatan-perbuatan selain ibadah. Dan nama riya sendiri itu dikhususkan
menurut hukum kebiasaan dengan mencari kedudukan di dalam hati manusia.62
Hal ini yang menyebabkan riya itu diharamkan karena orang yang
melakukan perbuatan riya maka ia terkutuk dan terhijab pada di sisi Tuhan.63
Sebagai mana yang terkandung di dalam al-Qur‟an:
ألزيي ن يشاءى لاتن ساىفيل للوصليي الزيي ن عي ص
Artinya: “Sebab itu, celaka bagi orang-orang yang mengerjakan
shalat. Yang lalai dari shalatnya. Yang mengerjakan (kebajikan) untuk
dilihat oleh orang lain (riya).”(QS. al-Ma‟un ayat 5-6).
61
Al-Ghazali, Menjelang Hidayah,penerjemah M, As‟ad El-Hafidy, (Bandung: Mizan,
1998), h. 110. 62
Al-Ghazali, ihya‟ al-Ghazali,Penerjemah Ismail Yakub, (Semarang: C. V. Faizan,
1981), h. 315. 63
Al-Ghazali, ihya‟ al-Ghazali,Penerjemah Ismail Yakub, h. 302.
69
Dalam ayat tersebut, yang celaka bukan hanya manusia yang lalai saja
ketika sedang melakukan shalat. Tetapi ayat itu juga menjelaskan tentang
bahayanya sifat riya yang ada di dalam hatinya. Karena, hati yang di masuki sifat
tercela ini, membuat hati manusia terhijab hubungan dirinya dengan Tuhannya.
Manusia yang sedang melaksanakan shalat berarti ia sedang menghadap Tuhan.
Dan manusia yang sedang menghadap Tuhan berarti hatinya harus bersih. Kalau
hatinya masih ada sifat riya, berarti ia sedang memamerkan ibadahnya dihadapan
Tuhan. Kemudian maksiat hati yang menjadi hijab lagi yaitu „ujub
(membanggakan diri).
„Ujub ialah merasa besar atas nikmat dan cenderung padanya, serta lupa
menyadarkannya kepada Tuhan Yang Maha Pemberi nikmat.Manusia yang
mepunyai sifat „ujub di dalam hatinya maka hatinya akan menjadi keras. Dan ia
seolah-olah sudah mempunyai hak atas apa yang ada di sisi Tuhan.64
Manusia yang sudah terpengaruh oleh sifat „ujub, maka ia akan terhalang
hubungan dirinya dengan Tuhan. Karena ia merasa apa yang ia banggakan adalah
sebuah dari kemampuannya sendiri. Padahal nikmat yang ia milik sejatinya ialah
pemberian dari Tuhan. Namun ia tidak menyadarinya.
Perbuatan „ujub ialah suatu perbuatan yang tercela. Karena manusia yang
mempunyai sifat membanggakan diri maka ia akan terhijab denganTuhan. Tuhan
sendiri telah menerangkan tentang bahayanya sifat „ujub sebagaimana yang
terdapat di dalam al-Qur‟an:
يم حيي إرأعجبتكن كثشتكن فلن تغي عكن شيأ
64
Al-Ghazali, ihya‟ al-Ghazali,Penerjemah Ismail Yakub, h. 559.
70
Artinya: “Dan hari perang Hunai, ketika itu kamu sangat bahagia
(membanggakan diri) karena banyak jumlahmu, tetapi jumlah yang baik itu
tidak menolong kepada kamu sedikit pun.”(QS. at-Taubat ayat 25).
Selanjutnya yang termasuk dari maksiat hati ialah takabbur (sifat
sombong).Yang menjadi sasaran sifat sombong ialah Tuhan sendiri, para rasul,
atau bisa juga manusia. Manusia memang diciptakan Tuhan suka berbuat salah
dan bertindak bodoh, sehingga manusia bisa bersikap sombong terhadap
Tuhannya.65
Kalau manusia sudah mempunyai sifat takabbur maka manusia bisa
melawan Tuhan. Manusia akan merasa dirinya yang paling kuat sehingga ia ingin
menyamai kekuasaan Tuhan.
Sebab manusia mempunyai sifat takabbur terhadap Tuhan ialah karena
manusia mempunyai sifat kebodohan yang secara mutlak, serta manusia
mempunyai sifat kedurhakaan terhadap Tuhan.Contoh manusia yang hatinya
mempunyai sifat takabbur adalah raja Namrud. Ia membisikkan dirinya untuk
melawan kepada Tuhan yang katanya ada di langit. Hal inilah yang disebabkan
oleh karena ia merasa sombong diri untuk menjadi hamba Tuhan. Dan orang yang
sombong diri tersebut akan dibinasakan oleh Tuhan dan ia akan di masukkan ke
dalam neraka Jahannam.66
Sebagaimana yang ditegaskan di dalam al-Qur‟an:
إى الزيي يستكبشى عي عبادتي سيذخلى جن داخشيي
Artinya: “Sesungguhnya mereka yang bersifat takabbur dari
menyembah-Ku, nantinya akan masuk neraka Jahannam dengan hina
dina.”(QS. al-Mu‟min ayat 60). Itulah balasan dari orang-orang mempunyai
sifat sombong di dalam hatinya. Ia akan di masukkan ke dalam neraka
Jahannam. Selanjutnya yang menjadi sebuah hijab lagi ialah terlalu
mencintai dunia.
65
Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumuddin: Jiwa Agama, Penerjemah Maisir Thaib, (Medan:
Pustaka Indonesia, 1974), h. 320. 66
Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumuddin: Jiwa Agama, Penerjemah Maisir Thaib, h. 320.
71
Dunia dan keindahannya juga adalah termasuk sebuah hijab yang ada di
dalam hati manusia. Selagi hijab itu menjadi sumber ingatan manusia, maka
manusia akan kekal berada di dalam keterpencilannya dengan Tuhan, meskipun
manusia masih terus beramal. Manusia jauh dari Tuhan karena segala amal
perbuatannya diganggu oleh berbagai macam-macam ingatan selain Tuhan, yang
selalu hadir pada setiap kali manusia melakuan amal.
Manusia akan selalu mengingat ini dan itu, makhluk ini dan makhluk itu,
padahal segala yang ia cita-citakan dan yang diingatnya itu tidak ada di dalam
ketentuan Tuhan dan semuanya tidak akan berlaku bagi Tuhan. Tuhanlah yang
seharusnya selalu diingat Tuhan adalah Tuhan, dan Tuhan bukanlah manusia atau
makhluk lainnya.67
Jadi manusia yang ada di dalam pikirannya masih mengingat dunia dan
keindahannya, maka hati manusia juga akan terus terikat oleh dunia. Dan manusia
yang hatinya sudah terikat oleh dunia, maka manusia sangat sulit sekali untuk
dekat dengan Tuhan. Kalau hati manusia sudah tidak dekat lagi dengan-Nya,
berarti hati manusia sudah terhijab.
Yang dimaksud dunia di sini menurut al-Ghazali ialah apa saja yang tidak
ada manfaatnya untuk kebaikkan akhirat, maka tidak lagi disebut dunia. Manusia
yang menginginkan dirinya selamat dari rintangan itu tidak ada lain manusia
harus memisahkan dirinya dan memalingkannya dari dunia itu; yakni diri manusia
67
Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi, Penerjemah Abdul Majid Hj. Khatib, (Yogyakarta:
Beranda, Publishing, 2010), h. 119.
72
dan fikirannya jangan sampai dipenuhi dan semuanya hanya untuk membela
dunia belaka.68
Menurut pendapat Muhammad bin Abdul Jabar al-Nafari:
“Tanda dosa yang menyebabkan Tuhan menjadi marah ialah apabila
manusia mengikuti cinta terhadap dunia. Manusia yang terlalu mencintai
dunia, makaTuhanakan membukakan satu pintu menuju kekufuran kepada
Tuhan. Karena manusia yang melakukan kemaksiatan itu berarti
menghendaki kekufuran, dan manusia yang memasuki pintu tersebut maka
manusia menghendaki jalan kekufuran sesuai dengan seberapa jauh ia
masuk.”69
Di zaman sekarang, manusia lebih mementingkan mencintai dunia
ketimbang mencintai Tuhan. Mereka menumpahkan segala macam tenaga, pikiran
dan waktunya hanya untuk mengejar dunia. Akan tetapi, setelah manusia
memperoleh kecantikan dan keindahan yang ditawarkan oleh dunia tidak abadi, ia
cepat berlalu dari hati. Dunia hanya indah di dalam khayalan dan angan-angan
manusia, setelah didapatkan keindahan dan kecantikannya, ia akan menjadi pudar
dan membosankan.70
Oleh karena itu manusia jangan sampai tertipu oleh
gemerlapnya dunia. Apalagi dunia yang ia kejar tidak membawa dirinya dekat
dengan Tuhan. Tetapi malahan ia menjeruskan manusia jauh dari Tuhannya.
Jadi, apabila manusia tidak lagi menggantungkan hatinya kepada selain
Tuhan, tentu ia akan menggantungkan hatinya hanya kepada Tuhan. Maka Tuhan
akan memperkayakan dirinya dengan makrifat dan manusia akan mendekatkan
dirinya kepada Tuhan. Apabila manusia hatinya sudah dipenuhi makrifat dan
dekat dengan Tuhan, maka hatinya akan disibukkan dengan selalu mengingat
68
Al-Ghazali, Minhajul „Abidin: Menuju Mukmin Sejati, Penerjemah Abdullah bin Nuh,
(Bogor: Penerbit Fenomena, 1989), h. 68. 69
Lihat pendapat Muhammad bin Abdul Jabar al-Nafari dalam buku M. Abdul Mujieb, et
el, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, h. 277-278. 70
Yunasir Ali, Sufisme dan Pluralisme: Memahami Hakikat Agama, dan Relasi Agama-
agama,h. 263.
73
Tuhan dan akan terus merasa bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepada
dirinya.
Tetapi kalau hati manusia masih terpaut dengan makhluk, selama itu pula
manusia tidak akan bisa berhubungan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, hendaknya
manusia meninggalkan ketergantungan kepada makhluk dan cepat pergi menuju
Tuhan.71
71
Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi, Penerjemah Abdul Majid Hj. Khatib, (Yogyakarta:
Bernda Publishing, 2010),h. 117.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan-pemaparan di atas, penulis akan menyimpulkankan dari
pertanyaan rumusan masalah tentang hubungan manusia dengan Tuhan menurut
al-Ghazali dan maksiat hati menjadi sebuah hijab hubungan manusia dengan
Tuhan menurut al-Ghazali.
Mengenai hubungan manusia dengan Tuhan menurut al-Ghazali ialah lebih
condong ke pengetahuan tentang Tuhan. Dalam hubungan di sini tidak hanya
bertemu. Tetapi mengetahui juga bisa dikatakan sebagai sebuah hubungan. Oleh
sebab itu, manusia yang ingin mengetahui tentang Tuhan, maka manusia harus
terlebih dahulu mengetahui tentang dirinya sendiri. Kalau manusia sudah bisa
mengetahui tentang dirinya, maka ia bisa mengetahui Tuhan.
Manusia yang melakukan perenungan tentang dirinya sendiri merupakan
sebuah kunci yang sangat penting bagi manusia agar dirinya bisa berhubungan
secara langsung dengan Tuhan. Oleh karena itu, manusia harus memperbanyak
melakukan perenungan tentang dirinya agar di dalam hatinya bisa merasakan
kehadiran Tuhan.
Di samping melakukan perenungan tentang dirinya, manusia juga harus
melakukan olah diri yang biasa disebut sebagai sebuah maqảm. Maqảm-maqảm
inilah bisa menjadi batu loncatan buat manusia agar bisa berhubungan dengan
Tuhan.
75
Setelah manusia sudah bisa merasakan berhubungan langsung dengan
Tuhan, sekarang mengenai tentang maksiat hati menjadi sebuah hijab hubungan
manusia dengan Tuhan. Manusia yang hatinya dipenuhi oleh berbagai macam
maksiat, maka manusia tidak akan bisa berhubungan dengan Tuhan. Karena hati
menjadi sebuah tempat untuk merasakan tentang kehadiran Tuhan.
Manusia harus bisa menjaga hatinya dari segala sesuatu yang bisa menjadi
sebuah hijab hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Salah satu yang menjadi
sebuah hijab ialah banyaknya maksiat yang timbul di dalam hatinya. Oleh sebab
itu, manusia harus bisa menjaga hatinya dari macam-macam maksiat. Seperti sifat
sombong, membanggakan diri, terlalu mencintai dunia, dan maksiat-maksiat hati
lainnya.
Karena manusia yang hatinya sudah dipenuhi maksiat-maksiat, maka
hatinya akan menjadi buta. Kalau hatinya sudah buta, maka manusia tidak akan
bisa berhungan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, manusia harus bisa menjaga
hatinya dari berbagai maksiat kalau dirinya tidak mau terhijab dengan Tuhan.
B. Saran-saran
Pembahasan tentang maksiat hati merupakan sebuah kajian sangat penting
dalam kehidupan manusia. Karena setiap manusia tidak bisa terlepas dari berbagai
macam maksiat-maksiat hati. Apalagi di zaman yang serba modern ini, pastinya
banyak sekali manusia-manusia yang hatinya dimasuki sifat-sifat tercela. Seperti
sombong, hasud, riya, dan maksiat-maksiat hati lainnya.
Namun karena keterbatasan penulis dalam membaca dan meneliti tentang
berbagai macam maksiat hati, terutama maksiat hati dalam pandangan al-Ghazali
76
yang karya-karyanya begitu banyak, sehingga penulis merasa kesulitan untuk
membaca dan memahami karya-karya lainnya. Oleh karena itu, penulis memberi
saran-saran ini kepada para akademisi dan masyarakat.
Saran diarahkan kepada para akademisi, agar mereka bisa melanjutkan
penelitian tentang masalah maksiat hati menurut al-Ghazali agar memperoleh
keterangan-keterang yang lebih jelas dan memperoleh hasil yang sangat
memuaskan.
Demikian pula saran kepada masyarakat, agar masyarakat bisa menjaga
hatinya dari berbagai macam sifat-sifat yang bisa merusak hubungan dirinya
dengan Tuhannya. Terutama dari maksiat hati. Karena maksiat hati itu bisa
menjadi sebuah hijab hubungan dirinya dengan Tuhan. Oleh sebab itu, masyarakat
harus bisa menjaga hatinya dari bahayanya maksiat hati.
77
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Alba, Cecep, Tasawuf dan Tarekat, Bandung: Rosda, 2012.
Ali,Yunasir, Mata Air Kehidupan Bekal Spiritual Menghadapi Tantangan
Globalisasi,Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015.
------ Yunasir, Sufisme dan Pluralisme: Memahami Hakikat Agama, dan Relasi
Agama-agama, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012.
Amin, Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2014.
Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Bakhtiar, Amsal, Tema-tema Filsafat Islam,Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Basil, Victor Said, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Penerjemah Ahmadie Thaha,
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Tasawuf, Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Djamaluddin, Mahbub, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, Jakarta:Senja
Publishing, 2015.
Doa, Moh. Syah, Rahasia Alam Kebatinan, Jakarta: AB. Sitti Syamsiyah, 1956.
Fauzi, Ikhwan, Cendekiawan Muslim Klasik, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.
Ghazali, ihya’ al-Ghazali,Penerjemah Ismail Yakub, Semarang: C. V. Faizan,
1981.
------ Ihya’‘Ulủmuddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama,
Penerjemah Ibnu Ibrahim Ba’adillah, Jakarta: Republika, 2013.
Menjelang Hidayah,penerjemah M, As’ad El-Hafidy, Bandung: Mizan,
1998.
------ Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah
Haidar Bagir, Bandung: Penerbit Mizan, 2014.
------ Minhajul ‘Abidin: Menuju Mukmin Sejati, Penerjemah Abdullah bin Nuh
Bogor: Penerbit Fenomena, 1989.
78
------ Misykat Cahaya-cahaya, Penerjemah Muhammad Bagir, Bandung: Mizan,
1991.
------ Mutiara Ihyả’ ‘Ulủmuddỉn, Penerjemah Irwan Kurniawan, Bandung: Mizan,
1999.
Gulen, Muhammad Fethullah,Tasawuf Untuk Kita Semua, Penerjemah Fuad
Syaifudin Nur, Jakarta: Republika Penerbit, 2014.
Hajjaj, Muhammad Fauqi, Tasawuf Islam dan Akhlak, Penerjemah Kamaran As’at
Irsyady dan Fakhri Ghazali, Jakarta: Amzah, 2001.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1994.
Haque, M. Atique, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, Penerjemah
Ira Puspitorini, Yogyakarta: Diglosia, 2013.
Isa, Ahmadi, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2001.
Jailảni, Abdul Qảdir, Nasehat-nasehat Wali Allah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani,
Penerjemah Achmad Sunarto, Bandung: Husaini Bandung, 1995.
------ Rahasia Sufi, Penerjemah Abdul Majid Hj. Khatib, Yogyakarta: Beranda,
Publishing, 2010.
------ Rahasia Sufi, Penerjemah Syed Ahmad Semait, Singapura: Pustaka Nasional
PTE LTD, 2004.
Jaya,Yahya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan
Kesehatan Mental, Jakarta: CV Ruhama, 1993.
Jumantoro,Totok, dan Amin, Samsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf,Jakarta:
Amzah, 2012.
Kartanegara, Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006.
Khalik, Abdurrahman Abdul dan Ihsan Ilahi Zhair, Jakarta: Amzah, 2000.
Khan, Khan Sahib Khaja, Tasawuf Apa dan Bagaimana, Penerjemah Achmad
Nashir Budiman, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Penerbit Paramadina,
1997.
Muhasibi, Renungan Suci Bekal Menuju Taqwa,Penerjemah Wawan Djunaedi
Soffandi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.
79
Mujieb, M. Abdul, et el, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, Jakarta:
Hikmah, 2009.
Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, Jakarta: GP Press, 2012.
Mz, Labib, Kuliah Ma’rifat, Surabaya: Tiga Dua, 1996.
Najar, Amir, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern Penerjemah Ija,
suntana, Jakarta: Penerbit Hikmah, 2004.
Nasution, Ahmad Bangun, dan Siregar, Rayani Hanum, Akhlak Tasawuf,
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya disertai Biografi dan
Tokoh-tokoh Sufi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
2014.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia,Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2015.
Nawawi, Muhammad, Tarjamah Maroqil ‘Ubudiyah, Penerjemah Zaid Husein al-
Hamid, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010.
Ni’am, Syamsun, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar tasawuf, Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2014.
Noer, Kautsar Azhari, ed, Warisan agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para
Sufi, Jakarta: Sadra Press, 2015.
Qordhawi, Yusuf, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra,Penerjemah Hasan
Abrori,Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997.
Qusyairy, Abu Qosim, Risalatul Quyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerjemah
Mohammad Luqman Hakiem, Surabaya: Risalah Gusti, 1997.
Saifuddin, Aman dan Isa, Abdul Qadir, Tasawuf Revolusi Mental, Zikir
Mengelolah Jiwa dan raga, Tangerang: Ruhama, 2014.
Sajari, Dimyati, Mengenal Allah: Paham Ma’rifah Ibn ‘Atha’illah dalam al-
Hikam, Bandung: Fajar Media, 2012.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam,Penerjemah sapardi Djoko
Damono dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
80
Siregar, A. Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme,Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999.
Smith, Margaret, mistisisme Islam dan Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhan-
nya, Penerjemah Amroeni Dradjat, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
------ Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali, Penerjemah Amrouni,
Jakarta: Penerbit Riora Cipta, 2000.
Taftazani,Abu Wafa’, Al-Ghanimi,Makdal ila al-Tasawuf al-Islami,
PenerjemahSubkhan Anshori, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya, Jakarta: Gaya Media Pertama, 2008.
Takeshita, Mastaka, Manusia Sempurna Menurut Ibn ‘Arabi, Penerjemah Moh,
Hefni MR, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Tủsi, Nashr al-Dỉn, Sifat-sifat Kemuliaan Metode Para Salik dalam Mencapai
Kesempurnaan,Penerjemah Ahmad, Y Samantho,Jakarta: Pustaka
Intermasa, 2004.
Wahyudi, Agus, Pesona Kearifan Jawa,Yogyakarta: Dipta, 2014.
Ya’qub, Hamzah, Ilmu Ma’rifah Sumber Kekuatan dan Ketentraman Bathin,
Jakarta: CV. Atisa, 1988.
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf,Surabaya: Pt Bina Ilmu, 2007.
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: PT Grasindo Persada,
2016.