makalah klmpok pbl b5 blok 24 kasus 10

Upload: ria-pariury

Post on 13-Oct-2015

16 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Inkompabilitas ABO pada Neonatus

Kelompok B5Mangara Wahyu102009232Nixon Sinurat102010308Celine Martino102011005Devi Karlina102011069Jesica The102011159Kevin Giovano102011208Apriandy Pariury102011299Olivia C. Kaihatu102011370Krissattryo Rosarianto102011374

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Terusan Arjuna No. 6 Jakarta Barat 11510

PendahuluanIkterus merupakan masalah neonatus yang umum dan sering ditemukan pada bayi baru lahir, namun dapat pula menunjukkan suatu proses patologis.1Ikterus merupakan sutu pertanda adanya penyakit (patologik) atau adanya gangguan fungsional (fisiologik). Ikterus patologik apabila ikterus dengan dasar patologik atau kadar bilirubin mencapai hiperbilirubinemia yaitu bila peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl atau lebih setiap 24 jam atau konsentrasi bilirubin serum lebih dari 15 mg/dl pada bayi cukup bulan dan 12 mg/dl pada bayi kurang bulan.Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sebagian besar disebabkan oleh bilirubin indirek yang dapat memberikan efek toksik pada otak dan dapat menimbulkan kematian atau cacat seumur hidup.Penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus banyak, namun penyebab yang tersering adalah penyakit hemolitik neonatus, antara lain karena inkompatibilitas golongan darah (Rh, ABO), defek sel darah merah (defisiensi G6PD, sferositosis) lisis hematoma dan lain-lain.Inkompatibilitas ABO, hiperbilirubinemia lebih menonjol dibandingkan dengan anemia dan timbulnya pada 24 jam pertama. Reaksi hemolisis terjadi saat zat anti dari ibu masih terdapat dalam serum bayi.Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompatibilitas ABO, yang berarti bahwa serum ibu mengandung anti-A atau anti-B sedangkan eritrosit janin mengandung antigen respective. Inkompatibilitas ABO nantinya akan menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir dimana terdapat lebih dari 60% dari seluruh kasus.2,3

SkenarioSeorang bayi perempuan berusia 5 hari dibawa ke puskemas dengan keluhan utama kuning sejak lahir. Ibu mengatakan bahwa bayi mulai kuning sejak 10 jam dilahirkan, bayi dilahirkan secara normal per vaginam di bidan, aktif dan kuat menangis. Sampai saat ini, bayi hanya menerima ASI eksklusif dan kuat menyusu, serta aktif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu 36,80C, denyut nadi 130x/menit, napas 40x/menit, sklera dan kulit ikterik (+) hingga daerah abdomen, hepato-splenomegali (-). Menurut ibunya, golongan darahnya adalah O dan suaminya adalah B.

Istilah Yang Tidak DiketahuiIstilah yang tidak diketahui pada kasus atau skenario ini adalah tidak ada.

Rumusan Masalah Bayi usia 5 hari dengan keluhan utama kuning lahir. Bayi mulai kuning sejak 10 jam dilahirkan.

HipotesisBayi perempuan berusia 5 hari menderita Hemolytic Newborn Disease et causa Inkompatibillitas ABO.

Mind Mapping

PembahasanAnamnesisKarena pada kasus ini pasiennya adalah seorang bayi, maka dilakukan allo-anamnesis pada ibu pasien. Akan tetapi ada beberapa hal juga tentang ibu pasien yang akan ditanyakan (contoh: golongan darah ibu).Pada anamnesis hal-hal yang harus ditanyakan adalah sebagai berikut:1. Identitas pasienMenanyakan kepada pasien atau orang tua dari anak, meliputi: Nama lengkap pasien, umur pasien, tanggal lahir, jenis kelamin, agama, alamat, umur (orang tua), pendidikan dan pekerjaan (orang tua), suku bangsa.

2. Keluhan utamaMenanyakan keluhan utama pasien yaitu: bayi tampak kuning, sejak kapan?

3. Riwayat Penyakit SekarangPada pasien terjadi ikterus (bayi kuning), maka ditanyakan: Sejak kapan? Bagaimana riwayat kelahiran? Ada demam atau tidak? Apakah bayi sudah diberi ASI atau belum? Apakah sebelumnya mendapat transfusi darah?

4. Keluhan penyerta/keluhan lain

5. Riwayat penyakit dahulu (ditujukan pada ibu pasien)Apakah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya? Jika ya, apakah sudah berobat ke dokter dan apa diagnosisnya serta pengobatan yang diberikan?

6. Riwayat Maternal dan PerinatalMenanyakan berapa usia saat hamil ini dan taksiran persalinannya kapan, bagaimana kondisi dan kebisaan selama hamil, berapa kali memeriksakan kehamilannya, adakah penyakit yang diderita selama hamil, menanyakan hasil APGAR score, menanyakan golongan darah orang tuanya.

7. Riwayat Penyakit Dalam KeluargaApakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit kronis seperti hipertensi, asma, diabetes melitus, penyakit menular dan penyakit lainnya selain itu juga perlu ditanyakan apa ada keturunan kembar.

8. Riwayat Status Sosial EkonomiKeluarga ini termasuk berkecukupan atau tidak. Dari sini dapat diperkirakan apakah pasien tinggal ditempat yang cukup memadai dan kondisi lingkungan rumah yang cukup higienis.

9. Riwayat PengobatanObat apa saja yang sudah diminum pasien untuk mengatasi kuning pada bayi.

Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik:Pada pemeriksaan daerah kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan didapatkan konjungtiva anemis, mukosa pucat yaitu anemis, jaundice atau iketrik menandakan hemolisis, hiperbilirubinemia, petekie, sebagai trombositopenia, glositis (peradangan lidah) tanda anemia defisiensi zat besi, anemia defisiensi vitamin B12, limfadenopati maka limfoma.Sistem integumen terlihat pucat, anemia, jaundice: hiperbilirubinemia, koilonisia (kuku seperti sendok): anemia defisiensi zat besi, ekimosis dan petekie: trombositopenia. Bagian sistem kardiovaskuler yaitu takikardia, S4: anemia berat dan gagal ginjal.Bagian abdomen jika splenomegali tanda adanya polisitemia, limfoma. Pemeriksaan sistem neurologi jika terjadi kehilangan sensasi getar (vibration sense) tanda adanya anemia megaloblastik. Sistem muskuloskeletal adanya nyeri tulang/tenderness tanda terjadi mieloma multipel.4

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan sediaan hapus darah tepiBila dari pemeriksaan sediaan hapus darah tepi ditemukan adanya penghancuran eritrosit disertai dengan adanya retikulositosis dan peningkatan bilirubin indirek dari hasil pemeriksaan laboratorium maka ini merupakan tanda adanya hemolisis. Periksa kadar darah bilirubin indirek > 16mg/dl, sedangkan kadar hemoglobin darah tali pusat 5 mg%.2

1. Coombs DirekPemeriksaan Coombs direk (antiglobulin) mendeteksi antibodi-antibodi yang lain dari grup ABO, yang bersatu dengan sel darah. Sel darah merah dapat diperiksa dan jika sensitif terjadi reaksi aglutinasi. Pemeriksaan Coombs positif menunjukkan adanya antibodi pada sel-sel darah merah, tetapi pemeriksaan ini tidak mendeteksi antibodi yang ada. Posistif (+1 sampai +4): Eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik (autoimun atau obat-obatan), reaksi hemolitik transfusi (darah inkompatibel), leukemia < SLE.1 2. Coombs Indirek (Pemeriksan skrining antibodi)Pemeriksaan coombs indirek mendeteksi antibodi bebas dalam sirkulasi serum. Pemeriksaan skrining akan memeriksa antibodi di dalam serum resipien dan donor sebelum transfusi untuk mencegah reaksi transfusi. Ini tidak secara langsung mengidentifikasi antibodi yang spesifik. Pemeriksaan ini dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan pencocokan silang (croos-match). Positif (+1 sampai +4): darah pencocokan silang inkompatibel, antibodi yang spesifik (transfusi sebelumnya), antibodi anti-Rh, anemia hemolitik didapat.3 3. Pemeriksaan bilirubinPeningkatan kadar bilirubin direk menunjukkan adanya gangguan pada hati (kerusakan sel hati) atau saluran empedu (batu atau tumor). Peningkatan kadar bilirubin indirek sering dikaitkan dengan peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis), seperti pada penyakit hemolitik oleh autoimun, transfusi, atau eritroblastosis fatalis. Nilai rujukan: Dewasa: total: 0,1 1,2 mg/dl, direk: 0,1 - 0,3 mg/dl, indirek: 0,1 1,0 mg/dl Anak: total: 0,2 0,8 mg/dl, indirek: sama dengan dewasa. Bayi baru lahir: total: 1 12 mg/dl, indirek: sama dengan dewasa.

Diagnosis KerjaInkompatibilitas ABO pada neonatusInkompatibilitas golongan darah utama antara ibu dan janin biasanya mengakibatkan penyakit yang lebih ringan daripada penyakit inkompatibilitas Rh. Antibodi ibu akan dibentuk melawan sel B jika ibu adalah golongan A atau melawan sel A jika ibu adalah golongan B. Namun, biasanya ibu adalah golongan O dan bayi adalah golongan A dan B. Walaupun inkompatibilitas ABO terjadi 20 25% kehamilan, penyakit hemolitik hanya berkembang pada 10% bayi-bayi ini, dan biasanya bayinya adalah golongan A1 yang sifatnya lebih antigenik daripada A2. Antigenitas faktor ABO yang rendah pada janin dan bayi baru lahir dapat menyebabkan insidens penyakit hemolitik ABO berat yang relatif rendah dibandingkan insidens inkompatibilitas antara golongan darah ibu dan anak. Walaupun antibodi terhadap faktor A dan B terjadi tanpa imunisasi sebelumnya (antibodi alamiah), faktor-faktor ini biasanya terdapat fraksi 195 (IgM) gama globulin, dan tidak melewati plasenta; namun, antibodi terhadap antigen A univalen inkomplit (albumin aktif) yang terdapat pada fraksi 75 (IgG), dapat melewati plasenta, sehingga penyakit hemolitik isoimun A-0 dapat ditemukan pada bayi pertama yang dilahirkan. Ibu yang telah menjadi imun terhadap faktor A atau B dari kehamilan inkompatibel sebelumnya juga menunjukkan antibodi dalam fraksi gamma globulin 7S. Antibodi imun ini terutama merupakan mediator penyakit isoimun ABO.Diagnosis dugaan didasarkan pada adanya inkompatibilitas ABO, uji Coombs direk positif lemah sampai sedang, dan adanya sferosit pada pulasan darah, yang kadang-kadang memberi kesan adanya sferositosis herediter. Hiperbilirubinemia sering merupakan satu-satunya kelainan laboratorium. Kadar hemoglobin biasanya normal tetapi dapat serendah 10-12 g/dL (100-120 g/L). Retikulosit dapat naik sampai 10-15%, dengan polikromasia yang luas dan kenaikan jumlah sel darah merah berinti. Pada 10 20% bayi yang terkena, kadar serum bilirubin tak terkonjugasi dapat mencapai 20 mg/dL atau lebih jika tidak dilakukan fototerapi.Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakan hemolisis neonatus akibat inkompatibilitas ABO adalah sebagai berikut: Ibu memiliki golongan darah O dengan antibodi anti-A dan anti-B di dalam serumnya sedangkan janin memiliki golongan darah A, B, atau AB. Ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama. Terdapat anemia, retikulositosis dan eritroblastosis dengan derajat bervariasi Kausa hemolisis yang lain telah disingkirkan dengan teliti.

EtiologiInkompatibilitas ABO disebabkan golongan darah ibu O yang secara alami mempunyai antibodi anti-A dan anti-B pada sirkulasinya. Jika janin memiliki golongan darah A atau B, eritoblastosis dapat terjadi karena IgG melewati plasenta.5

EpidemiologiInkompatibilitas ABO menurut statistik kira-kira 2% seluruh kehamilan terlihat dalam ketidakselerasan golongan darah ABO dari 75% dari jumlah ini terdiri dari ibu golongan darah O dan janin golongan A atau B. Mayoritas inkompatibilitas ABO 40% diderita oleh anak pertama dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya.Lebih sering terjadi pada bayi golongan B daripada A dan lebih sering pada bayi kulit hitam daripada bayi kulit putih dengan golongan A atau B.

PatofisiologiInkompatibilitas ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk ke dalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu, tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun antibodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk ke dalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II).4Ibu yang golongan O secara alamiah mempunyai antibodi anti-A dan anti-B pada sirkulasi darahnya. Jika janin mempunyai golongan darah A atau B, eritroblastosis dapat terjadi. Sebagian besar, secara alamiah, membentuk anti-A dan anti-B berupa antibodi IgM, yang tidak melewati plasenta dan melisiskan eritosit janin. Oleh karena itu, meskipun dapat menyebabkan anemia penyakit hemolitik pada neonatus, namun isoimunisasi ABO tdk dpt menyebabkan hidrops fetalis dan lebih merupakan penyakit pediatrik daripada obstetris. Beberapa ibu juga relatif mempunyai kadar IgG anti-A atau anti B yang tinggi, yang potensial menyebabkan eritroblastosis, karena IgG melewati plasenta. Ibu golongan darah O mempunyai kadar IgG anti-A lebih tinggi daripada ibu golongan darah B dan kadar IgG-anti B lebih tinggi daripada ibu golongan darah A. Dengan demikian, penyakit hampir selalu terjadi pada ibu golongan darah O. Penyakit jarang terjadi bila itu golongan darah A dan bayi golongan darah B. Sekitar sepertiga bayi golongan darah A atau B dari ibu golongan darah O akan mempunyai antibodi ibu yang dapat dideteksi pada eritrositnya.Akan terjadi anemia berlebihan dalam tubuh bayi maka tubuh mengkompensasi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yaitu imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dam limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eriroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi.4,6,7

Gejala KlinisPada beberapa kasus, penyakit hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan sampai sedang selama 24 48 jam kelahiran. Hal ini jarang muncul dengan anemia yang signifikan. Tingginya jumlah bilirubin dapat menyebabkan kern ikterus terutama pada neonatus preterm.

Hidrops fetalisSuatu sindroma ditandai edeme menyeluruh pada bayi, asites dan pleural efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yang terjadi bervariasi, tergantung intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi ke dalam kavum serosa (hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada sumsum tulang, hematopoiesis ekstrameduler di dalam lien dan hepar, pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin.

Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem saraf pusat, khususnya ganglia basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yang muncul berupa letargia, kekakuan ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu. Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu menyanggah kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yang terjadi akibat gangguan eritropoiesis dapat bertahan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.2,5

Diagnosis BandingInkompatibilitas RhInkompatibilitas Rh dapat disebabkan oleh isoimunisasi maternal ke antigen Rh oleh transfusi darah Rh positif atau isoimmunisasi maternal dari paparan ke antigen Rh janin pada kehamilan pertama atau kehamilan yang sekarang. Pada inkompabilitas Rh, anak pertama lahir sehat karena ibu belum banyak memiliki benda-benda penangkis terhadap antigen Rh, asalkan sebelummnya ibu tidak menderita abortus atau mendapat transfusi darah dari Rh positif. Pasangan suami istri hanya mempunyai 1 atau 2 anak, sedangkan anak-anak berikutnya semua meninggal.Pada wanita Rhesus negatif melahirkan bayi pertama Rhesus positif, risiko terbentuknya antibodi sebesar 8%, sedangkan insiden timbulnya antibodi pada kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%. Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh proses sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respon imun sekunder yang timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1% dari wanita akan tersensitasi selama kehamilan terutama trimester ketiga. Kemungkinan terjadi imunisasi Rhesus diperkirakan 1-2% dari semua kehamilan namun di Asia frekuensi ini lebih rendah. Untuk inkompatibilitas Rhesus, predominan seks adalah perempuan.Mayoritas inkompatibilitas Rhesus terjadi pada janin dengan rhesus positif dari ibu yang mempunyai Rh-negatif. Faktor Rhesus adalah protein, suatu antigen dalam sel darah merah. Hadirnya faktor Rh membuat sel darah tidak cocok terhadap sel-sel darah merah yang tidak mempunyai antigen. Jika seseorang dengan rhesus positif, berarti dia mempunyai faktor rhesus di dalam darahnya. Sekitar 85% orang-orang mempunyai Rhesus positif dan sekitar 15% dengan darah Rhesus negatif. Faktor Rh bermasalah ketika darah dengan Rh-negatif mengalami kontak dengan darah Rh-positif. Sistem imun dari orang dengan Rhesus negatif mengidentifikasi darah Rhesus positif sebagai penyerang yang berbahaya, suatu antigen, dan dapat memproduksi antibodi untuk melawa darah tersebut. Antibodi adalah substansi protein yang dihasilkan oleh tubuh dalam merespon suatu antigen. Antibodi ini yang menyebabkan masalah kehamilan.1,8

PenatalaksanaanTransfusi TukarTujuan transfusi tukar yang dapat dicapai:1. Memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah2. Menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan eritrosit normal (menghentikan proses hemolisis)3. Mengurangi kadar serum bilirubin4. Menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu.

Tranfusi tukar digunakan untuk menurunkan secara bermakna kadar bilirubin tidak terkonjugasi yang meningkat yang tidak responsif terhadap terapi sinar, namun masih banyak beda pendapat di antara para dokter mengenai kapan saatnya menerapkan strategi ini. Rekomendasi sebelumnya untuk transfusi tukar adalah jika kadar serum > 20 mg/dL dengan adanya hemolisis dengan ambang yang lebih rendah untuk bayi dengan berat lahir rendah/prematur dan dengan penyakit lain.6

Foto terapiFototerapi harus dilakukan sebelum bilirubin mencapai konsentrasi kritis; penurunan konsentrasi mungkin belum tampak selama 12 sampai 24 jam. Fototerapi harus dilanjutkan sampai konsentrasi bilirubin serum tetap di bawah 10 mg/dL. Transfusi tukar harus dilakukan apabila fototerapi saja terbukti tidak efektif dalam mengendalikan kadar bilirubin serum. Karena pemakaian fototerapi bukannya tanpa resiko, modlitas ini harus dilakukan secara konservatif disertai ketaatan terhadap petunjuknya. Penyulit yang dihadapi dalam fototerapi mencakup diare, panas berlebihan dan dehidrasi. Dapat terjadi diskolorasi gelap di kulit (bronze baby) akibat penimbunan fotoderivatif bilirubin yang kecoklatan dalam darah, apabila juga terjadi hiperbilinuremia terkonjugasi. Mata bayi harus dilindungi selama penyinaran untuk mencegah kerusakan retina.Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan bayi antara lain (1) Diusahakan agar bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka pakaian bayi; (2) Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya; (3) Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak terbaik mendapatkan energi yang optimal; (4) Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh; (5) Suhu bayi dapat diukur secara berkala 4-6 jam/kali; (6) Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24 jam; (7) Hemoglobin juga harus diperiksa secara berkala terutama pada penderita dengan hemolisis; (8) Perhatikan dehidrasi bayi dan (9) Lama terapi sinar dicatat.6Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin. Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal.

KomplikasiKomplikasi yang terjadi bisa ringan sampai parah. Berikut ini adalah beberapa masalah yang dapat diakibatkan: Selama kehamilana. Anemia hiperbilirubinemia, ringan dan penyakit kuningb. Anemia berat dengan pembesaran hati dan limpac. Hidrops fetalisHal ini terjadi sebagai organ bayi tidak mampu untuk menangani anemia. Jantung mulai gagal dan sejumlah besar cairan membangun pada jaringan bayi dan organ. Sebuah janin dengan hidrops berisiko besar yang lahir mati.5

Setelah lahira. Hiperbilirubinemia berat dan ikterusb. KernikterusKernikterus adalah bentuk yang paling parah hiperbilirubinemia dan hasil penumpukan bilirubin dalam otak. Hal ini dapat menyebabkan kejang, kerusakan otak, ketulian, dan kematian.4

PencegahanPencegahan inkompabilitas ABO dapat dilakukan dengan: Uji antiglobulin direk atau indirek atau anti-A atau anti-B pada setiap bayi bergolongan darah A atau B. Transfusi darah yang digunakan adalah golongan darah O yang rhesus negatif dan mungkin dalam plasma golongan AB. Tindakan terpenting untuk menurunkan insiden kelainan hemolitik adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram anti-A/B. Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan pada saat persalinan bukan sebagai vaksin dan tak membuat wanita kebal terhadap penyakit rhesus. Suntikan ini untuk membentuk antibodi bebas, sehingga ibu akan bersih dari antibodi pada kehamilan berikutnya.

PrognosisPengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi menunjukkan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus negatif.Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer dibawah 1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.a. MortalitasAngka mortalitas dapat diturunkan jika:1. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi secara dini.2. Hemolisis pada janin dari ibu golongan darah O dapat diketahui melalui kadar bilirubin yang tinggi di dalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh darah umbilikus yang diarahkan secara USG.3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum meninggal di dalam rahim atau dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal atau intravaskuler langsung sel darah merah.b. Perkembangan anak selanjutnyaMenurut Bowman, kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah mengalami transfusi janin akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang diperiksa ketika berusia 18 bulan atau lebih, 74 anak berkembang secara normal, 4 anak abnormal dan 11 anak mengalami gangguan tumbuh kembang.9Prognosis mengarah ke dubia ad bonam. Jika terapi perawatan bayi dilakukan dengan pilihan yang tepat dan segera sesuai indikasi dapat menurunkan bilirubin tidak terkonjugasi dengan signifikan dan bayi kembali normal.

KesimpulanPerbedaan golongan darah antar ibu dan anak dapat menyebabkan berbagai kelainan baik bagi ibu maupun janin yang dikandungnya. Misalnya pada kasus PBL ini didapat golongan darah ibu O sedangkan golongan darah bayi B, sehingga terjadi hemolytic of the newborn (HDN) atau erythroblastosis fetalis yang disebabkan oleh inkompabilitas ABO. HDN merupakan suatu penyakit darah yang terjadi apabila tipe darah ibu dan anaknya tidak kompatibel. Jika tipe darah bayi masuk ke dalam darah ibu sewaktu di dalam kandungan atau kelahiran, maka sistem imun ibu akan membentuk antibodi yang akan menyerang sel darah merah bayi. Hal ini akan menyebabkan hemolisis pada eritrosit bayi. HDN biasanya terjadi karena inkompabilitas Rhesus ataupun inkompabilitas golongan darah ABO.

Daftar Pustaka1. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri rudolph. Edisi ke-20. Jakarta: EGC; 2007.h.1313-21.2. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga; 2005.h.81.3. Hartanto H. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. Edisi ke-11. Jakarta: EGC; 2004.h.271-6.4. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Esensi pediatri nelson. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2003.h.212-14, 245-9.5. Hoffbrand AV. Hematologi pada kehamilan dan anak. Dalam: Mahanani DA, penyunting. Kapita selekta hematologi. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2005.h.303-6.6. Hassan R, Alatas H. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Edisi ke-4.Jakarta: FKUI; 2007.h.1095-1115.7. Leveno KJ. Obstetri williams; panduan ringkas. Edisi ke-21. Jakarta: EGC; 2003.h.307.8. Lissauer T, Fanaroff A. At a glance: neonatalogi. Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga; 2009.h.96-101.9. Wagle S. Hemolytic disease of the newborn. Edisi 12 November 2012. Diunduh dari www.neonatology.org. 12 April 2014.7