makalah-ssm-sampah.docx

43
SOFT SYSTEMS METHODOLOGY (SSM) DALAM SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH PERKOTAAN MAKALAH Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Penunjang Pengambilan Keputusan Program Magister Teknik Sipil Oleh Emmie Setyorini NIM 21010114420046 Angelica Deasy K. NIM 21010114420056

Upload: deacy-maniezt

Post on 13-Apr-2016

135 views

Category:

Documents


45 download

TRANSCRIPT

SOFT SYSTEMS METHODOLOGY (SSM) DALAM SISTEM

PENGELOLAAN SAMPAH PERKOTAAN

MAKALAH

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Sistem Penunjang Pengambilan Keputusan

Program Magister Teknik Sipil

Oleh

Emmie Setyorini NIM 21010114420046

Angelica Deasy K. NIM 21010114420056

FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahamat

dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul “Soft

Systems Methodology (SSM) dalam Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan”. Kami juga

menyampaikan rasa terima kasih kepada Ir. M. Agung Wibowo, MM, M.Sc, Ph.D. sebagai

dosen pengajar mata kuliah Sistem Penunjang Pengambilan Keputusan pada Program Studi

Manajemen Rekayasa Infrastruktur Magister Teknik Sipil, Universitas Diponegoro

Semarang, yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta

pengetahuan mengenai sistem penunjang pengambilan keputusan, khususnya aplikasi Soft

Systems Methodology (SSM). Penulis menyadari bahwa dalam menyusun tugas makalah

ini masih terdapat kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan pendapat, saran dan kritik

yang membangun demi penulisan di masa yang akan datang.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi siapapun yang

membacanya dan bagi penulis sendiri. Sebelumnya penulis juga mohon maaf apabila

terdapat kesalahan yang kurang berkenan.

Semarang, Desember 2015

Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

DAFTAR TABEL.................................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR.............................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1

1.1. Latar Belakang.........................................................................................................1

1.2. Ruang Lingkup........................................................................................................2

1.3. Tujuan dan Manfaat.................................................................................................2

BAB II OPERASI DAN PEMELIHARAAN TPA..............................................................3

2.1. Sampah....................................................................................................................3

2.2. Pengelolaan Sampah................................................................................................4

2.3. Prasarana dan sarana di TPA...................................................................................6

2.4. Operasi dan Pemeliharaan TPA...............................................................................7

2.5. Kondisi Eksisting TPA di Indonesia.....................................................................11

2.6. Alternatif Solusi.....................................................................................................18

BAB III PENUTUP.............................................................................................................21

3.1. Kesimpulan............................................................................................................21

3.2. Rekomendasi.........................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................22

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1. Tempat Pemrosesan Akhir Sampah di Indonesia..............................................11

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Diagram Alir Operasional TPA....................................................................10

Gambar 2.2. Kondisi Penutupan Sampah dengan Tanah di 10 TPA Kota Metropolitan

Indonesia.......................................................................................................13

Gambar 2.3. Kondisi Penutupan Sampah dengan Tanah di 14 TPA Kota Besar Indonesia

......................................................................................................................13

Gambar 2.4. Timbunan Sampah di TPA Blondo Kabupaten Semarang (1).....................16

Gambar 2.5. Timbunan Sampah di TPA Blondo Kabupaten Semarang (2).....................16

Gambar 2.6. Kerusakan Bak Pengolah Air Lindi di TPA Blondo Kabupaten Semarang

(1)..................................................................................................................17

Gambar 2.7. Kerusakan Bak Pengolah Air Lindi di TPA Blondo Kabupaten Semarang

(2)..................................................................................................................17

Gambar 2.8. Operasional TPA Talangagung Kepanjen Malang.......................................19

Gambar 2.9. Pengolahan Air Lindi TPA Talangagung Kepanjen Malang........................19

Gambar 2.10. Zona Pasif TPA Talangagung Kepanjen Malang.........................................20

v

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jumlah penduduk khususnya di wilayah perkotaan dari tahun ke tahun cenderung

semakin meningkat. Dampak yang timbul adalah sistem infrastruktur yang ada menjadi

tidak memadi karena penyediaannya tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk.

Hasilnya kota menjadi tempat yang tidak nyaman (Kodoatie, 2005). Sistem infrastruktur

perkotaan yang ada tersebut diantaranya adalah infrastruktur persampahan. Pertambahan

penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume,

jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Peningkatan laju timbulan sampah

perkotaan di Indonesia mencapai 2 – 4 % per tahun (Kementerian Pekerjaan Umum, 2011).

Selama ini sebagian besar masyarakat masih memandang sampah sebagai barang sisa

yang tidak berguna, bukan sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Masyarakat

dalam mengelola sampah masih bertumpu pada pendekatan akhir (end-of-pipe), yaitu

sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah

(Kementerian Pekerjaan Umum, 2011). Akibatnya, dengan laju timbulan sampah yang

semakin meningkat, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) semakin cepat penuh dan kapasitas

penimbunan sampah semakin kecil. Disisi lain, pengadaan TPA sampah semakin sulit.

Selain biaya investasi yang mahal, tanah yang dapat dimanfaatkan sebagai TPA juga

semakin sulit diperoleh. Masyarakat cenderung menolak apabila tempat tinggalnya

berdekatan dengan lokasi TPA karena TPA berpotensi menimbulkan berbagai

permasalahan.

Selain untuk pengadaan/investasi TPA, anggaran pengelolaan sampah perkotaan

diperlukan untuk biaya pengumpulan dan pengangkutan sampah ke TPA (terutama BBM

dan tenaga kerja), biaya pengadaan/investasi dan biaya operasi serta pemeliharaan sarana

dan prasarana persampahan, seperti truck dan alat berat. Anggaran yang diperlukan dalam

pengelolaan sampah perkotaan tersebut cukup tinggi. Akan tetapi, pembiayaan yang cukup

tinggi ini tidak diimbangi penarikan retribusi pelayanan persampahan dari masyarakat yang

masih rendah, sehingga biaya pengelolaan sampah masih menjadi beban APBD.

Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum (2011), dana yang berasal dari penarikan

retribusi pelayanan persampahan secara nasional hanya mencapai 22 %, sehingga biaya

1

pengelolaan persampahan masih menjadi beban APBD. Di sisi lain, alokasi dana APBD

untuk sektor persampahan masih sangat kecil, yaitu dibawah 5 % dari total anggaran

APBD.

Minimnya pembiayaan berdampak pada kondisi sarana dan prasarana pengelolaan

sampah yang tidak optimal baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Salah satunya adalah

TPA, dimana kondisinya 99 % dari 492 TPA yang ada di Indonesia masih dioperasikan

secara open dumping (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2013). Fakta-fakta

tersebut menunjukan bahwa pengelolaan persampahan masih belum menjadi prioritas dan

belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah dan masyarakat. Dampak yang

timbul akibat kurangnya perhatian di sektor persampahan ini adalah buruknya kualitas

pengelolaan persampahan dan terjadinya pencemaran lingkungan.

1.2. Ruang Lingkup

Materi yang dibahas dalam makalah ini adalah tentang aplikasi soft system

methodology (SSM) dalam sistem pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia.

1.3. Tujuan dan Manfaat

Pembahasan makalah ini bertujuan untuk memahami (understanding) permasalahan

dalam sistem pengelolaan sampah perkotaan melalui penggunaan soft system methodology

(SSM). Dengan penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

pemahaman yang lebih tentang soft system methodology (SSM) dalam sistem penunjang

pengambilan keputusan.

2

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Sampah

Pertambahan penduduk yang demikian pesat di daerah perkotaan (urban) telah

mengakibatkan meningkatnya jumlah timbulan sampah. Sampah dalam sejumlah literatur

didefinisikan sebagai semua jenis limbah berbentuk padat yang berasal dari kegiatan

manusia dan hewan, dan dibuang karena tidak bermanfaat atau tidak diinginkan lagi

kehadirannya (Tchobanoglous et al., 1993). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor

18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari

manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.

Sampah yang dikelola berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 terdiri

dari:

1. sampah rumah tangga, yaitu sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam

rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik.

2. sampah sejenis sampah rumah tangga, yaitu sampah yang berasal dari kawasan

komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau

fasilitas lainnya.

3. sampah spesifik,

a. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun;

b. sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun;

c. sampah yang timbul akibat bencana;

d. puing bongkaran bangunan;

e. sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan/atau

f. sampah yang timbul secara tidak periodik.

Sampah yang boleh masuk ke TPA adalah sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah

rumah tangga, dan residu non B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Limbah cair yang

berasal dari kegiatan rumah tangga, limbah B3, dan limbah medis, dilarang diurug di TPA,

sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2013.

3

2.2. Pengelolaan Sampah

Selama ini sebagian besar masyarakat masih memandang sampah sebagai barang sisa

yang tidak berguna, bukan sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Masyarakat

dalam mengelola sampah masih bertumpu pada pendekatan akhir (end-of-pipe), yaitu

sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah.

Pengelolaan persampahan di negara industri sering didefinisikan sebagai kontrol

terhadap timbulan sampah, mulai dari pewadahan, pengumpulan, pemindahan,

pengangkutan, proses, dan pembuangan akhir sampah, dengan prinsip-prinsip terbaik

untuk kesehatan, ekonomi, keteknikan (engineering), konservasi, estetika, lingkungan, dan

juga terhadap sikap masyarakat (Tchobanoglous et al., 1993). Menurut Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2008 pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh,

dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Kegiatan

pengurangan meliputi:

1. Pembatasan timbulan sampah.

2. Pendauran ulang sampah.

3. Pemanfaatan kembali sampah.

Sedangkan kegiatan penanganan meliputi:

1. Pemilahan, dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis,

jumlah, dan/atau sifat sampah;

2. Pengumpulan, dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber

sampah ke tempat penampungan sementara (TPS) atau tempat pengolahan sampah 3R

skala kawasan (TPS 3R), atau tempat pengolahan sampah terpadu;

3. Pengangkutan, dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat

penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah 3R terpadu

menuju ke tempat pemrosesan akhir (TPA) atau tempat pengolahan sampah terpadu

(TPST);

4. Pengolahan, dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah;

5. Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil

pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.

Pengelolaan persarnpahan mempunyai beberapa tujuan yang sangat mendasar yang

meliputi (BPPT, 2002):

1. Meningkatkan kesehatan lingkungan dan masyarakat.

2. Melindungi sumber daya alam (air).

4

3. Melindungi fasilitas sosial ekonomi.

4. Menunjang pembangunan sektor strategis.

Dalam pengelolaan sampah di Indonesia, ada beberapa prinsip yang harus

diperhatikan (Kementerian Pekerjaan Umum, 2013):

1. Paradigma lama penanganan sampah secara konvensional yang bertumpu pada proses

pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir perlu diubah dengan

mengedepankan terlebih dahulu proses pengurangan dan pemanfaatan sampah.

2. Pengurangan dan pemanfaatan sampah secara signifikan dapat mengurangi kebutuhan

pengelolaan sehingga sebaiknya dilakukan di semua tahap yang memungkinkan baik

sejak di sumber, TPS, Instalasi Pengolahan, dan TPA. Dengan demikian diharapkan

target pengurangan sampah sebesar 20% dapat terpenuhi.

3. Pengurangan dan pemanfaatan sampah sejak di sumbernya akan memberikan dampak

positif, dalam hal ini peran serta masyarakat sangat penting.

4. Komposisi sampah dengan kandungan organik tinggi (60-80%) merupakan potensi

sumber bahan baku kompos yang dapat melibatkan peran serta masyarakat.

5. Daur ulang oleh sektor informal perlu diupayakan menjadi bagian dari sistem

pengelolaan sampah perkotaan.

6. Tempat Pemrosesan Akhir merupakan tahap terakhir penanganan sampah.

Pemanfaatan TPA sebaiknya untuk jangka panjang (minimal 10 tahun).

7. Insinerator merupakan pilihan teknologi terakhir untuk pengolahan sampah kota,

mengingat karakteristik sampah di Indonesia yang masih mengandung organik yang

cukup tinggi, biaya investasi dan operasi serta pemeliharaan yang mahal.

2.3. Tempat Pemrosesan Akhir Sampah

Tempat pemrosesan akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap

terakhir dan diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan

sekitarnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, TPA adalah tempat

untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi

manusia dan lingkungan.

Damanhuri dan Padmi (2010) menyatakan bahwa timbunan sampah dengan volume

yang besar di lokasi tempat pemrosesan akhir sampah berpotensi menimbulkan berbagai

permasalahan bagi kehidupan dan kesehatan lingkungan, seperti:

5

1. Masalah estetika (keindahan) dan kenyamanan yang merupakan gangguan bagi

pandangan mata. Adanya sampah yang berserakan dan kotor, atau adanya tumpukan

sampah yang terbengkelai adalah pemandangan yang tidak disukai oleh sebagaian

besar masyarakat.

2. Sampah yang terdiri atas berbagai bahan organik dan anorganik apabila telah

terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar, merupakan sarang atau tempat

berkumpulnya berbagai binatang yang dapat menjadi vektor penyakit, seperti lalat,

tikus, kecoa, kucing, anjing liar, dan sebagainya. Juga merupakan sumber dari

berbagai organisme patogen, sehingga akumulasi sampah merupakan sumber penyakit

yang akan membahayakan kesehatan masyarakat, terutama yang bertempat tinggal

dekat dengan lokasi pembuangan sampah.

3. Sampah yang berbentuk debu atau bahan membusuk dapat mencemari udara. Bau

yang timbul akibat adanya dekomposisi materi organik dan debu yang beterbangan

akan mengganggu saluran pernafasan, serta penyakit lainnya.

4. Timbulan lindi (leachate), sebagai efek dekomposisi biologis dari sampah memiliki

potensi yang besar dalam mencemari badan air sekelilingnya, terutama air tanah di

bawahnya. Pencemaran air tanah oleh lindi merupakan masalah terberat yang mungkin

dihadapi dalam pengelolaan sampah.

5. Sampah yang kering akan mudah beterbangan dan mudah terbakar. Misalnya

tumpukan sampah kertas kering akan mudah terbakar hanya karena puntung rokok

yang masih membara. Kondisi seperti ini akan menimbulkan bahaya kebakaran.

6. Sampah yang dibuang sembarangan dapat menyumbat saluran-saluran air buangan dan

drainase. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan bahaya banjir akibat terhambatnya

pengaliran air buangan dan air hujan.

7. Proses dekomposisi sampah melepas gas metan (CH4) yang dapat meningkatkan emisi

gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global.

Penimbunan sampah dengan cara penimbunan terbuka (open dumping), yaitu proses

penimbunan sampah di TPA tanpa melalui proses pemadatan dan penutupan secara

berkala, sudah tidak boleh dilakukan karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi

manusia dan lingkungan. Penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat

pemrosesan akhir (open dumping) dilarang dilakukan sesuai pasal 29, ayat (1), huruf f.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008. Apabila masih ada pemerintah daerah yang

menggunakan sistem pembuangan terbuka, maka pemerintah daerah harus menutup tempat

6

pemrosesan akhir sampah tersebut paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008.

Metode dan teknik pemrosesan akhir sampah menurut Peraturan Pemerintah Nomor

81 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2013 dilakukan

dengan menggunakan:

1. Metode lahan urug terkendali (controlled landfill)

Metode Lahan Urug Terkendali adalah metode pengurugan di areal pengurugan

sampah, dengan cara dipadatkan dan ditutup dengan tanah penutup sekurang-

kurangnya setiap tujuh hari. Metode ini merupakan metode yang bersifat antara,

sebelum mampu menerapkan metode lahan urug saniter.

2. Metode lahan urug saniter (sanitary landfill)

Metode Lahan Urug Saniter adalah metode pengurugan di areal pengurugan sampah

yang disiapkan dan dioperasikan secara sistematis, dengan penyebaran dan pemadatan

sampah pada area pengurugan serta penutupan sampah setiap hari.

3. Teknologi ramah lingkungan.

Pemrosesan akhir sampah tersebut dilakukan di TPA dengan melakukan kegiatan yang

meliputi kegiatan penimbunan/pemadatan, penutupan tanah, pengolahan lindi, dan

penanganan gas.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah merupakan daerah operasional aktivitas

persampahan yang memiliki potensi sangat tinggi untuk menimbulkan gangguan terhadap

lingkungan sekitarnya baik berupa pencemaran udara, air maupun tanah. Pengalaman

selama ini juga memberikan banyak contoh mengenai berbagai masalah sosial yang timbul

sebagai akibat kehadiran TPA pada lokasi yang tidak sesuai. Untuk itu, diperlukan tempat

pemrosesan akhir sampah di lokasi tepat dengan pengelolaan yang baik sehingga tidak

menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan.

7

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah Soft System

Methodology (SSM). Soft Systems Methodology adalah sebuah pendekatan holistik di

dalam melihat aspek-aspek riil dan konseptual di masyarakat. Soft Systems Methodology

melihat setiap yang terjadi sebagai Human Activity System, karena serangkaian aktivitas

manusia dapat disebut sebagai sebuah sistem, yaitu setiap aktivitas-aktivitas tersebut saling

berhubungan dan membentuk suatu ikatan (Patel, Nandish V., 1995). Menurut Checkland

and Scholes (1990), SSM seperti manajer dari berbagai jenis dan tingkatan yang membantu

dalam menangani pekerjaan. SSM digunakan untuk menganalisis kondisi yang rumit dan

didiskripsikan sebagai tujuh tahap proses analisis yang menggunakan konsep human

activity dalam memahami situasi di sekitarnya untuk menentukan aksi yang perlu diambil

dalam rangka mengembangkan situasi yang ada.

Gambar 3.1. Tujuh Tahap Soft Systems Methodology Checkland

8

Tujuh tahap Soft Systems Methodology menurut Peter Checkland yang ditampilkan

dalam Gambar 3.1. meliputi:

1. Entering the problem situation.

2. Expressing the problem situation.

Tahap pertama dan kedua bisa dilakukan secara bersamaan untuk menghasilkan rich

picture dari situasi yang dihadapi, biasanya temuan di lapangan menunjukkan problem

situations yang tidak terstruktur dan terstruktur karenanya hal ini kita ekspresikan

semuanya. Hal ini menunjukkan kondisi nyata dari situasi yang dihadapi.

3. Formulating root definitions of relevant systems

Bagian ketiga adalah merumuskan akar definisi (root definitions) permasalahan yang ada.

Tahap ini dikenal dengan naming, and selecting relevant systems dan bisa kita

formulasikan dengan CATWOE. Akronim CATWOE digunakan untuk merumuskan root

definition secara tepat dan relevan. CATWOE adalah singkatan dari: Costumer, Actor,

Transformation, Weltanshauung/Worldview, Owner dan Environmental constraint.

Walaupun akronim disini CATWOE bukan berarti di dalam mengontrol Root Definitions

dimulai dari Costumer, tetapi langkah pertama yang dilakukan adalah Transformasi,

Worldview, Owners, baru Costumer, Actor dan Environmental constraint. Digunakannya

Transformasi sebagai langkah awal merumuskan root definitions karena setiap yang terjadi

pasti menginginkan suatu perubahan atau transformasi, misalnya transformasi dari kurang

baik menjadi baik (Transformations), kenapa hal itu musti terjadi (Weltanschauung), siapa

yang menginginkan transformasi terjadi (Owners), siapa yang mendapat keuntungan atau

malah korban dari situasi tersebut (Custumers), dan siapa yang melakukan transformasi

(Actors), serta apa saja sumber daya yang mendukungnya (Environmental constraint).

4. Building Conceptual Models of Human Activity Systems.

Berdasarkan Root Definition di atas untuk setiap elemen yang didefinisikan, maka

kemudian membangun model konseptual yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang

ideal. Angka 7 dalam tujuh tahap SSM bukan merupakan harga mati untuk membangun

model konseptual di tahapan ini. Jika sekiranya permasalahan tidak terlalu kompleks, maka

kita bisa melakukan pentahapan dibawah angka 7, atau bisa juga lebih untuk permasalahan

yang relatif kompleks.

5. Comparing the models with the real world.

Model yang telah dibangun kemudian dibandingkan dengan kondisi riil yang dihadapi.

9

6. Defining changes that are desirable and feasible.

Transformasi pada tahap Root Definitions memberikan pengartian tentang perubahan yang

layak terjadi, karena itu perubahan yang layak terjadi dapat diimplementasikan pada

tahapan ke 6 dari Checkland ini. Terdapat dua hal yang boleh terjadi pada tahapan ke 6,

yaitu Systemically Desirable dan Cultural Feasible.

7. Taking action to improve the real world situation.

Tahapan ke tujuh tentu tahapan akhir dari ketujuh tahapan Checkland. Di dalam bukunya

sendiri, Checkland tidak banyak membahas tahapan ini, karena inti dari tahapan ini adalah

aksi atau tindakan yang harus dilakukan.

10

BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

Tujuh tahap Soft Systems Methodology (SSM) yang digunakan untuk memahami

permasalahan dalam sistem pengelolaan sampah perkotaan adalah sebagai berikut:

1. Entering The Problem Situation

2. Expressing The Problem Situation

Permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan sistem pengelolaan sampah perkotaan

dapat dilihat pada gambar 4.1. dan 4.2 berikut.

Gambar 4.1. Paradigma Lama Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan

11

KUMPULANGKUTBUANG

Gambar 4.2. Rich Picture Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan

Kementerian Pekerjaan Umum (2013) menyatakan bahwa TPA-TPA yang ada di

seluruh Indonesia, ± 70% (tujuh puluh persen) diantaranya sudah didesain untuk

dioperasikan sebagai controlled landfill atau sanitary landfill. Akan tetapi pada praktiknya

sebagian besar TPA (99%) masih dioperasikan dengan menggunakan sistem

pembuangan/penimbunan terbuka (open dumping). TPA yang sudah dioperasikan dengan

menerapkan sanitary landfill dan dijadikan percontohan masih sangat terbatas, antara lain

seperti TPA di Yogyakarta (Kartamantul), Denpasar (Sarbagita), dan Gorontalo.

Kondisi pengoperasian sebagian besar TPA di Indonesia yaitu pada sel sampah,

sampah tidak dipadatkan secara teratur, lapisan sampah jarang bahkan tidak ditutup secara

rutin dengan alasan sulit dan mahalnya tanah penutup. Selain itu, banyak TPA yang baru

dibangun atau direhabilitasi namun karena tidak dikelola dengan semestinya, fasilitas yang

sudah terbangun tersebut rusak kembali. Sementara pada operasional pengendalian air lindi

12

DEKOMPOSISISAMPAH

AIR LINDIBOD, COD

AIR LINDIBOD, COD

PENCEMARAN AIR TANAH

PENCEMARAN TANAHBANJIR

PENCEMARAN BADAN AIR

RESIKO KEBAKARAN

HUJAN

CO2EMISI CH4DEBU

BAUPENURUNAN ESTETIKA

LINGKUNGANPERMUKIMAN

VEKTOR PENYAKIT

EFEK RUMAH KACAPEMANASAN GLOBALPERUBAHAN IKLIM

TPA

SUNGAI

MATAHARI

PEMDA SELAKU PENGELOLA TPAPARTISIPASI MASYARAKATMEMBUTUHKAN SARANA & PRASARANA PERSAMPAHAN

MEMBUTUHKAN BIAYA YANG CUKUP TINGGIBERDASARKAN PERATURAN/HUKUM

RETRIBUSI SAMPAHKEPEDULIAN TERHADAP KESEHATAN LINGKUNGAN

yang umumnya menggunakan sistem kolam stabilisasi, sering kali saluran tersumbat dan

terjadi kerusakan pada pipa koleksi sehingga menyebabkan air lindi tergenang di sekitar

TPA. Proses pengolahan juga belum memenuhi persyaratan, tidak ada operator yang

memonitor, membiarkan instalasi lindi jalan apa adanya tanpa kontrol, tidak ada

pengawasan terhadap kualitas effluent, kurang atau tidak ada perhatian dari pengelola TPA

karena kemungkinan dianggap mahal. Selain itu, ada landfill yang punya instalasi

pengolah lindi namun baru dijalankan bila ada kunjungan.

Pada sarana pengendalian gas landfill, masih banyak TPA di Indonesia yang tidak

memperhatikan masalah ini sehingga menciptakan resiko kebakaran yang cukup tinggi.

Umumnya pengendalian gas hanya dengan sistem venting untuk menurunkan resiko

kebakaran, hanya sedikit TPA yang sudah memanfaatkannya secara sederhana seperti yang

dilakukan oleh Kabupaten Malang dan Kota Kendari. Pengendalian gas dengan flaring dan

pemanfaatannya baru ada di beberapa kota melalui proyek Clean Development Mechanism

(CDM). TPA kota-kota tersebut adalah TPA Sumur Batu Kota Bekasi, TPST Sarbagita

Denpasar, TPA Sukowinatan Kota Palembang, TPA Tamangapa Kota Makassar, dan TPA

Bantar Gebang Kota Bekasi/DKI Jakarta (Kementerian PU, 2013).

Selain data dari Kementerian Pekerjaan Umum, kondisi TPA di Indonesia juga dapat

dilihat dari hasil studi Indonesia Solid Waste Association (InSWA) yang melakukan studi

dokumen Adipura tahun 2011 – 2012 terhadap 24 TPA di Indonesia dengan perincian, 10

TPA untuk kategori kota metropolitan dan 14 TPA untuk kategori kota besar. Kota

metropolitan adalah kota yang populasi penduduknya lebih dari 1.000.000 jiwa, sedangkan

kota besar adalah kota yang populasi penduduknya 500.001 - 1.000.000 jiwa. InSWA

mengkaji kondisi penutupan sampah dengan tanah di TPA masing-masing kota, yaitu

seberapa sering sampah ditutup dengan tanah (frekuensi penutupan sampah). Hasil studi

InSWA tersebut bisa dilihat pada gambar berikut (Gambar 2.2. dan Gambar 2.3.).

13

50%

40%

10%

Dilakukan sebulan hingga setahun sekali

Dilakukan dua minggu sekali

Dilakukan seminggu sekali

Sumber : InSWA, 2013

Gambar 2.1. Kondisi Penutupan Sampah dengan Tanah di 10 TPA Kota Metropolitan Indonesia

14%

57%

14%

7% 7% Dilakukan lebih dari setahun atau tidak ada penutupan sama sekali

Dilakukan sebulan hingga setahun sekali

Dilakukan dua minggu sekali

Dilakukan seminggu sekali

Dilakukan setiap tiga hari sekali

Sumber : InSWA, 2013

Gambar 2.2. Kondisi Penutupan Sampah dengan Tanah di 14 TPA Kota Besar IndonesiaDari Gambar 2.2. dan Gambar 2.3. tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir di

seluruh kota metropolitan dan besar, operasional TPA tidak dilakukan sesuai dengan

metode pembuangan sampah yang benar. Penanganan sampah di TPA masih mengalami

minimnya penataan lahan, ketersediaan peralatan berat, dan biaya operasional untuk

mengakhiri sistem pembuangan terbuka. Menurut InSWA (2013), kendala utama mengapa

daerah belum mampu menerapkan sanitary landfill adalah karena mahalnya tanah penutup,

14

terutama bagi daerah yang tidak memiliki bukit atau gunung seperti di Kalimantan dan

Sumatera bagian Timur.

Kajian lain yang dapat menggambarkan tentang kondisi TPA di Indonesia adalah

Kajian Kebijakan Sanitary Landfill di Indonesia Tahun 2013 yang dilakukan oleh Asisten

Deputi Telematika dan Utilitas, Kedeputian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan

Pengembangan Wilayah, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik

Indonesia. Dalam kajian tersebut diperoleh data ± 99% TPA di Indonesia masih open

dumping. Baru ±70% TPA yang didesain secara controlled landfill/sanitary landfill dari

±492 TPA di seluruh Kab/Kota di Indonesia. Penyebab TPA belum dapat menerapkan

sistem sanitary landfill, digolongkan dalam 5 aspek, yaitu:

1. Aspek hukum/peraturan, penegakan hukum/peraturan masih lemah dan masih

diperlukan adanya peraturan pendukung.

2. Aspek kelembagaan, struktur organisasi kelembagaan belum jelas dan masih

rendahnya sumber daya manusia pengelola persampahan.

3. Aspek teknis dan operasional, lahan TPA sangat terbatas, timbulan sampah yang

semakin tinggi tidak diimbangi dengan kualitas pengelolaan sampah, belum adanya

standar operasional dan prosedur pengelolaan sampah, dan sulit serta mahalnya tanah

penutup TPA.

4. Aspek pembiayaan, alokasi anggaran bidang persampahan masih sangat kecil (< 5%),

retribusi sampah masih sangat rendah, dan masih sangat tergantung pada APBD.

5. Aspek peran serta masyarakat/swasta, kesadaran masyarakat dan investasi swasta

masih rendah.

Sedangkan rekomendasi yang dapat diterapkan guna mendukung percepatan

penerapan sanitary landfill, meliputi:

1. Aspek hukum/peraturan, penguatan penegakan hukum/peraturan dan membuat

peraturan pendukung yang dibutuhkan.

2. Aspek kelembagaan, membuat struktur organisasi kelembagaan yang jelas dan

peningkatan kualitas SDM pengelola persampahan.

3. Aspek teknis dan operasional, menutup TPA open dumping, penanganan sampah di

sumbernya, menggalakan 3R (Reduce, Reuse, and Recycle), membuat SOP dan

masterplan persampahan, mengupayakan penerapan alternatif penutup pengganti

tanah.

15

4. Aspek pembiayaan, menambah alokasi dana pengelolaan sampah, membuat kajian

sumber pembiayaan lain, dan membuat standar retribusi sampah.

5. Aspek peran serta masyarakat/swasta, mengadakan sosialisasi kepada masyarakat dan

pemerintah memberi dukungan terhadap usaha pengolahan sampah.

Berdasarkan kajian tersebut dapat diketahui bahwa teknik dan operasional TPA

menjadi salah satu aspek yang menentukan kondisi TPA. Operasional dan pemeliharaan

TPA yang tidak dilakukan dengan semestinya, baik karena keterbatasan biaya maupun

sumber daya manusia pengelolanya, menyebabkan TPA tidak berfungsi sebagaimana

mestinya. Sampah yang seharusnya diproses dan diisolasi secara aman agar tidak

menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya dengan metode controlled

landfill/sanitary landfill, justru dibuang/ditimbun begitu saja secara terbuka (open

dumping).

Salah satu contoh TPA yang telah didesain sebagai TPA dengan metode controlled

landfill adalah TPA Blondo, Kabupaten Semarang. TPA Blondo pada awalnya didesain

untuk memroses sampah dengan metode controlled landfill, yang telah dilengkapi dengan

unit pengolah lindi, pipa gas, dan sumur pantau. Selain itu, TPA Blondo juga dilengkapi

dengan alat berat, berupa 1 unit excavator dan 1 unit track loader. Pada tahap operasional

pelaksanaan TPA, sampah tidak ditutup dengan tanah secara teratur sehingga terjadi

penumpukan sampah terbuka seperti terlihat dalam Gambar 2.4. dan 2.5. Pengelola TPA,

yaitu Dinas Pekerjaan Umum, tidak menutup sampah dengan tanah secara teratur

dikarenakan keterbatasan dana operasional dan pemeliharaan TPA yang dialokasikan

pemerintah daerah dan juga karena daya tampung zona aktif TPA yang sudah tidak mampu

lagi menampung sampah (overload).

Operasional dan pemeliharaan TPA yang tidak dilakukan dengan baik, selain

menyebabkan TPA menjadi lahan open dumping, juga telah menimbulkan dampak negatif

lainnya seperti: sampah longsor, kerusakan pipa-pipa saluran air lindi, bak-bak pengolah

air lindi tidak berfungsi optimal karena rusak dan lingkungan TPA menjadi kumuh.

Kerusakan bak pengolah air lindi dapat dilihat pada Gambar 2.6. dan 2.7. berikut ini.

16

Sumber: DPU Kabupaten Semarang, 2014

Gambar 2.3. Timbunan Sampah di TPA Blondo Kabupaten Semarang

7.1. Alternatif Solusi

Berdasarkan data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan hasil beberapa kajian/studi

yang telah dilakukan di TPA-TPA yang ada di Indonesia, dapat diketahui bahwa sebagian

besar TPA yang ada di Indonesia masih dioperasikan menggunakan metode open dumping

dan belum mampu menerapkan metode operasional controlled/sanitary landfill. Sehingga

TPA yang ada belum bisa berfungsi optimal dalam mengisolasi sampah agar aman bagi

manusia dan lingkungan sekitar.

Persoalan atau kendala yang menyebabkan pemerintah daerah ataupun sektor swasta

sebagai pengelola belum dapat mengoperasikan TPA dengan sistem controlled/sanitary

landfill, terdiri dari berbagai aspek. Salah satunya adalah aspek teknis dan pembiayaan

operasional dan pemeliharaan TPA. Solusi yang direkomendasikan untuk dapat diterapkan

(implementable) dan diterima (acceptable) terutama bagi pengelola sampah guna

mendukung percepatan penerapan operasional dan pemeliharaan TPA yang baik adalah:

1. Menutup/merehabilitasi TPA open dumping,

2. Penanganan sampah pada sumbernya dan menggalakan 3R (Reduce, Reuse, and

Recycle) untuk mengurangi beban biaya operasional dan pemeliharaan,

3. Membuat SOP dan masterplan persampahan,

17

4. Mengupayakan penerapan alternatif penutup pengganti tanah, misalnya mengganti

media tanah ke material non tanah yang lebih murah dan lebih mudah diperoleh,

menggunakan plastik degradable (mudah terurai),

5. Menambah alokasi dana operasi dan pemeliharaan,

6. Membuat kajian sumber pembiayaan lain, dan

7. Membuat standar retribusi sampah.

Gambar 2.8. dan Gambar 2.9. adalah contoh TPA yang telah menerapkan operasional

dan pemeliharaan yang baik. Tempat pemrosesan akhir sampah tersebut adalah TPA

Talangagung Kepanjen Malang. Sampah dituang di zona aktif, diratakan, dipadatkan dan

ditutup tanah, sedangkan air lindi diproses lebih lanjut sehingga tidak mengganggu

lingkungan sekitar. Lingkungan TPA Talangagung sangat nyaman, asri dan hijau. Bekas

penimbunan sampah yang telah ditutup tanah akhir, yang disebut zona pasif dibuat menjadi

taman yang menambah keindahan TPA, seperti terlihat pada Gambar 2.10 berikut. TPA ini

menjadi tempat wisata edukasi, khususnya edukasi tentang pengelolaan sampah yang baik.

1. Formulating Root Definitions Of Relevant Systems

CATWOE URAIAN

Customer Masyarakat

Actor Pemerintah dan masyarakat

Transformation Perubahan pengelolaan sampah dari end of pipe menjadi waste minimization (3R) dan open dumping landfill menjadi sustainable sanitary landfill

Weltanschauung/ worldview

Pengurangan sampah yang dibuang ke TPA untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, pemanasan global, dan perubahan iklim

Owner Pemerintah

Environment constraint

Pembiayaan, kelembagaan, peraturan/hukum, teknik dan teknologi, dan partisipasi masyarakat

2. Building Conceptual Models Of Relevant Systems Pembatasan (reduce): mengupayakan agar sampah yang dihasilkan sesedikit

mungkin.

18

Guna-ulang (reuse): bila sampah akhirnya terbentuk, maka upayakan

memanfaatkan sampah tersebut secara langsung

Daur-ulang (recycle): residu atau sampah yang tersisa atau tidak dapat

dimanfaatkan secara langsung, kemudian diproses atau diolah untuk dapat

dimanfaatkan, baik sebagai bahan baku maupun sebagai sumber energi.

Pemilahan: dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan

jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah.

Pengolahan: dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah.

Pemrosesan akhir sampah: dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu

hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman, dilakukan antara

lain dengan sanitary/controlled landfill.

19

PARADIGMA LAMA

SAMPAH

PENGUMPULAN

PENGANGKUTAN

PEMBUANGAN

PARADIGMA BARU

SAMPAH

SISA

PENGANGKUTAN

TPA TERPADU

KURANGI(REDUCE)

GUNAKAN

KEMBALI(REUSE)

DAUR ULANG(RECYCL

E)

3R

3. Comparing The Models With The Real World

Penegakan aturan masih lemah (membuang sampah sembarangan masih dibiarkan

tanpa sanksi tegas, open dumping masih beroperasi tidak ada sanksi).

Sebagian besar pengelola sampah perkotaan masih berupa unit kerja bagian dari

dinas pekerjaan umum dengan otoritas terbatas dan belum ada pemisahan antara

regulator dan operator.

SDM pengelola sampah perkotaan masih terbatas, baik kuantitas maupun

kualitasnya.

Kesadaran, kepedulian dan partisipasi masyarakat masih kurang.

Pemrosesan akhir sampah 99 % dari 492 TPA yang ada di Indonesia masih

dioperasikan dengan menggunakan sistem open dumping (Kementerian

Koordinator Bidang Perekonomian, 2013).

Cakupan pelayanan pengelolaan sampah baru 56% (BPS, 2006)

Salah satu penyebab sebagian besar TPA masih dioperasikan secara open dumping

dan rendahnya cakupan pelayanan persampahan adalah faktor pembiayaan yang

sangat terbatas. Dana yang berasal dari penarikan retribusi pelayanan persampahan

masih sangat rendah, secara nasional hanya mencapai 22 %, sehingga biaya

20

Pengelolaan Persampahan

Aspek Teknis Operasional

Aspek Kelembagaan

Aspek Peran Serta

Masyarakat

Aspek Pembiayaan

Aspek Peraturan

pengelolaan persampahan masih menjadi beban APBD. Di sisi lain, alokasi dana

APBD untuk sektor persampahan masih sangat kecil, yaitu dibawah 5 % dari total

anggaran APBD (Kementerian Pekerjaan Umum, 2011).

Program pengurangan sampah melalui 3R (reduce, reuse, recycle) belum dapat

dilaksanakan secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari hasil kajian yang dilakukan

oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada tahun 2013, yaitu

pengurangan sampah baru mencapai 0,8 %.

4.

4. Defining Changes That Are Desirable And Feasible

penguatan penegakan hukum/peraturan dan membuat peraturan pendukung yang

dibutuhkan.

membuat struktur organisasi kelembagaan yang jelas (terdapat pemisahan antara

regulator dan operator) dan peningkatan kualitas SDM pengelola persampahan.

menutup TPA open dumping, penanganan sampah di sumbernya, menggalakan 3R

(Reduce, Reuse, and Recycle), membuat SOP dan masterplan persampahan.

meningkatkan alokasi dana untuk sektor persampahan.

mengadakan sosialisasi kepada masyarakat dan pemerintah memberi dukungan

terhadap usaha pengolahan sampah.

Perubahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah:

o Melakukan pemilahan sampah di sumber.

o Melakukan pengolahan sampah dengan konsep 3R.

o Berkewajiban membayar retribusi sampah.

o Mematuhi aturan pembuangan sampah yang ditetapkan.

o Turut menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya.

21

o Berperan aktif dalam sosialisasi pengelolaan sampah lingkungan.

5. Taking Action To Improve The Real World Situation

Pemerintah mulai melaksanakan program-program untuk memperbaiki kinerja

pengelolaan persampahan perkotaan dengan melibatkan peran serta/partisipasi

masyarakat, seperti:

Program pengurangan timbulan sampah dengan 3R;

Program pembangunan dan rehabilitasi TPA untuk mewujudkan TPA yang

berwawasan lingkungan;

Pendirian dan pembinaan bank sampah di masyarakat sebagai sarana pengurangan

volume sampah dan sosialisasi serta edukasi masyarakat tentang pentingnya

kebersihan dan kesehatan lingkungan.

22

BAB V

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa tempat pemrosesan

akhir (TPA) sampah di Indonesia yang telah didesain menggunakan metode

controlled/sanitary landfill mencapai ± 70%, akan tetapi pada praktiknya kondisi ± 99%

TPA yang ada di Indonesia masih open dumping. TPA open dumping seharusnya sudah

ditutup atau direhabilitasi menjadi controlled/sanitary landfill sesuai amanat Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2008. Penerapan controlled/sanitary landfill di Indonesia masih

belum bisa sepenuhnya dilaksanakan karena terkendala berbagai masalah, salah satunya

keterbatasan pembiayaan dan teknik operasional & pemeliharaan TPA.

3.2. Rekomendasi

Solusi yang direkomendasikan untuk dapat diterapkan (implementable) dan diterima

(acceptable) terutama bagi pengelola sampah guna mendukung percepatan penerapan

operasional dan pemeliharaan TPA yang baik adalah:

1. Menutup/merehabilitasi TPA open dumping,

2. Penanganan sampah pada sumbernya dan menggalakan 3R (Reduce, Reuse, and

Recycle) untuk mengurangi beban biaya operasional dan pemeliharaan,

3. Membuat SOP dan masterplan persampahan,

4. Mengupayakan penerapan alternatif penutup pengganti tanah, misalnya mengganti

media tanah ke material non tanah yang lebih murah dan lebih mudah diperoleh,

menggunakan plastik degradable (mudah terurai),

5. Menambah alokasi dana operasi dan pemeliharaan,

6. Membuat kajian sumber pembiayaan lain, dan

7. Membuat standar retribusi sampah.

23

DAFTAR PUSTAKA

BPPT, 2002. Model Pengelolaan Persampahan Perkotaan. Deputi Pengkajian Kebijakan Teknologi. Jakarta.

Damanhuri, E., 2004. Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3150. Teknik Lingkungan ITB, Edisi Semester I 2004/2005. Bandung.

Damanhuri, E., Padmi, T., 2010. Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104. Teknik Lingkungan ITB, Edisi Semester I 2010/2011. Bandung.

InSWA, 2013. Empat Bulan Lagi Batas Akhir Penutupan TPA Open Dumping. Siaran Pers: Diskusi Media, 11 Januari 2013. Indonesia Solid Waste Association. Jakarta. www.inswa.or.id.

InSWA, 2013. Mei, TPA Open Dumping Harus Ditutup. Indonesia Solid Waste Newsletter, Edisi 2, Maret 2013. Indonesia Solid Waste Association. Jakarta. www.inswa.or.id.

InSWA, 2013. Potret Nyata TPA di Indonesia. Indonesia Solid Waste Newsletter, Edisi 2, Maret 2013. Indonesia Solid Waste Association. Jakarta. www.inswa.or.id.

InSWA, 2013. TPA Menurut Undang-Undang. Indonesia Solid Waste Newsletter, Edisi 2, Maret 2013. Indonesia Solid Waste Association. Jakarta. www.inswa.or.id.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2013. Kajian Kebijakan Sanitary Landfill di Indonesia Tahun 2013. Asisten Deputi Telematika dan Utilitas, Kedeputian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah. Jakarta.

Kementerian Pekerjaan Umum, 2011. Materi I Bidang Sampah, Diseminasi dan Sosialisasi Keteknikan Bidang PLP. Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta.

Kementerian Pekerjaan Umum, 2013. Buku Informasi Statistik 2013. Pusat Pengolahan Data, Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor: 03/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

24

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Tchobanoglous, G., Theisen, H., Vigil, S., 1993. Integrated Solid Waste Management Engineering Principles and Management Issues. McGraw-Hill, Inc. New York.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

--------------, 2012. TPA Talangagung. praswilkotpraswilkot.blogspot.com/2012/06/tpa-talangagung.html.

--------------, 2012. TPA Talangagung sebagai Wisata Edukasi di Kepanjen, Kabupaten Malang. http://praswil13.wordpress.com/2012/06/14/tpa-talangagung-sebagai-wisata-edukasi-di-kepanjen-kabupaten-malang/

25