makalah pembicara kuncisipeg.unj.ac.id/repository/upload/artikel/19._mediasi...teks dalam pengertian...

12
SEMINAR NASIONAL HISKI JAKARTA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 30 November 2018 di Universitas Negeri Jakarta MAKALAH PEMBICARA KUNCI MEDIASI 2018: SASTRA, TRADISI, DAN BUDAYA POP

Upload: others

Post on 01-Apr-2020

36 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SEMINAR NASIONAL HISKI JAKARTA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 30 November 2018 di Universitas Negeri Jakarta

MAKALAH PEMBICARA KUNCI MEDIASI 2018: SASTRA, TRADISI, DAN BUDAYA POP

TRADISI LISAN GAMBANG RANCAG SISTEM PEWARISAN PADA MASYARAKAT BETAWI

Siti Gomo Attas Fakultas Fakultas UniversitasNegeri Jakarta (UNJ)

Email: [email protected] HP: 08179139960/081214632506

Abstrak Tujuan penelitian ini untuk mengetahui struktur, fungsi dan sistem pewarisan tradisi lisan gambang rancag di masyarakat Betawi. Gambang rancag memiliki keunikan dalam proses pertunjukannya, yaitu cerita tokoh atau kejadian berbentuk pantun dan syair yang dituturkan di hadapan penonton dengan iringan musik gambang kromong. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah DKI Jakarta, yaitu, Jakarta Pusat di Taman Ismail Marzuki, BLK Jakarta Timur, dan Rumah perancag di gandaria pasar Rebo Jakarta Timur, dan. Pengumpulan data dengan observasi, yaitu merekam pementasan gambang rancag dan wawancara informan ambang rancag, yaitu Firman (38 tahun) dan Jafar (53 tahun). Analisis data dengan pendekatan interdisiplin, teori struktur dalam Puitika Melayu Abrams dan G.L. Koster, teori struktur teks dengan formula oleh Milman Pary-Lord, dan Fungsi oleh A. Teeuw. Hasil penelitian sebagai berikut. Pertama, struktur teks lisan meliputi (1) skema alur dilakukan dengan mengingat alur cerita menggunakan formula (2) tema cerita dengan mengingat ulangan kecil dalam cerita (3) skema lakuan tokoh, yaitu mengingat lakuan tokoh cerita. Kedua fungsi tradisi lisan gambang rancag, yaitu (1) fungsi afirmasi untuk menanamkan moral masyarakat, (2) fungsi negasi untuk menunjukan ada perlawanan norma baik dan buruk, dan (3) fungsi restorasi pengungkap kerinduan dan semangat. Ketiga, sistem pewarisan, meliputi: (1) pendidikan formal melalui pengajaran gambang rancag di sekolah, (2) lembaga informal, melalui pembelajaran di sanggar-sanggar dan Balai Latihan Kesenian (BLK) dan (3) melalui keluarga gambang rancag telah diajarkan pada keluarga Rojali pada tiga generasi.

Kata–kata kunci: Tradisi lisan, gambang rancag, struktur, fungsi, pewarisan, masyarakat Betawi Pendahuluan Tradisi lisan sebagai salah satu warisan budaya tak benda (WBTB) telah mengalami penurunan fungsi dan peran sebagai sarana pembentukan komunitas dan identitas bangsa. Dengan demikian keberadaan tradisi lisan juga menjadi terancam . Berbagai sebab internal seperti tidak adanya lagi penerus tradisi lisan dan sebab eksternal , misalnya berbagai kebijakan dalam bentuk Peraturan daerah (PERDA), menguatkanya peran media social dan globalisasimenjadi sebab mlai berkurangnya keberadaan tradisi lisan di tengah pemiliknya. Hilangnya tradisi lisan tersebut di atas juga diperparah dengan hilangnya dana tau rusaknya sumber-sumber penciptaannya, yaitu alam semesta, mantra, nyanyian tradisional , berbagai upacara dan cerita akan pupus sedikit demi sedikit bila habitat keberadaanya sudah tidak ada.

Hilangnya berbagai pohon, berkurangnyakeragaman, tumbuh-tumbuhan dan aneka satwa akan berpengaruh besar pula pada hilangnya berbagai cerita dan ungkapan mengenai hal tersebut. Keanekargaman tradisi sangat ditopang keberadaannya oleh keanekaragaman hayati, alam lingkungan dan komunitasnya. Dalam rangka mengatasi hal di atas, maka perlu mengangkat kembali batang terendam dalam istilah orang Melayu. Berbagai hal misalnya melakukan inventarisasi tardisi lisan yang ada di masyarakat, terutama masyarakat yang mengalami pembangunan kota yang luar biasa , mencerabut akar-akar tradisi yang sudah hidup puluhan tahun. Selanjutnya dari inventarisasi tersebut kita melakukan deskripsi terhadap tradisi lisan yang ada. Bentuk dari tradisi harus di rekam diawetkan dengan berbagai bentuk metode. Selanjutnya setelah struktur teks tradisi lisan di analisis juga harus melihat fungsinya apakah sudah mengalami perubahan. Selanjutny akan diketahui nilai kearifan local dari tradsisi ini , termasuk fungsi dan bagaimana merevitalisasi sebuah tradisi yang hampir sama.

METODE

Metode penelitian ini adalah etnografi. Pengumpulan data dimulai dengan observasi

dengan cara merekam pemetasan gambang rancag si Pitung di Taman Ismail Marzuki dan

melakukan wawancara dengan Informan Firman (38 tahun) dan Jafar (52 tahun). Selanjutnya

ditranskripsi dengan deskripsi, setelah itu data dikatagorikan, dan dianalisis struktur teks rancag

dengan pendekatan puitika Melayu oleh teori M.H. Abrams yang dimodifikasi oleh G.L.Koster,

Lord, dan Sweeney. Teori Struktur tradisi lisan dari teks ditandai melalui skema alur dengan

menandai tuturan perancag yang dimulai dari pembuakaan, isi, dan penutup rancag, skema tema

dengan mencatat tuturan yang sering berulang dikemukakan oleh perancag, dan skema lakuan

tokoh, yaitu dengan menandai bagaimana lakuan/karakter tokoh cerita diceritakan. Sementara

untuk analisis fungsi seperti yang dikemukan oleh Teeuw, melalui tiga bagian, (1) fungsi afirmasi

sebagai norma nilai pendidikan yang ada pada gambang rancag, (2) fungsi restorasi, yaitu teks

cerita sebagai pengungkap kerinduan dan semanagat yang coba dibangkitkan kemabali, dan (3)

fungsi negasi, yaitu untuk membalikan nilai baik dan buruk dalam cerita rancag. Sementara

untuk sistem pewarisan menurut Lord dan Vansina dengan cara memperhatikan model,

mencontoh model, dan mempertunjukan model dalam pertunjukan. Khusus dalam penelitian

system pewarisan Lord ini dapat dilakukan melalui (1) pendidikan formal, yaitu mewariskan

dengan cara meenjadikan materi ajar gambang rancag di sekolah, (2) informal, yaitu

mewariskan gambang rancag di sanggar-sanggar berupa pelatiahan gambang rancag dan (3)

pewarisan melalui keluarga, yaitu mengajak keluarga untuk belajar gambang rancag seperti yang

masih dilakukan oleh keluarga Rojali (83 tahun) sebagai pemilik Sanggar Puja yang masih bisa

memainkan gambang rancag di Jalan Gandaria Pasar Rebo Jakarta Timur dan telah berhasil

mewariskan gambang rancag dalam tiga generasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Teks dalam pengertian tradisi lisan gambang rancag tidak hanya terbatas pada lakon

atau cerita yang disampaikan oleh penutur. Struktur teks dapat melingkupi unsur penyampaian

bunyi suara dari pencerita, termasuk musik yang mengiringi penyampaiannya, gerak-geriknya,

dan peralatan. Semua unsur itu memberi unsur sumbangan kepada makna penyampaian sebagai

“gesamkunstwerk” atau hasil penggabungan beberapa bentuk seni dan bukan hasil kata saja.

Perancag atau pencipta tidak menghafal dalam menghasilkan teks lisan tanpa ada konsep atau

wujud tulisan untuk dibaca sebagai sebuah keahlian untuk menyiapkan bahan-bahan yang siap

dirajut dalam sebuah tuturan teks lisan. Teks lisan memiliki struktur, yaitu skema-skema atau

pola-pola yang sudah diakrabinya. Skema-skema dalam mengingat teks lisan meliputi skema

alur, tema dan karakter.

Untuk skema alur dalam gambang rancag si Pitung umumnya dimulai dengan musk

pengiring dibunyikan, yaitu lagu phobin, lagu sayur dan lagu rancag. Lagu phobin umumnya

dalah music intrumentalia, selain untuk memanggil dan menunggu penonton yang sedang

menuju tempat pertunjukan, juga diringi lagu sayur seperti lagu Siri Kuning. Umumnya dalam

membawakan lagu pembuka sebagai bentuk untuk memanggil penonton, biasanya disertai

dengan improvisasi dengan menambah nama tempat pertunjukan atau menyebut siapa yang

mengundang hajatan atau menanggap gambang rancag. Selanjutnya masuk pada acara inti yaitu

lagu rancag. Perancag harus mengoptimalkan ingatan pola alur yang sudah tetap, seperti yang

dilakukan oleh perancag Firman (2015) ketika menuturkan rancag Si Pitung, cerita rancag

diawali dengan membuka rancag dengan menuturkan bahwa rancag akan dibawakan , yaitu

rancag Abang Pitung: Kalau kue sumping kenapa dibilang makanan orang/Kue sumping makanan

orang bu pasang pelita terang-terang/emang……….emang……….emang/Pasang kuping enyak babeh,

malam ini yang terang-terang/Pasang kuping bareng kita biar terang/Saya mau cerita riwayat dulu/Pahlawan betawi nama bang Pitung (RSP, Firman (38 tahun) dan Jafar (53 Tahun), No 1).

Pola rancag si Pitung umumnya sudah tetap, perancag ketika membuka rancag harus

melakukan penghormatan dan informasi kepada penonton bahwa cerita yang akan dibawakan

adalah rancag Bang Pitung. Untuk bisa “ngerancag” seorang pencerita atau perancag harus bisa

mencipta kembali ceritanya ketika ceritah itu dipersembahkan, harus bisa “ngaleter”, yaitu

membuat pantun bebas Betawi secara improvisasi ketika sedang merancag di pentas, caranya apa

yang diingat mula-mula “kita tuturin” di belakang lalu dicari pasangan katanya.

Perancag menciptakan rancag-nya dimulai dengan mengingat cerita si Pitung yang

diawali dari mengingat alur cerita bahwa cerita dimulai dari informasi bahwa cerita yang

dibawakan yaitu rancag Bang Pitung, ngerampok di Wetan Marunde, di rumah Haji

Syamsuddin, ngondol barang, mas inten, batik semua dibawa Pitung, tongtong titir bunyi rame

sekali, tuan demang datang, bang Pitung uda lari, Pitung kena tangkep masuk buy mester, pitung

dijaga, Pitung lari dari bui, Dia kena tembak tiga lubang oleh Schout Hena, kuburan pitung

digadangin, orang pada pesta, cerita ditambah oleh perancag dengan nasehat kepada penonton

agar tidak coba-coba masuk bui, menderita,auh dari anak istri maka jangan tiru si Pitung cerita

sudah tamat

Lakon cerita di atas adalah skema alur yang harus diingat oleh pencerita, misalnya kata

dengar biar terang bahwa lakon yang akan dibawakan adalah abang Pitung. Kata terang dan

abang Pitung harus diingat dalam skema cerita selanjutnya si perancag meneruskan dengan

mencari padanan rima kata terang dan kata Pitung. Maka perancag langsung memulai isi

rancagnya dengan mengisi skema alur cerita dengan mencari pasangan kata untuk sampiran pada

pantun.

Selanjutnya cerita dilanjutkan oleh perancag kedua juga harus mengingat skema alur

cerita yang telah dituturkan oleh si perancag I bahwa informasi cerita harus diingat, ketrampilan

mengingat skema alur juga disertai dengan ketrampilan perancag II untuk mengingat formula apa

yang harus diulang sesuai dengan konsep pantun berkait bahwa apa yang dituturkan pada bait

perancag I harus diulang pada bait berikutnya oleh perancag II hal itu dapat terlihat dalam

tuturan rancag bahwa terjadi pengulangan teks pantun tujuannya untuk menyelaraskan irama

lagu yang diiringi musik.

Dalam skema alur pada umumnya cerita berakhir dengan bahagia (happy Endding),

namun dalam cerita si Pitung tokoh utama berakhir tragis sebuah nyawa tokoh utama mati

diujung senapan Scout Hena oleh tiga peluru emas. Ada unsur hero dan mitos dalam teks lisan

yang disampaikan oleh perancag ketika menuturkan rancag si Pitung.Penyusunan teks rancag

tidak hanya mengingat skema alur cerita si Pitung tapi perancag harus mengingat formula dari

konsep pantun, yaitu pengulangan sebagian atau seluruh kata, frase, atau klausa dari dari teks

sebelumnya. Ketrampilan ini terus diingat oleh perancag dalam menyusun tuturan teks yang

dinyanyikan dengan menggunakan ingatan skema alur dan bantuan formula untuk menyusun

system formulaik teks sehingga cerita teks dapat diselesaikan dengan baik.

Jadi dalam menghadirkan teks lisan rancag si Pitung tidak hanya mengingat skema alur

sebagai media yang dipakai oleh penutur rancag tetapi konsep pantun berkait atau syair yang

juga harus disesuaikan dengan musik pengiring agar iramanya sesuai. Selain itu dalam

menghadirkan teks rencag si Pitung pencerita atau perancag juga harus mampu membuat

inprovisasi yang dapat berguna dalam sebuah sastra lisan yang disampaikan. Humor yang

diciptakan perancag dalam teks rancag adalah ciri karakter orang Betawi, bahwa semua kesenian

ada bentuk humornya. Bentuk humor ini dalam teks lisan gambang rancag berulang

dipertunjukan baik verbal maupun nonverbal. Bentuk humor dalam skema alur juga dikaitkan

dengan gerak-gerik perancag dalam membawakan tari si perancag harus mengatur dan menjaga

hubungan dengan pasangan rancagnya termasuk dengan penonton serta menyesuaikan skema

alur dengan irama lagu rancag dan music yang mengiringi pertunjukan gambang rancag.

Fungsi Teks Tradisi Lisan Gambang Rancag

Fungsi Afirmasi

Fungsi afirmasi pada teks gambang rancag untuk menetapkan norma-norma sosial

budaya yang ada pada waktu tertentu. Pengertian fungsi tersebut dapat digambarkan dalam teks

pertunjukan gambang rancag, misalnya ketika perancag menuturkan lagu rancag si Pitung

mengenai nilai-nilai untuk menolong orang lemah, tanpak dalam teks rancag yang dinyanyikan

dalam pertunjukan gambang rancag, bahwa Pitung dijadikan pahlawan karena Pitung banyak

menolong orang susah. Dalam cerita legenda lain, pengungkapan rancag si Pitung yang lahir dari

cerita rakyat yang masih hidup di masyarakat Betawi, sejak kecil Pitung belajar mengaji di

langgar (mushala) di kampong Rawa belong, dia menurut istilah Betawi, ‘orang denger kate’.

Dia juga terang hati’, cakep menangkep pelajaran agama yang diberikan ustadnya, sampai

mampu membaca (tilawat) alquran. Selain belajar agama, dengan Haji Naipin, Pitung—seperti

warga Betawi lainnya, juga belajar ilmu silat. Haji Naipin, juga tarekat ahli maen pukulan.

Berdasarkan gambaran cerita tersebut sifat dan karakter si dapat dijadikan sebagai contoh

penanaman nilai norama yang harus ditanamkan pada generasi muda masyarakat Betawi, bahwa

selain belajar ilmu dunia juga harus belajar ilmu agama sebagai bekal dalam kehidupan yang

lebih baik di masa kan datang

Fungsi Negasi

Fungsi negasi pada teks gambang rancag untuk menunjukkan perlawanan atau

memberontak atau mengubah norma yang berlaku dalam teks rancag si Angkri bahwa tokoh

jagoan seharusnya merepresentasikan tokoh yang dapat memberi nilai-nilai norma yang baik,

namun istilah jagoan yang terdapat dalam teks rancag si Angkri bertolak belakang dari teks

rancag si Pitung. Pada teks rancag si Pitung Istilah jagoan yang dilekatkan pada tokohnya

mengacu pada tokoh pahlawan. Sedangkan istilah jagoan yang dilekatkan pada tokoh jagoan si

Conat adalah seorang tokoh yang melakukan kejahatan mulai ketika Angkri digambarkan

terbiasa melakukan kejahatan, mulai dari mencuri, termasuk bagian dari kelompok jagoan yang

sering melakukan pencurian di di daerah pasar ikan dan sekitarnya. Dari kedua teks tersebut ada

yang berfungsi sebagi negasi bagi masyarakatnya tetapi ada juga teks yang digunakan sebagai

afirmasi bagi masyarakatnya. Teks rancag si Angkri juga dapat dijadikan negasi bagi

masyarakatnya. Teks Si Angkri dituturkan melakukan operasi kejahatan di daerah Tanjung

Priok. Jika keinginannnya tidak dikabulkan, tokoh Angri dan kelompoknya tidak segan

menghabisi nyawa lawannya.

Teks rancag siPitung adalah jenis teks rancag yang juga berfungsi sebagi negasi bagi

masyarakatnya bahwa gambaran kehidupan centeng adalah kehidupan jagoan yang juga

mengarah pada istilah jagoan yang yang sering berbuat kejahatan untukmenunjukan keangkeran

diri centeng dengan cara menggunakan symbol-simbol yang angker. Menggunakan pakaian serba

hitam, golok tajam, gelang bahar yang besar, dan kumis tebal yang membawa keangkeran bagi

siap saja yang melihat.

Fungsi Restorasi

Fungsi restorasi pada teks gambang rancag untuk mengunkapkan keinginan, kerinduan

pada norma yang sudah lama hilang atau tidak berlaku lagi. Teks rancag yang berfungsi sebagai

restorasi adalah teks rancag yang sering dipertunjukan. Berdasarkan pengamatan peneliti sejak

2010 s.d. 2015, bahwa teks rancag yang sering dipertunjukan adalah teks rancag si Pitung. Teks

gambang rancag si Pitung adalah teks rancag yang selalu dipesan jika ada tanggapan dalm

pergelaran gambang rancag. Selain teks rancag si pitung yang sampai sekarang masih

dipertunjukkan adalah teks rancag si Angkri. Terakhir teks rancag si angkri ini dipertunjukan

pada acara Pameran Sastra Pecenongan pad atanggal 18 Juli 2013. Selebihnya permintaan rancag

yang diminta adalah teks rancag si Pitung.

Fungsi restorasi dalam teks rancag si Pitung disebabkan oleh adanya keinginan

masyarakat untuk sekedar mengingat kembali keberadaan para jagoan masa lalu yang turut

memberi semangat heroic bagi masyarakatnya. Fungsi restorasi dalam teks rancag sebagai

sebuah pertunjukan berhubungan dengan tegangan antara norma sastra dengan norma sosial

budaya, bahwa sebuah bentuk sastra yang tidak lagi dipertunjukan, tiba suatu ketika

dipertunjukan, maka penonton merasakan kerinduan untuk terus dan terus menyaksikan

pertunjukan tersebut. Justru di situlah kekuatan sebuah pertunjukan yang menurut Teeuw

(1982:20) ketika sebuah pertunjukan di zaman modern ini masih bisa bertahan pada

komunitasnya karena memiliki nilai-nilai yang luhur bagi masyarakatnya. Untuk itu agar lebih

terfokus bagaimana mengetahui jika rancag Si Pitung masih bertahan di komunitasnya, perlu

ditunjukkan kekuatan dari cerita ini di masyarakat, khususnya masayarakat Betawi. .

Sistem Pewarisan Tradisi Lisan Gambang Rancag

Model pewarisan oleh Lord (2000) tersebut dapat dilakukan di keluarga dan lembaga

pelatihan atau sanggar-sanggar melalui model pelatihan gambang rancag dalam proses

penciptaan seperti yang telah dilakukan oleh Rojali (78 tahun) kepada anak dan cucunya selama

tiga generasi. Pewarisan tradisi lisan gambang rancag tidak hanya dilakukan di sekolah atau

secara formal, namun dapat pula dilakukan di di luar sekolah atau nonformal. Sistem pewarisan

formal ialah secara sengaja mendidik generasi muda untuk menjadi pemain yang lebih

profesional, sedangkan sistem pewarisan nonformal melalui pemagangan. Pewarisan gambang

rancag selama ini juga masih berlangsung, baik formal maupun Informal. Firman (dalam

wawancara pada Januari 2013, di kedimannya, Beji Depok) mengatakan bahwa di tempat ia

mengajar, yaitu SMA 105 Jakarta dan SMK Karawitan Jakarta, ia juga memperkenalkan

kesenian gambang rancag kepada murid-muridnya melalui musik gambang kromong. Menurut

Firman antusiasme murid-muridnya besar untuk mempelajari musik tradisi lisan gambang

kromong. Proses belajar-mengajar musik dan lagu Betawi di sekolah tentu harus berpedoman

pada kurikulum sekolah yang disusun sesuai kompentensi musik dan lagu Betawi, metodenya

bisa dengan cara pemodelan, mencontoh model lalu mempresentasikan.

SIMPULAN

Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap Rancag si Pitung dan Si Angkri disimpulkan

sebagai berikut. Pertama struktur tradisi lisan gambang rancag si Pitung dan si Angkri, baik

melalui strutur skema alur, tema dan tokoh, serta formula ditunjukkan bahwa unsur ingatan bagi

perancag sangatlah penting dalam menciptakan teks, melalui ingatan segala hal tentang

kehidupan dan budaya Betawi, kehidupan tokoh jagoan si Pitung yang memberontak pada

kolonial sebagai bentuk perlawanan, patut diingat dan dinikmati oleh penonton seorang

pahlawan orang Betawi. Sementara Angkri diikat dengan tokoh jagoan sebagai pengacau. Fungsi

dari cerita ditunjukan dengan fungsi afirmasi sebagai bentuk untuk melekatkan nilai budaya

Betawi dalam kedua cerita bahwa gambang rancag sebagai sastra tutur memiliki fungsi egaliter,

tampak dari pengisahan cerita yang dilagukan dengan gaya kocak dari kedua perancag, Fungsi

restorasi menunjukan semangat kepahlawanan dari cerita si Pitung, guna mengingat tokoh

Robinhood yang pernah dimiliki oleh Betawi masa lalu, fungsi negasi ada oposisi biner anatara

tokoh jagoan di Betawi, ada tokoh pahlawan yang colonial melindungi masyarakat dari tekanan

tuan tanah dan kolonial, sementara dari tokoh jagoan yang lain adalah pengacau yang tidak

memberi rasa aman bagi sesamanya pribumi. Sementara sistem pewarisan di komunitas gambang

rancag di Pekayon, yaitu Sanggar Jali Jalut melakukan ssstem pewarisan rancag dengan cara

pemodelan, yang dimulai dari pengamatan model, mencontoh model rancag, dan

mempertunjukkan model rancag, baik melalui formal maupun informal.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. (1976). The mirror and the lamp: Romantic theory and the ctritikal tradition. London, Oxford, New York: Oxford University Press.

Agussalim, Andi. (2006). Pengelolaan grup pada kepentingan pertunjukan: Grup seadat tempe dan fa gandrang to lajjokka. (dalam telisik tradisi). Jakarta: Kelola.

Albert B. L. (2000). The singers of tales. Cambridge: Harvard University Press. Attas, S. G. (2013). Restorasi kultural terhadap cerita rakyat mengenang si Pitung sebagai

kearifan lokal Betawi. (dalammakalah seminar foklor Asia). Yogyakarta: Panitia Kongres Internasional Folklor Asia III.

Attas, S. G. (2013). Restorasi kultural terhadap cerita rakyat mengenang si Pitung sebagai kearifan lokal Betawi. (dalammakalah seminar foklor Asia). Yogyakarta: Panitia Kongres Internasional Folklor Asia III.

Badrun, Ahmad. (2003). Patu mobjo: Struktur, konteks pertunjukan, proses penciptaan, dan fungsi. (disertasi). Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Barginsky, V.I. (1998). Yang indah, berfaedah, dan kama: Sejarah sastra Melayu. Jakarta: INIS.Barker, Chris. (2000). Cutural studies: Teori dan paktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bascom, William.(1965). Four function of folklor (dalam Alan Dundes, 1965,the study of folklore). Eaglewood Clift, NY: Prentice-Hall.

Budiaman dkk. (1979). Foklor betawi. Jakarta: Pustaka Jaya. Castle, L. (1967). The etnnic profile of Jakarta,.Indonesia.(volume III, April). Ithaca-New-York:

Cornel University. -----------. (2007). Profil etnik Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta. Chaer, A. (2009). Kamus dialek Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta. ------------. (2012). Folklor Betawi: Kebudayaan dan kehidupan orang Betawi. Jakarta: Masup

Jakarta. Cuddon. J. A. (1987). Adictionary of literary terms. United States of America: Penguin Book. Danandjaja, James. (2002). Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT

Pustaka Utama Grafiti. Gajali.2016. Struktur, Fungsi, dan Nilai Nyanyian Rakyat Kaili. Dalam Jurnal Litera Vol.15 No.1, Hlm.189-199. Heuken, SJ. (2000). Historical sites of Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Hutomo, Suripan Sadi. (1991). Cerita kentrung sarahwulan di Tuban. Jakarta: P2B.

Kiftiawati. (2010). Bertahan dalam teriknya zaman: Sebuah catatan lapangan tentang Nyi Meh, kembang topeng Betawi. Dalam prosiding seminar nasional hasil pengkajian budaya Betawi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Kleden, N. (1987). Teater topeng Betawi sebagai teks dan maknanya:Suatu terapan antropologi. (disertasi). Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Koesasi, B.(1992). Lenong dan si Pitung. (disertasi). Australia: Centre of Southeast Studies, Australian National University.

Koster, G. L. (2008). Roaming through seductive gardens. Leiden: KITLV Press. Kunst, Japp. (1934). Music in Java: Its history, its theory, its tecnique. The Hague: Martinus Nij

hoff. Lord, Albert B. (2000). The singer of tales. London: Harvard University Press. Malinowski, B. (1923). The problem of meaning in primitive languages. Dalam C.K. Ogden dan

I.A. Richards. Ed. The meaning of meaning. Bacaan I: International Library of Philosophy, Psychology, and Scientific Method. London: Kegal Paul.

Ong, W. J. (1988). Orality and literacy: The technologizing of the word. London: Methuen. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pedoman

Pelestarian kebudayaan. Jakarta: Depdiknas. Pudentia & Effedi. (1996, 11 Maret). Sekitar penelitian tradisi lisan.Warta ATL. Ruchiat, R. (1981). Proyek konservasi kesenian tradisional Betawi: Pendekatan sejarahdan latar

belakang sosial budaya gambang rancag.Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Ruchiat, dkk. (2003). Ikhtisar kesenian Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permusiuman Provinsi DKI Jakarta.

Saputra, Yahyah Andi. (2009). Profil seni budaya Betawi. Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Sedyawati, Edi (1996, 11 Maret). Kedudukan tradisi lisan dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu budaya. WartaAsosiasi Tradisi Lisan.

Shahab, Y. Z. (2004). Reproduksi dan revalitas kebudayaan Betawi: Tantangan dan kesempatan `dalam era nasionalisasi dan globalisasi. Dalam Festival Seni Budaya Betawi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Minggu 2 Desember 2012, Setu Babakan.

Sibarani, Robert. (2012). Kearifan lokal: Hakikat ,peran, dan metode tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

Sopandi, Atik., dkk. (1999).Gambang rancag. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Spradley, James P. (2007). Metode etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sweeney, A. (1980).Authors and audiences in traditional Malay literature. Berkley: University

of California Press. Suhartini, R. Titin.2016. Transformasi Teks Cerita Rakyat ke dalam Bentuk cerita Bergambar sebagai Model PembelajaranMembaca Apresiatif. Dalam Jurnal Litera Vol. 15 No.1, Hlm. 1-13. Suswandari. 2017. Lokal history of Jakarta and Multicultural Atticude (Hitorical Lokal study of

Betawi Ethinik. Dalam jurnal of education, theacing and Learning Vol.2. Nort March 2017, Page 93-100. Teeuw, A. (1994). Indonesia Antara kelisanan dan keberaksaran. Jakarta: Pustaka Jaya. Till, M. V. (1996). In search of Si Pitung: the history of an Indonesian legend. Bijdragen tot de

Taal-, Land- en Volkenkunde 152, No: 3, Leiden, 461-482.