makalah presentasi kasus persiapan
TRANSCRIPT
MAKALAH PRESENTASI KASUS PERSIAPAN
MORBUS HANSEN
Disusun Oleh:
Yohanes Edwin Budiman 0906508541
Farah Asyuri Yasmin 0906552611
Christopher Rico Andrian 0906554251
Deriyan Sukma Widjaja 0906554270
Narasumber:
0
dr. Aida Suryadiredja, SpKK(K)
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO
MEI 2013
BAB I
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 16 tahun
Alamat : Pisangan Lama
Suku Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : pelajar SMP
Tanggal masuk RS : 2 Mei 2013
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Persahabatan pada tanggal 2
Mei 2013, pukul 11.30 WIB secara autoanamnesis dan alloanamnesis.
Keluhan Utama:
Baal dan bercak kemerahan pada perut dan punggung yang semakin meluas sejak 1 bulan
sebelum masuk Rumah Sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang:
1
Pasien mengatakan sejak bulan Desember 2012, ia merasakan terdapat bercak putih
pada perut, bercak tersebut dikatakan pasien tidak terasa gatal atau pun nyeri. Kemudian,
sekitar bulan Februari 2013 pasien menyadari bercak tersebut menjadi meluas dan juga timbul
pada punggung. Lama-kelamaan, bercak putih tersebut disertai kemerahan di sekitarnya dan
terasa baal, serta terkadang disertai gatal. Gatal pada bercak dirasakan pasien muncul dan
hilang tiba-tiba secara tidak menentu, tetapi dengan intensitas ringan. Gatal dirasakan pasien
tidak dipengaruhi oleh keluarnya keringat. Pasien mengatakan tidak terdapat kelemahan pada
lengan, tangan, tungkai, maupun kakinya. Pasien sudah berobat ke Puskesmas, dan diberikan
bedak dan obat tablet, tetapi kelainan kulit yang dialami pasien tidak membaik meskipun
sudah meminum obatnya. Pasien sebelumnya belum pernah mengalami kelainan kulit seperti
ini.
Pasien mengatakan di lingkungan sekitarnya tidak ada yang memiliki keluhan serupa
dengan pasien. Aktivitas sehari-hari pasien adalah sekolah dan bermain bola di lapangan
sekolah yang terbuat dari semen. Pasien dalam sehari mandi 2 kali, menggunakan sabun, dan
setiap kali selesai mandi menggunakan baju bersih. Riwayat penggunaan alat mandi atau
handuk bersama dengan anggota keluarga lainnya tidak ada. Sehari-hari pasien tidak
memelihara binatang atau pun berkontak dengan binatang. Riwayat bercocok tanam,
berkebun, atau bermain di tempat tanah dikatakan pasien tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.
STATUS GENERALIS (2 Mei 2013)
Kesadaran : compos mentis
Keadaan umum : tampak tidak sakit
Jantung : tidak diperiksa
Paru : tidak diperiksa
Abdomen : tidak diperiksa
Ekstremitas : tidak ada edema, tidak ada deformitas, akral hangat
KGB : tidak ada pembesaran KGB
STATUS NEUROLOGIS
1. GCS : 15 (E4M6V5)
2. Pemeriksaan nervus kranialis : dalam batas normal, paresis (-)
3. Kekuatan motorik :
2
5555 5555
5555 5555
4. Refleks fisiologis:
5. Pemeriksaan saraf perifer:
1. Nervus aurikularis magnus : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri
2. Nervus ulnaris : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri
3. Nervus poplitea lateralis: tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri
4. Nervus tibialis posterior : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri
1. Pemeriksaan sensorik: terdapat hipestesi pada lesi di perut, dada, dan punggung.
STATUS DERMATOLOGIKUS
Pada regio dada dan abdomen, terdapat plak hipopigmentasi dan eritematosa pada tepinya,
multipel, berukuran numular, bentuk bulat dan oval, berbatas sirkumskrip, dan persebarannya
diskret.
3
+2 +2
+2 +2
Pada regio punggung kiri, terdapat plak hipopigmentasi dengan tepi eritematosa, multipel,
berukuran lentikular dan numular, bentuk bulat dan oval, berbatas sirkumskrip, dan
persebarannya diskret.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Bakterioskopik (1 Mei 2013 di RSCM)
1. Indeks Bakteri : 11/5
2. Indeks Morfologi : 5/500 x 100% = 1,0%
Diagnosis: MH - BL
RESUME
Pasien laki-laki, 16 tahun, dengan keluhan baal dan kemerahan yang semakin meluas sejak 1
bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Baal dan bercak kemerahan pada perut dan punggung
yang semakin meluas sejak 1 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Awalnya bercak muncul
saat bulan Desember 2012 berupa bercak putih, kemudian lama-kelamaan bercak putih
disertai kemerahan dan sedikit gatal yang sifatnya hilang timbul tidak menentu. Tidak
terdapat kelemahan pada ekstremitas atau bagian tubuh lainnya. Pasien sudah pernah berobat
4
ke Puskesmas dan diberikan bedak dan obat tablet, tetapi keluhan tidak membaik. Keluhan
belum pernah dialami sebelumnya. Tidak terdapat orang lain dengan keluhan serupa. Tidak
ada riwayat kontak dengan hewan atau berkontak dengan tanah.
DIAGNOSIS
Morbus Hansen Borderline Lepromatosa
DIAGNOSIS BANDING
Tinea korporis
PEMERIKSAAN ANJURAN
Kerokan kulit KOH
PENGOBATAN/TATALAKSANA:
3. Non-medikamentosa
1. Edukasi mengenai penyakit dan rencana pengobatan bekepanjangan
2. Teratur meminum obat dan kontrol setiap bulan
3. Menjaga hygiene sepeti mengganti baju dan mandi setiap kali berkeringat
4. Menjaga kontak dengan orang lingkungan sekitar untuk mencegah penularan
5. Menjaga kebersihan lesi dari luka atau kotoran, dengan melakukan
pengecekan setiap hari
6. Tanggap akan efek samping obat dan reaksi obat dan segera berobat ke
dokter.
4. Medikamentosa
1. MDT-MB program WHO (12-18 bulan)
1. Hari ke-1 (dari 28 hari)
1. Rifampisin 1x 600 mg/hari
2. DDS 1x100mg/hari
3. Klofazimin 1x300mg/hari
5
2. Hari ke-2 sampai 28 (dari 28 hari)
1. DDS 1x100 mg/hari
2. Klofazimin 1x50mg/hari
PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad Bonam
Ad fungsionam : Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
MORBUS HANSEN
Mobus hansen (lepra/ kusta) adalah suatu penyakit akibat infeksi kronik oleh Mycobacterium
leprae yang menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorius, serta organ lainnya
kecuali sistem saraf pusat. Mycobacterium leprae merupakan bakteri berbentuk basil gram-
positif, tahan asam dan alkohol, bersifat intraselular obligat. Sampai saat ini M. leprae belum
dapat dibiakkan di medium artifisial sehingga sulit untuk mempelajari tentang kuman ini.1,2
1. Patogenesis
Seseorang yang terinfeksi M. leprae belum tentu akan menderita penyakit kusta.
Bakteri harus memenuhi jumlah minimum agar dapat tumbuh dan menimbulkan
manifestasi klinis. Manifestasi klinis yang ditimbulkan-pun tergantung dari sistem
imunitas seluler yang dimiliki host. Pada dasarnya, M. leprae memiliki patogenitas dan
6
daya invasi rendah karena penderita yang terinfeksi lebih banyak kuman belum tentu
menimbulkan manifestasi klinis yang lebih parah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
derajat penyakit lebih dipengaruhi oleh reaksi imunitas host dibandingkan derajat
infeksinya. 1,3,4,5
Gambar 1. Patogenesis Lepra dan Respon Imun Selular5
Ketika M. leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan meresponnya sesuai
derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam patogenesis lepra, yaitu kutub tuberkuloid (TT)
dan kutub lepromatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi oleh imunitas yang bersifat
cell-mediated atau sistem imun humoral. Pada individu yang sistem imun selulernya baik,
respon imun dimediasi oleh sel T-helper 1. Sel ini akan mengeluarkan sitokin pro-
inflamasi seperti IFN-γ, TNF, IL-2, IL-6, IL-12 serta molekul kemotaktil yang berfungsi
memanggil sel makrofag. Sesampainya di kulit, makrofag berubah nama menjadi histiosit.
Histiosit akan memfagosit M. leprae sehingga kuman dapat dieliminasi.1,3,5
Sedangkan jika sistem imun selular tidak bekerja secara efektif, makrofag gagal
memfagosit M. leprae. Tipe ini dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara mengeluarkan
IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang biak di dalamnya. Sel ini
disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra yang dapat ditemukan di
subepidermal clear zone. Akumulasi makrofag beserta derivat-derivatnya membentuk
granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat ditemukan tertama pada area tubuh yang
suhunya lebih dingin, seperti : cuping telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis mata,
kaki, dll). 1,3,5
7
Gambar 2. Tipe Klinis Lepra Berdasarkan Sistem Imun4
Perlu diketahui bahwa penyakit kusta bukanlah penyakit keturunan. Sampai saat ini,
cara penularannya belum diketahui secara pasti. Kontak langsung antarkulit yang erat
dalam jangka waktu lama serta transmisi airborne (secara inhalasi) diyakini menjadi jalur
penularan penyakit ini. Masa inkubasinya bervariasi antara 40 hari hingga 40 tahun,
namun pada umumnya terjadi dalam 3-5 tahun setelah pertama kali terinfeksi.1
2. Tanda dan Gejala
Gejala klinis timbul sesuai derajat imunitas selular seseorang. Bila imunitas baik,
maka manifestasi klinis yang muncul lebih mengarah pada tipe tuberkuloid. Sementara
jika sistem imun buruk, manifestasi klinis lebih mengarah pada tipe lepromatosa.1,2,3
Ridley dan Jopling membagi tipe klinis lepra menjadi beberapa kelas sebagai berikut:
8
Gambar 3. Spektrum Klinis Lepra Berdasarkan Klasifikasi Ridley-Jopling
Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe yang stabil dan
tidak mungkin berubah. Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid borderline (BB), dan
borderline lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak stabil sehingga dapat berubah
tipe sesuai derajat imunitas. Tipe indeterminate (I) tidak dimasukkan ke dalam spektrum.
Pada fase ini, kemungkinan untuk kembali sembuh sebesar 70%. Sementara 30% sisanya
kemungkinan dapat berkembang menjadi tipe-tipe di dalam spektrum diatas.1,2,4
Pada tahun 1980, WHO membagi lepra menjadi tipe multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB).
Gambar 4. Perbandingan Klasifikasi Ridley-Jopling dengan Klasifikasi WHO
Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari pemeriksaan slit
skin smear. Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah oleh karena itu
9
diklasifikasikan ke dalam pausibasilar. Sementara tipe BB, BL, dan LL memiliki jumlah
BTA yang tinggi sehingga diklasifikasikan ke dalam multibasilar.1
Secara klinis, sifat lesi (jumlah, morfologi, distribusi, permukaan, anestesia) dan
kerusakan saraf dapat mengarahkan kita untuk menegakkan diagnosis kearah tuberkuloid
atau lepromatosa. Semakin ke arah tuberkuloid, biasanya ditandai dengan lesi berbentuk
makula saja / makula yang dibatasi infiltrat dengan permukaan kering bersisik, anestesia
jelas, berjumlah 1-5, tersebar asimetris, kerusakan saraf biasanya terlokalisasi sesuai letak
lesinya. Di sisi lain, semakin mengarah ke tipe lepromatosa, lesi akan lebih polimorfik
(makula, infiltrat difus, papul, nodus) dengan permukaan yang halus berkilat, anestesia
tidak ada sampai tidak jelas, berjumlah banyak (>5 lesi), dan biasanya tersebar simetris,
kerusakan saraf biasanya lebih luas. 1,3
Gambar 5. Spektrum Klinis dan Respon Imunologi Berdasarkan Tipe Lepra3
Karena pemeriksaan slit skin smear tidak selalu tersedia, maka pada tahun 1995 WHO
menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit dan kerusakan saraf.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)1
Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
10
Lesi Kulit
(makula datar,
papul yang meninggi,
nodus)
1.Jumlah : 1-5 lesi
2.Warna : Hipopigmentasi / eritema
3.Distribusi : asimetris
4.Anestesia : jelas
5.Jumlah : 1-5 lesi
6.Distribusi : simetris
7.Anestesia : kurang jelas
Kerusakan Saraf 8. Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
Disamping gejala klinis dari anamnesis, penting untuk melalukan pemeriksaan fisik
untuk menegakkan diagnosis lepra. Dari inspeksi, lesi kulit yang timbul pada lepra mirip
dengan lesi kulit pada penyakit-penyakit lainnya (misal : dermatofitosis, tinea versikolor,
pitiriasis alba/rosea, dermatitis, skleroderma, dll) sehingga lepra dijuluki sebagai the
greatest imitator. Ada tidaknya baal yang dapat diketahui melalui tes sensitivitas cukup
membantu penyingkiran diagnosis banding. Tes sensitivitas dilakukan menggunakan kapas
(untuk rangsang raba), jarum (untuk rangsang nyeri), dan tabung reaksi berisi air panas dan
hinggin (untuk rangsang suhu).1,2
Tidak hanya komponen sensorik, komponen motorik dan otonom saraf perifer harus
diperiksa pada pasien dengan memiliki lesi kulit yang dicurigai kusta. Fungsi otonom
dapat dinilai dengan memperhatikan ada atau tidaknya dehidrasi pada lesi atau diperiksa
dengan bantuan tinta gunawan. Adanya pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan
cara palpasi bisanya mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang bersangkutan.
Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle test. Saraf perifer yang diperiksa antara
lain : n. fasialis, n. aurikularis magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea
lateralis, dan n. tibialis posterior.1
10. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)
Sediaan diperoleh dari kerokan kulit yang diwarnai dengan pewarnaan ziehl-neelsen.
Untuk pemeriksaan rutin, diambil sediaan dari 4-6 tempat yang lesinya paling aktif.
Dua tempat wajib untuk pengambilan sediaan adalah cuping telinga kiri dan kanan,
11
sementara 2-4 sediaan lainnya diperoleh dari lesi yang paling aktif. Irisan yang dibuat
harus sampai di lapisan dermis, melampaui subepidermal clear zone yang mengandung
sel virchow.
M. leprae tergolong basil tahan asam yang akan tampak berwarna merah saat
pemeriksaan mikroskopik. Perlu dihitung indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi
(IM) dari pemeriksaan ini. Indeks bakteri merupakan jumlah keseluruhan basil tahan
asam yang ditemukan dari pemeriksaan mikroskopis, nilainya bergradasi dari 0 hingga
6+. Sedangkan indeks morfologi merupakan persentase bentuk basil yang solid
dibandingkan dengan jumlah keseluruhan basil (solid + nonsolid).1,3,4
2. Pemeriksaan Histopatologik
Pada tipe tuberkuloid, gambaran histopatologik yang dapat ditemukan adalah tuberkel
(massa epiteloud yang berlebihan dikelilingi oleh sel limfosit), kuman hanya sedikit
atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan pada tipe lepromatosa terdapat sel-sel
virchow yang mengandung banyak kuman di subepidermal clear zone.1,4
3. Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, biasanya diindikasikan untuk membantu
diagnosis kusta pada kasus yang meragukan atau kusta subklinis (lesi di kulit tidak
ada). Uji yang dapat dilakukan antara lain:
4.Uji MLPA
5.Uji ELISA
6.M. leprae dipstick test
7.M. leprae flow test1
8. Reaksi Kusta
Merupakan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, biasanya terjadi setelah
pengobatan dan berhubungan dengan reaksi imun. Terdapat 2 jenis reaksi kusta, antara
lain:
1. Reaksi ENL (eritema nodusum leprosum)
12
Reaksi ENL termasuk dalam reaksi imun humoral (antigen + antibodi + komplemen).
Biasanya terjadi pada tipe lepromatosa dan pada reaksi ini, tidak terjadi perubahan tipe.
Reaksi ENL terjadi akibat banyaknya kuman yang hancur dan mati ketika mendapatkan
pengobatan. Basil yang hancur ini mengeluarkan banyak antigen sehingga berinteraksi
dengan antibodi dan mengaktivasi sistem komplemen. Komplek imun ini beredar di
sirkulasi dan dapat menyerang berbagai organ. Karakteristik reaksi ENL adalah
ditemukannya nodus eritematosa yang nyeri dengan predileksi di lengan dan tungkai.1,3,5
2. Reaksi Reversal (reaksi borderline / reaksi upgrading)
Berbeda dengan reaksi ENL, pada reaksi reversal dapat terjadi perubahan tipe
tergantung sistem imun selular. Oleh karena itu, reaksi reversal disebut juga sebagai
reaksi borderline. Reaksi reversal merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pada
reaksi ini, terjadi peningkatan imunitas sehingga terjadi perpindahan tipe ke arah
tuberkoloid yang terjadi secara cepat dan mendadak. Biasanya reaksi ini terjadi pada
pengobatan 6 bulan pertama. Karakteristik reaksi reversal adalah lesi yang sudah ada
semakin aktif dan timbul lesi-lesi baru. Pada tipe ini, juga dapat muncul gejala neuritis
akut yang memerlukan tatalaksana sesegera mungkin. 1,3,5
Gambar 6. Patogenesis Reaksi ENL dan Reaksi Reversal5
13
TATALAKSANA KUSTA
a. Obat Utama1 :
1. DDS
Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali dapat
menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964). Resistensi terhadap DDS ini
yang memicu dilakukannya MDT.
2. Rifampisin
Dosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Dipakai sebulan sekali dalam MDT karena efek
sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit, dan warna kemerahan pada keringat, air mata,
dan urin.
3. Klofazimin (lamprene)
Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi relaps/kambuh. Dosis
yang dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg
selama seminggu.
Efek sampingnya dapat berupa warna kecoklatan pada kulit, warna kekuningan pada
sklera, sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan klofazimin merupakan zat warna dan
dideposit dalam sel sistem retikuloendotelial.
4. Protionamid.
Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam jaringan tidak
merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.
b. Obat alternatif:1
1. Ofloksasin
Berdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae. Dosis
tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek samping adalah mual, diare,
gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat (insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness
dan halusinasi). Penggunaan pada anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
14
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada
klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg. Efek samping antara lain
hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M. leprae. Dosis
harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari sebesar 99,99%. Efek
sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.
c. Prinsip penatalaksanaan dengan MDT6 :
1. Vaksinasi BCG
Vaksin BCG dipercaya memiliki faktor pengaruh menurunnya insidens kusta
pada populasi. BCG dikontraindikasikan terhadap ODHA.
2. Pemendekan masa pengobatan MDT (dibandingkan dengan guideline sebelumnya)
3. Pengobatan MDT yang fleksibel
Karena daerah endemik kusta merupakan daerah-daerah yang kurang
berkembang dan memiliki fasilitas kesehatan yang kurang baik, maka konsumsi 1
blister pack MDT lebih dari 1 bulan dapat dilakukan, namun pasien harus
diinformasikan mengenai pentingnya penggunaan obat terkait dosis, frekuensi, dan
durasi dari regimen tersebut. Pasien juga harus diinformasikan untuk kontrol apabila
ada gejala yang muncul, atau gejala yang tidak membaik
d. MDT untuk Multibasilar
15
Gambar 1. Contoh blister pack MDT MB dewasa.7
Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28 hari.
Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18 bulan.1,8,9
Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas : kombinasi
Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2 sampai hari ke-28
dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada periode ini adalah Klofazimin
dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat dilakukan dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari,
(2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1 minggu.
16
Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara
bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut RFT (Release
from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis dan bakterioskopis
minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau RFC (Release from control).
Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada keluhan,
maka dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan bakterioskopis.
e. MDT untuk Pausibasilar
17
Gambar 2. Contoh blister pack MDT PB dewasa.7
Pengobatan MDT untuk pausibasilar adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan,
dengan pengawasan dan Dapson/DDS 100 mg setiap hari.1,8,9 Pengonsumsian Rifampisin
diberikan setiap hari pertama penggunaan blister baru dan dilakukan didepan petugas.
Selama pengobatan diberikan pemeriksaan klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah
6 bulan (pada akhir pengobatan). Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2
tahun secara klinis dan bakterioskopis. Apabila negatif, dinyatakan RFC. Anjuran terbaru
dari WHO mengatakan RFC tidak diperlukan, walau ada perdebatan untuk mengawasi
adanya reaksi dan relaps.
18
f. Pengobatan Lesi Tunggal
Kasus PB dengan lesi tunggal ditatalaksana dengan Rifampisin 600 mg +
Ofloksasin 400 mg + Minosiklin 100 mg (dosis tunggal).
g. Pengobatan Situasi Khusus
1. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena efek-samping atau resisten
rifampisin).
Dilakukan pengobatan selama 24 bulan :
1. 6 bulan pertama : Setiap hari mengonsumsi 50 mg Clofazimin ditambah dengan
dua dari antara (1) Ofloxacin 400 mg, (2) minosiklin 100 mg, dan (3)
claritromisin 500 mg
2. 18 bulan berikutnya : setiap hari konsumsi 50 mg Clofazimin, ditambah dengan
100 mg minosiklin ATAU ofloksasin 400 mg. apabil tersedia, ofloxacin dapat
diganti dengan moksifloksasin 400 mg.
3. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi klofazimin (efek samping)
Dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau
moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti regimen
MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg + ofloksasin 400 mg +
minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan.
4. Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDS
Pada regimen pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen pengobatan
PB, klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS, dengan dosis yang sama
dengan dosis pada regimen pengobatan MB.
h. Relaps
Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan BI sebelum pengobatan sebesar >3.
WHO menyarankan agar pasien dengan BI yang tinggi dapat diterapi lebih dari 12 bulan,
dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan bakteriologisnya. Beberapa studi
menyebutkan bahwa mengulang regimen secara total dapat menyembuhkan kasus relaps
tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan
dengan relaps resisten.
19
i. Pengobatan Reaksi kusta1,9
1. Reaksi tipe 1 (reversal)
Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat
Tabel 1. Dosis prednisone harian menurut minggu pemberian1
Minggu pemberian Dosis prednisone harian yang dianjurkan
1-2 40 mg
3-4 30 mg
5-6 20 mg
7-8 15 mg
9-10 10 mg
11-12 5 mg
Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Anggota
gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif juga dapat
diberikan.
2. Reaksi tipe 2 (ENL)
Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama
pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi 1
mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedatif.
Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan klofazimin
dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12 minggu, dengan
tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100 mg selama 12-24
minggu. Perlu diperhatikan bahwa untuk membaik diperlukan 4-6 minggu untuk
klofazimin mengontrol ENL.
j. Kecacatan1,9
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai
risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan reaksi kusta terutama reversal
juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi. Kerusakan saraf berbentuk nyeri saraf,
20
hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Terdapat keluhan sehari-hari
seperti susah memasang kancing baju, memergang pulpen, atau mengambil benda kecil,
atau kesulitan berjalan.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini, mengenali
reaksi kusta, identifikasi pasien dengan risiko tinggi.
Tabel 2. Derajat kecacatan1
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, kerusakan dan deformitas
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas TANPA kerusakan atau deformitas
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada kelainan/kerusakan
Tingkat 1 Ada kelainan/kerusakan pada mata yang tidak terlihat, visus
sedikit berkurang
Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea keruh)
dan/atau visus sangat terganggu
Pada pasien tingkat 1 dapat dilakukan langkah pencegahan seperti penggunaan
sepatu, karena pada pasien dengan baal di kaki dapat menyebabkan luka-luka yang dapat
menyebabkan infeksi sekunder pada kaki. Alat pelindung diri lain yang dapat digunakan
juga adalah sarung tangan untuk tangan, dan kacamata untuk melindungi mata. Selain
itu, kebersihan dan kelembaban kulit telapak tangan dan kaki juga harus dijaga untuk
mencegah penyakit kulit yang dapat terjadi.
21
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
PEMBAHASAN
a. Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, keluhan utama pasien adalah bercak kemerahan dan baal
pada perut dan punggung yang semakin meluas sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Bercak kemerahan yang berada di perut dan punggung, dapat memiliki berbagai macam
diagnosis banding, contohnya adalah tinea korporis, kandidosis, erisipelas, pitiriasis rosea,
utrikaria dan Morbus Hansen (MH).
Berdasarkan lesi yang terlihat pada badan dan tubuh pasien, didapatkan efloresensi
berupa:
“Pada regio dada dan abdomen, terdapat plak hipopigmentasi dan eritematosa pada tepinya,
multipel, berukuran numular, bentuk bulat dan oval, berbatas sirkumskrip, dan
persebarannya diskret.”
“Pada regio punggung kiri, terdapat plak hipopigmentasi dengan pinggiran eritematosa,
multipel, berukuran lentikular dan numular, bentuk bulat dan oval, berbatas sirkumskrip, dan
persebarannya diskret.”
Maka dapat disingkirkan beberapa diagnosis yaitu:
1. Kandidosis, pada kandidosis, lesi yang didapatkan adalah plak eritematosa berbatas
tegas, bersisik basah yang dikelilingi lesi satelit berupa vesikel dan pustul dengan
tempat predileksi di lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara
jari tangan, atau kaki, glans penis, dan umbilikus.1 Pada pasien, lesi berada di
punggung, perut dan dada, dan juga tidak didapatkan lesi satelit.
2. Erisipelas, merupakan penyakit infeksi akut, dengan lesi merah cerah berbatas tegas,
dan pinggir-pinggirnya meninggi dengan tanda-tanda radang akut.1 Pada lesi yang
terdapat pada tubuh pasien tidak didapatkan tanda-tanda radang akut yaitu panas,
ataupun nyeri dan pada pasien terdapat lesi hipopigmentasi yang tidak didapatkan
pada erisipelas.
3. Pitiriasis rosea, merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,
dimulai dengan sebulah lesi inisal (herald patch) berbatuk eritema dan skuama halus,
yang kemudian disusul oleh lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas yang
membentuk lesi sejajar dengan kostae, hingga membentuk pohon cemara terbalik.1
Pada pasien ini tidak didapatkan bentuk lesi tersebut.
22
Berdasarkan riwayat penyakit pasien, didapatkan keluhan-keluhan lain berupa; lesi
awal hipopigmentasi, gatal dan baal. Berdasarkan keluhan-keluhan tersebut, terdapat keluhan
yang menjurus menuju penyakit MH, yaitu baal yang merupakan defisit neurologis.
Berdasarkan anamnesis lanjutan, tidak didapatkan tanda-tanda lain keterlibatan neurologis
yang lain seperti kelemahan pada lengan, tangan, tungkai, maupun kakinya. Akan tetapi
diagnosis MH belum dapat disingkirkan.
Diagnosis selanjutnya yang belum dapat disingkirkan adalah tinea korporis. Tinea
korporis merupakan penyakit dermatofitosis yang menyerang jaringan dengan jaringan tanduk
seperti kulit, rambut, dan kuku. Penyakit ini disebabkan oleh Microsporum, Tricophyton, dan
epidermophyton, yang dapat bersifat zoophilic, antrophilic, dan geophilic. Pada badan disebut
tinea korporis dengan gejala klinis berupa lesi eritematosa, dapat terdapat hiperpigmentasi
juga dengan tepi lesi yang lebih aktif berupa tanda peradangan (lebih eritema, atau dengan
vesikel dan papul) dan terdapatnya skuama, dengan faktor predisposisi berupa kulit yang
lembab, sering berkeringat, dengan hygiene yang kurang.1 Pada pasien, didapatkan faktor
predisposisi berupa seringnya berkeringat, karena aktifitas yang dilakukan pasien (bermain
sepak bola) dan penampakan kulit yang cenderung lembab. Sedangkan faktor lain seperti
resiko penularan dari orang lain (antrophilic), binatang (zoophilic) dan tanah (geophilic) tidak
ditemukan. Sehingga diagnosis tinea korporis belum dapat disingkirkan ataupun ditegakkan.
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan neurologis yang mendukung untuk
gejala klinis morbus hansen yaitu pemeriksaan pembesaran saraf-saraf perifer, kekuatan
motorik dan pemeriksaan sensorik. Dari hasil yang didapatkan, tidak terdapat adanya
pembesaran saraf-saraf perifer, dan kelemahan kekuaran motorik pada pasien, akan tetapi
terdapat hipestesia pada lesi di punggung dan perut yang dilakuan dengan pemeriksaan
rangsang raba dan nyeri. Penemuan klinis ini mengarah pada diagnosis morbus hansen.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, maka didapatkan bahwa diagnosis
kerja untuk pasien ini adalah morbus hansen dengan diagnosis banding tinea korporis yang
belum dapat disingkirkan. Pemeriksaan penunjang lain yang arus dilakukan adalah
pemeriksaan slit skin smear untuk memastikan diagnosis kerja morbus hansen dan
pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH untuk dapat memastikan atau menyingkirkan
diagnosis banding Tinea korporis.
Pada MH, didapatkan klasifikasi Ridley-Joping, dan World Heatlh Organization
(WHO). Menurut klasifikasi Ridley-Joping,1,10 pada pasien terdapat ciri lesi mengarah ke
lepromatosa dengan lesi polimorfik, berupa plak hipopigmentasi yang dikelilingi eritematosa,
dengan jumlah lesi kurang lebih dari 5, dengan penampakan yang terlihat sedikit madidans.
Akan tetapi terdapat juga lesi yang mengarah kearah tuberkoloid berupa lesi dengan distribus
23
asimetris, batas jelasm dan anestesi yang jelas. Sehingga pada pasien klasifikasi Ridley-
Joping menurut penampakan lesi berada pada klasifikasi borderline. Sedangkan menurut
Klasifikasi WHO,1,10 dari penampakannya, pasien lebih mengarah pada pausibasiler, akan
tetapi untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987, telah terjadi perubahan bahwa yang
dimaksud MH-MB adalah semua lesi MH dengan uji Basil Tahan Asam (BTA) positif.
Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan BTA terlebih dahulu untuk dapat menentukan
diagnosis ini.
Pemeriksaan yang telah dilakukan adalah pemeriksaan slit skin smear dengan hasil
yaitu Indeks Bakteri (IB) pada pasien adalah 11/5 dengan Indeks Morfologi (IM) 1%. Dengan
adanya pemeriksaan ini, maka diagnosis MH dapat ditegakkan dengan klasifikasi Borderline
Lepromatous.
Pemeriksaan lainnya, yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan kerokan kulit KOH
untuk dapat menyingkirkan diagnosis banding tinea korporis.
b. Terapi
Terapi, pada pasien ini untuk terapi nonmedikamentosa adalah dengan mengedukasi
pasien mengenai penyakit dan rencana pengobatannya yang relatif memakan waktu lama dan
memerlukan kerjasama dari pasien untuk teratur minum obat dan kontrol setiap bulannya.
Selain itu pasien juga harus menjaga hygiene dan ketahanan tubuhnya karena manifestasi dari
MH sangat tergantung dari sistem imun tubuh. Pasien juga harus mencegah penularan kepada
orang sekitar. Tanggap akan keadaan lesi yang terdapat pada tubuh merupakan salah satu cara
untuk mencegah kecacatan karena akibat sensibilitas yang hilang pasien kehilangan rasa nyeri
ketika ada luka ataupun kotoran. Pasien harus tanggap tentang efek samping obat dari ringan
hingga berat dan segera kembali ke dokter tempat ia kontrol agar segera dapat ditangani,
begitu juga dengan reaksi kusta baik reaksi tipe 1 maupun tipe 2.
Menurut program WHO yaitu dilakukan dengan pengobatan MH-MB dengan
menggunakan blister, yaitu, hari pertama dengan dapson 100 mg, rifampisin 600 mg, dan
klofazimin 300 mg. Untuk obat pada hari pertama ini, pasien harus meminum obat langsung
didepan petugas kesehatannya. Sedangkan pada hari lainnya, diberikan klofazimin 50 mg, dan
dapson 100 mg, setiap hari dari hari ke-2 hingga hari ke 28, diminum sekali sehari pada
waktu dan jam yang sama. Pasien harus datang untuk mengambil obat baru setiap hari ke-29
dan mendapatkan paket blister yang sama. Pengobatan ini harus terus diulang hingga 12 bulan
minimal dan maksimal 18 bulan.
Setiap hari pertama untuk tiap bulannya, pasien terus dilakukan pemeriksaan
neurologis ulang, disamping itu juga dilakukan pemeriksaan mata, pemeriksaan efek samping
obat dan resistensi obat serta pemeriksaan reaksi kusta. Selain itu dilakukan pemeriksaan
24
bakterioskopis setiap 3 bulan sampai selesai pengobatan dengan memperhatikan indeks
bakteri dan indeks morfologis untuk mengetahui kemungkinan resistensi. Setelah selesai dari
pengobatan dilanjutkan masa Release From Treatment (RFT) selama 5 tahun dengan
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan pengobatan setiap tahun. Sebagai dokter umum juga
harus sigap jika menemukan indikasi rujukan yaitu:10
1. Memastikan diagnosis kusta
2. Neuritis aku dan subakut
3. Reaksi kusta yang berat
4. Ulkus kusta
5. Komplikasi pada mata
6. Reaksi terhadap MDT
7. Tersangka resistensi DDS
8. Pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah rekonstruksi
9. Pasien kusta dengan kondisi umum jelek atau dengan keadaan darurat lainnya
10. Pasien kusta yang memerlukan terapi okupasi
11. Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi
12. Luka besar dan dalam (ulkus/neuropati pada anggota gerak)
13. Pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah septic karena soteomielitis, sinus
yang dalam, fistel dan sebagainya
14. Pasien yang memerlukan protese
15. Pasien yang memerlukan rehabilitasi kerja
16. Indikasi sosial
17. Pasien yang memerlukan klofazimin atau talidomid untuk mengobati reaksi tipe II
berat.
KESIMPULAN
25
Pada pria berumur 18 tahun dengan lesi pada punggung, dada dan perut, sesuai
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat diagnosis sebagai
Morbus Hansen tipe Borderline Lepromatosa. Pasien mendapatkan terapi non-medikamentosa
dan medikamentosa berupa MDT-MB.
26
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Edisi 6.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2010. hal. 73-83
2. Anonim. Louisiana Office of Public Health - Infectious Disease Control Manual :
Hansen’s Disease (Leprosy). Revised :2004. Available from:
http://dhh.louisiana.gov/assets/oph/Center-PHCH/Center-CH/infectious-epi/
EpiManual/LeprosyManual.pdf
3. Montoya D, Moddlin RL. Advance in Immunology (Vol. 105, 2010, 1-24). Learning
from Leprosy : Insight into the Hunam Innate Immune Response. Los Angeles:
Elsevier; 2010. Available from :
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0065277610050017
4. Legendre DP, Muzny CA, et al. Hansen’s Disease (Leprosy). Medscape reference:
2012;32(1):27-37. Available from : http://www.medscape.com/viewarticle/757133_4
5. Misch E A et al. Journal American Society for Microbiology (ASM) : Microbiol.
Mol. Biol. Rev. 2010;74:589-620. Available from :
http://mmbr.asm.org/content/74/4/589/F1.expansion.html
6. WHO Seventh Expert Committee. Leprosy elimination. [Available from :
http://www.who.int/lep/resources/expert/en/index2.html ] cited on May 4, 2013 at
5:00 pm.
7. McDougall AC, Yuasa Y. Atlas Kusta. [Avaliable from :
http://www.smhf.or.jp/data01/atlas_indonesia.pdf] cited on May 4, 2013 at 5:00 pm.
8. RSCM. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :
RSCM, 2007. Halaman 147.
9. WHO Expert Committee on Leprosy. Eigth Report. [Available from :
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75151/1/WHO_TRS_968_eng.pdf] cited on
May 4, 2013 at 5:00 pm.
10. Daili EMSS, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Kusta. Edisi 2. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2003.
27