makalah pendidikan kewarganegaraan

26
MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DEMOKRATISASI PADA BIDANG TEKNIK ELEKTRO ANALISA PENOLAKAN RENCANA PEMBANGUNAN PLTN DI JEPARA Disusun Oleh : Charisma Lingga Pradipika 21060112130076 Kelas B

Upload: tugassuper

Post on 08-Nov-2015

221 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jos

TRANSCRIPT

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAANDEMOKRATISASI PADA BIDANG TEKNIK ELEKTROANALISA PENOLAKAN RENCANA PEMBANGUNAN PLTN DI JEPARA

Disusun Oleh :Charisma Lingga Pradipika21060112130076Kelas B

Fakultas Teknik Jurusan ElektroUniversitas DiponegoroTahun Pembelajaran 2012/2013BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis energi di Indonesia ditandai dengan menipisnya cadangan energi fosil yang tidak dapat diperbaharui. Produksi bahan bakar primer di Indonesia naik dari tahun ke tahun, terutama digunakan untuk mencukupi kebutuhan energi listrik baik untuk kegiatan rumah tangga maupun industri. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa cadangan energi akan habis dalam waktu dekat jika tidak segera dilakukan upaya pemakaian energi alternatif. Berdasarkan kondisi tersebut maka pemerintah Indonesia berinisiatif untuk membangun PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) karena pembangkit listrik yang sudah ada kurang mencukupi kebutuhan energi listrik di Indonesia. Gagasan pembangunan PLTN sudah ada sejak tahun 1977. Studi tapak pernah dilakukan pemerintah Indonesia bekerjasama dengan pihak Italia dan diperoleh letak PLTN pertama yang memenuhi syarat teknis di Indonesia berada di daerah Semenanjung Muria (Jepara). Kemudian studi tapak kedua dilakukan pada tahun 1984 bekerjasama dengan pihak Jepang dan diperoleh hasil yang sama yaitu di Semenanjung Muria (Jepara). Hingga saat ini gagasan tersebut belum berhasil dilaksanakan karena belum ada persetujuan dari semua pihak di dalam negeri terutama dari sebagian kelompok masyarakat yang menolak kehadiran teknologi PLTN di Indonesia. Dari hasil studi dinyatakan bahwa pihak yang menolak kehadiran PLTN cenderung memiliki pertimbangan yang lebih besar terhadap aspek sosio kultural, politik, ekonomi, dan lingkungan dengan sedikit pertimbangan teknis. Sedangkan pihak yang menerima PLTN sebagian besar pertimbangannya berdasarkan sisi teknis dan implementasi pembangunan semata serta dianggap kurang mengakomodasi pertimbangan sosial, kultural, ekonomi dan politik.

1.2 TujuanTujuan yang akan dicapai dalam makalah ini adalah menganalisa permasalahan tentang penolakan proyek PLTN di Desa Balong,Gunung Muria, Jepara sesuai dengan data dan fakta yang ada untuk ditemukan satu solusi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

1.3Batasan MasalahBatasan masalah dalam makalah ini adalah Permasalahan mengenai Proyek PLTN di Desa Balong, Gunung Muria , Jepara yang ditolak oleh warga Desa Balong karena dianggap membahayakan.

1.4 MetodologiData yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penulisan orang-orang yang telah melakukan penelitian terlebih dahulu. Dalam menganalisis terkait di aspek konsumsinya, maka variabel yang diambil adalah bagaimana tingkat konsumsi listrik masyarakat, efisiensi pengelolaan energi dan biaya dalam pembangunan PLTN.

BAB IIPERMASALAHAN

2.1Secara Garis BesarTrauma nuklir yang menghinggapi masyarakat berawal dari kenyataan bahwa pemanfaatan energi nuklir adalah untuk keperluan perang. Penggunaan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki Jepang pada Agustus 1945 untuk mengakhiri Perang Dunia II, membentuk persepsi masyarakat tentang pemanfaatan nuklir yang destruktif dan tidak manusiawi. ISU tentang pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) kembali menghangat. Sebagaimana diberitakan Suara Merdeka dan Kompas (8/12-2006), Pemerintah melalui Kementerian Negara Riset dan Teknologi tetap akan merealisasi rencana pembangunan (PLTN) meskipun masih muncul pro dan kontra di kalangan masyarakat. Isu yang memicu masyarakat untuk menolak kehadiran PLTN adalah tentang limbah radioaktif. Dalam operasinya, PLTN akan menghasilkan limbah radioaktif yang termasuk dalam kategori limbah khusus berbahaya. Sebagaimana dikemukakan Sasongko (2006), penumpukan bahan radioaktif hasil belahan dan bahan-bahan radioaktif pada sistem pendingin berpotensi tersebar keluar jika terjadi kebocoran/ kecelakaan reaktor. Radiasi yang berasal dari bahan radioaktif dapat menimbulkan kontaminasi terhadap manusia dan biosfernya. Prosedur dan standar keselamatan PLTN yang dilakukan di beberapa negara untuk mengelola potensi bahaya PLTN selama ini memang ditujukan untuk memberikan perlindungan lingkungan. Namun demikian, terjadinya kasus-kasus kebocoran dan kecelakaan PLTN mengundang pertanyaan sekelompok masyarakat yang kritis dan skeptis tentang efektivitas prosedur dan keselamatan tersebut.Keputusan itu mengundang kekhawatiran berbagai kelompok masyarakat di Jepara serta Kudus dan sekitarnya, khususnya yang bergabung dalam Masyarakat Rekso Bumi (Marem).Rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jepara, memiliki sejarah yang panjang. Pada 1982, rencana itu telah dirintis oleh Badan Tenaga Atom Nasiona l(BATAN) dengan mengkaji rencana tapak dan menghimpun pandangan masyarakat tentang PLTN. Pro dan kontra juga telah menyeruak ke permukaan. Gus Dur waktu itu mengancam akan tidur di sekitar proyek kalau sampai PLTN itu terhenti ketika Menristek Habibie menyatakan bahwa PLTN baru akan dibangun jika alternatif lain sudah tidak ada.Namun demikian, selama beberapa tahun terakhir ini, gagasan merealisasi pembangunan PLTN itu mencuat kembali. BATAN aktif menggandeng dua pusat penelitian dari sebuah perguruan tinggi untuk menginventariasi kondisi sosial ekonomi dan pandangan masyarakat terhadap proyek tersebut. Hasil penelitian yang dipresentasikan pada seminar di Jepara Juli 2006 mengundang banyak pertanyaan, karena simpulannya menyebutkan bahwa responden yang menyatakan setuju jumlahnya lebih besar ketimbang yang menentang. Kendatipun misalnya hasil penelitian itu valid, pemprakarsa proyek tetap harus memperhatikan kelompok yang kontra, karena mereka merupakan bagian dari stakeholder. Lebih dari itu, keberlanjutan sebuah proyek sangat bergantung kepada tingkat penerimaan masyarakat (social acceptance). Tulisan berikut menelaah mengapa masyarakat menolak PLTN.

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1Gambaran Umum

Di Indonesia, ide pertama untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN sudah dimulai pada tahun 1956 dalam bentuk pernyataan dalam seminar-seminar yang diselenggarakan di beberapa universitas di Bandung dan Yogyakarta. Meskipun demikian ide yang sudah mengkristal baru muncul pada tahun 1972 bersamaan dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL). Kemudian berlanjut dengan diselenggarakannya sebuah seminar di Karangkates, Jawa Timur pada tahun 1975 oleh BATAN dan Departemen PUTL, dimana salah satu hasilnya suatu keputusan bahwa PLTN akan dikembangkan di Indonesia. Pada saat itu juga sudah diusulkan 14 tempat yang memungkinkan di Pulau Jawa untuk digunakan sebagai lokasi PLTN, dan kemudian hanya 5 tempat yang dinyatakan sebagai lokasi yang potensial untuk pembangunan PLTN.Empat belas lokasi yang diteliti BATAN bekerjasama dengan NIRA dari Italia adalah 11 lokasi di Pantai Utara Jawa dan 3 lokasi di pantai Selatan. Sebagian daerah pantai Utara adalah Pasuruan, Bondowoso, Lasem, Semenanjung Muria dan Tanjung Pujut di Jawa Barat. Sedangkan di bagian Selatan adalah Ujung Genteng, Pangandaran dan Malang Selatan. Pada tahun 1975, dihasilkan beberapa rekomendasi daerah pilihan yaitu 5 daerah di antara 14 daerah potensial di Jawa. Kemudian, Semenanjung Muria merupakan satu-satunya yang dianggap paling layak untuk calon tapak dibanding kawasan lainnya.Mengingat situasi penyediaan energi konvensional termasuk listrik nasional di masa mendatang semakin tidak seimbang dengan kebutuhannya, maka opsi nuklir dalam perencanaan sistem energi nasional jangka panjang merupakan suatu solusi yang diharapkan dapat mengurangi tekanan dalam masalah penyediaan energi khususnya listrik di Indonesia. Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan tersebut di atas maka diharapkan pernyataan dari semua pihak yang terkait dengan pembangunan energi nasional bahwa penggunaan energi nuklir di Indonesia sudah diperlukan, dan untuk itu perlu dimulai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sekitar tahun 2010, sehingga sudah dapat dioperasikan secara komersial pada sekitar tahun 2016.Beberapa peraturan perundangan yang mendasari persiapan pembangunan PLTN adalah sebagai berikut:a. Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, nuklir termasuk dalam Energi Baru dan Terbarukan (EBT), khususnya pada kelompok lain-lain dan akan berkontribusi sebesar 2% dari energi primer atau ekivalen dengan 4% energi listrik nasional. PLTN I dan II diharapkan beroperasi pada tahun 2016 dan 2017. PLTN III dan IV beroperasi pada tahun 2023 dan 2024.b. Undang-undang No 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 Bab IV.2.3. (2015-2019) .Mulai dimanfaatkannya tenaga nuklir untuk pembangkit listrik dengan mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat,c. Inpres No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010 yang antara lain memuat sosialisasi pengembangan energi nuklir untuk mencapai pemahaman masyarakat yang utuh.d. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 antara lain prioritas nasional dibidang energi alternatif: peningkatan pemanfaatan energi terbarukan termasuk energi alternatif geothermal sehingga mencapai 2.000 MW pada 2012 dan 5.000 MW pada 2014 dan dimulainya produksi coal bed methane untuk membangkitkan listrik pada 2011 disertai pemanfaatan potensi tenaga surya, microhydro, serta nuklir secara bertahap.

3.1.1Kelebihan PLTNDari sisi ekonomi, PLTN jauh lebih efisien dibandingkan dengan sumber energi lainnya. Data Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) menyebutkan konsumsi bahan bakar pembangkit 1000 MW pertahun (faktor kapasitas 75%) PLTN hanya menyerap 33 ton uranium. Sedangkan, BBM harus menyuplai sekitar 10 juta barel minyak (setara 1.310 kton minyak). PTLU berbahan bakar batubara dibutuhkan sekitar 2,1 juta ton, PLTU dengan menggunakan gas sekitar 64 miliar kaki kubik (setara 970 kton gas alam), dan PLT Surya membutuhkan area sekitar 25.000 hektar. Demikian pula, proyeksi biaya produksi energi listrik di beberapa negara yang dicatat (OECD/IEA) pada 2010, kecuali Jepang dan Amerika Serikat, yang bersumber pada energi nuklir jauh lebih rendah dibanding biaya produksi bersumber batubara dan gas. Hanya Jepang, yang memprediksikan biaya produksi untuk nuklir sekitar 4,80 sedangkan batubara 4,95. Sementara Amerika Serikat memprediksikan biaya produksi bersumber nuklir sekitar 3,01, dan batubara hanya mencapai 2,71 (US cents/kWH) .Biaya listrik dari PLTN yang memasukkan biaya-biaya penambangan, pembangunan, operasi kerja mencapai 60 th (PLTU=25-30th dan PLTG=20th), sampai biaya2 penanganan limbah dan. Total biaya yang dijumlahkan dibagi dengan energi listrik yang dihasilkan, diperoleh 3-5 sen/KWH (PLTU=7-10 sen/KWH, PLTG=4-6 sen/KWH). Biaya pembangunan PLTN ($1700/KWH) dikompensasi oleh energi listrik yang dihasilkannya dalam kurun waktu yang lama. Berikut gambar perbandingan harga energi PLTN dengan energi dari pembangkit lainnya.

3.1.2Kekurangan PLTN1. Tidak dapat dijamin keamanannya kasus Three Miles Island (AS, 1976) dan Chernobyl (Rusia, 1986);2. Limbah nuklir baru aman setelah disimpan 10000 tahun;3. Perlu diperhatikan angka kematian / kesakitan yang tidak segera terjadi karena penyinaran radioaktif misalnya dari kecelakaan Chernobyl;4. Laporan kenaikan leukimia anak di sekitar PLTN Sellafield, Inggris;5. Perlu dibandingkan dengan kematian karena pembangkitan listrik dengan angin, surya, mini-mikrohidro, dan bahan bakar hayati (BBH) yang dikenal sangat aman;6. Pencemaran udara;7. PLTN menggunakan uranium yang non renewable (tak terbarukan) yang pada suatu saat akan habis, sehingga PLTN bukanlah sumber energi berkelanjutan;8. Emisi CO2 lebih rendah, apabila: menggunakan bahan tambang berkualitas tinggi yang berkadar uranium 1% atau lebih (misal batuan tambang lunak atau soft ore batas emisinya 0,0015%); namun bila makin rendah kualitas batuan tambang yang digunakan (misal granit -batas emisi lebih tinggi), akan semakin tinggi emisi CO2. Oxford Research Group dalam laporannya kepada British House of Commons pada tahun 2005 menyatakan bahwa: emisi CO2 PLTN bervariasi antara 20% 120% dari PLTU gas, tergantung pada kualitas batuan tambangnya. Sebagian besar batuan tambang uranium yang diketahui, mempunyai kualitas rendah. Dengan adanya permintaan untuk bahan bakar nuklir yang juga naik, pada akhirnya batuan tambang berkualitas rendah juga akan ditambang (sehingga emisi CO2nya lebih tinggi daripada konvensional). Jadi, tidak ada jaminan akan mengurangi emisi CO2.

3.2 Pro dan Kontra Pembangunan PLTN di Semenanjung MuriaMenanggapi rencana pembangunan PLTN, terdapat dua kelompok yang berbeda yaitu satu pihak setuju atau pro dan pihak menolak atau kontra. Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Dr. Soedyartomo Soentono mengatakan, nuklir adalah energi masa depan. Sebagai misal, satu atom nuklir akan menghasilkan 200 juta elektron volt. Sementara, dalam setiap molekul batu bara hanya menghasilkan 23 elektron volt. Ada perbedaan hingga 100 juta kali lipat. Sebagai bukti efisiensi itu, saat ini di dunia telah beroperasi kurang lebih 438 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), dan 31 lagi dalam masa konstruksi. Dari sejumlah PLTN tersebut, daya listrik yang dihasilkan dapat menyumbang sekitar 18 % produksi listrik dunia, bahkan di 13 negara antara 30-80 % listriknya diproduksi dari PLTN. Dan, di antara negara-negara yang mengoperasikan reaktor untuk PLTN, Amerika adalah negara yang mengoperasikan PLTN paling banyak, yaitu sekitar 104 unit (per tahun 2001). Dari sejumlah reaktor tersebut mampu menyumbang 19,83 % listrik yang dibutuhkan Amerika. Negara yang memanfaatkan listrik dari tenaga nuklir paling besar adalah Perancis. Perancis memenuhi kebutuhan listriknya sebesar 76,4 % dari PLTN. Di antara negara dunia yang secara kontroversial melaksanakan kebijakan mengoperasikan PLTN adalah Jepang. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1945 negara ini adalah satu-satunya negara yang mengalami musibah ledakan bom atom yang dijatuhkan Sekutu pada Perang Dunia II. Namun dalam perkembangan selanjutnya, Jepang justru menjadi negara yang paling gigih dalam memanfaatkan reaktor untuk daya listrik. Bahkan boleh dikatakan tekonologi reaktornya paling maju dan aman (Utami, 2006). Sastrawijaya (2009) menyatakan bahwa nuklir dapat membantu secara berkelanjutan kebutuhan energi. PLTN juga dinilai secara kompetitif terhadap PLTBatubara maupun PLTGas. Selain ramah lingkungan, PLTN juga mengurangi laju pemanasan global, efek rumah kaca dan lain-lainnya. Ketakutan di Indonesia disebabkab mimpi buruk akibat bom atom Hiroshima dan Nagasaki, juga tragedi Chernobyl tahun 1986. Padahal probabilitas katastrofi akibat nuklir ini sangat rendah, yang lebih parah adalah ketidakpercayaan terhadap kemampuan para insinyur Indonesia sendiri. Tidak demikian halnya dengan rakyat Vietnam dan Thailand yang percaya penuh kepada para ahlinya sendiri. PLTN di Vietnam akan selesai pada tahun 2020. Selanjutnya Sastrawijaya menyarankan agar sosialisasi yang baik dan menyeluruh akan menyadarkan masyarakat yang anti nuklir.Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara, Jawa Tengah pada bulan September 2007 mengeluarkan fatwa haram atas rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Zaini (2007) mengemukakan bahwa fatwa haram tersebut harus dipahami yaitu fatwa dikeluarkan setelah mereka mempertimbangkan manfaat dan mudarat proyek PTLN Muria. Menurut kajian dan analisis mereka, manfaat yang akan diperoleh proyek itu lebih kecil daripada bahaya atau mudarat yang akan diperoleh.Pengamat nuklir dari Universitas Indonesia (UI) Iwan Kurniawan menilai Indonesia tidak akan mampu menjadikan PLTN sebagai sumber listrik alternatif. Sebab, Indonesia tidak memiliki dan menguasai teknologi pengayaan uranium untuk dijadikan sumber energi pengganti listrik. Indonesia memang memiliki cadangan uranium di Kalimantan, tapi tidak bisa dipakai karena butuh proses. Proses ini sangat bergantung pada teknologi impor dari negara maju, dan Indonesia tidak menguasai teknologi ini. Untuk itu, Indonesia sebaiknya memanfaatkan sumber daya energi alternatif lainnya yang berlimpah. Sumber daya itu di antaranya gas, batu bara, panas bumi, dan energi terbarukan. Bahkan limbah-limbah pertanian bisa dijadikan energi listrik. Apalagi, menurut perhitungannya, tidak ada PLTN yang biayanya murah. Negara-negara maju memang ada yang menggunakan PLTN sebagai sumber energi listrik, karena mereka tidak memiliki sumber energi alternatif (Kurniawan, 2007).3.3 Penyelesaian Pro dan Kontra Melalui Debat Publik Serta Perhatian Terhadap Aspek Sosial MasyarakatMenanggapi adanya perbedaan dua kelompok antara yang pro dan kontra, menimbulkan wacana tentang perlunya debat publik untuk mempertemukan antara pihak yang pro dan kontra. Wacana tentang debat publik awalnya digulirkan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS waktu itu, Ginandjar Kartasasmita pada pertengahan tahun 1995 dalam dengar pendapat dengan Komisi X DPR. Ginandjar menyatakan bahwa proyek pembangunan PLTN Jepara, Jawa Tengah sebaiknya segera diforumkan dalam debat publik. Pernyatan ini secara implisit menyiratkan bahwa PLTN Jepara memenuhi kriteria sebagai proyek pembangunan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pembahasan terbuka, menurutnya, akan meningkatkan kualitas kebijaksanaan dan menjamin diperolehnya dukungan masyarakat. BAPPENAS memang telah memenuhi janjinya dengan menggelar dialog terbuka tentang peran dan fungsi perencanaan dalam era globalisasi pada akhir Agustus 1995. Namun demikian, forum ini masih terbatas dikalangan para pakar yang terseleksi. Jika debat publik PLTN dilaksanakan, ia tidak saja menjadi debat publik (umum) yang pertama tetapi juga membuka lembaran baru dalam khasanah perencanaan pembangunan di negeri kita. Proyek-proyek sekaliber PLTN, Jembatan Madura, Kawasan Industri Madura, reklamasi Teluk Jakarta, PLTU (Pusat Listrik Tenaga Uap) Jepara, Terminal Terpadu Manggarai, Kereta Api Bawah Tanah (subway) seyogyanya juga masuk daftar yang harus diforumkan dalam debat (Hadi, 2001).Dalam hal debat publik, seharusnya kita belajar dari pemerintah Denmark yang melakukan debat publik dan memutuskan untuk menolak pendirian PLTN dinegaranya pada tahun 1985. Mereka memutuskan menempuh kebijakan efisiensi energi dan mencari energi yang terbarukan. Selain itu Denmark memberlakukan penggunaan pajak, maka energi dibuat relatif mahal dan mendorong orang untuk berhemat dalam kehidupan sehari-hari. Bensin premium di Denmark pada tahun 2008 sekitar 2,4 dolar per liter. Yang lebih penting dari itu, Denmark mempunyai pajak CO2 yang diberlakukan pada pertengahan 1990-an untuk mendorong efisiensi, bahkan walaupun negeri itu baru menemukan cadangan minyak di lepas pantai mereka. Dan Denmark yang sejak awal telah berkonsentrasi pada energi matahari dan angin, sekarang memasok 16% total kebutuhan energi dan sekarang merupakan pengekspor teknologi penghasil energi terbarukan seperti turbin angin (sepertiga dari total turbin angin terrestrial di dunia berasal dari Denmark). Selain itu Denmark memiliki industri paling inovatif dalam pembuatan enzim-enzim untuk mengubah biomassa menjadi bahan bakar. Pada tahun 1973 Denmark mengimpor 99% energi dari Timur Tengah, sekarang menjadi 0% (Friedman, 2009).Selanjutnya Hadi (2007) mengusulkan bahwa keberlanjutan sebuah proyek sangat bergantung kepada tingkat penerimaan masyarakat (social acceptance). Perlu dipahami bahwa polemik tentang PLTN berkaitan dengan reaktor dan keluaran limbah radioaktif yang termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Dengan dua isu utama itu dampak sosial yang muncul sebagai akibat pembangunan PLTN bukan hanya bersifat standar atau baku seperti terciptanya kesempatan kerja, kesempatan berusaha, timbulnya gangguan kenyamanan karena kemacetan lalu lintas, bising, getaran, debu, melainkan juga daampak yang bersifat spesifik seperti rasa cemas, khawatir dan takut yang besarnya tidak mudah dikuantifikasi. Dalam terminologi dampak sosial, dampak yang demikian itu disebut perceived impact atau dampak yang dipersepsikan.Berbeda dengan dampak standar yang bersifat tangible dan mudah diukur, dampak persepsi muncul karena adanya pandangan masyarakat terhadap proyek yang berhubungan dengan risiko yang mungkin timbul. Dalam konteks PLTN, persepsi itu terbentuk karena kekhawatiran masyarakat terhadap potensi kecelakaan, kebocoraan atau kesalahan operasi. Dampak dampak seperti itu kemudian bisa mewujud dalam bentuk rasa was-was, takut, dan cemas yang kemudian diekspresikan dalam sikap penolakan yang kadang disertai dengan tindakan kekerasan.Radiasi yang berasal dari bahan radioaktif dapat menimbulkan kontaminasi terhadap manusia dan biosfernya. Prosedur dan standar keselamatan PLTN yang dilakukan di beberapa negara untuk mengelola potensi bahaya PLTN selama ini memang ditujukan untuk memberikan perlindungan lingkungan. Namun demikian, terjadinya kasus-kasus kebocoran dan kecelakaan PLTN mengundang pertanyaan sekelompok masyarakat yang kritis dan skeptik tentang efektivitas prosedur dan keselamatan tersebut.Selama ini, pemrakarsa PLTN selalu memaparkan keandalan teknologinya yang menjamin keamanan dan keselamatan. Namun demikian, rasanya masih sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak akan memikul risiko. Dampak sosial yang sifatnya spesifik memang sulit dikuantifikasi. Keuntungan-keuntungan yang mungkin diraup oleh masyarakat luas oleh kehadiran proyek (dalam bentuk penyediaan energi dan kesempatan kerja), belum mampu menghilangkan kekhawatiran atau derita yang mungkin akan dialami oleh masyarakat disekitar proyek. Kelompok-kelompok masyarakat yang senantiasa dihinggapi kekhawatiran itu layak mendapat perhatian sepadan. Mengutip pandangan Finsterbusch (1989) dan Cernea (1991), dua pakar sosial dari Amerika Serikat, keputusan publik yang hanya mendasarkan pada hasil pembobotan akan menimbulkan ketidakadilan dan mengabaikan demokrasi serta kesederajatan.

4.3 Alternatif Pemecahan Masalah Pola perencanaan proyek pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara merupakan contoh perencanaan pembangunan yang sentralis yang menjadi ciri dari perencanaan sinoptik (kategori Hudson) dan tipe perencanaan analisis kebijakan (kategori Friedman). Kearifan lokal dan input masyarakat diabaikan sama sekali. Akibatnya adalah bahwa model perencanaan itu dalam implementasinya tidak sustainable (Hadi, 2010).Pemberian informasi kepada publik, baik sisi positif maupun sisi negatif dari adanya PLTN, termasuk jika dibandingkan dengan berbagai jenis pembangkit lainnya, sehingga rencana pembangunan PLTN mendapatkan tingkat penerimaan yang tinggi dari masyarakat. Sebab, basis dari penerimaan publik adalah seberapa jauh publik mendapatkan informasi yang akurat tentang berbagai aspek terkait dengan pengoperasian sebuah PLTN. Untuk itu perlu desain program sosialisasi PLTN dalam rangka penerimaan masyarakat (public acceptance), berupa program informasi dan edukasi serta program rekayasa sosial (social engineering) dan program pengembangan masyarakat (community development).Berkaitan dengan rencana pembangunan PLTN di Indonesia, dapat diberikan rekomendasi yaitu langkah dasar yang harus dilakukan pemerintah adalah pembatalan pembangunan PLTN di Semenanjung Muria karena mempertimbangkan kuatnya penolakan masyarakat lokal atas rencana tersebut, selanjutnya memperbaiki kebijakan nasional di bidang ketahanan energi nasional (termasuk mereview kontrak kerjasama eksplorasi minyak dan gas bumi) serta mengembangkan sumber energi yang terbarukan didalam negeri.

BAB IV PENUTUP

4.1Kesimpulan

Jelaslah, bisa ditarik benang merah bahwa sebenarnya dalam proses sekarang ini, yang terpenting adalah bagaimana forum dialog sikap pro-kontra pembangunan PLTN Muria dapat dilakukan pada batas-batas penilaian yang objektif dan rasional. Masing-masing pihak baik yang pro maupun kontra harus dapat memberikan solusi berdasarkan keobjektifan. Jika, nyata-nyata dengan pembangunan PLTN Muria akan memberikan dampak buruk dikemudian hari, maka sudah sepatutnya pemerintah mencari solusi lain untuk mendapatkan pasokan energi baru. Kontroversi PLTN tidak dapat hanya sekedar dianalisis secara fisika dan teknis, melainkan juga perlu dianalisis secara eko-sosio-kultural, psikologis. Di sini, pemerintah harus melakukan survey terlebih dahulu terhadap kehidupan sosiokultur dan psikologis masyarakat sekitar.Seharusnya pemerintah benar-benar melakukan kajian yang komprehensif terhadap rencana pembangunan PLTN tersebut, baik dari sisi teknis (keselamatan reaktor), aspek sosial budaya, kesehatan, politik, hankam termasuk kajian resiko terburuk apabila terjadi force major sebagai akibat bencana alam dan kegagalan reactor. Termasuk kajian apakah Indonesia nantinya akan mampu membuat suku cadang PLTN tersebut? Kalau tidak, berarti tingkat ketergantungan Indonesia nantinya akan menjadi sangat tinggi terhadap teknologi negara asing.Selanjutnya, diperlukan kajian analisis dampak yang bersifat komprehensif dan partisipatif dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Serta kajian-kajian dampak yang bersifat teknis. Apabila dalam kajian analisis dampak kemudian diketahui bahwa dari sisi lingkungan, PLTN tidak layak didirikan maka harus ada upaya untuk melakukan class action ke Mahkamah Konstitusi agar UU mengenai energi nuklir dapat dibatalkan. Dan yang lebih utama sebenarnya adalah terus mengupayakan alternative sumber energy terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan tidak membahayakan kehidupan manusia, seperti energy angin, energy matahari ataupun energi lainnya.4.2Saran

Pembangunan PLTN merupakan salah satu opsi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Memang, pembangunan PLTN di Indonesia beresiko tinggi. Oleh karena itu, sebelum keputusan diambil pemerintah perlu mempertimbangkan semua aspek secara komprehensif, bukan hanya aspek teknis tetapi juga aspek sosial ekonomi keamanan masyarakat, lingkungan strategis dan potensi ancaman teroris serta sabotase.Pembangunan PLTN sebagai salah satu opsi untuk memenuhi kebutuhan energi perlu dipertimbangkan, mengingat keperluan energi nasional terus meningkat, rencana pembangunan PLTN perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Pemerintah juga perlu mendapat masukan dan memperoleh data-data yang obyektif tentang semua aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum membangun PLTN. Sebagai persiapan membangun PLTN, pemerintah perlu menetapkan salah satu kementerian atau BUMN sebagai penanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

1. Otto Sumarwoto. Kontrofersi PLTN (dalam harian kompas 14 Juni 2007). www.kompas.com. 2. Kegiatan dan Hasil-hasil Penelitian BATAN. (Situs Web BATAN)3. http://filsufgaul.wordpress.com/2008/02/04/kontroversi-pembangunan-pltn-gunung-muria/4. http://regional.kompas.com/read/2010/04/06/23573091/Warga.Tidak.Percaya.PLTN.Pindah.dari.Jepara5. http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/03/29/litm3z-bapeten-sdm-indonesia-siap-operasikan-pltn6. http://www.tempo.co/read/news/2011/03/14/177319939/Alasan-Mereka-Menolak-PLTN-di-Jepara7. http://www.warintek.ristek.go.id/nuklir/info_nuklir/mengapa_menolak_pltn.html