makna ikhlas
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berawal dari judul makalah yang diangkat yakni Ikhlas, kiranya ada
beberapa hal yang harus ditinjau kembali dalam diri kita pribadi. Dalam keseharian
kita tentunya sudah menjadi keharusan bagi setiap manusia untukikhlas dalam
melaksanakan segala sesuatu. Ada yang banyak beribadah untuk mempersiapkan
kematiannya, namun tidak sedikit orang yang menyia-nyiakan kehidupannya begitu
saja dengan bersantai-santai bahkan melakukan lebih banyak hal yang bersifat dosa
dibandingkan dengan beribadah untuk bekalnya kelak. Namun dibalik itu semua
haruslah dikerjakan dengan hati yang tulus ikhlas. karena banyak beribadah sekalipun
belum tentu diterima di sisi Allah SWT. Ada orang yang di siang dan malamnya
beribadah kepada Allah, shalat lima waktu ia kerjakan, puasa wajib dan sunnah ia
kerjakan, berinfaq, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Akan tetapi niatnya tidak
sepenuhnya mengharap ridha dari Allah. Ada sedikit hasrat dalam dirinya untuk
dipuji oleh orang lain, ingin diperhatikan sehingga orang memanggilnya dengan
sebutan orang yang shaleh. Setiap amal yang kita kerjakan itu bergantung kepada niat
kita.
Untuk itu, kiranya sangat perlu bagi kita membaca kembali kitab kita.
Apakah selama kita hidup, ibadah yang ita lakukan sudah benar-benar ikhlas karena
Allah SWT., atau hanya sekedar menjalankan kewajiban semata, atau malah ingin
mendapat sesuatu dan perhatian dari orang lain.
B. TUJUAN
Meluruskan dan memperbaiki amal ibadah yang kita lakukan adalah poin
penting yang ingin penulis tekankan dalam makalah ini. Dengan mengkaji ayat-ayat
yang berkenaan dengan ikhlas, harapannya kita dapat mengambil hikmahnya dan
yang terpenting kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2
BAB II
IKHLAS
A. PENGERTIAN IKHLAS
Ikhlas1 adalah meluruskan niat dalam hati dengan semata-mata hanya untuk
mengharap ridha Allah SWT. Dalam kaitannya dengan ibadah dan seluruh amal
perbuatan, seperti shalat, zakat, puasa, membaca al-Qur’an, sedekah, senyum dan lain
sebagainya, semua itu dilakukan dengan hati yang ikhlas. Bukan untuk
mengharapkan hal-hal yang lain. Semisal mengharapkan perhatian dari orang lain,
dibicarakan oleh orang lain, atau malah ingin dipuji di pandangan mata manusia.
Dalam kitab al-Quran terdapat sebuah surat yang bernama Al-Ikhlas ynag
artinya “memurnikan ke-Esaan Allah.” Artinya dalam sangkut pautnya dengan ibadah
dan setiap amal perbuatan hendaknya mengesakan Allah. Hanya kepadanyalah segala
sesuatu yang kita persembahkan. Bukanlah kepada sesuatu selain Allah. Faktanya,
dalam mengerjakan sesuatu kita nyaris sering dilandari rasa takut terhadap sesuatu
selain Allah. Sebagai contoh sebagai seorang santri. Mengerjakan apa yang disuruh
oleh ustadnya karena ada rasa takut terhadap hukuman yang akan diberikan
kepadanya jika ia tidak mau melaksanakannya. Artinya jika tidak ada ustad ia santai-
santai saja. Hal ini jelas menunjukkan bahwa ada tujuan atau niat yang membelokkan
hatinya dari Allah. Dan sikap yang seperti ini, apakah dalam peristiwa yang sama
atau yang semisal denga ini, hendaklah kita kikis dari diri kita. Meskipun sulit tetapi
mulailah dengan perlahan dan dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu.
1 Ikhlas ialah memelihara diri dari pada ingin diperhatikan makhluk. Menurut definisi Abu Ali Ad-Daqqaq dalam buku Syeikh Muhyidin Abi Zakaria Yahya Ibnu Syorof An-Nawawi. Al-Adzkar., (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), hal. 28. Dan dalam buku yang sama pada halaman 29, Dzunun Al-Mishri menjelaskan bahwa “Alamat ikhlas itu ada tiga, pertama pujian dan celaan orang sama saja bagi dirinya. Kedua, tidak riya dalam beramal ketika ia sedang melaksanakan amalan itu. Dan ketiga, amal yang ia lakukan hanya mengharap pahala di akhirat. Selain itu, menurut Ibnu Rusyd, ikhlas atau “kemurnian iman” adalah nama surat ke-112 al-Qur’an. Nabi bersabda bahwa barang siapa membaca surat al-Ikhlas tiga kali seolah-olah dia telah membaca seluruh al-Qur’an (Bukhari). Mungkin ini disebabkan oleh kandungan surat tersebut yang menegaskan keesaan Tuhan. Lihat Muhammad Abdul Rasyid, Indeks Al-Qur’an A-Z, (Jogjakarta: Diglossia Media Grup, 2007), indeks I (Ikhlas, mukhlis).
3
Ikhlas juga bisa diartikan lapang dada. Bisa diartikan dengan bersikap
menerima tanpa perasaan sakit hati atau menggerutu terhadap suatu cobaan atau
sebuah kondisi disaat kita telah mengerjakan sesuatu namun mendapatkan hasil yang
mengecewakan. Yang demikian itu adalah ciri-ciri orng yang ikhlas dalam
mengerjakan amal ibadah. Intinya orang yang ikhlas itu ada atau tidak adanya orang
lain, berhasil atau gagalnya usaha yang dilakukannya tidak merusak ketulusan hatinya
yang semata-mata mengharap ridha Allah. Walaupun ia tidak berhasil dan
memperoleh hal yang menyakitkan bagi diriya ia tidak akan berhenti melakukan yang
terbaik. Baik itu amal kepada Allah maupun kepada manusia.
Ikhlas ini sangat erat kaitannya dengan hubungan kepada Allah SWT. Setiap
amal ibadah yang dilakukan dengan keikhlasan sejatinya adalah bentuk dari
perwujudan seorang hamba yang mengabdi dengan sepenuh hati kepada Tuhan yang
telah menciptakan dan memeliharanya. Mengingat demikian, sudah seharusnya bagi
kita sebagai hamba Allah dalam melaksanakan ibadah dengan hati yang tulus ikhlas
tanpa riya’. Bukan beribadah karena makhluk lain.
Ada satu hal yang sangat penting dalam beribadah yang berkaitan dengan
ikhlas, yakni shalat. Maksudnya adalah hubungan (antara hamba dan Rabnya).
Apabila seseorang beribadah dengan ikhlas berarti shalatnya terjaga. Karena
semuanya karena dan kepada Allah SWT. Hatinya tetap lurus pada Rabnya.
B. TAFSIRAN AYAT
Di dalam kitab al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang membahas tentang
ihklas. Namun beberapa ayat sebagaimana yang tercantum di bawah ini lebih
dikhususkan atau dititik beratkan pada ikhlas dalam beribadah. Yakni; 2:139, 4:146,
7:29, 10:22, 31:32, 39:2, 39:11, 39:14, 40:14, 40:65, 98:5. Namun yang menjadi ayat
pokok dalam pembahasan di makalah ini adalah surah 2:139 dan 98:5. Surah yang
pertama adalah surah al-Baqarah(2):139. Berikut adalah tafsirannya.2
2 Tafsiran surat al-Baqarah: 139: “Katakanlah, apakah kamu hendak membantah kamiperihal Allah?” (Pangkal ayat 139). Apakah kamu hendak membantah kami karena pada sangkamu bahwa Allah telah menentukan hanya Bani Israillah kaum yang terpilih. Nabi-nabi dan Rasul-Rasul hanyalah
4
Sebagaimana isi ayatnya, pada kalimat pertama yang menyatakan masalah
“perdebatan tentang Allah.” Kita tidak perlu langsung melihat keluar. Dengan kata
lain melihat orang-orang yang menganut agama selain Islam. Cobalah perhatikan
individu umat Islam saja dahulu, atau bahkan perhatikan diri kita sendiri.3 Perdebatan
tentang Allah saja masih demikian banyaknya terjadi. Hal yang dipertentangkan ini
bisa jadi banyak sekali. Mulai dari kekuasaan-Nya, penciptaan-Nya, sifat-sifat-Nya,
dan lain-lain. Hal-hal tersebut adalah wacana perdebatan yang tidak pernah habisnya.
Apa lagi bagi kalangan yang turut dalam aliran-aliran kalam.4 Sudah pasti mereka
ada membahas tentang “Allah”. Bermula dari zaman sahabat hingga sekarang hal itu
tidak pernah berhenti diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Apakah mereka
orang-orang yang menganut ajaran terkait ataukah tidak. Kemudian, selain terjadi di
dari Bani Israil. Kami Bani Israil adalah kekasih Allah dan anak-anak Allah. Dan kalau masuk neraka, kami hanya berbilang hari saja. Pendeknya dalam tingkah dan caramu selama ini, kamu hendak memonopolo Allah hanya untuk kamu. Bagaimana kamu mendakwahkan demikian wahai saudara-saudara kami Ahlu Kitab?“Padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu.” Kita sama-sama makhluknya. Jika nabi-nabi ada dalam kalangan Bani Israil, maka dalam kalangan Bani Israil-pun apa salahnya ada nabi? Apakah kamu sangka bahwa umat yang telah mempercayai Allah dan menyerah diri kepadaNya bukanlah umat yang utama? Melainkan yang jadi pengikut kamu saja yang utama?“Bagi kami amalan kami dan bagi kamu amalan kamu.” Mengapa kita harus bertengkar berbantah-bantah. Marilah kita masing-masing pihak beramal, bekerja, berusaha. Bukankah agama yang benar adalah mementingkan amal? Kalau kita bertengkar dan berbantah, niscaya amal menjadi terlantar.“Dan kami terhadapNya adalah ikhlas.” (ujung ayat 139). Kami terhadap Allah Ikhlas, bersih tidak terganggu oleh niat yang lain. Sebab kepercayaan kami tidak bercabang kepada yang lain. Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ I, hal. 327. Sedangkan menurut M. Quraish Shihab adalah sebagai berikut. Setelah menjelaskan bahwa umat Nabi Muhammad SAW. mengikuti millah Ibrahim, dan bahwa celupan umat Islam adalah celupan Allah SWT., yang kesemuanya mengandung makna perbedaan umat Islam dengan mereka, tentu saja mereka akan membantah dan mendebat, bahkan itu telah mereka lakukan sebelum ini dan akan dilakukannya terus. Sebagaimana terbaca pada ayat 140 yang akan datang. Dari sini, ayat di atas memerintahkan Nabi SAW.: katakanlah, dengan mengecap dan menolak sikap buruk mereka, Ápakah kamu memperdebatkandengan kami tentang Allah,” menyangkut keesaan-Nya dan sifat-sifat-Nya yang sempurna? Padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Kita tidak dapat mengelak dari ketetapan-Nya, hanya Dia yang berwenang mengatur dan menetapkan kebijaksanaan menyangkut kita semua karena kita semua adalah hamba-hamba ciptaanNya dan juga yang akan memberi balasan dan ganjaran atas sikap dan perbuatan kita menyangkut tuntunan-Nya dank arena itu bagi kami amalan kami, kami yang mempertanggung jawabkannya, dan demikian juga bagi kamu amalan kamu dan buat kami hanya kepadaNya kami mengabdi. Baca M. Quraish Shihab, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 340.
3 "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu." Lihat surah al Isra’(17): 14.
4 Milsalnya aliran Khawari, Murji’ah, Muta’zilah, Jabariyah, Qadariyah, Ahlus Sunnah wal jama’ah.
5
kalangan umat muslim sendiri, perdebatan tentang Allah juga terjadi antara muslim
dan non muslim. Dan untuk konteks kekinian, hal itu tidak sulit untuk ditemukan.
Situs-situs di “dunia maya” adalah sarana yang sangat mendukung dalam hal ini.
Mereka memperdebatkan tentang Allah. Karena memang nama Tuhan yang dianut
umat Kristen sama penulisannya dengan nama Tuhan dalam ajaran agama Islam.
Hanya saja cara penyebutannya berbeda.
Kemudian dalam kalimat selanjutnya, menerangkan bahwa manusia itu tidak
ada bedanya dalam hubungannya dengan Rabb. Pada hakikatnya setiap manusia yang
diciptakan dari sumber yang satu, yakni dari Rabb5. Hanya saja pemahaman manusia
yang terbatas tentang Rabb, yang membuat manusia hanya menerka-nerka saja. Tidak
ada perbedaan antara kita sebagai manusia yang beragama Islam dengan yang
beragama non Islam. Semuanya diciptakan dari sumber yang sama.
Selanjutya, dalam lanjutan kalimat yang berikutnya menyebutkan bahwa
amalan atau perbuatan kita adalah tanggung jawab kita masing-masing. Setiap yang
kita kerjakan akan dihitung bagi dan oleh kita sendiri.6 Kita akan mempertanggung
jawabkan apa yang telah kita perbuat, baik itu perbuatan yang baik atapun yang
buruk. Ruh kita akan melihat dan mencatat apa yang kita perbuat. Meskipun itu
hanyalah hal yang kecil.7 Masing-masing memiliki catatan amalnya sendiri. Kita
tidak akan mungkin bertanggung jawab atas perbuatan atau amal orang lain.
Dan di penghujung ayat, menjelaskan tentang keikhlasan itu hanya pada-
Nya. Kepada-Nya lah kita tujukan setiap amal ibadah kita dengan ikhlas. Allah telah
menurunkan nikmat yang sangat besar kepada kita. Bukan dari orang lain. Karena itu
hanyalah sebagai perantara saja. Yang sebenarnya semua itu berasal dari Allah SWT. 5 Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan(1), yang telah menciptakan
manusia dari segumpal darah (2). Baca surah al-‘Alaq (96): 1-2. 6 Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu. (14).
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah, maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (15). Baca surah al-Isra’(17): 14-15
7 Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihatnya (7). Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihatnya pula(8). Baca surah al-Zalzalah (99): 7-8.
6
Hindari beramal karena hal-hal yang tidak tertuju pada Allah dan itu merupakan
sesuatu yang tidak baik. Seperti ingin dilihat orang lain, dipuji, apalagi
menyombongkan diri. Kiranya sebagai manusia sudah menjadi keharusan untuk
menyembah sang Pencipta,8 dan disertai dengan keikhlasan. Semestinya pada kita
memiliki kesadaran bahwa kita bukanlah apa-apa dan tidak mampu berbuat apa-apa
tanpa Allah.
Surah yang ke 2 adalah surah Al-Bayyinah(98): 5. Dengan tafsiran9 sebagai
berikut.
Ayat ini mengisahkan perihal orang-orang kafir dai golongan Ahli Kitab dan
orang-orang musyrik yang tidak mau menyembah Allah. Padahal sudah dikabarkan
dalam kitab mereka sebelumnya yaitu Injil bahwa akan ada seorang rasul setelah Isa
yang bernama Ahmad. Dan mereka sudah tahu bahwa yang disampaikan oleh
Muhammad adalah kebenaran. Rasulullah diturunkan ke dunia dengan membawa
bukti, bukti yang nyata, petunjuk dan agama yang lurus bagi umat manusia. Tetapi
mereka justru mngatakan kalau yang dibawa oleh Muhammad itu adalah sihir.10
8 Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Lihat Q.S. adz-Zariyat (51): 56.
9 Tafsir (Penjelasan) surah al-Bayyinah: 5. Orang-orang kafir yang terdiri dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrik sulit untuk meninggalkan kepercayaan mereka sampai adanya bukti nyata yang dibawa oleh Rasulullah. Meskipun Rasulullah sudah menunjukkan bukti tentang kerasulan dan kebenaran agama yang dibawa, mereka masih tetap saja sulit untuk diajak beriman kecuali sedikit orang dari golongan mereka. Sebenarnya di dalam kitab suci mereka, yaitu Taurat maupun Injil sudah diterangkan bahwa akan ada nabi bernama Ahmad (Muhammad), sifat-sifat Nabipun diterangkan dalam kitab mereka. Nabi tersebut membawa ajaran agama yang benar, antara lain: ikhlas dalam beribadah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.
Sebenarnya semua ajaran nabi itu sama, yaitu berisi tentang keimanan dan peribadatan. Bagi Ahli Kitab yang ikhlas dalam beragama meraka mau membenarkan ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Ahmad Mudjab Mahalli, Bayani Memahami Makna Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hal. 101-103
10 Dan ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad." Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata (6). ”Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim (7). Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya (8)." Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci (9). Baca surah ash-Shaf (61): 6-9.
7
Mereka tidak mau untuk menyembah Allah dengan ikhlas. Karena mereka
menurutkan ego dan kesombongan di dalam diri mereka. Menipu dirinya sendiri.
Betapapun Muhammad telah menyampaikan bukti yang nyata kepada mereka, tetap
saja masih ada di antara orang-orang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang
musyrik melakukan pembantahan.
Yang dimaksud dengan ikhlas dalam ayat ini adalah sikap yang semestinya
dilakukan oleh orang-orang kafir dai golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik,
menerima dan menjalankan dengan sepenuh hati apa yang disampaikan oleh
Muhammad SAW.11 Ayat ini jika kita dalami tidak hanya menyinggung orang kafir
dan musyrik dari kalangan Ahli Kitab saja. Dalam ayat ini mengatakan bahwa
mendirikan shalat dan menunaikan zakat itu adalah agama yang lurus, tetapi masih
banyak umat yang mengaku Islam meninggalkannya. Mendirikan shalat dan
menunaikan zakat saja masih terasa sulit untuk dijalankan apalagi dengan keikhlasan.
Lagi-lagi kita harus mengoreksi diri kita sendiri. Kewajiban umat Islam adalah
menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Tentunya dengan keikhlasan dan ketulusan
hati. Karena amal perbuatan yang dilaksanakan yang tujuannya bukan untuk
mengharap keridha’an Allah belum tentu diterima di sisiNya. Bahkan ada hadits yang
sangat populer tentang setiap amal yang kita lakukan bergantung pada niat kita. Maka
dari itu hendaklah kita membersihkan niat kita dalam beribadah.
Adapun tafsiran ayat-ayat lain yang serupa sebagaimana yang sudah
dicantumkan di atas adalah sebagai berikut.
11 Penafsiran Departemen Agama sebagai berikut. “Karena adanya perpecahan di kalangan mereka maka pada ayat ini dengan nada mencerca Allah menegaskan bahwa mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah. Perintah yang ditujukan kepada mereka adalah untuk kebaikan dunia dan agama mereka, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, yang berupa ikhlas lahir dan batin dalam berbakti kepada Allah dan membersihkan amal perbuatan dari syirik serta mematuhi agama Nabi Ibrahim yang menjauhkan dirinya dari kekafiran kaumnya kepada agama tauhid dengan mengikhlaskan ibadat kepada Allah SWT.
Yang dimaksud mendirikan satat adalah mengerjakan terus-menerus setiap waktu dengan memusatkan jiwa kepada kebesaran Allah ketika salat, untuk membiasakan diri tunduk kepada-Nya. Dan yang dimaksud dengan mengeluarkan zakat yaitu membagi-bagikannya kepada yang berhak menerimanya sebagaimana yang telah ditentukan oleh Alquran Karim.http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp? Surat ke= 98
8
Q.S. an-Nisa (4): 146. Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya. Yang
menyebutkan bahwa orang yang munafik itu berada pada tempat yang paling bawah
di neraka. Namun bagi orang yang ikhlas dalam agamanya, bertaubat dengan
seungguh sungguh dan memperbaiki diri dengan mengintrospeksi diri serta selalu
menjauhi larangan-larangan Allah akan mendapatkan balasan yang baik.
Q.S. al-A’raf(7): 29. Dalam ayat ini. Menyertakan shalat sebelum perintah
mengikhlaskan ibadah dengan ikhlas. Makna adalah begitu eratnya hubungan antara
ibadah secara ikhlas dengan shalat. Shalat di sini bukanlah shalat yang didirikan
dalam 5 waktu sehari semalam. Akan tetapi silah atau hubungan antara hamba dengan
Rabbnya. Selau terjaga dan tidak terputus. Dengan seperti itu, keihklasan dalam
beribadah dapat dicapai. Namun tidak hanya terhenti sampai sebelum dan saat
beribadah saja. Sebagaimana yang diterangkan dalam Q.S. Yunus (10): 22 dan juga
pada surah Luqman (31): 32. Dalam surah ini, mangingatkan kita untuk terus-
menerus beribadah secara ikhlas dan tidak melakukan perbuatan zalim. Kita
diperingatkan agar selalu menjaga amal perbuatan kita. Dan jangan menjadi
penghianat dan orang yang tidak pandai bersyukur. Karena saat Allah mengabulkan
apa yang diinginkan setelah beribadah dengan ikhlas, lalu kita lupa setelah
mendapatkannya. Yang menyebabkan amal ibadah yang sudah kita lakukan dengan
ihlas hanya kepada Allah menjadi rusak dan tidak berarti lagi. Seperti yang tertera di
Q.S. Yunus (10): 22. Yang berhubungan dengan ayat sesudahnya yakni ayat 23.
Ayat ini bercerita tentang tanda-tanda kebesaran Allah dengan memperjalankan
manusia di darat dan di lautan. Namun saat manusia merasa terkepung oleh terjangan
ombakdi lautan, mereka memohon dengan ikhlas kepada Allah agar terselamatkan
dari bencana. Namun setelah diselamatkan sebagian dari mereka berbuat zalim
mereka lupa dengan apa yang telah mereka lewati. Ayat ini juga senada dengan surah
31: 32.
Perintah beribadah kepada Allah dengan ikhlas, memurnikan agama kepada
Allah banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Seperti pada surah az-Zumar (39): 2,11,
dan 14, dan pada surah al-Mu’min (40): 14,65. Pengabdian seorang hamba kepada
9
Tuhannya adalah sebuah kewajiban. Karena seorang hamba adalah ciptaanNya. Tidak
patut untuk menyembah yang lain atau karena hal lain, karena itu tidak akan
mendapatkan kebaikan di sisi Allah SWT. Dalam surah 40: 14, diperintahkan bagi
manusia untuk memurnikan ibadah kepada Tuhannya, meskipun bagi orang-orang
kafir12 tidak suka dengan hal tersebut. Luruskan niat dan wajah kepada Allah semata
dan mengabaikan segala macam yang dapat menghalangi.
Dialah Allah yang memiliki sifat yang Pengasih dan Penyayang.13 Dan Allah
telah banyak memberikan kenikmatan bagi kita. Namun manusia terkadang atau
bahkan tidak menyadarinya. Kesombongan, keangkuhan dan perbuatan dosa telah
menutup mata hati manuisa untuk mengingat semua itu. Manusia lupa dan tidak ingat
dari mana sebenarnya ia berasal dan kepada siapa ia akan kembali.14 Hanya Allah
satu-satunya Tuhan yang kekal. Hanya kepadaAllah lah, segala sesuatu yang berasal
dari Dia akan kembali. Tiada Tuhan yang layak disembah melainkan Allah.
C. AKTUALISASI KEIKHLASAN
Tidak hanya sekedar menafsirkan ayat, namun melupakan aktualisasi adalah
hal yang sangat penting. Karena jika berbicara tentang ikhlas adalah perkara yang
tidak terlalu sulit. Namun yang lebih berat adalah mengamalkannya. Tidak sedikit
orang yang melakukan ibadah dan perbuatan tanpa keikhlasan berakhir pada rasa
kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan hanya mendapat
kesia-siaan semata.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas mengenai pengertian ikhlas yang
sesungguhnya, maka akan tampak sebuah pergeseran nilai yang seolah-olah tidak kita
rasakan. Kembali lagi kepada niat dalam beribadah yang seharusnya dilakukan
dengan tulus ikhlas, semata-mata hanya untuk mengharapkan keridhaan dari Allah
12 Orang kafir yang dimaksud adalah orang kafir yang ada di kalangan muslim dan non muslim. 13 Lihat surah 1: 1, 3, 2:143, 22: 65, 9:117, 11:90, 16:7.14 Buka surah 2: 156.
10
SWT, yang kini telah lebih menjurus ke arah lain. Namun bukanlah ke arah yang
tidak baik. Hanya saja bergeser atau berkurang nilai keikhlasannya.
Sebagai studi kasus, di kehidupan era modern ini yang sudah banyak sekali
kemajuan dalam segala bidang, sudah barang tentu kita menemukan banyak sekali
hal-hal baru. Seperti berbagai penemuan atau pembuktian ilmiah oleh para ilmuan
ataupun cendekiawan Islam. Misalnya penemuan tentang manfaat shalat, manfaat
sedekah, dan lain sebagainya. Hal yang seperti ini menurut saya adalah hal yang
sangat baik. Menunjukkan betapa luar biasanya ajaran Islam. Namun jika ini terus-
menerus dijadikan landasan kita dalam melaksanakan ibadah, dikhawatirkan akan
menghilangkan niat kita yang sebelumnya hanya untuk Allah menjadi untuk
memperoleh manfaat yang bersifat sementara.
Dalam shalat, ada bacaan dalam do’a iftitah sebagaimana yang diterangkan
di kitab al-Qur’an15, bahwa bentuk amal serta hidup dan mati semata-mata karena
Allah SWT. Ini mempertegas kita agar benar-benar memurnikan ibadah shalat yang
kita kerjakan. Tapi yang menjadi permasalahan adalah banyak umat muslim yang
tidak menyadari itu bahkan tidak tahu sama sekali. Hanya sekedar lisan saja yang
melafalkannya. Padahal sebenarnya itu adalah poin penting yang ada dalam ibadah
shalat. Ibadah yang tidak dilakukan karena Allah hanyalah ibadah yang tiada berguna
di sisi Allah. Ada yang mengerjakan shalat supaya cepat kaya, supaya sembuh dari
penyakit dan lain-lain. Hal ini sudah mengurangi nilai keikhlasan. Karena niatnya
tidak lagi benar-benar lurus kepada Allah SWT.
Contoh lain adalah orang yang melakukan ibadah haji ke tanah suci Mekah.
Jangan sampai niat dalam melakukan ibadah haji ini karena untuk mendapatkan
popularitas. Memiliki title Haji atau Hajjah pada nama depannya dan menjadi
kebanggaan bagi dirinya. Padahal belum tentu ibadah haji yang dilakukan itu diterima
Allah. Walaupun secara lahiriyah ia memang datang ke Mekah namun secara ruhiyah
ia tidaklah terpanggil oleh Allah. Dan banyak juga yang melaksanakan ibadah haji 15 "Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri.” (QS. Al-An'aam: 162-163).
11
untuk berwisata dan berbelanja. Dan ketika akan pulang ke tanah air, barang bawaan
yang dibawa tidak bisa dimasukkan ke dalam pesawat karena kelebihan bobot.
Sekilas menampakkan bahwa ibadah haji adalah ibadah wisata.
Itulah beberapa contoh yang dapat kita renungkan kembali. Maka dari itu
hendaklah kita benar-benar melaksanakan ibadah dengan ikhlas. jangan sampai kita
banyak beribadah, namun setiap ibadah yang kita kerjakan itu tidak lain hanya
menjadi amal yang sia-sia.16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian tafsiran di atas, dapat disimpulkan bahwa ikhlas adalah
memurnikan iman, hanya kepada Allah dan mengharap ridhaNya, bersih dari riya.
Dalam menjalankan amal ibadah hendaknya disertai dengan niat yang ikhlas. Benar-
benar menjalankan agama tulus pada Allah SWT. bukan karena hal-hal lain. Seperti
ingin pamer kebaikan agar dapat dilihat dan dipuji orang lain. Maka yang seperti itu
16 “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu dilakukan ikhlas
karena-Nya." (HR. Abu Daud dan an-Nasai). Kunjungi website http://eko-agus.abatasa.com/
12
hanyalah amalan yang sia-sia di sisi Allah. Tidak akan mendapatkan manfaat bagi
kita kecuali hanya tipu daya semata. Ibadah yang murni karenaNya adalah ibadah
yang baik.
Dalam beribadah, hendaknya manusia sadar akan siapa dirinya. Tahu dari
mana ia berasal, untuk apa dan untuk siapa dia beramal dan kepada siapa ia akan
dikembalikan. Hal-hal tersebut jika direnungi, tentunya akan tumbuh dalam hati
manusia kesadaran. Sehingga menjadikannya ikhlas dalam melakukan segenap amal
ibadah. Karena mengingat betapa Maha Kuasanya Allah. Manusia tidak dapat berbuat
apa-apa tanpa kehendakNya serta nikmat yang telah ia turunkan kepada manusia.
Maka dari itu, penting kiranya bagi kita untuk mengintrospeksi diri, sebelum
melihat orang lain. Sejauh mana kesadaran kita menilai diri sendiri. Apakah amal
ibadah kita sudah betul-betul ikhlas karena Allah SWT, atau belum? Dan apakah kita
beribadah lebih karena ingin mendapatkan sesuatu selain dari Ridha Allah? Bukankah
Allah telah mengingatkan kita lewat wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah
kepada kita? Maka, marilah sama-sama kita memperbaiki diri sebelum terlambat.
Sebelum ajal datang menjemput kita. Dan ingatlah, setiap makhluk yanh hidup dan
memiliki nyawa, pastilah ia akan menemukan ajalnya. Hanya kita saja tidak dapat
mengira dan memprediksikan kapan itu terjadi
B. SARAN
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Kiranya bagi yang membaca, dimohon untuk memberikan
masukan-masukan berupa kritikan dan saran yang membangun. Agar penulis dapat
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada. Sehingga kedepannya dapat menyajikan
karya-karya yang lain lebih baik dari yang sebelumnya. Dan semoga makalah yang
sederhana ini dapat bermafaat. Tidak hanya sekedar dibaca tetapi juga dapat dikaji
lebih lanjut agar menjadi amal dan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.