makalah kewarganegaraan
DESCRIPTION
KewarganegaraanTRANSCRIPT
MAKALAH
KEWARGANEGARAAN
SOSOK APOTEKER YANG MENGAPLIKASIKAN
NILAI – NILAI KEWARGANEGARAAN
Oleh
Laurentia Dyah Vita Viralia Permatasari
3311121050
Farmasi 2012
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2013
20
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan YME, oleh karena rahmatNya penyusun dapat
menyelesaikan makalah Sosok Apoteker yang Mengaplikasikan Nilai-nilai
Kewarganegaraan.
Selain sebagai tugas, makalah ini dibuat untuk menambah pengetahuan dan
ilmu kita tentang kewarganegaraan, sistem kesehatan di Indonesia, pemahaman
tenaga kesehatan, pemahaman tentang hak dan kewajiban apoteker, landasan
hubungan UUD 1945 dengan apoteker dan kesehatan.
Banyak sekali hambatan dalam penyusunan makalah ini baik itu masalah
waktu, sarana, dan lain-lain. Oleh sebab itu, selesainya makalah ini bukan semata-
mata karena kemampuan penulis, banyak pihak yang mendukung dan membantu
penulis. Dalam kesempatan ini, penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu.
Penulis berharap makalah ini dapat berguna bagi para pembaca, jika ada
kesalahan dalam penyusunan makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar dapat lebih baik lagi.
Bandung, 22 Maret 2013
Penulis
20
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR ………………………………………………................ 2
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… 3
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang …………………………………………………………. 4
Rumusan Masalah ……………………………………………………… 5
Tujuan Khusus ………………………………………………………… 5
Tujuan Umum …………………………………………………………. 5
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Sistem Kesehatan Indonesia …………………………….... 6
Pelayanan Kesehatan Indonesia ………………………………………. 7
Undang-undang Kesehatan Indonesia ………………………………… 9
Kebijakan Kesehatan Indonesia ………………………………………. 11
Etika Kefarmasian ……………………………………………………. 11
Penilaian Etika Kefarmasian …………………………………………. 14
BAB III PENUTUP
Kesimpulan …………………………………………………………....... 19
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………... 20
20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat.
Kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping
sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan saat
ini, memahami etika kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan
masyarakat.. Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan, memahami etika
kesehatan merupakan tuntunan yang dipandang semakin perlu, karena etika
kesehatan membahas tentang tata susila dokter dan apoteker dalam menjalankan
profesi, khususnya yang berkaitan dengan pasien. Oleh karena itu tatanan
kesehatan secara normatif menumbuhkan pengembangan hukum kesehatan
bersifat khusus (Lex specialis) yang mengandung ketentuan
penyimpangan/eksepsional jika dibandingkan dengan ketentuan hukum umum
(Lex generale).
Konsep dasar hukum kesehatan mempunyai ciri istimewa yaitu beraspek
pada hak azasi manusia (HAM), kesepakatan internasional, Legal baik pada level
nasional maupun internasional, dan iptek yang termasuk tenaga kesehatan
professional. Komponen hukum kesehatan tumbuh dari keterpaduan hukum
administrasi, hukum pidana, hukum perdata dan hukum internasional. Dalil yang
berkembang dalam hukum kesehatan dan pelayanan kesehatan dapat mencakup
legalisasi dalam moral dan moralisasi dalam hukum sebagai suatu dalil yang harus
mulai dikembangkan dalam pelayanan kesehatan. Secara normatif menurut
Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, harus mengutamakan
pelayanan kesehatan yang enjadi tanggung jawab pemerintah dan swasta dengan
kemitraan kepada pihak masyarakat dan semata-mata tidak mencari keuntungan.
Dua batasan nilai norma hukum tersebut perlu ditaati agar tidak mengakibatkan
reaksi masyarakat dan tumbuh konflik dengan gugatan/tuntutan hukum.
20
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem kesehatan di Indonesia?
2. Bagaimana pelayanan kesehatan di Indonesia?
3. Bagaimana Undang-Undang kesehatan di Indonesia?
5. Apa peran dan tugas apoteker di Indonesia?
6. Bagaimana etika dan perilaku seorang apoteker?
7. Kapan seorang apoteker dinilai beretika?
C. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui bagaimana sistem kesehatan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana pelayanan kesehatan di Indonesia.
3. Untuk mengetahui bagaimana Undang-Undang kesehatan di Indonesia.
4. Untuk mengetahui perangkat kesehatan di Indonesia, khususnya
apoteker
5. Untuk mengetahui etika apoteker di Indonesia.
6. Untuk mengetahui kapan seorang apoteker dikatakan beretika
D. Tujuan Umum
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat memberikan manfaat positif
antara lain sebagai berikut :
1. Diharapkan dapat menjadikan manusia lebih mementingkan
kesehatannya dahulu daripada pekerjaannya.
2. Diharapkan kaum remaja dapat menyikapi diri terhadap kemajuan
sistem kesehatan sebagai tuntutan di era globalisasi seperti saat ini.
3. Diharapkan masyarakat dapat bekerja sama dan membantu perangkat
kesehatan alam meningkatkan kesehatan Indonesia.
20
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistem Kesehatan di Indonesia
Sistem kesehatan adalah suatu jaringan penyedia pelayanan kesehatan
(supply side) dan orang-orang yang menggunakan pelayanan tersebut (demand
side) di setiap wilayah, serta negara dan organisasi yang melahirkan sumber daya
tersebut, dalam bentuk manusia maupun dalam bentuk material. Sistem kesehatan
tidak terbatas pada seperangkat institusi yang mengatur, membiayai, atau
memberikan pelayanan, namun juga termasuk kelompok aneka organisasi yang
memberikan input pada pelayanan kesehatan, utamanya sumber daya manusia,
sumber daya fisik (fasilitas dan alat), serta pengetahuan/teknologi (WHO SEARO,
2000). Organisasi ini termasuk universitas dan lembaga pendidikan lain, pusat
penelitian, perusahaan kontruksi, serta serangkaian organisasi yang memproduksi
teknologi spesifik seperti produk farmasi, alat dan suku cadang.
Gambar 1. Fungsi dari Sistem
WHO mendefinisikan sistem kesehatan sebagai seluruh kegiatan yang
mana mempunyai maksud utama untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan.
20
Mengingat maksud tersebut, maka termasuk dalam hal ini tidak saja pelayanan
kesehatan formal, tapi juga non formal, seperti halnya pengobatan tradisional.
Selain aktivitas kesehatan masyarakat tradisional seperti promosi kesehatan dan
pencegahan penyakit, peningkatan keamanan lingkungan dan jalan raya,
pendidikan yang berhubungan dengan kesehatan merupakan bagian dari sistem.
Sistem kesehatan paling tidak mempunyai 4 fungsi pokok yaitu pelayanan
kesehatan, pembiayaan kesehatan, penyediaan sumberdaya dan stewardship atau
regulator. Fungsi-fungsi tersebut akan direpresentasikan dalam bentuk sub-
subsistem dalam sistem kesehatan, dikembangkan sesuai kebutuhan. Masing-
masing fungsi/subsistem akan dibahas tersendiri. Di bawah ini digambarkan
bagaimana keterkaitan antara fungsi-fungsi tersebut dan juga keterkaitannya
dengan tujuan utama sistem kesehatan
B. Pelayanan Kesehatan di Indonesia
Pelayanan kesehatan dapat diperoleh mulai dari tingkat puskesmas, rumah
sakit, dokter praktek swasta dan lain-lain. Saat ini, masyarakat sudah makin kritis
menyoroti pelayanan kesehatan dan profesional tenaga kesehatan. Masyarakat
menuntut pelayanan kesehatan yang baik dari pihak rumah sakit, disisi lain
pemerintah belum dapat memberikan pelayanan sebagaimana yang diharapkan
karena adanya keterbatasan-keterbatasan, kecuali rumah sakit swasta yang
berorientasi bisnis, dapat memberikan pelayanan kesehatan dengan baik. Untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan dibutuhkan tenaga kesehatan yang trampil dan
fasilitas rumah sakit yang baik, tetapi tidak semua rumah sakit dapat memenuhi
kriteria tersebut sehingga meningkatnya kerumitan sistem pelayanan kesehatan
saat ini. Salah satu penilaian dari pelayanan kesehatan dapat kita lihat dari
pencatatan rekam medis atau rekam kesehatan. Dari pencatatan rekam medis
dapat digambarkan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan pada pasien, juga
meyumbangkan hal penting dibidang hukum kesehatan, pendidikan, penelitian
dan akreditasi rumah sakit. Yang harus dicatat dalam rekam medis mencakup hal-
hal seperti identitas penderita dan formulir persetujuan atau perizinan, riwayat
penyakit, laporan pemeriksaan Fisik., instruksi diagnostik dan terapeutik dengan
tanda tangan dokter yang berwenang, catatan pengamatan atau observasi, laporan
UU No 32-33 2004
Regulasi Nasional
PUSAT KESEHATANBERWAWASANKESEHATAN
PUSAT PEMBERDAYAAN KELUARGA
FUNGSIPUSKESMAS
PUSAT YANKESSTR I
YAN KES BERMUTUPERILAKU HIDUP SEHATLINGKUNGAN SEHAT
Regulasi Propinsi
YANKESMAS(PUBLIC GOODS)
YANKESPERORANGAN(PRIVATE GOODS)
Regulasi Daerah
20
tindakan dan penemuan, ringkasan riwayat waktu pulang serta kejadian-kejadian
yang menyimpang.
Gambar 2. Sistem pelayanan kesehatan
Rekam medis mengandung dua macam informasi yaitu informasi yang
mengandung nilai kerahasiaan, yaitu merupakan catatan mengenai hasil
pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, pengamatan mengenai penderita, mengenai
hal tersebut ada kewajiban simpan rahasia kedokteran. Informasi yang tidak
mengandung nilai kerahasiaan suatu hal yang harus diingat bahwa berkas catatan
medik asli tetap harus disimpan di rumah sakit dan tidak boleh diserahkan pada
20
pasien, pengacara atau siapapun. Berkas catatan medik tersebut merupakan bukti
penting bagi rumah sakit apabila kelak timbul suatu perkara, karena memuat
catatan penting tentang apa yang telah dikerjakan dirumah sakit. Catatan medik
harus disimpan selama jangka waktu tertentu untuk dokumentasi pasien. Untuk
suatu rumah sakit rekam medis adalah penting dalam mengadakan evaluasi
pelayanan kesehatan, peningkatan efisiensi kerja melalui penurunan mortalitas,
morbiditas dan perawatan penderita yang lebih sempurna. Pengisian rekam medis
serta penyelesaiannya adalah tanggung jawab penuh dokter yang merawat pasien
tersebut, catatan itu harus ditulis dengan cermat, singkat dan jelas. Dalam
menciptakan rekam medis yang baik diperlukan adanya kerja sama dan usaha-
usaha yang bersifat koordinatif antara berbagai pihak yang samasama melayani
perawatan dan pengobatan terhadap penderita.
C. Undang-undang Kesehatan di Indonesia
Hukum kesehatan merupakan suatu bidang spesialisasi ilmu hukum yang
relatif masih baru di Indonesia. Hukum kesehatan mencakup segala peraturan dan
aturan yang secara langsung berkaitan dengan pemeliharaan dan perawatan
kesehatan yang terancam atau kesehatan yang rusak. Hukum kesehatan mencakup
penerapan hukum perdata dan hukum pidana yang berkaitan dengan hubungan
hukum dalam pelayanan kesehatan. Subyek-subyek hukum dalam sistem hukum
kesehatan adalah:
a. Tenaga kesehatan sarjana yaitu: dokter, dokter gigi, apoteker dan
sarjana lain di bidang kesehatan.
b. Tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah bidang farmasi,
bidang kebidanan, bidang perawatan, bidang kesehatan masyarakat,
dll.
Dalam melakukan tugasnya dokter, apoteker dan tenaga kesehatan harus
mematuhi segala aspek hukum dalam kesehatan. Kesalahan dalam melaksanakan
profesi kedokteran dan apoter merupakan masalah penting, karena membawa
akibat yang berat, terutama akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap
profesi kesehatan. Suatu kesalahan dalam melakukan profesi dapat disebabkan
karena kekurangan pengetahuan, pengalaman, dan pengertian. Ketiga faktor
20
tersebut menyebabkan kesalahan dalam mengambil keputusan atau penilaian.
Contoh: kejadian tindakan malpraktek Malpraktek adalah suatu tindaka praktek
yang buruk, dengan kata lain adalah kelalaian dokter dalam melaksanakan
profesinya, apabila hal tersebut diadukan kepada pihak yang berwajib, maka akan
diproses secara hukum dan pihak pengadilan yang akan membuktikan apakah
tuduhan tersebut benar atau salah. Upaya-upaya untuk mencegah terjadinya
kelalaian dalam menjalankan profesi ialah;
1. Meningkatkan kemampuan profesi para dokter dan apoteker untuk
mengikuti kemajuan ilmu kedokteran dan kefarmasian atau
menyegarkan kembali ilmunya, sehingga dapat melakukan pelayanan
medis secara profesional. Dalam program ini perlu diingatkan tentang
kode etik dan kemampuan melakukan konseling dengan baik.
2. Pengetahuan pengawasan perilaku etis. Upaya ini akan mendorong
dokter dan apoteker untuk senantiasa bersikap hati-hati. Dengan
berusaha berperilaku etis, sehingga semakin jauh dari tindakan
melanggar hukum.
3. Penyusunan protokol pelayanan kesehatan, misalnya petunjuk tentang
“informed consent”. Protokol ini dapat dijadikan pegangan bilamana
apoteker dituduh telah melakukan kelalaian. Selama apoteker
bertindak sesuai dengan protokol tersebut, dia dapat terlindung dari
tuduhan malpraktek.. Beberapa contoh malpraktek di bidang hukum
pidana:
1. Menipu Pasien
2. Membuat surat keterangan palsu
3. Melakukan pelanggaran kesopanan
4. Melakukan pengguguran tanpa indikasi medis
5. Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau
lukaluka
6. Membocorkan rahasia kedokteran yang diadukan oleh pasien
7. Kesengajaan membiarkan pasien tidak tertolong
8. Tidak memberikan pertolongan pada orang yang berada dalam
keadaan bahaya maut
20
9. Memberikan atau menjual obat palsu
10. Euthanasia
Keberhasilan pembangunan nasional telah meningkatkan kesadaran
hukum masyarakat. Masyarakat menjadi lebih kritis terhadap pelayanan jasa-jasa
yang mereka terima, termasuk pelayanan dokter, perawat, bidan, apoteker, dan
lain-lain. Dengan meningkatnya kesadaran hukum ini, tidak jarang masyarakat
mencampurbaurkan antara etika dan hukum. Hal ini disebabkan karena
masyarakat tidak mengetahui perbedaan dari keduanya yang sama-sama
berpegang pada norma-norma yang hidup dalam masyarakat.
D. Kebijakan Kesehatan di Indonesia
Kebijakan kesehatan Indonesia dibuat berdasarkan keputusan-keputusan
sebagai berikut:
1. SKep Men Kes RI No 99a/Men.Kes /SK/III/1982 Tentang berlakunya
Sistem Kesehatan Nasional.
2. TAP MPR RI VII tahun 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
3. Undang-undang No 23 Tahun 1992 tentang pokok-pokok kesehatan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
5. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah.
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No 574/ Men.Kes. `/SK/IV/2000
tentang Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia sehat tahun 2010.
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No 1277/Men. Kes/SK/X/2001 tentang
Susunan organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.
E. Etika Kefarmasian
Etika telah menjadi bagian yang integral dalam pengobatan setidaknya
sejak masa Hippocrates, seorang ahli pengobatan Yunani yang dianggap sebagai
pelopor etika kedokteran pada abad ke-5 SM. Dari Hippocrates muncul konsep
pengobatan sebagai profesi, dimana ahli pengobatan membuat janji di depan
masyarakat bahwa mereka akan menempatkan kepentingan pasien mereka di atas
20
kepentingan mereka sendiri. Saat ini etika kedokteran telah banyak dipengaruhi
oleh perkembangan dalam hak asasi manusia.
Di dalam dunia yang multikultural dan pluralis, dengan berbagai tradisi
moral yang berbeda, persetujuan hak asasi manusia internasional utama dapat
memberikan dasar bagi etika kefarmasian yang dapat diterima melampaui batas
negara dan kultural. Lebih dari pada itu, apoteker sering harus berhubungan
dengan masalah-masalah medis dan obat karena pelanggaran hak asasi manusia,
seperti migrasi paksa, penyiksaan, dan sangat dipengaruhi oleh perdebatan
apakah pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia karena jawaban dari
pertanyaan ini di beberapa negara tertentu akan menentukan siapakah yang
memiliki hak untuk mendapatkan perawatan medis.
Etika kefarmasian juga sangat berhubungan dengan hukum. Hampir di
semua negara ada hukum yang secara khusus mengatur bagaimana dokter harus
bertindak berhubungan dengan masalah etika dalam perawatan pasien dan
penelitian. Badan yang mengatur dan memberikan ijin praktek apoteker di setiap
negara bisa dan memang menghukum apoteker yang melanggar etika. Namun
etika dan hukum tidaklah sama. Bahkan etika membuat standar perilaku yang
lebih tinggi dibanding hukum, dan kadang etika memungkinkan apoteker perlu
untuk melanggar hukum yang menyuruh melakukan tindakan yang tidak etis.
Hukum juga berbeda untuk tiap-tiap negara sedangkan etika dapat diterapkan
tanpa melihat batas negara. Namun pengobatan ilmiah memiliki keterbatasan
terutama jika berhubungna dengan manusia secara individual, budaya, agama,
kebebasan, hak asasi, dan tanggung jawab. Seni pengobatan melibatkan aplikasi
ilmu dan teknologi pengobatan terhadap pasien secara individual, keluarga, dan
masyarakat sehingga keduanya tidaklah sama. Lebih jauh lagi bagian terbesar dari
perbedaan individu, keluarga, dan masyarakat bukanlah non-fisiologis namun
dalam mengenali dan berhadapan dengan perbedaan-perbedaan ini di mana seni,
kemanusiaan, dan ilmu-ilmu sosial bersama dengan etika, memiliki peranan yang
penting. Bahkan etika sendiri diperkaya oleh disiplin ilmu yang lain, sebagai
contoh, presentasi dilema klinis secara teatrikal dapat menjadi stimulus yang lebih
baik dalam refleksi dan analisis etis dibanding deskripsi kasus sederhana.
20
Secara umum apoteker diharapkan dapat mengaktualisasikan prinsip etika
profesi dengan derajat yang lebih tinggi dibanding orang lain. Prinsip etika profesi
itu meliputi belas kasih, kompeten, dan otonomi.
Belas kasih, memahami dan perhatian terhadap masalah orang lain,
merupakan hal yang pokok dalam praktek pengobatan. Agar dapat mengatasi
masalah pasien, apoteker harus memberikan perhatian terhadapkeluhan/gejala
yang dialami pasien dan memberikan nasehat yang meredakan gejala tersebut
dengan pengobatan dan harus bersedia membantu pasien mendapatkan
pertolongan. Pasien akan merespon dengan lebih baik jika dia merasa bahwa
apotekernya menghargai masalah mereka dan tidak hanya sebatas melakukan
pengobatan terhadap penyakit mereka.
Kompetensi yang tinggi diharapkan dan harus dimiliki oleh apoteker.
Kurang kompeten dapat menyebabkan kematian atau morbiditas pasien yang
serius. Apoteker harus menjalani pelatihan yang lama agar tercapai
kompetensinya. Cepatnya perkembangan pengetahuan dan teknologi di bidang
kefarmasian dan kedokteran, merupakan tantangan tersendiri bagi apoteker agar
selalu menjaga kompetensinya. Terlebih lagi tidak hanya pengetahuan ilmiah dan
ketrampilan teknis yang harus dijaga namun juga pengetahuan etis, ketrampilan,
dan tingkah laku. Masalah etis akan muncul sejalan dengan perubahan dalam
praktek kefarmasian, lingkungan sosial dan politik.
Otonomi, atau penentuan sendiri, merupakan nilai inti dari pengobatan
yang berubah dalam tahun-tahun terakhir ini. Apoteker secara pribadi telah lama
menikmati otonomi pengobatan yang tinggi dalam menetukan bagaimana
menangani pasien mereka. Apoteker secara kolektif (profesi kesehatan) bebas
dalam menentukan standar pendidikan farmasi dan praktek pengobatan. Masih
ada ditemukan (walaupun sedikit), apoteker yang menghargai otonomi profesional
dan klinik mereka, dan mencoba untuk tetap menjaganya sebanyak mungkin. Pada
saat yang sama, juga terjadi penerimaan oleh apoteker di penjuru dunia untuk
menerima otonomi dari pasien, yang berarti pasien seharusnya menjadi pembuat
keputusan tertinggi dalam masalah yang menyangkut diri mereka sendiri.
Selain terikat dengan ketiga nilai inti tersebut, etika kefarmasian berbeda
dengan etika secara umum yang dapat diterapkan terhadap setiap orang. Etika
20
kefarmasian masih terikat dengan Sumpah dan Kode Etik Apoteker. Sumpah
dan kode etik beragam di setiap negara bahkan dalam satu negara, namun ada
persamaan, termasuk janji bahwa apoteker akan mempertimbangkan kepentingan
pasien diatas kepentingannya sendiri, tidak akan melakukan deskriminasi
terhadap pasien karena ras, agama, atau hak asasi menusia yang lain, akan
menjaga kerahasiaan informasi pasien, dan akan memberikan pertolongan darurat
terhadap siapapun yang membutuhkan.
F. Penilaian Etika Apoteker
Setiap orang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mengambil
keputusan etis dan dalam mengimplementasikannya. Bagi apoteker secara pribadi
dan mahasiswa farmasi, etikakefarmasian tidak hanya terbatas pada rekomendasi-
rekomendasi yang dikeluarkan oleh IPF atau organisasi kesehatan yang lain
karena rekomendasi tersebut sifatnya sangat umum dan setiap orang harus
memutuskan apakah hal itu dapat diterapkan pada situasi yang sedang dihadapi
atau tidak dan terlebih lagi banyak masalah etika yang muncul dalam praktek
kefarmasian yang belum ada petunjuk bagi ikatan apoteker. Ada berbagai cara
berbeda dalam pendekatan masalah-masalah etika seperti dalam contoh kasus
pada bagian awal tulisan ini. Secara kasar cara pendekatan penyelesaian masalah
etika dapat dibagi menjadi dua kategori rasional dan non-rasional. Penting untuk
mengingat bahwa non-rasional bukan berarti irrasional namun hanya dibedakan
dari sistematika, dan alasan yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan.
Pendekatan-pendekatan non-rasional:
1. Kepatuhan merupakan cara yang umum dalam membuat keputusan
etis, terutama oleh anak-anak dan mereka yang bekerja dalam struktur
kepangkatan (militer, kipolisian, beberapa organisasi keagamaan,
berbagai corak bisnis). Moralitas hanya mengikuti aturan atau perintah
dari penguasa tidak memandang apakah anda setuju atau tidak.
2. Imitasi serupa dengan kepatuhan karena mengesampingkan penilaian
seseorang terhadap benar dan salah dan mengambil penilaian orang
lain sebagai acuan karena dia adalah panutan. Moralitas hanya
mengikuti contoh yang diberikan oleh orang yang menjadi panutan. Ini
20
mungkin cara yang paling umum mempelajari etika kedokteran,
dengan panutannya adalah konsultan senior dan cara belajar dengan
cara mengobservasi dan melakukan asimilasi dari nilai-nilai yang
digambarkan.
3. Perasaan atau kehendak merupakan pendekatan subjektif terhadap
keputusan dan perilaku moral yang diambil. Yang dianggap benar
adalah apa yang dirasakan benar atau dapat memuaskan kehendak
seseorang sedangkan apa yang salah adalah yang dirasakan salah atau
tidak sesuai dengan kehendak seseorang. Ukuran moralitas harus
ditemukan di dalam setiap individu dan tentu saja akan sangat beragam
dari satu orang ke orang lain, bahkan dalam individu itu sendiri dari
waktu ke waktu.
4. Intuisi merupakan persepsi yang terbentuk dengan segera mengenai
bagaimana bertindak di dalam sebuah situasi tertentu. Intuisi serupa
dengan kehendak dimana sifatnya sangat subjektif, namun berbeda
karena intuisi terletak pada pemikiran dibanding keinginan. Karena itu
intuisi lebih dekat kepada bentuk rasional dari keputusan etis yang
diambil dari pada kepatuhan, imitasi, perasaan, dan kehendak.
Meskipun begitu, intuisi sistematis ataupun penuh pemikiran namun
hanya sebatas mengarahkan keputusan berdasarkan apa yang terbersit
dalam pikiran saat itu. Seperti halnya perasaan dan kehendak, intuisi
dapat bervariasi dari setiap individu, dan bahkan dari individu itu
sendiri.
5. Kebiasaan merupakan metode yang sangat efisien dalam mengambil
keputusan moral karena tidak diperlukan adanya pengulangan proses
pembuatan keputusan secara sistematis setiap masalah moran muncul
dan sama dengan masalah yang pernah dihadapi. Meskipun begitu ada
kebiasaan yang buruk (seperti berbohong) dan juga kebiasaan baik
(seperti mengatakan dengan jujur) terlebih lagi ada berbagai keadaan
yang sepertinya serupa namun tetap membutuhkan keputusan yang
sangat berbeda. Walaupun kebiasaan ini sangat berguna, namun kita
tidak boleh terlalu mengandalkannya.
20
Pendekatan rasional:
1. Deontologi melibatkan pencarian aturan-aturan yang terbentuk
dengan baik yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan
keputusan moral seperti ”perlakukan manusia secara sama”. Dasarnya
dapat saja agama (seperti kepercayaan bahwa manusia sebagai ciptaan
Tuhan adalah sama) atau juga non-religius (seperti manusia memiliki
gen-gen yang hampir sama). Sekali aturan ini terbangun maka hal
tersebut harus diterapkan dalam situasi ilmiah, dan akan sangat
mungkin terjadi perbedaan aturan mana yang diperlukan (seperti
apakah aturan bahwa tidak boleh membunuh orang lain atau hukuman
yang menjadi dasar larangan aborsi).
2. Konsekuensialisme mendasari keputusan etis yang diambil karena
merupakan cara analisis bagaimana konsekuensi atau hasil yang akan
didapatkan dari berbagai pilihan dan tindakan. Tindakan yang benar
adalah tindakan yang memberikan hasil yang terbaik. Tentunya ada
berbagai perbedaan mengenai batasan hasil yang terbaik. Salah satu
bentuk konsekuensialisme yang sangat dikenal
adalah utilitarianisme, menggunakan ’utility’ untuk mengukur dan
menentukan mana yang memberikan hasil yang paling baik diantara
semua pilihan yang ada. Ukuran-ukuran outcome yang digunakan
dalam pembuatan keputusan medis antara lain cost-effectiveness dan
kualitas hidup diukur sebagai QALYs (quality-adjusted life-years)
atau DALYs (disablility-adjusted life-years). Pendukung teori ini
umumnya tidak banyak menggunakan prinsip-prinsip karena sangat
sulit mengidentifikasi, menentukan prioritas dan menerapkannya dan
dalam suatu kasus mereka tidak mempertimbangkan apakah yang
sebenarnya penting dalam pengambilan keputusan moral seperti hasil
yang ingin dicapai. Karena mengesampingkan prinsip-prinsip maka
konsekuensialisme sangat memungkinkan timbulnya pernyataan
bahwa ”hasil yang didapat akan membenarkan cara yang ditempuh”
seperti hak manusia dapatdikorbankan untuk mencapai tujuan sosial.
20
3. Prinsiplisme, seperti yang tersirat dari namanya, mempergunakan
prinsip-prinsip etiksebagai dasar dalam membuat keputusan moral.
Prinsip-prinsip tersebut digunakan dalam kasus-kasus atau keadaan
tertentu untuk menentukan hal yang benar yang harus dilakukan,
dengan tetap mempertimbangkan aturan dan konsekuensi yang
mungkin timbul. Prinsiplisme sangat berpengaruh dalam debat-debat
etika baru-baru ini terutama di Amerika. Keempat prinsip dasar,
penghargaan otonomi, berbuat baik berdasarkan kepentingan terbaik
dari pasien, tidak melakukan tindakan yang dapat menyakiti pasien
serta keadilan merupakan prinsip dasar yang digunakan dalam
pengambilan keputusan etik di dalam praktek. Prinsip-prinsip tersebut
jelas memiliki peran yang penting dalam pengambilaan keputusan
rasional walaupun pilihan terhadap keempat prinsip tersebut dan
terutama prioritas untuk menghargai otonomi di atas yang lain
merupakan refleksi budaya liberal dari Barat dan tidak selalu
universal. Terlebih lagi keempat prinsip tersebut sering kali saling
bergesekan di dalam situasi tertentu sehingga diperlukan beberapa
kriteria dan proses untuk memecahkan konflik tersebut.
4. Etika budi pekerti kurang berfokus kepada pembuatan keputusan
tetapi lebih kepada karakter dari si pengambil keputusan yang
tercermin dari perilakunya. Nilai merupakan bentuk moral unggul.
Seperti disebutkan di atas, satu nilai yang sangat penting untuk
apoteker adalah belas kasih, termasuk kejujuran, bijak, dan dedikasi.
Apoteker dengan nilai-nilai tersebut akan lebih dapat membuat
keputusan yang baik dan mengimplementasikannya dengan cara yang
baik juga. Namun demikian, ada orang yang berbudi tersebut sering
merasa tidak yakin bagaimana bertindak dalam keadaan tertentu dan
tidak terbebas dari kemungkinan mengambil keputusan yang salah.
Tidak satupun dari empat pendekatan ini, ataupun pendekatan yang lain
dapat mencapai persetujuan yang universal. Setiap orang berbeda dalam memilih
pendekatan rasional yang akan dipilih dalam mengambil keputusan etik. Seperti
juga orang yang memilih pendekatan yang non-rasional. Hal ini dikarenakan
20
setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri. Mungkin
dengan mengkombinasikan keempat pendekatan tersebut maka akan didapatkan
keputusan etis yang rasional. Harus diperhatikan aturan dan prinsip-prinsip
dengan cara mengidentifikasi pendekatan mana yang paling sesuai untuk situasi
yang baru dihadapi dan mengimplementasikan sebaik mungkin. Harus dipikirkan
juga konsekuensi dari keputusan alternatif dan konsekuensi mana yang akan
diambil. Yang terakhir adalah mencoba memastikan bahwa perilaku si pembuat
keputusan tersebut dalam membuat dan mengimplementasikan keputusan yang
sudah diambil juga baik. Proses yang dapat ditempuh adalah:
1. Tentukan apakah masalah yang sedang dihadapai adalah masalah etis.
2. Konsultasi kepada sumber-sumber kewenangan seperti kode etik dan
kebijakan ikatan apoteker serta kolega lain untuk mengetahui
bagaimana apoteker biasanya berhadapan dengan masalah tersebut.
3. Pertimbangkan solusi alternatif berdasarkan prinsip dan nilai yang
dipegang serta konsekuensinya.
4. Diskusikan usulan solusi anda dengan siapa solusi itu akan
berpengaruh.
5. Buatlah keputusan dan lakukan segera, dengan tetap memperhatikan
orang lain yang terpengaruh.
6. Evaluasi keputusan yang telah diambil dan bersiap untuk bertindak
berbeda pada kesempatan yang lain.
20
BAB III
PENUTUP
Kaidah hukum diperlukan dalam mengatur hubungan antar manusia,
sehingga tidak mengherankan jika saat ini aspek hukum juga terkait dengan
bidang kesehatan.
Dalam melaksanakan profesi, seorang dokter dan apoteker harus mentaati
etik kedokteran dan kefarmasian supaya terhindar dari jeratan hukum kedokteran
dan kefarasuan yang merupakan bagian dari hukum kesehatan.
Saat ini malpraktek masih sering terjadi, meskipun peraturan-peraturan
yang mengatur tentang hal tersebut telah ada.
20
DAFTAR PUSTAKA
Hongland, Sarina. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan. http://www.slideshare.net.
Diakses tanggal 19 Maret 2013.
Jenis Pelanggaran Kegiatan Apotek. http://kedaiobatcocc.wordpress.com. Diakses
tanggal 19 Maret 2013.
Rachmawati. 2010. Peran dan Fungsi Apoteker. http://arlovera.blogspot.com.
Diakses tanggal 19 Maret 2013.
Kurniawan, Hadi. 2012. Etika Kefarmasian.
http://hadikurniawanapt.blogspot.com. Diakses tanggal 19 Maret 2013.
Peraturan Menteri Kesehatan. http://www.ikatanapotekerindonesia.net. Diakses
tanggal 18 Maret 2013.
Peraturan Pemerintah Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
http://www.ikatanapotekerindonesia.net. Diakses tanggal 18 Maret 2013.